draft skrip - baru

Upload: zulhijahjulebasalamah

Post on 11-Jul-2015

121 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Selain negara Jepang yang sering dilanda oleh bencana gempa ternyata Indonesia juga merupakan negara rawan gempa karena di Negara Indonesia ini terdapat tiga lempeng, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, yang bila bertumbukan akan menghasilkan gempa tektonik. Secara alamiah, fenomena alam tersebut tidak bisa dihindari, namun dampaknya bisa diminimalisir dengan membangun rumah tahan gempa (Rusmawan 2005). Untuk membangun rumah tahan gempa diperlukan suatu bahan yang ringan namun kuat. Kayu merupakan bahan alternatif, karena selain ringan juga mudah dikerjakan dan jumlahnya cukup banyak. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan masyarakat akan kayu semakin meningkat. Sayangnya peningkatan permintaan ini tidak dapat lagi seluruhnya dipenuhi oleh produksi kayu dari hutan alam yang semakin menurun kuantitas dan kualitasnya. Hal ini menyebabkan kelangkaan kayu di pasaran yang pada akhirnya menyebabkan melambungnya harga kayu. Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya untuk menghasilkan bahan baku alternatif yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Salah satu bahan yang dapat dijadikan alternatif adalah bambu. Bambu dapat dijadikan sebagai alternatif karena termasuk tumbuhan yang telah dikenal di Indonesia khususnya di pedesaan. Selain itu bambu juga mudah diperoleh, pertumbuhannya cepat, harganya relatif murah, dan memiliki kekuatan yang cukup baik. Dengan mengubah penampilan bambu menjadi panel, diharapkan nilainya akan meningkat dan pemanfaatan bahan ini semakin berkembang sebagai bahan alternatif dalam rangka mengantisispasi kelangkaan kayu (Purwito 2005). Panel sandwich dibuat dari potongan bambu sebagai inti (core) dan kayu lapis sebagai face dan back. Panel sandwich diharapkan dapat dijadikan komponen dalam rumah pra-pabrikasi terutama untuk dinding maupun lantai karena sesuai dengan prinsip dasar bangunan tahan gempa, yaitu harus diusahakan seringan mungkin.

2

Dalam upaya menggali potensi bambu serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan kayu, maka diperlukan langkah nyata untuk menghasilkan produk bambu yang nantinya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pembuatan dinding rumah tahan gempa menggunakan panel bambu sandwich.

1.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui besarnya racking strength dan racking stiffness dinding panel bambu sandwich dengan berbagai tipe bresing. b. Mengetahui kekuatan panel bambu sandwich sebagai dinding rumah tahan gempa sehingga dapat diaplikasikan pada zona gempa yang tepat.

1.3 Manfaat Penelitian Memberi alternatif pilihan dalam membangun rumah tahan gempa dengan dinding dari panel bambu sandwich.

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Rumah Tahan Gempa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang rawan gempa, karena di negara Indonesia terdapat tiga lempeng, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, yang bila bertumbukan akan menghasilkan gempa tektonik. Secara alamiah, fenomena alam tersebut tidak bisa dihindari. Sebab lempeng-lempeng yang ada di Indonesia merupakan bagian dari kerak bumi yang bergerak aktif. Lempeng-lempeng bumi tersebut adalah bagian dari kerak bumi yang terdiri atas berbagai jenis bebatuan. Efek dari pergeseran itu adalah berupa getaran yang disebut gempa. Gempa terjadi karena ada perpindahan massa dalam lapisan batuan bumi (Rusmawan 2005). Menurut Agus (2002), gempa bumi merupakan peristiwa alam yang dikaitkan dengan adanya hentakan pada kerak bumi. Aktifitas tektonik menjadi penyebab utama gempa bumi, gaya tektonik ini disebabkan oleh adanya proses pergerakan lempeng tektonik yang menyebabkan pembentukan gunung-gunung, gerakan-gerakan patahan lempeng bumi, dan tarikan atau tekanan bagian-bagian benua yang besar. Menurut SNI 03-1726-2002 Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa seperti yang ditunjukkan Gambar 1, dimana wilayah gempa 1 dan 2 adalah wilayah dengan kegempaan ringan, wilayah gempa 3 dan 4 adalah wilayah gempa sedang, serta wilayah gempa 5 dan 6 adalah wilayah dengan kegempaan berat. Pembagian wilayah gempa ini didasarkan atas percepatan puncak pada batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode ulang 500 tahun.

4

Gambar 1. Peta pembagian wilayah zona gempa Peristiwa gempa merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan dalam merencanakan struktur bangunan. Struktur yang direncanakan harus mempunyai katahanan terhadap gempa dengan tingkat keamanan yang dapat diterima. Aspek penting gerakan tanah akibat gempa bumi adalah pengaruhnya terhadap struktur bangunan, yaitu tegangan (stress) dan displacement atau banyaknya kerusakan yang akan terjadi. Selama terjadinya gempa, struktur bangunan mengalami gerakan vertikal dan gerakan horizontal. Dari kedua gaya tersebut, gaya dalam arah vertikal hanya sedikit mengubah gaya gravitasi yang bekerja pada struktur, sedangkan struktur biasannya dirancang terhadap gaya vertikal dengan faktor keamanan yang mencukupi. Oleh karena itu, struktur umumnya jarang sekali runtuh karena gaya gempa vertikal. Sebaliknya, gaya gempa horizontal bekerja pada titik-titik lemah dalam struktur yang kekuatannya tidak mencukupi dan akan menyebabkan keruntuhan. Oleh karena itu, prinsip utama dalam perancangan tahan gempa adalah meningkatkan kekuatan struktur terhadap gaya horizontal yang umumnya tidak mencukupi (Agus 2002). Pada dasarnya, yang dimaksud dengan bangunan tahan gempa bukan berarti bangunan itu tidak akan rusak atau runtuh bila ada gempa. Bangunan tahan gempa

