dua jenis sandiwara boneka: bunraku dan wayang...

24
DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEK STUDI KOMPARATIF TENTANG SANDIWARA BONEKA JEPANG DAN SUNDA Okke K.S. Zaimar (Ringkasan penelitian yang telah dilakukan dengan biaya Sumitomo Foundation oleh Prof. Dr. Okke Kusuma Sumantri Zaimar dengan Kolaborator Darsimah Mandah MA) Okke Kusuma Sumantri Zaimar FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

Upload: others

Post on 01-Sep-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

DUA JENIS SANDIWARA BONEKA:

BUNRAKU DAN WAYANG GOLEK

STUDI KOMPARATIF TENTANG SANDIWARA BONEKA JEPANG

DAN SUNDA

Okke K.S. Zaimar

(Ringkasan penelitian yang telah dilakukan dengan biaya Sumitomo Foundation

oleh Prof. Dr. Okke Kusuma Sumantri Zaimar dengan Kolaborator Darsimah Mandah MA)

Okke Kusuma Sumantri Zaimar

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

Page 2: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEK

STUDI KOMPARATIF TENTANG SANDIWARA BONEKA JEPANG DAN SUNDA

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang masalah

Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks sastra memegang peranan yang

sangat penting dalam masyarakat modern. Tampaknya, kehidupan modern tidak banyak

memberikan kesempatan pada semua yang berbau tradisi. Kini televisi dan video telah

mengambil alih peran pertunjukan tradisional.

Meskipun demikian, di Jepang, misalnya di Tokyo dan Osaka, masih ada beberapa

kelompok professional teater Bunraku yang dapat hidup dari pertunjukan mereka. Banyak

turis, baik turis asing maupun domestik, berusaha untuk menyediakan waktu mereka yang

terbatas untuk melihat pertunjukan tradisional Sedangkan di desa-desa jug beberapa kelompok

tradisional Bunraku (Ningyo Joruri) dapat hidup hanya berkat bantuan pemerintah.

. Di Indonesia pun keadaannya tidak menggembirakan. Sebenarnya, sebagai ibukota

Indonesia dan sebuah kota internasional, Jakarta mempunyai tempat-tempat khusus untuk

pertunjukan tradisional , seperti Bharata untuk pertunjukan tradisional Jawa dan Miss Cicih

untuk pertunjukan tradisional Sunda (keduanya dimainkan oleh manusia). Namun, sama sekali

tidak ada tempat khusus untuk pertunjukan boneka secara teratur. Kelompok wayang ini hanya

main atas undangan, terutama dalam acara-acara khusus seperti perkawinan, khitanan, upacara

desa, dan sebagainya. Undangan seperti ini datangnya makin jarang saja, karena sekarang ada

bermacam-macam saingan wayang, seperti orkes dangdut, dan lain-lain. Maka banyak grup

wayang yang tidak atau jarang sekali mengadakan pertunjukkan, sulit bagi mereka untuk

melanjutkan keberadaan mereka. Lebih menyedihkan lagi, sedikit sekali, hamper dapat

dikatakan tidak ada dana penunjang dari pemerintah agar kehidupan grup-grup wayang ini

Page 3: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

dapat berlanjut. Meskipun demikian, masih beberapa grup wayang yang cukup beruntung,

karena mereka mempunyai dalang yang popular. Grupgrup semacam ini masih sering

mendapat undangan dan mereka mendapat bayaran yang cukup baik. Pada umumnya, dalang-

dalang yang popular itu tinggal di kota-kota besar, sedangkan di desa, pertunjukan wayang

golek cenderung menghilang.

2. Masalah.

Melihat adanya beberapa persamaan antara kedua pertunjukan boneka Jepang dan Sunda

Ini (antara lain kedua boneka terbuat dari kayu dan kedua pertunjukan ini bersifat tradisional),

maka timbul pertanyaan tentang ada tidaknya persamaan dan perbedaan yang lain dari kedua

jenis pertunjukan tersebut. Apabila ada, apa saja persamaan dan perbedaan tersebut.

3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan kedua jenis pertunjukan

boneka, Bunraku dari Jepang dan wayang golek dari Sunda, salah satu suku bangsa Indonesia.

Penelitian ini diharapkan dapat mempererat saling pengertian antara kedua bangsa.

4 Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang dilakukan baik dengan penelitian

pustaka maupun penelitian lapangan. Teori-teori yang digunakan adalah teori sastra bandingan

teori sastra lisan (untuk wayang golek), dan beberapa teori semiotik.

5. Kerangka teori

5.1 Teori sastra bandingan

Tidak mudah memilih definisi sastra bandingan, karena para ahli masih tidak sefaham

tentang hal ini. Sastra bandingan tidak mempunyai metodologinya sendiri, melainkan harus

dipandang sebagai cabang khusus dari Sejarah Sastra. Jean-Marie Carré menyatakan bahwa:

“Comparative literature is a branch of literary history: it is the

study of international spiritual relations, of rapports de fait

between Byron and Pushkin, Goethe and Carlyle, Walter Scott

and Alfred de Vigny and between the works, the inspirations

and even the lives of writers belonging to different literature.”

Terjemahan:

“Sastra bandingan adala cabang dari sejarah sastra: hal itu ada-

lah studi tentang hubungan spiritual international, studi tentang

rapports de fait (hubungan fakta) antara Byron dengan Pushkin,

Goethe dan Carlylem Walter Scott dan Alfred de Vigny, antara

Page 4: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

karya-karya, inspirasi, bahkan kehidupan para penulis yang ter-

masuk sastra yang berbeda.”

(Weisstein, Ulrich 1973, h.. 3)

Memang, penelitian ini adalah “studi tentang hubungan spiritual internasional”, yaitu rapports

de fait antara sandiwara boneka jepang dan sunda (Indonesia).

Selanjutnya, Ulrich Weisstein memperluas konsepnya. Menurut pendapatnya, sastra

bandingan mengakui fakta bahwa meskipun fine arts menggunakan media dan tehnik yang

berbeda, seni dan sastra merupakan aktivitas yang sama. Dalam penelitian ini, teater boneka

dianggap sebagai hasil seni sastra, karena di dalamnya unsur-unsur sastra sangat menonjol,

sedangkan boneka digunakan sebagai media untuk menampilkan karya sastra.

Penelitian ini agak kompleks, karena dibuat dalam beberapa tahapan. Pertama-tama

ada perbandingan antara sejarah kedua sandiwara boneka ini. Kemudian, perbandingan antara

kedua teks sastra, dan akhirnya perbandingan antara kedua boneka dan pertunjukannya.

5.2 Teori sastra lisan:

Dalam makalah ini tidak ditampilkan karena tulisan akan menjadi terlalu panjang.

