Download - timpanometri
Artikel Penelitian
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012102
Korelasi Antara Gambaran Timpanogramdengan Letak dan Stadium Tumor pada
Pasien yang Baru TerdiagnosisKarsinoma Nasofaring
Harry A. Asroel, Benny Hidayat, Adlin Adnan, Hafni
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok - Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan
Abstrak
Pendahuluan: Gangguan pendengaran sering menjadi gejala awal karsinoma nasofaring
(KNF). Oleh sebab itu, pemeriksaan timpanometri berperan penting untuk mengevaluasi fungsi
telinga tengah pasien. Namun, publikasi sebelumnya memperlihatkan bahwa timpanometri
juga mampu memprediksi lokasi tumor. Mengingat belum banyak studi yang mengonfirmasi hal
tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara gambaran timpanogram
dengan letak dan stadium KNF.
Metode: Studi cross-sectional ini dilakukan di Departemen Telinga, Hidung, Tenggorokan -
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik,
Medan, sejak Oktober 2008 hingga Maret 2009. Subyek yang direkrut secara consecutive
sampling akan menjalani pemeriksaan rutin THT, timpanometri, nasofaringoskopi, biopsi tu-
mor, lalu CT-Scan nasofaring.
Hasil: Sebanyak 55 subyek diikutsertakan dalam penelitian ini. Kebanyakan subyek berusia
40-49 tahun (n=18; 32,7%) dan didiagnosis pertama kali dengan KNF stadium III (n=27;
49,1%). Tumor paling sering ditemukan di fossa Rosenmuller dengan perluasan ke atap/dinding
posterior dan menutupi muara tuba Eustachius (n=21; 38,2%). Setelah dianalisis, gambaran
timpanogram memiliki korelasi kuat dengan letak tumor (r=0,401; p=0,002), namun tidak
berkorelasi dengan stadium tumor (r=0,078; p=0,570).
Kesimpulan: Gambaran timpanometri memiliki korelasi kuat dengan letak tumor, namun tidak
berhubungan bermakna dengan stadium tumor pada pasien KNF. J Indon Med Assoc.
2012;62:102-6
Kata Kunci: karsinoma nasofaring, timpanometri, tuba Eustachius.
Koresponden: Harry A. Asroel, Email: [email protected]
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012 103
The Correlation between Tympanogram Result with Location and Stadium
of the Tumor in Newly Diagnosed Nasopharyngeal Carcinoma Patients
Harry A. Asroel, Benny Hidayat, Adlin Adnan, Hafni
Department of Ear, Nose and Throat - Head and Neck Surgery
Faculty of Medicine University of Sumatera Utara/H. Adam Malik General Hospital, Medan
Abstract
Introduction: Hearing disorder is one the most frequent symptoms of nasopharyngeal carci-
noma (NPC). Therefore, tympanometry is routinely conducted to evaluate the function of middle
ear. However, previous studies showed another benefit of tympanometry to predict the tumor
location. Because its important to confirm the result, this study aimed to evaluate the correlation
between tympanogram result with location and stadium of the tumor.
Methods: This cross-sectional study conducted in Ear Nose and Throat – Head and Neck Surgery
Department Medical Faculty University of North Sumatera/H. Adam Malik General Hospital,
Medan, since October 2008 untilk March 2009. Subjects which recruited by consecutive sampling
then had a routine ENT examination, tympanometry, nasopharyngoscopy, tumor biopsy, and CT-
scan.
Results: Of a total 55 subjects were included. Most of them aged between 40-49 years (n=18;
32,7%) and diagnosed first time with NPC stadium III (n=27; 49,1%). Most of the tumor located
in fossa Rosenmuller with extension to the roof/posterior wall of nasopharyng and covers the end
of tuba Eustachius (n=21; 38,2%). After conducted statistic analysis, tympanogram result has a
strong correlation with tumor location (r=0,401; p=0,002), but has no correlation with tumor
stadium (r=0,078; p=0,570).
