UPAYA MENSEJAHTERAKAN RAKYAT MELALUI PEMBENTUKAN
PERATURAN DI BIDANG AGRARIA
Mahyuni
ABSTRAK
Titik awal untuk mensejahterakan rakyat sudah dicanangkan bangsa ini pada tanggal 17 Agustus
1945. Perwujudan kearah itu telah pula dilakukan pemimpin bangsa pada setiap era
pemerintahan yang dipimpinnya, meskipun mengalami pasang surut karena berbagai kendala.
Peranan pimpinan eksekutif diberbagai lini pemerintahan dari pusat sampai daerah sangat besar
di dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat baik dalam pembentukan peraturan, khususnya yang
berkaitan dengan agraria, lebih-lebih lagi dalam implementasi kebijakan atas peraturan itu
sendiri.
Indonesia yang susunan masyarakatnya termasuk perekonomiaannya, masih bercorak agraris,
demikian pula kehidupan masyarakatmya yang sebagian besar masih menggantungkan diri dari
sektor agraris, maka upaya mensejahterakan rakyat melalui regulasi bidang agraria adalah salah
satu jawabannya.
Langkah konkrit diawali dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih popular dengan sebutan UUPA.Undang-
undang tersebut telah ditindaklanjuti pula dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undang
bidang agraria baik masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Sebenarnya
upaya menseja hterakan rakyat, khususnya melalui pembentukan peraturan di bidang agraria
merupakan pengewantahan dari amanat Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke
empat.Pemimpin di era apapun mutlak melanjtukan upaya mensejahterakan rakyat yang telah
dirintis oleh pendahulunya sesuai dengan posisinya masing-masing.
Seiring dengan pergantian rezim, dan hadirnya era reformasi, kebijakan pemerintahan Orde Baru
dalam menerapkan aturan bidang pertanahan dievaluasi dan direvisi.Apapun hasilnya, penilaian
suatu pemerintahan haruslah dilakukan secara komprehensif dan obyektif.Ternyata tidak semua
aturan bidang agraria dan kebijakan yang dijalankan pemerintahan sebelumnya itu
jelek.Kinidimasa pasca reformasi telah dirumuskan asas-asas pembaruan produk hukum bidang
agraria dan sumber daya alam, serta arah kebijakan pembaruan agraria dan sumber daya alam di
dalam KETETAPAN MPR RI Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR tersebut merupakan “pedoman”bagi
eksekutif dan legislatif jika hendak melakukan pembaruan produk hukum bidang agraria dan
sumber daya alam..
Di dalam tulisan ini dibahas produk hukum bidang agraria yang berpihak pada upaya
mensejahterakan rakyat yang terbagi dalam 3 masa: 1. Masa di akhir kekuasaan pemerintahan
Orde Baru, 2. Masa di awal reformasi 1998, dan 3. Masa Pasca lahirnya Ketetapan MPR RI
Nomor IX/MPR/2001.
PENDAHULUAN
Titik awal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sudah dicanangkan oleh para“The
Founding Fahter” bangsa Indonesia secara Politik tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk
“Deklarasi Kemerdekaan. Secara Juridis pada tanggal 18 Agustus 1945.Tujuan dibentuknya
Negara Indonesia tercantum di dalam alinea ke 4 Preambule Undang Undang Dasar 1945, yang
selengkapnya berbunyi:”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka
disusunlah kemerdekaan itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada . . . . . . . . . dan seterusnya“.
Guna mewujudkan maksud sebagaimana tersebut pada alinea 4 Pembukaan Undang
Undang Dasar 1945, selanjutnya para pendahulu kita mengamanatkan kembali pada Konstitusi
Negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Sebenarnya momentum pertama upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui
pembentukan aturan adalah keluarnya undang Undang no. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih popular dengan sebutan UUPA, hanya saja dalam
perjalanannya UUPA oleh Pemerintah Orde Baru, khususnya dalam “action”nya mulai
meninggalkan keberpihakan kepada masyarakat kecil, kelompok terbesar dari penduduk negeri
ini. Sementara banyak kalangan berpendapat di era 1960, saat terbentuknya UUPA adalah
prestesi besar bangsa Indonesia karena telah berhasil “mendobrak”tatanan hukumagraria
peninggalan Pemerintah Kolonial.
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, hakikat UUPA itu secara perlahan dikembalikan
kepada maksud dan tujuannya semula, yang pada intinya sector keagrariaan (pertanahan)
merupakan salah satu sector yang turut menyumbang terwujudnya masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur.1
Tentu saja sektor-sektor lain dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial juga harus
pula berjalan seperti sektor pendidikan, kesehatan dan tidak lepas pula sektor perekonomian serta
sektor-sector lainnya.Menurut penulis sektoragrarian merupakan issue sentral, mengingat dari
sember agrarialah kebutuhan pokok bangsa ini, khususnya pangan.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA), yang sejak awal berciri populis sebagaimana tampak dalam prinsip-prinsip dasarnya,
dalam perjalanan waktu mengalami berbagai tantangan seiring dengan pergeseran kebijakan
pertanahan yang terwujud dalam berbagai peraturan pelaksanaan terkait karena berbagai
pertimbangan dan hambatan.2Sejalan dengan era pergantian pemerintahan, pemerintah
selanjutnya sadar dan akan meneruskan kembali misi untuk mensejahterakan masyarakat banyak
yang diemban oleh UUPA itu sendiri.Pemimpin dan bangsa ini telah menyadari nya bahwa
koreksi dan pembenahan atas produk perundang-undangan bidang pertanahan mutlak harus
1Dalam Konsiderans UU No. 5 Tahun 1960 disebutkan : “bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan
kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya , terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa mempunya fungsi yang amat penting dalam membangun mansyarakat yang adil dan makmur.
