Download - Warisan Berbeda Dengan Hibah Ataupun Wasiat
Warisan berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at tarikah (
�ة �ر�ك Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya .(الت
disebabkan dia meninggal dunia [14].
Makna wasiat ( �ة (و�ص�ي menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan
seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.
[12]
Wasiat ini disyariatkan berdasarkan nash-nash Al Qur’an, hadits dan ijma para ulama.
Didalam Al Qur’an disebutkan didalam firman Allah swt :
�ع�د� ب م�ن �ن� ك �ر� ت م�م�ا �ع� ب الر� �م� �ك ف�ل �د و�ل �ه�ن� ل �ان� ك �ن ف�إ �د و�ل �ه�ن� ل �ن �ك ي �م� ل �ن إ �م� و�اج�ك �ز� أ ك� �ر� ت م�ا �ص�ف� ن �م� �ك و�ل
م�م�ا �م�ن� الث �ه�ن� ف�ل �د و�ل �م� �ك ل �ان� ك �ن ف�إ �د و�ل �م� �ك ل �ن �ك ي �م� ل �ن إ �م� �ت ك �ر� ت م�م�ا �ع� ب الر� �ه�ن� و�ل �ن+ د�ي و�� أ �ه�ا ب �وص�ين� ي �ة+ و�ص�ي
�ن+ د�ي و�� أ �ه�ا ب �وص�ون� ت �ة+ و�ص�ي �ع�د� ب م.ن �م �ت ك �ر� ت
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An Nisaa : 12)
Adapun sunnah maka disebutkan didalam hadits Saad bin Abi Waqash berkata, ”Wahai
Rasulullah aku memiliki harta dan tidaklah ada yang mewarisinya kecuali hanya seorang anak
wanitaku. Apakah aku sedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan.” Aku
berkata,”Apakah aku sedekahkan setengah darinya?” beliau bersabda,”Jangan, sepertiga aja.
Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih
baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada
manusia.” (HR. Muslim)
Para ulama pun telah bersepakat akan dibolehkannyanya berwasiat.
Adapun hukum dari wasiat dengan harta maka telah terjadi perbedaan dikalangan para ulama :
Jumhur fuqaha dari kalangan ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa
memberikan wasiat dari sebagian hartanya adalah bukan sebuah kewajiban bagi seseorang
karena wasiat adalah sebuah pemberian yang tidak wajib saat hidup maka tidak pula wajib
setelah dirinya meninggal dunia. Kemudian mereka berpendapat bahwa disunnahkan bagi
seorang yang memiliki harta untuk meninggalkan wasiat, sebagaimana firman Allah swt :
وف� �م�ع�ر� �ال ب �ين� ب و�األق�ر� �ن� �د�ي �و�ال �ل ل �ة� �و�ص�ي ال ا �ر2 ي خ� ك� �ر� ت �ن إ �م�و�ت� ال �م� �ح�د�ك أ ح�ض�ر� �ذ�ا إ �م� �ك �ي ع�ل �ب� �ت ك
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Lalu kewajiban tersebut dihapus dan menjadikannya (wasiat) sunnah untuk bukan ahli warisnya,
berdasarkan hadits,”Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. al Baihaqi)
Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa wasiat adalah sebuah kewajiban. Mereka
berdalil dengan ayat yang sama dengan yang digunakan kelompok pertama, yaitu surat al
baqoroh ayat 180.
Didalam kitab “Fiqh as Sunnah” dsebutkan bahwa rukun wasiat adalah adanya ijab dari orang
yang mewasiatkannya baik dengan lafazh maupun dengan isyarat yang bisa difahami atau juga
dengan tulisan apabila si pemberi wasiat tidak sanggup berbicara. Kemudian apabila wasiat tidak
tertentu, seperti : untuk masjid, tempat pengungsian, sekolah, atau rumah sakit maka ia tidak
memerlukan qabul akan tetapi cukup dengan dengan ijab saja sebab dalam keadaan demikian
wasiat itu menjadi sedekah. Apabila wasiat ditujukan kepada orang tetentu maka ia memerlukan
qabul dari orang yang diberi wasiat setelah si pemberi wasiat meninggal atau qabul dari walinya
apabila orang yang diberi wasiat belum mempunyai kecerdasan. Apabila wasiat diterima maka
terjadilah wasiat itu. Jika wasiat ditolak setelah pemberi wasiat meninggal maka batalah wasiat
itu dan ia tetap menjadi milik dari ahli waris pemberi wasiat.