5

memiliki tiga kaidah sebagai berikut (Puslitbangkim Permukiman 2004 diacu dalam Karlinasari 2006): 1. Bila terjadi gempa ringan bangunan tidak akan mengalami kerusakan baik pada elemen struktur (kolom, balok, atap, dinding, dan pondasi) maupun pada elemen non-struktur (genteng dan kaca). 2. Bila terjadi gempa berkekuatan sedang, bangunan bisa mengalami kerusakan hanya pada elemen non-struktur. Sedangkan elemen strukturnya tidak boleh rusak. 3. Bila terjadi gempa berkekuatan besar, bangunan bisa mengalami kerusakan, baik pada elemen struktur maupun elemen non-strukturnya. Namun, kedua elemen tersebut tidak boleh membahayakan penghuni yang ada di dalam bangunan. Penghuni harus mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri sebelum bangunannya runtuh. Menurut Rusmawan (2005), konsep bangunan tahan gempa pada dasarnya adalah upaya untuk membuat seluruh elemen rumah menjadi satu kesatuan yang utuh, yang tidak lepas/runtuh akibat gempa. Penerapan konsep tahan gempa antara lain dengan cara membuat sambungan yag cukup kuat diantara berbagai elemen tersebut serta pemilihan material dan pelaksanaan yang tepat. 2.2 Bambu Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang, dan memiliki daun buluh yang menonjol. Bambu termasuk famili gramineae, sub-famili

Bambusoideae, dan suku Bambuceae. Bambu terbagai atas beberapa bagian, yaitu rimpang, pucuk, buluh, percabangan, daun, dan perbungaan (Heyne 1987). Bambu memiliki diameter yang semakin mengecil dari pangkal ke bagian ujung batang. Permukaan batang bagian luar dan dalam terbentuk dari lapisan kulit yang mengandung zat lilin yang berguna untuk mengatur kadar air. Bambu mudah terserang jamur dan daya tahannya tergantung pada kondisi cuaca dan lingkungan sehingga daya tahannya lebih rendah dibandingkan dengan kayu.

6

Sifat-sifat fisis dan mekanis bambu sangat berhubungan erat dengan kegunaannya. Bambu yang digunakan sebagai bahan bangunan sangat perlu mengetahui kekuatannya karena menyangkut keamanan. Menurut Liese (1980), berat jenis (BJ) bambu bervariasi antara 0,5-0,6 dengan bagian luar batang memiliki BJ yang lebih besar daripada bagian dalamnya. Kadar air bambu juga bervariasi, yaitu bambu dewasa segar memiliki kadar air antara 50% - 99%, pada bambu muda berkisar antara 80% - 150%, sedangkan kadar air bambu kering antara 12% - 18%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun (Dransfield dan Widjaja 1995). 2.3 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. &J.H. Schultes) Kurz) Bambu tali tersebar luas di seluruh kepulauan Indonesia dan diperkirakan berasal dari Burma dan Thailand bagian selatan. Bambu tali tumbuh di daerah tropis yang lembab dan daerah kering, berumpun rapat dan tegak. Bambu tali dikenal dengan nama awi tali (Sunda), pring tali atau pring apus (Jawa) (Widjaja 2001). Bambu tali memiliki ciri-ciri berumpun rapat, pertumbuhan simpodial, buluhnya tegak mencapai tinggi 8-30 cm dengan diameter 4-13 cm dan tebal 1-1,5 cm, berwarna hijau terang sampai kuning. Panjang ruas 20-60 cm dengan buku sedikit membengkok pada bagian luar. Bambu tali mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuningan dengan lapisan lilin pada bagian bawah buku-bukunya ketika masih muda. Pelepah buluhnya sangat kecil sehingga hampir tidak Nampak dan selalu melekat pada buluhnya Bambu ini dimanfaatkan sebagai bahan

bangunan, perkakas rumah tangga, atap, dinding rumah, anyaman dan alat musik tradisional (Dransfield dan Widjaja 1995). Kadar air rata-rata batang bambu tali segar adalah 54,3% dan batang bambu kering 15,1% (Dransfield dan Widjaja 1995). Nilai MOR bambu tali menurut Idris et. al. (1980) adalah sebesar 502-1.240 kg/cm2, nilai MOE sebesar 57.515121.334 kg/cm2, keteguhan tekan sebesar 502-1.240 kg/cm2. Sifat mekanis batang bambu tali tanpa buku lebih besar dibandingkan batang dengan bukunya.