2Maria SW Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta Penerbit Buku Kompas,
hlm. 36.
segera dilaksanakan.Langkah konkrit yang diambil adalah diawali oleh lembaga Tinggi Negara
Majelis Permusyawaratan Rakyat (di era Orde Baru Lembaga Tetinggi Negara), yaitu dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Lembaga Permusyswaratan Rakyat berpendapat bahwa untuk menetapkan arah dan dasar
pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan
ketidakadilansosial ekonomi rakyat, maka pembentukan produk hukum dan perundang-undangan
bidang agraria yang berpihak kepada rakyat banyak harus segera dilakukan agar kesejahteraan
masyarakat dapat terwujud.
Dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 telah dimasukkan beberapa asas, diataranya :
mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan sumber daya manusia, mewujudkan
keadilan, termasuk kesetaraan jender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan,
pemeliharaan sumber daya agrarian/sumber daya alam.3Masalah yang berhubungan dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ternyata sangat krusial sekali di
dalam masyarakat kita.Hal ini terjadi karena arah kebijakan pembanguan di bidang agrarian di
era pemerintahan Orde Baru tidak banyak berpihak kepada upaya untuk mensejahterakan rakyat.
Oleh karena itu di dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 telah
dirumuskan Arah Kebijakan Pembaruan Agraria sebagai berikut:
a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi
3Dalam salah satu konsiderans TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 disebutkan :“bahwa pengelolaan sumber daya
agrarian/sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan , penggunaan dan pemanfaatannya, serta menimbuilkan berbagai konflik.
terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarakn pada ptrinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini;
b. melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan pemilikan tanah untuk
rakyat;
c. menyelenggaraan pendataan ertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis
dalam rangka pelaksanaan landreform;
d. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang
timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa datang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini; dan
e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelasanaan
pembaruan agrarian dan menyelesaikan konflik-konflik sumberdaya agraria yang
terjadi.
Diantara 5 arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana diuraikan diatas, penulis akan
menyoroti salah satu dari arah kebijakan dimaksud, yaitu menyangkut akan dilakukannya
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-
undangan yang didasaran pada asas-asas sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 TAP MPR RI
No.IX/MPR/2001.
Dilakukannya pengkajian ulang terhadap produk peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan agraria oleh Pemerintah di era “Reformasi” dan pemerintahan yang
meneruskan reformasi, penulis berpendapat bahwa tidak semua produk peraturan perundang-
undangan pemerintahan sebelumnya dirombak total oleh pemerintahan kedepan. Rekomendasi
terhadap pengkajian ulang atas peraturan perundang-undangan bidang agraria dapat berupa:
1. Perubahan atas satu atau beberapa hal saja;
2. Mempertahankan peraturan yang ada; dan
3. Mengganti seluruhnya.
Intinya adalah adalah kalau peraturan lama substansinya tidak pro kesejahteraan rakyat
maka diganti seluruhnya, bila sebagian saja direvisi, dan bila baik dan sesuai saja dengan misi
perbaikan kehidupan rakyat maka peraturan dimaksud justru tetap dipertahankan.
Secara substansial produk perundangundangan bidang agraria yang berpihak kepada
kehidupan masyarakat marginal berdasarkan masanya, penulis mebaginya menjadi 3 masa, yaitu:
1. Masa di akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru;
2. Masa di awal reformasi 1998; dan
3. Masa pasca lahirnya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.
Perlu kiranya dicatat disini bahwa produk perundang-undangan agraria dimasa Orde Baru
yang berpihak kepada masyarakat menengah kebawah tidaklah nol sama sekali. Diakui memang
ada regulasi bidang pertanahan yang baik dan berpihak kepada masyarakat kecil, akan tetapi
dalam implementasi kebijakan lebih banyak menyentuh pihak kalangan menengah keatas dan
para pemodal.
PEMBAHASAN
Berikut penulis akan membahas produk-produk hukum apa saja yang lebih
menguntungkan rakyat dan berorientasi pada kesejahteraan dan kemasylahatan rakyat banyak.
Sebagaimana telah telah disitir sebelumnya bahwa produk hukum dimaksud ada pada masa
akhir pemerintahan Orde Baru, masa awal reformasi 1998, dan pasca lahirnya ketetapan MPR RI
Nomoe IX/MPR/2001.
1. Masa Di Akhir Pemerintahan Orde Baru
Dimasa akhir Pemerintahan Orde Baru ada 2 produk hukum pertanahan yang diterbutkan,
yaitu:
1. PeraturanPemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran Tanah
Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran Tanah menurut
penulis merupakan salah satu produk peraturan pertanahan yang diharapkan oleh
semua rakyat Indonesia.Peraturan sebelumnya (PP No.10 Tahun 1961) sudah berlaku
selama 36 tahun. Pertimbangan juridis atas digantinya peraturan pemerintah yang
lama adalah bahwa Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 kurang dapat
memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada pemegangnya, karena menganut
sistem pendaftaran negatif mutlak. Alasan lain adalah peraturan sebelumnya kurang
mendukung percepatan pembangunan nasional yang volumenya semakin besar dan
kompleks.4
Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan sangat mengharapkan
adanya kepastian hukum. Pasal 19 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengamanatkan bahwa untuk jaminan
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah. Di dalam Peraturan
Pemerintah Nomo 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang memuat asas
sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka lebih dikedepankan. Pencapaian
legislasi aset tanah masyarakat dan tanah pemerintah merupakan Program Strategis
Pertanahan oleh Pemerintah untuk memberikan dan mencapai keadilan serta
kesejahteraan rakyat.
