1
THE JAPAN FOUNDATION DI INDONESIA 1974-1985: PERKEMBANGAN HUBUNGAN JEPANG DAN INDONESIA
Asep Mulyana, Abdurakhman
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok, Indonesia.
Abstrak Kajian ini membahas perkembangan The Japan Foundation di Indonesia pada 1974—1985. Tujuan kajian ini adalah ingin mengetahui bagaimana situasi yang terjadi pada era itu mempengaruhi perkembangan kegiatan maupun struktural The Japan Foundation. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode sejarah. Maraknya kritik terhadap kebijakan ekonomi Jepang pada 1970-an menjadi pendorong pendirian The Japan Foundation pada 1972. The Japan Foundation didirikan dan diperluas pada saat-saat krisis untuk membantu Jepang memediasi kepentingan nasionalnya melalui diplomasi kebudayaan. Pasca Malari 1974, The Japan Foundation membuka kantornya di Jakarta kemudian diperluas menjadi Pusat Kebudayaan Jepang pada 1979. Berbagai peristiwa turut memengaruhi perkembangan kegiatan The Japan Foundation di Indonesia hingga pertengahan dasawarsa 1980-an. Kata kunci: diplomasi kebudayaan; ekonomi Jepang; Malari; Pusat Kebudayaan Jepang; The Japan Foundation.
Abstract This study discusses about the development of Japan Foundation in Indonesia in 1974—1985. The purpose of this study is to show the situation that occured in that era influenced the development of The Japan Foundation in structural and activities.. The research method used is the historical method. The rise of the criticism of the Japanese economy in the 1970s became the driving establishment of the Japan Foundation in 1972. The Japan Foundation itself was established and expanded in times of crisis to help Japan mediated its national interests through cultural diplomacy. Post Malari 1974, The Japan Foundation opened its office in Jakarta, and later expanded into the Japanese Cultural Center in 1979. The events also affected the development of activities of the Japan Foundation in Indonesia until mid 1980’s. Keyword: cultural diplomacy; Japanese Cultural Center; Japanese economy; Malari; The Japan Foundation. 1. Pendahuluan
Pada jajak pendapat yang dilakukan BBC pada 20111, Indonesia memandang Jepang
sebagai negara yang memiliki citra paling positif. Tidak mengherankan jika di berbagai
pelosok di kota-kota besar Indonesia banyak bermunculan produk-produk budaya Jepang,
mulai dari restoran, pusat perbelanjaan, kendaraan, kontraktor pembangunan fasilitas dan
lain-lain. Hal ini berbeda jauh dengan era 1970-an, saat terjadi gelombang sentimen anti
Jepang di Indonesia, juga di sebagian negara Asia Tenggara. Gelombang sentimen yang 1 Jajak pendapat BBC terhadap rating 27 negara di seluruh dunia, BBC World Service Country Rating Poll, BBC News, <news.bbc.co.uk/2/shared/bsp/.../05_03_11_bbcws_country_poll.pdf>, diunduh pada 12 November 2014, pukul: 16.12 WIB.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
2
terakumulasi dan diwujudkan dengan adanya demonstasi mahasiswa Indonesia pada 1974
(Malari). Hal ini menunjukan betapa buruknya citra Jepang saat itu. Lalu, apa yang membuat
hal ini berubah dalam kurun waktu kurang lebih 40 tahun? Ini tidak dapat dipisahkan dari
perjalanan sejarah hubungan Jepang dan Indonesia, hingga akhirnya membentuk citra Jepang
seperti sekarang ini.
