Download - Utang Pemerintah Dan Kesinambungan Fiskal
Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiskal
Sejarah dan Latar Belakang Utang Indonesia
A. Utang Indonesia pada Masa Orde Lama.
Pada masa Orde Lama, pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai
proyek-proyek yang bersifat politis, bukan untuk pembangunan secara nyata.
Pada masa pemerintahan orde lama, Indonesia telah menerima pinjaman luar
negeri jangka pendek yang akhirnya menimbulkan kesulitan pembayaran
kembali sehingga ditempuh upaya penyelesaian berupa penundaan kembali atau
pengalihan bentuk pinjaman. Disamping penggunaan pinjaman luar negeri yang
kurang terencana, perkembangan di bidang politik juga berperan menciptakan
kondisi lemahnya pengawasan terhadap penggunaannya.
Laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 di bawah 2 persen.
Investasi di sektor produktif sangat kecil dan pembangunan proyek-proyek
monumental yang tidak produktif semakin bertambah. Deficit anggaran belanja
pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dari bank Indonesia melalui
pencetakan uang telah memacu tingkat inflasi yang mencapai puncaknya
sebesar 635 persen pada tahun 1966. Adanya kurs mata uang yang beragam
(multiple) dan sistem devisa yang sangat ketat, menyebabkan cadangan devisa
semakin langka dan timbulnya pasar gelap devisa yang nilainya sangat tinggi.
Hal ini berakibat terjadinya pelarian modal ke luar negeri dan kegiatan spekulatif.
B. Utang Indonesia pada Masa Orde Baru.
Orde baru diawali dengan suatu keadaan yang sarat beban. Pada tahun 1966
merupakan permulaan tahun-tahun dimana utang-utang pemerintah mulai jatuh
tempo. Utang pemerintah tersebut relatif sangat tinggi dibandingkan dengan
kemampuan membayar kembali pada waktu itu. Strategi terpenting yang diambil
pada saat itu adalah melakukan proses stabilisasi perekonomian dan rehabilitasi
berbagai prasarana yang menunjang kegiatan ekonomi. Salah satu program
penting dari program normalisasi tersebut adalah normalisasi hubungan yang
sempat merenggang dengan berbagai lembaga multilateral, terutama IMF dan
Bank dunia. Kedua lembaga multilateral tersebut akhirnya membantu
pemerintah indonesia dalam melakukan penjadwalan kembali utang-utang yang
terakumulasi pada periode sebelumnya. Selain melakukan penjadwalan kembali
utang-utang pemerintah, melalui paris club dan perundingan bilateral, berbagai
lembaga maju dan lembaga multilateral menyepakati terbentuknya suatu forum
konsorsium negara/lembaga dnor yang kemudian disebut sebagai Inter-
Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang pada awal tahun 1990-an
digantikan dengan forum baru yang serupa yang disebut Consultative Group for
Indonesia (CGI).
Dengan perkembangan dari Pelita I ke Pelita V yang dijalankan pada masa orde baru, perekonomian
indonesia dapat dikatakan mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang sedemikian pada
akhirnya menghasilkan suatu kemampuan pengumpulan penerimaan pemerintah yang besar, sehingga dapat
membiayai berbagai kegiatan yang dilakukan, termasuk diantaranya pembayaran cicilan utang dan bunganya
secara tepat waktu dalam suatu periode dua puluh lima tahun secara terus menerus. Oleh karena itu, periode
tersebut mengambarkan bahwa utang luar negeri menjadi sumber pembiayaan pembangunan ekonomi yang
penting walaupun tidak sedikit yang berpendapat bahwa jumlah pinjaman Indonesia sudah menimbulkan
ketergantungan bagi Indonesia, sehingga kalau bisa agar diupayakan pengurangannya. Pada akhir Pelita V
jumlah utang luar negeri Indonesia sudah mencapai jumlah lebih dari 50 miliar dolar. Posisi hutang Indonsia
pada masa orde baru dapat digambarkan dengan tabel berikut:
Perkembangan Ekonomi Indonesia Pelita I – Pelita VPosisi utang pemerintah akhir Pelita
(juta$)
Pertumbuhan ekonomi
rata-rata
Inflasi Cadangan Devisa
Akhir Pelita (juta$)
Ekspor Akhir Pelita (juta$)
Penerimaan Dalam
Negeri (Rp
Triliun)Pelita I 4.426 7,3% 14,3% 930 2.957 1,0Pelita II 11.330 7,2% 17,1% 2.917 11.020 4,3Pelita III 19.953 6,1% 13,2% 5,145 18.689 14,4Pelita IV 38.983 5,2% 7,8% 6.011 19.509 23,0Pelita V 52.462 8,3% 8,2% 12.708 36.607 52,8
Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah
Strategi pembangunan dengan memanfaatkan pembiayaan utang pada
akhirnya telah berhasil membangun basis yang kuat pada perekonomian untuk
menciptakan kemampuan dalam melakukan pelunasan utang tersebut.