5.3 Teori semiotik

Semiotik menaruh perhatian pada semua yang dapat dianggap sebagai tanda. Tanda ada-

lah sesuatu yang dapat menggantikan sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Sesuatu ini

tidak perlu ada atau benar-benar hadir di sesuatu tempat pada saat tanda menggantikannya

(Eco, Umberto. 1979. h. 7). Di sini hanya akan ditampilkan dengan singkat, teori semiotik,

yang berkaitan dengan penelitian..

5.3.1 Roland Barthes

Roland Barthes (1915-1980) adalah salah seorang strukturalis yang memegang

peranan penting dalam perkembangan dari strukturalisme kearah semiotik. Berdasarkan

gagasan Saussure tentang semiologi, ia berjasa mengembangkan teks semiotik pada

komunikasi visual (arsitektur, gambar, lukisan, film, iklan, dan sebagainya). Berikut ini

teorinya yang disebut teori mitos.

- Mitos, suatu sistem semiologis.

Page 5: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Dalam bukunya Mythologies, Barthes mengemukakan gagasannya tentang perluasan

semiotik. Mitos adalah suatu jenis wicara, suatu system komunikasi, jadi merupakan sesuatu

yang memberi pesan. Mitos bukanlah suatu objek, konsep, atau gagasan, melainkan suatu cara

komunikasi, suatu bentuk. (…), karena mitos merupakan suatu jenis wicara, maka semua dapat

menjadi mitos, asal saja hal itu dikemukakan dalam wacana. Mitos, bukan hanya teks lisan atau

tulisan, melainkan juga “foto, film, laporan, olah raga, pertunjukan, iklan, dan sebagainya;

semua ini dapat menunjang suatu wicara mitos. sport, shows, publicity, all these can serve as a

support to mythical speech. Mitos tidak dapat ditentukan oleh objek atau materinya, karena

materi apa pun dapat secara semena, mengandung makna: anak panah yang diletakkan dengan

maksud untuk menyatakan suatu tuntutan, juga merupakan suatu ujaran. Barthes, Roland,

1972: pp. 109-110) Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis teater boneka.

Semiotik digunakan untuk mempelajari budaya. Pemikiran ini memberikan kepada

kita kesempatan untuk mempelajari, bukan hanya bahasa, melainkan juga hal-hal lain dalam

kebudayaan. Kedua teater boneka ini penuh dengan tanda. Ceritera (termasuk tokoh dan latar)

dan pertunjukan (termasuk rupa, sikap, pakaian boneka) termasuk hal yang dianalisis.

5.3.2 Charles Morris

Charles Morris adalah salah seorang pengikut Peirce. Ia mengemukakan tiga

hubungan yang dianggap sebagai tiga dimensi semiosis dan semiotic. (Noth, Winfried: 1990,

p. 50). Sejajar dengan hal itu, dalam bukunya Structuralsme 2. Poetique, Tzvetan Todorov

mengutarakan adanya tiga aspek dari karya naratif (Todorov, 1968: pp.29-91). Ketiga aspek

karya naratif tersebut adalah:

5.3.2.1 Aspek sintaksis

Aspek ini mengemukakan alur, yaitu hubungan logis antara unsur-unsur teks yang

fungsional. .Urutan sekuen, yaitu satuan isi teks, menampilkan pengalurannya. Alur adalah

kerangka teks naratif, sedangkan pengaluran adalah susunan satuan teks, yaitu bagaimana teks

ditampilkan. Beberapa ahli semiotik mengemukakan teori tentang aspek naratif ini, antara lain

Roland Barthes dan Greimas. Yang terakhir ini mengemukakan tata naratif (the narrative

grammar). Penelitian ini menggunakan teori Greimas tentang kelas aktan. “Aktan adalah

seseorang atau sesuatu yang melakukan tindakan” (Ronald Schleifer, 1987: p.88). Greimas

menggambarkan skema aktan sebagai berikut:

Pengirim objek Penerima

Page 6: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Penolong subjek Penentang

Pengirim adalah seseorang atau sesuatu yang mempunyai karsa untuk mencapai

sesuatu (objek). Pengirim dapat berupa manusia (atau bagian dari manusia, misalnya sifat atau

perasaan), binatang, bahkan juga benda. Ia mendorong subjek untuk mencapai objek. Dan

yang menerima objek disebut penerima. Dalam proses pencarian objek, seringkali subjek

menemukan penentang atau penghalang, dan ia dibantu oleh seorang penolong. Dalam teori

ini, aktan mempunyai peran dalam tataran sintaksis. Hal ini sangat berbeda dengan analisis

tentang tokoh, yang berada dalam tataran semantik.

5.3.2.2 Aspek semantik

Dalam aspek semantik ini, dibahas tokoh, latar, tema dan nilai-nilai yang dikandung

dalam cerita. Roland Barthes menyebutnya sebagai unsur-unsur yang mempunyai hubungan

paradigmatik. Untuk penelitian tentang aspek ini, digunakan teori sinyifikasi.

- Teori sinyifikasi (teori tentang system tanda)

Teori ini menampilkan konsep konotasi. Hal ini merupakan kunci untuk masuk ke

dalam analisis semioltik tentang budaya yang dikemukakan oleh Bathes. Dikatakannya bahwa

tanda adalah suatu system yang terdiri dari E yaitu Ekspresi (atau Penanda), dalam relasinya

(R) dengan C, yaitu isi, konsep (atau petanda): E R C. Sistem tanda tahap pertama dapat

menjadi unsur dari suatu system tanda yang lebih komprehensif. Apabila ada perluasan

petanda, tanda pada tahap pertama (E1, R1, C1) menjadi Ekspresi dari tanda pada tahap ke

dua: E2(=E1,R1,C1), R2,C2. Dalam hal ini, tanda tahap pertama menampilkan makna

denotative, sedangkan tanda tahap ke dua mengemukakan makna konotatif. Barthes

mengemukakan hubungan ini dalam model system yang bertingkat.. (Noth, Winfried, 1990:

pp 310-311). Contoh: /mawar merah/, yaitu Ekspresi (E1) dalam hubungannya (R1)

menampilkan isi (C1) “sejenis bunga”, yaitu makna denotatif. Kemudian ekspresi pada tataran

pertama ini bersama dengan relasi dan isinya (E1,R1,C1) menjadi ekspresi pada tataran ke dua

(E2), yang dalam hubungan lain (R2) memberikan isi (C2) tataran ke dua, yaitu “cinta” yang

merupakan makna konotatif.