Sejak Perjanjian San Fransisco pada 1951—yang menghasilkan perjanjian pampasan
perang antara Indonesia dan Jepang—hingga era 1970-an, hubungan Jepang dan Indonesia
terutama didominasi oleh bidang ekonomi. Kebijakan ekonomi Jepang di Indonesia para era
itu, misalnya melalui bantuan ekonomi Jepang yang disebut Official Development Assistans
(ODA), penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Hingga suatu titik pada dasawarsa
1970-an, semakin marak demonstrasi anti ekonomi Jepang di Indonesia. Terjadinya hal
tersebut, dinilai pentingnya untuk meningkatkan hubungan kebudayaan, salah satunya melalui
program pertukaran kebudayaan yang dilakukan Jepang dengan Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri, citra Jepang yang baik seperti saat ini, sedikit banyak karena kebijakan
kebudayaan yang dilakukannya, selain kebijakan ekonomi yang terus terjalin. Bahkan, pada
praktiknya, kebijakan ekonomi Jepang di Indonesia juga beriringan dengan kebijakan
kebudayaan. Selain hubungan bilateral, kepentingan Jepang dan Indonesia juga tidak dapat
dipisahkan dari situasi politik domestik dan internasional yang melingkupi kedua negara.
Jepang yang dianggap sebagai superpower ekonomi pada dasawarsa 1970, mengalami
beberapa perubahan dalam hubungan internasionalnya. Hubungan dengan sekutu utamanya,
AS, mengalami gangguan akibat adanya ketidakseimbangan perdagangan dan peristiwa Nixon
Shock. Istilah Nixon shock berkaitan dengan dua perubahan kebijakan tak terduga yang
diambil oleh Presiden AS, Richard Nixon pada awal 1970-an. Kebijakan yang pertama adalah
ketika ia membatalkan sistem Bretton Woods dan menghentikan penukaran langsung dollar
AS terhadap emas pada 1971. Kebijakan yang kedua, adalah kunjungannya ke Beijing dan
menghentikan kebijakan konfrontasi AS tanpa berkonsultasi dengan Jepang, berikut negosiasi
rahasianya dengan Cina pada 1972. Tantangan lain termasuk timbulnya sentimen anti-Jepang,
yang merebak di sebagian kawasan Eropa dan Asia. Berbagai kritikan dan kesalahpahaman
timbul akibat kebijakan ekonomi yang dilakukan Jepang.2
Seiring meningkatnya kritik dan kesalahpahaman terhadap Jepang, pemerintah Jepang
merespon hal ini dengan meningkatkan pertukaran kebudayaan dan hubungan dengan
2 Tadashi Ogawa, “Origin and Development of Japan’s Public Diplomacy”, dalam Nancy Snow, Philip M. Taylor. ed., The Routledge Handbook of Public Diplomacy, (New York And London: Routledge, 2009).., hal. 268-269
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
3
masyarakat internasional. Jepang harus meningkatkan keterlibatan internasional yang berbeda
dengan sebelumnya. Tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang kebudayaan.
Karena hubungan internasional kebudayaan juga sangat penting untuk rakyat dan ketahanan
negaranya.3 Oleh karena itu, pemerintah Jepang mendirikan sebuah lembaga kebudayaan
yang dikenal dengan The Japan Foundation pada bulan Oktober 1972 di Tokyo. Lembaga ini
bertujuan sebagai pusat pertukaran kebudayaan Jepang.4 Sasaran utama dari diplomasi
kebudayaan ini awalnya adalah Amerika Serikat karena berbagai kritik terkait masalah
ketidakseimbangan perdagangan dan adanya peristiwa Nixon Shock. Masalah ini kemudian
menjadi agenda penting bagi hubungan diplomatik Jepang dengan tujuan untuk menjelaskan
dan melawan kesalahpahaman terhadap kebudayaan dan perilaku orang Jepang.5
Sentimen terhadap Jepang juga marak terjadi di Asia Tenggara pada 1970-an.
