Download - What Makes a Leader
1
IQ dan keterampilan teknis memang penting, tetapi kecerdasan emosional adalah suatu hal yang tidak dapat diabaikan
peranannya dalam kepemimpinan.
Apa yang diperlukan seorang pemimpin? Oleh
Daniel Goleman
Daniel Goleman adalah pengarang dari Emotional Intelligence (Bantam, 1995) dan Working with Emotional Intelligence (Bantam, 1998). Dia adalah cochaiman dari the Consortium for Reaseach on Emotional Intelligence in Organizations, yang berpusat
di Rutgers University’s Graduate School of Applied and Professional Psychology di Piscataway, New Jersey. Dia dapat dihubungi di [email protected]
Setiap pelaku bisnis pasti mengetahui kisah tentang eksekutif yang memiliki
kecerdasan tinggi dan sangat terampil yang dipromosikan untuk menempati posisi
pemimpin, namun akhirnya gagal dalam pekerjaannya. Dan para pelaku bisnis juga
mengetahui sebuah kisah mengenai seseorang dengan taraf kecerdasan yang baik-
tapi tidak luar biasa- dan keterampilan teknis, yang dipromosikan untuk posisi
pimpinan yang sama, dan berhasil.
Banyak anekdot mendukung kepercayaan yang sudah tersebar luas bahwa
mengidentifikasi individu sebagai orang yang “tepat” untuk menjadi pemimpin
adalah merupakan suatu seni, bukan ilmu. Di balik semuanya, pemimpin-pemimpin
yang berhasil memiliki gaya individual yang bervariasi: beberapa pemimpin adalah
orang yang sangat mengendalikan dan analitis; lainnya hanya memerintah dari
singgasananya. Hal penting lainnya, situasi yang berbeda menuntut gaya
kepemimpinan yang juga berbeda. Kebanyakan penyatuan yang terjadi
membutuhkan seorang negosiator yang sensitif pada kemudinya, dimana banyak
putaran balik yang harus diambil dan membutuhkan kekuasaan yang lebih kuat.
Saya telah menemukan, bagaimanapun juga, bahwa pemimpin yang sangat
efektif memiliki kesamaan pada sesuatu yang sangat penting, yaitu semuanya
memiliki tingkatan yang tinggi dalam sesuatu yang dikenal sebagai Kecerdasan
2
Emosional. Namun, bukan berarti IQ dan keterampilan teknis yang tidak lagi sesuai.
Kedua hal itu penting, tapi lebih berperan sebagai ‘seleksi awal’; jadi IQ dan
keterampilan teknis merupakan persyaratan awal untuk dapat memasuki posisi
eksekutif. Dalam penelitian saya, sejalan dengan penelitian lainnya yang terbaru,
jelas terlihat bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kondisi sine qua non ( atau
keadaan yang sudah begitu adanya) dari kepemimpinan. Tanpa itu, seseorang bisa
saja mengikuti pelatihan terbaik di dunia, lugas, berpikiran analitis, dan selalu
memiliki ide-ide cemerlang, tetapi tetap saja dia tidak akan menjadi pemimpin yang
hebat.
Dalam suatu pelatihan tahun lalu, kolega-kolega dan saya sendiri telah
memfokuskan pada bagaimana kecerdasan emosional berfungsi pada pekerjaan.
Kami telah menguji hubungan antara kecerdasan emosional dan tampilan efektif,
terutama pada pemimp in. Dan kami juga telah mengamati bagaimana kecerdasan
emosi berperan pada pekerjaan. Bagaimana anda dapat mengatakan bahwa
seseorang memiliki kecerdasan emosional, misalnya, dan bagaimana anda dapat
mengenali keberadaannya pada diri anda? Pada halaman-halaman selanjutnya, kita
akan mendalami pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan juga menelaah setiap
komponen dari kecerdasan emosional : kesadaran diri (self awareness), pengaturan
diri (self regulation), motivasi, empati, dan keterampilan sosial.
Mengevaluasi Kecerdasan Emosional
Saat ini kebanyakan perusahaan-perusahaan besar menggunakan jasa
psikolog yang terlatih untuk mengembangkan apa yang dikenal sebagai model
kompetensi untuk membantu mereka dalam mengidentifikasi, melatih, dan
mempromosikan calon-calon bintang dalam kepemimpinan. Para psikolog tersebut
juga mengembangkan model-model untuk posisi yang lebih rendah. Dan belakangan
ini, saya telah menganalisis berbagai macam model kompetensi dari 188
perusahaan, dimana sebagian besar dari mereka adalah perusahaan global dan
besar, seperti Lucent Technologies, British Airways, dan Credit Suisse.
Saat mengerjakan tugas ini, tujuan saya adalah untuk menentukan
kemampuan individual seperti apa yang mendasari tampilan luar biasa dari
organisasi-organisasi tersebut, dan mengapa mereka melakukannya. Saya
mengelompokkan kemampuan-kemampuan tersebut dalam tiga kategori :
keterampilan murni teknis, seperti akunting dan perencanaan bisnis, kemampuan
kognisi, misalnya penalaran analitis, dan kompetensi dalam menunjukkan
3
kecerdasan emosional, seperti kemampuan untuk bekerja dengan orang lain dan
efektivitas dalam mengarahkan perubahan.
Dalam membuat beberapa model kompetensi, para psikolog tersebut
bertanya pada senior manager di perusahaan yang bersangkutan untuk
mengidentifikasi kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh para pemimpin
perusahaan yang mempunyai prestasi sangat baik. Sedangkan dalam pembuatan
model lainnya, para psikolog menggunakan kriteria objektif seperti kemampulabaan
(profitabilias) suatu divisi dalam membedakan antara pemimpin yang cemerlang
dengan pemimpin yang rata-rata di tingkat senior di dalam perusahaan itu sendiri.
Para pemimpin yang terpilih tersebut kemudian diwawancarai secara mendalam dan
dilakukan pula pengetesan, dan kemampuan mereka dibandingkan. Proses ini
menghasilkan suatu daftar yang berisi komponen-komponen yang dibutuhkan bagi
pemimpin agar tampil efektif. Panjang daftar ini berkisar antara 7 sampai dengan 15
item dan termasuk juga di dalamnya komponen seperti inisiatif dan pandangan
strategis.
Ketika saya menganalisis semua data ini, saya menemukan hasil yang
dramatis. Jelaslah bahwa kecerdasan merupakan dasar bagi tampilan kepemimpinan
yang sangat baik. Kemampuan kognisi, seperti pemikir ulung dan pandangan yang
jauh ke depan, jelas sangat penting. Tetapi ketika saya menghitung perbadingan
antara keterampilan teknis, IQ, dan kecerdasan emosional sebagai komponen dari
tampilan yang istimewa, terbukti bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting
dibandingkan komponen lainnya untuk pekerjaan di semua tingkatan.