Sr = signifier (penanda)

Sd = signified (petanda)

Sr Sd

Sd

Sr Sd

Page 7: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Sign (Tanda)

Perluasan system tanda tahap pertama ini, dapat pula terjadi dalam pembentukan

ekspresi yang baru. Dalam hal ini, tataran pertama disebut bahasa objek dan tataran ke dua

disebut metalinguistik. (Noth, Winfried, 1990: pp.311). Contoh: Apabila ekspresi pada tataran

pertama adalah /bunga ros/, maka E1, R1 dan C1 dapat membentuk ekspresi baru, yaitu

/mawar/. Berikut ini saya ambilkan contoh dari mitos: salah satu tokoh wayang adalah

Gatotkaca. Meskipun terbuat dari kulit (dalam wayang kulit) atau kayu (dalam wayang golek),

tokoh itu tetap saja Gatotkaca, anak Bima, seorang tokoh pahlawan yang gagah berani..

Sd: signified

Sign Sr:signifier

Sebagaimana kita lihat, teori ini berlandaskan teori Ferdinand de Saussure tentang

tanda. Dengan dasar teori ini, dapat dianalisis makna tataran ke dua, yang merupakan

sinyifikasi teks.

5.3.2.3 Aspek pragmatik.

Sebagaimana dikatakan oleh Morris, dalam aspek ini dipelajari hubungan antara

tanda dengan pengujar dan penerimanya. Pusat penelitiannya adalah penggunaan bahasa.

Dalam penelitian ini, bahasa tidak dianalisis karena kedua teater boneka ini menggunakan

bahasa yang berbeda. Meskipun demikian, dengan adanya teori mitos bahasa dalam penelitian

ini adalah komunikasi antara narrator dengan penikmat teater boneka, baik dilakukan melalui

gerakan boneka, musik pengiring maupun unsur-unsur lainnya.

5.3.3. Anne Ubersfeld : Teori ruang dalam teater..

Sr Sd

Sd

Sr Sd

Page 8: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Tidak akan lengkap menganalisis teater tanpa membahas ruang. Teori yang akan

dikemukakan ini berasal dari teori teater Eropa dan tidak ditujukan untuk teater boneka,

karena itu penggunaannya akan disesuaikan dengan data..

5.3.3.1 Panggung

a. Dalam teater, apa yang disebut panggung ruang teater yang harus dibentuk, karena tanpa

hal ini teater akan kehilangan eksistensinya yang konkrit.

b. Unsur-unsur yang membangun ruang teater didapat dari:Didascalies (petunjuk

pemanggungan), sedangkan dalam teater boneka hal ini didapat dari penjelasan narrator).

Di dalamnya termasuk:

- Petunjuk ruang yang kurang lebih mendetil dan tepat.

- Nama-nama tokoh dan cirri-ciri ruang.

- Petunjuk tentang sikap tokoh dan gerakan-gerakan yang menyebabkan para penonton

dapat membayangkan ruang, misalnya “boneka tak bergerak” atau “boneka bergerak

ke arah kanan”

c. Pengaturan ruang dapat pula didapat dari dialog.

5.3.3.2 Karakteristik panggung.

a. Pertama-tama, panggung itu bersifat terbatas.

b. Panggung mempunyai ruang ganda: dikotomi panggung – ruang yang ditempati para

penonton, yang tidak ada keterangannya dalam teks, dapat menjadi sangat penting dalam

hubungan antara aktor (dalam hal ini narrator dan bonekanya) dan para penonton

pertunjukan.

c. Panggung mempunyai kode khusus, yang ditentukan oleh kebiasaan yang tergantung pula

dari waktu dan tempat di mana pertunjukan dilangsungkan. Panggung selalu meniru

sesuatu. Para penonton terbiasa menganggapnya sebagai reproduksi dari tempat yang

nyata, Meskipun demikian, gagasan yang menyatakan bahwa panggung meniru ruang yang

nyata dan konkrit dengan batas-batasnya dan benda-benda yang berada di panggung

sebagai bagian dari dunia yang dipindahkan ke panggung , merupakan gagasan teater

Barat, terutama teater borjuis. Gagasan mimesis tentang ruang yang konkrit ini

mengemukakan aspek kehidupan yang sebenarnya, baik diubah maupun tidak, baik

realistis maupun simbolis. Meskipun demikian, yang terpenting adalah bahwa panggung

mengemukakan the air de jeu. Di sini terjadi sesuatu yang tidak mempunyai acuan di

Page 9: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

mana pun, ruang dikemukakan dengan hubungan tubuh para actor, dengan aktivitas fisik,

dengan cara merayu, tarian, atau pun peperangan (Ubersfeld, Anne: 1978, pp.154-157)

Teori-teori ini akan digunakan untuk menganalisis aspek pertunjukan.

Proses penelitian tidak dapat dikemukakan di sini karena tempat dan waktu tidak

memungkinkannya. Berikut ini akan dikemukakan hasil penelitiannya.

HASIL PENELITIAN:

PERBANDINGAN ANTARA KEDUA JENIS PERTUNJUKKAN BONEKA

Dalam analisis telah dikemukakan secara terperinci perbandingan antara kedua

pertunjukan boneka, baik dari aspek kesejarahan, aspek kesastraan (aspek sintaksis dan

semantiknya), maupun aspek pertunjukannya (termasuk bonekanya). Aspek pragmatik

kebahasaan tidak diteliti, karena keduanya menggunakan bahasa yang berbeda, namun di sini

aspek pertunjukkan dianggap mewakili aspek pragmatik, karena hal ini juga menjalin

komunikasi antara pengirim (sutradara) dengan penerimanya (publik). Pertama-tama akan

dikemukakan persamaan kedua pertunjukkan boneka ini, kemudian baru perbedaan-

perbedaannya..

1. Persamaan antara kedua pertunjukan boneka:

1.1 Aspek kesejarahan

1.1.1 Asal-usul

Bunraku mulai dikenal sejak zaman dahulu (600 SM). Tidak ada catatan yang jelas

tentang asal-usulnya, meskipun demikian, diperkirakan bahwa Bunraku berasal dari Cnina atau

Korea. Pada masa kini, Bunraku dianggap sebagai pertunjukan tradisional Jepang, tradisi ini

dimulai dengan adanya permainan boneka yang berjalan berpindah-pindah tempat, berkeliling

di seluruh negri. Si pemain boneka menggerakkan bonekanya yang pada awalnya hanya

mampu menampilkan gerakan-gerakan yang sangat sederhana. Setelah melalui perkembangan

selama berabad-abad, boneka dibuat secara lebih canggih, sehingga para “dalang” mampu

mempertunjukkan gerakan-gerakan dan sikap boneka yang sulit, bahkan seringkali rumit.

Sebagaimana juga Bunraku, wayang berasal dari zaman dahulu, yaitu pada masa

animisme dan dinamisme (sekitar 1500 tahun SM). Pada awalnya, beberapa orang ahli wayang

Page 10: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

menyatakan bahwa wayang berasal dari India, namun tidak ada bukti-bukti yang menguatkan

hipotesis tersebut. Memang beberapa sumber ceriteranya yang terkenal, seperti Mahabharata

dan Ramayana, datang dari India. Meskipun demikian, setelah dilakukan penelitian lebih jauh,

para ahli berkesimpulan bahwa wayang adalah kreasi asli orang Indonesia, karena tidak ada

pertunjukan yang sama ditemukan dalam budaya lain.