Kemampuan negara dalam mengumpulkan penerimaan pajak serta kemampuan
perekonomian dalam mendukung ekspor adalah dua hal penting yang
dibutuhkan dalam memupuk kemampuan pemerintah untuk melakukan
pelunasan kewajiban bunga dan cicilan utang luar negeri. Secara kronologis,
perkembangan utang luar negeri Pemerintah Indonesia dalam juta dolar AS dapat
diikuti dari tabel berikut ini.
TahunTotal Utang LN
Pemerintah (juta dolar AS)
Tahun
Total Utang LN Pemerintah (juta
dolar AS)Tahun
Total Utang LN Pemerintah (juta
dolar AS)1966 2.015 1978 11.330 1990 45.1001967 2.076 1979 11.775 1991 45.7251968 2.174 1980 12.994 1992 48.7691969 2.437 1981 13.945 1993 52.4621970 2.778 1982 16,767 1994 58.6161971 3.225 1983 19.953 1995 59.5881972 3.617 1984 21.589 1996 55.3031973 4.426 1985 25.321 1997 53.8651974 4.851 1986 31.251 1998 67.3151975 6.611 1987 38.417 1999 75.7201976 8.295 1988 38.983 2000 74.8911977 9.654 1989 39.577
Berdasarkan gambaran keseluruhan tersebut dapat dilihat bahwa
perkembangan utang luar negeri pemerintah memang mengalami fluktuasi
meskipun trendnya tetap menunjukan peningkatan. Pada pertengahan
dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan utang
pemerintah, yang sebagian disebabkan juga oleh perubahan nilai tukar mata
uang. Namun demikian, trend penurunan ini akhirnya berbalik menjadi lonjakan
tajam pada tahun 1998 dan 1999 karena terjadinya krisis di Indonesia maupun
terjadinya perubahan kurs antara mata uang utama. Pada tahun 1998 kenaikan
pinjaman tersebut sebesar 13,45 miliar dolar AS sedangkan pada tahun 1999
masih terjadi kenaikan lagi sebesar 8,4 miliar dolar AS. Namun demikian, tahun
2000 jumlah utang kembali mengalami sedikit penurunan. Perkembangan
tersebut merupakan satu bahan renungan yang menarik mengenai strategi
pembiayaan pembangunan dengan memanfaatkan utang luar negeri.
Pinjaman IMF: Upaya Memperkuat Neraca Pembayaran
Pinjaman IMF umumnya diberikan dalam “balance of payment support”, atau
pinjaman yang dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa suatu negara.
Pinjaman ini dimaksudkan agar tercipta kepercayaan yang lebih besar kepada
kemampuan negara tersebut dalam menghadapi berbagai kewajiban
pembayaran ke luar negeri, termasuk untuk impor, dengan memunculkan angka
yang lebih baik pada cadangan devisa negara peminjamnya. Karena itu,
tujuannya memang bukan untuk dipergunakan Pemerintah untuk menomboki
defisit APBN.
Dengan sifat yang sedemikian, pinjaman IMF tersebut masuk sebagai
cadangan devisa Bank Indonesia, yang kemudian oleh Bank Indonesia akan
ditanamkan kembali dalam berbagai bentuk penanaman valuta asing di luar
negeri. Karena itu, dalam proses ini “biaya” yang harus ditanggung oleh
Indonesia pada akhirnya harus juga diperhitungkan dengan penerimaan yang
diperoleh oleh Bank Indonesia dari penanaman dana tersebut. Dengan sifat
demikian, dimana pinjaman IMF tersebut pada akhirnya merupakan pinjaman
yang diterima oleh Bank Indonesia, maka pembayaran kembalinya pun mestinya
berada di luar APBN dan langsung masuk sebagai beban bank Indonesia (kecuali
kalau ada kesepakatan lain antara BI dan Pemerintah). Oleh karena itu, tidak
salah apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa pinjaman IMF tersebut
tidak termasuk dalam komponen keseluruhan pinjaman luar negeri Pemerintah.
Suatu hal yang penting dari pinjaman IMF adalah fungsinya sebagai katalis
bagi mengalirnya pinjaman dari sumber-sumber ofisial lainnya maupun dari
pasar modal internaisional. Sebagaimana dimaklumi, pinjaman IMF tersebut
umumnya diberikan bersamaan dengan suatu program reformasi yang dijanjikan
oleh pemerintah negara penerima pinjaman. Program ini secara rinci termuat
dalam suatu dokumen yang disebut “Letter of Intent” (LOI). Pinjaman IMF pada
umumnya dicairkan jika LOI tersebut telah ditandatangani oleh pemerintah yang
bersangkutan, setelah isi dari programnya disepakati bersama antara Pemerintah
dan IMF. Karena itu, pencairan pinjaman IMF berarti secara implisit program yang
akan dijalankan oleh pemerintah telah memperoleh stempel dari IMF. Sifat
sebagai katalis inilah yang pada akhirnya membuat beberapa negara tetap
menginginkan kehadiran IMF meskipun pada akhirnya mereka tidak
membutuhkan dana dari IMF itu sendiri.
