PERCERAIAN KARENA PERSELINGKUHAN
Oleh Joke Punuhsingon1
A. Latar Belakang
Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis.
Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)
mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan
perceraian hingga 70 persen. Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana,
mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10
persen setiap tahunnya. Data jumlah perceraian tahun 2011 terjadi
kenaikan di atas 10 persen dibanding angka tahun 2010.2
Tahun 2010 terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia.
Penyebabnya paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak
91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah
ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat
perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Faktor penyebabnya
terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab
61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara.3
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian
yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan data-data yang tercatat di
pengadilan Agama dan Pengadilan negeri. Hal ini juga dapat kita
1 Dosen Fakultas Hukum UKIT.2 http://id.berita.yahoo.com/angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen-010352821.html, diakses 5 Mei 2012 pukul 08.21.3 Ibid..
buktikan bila mengunjungi pengadilan agama selalu ramai dengan orang-
orang yang menunggu sidang cerai.
Secara historis, angka perceraian di Indonesia bersifat fluktuatif.
Hal itu dapat ditilik dari hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari
Southwestern School of Law-Los Angeles, USA. Berdasarkan temuan
Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade
itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian.
Tahun 2009 perceraian mencapai 250 ribu. Tampak terjadi kenaikan
dibanding tahun 2008 yang berada dalam kisaran 200 ribu kasus.
Ironisnya, 70% perceraian diajukan oleh pihak isteri atau cerai gugat. 4
Berikut ini adalah data tahun 2010 dari Dirjen Bimas Islam
Kementerian Agama RI, yaitu dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-
Indonesia, maka ada 285.184 perkara yang berakhir dengan percerain per
tahun se-Indonesia.
Adapun faktor perceraian disebabkan banyak hal, mulai dari
selingkuh, ketidakharmonisan, sampai karena persoalan ekonomi. Faktor
ekonomi merupakan penyebab terbanyak dan yang unik adalah 70% yang
mengajukan cerai adalah istri, dengan alasan suami tidak bisa memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Data ini memberikan gambaran bahwa,
tingkat perceraian secara nasional cukup tinggi. Bagaimana dengan di
4 http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia/diakses tgl 13 Februari 2013 pkl.03.06.
daerah-daerah? Ada beberapa daerah yang datanya menunjukkan
tingginya angka perceraian.
Kompas.com melansir, pada Tahun 2006, jumlah perkara cerai
sebanyak 5 ribu kasus. Tahun 2007 sebanyak 4.625 perkara, dan 2629
merupakan gugatan cerai dari istri, dan 1571 dari suami.5 Istri jauh lebih
banyak yang menggugat cerai dibanding suami. Tingginya angka
perceraian ini, dipicu banyaknya warga yang mengadu nasib sebagai
Tenaga kerja Wanita di luar negeri.
Untuk tingkat provinsi di Indonesia di Tahun 2011, Jawa Timur
masih menempati urutan pertama di bandingkan dengan provinsi lain.
Kalau tingkat kabupaten, Indramayu menempati urutan pertama dan
Banyuwangi yang kedua.
Faktor perceraian yang paling dominan adalah hubungan
pasangan suami istri yang tidak harmonis sekitar 33 persen. Kalau
masalah ekonomi, selingkuh, dan WIL (wanita idaman lain) atau PIL
(pria idaman lain) itu angkanya kecil. Dari 250 warga Surabaya yang
bercerai setiap harinya, rangking tertinggi ternyata didominasi kaum
guru. Data ini terungkap saat Walikota Surabaya Bambang DH memberi
pembekalan terhadap CPNS guru. Menurut Bambang DH, data yang
didapat dari Pengadilan Agama, guru menempati urusan pertama dalam
kasus perceraian. Di Kabupaten Bantul, Berdasarkan data Pengadilan
Agama Bantul kasus perceraian tahun 2007 mencapai 699 kasus, padahal 5 http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia/, diakses 5 Mei 2012 pukul 08.33.
tahun 2006 baru 577 kasus. Tahun 2008 sampai dengan bulan Mei sudah
ada 336 kasus. Tren kasus perceraian di Bantul terus meningkat dari
tahun ke tahun. Sebulan rata-rata ada 60 kasus dan sebagian besar karena
faktor perselisihan. Perselisihan dipicu karena pihak laki-laki
menelantarkan atau tidak memberikan nafkah kepada istrinya. Sebagian
besar yang bercerai berusia antara 30-40 tahun6.