4PP No. 24 Tahun 1997 dalam konsiderans hurup a menyebutkan; “bahwa Pembangunan Nasional yang berkelanjutan
memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum bidang pertanahan”. Selanjutnya dalam konsiderans hurup c disebutkan:
“PP No. 10 Tahun 1961 Tentang pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang
lebih nyata pada Pembangunan Nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.’
Semenjak terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sampai
dengan diterbitkannya Peraturan pemerintah yang baru Tentang Pendaftaran Tanah ,
target pendaftaran tanah dari program yang dicanangkan hanya mencapai 37 % saja.
Bila dibandingkan dengan masa 36 tahun Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tersebut diberlakukan, maka capaian angka 37 % tersebut dirasa sangat kecil,
ini berarti Peraturan Pemerintah dimaksud pelaksanaannya perlu ditinjau ulang,
hingga pemerintah pada akhirnya berkesimpulan bahwa diatara penyebabnya adalah
substansi peraturan itu sendiri yang tidak mendukung sehingga harus diperbaharui.
Ada beberapa perbedaan yang terdapat antara Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yaitu:
1. Pendaftaran tanah secara sistematik;
Di dalam Peraturan pemerintah yang lama hal ini memang ada, tetapi tidak terlalu
dipacu dengan berbagasi regulasi dan kebijakan dalam implementasi program.
2. Pendaftaran tanah secara sporadik;
Di dalam Peraturan pemerintah yang lama hal ini juga ada, akan tetapi sosialisasi
dan motivasi kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk
mendaftarkan tanahnya secara sukarela sangat kurang dilakukan oleh pemerintah.
Kesiapan dari institusi pertanahandari pusat hingga daerah juga tidak
terkoordinasi dengan baik, disamping mental dari sebagaian aparat pelaksana
yang kurang mendukung.
3. Adanya percepatan waktu dalam proses pendaftaran tanah, dan biaya yang cukup
terjangkau. Sedangkan dalam Peraturan Pemedrintah Nomo 10 Tahun 1961,
tenggat waktunya lebih lama, dan biaya dirasa masih cukup tinggi, di samping
tidak ada transparansi dari instansi pendaftaran tanah itu sendiri.
4. Tenggang waktu pengajuan keberatan atas tanah yang sudah terdaftar untuk
pertama kali;
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, hal ini tadak diatur.
Pihak yangmerasa keberatan atas diberikannya hak atas tanah kepada pemegang hak
diberikan kesempatan untuk mengajukan tuntutan kepada pemegang hak itu sendiri,
atau kepada instansi yang memberikan hak itu, atau kepada pengadilan dalam
tenggang waktu 5 tahun terhitung suatu hak diberikan.Cara inilah yang oleh para ahli
dan pengamat hukum agraria dinamakan “sistem pendaftaran tanah negatif yang
berkecendrungan positif.”Dalam peraturan pendaftaran tanah sebelumnya halsama
sekali tidak diatur.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menganut “sistem pendaftaran
tanah negatir (negatif murni).Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah yang
baru (PP No. 24 Tahun 1997),diwacanakan segala kekurangan yangada pada
Peraturan Pemerintah yang lama (PP No. 10 Tahun 1961) sebagaimana diutarakan di
atas dapat dihilangkan dan peningkatan pembangunan nasional yang
berkelanjutanberjalan lancer, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Menurut Effendi Perangin, funsi dari pendaftaran tanah itu sendiri adalah untuk
memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum mengenai
tanah.5 Hal positif Yang dirasakan dengan sstem pendaftaran tanah yang dianut oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu Sistem pendaftaran Tanah Negatif
Yang Berkecendrungan Positif adalah adalah bahwa baik pihak yang merasa
dirugikan dengan terdaftarnya hak atas tanah bagi pemegang hak diberi kesempatan
untuk mengajukan tuntutan keberatan. Sebaliknya bagi pemegang hak atas tanah juga
ada jaminan kepastian hukum manakala masa menuntut telah terlampaui (5 tahun).
Hal ini berarti pemegang hak tidak terbebani oleh tuntutan hak dari seseorang dimasa
yang akandating. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,
pemegang hak dapat saja dituntut kapan saja tanpa batas waktu meskipun ia memiliki
dan menguasai tanah selama puluhan tahun.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar ditanda-tangani dan diberlakukan pada tanggal 5 Maret
1998 oleh Presiden Soeharto, 50 hari sebelum beliau menyerahkan kekuasaan kepada
wakilnya BJ Habibie.Nampaknya pemerintah menyadari bahwa pemberian hak atas tanah
dimasa lalu kepada perorangan, dan badan hukum, kiranya perlu ditinjau ulang dan
dibenahi.Alasannya adalah bahwa tanah yang diberikan tidak digunakan oleh pemegang
hak sesuai dengan peruntukkan, sifat dan tujuannya, mengingat semua hak atas tanah
mempunyai fungsi social.Tidak dimanfaatkannya tanah sesuai dengan peruntukkannya
adalah bertentangan dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960. Pengertian Tanah
Terlanter terdapat pada penjelasan Pasal 27 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu
5Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum),Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 96.