Pinjaman dari IMF kepada Indonesia pada saat ini diberikan dalam bentuk
“Extended Fund Facility” (EFF). Fasilitas ini merupakan suatu bentuk pinjaman
yang diberikan oleh IMF kepada negara anggota yang sedang melakukan
program reformasi ekonomi yang bersifat struktural, sehingga memerlukan
waktu yang lebih panjang untuk penyelesaiannya maupun jangka waktu untuk
pelunasannya. Sebelumnya, pada saat terjadi krisis pada tahun 1997, bentuk
pinjaman yang diberikan ke Indonesia berupa Stand-by Arangement (SBA).
Fasilita ini diberikan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca
pembayaran sehingga diperkirakan jangka waktunya tidak terlalu lama.
Indonesia juga pernah memperoleh pinjaman dari IMF dalam bentuk
“Compensatory Financing Facility” (CFF) pada saat terjadi penurunan harga
minyak di pertengahan dasa warsa 1980-an. Pinjaman ini ditunjukan kepada
negara-negara yang sedang mengalami kemrosotan ekspor karena terjadinya
perubahan harga di pasar internasional. Ketiga pinjaman tersebut (EFF, SBA, dan
CFF) merupakan suatu bentuk pinjaman yang reguler sehingga hanya dikenai
tingkat bunga pinjaman umum (Rate of Charges). Sampai akhir tahun 2001,
jumlah pinjaman IMF kepada Indonesia mencapai 10,9 miiliar dolar AS. Jumlah
pinjaman IMF dalam dolar AS ini selalu berubah dari waktu ke waktu karena
adanya perubahan nilai tukar mata uang. Seiring perkembangan waktu, saat ini
utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) diklaim telah dipangkas habis
pada masa pemerintahan presiden SBY. Pada tahun 2006, dua tahun setelah
memimpin Indonesia, Presiden SBY berhasil melunasi seluruh utang kita sebesar
7.8 miliar dolar AS.
C. Utang Indonesia pada Masa Krisis
Kebijakan pinjaman luar negeri yang utama sejak terjadi krisis pertengahan
tahun 1997 adalah upaya mengurangi jumlah pinjaman luar negeri (debt stock)
dan beban pengembalian pinjaman luar negeri (debt burden). Sementara itu,
strategi yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi debt burden adalah
melalui restrukturisasi pinjaman luar negeri pemerintah dan memfasilitasi
penyelesaian pinjaman luar negeri sector swasta.
Pada tanggal 9 Januari 1998 Presiden RI mengeluarkan Keppres No. 4 Tahun
1998 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Masalah Hutang-Hutang
Perusahaan Swasta Indonesia yang tugas-tugasnya adalah:
1. Mengkoordinasikan dan membantu upaya penanganan penyelesaian utang
swasta Indonesia termasuk cara restrukturisasi atau reorganisasi perusahaan;
2. Mengkoordinasikan badan atau lembaga yang menangani penyelesaian utang
perusahaan swasta Indonesia;
3. Mengajukan pertimbangan kepada Presiden mengenai kebijakan yang perlu
ditempuh pemerintah dalam menangani masalah tersebut di atas.
Lembaga Penyelesaian Pinjaman Perusahaan Swasta (LPHS)
Lembaga ini dibentuk dengan menunjuk Keppres No. 17/1998 tentang Dewan
Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan dan Keppres No. 4/1998 tentang
Tim Penyelesaian Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia. Lembaga
ini berfungsi untuk mengkoordinasikan penanganan pinjaman-pinjaman
perusahaan swasta serta membantu penyelesaian perselisihan antara debitur
dan kreditur.
Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA)
INDRA adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dengan Keppres No.
95/1998 yang disempurnakan dengan Keppres Bo. 31/1999. Lembaga ini adalah
lembaga non-profit yang terpisah dari Bank Indonesia namun beroperasi di
bawah pengawasan Bank Indonesia.
Program INDRA bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang lebih leluasa
bagi para debitur dalam mengembalikan pinjaman luar negerinya, terutama
dalam bentuk rescheduling dengan jangka waktu menjadi minimal 8 tahun
dengan masa tenggang (grace period) minimal 3 tahun.
Strategi Pengelolaan Utang Pemerintah Indonesia
A. Tujuan Pengelolaan Utang
Tujuan umum pengelolaan utang negara dapat dibagi per periode waktu yaitu:
1. Tujuan jangka panjang
a. Mengamankan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang dengan biaya
minimal pada tingkat risiko terkendali, sehingga kesinambungan fiskal
dapat terpelihara.
b. Mendukung upaya untuk menciptakan pasar Surat Berharga Negara (SBN)
yang dalam, aktif dan likuid.