1.1.2 Pemujaan terhadap arwah nenek moyang

Pada awalnya, Bunraku menampilkan kepercayaan rakyat. Di wilayah perkampungan

di Jepang, bahkan juga hingga masa kini, sebahagian rakyat masih percaya bahwa boneka-

boneka digunakan sebagai representasi dewa, atau pembawa amanat dari dewa, yang turun ke

dunia untuk mengusir kejahatan dan bahaya. Penggunaan boneka yang dipakai untuk tujuan

keagamaan sangat popular, dan pertunjukan itu tidak dianggap sebagai pertunjukan seni yang

berdiri sendiri. Dahulu, pertunjukan boneka ini juga merupakan bagian dari upacara

keagamaan dan pendiri dari aliran Awaji adalah pendeta agama Shinto. Itulah sebabnya

pertunjukan boneka pada masa itu merupakan pertunjukan di tempat keagamaan.

Jadi, dapat dikatakan bahwa pada mulanya, para “dalang” mempunyai fungsi social,

yaitu menampilkan pertunjukkan suci. Hanya saja dalam perkembangannya kemudian,

sandiwara boneka ini dianggap sebagai pertunjukkan seni. Dahulu, agama atau kepercayaan

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidaklah

mengherankan apabila pada awalnya – seperti juga pertunjukkan boneka Jepang – wayang

diciptakan sebagai pertunjukan arwah nenek moyang. Bahkan pada masa kini pun, banyak

orang yang masih percaya akan keberadaan arwah nenek moyang dalam benda-benda tertentu,

yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural. Benda-benda tersebut, yang pada umumnya

disebut jimat, terdiri dari keris, cincin, kalung, atau benda-benda sakti lainnya. Dalam

usahanya untuk menghindarkan bahaya yang dibawa oleh arwah yang jahat, rakyat percaya

bahwa mereka dapat mengandalkan pertolongan dari arwah nenek moyang dengan

mengundang mereka dan memberikan tempat khusus, yang disebut unduk, sebuah boneka yang

dibuat dari batang padi. Orang yang mempunyai keahlian mengundang arwah nenek moyang,

disebut dukun. Sebenarnya, boneka inilah asal usul wayang. Beberapa orang ahli menyatakan

bahwa kata wayang berasal dari wa (wadah) yang berarti tempat dan yang atau hyang, yang

berarti dewa.

1.2 Aspek kesastraan

Page 11: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

1.2.1 Alur ceritera / aspek sintaksis

Bunraku, seperti juga wayang golek, dapat dianggap sebagai bagian dari karya sastra,

karena keduanya mengandung ceritera yang akan dipentaskan. Pada awalnya. Kedua

pertunjukan boneka ini merupakan tradisi lisan, namun dalam perkembangannya, Bunraku

menjadi karya sastra tertulis, dan mempunyai beberapa penulis teater yang terkenal, seperti

Chikamatsu Monzaemon; sedangkan di lain pihak, wayang , hingga kini masih tetap berstatus

tradisi lisan, meskipun memang berlandaskan sumber yang tertulis.

Penelitian tentang alur / aspek sintaksis (dengan teori Greimas) tidak begitu banyak

menemukan persamaan maupun perbedaan, meskipun demikian beberapa temuan yang

menarik akan dikemukakan di sini. Penelitian ini menemukan bahwa hubungan antara subjek

dan objek sangat bervariasi. Baik ceritera-ceritera dari Bunraku maupun ceritera wayang yang

berupa cerita sempalan (bagian dari ceritera sumber) atau carangan (yang merupakan kreasi

dalang pada waktu pertunjukan) pada umumnya mempunyai empat atau lima alur, sedangkan

ceritera-ceritera yang digunakan sebagai sumber (seperti Ramayana dan Mahabharata)

mempunyai alur yang lebih kompleks dan dapat memiliki sepuluh alur atau lebih. Penelitian ini

pun menunjukkan bahwa satu subjek dapat memiliki beberapa objek, sebaliknya, objek yang

sama dapat pula dijangkau oleh beberapa subjek. Sebagai contoh, dapat dikemukakan

Sonezaki Shinju, yaitu suatu drama percintaan yang berakhir dengan bunuh dirinya sepasang

kekasih. Dalam drama ini, tokoh utamanya yang bernama Tokubei berusaha untuk mendapat

objeknya, yaitu kekasihnya yang bernama Ohatsu. Di samping itu, dia juga berusaha untuk

mendapatkan kembali objeknya yang lain, yaitu kehormatannya yang hilang karena fitnahan

seseorang. Sebagai contoh lain, dapat dikemukakan Mahabharata, salah satu sumber cerita

wayang, suatu epos besar yang mengemukakan konflik keluarga Bharata yang berakhir dengan

pertempuran dan musnahnya keluarga itu. Salah seorang tokoh yang penting, yaitu Bhisma

muncul beberapa kali sebagai subjek. Pertama-tama objeknya adalah kebahagiaan sang ayah,

sehingga dia rela bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup. Objeknya yang ke dua adalah

tiga orang putri yang disayembarakan, dan dia melakukannya untuk kebahagiaan adiknya.

Objeknya yang ke tiga adalah pemenuhan kewajiban sebagai seorang ksatria, sehingga dia

terpaksa berperang dengan kemenakan yang dikasihinya. Sebaliknya, tentu saja satu objek

dapat digapai oleh banyak subjek, bahkan subjek dan objek yang sama, dapat muncul dalam

dua alur yang berbeda. Sebagai misal, dapat dikemukakan di sini salah satu sumber cerita

wayang yang lain, yaitu Ramayana, yang mengemukakan drama kegagahan seorang ksatria,

Rama, dalam menggempur kebathilan, yang menjelma pada seorang raksasa, Rahwana. Tokoh

utama, Rama, berusaha untuk mencapai objek yang sama, yaitu Shinta, sebanyak dua kali,

Page 12: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

pertama ketika Rama ingin menikahi Shinta, dan kedua kalinya setelah Shinta diculik oleh

Rahwana. Hasil penelitian alur yang menarik adalah penelitian atas drama Sugawara Denju

Tenarai Kagami, suatu drama yang menampilkan kesetiaan seorang menteri pada rajanya.