Analisis saya juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional makin
meningkat peranannya pada tingkatan tertinggi dalam perusahaan, dimana
perbedaan keterampilan teknis dapat diabaikan peranannya. Dengan kata lain,
semakin tinggi peringkat seseorang yang mungkin menjadi seorang bintang, maka
makin banyak pula kemampuan kecerdasan emosionalnya yang tampak sebagai
alasan atas keefektivan tampilan yang ia tunjukkan. Ketika saya membandingkan
pemimpin-pemimpin yang sangat baik itu dengan pemimpin biasa dalam posisi
kepemimpinan senior, hampir 90% dari perbedaan profil mereka terletak pada faktor
kecerdasan emosional dibandingkan dengan kemampuan kognisi.
Peneliti lain telah mengkonfirmasikan bahwa kecerdasan emosional bukan
saja membedakan pemimpin-pemimpin cemerlang, tetapi bisa juga dikaitkan dengan
tampilan yang baik. Penemuan dari almarhum David McClelland, seorang peneliti di
bidang perilaku personel dan organisasi, adalah sebuah contoh yang bagus. Pada
4
sebuah penelitian di tahun 1996 terhadap sebuah perusahaan makanan dan
minuman global, McClelland menemukan bahwa ketika senior manager memiliki
kemampuan kecerdasan emosional yang cukup, divisinya dapat menghasilkan 20%
dari tujuan tahunannya. Sementara itu, kepala divisi yang tidak memiliki
kemampuan kecerdasan emosional pada batas minimal, kegagalannya dalam
memenuhi target juga pada jumlah yang sama. Menariknya, penemuan McClelland
ini dibuktikan pada perusahaan yang divisinya berada di Amerika Serikat, juga divisi
Asia dan Eropa.
Pendeknya, angka-angka itu mulai memberitahukan kita kisah yang
meyakinkan mengenai hubungan antara kesuksesan perusahaaan dan kecerdasan
emosional dari para pemimpinannya. Hal yang juga penting adalah penelitian ini
menunjukkan bahwa manusia dapat saja, jika mereka menggunakan pendekatan
yang sesuai, untuk mengembangkan kemampuan kecerdasan emosional. (Lihat
“Dapatkah Kecerdasan Emosional Dipelajari?”)
Kesadaran Diri
Kesadaran diri adalah komponen pertama dari kecerdasan emosional-ini
masuk akal jika kita ingat ucapan seorang filsuf, Delphic, beribu tahun lalu, yang
menasihatkan untuk “mengenali diri sendiri”. Kesadaran diri berarti memiliki
pemahaman yang mendalam mengenai emosi, kekuatan, kelemahan, kebutuhan,
dan dorongan-dorongan diri. Individu dengan kesadaran diri yang baik biasanya
kalau tidak sangat kritis atau memiliki harapan-harapan yang tidak realistis.
Meskipun demikian mereka jujur, baik kepada orang lain atau diri sendiri.
Individu yang memiliki kesadaran tinggi mengenai dirinya mampu mengenali
bagaimana perasaan mempengaruhi dirinya, orang lain, dan prestasi pekerjaan. Jadi
individu yang sadar diri, yang mengetahui bahwa tenggat waktu yang ketat justru
memperburuk dirinya, maka ia akan membuat perencanaan waktu secara hati-hati
dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik lebih awal. Individu lain dengan
kesadaran diri yang tinggi akan mampu untuk bekerja dengan pelanggan yang
sangat penuntut. Ia akan memahami pengaruh pelanggan ini terhadap suasana
perasaannya dan menjadi alasan untuk frustrasi yang dialaminya. “ Tuntutan yang
tidak penting akan menjauhkan kita dari pekerjaan-pekerjaan yang harus
dikerjakan,” jelasnya. Kemudian ia akan mengambil tindakan dan mengubah
kemarahannya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
5
Lima Komponen Kecerdasan Emosional dalam Pekerjaan
Definisi
Ciri-Ciri
Kesadaran Diri (Self Awareness)
Kemampuan untuk mengenali dan memahami keadaan perasaan, emosi, dan dorongan, juga dampaknya terhadap orang lain.
Percaya diri (Self-confidence) Pengukuran diri yang realistis (realistic self-assessment) Memiliki sense of humor.
Pengaturan Diri (Self Regulation)
Kemampuan untuk mengendalikan atau mengarahkan kembali impuls atau perasaan yang mengganggu. Kecenderungan untuk menunda penilaian, berpikir dulu sebelum bertindak.
Dapat dipercaya dan integritas (trustworthiness and integrity) Merasa nyaman dengan keadaan yang ambigu (comfort with ambiguity). Terbuka terhadap perubahan (openness to change)
Motivasi (Motivation)
Keinginan bekerja berdasarkan alasan selain uang atau status. Kecenderungan untuk mendapatkan tujuan dengan semangat dan ketekunan.
Memiliki dorongan yang kuat untuk meraih prestasi (strong drive to achieve) Optimis, bahkan saat akan menghadapi kegagalan (optimism, even in the face of failure) Memiliki komitmen terhadap organisasi (organizational commitment)
Empati (Empathy)
Kemampuan untuk memahami keadaan emosional dari orang lain. Keterampilan untuk memperlakukan orang lain sesuai dengan reaksi emosional mereka.
Memiliki ahli dalam membangun dan memelihara bakat (expertise in building and retaining talent) Kepekaan terhadap perbedaan kultur dan budaya (cross-cultural sensitivity) Memiliki pelayanan terhadap klien dan pelanggan (service to clients and customers)
Keterampilan Sosial (Social Skill)
Keahlian dalam menjaga hubungan dengan orang lain dan membangun jaringan kerja. Kemampuan untuk menemukan persamaan dan membangun kedekatan dengan orang lain.
Efektivitas dalam memimpin perubahan (effectiveness in leading change) Persuasif (persuasiveness) Ahli dalam membentuk dan memimpin kelompok (expertise in building and leading teams)
6
Kesadaran diri berkembang menjadi pemahaman individu akan nilai-nilai dan
tujuannya. Seseorang yang memiliki kesadaran diri yang tinggi me ngetahui di bidang
mana ia berhasil dan apa penyebabnya; sebagai contoh, ia tetap pendapatnya ketika
menolak tawaran pekerjaan yang menjanjikan secara keuangan tetapi tidak sesuai
dengan prinsipnya atau rencana jangka panjangnya. Individu yang kesadaran dirinya
kurang akan berusaha menyesuaikan keputusan yang meragukannya dengan cara
mengabaikan nilai-nilainya. “Habis uang yang ditawarkan kelihatannya menjanjikan.
Jadi saya terima saja,” Individu lain, katakanlah, bekerja hanya selama 2 tahun,
“Soalnya pekerjaannya terlalu mudah buat saya, jadi saya cepat sekali bosan.”
Keputusan dari orang-orang yang memiliki kesadaran diri tinggi telah
dipertimbangkan kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang mereka miliki.