2. Tujuan jangka pendek
Memastikan tersedianya dana untuk menutup defisit dan pembayaran
kewajiban pokok utang secara tepat waktu dan efisien.
B. Unit Pengelola Utang Negara
Organisasi pengelola utang telah mengalami beberapa kali perubahan seiring
dengan semakin besar dan beragamnya jumlah dan jenis utang Pemerintah,
yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sebelum tahun 1998, utang Pemerintah hanya berupa pinjaman luar negeri
yang pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Dana Luar Negeri pada
Direktorat Jenderal Anggaran (DJA).
2. Pada tahun 1999 dibentuk Debt Management Unit (DMU) yang berada di
bawah Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, yang pada awal
pembentukannya difokuskan untuk mengelola obligasi rekap yang diterbitkan
untuk menyehatkan perbankan akibat krisis tahun 1998.
3. Pada tahun 2001 DMU berubah menjadi Pusat Manajemen Obligasi Negara
(PMON) sebagai unit eselon II di bawah Sekretariat Jenderal yang secara
khusus mengelola SUN.
4. Pada tahun 2004 terjadi reorganisasi pada Kementerian Keuangan yang
menyatukan pengelolaan utang dalam satu unit eselon I di Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPB). PMON diubah namanya menjadi Direktorat
Pengelolaan SUN, sedangkan Direktorat Dana Luar Negeri dengan nama baru
menjadi Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri.
5. Pada tahun 2006, seiring dengan berkembangnya ruang lingkup pengelolaan
utang dan dalam rangka memusatkan pengelolaannya dalam satu unit
tersendiri, dibentuklah unit eselon I bernama Direktorat Jenderal Pengelolaan
Utang (DJPU).
C. Strategi Pengelolaan Utang
Strategi Umum Pengelolaan Utang dan Kewajiban Kontijensi tahun 2013-2016
adalah:
1. Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan
memanfaatkan sumber utang dari luar negeri sebagai pelengkap;
2. Melakukan pengembangan instrumen dan perluasan basis investor utang
agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih sumber utang yang lebih sesuai
kebutuhan dengan biaya yang minimal dan risiko terkendali;
3. Memanfaatkan fleksibilitas pembiayaan utang untuk menjamin terpenuhinya
pembiayaan APBN dengan biaya dan risiko yang optimal;
4. Memaksimalkan pemanfaatan utang untuk belanja modal terutama
pembangunan infrastruktur;
5. Melakukan pengelolaan utang secara aktif dalam kerangka ALM Negara;
6. Menghentikan kebijakan pemberian jaminan pemerintah yang bersifat blanket
guarantee, seperti penerbitan support letter untuk proyek-proyek
Independent Power Producer (IPP) PT. PLN;
7. Mendukung peningkatan modal perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah
untuk melaksanakan penjaminan infrastruktur agar mampu memberi jaminan
tanpa melibatkan Pemerintah;
8. Meningkatkan transparansi pengelolaan utang dan kewajiban kontinjensi
melalui penerbitan informasi publik secara berkala;
9. Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan
efisiensi APBN, mendukung pengembangan pasar keuangan, meningkatkan
sovereign credit rating, dan mengidentifikasi potensi risiko penjaminan serta
rekomendasi langkah mitigasinya.
D. Kebijakan Pengelolaan Risiko dan Portofolio Utang
Target Capaian Risiko Portofolio
Resiko Tingkat Bunga
Pada akhir tahun 2009, kondisi environment tingkat bunga dan inflasi relatif
rendah dan terkendali, bahkan merupakan yang terendah dalam 5 tahun
terakhir. Di pasar domestik tingkat bunga acuan BI (BI rate) pada bulan Juni 2010
ditetapkan sebesar 6,5 persen dengan tingkat inflasi tahunan sekitar 5,05 persen
meningkat sebesar 2,27 persen dibanding akhir tahun 2009. Sementara di pasar
internasional, tingkat suku bunga USD Libor enam bulan berada di bawah 0,75
persen, lebih tinggi 0,32 persen dibanding akhir tahun 2009. Tingkat bunga yang
rendah ini pada tahun-tahun yang akan datang akan berpotensi untuk naik
seiring dengan perbaikan/recovery kondisi keuangan global.
Kenaikan ini berpotensi meningkatkan risiko tingkat bunga dalam
pengelolaan utang. Upaya yang perlu dilakukan dalam periode 2010 – 2014
untuk memitigasi risiko tersebut adalah sebagai berikut.
1) Memprioritaskan bunga tetap dalam penerbitan/pengadaan utang baru, untuk
memberikan tingkat kepastian terhadap bunga yang harus dibayarkan di
masa yang akan datang.
2) Melakukan restrukturisasi utang baik SBN maupun pinjaman.
