-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
1/38
Gambar 3 dan 4. apak A. Dar
praktik si
iri memberik
ang percerai
n arahan pe
n
laksanaan
33
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
2/38
Gambar 1.Mimbar tem
Gambar 2. S
LAMPI
at hakim me
uasana prose
AN
beri putusa
s praktik per
perkara per
dilan percer
dilan
ian
32
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
3/38
31
DAFTAR PUSTAKA
Harahap M. Yahya. 1993. Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata
Agama. Jakarta: Pustaka Kartinii.
Sulaikin, Lubis. 2005. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
diindonesia. Jakarta: Kencana
Retnowulan, Sutantio. 1996.Hukum Acara Perdata. Jakarta: Gema Insani
Press.
Bahan Penyuluhan Hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Departemen Agama RI Tahun 2001.
Rasyid, A. Roihan. 2003. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Radja
Grafindo Persada.
Sanusi, Achmad. 1977. Rangkaian Sari Kuliah Pengantar Ilmu Hukum
dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT. Tarsit.
Soedikno, Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata di Indonesia.
Yogyakarta: Liberty.
Subekti. 1977.Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta.
Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
http://www.hukumacaraperdata.com/2012/12/04/eksepsi-kewenangan-mengadili/,
Santoso,Macam-macamEksepsi,
2010, http://www.santoslolowang.com/macammacam-eksepsi/, diakses pada hari
Jumat, 22 November 2013, pada jam 09:00 WIB.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
4/38
30
perceraian, karena perceraian merupakan hal yang dibenci oleh Allah
SWT.
5.2.2 Saran dari penulis bagi guru adalah, ini merupakan terobosan baru yang
sangat baik, dan diapresiasi oleh Instansi terkait. Dimana sekolah-sekolah
yang ada di Pasuruan tidak ada satupun yang melakukan hal ini.
5.2.3
Saran bagi Instansi terkait, adalah bahwa mereka sangat terbuka melayani
dengan penuh hormat dan tanggung jawab, dalam memberikan informasi
yang diperlukan oleh penulis.
5.2.4 Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata baik, dan oleh
karena itu perlu penyempurnaan agar dapat berguna dengan baik, bagi
semua.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
5/38
29
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan
adalah sebagai berikut
5.1.1 Kekuasaan mutlak peradilan agama dilingkungan peradilan agama terdapat
dua tingkat pengadilan, yaitu pengadilan agama tingkat pertama dan
pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.
5.1.2 Kekuasaan relative adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara
pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang
berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama.
5.1.3 Kewenangan absolute adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis
perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat
tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
5.1.4
Tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara perdata bidang
a. Perkawinan,
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
islam,
c. Wakaf dan sedekah,
d.
Zakat, infaq, dan ekonomi syariah.5.2 Saran
Penulis
5.2.1 Saran yang dapat diajukan adalah disarankan agar siswa dan masyarakat
lebih memperkokoh iman dan mematangkan pikiran agar tidak menikah
dalam usia dini. Menikah merupakan ibadah, sehingga mental dan pikiran
harus dipersiapkan agar tidak terjadi perselisihan yang berujung
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
6/38
28
anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara anda dan suami yang
mendorong terjadinya perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan
uraiannya yang kemudian menjadi dasar tuntutan (petitum). Contoh posita
misalnya :
1. Bahwa tanggal 1 Agustus 1994 pihak Tergugat II telah mengadakan lelang
secara terbuka untuk mengerjakan Proyek Site Reclamation and Filling di Laguna
View Cector I, Zone A, Sektor 2, Zone A dan B Surabaya Timur, sebagaimana
Dokumen Lelang No. 054/D.0710/94-S4; (Bukti P-1)
c. Petitum (tuntutan hukum) yaitu tuntutan yang diminta oleh Istri sebagai
Penggugat agar dikabulkan oleh hakim (pasal 31 PP No 9/1975, Pasal 130
HIR).
4.4.6 Gugatan Provisional (Pasal 77 Dan 78 Uu No.7/89)
Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional
di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
a. Memberikan izin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.
