draft skripsi

192
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam menjalani kehidupan tidak pernah terlepas dari hal yang berhubungan dengan tempat dimana manusia tersebut tinggal. Kebutuhan manusia terhadap tempat berteduh merupakan suatu kebutuhan yang primer di samping kebutuhan terhadap sandang dan pangan. 1 Peran tempat tinggal bagi kelangsungan kehidupan sangatlah mutlak karena tempat tinggal bukan lagi sekedar tempat untuk bernaung, tetapi juga merupakan tempat untuk melindungi diri dari kondisi alam yang tidak menguntungkan. 2 Hak setiap warga untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak 1 Harun Al Rashid, Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan menurutKetentuan Peundang-undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 9 2 Suparno Sastra M dan Endy Marlina, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, hal 2

Upload: heri-herdiana

Post on 16-Nov-2015

41 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

123

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangManusia dalam menjalani kehidupan tidak pernah terlepas dari hal yang berhubungan dengan tempat dimana manusia tersebut tinggal. Kebutuhan manusia terhadap tempat berteduh merupakan suatu kebutuhan yang primer di samping kebutuhan terhadap sandang dan pangan.[footnoteRef:2] Peran tempat tinggal bagi kelangsungan kehidupan sangatlah mutlak karena tempat tinggal bukan lagi sekedar tempat untuk bernaung, tetapi juga merupakan tempat untuk melindungi diri dari kondisi alam yang tidak menguntungkan.[footnoteRef:3] Hak setiap warga untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapat pelayanan kesehatan. [2: Harun Al Rashid, Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan menurutKetentuan Peundang-undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 9] [3: Suparno Sastra M dan Endy Marlina, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, hal 2]

Bentuk manifestasi dari tempat tinggal adalah pembangunan perumahan.Pembangunan perumahan ini perlu mendapat perhatian yang serius agar tujuan pembangunan dapat tercapai dengan adil dan merata.[footnoteRef:4] [4: Ibid., hal 1]

Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang membangun kearah perkembangan industri. Tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.[footnoteRef:5] [5: Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal .1]

Relevan dengan hal tersebut, dalam Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Dari ketentuan Pasal 33 tersebut dapat dikemukakan bahwa sumber daya alam merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dalam pengertian hak bersama tersebut terdapat dua hak yang diakui yakni hak kelompok dan hak perorangan. Dalam hak bersama tersebut terdapat kewenangan negara terhadap pengaturan sumber daya alam yang terbatas. Hak bersama tersebut dibatasi oleh UUD dan dibatasi oleh tujuannya yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Serta terdapat hubungan antara negara dan rakyat, yakni menjamin apa yang menjadi hak setiap orang merupakan kewajiban negara.[footnoteRef:6] [6: Ibid., hal 20-21]

Pentingnya hak milik atas tanah yang dimiliki oleh perorangan telah disertai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang merupakan syaratformal bagi adanya perlindungan hukum dalam praktiknya. Benturan antara hak milik atas tanah dengan maraknya pembangunan ekonomi mulai banyak terjadi di dalam penguasaan dan penggunaan tanah sebagai akibat akumulasi kapital yang semakin kuat serta semakin tidak dapat dikendalikan.[footnoteRef:7] [7: Ibid., hal 11-12]

Adapun salah satu landasan dalam kebijakan pembangunan perumahan dan penyediaan tanah-tanah guna menjawab tuntutan kebutuhan perumahan dan pemukiman serta digunakan untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan perumahan dan pemukiman adalah berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 3, Tambahan Lembaran Negara No. 2611)[footnoteRef:8] yang kemudian diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang sekarang terakhir telah diubah dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman selanjutnya disebut Undang-undang perumahan dan pemukiman. Undang-Undang sebagai landasan hukum dan penjabaran kebijaksanaan pemerintah baik yang langsung maupun tidak langsung dengan pengadaan perumahan ditingkat nasional maupun daerah, sangat diperlukan dalam memberikan arahan dan rambu-rambu dalam pelaksanaan di lapangan.[footnoteRef:9] [8: Suparno Sastra M dan Endy Marlina, op.cit, hal 33] [9: Bambang Panudju, Pengadaan Perumahan Kota Dengan Peran Serta MasyarakatBerpenghasilan Rendah. PT. Alumni, Bandung, 2009, hal 20]

Undang-undang Perumahan dan Pemukiman menyebutkan bahwa perumahan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan sedangkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan hutan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.[footnoteRef:10] [10: Ibid., hal 4]

Penyediaan tanah untuk pemenuhan kebutuhan penduduk untuk jangka pendek, menengah dan panjang, perlu dilakukan melalui pengembangan permukiman skala besar melalui kawasan siap bangun, dan kaveling tanah matang yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten dan Kota. Pengembangan permukiman skala besar tersebut di samping bertujuan untuk membatasi kemungkinan terjadinya spekulasi tanah, dimaksudkan pula untuk mendorong pemanfaatan tanah, memudahkan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas lingkungan yang efisien.Perbuatan hukum seperti jual beli tidak dapat dipungkiri sering dilakukan dalam penyediaan tanah untuk kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada hakekatnya perjanjian jual beli ini bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang yang diperjualbelikan, karena dalam jual beli pihak penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya itu kepada pembeli, sedangkan pihak pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga dari barang itu kepada pihak penjual. Namun perjanjian jual beli sendiri belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan.[footnoteRef:11] [11: R. Wiryono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1983, hal 56]

Peralihan/ pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak atau barang/ benda, bergerak atau tidak bergerak. Perbuatan hukum itu dapat meliputi antara lain jual beli, hibah, hibah wasiat, tukar menukar, pemisahan dan pembagian harta bersama/ warisan, pemasukan harta ke dalam perseroan terbatas (inbreng), untuk memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah harus diwujudkan suatu perbuatan hukum berupa perjanjian dengan akta PPAT.[footnoteRef:12] [12: Jhon Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal.37]