Restrukturisasi pinjaman dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas yang
ditawarkan oleh pemberi pinjaman maupun yang tersedia dalam klausul
perjanjian pinjaman. Restrukturisasi SBN dilakukan dengan menukar surat
berharga yang memiliki tingkat bunga yang lebih tinggi dengan yang lebih
rendah melalui program debt switch dan cash buyback. Restrukturisasi ini
dilakukan untuk memanfaatkan momentum rendahnya tingkat bunga dan
menghindari tambahan beban bunga yang harus dibayar Pemerintah, jika
terjadi kenaikan tingkat bunga di pasar keuangan pada masa yang akan
datang.
3) Memanfaatkan instrumen derivatif yang tersedia di pasar keuangan untuk
tujuan lindung nilai, antara lain dengan menggunakan interest rate swap.
Dalam struktur portofolio yang akan datang, utang dengan tingkat bunga
mengambang tetap diperlukan dalam jumlah yang tidak terlalu besar untuk
menjadi penyeimbang, terutama apabila tingkat bunga tetap telah menjadi
relatif mahal
Dalam pengadaan utang baru, untuk instrumen pinjaman akan cenderung
menggunakan tingkat bunga mengambang dengan referensi bunga pasar
ditambah margin tertentu. Sementara untuk penerbitan SBN, akan
diprioritaskan pada penerbitan dengan tingkat bunga tetap. Penerbitan
dengan tingkat bunga mengambang diperlukan terutama dalam hal terdapat
jenis investor tertentu yang hendak dijangkau untuk menambah kapasitas
penyerapan dan perluasan basis investor.
Risiko nilai tukar
Dalam lima tahun terakhir, volatilitas mata uang asing terhadap rupiah telah
berpengaruh cukup signifikan pada pembayaran kewajiban bunga dan cicilan
pokok utang valas. Berdasarkan hasil analisis data historis nilai tukar mata uang
asing terhadap rupiah dalam lima tahun terakhir, JPY merupakan mata uang
asing yang paling volatile terhadap rupiah diikuti EURO, GBP dan USD. Namun
mengingat porsi utang dalam bentuk JPY dan USD yang cukup dominan, maka
volatilitas kedua mata uang tersebut akan menjadi fokus utama dalam
pengelolaan.
Berdasarkan struktur portofolio utang bulan Juni 2010, sensitivitas struktur
portofolio terhadap pergerakan dua mata uang utama, yaitu USD dan JPY,
menunjukkan bahwa setiap perubahan Rp.100,00 per USD akan meningkatkan
utang sebesar Rp.3,89 triliun atau 0,07 persen terhadap PDB ceteris paribus.
Sementara setiap pergerakan Rp.1.00 dari nilai tukar JPY akan meningkatkan
utang sebesar Rp.2,6 triliun atau 0,04 persen terhadap PDB ceteris paribus.
Sementara terhadap kewajiban utang baik pokok maupun bunga untuk tahun
2010 masing-masing akan mengalami peningkatan sebesar Rp.377 miliar untuk
USD dan Rp.260 miliar untuk JPY.
Semakin volatile suatu mata uang asing, maka akan semakin besar
ketidakpastian struktur portofolio utang dan jumlah anggaran yang diperlukan
untuk membayar kewajiban utang valas. Data historis dalam periode 5 tahun
sejak Januari 2005, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dalam portofolio
utang terutama JPY, EURO dan USD menunjukkan tingkat volatilitas masing-
masing sebesar 1,2 persen, 0,9 persen dan 0,6 persen.
Untuk mengurangi eksposur utang terhadap volatilitas mata uang terutama JPY
dan USD, upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Menurunkan porsi utang valas terhadap total utang melalui pengurangan
nominal utang valas dan/atau peningkatan porsi utang rupiah dengan
memprioritaskan penerbitan/pengadaan utang Rupiah.
Pengurangan nominal utang valas dapat dilakukan melalui restrukturisasi
atas denominasi utang maupun prepayment atas utang tersebut. Namun
demikian, terdapat kendala dalam melakukan restrukturisasi maupun
prepayment tersebut, terutama terhadap pinjaman lunak (Official
Development Assistance) yang bersumber dari lembaga bilateral. Hal ini
disebabkan karena pinjaman lunak dimaksud merupakan bentuk kerjasama
antar negara yang sudah menjadi komitmen dari negara lender baik kepada
debiturnya maupun rakyat (taxpayer) di negara lender.
Untuk itu, penurunan nominal utang valas dapat dilakukan apabila utang
valas baru lebih kecil dari pada utang valas yang jatuh tempo. Hal ini
ditempuh dengan memberikan prioritas dan porsi yang lebih besar pada
utang dalam mata uang rupiah. Upaya peningkatan porsi rupiah ini harus
diimbangi dengan beberapa langkah strategis yang dapat mendukung
pelaksanaannya.
2) Penerbitan utang dengan mata uang asing diprioritaskan pada mata uang
utama yang memiliki volatilitas yang lebih rendah dengan
mempertimbangkan ALM.
