Download - Tutorial Klinik Morbus Hansen
Laboratorium/SMF Tutorial Klinik
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD AW Sjahranie
Morbus Hansen Tipe Multi Basiler
Oleh :
Khoirun Nisa 0708015002
Sizigia H U 0708015015
Okki Masitah S N 0708015043
Pembimbing :
dr. Agnes Kartini, Sp. KK
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD AW Sjahranie
Samarinda
2013
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun
yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini
sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 18741,2.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit,
saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009
telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu
dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun
1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan,
kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun
telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan
sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga
gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya
stigma terhadap penyakit kusta3 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah
dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab,
pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.3
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun
dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan
testis dan sendi-sendi.1
2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dn sel Schwann, replikasi yang lambat di sel
Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3 Mycobacterium leprae dapat bereproduksi
maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro,
menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang
lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber
of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat
(aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung1.
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai
dengan target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi
pada daerah tropis dan subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara,
Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India, Indonesia, Nepal, Nogeria,
Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai adanya MDT
pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar
di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jaa
Barat, Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.2,3
3
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan
perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun,
jarang terjadi pada bayi. Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang
endemik, memiliki kerentanan lepra dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan
kontak dengan affected armadillos1.
2.3 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.
Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar,
yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline
atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah
tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun LL2.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB
kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping2.
4
Table 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1
PB MB1. Lesi kulit
(makula datar, papul yang meninggi, nodus)
- 1-5 lesi- Hipopigmentasi/eritema- Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi jelas
- > 5 lesi- Distribusi lebih
simetris- Hilangnya sensasi
kurang jelas2. Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf
2.4 Patogenesis3
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun
yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan
adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa
hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak
langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa
inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk
kusta lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit,
selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis.
Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan
tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan
luasnya penyebaran bacillary dan perkalian, penampilan yang merusak jaringan
5
komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan pengembangan kerusakan saraf
dan gejala sisa.
M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil
dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada
khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya
ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam
sel Schwann akhirnya merangsang respon kekebalan yang dimediasi sel, yang
menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di
perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal.
Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu
penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk
metabolisme, mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding
sel mikobakteri. Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M
dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga moderator kemampuan
bakterisidal makrofag.
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari
penyakit ini. Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -
2) dan hasil respon yang lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit,
dengan terdefinisi dengan baik saraf yang terlibat dan beban bakteri yang lebih
rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10), tetapi hasil kekebalan
yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi luas, kulit
yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu,
spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi
dalam bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis.
Sementara itu, kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan
meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam
patogenesis kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan
pada permukaan sel Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini
pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan
dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan,
6
akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan
penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel
Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan
aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi
sebagai mediator dari demielinasi pada kusta .
Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat
dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-
penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak
pematangan dan fungsi sel dendritik. Karena basil telah ditemukan dalam
endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir
untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae
adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan
tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.
Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab
untuk tipe I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan
pengendapan kompleks imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari
aktivasi komplemen pada organ. Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2
diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf terisolasi dalam dermis
dan subcutis selama reaksi reversal.
Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran
klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa. 1
7
Gambar 1. Patogenesis
Gambar 2. Patogenesis Kerusakan Saraf Pada Pasien Kusta
2.5 Diagnosis
8
Gejala Klinis
Pada kusta, didaptkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,
sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit
yang anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai
bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset
terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem
saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat
adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa
macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan
kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan
kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi
ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pafda pertama kalinya
adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas
dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan
dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas
yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang
dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut.3
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang
asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan
sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi
berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan
sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia
(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba). 3
Pemeriksaan fisik
Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit
maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak,
dan pada bagian tengah dapat ditemukam lesi yang regresi atau central clearing.
Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai
penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda
9
terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak
dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit
di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan
asimetris.
Gambar 3 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular
Gambar 4 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy1
10
Gambar 5 Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan
papul satelit1
Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri
dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang
khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
Gambar 6 Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy1
Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi
11
lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat
predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan
pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf
menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.1
Gambar 5 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy1
Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema
dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki.
Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses
atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor1.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris,
ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot,
2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas
saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas
kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katarak.
Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan neuropati
12
sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada
pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal1.