Jual beli tanah adalah salah satu bentuk hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang telah bersepakat untuk saling meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik yang lazimnya disebut dengan perjanjian yang menganut asas obligator (Pasal 1313 KUH Perdata). Di lain pihak, UUPA sebagai landasan yuridis yang mengatur masalah agraria di Indonesia tidak mengatur secara tegas tentang jual beli tanah, baik pengertiannya maupun prosedurnya. Dalam hal ini Pasal 26 ayat (1) UUPA hanya menyebutkan bahwa: jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemeritah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang dalam Pasal 19 disebutkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak milik atas tanah, memberikan hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungannya harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 ini kemudian dicabut dan disempurnakan aturannya dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997. Dalam ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tersebut ditentukan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga berdasarkan pasal ini jelas bahwa hak atas tanah berpindah karena jual beli setelah dilakukan peralihan hak dihadapan PPAT.[footnoteRef:13] [13: Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.90]

Relevan dengan hal tersebut, Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (PERUM PERUMNAS) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum) dimana keseluruhan sahamnya dimiliki oleh pemerintah. Perusahaan didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1974, diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1988, dan disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2004 tanggal 10 Mei 2004.Perum Perumnas mempunyai tugas pokok menyediakan perumahan danpermukiman bagi masyarakat menengah bawah Indonesia. Sebagai salah satunyalembaga milik Negara yang bertugas melaksanakan kebijakan pemerintah di sektor perumahan. Dengan wilayah kerja yang mampu menjangkau keseluruh provinsi Indonesia dari sabang sampai Merauke, Perumnas optimis bisa menjadi pelaku utama penyedia perumahan permukiman bagi masyarakat menengah bawah Indonesia.Perumnas dalam bentuk Perum, mengindikasikan sifat yang ganda, yaitu sebagai lembaga yang bertugas menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum (aspek sosial) dan sekaligus sebagai unit usaha yang diharapkan dapat memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, sehingga dengan karakter tersebut, pendirian Perumnas dimaksudkan untuk dapat: (1) Menggerakan peran serta pemerintah, usaha swasta dan masyarakat dalam kegiatan perumahan dan pemukiman, baik melalui pelaksanaan pembangunan maupun konsultasi dan advokasi dalam rangka mendorong pengembangan wilayah/kawasan yang terarah dan terpadu, guna meningkatkan kualitas kehidapan masyarakat dan (2) Mengembangkan perumahan dan pemukiman, baik yang bersifat ekstensifikasi maupun intensifikasi wilayah/ kawasan melalui kegiatankegiatan antara lain: penyediaan lahan, pelaksanaan, pengelolaan, konsultasi perencanaan dan penyediaan dana melalui usaha sendiri atau bekerja sama dengan mitra usaha.Secara garis besar tugas pokok perum perumnas adalah: (1) melaksanakan kebijakan pembangunan perumahan rakyat dan prasarana lingkungan yang telah direncanakan dan ditetapkan oleh perusahaan; (2) Melaksanakan pembangunan di atas tanah yang dikuasai oleh Perum Perumnas yang beraada dibawah penguasaannya dengan kewenangan yang diberikan oleh perusahaan; (3) Mengolah tanah-tanah yang dikuasainya dengan kewenangan untuk: (a) Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; (b) Menyerahkan bagian-bagian dari pada tanah tersebut berikut rumah dan bangunannya atau memindahkannya (menjual) tanah yang sudah dimatangkan (dalam bentuk kavling berikut prasarana yang diperlukan kepada pihak ke tiga); dan (4) melakukan hubungan kerja dan hal-hal yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugasnya.Relevan dengan hal tersebut, praktik penyerahan tanah kavling siap bangun (KSB) antara pengembang dan pembeli di Kota Tasikmalaya masih dinilai kurangnya kepastian hukum, baik dengan adanya klausul perjanjian penyerahan tanah kavling (KSB) siap bangun yang dalam perjanjian tersebut disebutkan adanya durasi waktu untuk memulai pembangunan rumah dan apabila dalam tenggang waktu tersebut belum juga dilakukan pembangunan rumah maka kavling tersebut diambil alih, kemudian status hak tanah yang telah diserahkan kepada pembeli juga mengenai penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian tersebut. Relevan dengan hal tersebut, dalam skripsi ini penulis tertarik untuk menganalisis permasalahan tersebut dan mengambil judul Praktik Perjanjian Penyerahan Tanah Kavling Siap Bangun (KSB) antara Pengembang dan Pembeli. B. Identifikasi MasalahBerdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:1. Bagaimana penyelesaian jika terjadi sengketa yang disebabkan oleh tidak ditaatinya klausul dalam perjanjian tersebut ?2. Bagaimana status tanah yang sudah dialihkan kepada pembeli tetapi tidak dipergunakan seperti yang diperjanjikan ?

C. Tujuan PenelitianTujuan dalam penelitian ini adalah:1. Untuk mengetahui solusi jika terjadi sengketa antara kedua belah pihak yang disebabkan oleh tidak ditaatinya klausul dalam perjanjian tersebut.2. Untuk mengetahui status tanah yang sudah dialihkan kepada pembeli tetapi tidak dipergunakan seperti yang diperjanjikan.