Di antara utang valas utama (USD, JPY dan EUR), JPY merupakan mata uang
yang paling volatile sehingga diperlukan mitigasi risiko dengan mengurangi
porsinya secara aktif. Untuk itu, penerbitan/pengadaan utang baru yang
berdenominasi JPY diupayakan lebih kecil daripada pembayaran pokoknya.
3) Mengutamakan penerbitan/pengadaan utang tunai dalam mata uang yang
sama dengan mata uang untuk pembayaran kewajiban utang yang jatuh
tempo.
4) Melakukan lindung nilai (hedging) melalui pemanfaatan instrumen forward
atau currency swap yang tersedia di pasar keuangan.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan target porsi utang valas yang
ditetapkan pada akhir tahun 2014 adalah maksimum sebesar 43 persen.
Risiko refinancing
Risiko refinancing berpotensi semakin meningkat dalam periode tahun 2010–
2014. Pada periode ini, berdasarkan posisi outstanding utang akhir tahun 2009
sekitar 33 persen dari total utang akan jatuh tempo. Utang yang akan jatuh
tempo pada periode tersebut sulit digeser terutama untuk pinjaman luar negeri
mengingat jumlah dan proporsinya cukup signifikan. Di sisi lain, kebutuhan
pembiayaan melalui utang pada periode tersebut menunjukkan peningkatan.
Untuk memitigasi risiko refinancing selama tahun 2010–2014 upaya yang dapat
dilakukan, antara lain:
1) Melakukan penerbitan SBN yang diprioritaskan pada tenor jangka menengah
ke panjang, untuk menjaga keseimbangan portofolio utang;
2) Melakukan pengaturan tenor penerbitan/pengadaan utang baru dan
restrukturisasi dan/atau reprofiling utang lama secara terukur.
Dari assesment terhadap portofolio saat ini dan kebutuhan pembiayaan serta
kapasitas pengelolaan utang dalam periode 2010-2014, target risiko refinancing
yang ditetapkan pada akhir tahun 2014 adalah:
1) ATM ditetapkan minimal 8 tahun;
2) Porsi utang jatuh tempo dalam 3 tahun sebesar 18 persen dari total utang;
dan
3) Durasi SBN yang dapat diperdagangkan minimal 4 tahun.
Indikator Biaya Utang
Pencapaian tujuan pengelolaan utang untuk meminimalkan biaya utang
dalam jangka panjang antara lain diukur dari perkembangan rasio pembayaran
bunga utang terhadap penerimaan atau belanja negara, dan perkembangan rasio
pembayaran bunga utang terhadap outstanding utang.
Berdasarkan data historis, perkiraan struktur portofolio optimum yang akan
datang, proyeksi atas indikator-indikator pasar yang berpengaruh pada biaya
utang, dan upaya untuk menjaga kesinambungan fiskal serta mendukung peran
investasi Pemerintah bagi pertumbuhan ekonomi, maka indikator biaya pada
akhir tahun 2014, ditargetkan sebagai berikut:
a. Rasio biaya terhadap outstanding sebesar 6 persen;
b. Rasio biaya terhadap penerimaan sebesar 8 persen; dan
c. Rasio biaya terhadap belanja sebesar 7,6 persen.
Rasio bunga utang terhadap penerimaan atau belanja negara diupayakan
menurun agar Pemerintah dapat meningkatkan keleluasaan dalam pengelolaan
belanja negara yang bersifat non-discretion. Dengan demikian, maka akan
tersedia cukup ruang untuk melakukan investasi dalam bentuk pembangunan
infrastruktur produktif yang dapat meningkatkan kapasitas perekonomian dan
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menurunkan bunga utang, antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Mengurangi biaya diskon yang dikeluarkan dengan pemilihan seri dan waktu
yang tepat dalam setiap penerbitan;
b. Memaksimalkan tawaran konversi bunga pinjaman luar negeri;
c. Penggunaan hedging untuk meningkatkan kepastian terhadap pembayaran
kewajiban utang baik dari Pinjaman maupun SBN; dan
d. Melakukan buyback dan debt switching terhadap SBN yang mempunyai
tingkat kupon tinggi
Indikator Risiko FIskal
Agar kinerja kebijakan fiskal dapat dijaga dan bahkan ditingkatkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, maka beban utang bagi perekonomian harus
dijaga sedemikian rupa agar berada pada kondisi yang mampu dikelola.
Kesinambungan fiskal diantaranya ditunjukkan oleh dua indikator utama yaitu
defisit terhadap PDB dan tingkat utang terhadap PDB. Untuk itu, rasio utang
terhadap PDB diupayakan tetap menurun hingga di bawah 24 persen
pada akhir tahun 2014.
Upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah:
a. Memanfaatkan utang terutama untuk membiayai kegiatan/proyek yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi.
b. Melakukan efisiensi biaya utang yang akan berdampak pada penurunan
deficit sehingga mengurangi pengadaan utang baru.
c. Penerbitan/pengadaan utang valas dilakukan secara terukur untuk
mengurangi dampak peningkatan outstanding utang dalam rupiah akibat
depresiasi nilai tukar rupiah.