Dalam drama ini, Sugawara menjadi objek dari empat alur lainnya, namun dia sendiri tidak

pernah bergerak untuk mencapai objek. Itulah sebabnya mengapa pada awalnya peneliti

mengira bahwa ia tidak pernah menjadi subjek semasa hidupnya, kecuali setelah meninggal,

dia sebagai dewa petir, memburu dan membunuh musuh-musuhnya. Namun setelah pemikiran

lebih lanjut, peneliti sampai pada kesimpulan bahwa subjek bisa saja tidak bergerak, karena

sebenarnya mencapai objek dapat dilakukan tanpa bergerak, dalam hal ini objeknya adalah

kesetiaan kepada kaisar. Justru tindakannya yang tidak melawan, meskipun dia difitnah dan

dihukum secara tidak adil, menunjukkan usahanya untuk tetap setia kepada raja. Hal ini

berkaitan erat dengan budaya Jepang yang mendukung drama ini. Berikut ini akan

dikemukakan persamaan yang sangat menonjol antara teater boneka Jepang dan teater boneka

Sunda, hasil dari penelitian aspek semantik, yaitu nilai-nilai ideologis.

1.2. 2 Nilai-nilai ideologis

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, penelitian aspek semantik menghasilkan

gambaran tentang tokoh, sifat-sifat maupun kedudukannya di dalam masyarakat. Namun, yang

paling menarik perhatian adalah nilai-nilai ideologis yang ditemukan tersembunyi di dalam

karya, di antara kata-kata yang diucapkan. Hal ini menunjukkan bahwa teater boneka Indonesia

dan Jepang mengungkapkan nilai-nilai ideologis yang sama,. karena nilai-nilai itu adalah

bagian dari tradisi, bagian dari budaya. Persamaan budaya ini menggambarkan adanya

persamaan dalam jiwa masyarakatnya masing-masing.. Salah satu contoh yang perlu

diutarakan adalah pentingnya kesetiaan yang sangat diagungkan dalam kedua masyarakat.

Kesetiaan ini dapat ditampilkan dengan berbagai cara, dan dapat ditujukan kepada orang

maupun objek yang berbeda, antara lain: misalnya kesetiaan pada kekasih, kepada pasangan

hidup, kepada majikan, kepada kaisar, dan kepada sumpah. Kesetiaan kepada kekasih tampak

dalam Sonnezaki Shinju: untuk membuktikan kesetiaannya Ohatsu bersedia melakukan bunuh

diri ganda (berdua). Kesetiaan kepada suami tampak dalam Ramayana, dengan kesediaan

Shinta untuk terjun ke dalam api yang menyala-nyala demi membuktikan kesetiaannya kepada

suami. Dalam Sugawara Denju Tenarai Kagami, dapat kita lihat pernyataan kesetiaan

seseorang kepada majikannya dalam diri Matsûomaru yang tetap setia kepada majikannya

meskipun hal itu berlawanan dengan nuraninya dan dia harus memutuskan hubungan dengan

Page 13: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

keluarganya, selain itu dia dianggap sebagai seseorang yang tidak mempunyai hati nurani. Juga

Sugawara tetap setia kepada kaisarnya, meski dia telah difitnah orang dan diperlakukan tidak

adil oleh kaisarnya. Dan akhirnya, dalam Mahabharata, Dewabrata atau Bhisma tetap setia

pada sumpahnya hingga akhir hayatnya, meskipun ibu tirinya, Setyawati yang memintanya

bersumpah, memohon kepadanya agar dia mau memecahkan sumpahnya.

Page 14: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Prinsip lain yang sangat penting adalah perasaan hutang budi. Suatu pertolongan,

bantuan atau tindakan lainnya yang telah diterima dari orang lain, seharusnya dianggap

sebagai suatu hutang yang, cepat atau lambat, harus dilunasi. Melupakan hutang budi ini

dapat dianggap sebagai tidak adil dan bertentangan dengan moral etis. Drama Sugawara denju

tenarai kagami mengemukakan dengan gamblang betapa pentingnya perasaan hutang budi

ini.Hal ini tampak dalam sikap dan tindakan si kembar tiga, Sakuramaru, Matsuômaru, dan

Umeômaru, yang berhutang budi kepada lord Sugawara. yang telah menolong ayah mereka,

Shiradayu, untuk mengatasi kesulitan ekonomi dalam membesarkan kembar tiga ini.Ia

memberi bea siswa tahunan kepada anak-anak, dan kepada bapaknya dia memberi sebidang

tanah, sehingga dia dapat hidup dengan senang. Untuk membayar kemurahan hati Sugawara,

ketiga saudara kembar ini melakukan segala yang dapat mereka lakukan. Sakuramaru

membunuh diri, Umeômaru tetap mengabdi pada keluarga Sugawara dan menjaga mereka

pada waktu Sugawara berada dalam pengasingan. Matsuômaru bahkan mengorbankan jiwa

satu-satunya putra yang dimilikinya, untuk menyelamatkan jiwa putra Sugawara. Dalam

Mahabharata, perasaan hutang budi ini tampak pada sikap Karna yang merasa berhutang budi

pada Kurawa. Ketika sebelum perang saudara ini meletus, Dewi Kunti (ibu Karna dan juga ibu

Pandawa), memintanya untuk meninggalkan Kurawa dan bergabung dengan Pandawa, Karna

menolaknya dan lebih memilih mati di dalam perang melawan saudara-saudaranya.

Prinsip lain yang juga dipandang penting adalah kehormatan. Saya kira, di seluruh

dunia kehilangan kehormatan di dalam masyarakat, tak dapat diterima dan dengan segala daya

harus dihindari. Meskipun demikian, kehormatan yang dikemukakan dalam cerita-cerita ini

berbeda dengan kehormatan yang dianut oleh masyarakat modern. Menurut cerita-cerita yang

menjadi data penelitian ini, orang yang kehilangan kehormatan harus siap untuk

mengorbankan segalanya, bahkan juga jiwanya. Sangat menarik untuk memperhatikan usaha-

usaha yang dilakukan untuk mengembalikan kehormatan seseorang. Dalam cerita-cerita ini,

pengembalian kehormatan tidak ditekankan pada pembalasan dendam, melainkan pada

tindakan bunuh diri. Sebagaimana kita lihat dalam Sonnezaki Shinju, Tokubei ditipu oleh

Kuheiji, seorang yang tak berhati nurani dan pembohong besar yang menghalalkan segala cara

meskpun tindakannya sangat merugikan orang lain. Di hadapan umum, dia menuduh Tokubei

sebagai pembohong dan pencuri. Karena tidak dapat membuktikan ketidakbersalahannya

untuk menentang tuduhan ganda ini, tak ada yang dapat dilakukannya kecuali menerima

hilangnya kehormatan. Untuk mengembalikannya, Tokubei tidak memilih pembalasan

dendam, melainkan bunuh diri. Tindakannya ini mengherankan saya, karena biasanya,

Page 15: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

seseorang yang kehilangan kehormatannya akan bereaksi dengan membalas dendam kepada

orang yang menyebabkan dia kehilangan kehormatan itu. Hal yang sama juga dapat dilihat

dalam Mahabharata. Dalam karya ini, Yudistira putra Pandu yang tertua dihianati, direbut

kekuasaan dan kekayaannya sehingga dia kehilangan kehormatannya. Namun, alih-alih

membalas dendam, Pandawa lebih memilih menjalankan hukumannya, yaitu pergi ke hutan

untuk mengasingkan diri.