7

2.4 Panel Sandwich Konstruksi sandwich adalah konstruksi berlapis yang didapatkan dengan merekatkan dua lapissan tipis (face-back) pada suatu teras (core) tebal. Lapisan tipis biasanya terbuat dari bahan kuat dan padat sebagai pemikul utama dalam konstruksi, sedangkan corenya dibuat dari bahan ringan dengan tujuan untuk menyeimbangkan kedua lapisan tipis serta memikul gaya geser. Susunan tersebut memberikan elemen yang konstruksi yang kuat dan kaku dibandingkan dengan beratnya. Keuntungan panel sandwich adalah bahan lapisan yang digunakan relatif murah dan kemungkinan luas dalam pemilihan bahan sebagai lapisan face-back maupun core. Aplikasi penggunaan panel sandwich diantaranya untuk dinding, lantai kayu, pintu, plafon, serta meja (Yap 1999). Selain itu panel sandwich juga memiliki kekuatan yang tinggi, displacement yang lebih sedikit, dan dapat meningkatkan kualitas bahan baku yang bermutu rendah. Teknologi sandwich dengan bahan baku bambu memiliki beberapa manfaat seperti ramah lingkungan, menghemat kayu berkualitas tinggi, dan menjaga kelestarian hutan (Febriyani 2008). 2.5 Kayu Lapis (Plywood) Kayu lapis atau plywood merupakan panel kayu yang terdiri dari sejumlah lembaran tipis (veneer) hasil kupasan atau sayatan log yang disusun dan direkat dengan pengempaan panas secara bersilangan atau saling tegak lurus (Surjokusumo 1984). Penyusunan veneer dengan arah serat saling tegak lurus menyebabkan kekuatan dan kelemahan kayunya akan didistribusikan ke dalam dua arah sehingga kayu lebih homogen dibanding kayu biasa. Jumlah lapisan kayu lapis adalah ganjil dari 3 lapis sampai dengan 11 lapis. Tiap lapis terdiri dari satu atau lebih lembaran veneer. Ukuran kayu lapis umumnya 1200 mm x 2400 mm dengan tebal kayu lapis struktural berkisar antara 4,5 mm 32,0 mm. Kayu lapis sangat praktis untuk komponen bangunan karena merupakan lempengan yang lebar dan luas sehingga cocok digunakan sebagai penutup lantai,

8

dinding, atau atap. Karena susunan lapisan veneernya, kayu lapis memiliki bentuk yang stabil, kekuatan yang lebih homogen dibandingkan kayu solid, mudah dipotong dan dikerjakan, kuat dan kaku, dapat langsung digunakan, mudah disambung dengan paku atau perekat, dan permukaannya halus sehingga dapat langsung dicat (Surjokusumo 1984). 2.6 Kayu Meranti Meranti terdiri dari kelompok meranti kuning, meranti merah, dan meranti putih. Kayu meranti memiliki sifat fisis berat jenis antara 0,3 - 0,86 pada kandungan air 15%. Menurut kekuatannya, jenis-jenis meranti dapat digolongkan dalam kelas kuat II-IV, sedangkan keawetannya tergolong dalam kelas III-IV. Kayu meranti memiliki sifat mekanis MOE sebesar 62.000 kg/cm2 atau 6080,12 MPa dalam keadaan basah dan 66.000 kg/cm2 atau 6472,39 MPa dalam keadaan kering. Tegangan pada batas proporsi kayu meranti adalah sebesar 145 kg/cm2 (14,22 MPa) dalam keadaan basah dan 179 kg/cm2 ( 17,55 MPa) dalam keadaan kering. Sedangkan tegangan pada batas patahnya adalah sebesar 309 kg/cm2 (30,3 MPa) dalam keadaan basah dan 359 kg/cm2 (35,21 MPa) dalam keadaan kering (Martawijaya et al. 1981).

2.7 Perekat Isocyanate Perekat adalah substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaannya. Merekatnya dua buah benda terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan yang direkat (gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (gaya kohesi) antara perekat dengan bahan yang direkat (Vick 1999). Salah satu jenis perekat adalah perekat isocyanate, yaitu perekat yang berbasis pada reaktifitas yang tinggi dari radikal isocyanate. Ikatan dengan polaritas yang kuat dari senyawa yang juga membawa radikal ini tidak hanya mempunyai potensi daya rekat yang baik tetapi juga potensial untuk membentuk ikatan kovalen dengan substrat yang mempunyai gugus hidrogen reaktif (Marra 1992).

9

Isocyanate berbentuk liquid yang mengandung isomer dan oligomer dari methylene diphenyl diisocyanate. Perekat ini berwarna coklat terang dan garis perekatannya tidak terlihat. Diperlukan temperatur dan tekanan yang tinggi untuk menghasilkan perkembangan ikatan yang terbaik. Sifat kekuatan perekat ini adalah memiliki kekuatan kering dan basah yang tinggi, sangat tahan terhadap air dan udara lembab, serta dapat direkatkan pada besi dan plastik (Vick 1999). Keuntungan perekat isocyanate dibandingkan perekat berbahan dasar resin menurut Marra (1992) adalah membutuhkan jumlah yang lebih sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama, dapat menggunakan suhu kempa yang lebih rendah, memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat, lebih toleran pada partikel/bahan berkadar air tinggi, membutuhkan energi yang lebih sedikit dalam pengeringan, dimensi yang dihasilkan lebih stabil, dan tidak adanya emisi formaldehyde. Salah satu senyawa kimia berbahaya yang termasuk dalam kelompok isocyanate adalah methyl isocyanate. Senyawa ini mengandung gugus sianida (CN). Gugus ini akan bersifat lebih polar jika berikatan dengan hemoglobin daripada ikatan hemoglobin dengan oksigen. Bila senyawa ini terhirup oleh

manusia, dalam plasma darah manusia akan terjadi ikatan methyl isocyanate dan hemoglobin, dan membatasi kesediaan oksigen dalam darah. Hal ini dapat membuat kematian karena kekurangan oksigen. Methyl isocyanate jika bereaksi dengan air akan menghasilkan gas karbondioksida dan 1,3-dimethylurea. Kedua zat ini merupakan zat sampah bagi tubuh manusia. Meskipun tidak masuk paru-paru, jika manusia secara tidak sengaja mengonsumsi Methyl isocyanate. Maka akan ada gas CO2 dan dimetilurea yang ada dalam pencernaan. Jika dalam tubuh dimetilurea ini tidak cepat dikeluarkan memlalui urin, maka akan ada kelebihan amonia dalam tubuh dan akan lebih berbahaya bagi tubuh dan saluran cerna.