Adapun syarat-syarat wasiat adalah adanya pemberi wasiat, penerima wasiat dan sesuatu yang
diwasiatkan. Si pemberi wasiat diharuskan telah memiliki kelayakan didalam melakukan
kebaikan, seperti ia adalah seorang yang berakal, dewasa, merdeka, ikhtiyar dan tidak dibatasi
karena kebodohan atau kelalaian. Jika pemberi wasat itu orang yang kurang kemampuannya,
misalnya karena masih anak-anak, gila, hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi maka wasiatnya
tidak sah.
Sedangkan syarat-syarat dari si penerima wasiat adalah ia bukan termasuk ahli waris pemberi
wasiat sebagaimana disebutkan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud
dan at Tirmidzi bahwa dari al Maghazi bahwa Rasulullah saw bersabda pada waktu penaklukan
kota Mekah, ”Tidak ada wasiat bagi ahl waris,” Kemudian persyaratan lainnya dari si penerima
wasiat menurut para ulama Hanafi bahwa si penerima wasiat apabila telah tertentu maka
disyaratkan dalam keabsahan wasiat agar orang tersebut hadir pada saat wasiat dilaksanakan baik
keberadaannya secara hakikat maupun perkiraan, misalnya apabla dia mewasiatkan kepada janin
kandungan si fulanah maka jenis kandungan harus ada pada saat penerimaan wasiat.
Adapun apabila penerima wasiat tidak tertentu maka orang itu harus ada di waktu pemberi wasiat
wafat baik secara benar-benar atau perkiraan. Apabila si pemberi wasiat berkata, ”Aku wasiatkan
rumahku kepada anak-anak si fulan.” Tanpa menentukan siapa anak-anak itu kemudian dia mati
dan tidak mencabut wasiatnya maka rumah itu dimiliki oleh anak-anak yang ada saat pemberi
wasiat meninggal dunia baik benar-benar ada maupun dalam perkiraan.
Adapun syarat-syarat wasiat adalah adanya pemberi wasiat, penerima wasiat dan sesuatu yang
diwasiatkan. Si pemberi wasiat diharuskan telah memiliki kelayakan didalam melakukan
kebaikan, seperti ia adalah seorang yang berakal, dewasa, merdeka, ikhtiyar dan tidak dibatasi
karena kebodohan atau kelalaian. Jika pemberi wasat itu orang yang kurang kemampuannya,
misalnya karena masih anak-anak, gila, hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi maka wasiatnya
tidak sah.
Sedangkan syarat-syarat dari si penerima wasiat adalah ia bukan termasuk ahli waris pemberi
wasiat sebagaimana disebutkan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud
dan at Tirmidzi bahwa dari al Maghazi bahwa Rasulullah saw bersabda pada waktu penaklukan
kota Mekah, ”Tidak ada wasiat bagi ahl waris,” Kemudian persyaratan lainnya dari si penerima
wasiat menurut para ulama Hanafi bahwa si penerima wasiat apabila telah tertentu maka
disyaratkan dalam keabsahan wasiat agar orang tersebut hadir pada saat wasiat dilaksanakan baik
keberadaannya secara hakikat maupun perkiraan, misalnya apabla dia mewasiatkan kepada janin
kandungan si fulanah maka jenis kandungan harus ada pada saat penerimaan wasiat.
Irul, 11 feb 2010 http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/tentang-surat-wasiat-warisan.htm
WASIAT DAN PERMASALAHANNYAA. Pengertian Wasiat, Hukum dan Dasar Hukum Wasiat1. Pengertian Wasiat
Kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu(aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: “ penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya “.
Menurut istilah syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).Menurut Hukum Islam pasal 171 huruf f wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Elimartati, 2010 : 59).
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat itu berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 343).
Dari berbagai definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa wasiat adalah pemberian seseorang pewaris kepada orang lain selain ahli waris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2. Hukum WasiatMenurut Sayyid sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu :
a) WajibWasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan
akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui sselain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b) SunahWasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan
orang-orang saleh.c) Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
d) Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.
e) JaizWasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang diwasiati itu
kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).