Izin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri
yang bertikai tinggal serumah.
b. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya
diberikan oleh suami.
c. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.
d. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang
menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta
bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
7/38
27
b. Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan Anda
adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tak
mampu memenuhi kewajibannya (pasal 75 UU 7/1989)
c.
Keterangan dari saksi-saksi, baik yang berasal dari keluarga atau orang-orang
dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran antara anda dengan suami
anda (pasal 76 UU 7/1989 jo pasal 134 KHI).
4.4.4 Surat-surat yang Harus disiapkan
1. Surat Nikah asli
2. Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai,
kemudian dilegalisir
3.
Foto kopi Akta Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai,
juga dilegalisir
4. Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)
5. Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap
harta bersama, maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikannya seperti sertifikat
tanah (bila atas nama penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan
Bermotor)/STNK(Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor,
kwitansi, surat jual-beli, dll.
Untuk itu, sangat penting untuk menyimpan surat-surat berharga yang anda miliki
dalam tempat yang aman.
4.4.5 Isi Surat Gugatan
a. Identitas para pihak (Penggugat/Tergugat) atau persona standi in judicio,
terdiri dari nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal, hal ini
diatur dalam pasal 67 (a) UU No. 7/1989. Identitas para pihak ini juga disertai
dengan informasi tentang agama, pekerjaan dan status kewarganegaraan
b. Posita (dasar atau alasan gugat) disebut juga Fundamentum Petendi, berisi
keterangan berupa kronologis (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan anda
dengan suami anda dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
8/38
26
4.4.2 Alasan dalam Gugatan Perceraian
Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama
antara lain:
a. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya
b. Suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin
atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja
meninggalkan anda
c. Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan
dilangsungkan
d. Suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda
e. Suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan
atau penyakit yang dideritanya
f. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk
rukun kembali
g. Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul
h. Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan
dalam keluarga.
(Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975)
4.4.3 Saksi dan Bukti
Anda atau kuasa hukum anda wajib membuktikan di pengadilan kebenaran dari
alasan-alasan tersebut dengan:
a. Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat
hukuman 5 (lima tahun) atau lebih (pasal 74 UU No. 7/1989 jo KHI pasal
135).
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
9/38
4.4 Prose
4.4.1 Pro
Bi
dan mem
mengajuk
diajukan
tentang P
Dimanak
Bi
Pengguga
isteri atau
Pengadila
Luar Neg
suami ist
Agama di
Agama Ja
Percerai
Ga
edur Men
a (pihak Is
tuskan un
an Gugata
i Pengadil
laksanaan
h Gugatan
a isteri ya
dan sua
kuasa huk
Agama
ri, gugata
ri tinggal
wilayah t
karta Pusat
n Peradila
bar 4.4
gajukan G
tri) merasa
uk bercera
Perceraia
an Agama
U No 1 ta
Diajukan?
g mengaju
i adalah
m isteri (b
PA) di wil
diajukan d
di luar ne
empat ister
(Pasal 73
n Agama
lur proses pe
ugatan Pe
bahwa per
i, langkah
. Bagi ya
(Pasal 1 B
hun 1974 t
an gugata
ergugat.
ila isteri m
ayah temp
i PA wilay
eri, maka
i berdua
U No 7/89
ceraian di Pe
ceraian di
awinan tid
pertama y
g beraga
ab I Keten
ntang Per
perceraia
ntuk meng
nggunaka
at tinggal
ah tempat t
gugatan d
enikah du
tentang Pe
ngadilan Aga
Pengadila
ak dapat di
ng dapat
a Islam, g
uan Umu
awinan).
, berarti is
ajukan gu
kuasa hu
steri. Bila
nggal sua
ajukan ke
u, atau ke
radilan Ag
ma
n Agama
pertahanka
ilakukan a
ugatan ini
PP No 9
teri adalah
atan perce
um) mend
isteri ting
i. Bila and
ada Peng
ada Peng
ma)
25
lagi
dalah
dapat
1975
pihak
aian,
tangi
al di
a dan
dilan
dilan
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
10/38
24
diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti
gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung
atau sedang berjalan pemeriksaannya dipengadilan.
Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:
a. Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa
PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab
pokok perkara.
b. Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa
PN tidak berwenang untuk mengadili perkara tsb (psl 143 HIR), eksepsi
mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan
perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya (tanpa harus
diminta oleh tergugat)
c.
Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134)
jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal
ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada pengadilan yang
berwenang.
d. Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan
bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat
dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat menggugat kembali setelah
tiba saatnya.
e. Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau
oleh hakim gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak dapat mengajukan
gugatan lagi.
f. Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai
kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.g.
Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang
sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik
objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama (nebis in idem).
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
11/38
23
3. Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata
daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk
memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan
(release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu.
Dan mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan
diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk
putusan akhir.
4. Exceptio non pecuniae numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan
tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak
pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat kaitannya denan
kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang
disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu
membuktikan eksepsinyapun ditolak.
5. Exceptio doli mali, atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu
keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi
yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan
perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal
1328 KUH Perdata.
6. Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan
pengguagat yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan
(dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat dengan ketentuan
pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.
7. Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam
gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak
dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik.Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa
yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
8. Exceptio domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat
terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang
digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.
9. Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa
sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan perkara yang sedang
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
12/38
22
sebagai dasar hukum PMH tidak menyebutkan bentuk ganti ruginyam juga tidak
menyebutkan rincian ganti rugi dengan demikian dapat dituntut: a) ganti rugi
nyata (actual loss) kerugian materiil; b) kerugian immateril berupa ganti rugi
pemulihan kepada keadaan semula ataurestoration to original condition (herstel
in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige toestand).
Berdasarkan uraian tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi
dengan PMH ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu
dalam merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan 1) mencampur adukan
wanprestasi dengan PMH dalam gugatan, 2) dianggap keliru merumuskan dalil
PMH dalam gugatan jika terjadi in konkreto secara realistis adalah wanprestasi 3)
atau tidak tepat jika gugatan wanpretasi sedang peristiwa hukum yang terjadi
secara objektif ialah PMH, akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau
mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas
pemisahannya.
Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin
terdapat beberapa macam eksepsi hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk
pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya sama dengan eksepsi
prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai berikut:
1. Exceptio dilatoria, atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan
penggugat tidak dapat diperiksa karena prematur dalam arti gugatan
mengandung sifat atau keadaan prematur karena batas waktu untuk
menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat
penundaan pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya
gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan.
2.
Exceptio Premtoria, yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside)gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa
yang digugat telah tersingkir umpanya hal yang digugat bersumber dari
perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya
permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi,
dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa yang digugat telah dieksekusi
berdasarkan pasal 224 HIR.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
13/38
21
dengan petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat
diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan,
tidak dapat diminta dalam petitum.
Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun
ada yang berpendapat wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus
spesifik dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Alasannya,
seorang debitur yang ingkar janji atau lalai memenuhi pembayaran utang tepat
pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan
demikian, terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan
hukum. akan tetapi jika diteliti lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara
keduanya, antara lain
Ditunjau dari segi hukum, wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata
timbul dari persetujuan (aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata,
1) harus ada lebih dahulu perjanjian para pihak, 2) salah satu perjanjian
menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise must be
kept, 3) wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi
prestasi tepat waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan. Sementara
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat
perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum pidana atau perdata
maupun keduanya.
Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut
dalam wanprestasi pada prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan
lalai atau in mora stelling (interpellatio) kecuali jika dalam perjanjian telah
mencantumkan mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan PMH tidak diperlukan
somasi, kapan saja terjadi PMH pihak yang dirugikan langsung mendapat hakuntuk menuntut ganti rugi.
Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH
Perdata, mengatur jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak
terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 DAN 1243 KUH Perdata mengatur
tentang jenis dan julah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari: kerugian
yang dialami oleh kreditur, keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian
dipenuhi dan ganti rugi bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
14/38
20
Exceptio Obscuur Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel surat
gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas,
padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang
dan jelas atau tegas (duidelijk). Dalam praktik dikenal beberapa bentuk eksepsi
gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu
antara lain
Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi
tidak menjelaskan dasar hukum (rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang
mendasari gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar
fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil
gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu
(eenduideljke en bepaalde conclusie).
Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi
mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek
gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak disebutnya batas batas objek sengketa,
luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah
yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang
dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami
hal ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum
gugatan meminta: 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2)
menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah
terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat
ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga
petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MAberpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan
tidak dapat diterima.
Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan
petitum harus saling mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu
tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan hal
itu hal hal yang dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai penyelesaian
sengketa yang didalilkan. Mesti terbina sinkronisasi dan konsistensi antara posita
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
15/38
19
eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat
kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun
2007 tentang perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar
peradilan adalah direksi.
EksepsiError in Persona, tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila
gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person.
Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut
Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang
mengemukakan bahwa penggugat tidak memiliki persona standi in judicio
didepan PN karena penggugat bukan orang yang berhak oleh karenanya tidak
mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang
mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat
dapat mengajukan exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni
orang yang mengajukan gugatan bukan orang yang mempunyai kedudukan
hukum untuk menggugat atas nama yayasan.
Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat, sebagai contoh putusan MA
no 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara
pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan
yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat,
karena yang mestinya ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.
Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini
adalah apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Atau orang yang
bertindak sebagai penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus diikut
sertakan sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat
diselsaikan secara tuntas dan menyeluruh.Ekseptio Res Judicataatau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van
gewijsde zaak, kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila
suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya
telah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan
hukum tetap maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru
untuk memperkarakannya kembali.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
16/38
18
pokok perkara sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan
yang terjadi secara tuntas antara penggugat dan tergugat.
4.3.3 Jenis Eksepsi
Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian
besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu.
Misalnya eksepsi nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH
Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik
tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya. Eksepsi Prosesual (Processuele
Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila
gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan
tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet
Onvantkelijke verklaard). Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi
kepada dua bagian
Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan
dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara absolut
dan eksespsi karena pengadilan tidak berwenang secara relatif. Dan untuk eksepsi
kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan
Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan
kewenangan relatif PN berdasarkan patokan: (actor sequitor forumrer), (actor
sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi),
tempat tinggal tergugat, forum rei sitae, forum rei sitae dengan hak opsi, dan
domisili pilihan.
Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar
eksepsi kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang
paling sering ditemukan dalam praktek antara lainEksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan
berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini
dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus
menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123
HIR. Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil
sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun
1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994). Dan
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
17/38
17
Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili
secara absolut dan relatif, namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui
keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin hukum. dan sebenarnya
keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat
dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai berikut
Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang
hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing,
tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi
mengenai kompetensi yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv.
Ketentuan tersebut telah dijadikan pedoman oleh para praktisi hukum yang pada
pokoknya menggariskan
semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi absolut harus disampaikan bersama
sama dengan jawaban pertama terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan
bersamaan maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.
Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan
tertulis, sepanjang eksepsi disampaikan sekaligus bersama dengan
bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut terdiri dari beberapa
jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka harus dilakukan secara
sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara
sekaligus bersama jawban pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136
HIR dan 114 Rv.
Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan
diputus bersama-sama pokok perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian
eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-samadengan pokok perkara dengan demikian pertimbangan dan amar putusan
mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan
dalam putusan akhir dan jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif,
yaitu dengan amar putusan: mengabulkan eksepsi tergugat dan menyatakan
gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). Dan bila
eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
18/38
16
Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal
132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa:
Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan tergugat setiap saat selama proses
pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain
tergugat berhak mengajukannya sejak proses dimulai sampai sebelum putusan
dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya
berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur sebagai berikut dalam hal hakim tidak
berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan
tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan
dirinya tidak berwenang. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah Hakim secara ex
officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara yang
diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya
atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut
mesti dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi
tentang itu.
Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompentensi relatif diatur dalam pasal 125 (2)
dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut dapat dijelaskan hal
sebagai berikut:
Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan secara lisan
hal tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak
dan mengenyampingkannya, dan hakim harus menerima dan mencatatnya dalam
berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya.