10

BAB III. METODE PENELITIAN3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan dari bulan September sampai dengan bulan Desember 2010, dimana pembuatan contoh uji, pengujian sifat fisis, dan sifat mekanis komponen contoh uji dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sedangkan pengujian kekuatan dinding dilakukan pada bulan Februari 2011 di Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum, Cileunyi Wetan, Bandung. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah potongan bambu tali (Gigantochloa apus) berumur 3 tahun yang berasal dari daerah Leuwikopo, Dramaga Bogor, kayu meranti, kayu lapis dengan ukuran 2400 mm x 1200 mm x 8 mm, dan perekat Isocyanate. Peralatan yang digunakan adalah mesin pemilah kayu panter, timbangan elektronik, oven, kaliper, pita ukur, jigsaw, gerinda, mesin planner, dan circular saw. Untuk pengujian ketahanan terhadap gempa dinding panel bambu sandwich yang berupa uji geser digunakan aktuator dengan pompa hidrolik berkapasitas 10 ton yang berfungsi mendorong dan menarik benda uji ke arah lateral. Alat akuisisi data digunakan Data Logger sebagai alat pencatat beban dan perpindahan

(displacement), sedangkan untuk alat ukur beban digunakan Load Cell, dan untuk perpindahan digunakan Transducer.

11

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Persiapan Bahan Bambu tali dan balok rangka dikeringkan secara alami. Kayu meranti diserut untuk menyamakan tebalnya, kemudian dikelompokkan berdasarkan Tegangan Ijin Seratnya (TS) melalui uji panter. Potong kayu sesuai ukuran yang diinginkan untuk dibuat rangka/frame. Kayu yang memiliki TS TS7 digunakan untuk rangka kayu, sedangkan kayu dengan TS < TS7 digunakan untuk penguat atau bresing.

3.3.2 Pembuatan Dinding Panel Sandwich Tahapan-tahapan pembuatan panel sandwich adalah sebagai berikut : a. Bambu yang telah dikeringkan secara alami dipotong dengan tebal 45 mm tanpa memperhatikan keberadaan buku dan besar diameter bambu. Pemotongan bambu dilakukan dengan cara bulat utuh menggunakan mesin potong berupa table circular saw dan mitter circular saw agar didapatkan ukuran bambu yang seragam.

45 mm

Gambar 2 Potongan bambu yang digunakan.

b. Sebagai face dan back digunakan kayu lapis komersial dengan ketebalan sebesar 8 mm. c. Rangka dibuat dengan berbagai macam bresing kayu (wood bracing) dengan ukuran yang digunakan 2400 mm x 1200 mm, kemudian satukan dengan kayu lapis menggunakan paku besi pada satu sisinya.

12

(a)

(b)

Ket: = Kayu lapis = Rangka = Penguat (c) (d)

Gambar 3 Desain rangka contoh uji; (a) Kontrol tanpa bresing, (b) Bresing horizontal, (c) Bresing plus, (d) Bresing vertikal. d. Perekat isocyanate disiapkan dengan perbandingan antara hardener dan based sebesar 15:100. e. Potongan-potongan bambu disusun dan direkatkan diatas kayu lapis yang telah dipasangkan rangka. f. Kemudian ditutup pada sisi yang lainnya dengan kayu lapis yang telah diberi perekat. Potongan bambu digunakan sebagai inti (core) dan kayu lapis sebagai lapisan atas dan bawah (face and back) seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 4 Pembuatan panel sandwich.

13

g. Selanjutnya kayu lapis dengan potongan bambu dikempa selama minimal 24 jam menggunakan plat besi. Kemudian alat kempa dilepas dan produk dikondisikan sebelum dilakukan pengujian.

3.3.3

Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis

3.3.3.1 Kadar Air Untuk pengujian kadar air bambu diambil contoh potongan bambu, kayu lapis berukuran 50mm x 50mm x 8mm, dan balok berukuran 25mm x 25mm x 25mm yang kemudian ditimbang berat awalnya (BA) menggunakan timbangan digital, selanjutnya dioven pada suhu 1032C selama selama 24 jam atau sampai konstan. Setelah pengovenan, masukan sampel ke dalam desikator selama 10 menit dan timbang kembali sebagai berat kering tanur (BKT). Nilai kadar air (KA) didapatkan melalui perhitungan :

KA Keterangan: BA BKT KA = = = Berat awal (g)

BA BKT 100% BKT

Berat kering tanur (g) Kadar air (%)

3.3.3.2 Kerapatan Kerapatan merupakan masa (berat) sampel dibanding dengan volume sampel. Sampel ditimbang dalam keadaan kering udara (BKU) dan ukur dimensi panjang, lebar dan tebalnya. Nilai kerapatan dihitung :

Kr Keterangan : BKU = p l = = Berat kering udara (g) Dimensi panjang (cm) Dimensi lebar (cm)

BKU pl t

14

t Kr

= =

Dimensi tebal (cm) Kerapatan (g/cm)

3.3.3 Pengujian Kekuatan Mekanis Dinding Pengujian kekuatan mekanis dinding panel bambu sandwich dilakukan dengan uji racking. Pengujian dilakukan berdasarkan Standar Internasional ISO/DIS 22452 tentang Timber structures Structural insulated panel wall test methods. Uji racking menunjukan strength dan stiffness dari dinding panel bambu sandwich. Ukuran contoh uji dinding bambu sandwich adalah 2400 mm x 1200 mm x 66 mm. Beban yang diberikan beban horizontal (F) yang diberikan sekitar (2 0,5) mm/min dan secara vertikal (Fv) sebesar 0,4 Fmax,est sekitar (4 1) mm/min. Pada umumnya beban vertikal (Fv) memiliki nilai lebih dari 25 kN pada contoh uji yang memiliki panjang 2400 mm. Dimana besarnya Fv harus proporsional terhadap total panjang dari contoh uji.