3. Dasar Hukum Wasiata) Al-Qur’anQ.S Al-Baqarah ayat 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.Q.S Al-Baqarah ayat 283 :
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
b) Haditsول� : ي�ق� وسلم عليه الله صلى �لل�ه� ا ول� س� ر� ع�ت� م� س� عنه الله رضي �ل�ي �ل�ب�اه� ا ة� ام� م�
أ� ب�ي� أ و�ع�ن�
ل�و�ار�ث%) , ( ي�ة� و�ص� ال� ف� ه� ق� ح� ق* ح� ذ�ي ك�ل� أ�ع�ط�ى د� ق� �لل�ه� ا ائ�ي� , , إ�ن� الن�س� إ�ال� ب�ع�ة� ر�� و�األ� د� م� ح�
أ� اه� و� ر�ود� , , ار� �ل�ج� ا اب�ن� و� ة� ي�م� ز� خ� �ب�ن� ا و�اه� و�ق� ذ�ي< م� �لت�ر� ا و� د� م� ح�
أ� ن�ه� س� و�ح�
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud(Bulughul Maram digital, 2008 : 987)
: ع�ل�ى : ت� م�ا �ة+ و�ص�ي ع�ل�ى ت� م�ا م�ن� وسلم عليه الله صلى الله س�ول� ر� ل� ق�ا ل� ق�ا �ر+ ب ا ج� ع�ن� ج�ة� م�ا �ن� اب و�ى و�ر��ه ل ا م�غ�ف�و�ر2 ت� و�م�ا د�ة+ ه�ا و�ش� Dق�ى� ت ع�ل�ى ت� م�ا و �ة+ ن و�س� �ل+ �ي ب س�
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW : “ barang siapa yang mati dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan Sunnah, mati dalam keadaan taqwa dan syahid, dan dia mati dalam keadaan diampuni dosanya.”(Sayyid Sabiq, 1987 : 232)c) Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan RasulNya. Ijma’ didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.
B. Rukun, dan Syarat Wasiat1. Rukun wasiat
Menurut Sayyid Sabiq rukun wasiat itu adalah dari orang yang mewasiatkan.Menurut Ibnu Rusyd wasiat ada 4 yaitu : orang yang berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan sighat (Elimartati, 2010 : 61).
2. Syarat wasiata) Syarat orang yang berwasiat
Menurut Sayyid Sabiq diisyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
b) Syarat orang yang menerima wasiat Dia bukan ahli waris dari orang yang berwasiat. Orang yang diberi wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat wasiat dilaksanakan baik ada
secara nyata maupun secara perkiraan, seperti berwasiat kepada anak dalam kandugan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat diterima.
Orang yang diberi wasiat bukan lah orang yang membunuh orang yang memberi wasiat.c) Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia secara positif (Elimartati, 2010 : 64).
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2) (Abdul Shomad, 2010 : 355).
Menurut Amir Syrifuddin harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki oleh pewasiat (Amir Syarifuddin, 2010 : 237).
Menurut pasal 195 bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya (pasal 195 ayat 2). Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris (pasal195 ayat 4). Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan (Abdul Shomad, 2010 : 356).
C. Permasalahan Tentang Wasiat1. Yang tidak boleh menerima Wasiat
Dari uraian yang terdahulu bahwa yang boleh menerima wasiat adalah orang-orang yang tidak menjadi ahli waris. Jadi intinya orang yang telah menjadi ahli waris tidak berhak untuk menerima wasiat karena wasiat itu hanya diperuntukkan kepada selain orang yang menjadi ahli waris.Rincian tentang yang tidak boleh menerima wasiat dijelaskan dalam KHI pasal 207 dan 208. Pasal 207 “ wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya”. Pasal 208 “ wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut. Peraturan tersebut di atas dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dalampelaksanaan wasiat, mengingat orang-orang
yang disebut dalam pasal 207, 208 tersebut terlihat langsung dalam kegiatan wasiat tersebut (Elimartati, 2010 : 67).
2. Batalnya wasiatMenurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat yang ada
pada wasiat, misalnya sebagai berikut :a) Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya pda
kematian.b) Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat itu mati.c) Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang yang diberi
wasiat.Menurut KHI pada pasal 197 :
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut
atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.(2) Wasiat itu menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu :a. Tidak mengetahuui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya
sipewasiat.b. Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia meolak untuk menerimanya.c. Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah mengatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. (3) Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.3. Pencabutan wasiat
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 KHI yang berbunyi :1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum mengatakan
persetujuannya atau mengatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
bebrdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengna cara tertulis dengan disaksikan
oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaris.
Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut, maka surat wasiat yang dicabut diserahkan kembali kepada pewasiat sebagaimana diatur dalam pasal 203 ayat (2) KHI (Elimartati, 2010 : 69-70).
4. Wasiat wajibahWasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara
untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu (Elimartati, 2010 : 70).
Orang-orang yang mendapat wasiat wajibah adalah cucu-cucu yang orang tuanya telah mati mendahului atau berbarengan dengan pewaris. Mereka diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang tuanya itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya, maka ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5, 1/4, 1/3 atau 1/2 peninggalan, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Walaupun cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata berdasarkan memusakai (dengan fardh atau ushubah), tetapi berdasarkan wasiat wajibah. Oleh karena itu, memberikan bagiannya harus didahulukan daripada memberikan bagian kepada ahli waris (Abdul Shomad, 2010 : 365).
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur Rahman adalah :Tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha’ dan Tabi’in besar ahli fiqih dan ahli hadits antara lain Sain bin Musayyad, Hasan Al-Basyri, Thawus, Ahmad Ishak bin Rahawib dan Ibnu Hazmin.
Pemberian sebagian harta simati kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila simati tdak berwasiat adalah diambil dari pendapat mazhab Ibnu Hazmin yang dinukilkan dari fuqaha’, tabi’in dan pendapat Ahmad.
Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka kepada cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan kepada Ibnu hanzim, dan kaedah yang berbunyi “ pemegang kekuasaan mempunyai wewenang perkara mubah karena ia berpendapat bahwa hal itu membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memrintahkan demikian wajiblah ditaati”.
5. Ketentuan TeknisDalam KHI juga diatur beberapa ketentuan teknis untuk mengantisipasi dan menyelesaikan
masalah yang timbul, antara lain pasal 204 yang menyebutkan :Jika pewasiat meninggal dunia maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada notaris, dibuka olehnya dihadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut.
Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada notaris setempat dan selanjutnya notaris atau kantor urusan agama membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh notaris atau kantor urusan agama diserahkan kepada penerima wasiat guna menyelesaikan wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205 menyatakan dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau yang berada disuatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat dihadapan seorang komandan atasannya dengan dhadirkan oleh dua orang saksi.
Pasal 206 mengatur orang yang sedang dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nahkoda atau mualim kapal jika pejabat tersebut tidak ada maka dibuat dihadapan seorang penggantinya dengan dihadiri dua orang saksi.
D. Membedakan Wasiat dengan Wasiat Wajibah
No Perbedaan Wasiat biasa Wasiat wajibah1 Dari segi yang
orang menerima wasiat.
Orang lain selain orang yang menjadi ahli waris.
Diberikan kepada anak angkat yang tidak mendapat wasiat biasa.
Cucu laki-laki maupun cucu perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama kakek atau neneknya (pewasiat).
2 Dari segi hukum sunah wajib
DAFTAR PUSTAKAElimartati, 2010. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Batusangkar : STAIN Batusangkar
Press.Abdul Shomad, 2010. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.Sayyid Sabiq,1987. Fiqih Sunnah
Allah SWT memberikan arahan kepada orang-orang beriman agar mereka meninggalkan wasiat
jika telah semakin dekat tanda-tanda kematian. Tanda-tanda kematian itu lazim dapat dilihat
diantaranya dengan semakin lemahnya fisik, semakin banyak uban di rambut kepala, semakin
banyaknya gigi yang tanggal, semakin layunya alis mata, keriputnya kulit, dan sakit-sakitan yang
sering diderita. Atau datangnya kematian itu dapat dipastikan dengan akan dijatuhinya seseorang
dengan hukuman qishash dalam kasus pembunuhan. Wasiat adalah pesan-pesan yang
ditinggalkan oleh orang yang masih hidup untuk dilaksanakan oleh yang mendapat wasiat setelah
pewasiat meninggal dunia. Namun kewajiban adanya wasiat tersebut disyaratkan oleh adanya
harta yang banyak. Memang sedikit banyaknya harta itu adalah sesuatu yang relatif. Maka orang
yang akan meninggal itulah yang menentukan sedikit banyaknya harta yang dimiliki. Jika
ternyata bagi keluarga tersebut harta itu banyak maka perlu ditinggalkan wasiat. Namun jika
harta yang ada dianggap sedikit maka tidak perlu ada wasiat.