Konsekuensinya, mereka seringkali mendapatkan pekerjaan yang membuatnya
bersemangat.
Bagaimana seseorang dapat mengenali kesadaran dirinya? Pertama, dan
terutama, kesadaran diri tampak sebagai suatu ungkapan dan sebagai suatu
kemampuan untuk menguji diri secara realistis. Individu dengan kesadaran diri yang
tinggi akan mampu untuk berbicara secara akurat dan terbuka -meskipun tidak
secara berlebihan atau terlalu apa adanya- mengenai emosi mereka dan
pengaruhnya terhadap pekerjaan mereka. Sebagai contoh, seorang manager yang
saya kenal bersikap skeptis ketika sebuah kebijakan pelayanan yang dibuat
perusahaannya, sebuah departemen store besar, akan dikenalkan. Tanpa teguran
dari timnya atau pimpinannya, ia memberikan penjelasan, “sulit bagi saya untuk
mengabaikan dan tidak terlibat pada kebijakan ini,” akunya, “karena saya sangat
ingin untuk menjalankan proyek ini, tetapi saya tidak terpilih. Tolong pahami saya
selama saya dalam proses menerima keadaan ini.” Manager ini jelas telah menelaah
perasaannya sendiri. Seminggu kemudian, ia mendukung pelaksanaan proyek ini
dengan sepenuh hati.
Pengetahuan mengenai diri seperti itu seringkali tampak dalam proses
rekrutmen. Tanyakan pada seorang kandidat untuk menceritakan suatu waktu
dimana ia terbawa perasaan dan melakukan sesuatu karenanya, namun akhirnya
disesalinya. Kandidat yang memiliki kesadaran diri akan menceritakan secara jujur
mengenai kegagalannya tersebut- dan seringkali mereka bercerita sambil
tersenyum. Salah satu ciri dari kesadaran diri adalah rasa humor yang dimiliki
individu.
7
Kesadaran diri juga dapat diidentifikasikan dalam pembahasan mengenai
prestasi kerja. Individu yang sadar diri mengetahui –dan merasa nyaman ketika
berbicara mengenai hal itu- keterbatasan dan kekuatannya, dan mereka seringkali
menunjukkan keinginannya untuk mendapatkan kritikan yang membangun.
Sebaliknya, individu yang memiliki kesadaran diri yang rendah mengartikan pesan
bahwa mereka membutuhkan perubahan sebagai suatu ancaman atau tanda
kegagalan.
Individu yang sadar diri juga dapat dikenali berdasarkan percaya dirinya.
Mereka yakin akan kemampuannya dan berusaha untuk tidak gagal karenanya,
sebagai contoh terlalu ketat dalam melaksanakan tugasnya. Mereka juga tahu kapan
saatnya untuk meminta bantuan. Dan mereka memperhitungkan semua resiko yang
mereka ambil dalam mengerjakan pekerjaannya. Mereka tidak akan menerima
tantangan yang tidak dapat dikerjakannya. Mereka berusaha berdasarkan kekuatan
mereka.
Renungkanlah tindakan dari seorang karyawan menengah berikut ini. Ia
diundang untuk ikut serta dalam rapat penentuan strategi perusahaan dengan bos-
bos besar. Meskipun ia adalah orang paling yunior di ruangan tersebut, dia tidak
hanya duduk diam, hanya mendengarkan dan membisu. Ia mengetahui bahwa ia
memiliki logika yang jernih dan ketrampilan untuk menyajikan ide secara persuasif,
dan ia memberikan saran yang argumentatif mengenai strategi perusahaan. Pada
saat yang bersamaan, kesadaran dirinya menghentikan tindakannya untuk
memasuki ‘daerah’ yang ia tahu di sana adalah letak kelemahannya.
Selain keuntungan bila memiliki orang dengan kesadaran diri di tempat kerja,
penelitian saya mengindikasikan bahwa eksekutif senior jarang memberikan
penilaian yang baik terhadap kesadaran diri ketika mereka mencari pemimpin yang
potensial. Banyak eksekutif salah mengartikan ungkapan perasaan sebagai suatu
kelemahan, dan tidak memberikan penghargaan pada karyawannya yang membuka
diri terhadap kekurangannya. Orang-orang seperti ini seringkali dicap sebagai ‘tidak
cukup tegar’ untuk memimpin orang lain.
Pada kenyataannya, justru kebalikannya lah yang benar. Pertama, individu
dihormati oleh semuanya dan menghargai keterbukaan. Lebih jauh lagi, pemimpin
secara konstan dibutuhkan untuk membuat penilaian yang memerlukan pengujian
kemampuan secara tersembunyi –baik untuk dirinya sendiri dan orang lain. Apakah
kita memiliki ahli manajemen untuk mendapatkan seorang kompetitor? Mampukah
kita meluncurkan sebuah produk baru dalam 6 bulan ini? Individu yang menguji
8
dirinya sendiri secara jujur –yaitu orang yang memiliki kesadaran diri- adalah orang
yang tepat untuk sekaligus menjadi kompetitor bagi organisasinya.
Pengaturan Diri
Rangsangan biologis menggerakkan emosi kita. Kita tidak dapat melakukan
apa pun tanpanya –tapi kita dapat melakukan banyak hal untuk mengaturnya.
Pengaturan diri, seperti perbincangan yang sedang terjadi dalam diri, adalah
komponen dari kecerdasan emosional yang membebaskan kita dari perasaan-
perasaan. Individu yang terikat seperti dalam suatu pembicaraan merasa tidak enak
dan impuls emosi terjadi seperti yang terjadi pada orang lain, tetapi individu itu
menemukan cara untuk mengendalikan perasaannya dan bahkan menggunakan
perasaannya dengan cara yang baik.
Bayangkan seorang eksekutif yang baru saja menyaksikan sekelompok
karyawannya menyajikan sebuah analisis perbaikan di hadapan dewan direktur
perusahaan tersebut. Ketika presentasi sedang berlangsung, eksekutif itu mungkin
merasa sangat ingin memukul meja karena amarahnya, atau menendang sebuah
kursi. Dia bisa saja melompat ke arah presenter dan berteriak pada kelompok
tersebut. Atau, ia dapat saja tetap diam, memandang dengan penuh arti ke setiap
presenter sebelum meninggalkan ruangan.
Tetapi, jika eksekutif itu memiliki kemampuan untuk mengatur diri, ia akan
memilih pendekatan yang berbeda. Ia akan memilih kata-katanya dengan hati-hati,
mengutarakan penampilan buruk dari kelompoknya tanpa menghakiminya.
Kemudian dia akan menelaah untuk mencari alasan atas kegagalan tersebut. Apakah
secara individual, kelompok tersebut kurang semangat? Ataukah ada faktor-faktor
yang melemahkan? Apa peranannya dalam kegagalan tersebut? Setelah
mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia kemudian memanggil
kelompoknya, membahas konsekuensi dari kejadian yang baru saja berlangsung,
dan mengutarakan perasaannya mengenai hal itu. Kemudian ia mengajukan
analisisnya mengenai masalah yang mereka hadapi dan menawarkan suatu
pemecahan.