Beban vertikal (Fv) Beban lateral (F) A

Transducer

2400 mm (H)Baut yang ditanam ke mesin

B C

1200 mm (B)Gambar 5 Skema uji racking.

15

Tahapan pengujian ketahanan gempa berupa uji geser pada dinding panel bambu sandwich: 1. Benda uji komponen diletakkan pada posisi horisontal dan terikat pada ujung aktuator 2. Beban berupa tarikan dan dorongan diberikan berkali-kali sampai diperoleh data ulangan dan sampai benda rusak. 3. Pada bagian ujung benda uji dengan aktuator dipasang load cell dan tranducer sebagai alat pencatat beban dan untuk mengukur perpindahannya. 4. Pada bagian-bagian komponen yang ingin diukur tegangan dan regangannya dipasang Tranducer yang berfungsi untuk mengetahui besarnya perpindahan yang terjadi pada saat diberi beban. 5. 6. Benda uji diberi beban sampai pada target nilai yang direncanakan. Setiap kenaikan beban, perpindahan di akuisisi dan dicetak oleh data logger serta disimpan dalam komputer sebagai data digital dan divisualisasikan dalam kurva hubungan perpindahan dengan beban. 7. Data hasil pengujian terekam dalam komputer mulai saat spesimen masih elastis, batas proporsi sampai beban maksimum, data beban tidak bertambah lagi, dan diakhiri ketika specimen mengalami keruntuhan yang ditandai dengan turunnya beban sampai pada kondisi 80% dari beban maksimum atau kurang..

16

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat fisis papan yang diuji meliputi kerapatan, kadar air, dan berat jenis kayu serta bambu yang digunakan dalam pembuatan sampel dinding panel bambu sandwich. Sifat mekanis spesimen diuji menggunakan racking test.

4.1

Sifat Fisis

4.1.1 Kadar Air Pengukuran kadar air pada masing-masing tipe rangka kayu dilakukan dengan menggunakan 3 buah sampel dan diambil rata-ratanya. Hasil pengukuran kadar air kayu meranti yang digunakan pada dinding panel bambu sandwich menunjukkan bahwa spesimen panel dinding bresing plus memiliki rata-rata

kadar air tertinggi (15,45%), sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh spesimen dinding kontrol (12,27%). Specimen dinding kontrol dan vertikal memiliki nilai kadar air yang berbeda jauh dengan nilai kadar air sampel dinding horizontal dan plus. Perbedaan ini dikarenakan oleh bahan baku yang digunakan adalah kayu campuran meranti sehingga memungkinkan adanya perbedaan nilai kadar air antar sampel.18.00 16.00 14.00 Kadar Air (%) 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 Kontrol Vertikal Horizontal Plus Jenis bresing pada masing-masing dinding

Gambar 6 Grafik kadar air kayu masing-masing jenis bresing panel dinding.

17

Pengukuran kadar air pada bambu dilakukan menggunakan sampel bambu yang telah dipotong menjadi irisan bambu. Hasil yang diperoleh menunjukkan rata-rata kadar air 14,30%. Menurut Dransfield dan Widjaya (1995), kadar air pada batang bambu yang kering berkisar 12-18%. Selain itu juga dilakukan pengukuran kadar air terhadap kayu lapis yang digunakan sebagai permukaan dinding. Rata-rata kadar air kayu lapis adalah 16.25%, sedangkan panel bambu sandwich diperoleh kadar air rata-rata 14,42 %.

4.1.2

Kerapatan dan Berat Jenis Hasil pengujian kerapatan diperoleh nilai kerapatan rata-rata rangka kayu

pada dinding sampel berkisar antara 0,602 g/cm3-0,712 g/cm3. Nilai kerapatan rata-rata tertinggi terdapat pada rangka kayu dinding plus, sedangkan nilai kerapatan rata-rata terendah terdapat pada rangka kayu dinding kontrol atau dinding tanpa bresing. Sama seperti pengukuran kadar air, pengukuran kerapatan juga dilakukan pada kayu lapis dan bambu dengan cara yang sama. Hasil yang diperoleh menunjukkan kerapatan rata-rata pada kayu lapis adalah 0,378 g/cm3 dan kerapatan bambu 0,75 g/cm3. Nilai rata-rata kerapatan panel bambu sandwich adalah 0,246 g/cm3.0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Kontrol Vertikal Horizontal Plus Kerapatan (g/cm3) Berat Jenis

Jenis bracing pada panel dinding

Gambar 7 Grafik kerapatan dan berat jenis rata-rata kayu masing-masing dinding.

18

Hasil yang diperoleh dari pengukuran berat jenis kayu pada rangka dinding sampel berkisar antara 0.54 0.62. Berat jenis tertinggi dimiliki oleh kayu pada dinding plus, yaitu sebesar 0,62. Sedangkan berat jenis terendah dimiliki oleh kayu pada dinding kontrol, yaitu sebesar 0,54. Menurut Martawijaya et al. (1981) berat jenis kayu meranti berkisar antara 0,3 0,86. Rata-rata berat jenis kayu lapis yang diperoleh adalah 0,34 dan panel bambu sandwich 0,22. Menurut Sharma dan Mehra (1970) dalam Sonisa (1995) dinding bambu bagian luar memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan bagian dalam. Hal ini tergantung dari kandungan serabut yang sangat bervariasi kerapatannya dalam batang. Berat jenis bambu yang diperoleh dari pengukuran adalah 0,66.