Selain itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara
tulisan (in writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) Jo. Pasal 121 HIR.Menurut Pasal 121 HIR, tergugat pada hari sidang yangditentukan diberi hak
mengajukan jawaban tertulis, sedang pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan dalam
surat jawaban terguugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang
menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN
yang bersangkutan. Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat
jawaban, berarti oengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak
terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
19/38
15
absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan
berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan
dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).
4.3.2 Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan
dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 118 HIR.
Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi
kewenangan relatif harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada
saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Eksepsi
kewenangan relatif hanya dapat diajukan bersama-sama dengan penyampaian
jawaban pertama. Tidak terpenuhinya syarat tersebut, mengakibatkan hak tergugat
untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.
Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk
tulisan. Pasal 133 HIR memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan
eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang menolak dan tidak
mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib beracara dan
tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang.
Selain secara lisan, eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk
tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.
Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut yang diajukan bersamaan
dengan pengajuan jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan pokok
perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok perkara. Namun, jika eksepsi
menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim dapat memutus sebelum
maupun bersamaan dengan pokok perkara.Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal
133, Pasal 134, dan Pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan
kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal pasal
tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksespsi, dikaitkan
dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio
Declinatoir)
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
20/38
14
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa :
1.
Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah.
2. Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi
tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk
menjamin putusan yang adil dan benar.
4.3Eksepsi Peradilan Agama
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan
atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan
tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan
yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut
syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan
terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum
acara perdata adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi
kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak berwenang
mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi
menjadi:
4.3.1 Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat)
lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, PeradilanAgama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan
Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu.
Yurisdiksi suatu pengadilan tidak boleh dilanggar oleh yurisdiksi pengadilan lain.
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam
Pasal 134Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 132Reglement op de
Rechsvordering (RV). Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat
setiap saat. Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
21/38
13
Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran islam yang telah
menjadi hukum positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap.
Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan
kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena itu, jika ada perselisihan
tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada
pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4.2.2.4 Kewenangan mengadili perkara Zakat, Infaq dan Ekonomi Syariah
1. Zakat
Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
2. Infaq
Yang dimaksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,
minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wataala.
3. Ekonomi Syariah
Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. bank syariah;
b. lembaga keuangan mikro syariah;
c. asuransi syariah;
d. reksa dana syariah;
e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
f.
sekuritas syariah;g.
pembiayaan syariah;
h. pegadaian syariah;
i. dana pensiun lembaga keuangan syariah;
j. dan bisnis syariah.
Dalam perkara ekonomi syariah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Untuk memperlancar proses
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dikeluarkan Peraturan
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
22/38
12
Dalam pasal 2 jo. pasal 49 ayat (1) jo. penjelasan umum angka 2 alinea
ketiga telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini
adalah asas personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengaitkan asas ini
dengan ketentuan pasal 49 ayat 1 huruf b, jo. penjelasan umum angka 2 alinea
tersebut, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan,
meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan perkataan lain, dalam
hal ini terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam,
kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama,
bukan kelingkungan peradilan umum. Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan
peradilan agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh
golongan rakyat yang beragama islam terkecuali.
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau
dari sudut Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat
(3) jo penjelasan umum angka 2 alinea keenam. Jadi uraian singkat dari ketentuan
pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris islam yangakan
diterapkan pada golongan rakyat yang beragama islam diperadilan agama terdiri
atas:
1. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli
waris, siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris,
dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris.
2. Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah
yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-
Quran, as-Sunnah, dan Ijtihad, dan
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.4.2.2.3 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah
Pasal 1 ayat (1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah
milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan
peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam.
Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudutpelembagaan keagamaan. PP No.28
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
23/38
11
13.Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15.
putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.pencabutan kekuasaan wali;
17.
penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18.menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19.
pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.
penetapan asal usul seorang anak;
21.putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22.pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan
kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23.Penetapan WaliAdlal;
24.Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
4.2.2.2 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Kewarisan, Wasiat, dan
Hibah
Menurut pasal 49 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilanagama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasal 49 ayat (1) huruf b, adalah
mengenai:
a. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris
b. Penentuan harta peninggalan
c. Bagian masing-masing ahli waris dan
d. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
24/38
10
d. Zakat, infaq dan ekonomi syariah
Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang
menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari
orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu, menurut Prof. Busthanul
Arifin, perdilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-
orang yang beragama islam, seperti yang terdapat dibeberapa negara lain. Sebagai
suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara
dibidang Hukum Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan
peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para
hakim, panitera dan sekretaris harus sesuai dengan tugas-tugas yang diemban
peradilan agama.
