TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF
INDONESIA TERHADAP PERPINDAHAN STATUS KEPEMILIKAN
ATAS KEDUDUKAN OBJEK SEWA PADA AKAD IJARAH
MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK
(Studi Kasus di PT. Bank BRISyariah Tbk.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ADAM APRILYANTO
NIM 11140460000050
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATTULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Adam Aprilyanto. NIM 11140460000050. TINJAUAN HUKUM EKONOMI
SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP
PERPINDAHAN STATUS KEPEMILIKAN ATAS KEDUDUKAN OBJEK
SEWA PADA AKAD IJARAH MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK (Studi Kasus di
PT. Bank BRISyariah Tbk.) Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H/2019 M.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme akad
IMBT pada Bank Syariah, mengetahui bagaimana ketentuan Hukum Ekonomi
Syariah terkait perpindahan status kepemilikan atas objek sewa yang
menggunakan akad IMBT, danmengetahui bagaimana perlindungan hukum
terhadap objek IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.
Metode pada penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian Normatif.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Riset Kepustakaan (Peraturan-
peraturan terkait Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Konvensional yang ada di
Indonesia serta literatur-literatur terkait lainya) dan Wawancara terhadap Pihak
Bank BRISyariah). Kemudian, digunakan analisis kualitatif yang memberikan
gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan, dan karenanya ia
lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, bukan kuantitas.
Dari hasil analisis penulis diperoleh bahwa mekanisme praktek akad IMBT
pada PT. Bank BRISyariah Tbk.terdapat ketidaksesuaian antara praktek dengan
ketentuan hukum yang tertulis terkait dengan perpindahan status kepemilikan atas
objek sewanya. Ketidaksesuaian tersebut terdapat pada praktek perpindahan status
kepemilikan atas objek sewa di PT. Bank BRISyariah Tbk. dengan ketentuan
Fatwa DSN-MUI, POJK/SEOJK, PBI/SEBI, KHES, dan SHARIA‟AH
STANDARD AAOIFI yang terkait dengan akad IMBT. Dari ketidaksesuaian
yang terjadi tersebut menimbulkan dilema hukum terhadap kedudukan objek
tersebut. Sehinggaperlindungan hukum atas objek yang dimana sertifikat status
kepemilikan langsung tertulis atas nama nasabah tersebut diwujudkan dengan cara
bank mengikatkannya dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk
objek yang berbentuk rumah/ bangunan atau Akta Jaminan Fidusia utuk objek
yang berbentuk kendaraan bermotor. Dari perspektif hukum, APHT dan Akta
Jaminan Fidusia memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak
bank jika dalam masa sewa-menyewa, nasabah melakukan wanprestasi ataupun
mengalami gagal bayar.
Kata kunci: Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik, Bank Syariah, Hukum Ekonomi
Syariah, Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Akta Jaminan Fidusia.
Pembimbing : Dr. Muh. Fudhail Rahman, Lc., MA
Daftar Pustaka : Tahun 1996 s/d Tahun 2017
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmatdan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul TINJAUAN
HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
TERHADAP PERPINDAHAN STATUS KEPEMILIKAN ATAS
KEDUDUKAN OBJEK SEWA PADA AKAD IJARAH MUNTAHIYAH BIT-
TAMLIK (Studi Kasus di PT. Bank BRISyariah Tbk.) Banyak pihak yang telah
membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun
tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak A.M Hasan Ali, MA, selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Dr. Abdurrauf Lc, MA, selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah
4. Dr. Muh. Fudhail Rahman, Lc., MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan masukan bagi
Penulis sehingga dapat meyelesaikan skripsi ini.
5. Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang dengan ikhlas dan baik memberikan ilmunya kepada Penulis selama
masa kuliah.
7. Staff karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
PerpustakaanUmum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf akademik
Fakultas Syariah dan Hukum.
vi
8. Kepadaorangtua saya tercinta yaitu Bapak Marsin Budiman dan Ibu Halifah,
terimakasih untuk cinta, dukungan, doamu siang dan malam setiap hari,
tenagamu selama ini, dan semuanya yang telah engkau berikan untukku.
9. Saudara-saudaraku terkhusus kedua kakakku yaitu Rara Anggita dan Wahyudi
Pradana yang selama ini berkorban membiayaiku dari awal hingga sekarang,
tanpa mereka tidak mungkin ku bisa seperti sekarang. Dan adikku yaitu Deo
Septian yang terus mendukungku.
10. Sanak-sanak saudara mulai dari bibiku tercinta Wahaina yang sangat berjasa
dari lahir hingga saat ini, nenek, kung-kung pho-pho, pak-pak, thaiku, paman,
bibi, dan sepupu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk
doa-doa dan dukungannya.
11. Keluarga Besar C.O.I.N.S, Forward, GIBEI, dan HMI, terimakasih telah
memberikan ruang kepada Penulis selama masa-masa kuliah untuk
meningkatkan kapasitas diri.
12. Sahabat-sahabat KKN ANGKASA 28 & Keluarga besar Desa Cibitung Kulon.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah A yang selalu
mendukung dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Terkhusus
sahabat sepermainan Alen, Ojan, Rifqon, ami, sami, Chae, Desya, Amel, Faai,
dan Winda.
14. Teman-teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang berjuang
bersama selama perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
15. Serta teman-teman yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih
atas doa-doa terbaiknya.
Jakarta, 20 Februari 2019
Adam Aprilyanto
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI .............................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 7
C. Batasan Masalah ..................................................................................................... 8
D. Rumusan Masalah ................................................................................................... 8
E. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 9
G. Metode Penelitian ................................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPEMILIKAN, IJARAH MUNTAHI-
YAH BIT-TAMLIK, HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN FIDUSIA ............... 14
A. Teori Kepemilikan Menurut Hukum Ekonomi Syariah ........................................ 14
1. Pengertian Kepemilikan .................................................................................... 14
2. Macam-macam kepemilikan dalam Islam ........................................................ 15
3. Sebab-sebab kepemilikan .................................................................................. 16
4. Klasifikasi Kepemilikan .................................................................................... 17
5. Berakhirnya kepemilikan .................................................................................. 19
B. Teori Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT) ........................................................ 20
1. Pengertian Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik (IMBT) .............................................. 20
2. Dasar Hukum IMBT ......................................................................................... 21
3. Mekanisme Pembiayaan IMBT ........................................................................ 26
viii
4. Ketentuan Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT) ............................................ 27
5. Persayratan Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik (IMBT) ............................................ 28
C. Hak Tanggungan ................................................................................................... 29
1. Asas-asas Hak Tanggungan .............................................................................. 30
2. Ciri-ciri Hak Tanggungan ................................................................................. 31
3. Objek Hak Tanggungan .................................................................................... 34
4. Para Pihak dalam Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan ............................... 35
5. Isi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ................................................. 36
6. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) .................................. 39
7. Sertifikat Hak Tanggungan ............................................................................... 40
8. Eksekusi Hak Tanggungan................................................................................ 41
9. Hapusnya Hak Tanggungan .............................................................................. 44
D. Jaminan Fidusia .................................................................................................... 45
1. Ruang Lingkup Jaminan Fidusia....................................................................... 46
2. Objek Jaminan Fidusia ...................................................................................... 46
3. Akta Jaminan Fidusia ........................................................................................ 47
4. Pendaftaran Jaminan Fidusia ............................................................................ 48
5. Sertifikat Jaminan Fidusia ................................................................................. 49
6. Eksekusi Jaminan Fidusia ................................................................................. 51
7. Hapusnya Jaminan Fidusia................................................................................ 52
E. Review Penelitian Terdahulu ................................................................................ 54
BAB III PT. BANK BRISYARIAH TBK. DAN PRODUK-PRODUKNYA ............. 57
BAB IV ANALISIS TENTANG AKAD IJARAH MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK
DI PT.BANK BRISYARIAH TBK................................................................................ 69
A. Mekanisme Pelaksanaan Akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk. .................. 69
B. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status Kepemilikan atas
Objek IMBT .................................................................................................................. 71
1. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Ketentuan
Fatwa DSN-MUI ....................................................................................................... 71
2. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan OJK ..................................................................................... 72
3. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Ketentuan
Bank Indonesia .......................................................................................................... 73
4. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ............................................................................ 75
ix
5. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan SHARI‟AH
STANDARDS dari ACCOUNTING AND AUDITING ORGANIZATION FOR
ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS (AAOIFI). ............................................. 76
B. Perlindungan Hukum Terhadap Objek IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk. ...... 78
1. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ...................................................... 78
2. Akta Penjaminan Fidusia .................................................................................. 82
BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 86
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 86
B. Saran ..................................................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 88
Lampiran-lampiran ........................................................................................................ 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Industri pembiayaan di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang lagi
dalam beberapa tahun belakangan ini, setelah sebelumnya terpuruk akibat
krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1999. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam pengadaan
kendaraan operasional memakai jasa perusahaan pembiayaan. Dari data
Statistik Lembaga Pembiayaan Per Juli 2018 yang dilaporkan oleh OJK,
terdapat 356 jumlah Lembaga Pembiayaan dengan aset sebesar 580.644 miliar,
liabilitas sebesar 423.273 miliar, dan ekuitas sebesar 157.371 miliar.
Istilah lembaga pembiayaan mungkin belum sepopuler dengan istilah
lembaga keuangan dan lembaga perbankan. Meskipun lembaga pembiayaan
merupakan lembaga keuangan bersama-sama dengan lembaga perbankan,
namun dilihat dari padanan istilah dan penekanan kegiatan usahanya antara
lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan berbeda. Istilah lembaga
pembiayaan merupakan padanan dari istilah bahasa Inggris financing
institutions. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih menekankan
pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Adapun
lembaga keuangan merupakan padanan dari istilah Inggris Financial
Instututions. Sebagai badan usaha, lembaga keuangan menjalankan usahanya
dibidang jasa keuangan, baik penyediaan dana untuk membiayaai usaha
produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan.
Jadi dalam kegiatan usahanya lembaga keuangan lebih menekankan pada
fungsi keuangan, yaitu jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan
pembiayaan. Dengan demikian, usaha usaha pembiayaan lebih sempit
2
pengertiannya dibandingkan dengan istilah lembaga keuangan. Lembaga
pembiayaan adalah bagian dari lembaga keuangan.1
Bank Syariah dapat dikatagorikan lembaga pembiayaan namun lebih
condong kedalam katagori lembaga Keuangan seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Bank Syariah adalah bank atau lembaga yang menjalankan
kegiatan usahanya sesuai dengan alqur‟an dan hadits, dan mengacu pada
prinsip-prinsip syariah.2
Sebagaimana fungsi pada umumnya, Perbankan
Syariah melakukan fungsi penghimpunan dana dari masyarakat dan
penyaluran dana ke masyarakat. Dari beragam produk dalam Perbankan
Syariah, terdapat akad yang digunakan sebagai landasan dasar atas produk-
produk yang ada. Pada aspek penyaluran dana, dalam perbankan syariah
terdapat beberapa bentuk akad yang digunakan antara lain: pembiayaan atas
dasar akad mudharabah (bagi hasil), pembiayaan atas dasar akad musyarakah
(bagi hasil), pembiayaan atas dasar akad murabahah (jual-beli), pembiayaan
atas dasar akad salam (jual-beli pesanan), pembiayaan atas dasar akad istisna‟
(jual-beli pesanan), pembiayaan atas dasar akad qordh (pinjaman
qordhulhasan), pembiayaan atas dasar akad multijasa pembiayaan atas dasar
akad ijarah (sewa-menyewa) dan ijarah muntahiyah bi tamlik (sewa-beli).3
Dengan akad yang beragam, perbankan syariah dapat menawarkan produk
dengan sistem yang variatif sehingga perbankan syariah merupakan beyond
banking bagi nasabah di Indonesia4. Salah satu bentuk penyaluran pembiayaan
yang diberikan oleh bank syariah menurut Undang Undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah adalah penyewaan barang bergerak atau tidak
kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) atau akad lain yang tidak bertentangan
1 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Cet. Ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 1-2.
2 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, cet.II, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2010), h. 61. 3 Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Direktorat Perbankan Syariah Bank
Indonesia, 2008). 4
Miko Polindi, “Implementasi Ijarah dan Ijarah Muntahiah Bit-tamlik (IMBT) dalam
Perbankan Syariah di Indonesia”, Al-intaj, Vol.2 No. 1, (Maret 2016): h. 30.
3
dengan prinsip syariah. IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa
(ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa.5
Jika di perbankan syariah dikenal dengan IMBT, maka di lembaga
pembiayaan konvensional dikenal dengan sewa guna usaha (leasing). Sewa
Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease)
maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan
oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran. Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance
Lease) dimana pada akhir kontrak lessee ada hak opsi atas barang modalnya
untuk mengembalikan, membeli, atau memperpanjang masa kontraknya.6 Jika
dilihat dari pengertian antara IMBT dan Finance Lease maka dapat dikatakan
keduanya adalah perjanjian yang tidak jauh berbeda. Karena memang dalam
konteks perbankan syariah masa kini IMBT diadopsi oleh leasing sehingga
praktiknya di lapangan hampir sama.7
Jika ditinjau dalam perspektif Hukum Positif Indonesia, akad IMBT
merupakan Perjanjian tak Bernama (Onbenoemde atau innominaatcontracten).
Lahirnya perjanjian tidak bernama adalah berdasarkan asas kebebasan
berkontrak atau partij otonomiyangberlaku di dalam hukum perjanjian.8
Perjanjian IMBT memang tidak dijelaskan secara jelas dalam KUHPerdata,
sehingga perjanjian ini dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama.
Walaupun demikian, perjanjian tidak bernama tetap berlandaskan ketentuan
KUHPerdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1319 yang berbunyi:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum,
yan termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.”
5
Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis fiqih dan Keuangan), Cet.III, (Jakarta:
RajaGrafindo Persad, 2006), h. 165. 6 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, h. 56.
7Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik(Jakarta: Gema Inzani dan
Tazkia Cendekia, 2001), h. 177. 8Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu(Bandung:
Alumni, 1973), h. 19.
4
Pasal ini menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII dan yang terdapat di
luar Buku III KUHPerdata tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari
KUHPerdata Buku III dan Bab II. Sehingga akad IMBT walaupun termasuk
kategori perjanjian tidak bernama tetap harus tunduk pada ketentuan
KUHPerdata.9
Di Indonesia, ketentuan syariah yang lebih spesifik atas akad IMBT
diantaranya terdapat didalam ketentuan:
1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui
Fatwa yang bernomor 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al-Ijarah Al-
Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah.
3. Kompilasi Hukuum Ekonomi Syariah (KHES) buku ke-II pasal 278-285.
4. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17
Maret 2008 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah.
5. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 36/SEOJK.03/2015
tentang Produk dan Aktifitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Secara umum prosedur pembiayaan pemilikan rumah dengan akad ijarah
muntahiyyah bittamlik pada Bank Syariah secara garis besar, yaitu:10
1. Pengajuan permohonan pembiayaan pemilikan rumah dengan akad ijarah
muntahiyyah bittamlik oleh nasabah pada bank.
2. Penandatangan akad pembiayaan pemilikan rumah dengan akad ijarah
muntahiyyah bittamlik antara bank dengan nasabah.
9 Nasrullah Ali Munif, ”Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dalam Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, An-Nisbah, Vol. 03, No. 02, (Apri; 2017): h. 268. 10
Afit Kurniawan dan Nur Inayah, “Tinjauan Kepemilikan dalam KPR Syariah: Antara
Murabahah, Ijarah Muntahiyyah Bittamlik dan Musyarakah Mutanaqisah”, Vol. 1 No. 2, (Desember
2013): h. 295.
5
3. Dilakukan akad Al Bai‟, antara bank dengan penjual. Pembayaran oleh
bank atas pembelian rumah langsung ke rekening penjual.
4. Dilakukan akta jual beli rumah oleh nasabah dan penjual secara notariil.
Sertifikat atas tanah langsung atas nama nasabah. Sertifikat akan disimpan
oleh Bank dan akan dikembalikan kepada nasabah pada akhir masa sewa.
Tanah dan bangunan yang menjadi obyek IMBT akan diikat dengan hak
tanggungan.
5. Dilakukan akad Ijarah antara bank dengan nasabah. Nasabah membayar
uang sewa tiap bulan pada bank.
6. Pada akhir masa sewa bank menghibahkan rumah beserta tanah yang
disewakan kepada nasabah.
Kepemilikan bank atas tanah dan bangunan yang berada diatasnya adalah
kepemilikan sempurna karena adanya akad yang mengalihkan kepemilikan
yaitu akad Al-Bai‟ antara penjual kepada bank. Dengan kepemilikan sempurna
ini, bank menyewakan tanah dan bangunan kepada nasabah dengan diakhiri
oleh pemindahan kepemilikan melalui hibah di akhir masa sewa.
Namun pada penerapannya, terdapat beberapa ketidaksesuaian terhadap
prinsip Syariah seperti yang dituliskan di jurnal Afit Kurniawan dan Nur
Inayah (2013), diantaranya:
1. Pemberlakuan Wakalah menyebabkan sejak awal akad terjadi bukti
kepemilikan rumah (sertifikat tanah) telah tercantum atas nama nasabah.
Dengan demikian secara yuridis nasabah adalah pemilik atas tanah dan
bangunan. Hal ini dilatar belakangi pertimbangan kemudahan dan efisiensi
biaya serta memenuhi ketentuan hukum mengenai hak tanggungan di
Indonesia yang dibebankan pada jaminan. Sertifikat sebagai tanda bukti
kepemilikan atas tanah diikat dengan hak tanggungan dan disimpan oleh
Bank. Langkah ini merupakan bentuk antisipatif bank namun tidak
mengubah kenyataan bahwa kebijakan yang diterapkan pihak Bank Syariah
mengakibatkan pihak bank tidak memiliki dasar hukum sebagai pemberi
sewa dalam pembiayaan pemilikan rumah dengan akad IMBT karena
secara yuridis berdasarkan bukti kepemilikan itu telah diatasnamakan
6
langsung kepada nasabah sehingga rumah tersebut merupakan milik sah
nasabah/musta‟jir. Bank Syariah dalam hal ini bertindak sebagai pihak
yang menyewakan sekaligus pemilik asset (tanah dan bangunan), maka
bukti kepemilikan yaitu sertifikat atas tanah harus tercatat atas nama Bank
Syariah dahulu dan pada akhir masa sewa setelah dilakukan hibah baru
dibalik nama menjadi atas nama nasabah.