D. Kegunaan PenelitianDalam penelitian ini kegunaan utama dari penelitian ini diharapkan tercapai, yaitu:1. Kegunaan secara teoritis.Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai referensi tambahan pada program studi S1 Ilmu Hukum STHG Tasikmalaya, khususnya mengenai praktik perjanjian penyerahan tanah kavling siap bangun (KSB) antara pengembang dan pembeli.2. Kegunaan secara praktis.Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

E. Kerangka PemikiranDalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum seperti jual beli. Dalam melakukan perbuatan hukum seperti perjanjian jual beli, para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang seluasluasnya tanpa memperhatikan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenangan, dan penyalahgunaan keadaan.Pasal 1339 KUHPerdata juga disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang serta ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam hubungan ini, dapat dilihat bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan serta harus dapat memberi rasa keadilan pada masyarakat. Sehingga suatu perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan harus dapat memberi rasa keadilan dan perlindungan.Relevan dengan hal tersebut, maka dalam penulisan hukum diperlukan kerangka konsepsional. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.[footnoteRef:14] Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.[footnoteRef:15] [14: Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, 2008. Hlm 132] [15: M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu danPenelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm 80]

Relevan dengan kerangka konsep, kerangka pikir dalam penelitian ini supaya tidak terjadi perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu:1. PerjanjianPerjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih salingmengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.2. KavlingDalam kamus besar disebutkan kaveling adalah bagian tanah yang sudah dipetak-petak dengan ukuran tertentu untuk bangunan atau tempat tinggal.[footnoteRef:16] Menurut Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan. [16: Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal 518]

3. Perumahan dan kawasan pemukimanDalam peraturan perundang-undangan perumahan dan pemukiman, Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.4. PerumahanDalam peraturan perundang-undangan perumahan dan pemukiman disebutkan perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.5. PemukimanDalam peraturan perundang-undangan perumahan dan pemukiman juga disebutkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.6. Lingkungan Siap Bangun yang selanjutnya disebut LisibaMenurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011, Lisiba adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari Kasiba ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.

7. Kelembagaan KasibaLembaga atau badan yang dibutuhkan untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan penyiapan maupun pelaksanaan pengisian Kasiba tersebut, yang melibatkan lembaga-lembaga terkait, diantaranya:a. Pemerintah, yang berwenang melakukan penunjukkan BUMN, BUMD atau badan usaha lain yang akan menjadi Badan Pengelola Kasiba.b. Badan Pengelola, adalah Badan Usaha Milik Negara dan Badan lain yangdibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi sebagai pengelola Kasiba termasuk Badan Usaha Milik Daerah;c. Badan Usaha, adalah badan yang kegiatan usahanya di bidang pembangunan perumahan dan permukiman yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;d. Penyelenggara, adalah kelompok masyarakat pemilik tanah atau badan usaha yang ditetapkan oleh Badan Pengelola untuk membangun Lisiba atau ditunjuk oleh Pemerintah Daerah untuk membangun Lisiba yang berdiri sendiri.8. Pengelola perumahanDalam Surat Edaran Menteri No: 01/ SE/ DK/ 2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang Berdiri Sendiri disebutkan badan pengelola adalah Badan Usaha Milik Negara dan atau Badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi sebagai Pengelola Kawasan siap bangun termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah dimaksud adalah Badan Usaha swasta yang bergerak di bidang perumahan dan permukiman yang menjalankan misi dan bekerjasama dengan Pemerintah.9. Pengembang perumahan (developer)Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa Inggris artinya adalah pembangun perumahan. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer. Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya.Developer dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen masuk dalam kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

10. Perum PerumnasPerusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional atau disingkat Perum Perumnas adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang bergerak di bidang perumahan dan pemukiman. Perusahaan yang didirikan pada 18 Juli 1974 ini telah melaksanakan pembangunan perumahan dan pemukiman lebih kurang 400 lokasi di Indonesia dengan total 500.000 unit rumah.[footnoteRef:17] [17: Vide, Company Profil Perum Perumnas.]

F. Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif,[footnoteRef:18] dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Metode pendekatan hukum normatif dipergunakan dengan titik tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perumahan dan perjanjian. [18: Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal 14]

Metode penelitian berasal dari kata Metode dan Logos. Metode yang artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.[footnoteRef:19] [19: Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal 1]

Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.[footnoteRef:20] [20: Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan singkat,Rajawali Pres, Jakarta, 1985, hal 1]

1. Spesifikasi PenelitianSpesifikasi penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.[footnoteRef:21] [21: Ibid, hal 43]

Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.[footnoteRef:22] [22: Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 38]

2. Teknik Pengumpulan DataPada penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan Hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan perumahan dan perjanjian. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.3. Alat Pengumpulan DataPenelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/studi dokumen (documentary study) dan didukung oleh penelitian lapangan (Field Research). Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) ini dimaksudkan untuk memperoleh data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, dengan memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan, akurasi datanya serta aktualitas. Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini juga didukung oleh data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research).4. Analisis DataAnalisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, [footnoteRef:23]yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.[footnoteRef:24] Lexy J. Moleong dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif, menjelaskan bahwa penelitian yang menggunakan metode ini memakai logika berpikir induktif, suatu logika yang berangkat dari kaidah-kaidah khusus ke kaidah yang bersifat umum. [23: Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992, hal 15-20] [24: Ibid., hal 15]

Dengan demikian rangkaian kegiatan analisis data yang diperlukan dalam penelitian penulis adalah sebagai berikut: semua data yang telah diperoleh terlebih dahulu diolah agar dapat memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dimana data-data yang diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer maupun data sekunder, dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang tidak penting untuk menjawab permasalahan. Dipilih dan disistematisasi berdasar kualitas kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji melalui pemikiran yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.[footnoteRef:25] [25: Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 32]

BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian PerjanjianDefinisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.[footnoteRef:26] Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/ kata sepakat). [26: Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97 ]

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.[footnoteRef:27] [27: Ibid., hal. 97-98 ]

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[footnoteRef:28] R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[footnoteRef:29] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.[footnoteRef:30] Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). [28: Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36 ] [29: R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49 ] [30: Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset, yogyakarta, 2003, hal. 1. ]