4.2

Pengujian Mekanis Dinding (Racking Test) Pengujian dinding geser pada produk panel bambu sandwich dilakukan

untuk mendapatkan nilai racking stiffness dan racking strength. Untuk mendapatkan nilai beban lateral maksimum yang akan digunakan, maka dilakukan racking test terhadap panel bambu sandwich tanpa bresing dan panel bambu sandwich dengan bresing diagonal. Dari pengujian tersebut diperoleh hasil beban lateral maksimum sebesar 4,913 kN untuk panel bambu sandwich tanpa bresing dan 6,737 kN untuk panel bambu sandwich dengan bresing diagonal. Untuk kepentingan keselamatan saat diaplikasikan pada rumah pra-fabrikasi, maka nilai beban lateral maksimum yang digunakan dalam penghitungan nilai racking stiffness adalah nilai beban lateral maksimum yang terkecil. Nilai racking stiffness diperoleh dari persamaan: Racking Stiffness= [ Ket: F6 = beban pada step ke-6 F9 = beban pada step ke-9 F16 = beban pada step ke-16 F19 = beban pada step ke-19 V6 V9 V16 V19 = = = = displacement pada step ke-6 displacement pada step ke-9 displacement pada step ke-16 displacement pada step ke-19

] kN/mm

19

Berdasarkan hasil pengujian panel bambu sandwich yang diperoleh dapat dilihat bahwa pemasangan bresing dapat menurunkan nilai racking stiffness (Tabel 1). Nilai racking stiffness pada panel bambu sandwich kontrol adalah yang tertinggi, sedangkan panel bambu sandwich dengan bresing vertikal memiliki nilai racking stiffness terendah dibanding dengan panel bambu sandwich lainnya. Hasil tersebut tidak sesuai dengan fungsi bresing, karena bresing berperan sebagai batang pengaku untuk menjaga kestabilan komponen struktur dalam menerima beban lateral. Tabel 1 Hasil Pengujian Dinding Geser Dinding Panel Bambu Sandwich Sampel Panel Sandwich Bambu Racking Stiffness (kN/mm) 2,570 0,839 1,571 2,018 Racking Strength (kN) 5,168 5,521 7,384 5,521 Displacement maks (mm) 66,80 90,02 74,32 72,08

Kontrol (tanpa Bresing) Vertical Bresing Horizontal Bresing Plus Bresing

Nilai racking strength merupakan beban maksimum yang dapat ditahan oleh dinding saat pengujian. Nilai racking strength yang diperoleh dari pengujian menunjukkan hasil yang berlawanan dengan nilai racking stiffness. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pemberian bresing dapat meningkatkan nilai racking strength. Nilai racking strength tertinggi dimiliki oleh panel bambu sandwich dengan bresing horizontal, sedangkan yang terendah dimiliki oleh panel bambu sandwich kontrol. Tabel tersebut juga memperlihatkan besarnya displacement yang dialami oleh masing-masing dinding panel bambu sandwich. Displacement merupakan perubahan bentuk, dimensi, dan posisi dari suatu materi dalam skala waktu dan ruang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa panel bambu sandwich kontrol mengalami displacement terkecil, sedangkan panel

bambu sandwich dengan vertikal bresing mengalami displacement terbesar dibandingkan panel bambu sandwich yang lainnya. Agar dapat menentukan zona gempa yang tepat untuk mengaplikasikan dinding panel bambu sandwich, maka harus dilakukan perhitungan gaya gempa terlebih dahulu. Karena belum adanya standar untuk menghitung beban gempa pada bangunan rumah satu lantai, maka perhitungan gempa dilakukan pendekatan

20

menggunakan standar SNI 03-1726-2002 yang berlaku untuk perhitungan beban gempa bangunan dua lantai atau lebih. Berdasarkan SNI 03-1726-2002, perhitungan gaya gempa dilakukan menggunakan cara analisis gempa static

ekuivalen. Asumsi tipe rumah yang digunakan untuk menentukan beban vertikal adalah rumah pra-fabrikasi tipe 21 yang berada di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, namun dengan adanya pengembangan atau modifikasi maka perhitungan gaya gempa menggunakan asumsi rumah tipe 36. Bangunan rumah kayu pra-fabrikasi dikategorikan sebagai bangunan beraturan dengan tinggi dinding 2400 mm dan diperuntukan rumah tinggal. Bangunan rumah pra-fabrikasi ini ditetapkan pada jenis tanah keras karena menggunakan pondasi model umpak yang dibangun di atas tanah yang rata dan stabil. a. Berat Bangunan (Wt) Berat bangunan yang diperhitungkan adalah beban mati efektif struktur bangunan yang bekerja pada saat terjadinya gempa. Beban mati efektif ini meliputi beban mati atap dan beban mati dinding (Wijaya 2007). Tabel 2 Perhitungan Beban Mati Efektif Bangunan Kayu Pra-fabrikasi tipe 36 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Komponen Panel dinding Langit-langit Penutup atap Kuda-kuda Lantai Aksesoris Total b. Koefisien Gempa (C) Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilai koefisien gempa yang diperoleh dari Spektrum Respon Gempa Rencana dengan jenis tanah keras adalah seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Koefisien Gempa dari Spektrum Respon Gempa Rencana Komponen Koefisien gempa rencana 1 0,05 2 0,15 Zona Gempa 3 4 5 0,23 0,30 0,35 6 0,42 W (kN) 1,471 0,971 12,658 0,392 5,884 0,785 Jumlah 16 4 2 6 1 1 Wt (kN) 23,536 3,884 25,316 2,352 5,884 0,785 61,757

21

c. Faktor Keutamaan (I) Struktur Faktor Keutamaan adalah faktor pengali dari pengaruh Gempa Rencana pada berbagai kategori gedung, untuk menyesuaikan perioda ulang gempa yang berkaitan dengan penyesuaian probabilitas dilampauinya pengaruh tersebut selama masa layan gedung itu. Berdasarkan SNI 03-1726-2002 faktor keutamaan (I) untuk gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan, atau perkantoran adalah sebesar 1.