2. Dalam akad IMBT, pihak pemberi sewa (bank) dapat meminta barang
jaminan pada penyewa (nasabah) yaitu berupa sebidang tanah dan
bangunan rumah yang berada di atasnya, yang juga merupakan asset yang
disewakan. Pembebanan jaminan atas asset yang disewakan tidak tepat,
karena selama nilai sewa belum dilunasi oleh nasabah, kepemilikan atas
rumah beserta tanah tersebut masih berada dipihak Bank. Sehingga tidak
memungkinkan bagi nasabah untuk menjaminkan asset yang disewakan
yang bukan milik nasabah sendiri sebagai orang yang berutang.
3. Mengenai biaya pemeliharaan, tanggung jawab atas biaya pemeliharaan
asset dibebankan sepenuhnya pada nasabah. Hal ini tidak sesuai dengan
Fatwa DSN No.09/DSN-MUI/IV/2000 bahwa biaya pemeliharaan asset
pada pihak Bank dan nasabah, mengingat hak milik atas asset (rumah
beserta tanah) secara fiqih sepanjang masa sewa berlangsung berada pada
pihak bank, sehingga sebagai seorang pemilik, bank berkewajiban
menanggung biaya pemeliharaan. Hal ini menjadi tidak adil bagi nasabah
untuk menanggung penuh biaya pemeliharaan atas rumah tersebut,
sementara pihak Bank Syariah menerima bagian keuntungan dari uang
sewa yang dibayarkan nasabah tiap bulan tanpa ikut menanggung
kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya kerusakan yang terjadi bukan
disebabkan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan atas
rumah yang disewakan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa
(nasabah) dalam menjaga rumah beserta tanah tersebut.
4. Dalam Fatwa tentang IMBT dinyatakan bahwa pemindahan hak
kepemilikan atas obyek sewa hanya dapat dialihkan setelah masa
ijarah/sewa selesai, yang berarti hak kepemilikan atas rumah beserta atas
7
tanah selaku objek sewa masih berada pada pihak bank selaku pemberi
sewa dan sebagai seorang pemilik seharusnya pihak bank menanggung
risiko atas obyek miliknya.
Terkait dengan bukti kepemilikan rumah, hal serupa juga terjadi pada Bank
BRI Syariah. Dalam jurnal yang ditulis pada tahun 2016 oleh Mila Sartika dan
Hendri Setiawan Adinugra dengan judul Implementasi Ijarah dan IMBT pada
Bank BRI Syariah Cabang Yogyakarta menyebutkan bahwa aset sejak masa
ijarah sudah dicatatkan atas nama nasabah.
Sebagaimana penjelasan terkait kejanggalan di atas, dimana dalam
prakteknya sejak awal sertifikat kepemilikan adalah atas nama nasabah
walaupun belum ada perpindahan kepemilikan melalui jual-beli/hibah dari
bank kepada nasabah. Tentu saja konstruk atau model yang seperti ini
menimbulkan dilema hukum terutama pada hukum positif begitu pula dengan
hukum islam. Seharusnya sertifikat kepemilikan adalah atas nama bank ketika
belum terjadi perpindahan kepemilikan melalui jual-beli/hibah. Namun ketika
ini dipaksakan, banyak menimbulkan persoalan-persoalan terkait efisiensi
dimana terjadi Double Tax dan biaya-biaya pengalihan yang lebih dari
biasanya sehingga sertifikat pemilikan langsung atas nama nasabah. Dengan
legal title yang seperti ini (sertifikat langsung atas nama nasabah) akan
menimbulkan pertanyaan; Apakah tepat dengan konstruk/model Hukum Positif
Indonesia? Apakah konstruk/model hukum ini akan menimbulkan problem
hukum nantinya? Sehingga perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Maka dari
itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan melanjutkan masalah
dari penelitian sebelumnya dengan judul “Tinjauan Perpindahan Status
Kepemilikan atas Objek pada Akad Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik di Indonesia”
B. Identifikasi Masalah
Beberapa poin yang dapat penulis indentifikasikan untuk diteliti,
diantaranya sebagai berikut:
1. Terdapat pertentangan antara Hukum Syariah dengan Hukum Positif
Indonesia terkait perpindahan status kepemilikan barang pada akad IMBT
8
2. Pemberlakuan wakalah yang menyebabkan sedari awal bukti kepemilikan
(sertifikat) telah tercantum atas nama nasabah dapat menimbulkan
problem hukum nantinya
3. Objek yang disewakan oleh bank kepada nasabah dapat menjadi barang
jaminan bagi bank itu sendiri
4. Biaya pemeliharan objek tidak dibebankan sama sekali dan resiko yang
tidak disengaja kepada bank (penyewa) dimana hal ini tidak sesuai dengan
Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah.
5. Perlindungan hukum terhadap objek jaminan yang dimiliki oleh bank
C. Batasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas dan melebar, penulis
melakukan pembatasan masalah dalam penelitian ini agar penulisan skripsi ini
lebih spesifik dan tepat sasaran. Selain itu, untuk meneliti seluruh indentifikasi
masalah di atas memerlukan suatu usaha dari penulis dimana penulis memiliki
keterbatasan kemampuan maka penelitian hanya akan dibatasi pada
bagaimana ketentuan Hukum Ekonomi Syariah terkait konsep perpindahan
status kepemilikan atas objek sewa pada akad IMBT.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan Identifikasi Masalah dan Batasan Penelitian yang telah ditulis
di atas, maka penulis merumuskan masalahnya yaitu:
1. Bagaimana mekanisme akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.?
2. Bagaimanatinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status
Kepemilikan atas Objek IMBT?
3. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Objek IMBT di PT. Bank
BRISyariah Tbk.?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana mekanisme akad IMBT di PT. Bank BRISyariah
Tbk.
2. Mengetahui tinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status
Kepemilikan atas Objek IMBT
9
3. Mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap objek IMBT di PT.
Bank BRISyariahTbk.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini bagi penulis secara umum adalah
menyumbangkan gagasan dan buah pikir sebagai hasil berdasarkan prosedur
ilmiah serta melatih kepekaan kegiatan penulis sebagai mahasiswa terhadap
masalah-masalah yang berkembang dilingkungan sekitar, sedangkan manfaat
lebih khususnya lagi, antara lain:
1. Manfaat teoritis, yaitu bagi program studi Hukum Ekonomi Syariah, hasil
penelitian ini dapat menambah khazanah pengetahuan, melengkapi, dan
memberi informasi yang berharga mengenai bagaimana konsepperpindahan
status kepemilikan atas objek sewa menurut Hukum Ekonomi Syariah dan
Tinjuan Hukum atas Perlindungan Hukum atas Objek Sewa tersebut.
2. Manfaat praktis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi
kalangan pelajar, mahasiswa, akademisi lainnya dan terutama para pelaku
yang terkait dalam penelitian ini.
G. Metode Penelitian
Pengumpulan data merupakan bagian terpenting di dalam sebuah
penelitian, dalam hal ini sangat dibutuhkan data-data yang akurat, lengakap,
objektif serta relevan dalam persoalan yang diteliti. Untuk memeproleh data
yang yang tepat diperlukan metode penelitian. Metode adalah tata cara atau
prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan suatu kegiatan, dalam hal ini
kegiatan tersebut adalah penelitian hukum.11
Sedangkan penelitian adalah
kegiatan yang dilakukan seseorang dengan teliti untuk mencermati sesuatu hal
atau kejadian karena adanya keinginan untuk mengetahui sesuatu hal atau
kejadian tersebut.12
Adapun perolehan data yang diperlukan, yaitu
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
11
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Hukum, (Jakarta:Penerbit Universitas Atma Jaya,
2007), h. 9. 12
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Hukum, h. 11.
10
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan
dikarenakan penelitian ini hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan-bahan hukum yang lain. Selain itu, cara mengakses dan
penelitiannya banyak diambil dari bahan pustaka, yakni bahan yang
berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir, atau pengetahuan
baru tentang fakta yang diketahui, maupun mengenai gagasan (ide), dalam
hal ini mencakup, buku, jurnal, disertasi atau tesis dan bahan hukum lainya.
Penelitian hukum normatif ini sepenuhnya menggunakan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.13
2. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini penulis akan menggunakan metode pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptuan merupakan
jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan sudut
pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum
dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatar belakanginya, atau
bahkan dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan
sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan.
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting
sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam
ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum
ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan
memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum,
konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.14
3. Sumber Pengumpulan Data
Sumber Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan 2 (dua) sumber, diantaranya:
13
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengatar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers,
2006), h.118. 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 95.
11
a. Sumber berupa bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
bersifat autoritatif (mempunyai otoritas). Bahan hukum primer terdiri
dari Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.15
Yang
akan dijadikan bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah
Peraturan-peraturan terkait Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum
Konvensional yang ada di Indonesia.
b. Sumber berupa bahan hukum sekunder, yaitu berupa publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum.16
Yang akan dijadikan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini
adalah segala literatur-literatur kepustakaan yang berkaitan dengan
materi yang literatur-literatur kepustakaan yang berkaitan dengan
penelitian.
Sumber data dalam penelitian ini ialah Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-
MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik,
POJK/SEOJK, PBI/SEBI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),
dan SHARI‟AH STANDARD (AAOIFI).
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan, penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Riset Kepustkaan (Library Research). Studi pustaka dilakukan dengan
cara menginventarisasikan dan mengutip buku-buku literatur ilmu
hukum, ketentuan perundang-undangan, serta karangan-karanagan
ilmiah dan catatan-catatan kuliah yang ada kaitannya dengan penulisan
skripsi ini.17
Serta dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan
menghimpun data yang diperoleh dari buku literatur, serta peraturan-
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. ke-9(Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2014), h. 181. 16
Ibid, h. 181. 17
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditnya Bakti,
2004), h. 66.
12
peraturan lainnya yang berhubugan dengan permasalahan yang akan di
bahas.
b. Wawanacara (Interview). Wawancara dilakukan secara langsung
(bertatap muka) dan menggunakan alat perekam suara. Pedoman
wawancara berupa daftar pertanyaan terbuka yang tidak membatasi
jawaban dari informan sehingga informan dapat memberikan jawaban
sesuai dengan pendapat mereka. Data yang diperoleh dari hasil
wawancara merupakan data primer yang akan diolah sesuai kebutuhan
penelitian. Data tersebut akan dinyatakan dalam bentuk tulisan
deskriptif yang menggambarkan mengenai Mekanisme akad IMBT di
Bank Syariah.
5. Metode Analisis Data
Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan
kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya
pikir secara optimal.18
Analisis data yang digunakan dalam penelitian
hukum normatif ini adalah menggunakan analisi kualitatif yang
merupakan analisis data yang tidak menggunakan angka, melainkan
memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan,
dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, bukan
kuantitas.19
Metode analisis data dalam penelitian hukum menggunakan
penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional.20
6. Sistematika Penulisan
Dalam Penelitian ini, penulis membagi sistematika penulisan skripsi
kedalam lima BAB, diantaranya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN, bab ini memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, dan metode penelitian.
18
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet.2 (Jakarta : Sinar Grafika, 1996),
h. 77 19
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi. Cet.3 (Jakarta:Rajawali Pers, 2014) h. 19 20
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Hukum, h. 29
13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPEMILIKAN, IJARAH
MUNTAHIYAH BIT-TAMLIK, HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN
FIDUSIA.bab ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan konsep kepemilikan
berdasarkan Hukum Ekonomi Syariah,Konsep Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik
(IMBT), Hak Tanggungan, dan Jaminan Fidusia.
BAB III PT. BANK BRISYARIAH TBK. DAN PRODUK-
PRODUKNYA, bab ini memuat mengenai informasi tentang subjek penelitian
yaitu PT. Bank BRISyariah dan Produk-produknya.
BAB IV ANALISISDAN PEMBAHASAN, bab ini membahas
mengenaimekanisme pelaksanaan Akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.
yang didapat dari hasil wawancara, Tinjauan hukum dari perpindahan
statuskepemilikan atas objek sewa berdasarkan Hukum Ekonomi Syariah, dan
Perlindungan Hukum terhadap Objek IMBT.
BAB V PENUTUP, bab ini merupakan Bab akhir dari Penulisan skripsi,
oleh karena itu bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang konstruktif atas
hasil penelitian.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bagian ini, Penulis akan menguraikan teori-teori yang terkait dengan
pembahasan. Teori-teori ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar
kepada pembaca terkait denga tema yang dibahas untuk menjadi landasan berpijak
sekaligus gerbang sebelum memasuki isi pembahasan. Adapun teori-teori ini
Penulis dapatkan dari buku-buku teks, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan-peraturan
yang dibuat oleh lembaga berwenang
A. Teori Kepemilikan Menurut Hukum Ekonomi Syariah
1. Pengertian Kepemilikan
a. Secara etimologi Kata “kepemilikan” dalam bahasa Indonesia terambil
dari kata “milik” yang merupakan kata serapan dari kata “al-milk”
dalam bahasa Arab.1Al-milk diambil dari akar kata “ ملكا-يملك-ملك “ yang
artinya memiliki. Dalam bahasa arab kata “ا ماكيتة” berarti memelihara
dan menguasai sesuatu secara bebas.2
b. Secara terminologi, Al-Milk yaitu pengkhsusan seseorang terhadap
suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap
benda itu (sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan
syara‟.3
c. Menurut para ahli:4
1) Muhammad Mushthafa al-Salaby mendefinisikan Al-milk adalah
“Pengkhususan (keistimewaan) atas sesuatu benda yang
menghalangi orang lain bertindak atasnya dan memungkinkan
1 Ibn Manzhur, Allamah Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram, Lisan al-Arab,
(Beirut: Daar al-Fikr, 1990), h. 492. 2 Musthafa Ahmad al-Zarqa‟, al-Madkhal al-Fiqh al-„Amm, (Beirut : Dar al-Fikr, 1968), h.
240. 3 Mardani, Hukum Bisnin Syariah (Jakarta: KENCANA, 2014), h. 113.
4 Ali Akbar, “Konsep Kepemilikan dalam Islam”, Jurnal Ushuludin Vol. XVIII, no. 2 (Juli
2012): h 125- 126.
15
pemiliknya melakukan tindakan secara langsung terhadap benda
itu, selama tidak ada halangan syara‟.
2) Musthafa Ahmad Zarqa‟ mendefinisikan Kepemilikan adalah
kekhususan (keistimewaan) yang bersifat menghalangi orang lain)
yang syara‟ memberikan kewenangan kepada pemiliknya
melakukan tindakan kecuali terdapat halangan.
3) Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-Milk adalah Pengkhususan
(keistimewaan) atas sesuatu benda yang memungkinkan
pemiliknya secara pribadi untuk menggunakan atau melakukan
suatu tindakan terhadap harta tersebut tanpa ada sesuatu yang
mencegah menurut syariat Islam.
4) Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan Hak milik ialah suatu
kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain
dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali
ada halangan syar‟iy.
2. Macam-macam kepemilikan dalam Islam5
a. Kepemilikan individu (al-milkiyat alfardiyah/ private property),
adalah hukum syara‟ yang ditentukan pada zat ataupun kegunaan
(utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya
untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi
baik karena barangnya diambil kegunaan (utility)–nya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya
seperti dibeli dari barang tersebut.
b. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-‟ammah/public property), adalah
izin alsyari‟ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan benda/barang. Sedangkan benda-benda yang tergolong
kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan
oleh al-syari‟ sebagai benda-benda yang dimiliki suatu komunitas
secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.
5Ibid., h. 131-156
16
c. Kepemilikan Negara (al-Milkiyyat al- Dawlah/ State property), adalah
harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh kaum
muslimin/rakyat, dan pengelolaannya menjadi wewenang
khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau
mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai
dengan ijtihad/kebijakannya.
d. Kepemilikan mutlak, dimana kepemilikan hakiki semua kekayaan di
alam semesta ini adalah Allah SWT.
e. Kepemilikan Relatif, maksudnya walaupun harta itu milik Allah SWT,
tetapi kepemilikan manusia diakui secara de jure karena Allah sendiri
yang mengaruniakan kepadanya kekayaan itu dan Dia mengakui
kepemilikan tersebut.
3. Sebab-sebab kepemilikan
a. Menurut ulama ada empat cara pemilikan yang disyariatkan Islam,
yaitu:6
1) Melalui penguasaan harta yang belum dimiliki seseorang atau
lembaga hukum lainya, yang dalam Islam disebut harta yang mubah,
contohnya bebatuan di sungai yang belum dimiliki seseorang atau
badan hukum, apabila seseorang mengambil bebatuan itu lalu
membawanya pulang, maka bebatuan itu menjadi miliknya.
2) Melalui transaksi yang ia lakukan dengan seseorang atau suatu
lembaga badan hukum, seperti jual-beli, hibah, dan wakaf.
3) Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari
ahli warisnya yang wafat.
4) Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik dari hasil
itu datang secara alami, misalnya buah pohon dikebun, anak sapi
yang lahir, maupun melalui usaha kepemilikan, misalnya
keuntungan dagang yang diperoleh oleh pedagang, gaji yang
didapat oleh pekerja, dan lain-lain.
6 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h.32.
17
b. Sedangkan menurut Pasal 18 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
benda dapat diperoleh dengan cara:
1) Pertukaran
2) Pewarisan
3) Hibah
4) Pertambahan alamiah
5) Jual-beli
6) Luqathah
7) Wakaf
8) Cara lain yang dibenarkan menurut Syariah
4. Klasifikasi Kepemilikan7
Kepemilikan itu diklasifikasikan kepada:
a. Milik tam, yaitu suatu kepemilikan yang meliputi benda dan
manfaatnya sekaligus, artinya benda (zat benda) dan kegunaanya dapat
dikuasai. Al-milk al-tamini dapat diperoleh dengan banyak cara, jual-
beli misalnya. Ciri-ciri milik tam yaitu:
1) Sejak awal, pemilikan terhadap materi dan terhadap manfaat harta
itu bersifat sempurna.
2) Pemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki
sebelumnya, maksudnya materi dan manfaatnya sudah ada sejak
pemilikan benda itu.
3) Pemilikan tidak dibatasi oleh waktu.
4) Pemilikannya tidak boleh digugurkan
5) Apabila hak milik itu kepunyaannya bersama, maka masing-
masing orang dilarang bebas menggunakan miliknya itu.
b. Milik naqish, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari
benda-benda tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau
memiliki manfaat (kegunaan)-nya saja tanpa memiliki zatnya. Milik
naqish yang berupa penguasaan terhadap barang (benda) disebut milik
raqabah, sedangkan milik naqish yang berupa penguasaan terhadap
7 Mardani, Hukum Bisnin Syariah, h. 120-122.
18
kegunaannya saja disebut milik manfaat atau hak guna pakai, dengan
cara i‟arah, wakaf, dan wasyiah. Adapun ciri-ciri milik naqish, yaitu:
1) Boleh dibatasi oleh waktu, tempat, dan sifatnya.