Conclusion: Tympanogram result has a strong correlation with tumor location, but has no
correlation with tumor stadium. J Indon Med Assoc. 2012;62:102-6
Keywords: nasopharyngeal carcinoma, tympanometry, tuba Eustachius.
Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) menempati urutan ke-5
dari tumor ganas tersering di Indonesia. Namun, KNF
menduduki peringkat pertama untuk keganasan kepala dan
leher, yakni sekitar 60%.1,2 Walaupun berasal dari epitel
permukaan rongga nasofaring, tidak kurang dari 43% keluhan
KNF berupa ketulian ringan unilateral yang sering disertai
tinitus.3 Lokasi asal tumor nasofaring (fossa Rosenmuller)
yang dekat dengan muara tuba Eustachius menjadi dasar
keluhan tersebut.4,5 Bahkan, Trotter (1911) mengemukakan
konsep “tipe tuba Eustachius” sebagai gejala awal KNF.
Berangkat dari konsep klasik tersebut, maka pemeriksaan
nasofaring sangat penting dilakukan pada semua kasus tuli
konduktif pada dewasa.3
Di lain sisi, timpanometri merupakan salah satu
modalitas utama pemeriksaan fungsi telinga tengah, terutama
pada kasus tuli konduktif. Oleh karena itu, pasien KNF,
terutama dengan keluhan gangguan pendengaran, secara
rutin menjalani pemeriksaan timpanometri.6 Beberapa
publikasi telah mengungkapkan manfaat lain dari timpa-
nometri dalam membantu diagnosis KNF. Fong dan Low
menemukan kasus efusi telinga tengah pada 40% pasien KNF.
Efusi tersebut diketahui berhubungan dengan ukuran dan
penyebaran tumor ke ruang parafaring, serta telah di-
konfirmasi melalui magnetic resonance imaging (MRI) dan
computed tomography-scaning (CT-Scan).3
Di Indonesia sendiri, Karya, et al (2007) telah melakukan
penelitian awal terhadap empat puluh subyek KNF di
Makassar, serta menemukan adanya asosiasi bermakna antara
letak dan ukuran tumor dengan gambaran timpanogram.7
Namun, belum ada studi serupa yang mengonfirmasi hasil
tersebut. Selain itu, manfaat timpanometri dalam menentukan
stadium KNF juga belum banyak digali.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari manfaat
timpanometri dalam menentukan letak dan stadium KNF.
Upaya peningkatan daya guna timpanometri tersebut akan
sangat membantu dalam penemuan kasus KNF, terutama di
layanan kesehatan dengan sarana terbatas.
Metode
Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang
dilakukan di Departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorokan-
Korelasi Antara Gambaran Timpanogram dengan Letak dan Stadium Tumor pada Pasien
Korelasi Antara Gambaran Timpanogram dengan Letak dan Stadium Tumor pada Pasien
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012104
Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Univer-
sitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik dari bulan Oktober
2008 hingga Maret 2009. Rekrutmen subyek penelitian
dilakukan secara konsekutif. Subyek adalah pasien yang
baru terdiagnosis KNF dengan membran timpani telinga
kanan dan kiri utuh. Seluruh subjek menjalani pemeriksaan
rutin THT, timpanometri, nasofaringoskopi, serta biopsi tu-
mor dan CT-Scan nasofaring. Selanjutnya, dilakukan
penilaian terhadap gambaran timpanogram (tipe B atau C),
serta letak dan stadium KNF. Pasien dengan hasil
histopatologi meragukan dieksklusi dari penelitian.
Dengan menggunakan derajat kepercayaan 95%, presisi
10%, dan perkiraan drop out 10%, diperoleh jumlah sampel
minimal sebesar 55 subyek. Analisis korelasi gambaran
timpanogram dengan letak dan ukuran tumor menggunakan
uji korelasi Spearman’s rho.
Hasil
Dari 55 subyek yang baru terdiagnosis KNF, populasi
terbanyak berusia 40-49 tahun (32,7%), disusul rentang 50-
59 tahun (27,3%) dan 30-39 tahun (20%). Sementara itu,
terdapat 2 subyek (3,6%) yang berusia kurang dari 2 tahun
dan 1 subyek (1,8%) lebih dari 70 tahun. Mayoritas 67,3%
dari seluruh subyek adalah laki-laki. Didapatkan pula ragam
suku bangsa yang berbeda-beda, yaitu batak (47,3%), melayu
(23,6%), jawa (16,4%), dan aceh (12,7%).