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur:1. PerbuatanPenggunaan kata Perbuatan pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebihUntuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/ pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. 3. Mengikatkan dirinyaDi dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.[footnoteRef:31] [31: Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar grafika, 2007), Hal. 124. ]

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.[footnoteRef:32] [32: Ibid, hal. 120 ]

B. Syatat Syahnya PerjanjianMenurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:1. Adanya kata sepakat;2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;3. Adanya suatu hal tertentu;4. Adanya causa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang hams dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Kata sepakatKata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[footnoteRef:33] [33: Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4. ]

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.[footnoteRef:34] [34: J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1993, hal. 129 ]

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti,[footnoteRef:35] yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. [35: Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24. ]

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian: 1) Orang yang belum dewasa2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan3) Orang perempuan/ isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.[footnoteRef:36] Namun dalam Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. [36: Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 78. ]

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut: Pasal 433: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Pasal 345:Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/ isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.c. Adanya suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

d. Adanya suatu sebab/ kausa yang halalYang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,[footnoteRef:37] sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. [37: Sri Sofwan Masjchon, Hukum Jaminan ..op cit, hal. 319 ]

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.

C. Asas-asas dalam Hukum PerjanjianAsas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.1. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:[footnoteRef:38] [38: Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 4. ]

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.[footnoteRef:39] [39: Ibid., hal. 4 ]

2. Asas konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah semua. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.[footnoteRef:40] [40: Mariam Darus Badrulzaman, Perdata Buku III, Op. Cit., hal. 113 ]

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.3. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya hakim untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:a. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;b. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

4. Asas itikad baik Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).[footnoteRef:41] [41: Subekti, Hukurn Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42. ]

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.5. Asas kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

D. Jenis-jenis PerjanjianMengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.[footnoteRef:42] [42: R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10 ]

3. Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barangb. Perikatan untuk berbuat sesuatuc. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut:1) Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang, ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.2) Perikatan untuk berbuat sesuatu, hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.3) Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,[footnoteRef:43] membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu: [43: R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 35.]

a) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian. b) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.c) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.d) Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.e) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.f) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:[footnoteRef:44] [44: Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III,Op. cit, hal. 90-93. ]

(1) Perjanjian timbal balik.Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli. (2) Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.[footnoteRef:45] Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. [45: Pasal 1314 KUH Perdata, "Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masingmasing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. ]

(3) Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli. (4) Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).(5) Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.(6) Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.(a) perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;(b) perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.(c) perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.(d) perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas. Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham, yaitu:[footnoteRef:46] [46: Ibid., hal. 90-91 ]

(a) Faham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic).(b) Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).(c) Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).

E. Wanprestasi dan Resiko dalam Perjanjian1. Wanprestasi dalam PerjanjianPrestasi adalah suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia dikatakan wanprestasi (kelalaian).[footnoteRef:47] [47: Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, 2006, hal 228]

Dalam setiap perjanjian pelaksanaan perjanjian merupakan hal yang utama, akan tetapi para pihak dalam melaksanakan perjanjiannya adakalanya tidak melaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya dan adakalanya salah satu pihak melakukan suatu kelalaian baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat berupa:a. Tidak melaksanakan apa yang disepakati dalam perjajian tersebut.b. Melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian, akan tetapi tidak selesai pada waktunya.c. Melaksakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian, akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan isi dari perjanjian.d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.[footnoteRef:48] [48: Ibid]

Selanjutnya apabila terjadi hal-hal tersebut di atas dalam pelaksanaan suatu perjanjian, maka pihak yang dirugikan berhak untuk mendapat ganti kerugian. Ganti kerugian ini dapa berupa :

1) Ia dapat meminta pelaksanaan Perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat.2) Ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang di deritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana semestinya.3) Ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.4) Dalam hal suatu perjanjian yang meletakan kewajiban timbal-balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak lain untuk meminta kepada Hakim, supaya perjanjian di batalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.Menurut R. Subekti, Pelaksanaan pokok perjanjian dinamakan prestasi primair, sedangkan ganti kerugian dinamakan prestasi subsidair, Jadi ganti kerugian tersebut di atas termasuk ke dalam prestasi subsidair.

2. Resiko dalam PerjanjianMengenai pengertian resiko R. Subekti, mengatakan sebagai berikut: Kata resiko, berarti kewajiban untuk memikul kerugian, jikalau ada suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam pejanjian.[footnoteRef:49] [49: Subekti, Op cit, hal 144]

Dari pengertian resiko tersebut dapat dikatakan, bahwa persoalan resiko berpokok pangkal kepada kejadian yang dalam Hukum Perjanjian dinamakan keadaaan memaksa (Overmacht) atau (Force mayeur). Dengan demikian persoalan resiko dapat dikatan berbuntut dari keadaan memaksa.Menurut R.M. Suryodiningrat: Keadaan memaksa adalah peristiwa yang terjadi di luar kesalahan debitur setelah dibuat perikatan yang debitur tidak dapat memperhitungkan terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan atau sepatutnya tidak dapat memperhitungkan dan juga memperintangi pelaksanaan pelaksanaan perikatan.[footnoteRef:50] [50: Suryodiningrat, Op cit, hal 36]

Mengenai resiko dalam Pasal 1237 KUH Perdata menetapkan yaitu: Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu keadaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.[footnoteRef:51] [51: Pasal 1237, Buku Ke III BAB I Bagian ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal 295]