2) Tidak boleh diwariskan menurut ulam Hanafiyah; karena
manfaatnya tidak termasuk harta dalam pengertian mereka,
sedangkan jumhur ulama membolehkannya, seperti pewarisan
pemanfaatan rumah kepada seseorang.
3) Orang yang akan memanfaatkan harta itu dapat menuntut harta itu
dari pemiliknya dan apabila harta itu telah diserahkan oleh
pemiliknya kepada orang yang akan memanfaatkannya, maka harta
itu menjadi amanah di tangannya dan dia dikenakan ganti rugi
apabila bertindak sewenang-wenang terhadap harta itu.
4) Orang yang memanfaatkan harta itu berkewajiban mengeluarkan
biaya pemeliharaanya, seperti hewan ternak harus diberi makan
mobil harus dibersihkan dan diisi bensin dan olinya.
5) Orang yang memanfaatkan barang itu berkewajiban
untukmengembalikan harta itu, apabila diminta oleh pemiliknya.
c. Dilihat dari segi tempat, kepemilikan dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:8
1) Milk al-„ain disebut pula milk al-raqabah, yaitu memiliki semua
benda, baik benda tetap (ghairu manqul) maupun benda-benda
yang dapat dipindahkan (manqul) seperti pemilikan terhadap
rumah, kebun, mobil, dan motor, pemilikan terhadap benda-benda
disebut milk al-„ain.
2) Milk al-manfa‟ah, yaitu seseorang yang hanya memiliki
manfaatnya saja dari suatu benda, seperti benda hasil meminjam,
wakaf, dan lain sebagainya.
3) Milk al-dayn, yaitu pemilikan karena adanya hutang, misalnya
sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti
8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 40.
19
benda yang dirusakkan. Utang wajib dibayar oleh orang-orang
yang berutang.
d. Dilihat dari segi shurah (cara berpautan milik dengan yang
dimilikinya), milik dibagai menjadi dua bagian, yaitu:9
1) Milk al-mutamayyiz, yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang
lain, yang memiliki batasan-batasan yang dapat memisahkannya
dengan yang lain. Misalnya, antara sebuah mobil dengan seekor
kerbau sudah jelas batasannya.
2) Milk al-sya‟i atau milk al-musya‟, yaitu milik yang berpautan
dengan suatu nisbih dari kumpulan sesuatu, betapa besar dan
betapa kecil kumpulan itu. Misalnya, memiliki sebuah rumah,
seperti daginh domba dan harta yang dikongsikan lainnya, seperti
seekor sapi yang dibeli oleh empat orang yang disembelih dan
dibagikan dagingnya.
5. Berakhirnya kepemilikan
Ada beberapa sebab yang meyebabkan berakhirnya kepemilikan tam, yaitu:
a. Pemilik meninggal dunia, sehingga seluruh miliknya berpindah tangan
kepada ahli warisnya.
b. Harta yang dimiliki itu rusak atau hilang.
Adapun sebab berakhirnya kepemilikan naqisah, yaitu:
a. Habisnya berlaku kemanfaatan itu, misalnya pemanfaatan sawah,
padinya sudah dipanen.
b. Barang yang dimanfaatkan itu rusak atau hilang, seperti runtuhnya
rumah yang dimanfaatkan.
c. Orang yang memanfaatkan wafat, menurut ulama Hanafiyah, karena
manfaat tidak dapat diwariskan, sedangkan menurut jumhur ulama
manfaat dapat diwariskan, karena manfaat termasuk harta.
d. Wafatnya pemilik harta, apabila pemanfaatan harta itu dilakukan
melalui al-i‟arah (pinjam meminjam) dan al-ijarah (sewa-menyewa)
menurut ulama Hanafiyah, karena akad Al-ijarah bagi mereka tidak
9Ibid., h. 41.
20
boleh diwariskan, sedangkan menurut jumhur ulama, baik pinjam
meminjam maupun sewa menyewa tidak berhenti masa berlakunya
apabila pemilikannya meninggal karena kedua akad ini, menurut
mereka, boleh diwariskan.
B. Teori Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT)
1. Pengertian Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik(IMBT)
a. Secara etimologi Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik (IMBT) At-ta‟jiir
menurut bahasa; diambil dari kata al-ajr,yaitu imbalan atas sebuah
pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala.10
Adapun al-ijarah:
nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap
pekerjaan. Sedangkan al-ijarah dalam istilah para ulama ialah suatu
akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi mubah berupa suatu
dzat yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah tanggungan,
atau akad terhadap pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas
serta tempo waktu yang jelas.11
Sedangkan at-tamliik secara bahasa
bermakna: menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Adapun menurut
istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan at-tamliik bisa
berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat,
bisa dengan ganti atau tidak.
b. PengertianIjarah Mutahiyah Bit-tamlik(IMBT) berdasarkan peraturan-
peraturan yang ada di Indonesia:
1) Penjelasan pasal 19 ayat (1) UU Perbankan Syariah, yang
dimaksud dengan akad IMBTadalah akad penyediaan dana dalam
rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau
jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang12
2) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 36/SEOJK/.03.2015
tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
10
Adiwarman Kharim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004) h. 128. 11
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, h. 117. 12
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
21
Syariah mendefinisikan Pembiayaan IMBT adalah penyediaan
dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.13
2. Dasar Hukum IMBT
Pada Fatwa DSN-MUI nomor 27 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi
Al-Tamlik, dasar hukum IMBT terdapat pada bagian MENGINGAT
diantaranya:
a. QS. Al-Zukruf [43]:32
Artinya “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan.”
Penjelasan dari Ibnu Katsir terhadap ayat ini bahwa, Apakah
mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu?Yakni urusan ini
bukanlah mereka yang menentukannya, melainkan hanyalah Allah
Swt. Allah lebih mengetahui di manakah Dia meletakkan risalah-Nya.
Karena sesungguhnya tidak sekali-kali Dia menurunkan Al-Qur‟an ini
melainkan kepada makhluk yang paling suci hati dan jiwanya, serta
13
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) 03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
22
paling mulia dan paling suci rumah dan keturunannya.Kemudian
Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia telah membeda-bedakan di antara
makhluk-Nya dalam membagikan pemberian-Nya kepada mereka
berupa harta, rezeki, akal, dan pengertian serta pemberian lainnya
yang menjadi kekuatan lahir dan batin bagi mereka.
Agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain
sebagai pekerja.Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah agar
sebagian dari mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan, karena yang lemah memerlukan yang
kuat dan begitu pula sebaliknya. Demikianlah menurut pendapat
Qatadah dan lain-lainnya. Qatadah dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa
makna yang dimaksud ialah agar sebagian dari mereka dapat
menguasai sebagian yang lain; pendapat ini semakna dengan pendapat
di atas.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka
kumpulkan. Artinya, rahmat Allah kepada makhluk-Nya lebih baik
bagi mereka daripada harta benda dan kesenangan duniawi yang ada di
tangan mereka.14
b. QS. Al Baqarah Ayat 233
ا ءاتيتم بالمعروف وان ارتم ان تسترضعىااولدكم فالجناح عليكم اذا سلمتم م
واتقىااللهىاعلمىا اناهلل بماتغملىن بصير
Artinya ” Dan, jika kamu ingin anakmu disusunkan oleh orang lain,
tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamukepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila
kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tesebut
menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar
14
Tafsir Ibnu Katsir, “Tafsir Surah Az-Zukhruf, ayat 26-35”, artikel diakses pada 4 ferbruari
2019 dari http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-az-zukhruf-ayat-26-35.html
23
upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya jasa
penyewaan atau leasing.15
c. Hadits Nabi riwayat „Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa‟id
al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
Upahnya”
Maksud hadist diatas adalah kejelasan tentang upah kerja ini
diperlukan untuk menghilangkan perselisihan antara kedua belah
pihak. Penentuan upah atau sewa boleh didasarkan kepada urf atau
adat kebiasaan.16
d. Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasa‟i dari Sa`d Ibn Abi
Waqqash, dengan teks Abu Daud, ia berkata:
Artinya “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
tanaman yang tumbuh pada parit dan tempat yang teraliri air; maka
Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan
agar kami menyewakan tanah itu dengan emas atau perak (uang).”
e. Hadits Nabi riwayat Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi s.a.w.
bersabda:
15 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Cet.1 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), h. 117-118.
16
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2013), h. 326
24
Artinya “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram.”
Hadist di atas menjelaskan bahwa hukum asal dari persyaratan-
persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin dalam berbagai
akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung
maslahat dan tidak ada larangan syari‟at tentang hal itu. Tentunya,
selama syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam
suatu yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu
„alaihi wa sallam . Apabila mengandung unsur haram sehingga bisa
menyeret pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka
syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.
f. Hadits Nabi riwayat Ahmad dari Ibnu Mas‟ud:
Artinya “Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu
obyek.”
Maksudnya seorang muslim tidak boleh melangsungkan dua jual-
beli dalam satu akad atau dua akad dalam satu transaksi. Namun ia
harus melangsungkan kedua-duanya secara sendiri-sendiri karena jika
dilakukan bersamaan maka terdapat ketidakjelasan yang membuat
25
orang muslim lainnya tersakiti, atau memakan hartanya dengan tidak
benar.17
g. Kaidah fiqh:
Artinya “Pada dasarnya, segala bentuk mu‟amalat boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan
transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai
kerjasama (mudharabah dan musyarakah) perwakilan, dan lain-lain,
kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.18
h. Ijma
(1) Menurut ulama Hanabillah, pihak yang melakukan transaksi
memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kesepakatan dan
syarat dalam sebuah akad, dan hukumnya adalah mubah (boleh)
sepanjang tidak bertentangan dengan syara‟.
(2) Menurut Ulama Malikiyah menyatakan, akad ijarah bisa
digabungkan dengan akad jual beli dalam satu transaksi, karena
tidak ada hal yang menafikan substansi keduanya.
(3) Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berdasarkan fatwa dari
konferensi fiqh Internasional pertama di Bait at-Tamwil al-Kuwaiti
(7-11 Maret 1987) yang mengakui keabsahan akad al-ijarah al-
muntahiyah bit-tamlik yang diakhiri dengan akad hibah.
(4) Ketetapan ulama fiqh dunia No. 44 dalam sebuah konferensi di
Kuwait (10-15 Desember 1988) yang menghadirkan alternatif
solusi, yakni akad ini diganti dengan jual beli kredit, atau akad
ijarah, dimana akhir perjanjian, penyewa diberi beberapa opsi,
yaitu memperpanjang masa kontrak sewa, menyelesaikan akad
17
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah(Hukum Ekonomi, Bisnis, dan Sosial)(Surabaya: Putra
Media Nusantara, 2010), h. 41. 18
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 58
26
dengan mengembalikan objek sewa, atau membeli objek sewa
dengan harga yang berlaku di pasaran.19
3. Mekanisme Pembiayaan IMBT
Skema Pembiayaan IMBT di Bank Syariah:
Keterangan:
1 Nasabah datang ke Bank Syariah untuk mengajukan permohonan
pembiayaan IMBT sekaligus menjelaskan spesifikasi objek yang
diinginkan kepada pihak bank.
2 Setelah pembiayaan sewa disetujui, Nasabah membuat janji atau
wa‟ad yang menyatakan bahwa nasabah akan melakukan akad
IMBT
3 Bank Syariah kemudian membeli objek dari suplier/penjual sesuai
dengan spesifikasi yang diminta oleh nasabah.
4 Penandatangan akad yang menyatakan hak dan kewajiban dari
kedua belah pihak.
19
Dimyauddin Djuwani, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.
131.
27
5 Bank Syariah mewakilkan kepada Suplier/penjual untuk
menyerahkan objek pembiayaan yang telah disetujui
6 Penyerahan objek IMBT dilakukan oleh suplier/penjual yang telah
diberi kuasa untuk mewakili pihak bank.
7 Setelah objek IMBT diterima, nasabah membayar biaya sewa atas
objek tersebut sesuai dengan kesepatan.
8 Setelah masa sewa berakhir, maka Bank Syariah akan
menyerahkan kepemilikan objek menggunakan akad Hibah.
4. Ketentuan Ijarah Muntahiyah Bit-tamlik(IMBT)
a. Berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang
Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik:20
1) Ketentuan Umum
a) Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa
DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad
al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
b) Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-
Tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
c) Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
2) Ketentuan Khusus
a) Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik
harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
b) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad
Ijarah adalah wa'd ( الىعد ), yang hukumnya tidak mengikat.
Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah
selesai.
20
Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-
Tamlik
28
b. Berdasarkan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan
Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah berikut:21
1) Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang
telahdimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari
pihaklain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
2) objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan
diidentifikasisecara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk
pembayaran sewa dan jangka waktunya;
3) Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan
kualitasmaupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan
barang sewa sesuai kesepakatan;
4) Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa
yangsifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
5) Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang
akan disewa oleh nasabah;
6) nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhanbarang
sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan
kesepakatan;
7) nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang
terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah;
5. Persayratan Ijarah Mutahiyah Bit-tamlik (IMBT)
a. Persyaratan IMBT berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah:
1) Bank sebagai penyedia dana dalam kegiatan ijarah dengan nasabah,
juga ber-tindak sebagai pemberi janji (wa‟ad) antara lain untuk
memberikan opsi pengalihan hak kepemilikan barang sewa kepada
na-sabah sesuai kesepakatan.
21
PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi
Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
29
2) Perpindahan kepemilikan suatu aset dari Bank kepada nasabah
dapat dilakukan jika aktivitas penyewaan telah berakhir atau di-
akhiri dan aset ijarah telah diserahkan kepada nasabah dengan
membuat akad terpisah.
3) Barang sewa harus dapat dinilai dan di-identifikasi secara spesifik
dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan
jangka waktunya.
4) Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang
maupun dalam ben-tuk pembebasan utang.
5) Barang yang disewakan harus berwujud dan sudah tersedia atau
siap pakai (ready stock).
6) Metode penyusutan, umur manfaat, dan nilai residu mengacu pada
standar akuntansi yang berlaku dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia (PAPSI).
7) Bank melakukan analisis atas permohonan pembiayaan dari
nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa
karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi
analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau
prospek usaha (condition).
8) Bank dan nasabah menuangkan kesepaka-tan pembiayaan dalam
perjanjian tertulis atau bentuk lain yang dapat dipersamakan
dengan itu.
9) Bank menerapkan transparansi informasi produk dan perlindungan
nasabah sesuai ketentuan yang berlaku.
10) Bank memiliki kebijakan dan prosedur un-tuk mitigasi risiko.
11) Bank memiliki sistem pencatatan dan pen-gadministrasian
rekening yang memadai.
C. Hak Tanggungan
Seperti yang telah dikatakan narasumber, dalam pengikatan Objek IMBT
yang objeknya rumah rumah atau bangunan, maka pengikatannya
menggunakan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pembahasan terkait
30
APHT ini dapat kita temukan pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA
YANG BERKAITAN DENGAN TANAH selanjutnya disebut dengan
Undang-undang Hak Tanggungan. Namun selain Undang-undang Hak
Tanggungan, perlu diperhatikan pula Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria selanjutnya disebut Undang-
undang Pokok Agraria, seperti ditegaskan oleh Undang-undang Hak
Tanggungan pada bagian Mengingat sub 2. Pada pembahasan ini penulis akan
menguraikan secara berurutan dimulai dari ketentuan-ketentuan mengenai
Asas-asas Hak Tanggungan, Ciri-ciri Hak Tanggungan, Objek Hak
Tanggungan, Para Pihak dalam Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan,
IsiAkta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Pendaftaran Hak Tanggungan,
Sertifikat Hak Tanggungan, Eksekusi Hak Tanggungan dan Hapusnya Hak
Tanggungan.
1. Asas-asas Hak Tanggungan
Berkenaan dengan asas-asas tentang Hak Tanggungan ini, Prof. Sutan
Remy Syandeini (1999: xi) menyebutkan 14 asas hak tanggungan, yaitu:22
a. Memberikan kedudukan prioritas bagi kreditor pemegang hak
tanggungan (berlaku prinsip droit de preference).
b. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (dengan beberapa
kekecualian). Pada prinsipnya, roya parsial tidak dimungkinkan.
c. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang sudah ada
saja.
d. Selain atas tanahnya, hak tanggungan juga dapat dibebankan ke atas
benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut. Dapat juga
dibebankan atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari yang
berkaitan dengan tanah tersebut.
e. Perikatan hak tanggungan bersifat assessoir.
f. Hak tanggungan dapat juga diikatkan kepada utang yang baru akan ada
di kemudian hari.
22
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 71
31
g. Hak tanggungan dapat juga menjamin terhadap lebih dari satu utang.
h. Hak tanggungan rnengikuti benda objeknya, di tangan siapapun benda
tersebut berada (berlaku prinsip droit de suite).
i. Terhadap objek hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh
pengadilan.
j. Objek hak tanggungan hanya mencakup tanah-tanah tertentu (berlaku
asas spesialitas).
k. Hak tanggungan wajib didaftarkan (berlaku asas publisitas).
l. Terhadap hak tanggungan dapat diberikan janji-janji tertentu.
m. Jika mengeksekusi hak tanggungan, maka tidak boleh dengan cara
mendaku (langsung menjadi milik kreditor)
n. Eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti. Dalam konteks ini,
sertifikat hak tanggungan bersifat eksekutorial.
2. Ciri-ciri Hak Tanggungan
Ciri-ciri hak tanggungan memang tidak dijelaskan secara tegas dalam
Undang-undang Hak Tanggungan. Namun tersirat dalam Pasal 1 ayat 1
dimana memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan, yaitu:23
a. Hak Jaminan
b. Atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan
c. Untuk pelunasan suatu hutang
d. Memberikan kedudukan yang diutamakan.
Namun untuk lebih jelasnya lagi mengenai Hak Tanggungan, M.
Bahsan mengemukakan secara singkat tentang ciri-ciri Undang-undang
Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:24
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya. Dalam hal ini pemegang hak tanggungan sebagai
kreditor memperoleh hak didahulukan dari kreditor lainnya untuk
23
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cet. V, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007), h. 300. 24
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Hukum Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), 2007), h. 22-25.