d. Faktor Reduksi Gempa (R) Faktor Reduksi Gempa (R) adalah rasio antara beban gempa maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung elastik penuh dan beban gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung

daktail. Untuk mendapatkan nilai R bergantung pada faktor daktilitas () struktur rumah tersebut. Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilai diperoleh dengan persamaan :

1,0 Ket:

m

m = simpangan maksimum akibat pengaruh gempa rencana saat mencapai kondisi sebelum keruntuhan. y = simpangan struktur rumah pada saat terjadi leleh (yield) pertama. m = nilai faktor daktilitas maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur yang bersangkutan (5,3). Faktor reduksi gempa (R) diperoleh dari persamaan : 1,6 R = f1 Rm dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan beban yang terkandung di dalam struktur rumah. Nilai f1 ditetapkan sebesar 1,6. Jika R=1,6 berarti faktor reduksi gempa untuk struktur rumah berperilaku elastik penuh, sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur yang bersangkutan.

22

Table 4 Faktor Daktilitas Struktur dan Faktor Reduksi Gempa No. 1. 2. 3. 4. Panel Bambu Sandwich Kontrol Plus bresing Horizontal bresing Vertikal bresing Faktor Daktilitas () 3,11 2,23 1,84 2,36 Faktor Reduksi Gempa (R) 4,976 3,568 2.944 3.776

Dari hasil perhitungan faktor respon gempa (R) yang diperoleh, maka diasumsikan bahwa struktur tersebut merupakan daktail parsial dengan nilai terbesar 3,11 sehingga didapat nilai R sebesar 4,976.

e. Gaya Geser Horizontal Gempa (V) Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilai V diperoleh dari persamaan :

Ket : C = Nilai Faktor Respon Gempa yang didapat dari Spektrum Respon Gempa Rencana menurut Tabel 3. I = Faktor Keutamaan Struktur R = Faktor Respon Gempa Wt = Berat total gedung Tabel 5 Nilai Gaya Geser Horizontal Gempa Zona Gempa Sedang 3 4 2,854 3,723 -

Komponen 1 Gaya Geser Horizontal Gempa (V) (kN) Dinding kontrol Dinding vertikal Dinding horizontal Dinding plus

Kecil 2 1,862 -

Besar 5 4,344 5,168 6 5,213 5,521 7,384 5.521

0,620 -

Hasil yang diperoleh dari perhitungan gaya gempa dapat dilihat bahwa dinding panel bambu sandwich kontrol memiliki faktor daktilitas dan faktor

23

respon gempa terbesar, sedangkan dinding panel bambu sandwich dengan bresing horizontal memiliki faktor daktilitas dan faktor respon gempa terkecil. Pada grafik beban-displacement untuk panel bambu sandwich kontrol terlihat bahwa beban lateral maksimum yang mampu ditahan adalah sebesar 5,168 kN (Gambar 7), sedangkan displacement maksimumnya sebesar 14,68 mm.6.000 5.000

Beban lateral (kN)-20

4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 -1.000 0 20 40 60 80 Displacement (mm)

Gambar 8 Grafik beban-displacement pada panel bambu sandwich kontrol.7.000 6.000 Beban Lateral (kN) 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 -1.000 0 20 40 60 Displacement (mm) 80 100

Gambar 9 Grafik beban-displacement dinding panel dengan bresing vertikal. Dari grafik hasil dinding panel bambu sandwich dengan bresing vertikal (Gambar 8) dapat dilihat bahwa dinding ini memiliki kemampuan menahan beban lateral maksimum yang sama dengan dinding panel dengan bresing plus, yaitu sebesar 5,521 kN dengan displacement maksimum sebesar 13,14 mm. Dinding panel bambu sandwich dengan bresing vertikal ini memiliki racking stiffness dan displacement maksimum yang paling rendah disbanding dengan dinding yang

24

lain. Kerusakan yang terjadi sama seperti dinding lainnya. Yang membedakan adalah pada dinding panel dengan bresing vertikal ini kayu lapis mengalami sobekan pada bagian sambungan rangka hingga bagian antara kayu rangka dengan potongan bambu yang telah direkatkan bersama kayu lapis (Gambar 13a dan 13b).

(a)

(b)

(c) Gambar 10 Kerusakan pada dinding vertikal; (a) Panel bambu sandwich bagian depan, (b) Panel bambu sandwich bagian belakang, dan (c) Panel bambu sandwich tampak samping. Grafik hasil racking test untuk dinding panel bambu sandwich dengan bresing horizontal (Gambar 10) menunjukkan beban lateral maksimum yang dapat ditahan adalah sebesar 7,384 kN dengan displacement maksimum sebesar 32,8 mm. Dinding dengan jenis bresing ini memiliki racking strength terbesar dibanding dengan jenis bresing lainnya. Kerusakan yang terjadi saat pengujian berada pada ujung dinding panel bambu sandwich. Kerusakan yang terjadi berupa tercabutnya paku pada kayu lapis sehingga menyebabkan kayu lapis terangkat dari kayu rangka. Selain itu, paku pada sambungan rangka kayu juga terjadi

25

pembengkokan dan mulai tercabut sehingga menyebabkan kayu kolom (vertikal) terangkat dari balok (horizontal).8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 -1.000 0

Beban lateral (kN)

20

40

60

80

100

Displacement (mm)

Gambar 11 Grafik beban-displacement dinding panel dengan bresing horizontal.

6.000 5.000 Beban Lateral (kN) -20 -1.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 0 20 40 60 80 Displacement (mm)

Gambar 12 Grafik beban-displacement pada panel bambu sandwich bresing plus.