Yang dimaksud oleh Pasal tersebut, yaitu suatu perjanjian yang meletakan kewajiban hanya pada satu pihak saja (Eenzijdige overeenkomst), Akan tetapi menurut ayat keduanya dari Pasal tersebut:Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka saat sejak kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya. Berarti, jika si berutang itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan barangnya, maka sejak saat itu resiko berpindah di atas pundaknya, meskipun ia masih dapat dibebaskan dari pikulan resiko itu, jika ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut juga akan dihapus jika sudah ada di tangan si berpiutang sendiri.Selain perjajian yang bersifat sepihak/ meletakan kewajiban hanya sepihak saja, ada juga perjajian yang meletakan kewajiban kedua belah pihak, yaitu yang dinamakan Perjanjian Timbal-Balik (Wederkerige Overeenkomst).Yang terdapat dalam Pasal 1545 KUH Perdata menetapkan bahwa: Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar salah satu pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang telah diberikan dalam tukar menukar.[footnoteRef:52] [52: Pasal 1545, Buku Ke III BAB VI Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal 348]

Dengan kata lain, resiko di sini diletakan di atas pundak si pemilik barang sendiri, dan hapusnya barang sebelum penyerahan membawa pembatalan perjanjian.Apabila kita melihat uraian pada Pasal 1545 KUH Perdata dan kita bandingkan dengan Pasal 1460 KUH Perdata yang menyatakan: Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah di tentukan, maka barang itu sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya.[footnoteRef:53] [53: Pasal 1460, Buku Ke III BABV Bagian ke I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal 335]

Maka kita akan melihat ketentuan yang saling bertentangan. Jadi manakah yang menjadi asas atau pedoman bagi suatu perjanjian yang meletakan kewajiban yang timbal-balik pada umumnya, sudah selayaknya dan seadilnya apabila yang ditetapkan untuk pertukaran pada Pasal 1545 KUH Perdata ini yang harus dipandang sebagai asas yang berlaku pada umumnya, sedangkan apa yang ditetapkan dalam Pasal 1460 KUH Perdata dalam hal perjanjian jual-beli dipandang sebagai pengecualian.

F. Berakhirnya PerjanjianMengenai berakhirnya perjanjian KUH Perdata tidak mengatur secara khusus tersendiri, tetapi dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata sebagai 10 (sepuluh) cara hapusnya perikatan.Cara-cara tersbut adalah:1. Pembayaran.2. Penawaran pembayaran tunai diikiuti dengan penyimpanan/ atau penitipan.3. Pembaharuan utang.4. Perjumpaan utang atau konpensasi.5. Percampuran utang.6. Pembebasan utang.7. Musnahnya barang yang terutang.8. Batal atau pembatalan.9. Lewat waktu. 10. Berlakunya suatu syarat batal.[footnoteRef:54] [54: Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, 2001, hal 152]

a. Karena PembayaranYang dimaksud dengan kata pembayaran menurut Undang-undang yaitu pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.[footnoteRef:55] [55: Ibid]

Jadi perkataan pembayran itu oleh undang-undang tidak selalu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan pembayaran, bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaan untuk majikannya dikatakan membayar.

b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan atau PenitipanPembayaran seperti ini dimaksudkan, apabila si berpiutang tidak suka menerima pembayaran tersebut, barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat.Penawaran dan peringatan tersebut harus dilakukan secara resmi, misalnya oleh seorang Jurusita yang membuat proses Verbal dari perbuatannya itu, sedangkan penyimpanan dapat dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan diberitahukan kepada si berpiutang. Jika cara-cara ynag ditetapkan oleh undang-undang dipenuhi dangan disimpannya barang tersebut si berpiutang telah dibebaskan dari hutangnya.[footnoteRef:56] [56: Ibid, hal 156]

c. Pembaharuan Utang (Novasi)Pembaharuan utang adalah suatu perbuatan perjanjian baru yang menghapuskan perikatan lama sambil meletakan perikatan baru.[footnoteRef:57] [57: Ibid]

Menurut Pasal 1415 KUH Perdata, kehendak untuk mengadakan suatu pembaharuan utang itu harus secara jelas dari perbuatan para pihak.d. Perjumpaan Utang atau KonpensasiPerjumpaan utang ini terjadi jika orang yang berhutang mempunyai suatu piutang pada si berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada lainnya, maka utang piutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama dan kepada kedua piutang itu harus mengenai uang atau mengenai jumlah barang yang sama atau semacamnya.Menurut Pasal 1426 KUH Perdata adalah sebagai berikut: Perjumpaan terjadi demi hukum bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang berutang, dan kedua piutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya, pada saat utang-utang itu bersama-sama. Dalam arti bahwa perhitungan itu terjadi dengan sendirinya.[footnoteRef:58] [58: Pasal 1426, Buku Ke III Bagian ke IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal 328]

e. Pencampuran UtangPencampuran utang ini bisa tejadi, misalnya jika si berhutang kawin dalam pencampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang menggantikan hak-hak si piutang karena menjadi ahli warisnya atau sebaliknya.[footnoteRef:59] [59: Op cit, hal 154]

f. Pembebasan utangPembebasan utang ini adalah salah suatu perjanjian baru dimana si berpiutang dengan sukarela membebaskan berhutang dari pada kewajibannya.[footnoteRef:60] [60: Ibid, hal 159]

Perikatan utang piutang itu hapus karena pembebasan kalau pembebasan itu diterima oleh si berhutang.

g. Musnahnya Barang yang TerhutangMengenai musnahnya barang ini Undang-undang mengatur dalam Pasal 1444 KUH Perdata yang menetapkan sebagai berikut: Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah tidak dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.[footnoteRef:61] [61: Ibid]

Meskipun ia lalai menyerahkan barang itu, iapun akan bebas dari perikatan hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaanya. Barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama seandainya barang itu sudah berada di tangan si berpiutang.

h. Kebatalan Perjanjian atau Pembatalan PerjanjianPembatalan perjanjian ini dapat dilakukan, apabila perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut Undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan kehilapan atau penipuan atau karena bertentangan dengan Undang-undang.Dari uraian tersebut dapat disimpulkan batal ada dua macam, yaitu:1) Dapat dibatalkan.2) Batal demi Hukum.[footnoteRef:62] [62: Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, 2001, hal 160]

Dapat dibatalkan, artinya perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak kepada Pengadilan. Jadi sebelum ada keputusan atau pembatalan dari pengadilan, perjanjian tersebut masih tetap berlaku.