32
memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan)
objek jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan tersebut.
Kedudukan sebagai kreditor yang mempunyai hak didahulukan dari
kreditor lain (kreditor preferen) akan sangat menguntungkan kepada
yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali
(pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang
ingkar janji (wanprestasi).
b. Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek
tersebut berada. Bila objek jaminan utang yang diikat dengan hak
tanggungan beralih ke pihak lain karena suatu sebab seperti pewarisan,
penjualan, penghibahan dan sebab lainnya, pembebanan hak
tanggungan atas objek jaminan utang tersebut tetap melekat. Hak
tanggungan tetap melekat pada objek hak tanggungan tersebut.
Sebaliknya bila piutang yang objek jaminan utangnya telah diikat
dengan hak tanggungan beralih kepada pihak lain karena cessie,
subrogasi atau sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih karena
hukum kepada kreditor yang baru. Peralihan tersebut tidak perlu
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Pencatatan mengenai beralihnya hak tanggungan tersebut
cukup dilakukan berdasarkan akta yang membuktikan beralihnya
piutang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut kepada kreditor
yang baru.
c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas. Pemenuhan asas
spesialitas dan asas publisitas dalam rangka pembebanan hak
tanggungan adalah sebagaimana yang tsercermin dari ketentuan-
ketentuan UU No. 4 Tahun 1996 sepanjang mengenai pembuatan akta
pemberian hak tanggungan dan pendaftarannya. Kedua asas tersebut
sangat berkaitan dengan langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam
rangka pembebanan hak tanggungan atas objek jaminan utang dan
akan mengikat pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. Pemenuhan asas spesialitas tercapai
33
melalui pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan persyaratannya.
Sementara itu, pemenuhan asas publisitas tercapai dengan dilakukan
pendaftaran pembebanan hak tanggungan ke Kantor Pertanahan
setempat sehingga akhirnya dikeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan merupakan dokumen pembebanan atas
tanah tersebut. Dengan dipenuhinya asas spesialitas dan asas publisitas
tersebut maka akan diperoleh pengikatan jaminan utang secara
sempurna. Pengikatan objek jaminan secara sempurna akan
memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan terutama bagi kreditor dan debitur.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Bila debitur wanprestasi
yaitu tidak melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan
kepada kreditor, kreditor yang bersangkutan akan melakukan eksekusi
atas objek jaminan yang diikat dengan hak tanggungan. Undang-
undang Hak Tanggungan menetapkan cara eksekusi objek jaminan
yang dapat ditempuh (dilakukan) oleh kreditor yaitu sebagai berikut:
1) Eksekusi berdasarkan hak pemegang hak tanggungan peringkat
pertama untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umurn dani kemudian mengambil
pembayaran piutangnya dari hasi penjualan tersebut.
2) Berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak
Tanggungan sesuai dengan irah-irah yang mencantumkan kata-kata
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang
mengenai hak atas tanah, penjualan objek jaminan utang dapat
segera dilakukan. Irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak
Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan
eksekutorialnya sehingga apabila debitur cedera janji dapat segera
34
dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan
Hukum Acara Perdata. Kedua cara eksekusi hak tanggungan
tersebut di atas memberikan kemudahan bagi kreditor untuk
melakukan pencairan (penjualan) objek hak tanggungan. Selain
keempat ciri yang dikemukakan di atas, masih terdapat beberapa
ciri lainnya pada hak tanggungan, yaitu memberikan hak
kebendaan kepada pemegang hak tanggungan dan objek hak
tanggungan harus diikat seutuhnya (dalam pengertian objek hak
tanggungan tidak dibagi-bagi atau diikat sebagian).
3. Objek Hak Tanggungan
Terkait dengan ketentuan mengenai Objek Hak Tanggungan,
ditegaskan dalam Undang-undang Hak Tanggungan pada Pasal 4. Pada
Pasal 4 ayat (1) sampai (2) menuliskan bahwa:
a. Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
b. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak
pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan
Walaupun tidak secara tegas disebutkan dalam ayat ini, namun
mengingat hak tanggungan merupakan bagian dari pengaturan
Undang-undang Pokok Agraria, maka kiranya bisa disimpulkan
bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, dapat
disamakan pula dengan hak-hak atas tanah menurut Undang-undang
Pokok Agraria. Karena memang hal ini ditegaskan didalam penjelasan
atas Pasal 4 (1) Undang-undang Hak Tanggungan bahwa hak-hak atas
tanah yang dimaksud adalah sebagaimana hak-hak atas tanah dalam
Undang-undang Pokok Agraria.
35
Selain itu, pada Pasal 4 ayat (4) yang berbunyi “Hak Tanggungan
dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan
milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas
dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan”.
Adapun yang dimaksud dengan hasil karya dalam Penjelasan Pasal 4
ayat (4) ini, adalah misalnya candi, patung, gapura, relief, yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Bangunan
yang dapat dibebani Hak Tanggungan bersamaan dengan tanahnya
tersebut meliputi bangunan yang berada di atas maupun di bawah
permukaan tanah misalnya basement, yang ada hubungannya dengan
hak atas tanah yang bersangkutan. Jadi, selain tanah, dan bangunan,
tanaman beserta hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan
tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan.
Perlu diingat pula, karena hak tanggungan merupakan hak
kebendaan, maka keberadaan benda objek jaminan merupakan syarat
yang sangat penting bagi eksistensi suatu jaminan. Bukan hanya itu,
bahkan hak tanggungan akan mengikuti benda objek yang dijaminkan.
Kemanapun benda tersebut berada atau dialihkan. Pasal 7 Undang-
undang Hak Tanggungan dengan tegas menentukan bahwa hak
tanggungan tetap mengikuti objeknya, kedalam tangan siapapun objek
tersebut berada.25
4. Para Pihak dalam Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan
Seperti setiap perjanjian yang lain, dalam perjanjian pemberian hak
tanggungan ada 2 (dua) pihak yang saling berhadapan, yaitu kreditur dan
Debitur. Kreditur setelah proses pemberian hak tanggungan, akan disebut
pemegang hak tanggungan. Kemudian debitur yaitu pihak pemberi hak
tanggungan dimana dalam hal ini bisa debitur sendiri atau melalui pihak
25
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 72.
36
ketiga, sehingga mereka akan disebut debitur pemberi hak tanggungan
atau pihak ketiga pemberi hak tanggungan.
a. Pemberi Hak Tanggungan
Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan
disebutkan, bahwa ”Pemberi hak tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukurn terhadap objek hak tanggungan yang
bersangkutan.”
b. Penerima/Pemegang Hak Tanggungan
Dalam Pasal 9 Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan,
bahwa ”Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.”
Selain kedua pihak diatas, pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
juga tidak bisa dilepaskan dari bagian hak tanggungan. PPAT adalah
pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan
hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta emberian
kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5. Isi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Pemberian hak tanggungan harus dituangkan dalam akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah, ini dapat disimpulkan dari Pasal 10 ayat (2)
Undang-Undang Hak Tanggungan. Sebenarnya dari redaksi Pasal 10 ayat
(2) tersebut tidak dijumpai kata-kata dari mana bahwa ketentuan tersebut
merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Namun, kalau
menganggap bahwa ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan lebih
lanjut dari suatu ketentuan umum yang tertuang dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tertulis ”Setiap pejanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru
atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas
tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang
dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
37
(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut: penjabat). Akte
tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.” di mana ada kata-
kata "harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat di hadapan Pejabat
yang ditunjuk” maka kesimpulan seperti diatas kiranya bisa diterima.
Selanjutnya, hal-hal yang wajib dimuat didalam APHT dapat kita lihat
pada Pasal 11 Ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan. Disitu dikatakan
bahwa yang wajib dicantumkan dalam APHT diantaranya:
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila
di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus
pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal
domisili pilihan itu tidak dicantum kan, kantor PPAT tempat
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai
domisili yang dipilih.
c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1)
d. Nilai tanggungan.
e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Selain dari 5 hal yang wajib dicantumkan didalam APHT diatas,
dalam APHT ini dapat juga dicantumkan dengan materi seperti janji-
janji yang dianggap perlu. Janji-janji yang dimaksud merupakan upaya
kreditur untuk sedapat mungkin menjaga agar objek jaminan tetap
mempunyai nilai yang tinggi, khususnya nanti pada waktu eksekusi.
Karenanya, sedapat mungkin semua kemungkinan mundurnya nilai
objek jaminan, sebagai akibat dan ulah pemberi jaminan atau karena
suatu bencana.26
Adapun janji-janji tersebut meliputi:
a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk
menyewa dan/atau menentukan atau mengubah sewa atas objek
hak tanggungan
26
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, h. 312.
38
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk
mengubah bentuk dan/atau susunan objek hak tanggungan
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak
tanggungan untuk mengelola tanah objek hak tanggungan
d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak
tanggungan untuk menyelamatkan tanah objek hak tanggungan
e. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual atas kekuasaannya sendiri terhadap tanah objek hak
tanggungan, apabila kreditor dalam keadaan wanprestasi
f. Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama
bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak
tanggungan
g. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan
haknya atas tanah objek hak tanggungan;
h. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari ganti rugi untuk pelunasan piutang, jika terjadi
pembebasan tanah untuk kepentingan umum atau pelepasan hak
i. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian uang asuransi yang diterima oleh pemberi hak
tanggungan, jika objek hak tanggungan diasuransikan
j. Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan tanah
objek hak tanggungan, jika terjadi eksekusi hak tanggungan
k. Janji bahwa sertifikat atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan dipegang oleh pemegang hak
tanggungan.
l. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak
tanggungan untuk memiliki sendiri (mendaku) terhadap tanah
objek hak tanggungan, manakala debitor cidera janji yang
berakibat batal deli hukum (null and void).
39
6. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana
yang disebutkan dalam bagian menimbang pada pembukaan Undang-
Undang Hak Tanggungan, adalah adanya kewajiban pendaftaran hak
tanggungan. Ketentuan Pendaftaran APHT dapat kita temui pada Undang-
undang Hak Tanggungan meliputi:
a. Pasal 13 ayat (1) “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan.” Pada Pasal 13 ayat (1) ini memiliki
penjelasan bahwa salah satu asas hak tanggungan adalah asas
publisitas. Oleh karena itu, didaftarkannya pemberian hak tanggungan
merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan.
b. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penan datanganan
Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan.
c. Pasal 13 ayat (2) “Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan menca-tatnya dalam
buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta
menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.” Penjelasan Pasal 13 ayat (3) menjelaskan bahwa PPAT
wajib melaksanakan ketentuan pada ayat ini karena jabatannya. Sanksi
atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur jabatan PPAT
d. Pasal 13 ayat (4) “Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang di-perlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku
tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.”
Pasal 13 ayat (4) menjelaskan agar pembuatan buku tanah hak
40
tanggungan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan
pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian
hukum, ayat ini menetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal
buku tanah itu, yaitu hari ketujuh dihitung dari hari dipenuhinya
persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftaran secara lengkap.
e. Pasal 13 ayat (5) “Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku
tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Penjelasan dari pasal ini bahwa dengan dibuatnya buku tanah hak
tanggungan itu mengikat juga pihak ketiga.
7. Sertifikat Hak Tanggungan
Penjelasan mengenai Sertifikat Hak Tanggungan terdapat pada
Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 14. Pada pasal ini memberikat
ketentuan terkait Sertifiakat Hak Tanggungan, meliputi:
a. Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 14 ayat 1)
b. Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Pasal 14
ayat 2)
c. Sertipikat Hak Tanggunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah. (Pasal 14 ayat 3)
Pada penjelasan ayat 3 ini menerangkan bahwa irah-irah yang
dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan
pada ayat ini, dimaksud-kan untuk menegaskan adanya kekuatan
eksekutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan sehingga apabila
debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
41
melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate
executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.
d. Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan. (Pasal 14 ayat 4)
Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas bagi pihak bank sebagai
pemberi kredit yang melakukan pengikatan objek jaminan kredit
melalui hak tanggungan, hendaknya memerhatikan kepentingannya
terhadap sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Bila bank
menghendaki untuk menyimpan sertifikat hak atas tanah tersebut,
hendaknya mencantumkannya sebagai salah satu klausul dalam
janji-janji pada isi Akta Pemberian Hak Tanggungan. Bila klausul
tersebut tidak dicantumkan pada isi Akta Pemberian Hak
Tanggungan, kantor pertanahan menyerahkan sertifikat hak atas
tanah kepada pemiliknya sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan
Pasal 14 ayat (4).”
e. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (Pasal 14 ayat 5)
8. Eksekusi Hak Tanggungan
Proses eksekusi hak tanggungan merupakan proses menjual benda
yang merupakan objek hak tanggungan ketika utang dari debitor pemberi
hak tanggungan sudah tidak dibayar pada waktu jatuh tempo yang telah
disepakati. Terkait dengan ketentuan eksekusi ini terdapat dapat dalam
Undang-undang Hak Tanggungan, yaitu:
1) Apabila debitur cedera janji, maka
a) Pihak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
b) Titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak
tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara
42
yang ditentukan dalam peraturan pelunasan piutang perundang-
undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan
dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya (Pasal 20
ayat (1)).
Pasal 20 ayat (1) ini menjelaskan bahwa Ketentuan ayat ini
merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh
undang-undang ini bagi para kreditor pemegang hak tanggungan
dalam hal harus dilakukan eksekusi.
Pada prinsipnya, setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan
melalui pelelangan umum karena dengan cara ini diharapkan dapat
diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek hak tanggungan.
Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari
hasil penjualan objek hak tanggungan. Dalam hal hasil penjualan
itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya
sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi hak
tanggungan.
2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan
objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2).
Pasal 20 ayat (2) menjelaskan bahwa dalam hal penjualan melalui
pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga
tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui
penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh
pemberi dan pemegang hak tanggungan, dan syarat yang
ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan
untuk mempercepat penjualan objek hak tanggungan dengan harga
penjualan tertinggi.
3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara
43
tertulis oleh pemberi dan atau pemegang hak tanggungan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam
dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau
media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan
keberatan (Pasal 20 ayat (2) dan (3))
Pasal 20 ayat (3) antara lain menjelaskan terkait persyaratan yang
ditetapkan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak-
pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang hak tanggungan
kedua, ketiga, dan kreditor lain dari pemberi hak tanggungan.
4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara
yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) batal demi hukum (Pasal 20 ayat (4)).
5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan
pelunasan utang yang dijamin dengan hak tanggungan itu beserta
biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan (Pasal 20 ayat (5))
(Walaupun pencairan objek jaminan utang pada prinsipnya harus
dilakukan melalui pelelangan umum, ketentuan UU No 4 Tahun
1996 memungkinkan pencairan objek hak tanggungan dengan cara
penjualan di bawah tangan dengan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh ketentuan undang-undang tersebut. Penjualan
secara di bawah tangan dilakukan oleh kreditor tanpa melalui cara
pelelangan umum tetapi wajib memenuhi persyaratan tertentu).
6) Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak
tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya
menurut ketentuan undang-undang ini (Pasal 21).
Pasal 21 menjelaskan ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan
diutamakan pemegang hak tanggungan dengan mengecualikan
berlakunya akibat kepailitan pemberi hak tanggungan terhadap
objek hak tanggungan.
44
9. Hapusnya Hak Tanggungan
Dalam Pasal 18 Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan sebab-
sebab hapusnya hak tanggungan, yaitu:
a. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
1) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan pene-tapan peringkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
b. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya
dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan ter-sebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
c. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi
karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam
Pasal 19.
d. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang
dijamin.
Kemudian, terkait dengan Penghapusan Hak Tanggungan perlu
diperhatikan pula Pasal 19 Undang-undang Hak Tanggungan, yaitu:
a. Pembeli obyek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum
atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli
sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar
benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak
Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
b. Pembersihan obyek Hak Tanggungann dari beban Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pernyataan
45
tertulis dari pemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya
Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
c. Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak
Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan di antara para pemegang
Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek Hak
Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1), pembeli benda tersebut dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus
menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang di
antara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak
Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian
demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah
dengan tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak
akan diber-sihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.
D. Jaminan Fidusia
Seperti yang telah dikatakan narasumber, dalam pengikatan Objek IMBT
yang objeknya berupa kendaraan bermotor, maka pengikatannya
menggunakan Akta Jaminan Fidusia. Pembahasan terkait Akta Jaminan
Fidusia ini dapat kita temukan pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang JAMINAN FIDUSIA yang selanjutnya disebut dengan Undang-
undang Fidusia. Namun selain Undang-undang Fidusia, perlu diperhatikan
pula Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada
pembahasan ini penulis akan menguraikan secara berurutan dimulai dari
ketentuan-ketentuan mengenai Ruang Lingup Jaminan Fidusia, Objek Jaminan
46
Fidusia, Akta Jaminan Fidusia, Pendaftran Jaminan Fidusia, Sertifkat Jaminan
Fidusia, Eksekusi Jaminan Fidusia, dan Hapusnya Jaminan Fidusia.
1. Ruang Lingkup Jaminan Fidusia
Undang-undang Fidusia memiliki batasan-batasan yang harus
diperhatikan ketika ketentuan ini dijalankan. Terkait dengan hal tersebut,
Undang-undang Fidusia Pasal 2 sampai Pasal 3 menyebutkan:
a. Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan
untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia.
b. Undang-undang ini tidak berlaku terhadap:
1) Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,
sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku
menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;
2) Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20
(dua puluh) M3 atau lebih;
3) Hipotek atas pesawat terbang; dan
4) Gadai.
2. Objek Jaminan Fidusia
Ketentuan mengenai Objek apa saja yang dapat dijadikan Jaminan
Fidusia dapat kita lihat pada Undang-undang Jaminan Fidusia pada Pasal 1
ayat (4), Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 20. Objek-objek tersebut meliputi:
a. Benda yang harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
b. Benda berwujud.
c. Benda tidak berwujud, termasuk di dalamnya berupa piutang. Benda
bergerak.
d. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.
e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotek.
f. Benda yang sudah ada, maupun terhadap benda yang akan diperoleh
kemudian. Dalam konteks benda yang akan diperoleh kemudian, tidak
diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
g. Satu satuan atau jenis benda.
47
h. Lebih dari satu jenis atau satuan benda. Hasil dari benda yang telah
menjadi objek fidusia.
i. Hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
j. Benda persediaan (inventori, stok perdagangan). Pesawat terbang dan
helikopter yang telah terdaftar di Indonesia.