Apa yang membuat pengaturan diri sangat berarti bagi pemimpin? Pertama,
individu yang mampu mengontrol perasaan dan dorongannya – yaitu individu yang
beralasan jelas- akan mampu membentuk suatu lingkungan yang terpercaya dan
adil. Dalam lingkungan seperti itu, politik dan persaingan dalam kelompok akan
berkurang secara signifikan dan produktivitas meningkat. Orang-orang yang
9
berbakat akan bersama-sama masuk ke dalam organisasi dan tidak memiliki
keinginan untuk keluar dari sana. Dan pengaturan diri mempunyai efek tric kledown
(suatu efek yang seperti ‘menetes’). Tidak ada seorang anak buah pun yang ingin
dikenal sebagai seorang pemarah jika pemimpinnya dikenal sebagai orang yang
tenang atau kalem. Makin sedikit sifat atau perilaku yang buruk dari atasan berarti
makin sedikit pula sifat atau perilaku buruk yang ada di seluruh organisasi.
Kedua, pengaturan diri memiliki peranan penting untuk alasan kompetitif.
Setiap orang mengetahui bahwa dalam bisnis saat ini sering terjadi kerancuan dan
perubahan. Sering terdengar adanya penyatuan perusahaan, atau merger, dan
pemisahan perusahaan. Teknologi mengubah pekerjaan menjadi pola yang
membingungkan. Individu yang dapat menguasai emosi mereka akan mampu
mengatasi perubahan-perubahan. Ketika suatu kebijakan baru diumumkan, mereka
tidak panik; sebaliknya, mereka mampu untuk tidak berkomentar terlebih dulu,
mencari informasi, dan mendengarkan penjelasan dari eksekutif mengenai program
tersebut. Sehingga ketika langkah baru dimulai, mereka mampu bergerak bersama
kebijakan baru tersebut.
Bahkan terkadang merekalah yang memimpin perjalanan tersebut.
Bayangkan kasus dari seorang manager di sebuah perusahaan manufaktur.
Layaknya mitra kerjanya, ia menggunakan program perangkat lunak tertentu selama
5 tahun ini. Program itu membantu ia dalam mengumpulkan dan melaporkan data
serta pikiran-pikirannya mengenai strategi perusahaan. Suatu hari, seorang
eksekutif senio r mengumumkan bahwa sebuah program baru telah dipasang dan
akan mengubah secara radikal cara pengumpulan informasi dan pengujiannya dalam
organisasi. Sementara banyak orang di perusahannya mengeluh mengenai seberapa
besar kerugian yang terjadi akibat perubahan tersebut, manager ini
mempertimbangkan alasan penggunaan program baru tersebut dan akhirnya yakin
bahwa program itu dapat lebih membantu pekerjaannya. Ia dengan bersemangat
mengikuti program pelatihan –dimana mitra kerjanya menolak untuk mengikuti- dan
akhirnya dipromosikan untuk mengelola beberapa divisi. Sebagian alasan dari
promosinya adalah karena ia mampu menggunakan teknologi baru secara efektif.
Saya ingin lebih menekankan pentingnya pengaturan diri pada kepemimpinan
ini dan pengaruhnya terhadap perbaikan integritas, bukan hanya pada cara pikir dan
perilaku individu, tetapi juga pada kekuatan organisasi. Banyak hal-hal buruk yang
terjadi di perusahaan yang merupakan akibat dari tindakan impulsif. Individu jarang
merencanakan untuk melebih-lebihkan keuntungan, mengabaikan perhitungan
10
pengeluaran, mengabaikan uang tunai, atau menyalahgunakan kekuasaan untuk
kepuasan diri sendiri. Melainkan, sebuah kesempatan untuk menunjukkan dirinya,
dan individu dengan kendali diri rendah akan menyetujuinya.
Sebaliknya, coba bayangkan perilaku seorang eksekutif senior dari
perusahaan besar yang bergerak di bidang makanan. Eksekutif ini sangat berhati-
hati dalam negosiasinya dengan para distibutor lokal. Ia secara rutin
menggambarkan struktur pengeluaran secara detil, sehingga membuat para
distributor memahami kebijakan perusahaan tersebut dalam menetapkan harga.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa si Eksekutif tidak selalu bisa mengajukan
penawaran-penawaran secara ketat. Pada situasi seperti itu, ia merasa lebih baik
untuk meningkatkan keuntungan dengan cara menahan informasi mengenai
pengeluaran perusahaan. Tetapi kemudian ia meragukan perasaannya tersebut, ia
melihat bahwa akan lebih masuk akal untuk melakukan hal yang sebaliknya.
Pengaturan emosional yang dimilikinya membantunya untuk membuat hubungan
yang kuat dan awet dengan para distributor. Hal ini menguntungkan perusahaan
lebih banyak dari pada bila ia melaksanakannya dengan cara biasa dan hubungan itu
hanya untuk waktu singkat.
Oleh karena itu ciri dari pengaturan emosional sangat jelas : adanya
kecenderungan untuk membayangkan dan penuh perhitungan; merasa nyaman
dengan ketidakjelasan dan perubahan; dan integritas- suatu kemampuan untuk
mengatakan ‘tidak’ pada hal-hal yang impulsif dan mendesak.
Layaknya kesadaran diri, pengaturan diri seringkali tidak dikenali. Individu
yang dapat mengatur emosinya kadangkala terlihat seperti ikan yang sedang flu-
mereka tampaknya berespon seperti kekurangan energi. Individu dengan
temperamen panas seringkali dianggap sebagai pemimpin ‘sejati’ –amarahnya
dianggap sebagai pertanda karisma dan kekuatan. Tetapi ketika orang semacam itu
menduduki posisi puncak, impulsifnya seringkali menjadi lawan mereka sendiri.
Dalam penelitian saya, tampilan yang berlebihan dari emosi negatif tidak pernah
berubah sebagai pendorong pada kepemimpinan yang baik.
Motivasi
Kalau ada satu sikap yang kasat mata yang dimiliki oleh semua pemimpin
yang efektif, maka itu adalah motivasi. Para pemimpin itu tergerak untuk meraih
lebih dari yang diharapkan –baik oleh dirinya sendiri atau orang lain. Kata kunci di
sini adalah : meraih. Banyak orang termotivasi oleh faktor eksternal, seperti
11
pendapatan yang besar atau status yang didapat dari gelar yang mengesankan atau
menjadi bagian dari perusahaan yang bonafid. Sebaliknya, orang-orang yang
memiliki potensi sebagai seorang pemimpin biasanya termotivasi oleh keinginan
yang kuat untuk meraih sesuatu berdasarkan prestasinya.