Tabel 2 Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)
SIFAT LL BL BB
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Makula, Infiltrat
Difus, Papul, Nodul
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Simetris
Halus Berkilat
Tidak Jelas
Biasanya Tak Jelas
Makula, Plakat,
Papul
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus Berkilat
Agak Jelas
Tak Jelas
Plakat, Dome
Shaped (Kubah),
Punched Out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas ada
Asimetris
Agak Kasar/berkilat
Agak Jelas
Lebih Jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Banyak (ada globus)
Banyak (ada globus)
Banyak
Biasanya Negatif
Agak Banyak
Negatif
Tes
Lepromin
Negatif Negatif Biasanya negatif
Tabel 3. Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler
(PB)
SIFAT TT BT I
Lesi
Bentuk
Jumlah
Makula saja, makula
dibatasi infiltrat
Satu, dapat beberapa
Makula dibatasi
infiltrat
Beberapa, atau
satu dengan satelit
Hanya makula
Satu atau beberapa
13
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
asimetris
kering bersisik
Jelas
Biasanya Tak Jelas
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Tak Jelas
variasi
halus agak berkilat
jelas/tidak
tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Negatif
Banyak (ada globus)
Negatif/positif 1
Biasanya Negatif
Biasanya negatif
Negatif
Tes
Lepromin
Positif kuat (3+) Positif lemah Positi lemah sampai
negatif
Deformitas pada kusta
Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M.Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya
deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. 1
Gejala-gejala kerusakan pada saraf :
1. N.ulnaris
◦ Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
◦ Clawing kelingking dan jari manis
◦ Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
2. N. medianus
◦ Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah
◦ Tidak mampu aduksi ibu jari
◦ Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
◦ Ibu jari kontraktur
◦ Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
14
3. N. radialis
◦ Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk
◦ Tangan gantung (wrist drop)
◦ Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis
◦ Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
◦ Kaki gantung (foot drop)
◦ Kelemahan otot peroneus
5. N. tibialis posterior
◦ Anestesia telapak kaki
◦ Claw toes
◦ Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis
◦ Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
◦ Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan
bibir
7. N. trigeminus
◦ Anestesia kulit wajah,
kornea, dan konjungtiva
mata
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis
yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan. 1
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
15
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. 1
Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive
atau relapse resistent. 1
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman
yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik
dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder. 1
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati
dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut
juga resisten primer. 1
Pemeriksaan saraf tepi 4
a. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya
saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti
kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat,
lunak, dan nyeri atau tidaknya.
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan
pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan
adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar,
bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. peroneus lateralis
16
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba
bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
Pemeriksaan Fungsi Saraf 1-3
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit
pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian
pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka.
Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien
tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah
disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya,
kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan
seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan
pasien diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis,
yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
17
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,
dan n. peroneus
Pemeriksaan Penunjang1-3
1. Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae.
Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga
biasanya didapati banyak M. leprae1.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+
tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100
lapangan.
18
2. Pemeriksaan histopatologi,
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya
tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak
dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak
dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran
unsur – unsur tersebut.
3. Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae,
yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD
serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji
ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick
(Mycobacterium Leprae dipstick). 1
19
4. Tes lepromin
Merupakan tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila
terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis3.
Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response).
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi
tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas
seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah
imunitas humoral. 4
a.Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal
upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal
dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya
reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil.
Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal.
Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena
paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih
lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat
pengobatan.
20
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk
yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama
menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah
cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi
hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang
melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak
pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum
(ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau
plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan
simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat
pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,
pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.
Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi,
testis, dan limfe. 4
Tabel 4. perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise
dan febris2 Peradangan di
kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baru
Timbul nodul kemerahan, lunak, dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan
21
yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB5 Saraf Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi saraf
Dapat terjadi
6 Keterkaitan organ lain
Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan
Obat-obat yang
meningkatkan
kekebalan tubuh
Emosi
Kelelahan dan
stress fisik
lainnya
kehamilan
Tabel 5Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4
No Gejala/tanda Tipe I Tipe IIRingan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : merah, tebal, panas, nyeri
Bercak : merah, tebal, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecah
Nodul : merah,panas,nyeri
Nodul : merah, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada perbaan (-)
Nyeri pada perabaan (+)
Nyeri pada perabaan (-)
Nyeri pada perabaan (+)
3 Keadaan umum
Demam (-)
Demam (+)
Demam (+) Demam (+)
4 Keterlibatan organ lain
- - - +Terjadi peradangan pada : mata :
22
iridocyclitis
testis :
epididimoorc
hitis
ginjal :
nefritis
kelenjar
limpa :
limfadenitis
gangguan
pada tulang,
hidung, dan
tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau
infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.1
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler.
Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah. 1
2.6 Diagnosis Banding
Dermatofitosis
23
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan jamur golongan dermatofita. Umumnya dermatofitosis pada manusia
disebabkan oleh jamur genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton.
Jamur ini dapat menyebabkan kelainan pada kulit, kuku dan rambut. Namun
untuk diagnosis pembanding dari lesi kulit karena lepra lebih mengarah ke tinea
korporis. Kelainan kulit yang dapat dilihat dari klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah tengahnya cendrung lebih tenang. Gambaran
kelainan pada dermatofitosis ini mirip dengan lesi kulit yang terjadi pada leprae
terutama dalam bentuk TT. Untuk membedakannya kerokan dapat dilakukan baik
dengan KOH atau pewarnaa Ziel-Neelsen. Cara yang paling mudah yaitu dengan
menguji keadaan saraf sensoris pada kulit. Pemeriksaan dengan Woods light juga
dapat digunaka untuk membedakan tinea korporis yang disebabkan oleh M. canis
yang memberikan warna bewarna hijau-kuning.
Tinea versikolor
Tinea verikolor merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Malassezia
furfur. Merupakan penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak
memberikan keluhan subyektif berupa bercak skuama halus yang berwarna putih
sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat
menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala
yang berambut.
Kelainan pada pitiriasis versikolor juga dapat berupa lesi yang bewarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Lesi pada leprae
kadang bisa sangat mirip dengan kelainan pitiriasis versikolor. Tapi pada pitiriasis
versikolor akan memberikan flouresensi bila diberikan cahaya dengan wood’s
light yaitu akan bewarna hijau-kebiruan. Tes sensibilitas saraf sensoris juga dapat
dilakukan untuk mebedakannya, kerokan juga bisa.
Pitriasis rosea
Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian
24
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badang, lengan dan paha atas yang
tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8
minggu. Gejala konstitusi umumnya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh
gatal ringan. Penyakit dimulai dengan adanya lesi pertama (herald patch),
umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular diameternya kira-kira 3 cm.
Ruam terdiri dari eritema dan skuama halus dipinggir. Lamanya beberapa hari
hingga beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4 – 10 hari setelah lesi pertama
hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, hingga menyerupai pohon
cemara terbalik. Lesinya mirip dengan lesi pada kusta.
Pitriasis alba
Pitiriasis alba merupaja bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum
diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skauma
halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi.
Terjadinya diduga karena infeksi dari Streptococcus, tetapi belum dapat
dibuktikan. Pitiriasis alba memiliki lesi yang berbentuk bulat, oval atau plakat
yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama
halus. Setelah eritema hilang lesi dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama
halus.
Dermatitis seboroika
Dermatitis seboroika dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari
oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik.
Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan, batasnya agak kurang tegas. D.S. yang ringan hanya mengenai kulit
kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang
kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama yang halus dan kasar.
Kelainan tersebut disebut pitiriasis sika (ketombe dandruff). Bentuk yang
berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-
krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan
rontok, mulai di bagian verteks dan frontal.
25
Psoriasis
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz dan Kobner. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang
meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata,
tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema ditengah menghilang dan hanya
terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis dan kasar dan bewarna putih mika,
serta transparan. Besar kelainan bervariasi.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.4
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif
dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin
rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.4
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari
NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare,
nyeri lambung.4
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan
cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
26
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk
penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus
obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalam jaringan.3,4
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat
sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan
petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum
tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi
tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel 7. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-
9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment)
yaitu berhenti minum obat.
Tabel 8. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3
27
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum
di rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum
di rumah
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan
tipe MB selama 5 tahun.
Tabel 9. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3
Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari
diminum di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum
di rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari
diminum di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50
mg selang sehari
diminum di rumah
28
Pengobatan reaksi kusta.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul
kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw
toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan
pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat,
pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT
diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-
5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik
dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian
obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4
– 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis
total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik.
Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih
29
baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-
lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal1,2,3.
Gambar Regimen MDT
2.8 Prognosis
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa
pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang
menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif.
Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL,
LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara BT, BB dan BL
yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa
berkembang mejadi ENL. Neutritis perifer sering kali mengakibatkan kerusakan
saraf sensoris permanen dan susah untuk ditangan, hanya dapat dikurangi
peradangannya dengan kortikosteroid.3
30
31
BAB 3
KASUS
32
BAB 4
PEMBAHASAN
33
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
2. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill.
2007. P 665-671
3. 2. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
4. 4. Lewis, Felisa S. Leprosy.
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview, 16 Mei 2013.
34