Pada dinding panel bambu sandwich dengan bresing plus diperoleh grafik hasil seperti yang terlihat pada Gambar 11, yaitu bresing plus dapat menahan beban lateral maksimum sebesar 5,521 kN dengan displacement maksimum sebesar 27,38 mm. Kerusakan yang terjadi pada saat pengujian adalah pada bagian sambungan ujung panel, dimana kayu lapis mengalami kerusakan karena tertarik

26

saat menahan beban lateral. Selain itu, paku mengalami tekukan dan sedikit tercabut dari rangka kayu sewaktu menahan beban lateral yang besar.

(a)

(b)

(c) Gambar 13 Kerusakan pada dinding plus; (a) Ujung panel bagian depan, (b) Ujung panel bagian belakang, dan (c) Ujung panel tampak samping (rangka terangkat). Hasil gaya geser horizontal gempa (Tabel 3) yang diperoleh berdasarkan SNI 03-1726-2002 menunjukkan bahwa dinding panel bambu sandwich dengan semua jenis bresing dapat diaplikasikan pada wilayah zona gempa 6, sedangkan dinding kontrol cocok diaplikasikan pada zona gempa 5. Dan semua jenis dinding yang diuji tersebut juga mengalami kerusakan yang hampir sama pada saat pengujian. Hal ini disebabkan oleh kurang tepatnya jenis pemasangan sambungan kayu pada rangka dinding panel bambu sandwich. Hal inilah yang menyebabkan kekuatan sambungan pada rangka kayu lemah dan paku mengalami

pembengkokan serta tercabut.

27

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan1. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dinding panel bambu sandwich kontrol atau tanpa bresing memiliki racking stiffness tertinggi. Sedangkan dinding dengan jenis bresing vertikal yang terendah. 2. Racking strength pada dinding panel sandwich kontrol memiliki nilai terendah, sedangkan yang tertinggi adalah pada dinding panel dengan bresing horizontal. 3. Berdasarkan SNI 03-1726-2002 hasil pengujian dinding panel bambu sandwich kontrol memiliki nilai faktor daktilitas () dan faktor respon gempa (R) terbesar, sedangkan dinding panel bambu sandwich dengan bresing horizontal memiliki nilai dan R terkecil. 4. Berdasarkan nilai gaya geser horizontal gempa (V) yang diperoleh menunjukkan bahwa dinding panel bambu sandwich dengan bresing plus, horizontal, dan vertikal dapat diaplikasikan sebagai komponen rumah tahan gempa pada wilayah zona gempa 6, sedangkan dinding kontrol dapat diaplikasikan pada zona gempa 5.

5.2 Saran1. Perlu dilakukannya penelitian lanjutan dengan tipe sambungan rangka yang lebih kuat. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bambu sebagai bresing. 3. Perlu dilakukannya penelitian lanjutan dengan model bresing lainnya. 4. Perlu dilakukannya penelitian lanjutan dengan dilakukannya pengawetan terlebih dahulu pada komponen dinding panel bambu sandwich.

28

DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2002. Rekayasa Gempa Utuk Teknik Sipil [Laporan Penelitian]. Padang: Institut Teknologi Padang. Dewi, Shinta O.K. 2009. Pengaruh Susunan Karton Gelombang Dan Anyaman Bambu Terhadap Sifat Fisis Dan Mekanis Panel Sandwich [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Dransfield,S dan Widjaja, E.A. 1995. Plant Resources of South East Asia No. 7 Bamboos. Bogor: Yayasan PROSEA. Fadli, T. M. 2006. Sifat Fisis Dan Mekanis Bambu Lapis Dari Bambu Andong (Gigntochloa verticillata (Wild) Munro) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Febriyani. 2008. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich Dari Tiga Jenis Bambu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Haris, A. 2008. Pengujian Sifat Fisis Dan Mekanis Buluh Bambu Sebagai Bahan Konstruksi Menggunakan ISO 22157-1: 2004 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jakarta: Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hal 323. [ISO] Draft International Standard. 2009. International Standard Organization 22452. 2009. Timber Structures Structural Insulated Panel Walls Test Methods. Karlinasari, Lina. 2006. Pembanguan Rumah Contoh Tahan Gempa Untuk Daerah Bencana Dengan Sistem Pre-pabrikasi [Laporan Akhir Kegiatan Pembrdayaan Masyarakat]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Martawijaya, A., Kartasujana I., Kadir K., Prawira S.A. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Purwito. 2005. Panel Bambu Multi Fungsi. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia; Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta: Perhimpunan Pecinta Bambu Indonesia (Perbindo) Yogyakarta. Hal 125-140. Rusmawan, D. 2005. Konsep Rumah Tahan Gempa. indonesia.orgfilescli-91.pdf. [07 Februari 2010] www.unhabitat-

29

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2002. 03-1726: Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung. Sonisa, I. 1995. Produksi Dan Pemanfaatan Bambu di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Surjokusumo, S dan N. Nugroho. 1993. Studi Penggunaan Bambu Sebagai Bahan Tulang Beton [Laporan Penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Surjokusumo, S. 1984. Penggunaan Panel Kayu Khususnya Kayu Lapis Ditinjau Dari Segi Keteknikan. Fokus Kayu Lapis 84 [Proceedings Seminar]. PT. Hasta Jaya Pratama. Vick, CB. 1999. Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Forest Product Society. USA. Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor: Balai Penelitian Botani. Wijaya, B. 2007. Desain dan Analisa Rumah Pre-Pabrikasi Tahan Gempa Dari Kayu. [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Teknik. Universitas Tarumanegara. Yap, KHF. 1999. Konstruksi Kayu. Binacipta. Bandung.

30