3. Akta Jaminan Fidusia
Pembebanan fidusia dilakukan dengan menggunakan instrumen yang
disebut dengan "akta jaminan fidusia". Akta jaminan fidusia ini harus
rnemenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harus berupa akta notaris.
b. Harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
c. Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
1) Identitas pihak pemberi fidusia;
2) nama lengkap;
3) agama;
4) tempat tinggal/tempat kedudukan;
5) tempat lahir;
6) tanggal lahir;
7) jenis kelamin;
8) status perkawinan;
9) pekerjaan;
d. Identitas pihak penerima fidusia, dengan rincian yang sama seperti
dalam identitas pihak pemberi di atas.
e. Hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia.
f. Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia.
g. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; yakni
identifikasi benda tersebut dan surat kepemilikannya. Akta bendanya
selalu berubah-ubah contohnya benda dalam persediaan (inventory),
maka harus disebutkan jenis, merek, dan kualitas benda tersebut.
h. Nilai penjaminannya.
i. Nilai benda yang menjadi objek-jaminan fidusia tersebut.
48
4. Pendaftaran Jaminan Fidusia
Mengingat betapa pentingnya fungsi pendaftaran bagi suatu jaminan
utang, termasuk di dalamnya jaminan fidusia ini, Undang-undang tentang
Fidusia mengaturnya dengan mewajibkan setiap jaminan fidusia untuk
didaftarkan kepada pejabat yang berwenang. Ketentuan-ketentuan terkait
pendaftaran dapat dilihat pada Pasal 11, 12, dan 13, yaitu:
a. Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan (Pasal
11 ayat (1)).
b. Dalam hal benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar
wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tetap berlaku (Pasal 11 ayat (2)).
Pasal 11 ini dapat dipahami bahwa pendaftaran benda yang
dibebani jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan
pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang
berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik
Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupa-kan
jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang
telah dibebani jaminan fidusia.
c. Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 1.2 ayat (1)).
Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di
Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara
Republik Indonesia (Pasal 12 ayat (2)).
Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman (Pasal 12 ayat
(3)).
Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia
untuk daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan
Keputusan Presiden (Pasal 12 ayat (4)).
Penjelasan Pasal 12 antara lain menjelaskan: dalam hal Kantor
Pendaftaran Fidusia belum didirikan di tiap daerah Tingkat II,
49
wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota provinsi
meliputi seluruh daerah Tingkat II yang berada di lingkungannya.
Pendirian Kantor Pendaftaran Fidusia di daerah Tingkat II, dapat
disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah.
d. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima
fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan
pendaftaran jaminan fidusia (Pasal 13 ayat (1 )).
Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat:
1) identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
2) tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan
notaris yang membuat akta jaminan fidusia
3) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia
4) uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
5) nilai penjaminan
6) nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia pada Buku
Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran (Pasal 13 ayat (3)).
Penjelasan Pasal 13 ayat (3) menuliskan ketentuan ini
dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan
penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkankan dalam
pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, tetapi hanya
melakukan pengecekan data sebagai mana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2).
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia
dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 13
ayat (4)).
5. Sertifikat Jaminan Fidusia
a. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada
penerima fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama
50
dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran (Pasal 14 ayat
(1)).
Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan salinan dari Buku Daftar
Fidusia memuat catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) (Pasal 14 ayat (2)).
Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan dicatat-nya
jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia (Pasal 14 ayat (3)).
Penjelasan Pasal 14 ayat (3) menjelaskan: ketentuan ini tidak
mengurangi berlakunya Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bagi pengalihan piutang atas nama dan kebendaan tak
berwujud lainnya.
b. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa" (Pasal 15 ayat (1)).
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 15
ayat (2)).
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) menjelaskan: dalam ketentuan ini, yang
dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah langsung dapat
dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta
mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
c. Apabila debitur cedera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk
menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya
sendiri (Pasal 15 ayat (3)).
Penjelasan Pasal 15 ayat (3) menjelaskan: salah satu ciri jaminan
fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya, yaitu
apabila pihak pemberi fidusia cedera janji. Oleh karena itu, dalam
undang-undang ini dipandang perlu. diatur secara khusus tentang
eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga parate eksekusi.
51
d. Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2), penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas
perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 16 ayat
(1))
Penjelasan Pasal 16 ayat (1) menjelaskan: perubahan mengenai hal-hal
yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, harus diberitahukan
kepada para pihak. Perubahan ini tidak perlu dilakukan dengan akta
notaris dalam rangka efisiensi untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha.
e. Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan
tersebut dalam Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan pernyataan
perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat
Jaminan Fidusia (Pasal 16 ayat (2)).
6. Eksekusi Jaminan Fidusia
Eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia
merupakan solusi yang selama ini dilakukan oleh kreditur jika debitur
tidak dapat melunasi hutangnya. Terkait dengan eksekusi objek jaminan,
terdapat beberapa ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Fidusia.
a. Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji:
1) Pasal 29 ayat (1) huruf a, “Pelaksanaan titel eksekutorial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima
fidusia”
2) Pasal 29 ayat (1) huruf b, “Penjualan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia atau kekuasaan penerima fidusia sendiri meliputi
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan”
3) Pasal 29 ayat (1) huruf c, “Penjualan di bawah tangan yang
dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia
jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak”
52
b. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar
yang beredar di daerah yang bersangkutan (Pasal 29 ayat (2)).
c. Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia
(Pasal 30). Penjelasan Pasal 30 menjelaskan: dalam hal pemberi
fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia
pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak
mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila
perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
d. Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda
perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,
penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 31).
e. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal
demi hukum (Pasal 32).
f. Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia
untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila
debitur cedera janji, batal demi hukum (Pasal 33).
g. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.
Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur
tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar (Pasal 34).
7. Hapusnya Jaminan Fidusia
Dalam Undang-undang Fidusia ditentukan terkait hapusnya jaminan
Fidusia, diantaranya:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia (Pasal 25 ayat (1) huruf a)
53
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (Pasal 25
ayat (1) huruf b)
c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 25 ayat
(1) huruf c)
d. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menjelaskan: sesuai dengan sifat ikutan
dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tergantung pada
adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut
hapus karena hapusnya utang atau karena pelepasan, dengan
sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menjadi hapus.
Hal yang dimaksud dengan hapusnya utang antara lain karena
pelunasan dan bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat
kreditor.
e. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak
menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b (Pasal 25 ayat (2).
Penjelasan Pasal 25 ayat (2) menjelaskan: dalam hal benda yang
menjadi objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut
diasuransikan, klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan
fidusia tersebut.
f. Penerima fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia
mengenai hapusnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang,
pelepasan hak, atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan
fidusia tersebut (Pasal 25 ayat (3)).
g. Dengan hapusnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia
dari Buku Daftar Fidusia (Pasal 26 ayat (1)). Kantor Pendaftaran
Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat
Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi (Pasal 26 ayat
(2)).
54
E. Review Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan analisa
terhadap beberapa sumber dari penelitian terdahulu. Penulis mendapatkan
bahwa masih terdapat beberapa hal yang perlu untuk ditelusuri lebih
mendalam. Adapun penelitian terdahulu yang telah di analisa oleh penulis
antara lain:
1. Skripsi yang ditulis oleh Rahmi Izzati, dan Sri Nurhayati pada tahun 2013
yang berjudul Analisis Penerapan Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik
(IMBT) dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Berdasarkan Fatwa
DSN MUI, Peraturan Bank Indonesia, PSAK 107, PAPSI 2013, Dan FAS
8 (Studi Kasus Pada Bank XYZ). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kesesuaian transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)
dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Berdasarkan Fatwa DSN
MUI, Peraturan Bank Indonesia, PSAK 107, PAPSI 2013, Dan FAS 8
(Studi Kasus Pada Bank XYZ). Hasil penelitian menuliskan bahwa hanya
berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 14 / DPbS tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah yang telah sesuai.
Sisanya, seperti berdasarkan Fatwa DSN MUI, PSAK 107, PAPSI 2013,
dan FAS 8 dinyatakan belum sesuai dengan ketentuan. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu terdapat pada
tempat penelitian yang diteliti. Penelitian ini tidak menyebutkan dimana
tempat penelitian ini dilakukan sementara penelitian yang dilakukan
penulis yakni pada PT. Bank BRISyariah Tbk.
2. Jurnal yang ditulis oleh Afit Kurniawan dan Nur Inayah pada tahun 2013
yang berjudul Tinjauan Kepemilikan dalam KPR Syariah: antara
Murabahah, Ijarah Muntahiyyah Bittamlik, dan Musyarakah Mutanaqisah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan ketiga
akad tersebut terutama terkait status kepemilikan. Hasil penelitan
mengungkapkan bahwa:
55
a. Tidak tepat menjadikan aset (tanah dan bangunan) yang disewakan
oleh bank sebagai jaminan dari nasabah karena pada hakikatnya aset
yang dijaminkan nasabah adalah milik bank.
b. Biaya pemeliharaan aset dibebankan kepada nasabah. Hal ini tidak
sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 9/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah
c. Penggunaan akad Wakalah dari bank ke nasabah dalam pembelian aset
seharusnya sertifikat atas nama bank, bukan langsung atas nama
nasabah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis
yaitu terdapat pada tempat penelitian dan pembatasan masalah. Penulis
meneliti perpindahan status kepemilikan pada PT. Bank BRISyariah Tbk.
yang ditinjau berdasarkan Fatwa DSN-MUI, POJK/SEOJK, PBI/SEBI/,
KHES, dan AAOIFI. kemudian melanjutkannya dengan menganalisis
kedudukan objek IMBT pada PT. Bank BRISyariah Tbk. tersebut.
3. Jurnal yang ditulis oleh Miko Polindi pada tahun 2016 yang berjudul
Implementasi Ijarah danIjarah Muntahia Bit-tamlik (IMBT) dalam
Perbankan Syariah di Indonesia. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan Ijarah dan IMBT pada Perbankan Syariah di
Indonesia. Hasil dari penelitian ini menuliskan bahwa akad IMBT sesuai
dan memiliki banyak kelebihan untuk digunakan dalam produk KPR
namun masih jarang digunakan oleh Perbankan Syariah. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni
terdapat pada pembahasan yang lebih khusus terkait mekanisme praktek
akad IMBT pada PT. Bank BRISyariah Tbk.
4. Jurnal yang ditulis oleh Nasrullah Ali Munif pada tahun 2017 yang
berjudul Analisis Akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kesesuaian akad IMBT dalam perspektif Hukum
Perdata di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa akad
IMBT merupakan perjanjian tidak bernama (Pasal 1319) yang timbul dari
56
asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338) dan IMBT juga telah memenuhi
syarat-syarat sah dari perjanjian (Pasal 1320) serta unsur-unsur perjanjian.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis
yaitu terdapat pada batasan masalah dan pedekatan penelitiannya.
Penelitian yang dilakukan Penulis lebih terkhusus dengan Perpindahan
status kepemilikan yang kemudian ditinjau dengan Hukum Ekonomi
Syariah dan Hukum Positif Indonesia dengan menjadikan PT. Bank
BRISyariah Tbk. sebagai tempat penelitian.
Dari beberapa referensi yang telah penulis analisis di atas, terdapat
pernbedaan-perbedaan dalam penelitian ini penulis membahas tentang
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Positif Indonesia terhadap
Perpindahan Status Kepemilikan atas Kedudukan Objek Sewa pada Akad
Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (Studi Kasus di PT. Bank BRISyariah Tbk.)
57
BAB III
PT. BANK BRI SYARIAH TBK. DAN PRODUK-PRODUKNYA
Pada bab ini, Penulis akan memberikan sekilas informasi tentang subjek
penelitian yang Penulis gunakan pada penelitian ini. Pada penelitian ini, Penulis
menjadikan PT. Bank BRISyariah sebagai subjek dimana terdapat produk yang
menggunakan akad IMBT dari sekian banyak produk yang dikeluarkan.
PT Bank BRISyariah Tbk. (selanjutnya disebut BRISyariah atau Bank)
bermula dari akuisisi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk terhadap Bank
Jasa Arta pada 19 Desember 2007. Bank secara resmi beroperasi setelah
mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia melalui surat
No.10/67/KEP.GBI/DpG/2008 pada 16 Oktober 2008. BRISyariah pun
menjejakkan langkahnya semakin jauh sejakditandatanganinya akta pemisahan
Unit Usaha Syariah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk untuk melebur ke
dalam PT Bank BRISyariah pada 19 Desember 2008. Proses spin off tersebut
berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2009 denganpenandatanganan yang
dilakukan oleh Sofyan Basir selakuDirektur Utama PT Bank Rakyat Indonesia
(Persero) Tbk danVentje Rahardjo selaku Direktur Utama PT Bank
BRISyariah.1Setelah sembilan tahun melayani masyarakat, pada tahun tanggal 9
Mei 2018, BRIsyariah mulai melantai di Bursa Efek Indonesia dan menjadi
sebuah perusahaan terbuka, PT Bank BRIsyariah Tbk, atau disingkat BRIsyariah.
Dengan aksi korporasi ini, BRIsyariah menjadi bank syariah anak Bank BUMN
pertama yang menjual sahamnya ke masyarakat.2
Berdasarkan laporan keuangan pada tahun 2017, aset bank BRIsyariah
meningkat 13,93% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2016 asetnya tercarat
sebesar 27.687.882 miliar menjadi 31.543.384 miliar. Dari peningkatan tersebut
ternyata disebabkan oleh penyaluran pembiayaan, diantaranya:3
1 Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal. 53
2Sejarah BRIsyariah diakses pada 4 Januari 2019 dari https://ir-
brisyariah.com/brisyariah_at_a_glance.html 3 Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal . 154-158
58
1. Giro dan Penempatan pada Bank Indonesia
Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp4,02 triliun, meningkat
sebesar Rp201,45 miliar atau 5,28% dibandingkan posisi per 31
Desember 2016 sebesar Rp3,81 triliun. Peningkatan ini disebabkan oleh
meningkatnya penempatan dana pada Fasilitas BI Syariah sebesar Rp1
triliun atau 104,36% namun disisi lain, penempatan pada Sertifikat BI
Syariah yang menurun sebesar Rp1,15 triliun atau (52,87%).
2. Giro dan Penempatan pada Bank Lain
Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp245,82 miliar, menurun
sebesar Rp207,57 miliar atau (45,78%) dibandingkan posisi per 31
Desember 2016 sebesar Rp453,39 miliar Kinerja segmen lainnya tahun
2017 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Bank
mencatat laba bersih dari segmen lainnya sebesar Rp21.451 juta. Jumlah
tersebut mengalami penurunan sebesar 77,22% dibandingkan laba bersih
tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp94.184 juta.
3. Investasi pada Surat Berharga
Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp7,41 triliun, naik
sebesar Rp2,71 triliun atau 57,48% dibandingkan posisi per 31 Desember
2016 sebesar Rp4,71 triliun. Peningkatan investasi pada surat berharga
disebabkan strategi Perseroan untuk mengalokasikan kelebihan likuiditas
dana yang belum optimal terserap ke pembiayaan.
4. Piutang Murabahah dan Istishna
Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp10,87 triliun, naik
sebesar Rp104,72 miliar atau 0,97% dibandingkanposisi piutang per 31
Desember 2016 sebesar Rp10,78 triliun. Kontribusi kedua pembiayaan
tersebut terhadap total pembiayaan masih mendominasi yakni sebesar
56,79% sedikit menurun bila dibandingkan dengan kontribusi pada bulan
Desember 2016 yaitu sebesar 59,89%.
5. Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah
Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp6,29 triliun, turun
sebesar Rp168,40 miliar atau (2,61%) dibandingkanposisi per 31
59
Desember 2016 sebesar Rp6,46 triliun. Hal inidisebabkan terutama
menurunnya pembiayaan MudharabahModal kerja dan Investasi sebesar
Rp402,79 miliar. Kontribusikedua pembiayaan tersebut terhadap total
pembiayaansebesar 34,14% sedikit menurun bila dibandingkan dengan
kontribusi pada bulan Desember 2016 yaitu sebesar 36,81%.
6. Ijarah
Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp1,15 triliun, meningkat
signifikan sebesar Rp860,74 miliar atau 300,77% dibandingkan posisi
piutang Ijarah per 31 Desember 2016 sebesar Rp286,18 miliar. Hal ini
disebabkan terutama meningkatnya pembiayaan IMBT sebesar Rp927,90
miliar. Kontribusi pembiayaan ini terhadap total pembiayaan sebesar 6,23%
meningkat bila dibandingkan dengan kontribusi pada bulan Desember
2016 yaitu sebesar 1,63%.
7. Pinjaman Qardh
Posisi per 31 Desember 2017 mencapai sebesar Rp524,10 miliar,
meningkat sebesar Rp230,98 miliar atau 78,80% dibandingkan posisi
piutang per 31 Desember 2016 sebesar Rp293,12 miliar. Peningkatan ini
disebabkan terutama oleh meningkatnya pinjaman Qardh Value Chain
sebesar Rp316,59 miliar.
Kegiatan Usaha
Sesuai dengan Anggaran Dasar Perusahaan yang terakhir, yang tertuang
dalam AKTA No.52 tanggal 31 Agustus 2016 yang dibuat dihadapan Fathiah
Helmi, SH, notaris di Jakarta, pasal 3 ayat 1, Maksud dan tujuan Perseroan
ialah Menyelenggarakan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Untuk
mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, BRISyariah dalam
melaksanakan kegiatan usaha perbankanberdasarkan prinsip syariah
melakukan kegiatan usahasebagai berikut:4
1. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupagiro, tabungan atau
bentuk lainnya yang dipersamakandengan itu berdasarkan akad wadi‟ah
atau akad lainyang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4 Lihat, Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal . 56-58
60
2. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupadeposito, tabungan, atau
bentuk lainnya yangdipersamakan dengan itu berdasarkan akad
mudharabahatau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsipsyariah;
3. Menyalurkan pembiayaaan bagi hasil berdasarkan akadmudharabah, akad
musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah,akad salam, akad
istishna‟, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
5. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardhatau akad lain yang
tidak bertentangan dengan prinsipsyariah;
6. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiyah bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah;
7. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; Melakukan usaha
kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
8. Melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara
lain: 1) Wakalah; 2) Hawalah; 3) Katalah; 4) Rahn;
9. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga
pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying
transaction) berdasarkan prinsip syariah;
10. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh
Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
11. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga, dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan
prinsip syariah;
12. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah
berdasarkan prinsip syariah;
13. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari atau meminjamkan dana
kepada Bank lain, baik menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
61
14. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga
berdasarkan prinsip Wadi‟ah yad Amanah atau prinsip lain berdasarkan
prinsip syariah; Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya
untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak berdasarkan
prinsip syariah;
15. Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah;
16. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah;
17. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan Akad Wakalah;
18. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui
oleh Bank Indonesia dan mendapat fatwa Dewan Syariah Nasional.