4.2.2.1Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan
Mengenai bidang perkawinan pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang
dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam undang-undang mengenai perkawinan
yang berlaku, pasal 49 ayat (2).Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan
Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP
No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:
1.
Izin beristri lebih dari seorang;
2.
Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6.
Pembatalan perkawinan;7.
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10.Penyelesian harta bersama;
11.Penguasaan anak-anak;
12.Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak
yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
25/38
9
pasal 118 HIR atau pasal 142 R. Bg.jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun
1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan
ke pengadilan agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat
formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang adalah
pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut
actor sequitur forum rei, namun ada beberapa pengecualian yaitu yang
tercantum dalam pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), yaitu:
a. Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
b. Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.
c.
Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak.
d. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih dalam akta
tersebut.
4.2.2 Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan
yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat
Pengadilan,dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau
tingkat Pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama
adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di
kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Pasal 10 UU No. 7 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan
peradilan dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentudalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat
banding. Untuk lingkungan peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III
pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam
c. Wakaf dan sedekah.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
26/38
8
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama
Kata kekuasaansering disebut kompetensiyang berasal dari bahasa
Belandacompetentie, yang kadang-kadang diterjemahkan
dengan kewenangandan kadang dengankekuasaan. Kekuasaan atau
kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.
Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama di lingkungan Peradilan Agama
terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat
Banding.
4.2Wewenang atau Kompetensi Peradilan Agama
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai
dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang
tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif
Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66
dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang
absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat
dilingkungan Peradilan Agama, yaitu:
1. Fungsi kewenangan mengadili,
2. Memberi keterangan, pertimbangan,
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang,
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkatbanding dan mengadili sengketa kompetensi relatif,
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.
4.2.1 Kompetensi Relatif Peradilan Agama
Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang
berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk
menentukan kewenangan relatif pengadilan agama merujuk kepada ketentuan
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
27/38
7
3.2Narasumber
Yang bertindak sebagai narasumber dalam wawancara untuk mendapatkan
informasi mengenai proses perceraian di peradilan agama adalah Bapak Ahmad
Dardiri S.H.
3.3Lokasi dan Waktu
Wawancara dilaksanakan Kantor Pengadilan Agama, Jl. Ir H. Juanda No
11A, Pasuruan. Pada hari Kamis, 21 November 2015.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
28/38
6
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan
untuk mengumpulkan data. Sesuai dengan perintah pada tugas yang diberikan,
digunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara.
Adapun wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur dan tidak
terstruktur. Awalnya disiapkan pertanyaan-pertanyaan pokok pada narasumber.
Pada proses ketika narasumber menjawab pertanyaan, apabila informasi dirasa
kurang lengkap maka akan diajukan pertanyaan lain. Sistem wawancara yang
demikian, memungkinkan narasumber untuk memersiapkan materi wawancara
dengan baik dan kami dapat menggali informasi lebih dalam tentang masalah
yang kurang jelas.
Selain itu, kami juga melakukan praktik perceraian. Dalam proses
perceraian tidak semua kelompok yang datang melakukan praktik perceraian,
namun perwakilan dari setiap kelompok yang hadir pada hari itu. Hal ini
bertujuan agar kami lebih mengerti tentang tata cara proses perceraian pada
peradilan agama, dan juga menghemat waktu pada pengumpulan informasi pada
hari itu, serta bukan hanya secara teori tetapi juga memahami prosesnya secara
utuh. Adapun yang melakukan dan mengajarkan praktik pernikahan adalah
sebagai berikut:
1. Bapak Ahmad Dardiri S.H. sebagai pemberi arahan atau yang mengajarkan,
2. Alya Nur Hanifah sebagai hakim ketua,
3.