Selain melaksanakan nilai-nilai ideologis, teater boneka ini bahkan juga menampilkan

tindakan-tindakan yang berrlawanan dengan nilai-nilai tersebut, yaitu tindakan atau sifat yang

menghalangi seseoran untuk melaksanakan nilai-nilai ideologis tersebut. Yang terpenting

adalah perasaan cemburu atau iri hati yang dalam berbagai kasus, merupakan penyebab dari

tindakan negative yang dilakukan seorang tokoh. Memang, rasa iri hadir dalam kelima cerita

yang dikemukakan dalam penelitian ini.

1.3 Pementasan / Pertunjukkan

Bunraku, seperti juga as wayang golek, menampilkan sejenis boneka di pentas. Boneka-

boneka tersebut terbuat dari kayu dan dimainkan oleh manusia yang disebut “dalang”. Dalam

pertunjukan tersebut, cerita dikemukakan oleh narrator dengan iringan musik. Dahulu,

pertunjukkan ini dimainkan dengan tujuan keagamaan, kini pementasan tersebut dianggap

sebagai seni pertunjukkan, karena para penonton datang menghadiri pertunjukan ini, untuk

hiburan, dan tidak lagi demi pemujaan dalam ritual keagamaan.

2 Perbedaan antara kedua teater boneka

2.1 Aspek kesejarahan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Bunraku dan wayang, kedua teater ini

merupakan tradisi kuno. Sebenarnya, tradisi wayang kulit bahkan lebih tua lagi, namun, tidak

seperti Binraku or Wayang Golek, pertunjukan wayang kulit hanya dapat dilakukan pada

malam hari, dan dahulu memakai cahaya blencong (sejenis penerangan khusus yang

menggunakan minyak tanah). Di lain pihak, wayang golek, berusia jauh lebih muda (1583).

Sunan Kuduslah yang pertama-tama memperkenalkan boneka kayu sebagai alat pertunjukkan,

karena boneka ini dapat dimainkan pada siang hari. Dalam perkembangannya, pertunjukkan

boneka kayu dari Jawa Barat ini, dikenal sebagai wayang golek, yang berasal dari wayang

kulit, teater bayang-bayang dari Jawa . (Supandi, Atik. 1988:Tetekon Padalangan Sunda).

2.2 Aspek kesastraan

Page 16: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

2.2.1 Sastra tulis dan sastra lisan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Bunraku termasul sastra tulis, karena

penuturnya (naratornya) membacakan teks. Beberapa penulis Bunraku yang terkenal adalah

Chkamatsu Monzaemon (1653-1724), Takeda Izumo II (1691-1756), Namiki Sosuke (1695-

1751), Miyake Shòraku (1696-1775), dan Chikamatsu Hanji (1725-1783). Namun, pada masa

kini, tak ada lagi penulis yang dianggap sukses. Karena tak banyak lagi perhatian pada

penulisan teater ini, maka teater tersebut hanya menampilkan karya-karya lama yang masih

tetap disukai para penonton.

Di lain pihak, wayang goleki , merupakan sastra lisan, karena naratornya (dalang),

menyusun ceriteranya sendiri dalam pertunjukkan cerita-cerita yang disebut sempalan (bagian

dari cerita sumber) dan terutama dalam cerita-cerita carangan (karya dalang sendiri yang tentu

saja berlandaskan cerita sumber) Sebenarnya, banyak cerita yang menjadi sumber cerita

wayang ( seperti cerita panji, cerita tentang asal usul seuatu daerah, dan lain-lain), namun yang

paling popular adalah Mahabharata. Biasanya para penonton telah mengenal cerita sumbernya,

sehingga mereka tidak akan begitu canggung apabila sebahagian dari cerita sumber hilang.

Demikianlah, apabila kadang-kadang alur cerita tidak begitu utuh susunannya, hal itu tidak

menjadi masalah bagi para penonton, karena sebagai tradisi lisan, ceritanya telah dikenal oleh

penonton.

2.2.2 Alur cerita

Pada umumnya, dalam Bunraku kita temukan cerita-cerita yang menampilkan

kehidupan

sehari-hari. Meskipun demikian, beberapa cerita menampilkan kehidupan yang bersumber pada

cerita tentang samurai, raja beserta lingkungannya, dan kadang-kadang juga kehidupan rakyat

kebanyakan. Beberapa tema sering muncul, seperti tema cinta, kesetiaan, pengkhianatan, dan

sebagainya. Ceritanya cenderung bersifat dramatik, sehingga penonton dapt menangis tersedu-

sedu melihat penderitaan para tokoh. Dram itu dapat begitu memikat, sehingga penonton tidak

sadar bahwa yang mereka lihat itu hanyalah sebuah drama.

Sebaliknya, dalam wayang golek, meskipun ceriteranya dapat juga betul-betul

mengharukan, namun penonton tidak terlalu lama terbawa arus kesedihan, karena sebenarnya

penonton telah mengenal ceritanya.. Mereka datang unatuk melihat pertunjukkannya, terutama

untuk menyaksikan gerakan-gerakan boneka, beberapa adegan yang mengandung kritik

terhadap pemerintah atau masyarakat, juga terhadap kondisi social yang dirasakan sendiri oleh

penonton. Selain itu, mereka datang untuk melihat adegan-adegan lucu yang biasanya

Page 17: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

dipersiapkan untuk malam hari (pertunjukan wayang berlangsung semalam suntuk) agar

penonton tidak mengantuk. scenes. Mereka juga sangat menyenangi agegan-adegan yang

heroik, yaitu adegan perang atau perkelahian antar pahlawan. Dengan demikian, penonton

tetap terjaga, meskipun waktu telah larut malam..

2.3 Pertunjukan teater.

2.3.1 Tempat pertunjukan

Bunraku dipertunjukkan dalam gedung teater dengan suasana yang resmi. Orang yang

ingin menonton pertunjukkan teater itu, harus membayar sejumlah uang (di kota besar harga

karcis pertunjukkan bisa sangat mahal), mereka berpakaian resmi, dan suasananya sama dengn

suasana pertunjukkan di teater Eropa..