“tanah diterlantarkan kalau disengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan daripada haknya.”6
Di dalam pilosofi hidup bangsa Inonesia, tanah merupakan suatu karunia Tuhan
Yang Maha Esa, sehingga, sehingga wujud mensyukurinya adalah dengan cara
mengusahakan dan memanfaatkan tanah itu sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan bersama. Bangsa Indonesia yakin dengan sepenuhnya, bahwa dari tanah
dapat diwujudkan kesejahteraan.Tujuan Penertiban Tanah Terlantar adalah untuk
mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu
optimalisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan semua tanah diwilayah Indonesia
diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan
menciptakan lapangan kerja, serta untuk menciptakan ketahanan pangan danenergy.7
Di dalam perjalanan waktu Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar setelah berjalannya waktu pada tahun
2010 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Peenertiban
dan Pendayagunaan Tanah. Terlantar.Alasan dari pencabutannya adalah karena dianggap
tidak efektif.Terhadap pencabutan ini penulis tetap memberikan apresiasi, karena diakhir
kekuasaannya pemerintahan Orde Baru masih sempat memikirkan perbaikan
kesejahteraan rakyat.
6 Pasal 10 ayat (1) UU No. 5 Tahun1960 menyatakan bahwa: “Setiap orang atau badan hukum yang
mempunyai suatu hakatas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri
secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. 77BPN RI-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar, Hal. 6.
3. Masa Awal Reformasi 1998
Masa Awal reformasi 1998 yang penulis maksudkan disini adalah masa
terjadinya atau masa dikeluarkannya peraturan agrarian pada pertengahan 1998 sampai
November 2001 yaitu saat dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.Nampaknya
pada masa ini tidak banyak produk peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah baik berupa Undang Undang, Peraturan pemerintah, Instruksi Presiden,
ataupun Peraturan menteri Agraria/Kepala BPN. Nampaknya karena hiruk pikuk politik
dalam negeri yang belum kondusip,sehingga para penyelenggara negara belum dapat
bekerja secara optimal.
Dalam pengamatan penulis ada 2 buah peraturan, yaitu Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Berikut diuraikan masing-masing peraturan perundang-undang dimaksud:
1. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
Peraturan ini dikeluarkanpada tanggal 24 Juni 1999, saat Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dijabat oleh Hasan Basri Durin.Peraturan
ini lahir mengingat dimasa itu diberbagai daerah timbul berbagai masalah yang
berkaitan dengan hak ulayat.Untuk itulah kiranya pemerintah merasa perlu untuk
mengeluarkan aturan yang dapat dijadikan sebagai acuan/pegangan di dalam
menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan hak ulayat/tanah ulayat.
Menurut penulis, peraturan ini merupakan peraturan bidang pertanahan yang
berpihak kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat.Sebelumnya
penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat tidak ada pedomannya, jadi tidak ada
norma baku yang dapat dijadikan acuan manakala pemerintah hendak menyelesaikan
masalah hak ulayat/tanah ulayat. Dampak dari tidak adanya pedoman sebagai acuan
adalah terkatung-katungnya proses penyelesaian, lamanya waktu penyelesaian, dan
bahkan masalah hak ulayat/tanah ulayat dibiarkan begitu saja tanpa
penyelesaian.Pembentukan peraturan ini merupakan implementasi dari konstitusi
Negara dan UUPA itu sendiri.8
2. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan disahkan oleh Presiden BJ
Habibie pada tanggal 30 September 1999 dan diundangkan oleh Menteri Negara
Sekretaris Negara pada tanggal yang sama dengan tanggal pengesahannya.Menurut
Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, seluruh bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alamyang terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Dalam ayat (4) nya
disebutkan pula bahwa: “Dalam pengertian bumi termasuk pula tubuh bumi,
8Hal ini disebutkan dalampertimbangan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 hurup b: “Bahwa dalam kenyetaannya pada waktu ini banyak daerah masih terdapat tanah-
tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan, penggunaannya didasarkan
pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adar yang
bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.
dibawahnya serta yang berada dibawah air. Jadi pengertian agrarian dalam arti luas
termasuk juga sektor kehutanan karena obyek hutan berada berada dipermukaan bumi
(tanah).
Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa asas pengelolaan sumber kehutanan di
dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah asas manfaat, lestari, kerakyatan
, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan.
Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutaan tidak lepas pula
kritik karena dianggap masih berpihak kepada pemodal, akan tetapi penulis melihatnya
dari dua sisi;
1. Kelahiran Undang Undang Kehutanan di awal reformasi (masa transisi);
2. Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut ada mengatur dan melindungi hak
masyarakat hukum adat.
Penulis berpendapat dikeluarkannya undang-undang dimasa transisi berarti
substansi undang- undang (kehutanan) disorot dan diamati oleh banyak kalangan, jadi
meskipun Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak lepas dari kritik terhadap
isinya, namun undang-undang tersebut tentu lebih baikdari Undang Undang Nomor 5
Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN Tahun 1967 No. 8).
Selanjutnya apabila dihubungkan dengan pasal-pasal yang mengatur dan
melindungi hak masyarakat hukum adat, penulis berpendapat ketentuan dalam pasal-
pasal tersebut implementasinya akan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan
rakyat. Tujuan untuktercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan melalui beberapa
aspek.Misalnya peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan
pendapatan, identifikasi terhadap pihak-pihak yang diragukan dalambeberapa konflik
kepentingan, serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat.9
Berikut penulis akan mengemukakan pasal-pasal di dalam Undang Undang Nomo 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan yang mengatur dan melindungi hak masyarakat hukum adat:
1. Pasal 1 ayat (6):”Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukumadat’
2. Pasal 4 ayat (1): “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”(3): “Penguasaan hutan oleh Negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepenjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional”
3. Pasal 5 ayat (1): Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan Negara; dan
b. hutan hak.
(2): Hutan Negara sebagaimana disebut pada ayat (1) hurup a dapat berupa adat.