Jika anda mencari pemimpin, bagaimana anda dapat mengidentifikasikan
individu yang termotivasi oleh dorongan untuk meraih sesuatu daripada imbalan
eksternal? Ciri pertama adalah kegairahannya untuk bekerja –seperti orang yang
mencari tantangan kreatif, senang belajar, dan bangga bila pekerjaannya berhasil.
Mereka juga menunjukkan energi yang tidak ada habis-habisnya untuk melakukan
segala sesuatu dengan lebih baik. Individu dengan semangat seperti ini sering
terlihat gelisah bila keadaan status quo. Mereka akan terus bertanya mengapa suatu
hal dikerjakan dengan cara seperti ini, bukan dengan cara yang lain; mereka dengan
semangat menelaah pendekatan-pendekatan baru dalam mengerjakan tugas
mereka.
Seorang manager perusahaan kosmetik, misalnya, merasa frustrasi ketika ia
harus menunggu selama 2 minggu untuk mendapatkan hasil penjualan dari para
stafnya di lapangan. Akhirnya ia menggunakan sistem telepon otomotis yang akan
menghubungi para staf penjualannya setiap jam 5 sore setiap hari. Kemudian pesan
otomatis akan terdengar dan meminta para staf tersebut untuk menekan angka yang
menunjukkan berapa banyak telpon dan penjualan yang telah mereka lakukan hari
ini. Sistem ini memperpendek jangka waktu pelaporan hasil para staf penjualan
tersebut, dari hitungan minggu menjadi hitungan jam.
Kisah di atas menggambarkan dua sikap yang biasanya ditunjukkan individu
yang terdorong untuk meraih sesuatu. Secara terus menerus mereka akan
meningkatkan tampilan kerjanya, dan mereka ingin memberikan hasil yang terbaik.
Kita perhatikan peningkatan tampilan kerja terlebih dulu. Selama pembahasan
mengenai tampilan kerjanya, individu dengan tingkat motivasi yang tinggi akan
meminta atasannya untuk dipacu agar dapat meningkatkan keunggulan mereka.
Tentu saja, karyawan yang memiliki kombinasi antara kesadaran diri dengan
motivasi internal akan mengenali keterbatasannya –tapi mereka tidak akan
menentukan tujuan yang terlalu mudah untuk dipenuhi.
Ini alami bagi individu yang tergerak untuk melakukan segala sesuatu lebih
baik dan memantau kemajuan –baik yang dibuat oleh dirinya, kelompoknya, dan
perusahaannya. Jika individu yang motivasi berprestasinya rendah seringkali tidak
paham mengenai hasil yang dicapai, individu dengan motivasi berprestasi tinggi
12
akan terus memantau hasil yang dicapai, dengan suatu ukuran tertentu, misalnya
keuntungan yang diraih atau harga saham. Saya mengenali seorang manager
keuangan yang memulai dan mengakhiri kegiatan sehari-harinya dengan internet,
melihat keadaan sahamnya diantara 4 perusahaan lainnya, sebagai patokan.
Yang menarik, individu dengan motivasi tinggi akan tetap optimis ketika
angka yang diraihnya tidak sesuai dengan harapan. Dalam kasus seperti ini,
pengaturan diri berkombinasi dengan motivasi berprestasi untuk mengatasi perasaan
frustrasi dan depresi yang dirasakan setelah kegagalan. Kita lihat kasus seorang
manager portofolio dari sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang investasi.
Setelah tahun-tahun yang penuh kesuksesan, tiba-tiba ia terpuruk dalam waktu 3
triwulan berturut-turut, yang mengakibatkan kliennya, tiga perusahaan besar,
memindahkan bisnis mereka ke tempat lain.
Beberapa eksekutif lain mungkin akan menyalahkan keadaan yang memburuk
di luar kendalinya; beberapa mungkin melihat kejadian ini sebagai bukti atas
kegagalan pribadi. Sedangkan manager portfolio ini melihatnya sebagai suatu
kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa merubah keadaan. Dua tahun
kemudian, ketika ia dipromosikan ke posisi sangat senior di perusahaannya, ia
menggambarkan pengalaman ini sebagai “Pengalaman terbaik yang pernah saya
alami; Saya belajar banyak dari sana”
Eksekutif yang mencoba untuk mengenali motivasi berprestasi yang tinggi
dari stafnya dapat mencoba untuk menemukan ciri terakhir : komitmen pada
kelompok/organisasi. Ketika individu mencintai pekerjaannya karena pekerjaan itu
sendiri, maka seringkali mereka merasa terikat dengan organisasi yang
memungkinkan ia melakukan pekerjaan tersebut. Karyawan yang memiliki komitmen
cenderung akan tetap bersama organisasinya ketika mereka diiming-imingi uang
yang banyak oleh headhunters.
Tidak sulit untuk memahami bagaimana dan mengapa motivasi untuk meraih
suatu prestasi diterjemahkan sebagai kepemimpinan yang kuat. Jika anda mengatur
target tampilan prestasi anda sendiri, anda akan melakukan hal yang sama untuk
organisasi ketika anda berada dalam posisi yang mengharuskannya. Sama halnya
ketika ada suatu dorongan untuk mencapai suatu tujuan dan ketertarikan untuk
mendapatkan nilai baik biasanya menular. Pemimpin dengan sikap seperti ini
seringkali mampu membentuk suatu kelompok managernya memiliki sikap yang
sama. Dan tentu saja, optimisme dan komitmen terhadap organisasi adalah hal yang
13
sangat mendasar (fundamental) bagi kepemimpinan –coba saja membayangkan
menjalankan sebuah perusahaan tanpa adanya hal-hal tersebut.
Empati
Dari semua dimensi mengenai kecerdasan emosional, empati adalah yang
paling mudah dikenali. Kita semua pernah merasakan empati dari guru yang sensitif
atau seorang teman; kita juga merasa tidak nyaman ketika empati tidak ditunjukkan
oleh pelatih atau boss. Tetapi ketika berkaitan dengan bisnis, kita jarang mendengar
orang dipuji, dibiarkan dan tidak dihargai, ketika menunjukkan empati mereka.
Seakan-akan kata empati sama sekali tidak memiliki unsur bisnis di dalamnya, tidak
pada tempatnya diantara kenyataan yang keras di dunia bisnis.
Tetapi, empati bukan hanya berarti slogan “Saya OK, kamu OK” saja. Bagi
seorang pemimpin, empati juga bukan berarti mengadopsi perasaan atau emosi
orang lain menjadi perasaannya sendiri dan berusaha untuk menyenangkan setiap
orang. Hal seperti itu akan menjadi buruk –membuat segala tindakan menjadi tidak
berarti. Empati berarti pertimbangan yang sungguh-sungguh mengenai perasaan
karyawan –juga faktor-faktor lainnya- dalam proses pengambilan keputusan yang
baik.