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud, Bank dapat pula :
1. Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan prinsip syariah;
2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank umum syariah atau
lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan syarat harus
menarik kembali penyertaannya;
4. Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip
syariah;
5. Melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal;
6. Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank berdasarkan prinsip syariah
dengan menggunakan sarana elektronik;
7. Menerbitkan, menawarkan dan memperdagangkan surat jangka pendek
berdasarkan prinsip syariah, baik secara langsung atau tidak langsung,
melalui pasar uang;
8. Menerbitkan, menawarkan dan memperdagangkan surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah, baik secara langsung atau tidak
langsung, melalui pasar modal;
62
9. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank umum syariah
lainnya yang berdasarkan prinsip syariah.
Produk dan Layanan
1. Tabungan Faedah BRISyariah iB
Merupakan produk tabungan dengan akad wadi‟ah. Tabungan faedah ini
memiliki beberapa segmen, yaitu:5
a. Tabungan Faedah BRISyariah iB Segmen Reguler
Merupakan produk Tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
individu, dengan dilengkapi buku tabungan dan kartu ATM serta
fasilitas e-channel mobile Banking dan internet Banking.
b. Tabungan Faedah BRIsyariah iB segmen Payroll
Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
kerjasama (PKS) sebagai sarana pembayaran gaji/payroll karyawan
dengan fitur khusus FAEDAH.
c. Tabungan Faedah BRIsyariah iB segmen Siswa/Co-Branding
Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
kerjasama (PKS) yang dapat dipergunakan sebagai kartu siswa ataupun
co-branding dengan fitur khusus FAEDAH.
d. Tabungan Faedah BRIsyariah iB segmen Bisnis Non-Individu
Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
badan/non individu baik berupa Badan Hukum maupun Non Badan
Hukum dengan dilengkapi buku tabungan.
2. Tabungan Haji BRISyariah iB
Merupakan produk simpanan dari BRIsyariah menggunakan akad
Mudharabah sesuai prinsip syariah, khusus bagi calon Haji yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
BRIsyariah juga meluncurkan program Tabungan Haji untuk Anak, yaitu
Tabungan Haji BRIsyariah iB yang diperuntukkan bagi anak-anak agar
dapat menabung sejak dini mempersiapkan kebutuhan Biaya Perjalanan
5 Lihat, Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah tahun 2017 hal . 58-63
63
Ibadah Haji (BPIH). Selain itu Tabungan Haji juga dapat digunakanbagi
Nasabah yang ingin beribadah Umroh.
3. Tabungan Impian BRISyariah iB
Merupakan tabungan berjangka dari BRIsyariahmenggunakan akad
Mudharabah Mutlaqah denganprinsip bagi hasil yang dirancang untuk
mewujudkanimpian Nasabahnya dengan terencana memakaimekanisme
autodebet setoran rutin bulanan melaluiTabungan Faedah BRIsyariah
sebagai rekening induk.Tabungan ini memiliki fitur yang dilengkapi oleh
sertifikat asuransi yang preminya gratis persembahan dari Bank
BRIsyariah.
4. TabunganKu BRISyariah iB
Tabungan untuk perorangan menggunakan akad wadiahdengan
persyaratan mudah dan ringan yang diterbitkansecara bersama oleh Bank-
Bank di Indonesia gunamenumbuhkan budaya menabung serta
meningkatkankesejahteraan masyarakat.
5. Tabungan Mikro BRISyariah iB
Merupakan produk tabungan dengan akad wadi‟ah yangdiperuntukkan
khusus untuk memperlancar kegiatantransaksi nasabah pembiayaan mikro.
6. Tabungan Simpanan Pelajar iB (SimPel)
SimPel iB atau kependekan dari Simpanan Pelajar iB adalah tabungan
yang diperuntukkan bagi siswa yang diterbitkan secara nasional, dengan
persyaratan mudah dan sederhana serta fitur yang menarik, dalam rangka
edukasi dan inklusi keuangan untuk mendorong budaya menabung sejak
dini.
7. Giro
a. Giro Faedah Wadiah BRISyariah iB
Merupakan produk simpanan dari BRIsyariah menggunakan akad
titipan (Wadiah) sesuai prinsip syariah bagi nasabah perorangan
maupun perusahaan untuk kemudahan transaksi bisnis sehari-hari
dimana penarikan dana menggunakan cek & bilyet giro.
b. Giro Faedah Mudharabah BRIsyariah iB
64
Giro Faedah Mudharabah BRIsyariah iB yaitu investasi dana nasabah
dengan menggunakan akad Mudharabah Mutlaqah sehingga nasabah
dapat diberikan imbal hasil berupa bagi hasil yang lebih
menguntungkan.
8. Deposito
a. Deposito BRISyariah iB
Merupakan produk investasi berjangka dari BRIsyariah menggunakan
Akad Musharabah sesuai prinsip syariah bagi nasabah perorangan
maupun perusahaan dengan jangka waktu penempatan 1, 3, 6, dan 12
bulan.
b. Simpanan Faedah BRIsyariah iB
Merupakan produk investasi berjangka dari BRIsyariah menggunakan
Akad musharabah sesuai prinsip syariah bagi nasabah perorangan
maupun perusahaan dengan jangka waktu penempatan kurang dari 1
bulan (7, 14, 21, 28 hari).
Produk Pembiayaan
1. Pembiayaan Retail Konsumer, yang terdiri dari :
a. KPR BRISyariah iB (Kepemilikan Rumah)
Pembiayaan Kepemilikan Rumah kepada perorangan untuk memenuhi
sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan hunian dengan mengunakan
prinsip jual beli (Murabahah) / sewa menyewa (Ijahrah) dimana
pembayarannya secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah
ditetapkan di muka dan dibayar setiap bulan.
b. KPR Sejahtera BRISyariah iB
Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR iB) yang diterbitkan
Bank BRISyariah untuk pembiayaan rumah dengan dukungan bantuan
dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam rangka pemilikan
rumah sejahtera yang dibeli dari pengembang (develover).
c. KKB (Kepemilikan Kendaraan Bermotor)
65
Pembiayaan Kepemilikan Mobil dari BRISyariah kepada nasabah
perorangan untuk memenuhi kebutuhan akan kendaraan dengan
mengunakan prinsip jual beli (Murabahah) dimana pembayarannya
secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah ditetapkan di
muka dan dibayar setiap bulan
d. Gadai
Pembiayaan dengan agunan berupa emas, dimana emas yang
diagunkan disimpan dan dipelihara oleh BRIS selama jangka waktu
tertentu dengan membayar biaya penyimpanan dan pemeliharaan atas
emas.
e. Pembiayaan Umroh BRISyariah iB
Pembiayaan Umrah BRISyariah iB hadir membantu anda untuk
menyempurnakan niat anda beribadah dan berziarah ke Baitullah.
f. Pembiayaan Kepemilikan Emas (PKE) BRISyariah iB
Pembiayaan kepada perorangan untuk tujuan kepemilikan emas
dengan menggunakan Akad Murabahah dimana pengembalian
pembiayaan dilakukan dengan mengangsur setiap bulan sampai
dengan jangka waktu selesai sesuai kesepakatan.
g. KMF BRISyariah iB
Kepemilikan Multi Faedah Pembiayaan yang diberikan khusus kepada
karyawan untuk memenuhi segala kebutuhan (barang/jasa) yang
bersifat konsumtif dengan cara yang mudah.
h. KMF Pra Purna BRISyariah iB
Fasilitas pembiayaan kepada para PNS aktif yang akan memasuki
masa pensiunan untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan
paket barang atau jasa dengan menggunakan prinsip jual beli
(murabahah) atau sewa menyewa (ijarah) dimana pembayarannya
secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah ditetapkan di
muka dan dibayar setiap bulan sampai memasuki masa pensiunan.
i. KMF Purna BRISyariah iB
66
KMF PURNA iB adalah Kepemilikan Multifaedah fasilitas
pembiayaan yang diberikan kepada para pensiunan untuk memenuhi
sebagian atau keseluruhan kebutuhan paket barang atau jasa dengan
menggunakan prinsip jual beli (murabahah) atau sewa menyewa
(ijarah) dimana pembayarannya secara angsuran dengan jumlah
angsuran yang telah ditetapkan di muka dan dibayar setiap bulan.
j. IMBT Konsumer BRIS iB
Fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada Nasabah untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif Nasabah dengan system sewa menyewa aset
milik BRISyariah yang diperoleh melalui pembelian dari Nasabah/
Pihak ke-3, dengan opsi pengalihan kepemilikan atas Aset oleh
BRISyariah kepada Nasabah pada saat fasilitas pembiayaan lunas (jual
beli/hibah).
2. Pembiayaan Retail Kemitraan
a. Multifinance
Pembiayaan yang diberikan kepada lembagakeuangan yang melakukan
kegiatan usaha pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa
untuk kemudian disalurkan lebih lanjut kepada enduser yang
mengajukan pembiayaan kepemilikan barang/ jasa kepada
multifinance tersebut sesuaidengan akad syariah.
b. Koperasi karyawan
Pembiayaan yang diberikan kepada koperasiuntuk kemudian
disalurkan lebih lanjut kepadapara anggotanya yang mengajukan
pembiayaan kepemilikan barang/ jasa sesuai dengan akad
syariah.
c. BMT (Baitul Mal waTamwil)
Pembiayaan yang diberikan kepada lembagakeuangan yang berbentuk
BMT untuk kemudiandisalurkan lebih lanjut kepada para nasabahnya
yang mengajukan pembiayaan kepemilikan barang/jasa.
3. Pembiayaan Mikro
a. Mikro 25 iB
67
b. Mikro 75 iB
c. Mikro 200 iB
d. KUR
Skema pembiayaan mikro BRISyariah menggunakanakad Murabahah
(jual beli) dan Ijarah MuntahiyaBittamlik (IMBT), dengan tujuan
pembiayaan untukmodal kerja, investasi dan konsumsi.Pembiayaan ini
diberikan kepada calon nasabahdengan rentang umur Minimal 21
tahun atau telahmenikah untuk usia lebih besar atau sama dengan
18 tahun. Maksimal 65 tahun pada saat akhir jangka waktu
pembiayaan.
4. Pembiayaan Linkage - Channeling BRIS iB
Pembiayaan Linkage Channeling BRIS iB adalah pola pemberian Fasilitas
Pembiayaan konsumtif Multiguna dan Multijasa kepada Calon Nasabah
yang merupakan Pegawai/Karyawan suatu instansi/perusahaan yang juga
merupakan Anggota Koperasi, melalui perantara Koperasi Karyawan
(KOPKAR)/Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI).
5. Pembiayaan SME 200-500 BRIS IB
Pembiayaan SME 500 BRIS iB merupakan fasilitas pembiayaan yang
diberikan oleh Bank BRISyariah kepada Nasabah dengan menggunakan
konsep pembiayaan Murabahah maupun Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik
(IMBT), dimana Bank memberikan Fasilitas Pembiayaan kepada Nasabah
untuk tujuan Modal Kerja maupun Investasi yang sesuai dengan Prinsip
Syariah.
6. Pembiayaan SME > 500BRIS iB
Pembiayaan investasi yang diberikan kepada Nasabah untuk pembelian
kendaraan roda empat/ lebih yang digunakan untuk penunjang kegiatan
usaha dan untuk pembelian tempat usaha untuk kegiatan produktif.
7. Pembiayaan Modal Kerja Revolving (PMKR) BRIS iB
PMKR BRIS iB adalah fasilitas pembiayaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan modal kerja usaha nasabah yang tidak berdasarkan
kontrak (non project based), menggunakan akad musyarakah, dengan sifat
68
revolving (nasabah dapat melakukan penarikan dan penurunan pokok
secara berulang kali sesuai kebutuhan, sepanjang tidak melebihi plafon
yang telah ditentukan.
8. Layanan Perbankan
Employee benefit Program (EmBP) adalah program kerjasama dengan
suatu perusahaan yang dituangkan dalam Master Agreement berupa
pemberian fasilitas pembiayaan langsung kepada Karyawan/ti dari
perusahaan yang memenuhi kriteria Bank BRISyariah, dengan persyaratan
yang relatif mudah/ringan bagi karyawan/ti.
69
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab IV dapat dikatakan sebagai pembahasan inti dari dilakukanya pemaparan-
pemaparan sebelumnya. Penulis pada bab ini akan menunjukan hasil analisa
terkait dengan Tinjauan Hukum Ekonomi syariah terkait dengan Perpindahan
Status Kepemilikan atas Objek sewa. Selain itu, Penulis juga akan menjelaskan
hasil analis dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan Jaminan Fidusia
dalam memberikan perlindungan untuk Objek IMBT yang diperjanjikan antara
Bank dan Nasabah.
A. Mekanisme Pelaksanaan Akad IMBT di PT. Bank BRISyariah Tbk.
Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang bagaimana mekanisme
Akad IMBT di Bank Syariah. Sebelumnya penulis telah melakukan
wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara informal kepada
pihak Bank Syariah. Maka dari itu, pada bagian ini penulis akan memaparkan
hasil temuannya terkait dengan Akad IMBT pada PT. Bank BRISyariah Tbk.
Narasumber adalah Ibu Asmiyatul Z yang menjabat sebagai Product
Development Section Head. Adapun isi dari hasil wawancara tersebut terkait
dengan mekanisme pelaksanaan IMBT di PT Bank BRISyariah Tbk., yaitu:
1. Pengajuan permohonan pembiayaan pemilikan rumah/kendaraan bermotor
(objek bebasis aset, bukan modal kerja) dengan akad ijarah muntahiyyah
bittamlik oleh nasabah pada bank.
2. Setalah permohonan disetujui, selanjutnya penandatangan akad
pembiayaan pemilikan rumah/kendaraan bermotor dengan akad ijarah
muntahiyyah bittamlik antara bank dengan nasabah.
3. Dilakukan akad Al Bai‟ antara bank dengan suplier penyedia barang yang
sesuai dengan spesifikasi nasabah. Namun Nasabah dimungkinkan untuk
mencari sendiri barang maupun suplier yang diinginkannya. Dalam hal ini,
maka kedudukan nasabah adalah sebagai wakil dari bank. Kemudian
pembayaran oleh bank atas pembelian rumah/kendaraan bermotor tersebut
akan langsung dicairkan ke rekening suplier.
70
4. Dilakukan akta jual beli rumah/kendaraan bermotor oleh nasabah dan
suplier secara notariil. Sertifikat atas objek pembiayaan tersebut langsung
tertulis atas nama nasabah.
5. Sertifikat objek atas nama nasabah tersebut langsung diikat dengan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) jika objeknya adalah
rumah/bangunan atau diikat dengan Akta Jaminan Fidusia jikat objeknya
adalah kendaraan bermotor Sertifikat akan disimpan oleh Bank dan akan
dikembalikan kepada nasabah pada akhir masa sewa. Tanah dan bangunan
yang menjadi obyek IMBT akan diikat dengan hak tanggungan.
6. Dilakukan akad Ijarah antara bank dengan nasabah. Nasabah membayar
uang sewa tiap bulan pada bank.
7. Pada akhir masa sewa bank menghibahkan objek yang disewakan kepada
nasabah.
Dari hasil wawancara tersebut,terkait dengan fokus penelitian yang
manadidapati bahwa sejak awal perjanjian IMBT, sertifikat kepemilikan langsung
tertulis atas nama Nasabah. Hal ini pun sama seperti yang ditemukan Penulis pada
literatur-literatur sebelumnya yang mana menyatakan bahwa sertifikat
kepemilikan atas objek IMBT tersebut langsung tertulis atas nama nasabah. Jika
diperhatika pada poin 7, yakni Bank Syariah menghibahkan Objek IMBT pada
akhir masa sewa maka akan menjadi pertanyaan terkait kepemilikan atas objek
IMBT tersebut.dalam hal ini narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada
hakikatnya adalah milik pihak Bank sebelum masa sewa berakhir.Pencatatan
sertifikat kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya sekedar formalitas
agar terhindar dari double tax dan biaya peralihan yang dua kali.
Dari analisis Penulis terhadap pelaksanaan IMBT di PT. Bank Syariah Tbk
berdasarkan skema IMBT yang bersumber dari DSN-MUI, secara keseluruhan
tidak ada yang berbeda antara praktek IMBT yang ada di PT. Bank BRISyariah
Tbk. dengan skema IMBT yang bersumber dari DSN-MUI. Terkait dengan
sertifikat kepemilikan yang langsung tertulis atas nama nasabah, dalam hal ini PT.
Bank BRISyariah Tbk. mengikatkan sertifikat tersebut dengan Akta Penjaminan
Hak Tanggungan atau Akta Jaminan Fidusia.
71
B. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah pada Perpindahan Status
Kepemilikan atas Objek IMBT
Pada bagian ini, Penulis akan menjelaskan hasil analisis terhadap konsep
Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek Sewa yang diatur didalam Hukum
Ekonomi Syariah seperti Fatwa, POJK/SEOJK, PBI/SEBI, KHES, dan
AAOIFI.
1. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan
Ketentuan Fatwa DSN-MUI
Seperti yang sudah dijelaskan pada Latar belakang di atas, akad IMBT
adalah akad yang digunakan dalam lembaga pembiayaan/keuangan syariah
di Indonesia untuk memberikan hak kepemilikan atas objek yang telah
disewa oleh nasabah. Namun dalam prakteknya seperti yang didapat oleh
Penulis dari hasil wawancara yang telah dilakukan, Narasumber
membenarkan bahwa sertifikat kepemilikan langsung tercatat atas nama
nasabah. Jika memperhatikan Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002
tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik pada bagian kedua (1)
yang menuliskan “Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-
Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan
kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan
setelah masa Ijarah selesai.”1 Sekilas praktek yang seperti ini tidak sesuai
dengan bunyi ketentuan Fatwa DSN diatas. Namun narasumber
mengatakan bahwa objek IMBT pada hakikatnya adalah milik pihak Bank
sebelum masa sewa berakhir. Pencatatan sertifikat kepemilikan yang
tertulis atas nama tersebut hanya untuk menghindari double tax dan biaya
peralihan yang dua kali.