Hasil pemeriksaan penunjang dari seluruh subyek dapat
dilihat pada Tabel 1. Gambaran histopatologi menunjukkan
jenis yang terbanyak adalah WHO tipe 2, yakni karsinoma
sel skuamosa tidak berkeratin (n=35; 63,6%). Sebagian besar
subyek ditemukan datang berobat pada stadium lanjut (sta-
dium III dan IV) dengan letak tumor terbanyak pada fossa
Rosenmuller yang meluas ke atap atau dinding posterior
nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius (n=21;
38,2%). Sementara itu, gambaran timpanogram didapatkan
tidak berbeda jauh antara tipe B (n=29; 52,7%) dan tipe C
(n=26; 47,3%).
Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek
Karakteristik n (%)
Usia (tahun) <20 2 (3,6)
20 – 29 4 (7,3)
30 – 39 11 (20)
40 – 49 18 (32,7)
50 – 59 15 (27,3)
60 – 69 4 (7,3)
>69 1 (1,8)
Jenis Kelamin Laki-laki 37 (67,3)
Perempuan 18 (32,7)
Suku Bangsa Batak 26 (47,3)
Melayu 13 (23,6)
Jawa 9 (16,4)
Aceh 7 (12,7)
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Pasien Baru Terdiagnosis KNF
Hasil Pemeriksaan n (%)
Jenis Histopatologi WHO Tipe 1 1 (1,8)
WHO Tipe 2 35 (63,6)
WHO Tipe 3 19 (34,6)
Stadium Tumor I 0 (0)
II 4 (7,3)
III 27 (49,1)
IV 24 (43,6)
Distribusi Letak Tumor
Terbatas di fossa Rosenmuller 0 (0)
Atap atau dinding posterior nasofaring 0 (0)
FR + Atap atau dinding posterior nasofaring 8 (14,5)
unilateral
FR + Atap atau dinding posterior nasofaring 10 (18,2)
bilateral
FR + Atap atau dinding posterior nasofaring + 21 (38,2)
menutupi muara tuba Eustachius
Seluruh rongga nasofaring 16 (29,1)
Gambaran Timpanogram (tipe B/C) 29 (52,7)
Unilateral Bilateral 26 (47,3)
Setelah melakukan uji korelasi antara gambaran tim-
panogram dengan letak tumor, diperoleh nilai koefisien
korelasi (r) sebesar 0,401 (korelasi kuat) dengan p=0,002 (lihat
Tabel 2). Namun, gambaran timpanogram tidak memiliki
hubungan yang bermakna secara statistik dengan stadium
tumor (r=0,078; p=0,570).
Tabel 3. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Letak
dan Stadium Tumor
Hubungan r* p
Gambaran timpanogram - letak tumor 0,401 0,002
Gambaran timpanogram - stadium tumor 0,078 0,570
*Spearman’s rho
Diskusi
Karakteristik Demografi
Dari berbagai literatur, usia pasien KNF sangat bevariasi
mulai dari <10 tahun hingga >80 tahun dengan puncak insiden
pada kelompok 40-50 tahun atau 40-60 tahun.8,9 Hal serupa
juga ditemukan pada studi ini, yakni subyek terbanyak pada
kelompok usia 40-49 tahun (n=18; 32,7%). Pada daerah
endemik seperti Indonesia, insiden KNF meningkat sejak usia
20 tahun hingga mencapai puncak pada dekade IV dan V.