Sampai akhir tahun 2011, sebanyak 1.195 kasus cerai yang terjadi
di Kabupaten Sidoarjo. Dari kasus perceraian yang didaftarkan ke
Pengadilan Agama Sidoarjo itu, sebagian besar disebabkan suami yang
meninggalkan kewajibannya terhadap istri. Pada 2006 lalu sebanyak
1.873 kasus cerai yang didaftarkan ke PA Sidoarjo. Jumlah itu meningkat
201 kasus atau menjadi 2.074 kasus cerai pada 2007. Penyebab lain
perceraian di Sidoarjo adalah karena suami berbuat selingkuh. Di
Pontianak, faktor rendahnya ekonomi menyebabkan tingginya angka
perceraian di Pengadilan Agama Pontianak, Kalimantan Barat. Terhitung
sejak Januari hingga Juni 2008, sudah ada 452 perkara yang masuk ke
pengadilan.
Bagaimana dengan di Manado? Memasuki awal tahun 2012,
angka perceraian di Kota Manado ternyata sangat tinggi dibanding tahun
sebelumnya. Data dari Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan sedikitnya
telah menerbitkan 23 surat akte perceraian. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala
Disdukcapil Manado Ventje Pontoh menjelaskan, Disdukcapil 6 http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia-392465.html, diakses tgl 13 Feb.2013 pkl. 12.00.
merupakan instansi atau lembaga yang menetapkan perceraian.
Sedangkan yang memutuskan perceraian adalah lembaga peradilan.
“Artinya kami mengeluarkan surat perceraian berdasarkan putusan
pengadilan. Jadi, kita tidak langsung menerbitkan surat cerai begitu
saja”.7
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)
menerbitkan akte perceraian yang dilakukan warga Kota Manado, lebih
banyak dilandasi karena ketidakcocokan dalam menjalani perkawinan.
Rata-rata mereka yang mengurus akte perceraian, usia perkawinan masih
di bawah 10 tahun. “Biasanya kalau sudah di atas sepuluh tahun, apalagi
kalau sudah merayakan tahun perak dua puluh lima tahun, mereka lebih
matang dalam berumahtangga, tidak mudah bagi mereka untuk bercerai”.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada dari kelompok 10 tahun ke atas
mengurus surat cerai.8
Keretakan rumah tangga yang berujung perceraian di Sulawesi
Utara mencengangkan. Rata-rata terjadi satu kasus perceraian setiap hari
sepanjang tahun. Faktor pemicunya beragam namun paling dominan
justru ketidaksetiaan.9 Suami memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) dan
sang istri menyimpan Pria Idaman Lain (PIL) dan akibatnya anak adalah
korban paling menderita akibat perpisahan orang tuanya.
7 http://beritamanado.com/kota-manado/angka-cerai-di-manado-tinggi/79103/8 Ibid.9 Tribun Jogja - Jumat, 13 April 2012 18:16 WIB
Data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Manado dan
Pengadilan Agama Kotamobagu bisa memberi gambaran tentang
tingginya frekwensi perceraian di Sulut. Dalam tiga bulan pertama tahun
2012 (Januari-Maret) total 94 kasus gugatan cerai pasangan suami istri di
PN Manado. Bulan Januari 30 kasus, Februari 35 dan Maret 29 kasus.
Pada tahun 2012 PN Manado mencatat 291 kasus perceraian terbanyak
pada bulan Oktober dengan 37 pasutri bercerai.