Sebagai contoh tindakan empati, bayangkan apa yang terjadi ketika dua
perusahaan broker disatukan (merger), yang mengakibatkan kekacauan pekerjaan di
semua divisinya. Seorang manager divisi memanggil semua stafnya dan memberikan
pidato yang isinya menekankan bahwa sejumlah karyawan akan di-PHK. Sedangkan
manager divisi lain memberikan pidato yang isinya berbeda. Ia mengemukakan
mengenai kekhawatiran dan kebingungannya sendiri. Ia juga berjanji untuk
memberitahukan informasi yang ia ketahui kepada para stafnya dan akan
memperlakukan semua orang secara adil.
Perbedaan antara dua manager ini adalah empati. Manager yang pertama
terlalu khawatir mengenai nasibnya sendiri daripada membayangkan perasaan dari
stafnya yang sedang cemas. Manager yang kedua, secara intuisi mengetahui apa
yang dirasakan oleh stafnya, dan ia mengungkapkan ketakutan tersebut dengan
kata-katanya sendiri. Maka bukan menjadi kejutan bila manager yang pertama
melihat perubahan pada divisinya. Kinerja divisinya menurun, para stafnya yang
paling berbakat sekalipun meninggalkan pekerjaan. Sebaliknya, manager yang
kedua tetap menjadi pemimpin yang baik, para stafnya tetap bertahan, dan divisinya
tetap produktif seperti sebelumnya.
14
Empati menjadi penting saat ini sebagai suatu komponen dari kepemimpinan,
paling tidak karena tiga alasan : pemberdayaan yang semakin meningkat dari
kelompok, globalisasi yang berlangsung sangat cepat dan kebutuhan yang
meningkat untuk mempertahankan kemampuan.
Coba bayangkan jika anda ditantang untuk memimpin sebuah tim. Sebagai
seseorang yang pernah menjadi suatu bagian di dalamnya, seseorang pasti
mengakui bahwa kelompok atau tim adalah suatu wadah dimana perasaan atau
emosi menggelegak. Mereka seringkali dibebani untuk mencapai suatu kesepakatan
–ini sulit bila ada dua orang dan akan lebih sulit lagi bila jumlah orang bertambah
banyak. Bahkan dalam ke lompok yang jumlahnya sedikit, misalnya 4 atau 5 orang,
persekutuan terjadi dan tujuan yang berlawanan terbentuk. Seorang pemimpin
kelompok harus mampu untuk merasakan dan memahami pandangan dari setiap
anggotanya.
Hal itulah yang dilakukan seorang manager pemasaran pada sebuah
perusahaan IT ketika ia ditunjuk untuk memimpin tim yang bermasalah. Kelompok
itu sedang kacau balau, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan tidak ada
tenggat waktu yang terpenuhi. Ketegangan makin meningkat diantara anggota
kelompok. Memperbaiki prosedur saja tidak cukup untuk mengembalikan
kebersamaan kelompok dan membuatnya menjadi bagian yang efektif dari
perusahaan.
Akhirnya, sang manager mengambil beberapa tindakan. Dalam sejumlah sesi
perseorangan, ia memberikan waktunya untuk mendengarkan setiap orang dalam
kelompok tersebut –apa yang membuat mereka frustrasi, bagaimana mereka menilai
rekan kerjanya, apakah mereka merasa telah diabaikan. Kemudian, sang manager
mengarahkan kelompoknya untuk menyatu: dia menyemangati anggota kelompok
untuk lebih terbuka dalam mengutarakan frustrasinya, dan ia memberikan
kesempatan anggotanya untuk memberikan kritik yang membangun selama rapat.
Pendeknya, empati yang dimiliki sang manager membantunya untuk memahami
bagaimana kondisi emosi anggotanya. Hasilnya bukan saja memperkuat kerja sama
antar anggota kelompok, tetapi juga bermanfaat bagi bisnis perusahaan. Ini tampak
dari bagaimana kelompok ini dimintai bantuan oleh banyak pihak dalam perusahaan
sendiri (by a wider range of internal clients).
Globalisasi adalah alasan lain untuk meningkatkan kepentingan empati bagi
pemimpin bisnis. Dialog lintas budaya dapat dengan mudah menjadi sumber
kesalahpahaman dan salah pengertian. Empati adalah penawarnya. Individu yang
15
memiliki empati akan mampu menangkap sinyal dari bahasa tubuh yang tidak jelas
terlihat; mereka dapat mendengar maksud tersembunyi dari suatu pesan verbal.
Lebih jauh lagi, mereka memiliki pemahaman yang mendalam akan keberadaan dan
kepentingan akan perbedaan budaya dan etnis.
Kita lihat kasus dari seorang konsultan Amerika yang timnya hampir saja
kehilangan sebuah proyek dari klien Jepang yang potensial. Dalam pembicaraan
bersama, kelompok Amerika biasanya dihujani pertanyaan setelah proposal
diajukan, tetapi kali ini tidak ada pertanyaan apa pun. Sebagian anggota kelompok
Amerika menganggap situasi diam tanpa pertanyaan sebagai tanda tidak setuju,
sehingga mereka berkemas dan bersiap untuk pergi. Ketua kelompok konsultan
tersebut memberikan tanda untuk berhenti. Meskipun ia tidak terlalu paham dengan
budaya Jepang, ia membaca ekspresi wajah dan postur kliennya, dan merasakan
bahwa diamnya itu bukan suatu penolakan, melainkan suatu ketertarikan –sedang
mempertimbangkan. Dan ketua kelompok konsultan itu benar: ketika klien
Jepangnya akhirnya berbicara, mereka memberikan pekerjaan tersebut kepada
kelompok konsultan yang dipimpinnya.
Memang, empati memainkan peranan penting dalam mempertahankan bakat,
terutama dalam informasi ekonomi seperti sekarang ini. Pemimpin akan selalu
membutuhkan empati untuk mengembangkan dan mempertahankan orang-orang
yang berbakat, tetapi persaingan saat ini sangat ketat. Ketika orang yang berbakat
meninggalkan perusahaan, maka ia akan membawa ilmu milik perusahaan bersama
mereka.
Disitulah letaknya pelatihan dan mentoring. Telah berulangkali dibuktikan
bahwa pelatihan dan mentoring berguna bukan saja untuk tampilan prestasi yang
lebih baik, tetapi juga peningkatan kepuasan bekerja dan penurunan angka turn
over. Tetapi yang membuat pelatihan dan mentoring berhasil adalah asal muasal
kepemimpinan itu sendiri. Pelatihan dan mentoring yang baik merasuki kepala orang
yang menerimanya. Pelatihan itu menyadarkan bagaimana caranya memberikan
umpan balik yang efektif. Sehingga pesertanya mengetahui kapan berusaha keras
untuk menampilkan prestasi yang baik dan kapan untuk menahan diri. Ketika
mereka memotivasi para stafnya, maka mereka menunjukkan cara kerja empati.