(3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana seagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberdaannya.
(4): Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan
tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.
4. Pasal 34: Pengelolaan kawasan hutann untuk tujuan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada;
9Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Penerbit Media
Abadi, Sleman-Yogyakarta, hlm. 151
a. masyarakat hukum adat,
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
d. lembaga social dan keagamaan.
5. Pasal 37 ayat (1): Pemenfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat
yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya.(2): Pemenfaatan hutan adat yang
berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu
fungsinya.
6. Pasal 67 ayat (1): Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya berhak:a. melakukan pemungutan hasil hutan untk
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;b. melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan c.mendapatkan pemberdayaan dalam
rangka meningkatkankesejahteraannya.(2): Pengukuhan keberadaan dan hapusnya
masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
peraturan Daerah.
3. Masa Pasca Lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR Tahun 2001 Tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam
Ada beberapa produk hukum yang dikeluarkan Pemerintah pasca lahirnya
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam. Produk hukumdimaksud adalah:
1. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden ini dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 3 Mei 2005. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini dikeluarkan
guna mengganti Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dianggap
sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan
pembangunan untuk kepentingan umum. Alasan lain dari diterbitkannya Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini adalah agar pengadaan tanah dapat dilakukan
lebih cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan
terhdap hak-hak yang sah atas tanah.
Peraturan Presiden tersebut saat dilaksanakan pada tahun 2005 mendapat
sorotan, kritikan tajam dan bahkan ditentang ditentang keras oleh masyarakat,
khususnya masyarakat di pulau jawa, lebih-lebih lagi masyarakat Jakarta yang
tanahnya akan dibebaskan untuk pembangunan proyek besar, diantaranya Kanal
Banjir Timur (Proyek BKT). Akan tetapi untuk Pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum di daerah-daerah nampaknya tidak begitu banyak
ditentang.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya pelaksanaan Peraturan Presiden
dimaksud tetap ingin mengedepankan transparansi dan memperhatikan prinsip
penghormatan hak-hak sah atas tanah.Akan tetapi karena Peraturan Presiden tersebut
tetap ditentang oleh berbagai elemen masyarakat, maka peraturan tersebut tidak
sempat diberlakukan lama oleh Pemerintah.
2. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden ini dikeluarkan oleh Presiden SusiloBambang Yudhoyono pada
tanggal 5 Mai 2006, tepat setahun berselang setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005. Beberapa hal penting dari Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 ini adalah perubahan bunyi ketentuan sebagai berikut;
1. Pasal 1 angka 3 yang semula berbunyi : “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, dan tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah”Diubah menjadi ;
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”
2. Pasal 2 ayat (1) yang semula berbunyi: Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilakukan dengan cara:
a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau;
b. pencabutan hak atas tanah.Diubah menjadi“Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.
3. Pasal 3 yang semula bebunyi:
(1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (!) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
(2) Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hurup b
dilakukan berdasarkan ketentuan Undang Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang
Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya.Diubah
menjadi:“Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah.”
4. Pasal 5 yang semula berbunyi:
Pembangunan untuk kentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah meliputi:
a. jalan umum danjalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. rumah sakit umum, dan pusat kesehatan masyarakat;
d. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
e. peribadatan;
f. pendidikan dan sekolah;
g. pasar umum;
h. pasilitas pemakaman umum;
i. fasilitas keselamatan umum;
j. pos dan telekomunikasi;
k. sarana olah raga;
l. stasiun penyiaran radio, televise dan sarana pendukungnya;
m. kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, perwakilan Negara asing,
Perserikatan Bangsa- Bangsa dan lembaga internasional di bawah naungan
PBB;
n. fasilitas TNI dan Polri sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
o. rumah susun sederhana;
p. tempat pembuangan sampah;
q. cagar alam dan cagar budaya;
r. pertamanan;
s. panti sosial;
t. pembangkit transimisi, distribusi tenaga listrikDiubah menjadi:Pembangunan
untuk kentinganumum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau
akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:a.jalan
umum danjalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun
di ruang bawah tanah), saluran air minum air bersih, saluran pembuangan air
dan sanitasi;b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan
pengairan lainnya;c. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan
terminal;d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;e. tempat pembuangan sampah;f.
cagar alam dan cagar budaya;g. pembangkit transimisi, distribusi tenaga
listrik.
5. Pasal 6 ayat (5) yang berbunyi:
Susunan keanggotaan Panitia PengadaanTanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat(2) dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait.Diubah
menjadi:Susunan keanggotaan Panitia PengadaanTanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1),ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur
BadanPertanahan Nasional.
6. Pasal Pasal 7 hurup c yang berbunyi:
“menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan” Diubah menjadi:“Menetapkan besarnya ganti rugi atas
yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan”
7. Menambah Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:
“Biaya Panitia Pengadaan Tanah diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan setelah
berkonsultasi dengan Kepala BPN”
8. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:
(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umu yang tidak dapat
dialihkanatau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka
musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung
sejak tanggal undangan pertama.(2) Apabila setelah diadakan musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidaktercapai kesepakatan, Panitia Pengadaan
Tanah menetapkan bentuk dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
menitipkan ganti rugi uang kepada Pengadilan Negerim yang wilayah hukumnya
meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Diubah menjadi:
(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umu yang tidak dapat
dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain,
maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seatus
duapuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undang pertama.
(2) Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai kesepakatan, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan bentuk dan ganti
rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hurup a dan menitipkan ganti rugi
uang kepada Pengadilan Negerim yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah
yang bersangkutan.
(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada
pengadilan negeri yang wilayahnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.