Angka perceraian di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya pun
mencatat rekor tertinggi dibanding daerah lain di Sulut. Setiap tahun,
trend perceraian di empat kabupaten dan satu kota di Bolmong naik
antara 20 hingga 25 persen. Catatan Pengadilan Agama Kotamobagu,
hingga Maret 2012 sudah 217 kasus gugat cerai. Bandingkan dengan
jumlah perkara tahun 2011 yang mencapai 661 kasus. Dari jumlah
tersebut, 664 di antaranya sudah putus.10
Data yang diperoleh melalui Humas PN Tondano, Uli Purnama
SH MH, "Prosentasi kenaikan berkisar delapan persen per tahun. Ia
menyebutkan, tahun 2009 tercatat 134 kasus perceraian yang ditangani
PN Tondano. Tahun 2010 meningkat jadi 140 kasus dan tahun 2011 146
kasus. Berdasarkan fakta sidang, perceraian umumnya disebabkan
ketidakcocokan, selingkuh dan KDRT.11
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Sumpah yang diucapkan
di depan altar pernikahan bukan hanya janji kepada manusia tetapi janji 10 Ibid.11 http://jogja.tribunnews.com/2012/04/13/tak-setia-pemicu-utama-perceraian
kepada Tuhan. Namun ternyata ada juga pasangan yang sudah diikat
dengan sumpah itu berakhir dengan bercerai. Faktor utama terjadinya
perceraian adalah karena krisis akhlak. “Perselingkuhan adalah krisis
akhlak yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Karena
perselingkuhan, pemicu terjadinya konflik yang berkepanjangan. Juga
faktor pendidikan dan ekonomi bukan hal utama yang memicu
perceraian. Data yang tercatat dalam kurun waktu 2010 sampai
September 2011 sudah ada 472 kasus perceraian di PA Manado.
Sementara di PN Kelas I Manado ada 479 kasus yang terjadi. Di PA
Manado 2010 ada 302 kasus perceraian yang harus diselesaikan dan
sampai September ada 170 kasus,” kata Suroso. Sedangkan di PN
Manado, ada 215 yang tercatat sampai September tahun ini dan 264
kasus yang tercatat sepanjang 2010.” Suroso juga menambahkan bahwa
pihak Pengadilan selalu menawarkan jalan mediasi untuk pihak-pihak
yang berseteru, tapi semua tergantung para pihak yang ada.12
Dari data yang ada di atas dapat ditarik kesimpulan sementara
bahwa:
1. Tren perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ketahun.
2. Dari 2 juta pernikahan setiap tahun, ada 200 ribuan yang bercerai.
3. Masalah ekonomi (suami tidak bisa menafkahi) adalah no 1 penyebab
perceraian, kemudian ketidak harmonisan pribadi, perselingkuhan.
12 http://beritamanado.com/kota-manado/angka-cerai-di-manado-tinggi/79103/
4. 70 % yang menggugat cerai adalah Isteri.13
B. PERCERAIAN KARENA PERSELIKUNGAN DI PENGADILAN
NEGERI
a. Perceraian Dalam Pandangan Kristen
Perceraian merupakan persoalan yang biasa dihadapi oleh
kebanyakan orang dalam kehidupan berumah tangga. Bukan saja di
kalangan para artis yang marak, tetapi juga di kalangan orang Kristen
sendiri, perceraian menjadi persoalan yang serius. Dalam tulisan ini
Hendi Rusli14, mencoba melihat persoalan etis perceraian dari sudut
pandang Paulus dalam I Korintus 7. Ada pun sebelum saya menarik
sumbangsih etis dari pandangan Paulus mengenai perceraian, terlebih
dahulu meninjau latar belakang historis dari surat I Korintus tersebut;
menelusuri sumber ajaran etis Paulus; dan menggali teks I Korintus 7
terkait dengan masalah perceraian.
1) Latar Belakang Historis
Kota Korintus merupakan kota pelabuhan yang penting karena
letaknya yang strategis. Menurut Groenen, kota ini terletak di lajur
tanah yang menghubungkan antara Yunani Selatan dan Yunani
Utara, oleh karena itu juga kota ini menjadi titik sambung lalu lintas
13 Di kumpulkan dari beberapa Sumber: Kompas.com, detik.com, vivanews.com, suara karya, Antara.
14 http://hendirusli.blogspot.com/2010/05/perceraian-dalam-pandangan-paulus.html, diakses 5 Mei 2012 pukul 13.39.
bagi Yunani Selatan dan Yunani Utara. Dan hal inilah yang
menyebabkan kota Korintus menjadi pusat perdagangan dan
industri, bukan sebagai pusat kebudayaan seperti Athena.15
Penduduk Korintus sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka
anut. Penduduk Korintus menyembah Dewi Venus yang adalah
“Dewi Cinta” berdasarkaan hawa nafsu.16 Peraturan di Korintus
menetapkan bahwa di dalam kuil Dewi Venus harus ada seribu gadis
cantik yang tetap tinggal sebagai pelacur dan beribadah kepada
“Dewi Cinta” itu. Wesley menambahkan bahwa dengan adanya
agama yang demikian, maka tidaklah heran jika kota Korintus
disebut sebagai kota kenajisan dan “Kota Main Korintus” yang
berarti kota untuk berbuat zinah. Di sisi lain, Barclay juga
berpendapat17 bahwa kota Korintus memiliki reputasi makmur di
bidang perdagangan, namun juga merupakan pemeo bagi kehidupan
yang jahat. Menurut Barclay, kata korinthiazesthai yang telah
menjadi kosa-kata bahasa Yunani secara harfiah berarti hidup seperti
orang Korintus, yaitu hidup bermabuk-mabukan dan penyelewengan
yang tidak terkendali.
Paulus menulis suratnya yang pertama kepada jemaat
Korintus di tengah-tengah situasi yang seperti ini. Yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa Paulus menulis surat ini? Ada
15 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta:1986), 227.16 J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Korintus, (Bandung:1998), 11-12.17 Barclay, William. F.F. Bruce (ed). Paul And His Converts. London: Lutterworth Press. 1962
kemungkinan bahwa surat yang petama ini ditulis untuk membalas
surat dari jemaat Korintus itu sendiri, misalnya dapat kita rujuk dari
I Korintus 7:1.18 Melalui suratnya, Paulus mau menjawab
pergumulan-pergumulan yang jemaat hadapi. Kapan surat ini
ditulis? Para penafsir mengatakan bahwa surat ini ditulis sekitar
tahun 54 atau 55, namun ada juga yang mengatakan sekitar tahun 57
atau 58. Menurut Bruce,19 kemungkinan surat I Korintus ini ditulis
pada tahun 55 sebelum hari raya Pentakosta ( I Kor 16:8), ketika
Paulus berada di Efesus pada tahun yang ketiga.
2) Sumber Ajaran Etis Paulus
Dari manakah sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian?
Mungkin ini menjadi pertanyaan yang terlintas dalam benak
pembaca. Dalam bagian ini, saya merujuk pada tiga sumber yang
sekiranya dapat menjawab pertanyaan di atas.
Perjanjian Lama
Kemungkinan pertama, sumber dari ajaran Paulus mengenai
perceraian dalam I Korintus 7 bisa bersumber dari Perjanjian
Lama.20 Bagian dari Perjanjian Lama yang membahas khusus
mengenai hukum perceraiaan terdapat dalam Ulangan 24:1-5 (teks-
18 J. Wesley Brill, Ibid.19 F.F Bruce, The New Century Bible Commentary: I & II Corinthians, (Grand Rapids: 1992), 25.20 Lihat diktat Candra Gunawan, Etika Paulus: Sumber-Sumber Ajaran Etis/Moral Tulisan Rasul Paulus, Cipanas: 25 Januari, 2010.
teks lain dapat dirujuk, misalnya: Ul. 22:13-21; Ul. 22:28-29; Im.
21:7-14.21 Penulis Deuteronomis yang menjadi sumber tulisan ini,22
sangat tidak setuju dengan perceraian di kalangan umat Israel.
Hukum-hukum itu dibuat untuk mencegah terjadinya perceraian.
Dari sini tentunya kita dapat katakan bahwa, Paulus sebagai seorang
murid dari guru besar Gamaliel (Kis. 22:3) mengetahui hukum-
hukum yang tertulis dalam kitab Ulangan. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah benar sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian
ini bersumber dari Perjanjian Lama? Hal ini memang dapat dibantah,
karena Paulus tidak mengutip secara langsung teks-teks dalam PL
sebagaimana dilontarkan oleh Adolf von Harnack.
Menurut Holtz yang dikutif Candra Gunawan,23 Rasul Paulus
mengembangkan nasehat etisnya dari ajaran PL sebagaimana
dipahami oleh Yudaisme Bait Allah Kedua (BAK). Pandangan
Paulus dalam I Korintus 7:2 yang menyatakan bahwa, lebih baik
menikah daripada jatuh dalam bahaya percabulan, menurut Holtz,
bersumber pada pandangan Yudaisme BAK. Demikian juga dengan
nasehat mengenai anjuran selibat dalan I Korintus 7:7, 26, 32
memiliki kemiripan dengan anjuran dan nesehat yang diberikan
dalam komunitas Qumran.
Tradisi/Ajaran Yesus
21 Glen H. Stassen, Etika Kerajaan, (Surabaya:2008), 356.22 Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, (Jakarta: 2004, 68.23 Candra Gunawan, Ibid, 12.
Sumber kedua yang dapat dirujuk dari ajaran etis Paulus
dalam I Korintus 7 adalah dari tradisi/ajaran Yesus.24 Mengenai
ajaran Yesus tentang perceraian yang telah dibukukan terdapat
dalam Injil sinoptik,25 yaitu Matius 5:31-32; 19:3-12, Lukas 16:18
dan Markus 10:2-12. Masing-masing bagian ini menegaskan bahwa
Yesus sebenarnya menentang perceraian. Perikop Matius 19:3-12
dan Markus 10:2-12 memiliki kemiripan. Menurut Stassen,26 kedua
bagian tersebut mencatat perjumpaan Yesus dengan orang-orang
Farisi di mana mereka berusaha “menguji” Dia di hadapan orang
banyak. Kedua perikop tersebut berkenaan dengan isu tentang
apakah perceraian sejalan dengan hukum Yahudi.
Paulus Sendiri
Sumber ketiga yang dapat saya rujuk dari ajaran etis Paulus
dalam I Korintus 7 adalah hasil dari pergumulan Paulus sendiri
dengan konteksnya, yaitu di jemaat Korintus. Sebagaimana
disinggung pada bagian latar belakang historis, kota Korintus
dikenal sebagai kota yang penuh dengan kejahatan, rawan akan
perzinahan dan tindakan asusila. Hal ini menimbulkan persoalan etis
di jemaat Korintus, yang mengancam hidup pernikahan jemaat
tersebut. Paulus menjawab pergumulan ini melalui suratnya,
terkhusus dalam I Korintus 7 yang terkait dengan isu tersebut.
24 Candra Gunawan, Ibid.25 Injil-injil sinoptik ditulis dengan periode waktu yang berbeda-beda. Menurut Marxsen, Markus ditulis sekitar tahun 67-69 M, Matius sekitar tahun 80an, dan Lukas ditulis sekitar tahun 90 M.26 Glen H. Stassen, Ibid, 350..
Barclay juga menegaskan bahwa ayat 12-16 merupakan hasil
pergumulan Paulus dari persoalan yang terjadi di jemaat Korintus.
Penjelasan I Korintus 7
Isu utama dalam bagian I Korintus 7 sebenarnya bukan
berbicara mengenai perceraian tetapi mengenai perkawinan. Dapat
dikatakan bahwa isu perceraiaan merupakan sub-ordinasi dari isu
utama, yaitu perkawinan. Sebelum saya masuk ke dalam penjelasan
ayat-ayat yang terkait dengan masalah perceraian, saya akan
mencoba meninjau pengertian dari istilah perceraian itu sendiri
dalam konteks sekarang, kemudian menelusuri, persoalan apa yang
sebenarnya digumuli oleh jemaat Korintus terkait dengan surat I
Korintus pasal 7 ini.
3) Pengertian Perceraian
Perceraian adalah27 putusnya hubungan pernikahan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup
bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian memiliki dua
pengertian yang digunakan dalam keadaan yang berbeda. Pertama,
adalah perceraaian dengan istilah a mensa et thoro (dari meja dan
tempat tidur), lebih tepat lagi didefinisikan sebagai pemisahan.
Dalam hal ini, pasangan suami isteri tersebut hidup terpisah dan
berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri (pisah ranjang),
tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan 27 Dr. Endang Sumiarti, Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik, (Yogyakarta:2005), 85.
untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih
hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan diijinkan oleh
tradisi Kristen di dalam pernikahan. Kedua, adalah dengan istilah a
Vinculo yang berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan
(secara hukum/resmi). Mereka sudah tidak terikat satu dengan
lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.
4) Masalah yang diajukaan kepada Paulus
Menurut Wesley,28 sebenarnya ada 8 pertanyaan atau
masalah yang ditanyakan jemaat Korintus kepada Paulus terkait
dengan I Korintus 7 ini. Persoalan tersebut yaitu:
- Salahkah jika seseorang menikah? Jawaban atas pertanyaan ini
adalah “tidak” (ayat 1 dan 2).
- Bolehkah seseorang yang sudah menikah menjauhi pasangannya
dan tidak bersetubuh dengan dia? Jawabannya ialah “tidak” (ayat
3-5).
- Bolehkah seorang janda atau seorang duda menikah lagi?
Jawabannya ialah: mereka boleh menikah lagi, tetapi hanya
dengan orang yang percaya kepada Tuhan Yesus. Namun Paulus
berpendapat bahwa lebih baik kalau janda-janda itu tidak
menikah (ayat 7-8).
- Bolehkan seorang isteri Kristen menceraikan suaminya atau
sebaliknya? Jawabannya ialah “tidak” (ayat 10-11).
28 Wesley, Ibid, 135-136.
- Bolehkah perkawinan di antara seorang yang beriman dan
seorang yang tidak beriman dibatalkan? Jawabannya adalah
“tidak” (ayat 13-14).
- Apakah peraturan umum yang berhubungan dengan masalah
perkawinan ini? Jawabannya ialah: hendaklah tiap-tiap orang
tetap tinggal dalam keadaannya seperti pada waktu ia dipanggil
Allah (ayat 18-24).
- Apakah membujang lebih baik/lebih mulia daripada menikah
atau menikah lebih baik/lebih mulia daripada membujang?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu adalah “tidak” (ayat 25-35).
- Apakah kewajiban seorang ayah terhadap anak gadisnya?
Bolehkah ia mendorong atau memaksa anak gadisnya itu
menikah atau tidak menikah? Jawaban atas kedua pertanyaan ini
ialah “tidak” (ayat 36-40).
Adapun ayat-ayat khusus yang berbicara langsung mengenai
isu perceraian dalam I Korintus 7 adalah sebagai berikut:
Ayat 10-11, Paulus menegaskan agar seorang isteri tidak
boleh menceraikan suaminya, demikian juga suami tidak
diperbolehkan menceraikan isterinya. Menurut Barclay,29 Paulus
melarang perceraian karena Yesus juga melarangnya. Jika terjadi
perceraian yang semacam itu, Paulus melarang mereka untuk kawin
lagi. Hal ini mungkin terlihat seperti sebuah ajaran yang keras,
29 Barclay, Ibid, 115.
namun dalam konteks di Korintus, lebih baik memelihara norma-
norma yang demikian sehingga kehidupan moral yang baik tetap
terpelihara dalam kehidupan jemaat. Di samping Barclay, Bruce juga
menegaskan bahwa otoritas Paulus dalam ajarannya mengenai
larangan perceraian ini, bersumber dari pengajaran Yesus (misalnya
dapat kita rujuk dari Markus 10:2-12).30
Ayat 12-16, bekenaan dengan perkawinan di antara orang-
orang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Bagian ini
kemungkinan adalah hasil dari pergumulan Paulus, karena tidak ada
perintah dari Yesus yang dapat ditunjukkan oleh Paulus kepada
jemaat Korintus tersebut. Latar belakang dari bagian ini adalah
bahwa ada orang-orang di Korintus yang menyatakan bahwa orang
beriman tidak boleh tinggal bersama orang tidak beriman; dan
mereka juga berpandangan bahwa jika salah seorang dari pasangan
dalam sebuah perkawinan menjadi Kristen, maka jalan satu-satunya
yang harus ditempuh untuk memisahkan mereka adalah perceraian.
Paulus menghadapi masalah ini dengan kebijaksanaan yang paling
praktis. Ia berkata bahwa jika keduanya sepakat untuk tinggal
bersama, biarkanlah mereka melakukannya; tetapi jika mereka
menghendaki untuk bercerai serta didapati sesuatu yang amat
memberatkan mereka jika harus tetap tinggal bersama, maka biarlah
mereka melakukan perceraian itu. Barclay berpendapat bahwa dalam
30 Bruce, Ibid, 69.
bagian ini, ada dua hal penting yang disebut Paulus sebagai nilai-
nilai kekal, yaitu: 1) Bahwa pasangan yang tidak beriman akan
dikuduskan oleh pasangannya yang beriman. Yang menakjubkan
dari kasus seperti ini adalah bahwa bukan noda dari kekafiran,
melainkan anugerah kekristenanlah yang menang. 2) Bahwa
hubungan ini pun mungkin merupakan cara untuk menyelamatkan
jiwa pasangan yang tidak beriman. Pasangan yang tidak beriman
harus dianggap, bukan sebagai sesuatu yang najis untuk dihindari
dengan penolakan, melainkan sebagai jiwa yang harus dimenangkan
bagi Allah.
Ayat 27-28, kelihatannnya Paulus menomorduakan
perkawinan. Paulus mengijinkan perkawinan seakan-akan hanya
sebagai sebuah kelonggaran untuk menghindari percabulan dan
perzinahan. Namun meskipun demikian, Paulus menegaskan bahwa
jikalau seseorang sudah terikat oleh seorang perempuan, artinya
telah memiliki isteri, ia tidak boleh menceraikannya. Hal ini juga
ditegaskan oleh Bruce, ia berpendapat bahwa di samping Paulus
secara eksplisit melarang untuk menikah, Paulus tidak keberatan
jikalau toh seandainya mereka mengabaikan nasehatnya, mereka
tidak berdosa.
Ayat 39, Paulus mengemukakan pandangannya yang
konsisten. Perkawinan adalah hubungan yang hanya dapat
diceraikan oleh kematian. Perkawinan kedua memang diperbolehkan
apabila salah satu pasangan dari mereka telah meninggal. Bruce
mengaitkan bagian ini dengan Roma 7:2 yang berbicara mengenai
hukum perkawinan yang mengatakan, “Sebab seorang isteri terikat
oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan
tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang
mengikatnya kepada suaminya itu.” Kemungkinan Paulus merujuk
pada nats ini, atau juga malah sebaliknya. Karena surat Roma juga di
tulis sekitar tahun 55/56 M.
5) Sumbangan Etis
Pandangan Paulus dalam I Korintus 7 khususnya mengenai
perceraian, dapat dijadikan bahan acuan yang baik untuk bina
pranikah di gereja-gereja dewasa. Memberi pemahaman yang lebih
humanis, terkait dengan pasangan suami isteri yang berbeda
keyakinan. Mereka tidak harus bercerai, kecuali atas kesepakatan
bersama. Pernikahan adalah sesuatu yang kudus dan harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perceraian tidak
seharusnya dijadikan senjata, ketika persoalan melanda kehidupan
rumah tangga. Hanya maut yang dapat menceraikan manusia dari
pernikahan.
Persoalan etis dari surat I Korintus 7 sebenarnya berkaitan erat
dengan isu mengenai perkawinan. Masalah perceraian sebenarnya
adalah bukan isu utama dalam bagian I Korintus pasal 7 ini. Namun
demikian, bukan berarti kita tidak dapat berbicara mengenai hal
tersebut. Melalui pengkajian sederhana yang saya lakukan di atas,
ternyata banyak nilai-nilai etis yang dapat ditarik dari I Korintus 7
terkait dengan masalah perceraian.
Dari hasil pengkajian Hendi Rusli, ia menyimpulkan bahwa
sumber dari ajaran paulus dalam I Korintus 7:1-40 bisa berasal dari
tiga sumber utama, yaitu Perjanjian Lama, ajaran Yesus, dan
pemikiran Paulus sendiri, yaitu hasil pergumulannya dengan konteks
jemaat Korintus. Juga, pengkajian yang serius atas teks-teks kitab
suci dapat memberi manfaat yang besar bagi kehidupan orang-orang
percaya, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai etis Kristiani serta
menghasilkan pesan atau kerugma yang segar dan relevan untuk
kehidupan kita sekarang ini.
b. Aturan tentang Perceraian Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Aturan perceraian di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan termaktub dalam pasal 39 berbunyi:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Di dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 39 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar
untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dam isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga.
Ketentuan ini juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19 yang berbunyi: Perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah
atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri;
f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
2. Aturan tentang Izin Poligami
Pembahasan yang berkaitan dalam masalah poligami dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 ada dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5.
Pasal 3 berbunyi:
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan.
Pasal 4 berbunyi:
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disebuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan;
Pasal 5 menyatakan
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mugkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
KESIMPULAN
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di
atas adalah sebagai berikut:
1. Dalam mengajukan permohonan atau gugatan perceraian, hendaknya masing-masing
pihak terlebih dahulu instropeksi diri untuk tidak tergesa-gesa memutuskan perceraian.
Apalagi pihak yang menggugat adalah pihak yang sebenarnya menjadi penyebab
retaknya rumah tangga. Hal ini perlu diperhatikan, karena walaupun secara hukum
positif perceraian dapat dikabulkan, namun secara syari'ah orang yang mengajukan
perceraian tanpa alasan yang sah, maka haram baginya bau surga. 2. Untuk hakim
mediator yang bertugas mendamaikan para pihak, hendaknya selalu teliti dan cermat
dalam mempelajari perkara perceraian yang masuk di Pengadilan. Karena jika hakim
mediator jeli dalam menangkap permasalahan yang ada, maka hakim mediator akan
dengan mudah menggali fakta yang sebenarnya dalam rumah tangga para pihak.