Strategi Pengelolaan Surat Berharga Negara (SBN)
A. Strategi SBN Domestik
Secara khusus, strategi peningkatan likuiditas dan daya serappasar SBN
domestik dilakukan melalui:
Pengembangan pasar perdana SBN
a. Melanjutkan dan meningkatkan metode penerbitan SBN yang telah
dilaksanakan selama ini, baik yang dilakukan melalui lelang maupun non
lelang. Peningkatan metode penerbitan dilakukan untuk menarik jumlah
investor yang lebih besar dan meningkatkan kualitas pengelolaan portofolio
risiko dan biaya utang negara. Peningkatan metode penerbitan, antara lain
dengan:
1) Melakukan kajian atas metode penerbitan SBNmelalui metode lelang,
misalnya penggunaanmetode lelang dengan uniform price (tingkat harga
yang sama dengan yang dibayarkan oleh seluruh investor yang pemesanan
pembeliannya dimenangkan) atau dengan opsi green shoe;
2) Membuka kemungkinan penjualan SBN padainvestor ritel melalui media on
line;
3) Melakukan penerbitan dengan metode private placement secara selektif
terutama pada saat likuiditas pasar tidak cukup memadai dan ditujukan
pada investor yang potensial yangmemiliki horizon investasi yang panjang;
4) Dalam hal penerbitan dilakukan secara book building (penjualan SBN
kepada investor melalui agen penjual dimana agen penjual mengumpulkan
pemesanan pembelian dalam periode penawaran yang telah ditentukan),
perlu dilakukan upaya penyempurnaan strategi eksekusi antara lain dalam
hal strategipenentuan harga dalam price whisper, price guidance dan final
pricing, serta strategi komunikasi efektif pada investor potensial.
b. Meningkatkan kualitas penetapan jadwal lelang penerbitan SBN melalui:
1) Publikasi jadwal lelang penerbitan setiap awaltahun anggaran dan menjaga
konsistensi besaran yang ditargetkan dengan realisasipenerbitannya.
Jadwal tersebut setidaknyameliputi indikasi instrumen/tenor danmengarah
pada besaran target penerbitan;
2) Dalam hal terjadi perubahan target SBN netodalam APBN-P, diupayakan
untuk melakukan revisi atas jadwal lelang penerbitan dandipublikasikan
segera setelah penetapan APBN-P;
3) Penetapan waktu dan besaran target penerbitan, terutama untuk SBN
jangka pendek, dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan BI dalam
rangka harmonisasi dengan kebijakan moneter;
4) Meningkatkan koordinasi dengan pengelolaankas agar waktu dan besaran
target penerbitanSBN lebih terukur dan mempertimbangkanpengelolaan
kas jangka pendek.
c. Meningkatkan kualitas penetapan benchmark series SBN yang dapat
mendorong pengembangan pasar sekunder SBN, antara lain dengan
berdasarkan pada:
1) Tenor penerbitan instrumen baru/reopeningdiupayakan tetap setiap tahun.
Waktu bulanjatuh tempo SBN yang diterbitkan diupayakankonsisten,
sehingga dalam jangka panjang tenorSBN jatuh tempo dapat terkonsentrasi
padabulan-bulan tertentu denganmempertimbangkan posisi kas
Pemerintah dankebutuhan pasar untuk adanyareferensi/benchmark; dan
2) Karakteristik benchmark series yang diterbitkan telah mempertimbangkan
likuiditas pasar SBN domestik, serta persebaran dan preferensiinvestor.
Pengembangan pasar sekunder SBN
a. Melaksanakan transaksi langsung yang lebihintensif terutama untuk menjaga
stabilisasi pasardan kebutuhan pengelolaan portofolio.
b. Pengembangan lebih lanjut trading platform yang efisien.
c. Memaksimalkan fungsi primary dealers sebagai counterpart dalam melakukan
assesment terhadap likuiditas dan minat investor serta market making,
dengan secara terus-menerus mengevaluasi hak dan kewajiban primary
dealers secara seimbang.
d. Mendorong pengembangan pasar repo dan produkturunan misalnya STRIPS
(Separately Traded Interest and Principle Securities) yang dapat mendorong
likuiditas.
e. Secara aktif melakukan koordinasi dengan instansiterkait dalam rangka
mengevaluasi/mengkajiperaturan yang berhubungan denganpengembangan
pasar sekunder.
f. Meningkatkan efektifitas pemantauan pasar SBN, sehingga dapat diambil
langkah-langkah yang cepat dan tepat dalam rangka mengantisipasi
kondisikrisis, di antaranya melalui Crisis Management Protocol 3.