Meskipun terdengar seperti pengulangan, biarlah saya ulang kembali bahwa
empati belum mendapat perhatian dalam bisnis. Orang-orang heran bagaimana
pemimpin dapat mengambil keputusan yang sulit bila mereka memperhatikan
perasaan semua orang yang terlibat. Tetapi pemimpin dengan empati melakukan
16
lebih dari sekedar simpati terhadap orang-orang di sekitarnya : mereka
menggunakan pengetahuannya untuk memperbaiki perusahaannya dengan cara
yang halus tetapi penting.
Keterampilan Sosial
Tiga faktor pertama dari kecerdasan emosional adalah keterampilan
pengaturan diri. Sedangkan dua lainnya, yaitu empati dan keterampilan sosial,
menitikberatkan pada kemampuan individu untuk mengatur hubungannya dengan
orang lain. Sebagai sebuah komponen kecerdasan emosional, keterampilan sosial
tidak sesederhana kedengarannya. Ini bukan saja masalah keramahan, meskipun
individu yang memiliki keterampilan sosial tinggi jarang yang memiliki keinginan
jahat terhadap orang lain [mean-spirited]. Keterampilan sosial lebih seperti
keramahan dengan suatu tujuan : menggerakkan orang ke arah yang anda inginkan,
apakah itu suatu persetujuan terhadap strategi pemasaran yang baru atau
antusiasme tentang sebuah produk baru.
Individu yang terampil secara sosial cenderung memiliki banyak kenalan, dan
mereka memiliki kepandaian khusus untuk menemukan kesamaan dengan orang-
orang dari berbagai latar belakang- kepandaian untuk membina kedekatan (rapport).
Tapi bukan berarti mereka selalu bersosialisasi terus menerus; artinya, mereka
bekerja berdasarkan asumsi bahwa tidak sesuatu yang penting yang dikerjakan
sendiri. Individu semacam ini menggunakan jaringan kerja ketika ia harus
mengerjakan sesuatu.
Keterampilan sosial merupakan puncak dari semua dimensi mengenai
kecerdasan emosional. Individu cenderung sangat efektif dalam mengatur hubungan
sosialnya ketika ia dapat memahami dan mengendalikan emosinya sendiri dan dapat
empati terhadap perasaan orang lain. Bahkan motivasi pun memiliki kontribusi pada
keterampilan sosial. Anda ingat bahwa individu yang digerakkan oleh dorongan
untuk berprestasi cenderung optimis, bahkan ketika keadaan memburuk atau gagal
sekalipun. Jika individu optimis, aura mereka terlihat dalam pembicaraan dan
perilaku sosial lainnya. Mereka populer, dan untuk alasan yang baik.
Karena keterampilan sosial ini merupakan hasil dari dimensi lain dari
kecerdasan emosional, keterampilan sosial dikenali dalam pekerjaan dalam berbagai
cara yang sekarang akan terdengar familiar. Individu yang terampil secara sosial,
misalnya, terampil dalam mengatur kelompoknya –itulah gunanya empati dalam
pekerjaan. Mereka juga ahli sebagai ‘pembujuk’ –manifestasi dari kombinasi
17
kesadaran diri, pengaturan diri, dan empati. Dengan keterampilan-keterampilan
tersebut, individu mengetahui kapan ia dapat meminta pengertian secara emosional,
misalnya, dan kapan harus mengajukan alasan untuk bekerja lebih baik. Dan
motivasi, ketika terlihat secara umum, membuat individu sebagai pemersatu yang
hebat, semangat kerjanya menular pada orang lain, dan mereka tergerak untuk
mendapatkan pemecahan masalah.
Tetapi kadang-kadang keterampilan sosial terlihat ketika komponen
kecerdasan emosional lainnya tidak. Misalnya, individu yang terampil secara sosial
kelihatannya tidak sedang bekerja dalam jam kerja. Mereka terlihat mengobrol
dengan mitra kerjanya, atau bercanda dengan orang-orang yang tidak berhubungan
secara langsung dengan pekerjaan mereka. Individu yang terampil secara sosial,
bagaimanapun, menganggap tidak masuk akal bila harus membatasi pergaulannya.
Mereka membangun ikatan secara luas, karena mereka mengetahui bahwa seiring
berjalannya waktu, mereka mungkin membutuhkan bantuan dari orang-orang yang
mereka kenal hari ini.
Sebagai contoh, kasus seorang eksekutif bagian strategi sebuah perusahaan
pembuat komputer. Pada tahun 1993, dia yakin bahwa masa depan perusahaan
akan tergantung dengan internet. Sepanjang tahun berikutnya, dia menemukan
orang-orang yang mempunyai pikiran yang sama dengannya dan menggunakan
keterampilan sosialnya untuk menjalin suatu komunitas virtual yang menembus
batas tingkatan, divisi, dan negara. Ia lalu menggunakan tim de facto ini untuk
membangun situs web perusahaan, salah satu perusahaan besar yang pertama
melakukannya. Dan, dengan inisiatifnya sendiri, walaupun tanpa anggaran dan
status resmi, ia mendaftarkan perusahaannya untuk berpartisipasi dalam suatu
konvensi tahunan industri internet. Memanggil sekutu-sekutunya dan membujuk
berbagai divisi untuk menyumbangkan dana, ia merekrut lebih dari 50 orang dari 12
unit berbeda untuk mewakili perusahaannya di konvensi tersebut.
Manajemen memperhatikan: dalam waktu setahun sejak konvensi itu, tim
yang dibentuk eksekutif itu membentuk dasar dari divisi internet pertama
perusahaan itu, dan dia secara resmi dijadikan kepalanya. Untuk mencapai posisi itu,
eksekutif tersebut telah mengabaikan batasan-batasan konvensional, membentuk
dan mempertahankan hubungan dengan orang-orang di seluruh bagian organisasi.
Apakah keterampilan sosial dapat dianggap salah satu kunci kemampuan
memimpin di kebanyakan perusahaan? Jawabannya adalah ya, terutama ketika
dibandingkan dengan komponen-komponen lain dari kecerdasan emosional. Orang-
18
orang tampaknya tahu berdasarkan intuisi bahwa pemimpin perlu membina
hubungans ecara efektif; tidak ada pemimpin yang sendirian. Lagipula, tugas
seorang pemimpin adalah membuat orang lain menyelesaikan pekerjaan, dan
keteramp ilan sosial memungkinkan hal tersebut. Pemimpin yang tidak dapat
menunjukkan empatinya sama saja dengan tidak memiliki empati sama sekali. Dan
motivasi sang pemimpin tidak akan berguna apabila ia tidak bisa menyebarkan
hasratnya ke organissi tersebut. Keterampilan sosial memungkinkan pemimpin
mempekerjakan kecerdasan emosional mereka.
Adalah bodoh untuk mengatakan bahwa IQ dan kemampuan teknis bukan
bahan penting dalam resep untuk membentuk kepemimpinan yang kuat. Tapi resep
itu tidak akan sempurna tanpa kecerdasan emosional. Dulu komponen kecerdasan
emosional hanya dianggap sebagai sesuatu yang baik, tetapi tidak penting dalam diri
pemimpin-pemimpin bisnis. Tapi sekarang kita tahu bahwa, demi performa yang
baik, kecerdasan emosional adalah hal yang harus dimiliki setiap pemimpin.