Sebagai perbandingan, pada daerah dengan risiko rendah,
populasi terbanyak justru ditemukan pada usia dekade V dan
VI. Meski demikian, masih terdapat insiden KNF yang
signifikan pada usia <30 tahun sehingga diperoleh distribusi
usia bimodal dengan puncak awal antara 15-25 tahun.10,11
Secara umum, perjalanan kanker mulai dari pajanan
karsinogen hingga berkembangnya neoplasma memerlukan
Korelasi Antara Gambaran Timpanogram dengan Letak dan Stadium Tumor pada Pasien
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012 105
waktu induksi yang cukup lama, dapat mencapai 15-30
tahun.12 Infeksi virus Epstein-Barr (VEB) sebagai salah satu
faktor risiko KNF memiliki masa laten tanpa gejala sekitar 20-
35 tahun untuk mempertahankan episom VEB dalam sel
nasofaring yang terinfeksi.13,14
Selain itu, insiden KNF lebih sering ditemukan pada
kelompok laki-laki (67,3%). Persentase tersebut menyerupai
perbandingan laki-laki dan perempuan pada kasus KNF
secara umum di Indonesia, yakni (2-3):1.4,10,11 Penjelasan
mengapa angka tersebut lebih tinggi pada laki-laki masih
belum jelas, namun faktor kebiasaan hidup dan kontak
dengan karsinogen yang lebih tinggi menjadi penyebab.10,11
Mayoritas subyek merupakan suku Batak (47,3%) meski
hal tersebut sangat mungkin disebabkan oleh bias
prevalensi-insiden yang cukup tinggi pada studi ini.
Berdasarkan kepustakaan disebutkan KNF banyak
ditemukan pada etnik Cina, terutama di daerah Cina bagian
Selatan, khususnya dari Provinsi Guangdong.12,13 Indonesia
pun termasuk kelompok Malayo-polinesia dari ras Mongol-
oid yang mempunyai angka kekerapan cukup tinggi.4,10
Namun, pada suku Batak sendiri telah ditemukan alel gen
yang potensial sebagai penyebab KNF, yaitu alel gen HLA-
DRB*08.14
Histopatologi dan Gambaran Timpanogram pada KNF
Jenis histopatologi KNF yang paling banyak adalah
WHO tipe 2 (karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin), diikuti
WHO tipe 3 (karsinoma tidak berdiferensiasi) dan WHO tipe
1 (karsinoma sel skuamosa berkeratin). Temuan tersebut
sedikit berbeda dengan distribusi KNF di Cina Selatan yang
menunjukkan WHO tipe 3 sebagai jenis terbanyak (±95%).12,13
Namun, jenis WHO tipe 2 dan 3 memang paling banyak
ditemui di daerah endemik, seperti Cina Selatan, Asia
Tenggara, dan Afrika Utara. Sementara itu, WHO tipe 1 lebih
sering dijumpai di Eropa, dengan prognosis yang lebih
buruk.15,16
Hal menarik lainnya adalah sebagian besar subyek
datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV). Temuan
tersebut disebabkan oleh lokasi KNF stadium awal yang
tersembunyi sehingga relatif sulit untuk melakukan diagno-
sis dini.17 Bahkan, tidak jarang gejala metastasis leher menjadi
keluhan awal yang membawa pasien datang berobat.4,10,18
Oleh karena itu, letak tumor terbanyak ditemukan pada fossa
Rosenmuller yang meluas ke atap/dinding posterior
nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius (n=21;
38,2%). Pada penelitian lain, tumor juga sering ditemukan di
seluruh rongga nasofaring (27,5%) dan fossa Rosenmuller
yang meluas ke tuba Eustachius unilateral (17,5%).7
Berdasarkan uji korelasi, gambaran timpanogram
memiliki korelasi kuat dengan letak tumor di nasofaring pada
pasien KNF (r=0,401; p=0,002). Hasil tersebut dapat
mengonfirmasi korelasi serupa pada publikasi sebelumnya
(r=0,835; p=0,0001).7 Namun, gambaran timpanogram
tersebut tidak memiliki korelasi dengan stadium tumor KNF
(r=0,078; p=0,570).
Letak tumor di nasofaring pada pasien KNF dapat
menyebabkan sumbatan pada Tuba Eustachius, hal ini dapat
mengakibatkan gangguan fungsi telinga tengah. Pemeriksaan
Timpanometri bermanfaat dalam menilai fungsi telinga tengah.