Batal demi hukum, artinya perjajian tersebut sejak semula tidak sah, atau dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.

i. Lewat WaktuMengenai lewatnya waktu atau daluwarsa Undang-undang mengatur dalam Pasal 1946 KUH Perdata yang mengatakan sebagai berikut: Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh suatu atau untuk membebaskan diri dari suatu perikatan. Lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.[footnoteRef:63] [63: Pasal 1946, Buku Ke IV Bab ke VII Bagian ke I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal 449]

Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa akwisitif, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau suatu tuntutan dinamakan daluwarsa ekstintif.Mengenai berakhirnya suatu perjanjian harus dibedakan dengan berakhirnya atau hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat saja hapus, sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada.Sebaliknya berakhirnya perjanjian dapat mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan berlakunya suatu syarat batal, misalnya sebagai akibat dari pembatalan berdasarkan wanprestasi (Pasal 1266 KUH Perdata) maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan-periktan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi, dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan.Dalam hal berakhirnya perjajian R. Setiawan, dalam bukunya yang berjudul Pokok-pokok Hukum Perikatan menyatakan ada beberapa hal mengenai berakhirnya perjanjian atau yang dapat menghapuskan perjanjian, yaitu :Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak, misalnya, persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.Undang-undang menetukan batas berlakunya suatu pesetujuan. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat 3 KUH Perdata para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tetentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu persetujuan tertsebut oleh ayat 4 Pasal 1066 KUH Perdata dibatasi berlakunya untuk selama lima tahun.Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan, bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus. Misalnya, perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh, terdapat dalam Pasal 1603 j KUH Perdata. Persetujuan hapus karena keputusan Hakim.Pernyataan menghentikan persetujuan (Opzegging). Opzegging dapat dilkukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada persetujuan yang bersifat sementara.[footnoteRef:64] [64: R Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Putra A Bardian, 1999., hal 69]

j. Berlakunya Suatu Syarat BatalYang dimaksud dengan berlakunya suatu syarat di sini adalah perjanjian itu batal, apabila dipenuhinya suatu syarat batal dalam perjanijan yang dibuat, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian.Pasal 1265 KUH Perdata menyebutkan: Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi menghentikan perikatan, dan membawa suatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian.[footnoteRef:65] [65: Pasal 1265, Buku Ke III Bagian ke V Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal 300]

Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan. Hanya ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.

BAB IIIPERJANJIAN PENYERAHAN TANAH KAVLING SIAP BANGUN (KSB) ANTARA PENGEMBANG DENGAN PEMBELI

A. Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian Penyerahan Tanah Kavling Siap Bangun (KSB) Antara Pengembang dengan PembeliDengan lahirnya perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Mengenai hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Mengenai hak dan kewajiban menjelaskan bahwa:[footnoteRef:66] [66: Subekti. R. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal 29]

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian mempunyai dua sudut, yaitu kewajiban-kewajiban (obligatoir) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat yang diperoleh pihak lainnya, yaitu hak-hak untuk dilaksanakannya suatu yang disanggupi oleh kontrak itu. Lazimnya suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral, artinya suatu pihak memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak-hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikannya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu.

Hubungan antara hak dan kewajiban di antara para pihak seyogianya merupakan hubungan yang logis. Oleh karena itu, pada dasarnya dapat dikatakanbahwa: (1) Perangkat hak adalah berbanding terbalik dengan perangkat kewajiban dan (2) Perangkat hak dan kewajiban salah satu pihak adalah berbanding terbalik dengan perangkat hak dan kewajiban pihak lainnya.Relevan dengan hal tersebut, hak dan kewajiban antara pihak pengembang dan pihak pembeli dan/ atau pihak pertama dan pihak kedua dalam perjanjian penyerahan tanah kavling siap bangun (KSB) adalah sebagai berikut:1. Hak dan Kewajiban Pengembanga. Hak PengembangAdapun hak yang diterima oleh pengembang (pihak pertama dalam perjanjian tersebut) adalah:1) Berhak menerima uang ganti kerugian sebesar Rp 33.000.000,00 (tiga puluh tiga juta rupiah) yang diperoleh dari pembeli.2) Memperoleh kembali hak atas tanah karena perjanjian penyerahan tanah kavling siap bangun (KSB) batal demi hukum.3) Memperoleh hak atas bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut karena perjanjian penyerahan tanah kavling siap bangun (KSB) batal demi hukum.b. Kewajiban PengembangAdapun hak yang diterima oleh pengembang (pihak pertama dalam perjanjian tersebut) adalah:1) Pengembang berkewajiban memberikan dan merealisasikan jaminan yang dijaminkan kepada pembeli.2) Berkewajiban bertindak apabila pembeli tidak melaksanakan kewajibannya dan/ atau wanprestasi seperti yang disepakati dalam perjanjian penyerahan tanah kavling siap bangun (KSB).2. Hak dan Kewajiban Pembelia. Hak PembeliAdapun hak yang diterima oleh pembeli (pihak kedua dalam perjanjian tersebut) adalah:1) Pihak pembeli berhak untuk menerima konsekuensi jaminan dari pemberian jaminan oleh pengembang.2) Berhak untuk menerima penggunaan tanah kavling siap bangun (KSB).3) Melaksanakan pembangunan rumah tinggal dengan design sendiri.4) Memindahtangankan kepada pihak ketiga.5) Apabila terjadi sengketa, memilih Pengadilan Negeri Kelas 1 B di Kota Tasikmalaya.b. Kewajiban PembeliAdapun kewajiban yang harus dipenuhi pembeli (pihak kedua dalam perjanjian tersebut) adalah:1) Kewajiban yang harus dipenuhi oleh pembeli adalah membayar uang ganti kerugian sebesar Rp 33.000.000,00 (tiga puluh tiga juta rupiah) terhadap pengembang.2) Membayar biaya-biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta, seperti biaya pembuatan akta, materai-materai, biaya IMB (Izin Mendirikan Bangunan), biaya pengurusan sertifikat hak milik atau sertifikat hak guna bangunan dan perpanjangannya.3) Membangun dan menggunakan tanah yang diserahkan penggunaannnya untuk keperluan rumah tinggal serta wajib mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai penggunaannya.4) Menyelesaikan/ mengurus surat izin mendirikan bangunan (IMB) dan menyerahkan salinannya (copynya) kepada pihak pengembang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) bulan sejak akta ditandatangani atas biaya pembeli sepenuhnya.5) Menyelesaikan pembangunan rumah sampai berfungsi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam) bulan sejak akta ditandatangani dengan ketentuan bahwa pembangunan rumah boleh dimuali setelah pihak pembeli memperoleh surat izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah daerah seetempat dan design bangunan rumah dapat ditentukan oleh pembeli.6) Dilaksanakan penyambungan aliran listrik dan saluran air minum pada bangunan rumah tinggal tersebut atas biaya pihak pembeli sepenuhnya.