9. Pasal 13 yang berbunyi:
(1) Bentukganti rugi dapat berupa:
a. Uang, dan atau
b. Tanah pengganti, dan atau
c. Pemukiman kembali.
(2) Dalam halpemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat diberikan kompensasi berupa
penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Diubah
menjadi:Bentuk ganti rugi dapat berupa:
a. Uang, dan taua
b. Tanah pengganti, dan atau
c. Pemukiman kembali, dan atau
d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud
hurup a, hurup b, dan hurup c.
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
10. Pasal 15 ayat (1) hurup a yang berbunyi: (1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi
didasarkan atas:a. Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdsarkan penetapan
Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk panitia. Diubah sehingga Pasal 15
berbunyi sebagai berikut:a. Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata sebenarnya
dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdsarkan penilaian
Lembaga/Tim Penilai HargaTanah yang ditunjuk panitia.(1) Dasar perhitungan
besarnya ganti rugi didasarkan atas:
11. Menambah Pasal baru antara Pasal 18 dan Pasal 19 menjadi Pasal 18A yang
berbunyi:“Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya
yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi menurut ketentuan Pasal 15
ayat (1) hurup a diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut;
(1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:d. Nilai Jual Obyek Pajak
atau nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak
tahun berjalan berdsarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga
Tanah yang ditunjuk panitia.Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 yang
semula berjumlah 24 Pasal, p pasal diantaranya yang diubah dan ada 2 pasal yang
ditambah, ini menunjukkan betapa responsifnya pemerintah atas tantangan dan
kritikan berbagai elemen masyarakat dan para pengamat. Diantara yang krusial
adalah dimungkinkannya pencabutan hak atas tanah, dalam hal cara-cara lain
tidak berhasil dilakukan. Pencabutan hak atas tanah ini, meskipun dimungkinkan
oleh ketentuan perundang-undangan, hanya saja hal ini tidak pernah dilakukan
oleh pemerintahan sebelumnya (Orde Baru).Persoalannya sekarang adalah
bagaimana caranya pembangunan yang menghendaki ketersediaan tanah, dilain
pihak masyarakat yang terkena imbas pembangunan tidak dirugikan, dan bahkan
sedapat mungkin dengan kegiatan pembangunan justru kesejahteraan masyarakat
lebih meningkat, lebih-lebih lagi rakyat yang tanahnya terkena
pembebasan.Dalam rengka melaksanakan proyek-proyek pembangunan, tanah
merupakan sarana yang amat penting, dan masalah pengadaan tanah untuk
kebutuhan tersebut tidaklah mudah untuk dipecahkan, karena dengan semakin
meningkatnya pembangunan, kebutuhan akan tanah semakin miningkat,
sedangkan persediaan tanah sangat terbatas.10
Peraturan Presiden No. 65 Tahun
2006 dilengkapi pula dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun2007
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
10
I Wayan Suandra, 1991, Hukum Pertanahan Indonesia, Penerbit PT. Renika Cipta, Cetakan Pertama,
Jakarta, hlm. 11.
2005Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006, ternyata ketidakpuasan masyarakat sedikit dapat
terobati, ini terbukti dari tahun 2006 hingga tahun 2012 saat dikeluarkannya
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kritikan dan kecaman terhadap
pemerintah dalam pelaksanaan Pengadaan Tanah tidak segencar dan sekeras pada
tahun 2005.
3. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2009 Tentang
LARASITA Badan Pertanahan Nasional RI
Akronim LARASITA adalah Layanan Sertipikasi Tanah Untuk Rakyat.Larasita
dibentuk untuk memberikan kemudahan badi masyarakat dalam pengurusan petanahan,
mempercepat pengurusan pertanahan, meningkatkan cakupan wilayah pengurusan
pertanahan tanpa perantara dilingkungan BPN. Untuk merealisasikan Program Larasita,
BPN dalam operasionalisasinya didukung oleh kendaraan atau alat transportasi, teknologi,
informasi dan komunikasi, serta sarana dan prasarana yang tersedia di kantor BPN
kabupaten/kota. Jadi Larasita adalah semacam kantorBPN bergerak/lapangan (mobile),
dalam hal ini petugas BPN akan lebih aktif(jemput bola) dalam melayani masyarakat.
Operasionalisasi Larasita dilakukan oleh aparat di kantor pertanahan dengan
menggunakan seragam lengkap BPN, nama lengkap/tanda pengenal diri, dengan surat tugas
remi, dan bahkan bila diperlukan petugas diasuransikan. Selain melaksanakan tugas pokok
dan fungsi BPN (Pendaftaran Tanah), LARASITA juga mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaruan agrarian nasional (reforma
agrarian);
2. Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
3. Melakukan pendeteksian atas tanah-tanah terlantar;
4. Melakukan pendeteksian atas tanah-tanah yang diindikasikan bermasalah;
5. Memfasilitasi penyelesaian tanah bermasalah yang mungkin diselesaikan dilapangan;
6. Menyambungkan program BPN dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat;
7. Meningkatkan dan mempercepat legalisasi aset tanah masyarakat.
LARASITA adalah kebijaka inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan
yang diperlukan, diharapkan oleh masyarakat.LARASITA dibangun dan dikembangkan
untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang
Pokok Agraria, serta seluruh peraturan perundang-undangn di bidang pertanahan dan
keagrariaan.11
Sebenarnya diantara layanan BPN, Program layanan semacam LARASITA
inilah yang sangat dinanti-nantikan oleh rakyat, mengingat ketidakberdayaan masyarakat
dalam mengurus dan mendapatkan hak atas tanah, karena kendala yang dirasakan
masyarakat kita sangatlah besar.