Selain akad IMBT, akad Wakalah juga digunakan antara bank dengan
nasabah yang dimaksudkan agar nasabah mewakili bank untuk mencari
objek yang dikehendaki oleh nasabah. Dalam Fatwa DSN no. 10/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Wakalah terdapat ketentuan terkait Syarat-syarat
1 Lihat, Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-
Tamlik terkait ketentuan Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
72
muwakkil (yang mewakilkan) yaitu salah satunya harus “Pemilik sah yang
dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.” Penulis memahami
bahwa Muwakkil dalam hal ini adalah pihak bank, walaupun memberikan
kuasa kepada nasabah untuk mencari barang yang dibutuhkan, tetap saja
bank adalah pemilik dari objek yang akan diperjanjikan. Dalam akad
Wakalah, nasabah hanya perwakilan dari bank dalam mencari objek yang
akan dierjanjikan.
Dari analisis yang dilakukan oleh Penulis terkait perpindahan status
kepemilikan pada objek sewa berdasarkan Fatwa DSN-MUI, menurut
Penulis hanya Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-
Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik dan Fatwa DSN no. 10/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Wakalah yang relevan untuk dijadikan pedoman
dalam meninjau praktek yang dilakukan di bank syariah tersebut. Adapun
Fatwa DSN no. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah yang
Syarat dan Rukunnya berlaku pula pada akad Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi
Al-Tamlik, namun tidak terdapat penjelasan terkait Perpindahan Status
Kepemilikan atas Objek Sewa.
2. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan
Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan OJK
Dari sekian banyak peraturan yang dibuat oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), menurut Penulis hanya ada beberapa ketentuan yang
terkait dengan akad IMBT, diantaranya:
a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK no. 31/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, yang terdapat
dalam Pasal 4 (1) hanya menyatakan bahwa IMBT adalah kegiatan
Pembiayaan Jasa.
b. POJK no. 16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, membahas tentang ketentuan
Cadangan Khusus Penyisihan Penghapusan Aset (PPA), Cadangan
Umum PPA, dan Perhitungan PPA untuk akad IMBT.
73
Dari Kedua Peraturan Otoritas Jasa Keuangan diatas, Penulis tidak
menemukan pengaturan terkait Perpindahan Status kepemilikan atas objek
sewa pada akad IMBT. Kemudian pada tahun 2015 Otoritas Jasa
Keuangan mengeluarkan Surat Edaran (SEOJK) no. 36/SEOJK.03/2015
tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah. Pada Surat Edaran ini, Penulis menemukan pada bagian
persyaratan 3.2 yang berbunyi “Perpindahan kepemilikan suatu aset dari
Bank kepada nasabah dapat dilakukan jika aktivitas penyewaan telah
berakhir atau diakhiri dan aset ijarah telah diserahkan kepada nasabah
dengan membuat akad terpisah”2. Dari bunyi diatas, Penulis memahami
bahwa untuk memindahkan kepemilikan objek harus dilakukan ketika
jangka waktu sewa telah berakhir. kemudian kata “diakhiri” dapat
diartikan ketika nasabah ingin mempersingkat waktu sewa dengan cara
mempercepat pembayaran kepada bank.Sekilas terdapat ketidak sesuaian
yang manasertifikat status kepemilikan yang langsung tertulis atas nama
nasabah walaupun proses sewa-menyewanya belum berakhir. Namun
narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada hakikatnya adalah milik
pihak Bank sebelum masa sewa berakhir. Pencatatan sertifikat
kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya untuk menghindari
double tax dan biaya peralihan yang dua kali.
3. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan
Ketentuan Bank Indonesia
Terkait dengan Akad IMBT, Penulis menemukan beberapa Ketentuan
yang telah dikeuarkan oleh Bank Indonesia. Namun tidak semua ketentuan
tersebut menjelaskan tentang Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek
Sewa. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya:
a. PBI no. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prisnsip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan
2 Lihat, SEOJK no. 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah pada bagian 3.2
74
Jasa Bank Syariah, hanya menyatakan bahwa IMBT adalah akad yang
digunakan dalam Penyaluran dana yang memenuhi prinsip syariah.
b. SEBI no. 14/33/DPbS perihal Penerapan Kebijakan Produk
Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan
Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, hanya
menyebutkan bahwa akad IMBT dapat digunakan untuk kegiatan KPR.
Pembahasan terkait ketentuan Perpindahan Status Kepemilikan
terdapat PBI no.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran
Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah, meskipun tidak secara detail. Ketentuan yang terkait tersebut
dapat dilihat pada Pasal 16 (1) poin b, c, dan d yang berbunyi:3
b. Pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah Akad Ijarah
dipenuhi.
c. Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah
berdasarkan hibah, pada akhir periode perjanjian sewa.
d. Pengalihan kepemilikan barang sewa kepada penyewa dituangkan
dalam Akad tersendiri setelah masa Ijarah selesai.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Penulis dimana narsumber
membenarkan praktek perpindahan status kepemilikan langsung atas nama
nasabah maka jika ditinjau dari tiga poin diatas, Penulis menyimpulkan
bahwa praktek seperti ini tidak sesuai dengan PBI no.7/46/PBI/2005
tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dimana
menurut PBI ini, perpindahan status kepemilikan atas objek sewa hanya
bisa dilakukan ketika masa Ijarah/sewa telah selesai.
Namun, pada PBI no.7/46/PBI/2005 ini Penulis menemukan sedikit
pembatasan dimana pengalihan objek dengan akad IMBT hanya bisa
dilakukan dengan hibah. Berbeda dengan Fatwa DSN-MUI tentang Al-
3 Lihat, PBI no.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran Dana bagi Bank
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 16
75
Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik yang menyatakan bahwa pengalihan
Objek dapat menggunakan hibah dan jual beli. Sekilas terdapat ketidak
sesuaian yang mana sertifikat status kepemilikan yang langsung tertulis
atas nama nasabah walaupun proses sewa-menyewanya belum berakhir.
Namun narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada hakikatnya
adalah milik pihak Bank sebelum masa sewa berakhir. Pencatatan
sertifikat kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya untuk
menghindari double tax dan biaya peralihan yang dua kali.
Kemudian pada ketentuan Bank Indonesia lainnya, Penulis mendapati
pula pada SEBI no. 10/14/DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah, dimana pada bagian III. 7 terkait
persyaratan IMBT yang dinyatakan dalam poind ”Pelaksanaan pengalihan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa dapat dilakukan setelah
masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa”.4 Dari poin
ini Penulis memahami bahwa pengalihan status kepemilikan baru dapat
dilaksanakan ketika masa sewa yang telah disepakati antara bank dan
nasabah telah berakhir. Tidak seperti praktek yang dimana perpindahan
kepemilikannya telah dilakukan diawal masa sewa.
4. Perpindahan Status Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Terkait dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh Penulis, dimana
narasumber membenarkan praktek perpindahan status kepemilikan objek
IMBT yang langsun atas nama nasabah, jika ditinjau berdasarkan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Penulis mendapati
ketentuan mengenai IMBT yang terdapat pada bagian buku II pasal 278-
285. Terkait dengan perpindahan status kepemilikan atas objek, dapat
dilihat pada pasal 280 poin (2) yang berbunyi “Akad perpindahan
kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah Muntahiyah Bi
4 Lihat, SEBI no. 10/14/DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah pada bagian III.7
76
tamlik berakhir”.5
Dari Pasal 280 poin (2) tersebut maka Penulis
berpendapat bahwa untuk dapat memindahkan status kepemilikan atas
objek sewa tidak boleh dilakukan sebelum masa sewa berakhir. Sekilas
terdapat ketidak sesuaian yang mana sertifikat status kepemilikan yang
langsung tertulis atas nama nasabah walaupun proses sewa-menyewanya
belum berakhir. Namun narasumber mengatakan bahwa objek IMBT pada
hakikatnya adalah milik pihak Bank sebelum masa sewa berakhir.
Pencatatan sertifikat kepemilikan yang tertulis atas nama tersebut hanya
untuk menghindari double tax dan biaya peralihan yang dua kali.
5. PerpindahanStatus Kepemilikan atas Objek IMBT Berdasarkan
SHARI’AH STANDARDS dari ACCOUNTING AND AUDITING
ORGANIZATION FOR ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS
(AAOIFI).
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions atau AAOFI didirikan pada tahun 1991 dan berpusat di
Bahrain. AAOIFI adalah organisasi nirlaba internasional terkemuka yang
terutama bertanggung jawab untuk pengembangan dan penerbitan standar
untuk industri keuangan Islam global. Ini telah mengeluarkan total 100
standar di bidang Syariah, akuntansi, audit, etika dan tata kelola untuk
keuangan Islam internasional. Didukung oleh sejumlah anggota lembaga,
termasuk bank sentral dan otoritas pengatur, lembaga keuangan,
perusahaan akuntansi dan audit, dan firma hukum, dari lebih dari 45
negara. Standar-standarnya saat ini diikuti oleh semua lembaga keuangan
Islam terkemuka di seluruh dunia dan telah memperkenalkan tingkat
harmonisasi progresif praktik keuangan Islam internasional.
Behubungan dengan dengan Perpindahan Status Kepemilikan atas
Objek sewa, Penulis melihat pada SHARI‟AH STANDARD (November
5 Lihat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 278-285
77
2017) BAB Ijarah and Ijarah Munthia Bittamleek. Pada bab ini, Penulis
mendapatkan bagian yang menyatakan;6
(3/1) For the permissibility of an Ijarah contract concerning a specified
asset, the lease contract should be preceded by acquisition of either the
asset to be leased or the usufruct of that asset”. Artinya “Untuk
diizinkannya kontrak Ijarah mengenai aset tertentu, kontrak sewa harus
didahului dengan akuisisi aset yang akan disewa atau pembuatan aset
tersebut.”
3/1/1. If the asset or the usufruct thereof is owned by the Institution,
which should in principle be the case, an Ijarah contract may be
executed as soon as agreement is reached by the two parties. Artinya
“Jika aset atau hak miliknya dimiliki oleh Lembaga, yang pada
prinsipnya menjadi kasus ini, kontrak Ijarah dapat dilaksanakan segera
setelah kesepakatan dicapai oleh kedua pihak.”
3/1/2. However, if the asset is to be acquired by the customer [see
item 3/2 below], or by a third party, the Ijarah contract shall not be
executed unless and until the Institution has acquired that asset.
Artinya “Namun, jika aset tersebut akan diperoleh dari nasabah [lihat
butir 3/2 di bawah ini], atau dari pihak ketiga, kontrak Ijarah tidak
akan dilaksanakan kecuali dan sampai Lembaga memperoleh aset itu.
Dari Pernyataan diatas, dalam poin 3/1 Penulismemahami bahwa
lembaga/ bank harus memiliki objek IMBT terlebih dahulu dengan cara
mengakuisisi atau membuat sendiri objek yang akan di sewakan. Dalam
hal lembaga/bank telah memiliki objek yang akan disewakan, setelah
kedua belah pihak telah bersepakat maka perjanjian IMBT dapat langsung
dilaksananakan. Kemudian ketika objek tersebut diperoleh dari nasabah
misalnya dalam kasus Sale and Lease Back, maka tetap saja lembaga/bank
harus memiliki aset tersebut. Sehingga Penulis menyimpulkan bahwa
perpindahan kepemilikan atas objek IMBT haruslah dimiliki bank terlebih
6 Lihat, Shari,ah Standard, Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions (AAOIFI) hal. 239-240
78
dahulu barulah kemudian diakhir masa sewa-menyewa berpindah kepada
nasabah. Terkait dengan hasil wawancara yang membenarkan praktek
perpindahan status kepemilikan atas objek sewa yang langsung beralih
atas nama nasabah, maka Penulis berpendapat ini tidak sesuai dengan
SHARI‟AH STANDARDS dari ACCOUNTING AND AUDITING
ORGANIZATION FOR ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS
(AAOIFI) ini.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Objek IMBT di PT. Bank
BRISyariah Tbk.
Pada bagian sebelumnya, telah dinyatakan bahwa sertifikat status
kepemilikan yang seharusnya terlebih dahulu tercatat atas nama bank
kemudian baru beralih ketika masa sewa objek telah selesai. Namun pada
prakteknya Penulis menemukan bahwa sertifikat Status Kepemilikan langsung
tercatat atas nama nasabah sehingga dapat dikatakan secara legal tittle atau
secara tertulis bahwa barang tersebut adalah milik nasabah. Penulis
berpendapat bahwa tentu disini terdapat celah yang memungkinkan terjadinya
permasalahan hukum yang akan timbul ketika dipertengahan jalan, nasabah
melakukan wanprestasi atau nasabah mengalami gagal bayar. Dalam hal ini,
narasumberpun membenarkan bahwa memang secara hukum praktek seperti
ini sedikit lemah. Maka dari itu, untuk menjamin objek yang sertifikat
kepemilikannya telah tercatat atas nama nasabah tersebut dengan pengadaan
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk benda yang berupa
rumah/bangunan dan Akta Penjaminan Fidusia untuk benda yang berupa
kendaraan bermotor. Narasumber menyampaikan bahwa kedua akta ini
memiliki hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak bank jika nasabah
melakukan wanprestasi ataupun nasabah mengalami gagal bayar di
pertengahan jalan. Sehingga, pada bagian ini penulis akan membahas
mengenai ketentuan hukum tentang bagaimana Akta Pemberian Hak
Tanggungan dan Akta Penjaminan Fidusia ini dalam melindungi hak dan
kewajiban antara Pihak Bank Syariah dan Nasabah.
1. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
79
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, dalam pengikatan Objek
IMBT yang objeknya berupa rumah atau bangunan, maka pengikatannya
menggunakan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Ini
dimaksudkan agar bank menjadi pihak yang paling utama dalam
mendapatkan pelunasan hutang ketika objek IMBT tersebut dieksekusi,
dilelang, atau dijual ketika nasabah tersebut wanprestasi atau tidak mampu
lagi melunasi hutangnya. Namun, pada bagian ini Penulis akan melakukan
pembahasan yang lebih spesifik bagaimana dengan mengacu pada
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HAK TANGGUNGAN
ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN
DENGAN TANAH selanjutnya Penulis sebut dengan Undang-undang
Hak Tanggungan. Namun selain Undang-undang Hak Tanggungan, perlu
diperhatikan pula Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria selanjutnya disebut Undang-undang Pokok
Agraria, seperti ditegaskan oleh Undang-undang Hak Tanggungan pada
bagian Mengingat sub 2.
Untuk mengetahui lebih dalam terkait perlindungan atas Objek IMBT
yang sertifikatnya langsung tercatat atas nama nasabah, terlebih dahulu
Penulis menjelaskan kedudukan hukum pada Hak Tanggungan. Dalam
Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 1 berbunyi “Hak Tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”7 Dari
bunyi pasal ini, Penulis memahami bahwa Hak Tanggungan memberikan
suatu Hak Jaminan kepada siapa saja yang memilikinya. Hak Jaminan
7 Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 1
80
disini harus mencakup berupa Tanah berikut dengan benda-benda yang
melekat diatasnya atau benda-benda yang tidak melekat tetapi masih satu
kesatuan dengan tanah itu. Kemudian terdapat pernyataan ”untuk
pelunasan utang tertentu”, disini tampak sifat accessoirdimana Hak
Tanggungan ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok
sebelumnya. Dalam hal ini, perjanjian pokoknya adalah utang-piutang
antara Bank Syariah dengan Nasabah dari diadakannya Akad IMBT.
Selain itu, yang Penulis pahami dari Pasal 1 terkait dengan “memberikan
kedudukan yang diutamakan” bahwa Hak Tanggungan ini menjadikan
pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preferen (Kreditur preferen
berati bahwa kreditur yang bersangkutan didalam mengambil pelunasan
atas hasil eksekusi benda pemberi jaminan tertentu (yang dalam
hubungannya dengan hak tanggungan) secara khusus diperikatkan untuk
menjamin tagihan kreditur8).
Masuk kedalam inti pembahasan, Penulis memulai dengan pertanyaan
bagaiman Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dapat melindungi
Objek IMBT? Dimana seharusnya objek IMBT tersebut sebenarnya adalah
milik Bank Syariah namun sertifikat kepemilikannya tertulis atas nama
nasabah. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa setelah Bank Syariah
menyetujui pembiayaan IMBT yang diajukan oleh Nasabah, maka Objek
IMBT secara fisik akan diserahkan kepada Nasabah sementara Sertifikat
Kepemilikannya dipegang oleh Bank Syariah karena sertifikat
kepemilikan tersebut telah dibebankan dengan Hak Tanggungan. Jika
ditinjau dari Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 4 tentang Objek Hak
Tanggungan, maka Objek IMBT yang status kepemilikannya tercatat atas
nama nasabah (Hak Milik) termasuk kedalam ketentuan pasal ini.9
Dalam proses pembebanan Hak Tanggungan atas sertifikat
kepemilikan Objek IMBT, terlebih dahulu harus dibuat Akta Pemberian
8 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cet. V, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007), h. 303. 9 Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 4
81
Hak Tanggungan (APHT).APHT ini berisikan klausula-klausula janji
antara Pihak Bank Syariah dengan Nasabah. Terkait dengan perjanjian,
harus diingat bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.10
Ketika Bank
Syariah mensyaratkan Janji yang menyatakan:
a. Bank Syariah akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi
untuk pelunasan piutang, jika terjadi pembebasan tanah untuk
kepentingan umum atau pelepasan hak
b. Bank akan memperoleh seluruh atau sebagian uang asuransi yang
diterima oleh Nasabah, jika objek hak tanggungan diasuransikan
c. Bank Syariah mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaannya
sendiri terhadap tanah objek hak tanggungan, apabila kreditor dalam
keadaan wanprestasi11
Maka, tentu klausula janji pada (APHT) akan sangat berguna bagi Pihak
Bank Syariah dalam melindungi Ojek IMBT yang hakikatnya adalah milik
bank syariah.
Namun tidak berhenti sampai disitu, karena menurut Undang-undang
Hak Tanggungan, APHT wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
selambat-lambatnya 7 hari setelah penanda tanganan APHT tersebut.12
Kewajiban pendaftaran ini merupaka salah satu bentuk untuk mewujudkan
kepastian hukum. Dari didaftarkannya APHT ini, maka terpenuhilah asas
publisitas sehingga kepastian hukum dari Hak Tanggungan ini menjadi
sempurna. Bukti dari pendaftaran ini adalah dengan diberikannya
Sertifikat Hak Tanggungan kepada Bank Syariah oleh Kantor Pertanahan.
Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan Kantor Pertanahan ini
memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan sebagai grosse akta
yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan Putusan
10
Lihat, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 11
Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 12 12
Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 13
82
Pengadilan13
. Jika sewaktu-waktu Nasabah melakukan wanprestasi, maka
dengan Sertifikat Hak Tanggungan ini, Bank Syariah dapat melaksanakan
eksekusi terhadap hak selaku kreditur atas objek jaminan tanpa melalui
ketentuan hukum acara, tanpa penyitaan atau melibatkan juru sita, dan
tanpa izin pengadilan atau dalam kata lain Bank Syariah melaksanaka
parete eksekusi seperti ia menjual benda miliknya sendiri.14
Dari penjelasan diatas, Penulis menyimpulkan bahwa Objek IMBT
yang hakikatnya adalah milik namuntercatat atas nama Nasabah, jika
Objek tersebut dibebankan dengan Hak Tanggungan maka tidak sulit bagi
Bank Syariah untuk melindungi objeknya tersebut. Hanya saja, terkait
dengan janji dalam klausul APHT harus diperhatikan secara detail serta
syarat-syarat yang menjadi diwajibkan oleh Udang-undang Hak
Tanggungan harus benar-benar dijalankan sehingga tercipta kepastian
hukum.
2. Akta Penjaminan Fidusia
Selain Akta Pemberian hak Tanggungan, Bank Syariah juga
menggunakan Akta Jaminan Fidusia dalam pengikatan Objek IMBT yang
objeknya adalah kendaraan bermotor. Ini dimaksudkan agar bank menjadi
pihak yang paling utama dalam mendapatkan pelunasan hutang ketika
objek IMBT tersebut dieksekusi, dilelang, atau dijual ketika nasabah
tersebut wanprestasi atau tidak mampu lagi melunasi hutangnya.
Pembahasan terkait Akta Jaminan Fidusia ini dapat kita temukan pada
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang JAMINAN FIDUSIA
yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Fidusia.
Untuk mengetahui lebih dalam terkait bagaiman Jaminan Fidusia
melindungi Objek IMBT yang sertifikatnya langsung tercatat atas nama
nasabah, terlebih dahulu Penulis menjelaskan kedudukan hukum pada
Jaminan Fidusia. Dalam Undang-undang Jaminan Fidusia Pasal 1
13
Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 14 14
Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Pasal 6
83
berbunyi “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
lainnya”.15
Dari bunyi pasal ini, Penulis memahami bahwa Jaminan
Fidusia memberikan suatu hak jaminan kebendaan yang menjadikan Bank
Syariah (kreditur) memiliki kedudukan yang lebih baik (didahulukan) dari
kreditur lainya.16
Menurut Penulis, kedudukan yang lebih baik ini
maksudnya dalam hal memperoleh suatu pelunasan utang atas agunan
yang diserahkan Nasabah.Terkait dengan kalimat “bagi hutang tertentu”,
Penulis menyimpulkan bahwa tampak sifat accessoir dimana Jaminan
Fidusia ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok
sebelumnya. Dalam hal ini, perjanjian pokoknya adalah utang-piutang
antara Bank Syariah dengan Nasabah dari diadakannya Akad IMBT. Sifat
accessoir pada Jaminan Fidusiaini juga semakin jelas karena Jaminan
Fidusia akan hapus jika hutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia ini
berakhir/hapus.17
Masuk kedalam inti pembahasan, Penulis memulai dengan pertanyaan
bagaiman Akta Jaminan Fidusia dapat melindungi Objek IMBT? Dimana
seharusnya objek IMBT tersebut sebenarnya adalah milik Bank Syariah
namun sertifikat kepemilikannya tertulis atas nama nasabah. Telah kita
ketahui sebelumnya bahwa setelah Bank Syariah menyetujui pembiayaan
IMBT yang diajukan oleh Nasabah, maka Objek IMBT secara fisik akan
diserahkan kepada Nasabah sementara Sertifikat Kepemilikannya
dipegang oleh Bank Syariah karena sertifikat kepemilikan tersebut telah
dibebankan dengan Jaminan Fidusia.
15
Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 1 16
Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 27 17
Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 25
84
Dalam proses pembebanan Jaminan Fidusia atas sertifikat
kepemilikan Objek IMBT, terlebih dahulu harus dibuat Akta Jaminan
Fidusia. Akta Jaminan Fidusia ini berisikan klausula-klausula janji antara
Pihak Bank Syariah dengan Nasabah. Terkait dengan perjanjian, harus
diingat bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.18
Akta Jaminan Fidusia
ini wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang ada di
Jakarta.19
Kewajiban pendaftaran ini merupakan salah satu bentuk untuk
mewujudkan kepastian hukum. Dari didaftarkannya Akta Jaminan Fidusia
ini, maka terpenuhilah asas publisitas sehingga kepastian hukum dari Hak
Tanggungan ini menjadi sempurna. Bukti dari pendaftaran ini adalah
dengan diberikannya Sertifikat Jaminan Fidusia kepada Bank Syariah oleh
Kantor Pendaftaran Fidusia.
Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran
Fidusia ini memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan
sebagai grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan Putusan Pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap20
. Jika
sewaktu-waktu Nasabah melakukan wanprestasi, maka dengan Sertifikat
Jaminan Fidusia ini, Bank Syariah dapat melaksanakan eksekusi terhadap
hak selaku kreditur atas objek jaminan tanpa melalui ketentuan hukum
acara, tanpa penyitaan atau melibatkan juru sita, dan tanpa izin pengadilan
atau dalam kata lain Bank Syariah melaksanaka parete eksekusi seperti ia
menjual benda miliknya sendiri.21
Dari penjelasan diatas, Penulis menyimpulkan bahwa Objek IMBT
yang hakikatnya adalah milik namun tercatat atas nama Nasabah, jika
Objek tersebut dibebankan dengan Jaminan Fidusia maka tidak sulit bagi
Bank Syariah untuk melindungi objeknya tersebut. Memang salah satu ciri
18
Lihat, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 19
Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 12 20
Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 15 (2) 21
Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 15 (3)
85
Jaminan Fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya yaitu
apabila pihak Pemberi Fidusia cidera janji. Oleh karena itu, dalam
Undang-undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi
Jaminan Fidusia melalui lembaga parate eksekusi.22
Hanya saja, terkait
syarat-syarat yang menjadi diwajibkan oleh Udang-undang Hak
Tanggungan harus benar-benar dijalankan sehingga tercipta kepastian
hukum.
22
Lihat, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Penjelasan Pasal 15
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka disimpulkan
bahwa terdapat beberapa perbedaan antara teori dan praktek yang selama ini
terjadi seperti pada akad Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (IMBT). Dalam teorinya,
akad IMBT adalah akad sewa menyewa atas suatu objek yang diakhiri dengan
peralihan objek kepemilikan dari bank ke nasabah. Namun pada prakteknya,
sertifikat status kepemilikan langsung tertulis atas nama nasabah walaupun masa
sewa menyewa antara bank dan nasabah belum selesai. Selain akad IMBT, antara
bank dan nasabah mengadakan akad wakalah dalam hal nasabah ingin mencari
sendiri objek yang dikehendaki. Nasabah akan mewakili bank untuk memperoleh
objek dari suplier. Namun akad wakalah ini tidak menjadikan nasabah sebagai
pemilik dari objek tersebut karena nasabah adalah wakil dari bank.
Dari analisis penulis pada ketentuan Hukum Ekonomi Syariah (Fatwa DSN-
MUI, POJK/SEOJK, PBI/SEBI, KHES, dan SHARI‟AH STANDARD AAOIFI)
terkait perpindahan status kepemilikan atas objek IMBT dipahami bahwa
peralihan kepemilikan atas objek IMBT hanya dapat dilakukan ketika masa sewa-
menyewa telah berakhir. Pada hakikatnya objek IMBT adalah milik pihak Bank
Syariah. Namun pada praktek yang dilakukan di PT. Bank BRISyariah Tbk. yang
mana peralihan status kepemilikan langsung tercatat atas nama nasabah
dikarenakan untuk menghindari Double Tax dan biaya peralihan ganda.
Terkait perlindungan atas objek yang dimana sertifikat status kepemilikan
langsung tertulis atas nama nasabah tersebut, ternyata bank mengikatkannya
dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk objek yang berbentuk
rumah/bangunan atau Akta Jaminan Fidusia utuk objek yang berbentuk kendaraan
bermotor. Dari perspektif hukum, APHT dan Akta Jaminan Fidusia memiliki
kekuatan hukum yang kuat dalam melindungi hak Bank Syariah jika dalam masa
sewa-menyewa, nasabah melakukan wanprestasi ataupun mengalami gagal bayar.
87
B. Saran
- Kepada para pemangku jabatan (stakeholder) seperti DSN-MUI, Otoritas Jasa
Keuangan, Bank Indonesia, dan Mahkamah Agung agar lebih memperhatikan
praktek IMBT yang ada di Bank Syariah kemudian membuat regulasi khusus
terkait Double Tax ataupun biaya peralihan ganda pada pembiayaan akad
IMBT.
- Kepada pihak Bank BRISyariah sebaiknya menjalankan pembiayaan dengan
akad IMBT harus sesuai dengan ketentuan syariah secara keseluruhan.
- Bagi para pembaca sebaiknya memahami permasalahan yang ada kemudian
ikut andil peran dalam menyempurnakan dan mengharmonisasikan
Pembiayaan akad IMBT yang ada di Bank BRISyariah ini. Selain itu,
pembaca diharapkan melakukan penelitian lanjutan terhadap Bank Syariah
lain yang memiliki produk dengan akad IMBT.
88
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Literatur:
Adiwarman Kharim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Akbar, Ali. “Konsep Kepemilikan dalam Islam”, Jurnal Ushuludin Vol.
XVIII, no. 2 (Juli 2012): h 125- 126.
Al-Zarqa‟, Musthafa Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-„Amm. Beirut:Dar
al-Fikr, 1968.
Antonio, Muhammad Syafi‟I. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Gema Inzani dan Tazkia Cendekia, 2001.
Asikin, Zainal dan Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Cet.2 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004.
Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Hukum Kredit Perbankan Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Djuwani, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008
Fuady, Munir. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013.
Harun, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Inayah, Nur dan Afit Kurniawan. “Tinjauan Kepemilikan dalam KPR
Syariah: Antara Murabahah, Ijarah Muntahiyyah Bittamlik dan Musyarakah
Mutanaqisah”, Vol. 1 No. 2 (Desember 2013): h. 295.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam (Analisis fiqih dan Keuangan), Cet.III,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
89
Laporan Tahunan PT. Bank BRISyariah Tbk. Tahun 2017
Manzhur, Ibn. “Allamah Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibn
Mukram, Lisan al-Arab”. Beirut: Daar al-Fikr, 1990.
Mardani. Hukum Bisnin Syariah. Jakarta: KENCANA, 2014.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cet. ke-9.Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT
Citra Aditnya Bakti, 2004.
Munif, Nasrullah Ali. ”Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, An-Nisbah, Vol. 03,
No. 02. (Apri 2017): h. 268.
Nurbani, ErliesSeptiana dan H. Salim HS. Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi. Cet.3. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Polindi, Miko. “Implementasi Ijarah dan Ijarah Muntahiah Bit-tamlik
(IMBT) dalam Perbankan Syariah di Indonesia”. Al-intaj, Vol.2 No. 1, (Maret
2016): h. 30.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu. Bandung: Alumni. 1973.
Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Hukum. Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, 2007
Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Cet. Ke-2.Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Satrio, J.. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cet. V. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2007.
90
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. cet.II. Jakarta,
Prenadamedia Group, 2010.
Sofyan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda.
Yogyakarta: Liberty, 1981.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan, Cet. Ke-3. Jakarta, Sinar
Grafika, 2013.
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. Ke-
6. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Usman, Rachmadi. Pasal-pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah.
Jakarta: Djambatan, 1999.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet.2. Jakarta:
Sinar Grafika, 1996.
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi. Seri Hukum Harta kekayaan:
Kedudukan berkuasa dan Hak Milik, Cet. Ke-2. Jakarta: Kencana, 2005.\
Regulasi:
Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah. Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008.
Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-
Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
PBI no. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prisnsip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah.
PBI no.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpun dan Penyaluran Dana
bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
91
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK no. 31/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah.
POJK no. 16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions,
SHARI‟AH STANDARD, 2016.
SEBI no. 10/14/DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah.
SEBI no. 14/33/DPbS perihal Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan
Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17
Maret 2008 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan
Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) 03/2015 tentang Produk
dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang
Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HAK TANGGUNGAN
ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN
TANAH
92
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang JAMINAN FIDUSIA
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
93
Lampiran-lampiran
Wawancara
Adam : Kalau di Bank, IMBT itu bisa untuk rumah dan kendaraan.
Bagaimana kalau untuk barang-barang modal kerja?
Narasumber : Tidak, dia basic nya adalah aset. Kalau barang modal kerja
itu ke musyarakah atau murabahah. Tapi yang terkait dengan
IMBT itu hanya basicnya aset.
Adam : Apakah benar praktek yang selama ini, sertifikat kepemilikan
langsung atas nama nasabah?
Narasumber : iya memang, memang langsung dibalik namanya itu langsung
atas nama nasabah. Kalo harus dua kali kan, biayanya siapa
yang nanggung
Adam : Apakah diawal perjanjian langsung disepakati
kepemilikannya diakhir masa sewa langsung beralih?
Narasumber : IMBT itu kan Ijarah Muntahiyah Bittamlik, diakhir
kepemilikan ada perpindahan, diakhir sewa ada pemindahan
kepemilikan. Perpindahan kepemilikan itu kalau dia selesai
sampai dengan jatuh tempo maka bank akan menghibahkan
kepada nasabah. Kalau misalkan dia tidak sesuai dengan jatuh
tempo, boleh gak dijual sama bank? Boleh yaa karna itu kan
asetnya bank. Kalau ternyata yang beli bukan nasabahnya itu
lagi, kan kita sudah ada APHT. APHT itu kan secara hukum
itu kuat, meskipun agak aneh sih.. asetnya bank sendiri
ngapain diikat secara itu, cuma kan memang selama ini masih
terjadi perdebatan dan memang gak ketemu hukum positif
sama hukum syariahnya.
Adam : Bagaimana hak bank atas objek IMBT jika nasabah
mengalami gagal bayar?
Narasumber : setelah dijual, pada saat eksekusi, lelang, dan lain sebagainya,
yang pertama kali punya hak atas aset itu adalah bank. Itu
pakenya APHT. Atau kalau misalkan dia pengadaan objeknya
kendaraan bermotor itu pakenya fidusia.
Adam : kalau untuk rumah?
Narasumber : APHT. Memang benar, secara hukumnya memang, ee.. apa
ya, sebetulnya agak lemah lah ya. Secara prinsip syariah itu
miliknya bank tapi kenapa langsung dibalik namanya atas
nama nasabah.
Adam : berarti kesepakatan sewa dan perpindahan kepemilikan
dilakukan diawal perjanjian?
Narasumber : kesepakatan sewanya, yaa diawal.
Adam : kalau kesepakatan perpindahan kepemilikannya langsung di
awal juga gak mbak?
Narasumber : Sebetulnya kalo perpindahan kepemilikannya itu nanti ya,
setelah sewa berakhir. Kayak akad jual beli, akad hibahnya itu
kan nanti setelah sewa berakhir. Secara prinsip syariah
harusnya dibelakang, biasanya yang memperaktekan begitu
(Kesepakatan perpindahan kepemilikan ditanda tangani diawal)
dilapangan untuk mempermudah, kan gak mungkin,
katakanlah nasabah bolak balik kesitu buat tanda tangan akad
lagi, makanya ditanda tanganilah didepan. Padahal secara
prakteknya standar operasionalnya ya dibelakang.
Adam : ketika nasabah telah disetujui, dirasa layak dibiayai, apakah
nasabah mencari sendiri barang yang dibutuhkan?
Narasumber : bisa nasabah mencari sendiri atau misalkan dari bank,
tergantung. Makanya kan pemblian aset itu, pengadaan objek
itu bisa langsung dari bank atau nasabah. Kalau nasabah berarti
kan bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli. Tapi
kalau itu dari bank, katakanlah bank punya developer sendiri
nah maka berarti kan langsung dari bank nya. Nanti dana
pencairannya otomatis langsung dicairkan ke rekening si
penjual barangnya ini. Jadi metode pengadaan barangnya bisa
langsung dari bank atau dari nasabah. Dari nasabah berati bank
yang mewakilkan kepada si nasabah.
Adam : saya mendapat wawasan baru, ternyata ada APHT
Narasumber : iya ada catatan notaril
Adam : apakah banknya ke notaris?
Narasumber : bank punya notaris. Karena pengikatannya kan pake notaris.
Itu sebagai pengamannya bank.
Adam : Apakah pernah terjadi permasalahan selama diberlakukannya
akad IMBT di Bank BRISyariah?
Narasumber : Sudah ada mas yang kol 2
Adam : Apakah permasalahan tersebut diselesaikan di meja
pengadilan atau secara baik-baik ya bu?
Narasumbr : So far masih secara baik-baik, karna belum masuk NPF
Adam : Kaparn terakhir pernah terjadi eksekusi dan apakah
permasalahan nasabah tersebut karena itikad tidak baik atau
memang karena keadaan nasabah tersebut?
Narasumber : belum ada yang dieksekusi karena masih kol 2.
No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor
9/19/PBI/2007 Tanggal 17 Desember 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana
serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 No. 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4793), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam
suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok ketentuan sebagai
berikut :
. . .
III.7. Pembiayaan Atas Dasar Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
Disamping ketentuan sebagaimana dimaksud pada Bab III.6.
angka 1, untuk kegiatan penyaluran dana dalam bentuk
Pembiayaan atas dasar Ijarah Muntahiya Bittamlik berlaku
pula persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank sebagai pemilik obyek sewa juga bertindak sebagai
pemberi janji (wa’ad) untuk memberikan opsi pengalihan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada
nasabah penyewa sesuai kesepakatan;
b. Bank hanya dapat memberikan janji (wa’ad) untuk
mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan
obyek sewa setelah obyek sewa secara prinsip dimiliki
oleh Bank;
c. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya
opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan
obyek sewa dalam bentuk tertulis;
d. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak
penguasaan obyek sewa dapat dilakukan setelah masa
sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa;
dan
e. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek
sewa, maka Bank wajib mengalihkan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah
yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode atau
pada akhir periode Pembiayaan atas dasar Akad
Ijarah Muntahiya Bittamlik.
. . .
BANK INDONESIA,
SITI CH. FADJRIJAH
DEPUTI GUBERNUR