Pengembangan dan penguatan basis investor
Pengembangan dan penguatan basis investor
Basis investor SBN yang telah ada saat ini telah cukup beragam, mulai dari
investor ritel sampai institusi, investor jangka pendek sampai panjang, investor
domestik dan asing, serta investor SBN tradable dan non tradable. Namun
demikian dari sisi kapasitas dan per sebarannya, masih perlu dilakukan berbagai
upaya untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik diantara para pelaku.
Untuk itu, pada tahun 2010–2014, pengembangan dan penguatan basis
investor akan difokuskan pada investor yang memiliki karakteristik horizon
investasi jangkapanjang, dengan tidak mengabaikan pengembanganbasis
investor ritel dan pengembangan pasar sekunder.
Pengembangan dan penguatan basis investor dilakukan dengan:
a. Meningkatkan komunikasi dan koordinasi terutama dengan regulator industri
keuangan dan investorinstitusi yang potensial menyerap SBN jangkapanjang
seperti dana pensiun dan asuransi;
b. Meningkatkan komunikasi terutama kepada investorritel untuk berinvestasi
pada SBN dengan tenor yang lebih panjang;
c. Mendukung penyusunan aturan hukum yangdiperlukan oleh investor tanpa
melanggar ataubertentangan dengan aturan yang relevan;
d. Meningkatkan komunikasi dan persebaran informasidengan investor asing
yang memungkinkan investorlebih memahami karakteristik pasar domestik,
danmemungkinkan untuk membuka partisipasi di pasardomestik.
Pengembangan instrumen SBN
Membuka peluang penerbitan instrumen barusesuai kebutuhan investor
tertentu dengan tetapmempertimbangkan faktor risiko dan biaya yangdihadapi
Pemerintah serta efisiensi pasar, misalnya:
1) Bonds dengan embedded option berupa fasilitas tertentu diantaranya call/put
option;
2) Sukuk project;
3) Saving bonds, dan lain-lain.
Melakukan kajian, evaluasi dan/atau inovasi atas instrumen yang sudah ada,
antara lain:
1) Obligasi Ritel dengan tingkat bungamengambang;
2) Treasury Inflation Protected Securities (TIPS);
3) Separately Traded Interest and Principle Securities(STRIPS).
B. Strategi SBN Valas
Strategi penerbitan SBN valas di pasar internasional dilakukan dengan:
a. Menerbitkan SBN valas secara terukur. Penerbitan SBN valas dilakukan
sebagai pelengkap (complementary sources) untuk membiayai kewajiban
valas, membuat benchmark di pasar internasional, dan menghindari
crowding-out di pasar domestik.
Penerbitan dalam mata uang asing lainnya secara selektifdapat
dipertimbangkan untuk dilaksanakan, terutamadalam hal adanya kebutuhan
pembiayaan yang sangattinggi dan diimbangi dengan likuiditas pada jenis
mata uang dimaksud yang mencukupi dan appetite investor yang memadai
b. Mengembangkan metode/format penerbitan yang lebih fleksibel untuk
mengakomodasi perubahan target pembiayaan, kebutuhan ketersediaan
pembiayaan sepanjang tahun dan kemampuan untuk memanfaatkan
momentum pasar, misalnya dengan menerbitkan obligasi global dengan
format Security and Exchange Commission (SEC) registration, melanjutkan
penerbitan dengan metode Global Term Medium Note (GMTN) dengan terus
meningkatkan kualitas eksekusi agar tercipta price tension.
c. Dalam kondisi ketidakpastian di pasar keuangan dibuka kemungkinan untuk
menerbitkan instrumen yang tidak standar, misalnya melalui private
placement.
Dalam proses eksekusi dan penjatahan dilakukan upayauntuk meningkatkan
kualitas investor SBN valas melalui penjatahan pemenang secara selektif,
misalnyamenekankan pada real money account
Rating Indonesia
Rating investasi di Indonesia mengalami peningkatan diikuti dengan stabilitas
perekonomian. Faktor penentu perbaikan rating:
1. Ketahanan perekonomian Indonesia dalam krisi global 2007-2008
2. Kestabilan politik dan perbaikan law enforcement
3. Pengelolaan utang pemerintah yang prudent (penurunan rasio terhadap PDB,
ketepatan waktu pembayaran, dan meningkat kepercayaan investor)
Diantara lembaga pemeringkat kredit adalah Standard & Poor (S&P), yaitu per 8
April 2011 menaikkan peringkat kredit Indonesia dari BB menjadi BB+ dengan
outlook positive, satu tingkat di bawah investment grade. Fitch per tanggal 15
Desember 2011 menaikkan peringkat kredit Indonesia dari BB+ menjadi BBB-.
OECD pada tanggal 30 Maret 2012 menaikkan peringkat CRC Indonesia dari
klasifikasi 4 menjadi klasifikasi 3. Pada saat ini Indonesia satu kelompok dengan
negara-negara seperti Thailand, Uruguay, Afrika Selatan, Rusia, India, Brasil, dan
Peru.