Pengembangan LARASITA berangkat dari kehendak dan motivasi untuk
mendekatkan BPN RI dengan masyarakat, sekaligus mengubah paradigma pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu dan fasif menjadi aktif atau pro aktif,
mendatangi masyarakat secara langsung. Dan, LARASITA telah diujicobakan
pelaksanaannya diberbagai kabupaten/kota yang setelah dilakukan evaluasi disimpulkan
dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia.12
Program LARASITA BPN telah banyak dirasakan
manfaatnya, terutama masyarakat miskin dipedesaan.Cukup banyak masyarakat dipedesaan
11
BPN-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, 2011, Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan
Dengan Legislasi Aset, Jakarta, hlm. 731 12
BPN-Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat-SJDI Hukum, Loc. Cit.
diseluruh Indonesia yang tanahnya sudah terdaftar. Ternyata Program LARASITA cukup
signifikan dalam mempercepat proses pendaftaran tanahuntuk pertama kali. Program
Larasita yang dijalankan pemerintah telah berhasil memperbanyak bidang-bidang tanah
yang terdaftar dan dapat dijadikan acuan guna menyusun dan menjalankan program BPN
selanjutnya.
Program LARASITA merupakan kegiatan yang sejalan dengan pesan Pasal 19 ayat
(4) Undang Undang Pokok Agraria yang menyatakan:“Dalam Peraturan Pemerintah diatur
biaya-biaya yang bersangkutan drngan tanah dalam ayat (1), dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari p[embayaran biaya-biaya tersebut.”Kini Program
LARASITA merupakann salah satu jawaban dalam mengimplementasikan bunyi Pasal 19
ayat (4) dimaksud.Sekarang Program LARASITA tidak lagi dijalankan mengingat anggaran
yang tersedia di BPN Pusat.Meskipun demikian, mengingat wilayahIndonesia amatlah luas
dan banyaknya penduduk, masyarakat masih menunggu Program LARASITA atau program
semacam LARASITA dari BPN selanjutnya. Penulis menyadari bahwa penyelenggaraan
pendaftaran tanah membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan hal itu sudah ditegaskan oleh
Pasal 19 ayat (3) Undang Undang Pokok Agraria yang menyatakan:“Pendaftaran tanah
diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas
ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut Menteri Agraria”
4. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengaturan yang samatelah ada di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. Alasan diterbitkannya peraturan yang
baru, karena di dalam pelaksanaannya Peraturan Pemerintah tersebut dianggap tidak efektif
sehingga dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.13“ . . . . . . . . . Tertibkan tanah -tanah
terlantar, jangan sampai ada hamparan jutaan hektar tanah seolah-olah tidak bertuan,
padahal ada tuan yang tidak bertanggung jawab, akhirnya tidak bias digunakan oleh rakyat
kita. Tertibkan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang ada.”(Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, 15 Januari 2010).Tanah untuk keadilan dan kesejahteraan (Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, 31 Januari 2007).14
Pengertian tanah terlantar menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun2010 adalah: “Tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang
hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi
belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”Sedangkan menurut Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 Pasal 1 ayat
(4), pengertian Tanah Terlantar adalah: “ Tanah yang sudah diberikan haknya oleh Negara,
berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan,
atas dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak
dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya.
Pengertian Penertiban Tanah Terlantar menurut Pasal 1 ayat (7) Peraturan Kepala BPN
Nomor 11 Tahun 2010 adalah proses penataan kembali tanah terlantar agar dapat
13
BPN RI - Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat – SJDI Hukum, 2011, Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar, Jakarta, hlm. 5. 14
Ibid
dimafaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan Negara.Dasar hukum
yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah di dalam menertibkan tanah terlantar adalah
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 di dalam Pasal-pasal berikut:
1. Pasal 10 ayat (1);
2. Pasal 15;
3. Pasal 27 hurup a butir 3;
4. Pasal 34 hurup a butir e;
5. Pasal 40 hurup e.
Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 adalah
Karenadanya ketimpangan dalam hal penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah oleh peroranganmaupun badan hukum tertentu, dan atas tanah yang diberikan ternyata
diterlantarkan.Sementara banyak pula masyarakat atau badan hukum yang bermasud
menguasaia, memiliki, menggunakan dan memanfaatkan tanah, tetapi tanahnya sedikit ,
tidak luas atau sama sekali tanahnya tidak tersedia.Apabila hal yang demikian dibiarkan
terlalu lama, maka sasaran pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat banayk,
mensejahterakan rakyat menjadi terhambat.15
- Obyek Tanah Terlantar:
Obyek tanah terlantar menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
adalah:
1. Tanah yang telah berstatus hak, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, dan hak pengelolaan yang tidak diusahakan, tidak digunakan, atau tidak
15
Penjelasan PP No. 11 Tahun 2011 menyebutkan: Tujuan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar adalah: “Untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu optimalisasi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta
untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaanya.
2. Tanah yang telah memperoleh dasar penguasaan (ijin, keputusan surat) apabila
tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan.
Pengecuaian terhadap penertiban tanah terlantar disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, yaitu:
1. Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak
sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan sifat atau tujuan pemberian haknya.
2. Tanah yang dikuasai pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung dan
sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara, yang secara tidak
sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan sifat atau tujuan pemberian haknya.
- Langkah-langkah Proses Penertiban;
Pasal 3 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 menentukan:
1. Inventarisasi tanah yang terindikasi terlantar dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi setempat atas dasar hasil pemantauan lapangan oleh Kantor Wilayah
BPN, Kantor Pertanahan kabupaten/kota, atau dari laporan dinas/instansi lainnya,
laporan tertulis masyarakat, atau pemegang hak.