Gangguan fungsi telinga tengah pada pasien KNF akan
memberikan gambaran timpanogram yang abnormal.
Kesimpulan
Gambaran timpanogram memiliki korelasi kuat dengan
letak tumor pada pasien KNF, namun tidak berkorelasi dengan
stadium tumor.
Daftar Pustaka
1. Punagi AQ. Ekspresi vascular endothelial growth factor receptor
(VEGER Flt-4) dan latent membrane protein (LMP-1) pada
karsinoma nasofaring. Otorhinolaryngologica Indonesia. 2007;
37(3-4):44-9.
2. Adham M, Roezin A. Karsinoma nasofaring. In: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher, 6th ed. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
3. Gibb AG, Hasselt CA. Nasopharyngeal carcinoma. 2nd ed.
Hongkong: The Chinese University Press; 1999.
4. Roezin A. Pencegahan dan deteksi dini penyakit kanker.
Perhimpunan Onkologi Indonesia; Jakarta, 1995.
5. Ahmad A. Diagnosis dan tindakan operatif pada penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. In: Simposium Perkembangan Multi-
modalitas Penatalaksanaan Kanker Nasofaring dan Pengobatan
Suportif. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2002.
6. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring, mungkinkah melakukan di-
agnosis dini? In: Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorok Indonesia (PERHATI). Kumpulan naskah ilmiah
pertemuan ilmiah tahunan (PIT) PERHATI. PP PERHATI-KL,
Bukit Tinggi; 1993.
7. Karya I, Djamin R, Makmur H, Pieter NAL. Hubungan antara
ukuran dan letak tumor terhadap gambaran timpanometri
penderita karsinoma nasofaring. Otorhinolaryngologica Indone-
sia. 2007;37(1-2):62-7.
8. Lee AWM. Contribution of radiotherapy to function preserva-
tion and cancer outcome in primary treatment of nasopharyn-
geal carcinoma. World J Surg. 2003;27:838-43.
9. Thompson LDR. Nasopharyngeal carcinoma. Ear Nose Throat
J. 2005;84:404-5.
10. Chew CT. Nasopharynx (the post nasal space), laryngology and
head & neck surgery. In: Gleeson MJ, Jones NS, Burton MJ,
Clarke R, Browning G, Luxon L, et al. Scott-brown’s otolaryngol-
ogy, 6th ed. Oxford: Butterworth Heinemann; 1997.
11. Cottril CP, Nutting CM. Tumours to the nasopharynx. In: Evans
PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ, editors. Principles and prac-
tice of head and neck oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz;
2003.
12. Wei WI, Sham JST. Nasopaharyngeal carcinoma. Lancet.
2005;365(9476):2041-54.
13. Wei WI. Nasopharyngeal cancer. In: Bailey BJ, Johnson JT. Head
and neck surgery otolaryngology, 4th ed. Philadelphia: Lippincot
Williams and Wilkins; 2006.
14. Delfitri M. Asosiasi antara alel gen HLA-DRBI dan HLA-DQBI
dengan kerentanan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku
batak. [Thesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007.
15. Licitra L, Bernier J, Cvitkovic E. Cancer of the nasopharynx.
Crit Rev Oncol Hematol. 2003;45:199-214.
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012
Korelasi Antara Gambaran Timpanogram dengan Letak dan Stadium Tumor pada Pasien
106
16. Guigay J, Temam S, Bourhis J.Nasopharyngeal carcinoma and
therapeutic management: the place of chemotherapy. Ann Oncol.
2006;17:304-7.
17. Soehartono, Rahaju P, Kentjono WA. Hubungan antara ekspresi
latent membrane protein-1 dengan peningkatan ekspresi epider-
mal growth factor receptor pada karsinoma nasofaring jenis un-
differentiated. Otorhinolaryngologica Indonesia. 2007;37(3-4):1-
7.
18. Lutzky VP, Moss DJ, Chin D. Biomarkers for cancers of the head
and neck. Clin Med Ear Nose Throat. 2008;1:5-15.
MS