TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan
deteriorisasi fungsi mekanik atrium, ditandai dengan adanya irregularitas
kompleks QRS dan gambaran gelombang “f” dengan frekuensi antara 350-650
permenit. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau
pompa darah jantung.
2. ETIOLOGI
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor,
antara lain:
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik
3. FAKTOR RESIKO
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah :
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia ≥ 60 tahun
i. Life Style
4. KLASIFIKASI
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial
fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu2 :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi
pertama. Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi
AF sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai
episode pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal
AF. AF jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri
dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu
penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali
normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada
permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena
dinilai cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Gambar 1. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association),
AF juga sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu
AF akut dan AF kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu
berlangsungnya atau onset yang kurang dari 48 jam, sedangkan AF kronik
sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam.
5. FISIOLOGI DAN SISTEM KONDUKSI JANTUNG
a. Fisologi Jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik,
akibat adanya potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel
otot jantung, yaitu 99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik
(kontraksi), tetapi tidak menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel
otoritmik yang tidak melakukan kerja mekanik (tidak berkontraksi), tetapi
mempunyai fungsi dalam mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi.
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi
mekanik jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi
otot jantung dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik.
Potensial aksi dimulai dari proses dopalarisasi, proses plateau dan proses
repolarisasi. Ketiga proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi
yang harus ada untuk memicu kontraksi otot jantung.
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi
pembukaan saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+
menyebabkan perubahan potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -
70 mv hingga +30 mv. Setelah mencapai ambang batas perubahan
potensial, saluran Na+ akan segera menutup yang kemudian diikuti
pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan saluran Ca2+ terjadi secara lambat,
yang menyebabkan proses plateau dan influks Ca2+ dari ekstraseluler ke
dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik. Setelah beberapa saat, saluran
Ca2+ akan menutup dan terjadi pembukaan saluran K+. Pembukaan saluran
K+ menyebabkan terjadinya proses repolarisasi, yang ditandai dengan
keluarnya atau effluks K+ ke ekstraseluler.
Gambar 2. Fisiologi Potensial Aksi Jantung
Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses
potensial aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan
saluran Ca2+ secara lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi
akibat influks Ca2+ atau kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada
dasarnya terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut,
yaitu Ca2+ ekstraseluler berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan
saluran Ca2+ selama fase plateu pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang
dikeluarkan dari cadangan intraseluler (sarcoplamic reticulum) akibat
rangsangan masuknya Ca2+ yang berasal dari ekstraseluler.
Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan
Ca2+ dengan troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan
kontraksi otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-
filamen tebal (miosin) dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk
memperpendek tiap sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca2+ dengan
troponin akan menyebabkan stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada
fase ini, Ca2+ yang tidak berikatan dengan troponin akan disimpan kembali
di dalam sarcoplamic reticulum dan sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler.
Proses keluarnya Ca2+ ke ekstraseluler terjadi karena adanya pertukaran
dengan ion Na2+ yang berada di ekstraseluler. Kemudian ion Na+ yang
telah masuk kedalam intraseluler akan bertukaran secara aktif dengan ion
K+ melalui proses Na+- K+-ATPase.
Gambar 3. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung
b. Sistem Konduksi Jantung
Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga
menimbulkan kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau
rangsangan elektrik. Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial,
nodus atrio-ventrikuler, berkas his, berkas cabang kanan-kiri dan serabut
purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik pertama jantung berawal di
nodus sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-superior atrium kanan.
Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan kontraksi dari
atrium, baik atrium kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang bersamaan
antara atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan
elektrik melalui traktus inter-atrial yang merupakan cabang dari nodus SA.
Nodus SA memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik
(pacemaker) tercepat bila dibandingkan dengan sistem konduksi jantung
yang lain, yaitu sebesar 60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini
menyebabkan nodus SA sebagai pengontrol utama rangsangan elektrik
jantung (overdrive pacemaker) dan mengendalikan sistem konduksi
jantung.