Isnaini Rahma A. sebagai hakim anggota (penasihat suami),4.
Satrio Anggoro sebagai hakim anggota (penasihat isteri),
5. Maulana Alif F. sebagai pantera pengganti,
6. Yudhananto W. K. sebagai suami,
7. Islamiah Nur Cahyani sebagai isteri,
8. Teman-teman yang lain sebagai penonton jalannya proses perceraian.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
29/38
5
menerangkan atau menetapkan suatu keadaan atau status tertentu. Produk
pengadilan dalam perkara gugatan berupa putusan atau vonnis, yang putusan
dapat berupa putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum
kepada para pihak yang bersengketa.
e. Penetapan hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat dilaksanakan/eksekusi.
Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada kedua belah pihak sehingga
mempunyai kekuatan eksekutorial.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
30/38
4
2.2Pengertian Kewenangan
Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi berasal
dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai
batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang mengadili. Kompetensi
dalam bahasa Belanda disebut competentie, kekuasaan (akan) mengadili;
kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau kewenangan mengadili
yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana
yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi atau
kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan
absolut.
Sebelum membahas tentang kewenangan relatif dan kewenangan absolut
sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis perkara yang diperiksa
Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Perkara yang diperiksa Pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan (voluntaire) dan
gugatan (contentieus).
2.3Permohonan dan Gugatan
Pemohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak
lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat
sengketa antara dua belah pihak.
Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah sebagai berikut:
a. Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan
terdapat dua pihak yang bersengketa.
b. Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkan perkara gugatan
terdapat sengketa antara kedua belah pihak.
c.
Dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive poweratauadministratif saja sehingga permohonan disebutjurisdictio voluntaria atau
peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam gugatan hakim berfungsi
sebagai hakim yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan yang tidak
benar. Gugatan disebut juga jurisdictio contentieus atau peradilan yang
sesungguhnya.
d. Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan
atau beschikking, disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang sifatnya
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
31/38
3
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak
(Bahasa Belanda), berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat;
keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan, yaitu daya upaya mencari
keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut
peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang
dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama
adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau
menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam
melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia.Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah
badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
32/38
2
1.4Manfaat kunjungan
1.4.1 Manfaat Teoritik
1.4.1.1Dengan mengetahui tata cara serta hal-hal lain seputar perceraian
diharapkan dapat menambah sumber pustaka untuk pengembangan ilmu
pengetahuan.
1.4.2 Manfaat Praktik
1.4.2.1Dengan mengetahui tata cara serta hal-hal lain seputar perceraian
diharapkan kita dapat mengetahui proses perceraian yang ada,
1.4.2.2Dengan mengetahui tata cara serta hal-hal lain seputar pernikahan
membuat kita mengetahui proses peradilan perceraian yang sesungguhnya.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
33/38
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Indonesia telah menumbuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada
kedaulatan hukum. Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi dari tujuan segala
elemen didalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat
kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang
terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya. Maka tuntutan hukum
yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan. Dalam
hal ini, jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga
ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di Indonesia, telah ditentukan dalam
hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah
tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang
sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di
bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan Agama pada awalnya
diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai
peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya
perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang
kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan
Agama.
1.2Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana kekuasaan mutlak Peradilan Agama?1.2.2
Bagaimana wewenang atau kompetensi Peradilan Agama?
1.2.3 Apa saja eksepsi Peradilan Agama?
1.2.4 Bagaimana proses perceraian di Peradilan Agama?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Siswa di harapkan mengetahui tugas dan wewenang peradilan agama.
1.3.2 Siswa dapat mengetahui bagaimana proses-proses yang di limpahkan di
dalam peradilan agama.