B. Jaminan Perjanjian Penyerahan Tanah Kavling Siap Bangun (KSB)Adapun jaminan yang dijaminkan oleh pengembang terhadap pembeli dalam perjanjian penyerahan tanah kavling siap bangun (KSB) ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 (dalam perjanjian tersebut) menegaskan bahwa: pihak pertama menjamin kepada pihak kedua, bahwa pihak kedua tidak akan mendapatkan tuntutan, gangguan dan/ atau gugatan dari pihak manapun mengenai apa yang diserahkan penggunaannya dengan akta ini dengan membebaskan pihak kedua dari segala tuntutan, gangguan dan/ atau gugatan mengenai hal-hal tersebut.Pengembang juga menjamin bahwa pembeli atas tanah yang diserahkan penggunaannya oleh pihak pengembang dengan akta akan diberikan status hak milik apabila memenuhi persyaratan untuk dimohonkan menjadi hak milik sebagai mana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1998, tanggal 21-01-1998 (dua puluh satu januari seribu Sembilan ratus Sembilan puluh delapan) dengan sertifikat yang bersangkutan. Apabila tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh hak milik, maka akan diberikan status hak guna bangunan sesuai dengan ketentuan agraria yang berlaku.

C. Tanah Kavling Siap Bangun (KSB)Kekurangan perumahan hanya dapat diatasi dengan menambah jumlah perumahan yang ada, serta diberikan kebebasan kepada rakyat untuk membangun dan menetapkan penggunaannya, dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk dari pihak-pihak yang berwenang. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 Tahun 1974, untuk maksud dan tujuan maka developer menyelenggarakan usaha-usaha sebagai berikut:1. Mempersiapkan perencanaan proyek-proyek pembangunan perumahan dalam arti luas dan prasarana lingkungan.2. Mengusahakan pembiayaan dan diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugasnya.3. Menyiapkan dan melaksanakan/ mengendalikan pelaksanaan proyek-proyek prasarana lingkungan yang mencakup penguasaan dan pematangan tanah, pembangunan perumahan, pembangunan prasarana lingkungan, perbaikan lingkungan serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan itu.4. Mengelola tanah-tanah yang dikuasainya, dengan kewenangan untuk:a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya.c. Menyerahkan bagian-bagian dari pada tanah tersebut berikut rumah dan bangunannya dan atau memindahkan (menjual) tanah yang sudah dimatangkan (dalam bentuk Kapling berikut prasarana yang diperlukan) kepada pihak ketiga.Relevan dengan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa dalam melakukan kegiatan pembangunan perumahan, developer juga menyiapkan Kapling Siap Bangun untuk dijual.Berdasarkan Lampiran keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 01/ XPTS/ 1989 pengertian Kapling Siap bangun adalah: lahan matang yang terencana dalam suatu lingkungan perumahan dengan prasarana lingkungan berupa jalan setapak berkonstruksi sederhana dengan daerah manfaat jalan 2,8 meter serta dilengkapi dengan utilitas umum dan fasilitas sosial berupa jaringan listrik, air bersih, MCK (mandi, cuci, kakus) untuk umum, tempat bermain dan warung Untuk pembangunan Kapling Siap Bangun, oleh Menteri Pekerjaan Umum No. 01/ XPTS/ 1989 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Kapling Siap Bangun (KSB). Dalam surat keputusan tersebut antara lain ditetapkan:a. Persyaratan pembangunan Kapling Siap Bangun adalah:1) Perencanaan, Pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kapling siap bangun beserta lingkungannya harus dilaksanakan oleh tenaga ahli dalam bidangnya.2) Pelaksanaan pembangunan lingkungan Kapling Siap Bangun baru dapat dimulai sesudah ada ijin dari instansi yang berwenang.3) Persyaratan-persyaratan administratif yang menyangkut pengadaan tanah, perencanaan proyek serta legalitas dan bonafiditas perusahaan pembangunan Kapling Siap Bangun (developer) harus mengikuti harus mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.b. Lingkungan Kapling Siap Bangun.Pembangunan Kapling Siap Bangun sebaiknya dilakukan pada sekitar lokasi pembangunan lingkungan perumahan sederhana dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan jarak maksimum radius 1 (satu) kilo meter, sehingga secara menyeluruh membentuk satuan lingkungan perumahan yang terdiri dari kapling tanah matang, rumah sederhana, rumah inti dan Kapling Siap Bangun. Hal ini dimaksudkan agar lingkungan Kapling Siap Bangun dapat memanfaatkan prasarana lingkungan, utilitas umum, dan fasilitas social perumahan sederhana tersebut.Dalam menentukan Kapling Siap Bangun harus sudah mendapat ijin dari Pemerintah Daerah dan telah dilakukan penyelidikan awal dalam hal kondisi tanah, topografi, dan lingkungan sekitarnya.c. Kriteria Pemilihan Lokasi Kapling Siap Bangun.Dalam membangun Kapling Siap Bangun harus tersedia lahan yang cukup. Luas tanah untuk lokasi pembangunan Kapling Siap Bangun minimal dapat diperuntukkan untuk membangun 50 (lima puluh) unit rumah yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum, dan fasilitas sosial perumahan.d. Prasarana Lingkungan Kapling Siap Bangun.Untuk pembangunan lingkungan Kapling Siap Bangun harus disediakan prasarana lingkungan berupa jalan setapak dan saluran lingkungan yang berstandar sebagai berikut:1) Jalan setapakLebar badan jalan setapak maksimum 2 meter, lebar perkerasan 1,20 meter dengan konstruksi dengan rabat beton 1 pc : 3 pasir, 5 koral, tebal 7 cm atau bahan lain yang setara. Dikiri kanan perkerasan di buat bahu jalan masing-masing dengan lebar 0,40 meter untuk penempatan tiang-tiang listrik dan pipa-pipa saluran lingkungan.