2. Identifikasi dan Penelitian terhadap tanah terlantar yang telah diinventarisasi
ditindaklanjuti dengan:
a. Tanah berstatus Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai:
- identifikasi dan penelitian aspek administrasi terhitung mulia 3 tahun sejak
diterbitkannya sertipikat.
b. Untuk tanah yang memperoleh dasar penguasaan (ijin, keputusan, surat) dasar
penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang;- Identifikasi dan penelitian
terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan tersebut.
5. Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan
Pengaturan Pertanahan
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2010 adalah Tentang Standar Pelayanan
dan Pengaturan Pertanahan. Produk hukum ini dikeluarkan dalam rangka memudahkan
masyarakat dalam proses pengurusan hak atas. Implikasi akhir dari pelaksanaan peraturan
ini tentu adalah untuk kesejahteraan rakyat, meskipun tidak secara langsung.
Peraturan tersebut dikeluarkan dalam rangka menyesuaikan perkembangan dan
tuntutan pelayanan kepada masyarakat di bidang pertanahan yang diselenggarakan oleh
kantor pertanahan. Peraturan ini merupakan penyempurnaan terhadap 2 buah keputusan
Kepala BPN RI, yaitu Keputusan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar
Prosedur Operasi pengaturan dan Pelayanan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dan
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penyederhanaan dan Percepatan
Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan Untuk Jenis Pelayanan
Tertentu.
Dengan adanya Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 ini berarti telah ada
standar pelayanan baku atas semua jenis pelayanan yang harus diberikan oleh BPN kepada
masyarakat. Peraturan tersebut juga merupakan acuan, dan sekaligus juga sebagai control
bagi masyarakat dalam rangka memantau perkembangan dan tahap-tahap proses pelayanan
yang diberikan oleh BPN, khususnya kantor pertanahan kabupaten/kota.
Tujuan dari dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk memberikan kepastian
hukum,keterbukaan, dan akuntabilitas publik sebagaimana dikehendaki oleh Undang
Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Di dalam Peraturan
tersebutdiatur mengenai Ruang Lingkup Pengaturan yang meliputi:
a. Kelompok dan jenis pelayanan;
b. Persyaratan;
c. Biaya;
d. Waktu;
e. Prosedur; dan
f. Pelaporan.
Di dalam peraturan BPN dimaksud juga ditentukan Kelompok Pelayanan yang
meliputi:
a. Pendaftaran tanah pertama kali;
b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah;
c. Pencatatan dan informasi pertanahan;
d. Pengukuran bidang tanah;
e. Pengaturan dan penataan pertanahan; dan
f. Pengelolaan pengaduan.
Untuk jenis Kelompok Pelayanan seperti tersebut di atas rinciannya dapat dilihat
dalam Lampiran I Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010.Untuk dasar hukum,
persyaratan, biaya dan waktu masing-masing jenis pelayanan, rinciannya dapat dilihat pada
Lampiran II Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010.Peraturan dimaksud juga
dilengkapi dengan Bagan Alir/Alur Pelayanan, dimana rinciaanya termuat dalam Lampiran
III Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010.Masyarakat semua berharap agar BPN
disemua lini menjalankan peraturan tersebut dengan sungguh-sungguh, selalu dievaluasi
guna lebih ditingkatkan. Di lain pihak masyarakat juga diharapkan dapat mentaati peraturan
yang dijalankan, tertib, bekerjasama, juga bersedia membantu BPN jika diminta sehubungan
dengan pelayanan yang diberikan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian sebagaimana dikemukakan sebelumnya dapatlah penulis kemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya untuk mensejahterakan bangsa kita sudah dilakukan oleh para pendahulu kita
sejak awal kemerdekaan, peminpim selanjutnya harus terus melanjutkan dan bahkan
lebih meningkatkannya melalui peran dan kiprahnya masing-masing. Bidang agraria
salah satu sektor yang dapat mewujudkan cita-cita proklamasi, mengingat kehidupan
bangsa kita sebagian besar masih bercorak agrartis.
2. Upaya pembentukanregulasi bidang yang berpihak kepada perwujudan kesejahteraan
rakyat telah dilakukan oleh pemerintah dalam setiap era pemerintahan, yaitu:
1. Masa di akhir pemerintahan Orde Baru;
2. Masa di awal reformasi 1998; dan
3. Masa pasca lahirnya TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas di atas, berikut penulis mengemukan saran, antara
lain:
1. Diperlukan adanya komitmen para pemimpin bangsa baik saat ini maupun dimasa
datang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui implementasi
peraturan bidang agraria.
2. Kiranya terhadap regulasi bidang agraria/pertanahan yang dijalankan jika
substansinya berpihak kepada perbaikan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat
perlu dipertahankan, sebaliknya jika tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat,
maka peraturannya harus ditinjau ulang, direvisi dan bila perlu diganti agar tidak
menimbulkan gejolak di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BPN RI -Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat – Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi
(SJDI) Hukum, 2011, Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan
Legislasi Aset, Jakarta.
BPN RI - Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat – Sistem Jaringan (SJDI) Hukum, 2011,
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Jakarta.
Hatta, H. Mohammad, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Penerbit Media Abadi, Sleman-Yogyakarta.
Perangin, Effendi, 1989, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum), Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.
Suandra, I Wayan, 1991, Hukum Pertanahan Indonesia, Penerbit PT. Renika Cipta, Cetakan
Pertama, Jakarta
Sumardjono, Maria SW, 2009, Tanah Dalam Perspektif Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta
Penerbit Buku Kompas