Sebaliknya, dalam pertunjukkan wayang golek play, suasata sama sekali berbeda. Tidak

ada tempat tertentu bagi pertunjukkan wayang golek, karena wayang golek hanya

dipertunjukkan apabila ada permintaan dari individu atau suatu organisasi. Wayang golek

dapat diperttunjukkan di rumah pribadi, di gedung pemerintah atau gedung resmi lainnya,

bahkan juga di lapangan terbuka. Undangan pada kelompok wayang golek dilakukan apabila

ada pesta perkawinan, sunatan, atau kesempatan lain seperti ruwatan (upacara untuk mengusir

roh jahat) atau pun untuk perayaan 17 Agustus, peresmian gedung baru, dan lain-lain. Tak

diperlukan uang pembayaran untuk menonton dan selama pertunjukkan, penonton bebas keluar

masik tempat pertunjukkan. Penonton berpakaian bebas, banyak yang hanya memakai sarung

dan baju kaos, meskipun demikian hal ini juga tergantung dari tempat pertunjukkannya. Di

sekitar tempat pertunjukkan, banyak para pedagang makanan dan minuman yang datang untuk

menjual dagangannya. Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung dari tempat

pertunjukannya. Apabila diadakan di tempat yang resmi seperti di kantor pemerintah atau di

gedung pertunjukan, para penonton akan berpakaian rapi.

2.3.2 Tempat pertunjukkan

a. Peran pencerita.

sDalam Bunraku, pencerita (kadang-kadang hadir lebih dari seorang pencerita),

bercerita sambil membaca teks, diiringi oleh suatu instrumen musik yang disebut samisen.

Samisen ini sebenarnya adalah alat musik Cina, namun telah “dinaturalisasikan” sebagai

instrumen musik dari Jepang. Para pencerita, pemain boneka, dan pemain samisen harus

mempunyai kerjasama yang baik, mereka harus tampil sebagai satu tim yang utuh. (“Sangyo

Ittai”), agar pertunjukan berhasil dengan baik..

Page 18: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Dalam wayang golek, hanya satu orang, yaitu dalang yang bertindak sebagai pencerita

(narrator) maupun sebagai pemain boneka. Selain itu, dia juga penembang (penyanyi), penulis

cerita, bahkan juga manajer pertunjukkan. Mengenai pemain musik, banyak pemain musik

yang terlibat dalam pertunjukkan wayang golek, mereka membentuk suatu orkestra yang

memainkan kurang lebih 17 instrumen.

b. Komunikasi

In Bunraku, the communication between characters are verbalized by the narrator, since

it is a direct communication from the two sides. The narrator needs to change his voice

adapting to the character in play. Sometimes, the narrator tells something directed to the

audience, but the audience can not make any response since it is a one sided communication.

Dalam wayang golek, komunikasi antar tokoh, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi

dalam Bunraku. Si pencerita berbicara sebagai tokoh yang berbeda-beda, sehingga dia harus

mengubah-ubah suaranya, tergantung dari tokoh yang dimainkannya. Salah seorang dalang

bahkan membanggakan dirinya dengan mengatakan bahwa dia dapat mengubah suaranya

sebanyak 50 macam suara. Perbedaannya adalah bahwa dalam pertunjukkan wayang goleka,

dalang dapat berkomunikasi baik dengan para nayaga (pemain musik), maupun dengan para

penonton, dengan menanyakan sesuatu hal atau meminta komentar mereka tentang suatu

peristiwa atau suatu hal. Para nayaga dan penonton dapat menjawab pertanyaan si dalang dan

memberi komentar. Justru hal inilah yang sering menarik perhatian penonton, karena

percakapan dan komentar-komentar itu sering mengenai hal-hal yang mereka kenal bersama,

misalnya tentang keadaan di daerah tempat pertunjukan atau keadaan politik dan ekonomi

negara, bahkan juga tentang peristiwa mancanegara. Jadi di sini tampak beberapa lapisan

komunikasi dua arah, yaitu komunikasi antar tokoh, antara dalang dengan nayaga dan antara

dalang dengan penonton. Kadang-kadang, penonton dapat meminta lagu khusus kepada para

penembang (penyanyi, biasanya ada dua atau tiga penyanyi) dan peminta lagu itu akan

melemparkan sejumlah uang ke panggung. Komunikasi seperti ini menjadikan pertunjukkan

lebih hidup

c. Boneka

Sebagaimana telah dikemukakan terlebih dahulu, boneka dalam pertunjukkan Bunraku

terbuat dari kayu dan berukuran sebesar setengah tubuh manusia. Boneka terdiri dari kepala,

tubuh, lengan dan kaki. Namun, pada masa lalu, kimono wanita panjangnya sampai menutupi

kaki, sehingga boneka wanita dibuat tanpa kaki. Kepala, lengan dan kaki dapat dilepas-lepas,

Page 19: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

dan ujung kayu tempat kepala dimasukkan melalui badan boneka. Yang paling mengagumkan

adalah bagian kepala yang halus, konstruksinya sangat tepat dan hal ini menyebabkan kepala

boneka Bunraku itu sangat hidup. Boneka yang lebih kompleks dapat membuka dan menutup

matanya, memutar matanya, menaikkan atau menurunkan alis matanya, dan membuka atau

menutup mulutnya menurut kehendak si pemain boneka. Boneka dapat memperlihatkan

perasaan sedih atau marah. Dengan satu atau dua gerakan yang dilakukan si pemain boneka,

boneka “manusia” dapat berubah menjadi binatang, misalnya menjadi ular. Sangat menarik

setelah diketahui, bahwa untuk menggerakkan satu boneka saja, diparlukan tiga pemain

boneka. Salah satunya menggerakkan kaki, yang lain memegang tangannya dan yang lain lagi

menggerakkan kepala dan tubuhnya. Untuk menggerakkan boneka, mereka harus bekerjasama

dengan sempurna. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun (lebih dari duapuluh tahun) untuk dapat

menjadi seorang pemain boneka yang handal. Saya kira, memang kerjasama adalah cirri

masyarakat jepang.

Pada awalnya, sama seperti Bunraku, wayang memiliki bentuk manusia. Namun,

setelah kedatangan agama Islam, wayang berubah bentuk, sesuai dengan aturan agama Islam;

karena Islam, melarang pemeluknya menciptakan sesuatu yang sangat mirip dengan manusia.

Itulah sebabnya maka bentuk wayang berubah menjadi bentuk mahluk yang toh masih sangat

mirip dengan manusia, meskipun segera tampak bahwa wayang itu bukan representasi

manusia. Wajah dan tubuhnya dibuat sangat langsing, sedangkan tangannya tidak

menampilkan proporsi yang baik dengan bagian tubuh yang lain. Meskipun demikian, setiap

boneka merepresentasikan tokoh khusus. Karena boneka tidak dapat menggambarkan perasaan

tokoh, maka peran dalang dalam memainkan boneka, dalam mengemukakan ceritera dan dalam

berkomunikasi dengan penonton sangat penting. Perasaan para tokoh juga dapat diperlihatkan

melalui lagu yang ditembangkan para pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para

nayaga (pemain musik). Dalam bahasa sunda, ada ungkapan yang berasal dari kepercayaan

agama Islam, dan menyatakan “Wayang sakotak, dalangna ngan hiji” (“wayangnya sekotak,

hanya memerlukan seorang dalang”) yang berarti bahwa begitu banyak manusia di dunia hanya

memerlukan satu Tuhan.