2) SaluranSaluran untuk pembuangan air hujan/ limbah harus direncanakan sedemikian rupa sehingga lingkungan Kapling yang ada terbebas dari genangan air.e. Utilitas Umum dan Fasilitas sosial.Utilitas umum dan fasilitas sosial diantaranya:1) Jaringan air bersih dan jaringan listrik.2) M.C.K. (Mandi Cuci Kakus) dan tempat bermain3) Warung.

D. Hak Atas Tanah Setelah Dilakukannya Perjanjian Penyerahan Tanah Kavling Siap Bangun (KSB) Antara Pengembang dengan PembeliHak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/ atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib dan/ atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolok pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah negara yang bersangkutan.[footnoteRef:67] [67: Boedi Harsono. 2002. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan.hlm 262]

Hak-hak penguasaan atas tanah dapat diartikan sebagai lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu. Hakhak penguasaan atas tanah dapat juga merupakan hubungan hukum konkret (subjektief recht), jika sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang haknya.[footnoteRef:68] [68: Ibid]

Macam-macam penguasaan hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Adapun hak-hak atas tanah tersebut, antara lain:1. Hak MilikHak milik atas tanah oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 yang merupakan ketentuan pokok saja. Belum ada Undang-Undang mengenai hak milik, yang memang perlu dibuat berdasar Pasal 50 ayat (1) yaitu bahwa ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-Undang.Berdasarkan ketentuan ini, maka segala mengenai hak milik masih memerlukan pelaksanaan lebih lanjut dalam peraturan-peraturan tersendiri, tetapi dalam kenyataannya sampai saat ini belum terwujud. Oleh karena itu, diberikan kemungkinan berlakunya ketentuanketentuan hukum adat dan peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan:Selama Undang-Undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana mirip dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.[footnoteRef:69] [69: Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal 236]

Pasal 56 Undang-Undang Pokok Agraria tidak memeberikan perincian mengenai peraturan-peraturan mana yang untuk sementara diberlakukan terhadap hak milik tersebut, hanya ditunjuk pada peraturan-peraturan hukum adat yang memberi wewenang sebagaimana mirip dengan yang dimaksudkan Pasal 20 Undangundang Pokok Agraria sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang ini.Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 yaitu sebagai berikut: (1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.Hak milik turun-temurun artinya dapat diwarisi oleh ahli waris yang mempunyai tanah. Hal ini berarti hak milik tidak ditentukan jangka waktunya seperti misalnya, hak guna bangunan dan hak Guna Usaha. Hak milik tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya, melainkan kepemilikannya akan dilanjuti oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Tanah yang menjadi obyek hak milik (hubungan hukumnya) itu pun tetap, artinya tanah yang dipunyai dengan hak milik tidak berganti-ganti, melainkan tetap sama.[footnoteRef:70] [70: Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 61]

Terkuat artinya hak itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, hak tersebut wajib didaftar.[footnoteRef:71] Selain itu juga terkuat menunjukkan jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, yang jangka waktunya tertentu, hak yang terdaftar dan adanya tanda bukti hak yang artinya hak milik juga hak yang kuat, karena terdaftar dan yang empunya diberi tanda bukti hak. Berarti mudah dipertahankan terhadap pihak lain. [71: Ibid, hal 67-68.]

Terpenuh maksudnya hak milik itu memberikan wewenang yang paling luas kepada yang mempunyai hak jika dibandingkan dengan hak-hak lain. Hak milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik. Dengan demikian hak milik tidak berinduk kepada hak hak atas tanah lainnya, karena hak milik adalah hak yang paling penuh, sedangkan hak-hak lain itu kurang penuh. dan peruntukannya tidak terbatas selama tidak ada pembatasan-pembatasan dari pihak penguasa. Maka wewenang dari seorang pemilik, tidak terbatas. Seorang pemilik bebas mempergunakan tanahnya.[footnoteRef:72] [72: Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal 237-238.]

Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah, maka hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik, seperti yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 21 UUPA:[footnoteRef:73] [73: Vide, Pasal 21 UUPA]

a. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milikb. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.c. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut, lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara dan ketentuan bahwa hak-hak fihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.d. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.

Pada prinsipnya hanya warga Negara Indonesia tunggal yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik