UJI EFEK ANTI-INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBING(Averrhoa carambola
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana
INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBINGAverrhoa carambola L.) PADA MENCIT PUTIH BETINA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Nugraheni Dwiari Kristanti
NIM : 068114127
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2010
INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBINGPADA MENCIT PUTIH BETINA
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratFarmasi (S.Farm.)
UJI EFEK ANTI-INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBING(Averrhoa carambola
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
ii
INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBINGAverrhoa carambola L.) PADA MENCIT PUTIH BETINA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Nugraheni Dwiari Kristanti
NIM : 068114127
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2010
INFLAMASI DAN ANALGESIK SARI BUAH BELIMBINGPADA MENCIT PUTIH BETINA
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
iii
iv
Bapak dan ibuku sebagai tanda cinta dan kasih yang tidaksebanding dengan kasih yang diberikan
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ku persembahkan karya ini untuk:Tuhan Yesus sumber kehidupanku
Bapak dan ibuku sebagai tanda cinta dan kasih yang tidaksebanding dengan kasih yang diberikan
Kakak dan adikku tercintaAlmamaterku
Tuhanlah yang membuat kitamampu untuk tersenyum saat
kita sedang sedih, mampuuntuk bertahan saat kita
merasa hendakmampu untuk berdoa saatkita kehabisan kata
mampu untuk mengerti saattidak satupun yang kelihatan
memberi arti. Segalanyamenjadi mungkin ,karena
Tuhanlah yang membuat kitamampu untuk melakukan
itu. Semuanya menjadiringan karena Tuhanlahmemberi kekuatan sehingga
kita mampu untukmenanggungnya.
Bapak dan ibuku sebagai tanda cinta dan kasih yang tidaksebanding dengan kasih yang diberikan
Tuhanlah yang membuat kitamampu untuk tersenyum saat
kita sedang sedih, mampuuntuk bertahan saat kita
merasa hendak menyerah,mampu untuk berdoa saatkita kehabisan kata-kata,
mampu untuk mengerti saattidak satupun yang kelihatan
memberi arti. Segalanyamenjadi mungkin ,karena
Tuhanlah yang membuat kitamampu untuk melakukan
itu. Semuanya menjadiringan karena Tuhanlah yangmemberi kekuatan sehingga
kita mampu untukmenanggungnya.
vi
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih
karunia dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Uji Efek Anti-Inflamasi Dan Analgesik Sari Buah Belimbing (Averrhoa
carambola L.) Pada Mencit Putih Betina dengan baik dan lancar. Skripsi ini ditulis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) Program Studi
Ilmu Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bimbingan, bantuan,
dukungan dan pengarahan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati
penulis menghaturkan terimakasih kepada:
1. Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Farmasi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
2. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku pembimbing utama skripsi ini atas
bimbingan, masukan dan motivasi sehingga penelitian dan penyusunan skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
5. Agatha Budi Susiana, M.Si., Apt., selaku pembimbing akademik penulis atas
segala pendampingan dan bimbingan selama ini.
viii
6. Bapak Drs. Mulyono, Apt., yang banyak memberikan arahan dan bimbingan
dalam penulisan sripsi ini.
7. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku pimpinan laboratorium Farmasi
yang telah memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium guna
penelitian sripsi ini.
8. Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Yuono dan semua staf
laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama
penelitian berlangsung.
9. Bapak, Ibu, Kakak dan Adik atas semua dukungan, kasih sayang dan doa
yang tak putus-putusnya diberikan kepada penulis selama ini.
10. Pramudito Adhi yang telah menemani dan memberikan pertahatian yang tulus
serta semangat pada penulis.
11. Teman-teman penelitian, Jeffry, Dewi, Ricky, Felix dan Gun atas bantuan dan
kerjasama suka duka penelitian.
12. Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu mengingatkan untuk segera
menyelesaikan skripsi ini Simbok, Cita, Fea, Ciput, Della, Esti, Helen, Henny
dan Riri serta semangat yang selalu diberikan dalam persahabatan kami.
13. Teman-teman FKK B angkatan 2006 atas kebersamaan selama ini.
14. Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas C, Yoki, Yacob dan Windra
yang ikut meramaikan persahabatan kami.
15. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
ix
Semoga Tuhan selalu menyertai dan memberikan sukacita yang melimpah di dalam
kehidupan mereka.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu penulis membuka diri untuk
segala masukan, saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dalam penulisan
skripsi ini. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca,
perkembangan ilmu pengetahuan serta masyarakat.
Yogyakarta, Maret 2010
Penulis
x
xi
INTISARI
Telah dilakukan penelitian tentang uji efek anti-inflamasi dan analgesik saribuah belimbing (Averrhoa carambola L.) pada mencit putih betina. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui kemampuan sari buah belimbing sebagai analgetika dananti-inflamasi serta mengetahui seberapa besar daya analgesik dan daya anti-inflamasi sari buah belimbing pada mencit putih betina. Metode yang digunakanadalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji efek anti-inflamasi sedangkanuntuk menguji efek analgesiknya digunakan metode rangsang kimia.
Penelitian ini dilakukan mengikuti rancangan penelitian eksperimental murnidengan pola acak lengkap satu arah. Variabel utama yang digunakan dalam penelitianini adalah dosis sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.) dan variabeltergantung yaitu efek anti-inflamasi dan analgesik sari buah belimbing (Averrhoacarambola L.). Data kuantitatif pengamatan yang didapat dianalisis denganKomogorov-Smirnov test untuk melihat distribusi data. Setelah diketahui dataterdistribusi normal, maka analisis dilanjutkan dengan one-way Anova test danScheffe test dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian membukikan bahwa sari buah belimbing (Averrhoa carambolaL.) memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik. Efek anti-inflamasi yang dinyatakanoleh daya anti-inflamasi sari buah belimbing pada dosis 8,33 ml/kgBB; 16,67ml/kgBB; dan 33,33 ml/kgBB berturut-turut adalah 7,78%; 3,50%; dan 51,51%sedangkan daya analgesiknya berturut-turut adalah 22,69%; 51,06%; dan 57,56%.
Kata kunci : anti-inflamasi, analgesik, sari buah belimbing, Averrhoa carambola L.
xii
ABSTRACT
Anti-infammatory and analgesic assay of star fruit (Averrhoa carambola L.)extract on white female mice has been done. This research aims to prove the potencyof star fruit as analgesic and anti-inflammatory and also to find out how big thepotencies are. Modified Langford method is used for the anti-inflammatory effect testmeanwhile for the analgesic effect test using the chemical stimulation method.
This is a pure experimental research with one-way pattern, random andcomplete research design. The main variable used in this study is dosage of star fruitextract (Averrhoa carambola L.) and the dependent variable is the anti-inflammatoryand analgesic effect of star fruit extract (Averrhoa carambola L.). The quantitativedata from the study analyzed with Kolmogrov-Smirnov test to find out thedistributions of the data. After the data distribution discovered normal, analysiscontinued with one-way Anova test and Scheffe test with level of confidence 95%.
The results of study shown that star fruit extract (Averrhoa carambola L.)have both anti-inflammatory and analgesic effects. The anti-inflammatory effects areexpressed by anti-infammatory potency of star fruit extract at dose 8,33 ml/kgBW;16,67 ml/kgBW and 33,33 ml/kg BW respectively are 7,78%; 3,50%; and 51,51%while the analgesic potencies are 22,69%; 51,06% and 57,56% (respectively).
Keywords: anti-inflammatory, analgesic, star fruit extract, Averrhoa carambola L.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………... i i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………. iii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………………. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................................... vi
PRAKATA……………………………………………………………………………... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………………. xi
INTISARI……………………………………………………………………………… xii
ABSTRACT……………………………………………………………………………... xiii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… xiv
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………… xvi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………... xix
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………... xxi
BAB I. PENGANTAR………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang……………………………………………………………………… 1
1. Permasalahan…………………………………………………………………… 2
2. Keaslian penelitian……………………………………………………………... 3
3. Manfaat penelitian………………………………………………………………. 4
B. Tujuan Penelitian…………………………………………………………………… 5
1. Tujuan umum…………………………………………………………………… 5
2. Tujuan khusus…………………………………………………………………... 5
xiv
BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA………………………………………………… 6
A. Tanaman Belimbing…………………………………………………........................ 6
1. Keterangan botani……………………………………………………………….. 6
2. Morfologi tumbuhan…………………………………………………………….. 6
3. Nama daerah…………………………………………………………………….. 7
4. Kandungan kimia………………………………………………………………... 7
5. Khasiat penggunaan……………………………………………………………... 7
B. Flavonoid……………………………………………………………………………. 7
C. Inflamasi…………………………………………………………………………….. 10
1. Definisi……………………………………………………………………........ 10
2. Gejala………………………………………………………………………....... 11
3. Mekanisme peradangan…………………………………………………………. 13
D. Nyeri………………………………………………………………………………... 16
E. Obat Anti-Inflamasi Non Steroid…………………………………………………… 20
F. Analgetika…………………………………………………………………………… 21
G. Diklofenak…………………………………………………………………………... 22
H. Parasetamol…………………………………………………………………………. 23
I. Metoda Pengujian Efek Anti-inflamasi……………………………………………... 25
J. Metoda Pengujian Efek Analgesik………………………………………………….. 28
1. Golongan analgetika narkotik…………………………………………………… 28
2. Golongan analgetika non narkotik………………………………………………. 31
K. Landasan Teori……………………………………………………………………… 33
xv
I. Hipotesis…………………………………………………………………………….. 35
BAB III. METODE PENELITIAN……………………………………………………. 36
A. Jenis dan Rancangan Penelitian…………………………………………………….. 36
B. Metode Uji yang Digunakan………………………………………………………... 36
C. Variabel dan Definisi Operasional………………………………………………….. 36
D. Alat dan Bahan Penelitian…………………………………………………………... 38
E. Tata Cara Penelitian.................................................................................................... 39
BAB IV . HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………….. 50
A. Identifikasi Buah Belimbing………………………………………………………... 50
B. Uji Pendahuluan…………………………………………………………………….. 50
C. Uji Daya Anti-Inflamasi…………………………………………………………….. 66
D. Uji Daya Analgesik…………………………………………………………………. 75
E. Perbandingan Profil Parasetamol Dengan Sari Buah Belimbing…………………… 83
F. Perbandingan Daya Anti-inflamasi dan Analgesik Sari Buah Belimbing…………... 85
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………. 88
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………. 88
B. Saran………………………………………………………………………………… 88
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 89
LAMPIRAN……………………………………………………………………………. 94
BIOGRAFI PENULIS…………………………………………………………………. 128
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan
kaki........................................................................................................... 52
Tabel II Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktu
pemotongan kaki...................................................................................... 53
Tabel III Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak.......................... 54
Tabel IV Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosis pemberian
diklofenak................................................................................................ 55
Tabel V Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian
diklofenak................................................................................................ 56
Tabel VI Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian
diklofenak................................................................................................ 57
Tabel VII Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam
asetat........................................................................................................ 60
Tabel VIII Hasil Uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluan penentuan
dosis asam asetat...................................................................................... 61
Tabel IX Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu pemberian asam
asetat........................................................................................................ 62
Tabel X Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu
pemberian asam asetat............................................................................. 63
Tabel XI Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol..................... 64
xvii
Tabel XII Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis
parasetamol........................................................................................... 65
Tabel XIII Rata-rata bobot udema pada kelompok perlakuan................................ 66
Tabel XIV Rata-rata persen daya anti-inflamasi pada kelompok perlakuan.......... 68
Tabel XV Uji Scheffe persen daya anti-inflamasi pada kelompok
perlakuan............................................................................................... 71
Tabel XVI Rata-rata persen daya anti-inflamasi dan potensi relatif kelompok
perlakuan dibandingkan dengan diklofenak......................................... 72
Tabel XVII Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan................................ 75
Tabel XVIII Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan........................ 77
Tabel XIX Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri pada
kelompok perlakuan.............................................................................. 78
Tabel XX Perubahan persen proteksi geliat kelompok perlakuan terhadap
kontrol positif........................................................................................ 81
Tabel XXI Hasil uji daya anti-inflamasi dan proteksi nyeri sari buah
belimbing.............................................................................................. 85
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kerangka flavonoid.................................................................. 8
Gambar 2. Struktur katekin……………................................. ................................ 10
Gambar 3. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan
skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi.......................... 15
Gambar 4. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan
jaringan.................................................................................................. 17
Gambar 5. Sruktur diklofenak……….................................................................... 23
Gambar 6. Sruktur N-asetil-4-aminofenol.............................................................. 24
Gambar 7. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu
pemotongan kaki................................................................................... 52
Gambar 8. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi dosis pemberian
diklofenak.............................................................................................. 55
Gambar 9. Grafik rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian
diklofenak sebelum pemberian karagenin............................................. 57
Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi penentuan dosis
pemberian asam asetat............................................................................ 60
Gambar 11. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi selang waktu pemberian
asam asetat............................................................................................ 62
Gambar 12. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis
parasetamol........................................................................................... 64
xix
Gambar 13. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok
perlakuan.............................................................................................. 67
Gambar 14. Diagram batang persen daya anti-inflamasi kelompok perlakuan........ 69
Gambar 15. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh
suatu flavonoid katekin........................................................................ 74
Gambar 16. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok
perlakuan............................................................................................... 76
Gambar 17. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok uji.................. 77
Gambar 18. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri
kelompok perlakuan.............................................................................. 81
Gambar 19. Grafik profil kelompok perlakuan sari buah belimbing dan
parasetamol………………………………………………………….... 84
Gambar 20. Histogram perbandingan daya anti-inflamasi dan analgesik sari buah
belimbing pada berbagai peringkat dosis ………………………….. 86
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Keterangan determinasi buah belimbing.............................................94
Lampiran 2. Foto buah belimbing............................................................................95
Lampiran 3. Potongan buah belimbing.................................................................... 95
Lampiran 4. Foto juice extractor .............................................................................95
Lampiran 5. Foto sari buah belimbing..................................................................... 96
Lampiran 6. Foto geliat mencit yang memenuhi syarat...........................................96
Lampiran 7. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksi
karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis
statistiknya...........................................................................................97
Lampiran 8. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu pemberian
diklofenak dan hasil analisis statistiknya ............................................99
Lampiran 9. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenak
dan hasil analisis statistiknya............................................................. 101
Lampiran 10. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat berserta hasil
analisis statistiknya............................................................................103
Lampiran 11. Data jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam
asetat dan hasil analisis statistiknya .................................................. 106
Lampiran 12. Data jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol dan hasil analisis
statistiknya.........................................................................................109
xxi
Lampiran 13. Data bobot udema kaki mencit hasil uji efek anti-inflamasi dan hasil
analisis statistiknya............................................................................112
Lampiran 14. Tabel % daya anti-inflamasi dan potensi relatif ................................115
Lampiran 15. Contoh cara perhitungan % daya anti-inflamasi dan potensi relatif..115
Lampiran 16. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis
statistiknya.........................................................................................117
Lampiran 17. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik berserta hasil
analisis statistiknya............................................................................120
Lampiran 18. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif pada uji
efek analgesik ....................................................................................122
Lampiran 19. Perhitungan penetapan peringkat dosis sari buah belimbing pada
kelompok perlakuan ..........................................................................124
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Inflamasi merupakan suatu respon biologis dari jaringan-jaringan vaskular
yang kompleks terhadap rangsangan yang dapat membahayakan seperti patogen,
iritan, dan kerusakan sel (Denko, 1992). Peradangan sebenarnya merupakan suatu
keadaan yang membantu netralisasi, penghancuran jaringan nekrosis dan
pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada proses penyembuhan (Price dan Wilson,
1995). Namun inflamasi atau peradangan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang
tidak diinginkan, dan salah satu gejala yang ditimbulkan akibat adanya peradangan
adalah nyeri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu obat guna mengatasi inflamasi
sehingga diharapkan juga dapat mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan dari proses
inflamasi.
Dengan pengetahuan dan peralatan yang sederhana para orang tua dan nenek
moyang masyarakat Indonesia telah mampu mengatasi problem kesehatan. Berbagai
macam penyakit dan keluhan ringan maupun berat diobati dengan memanfaatkan
ramuan dari tumbuh-tumbuhan tertentu yang mudah didapat di sekitar pekarangan
rumah dan hasilnya pun cukup memuaskan. Salah satu obat tradisional yang
digunakan secara turun temurun adalah buah belimbing manis. Beberapa senyawa
kimia yang terkandung di dalam buah belimbing manis adalah senyawa golongan
flavonoid, alkaloid, saponin, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin A,
B1 dan vitamin C (Wiryowidagdo dan Sitanggang, 2002). Dalam suatu penelitian
2
tentang isolasi dan identifikasi senyawa aktif dari sari buah belimbing manis
(Averrhoa carambola Linn) menemukan bahwa isolat merupakan senyawa flavonoid
golongan katekin. Secara empiris buah belimbing manis berkhasiat sebagai analgesik,
diuretik, dan peluruh air liur (Sukadana, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, diduga dengan adanya kandungan senyawa
golongan katekin dan vitamin C dalam buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi
dan analgesik. Katekin dan vitamin C sebagai antioksidan diduga dapat melindungi
tubuh dari kerusakan jaringan dengan menangkap radikal bebas. Oleh karena itu,
peneliti ingin menguji apakah sari buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan
analgesik dari beberapa peringkat dosis. Cara pengujian yang digunakan adalah
dengan metode Langford yang dimodifikasi karena metode ini cukup spesifik untuk
menguji efek anti-inflamasinya, sedangkan untuk menguji efek analgesiknya
digunakan metode rangsang kimia yang cocok digunakan untuk skrining awal adanya
efek analgesik.
1. Permasalahan
a. Apakah sari belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik terhadap
mencit putih betina?
b. Seberapa besar persentase daya anti-inflamasi dan daya analgesik yang
dimiliki sari buah belimbing pada mencit putih betina?
2. Keaslian penelitian
Sepanjang penelusuran penulis, penelitian mengenai efek anti-inflamasi dan
analgesik sari buah belimbing (Averrhoa carambola L.) belum pernah dilakukan.
3
Adapun penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tentang buah Belimbing adalah
sebagai berikut :
a. Pengujian Beberapa Efek Farmakologi Buah Averrhoa carambola Linn pada
Hewan Percobaan (Andreanus, Rianti, dan Padmawinata, 1978). Hasilnya
efek analgesik pada dosis 5, 10, dan 20 ml/kgBB, efek diuretik dan
hipoglikosemik pada dosis 5 dan 10 ml/kgBB. Sari buah pada dosis 2,5; 5;
dan 10ml/kgBB tidak menunjukkan efek antipiretik pada tikus. Ekstrak
kloroform pada dosis 40 mg/kgBB (setara dengan 25,4 g buah segar) hanya
menunjukkan efek hipoglikosemik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh penulis adalah dosis yang digunakan penulis tidak
sama dengan penelitian sebelumnya. Selain itu, pada penelitian ini digunakan
finilkinon 0,02 % sebagai penginduksi nyeri dan asetosal sebagai
pembanding, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan penulis
digunakan asam asetat sebagai penginduksi nyeri dan parasetamol sebagai
pembanding.
b. Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid Dari Sari Buah Belimbing Manis
(Averrhoa carambola Linn) (Sukadana, 2009). Hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom terhadap ekstrak air diperoleh fraksi FB positif flavonoid
dengan berat sekitar 0,2027 g yang berwarna orange. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa isolat (fraksi FB) merupakan senyawa golongan katekin.
Isolat dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli pada 100 ppm dan S.
aureus pada 500 ppm.
4
c. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol 96% Buah Belimbing (Averrhoa carambola
L.) Dengan Metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) (Maya, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing
memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan nilai IC50 sebesar 28,82 ±
0,04 µg/mL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% buah
belimbing tergolong antioksidan kuat, karena nilai IC50 kurang dari 200
μg/mL.
d. Uji Efek Antiinflamasi Dan Analgesik Jus Buah Belimbing (Averrhoa
carambola L.) Pada Mencit Putih Betina Galur Swiss (Susanti, 2010). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 g/kgBB dan
6,67 g/kgBB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik.
3. Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu
kefarmasian dan kedokeran serta obat tradisional dengan memberikan
informasi baru mengenai efek analgesik dan anti-inflamasi sari buah
belimbing (Averrhoa carambola L.).
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi
dan masukan kepada masyarakat umumnya mengenai alternatif pengobatan
secara tradisional yakni dengan sari buah belimbing sebagai analgetika dan
5
anti-inflamasi serta mengetahui seberapa banyak jumlah belimbing yang dapat
digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat sari
buah belimbing (Averrhoa carambola L.) terutama sebagai anti-inflamasi dan
analgesik.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui apakah sari buah belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan
analgesik.
b. Mengetahui seberapa besar daya anti-inflamasi dan daya analgesik sari buah
belimbing.
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tanaman Belimbing
1. Keterangan botani
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Geraniales
Familia : Oxalidaceae
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa carambola L.
(Backer dan Backhuizen van den Brink, 1965)
2. Morfologi tumbuhan
Tinggi 5-12 m, tanda bekas daun bentuk tonjolan. Anak daun bulat telur
memanjang, meruncing , 1,5-9 kali 1-4,5 cm, ke arah ujung poros semakin besar,
bawah hijau biru. Malai bunga kebanyakan terkumpul rapat, panjangnya 1,5-7,5 cm.
Bunga sebagian dengan benang sari panjang dan tangkai putik pendek. Kelopak
tinggi 4 mm, daun mahkota di tengah bergandengan, bulat telur terbalik memanjang,
dengan pangkal dan tepi pucat. Lima benang sari yang di depan daun mahkota
mereduksi menjadi staminodia. Buah buni bulat memanjang, dengan 5 rusuk yang
7
tajam, kuning muda, panjang 4-13 cm. Ditanam sebagai pohon buah, kadang-kadang
menjadi liar (Steenis, 1947).
3. Nama daerah
Belimbing manis (Indonesia), Belimbing manih (Minangkabau), Belimbing
legi (Jawa), Belimbing amis (Sunda), Bhalimbing manes (Madura), Balirang (Bugis)
(Haryanto, 2009).
4. Kandungan kimia
Beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalam buah belimbing manis
adalah senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, protein, lemak, kalsium,
fosfor, zat besi, serta vitamin A, B1 dan vitamin C (Wiryowidagdo dan Sitanggang,
2002). Menurut Sukadana (2009) pada belimbing manis (Averrhoa carambola Linn)
mengandung senyawa flavonoid golongan katekin.
5. Khasiat penggunaan
Buah belimbing mempunyai rasa yang asam, manis dan menetralkan. Buah
belimbing juga mempunyai efek antibakteri dari senyawa flavonoid katekin
(Sukadana, 2009). Berkhasiat pula sebagai anti-inflamasi, analgesik dan diuretik,
selain itu dapat digunakan sebagai obat batuk, demam, kencing manis, kolesterol
tinggi serta sakit tenggorokan. (Soedibyo, 1998).
B. Flavonoid
Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada
seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Efek flavonoid
8
terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan
mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan
tradisional. Penghambatan siklooksigenase oleh flavonoid dapat menimbulkan
pengaruh lebih luas karena reaksi lipooksigenase merupakan langkah pertama pada
jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan.
Karena flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, maka mereka
menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim.
Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida
dan dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak
(Robinson, 1995).
Menurut Robinson (1995), golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai
deretan senyawa C6-C3-C6. Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6
(cincin benzena tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon :
C C C
Gambar 1. Struktur kerangka flavonoid (Robinson, 1995)
Flavonoid termasuk ke dalam kelompok antioksidan polifenolik yang aktivitas
antioksidannya ditampilkan dalam uji in vitro dan in vivo. Flavonoid yang terdiri dari
flavonols, flavons, flavonons, katekin, dan antosianidin, telah diketahui memiliki efek
mempengaruhi sistim kekebalan, baik melalui penekanan atau oleh meningkatkan
aktivitasnya (Watson, 2001).
9
Beberapa senyawa golongan flavonoid dilaporkan dapat menghambat
peroksidasi lipid. Secara invivo, dilaporkan bahwa peroksidasi lipid melibatkan reaksi
rantai radikal terdiri dari permulaan, perbanyakan, dan pengakhiran (Middleton dkk,
2000). Tahap permulaan peroksidasi lipid dapat diperantarai oleh radikal hidroksil
(·OH). Dilaporkan juga bahwa penangkapan radikal hidroksil oleh flavonoid dapat
menghambat terjadinya peroksidasi lipid.
Induksi peroksidasi lipid dapat terjadi sebagai berikut:
Permulaan LH + ·OH → H2O + L·
Perbanyakan L· + O2 → LOO·
LOO· + LH → LOOH + L·
Pengakhiran LOO· + LOO· → produk nirradikal
L· + L· → produk nirradikal
LOO· + L· → produk nirradikal
Peroksidasi lipid dapat dicegah pada tahap permulaan oleh penangkal radikal bebas
sedangkan tahap perbanyakan dapat diputuskan oleh penangkal radikal peroksil,
seperti antioksidan fenolik. Aktivitas antioksidan flavonoid sebagai pemutus rantai
reaksi dapat ditunjukkan sebagai berikut:
LOO· + FL-OH → LOOH + FL-O·
di mana FL-OH merupakan senyawa flavonoid. Terminasi radikal lipid (L·), radikal
peroksil lipid (LOO·) dan radikal alkosil (LO·) oleh antioksidan fenolik ditunjukkan
seperti di bawah ini:
LOO·/L·/LO· + A-OH→ LOOH/LH/LOH + AO·
10
di mana A-OH merupakan antioksidan fenolik (misal, α-tokoferol, flavonoid) dan AO·
merrupakan radikal fenoksil (Middleton dkk, 2000).
O
OH
OH
OH
HO
OH
Gambar 2. Struktur katekin (Nakanishi, Ozawa, dan Ikota, 2002)
Tentang aktivitas antioksidannya, katekin telah terbukti sebagai penangkap
radikal yang paling kuat di antara senyawa golongongan flavonoid lainnya.
Kemampuannya untuk menetralkan oksigen singlet tampaknyanya terkait dengan
sruktur kimia katekin, kehadiran gugus katekol pada cincin B dan kehadiran gugus
hidroksil mengaktifkan ikatan rangkap pada cincin C.
C. Inflamasi
1. Definisi
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik.
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang
menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan
(Mycek, Harvey, dan Champe, 1997).
11
Secara umum respon inflamasi dibagi 3 fase: inflamasi akut, inflamasi sub
akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap adanya
gangguan pada jaringan, yang ditandai dengan pelepasan beberapa mediator kimia
yang biasanya mendahului respon imun. Inflamasi akut biasanya berlangsung cepat,
singkat serta bersifat berat. Sedangkan pada fase sub akut sel-sel imuno kompeten
teraktivasi oleh substansi antigenik yang terlepas selama respon inflamasi akut
berlangsung. Respon imun ini tentunya bertujuan melindungi tubuh dengan cara
memfagosit atau menetralisir substansi antigenik yang lepas dari sel yang meradang,
namun adakalanya respon ini merugikan bila berlanjut pada inflamasi kronis tanpa
adanya penyelesaian atau penyembuhan peradangan dan kerusakan jaringan. Pada
inflamasi kronis terjadi pelepasan mediator lain yang tidak menonjol pada inflamasi
akut (Masjoer, 2002).
2. Gejala
Radang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh yang merusak (noksi) dari
berbagai jenis, jaringan ikat pembuluh bereaksi dengan cara yang sama pada tempat
kerusakan dengan menyebabkan suatu radang. Gejala reaksi meradang yaitu rubor,
calor, tumor, dolor dan functiolaesa (Mutschler, 1986).
a. Rubor
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka
arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar akibat adanya pelepasan
mediator kimia yakni histamin (Kee dan Hayes, 1996).
12
b. Calor
Panas atau calor, berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi radang akut.
Sebenarnya, panas hanyalah merupakan suatu sifat reaksi peradangan pada
permukaan badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37 ºC, yaitu suhu
di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari
sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah (pada suhu 37 ºC) yang
disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang normal. Fenomena panas
lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam
tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37ºC, dan
hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan (Price & Wilson, 1992).
c. Tumor
Yaitu benjolan akibat penimbunan cairan abnormal di jaringan interstitial atau
rongga tubuh, yang dinamakan dengan oedema. Karena radang akut selalu diikuti
oleh extravasasi cairan ke jaringan interstitial maka disebut juga radang exudatif
(Sander, 2003).
d. Dolor
Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai
cara, antara lain perubahan pH lokal, perubahan konsentrasi lokal ion-ion tertentu,
pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya
dapat merangsang saraf. Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan
peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa sakit (Price & Wilson,
1992).
13
e. Functiolaesa
Kehilangan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu proses
radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara
sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit,
pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak
jaringan (Mutschler, 1986).
3. Mekanisme terjadinya peradangan
Reaksi peradangan sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi dengan
baik secara dinamis dan kontinyu. Reaksi peradangan akan timbul bila jaringan itu
hidup dan memiliki mikrosirkulasi fungsional. Jika jaringan mengalami nekrosis
berat, maka reaksi peradangan tidak ditemukan di tengah jaringan tetapi pada
pinggirannya yaitu diantara jaringan mati dan jaringan hidup dengan sirkulasi utuh
(Price & Wilson, 1992).
Proses inflamasi ini melibatkan zat kimia toksik mengalir kemana-mana, sel
darah putih yang sangat teraktivasi memakan segala sesuatu yang ditemukannya, dan
semua patogen yang ada di daerah tersebut melawan dengan zat kimianya sendiri.
Jika proses tidak dibatasi, jaringan sehat disekelilingnya dapat tertarik ke dalam
peperangan. Mereka melindungi dirinya sendiri dengan melepaskan zat kimia yang
membatasi penyebaran inflamasi (Pizzorno, 1998).
Prostaglandin merupakan mediator yang paling penting dalam proses
inflamasi. Prostaglandin merupakan hasil pemecahan dari asam arakhidonat oleh
enzim fosfolipase sebagai respon terhadap berbagai rangsangan. Asam arakhidonat
14
ini disimpan atau tersedia sebagai bentuk ester dari struktur fosfolipida di membran
sel dari kebanyakan jaringan, tetapi dapat juga asam arakhidonat ini berasal dari ester
trigliserida atau ester kolesterol. Prostaglandin tidak disimpan secara intraseluler.
Prostaglandin ini hanya baru terbentuk bila telah ada pelepasan asam arakhidonat dari
membran sel.
Asam arakhidonat dimetabolisme melalui beberapa jalur yaitu:
1. Metabolisme oleh siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dua bentuk yaitu
COX-1 dan COX-2. Enzim ini akan menginisiasi biosintesis prostaglandin dan
tromboksan.
2. Metabolisme oleh lipoksigenase yang akan menginisiasi sintesis leukotrien dan
eikosanoid lain (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2003).
15
Keterangan :PG = prostaglandinPGI2 = prostacyclinTX = thromboxaneLT = leukotrieneHETE = hydroxyecosatetraenoic acidHPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acidPAF = platelet-activating factorNSAIDs = non-steroidal anti-inflammatory drugs
Gambar 3. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid denganskema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi
(Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2003)
Kerusakan sel karena inflamasi menyebabkan pelepasan enzim lisosom dari
leukosit melalui aksinya pada membran sel. Dilepas juga kemudian asam arakhidonat
dari senyawa pendahulunya oleh fosfolipase. Enzim siklooksigenase mengkatalis
perubahan asam arakhidonat menjadi endoperoksida, zat biologik aktif dan berumur
pendek. Senyawa-senyawa ini cepat diubah menjadi prostaglandin dan tromboksan.
16
Lipoksigenase adalah enzim yang mengkatalis perubahan asam arakhidonat
menjadi leukotrien. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada eusinofil,
neutrofil dan makrofag serta mendorong terjadinya bronkokontriksi dan perubahan
permeabilitas vaskuler. Kinin dan histamin juga dikeluarkan di tempat kerusakan
jaringan, sebagai unsur komplemen dan produk leukosit dan platelet lain. Stimulasi
membran neutrofil menghasilkan radikal bebas derivat oksigen. Anion superoksida
dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain
yang reaktif seperti hidrogen peroksida dan hidroksil radikal. Interaksi substansi-
substansi ini dengan asam arakhidonat menyebabkan munculnya substansi
kemotaktif, sehingga melestarikan proses inflamasi (Wibowo dan Gofir, 2001).
D. Nyeri
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun
nyeri sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tidak
mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya
(Mutschler, 1999). Menurut Baumann (2005), nyeri merupakan gejala yang paling
umum pada pemeriksaan klinis, karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan
tubuh yang penting dan yang berfungsi untuk melindungi tubuh. Kemampuan
merasakan nyeri disebut juga nosiseptif yang membantu individu untuk menghindari
situasi yang berbahaya dan merusak di lingkungan sekitar.
Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan, yaitu rangsang
nyeri mekanis, nyeri suhu, dan nyeri kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan
17
jaringan. Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi meliputi braikinin,
serotonin, histamin, ion kalium, asam, dan asetilkolin. Zat-zat ini dilepaskan sebagai
mediator di pusat dan di perifer yang berperan penting dalam mekanisme nyeri
(Guyton dan Hall, 1996).
Rangsangan yang merusak
Kerusakan jaringan
Pembebasan : Pembentukan kinin
H+ (pH<6) (misalnya: bradikinin,prostaglandin)
K+ (>20 mmol/L)
Asetilkolin Sensibilitas reseptor
Serotonin
Histamnin Nyeri lama
Nyeri pertama
Gambar 4. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelahkerusakan jaringan (Mutschler, 1999)
Rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan
jaringan. Di sini senyawa tubuh sendiri dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang
disebut zat nyeri (mediator nyeri). Yang termasuk zat nyeri yang potensinya kecil
adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri
yang meningkat pada kenaikan konsentrasi ion H+ lebih lanjut. Ion kalium yang
18
keluar dari ruang intrasel setelah terjadi kerusakan jaringan dan dalam interstisium
pada konsentrasi > 20 mmol/liter juga menimbulkan rasa sakit (Mutschler, 1999).
Demikian pula berbagai neurotransmiter bekerja sebagai zat nyeri pada
kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8 g/L) terbukti
sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri
terhadap zat nyeri lain sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang
dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak dapat menimbulkan rasa nyeri.
Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri.
Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif dari
kelompok transmiter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini
adalah kinin, khususnya bradikinin yang termasuk penyebab nyeri terkuat.
Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak akan mensensibilitas reseptor nyeri dan
disamping itu menjadi penentu dalam lamanya rasa nyeri (Mutschler, 1999).
Mediator nyeri ini dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang,
yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas kulit, mukosa dan
jaringan lain. Nociceptor (reseptor nyeri) ini terdapat di seluruh jaringan dan organ
tubuh, kecuali di sistem saraf pusat (Tjay dan Rahardja, 2002).
Penghantaran nyeri nosiseptis terbagi dalam 4 tahap, yaitu :
1. Stimulasi
Perangsangan pada ujung saraf bebas yang dikenal dengan istilah nosiseptor
merupakan tahap pertama yang mengalami timbulnya rasa nyeri. Reseptor ini dapat
ditemukan baik di struktur viseral ataupun somatik serta teraktivasi oleh rangsangan
19
mekanis, panas, dan kimiawi. Pelepasan bradikinin, K+, prostaglandin, histamin,
leukotrien, serotonin dan substansi P (Peptide) dapat menimbulkan kepekaan dan atau
aktivasi nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan potensial aksi yang dihantarkan
sepanjang saraf aferen ke sumsum tulang belakang (Baumann, 2005).
2. Transmisi
Proses transmisi nosiseptis berlangsung melewati serabut Aδ dan C.
rangsangan yang melewati serabut saraf Aδ(memiliki myelin, diameternya besar)
biasanya tajam, lokasi nyerinya jelas, sedangkan yang melewati serabut saraf C (tidak
mempunyai myelin, berdiameter kecil) biasanya bersifat tumpul, rasa sakit yang
menyebar, dan biasanya tidak terlokalisasi dengan baik. Rangsangan nyeri ini
kemudian disampaikan melalui banyak lapisan dari serabut saraf spinal pada sumsum
tulang belakang dengan pelepasan berbagai macam neurotransmiter (Baumann,
2005).
3. Persepsi
Timbulnya nyeri berasal dari aktivitas akhiran saraf tertentu yang
menghasilkan respon terhadap rangsang yang kuat. Perangsangan ini menimbulkan
impuls saraf yang berjalan sepanjang sensorik dan mencapai medulla spinalis, lalu
dikirim ke korteks sereberal di hipotalamus (Baumann, 2005).
4. Modulasi
Pada tahap ini melibatkan sistem opiat endogen yang terdiri dari
neurotransmiter (misalnya : enkepalin, dinorfin, dan β-endorfin) dan reseptor (contoh:
μ, δ, κ) yang ditemukan diseluruh sistem saraf pusat. Opioid endogen terikat pada
20
reseptor opioid dan menghambat penghantaran rangsangan nyeri. Sistem saraf pusat
juga mengandung suatu sistem desending untuk mengontrol penghantaran rasa nyeri.
Sistem ini berawal dari otak dan dapat menghambat penghantaran nyeri sinaptik pada
dorsal horn (Baumann, 2005).
E. Obat Anti-inflamasi Non steroid
Obat-obat anti-inflamasi secara umum dibagi dalam 2 golongan, yaitu obat
anti-inflamasi golongan steroid dan golongan non steroid. Obat anti-inflamasi
golongan kortikosteroid memiliki daya antiinflamasi kuat yang mekanismenya
sebagian berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan
menghambat fosfolipase, sedangkan obat anti-inflamasi non steroid mekanismenya
berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat
enzim siklooksigenase (Tjay dan Rahardja, 2002).
Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) memiliki efek analgetik, antipiretik,
dan pada dosis yang lebih tinggi, bersifat anti-inflamasi. OAINS membentuk
kelompok yang berbeda-beda secara kimia, tetapi semuanya mempunyai kemampuan
untuk menghambat siklooksigenase (COX) dan inhibisi sintesis prostaglandin yang
diakibatkannya sangat berperan untuk efek terapetiknya (Neal, 2006). Satu hipotesis
menyebutkan bahwa hambatan selektif COX-2 akan menghasilkan efek
menghilangnya rasa nyeri atau inflamasi tanpa menyebabkan efek samping akibat
hambatan COX-1 seperti ulkus peptikum, disfungsi trombosit dan kerusakan ginjal
(Masjoer, 2002).
21
OAINS yang paling banyak digunakan adalah yang selektif untuk COX-1,
tetapi inhibitor COX-2 selektif telah diperkenalkan baru-baru ini. Celecoxib,
etoricoxib, dan valdecoxib merupakan inhibitor COX-2 selektif yang mempunyai
efikasi yang serupa terhadap inhibitor COX non selektif, tetapi insidensi perforasi
gaster, obstruksi, dan pendarahan berkurang paling tidak 50%. Akan tetapi, obat-obat
baru ini tidak memberikan kardioproteksi apapun karena tidak mempengaruhi
agregasi platelet (Neal, 2006).
F. Analgetika
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,
mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika)
2. Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer
dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat anti-inflamasi
(Mutschler, 1991).
Menurut Tjay dan Rahardja (2002), atas dasar farmakologisnya, analgesik
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu analgesik perifer (non narkotik) dan
analgesik narkotik. Untuk analgesik non narkotik, terdiri dari obat-obatan yang tidak
bersifat narkotik dan bekerja tidak sentral, sedangkan untuk analgesik narkotik,
khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fraktura dan
kanker.
22
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,
yaitu dengan:
1. analgesik perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri
perifer
2. anestetik lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris
3. analgesik sentral (narkotik), yang memblokir pusat nyeri di SSP dengan anestesi
umum.
Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer, seperti parasetamol,
asetosal, mefenaminat, propifenazon atau aminofenazon, begitu pula rasa nyeri
dengan demam. Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein atau kodein. Nyeri
yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin atau opiat lainnya (Tjay dan Rahardja,
2002).
G. Diklofenak
Diklofenak adalah derivat sederhana dari phenylacetic acid (asam fenilasetat)
yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamate. Obat ini adalah penghambat
siklooksigenase yang relatif non selektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabilitas
asam arakhidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik yang biasa. Obat-obatan ini cepat diserap sesudah pemberian secara oral,
tetapi bioavailabilitas sistemiknya hanya antara 30-70% karena metabolisme lintas
pertama. Obat ini mempunyai waktu paruh 1-2 jam (Katzung, 2002).
23
COOH
NH
ClCl
Gambar 5. Sruktur Diklofenak (Kartasasmita, 2002)
Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari pasien
dan meliputi distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung
dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang daripada
dengan beberapa AINS lainnya (Katzung, 2002).
H. Parasetamol
Parasetamol merupakan analgesik dan antipiretik yang umum di Indonesia
pada dewasa dan anak-anak. Parasetamol merupakan metabolit mayor dari
phenacetin, efek analgesiknya sama dengan aspirin, tetapi dalam dosis terapi
parasetamol hanya memiliki daya anti-inflamasi yang lemah. Parasetamol hanya
menghambat sintesis prostaglandin hanya pada lingkungan rendah kadar peroksida
seperti hipotalamus. Peroksida biasa dihasilkan oleh leukosit karena adanya inflamasi
(Wilmana, 1995).
Parasetamol merupakan serbuk hablur yang berwarna putih, tidak berbau,
rasanya pahit, larut dalam air mendidih, NaOH, dan mudah larut dalam etanol. Bobot
24
molekul parasetamol adalah 151,16 dengan rumus molekul C8H9NO2 (Anonim,
1979).
Menurut Anonim (1979), struktur parasetamol adalah seperti gambar di
bawah ini :
OH
NHCOCH3
Gambar 6. Sruktur N-asetil-4-aminofenol
Parasetamol tidak menghambat aktivasi neurotrofil seperti yang dilakukan
AINS. Dosis tunggal atau berulang tidak berefek pada kardiovaskular dan sistem
respirasi. Perubahan suasana asam dan basa tidak berpengaruh. Parasetamol tidak
mengakibatkan iritasi lambung, erosi atau pendarahan yang mungkin dapat terjadi
setelah pemberian salisilat (Roberts dan Morrow, 2001). Parasetamol atau
asetaminophen merupakan inhibitor lemah enzim COX di jaringan perifer, akan tetapi
ia lebih efektif menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat dan
menghasilkan aksi analgesik dan antipiretik. Daya kerja dosis parasetamol sama
dengan daya kerja dari setengah dosis aspirin (Rang dkk, 2003).
25
I. Metoda Pengujian Efek Anti-inflamasi
Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur daya anti-
inflamasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Uji eritema
Eritema (kemerahan) merupakan tanda awal dari reaksi inflamasi. Timbulnya
eritema adalah akibat dari terjadinya sejumlah iritan kimiawi seperti xilem,
minyak kroton, vesikan, histamin dan bradikinin. Selain iritan-iritan tersebut
radiasi ultraviolet (uv) juga dapat menginduksi terjadinya peningkatan
permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan respon eritema (Gryglewski, 1977).
Eritema ini dapat diamati 2 jam setelah kulit diradiasi dengan sinar uv. Kelemahan
metode ini adalah uv eritema dapat dihambat oleh obat yang kerjanya tidak
menghambat sintesa prostaglandin. Kemungkinan besar dapat terjadi positif palsu
dan negatif (Turner, 1965).
2. Induksi udema telapak kaki belakang
Metode ini berdasarkan pada kemampuan agen dalam menghambat terjadinya
udema pada telapak kaki tikus setelah pemberian bahan-bahan phlogistik seperti
brewer’s yeast, formaldehid, dextran, albumin, kaolin, serta polisakarida sulfat
(Vogel, 2002).
Metode ini dilakukan dengan cara : hewan uji dibagi ke dalam kelompok
masing-masing 6-8 per dosis. Ekstrak tanaman diberikan 1 jam sebelum bahan
penginflamasi jika diberikan secara oral atau 30 menit sebelumnya jika diberikan
secara i.p. Udema kaki ditimbulkan oleh injeksi bahan penginflamasi secara sub
26
plantar kaki kanan belakang. Volume kaki diukur pada selang waktu 5 jam. Pada
mencit pengukuran dilakukan dengan mengorbankan mencit kemudian memotong
kedua kaki pada pergelangannya, selanjutnya mengukur udema dengan
membandingkan kaki yang dibengkakkan dengan kaki yang tidak dibengkakkan
(Williamson, Okpako, dan Evans 1996).
Iritan yang paling banyak digunakan adalah karagenin. Karagenin adalah
fosfolipida tersulfatasi yang diekstrak dari lumut irlandia Chondrus crispus
(Gryglewski, 1997). Mekanisme biokimiawi dan morfologikal dari udema yang
diinduksi dengan karagenin masih belum diketahui secara pasti. Namun, secara
umum proses atau mekanisme udema dapat dibagi menjadi dua fase.
Fase pertama mekanisme udema ditandai dengan dilepaskannya histamin dan
serotonin (5-hidroksitriptamin) dari sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin
dalam aliran darah. Mediator tersebut menyebabkan gangguan pembuluh darah
dalam jaringan terinflamasi. Pelepasan amin dan kinin tersebut masih terus
berlanjut hingga fase kedua dan diikuti oleh terjadinya ekstravasasi protein plasma
dan penetrasi sel-sel inflamasi dalam jaringan terinflamasi (Rainsford, 1984).
Pada fase kedua terjadi pelepasan enzim lisosomal. Enzim ini mengawali
terjadinya gangguan jaringan dan diikuti oleh produksi radikal oksigen bebas
yang dapat merusak jaringan. Produksi radikal oksigen bebas ini menyebabkan
pembentukan lipid peroksida aktif yang akan menstimulasi aktivitas fosfolipase
pada fosolipid, sehingga akan terbentuk asam arakhidonat, yang kemudian akan
memproduksi prostaglandin (Rainsford, 1984).
27
Aktivitas anti-inflamasi ditunjukkan dengan adanya pengurangan volume
udema. Metode uji udema telapak kaki tikus merupakan metode yang banyak
digunakan dalam penelitian dan telah dibuktikan sesuai untuk tujuan evaluasi
selanjutnya (Vogel, 2002). Metode ini banyak digunakan karena sederhana dan
murah dari segi peralatan, bahan, dan cara kerjanya (Jain, Patil, Singh, dan
Kulkarni, 2001).
3. Tes granuloma
Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjeksikan bagian
punggungnya secara sub kutan dengan 10-25 ml udara kemudian 1,50 minyak
kapas sebagai senyawa iritan yang merangsang pembentukan udema diinjeksikan
pada tempat yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara
dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot
selanjutnya diukur volume cairannya (Turner, 1965).
4. Induksi arthritis
Metoda induksi arthritis merupakan metoda inflamasi kronis. Hewan uji
diinjeksi subplantar 50-100 μl suspensi yang mengandung 300-750 μl
Mycobacterium BCG. Udema pada telapak kaki mencapai puncaknya 4-5 hari
stelah injeksi (respon primer) dan penyakit sistemik dimana terlihat benjolan pada
telinga dan ekor (respon sekunder). Obat antiinflamasi steroid atau non streroid
akan menghambat respon primer dan sekunder tersebut (Gryglewski, 1977).
28
5. Percobaan in vitro
Percobaan in vitro bermanfaat untuk mengetahui peran dan pengaruh
substansi-substansi fisiologis seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan lain-
lain pada saat terjadinya inflamasi. Ada beberapa percobaan in vitro yang dapat
digunakan untuk mengukur daya anti-inflamasi diantaranya adalah 3H-Bradikinin
reseptor binding, Assay of PMN leucocytes chemotaxis in vitro, serta Inhibition of
IL-1ß converting enzyme (Vogel, 2002).
J. Metoda Pengujian Efek Analgesik
Pengujian daya analgesik oleh Turner (1965), dikelompokkan menjadi dua
golongan, yakni :
1. Golongan analgetika narkotik
a. Metode jepit ekor
Sekelompok mencit dinjeksi dengan senyawa uji dengan dosis tertentu
secara sub kutan atau intravena, kemudian setelah 30 menit jepitan dipasang
pada pangkal ekor mencit selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi senyawa
uji akan berusaha melepaskan diri dari kekangan tersebut, tetapi mencit yang
diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut. Respon positif adanya
daya analgetika ditunjukkan dengan tidak adanya usaha untuk melepaskan diri
dari jepitan tersebut selama 15 detik pada tiga kali pengamatan.
29
b. Metode rangsang panas
Pada metode ini digunakan lempeng panas (hot plate) dengan suhu yang
diatur dalam kisaran 50 ºC sampai 55 ºC, dilengkapi dengan penangas yang
berisi campuran aseton dan etil formiat dengan perbandingan 1:1. Hewan uji
yang telah diberi laruatan uji secara subkutan atau peroral diletakkan pada hot
plate, kemudian diamati reaksinya ketika hewan uji mulai menjilat kaki
belakang dan kemudian melompat.
c. Metode pengukuran tekanan
Digunakan suatu alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada ekor
tikus secara seragam dalam metode ini, yaitu dua buah syringe yang
dihubungkan pada kedua ujungnya, bersifat elastis, fleksibel, serta terdapat
pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisi dari pipa dihubungkan dengan
manometer. Syringe yang pertama diletakkan dengan posisi vertikal dengan
ujungnya menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap
syringe, ketika tekanan diberikan pada syringe kedua, maka tekanan akan
terhubung pada sistem hidrolik pada syringe pertama lalu pada ekor tikus.
Tekanan yang sama pada syringe kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor
tikus, sehingga akan menimbulkan respon dan akan terbaca pada manometer.
Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan
mengeluarkan suara (mencicit) sebagai tanda kesakitan.
30
d. Metode potensi petidin
Metode ini kurang baik karena hewan uji yang cukup banyak, tiap
kelompok terdiri dari tikus sebanyak 20 ekor, setengah kelompok dibagi
menjadi 3 bagian yang diberi petidin dengan dosis 2, 4, dan 8 mg/kg.
Setengah kelompok yang lainnya diberi senyawa uji dengan dosis 20 % dari
LD50
. Persen daya analgesik dihitung dengan metode rangsang panas.
e. Metode antagonis nalorfin
Uji analgetik dengan menggunakan metode ini untuk mengetahui aksi
dari obat-obat seperti morfin, karena mempunyai kemampuan untuk
meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang bisa digunakan pada metode ini
adalah tikus, mencit dan anjing. Hewan tersebut diberi obat dengan dosis
toksik kemudian segera diberi nalorfin (0,5-10,0 mg/kg BB) secara intravena.
Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan
reseptornya, sehingga ikatan antara morfin dengan reseptornya terlepas.
f. Metode kejang oksitosin
Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituari
posterior, yang dapat menyebabkan konstraksi uterus sehingga menimbulkan
kejang pada tikus. Responnya berupa kontraksi abdominal, sehingga menarik
pinggang dan kaki ke belakang. Penurunan jumlah kejang diamati dan ED50
dapat diperkirakan.
31
2. Golongan analgetika non narkotik
a. Metode rangsang kimia
Pada metode ini, digunakan zat kimia yang diinjeksikan pada hewan uji
secara intraperitonial, sehingga akan menimbulkan rasa nyeri. Beberapa zat
kimia yang biasanya digunakan antara lain asam asetat dan fenil kuinon.
Metode ini sederhana, reproducible (dapat diulang-ulang hasilnya), dan cukup
peka untuk menguji senyawa analgetik dengan daya analgetik lemah, namun
mempunyai kekurangan yaitu masalah kespesifikasinya. Oleh karena itu
metode ini sering digunakan untuk penapisan (screening). Daya analgetik
dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat
menggunakan persamaan menurut Handershot dan Forsaith.
% proteksi rangsang nyeri = %100100
KP
P : jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi perlakuan.
K: jumlah kumulatif geliat mencit kelompok kontrol.
Hewan uji yang digunakan pada metode ini dapat bermacam-macam,
antara lain : anjing, marmot, tikus, merpati, dan mencit. Untuk mencit, yang
sering digunakan adalah mencit betina, dikarenakan kepekaan terhadap
rangsang lebih besar daripada yang jantan. Respon mencit yang biasa diamati
adalah lompatan dan konstraksi perut dengan disertai tarikan kaki belakang
(rentangan) yang disebut geliat (Kusuma, 2003).
32
b. Metode pedolorimeter
Hewan uji diletakkan pada kandang yang bagian atasnya terbuat dari
kepingan metal sehingga bisa dialiri arus listrik. Respon yang timbul yaitu
ketika hewan uji mengeluarkan teriakan dengan pengukuran dilakukan tiap 10
menit selama 1 jam.
c. Metode rektodolorimeter
Tikus diletakkan di sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas
tembaga yang dihubungkan dengan penginduksi berupa sebuah gulungan.
Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektrode
tembaga. Pada gulungan bagian atas terdapat suatu konduktor yang
dihubungkan dengan sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt.
Pemberian tegangan sebesar 1 sampai 2 volt akan menimbulkan respon berupa
suara teriakan tikus.
Selain uji-uji di atas, terdapat pula uji in vitro. Uji in vitro yang
digunakan untuk menguji aktivitas analgesik sentral antara lain : survei, ikatan
3H-Naloxone dengan jaringan, 3H-Dihydromorphinei yang terikat reseptor μ
opiat otak tikus, 3H-Bremazocine yang terikat resptor k opiat pada otak kecil
babi Guinea, penghambatan enkephalinase, reseptor yang mengikat
nociceptin, vasoactive intestinal polypeptid (VIP), reseptor yang terikat
cannabinoid, reseptor yang terikat vanilloid (Vogel, 2002). Senyawa-senyawa
tersebut mengandung suatu molekul hidrogen yang bersifat radioaktif 3H
(tritium). Dengan adanya senyawa tersebut akan mempermudah monitoring.
33
K. Landasan Teori
Peradangan sebenarnya merupakan suatu keadaan yang membantu netralisasi,
penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada
proses penyembuhan (Price dan Wilson, 1995). Tetapi inflamasi atau peradangan
cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tidak diinginkan karena salah satu
manifestasi dari inflamasi adalah nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling umum
pada pemeriksaan klinis, karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang
penting dan yang berfungsi untuk melindungi tubuh.
Metode pengujian efek anti-inflamasi sari buah belimbing menggunakan
metode Langford yang dimodifikasi. Inflamatogen yang digunakan adalah karagenin.
Mekanisme biokimiawi dan morfologikal dari udema yang diinduksi dengan
karagenin masih belum diketahui secara pasti. Namun, secara umum proses atau
mekanisme udema dapat dibagi menjadi dua fase.
Fase pertama mekanisme udema ditandai dengan dilepaskannya histamin dan
serotonin (5-hidroksitriptamin) dan sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin
dalam aliran darah. Mediator tersebut menyebabkan gangguan pembuluh darah dalam
jaringan terinflamasi. Pelepasan amin dan kinin tersebut masih terus berlanjut hingga
fase kedua dan diikuti oleh terjadinya ekstravasasi protein plasma dan penetrasi sel-
sel inflamasi dalam jaringan terinflamasi (Rainsford, 1984).
Pada fase kedua terjadi pelepasan enzim lisosomal. Enzim ini mengawali
terjadinya gangguan jaringan dan diikuti oleh produksi radikal oksigen bebas yang
dapat merusak jaringan. Produksi radikal oksigen bebas ini menyebabkan
34
pembentukan lipid peroksida aktif yang akan menstimulasi aktivitas fosfolipase pada
fosfolipid, sehingga akan terbentuk asam arakhidonat, yang kemudian akan
memproduksi prostaglandin (Rainsford, 1984). Prostaglandin bertanggung jawab
terhadap sebagian besar dari gejala peradangan, selain itu peroksida yang melepaskan
radikal bebas oksigen juga memegang peranan pada timbulnya nyeri. Prostaglandin
yang dibentuk lebih banyak akan mensensibilasi reseptor nyeri dan disamping itu
menjadi penentu dalam lamanya rasa nyeri.
Katekin dan vitamin C merupakan senyawa yang terkandung dalam buah
belimbing. Tentang aktivitas antioksidannya, katekin telah terbukti sebagai
penangkap radikal yang paling kuat di antara senyawa golongan flavonoid lainnya.
Kemampuannya untuk menetralkan oksigen singlet tampaknya terkait dengan sruktur
kimia katekin, kehadiran gugus katekol pada cincin B dan kehadiran gugus hidroksil
mengaktifkan ikatan rangkap pada cincin C. Kemampuan katekin dalam menangkap
radikal bebas dapat menghambat perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin
sehingga peradangan dapat diatasi. Dengan demikian, nyeri yang merupakan
manifestasi dari peradangan juga dapat berkurang.
Metode Langford yang dimodifikasi ini merupakan langkah pengujian awal
untuk mengetahui adanya efek anti-inflamasi pada suatu senyawa. Selain itu metode
ini mudah dilakukan. Sedangkan metode yang digunakan pada pengujian efek
analgesik adalah metode rangsang kimia. Metode ini digunakan karena metode ini
cukup peka, sederhana, reprodusibel dan mudah dilakukan untuk pengujian daya
analgesik.
35
L. Hipotesis
Sari buah Belimbing (Averrhoa carambola L.) memiliki efek anti-inflamasi
dan efek analgesik terhadap mencit putih betina.
36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang “Uji Efek Analgesik Dan Anti-Inflamasi Sari Buah
Belimbing (Averrhoa Carambola L.) Pada Mencit Putih Betina” ini merupakan
penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B. Metode Uji yang Digunakan
Metode yang digunakan untuk uji efek analgesik dalam penelitian ini adalah
metode rangsang kimia, sedangkan metode yang digunakan untuk uji efek anti-
inflamasi adalah metode Langford yang dimodifikasi.
C. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas : dosis sari buah belimbing
b. Variabel tergantung : efek analgesik dan anti-inflamasi sari buah belimbing.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali :
1) Subjek uji : mencit putih
a) Jenis kelamin : betina
b) Berat badan : 20-30 gram
37
c) Umur : 2-3 bulan
d) Galur : Swiss
2) Buah belimbing
Buah belimbing (Belimbing Bali) diambil dari supermarket Superindo,
Jalan Seturan, Babarsari, Yogyakarta.
b. Variabel pengacau tak terkendali :
1) Kondisi patologis mencit
2) Zat gizi dalam pakan
3) Umur belimbing
3. Definisi operasional
a. Sari buah belimbing diperoleh dari buah belimbing yang dicuci bersih dan
dikupas. Sejumlah (gram) buah dipotong-potong melintang dengan ketebalan
lebih kurang 2 cm disari menggunakan juice extractor, kemudian disaring
dengan kain.
b. Injeksi sub plantar adalah injeksi pada telapak kaki hewan uji, arah jarum
harus menuju ke jari-jari hewan uji.
c. Definisi geliat adalah apabila mencit menarik badan dan kaki beakang hingga
perut bagian bawah menyentuh alas tempat berpijak.
d. Metode Langford dkk, adalah metode uji efek anti-inflamasi dengan cara
membandingkan kaki udem yang telah diinduksi oleh inflamatogen dengan
kelompok perlakuan sehingga dapat diketahui kemampuan perlakuan tersebut
mengurangi udem.
38
e. Metode rangsang kimia adalah metode uji efek analgetika yang tidak spesifik.
Efek tersebut dilihat dari banyak sedikitnya geliat. Adanya efek analgesik
ditunjukkan dengan penurunan jumlah geliat sebesar 50% dari kontrol negatif.
Semakin sedikit geliat semakin besar efek analgesiknya.
D. Alat dan Bahan Penelitian
1. Bahan
a. Buah belimbing Bali (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari
supermarket Superindo, Jalan Seturan, Babarsari, Yogyakarta
b. Mencit putih betina galur Swiss 60 ekor diperoleh dari Lembaga Pusat
Penelitian dan Teknologi (LPPT) UGM dengan berat badan 20-30 gram dan
umur 2-3 bulan.
c. Kalium diklofenak, Cataflam D50, Novartis, sebagai kontrol positif.
d. Aquades dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
e. Karagenin tipe 1 (Sigma Chemical Co) sebagai peradang (inflamatogen)
diperoleh dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
f. NaCl Fisiologis (Otsu-NS) sebagai pensuspensi karagenin diperoleh dari
Apotek Kimia Farma, Yogyakarta.
g. Asam asetat sebagai perangsang nyeri berupa cairan jernih, tidak berwarna
dan berbau khas, menusuk, rasa asam (Anonim,1995).
39
h. Parasetamol kualitas berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit
pahit (Anonim,1979) yang diperoleh dari pabrik Berliko.
i. CMC Na yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi,
Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Alat
a. Jus ekstraktor Miyako type JE-505
b. Neraca analitik merek Metler Toledo
c. Stopwatch
d. Seperangkat alat gelas berupa labu ukur, beker glass, batang pengaduk, gelas
ukur, pipet tetes, gelas arloji
e. Mortir dan stamper
f. Spuit injeksi ukuran 1 ml merek Terumo dan spuit yang dimodifikasi untuk
pemberian oral 1 ml
g. Gunting bedah dan pinset
E. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan bahan
Bahan yang diuji adalah buah belimbing Bali yang diperoleh dari supermarket
Superindo, Jalan Seturan, Babarsari, Yogyakarta.
40
2. Determinasi tanaman
Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran tanaman belimbing,
dilakukan di Bagian Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Berdasarkan hasil determinasi, tanaman belimbing yang digunakan
benar-benar belimbing yang memiliki nama ilmiah Averrhoa carambola L. surat
keterangan determinasi dapat dibaca pada lampiran.
3. Pembuatan sari dan penentuan dosis sari belimbing
Belimbing dipilih yang masih segar, berwarna kuning kehijauan dan tidak
cacat. Belimbing dicuci bersih dan ditimbang beratnya, dipotong-potong
melintang dengan ketebalan lebih kurang 2 cm kemudian disari dengan
menggunakan juice extractor. Filtrat yang diperoleh disaring ulang dengan kain
tipis dan diukur volumenya. Sari belimbing harus selalu dibuat baru. Dosis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 8,33 ml/kg; 16,67 ml/kg; dan 33,33 ml/kg.
4. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang
berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram. Sebelum diberi perlakuan,
mencit diadaptasikan selama satu minggu dengan kondisi yang sama meliputi :
makanan, minuman, kandang, dan alasnya. Hewan uji juga dipuasakan ± 24 jam
sebelum digunakan dalam percobaan dengan tujuan untuk mengurangi variasi
akibat adanya makanan.
41
5. Penelitian efek anti-inflamasi
a. Uji pendahuluan
1) Pembuatan larutan karagenin 1%
Larutan karagenin digunakan sebagai zat peradang yang dibuat dengan
melarutkan 100 mg karagenin dalam NaCl 0,9% fisiologis sampai 10 ml
akan diperoleh konsentrasi 1%.
2) Penetapan dosis karagenin
Dosis karagenin ditetapkan berdasarkan penelitian Williamson dkk
(1996) yaitu dengan kadar 1% yang dilarutkan dalam NaCl 0,9%
fisiologis yang disuntikkan secara sub plantar pada telapak kaki mencit
sebesar 0,05 ml sehingga didapatkan dosis larutan karagenin sebesar 25
mg/kgBB.
Diketahui konsentrasi karagenin yang digunakan adalah 1% dan
volume pemberian adalah 0,05 ml. berat badan mencit rata-rata 20 gram =
0,02 kg
Dosis karagenin =kgBB
mlmgml
02,0100
100005,0
= 25 mg/kgBB
3) Penetapan dosis diklofenak
Dosis diklofenak ditetapkan berdasarkan pemilihan dosis yang
menimbulkan daya anti-inflamasi sedemikian rupa sehingga penurunan
42
volume udema akibat perlakuan karagenin dapat diukur. Pemilihan dosis
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil penelitian dari
Maryanto (1997) yaitu untuk tikus berat badan 250 g mempunyai dosis 40
mg/kgBB. Jika berat badan tikus 200 g maka perhitungan dosisnya :
Tikus 200 g
g
kgBBmgg250
/40200 32 mg/kgBB
Jika dikonversikan dari tikus 200 g ke mencit 20 g akan diperoleh dosis
natrium diklofenak dengan perhitungan sebagai berikut :
= 0,14 x 32 mg/kgBB
= 4,48 mg/kgBB
sehingga dosis natrium diklofenak yang diberikan pada mencit sebesar
4,48 mg/kgBB. Pada penelitian ini digunakan kalium diklofenak, yang
perhitungan dosisnya mengikuti perhitungan dosis natrium diklofenak.
4) Penetapan selang waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi karagenin
Dua belas ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok, tiap kelompok 3 ekor
mencit diberi perlakuan kaki kiri diinjeksi secara sub plantar 0,05 ml
karagenin 1% sedangkan kaki kanan diinjeksi secara sub plantar tanpa
diberi karagenin. Selanjutnya tiap kelompok mencit dikorbankan pada
selang waktu tertentu, yakni 1, 2, 3, dan 4 jam kelompok masing-masing.
Setelah dikorbankan pada selang waktu masing-masing kelompok, kedua
kaki belakang mencit dipotong pada sendi torsocrural dan ditimbang
43
dengan neraca analitik. Waktu pemotongan kaki ditetapkan pada saat kaki
mengalami peningkatan udema yang berarti.
5) Penetapan waktu pemberian diklofenak
Dua belas ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok, kelompok 1
pemberian diklofenak menit ke-15 sebelum diinjeksi karagenin, kelompok
2 pemberian diklofenak menit ke-30 sebelum diinjeksi karagenin,
kelompok 3 pemberian diklofenak menit ke-45 sebelum diinjeksi
karagenin dan kelompok 4 pada saat menit ke-60 sebelum diinjeksi
karagenin. Setelah pemberian larutan diklofenak secara oral dengan dosis
4,48 mg/kgBB, tiap kelompok mencit disuntik sub plantar 0,05 ml
karagenin 1% pada telapak kaki menurut kelompok masing-masing.
Sesuai hasil orientasi, setelah 3 jam pemberian sub plantar karagenin 1%,
kedua kaki belakang dipotong pada sendi torsocrural lalu ditimbang
dengan neraca analitik. Waktu pemberian diklofenak yang digunakan pada
saat berat udema kaki mencit mengalam penurunan yang berarti.
b. Uji efek anti-inflamasi
Metode uji daya anti-inflamasi menggunakan metode pembentukan udema
pada telapak kaki belakang hewan uji yang telah dimodifikasi oleh Langford
dkk (1972). Tiga puluh ekor mencit secara acak dibagi ke dalam 6 kelompok,
tiap kelompok 5 ekor mencit. Masing-masing kelompok perlakuan tersebut
adalah:
Kelompok I : kontrol (-) diberi karagenin dosis 25 mg/kgBB
44
Kelompok II : kontrol (-) diberi aquades dosis 0,5 ml/20 gBB
Kelompok III : kontrol (+) diberi diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB
Kelompok IV : diberi sari buah belimbing dosis 8,33 ml/kgBB
Kelompok V : diberi sari buah belimbing dosis 16,67 ml/kgBB
Kelompok VI : diberi sari buah belimbing dosis 33,33 ml/kgBB
Kecuali kelompok I, pada menit ke-15, kaki kirinya diinjeksi 0,05 ml
suspensi karagenin 1% secara sub plantar, sedangkan kaki kanan bagian
belakang hanya disuntik dengan spuit injeksi tanpa karagenin. Tiga jam
setelah diinjeksi karagenin, hewan uji dikorbankan, kedua kaki belakangnya
dipotong pada sendi torsocrural, lalu ditimbang dan dihitung selisih bobot
kakinya.
c. Perhitungan % efek anti-inflamasi
Metode Langford dkk (1972) yang telah dimodifikasi digunakan untuk
mengetahui efek anti-inflamasi, yang dihitung dalam persen (%) efek anti
inflamasi dengan rumus sebagai berikut :
% efek anti-inflamasi =
%100xU
DU
Keterangan :U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-
rata berat kaki normal (kaki kanan)D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-
rata berat kaki normal (kaki kanan)
45
d. Analisis hasil
Data yang diperoleh dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov untuk melihat
distribusi data. Jika data terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan ANOVA
satu arah dengan taraf kepercayaan 95%, kemudian dilanjutkan dengan uji
Scheffe untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (p < 0,05) atau tidak
bermakna (p > 0,05). (Apabila hasil ANOVA secara statistika berbeda tidak
bermakna maka uji lanjutan tidak perlu dilakukan) . Tetapi bila pada hasil
ANOVA dinyatakan berbeda bermakna maka dilanjutkan dengan uji statistik Post
Hoc.
6. Penelitian efek analgesik
a. Uji pendahuluan
1) Penetapan kriteria geliat
Respon yang terjadi pada pengujian efek analgesik menggunakan
rangsang kimia sangat bervariasi, sehingga perlu ditetapkan geliat yang
sering terjadi sehingga tidak mengacaukan pengamatan. Geliat yang
diamati dan dihitung adalah geliat dengan kriteria menarik satu atau kedua
kaki ke arah belakang dengan sempurna.
2) Penentuan waktu pemberian rangsang
Penentuan ini dilakukan dengan harapan pada selang waktu pemberian
bahan uji dengan asam asetat, telah terjadi absorpsi sehingga dapat segera
menimbulkan efek.
46
3) Pembuatan larutan CMC Na %
Larutan ini dibuat dengan melarutkan serbuk CMC Na sebanyak 1
gram dalam air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga
mengembang kemudian ditambahkan aquades sampai 100 ml.
4) Pembuatan larutan asam asetat
Larutan asam asetat dibuat dengan cara pengenceran dari larutan asam
asetat glasial 100% v/v dengan volume pengambilan dihitung dengan
menggunakan rumus:
V x C = V1 x C1
Sebanyak 0,25 mL asam asetat glasial 100% diencerkan dengan aquades
hingga volume 25,00 mL menggunakan labu ukur 25 mL.
5) Pembuatan supensi parasetamol
Parasetamol yang akan digunakan sebagai kotrol positif dibuat dengan
menimbang secara seksama sejumlah parasetamol dan disuspensikan
dalam larutan CMC Na 1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.
6) Penentuan dosis parasetamol
Dosis parasetamol yang biasa digunakan sebesar 500 mg/50kgBB.
Dosis ini kemudian dikonversikan ke mencit, sehingga diperoleh dosis 91
mg/kgBB. Kemudian dibuat 3 peringkat dosis untuk diorientasi manakah
yang peling efektif dalam menghambat rasa nyeri, yaitu 68,25; 91,00;
113,75 mg/kgBB. Dari hasil orientasi diketahui bahwa dosis 91,00
mg/kgBB secara signifikan dapat menghambat rasa nyeri dibandingkan 2
47
dosis lainnya sehingga dosis 91,00 mg/kgBB yang kemudian dipakai
dalam penelitian. Hasil dari orientasi dosis parasetamol ini digunakan
sebagai kontrol positif.
7) Pemilihan dosis asam asetat
Pemilihan konsentrasi asam asetat diambil dari penelitian Kusuma
(2003) yakni 1%. Sedangkan pemilihan dosis asam asetat dilakukan
melalui orientasi menggunakan empat peringkat dosis yaitu dosis 25; 50;
75; dan 100 mg/kgBB.
b. Uji efek analgesik
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 ekor mencit yang
secara acak dibagi menjadi 5 kelompok, sebagai berikut:
Kelompok I : kontrol negatif (aquades dosis 0,5 ml/20 gBB)
Kelompok II : kontrol positif (suspensi parasetamol dosis 91mg/kg BB)
Kelompok III : diberi sari buah belimbing dengan dosis 8,33 ml/kgBB
Kelompok IV : diberi sari buah belimbing dengan dosis 16,67 ml/kgBB
Kelompok V : diberi sari buah belimbing dengan dosis 33,33 ml/kgBB
Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara peroral, 15
menit kemudian diinjeksi dengan larutan asam asetat 1% secara
intraperitonial. Segera setelah itu, diamati geliat yang muncul tiap 5 menit
selama total waktu pengamatan 60 menit.
48
c. Perhitungan persen proteksi geliat
Besarnya penghambatan jumlah geliat dihitung dengan menggunakan
persamaan Handershot dan Forsaith, yaitu :
% proteksi rangsang nyeri = %100100
KP
Keterangan :P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian sari buah
belimbing.K = jumlah rata-rata kumulatif geliat hewan uji kontrol negatif.
Data persentase proteksi geliat tersebut kemudian dianalisis menggunakan
analisa variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%.
Perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif dihitung
menggunakan rumus :
Perubahan % proteksi rangsang nyeri = %100)( Kp
PKp
Keterangan :P = % proteksi rangsang nyeri pada tiap kelompok perlakuan.Kp = rata-rata % proteksi rangsang nyeri pada kontrol positif (Utami, 2002).
d. Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov untuk
melihat distribusi data. Jika data yang terdistribusi normal maka analisis
dilanjutkan dengan ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%,
kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk melihat perbedaan antar
kelompok bermakna (p < 0,05) atau tidak bermakna (p > 0.05). (Apabila hasil
49
ANOVA secara statistika berbeda tidak bermakna maka uji lanjutan tidak
perlu dilakukan). Tetapi bila pada hasil ANOVA dinyatakan berbeda
bermakna maka dilanjutkan dengan uji statistik Post Hoc.
50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Buah Belimbing
Pada penelitian ini digunakan buah belimbing manis sebagai bahan untuk
membuat sari buah belimbing. Buah belimbing harus diidentifikasi terlebih dahulu
untuk memastikan bahwa bahan yang digunakan benar-benar buah belimbing.
Identifikasi buah belimbing dilakukan di bagian Biologi Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berdasarkan hasil yang identifikasi,
diperoleh bahwa bahan yang digunakan adalah buah belimbing (Averrhoa carambola
L.).
B. Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan merupakan uji yang dilakukan sebagai orientasi untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya diperlukan dalam pengambilan data
sebenarnya. Uji pendahuluan yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu uji anti-
inflamasi dan uji analgesik. Untuk uji anti-inflamasi meliputi : orientasi rentang
waktu pemotongan kaki, orientasi rentang waktu pemberian diklofenak dan orientasi
dosis diklofenak. Sedangkan untuk uji analgesik meliputi : penentuan kriteria geliat,
pemilihan dosis asam asetat, penentuan selang waktu pemberian asam asetat dan
pemilihan dosis parasetamol yang digunakan sebagai kontrol positif.
51
Selain itu perlu dilakukan persiapan hewan uji, hewan tersebut adalah mencit
putih betina galur Swiss, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram.
Sebelum diberi perlakuan, mencit yang akan digunakan harus dipuasakan terlebih
dahulu selama ± 24 jam dengan tidak memberi makan dan alas sekam namun tetap
diberi minum. Hal ini dilakukan untuk mengurangi variasi akibat adanya makanan.
1. Uji Pendahuluan Anti-inflamasi
a. Orientasi penetapan waktu pemotongan kaki
Orientasi penetapan waktu pemotongan kaki bertujuan untuk
mengetahui waktu yang tepat setelah injeksi karagenin 1% secara sub plantar
yaitu waktu dimana karagenin mampu memberikan efek maksimal sehingga
udema yang dihasilkan juga maksimal. Variasi waktu pemotongan kaki
belakang mencit pada orientasi adalah 1, 2, 3, dan 4 jam setelah diinjeksi
karagenin 1% secara sub plantar. Data bobot udema dalam berbagai variasi
waktu pemotongan kaki selanjutnya diuji dengan Kolmogorof-Smirnov untuk
melihat distribusinya. Dari uji tersebut diketahui bahwa data terdistribusi
normal, maka analisis dilanjutkan dengan analisis varian satu arah dengan
taraf kepercayaan 95% guna mengetahui perbedaan antar kelompok.
Selanjutnya, dilakukan analisis menggunakan Uji Scheffe untuk melihat
perbedaan tersebut bermakna atau tidak bermakna.
52
Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongankaki
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
Gambar 7. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasirentang waktu pemotongan kaki
Dari hasil analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya
0,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa bobot udema yang terjadi tiap
kelompok perlakuan memiliki perbedaan bermakna (p ≤ 0,05). Kemudian
Kelompok Perlakuan(jam)
Rata-rata bobot udema dalammiligram (X ± SE)
1 jam 124,53 ± 0,642 jam 113,70 ± 6,193 jam 154,20 ± 1,734 jam 113,63 ± 4,06
53
dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar kelompok bermakna
atau tidak bermakna. Hasil uji Scheffe dapat dilihat di tabel II.
Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktupemotongan kaki
Waktu 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam1 jam - tb b tb2 jam tb - b tb3 jam b b - b4 jam tb tb b -
Keterangan :b = Berbeda bermakna (p ≤0,05)tb = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Hasil statistik menyatakan bahwa rentang waktu pemotongan kaki
kelompok 3 jam menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05)
dibandingkan dengan kelompok 1, 2, dan 4 jam.
Selain itu pada rentang waktu pemotongan kaki 3 jam menimbulkan
udema yang paling tinggi yang artinya karagenin menginduksi secara maksimal
pada jam tersebut sehingga dipilih rentang waktu pemotongan kaki 3 jam.
Berdasarkan diagram batang dapat terlihat jelas bahwa pada waktu pemotongan
kaki mencit 3 jam setelah injeksi karagenin 1% memiliki rata-rata bobot udem
paling besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa karagenin menginduksi kaki
belakang mencit secara maksimal pada jam tersebut. Oleh karena itu dipilih
waktu pemotongan 3 jam setelah injeksi karagenin 1%.
54
b. Orientasi Dosis Pemberian Diklofenak
Orientasi pemberian dosis diklofenak ini bertujuan untuk menentukan
dosis diklofenak yang dapat menimbulkan penurunan edema yang paling
berarti. Dosis diklofenak yang digunakan pada orientasi ini adalah 3,36
mg/kgBB; 4,48 mg/kgBB; dan 5,6 mg/kgBB. Pemilihan dosis ini didasarkan
pada penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (Maryanto, 1997).
Menurut penelitian, dosis efektif diklofenak untuk tikus dengan berat badan
250 gram adalah 40 mg/kgBB. Dari hasil penelitian tersebut selanjutnya
dikonversikan untuk mencit dengan berat badan 20 gram sehingga diperoleh
dosis 4,48 mg/kgBB. Agar dapat diuji, ditambah dua dosis lainnya yaitu
diambil 25% dosis di atasnya dan 25% dosis di bawahnya sehingga didapat 2
dosis lainnya yaitu 3,36 dan 5,6 mg/kgBB.
Rata-rata bobot udema orientasi dosis diklofenak dapat dilihat pada
tabel III.
Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenakKelompok Dosis
(mg/kgBB)Rata-rata bobot udema dalam
miligram (X ± SE)3,36 77,93 ± 2,404,48 60,27 ± 2,415,6 70,5 ± 1,60
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
55
Gambar 8. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi dosispemberian diklofenak
Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar
kelompok bermakna atau tidak bermakna. Hasil uji Scheffe dapat dilihat di
tabel IV.
Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosispemberian diklofenak
Kelompok Dosis(mg/kgBB)
3,36 4,48 5,6
3,36 - b tb4,48 b - b5,6 tb b -
Keterangan :b = Berbeda bermakna (p ≤0,05)tb = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
56
Hasil analisis uji Scheffe menunjukkan bahwa kelompok dosis 4,48
mg/kgBB bila dibandingkan dengan kelompok dosis 3,36 mg/kgBB dan 5,6
mg/kgBB memiliki perbedaan yang bermakna (p ≤0,05). Selain itu, dari
diagram batang hasil percobaan kelompok dosis 4,48 mg/kgBB memiliki rata-
rata bobot udem kaki mencit yang paling kecil dibandingkan dengan
kelompok dosis lainya. Sehingga dipilih dosis diklofenak 4,48 mg/kgBB
sebagai dosis efektif untuk mereduksi udema karena diasumsikan pada dosis
ini dapat memberikan reduksi udema secara optimal.
c. Orientasi waktu pemberian diklofenak
Orientasi pemberian waktu pemberian diklofenak dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui waktu yang optimal pemberian diklofenak sehingga
terjadi penurunan udema yang berarti. Dosis diklofenak yang digunakan
adalah 4,48 mg/kgBB, berdasarkan hasil orientasi penetapan dosis yang telah
dilakukan sebelumnya.
Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberiandiklofenak
Kelompok Perlakuan(menit)
Rata-rata bobot udema dalammiligram (X ± SE)
15 menit 55,50 ± 3,4930 menit 74,70 ± 1,1045 menit 69,23 ± 1,2960 menit 67,30 ± 1,77
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
57
Gambar 9. Grafik rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktupemberian diklofenak sebelum pemberian karagenin
Dari hasil analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,001,
sehingga dapat disimpulkan bahwa bobot udema yang terjadi tiap kelompok
perlakuan memiliki perbedaan bermakna (p ≤0,05). Kemudian dilakukan uji
Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar kelompok bermakna atau tidak
bermakna. Hasil uji Scheffe dapat dilihat pada tabel VI.
Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktupemberian diklofenak
Waktu(menit)
15 menit 30 menit 45 menit 60 menit
15 menit - b b b30 menit b - tb tb45 menit b tb - tb60 menit b tb tb -
Keterangan :b = Berbeda bermakna (p < 0,05)tb = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
55,5
74,769,23 67,3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
15 30 45 60
Bo
bo
tu
dem
a(m
g)
Waktu (menit)
Orientasi waktu pemberian diklofenak
58
Dari hasil uji Scheffe dapat diketahui bahwa kelompok menit ke-15
sebelum injeksi karagenin 1% secara sub plantar menunjukkan hasil yang
bermakna dibanding kelompok menit ke-30, ke-45, dan ke-60. Selain itu dari
grafik terlihat bahwa waktu pemberian diklofenak 15 menit sebelum injeksi
karagenin 1% menunjukkan penurunan udema yang paling besar
dibandingkan dengan kelompok waktu pemberian diklofenak lainnya. Oleh
karena itu waktu pemberian diklofenak dipilih 15 menit sebelum injeksi
karagenin 1%.
2. Uji Pendahuluan Analgesik
a. Penetapan kriteria geliat mencit
Penentuan kriteria geliat dalam penelitian ini bertujuan untuk
menentukan tipe geliat yang relatif seragam sehingga mempermudah
pengamatan. Kriteria geliat mencit yang digunakan adalah gerakan menggeliat
dengan 1 kaki atau dua kaki ke belakang memanjang lurus dengan
menempelkan perutnya ke alas. Respon geliat ini akan timbul setelah mencit
diberi perlakuan dengan asam asetat 1% secara intraperitonial. Respon geliat
ini merupakan intepretasi dari rasa sakit yang ditimbulkan akibat pemberian
asam asetat 1%. Respon yang diberikan setiap mencit tidaklah sama karena
masing-masing mencit memiliki ketahanan tubuh yang berbeda. Kemudian
dilakukan pengamatan dan perhitungan geliat mencit setiap 5 menit setelah
pemberian asam asetat selama 60 menit.
59
b. Pemilihan dosis asam asetat
Pelitian pengujian efek analgesik ini menggunakan metode induksi
rangsang kimia. Digunakan asam asetat sebagai penginduksi rasa nyeri yang
diberikan secara intraperitonial pada mencit putih betina dengan selang waktu
tertentu. Asam asetat merupakan iritan yang dapat merusak jaringan secara
lokal. Setelah pemberian secara intraperitonial, asam asetat akan
menyebabkan nyeri di dalam rongga perut. Pembebasan ion H+ dari asam
asetat menyebabkan terjadinya penurunan nilai pH di dalam rongga perut
menjadi kurang dari 6 sehingga menyebabkan luka pada membran sel. Luka
pada membran sel ini akan mengaktifkan enzim fosfolipase pada fosfolipid
membran sel sehingga menghasilkan asam arakhidonat yang akhirnya akan
membentuk prostaglandin. Terbentuknya prostaglandin ini akan
meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri sehingga mencit akan menggeliat
akibat nyeri yang dirasakannya.
Pemilihan dosis asam asetat bertujuan untuk mendapatkan dosis asam
asetat yang memberikan respon geliat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak
ataupun sedikit, agar mempermudah pengamatan.
Konsentrasi asam asetat yang digunakan dalam penelitian ini berdasar
penelitian terdahulu yaitu 1% (Kusuma, 2003), pada konsentrasi ini sudah
dapat menghasilkan geliat yang tidak terlalu banyak. Dosis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 25; 50; 75; dan 100 mg/kgBB. Hasil orientasi
berupa geliat pada masing-masing dosis dapat dilihat pada tabel VII.
60
Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetatKelompok Perlakuan
(mg/kgBB)Rata-rata jumlah geliat
(X ± SE)25 25,00 ± 1,1550 34,67 ± 1,2075 49,67 ± 1,76
100 75,00 ± 2,08Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi penentuandosis pemberian asam asetat.
Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar
kelompok bermakna atau tidak bermakna. Hasil uji Scheffe dapat dilihat di
tabel VIII.
61
Tabel VIII. Hasil uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluanpenentuan dosis pemberian asam asetat
Kelompok Dosis(mg/kgBB)
25(mg/kgBB)
50(mg/kgBB)
75(mg/kgBB)
100(mg/kgBB)
25 - b b b50 b - b b75 b b - b
100 b b b -Keterangan :b = Berbeda bermakna (p ≤0,05)
Dari hasil uji Scheffe dapat diketahui bahwa kelompok dosis 25
mg/kgBB berbeda bermakna dengan kelompok dosis 50 mg/kgBB; 75
mg/kgBB; dan 100 mg/kgBB. Begitu pula dengan dosis lainnya memiliki
perbedaan yang bermakna satu dengan yang lainnya. Namun apabila dilihat
dari diagram batang kelompok dosis 100 mg/kgBB menunjukkan jumlah
geliat paling banyak dibandingkan dengan ketiga dosis lainnya sehingga
dipilih dosis pemberian asam asetat sebesar 100 mg/kgBB untuk
mempermudah pengamatan.
c. Penentuan selang waktu pemberian asam asetat
Orientasi waktu pemberian asam asetat ini bertujuan untuk
menentukan saat pemberian asam asetat setelah pemberian bahan uji yaitu
kontrol positif parasetamol (91 mg/kgBB) dan sari buah belimbing secara
peroral. Pada selang waktu ini diharapkan bahan uji sudah diabsorpsi
sehingga segera memberikan efek. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai
selang waktu dapat dilihat pada tabel IX.
62
Tabel IX. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu pemberianasam asetat.
Kelompok Jumlah Geliat(X ± SE)
5 menit 35,00 ± 1,1510 menit 28,67 ± 1,2015 menit 15,33 ± 0,88
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
Dari tabel IX pada menit ke-5 menghasilkan jumlah geliat yang lebih
banyak dibandingkan dengan menit ke-10 dan menit ke-15. Untuk melihat
perbedaan antar kelompok maka dilakukan analisis variansi satu arah dan uji
Scheffe.
Gambar 11. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi selang waktupemberian asam asetat.
Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar
kelompok bermakna atau tidak bermakna. Hasil uji Scheffe dapat dilihat di
tabel X
35
28,67
15,33
0
5
10
15
20
25
30
35
40
5 10 15
Rat
a-ra
taju
mla
hge
liat
Waktu (menit)
Orientasi penetapan selang waktu pemberian asamasetat
63
.
Tabel X. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktupemberian asam asetat.
Kelompok(menit)
5(menit) 10(menit) 15(menit)
5 - b b10 b - b15 b b -
Keterangan :b = Berbeda bermakna (p ≤0,05)
Dari hasil uji Scheffe dapat diketahui bahwa kelompok menit ke-5
berbeda bermakna dengan kelompok menit ke-10 dan menit ke-15. Begitu
pula dengan menit lainnya memiliki perbedaan yang bermakna satu dengan
yang lainnya. Namun apabila dilihat dari grafik, kelompok menit ke-15
menunjukkan jumlah geliat paling sedikit dibandingkan dengan menit-menit
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa parasetamol sudah memberikan efek,
sehingga dipilih selang waktu 15 menit pemberian asam asetat.
d. Orientasi penetapan dosis parasetamol
Orientasi dosis parasetamol berujuan untuk menentukan dosis
parasetamol yang optimal. Parasetamol berfungsi sebagai kontrol positif yang
berguna sebagai pembanding terhadap kontrol perlakuan. Dengan kata lain
parasetamol dapat mengurangi secara signifikan jumlah geliat dibandingkan
dengan kontrol negatif. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 91
mg/kgBB, dua dosis lainnya diperoleh dengan menurunkan dan menaikkan
64
dosis ¼ kalinya sehingga diperoleh dosis 68,25 mg/kgBB dan 113,75
mg/kgBB. Rata-rata jumlah geliat pada masing-masing dosis dapat dilihat
pada tabel XI.
Tabel XI. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis pemberian parasetamolKelompok dosis
(mg/kgBB)Jumlah Geliat
(X ± SE)68,25 15,33 ± 0,88
91 8,00 ± 1,15113,75 9,33 ± 1,20
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
Gambar 12. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosisparasetamol
65
Dari hasil analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya
0,007, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah rata-rata geliat yang terjadi
pada tiap kelompok perlakuan memiliki perbedaan bermakna (p ≤0,05).
Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar kelompok
bermakna atau tidak bermakna. Hasil uji Scheffe dapat dilihat di tabel XII.
Tabel XII. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamolKelompok dosis
(mg/kgBB)68,25 91 113,75
68,25 - b b91 b - tb
113,75 b tb -Keterangan :b = Berbeda bermakna (p ≤0,05)tb = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Hasil analisis uji Schiffe menunjukkan bahwa kelompok dosis 68,25
mg/kgBB berbeda bermakna (p ≤0,05) dengan kelompok dosis 91 mg/kgBB
dan kelompok dosis 113,75 mg/kgBB. Sedangkan kelompok dosis 91
mg/kgBB menunjukkan perbedaan yang tidak bemakna (p > 0,05) dengan
kelompok dosis 113,75 mg/kgBB. Dari diagram batang di atas dapat diketahui
bahwa dosis pemberian parasetamol 91 mg/kgBB memiliki jumlah geliat yang
paling sedikit. Oleh karena itu dipilih dosis pemberian parasetamol 91
mg/kgBB.
66
C. Uji Daya Anti-Inflamasi
Uji daya anti-inflamasi sari buah belimbing ini bertujuan untuk mengetahui
apakah sari buah belimbing memiliki daya anti-inflamasi atau tidak sekaligus
mengetahui seberapa besar daya anti-inflamasinya. Uji daya anti-inflamasi ini
dilakukan berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada orientasi percobaan. Dari hasil
orientasi, digunakan rentang waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi karagenin
1% selama 3 jam. Sedangkan dosis efektif dari diklofenak yang digunakan adalah
4,48 mg/kgBB. Waktu efektif pemberian diklofenak yaitu 15 menit. Data rata-rata
bobot udema kaki mencit pada kelompok perlakuan dengan sari buah belimbing
beserta kelompok kontrol negatif dan kontrol positif dapat dilihat pada tabel XIII.
Tabel XIII. Rata-rata bobot udema kaki mencit akibat karagenin pada kelompokkontrol dan perlakuan sari buah belimbing
Kelompok Uji Jumlah subjekuji
Rata-rata bobot udemadalam miligram
(X ± SE)Karagenin 25 mg/kgBB 5 152,26 ± 3,34Aquades 0,5 ml/20 gBB 5 147,82 ± 3,53
Diklofenak 4,48 mg/kgBB 5 62,62 ± 1,96SBB dosis 8,33 ml/kgBB 5 140,36 ± 0,98
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 5 146,88 ± 3,36SBB dosis 33,33 ml/kgBB 5 73,80 ± 1,25Keterangan :SBB = Sari buah belimbingX = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
67
Gambar 13. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok kontroldan perlakuan sari buah belimbing
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
Berdasarkan hasil analisis di atas, diketahui bahwa pada kelompok kontrol
karagenin 1% menghasilkan rata-rata bobot udema yang paling tinggi dibandingkan
dengan kelompok perlakuan lainnya, yakni sebesar 152,26 mg. Demikian juga
dengan kelompok kontrol aquades yang menghasilkan rata-rata bobot udema yang
hampir sama dengan karagenin 1% yaitu sebesar 147,82 mg. Aquades juga
memberikan bobot udema yang besar karena sebagai kelompok kontrol negatif, hanya
diberi perlakuan aquades dan karagenin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
68
karagenin 1% serta kontrol negatif aquades tidak memiliki daya anti-inflamasi. Pada
perlakuan pemberian larutan diklofenak 4,48 mg/kgBB menunjukkan bahwa larutan
diklofenak memiliki daya anti-inflamasi. Hal ini ditunjukkan dengan kecilnya nilai
rata-rata bobot udema sebesar 62,62 mg dibandingkan dengan kelompok kontrol
negatif dan karagenin 1%, sehingga dapat disimpulkan bahwa diklofenak benar-benar
memiliki daya anti-inflamasi. Data persen penghambatan terhadap inflamasi dapat
dilihat pada tabel XIV.
Tabel XIV. Rata-rata persen daya anti-inflamasi pada kelompok kontrol danperlakuan sari buah belimbing
Kelompok uji Jumlahsubjek uji
% Daya anti-inflamasi(X ± SE)
Karagenin 25 mg/kgBB 5 0,00 ± 2,19Aquades 0,5 ml/20 g BB 5 2,88 ± 2,32
Diklofenak 4,48 mg/kgBB 5 58,86 ± 1,28SBB dosis 8,33 ml/kgBB 5 7,78 ± 1,44
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 5 3,50 ± 2,20SBB dosis 33,33 ml/kgBB 5 51,51 ± 0,82
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
69
Gambar 14. Diagram batang persen daya anti-inflamasi kelompok kontroldan perlakuan sari buah belimbing
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
Dari tabel XIV dapat dilihat bahwa persen daya anti-inflamasi antara kontrol
aquades dengan kontrol diklofenak berbeda jauh, masing-masing sebesar 2,88% dan
58,86%. Hal ini menunjukkan bahwa aquades tidak memiliki kemampuan
menurunkan inflamasi sedangkan diklofenak memiliki kemampuan menurunkan
inflamasi yang cukup besar. Hal tersebut disebabkan karena diklofenak merupakan
AINS dengan mekanisme utama menghambat kerja enzim siklooksigenase sehingga
asam arakhidonat tidak dapat diubah menjadi prostaglandin.
70
Persen daya anti-inflamasi, yaitu kelompok kontrol positif diklofenak
mempunyai nilai persen daya anti-inflamasi paling besar, yakni sebesar 58,86%,
kemudian diikuti dengan kelompok perlakuan sari buah dosis 33,33 ml/kgBB sebesar
51,51%. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok perlakuan sari buah belimbing dosis
33,33 ml/kgBB memiliki persen daya anti-inflamasi yang besarnya mendekati kontrol
positif diklofenak. Sehingga dapat dikatakan kelompok perlakuan sari buah
belimbing dosis 33,33 ml/kgBB memiliki daya anti-inflamasi. Pada kelompok dosis
16,67 ml/kgBB dan 8,33 ml/kgBB masing-masing sebesar 3,50% dan 7,78%. Persen
daya anti-inflamasi kedua dosis tersebut jauh di bawah nilai persen daya anti-
inflamasi kontrol diklofenak. Artinya pada kelompok dosis 16,67 ml/kgBB dan 8,33
ml/kgBB tidak memiliki daya anti-inflamasi. Selanjutnya dilakukan analisis variansi
satu arah dengan taraf kepercayaan 95% untuk melihat ada tidaknya perbedaan
diantara kelompok perlakuan.
Dari hasil analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,000,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada tiap kelompok perlakuan.
Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar kelompok
bermakna atau tidak bermakna. Hasil uji Scheffe dapat dilihat di tabel XV.
71
Tabel. XV Uji Scheffe persen daya anti-inflamasi pada kelompok kontrol danperlakuan sari buah belimbing
Kelompokuji
Karagenin Aquades Diklofenak SBB8,33
SBB16,67
SBB33,33
Karagenin - tb b b b bAquades tb - b b b b
Diklofenak b b - b b tbSBB 8,33 tb tb b - tb b
SBB 16,67 tb tb b tb - bSBB 33,33 b b tb b b -
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing (ml/kgBB)b = Berbeda bermakna (p ≤0,05)tb = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sari buah belimbing dosis 33,33
ml/kgBB berbeda tidak bermakna dengan kontrol positif diklofenak 4,48 mg/kgBB.
Sehingga dapat dikatakan dosis 33,33 ml/kgBB memiliki daya anti-inflamasi yang
setara dengan kontrol positif diklofenak 4,48 mg/kgBB. Sedangkan pada dosis 8,33
ml/kgBB dan 16,67 ml/kg berbeda tidak bermakna dengan kontrol negatif aquades
serta berbeda bermakna dengan kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada
dosis 8,33 ml/kgBB dan 16,67 ml/kgBB tidak memiliki efek anti-inflamasi dan daya
anti-inflamasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari ketiga peringkat dosis yaitu
8,33 ml/kgBB; 16,67 ml/kgBB; dan 33,33 ml/kgBB, yang memiliki daya anti-
inflamasi adalah peringkat dosis ketiga yaitu 33,33 ml/kgBB.
Untuk melihat potensi daya anti-inflamasi sari buah belimbing, maka data
persen daya anti-inflamasi tersebut kemudian dibandingkan dengan persen daya anti-
inflamasi diklofenak sebagai kontrol positif. Sehingga dapat diketahui seberapa besar
72
potensi sari buah belimbing terhadap obat anti-inflamasi seperti diklofenak. Rata-rata
persen (%) potensi relatif kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel XVI.
Tabel XVI. Rata-rata persen daya anti-inflamasi dan potensi relatif kelompokperlakuan dibandingkan dengan diklofenak.
Kelompok Uji % daya anti-inflamasi
% potensi relatif
Karagenin 25 mg/kgBB 0,00 0,00Aquades 0,5 ml/20 gBB 2,88 4,89
Diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB 58,86 100,00SBB dosis 8,33 ml/kgBB 7,78 13,22
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 3,50 5,95SBB dosis 33,33 ml/kgBB 51,51 87,51
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
Dari tabel XVI, dapat diketahui bahwa potensi sari buah belimbing sebagai
anti-inflamasi yang paling mendekati potensi diklofenak sebagai obat anti-inflamasi
adalah kelompok perlakuan sari buah belimbing dosis 33,33 ml/kgBB, yaitu sebesar
87,51%. Sedangkan pada dua dosis lainnya yaitu dosis 8,33 ml/kgBB dan 16,67
ml/kgBB dikatakan tidak memiliki potensi anti-inflamasi karena nilainya sangat jauh
dibanding dengan potensi diklofenak.
Inflamasi dan trauma memacu metabolisme prostaglandin dan leukotrien dari
asam arakhidonat yang diperantarai enzim siklooksigenase dan lipoksigenase
menghasilkan H2O2 dan ∙OH (Hamilton dkk, 1997 cit Wijiyo, 2001). Selama
berlangsung radang, manakala sel fagosit teraktifkan maka akan melepaskan oksigen
aktif (O2.-; H2O2; ∙OH) dan asam hipoklorit (HOCl) (Wijoyo, 2001). Radikal reaktif
73
ini dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan secara langsung melelui degradasi
oksidatif dari komponen sel (Conner dan Grisham, 1996).
Dilaporkan bahwa secara umum senyawa turunan flavonoid mampu
memberikan efek antioksidan antara lain karena adanya gugus fenolik dalam struktur
molekulnya. Ketika flavonoid katekin bereaksi dengan radikal bebas maka terbentuk
radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonansi inti aromatik, dengan demikian
reaksi berantai akan terputus.
Berdasarkan keterangan di atas maka dapat dibuat kemungkinan mekanisme
reaksi penangkapan radikal bebas oleh flavonoid katekin. Kemungkinan mekanisme
penangkapan radikal bebas oleh katekin dapat dilihat pada gambar 16.
74
Gambar 15. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh suatuflavonoid katekin.
Selain katekin, vitamin C yang terkandung di dalam buah belimbing juga
dapat berperan sebagai antioksidan. Namun vitamin C merupakan senyawa yang larut
dalam air dan tidak larut dalam lemak (hidrofil), sehingga vitamin C akan sulit
menembus membran lipid untuk menstabilkan radikal bebas yang tempat aksinya
dibagian lipofil dari membran sel. Disamping itu vitamin C yang terkandung di dalam
100 gram belimbing hanya 16,9 mg maka vitamin C yang terdapat dalam sari buah
belimbing belum cukup berfungsi sebagai anti-inflamasi (Mahattanawee dkk, 2006).
OO
OH
OH
OH
OH
HOH
O
OH
OH
OH
O
OH
O
OH
O
OH
OH
OH
O
OH
OH
OH
O
OH
H2O
75
D. Uji Daya Analgesik
Setelah dilakukan orientasi dan diperoleh data-data yang diperlukan untuk
pengujian, maka dilakukan pengujian daya analgesik yang menggunakan senyawa uji
yaitu sari buah belimbing. Dari hasil orientasi diperoleh bahwa zat penginduksi nyeri
yang dipakai adalah asam asetat 1% dengan dosis 100 mg/kgBB, kontrol positif yang
digunakan adalah parasetamol dosis 91 mg/kgBB dengan selang waktu pemberian 15
menit sebelum injeksi asam asetat dan kontrol negatif yang digunakan adalah
aquades. Setelah dilakukan pengujian mengunakan sari buah belimbing dengan tiga
peringkat dosis berikut dengan pengujian kontrol positif dan negatif, maka didapat
data-data jumlah kumulatif geliat.
Hasilnya disajikan pada tabel dan gambar berikut :
Tabel XVII. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok kontrol dan perlakuan sari buahbelimbing
Kelompok uji Jumlahsubjek uji
Rata-rata jumlahgeliat (X ± SE)
Aquades 0,5 ml/20 gBB 5 28,20 ± 1,07Parasetamol 91 mg/kgBB 5 9,60 ± 0,68SBB dosis 8,33 ml/kgBB 5 21,80 ± 1,77
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 5 13,80 ± 0,86SBB dosis 33,33 ml/kgBB 5 11,80 ± 0,86
Keterangan :SBB = Sari buah belimbingX = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
76
Gambar 16. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok kontrol danperlakuan sari buah belimbing
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
Dari data jumlah kumulatif geliat kelompok perlakuan yang telah diperoleh
kemudian diolah secara statistik, dan didapatkan persen proteksi terhadap nyeri yang
dibandingkan dengan kontrol negatif, dan perubahan persen daya terhadap kontrol
positif. Hasilnya dapat dilihat pada tabel XVIII.
77
Tabel XVIII. Persen penghambatan nyeri pada kelompok kontrol dan perlakuan saribuah belimbing
Kelompok Uji Jumlahsubjek uji
Rata-rata persenpenghambatan nyeri (X ± SE)
Aquades 0,5 ml/20 gBB 5 0,00 ± 3,79Parasetamol 91 mg/kgBB 5 65,96 ± 2,40SBB dosis 8,33 ml/kgBB 5 22,69 ± 6,28SBB dosis 16,67 ml/kgBB 5 51,06 ± 3,05SBB dosis 33,33 ml/kgBB 5 57,56 ± 3,14
Keterangan :SBB = Sari buah belimbingX = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)
Gambar 17. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok kontrol danperlakuan sari buah belimbing
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
78
Persen penghambatan pada masing-masing kelompok uji kemudian dianalisis
menggunakan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95% untuk melihat
apakah diantara kelompok perlakuan mempunyai perbedaan atau tidak.
Dari hasil analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,000,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p ≤0,05)
pada tiap kelompok perlakuan. Kemudian dilakukan uji Scheffe untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok bermakna atau tidak bermakna. Hasil uji Scheffe dapat
dilihat di tabel XIX.
Tabel XIX. Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri pada kelompokkontrol dan perlakuan sari buah belimbing
Kelompok Aquades Parasetamol SBB8,33
SBB16,67
SBB33,33
Aquades - b b b bParasetamol b - b tb tb
SBB 8,33 b b - b bSBB 16,67 b tb b - tbSBB 33,33 b tb b tb -
Keterangan :b = Berbeda bermakna (p ≤0,05)tb = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)SBB = Sari buah belimbing (ml/kgBB)
Dari tabel XIX dapat diketahui bahwa kontrol negatif mempunyai perbedaan
yang bermakna terhadap kelompok kontrol positif dan kelompok senyawa uji yaitu
sari buah belimbing dalam tiga peringkat dosis. Hal ini menunjukkan bahwa aquades
tidak memiliki daya analgesik sebagai penghambat rasa nyeri. Hal ini juga dibuktikan
dengan kumulatif jumlah geliat yang paling besar dibandingkan dengan kelompok
lainnya. Pada kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan sari buah belimbing
79
menunjukkan pengurangan jumlah geliat mencit yang berarti kelompok-kelompok
tersebut memiliki nilai persen penghambatan nyeri yang besar. Parasetamol secara
teoritis memang mempunyai efek analgesik dengan mekanisme merintangi
penyaluran rangsang nyeri ke saraf-saraf sensori. Parasetamol merupakan inhibitor
enzim COX yang lemah di jaringan perifer namun efektif menghambat sintesis
prostaglandin di sistem saraf pusat (hipotalamus). Prostaglandin yang bertanggung
jawab atas rasa nyeri adalah PGI2 dan PGE2 (Rang dkk, 2003). Dengan kata lain, saat
parasetamol menghambat sintesis prostaglandin, timbulnya rasa nyeri juga dihambat.
Dari grafik dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan persen penghambatan
rangsang nyeri dari kelompok dosis 16,67 dan 33,33 ml/kgBB pada puncaknya. Pada
kelompok sari buah belimbing dosis 16,67 ml/kgBB, nilai persen penghambatan nyeri
sebesar 51,06 ± 3,05%. Dan pada kelompok sari buah belimbing dosis 33,33
ml/kgBB diperoleh nilai penghambatan nyeri yaitu sebesar 57,56 ± 3,14%. Dari tabel
dapat juga diketahui bahwa kelompok dosis 16,67 ml/kgBB dan 33,33 ml/kgBB
memiliki nilai persen penghambatan nyeri yang tidak bermakna dibandingkan dengan
kontrol positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok sari buah belimbing
dosis 33,33 ml/kgBB memiliki nilai persen penghambatan nyeri yang paling
mendekati nilai persen penghambatan nyeri pada kelompok kontrol positif
parasetamol dosis 91 mg/kgBB yaitu sebesar 65,96 ± 2,40%. Dengan kata lain
kelompok sari buah belimbing dosis 33,33 ml/kgBB mempunyai kemampuan
menghambat nyeri yang hampir sama dengan parasetamol. Sedangkan pada
kelompok sari buah belimbing dosis 8,33 ml/kgBB memiliki nilai persen
80
penghambatan nyeri berbeda bermakna dengan kontrol positif parasetamol namun
berbeda bermakna dengan kontrol negatif sehingga dapat disimpulkan sari buah
belimbing pada dosis 8,33 ml/kgBB memiliki efek analgesik tetapi daya analgesiknya
jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif parasetamol.
Menurut Anonim (1991), jika suatu senyawa mampu menghambat terjadinya
geliat lebih besar dari 50%, maka senyawa tersebut dapat dikategorikan sebagai
analgesik. Dengan demikian kelompok sari buah belimbing dosis 16,67 ml/kgBB dan
33,33 ml/kgBB dikatakan memiliki daya analgesik karena mampu menghambat
jumlah geliat sebesar 51,06% dan 57,56%. Sedangkan pada dosis 8,33 ml/kgBB tidak
bisa dikategorikan sebagai analgesik karena hanya mampu menghambat geliat
sebesar 22,69% saja. Namun pada dosis 33,33 ml/kgBB memiliki daya analgesik
yang lebih besar daripada dosis 16,67 ml/kgBB, sehingga dapat disimpulkan sari
buah belimbing dosis 33,33 ml/kgBB merupakan dosis optimal untuk mengurangi
nyeri.
Perubahan persen proteksi geliat kelompok perlakuan terhadap kontrol positif
dapat dilihat pada tabel XX.
81
Tabel XX. Perubahan persen proteksi geliat kelompok perlakuan terhadap kontrolpositif
Kelompok Uji Rata-rata jumlahkumulatif geliat
(X ± SE)
Perubahan %penghambatan nyeri
(X ± SE)Aquades 0,5 ml/20 gBB 28,20 ± 1,07 -100,00 ± 5,74
Parasetamol 91 mg/kgBB 9,60 ± 0,68 0,00 ± 3,65SBB dosis 8,33 ml/kgBB 21,80 ± 1,77 -65,59 ± 9,53
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 13,80 ± 0,86 -22,58 ± 4,62SBB dosis 33,33 ml/kgBB 11,80 ± 0,86 -11,03 ± 4,87
Keterangan :X = Mean (Rata-rata)SE = Standard Error (SD/n)SBB = Sari buah belimbing
Gambar 18. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyerikelompok perlakuan
82
Dari tabel XX, dapat dilihat bahwa semakin banyak rata-rata jumlah kumulatif
geliat yang dihasilkan maka persen penghambatan dibandingkan dengan kontrol
positif semakin menurun dalam arti semakin tidak mendekati dengan persen
penghambatan yang dihasilkan oleh kontrol positif. Sebaliknya apabila rata-rata
jumlah kumulatif geliat yang dihasilkan semakin sedikit, maka persen
penghambatannya semakin mendekati nilai persen penghambatan yang dihasilkan
oleh kontrol positif sebesar 0,00%. Pada tabel XX terlihat bahwa nilai persen
perubahan penghambatan nyeri kontrol negatif sebesar -100,00 berbeda jauh dengan
nilai persen perubahan penghambatan nyeri kontrol negatif. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada kontrol negatif tidak mempunyai daya penghambatan nyeri.
Perubahan persen penghambatan nyeri sari buah belimbing terhadap kontrol
positif pada ketiga peringkat dosis berturut-turut adalah -65,59; -22,58; dan -11,03.
Dosis yang paling mendekati nilai nilai persen penghambatan yang dihasilkan oleh
kontrol positif adalah dosis 33,33 ml/kgBB, artinya dosis ini memiliki kemampuan
penghambatan nyeri yang hampir sama dengan kontrol positif. Sedangkan pada dosis
16,67 ml/kgBB memiliki kemampuan penghambatan nyeri namun lebih lemah
daripada dosis 33,33 ml/kgBB.
Daya analgesik sari buah belimbing mungkin berkaitan dengan adanya
senyawa-senyawa antioksidan yang terkandung di dalam buah belimbing. Seperti
telah diungkapkan sebelumnya, diketahui bahwa belimbing memiliki senyawa
antioksidan flavonoid katekin. Antioksidan ini berfungsi sebagai penangkap radikal
bebas.
83
Radikal bebas yang berlebih dalam tubuh dan tidak dapat dinetralkan oleh
antioksidan alamiah tubuh yang jumlahnya terbatas (glutathione-peroxydase,
superoxide-dismutase, katalase). Radikal bebas ini dapat menyebabkan rusaknya
jaringan yang nantinya akan menimbulkan rasa nyeri. Saat asam asetat diinjeksikan
pada tubuh mencit secara intaperitonial, asam asetat ini akan memicu pelepasan
mediator-mediator nyeri. Mediator-mediator nyeri ini terbentuk dari endoperoksida
yang berasal dari asam arakhidonat dengan bantuan enzim COX. Radikal bebas akan
terbentuk ketika asam arakhidonat diubah menjadi peroksida dengan bantuan enzim
COX (Tjay dan Rahardja, 2002). Oleh karena itu dibutuhkan asupan antioksidan dari
luar untuk mengatasi radikal bebas yang terbentuk akibat injeksi asam asetat karena
dengan keberadaan radikal bebas ini memacu terbentuknya prostaglandin yang dapat
meningkatkan sensitivitas nosiseptor.
E. Perbandingan Profil Parasetamol dengan Sari Buah Belimbing
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sari buah belimbing mempunyai daya
analgesik (daya hambat nyeri). Berikut ini adalah perbandingan profil parasetamol
dengan sari buah belimbing.
84
Gambar 19. Grafik profil kelompok perlakuan sari buah belimbing danparasetamol
SBB = Sari buah belimbing, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya.
Dari gambar 19, dapat diketahui apabila terdapat perbedaan antara profil
kelompok perlakuan sari buah belimbing dengan parasetamol. Pada kelompok
perlakuan sari buah belimbing terlihat bahwa jumlah geliat paling banyak pada range
waktu 10-25 menit setelah pemberian asam asetat, yang pada menit ke-15 mengalami
penurunan. Kemudian mengalami kenaikan lagi pada menit ke-25 dan setelah 25
menit mengalami penurunan sampai menit ke-60. Sedangkan pada parasetamol
puncak baru terjadi pada menit ke-10 setelah pemberian asam asetat, kemudian
setelah 10 menit terjadi penurunan sampai menit ke-60.
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa katekin yang terkandung dalam sari
buah belimbing memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda dengan
parasetamol meskipun menghambat pada jalur atau tempat yang sama. Kemungkinan
00,5
11,5
22,5
33,5
44,5
5
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Rat
a-ra
tage
liat
Waktu (menit)
Profil Geliat Kelompok Perlakuan
Parasetamol 91 mg/kgBB SBB 8,33 ml/kgBB
SBB 16,67 ml/kgBB SBB 33,33 ml/kgBB
85
hal ini disebabkan oleh sifat fisika kimia yang berbeda dari katekin dan parasetamol
ataupun afinitas reseptor yang berbeda sehingga profil sari buah belimbing dengan
parasetamol menjadi berbeda.
F. Perbandingan Daya Anti-inflamasi dan Analgesik Sari Buah Belimbing
Perbandingan hasil uji daya anti-inflamasi dan proteksi nyeri ditampilkan
pada tabel XXI.
Tabel XXI. Hasil uji daya anti-inflamasi dan proteksi nyeri sari buah belimbingKelompok uji % Daya anti-inflamasi % Proteksi nyeri
SBB dosis 8,33 ml/kgBB 7,78 22,69SBB dosis 16,67 ml/kgBB 3,50 51,06SBB dosis 33,33 ml/kgBB 51,51 57,56
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
Pada saat terjadi peradangan, sel-sel fagosit (neutrofil, monosit, makrofag, dan
eusinofil) akan melepaskan berbagai zat kimia (mediator inflamasi). Sehingga pada
saat sel fagosit teraktifkan, diproduksi pula radikal superoksida yang mampu
membangkitkan H2O2 melalui reaksi enzimatis maupun non enzimatis. Selanjutnya,
H2O2 dapat berinteraksi dengan ion besi, menghasilkan radikal hidroksil yang lebih
reaktif menuju ke peroksida lipid. Diduga adanya kemampuan menangkap radikal
bebas oleh katekin yang terkandung pada sari buah belimbing menyebabkan sari buah
belimbing memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik.
86
Gambar 20. Diagram Batang Perbandingan Daya Anti-inflamasi dan Analgesik SariBuah Belimbing pada Berbagai Peringkat Dosis
Pada tabel XXI, diketahui bahwa sari buah belimbing sebagai anti-inflamasi
maupun analgesik terdapat perbedaan dalam menghasilkan daya anti-inflamasi dan
proteksi geliat yang efektif. Pada dosis 16,67 ml/kgBB bisa dikatakan % daya anti-
inflamasinya sangat rendah, namun memiliki % proteksi nyeri yang cukup bagus.
Selain itu, pada dosis 16,67 ml/kgBB % daya anti-inflamasinya lebih rendah
dibandingkan dengan dosis 8,83 ml/kgBB, hal ini mungkin dikarenakan oleh adanya
variansi hewan uji yang cukup besar sehingga mempengaruhi hasil data. Pada dosis
33,33 ml/kgBB yang memiliki % daya anti-inflamasi dan % proteksi nyeri yang
87
bagus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dosis 33,33 ml/kgBB memiliki daya
anti-inflamasi dan daya analgesik yang optimal. Sebagai tambahan, untuk
membandingkan daya anti-inflamasi dan daya analgesik sari buah belimbing
diperlukan kontrol positif yang sama, sehingga nantinya diharapkan hasil yang
diperoleh dapat diketahui korelasi antara daya anti-inflamasi dengan daya analgesik
sari buah belimbing. Dari diagram batang di atas, belum dapat disimpulkan apakah
sari buah belimbing yang memiliki daya anti-inflamasi yang baik juga memiliki daya
analgesik yang baik. Hal ini disebabkan karena digunakan kontrol positif yang
berbeda pada saat pengujian, pada uji daya anti-inflamasi digunakan kontrok positif
kalium diklofenak, sedangkan pada uji daya analgesik digunakan kontrol positif
parasetamol.
Kontrol positif yang mungkin digunakan untuk membandingkan antara daya
anti-inflamasi dengan daya analgesik adalah asetosal. Asetosal atau aspirin adalah
analgetika antipiretika dan anti-inflamasi yang sangat luas banyak digunakan dan
digolongkan dalam obat bebas. Dosis anti-inflamasi asetosal terletak 2-3 kali lebih
tinggi daripada dosis analgetiknya.
88
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Sari buah buah belimbing mempunyai efek anti-inflamasi pada dosis 33,33
ml/kgBB sebesar 51,51%, dan analgesik pada dosis 16,67 ml/kgBB; 33,33
ml/kgBB masing-masing sebesar 51,06 dan 57,56%.
2. Daya anti-inflamasi sari buah belimbing pada dosis 8,33 ml/kgBB; 16,67
ml/kgBB; dan 33,33 ml/kgBB berturut-turut adalah 7,78%; 3,50%; dan
51,51%, sedangkan daya analgesiknya berturut-turut adalah 22,69%; 51,06;
dan 57,56%.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, perlu dilakukan penelitian tentang :
1. Penelitian mengenai toksisitas akut dari sari buah belimbing dalam berbagai
peringkat dosis.
2. Penelitian mengenai pengaruh lama masa dan frekuensi pemberian sari buah
belimbing terhadap daya anti-inflamasi dan analgesik.
89
DAFTAR PUSTAKA
Andreanus, A.S., Rianti, A., Padmawinata, K., Pengujian Beberapa Efek FarmakologiBuah Averrhoa carambola Linn pada Hewan Percobaan, Skripsi, SekolahFarmasi ITB, ITB.
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi III, 37, Departemen Kesehatan RepublikIndonesia, Jakarta.
Anonim, 1991, Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik ,259, Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Pytomedika, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, 45-46, Departemen KesehatanRepublik Indonesia, Jakarta.
Backer, C.A., dan Bakhuizen van den Brink, R.C., 1965, Flora of Java, volume III,N.V.P., Noordhorff, Groningen, Netherlands.
Baumann T.J., 2005, Pain Management, dalam Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C.,Matzke G.R., Wells B.G., Posey L.M., (Eds), Pharmacotherapy : APathophysiologic Approach, 6th edition, 1089-1091, Appleton & Lange,United States of America.
Conner, E.M., and Grisham, M.B., (Abstract), 1996, Inflammation, Free Radicals andAntioxidants, Nutrition, 12: 274
Denko CW, 1992, A Role of Neuropeptide in Inflammation, In : Whicher, J. T. andEvan S. W, Biochemistry of Inflammation, 177-181, Kluwer Pub, London.
Gryglewski, R.J., 1977, Some Experimental Models for the Study of Inflammationand Anti-Inflammatory Drugs, in I. L. Bonta, J. Thomson, and K. Brune,Inflammation: Mechanism and Their Impact on Therapy, p 19-21,Birkhaueser Verlag Basel, Rotterdam.
Guyton, A.C., dan Hall, 1996, Text book of Medical Physiology, diterjemahkan olehTengadi, I., santosa, A., edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Haryanto, 2009, Ensiklopedi Tanaman Obat Indonesia, 60, Palmall, Yogyakarta.
Jain, N.K., Patil, C.S., Singh, A., and Kulkarni, S.K., 2001, A Simple Technique toEvaluate Inflammatory Pain Along With Anti-Inflammatory Studies InCarrageenan-Induced Paw Edema, Indian Journal of Pharmacology, 33,114-115.
90
Kartasasmita, R.E., 2002, Perkembangan Obat Antiradang Bukan Steroid, ActaPharmaceutica Indonesia, 27(4), 76-88.
Katzung, B.G., 2002, Basic and Clinical Pharmacology, diterjemahkan oleh BagianFarmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Edisi 8, Buku 3,hal. 449- 462,637, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Kee, J.L. and Hayes, E.R., 1996, Pharmacology: A Nursing Process Approach,diterjemhkan oleh Peter Anugrah, 1st Edition, 310-321, Penerbit EGC,Jakarta.
Kusuma, A.D., 2003, Daya Analgesik Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.)Pada Mencit Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,Yogyakarta.
Langford, F.D., Holmes, P.A., and Emele, J.F., 1972, Objective Methods forEvaluation of Analgesic/Anti Inflammatory Activity, J. Pharm. Sci., 61(1),75-77.
Mahattanatawee, K., Mantey, J.A., Luzio, G., Talcott, S.T., Goodner, K., andBaldwin, E.A., Total Antioxidant Activity and Fiber Content of SelectFlorida-Grown Tropical Fruits, J. Agric Food Chem., 54, 7355-7363.
Maryanto, 1997, Daya Anti-inflamasi Infus Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata Pers)Pada Tikus Putihh Jantan, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas GadjahMada, Yogyakarta.
Masjoer, M., 2002, Peran Analgesik dan Antiinflamasi Non steroid pada KasusInflamasi, dalam Penggunaan Analgesik dan Antiinflamasi NonSteroidSecara Rasional, Edisi pertama, 43-50, Bagian Farmakologi danToksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Maya, S., 2008, Daya Antioksidan Ekstrak Etanol 96% Buah Belimbing (Averrhoacarambola L.) Dengan Metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH),Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Middletor Jr.,E., dan Kandaswarni, C., 1994, The Impact of Plant Flavonoid onMammalian Biology Implication for Immunity, Inflamation and Cancer,The Flavonoids, Advances in Research Since 1986, editor Harborne, J.B.,p.622, 645, Champman and Hall, CRC press, United States of America.
91
Mutschler, E, 1986, Arzneimittewwirkungen, diterjemahkan oleh Widianto, M.B. danRanti, A.S., dalam Dinamika Obat, edisi IV, 177-183, 193-197, PenerbitITB, Bandung.
Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi ke-5, 205, Penerbit Institut TeknologiBandung, Bandung.
Mutshcler, E., 1999, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widianto, M. B. dan Ranti,A. S., 177-193, Penerbit ITB, Bandung.
Mycek, M.,J., Harvey, R.A., and Champe, P.C., 2001, Lippincott’s illustrated Review: Pharmacology, Editor dr. Huriawati Hartanto, edisi 2, 405-414, WidyaMedika, Jakarta.
Neal, M.J., 2006, Medical Pharmacology at a Glance, Edisi Kelima, 70-71,Blackwell Science, London.
Pizzorno, J., 1998, Total Wellness Sehat dan Bebas Penyakit, 232-258, ProfesionalBooks, Jakarta.
Price, S.A. and Wilson, L.N., 1992, Patophysiology, dierjemahkan oleh PeterAnugerah, Edisi 4, Buku I, 36-57, EGC, Jakarta.
Rainsford, 1984, Aspirin and The Salicylates, 32-108, Butterworths, London.
Rang, H. P., Dale, M. M., Ritter, J. M., and Moore P.K., 2003, Pharmacology, 5th
edition, 217-233, 562, Churchill Livingstone, USA.
Roberts, L.J., and Morrow, J.D., 2001, Analgesic-Antipyretic and AntiinflamatoryAgents an Drug Employed inYhe Treatment of Gout, PharmacologycalBasis of Therapeutics, Editor Joel G. Hardman and Lee E., Limburd,Consulting editor Alfere Goodman Gilman, 10th edition, p. 703-705, TheMcGraw-Hill Companies Inc, United States of America.
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi , Edisi Keenam, 191-193,Penerbit ITB, Bandung.
Sander, A., 2003, Atlas Patologi Anatomi, Jilid 1, 12-13, UMM Press, Malang.
Soedibyo, 1998, Alam Sumber Kesehatan Manfaat dan Kegunaan, 79-80, BalaiPustaka, Jakarta.
92
Steenis, C.G.G.J., 1947, Flora untuk Sekolah di Indonesia, 235-236, PradnyaParamita, Jakarta.
Sukadana, IM., 2009, Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid Dari BuahBelimbing Manis (Averrhoa carambola Linn. L), Jurnal Kimia, 3(2), 109-116.
Susanti, D., 2010, Uji Efek Antiinflamasi Dan Analgesik Jus Buah Belimbing
(Averrhoa carambola L.) Pada Mencit Putih Betina Galur Swiss, Sripsi,
Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting : Khasiat Penggunaan danEfek-Efek Sampingnya, Edisi V, Cetakan ke-2, 295-310, DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Turner, R.A., 1965, Screening Method in Pharmacology, 100-107, Academic Press,New York.
Utami, E. B., 2002, Daya Analgesik Ekstrak Etanol Daun Sere (Cymbopon nardus(L.) Rendle) pada Mencit Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi,Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Vogel, H.G., 2002, Drug Discovery & Evaluation : Pharmacological Assays, 2nd
Edition, p 669-691, 725, 751-761, Springer, New York.
Watson R.R., 2001, Vegetables, Fruits, and Herbs in Health Promotion, 105, CRCPres, New York.
Wibowo, S. dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi dalam Neurologi, Edisi I, 113-115,Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Wijoyo, Y., 2001, Antaraksi Sari Wortel (Daucus carota L.) – Parasetamol: Kajianterhadap Kehepatoksikan dan Kinerja Toksikinetika Parasetamol padaTikus, Tesis, Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Williamson, E.,M., Okpako, D.T., dan Evans, F.J., 1996, Selection, Preparation, andPharmacologycaly Evaluation of Plant Material, volume 1, 131-137, JohnWilley and Sons, New York.
93
Wilmana, P.F., 1995, Analgesik Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Pirai dalamGaniswara, S. G., 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 207-212,Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Wiryowidagdo, S., dan Sitanggang, M., 2002, Tanaman Obat untuk PenyakitJantung, Darah Tinggi, dan Kolesterol, AgroMedia Pustaka, Jakarta.
94
Lampiran 1. Keterangan determinasi buah belimbing
95
Lampiran 2. Foto buah belimbing
Lampiran 3. Potongan buah belimbing
Lampiran 4. Foto juice extractor
96
Lampiran 5. Foto sari buah belimbing
Lampiran 6. Foto geliat mencit yang memenuhi syarat
97
Lampiran 7. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksikaragenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis statistiknya
Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada rentang waktu (jam)
setelah diinjeksi karagenin 1% subplantar
Waktu
pemotongan
1 jam
Waktu
pemotongan 2
jam
Waktu
pemotongan 3
jam
Waktu
pemotongan
4 jam
1. Kaki Kiri 330,0 313,5 360,0 289,9
Kaki Kanan 206,0 193,8 204,7 168,7
Udema (mg) 124,0 119,7 155,3 121,2
2. Kaki Kiri 325,2 307,0 381,2 276,1
Kaki Kanan 199,4 186,8 224,7 168,8
Udema (mg) 125,8 120,2 156,5 107,3
3. Kaki Kiri 324,0 290,6 335,7 292,6
Kaki Kanan 200,2 189,2 184,9 180,2
Udema (mg) 123,8 101,4 150,8 112,4
Mean udema
(mg) + SE
124,53 + 0,64 113,70 + 6,19 154,20 + 1,73 113,63 + 4,06
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
udem 12 126.5333 18.20446 101.40 156.50
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
udem
N 12
Normal Parametersa,,b Mean 126.5333
Std. Deviation 18.20446
Most Extreme Differences Absolute .266
Positive .266
Negative -.159Kolmogorov -Smirnov Z .922
Asymp. Sig. (2- tailed) .363
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
98
OnewayDescriptives
Udem
N MeanStd.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Minimum MaximumLower Bound Upper Bound
1 jam 3 124.5333 1.10151 .63596 121.7970 127.2696 123.80 125.80
2 jam 3 113.7667 10.71276 6.18502 87.1547 140.3787 101.40 120.20
3 jam 3 154.2000 3.00500 1.73494 146.7352 161.6648 150.80 156.50
4 jam 3 113.6333 7.03160 4.05969 96.1659 131.1008 107.30 121.20
Total 12 126.5333 18.20446 5.25518 114.9668 138.0999 101.40 156.50
ANOVA
Udem
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3296.527 3 1098.842 25.196 .000
Within Groups 348.900 8 43.612
Total 3645.427 11
Post Hoc TestsMultiple Comparisons
udemScheffe
(I)waktu_pemotongan
(J)waktu_pemotongan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 jam 2 jam 10.76667 5.39212 .331 -8.0661 29.5994
3 jam -29.66667* 5.39212 .004 -48.4994 -10.8339
4 jam 10.90000 5.39212 .322 -7.9328 29.7328
2 jam 1 jam -10.76667 5.39212 .331 -29.5994 8.0661
3 jam -40.43333* 5.39212 .001 -59.2661 -21.6006
4 jam .13333 5.39212 1.000 -18.6994 18.9661
3 jam 1 jam 29.66667* 5.39212 .004 10.8339 48.4994
2 jam 40.43333* 5.39212 .001 21.6006 59.2661
4 jam 40.56667* 5.39212 .001 21.7339 59.3994
4 jam 1 jam -10.90000 5.39212 .322 -29.7328 7.9328
2 jam -.13333 5.39212 1.000 -18.9661 18.6994
3 jam -40.56667* 5.39212 .001 -59.3994 -21.7339
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous SubsetsUdem
Scheffea
waktu_pemotongan N
Subset for alpha = 0.05
1 2
4 jam 3 113.6333
2 jam 3 113.7667
1 jam 3 124.5333
3 jam 3 154.2000Sig. .322 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
99
Lampiran 8. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu pemberiandiklofenak dan hasil analisis statistiknya
Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada rentang waktu (menit)
setelah diberikan diklofenak 4,48 mg/kgBB
Waktu
pemberian
15 menit
Waktu
pemberian 30
menit
Waktu
pemberian 45
menit
Waktu
pemberian
60 menit
1. Kaki Kiri 251,7 242,7 246,4 253,8
Kaki Kanan 200,6 165,8 175,2 188,7
Udema (mg) 51,1 76,9 71,2 65,1
2. Kaki Kiri 259,2 218,5 235,7 250,9
Kaki Kanan 196,8 145,0 168,9 184,9
Udema (mg) 62,4 73,5 66,8 66,0
3. Kaki Kiri 253,8 249,7 254,9 228,9
Kaki Kanan 200,8 176,0 185,2 158,1
Udema (mg) 53,0 73,7 69,7 70,8
Mean udema (mg)
+ SE
55,50 + 3,49 74,70 + 1,10 69,23 + 1,29 67,3 + 1,77
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
udem 12 66.6833 7.96547 51.10 76.90
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Udem
N 12Normal Parametersa,,b Mean 66.6833
Std. Deviation 7.96547
Most Extreme Differences Absolute .171
Positive .124Negative -.171
Kolmogorov -Smirnov Z .593
Asymp. Sig. (2- tailed) .873
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
100
OnewayDescriptives
Udem
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Minimum MaximumLower Bound Upper Bound
15 menit 3 55.5000 6.05062 3.49333 40.4694 70.5306 51.10 62.40
30 menit 3 74.7000 1.90788 1.10151 69.9606 79.4394 73.50 76.90
45 menit 3 69.2333 2.23681 1.29142 63.6768 74.7899 66.80 71.2060 menit 3 67.3000 3.06431 1.76918 59.6878 74.9122 65.10 70.80
Total 12 66.6833 7.96547 2.29943 61.6223 71.7444 51.10 76.90
ANOVA
Udem
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 588.650 3 196.217 14.363 .001
Within Groups 109.287 8 13.661
Total 697.937 11
Post Hoc TestsMultiple Comparisons
udemScheffe
(I)waktu_pemberian_diklofenak
(J)waktu_pemberian_diklofenak
MeanDifference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
15 menit 30 menit -19.20000 * 3.01782 .002 -29.7402 -8.6598
45 menit -13.73333 * 3.01782 .013 -24.2735 -3.1932
60 menit -11.80000 * 3.01782 .029 -22.3402 -1.2598
30 menit 15 menit 19.20000 * 3.01782 .002 8.6598 29.7402
45 menit 5.46667 3.01782 .406 -5.0735 16.0068
60 menit 7.40000 3.01782 .192 -3.1402 17.9402
45 menit 15 menit 13.73333 * 3.01782 .013 3.1932 24.2735
30 menit -5.46667 3.01782 .406 -16.0068 5.0735
60 menit 1.93333 3.01782 .935 -8.6068 12.4735
60 menit 15 menit 11.80000 * 3.01782 .029 1.2598 22.3402
30 menit -7.40000 3.01782 .192 -17.9402 3.1402
45 menit -1.93333 3.01782 .935 -12.4735 8.6068
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.Homogeneous Subsets
udem
Scheffea
waktu_pemberian_diklofenak N
Subset for alpha = 0.05
1 2
15 menit 3 55.5000
60 menit 3 67.3000
45 menit 3 69.2333
30 menit 3 74.7000Sig. 1.000 .192
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
101
Lampiran 9. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenakdan hasil analisis statistiknya
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
udem 9 69.5667 8.08981 58.00 82.60
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
udem
N 9Normal Parametersa,,b Mean 69.5667
Std. Deviation 8.08981
Most Extreme Differences Absolute .149
Positive .132
Negative -.149Kolmogorov -Smirnov Z .446
Asymp. Sig. (2- tailed) .989
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada pemberian diklofenak 3
peringkat dosis
Dosis 3,36 mg/kgBB Dosis 4,48 mg/kgBB Dosis 5,6 mg/kgBB
1. Kaki Kiri 268,4 258,1 265,7
Kaki Kanan 191,8 198,1 193,4
Udema (mg) 76,6 60,0 72,3
2. Kaki Kiri 277,2 252,7 252,4
Kaki Kanan 194,6 194,7 183,2
Udema (mg) 82,6 58,0 69,2
3. Kaki Kiri 258,6 261,5 268,3
Kaki Kanan 184,0 198,7 198,3
Udema (mg) 74,6 62,8 70,0
Mean udema (mg) +
SE
77,93 + 2,40 60,27 + 1,38 70,50 + 0,93
102
OnewayDescriptives
Udem
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Minimum MaximumLower Bound Upper Bound
3.36 mg/kg BB 3 77.9333 4.16333 2.40370 67.5910 88.2756 74.60 82.60
4.48 mg/kg BB 3 60.2667 2.41109 1.39204 54.2772 66.2561 58.00 62.805.6 mg/kg BB 3 70.5000 1.60935 .92916 66.5022 74.4978 69.20 72.30
Total 9 69.5667 8.08981 2.69660 63.3483 75.7850 58.00 82.60
ANOVA
Udem
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 472.087 2 236.043 27.514 .001
Within Groups 51.473 6 8.579Total 523.560 8
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
udemScheffe
(I) dosis_diklofenak(J)dosis_diklofenak
Mean Difference(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
3.36 mg/kg BB 4.48 mg/kg BB 17.66667* 2.39150 .001 9.9965 25.3368
5.6 mg/kg BB 7.43333 2.39150 .056 - .2368 15.1035
4.48 mg/kg BB 3.36 mg/kg BB -17.66667* 2.39150 .001 -25.3368 -9.9965
5.6 mg/kg BB -10.23333* 2.39150 .015 -17.9035 -2.5632
5.6 mg/kg BB 3.36 mg/kg BB -7.43333 2.39150 .056 -15.1035 .2368
4.48 mg/kg BB 10.23333* 2.39150 .015 2.5632 17.9035
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsetsudem
Scheffea
dosis_diklofenak N
Subset for alpha = 0.05
1 2
4.48 mg/kg BB 3 60.2667
5.6 mg/kg BB 3 70.50003.36 mg/kg BB 3 77.9333
Sig. 1.000 .056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
103
Lampiran 10. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat berserta hasilanalisis statistiknya
Menit Dosis 25
mg/kgBB
Dosis 50
mg/kgBB
Dosis 75
mg/kgBB
Dosis 100
mg/kgBB
I II III I II III I II III I II III
5 0 0 2 0 0 0 0 1 0 2 1 1
10 0 2 7 1 9 3 9 14 9 7 14 17
15 6 5 4 7 8 8 11 13 12 18 12 15
20 10 9 7 8 4 6 11 11 11 9 8 4
25 2 6 2 9 5 4 8 7 6 11 5 5
30 1 1 1 1 7 7 4 3 4 2 5 8
35 2 1 2 1 1 2 2 2 2 8 7 8
40 1 2 0 2 1 1 1 2 0 4 4 4
45 0 0 2 2 1 0 1 0 2 4 3 5
50 1 1 0 2 1 2 1 0 1 5 5 4
55 0 0 0 0 0 0 1 0 1 5 4 4
60 0 0 0 0 0 1 0 0 0 4 2 1
23 27 25 33 37 34 49 53 47 78 71 76
104
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Geliat12 46.0833 19.84695 23.00
78.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Geliat
N 12
Normal Parametersa,,b Mean 46.0833
Std. Deviation 19.84695Most Extreme Differences Absolute .176
Positive .176
Negative -.145
Kolmogorov -Smirnov Z .611Asymp. Sig. (2- tailed) .849
a. Test distribution is Normal.b. Calculated from data.
Oneway
Descriptives
Geliat
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Min MaxLower Bound Upper Bound
Dosis 25mg/kgBB 3 25.0000 2.00000 1.15470 20.0317 29.9683 23.00 27.00
Dosis 50mg/kgBB 3 34.6667 2.08167 1.20185 29.4955 39.8378 33.00 37.00
Dosis 75mg/kgBB 3 49.6667 3.05505 1.76383 42.0775 57.2558 47.00 53.00
Dosis 100mg/kgBB 3 75.0000 3.60555 2.08167 66.0433 83.9567 71.00 78.00Total 12 46.0833 19.84695 5.72932 33.4732 58.6935 23.00 78.00
ANOVA
Geliat
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 4271.583 3 1423.861 185.721 .000
Within Groups 61.333 8 7.667
Total 4332.917 11
105
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
GeliatScheffe
(I) dosis_AsamAsetat (J) dosis_AsamAsetatMean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Dosis 25mg/kgBB Dosis 50mg/kgBB -9.66667 * 2.26078 .018 -17.5627 -1.7706
Dosis 75mg/kgBB -24.66667* 2.26078 .000 -32.5627 -16.7706
Dosis 100mg/kgBB -50.00000* 2.26078 .000 -57.8961 -42.1039
Dosis 50mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 9.66667* 2.26078 .018 1.7706 17.5627
Dosis 75mg/kgBB -15.00000* 2.26078 .001 -22.8961 -7.1039
Dosis 100mg/kgBB -40.33333* 2.26078 .000 -48.2294 -32.4373
Dosis 75mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 24.66667 * 2.26078 .000 16.7706 32.5627
Dosis 50mg/kgBB 15.00000 * 2.26078 .001 7.1039 22.8961
Dosis 100mg/kgBB -25.33333* 2.26078 .000 -33.2294 -17.4373
Dosis 100mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 50.00000 * 2.26078 .000 42.1039 57.8961
Dosis 50mg/kgBB 40.33333 * 2.26078 .000 32.4373 48.2294
Dosis 75mg/kgBB 25.33333 * 2.26078 .000 17.4373 33.2294
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous SubsetsGeliat
Scheffea
Penetapan_dosis_AsamAsetat N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Dosis 25mg/kgBB 3 25.0000
Dosis 50mg/kgBB 3 34.6667
Dosis 75mg/kgBB 3 49.6667
Dosis 100mg/kgBB 3 75.0000Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
106
Lampiran 11. Data jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asamasetat dan hasil analisis statistiknya
Menit Waktu pemberian
5 menit
Waktu pemberian
10 menit
Waktu pemberian
15 menit
I II III I II III I II III
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 4 4 8 0 0 1 0 0 2
15 5 7 3 0 2 0 2 2 4
20 8 5 1 2 7 2 2 3 4
25 6 3 8 5 4 5 1 3 3
30 2 3 4 5 3 4 4 1 1
35 2 2 4 3 3 1 0 1 0
40 2 3 2 4 3 5 2 0 1
45 3 1 2 3 3 3 3 3 0
50 3 3 1 2 3 1 2 1 0
55 1 2 2 4 3 2 1 0 0
60 1 0 0 0 3 3 0 0 0
37 33 35 28 31 27 17 14 15
107
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Geliat 9 26.3333 8.84590 14.00 37.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
geliat
N 9Normal Parametersa,,b Mean 26.3333
Std. Deviation 8.84590
Most Extreme Differences Absolute .197
Positive .188Negative -.197
Kolmogorov -Smirnov Z .590
Asymp. Sig. (2- tailed) .877
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
OnewayDescriptives
Geliat
N MeanStd.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Min MaxLower Bound Upper Bound
5 menit 3 35.0000 2.00000 1.15470 30.0317 39.9683 33.00 37.00
10 menit 3 28.6667 2.08167 1.20185 23.4955 33.8378 27.00 31.00
15 menit 3 15.3333 1.52753 .88192 11.5388 19.1279 14.00 17.00
Total 9 26.3333 8.84590 2.94863 19.5338 33.1329 14.00 37.00
ANOVAGeliat
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 604.667 2 302.333 85.031 .000
Within Groups 21.333 6 3.556
Total 626.000 8
108
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
geliatScheffe
(I) waktu (J) waktu Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
5 menit 10 menit 6.33333* 1.53960 .018 1.3954 11.2712
15 menit 19.66667* 1.53960 .000 14.7288 24.6046
10 menit 5 menit -6.33333* 1.53960 .018 -11.2712 -1.3954
15 menit 13.33333* 1.53960 .000 8.3954 18.2712
15 menit 5 menit -19.66667* 1.53960 .000 -24.6046 -14.7288
10 menit -13.33333* 1.53960 .000 -18.2712 -8.3954
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous SubsetsGeliat
Scheffea
Waktu N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
15 menit 3 15.3333
10 menit 3 28.66675 menit 3 35.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
109
Lampiran 12. Data jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol dan hasilanalisis statistiknya
Menit Dosis 68,25
mg/kgBB
Dosis 91
mg/kgBB
Dosis 113,75
mg/kgBB
I II III I II III I II III
5 0 0 1 0 0 0 0 0 0
10 5 5 8 0 1 1 3 0 0
15 4 3 3 3 1 2 2 3 2
20 0 0 2 3 2 1 2 2 2
25 1 2 3 0 1 1 0 0 1
30 3 3 0 0 1 0 0 0 1
35 0 0 0 2 0 1 1 1 0
40 1 0 0 0 0 0 0 1 0
45 0 2 0 1 0 1 2 1 0
50 0 0 0 2 2 2 0 2 0
55 0 0 0 0 0 0 1 0 0
60 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 15 17 10 8 6 11 10 7
110
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Geliat2 9 10.8889 3.75648 6.00 17.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Geliat2
N 9
Normal Parametersa,,b Mean 10.8889
Std. Deviation 3.75648
Most Extreme Differences Absolute .155
Positive .155Negative -.130
Kolmogorov -Smirnov Z .465
Asymp. Sig. (2- tailed) .982
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
OnewayDescriptives
Geliat2
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Min MaxLower Bound Upper Bound
Dosis 68,25mg/kgBB 3 15.3333 1.52753 .88192 11.5388 19.1279 14.00 17.00
Dosis 91mg/kgBb 3 8.0000 2.00000 1.15470 3.0317 12.9683 6.00 10.00
Dosis 113,75 mg/kgBB 3 9.3333 2.08167 1.20185 4.1622 14.5045 7.00 11.00Total 9 10.8889 3.75648 1.25216 8.0014 13.7764 6.00 17.00
ANOVAGeliat2
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 91.556 2 45.778 12.875 .007
Within Groups 21.333 6 3.556Total 112.889 8
111
Post Hoc TestsMultiple Comparisons
Geliat2Scheffe
(I) Dosis_parasetamol (J) Dosis_parasetamolMean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Dosis 68,25mg/kgBB Dosis 91mg/kgBb 7.33333* 1.53960 .009 2.3954 12.2712
Dosis 113,75 mg/kgBB 6.00000* 1.53960 .023 1.0621 10.9379
Dosis 91mg/kgBb Dosis 68,26mg/kgBB -7.33333* 1.53960 .009 -12.2712 -2.3954
Dosis 113,75 mg/kgBB -1.33333 1.53960 .702 -6.2712 3.6046
Dosis 113,75 mg/kgBB Dosis 68,26mg/kgBB -6.00000* 1.53960 .023 -10.9379 -1.0621
Dosis 91mg/kgBb 1.33333 1.53960 .702 -3.6046 6.2712
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Geliat2
Scheffea
Dosis_parasetamol N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Dosis 91mg/kgBb 3 8.0000Dosis 113,75 mg/kgBB 3 9.3333
Dosis 68,25mg/kgBB 3 15.3333
Sig. .702 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
112
Lampiran 13. Data bobot udema kaki mencit hasil uji efek anti-inflamasi danhasil analisis statistiknya
Perlakuan replikasi kaki kiri (mg) kaki kanan (mg) Udema (mg)
Kontrolnegatif
1 308,3 163,8 144,52 324,5 175,7 148,83 315 154,8 160,24 319,4 172,5 146,95 301,3 162,6 138,7Mean udema (mg) + SE 147,82 + 3,53
Kontrolkaragenin
1 319,6 174,3 145,32 324,2 165,7 158,53 330,1 169,4 160,74 309,1 176,5 152,65 342,9 198,7 144,2Mean udema (mg) + SE 152,26 + 3,34
Kontrolpositif
1 227,6 158,3 69,32 241,1 176,4 64,73 228 167,3 60,74 213,8 155,2 58,65 235,4 175,6 59,8Mean udema (mg) + SE 62,62 + 1,96
SBB 8,33
1 310,1 168,6 141,52 315,1 175,3 139,83 327 189,2 137,84 316,1 172,6 143,55 307,7 168,5 139,2Mean udema (mg) + SE 140,36 + 0,98
SBB 16,67
1 326,6 183,5 143,12 333,5 174,1 159,43 317 169,8 147,24 316,4 176,6 139,85 319,8 174,9 144,9Mean udema (mg) + SE 146,88 + 3,36
SBB 33,33
1 243,8 169,3 74,52 265,9 188,7 77,23 252,7 177,6 75,14 252,1 182,2 69,95 239,6 167,3 72,3Mean udema (mg) + SE 73,80 + 1,25
113
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Udema 30 120.6233 38.37517 58.60 160.70
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
udema
N 30
Normal Parametersa,,b Mean 120.6233
Std. Deviation 38.37517
Most Extreme Differences Absolute .339
Positive .204Negative -.339
Kolmogorov -Smirnov Z 1.859
Asymp. Sig. (2- tailed) .002
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
OnewayDescriptives
Udema
N MeanStd.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Min MaxLower Bound Upper Bound
kontrol negatif 5 147.8200 7.89411 3.53035 138.0182 157.6218 138.70 160.20
kontrol karagenin 5 152.2600 7.47817 3.34434 142.9746 161.5454 144.20 160.70
kontrol positif 5 62.6200 4.38030 1.95893 57.1811 68.0589 58.60 69.30
SBB 8,33 ml/kgBB 5 140.3600 2.20068 .98417 137.6275 143.0925 137.80 143.50
SBB 16,67 ml/kgBB 5 146.8800 7.50313 3.35550 137.5636 156.1964 139.80 159.40
SBB 33,33 ml/kgBB 5 73.8000 2.79285 1.24900 70.3322 77.2678 69.90 77.20
Total 30 120.6233 38.37517 7.00632 106.2938 134.9529 58.60 160.70
ANOVAUdema
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 41881.486 5 8376.297 243.536 .000
Within Groups 825.468 24 34.394
Total 42706.954 29
114
Post Hoc TestsMultiple Comparisons
UdemaScheffe
(I) perlakuan (J) perlakuanMean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol negatif kontrol karagenin -4.44000 3.70915 .916 -17.8665 8.9865
kontrol positif 85.20000 * 3.70915 .000 71.7735 98.6265
SBB 8,33 ml/kgBB 7.46000 3.70915 .555 -5.9665 20.8865
SBB 16,67 ml/kgBB .94000 3.70915 1.000 -12.4865 14.3665
SBB 33,33 ml/kgBB 74.02000 * 3.70915 .000 60.5935 87.4465
kontrol karagenin kontrol negative 4.44000 3.70915 .916 -8.9865 17.8665
kontrol positif 89.64000 * 3.70915 .000 76.2135 103.0665
SBB 8,33 ml/kgBB 11.90000 3.70915 .106 -1.5265 25.3265
SBB 16,67 ml/kgBB 5.38000 3.70915 .830 -8.0465 18.8065
SBB 33,33 ml/kgBB 78.46000 * 3.70915 .000 65.0335 91.8865
kontrol positif kontrol negative -85.20000* 3.70915 .000 -98.6265 -71.7735
kontrol karagenin -89.64000* 3.70915 .000 -103.0665 -76.2135
SBB 8,33 ml/kgBB -77.74000* 3.70915 .000 -91.1665 -64.3135
SBB 16,67 ml/kgBB -84.26000* 3.70915 .000 -97.6865 -70.8335
SBB 33,33 ml/kgBB -11.18000 3.70915 .148 -24.6065 2.2465
SBB 8,33 ml/kgBB kontrol negative -7.46000 3.70915 .555 -20.8865 5.9665
kontrol karagenin -11.90000 3.70915 .106 -25.3265 1.5265
kontrol positif 77.74000 * 3.70915 .000 64.3135 91.1665
SBB 16,67 ml/kgBB -6.52000 3.70915 .687 -19.9465 6.9065
SBB 33,33 ml/kgBB 66.56000 * 3.70915 .000 53.1335 79.9865
SBB 16,67 ml/kgBB kontrol negative - .94000 3.70915 1.000 -14.3665 12.4865
kontrol karagenin -5.38000 3.70915 .830 -18.8065 8.0465
kontrol positif 84.26000 * 3.70915 .000 70.8335 97.6865
SBB 8,33 ml/kgBB 6.52000 3.70915 .687 -6.9065 19.9465
SBB 33,33 ml/kgBB 73.08000 * 3.70915 .000 59.6535 86.5065
SBB 33,33 ml/kgBB kontrol negative -74.02000* 3.70915 .000 -87.4465 -60.5935
kontrol karagenin -78.46000* 3.70915 .000 -91.8865 -65.0335
kontrol positif 11.18000 3.70915 .148 -2.2465 24.6065
SBB 8,33 ml/kgBB -66.56000* 3.70915 .000 -79.9865 -53.1335
SBB 16,67 ml/kgBB -73.08000* 3.70915 .000 -86.5065 -59.6535
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
115
Homogeneous SubsetsUdema
Scheffea
perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2
kontrol positif diklofenak 5 62.6200SBB dosis 33,33 ml/kgBB 5 73.8000
SBB dosis 8,33 ml/kgBB 5 140.3600
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 5 146.8800
kontrol negatif 5 147.8200kontrol karagenin 5 152.2600
Sig. .148 .106
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
Lampiran 14. Tabel % daya anti-inflamasi dan potensi relatif
Kelompok uji % Daya anti-inflamasi % Proteksi nyeriSBB dosis 8,33 ml/kgBB 7,78 22,69
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 3,50 51,06SBB dosis 33,33 ml/kgBB 51,51 57,56
Keterangan :SBB = Sari buah belimbing
Lampiran 15. Contoh cara perhitungan % daya anti-inflamasi dan potensi relatif
Contoh 1:
Rumus : % daya anti-inflamasi =
%100xU
DU
Keterangan :U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat
kaki normal (kaki kanan)D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata
berat kaki normal (kaki kanan)
116
Contoh perhitungan % daya anti-inflamasi pada perlakuan sari buah belimbing 33,33
ml/kgBB.
% daya anti-inflamasi = %1001522,0
0738,01522,0x
= 51,51%
Contoh 2:
Rumus : % potensi relatif daya anti-inflamasi =
Keterangan : DAp = % daya anti-inflamasi kelompok perlakuanDAd = % daya anti-inflamasi larutan natrium diklofenak
Contoh perhitungan % potensi relatif daya anti-inflamasi pada perlakuan sari buah
belimbing 33,33 ml/kgBB.
% potensi relatif daya anti-inflamasi = %10086,5851,51 x = 87,51 %
%100xDAdDAp
117
Lampiran 16. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis statistiknya
Menit
kontrol positif
parasetamol kontrol negatif SBB dosis 8,33 ml/kgBB SBB dosis 16,67 ml/kgBB SBB dosis 33,33 ml/kgBB
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
5 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
10 1 2 2 1 4 5 4 2 4 2 0 0 5 1 3 2 2 1 1 3 2 1 0 2 3
15 1 2 1 2 1 3 2 4 3 5 4 5 6 4 3 4 4 3 2 2 1 1 0 1 1
20 2 2 2 1 1 2 3 2 5 3 5 6 3 3 1 1 1 0 1 1 0 2 1 3 0
25 1 1 1 1 0 3 3 3 2 4 3 3 0 3 2 1 2 4 1 1 2 3 3 1 0
30 0 0 1 2 0 1 4 3 4 3 2 4 3 1 1 1 1 1 4 2 2 3 0 1 2
35 1 1 0 1 3 4 4 2 3 3 1 2 1 3 3 0 2 1 0 1 0 1 1 1 1
40 1 0 0 0 0 2 2 3 1 2 1 2 0 3 2 0 0 3 1 2 0 1 2 0 1
45 0 1 1 0 0 3 2 4 3 0 1 2 0 2 0 0 2 0 0 1 2 2 2 0 1
50 2 0 0 0 1 4 0 2 0 1 1 3 0 2 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1
55 0 0 0 1 0 0 1 2 3 2 1 1 2 0 0 3 0 0 1 2 0 0 2 0 1
60 0 1 0 0 2 2 0 1 2 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 2 0 0 0 0
Total 9 10 8 9 12 30 27 28 31 25 19 28 21 23 18 13 15 14 11 16 12 15 11 10 11
118
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
geliat 25 17.0400 7.43572 8.00 31.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
geliat
N 25
Normal Parametersa,,b Mean 17.0400
Std. Deviation 7.43572Most Extreme Differences Absolute .168
Positive .168
Negative - .112
Kolmogorov -Smirnov Z .840Asymp. Sig. (2- tailed) .480
a. Test distribution is Normal.b. Calculated from data.
OnewayDescriptives
Geliat
N MeanStd.
Deviation Std. Error
95% Confidence Intervalfor Mean
Min MaxLowerBound Upper Bound
kontrol positif parasetamol 5 9.6000 1.51658 .67823 7.7169 11.4831 8.00 12.00
kontrol negatif 5 28.2000 2.38747 1.06771 25.2356 31.1644 25.00 31.00
SBB 8,33 ml/kgBB 5 21.8000 3.96232 1.77200 16.8801 26.7199 18.00 28.00
SBB 16,67 ml/kgBB 5 13.8000 1.92354 .86023 11.4116 16.1884 11.00 16.00
SBB 33,33 ml/kgBB 5 11.8000 1.92354 .86023 9.4116 14.1884 10.00 15.00Total 25 17.0400 7.43572 1.48714 13.9707 20.1093 8.00 31.00
ANOVAGeliat
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 1202.560 4 300.640 48.334 .000Within Groups 124.400 20 6.220
Total 1326.960 24
119
Post Hoc TestsMultiple Comparisons
geliatScheffe
(I) perlakuan (J) perlakuanMean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol positifparasetamol
kontrol negatif -18.60000 * 1.57734 .000 -23.9407 -13.2593
SBB 8,33 ml/kgBB -12.20000 * 1.57734 .000 -17.5407 -6.8593
SBB 16,67 ml/kgBB -4.20000 1.57734 .174 -9.5407 1.1407
SBB 33,33 ml/kgBB -2.20000 1.57734 .746 -7.5407 3.1407
kontrol negatif kontrol positif parasetamol 18.60000 * 1.57734 .000 13.2593 23.9407
SBB 8,33 ml/kgBB 6.40000* 1.57734 .014 1.0593 11.7407
SBB 16,67 ml/kgBB 14.40000 * 1.57734 .000 9.0593 19.7407
SBB 33,33 ml/kgBB 16.40000 * 1.57734 .000 11.0593 21.7407
SBB 8,33 ml/kgBB kontrol positif parasetamol 12.20000 * 1.57734 .000 6.8593 17.5407
kontrol negatif -6.40000 * 1.57734 .014 -11.7407 -1.0593
SBB 16,67 ml/kgBB 8.00000* 1.57734 .002 2.6593 13.3407
SBB 33,33 ml/kgBB 10.00000 * 1.57734 .000 4.6593 15.3407
SBB 16,67 ml/kgBB kontrol positif parasetamol 4.20000 1.57734 .174 -1.1407 9.5407
kontrol negatif -14.40000 * 1.57734 .000 -19.7407 -9.0593
SBB 8,33 ml/kgBB -8.00000 * 1.57734 .002 -13.3407 -2.6593
SBB 33,33 ml/kgBB 2.00000 1.57734 .805 -3.3407 7.3407
SBB 33,33 ml/kgBB kontrol positif parasetamol 2.20000 1.57734 .746 -3.1407 7.5407
kontrol negatif -16.40000 * 1.57734 .000 -21.7407 -11.0593
SBB 8,33 ml/kgBB -10.00000 * 1.57734 .000 -15.3407 -4.6593
SBB 16,67 ml/kgBB -2.00000 1.57734 .805 -7.3407 3.3407
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsetsgeliat
Scheffea
perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
kontrol positif parasetamol 5 9.6000SBB 33,33 ml/kgBB 5 11.8000
SBB 16,67 ml/kgBB 5 13.8000
SBB 8,33 ml/kgBB 5 21.8000
kontrol negatif 5 28.2000
Sig. .174 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
120
Lampiran 17. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik berserta hasilanalisis statistiknya
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Persen 25 39.4548 26.28952 -9.93 71.63
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
persen
N 25
Normal Parametersa,,b Mean 39.4548
Std. Deviation 26.28952
Most Extreme Differences Absolute .170
Positive .110Negative - .170
Kolmogorov -Smirnov Z .851
Asymp. Sig. (2- tailed) .464
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
OnewayDescriptives
Persen
N MeanStd.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Min MaxLower Bound Upper Bound
kontrol positif PCT 5 65.9600 5.37725 2.40478 59.2833 72.6367 57.45 71.63
kontrol negative 5 .0020 8.46734 3.78671 -10.5116 10.5156 -9.93 11.35
SBB 8,33 ml/kgBB 5 22.6940 14.04959 6.28317 5.2491 40.1389 .71 36.17
SBB 16,67 ml/kgBB 5 51.0620 6.82050 3.05022 42.5932 59.5308 43.26 60.99SBB 33,33 ml/kgBB 5 57.5560 7.02646 3.14233 48.8315 66.2805 46.81 64.54
Total 25 39.4548 26.28952 5.25790 28.6030 50.3066 -9.93 71.63
REP
KELOMPOK PERLAKUAN
Kontrol
positif
Kontrol
negatif
Dosis I
(8,33 ml/kg BB)
Dosis II
(16,67 ml/kg BB)
Dosis III
(33,33 ml/kg BB)
I 68,09 -6,38 32,62 53,90 57,45
II 64,54 4,26 0,71 46,81 46,81
III 71,63 0,71 25,53 50,35 60,99
IV 68,09 -9,93 18,44 60.99 64,54
V 57,45 11,35 36,17 43,26 60,99
X+
SD65,96+5,38 0,00+8,47 22,69+14,05 51,06+6,82 57,56+7,03
121
ANOVAPersen
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 15011.770 4 3752.943 47.639 .000
Within Groups 1575.568 20 78.778
Total 16587.338 24
Post Hoc TestsMultiple Comparisons
PersenScheffe
(I) perlakuan (J) perlakuanMean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol positif PCT kontrol negatif 65.95800* 5.61350 .000 46.9513 84.9647
SBB 8,33 ml/kgBB 43.26600* 5.61350 .000 24.2593 62.2727
SBB 16,67 ml/kgBB 14.89800 5.61350 .176 -4.1087 33.9047
SBB 33,33 ml/kgBB 8.40400 5.61350 .694 -10.6027 27.4107
kontrol negative kontrol positif PCT -65.95800* 5.61350 .000 -84.9647 -46.9513
SBB 8,33 ml/kgBB -22.69200* 5.61350 .014 -41.6987 -3.6853
SBB 16,67 ml/kgBB -51.06000* 5.61350 .000 -70.0667 -32.0533
SBB 33,33 ml/kgBB -57.55400* 5.61350 .000 -76.5607 -38.5473
SBB 8,33 ml/kgBB kontrol positif PCT -43.26600* 5.61350 .000 -62.2727 -24.2593
kontrol negatif 22.69200* 5.61350 .014 3.6853 41.6987
SBB 16,67 ml/kgBB -28.36800* 5.61350 .002 -47.3747 -9.3613
SBB 33,33 ml/kgBB -34.86200* 5.61350 .000 -53.8687 -15.8553
SBB 16,67 ml/kgBB kontrol positif PCT -14.89800 5.61350 .176 -33.9047 4.1087
kontrol negatif 51.06000* 5.61350 .000 32.0533 70.0667
SBB 8,33 ml/kgBB 28.36800* 5.61350 .002 9.3613 47.3747
SBB 33,33 ml/kgBB -6.49400 5.61350 .851 -25.5007 12.5127
SBB 33,33 ml/kgBB kontrol positif PCT -8.40400 5.61350 .694 -27.4107 10.6027
kontrol negatif 57.55400* 5.61350 .000 38.5473 76.5607
SBB 8,33 ml/kgBB 34.86200* 5.61350 .000 15.8553 53.8687
SBB 16,67 ml/kgBB 6.49400 5.61350 .851 -12.5127 25.5007
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous SubsetsPersen
Scheffea
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
kontrol negative 5 .0020SBB 8,33 ml/kgBB 5 22.6940
SBB 16,67 ml/kgBB 5 51.0620
SBB 33,33 ml/kgBB 5 57.5560
kontrol positif PCT 5 65.9600Sig. 1.000 1.000 .176
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
122
Lampiran 18. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif pada ujiefek analgesik
NPar TestsDescriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Persen1 25 -39.8392 40.11799 -115.05 8.60
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Persen1
N 25
Normal Parametersa,,b Mean -39.8392
Std. Deviation 40.11799Most Extreme Differences Absolute .166
Positive .114
Negative -.166
Kolmogorov -Smirnov Z .831Asymp. Sig. (2- tailed) .495
a. Test distribution is Normal.b. Calculated from data.
REP
KELOMPOK PERLAKUAN
Kontrol
positif
Kontrol
negatif
Dosis I
(8,33 ml/kg BB)
Dosis II
(16,67 ml/kg BB)
Dosis III
(33,33 ml/kg BB)
I 3,23 -109,67 -50,55 -18,28 -12,90
II -2,15 -93,54 -98,92 -29,03 -29,03
III 8,60 -98,92 -61,29 -23,67 -7,53
IV 3,23 -115,05 -72,04 -7,53 -2,15
V -12,90 -82,79 -45,16 -34,41 -7,53
X+ SD 0,00+ 3,65 -100,00+5,74 -65,59+ 9,53 -22,58+4,62 -11,03+4,87
123
OnewayDescriptives
Persen1
N MeanStd.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval forMean
Min MaxLower Bound Upper Bound
kontrol positif PCT 5 .0020 8.15258 3.64594 -10.1208 10.1248 -12.90 8.60
kontrol negative 5 -99.9940 12.83641 5.74062 -115.9325 -84.0555 -115.05 -82.79
SBB dosis 8,33 ml/kgBB 5 -65.5920 21.29887 9.52515 -92.0380 -39.1460 -98.92 -45.16SBB dosis 16,67 ml/kgBB 5 -22.5840 10.34084 4.62456 -35.4238 -9.7442 -34.41 -7.53
SBB dosis 33,33 ml/kgBB 5 -11.0280 10.89554 4.87263 -24.5566 2.5006 -29.03 -2.15
Total 25 -39.8392 40.11799 8.02360 -56.3991 -23.2793 -115.05 8.60
ANOVA
Persen1
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 34984.775 4 8746.194 48.028 .000
Within Groups 3642.103 20 182.105
Total 38626.878 24
Post Hoc TestsMultiple Comparisons
Persen1Scheffe
(I) Pelakuan (J) Pelakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol positif PCT kontrol negatif 99.99600* 8.53476 .000 71.0982 128.8938
SBB dosis 8,33 ml/kgBB 65.59400* 8.53476 .000 36.6962 94.4918
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 22.58600 8.53476 .179 -6.3118 51.4838
SBB dosis 33,33 ml/kgBB 11.03000 8.53476 .794 -17.8678 39.9278
kontrol negatif kontrol positif PCT -99.99600* 8.53476 .000 -128.8938 -71.0982
SBB dosis 8,33 ml/kgBB -34.40200* 8.53476 .014 -63.2998 -5.5042
SBB dosis 16,67 ml/kgBB -77.41000* 8.53476 .000 -106.3078 -48.5122
SBB dosis 33,33 ml/kgBB -88.96600* 8.53476 .000 -117.8638 -60.0682
SBB dosis 8,33 ml/kgBB kontrol positif PCT -65.59400* 8.53476 .000 -94.4918 -36.6962
kontrol negatif 34.40200* 8.53476 .014 5.5042 63.2998
SBB dosis 16,67 ml/kgBB -43.00800* 8.53476 .002 -71.9058 -14.1102
SBB dosis 33,33 ml/kgBB -54.56400* 8.53476 .000 -83.4618 -25.6662
SBB dosis 16,67 ml/kgBB kontrol positif PCT -22.58600 8.53476 .179 -51.4838 6.3118
kontrol negatif 77.41000* 8.53476 .000 48.5122 106.3078
SBB dosis 8,33 ml/kgBB 43.00800* 8.53476 .002 14.1102 71.9058
SBB dosis 33,33 ml/kgBB -11.55600 8.53476 .765 -40.4538 17.3418
SBB dosis 33,33 ml/kgBB kontrol positif PCT -11.03000 8.53476 .794 -39.9278 17.8678
kontrol negatif 88.96600* 8.53476 .000 60.0682 117.8638
SBB dosis 8,33 ml/kgBB 54.56400* 8.53476 .000 25.6662 83.4618
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 11.55600 8.53476 .765 -17.3418 40.4538
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
124
Homogeneous SubsetsPersen1
Scheffea
Pelakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
kontrol negatif 5 -99.9940SBB dosis 8,33 ml/kgBB 5 -65.5920
SBB dosis 16,67 ml/kgBB 5 -22.5840
SBB dosis 33,33 ml/kgBB 5 -11.0280
kontrol positif PCT 5 .0020Sig. 1.000 1.000 .179
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
Lampiran 19. Perhitungan penetapan peringkat dosis sari buah belimbing padakelompok perlakuan
1. Penentuan peringkat dosis :
BB rata-rata mencit = 30 gram
Vmax pemberian secara p.o pada mencit = 1 ml
Csari wortel = 100% =mlml
100100 = 1 ml/ml
Maka dengan rumus :
D x BB = V x C
D x 30 g = 1 ml x 1 ml/ml
D = 0,0333 ml/gram
D = 33,33 ml/kg BB yang merupakan peringkat dosis III
125
Untuk dosis berikutnya dibagi 2 dan dibagi 2 lagi untuk dosis berikutnya sehingga
didapat :
Peringkat dosis III : 33,33 ml/kg BB
Peringkat dosis II : 16,67 ml/kg BB
Peringkat dosis I : 8,33 ml/kg BB
2. Konversi dosis dari ml ke gram :
Dari 1 kg belimbing dibagi menjadi 10 kelompok masing-masing 100 gram
sebagai berikut :
Kelompok Berat belimbing (gram) Sari belimbing yang didapat (ml)1 100,01 662 100,00 643 100,07 694 100,10 705 100,03 666 100,05 687 100,00 648 100,01 659 100,05 67
10 100,02 66∑ 1000,34 665
Rata-rata 100,03 66,5Berdasarkan data di atas, maka :
66,5 ml sari belimbing = 100,03 gram belimbing
1 ml sari belimbing = 1,50 gram belimbing
Sehingga :
Peringkat dosis III = 33,33 ml/kg BB
= 50,00 g/kg BB
Peringkat dosis II = 16,67 ml/kg BB
126
= 25,01 g/kg BB
Peringkat dosis I = 8,33 ml/kg BB
= 12,50 g/kg BB
3. Perhitungan volume pemberian untuk masing-masing mencit menggunakan
rumus :
D x BB = V x C
Misalnya untuk mencit dosis III replikasi 1 analgesik:
BB = 24,25 gram, C = 1
DIII = 33,33 x 10 -3 ml/gram
Maka :
D x BB = V x C
33,33,10-3 x 24,25 = V x 1
V = 808,25 x 10-3
V = 0,81 ml
4. Perhitungan konversi dosis dari mencit ke manusia
Faktor konversi dari mencit 20-30 gram ke manusia 70 kg = 387,9
Rata-rata berat badan manusia Indonesia = 50 kg
Dosis untuk mencit = 33,33 ml/kgBB
= 50,00 gram/kgBB (untuk mencit 20-30 gram)
= 0,05000 gram/gram BB mencit
= 1 gram / 20 gram BB mencit
127
Dosis untuk manusia = 387,9 x 1,5 gram
= 387,9 gram / 70 kgBB manusia
= 277,07 gram / 50 kgBB manusia
Untuk mendapatkan dosis 277,07 gram / 50 kgBB manusia membutuhkan buah
belimbing kurang lebih 1⅓ buah.
128
BIOGRAFI PENULIS
Penulis memiliki nama lengkap Nugraheni Dwiari
Kristanti dilahirkan di Yogyakarta pada 7 Januari 1989,
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Roso Sumedi dan dra. Suparmi. Penulis
mengawali masa pendidikannya di TK Indriyasana
Utama Yogyakarta (1992-1994). Menempuh
pendidikan Sekolah Dasar di SD Rejowinangun II
Yogyakarta (1994-2000). Menempuh pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama di SLTP N Banguntapan II Bantul (2000-2003), kemudian penulis
melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA N 8 Yogyakarta (2003-
2006). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta (2006-2010). Semasa menempuh kuliah penulis aktif dalam berbagai
kepanitiaan baik dalam fakultas maupun di luar fakultas. Penulis pernah menjadi
asisten Praktikum Biofarmasetika dan Praktikum Perbekalan Steril. Penulis juga
pernah bergabung dalam kepanitiaan Kampanye Informasi Obat tahun 2008 dan
terlibat dalam kepengurusan Badan Perwakilan Mahasiswa Farmasi periode
2008/2009.