2 .4 Kondisi masa kini.

Di Jepang, kelompok teater professional Bunraku terus hadir, seperti di Tokyo dan di

Osaka. Banyak wisatawan baik yang domestik maupun yang dari mancanegara masih

meluangkan waktu untuk menghadiri pertunjukan ini, meskipun mereka sangat sibuk.

Page 20: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Sebaliknya, di desa-desa, beberapa kelompok tradisional Bunraku (Ningyo Joruri) hanya dapat

hidup berkat bantuan dari pemerintah.

Di Indonesia, kelompok tradisional wayang golek menghadapi situasi yang lebih

buruk. Tidak ada tempat khusus untuk pertunjukan wayang golek sehingga mereka tidak dapat

mengadakan pertunjukan secara teratur. Pertunjukan hanya mungkin dilakukan atas

permintaan dalam menghadapi kesempatan-kesempatan khusus, seperti perkawinan, sunatan

atau selamatan lainnya. Jarangnya ada permintaan untuk manggung menyebabkan keberadaan

kelompok-kelompok ini terancam gulung tikar. Lagi pula, wayang golek terpaksa menghadapi

saingan yang berat, yaitu pertunjukkan musik Dangdut, yang pada masa kini makin menarik

perhatian. Masyarakat makin lama makin tertarik pada Dangdut, dan mengabaikan yang lain,

sehingga kehidupan kelompok wayang golek makin lama makin sulit. Terlebih lagi karena

hampir tidak ada bantuan dari pemerintah pada kelompok seni tradisional ini. Apabila keadaan

ini berlangsung terus, maka tidak heran apabila kelompok pertunjukan tradisional ini

menghilang dari kehidupan seni di daerah sunda.

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa penelitian ini “selesai” dilakukan. Sebenarnya

masih banyak yang perlu diteliti, namun waktu penelitian yang sempit menyebabkan hal ini

tidak sempat dilakukan. Sebenarnya, penelitian yang berfokus pada perbandingan antara

berbagai aspek budaya Asia, masih sangat jarang dilakukan. Dengan penelitian ini, tentu saja

saya tidak berpretensi melakukan penelitian tentang pengaruh. Meskipun demikian saya

menemukan banyak persamaan antara budaya Jepang dan budaya Sunda, salah satu suku

bangsa di Indonesia. Mudah-mudahan penelitian ini dapat memberi sumbangan pada saling

pengertian antara kedua bangsa. Juga diharapkan penelitian semacam ini dapat digalakkan.

Page 21: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

PUSTAKA ACUAN

Adachi, Barbara C. 1978. The voices and Hands of Bunraku Introduction by Donald Keene.

New York:Harper and Rows Publisher.

________________. 1985. Backstage at Bunraku.

Tokyo. John West.

Ando, Tsuruo. 1970. Bunraku, The Puppet Theater.k Performing Art Of Japan: I.

New York & Tokyo: A Weatherhill Book. In collaboration with

Tankosha, Kyoto.

Barthes, Roland. 1957. Mythologies.

Paris: Editions du Seuil.

Claudon, Francis & Karen Haddad Wotling. 1992. Précis de Littérature Comparée.

Paris: Nathan Université.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics First Midland Book Edition.

Bloomington: Indiana University Press.

Guritno, cs. 1989. Lordly Shades. Wayang Purwa Indonesia.

Jakarta: Jayakarta Agung Offset.

i Herbert, Mimi cs. 2002. Voices of the Puppet Masters. The Wayang Golek Theater of

Indonesia.

The Lontar Foundation. Honolulu: University of Hawaii Press.

Jajang Suryana, Drs. M. Sn. 2002. Wayang Golek Sunda. Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek.

Bandung: Kiblat Buku Utama.

Keene, Donald. 1990. No and Bunraku, Two forms Japanese Theatre.

New York: Columbia University Press.

Law, Jane-Marie. 1997. Puppet of Nostalgia. The life, death and Rebirth of the Japanese

Awaji Ningyo Tradition.

Princenton: Princenton University Press. n

Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics

Bloomingon and Indianapolis: Indiana University Press

Page 22: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Mandah, Darsimah.1999.Bunraku, teater tradisional Jepang.

Bogor: Maharini Press

Ong, Walter J. 1983. Orality and Literacy. The technologizing of the word.

London and New York: Mathuen. Ed. Terence Hawkes.

Orlani, Benito. 1995. The Japanese Theatre.u “From Shamanistic Ritual to Contemporary

Pluralism”.

Princenton : Princenton University Press.

Scott, A.C. 1963. The Puppet Theatre of Japan.

Publisher: Charles E. Tuttle Company Inc. Japan.

Shoko, Kodama, 2000. Eigo de Hanasu I Nihon No Dentou Geinou (The Complete Guide to

Traditional Japanese Perdorming Arts).

Tokyo: Kodansha International Ltd.

Schleifer, Ronald. 1987. A.J. Greimas and the Nature of Meaning: Linguistics, Semiotics and

Discourse Theory.

London & Sidney: Croom Helm.

Supandi, Atik. 1988. Tetekon Padalangan Sunda.

Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Todorov, Tzvetan. 1968. Structuralisme. 2. Poétique.

Paris: edition: Seuil

Toshio, Kawatake. 1971. A History of Japanese Theater II. “Bunraku and Kabuki”.

Japan: Kokusai Bunka Shinkokai (Japan Cultural Society)

mUbersfeld, Anne. 1978. Lire Le Théâtre.

Paris: Editios Sociales.

Weisstein, Ulrich. 1973. Comparative Literature and Literary Theory.

Bloomington & London: Indiana University Press.

Wickert, Utta and Tizar Purbaya. 1985. Wayang.

Jakarta: Intermasa.

Zoest, Aart van 1993 Semiotika (diterjemahkan oleh Ani Soekowati dari Semiotiek,

Overteken hoe ze werken en wat we ermee doen, 1978)

Jakarta: Yayasan Sumber Agung

Page 23: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks

Sumber data:

Chikamatsu. 1964. Four Major Plays of Chikamatsu.b Translated by Donald Keene.

New York: Columbia University Press.

Izumo Takeda, 1985. Sugawara and the Secrets of Calligraphy.

Edited and translated by Stanleigh H. Jones.

New York: Columbia University Press.

No Name. Recreated by Njoman S. Pendit. 1970. Mahabharata.e

Djakarta: Bhatara.

lNo name. Recreated by Sunardi, 1979. Ramayana.

Jakarta: Balai Pustaka.

Page 24: DUA JENIS SANDIWARA BONEKA: BUNRAKU DAN WAYANG GOLEKstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke_ksz/publication/hiski.okz.pdf · Berbeda dengan tradisi lisan yang mulai akan punah, teks