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan
baik untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien.
Penjalaran sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya
adalah:
a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum
kontraksi ventrikel dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap
pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu
kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu
sinsitium.
Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus
atrio-ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui
traktus internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV
merupakan satu-satunya penghubung sistem konduksi antara atrium
dengan ventrikel. Disamping itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan
mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar
40-60 potensial aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus SA sebagai
pengontrol dan pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok
pada rangsangan elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV
sebenarnya memiliki keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu
sebesar 0,08-0,12 detik. Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi
dalam memberikan waktu atrium untuk berkontraksi sempurna dan
memberikan waktu dalam proses mengosongkan voleme atrium ke dalam
ventrikel (memberi waktu pengisian ventrikel), sebelum ventrikel
terdepolarisasi dan berkontraksi.
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his
sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang
berasal dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler
menuju ke ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu
berkas cabang kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan
(RBB/right bundle branch) merupakan percabangan dari berkas his. RBB
bercabang sebagai struktur tunggal di lapisan subendokardium di sisi
bagian kanan. Kemudian RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu
RBB cabang anterior, posterior dan lateral. Bagian RBB lateral akan
berjalan menuju dinding lateral ventrikel kanan dan menuju bagian bawah
septum interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman
purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri
(LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur percabangan. Kedua
struktur percabangan LBB ini berjalan di subendokardium di sisi bagian
kiri dan kemudian masing-masing percabangan akan membentuk suatu
struktur bangunan seperti pada percabangan RBB, yaitu serabut purkinje.
Penjalaran sinyal elektrik menuju ventrikel melewati berkas his dan
serabut purkinje berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut purkinje
juga mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan koordinasi
kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri.
Gambar 4. Sistem Konduksi Jantung
6. PATOFISIOLOGI ATRIAL FIBRILASI
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan
multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses
depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal,
fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior.
Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik
yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi
yang dicetuskan oleh nodus SA.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi
yang berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada
proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal
elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry,
sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga
faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan
peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF.
Gambar 5. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi ;
B. Proses Multiple Wavelets Reentry Atrial Fibrilasi
7. MANIFESTASI KLINIS
AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF
sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya AF,
penyakti yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada
terutama saat beraktivitas, sesak npas, cepat lelah, sinkop atau gejala
tromboemboli. AF dapat mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar
penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurangpada
AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal
jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
8. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Evaluasi klinik pada pasien AF meliputi :
a. Anamnesis :
1) Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lamanya timbulnya
(episode pertama, paroksismal, persisten, permanen)
2) Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar, lemah,
sesak nafas terutama saat beraktivitas, pusing, gejala yang
menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif
3) Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari AF misalnya
hipertiroid.
b. Pemeriksaan Fisik :
1) Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya,
tekanan darah
2) Tekanan vena jugularis
3) Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif
4) Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan
terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi
kemungkinan adanya penyakit katup jantung
5) Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
6) Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
c. Laboratorium :
Hematokrit (anemia), TSH (penyakit tiroid), enzim jantung bila dicurigai
terdapat iskemia jantung.
d. Pemeriksaan EKG :
Dapat diketahui antara lain irama (verifikasi AF), hipertrofi ventrikel kiri.
Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma WPW),
identifikasi adanya iskemia.
e. Foto Rontgen Toraks :
Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, kor pulmonal.
f. Ekokardiografi :
Untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel,
hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE
(Trans Esophago Echocardiography) untuk melihat trombus di atrium
kiri.
g. Pemeriksaan Fungsi Tiroid.
Tirotoksikosis pada AF episode pertama bila laju irama ventrikel sulit
dikontrol.
h. Uji latih :
Identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama
jantung.
i. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi
elektrofisiolagi.
9. PENATALAKSANAAN
a. Algoritma Penatalaksanaan AF
Dalam penatalaksanaan AF perlu diketahui apakah AF tersebut
paroksismal, persisten atau permanen. Hal tersebut penting untuk
penatalaksanaan selanjutnya apakah perlu dilakukan kardioversi atau
cukup dengan pengendalian laju irama ventrikel.