Sangatlah beruntung kita karena kecerdasan emosional dapat dipelajari.
Prosesnya tidak mudah. Prosesnya memakan waktu, dan terlebih lagi, memerlukan
komitmen. Tapi keuntungan-keuntungan yang akan diraih dari dimilikinya
kecerdasan emosional yang tinggi, baik untuk individu atau organisasi, membuatnya
sebagai sesuatu yang pantas untuk diusahakan.
Ella & NinoElla & Nino
19
Apakah Kecerdasan Emosional bisa Dipelajari?
Selama berabad-abad, orang telah berdebat apakah pemimpin dilahirkan atau dibina. Begitu juga dengan debat mengenai kecerdasan emosional. Apakah orang dilahirkan dengan tingkat empati tertentu, atau mereka melatih empati sesuai dengan pengalaman hidupnya? Jawabannya adalah keduanya. Penyelidikan ilmiah telah menunjukkan bahwa terdapat komponen genetis dalam kecerdasan emosional. Penelitian psikologis dan pengembangan mengindikasikan bahwa pembinaan juga berpengaruh. Namun, berapa pengaruh masing- masing mungkin tak akan pernah diketahui, meskipun penelitian dan latihan jelas menunjukkan bahwa kecerdasan emosional bisa dipelajari.
Satu hal yang pasti: kecerdasan emosional bertambah sejalan dengan umur. Ada kata lama yang menggambarkan fenomena ini: kedewasaan. Tetapi walaupun mencapai kedewasaan, beberapa orang masih perlu latihan untuk meningkatkan kecerdasan emosional mereka. Sayangnya, banyak latihan kepemimpinan yang berniat melatih kecerdasan emosional hanya membuang uang pengikutnya. Sebabnya mudah: mereka memfokuskan diri di bagian otak yang salah.
Kecerdasan emosional banyak terbentuk di bagian limbic dari otak, yang mengatur perasaan, dorongan, dan impuls. Penelitian menunjukkan bahwa sistem limbic belajar dengan paling baik melalui motivasi, latihan, dan umpanbalik. Bandingkan dengan proses belajar di neokorteks, yang mengatur kemampuan analisa dan teknis. Neokorteks menggunakan konsep dan logika. Ia adalah bagian otak yang mempelajari bagaimana menggunakan komputer atau menelepon dengan membaca buku. Tidak mengherankan – walaupun salah - ia juga bagian dari otak yang ditergetkan oleh kebanyakan program pelatihan guna meningkatkan kecerdasan emosional. Ketika program-program itu menggunakan pendekatan neokorteks, penelitian penulis dengan the Consortium for Research on Emotional Intelligence on Organizations bahkan menunjukkan bahwa hal-hal itu dapat menimbulkan dampak negatif pada performa / kinerja para pesertanya.
Untuk meningkatkan kecerdasan emosional, organisasi-organisasi harus memfokuskan kembali pelatihan mereka kepada sistem limbic. Mereka harus membantu orang-orang me mbuang kebiasaan lama dan membangun yang baru. Itu tidak hanya memakan waktu lebih lama dari pada pelatihan biasa, sistem ini juga memerlukan pendekatan perseorangan.
Bayangkan seorang eksekutif yang dianggap rendah empati oleh koleganya. Sebagian dari kekurangan itu muncul dalam bentuk ketidak-mampuan mendengarkan orang lain; ia memotong pembicaraan dan tidak memperhatikan
20
perkataan orang lain. Untuk memperbaiki masalah itu, eksekutif itu harus dimotivasikan untuk berubah, lalu ia perlu latihan dan tanggapan dari kolega-koleganya di perusahaan. Seorang kolega atau pelatih bisa diminta untuk memberitahukannya ketika ia dianggap tidak bisa mendengarkan. Ia lalu harus mengulang kejadian itu dan menunjukkan tanggapan yang lebih baik; yaitu menunjukkan kemampuannya untuk mengerti pembicaraan orang lain. Eksekutif itu juga bisa diarahkan untuk memperhatikan dan meniru eksekutif lain yang mendengar dengan baik.
Dengan ketekunan dan latihan, proses seperti itu bisa menuju ke hasil yang abadi. Penulis tahu seorang eksekutif Wall Street yang ingin meningkatkan empatinya, terutama kemampuannya untuk membaca reaksi orang dan melihat sudut pandang mereka. Sebelum memulai pencariannya, bawahan-bawahannya takut kepada dia. Bahkan mereka sampai menyembunyikan berita darinya. Tentu saja, ia terkejut ketika mengetahuinya. Ketika ia mengatakannya pada keluarganya, mereka hanya membenarkan apa yang telah ia dengar di kantor. Bahwa ketika pendapat mereka tidak sama dengan pendapatnya, mereka takut padanya.
Meminta bantuan seorang pelatih, eksekutif itu mulai bekerja untuk meningkatkan empatinya melalui latihan dan umpanbalik. Langkah pertamanya dalah dengan berlibur selama smeinggu ke negara asing yang bahasanya tidak ia pahami. Ketika disana, ia memantau reaksinya pada hal-hal yang tidak ia kenal dan keterbukaannya pada orang yang berbeda dengannya. Ketika pulang, ia meminta pelatihnya untuk membayanginya selama beberapa jam, beberapa hari seminggu, untuk mengkritik cara ia memperlakukan orang yang pendapatnya berbeda. Di saat yang sama, ia menggunakan interaksi sehari-hari sebagai kesempatan melatih ‘mendengarkan’ ide yang berbeda. Akhirnya, ia merekam dirinya saat rapat dan meminta orang-orang yang bekerja untuknya dan dengannya agar mengkritik kemampuannya dalam mengetahui dan mengerti perasaan orang lain. Itu mamakan waktu beberapa bulan, tapi kecerdasan emosional eksekutif tersebut akhirnya meningkat, dan perbaikan itu muncul di peningkatan mutu pekerjaannya.
Sangat penting untuk memekankan bahwa pembangunan kecerdasan emosional seseorang tidak akan bisa dilaksanakan tanpa keinginan dan usaha yang keras. Sebuah smeinar sdingkat tidak akan membantu, juga sebuah buku panduan. Sangat lebih sulit untuk belajar berempati- untuk menjadikan empati sebagai tanggapan normal pada orang lain- daripada menjadi ahli dalam analisis regresi. Tapi itu bisa dilaksanakan. Ralph W. Emerson berkata “Tidak ada hal hebat yang terjadi tanpa antusiasme.” Apabila tujuan anda adalah untuk menjadi seorang pemimpin sejati, kata-kata ini dapat dijadikan patokan anda dalam usaha anda mengembangkan kecerdasan emosional.
Q
21