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
34/38
iii
Halaman
4.2.2.3 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf
dan Sedekah ........................................................................ 12
4.2.2.4 Kewenangan mengadili perkara Zakat, Infaq
dan Ekonomi Syariah......................................................... 13
4.3 Eksepsi Peradilan Agama ............................................... 14
4.3.1 Eksepsi Kewenangan Absolut ..................................... 14
4.3.2 Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)........ 15
4.3.3 Jenis Eksepsi .............................................................. 18
4.4 Proses Perceraian Peradilan Agama ............................... 25
4.4.1 Prosedur Mengajukan Gugatan Perceraian
di Pengadilan Agama ........................................................... 25
4.4.2 Alasan dalam Gugatan Perceraian .............................. 26
4.4.3 Saksi dan Bukti ........................................................ 26
4.4.4 Surat-surat yang Harus disiapkan ............................... 27
4.4.5 Isi Surat Gugatan ..................................................... 27
4.4.6 Gugatan Provisional (Pasal 77 Dan 78 UU No.7/89) .... 28
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .................................................................... 29
5.2 Saran ............................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 31
LAMPIRAN ............................................................................. 32
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
35/38
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................... 1
1.4 Manfaat Penelitian................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Peradilan Agama ........................................ 3
2.2 Pengertian Kewenangan ................................................ 4
2.3 Permohonan dan Gugatan ............................................. 4
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Teknik Pengumpulan Data .......................................... 6
3.2 Narasumber ............................................................... 7
3.3 Lokasi dan Waktu ....................................................... 7
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama .............................. 8
4.2 Wewenang dan Kompetensi Peradilan Agama ............... 8
4.2.1 Kompetensi Relatif Peradilan Agama .......................... 8
4.2.2 Kompetensi Absolut Peradilan Agama ........................ 9
4.2.2.1 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan.. 10
4.2.2.2 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Kewarisan,
Wasiat, dan Hibah .............................................................. 11
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
36/38
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena
rahmat dan hidayah-Nya, penulis diberi kemudahan untuk mengerjakan sekaligus
menyelesaikan tugas ini, dengan judul Wewenang Peradilan Agama Dalam
Menangani Kasus Perceraian Umat Muslim. Laporan ini dibuat untuk memenuhi
tugas studi semester gasal kelas dua belas MIPA satu, mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahnya kita semua dapat
menyelesaikan makalah ini,
2. Kepala Pengadilan Agama Kota Pasuruan, Bpk Dr. H. Anang Setio Budi,
S.H, M.H. yang telah memberi izin kita semua untuk melakukan
kunjungan terkait dengan tugas ini.
3.
Panmud Hukum Pengadilan Agama Kota Pasuruan, Bpk. A. Dardiri, S.H.
yang telah memberikan informasi, dan penjelasan terkait dengan fungsi
dan wewenang perkara Pengadilan Agama.
4. Kepala Sekolah SMAN 1 Kota Pasuruan, Drs. Taufikkurachman, M.Pd.
5.
Guru pengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, Bpk. Sukandar,
S.Pd, M.Pd. yang telah membimbing kami semua dalam penyelesain
laporan ini.
6. Serta pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian laporan
ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan
untuk meningkatkan mutu dari laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya. Amin.
Pasuruan, 28 November 2015
Penulis
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
37/38
WEWENANG PERADILAN AGAMA DALAM MENANGANI KASUS
PERCERAIAN UMAT MUSLIM
Laporan Wawancara
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Pendididkan Agama Islam
tentang wewenang peradilan agama dalam menangani
kasus perceraian umat muslim
Oleh:
Hafizh Tsaqib 10643
Islamiah Nur C. 10648
Miftahul Jannah 10683
Nabil Miftah Irfandha 10690
Rangga Try Rahayu 10659
XII MIPA 1
SMA NEGERI 1 PASURUAN
JL. SOEKARNO HATTA 40 PASURUAN
TAHUN AJARAN 2015-2016
-
7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim
38/38
WEW
NANG P
I
NR
J
RADILA
PERCE
AFIZH T
LAMIAH
IFTAHU
ABIL MIANGGA
SMA
. SOEKA
TAH
AGAM
AIAN U
LAPO
Oleh
AQIB
NUR C.
JANNA
TAH IRFRY RAH
EGERI 1
NO HAT
N AJAR
DALAM
AT MUS
AN
:
NDHAYU
PASURU
A 40 PAS
N 2015 20
MENAN
IM
10643
10648
10683
1069010659
N
URUAN
6
ANI KAS S