1) AF yang baru ditemukan atau episode pertama AF
2) Paroksismal Rekuren
3) Persisten Rekuren
b. Prinsip Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung
dan menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme.
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan
untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata
laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan
menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan
pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion).
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk
mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan
adalah jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat
ini berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam
pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang
sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai
macam, diantaranya adalah :
1) Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi
dalam proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau
mencegah koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan sangat
cepat diserap hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam
waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di
metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk
D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan
lama kerja ± 40 jam.
2) Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari
trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin
terminal. Efek dari COX2 ini adalah menghambat produksi
endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal
inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari
trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat
menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor
pembekuan darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan
antagonis kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual
ataupun kombinasi.
1) Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas
jantung dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja
jantung menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga
memperlambat sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke
ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel
dari kontraksi atrium yang abnormal.
2) β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek
sistem saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini
akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
3) Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan
kontraktilitas jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari
ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati Ca2+ channel yang
terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung.
Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan
farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion).
1) Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a) Amiodarone
b) Dofetilide
c) Flecainide
d) Ibutilide
e) Propafenone
f) Quinidine
2) Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui
dua pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari
terapi listrik ini adalah mengembalikan irama jantung kembali
normal atau sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm).
3) Operatif
a) Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan
membuatan sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan
kateter kedalam pembuluh darah utma hingga masuk kedalam
jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat elektroda yang
berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya AF.
b) Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter
ablation, tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan
suatu “labirin” yang berfungsi untuk membantu
menormalitaskan system konduksi sinus SA.
c) Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang
ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan
denyut jantung.
10. KOMPLIKASI
AF dapat mengakibatkan terjadi beberapa komplikasi yang dapat
meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien dengan
sindroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang
memintas nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi AF disertai pre-
eksitasi ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan
menyebabkan kematian mendadak. Pada keadaan seperi ini ablasi dengan
radiofrekuensi sangat dianjurkan. AF yang disertai dengan laju irama ventrikel
yang cepat serta berhubungan dengan keadaan obstruksi jalur keluar dari
ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan terjadinya
hipotensi dan perubahan keadaan klinis. Beberapa komplikasi lain dapat
terjadi pada flutter atrial dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju
ventrikel yang cepat ini bila tidak terkontrol dapat menyebabkan
kardiomiopati akibat takikardia persisten. Diantara komplikasi yang paling
sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama stroke.
11. PROGNOSIS
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama
sinus hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium.
Penelitian juga menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan
secara rutin bertuuan untuk asimtomatik pada pasien usia lanjut. Hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan untuk
mengendalikan irama jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan
dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan antikoagulan.
Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik
pada kejadian tromboemboli terutama stroke. AF dapat mencetuskan takikardi
cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya AF dapat
menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen
atrium dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi
dan pada pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi
akan terjadinya gagal jantung saat terjadi AF.
DAFTAR PUSTAKA
Friberg, J., Buch, P., Scharling, H., Gadsbphioll, N., & Jensen, G. (2003). Relationship between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter. Circulation Journal , 67 (1), 68–72.
Gray, H. (2005). Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Erlangga.
Harrison. (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC.
Ismudiati, L. R. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.
Narumiya, T., Sakamaki, T., Sato, Y., & Kanmatsuse, K. (2003). Relationship between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter. Circulation Journal , 67.
Nasution, S., & Ismail, D. (2006). Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta: EGC.
Patrick, D. (2005). At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2000). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Buku 2 Edisi 4. Jakarta: EGC.
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., & al, e. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Wattigney, W., Mensah, G., & Croft, J. (2002). Increased atrial fibrillation mortality: United States, 1980-1998. Am. J. Epidemiol , 155 (9), 819–26.
Wyndham, C. (2000). Atrial Fibrillation: The Most Common Arrhythmia. Texas Heart Institute Journal , 27 (3), 257-67.