Bertepatan dengan kunjungan muhibah PM Tanaka Kakuei ke negara-negara ASEAN pada
tahun 1974, terjadi demonstrasi anti-Jepang di Muang Thai (Thailand), Malaysia, dan
Indonesia. Kedatangan PM. Tanaka ke Indonesia pada 15 Januari 1974 disambut dengan
demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat.6 Terjadinya demonstrasi anti-
Jepang di Asia Tenggara—disebut Peristiwa Malari 1974 di Indonesia—memaksa Jepang
untuk mengintrospeksi kebijakan yang selama ini dijalankannya. Jepang harus memperbaiki
diplomasi ekonominya jika ingin tetap membina hubungan baik dengan negara-negara Asia
Tenggara, khususnya Indonesia. Tidak lama setelah itu, kantor Japan Foundation didirikan di
Jakarta. Ini menunjukan keseriusan Jepang untuk mulai melakukan diplomasi kebudayaan di
samping diplomasi ekonominya di Indonesia.7
2. Hasil Penelitian
2.1 Kebijakan Kebudayaan Jepang di Luar Negeri (1945-1979)
Bangsa Jepang berada di bawah pemerintahan asing setelah kekalahannya pada Perang
Dunia II. Sejak Deklarasi Postdam pada 14 Agustus 1945, Jepang diduduki oleh Amerika
Serikat sebagai pemenang perang mewakili Sekutu. Masyarakat Jepang sesudah perang
menyadari bahwa mereka dalam keadaan yang sepenuhnya baru. Hal ini karena keadaan
negara yang porak-poranda akibat perang dan masyarakat yang berada dalam kemelaratan.
3 Umesao Tadao, “Keluar dari Keterkucilan Kebudayaan”, Mohtar Lubis, ed., Kekuatan Yang Membisu: Kepribadian dan Peranan Jepang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 91-92. 4 Ibid., hal. 94 5 Ibid. 6Koran Kompas, 14-17 Januari 1974 7 Ogawa, op.cit.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
4
Keprihatinan mereka yang pokok adalah untuk bertahan sebagai individu dan sebagai bangsa.
Jumlah penduduk yang bertambah serta ketergantungan yang lebih besar pada industri telah
membuat mereka jauh lebih bergantung pada sumber-sumber dan perdagangan dunia
ketimbang sebelumnya. Tidak ada pilihan lain bagi Jepang saat itu selain melakukan
perdagangan damai yang dapat membawa Jepang ke masa depan yang menggairahkan.8 Hal
tersebut dikarenakan salah satu tujuan nasional Jepang adalah untuk memperbaiki
perekonomian yang hancur pasca Perang Dunia II.
Jepang berusaha mencari identitas nasional yang baru untuk masuk kembali dalam
masyarakat internasional. Pada masa pendudukan Sekutu (1945-1951), para pembuat
kebijakan Jepang menyadari perlunya diplomasi kebudayaan (bunka gaiko) sebagai jalan
untuk mengubah identitas nasional yang negatif sebagai negara yang “kalah perang” menjadi
negara yang berkontribusi untuk dunia.9 Pada masa Perang Dunia II, kebijakan kebudayaan
dikontrol oleh negara. Kemudian, Jepang dituntut untuk menampilkan identitas nasional baru
dengan meninggalkan citra sebagai negara militer. Oleh karena itu, Perdana Menteri Tetsu
Katayama dalam pidato kebijakannya menekankan “pembangunan negara budaya” untuk
mengembalikan kebanggaan nasional dan kredibilitas internasional.10
Meskipun kegiatan pertukaran kebudayaan internasional penting bagi Jepang, tetapi
pada awalnya tidak mudah dilakukan. Hal ini membutuhkan waktu dan proses untuk dapat
berjalan. Selain itu, dibutuhkan faktor-faktor penunjang lainnya, salah satunya masalah
finansial. Pada dasawarsa 1950-an, pemerintah Jepang tidak banyak mengadakan kegiatan
pertukaran kebudayaan keluar karena masalah finansial tersebut. Pembiayaan untuk
pertukaran kebudayaan sangat terbatas dan sebagian besar dana dialokasikan untuk hibah
kepada Kokusai Bunka Shinkokai (KBS). Dasawarsa 1950-an, KBS hanya mencakup AS
dengan memperkenalkan kebudayaan tradisional Jepang.
Pada dasawarsa 1960-an, Jepang memasuki periode baru dalam pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan mulai menjadi kekuatan ekonomi dunia.11 Dimulai dengan Olimpiade Tokyo
1964, dengan memperlihatkan kemajuan ekonominya, Jepang mencoba mengubah kesan dari
negara yang cinta perdamaian menjadi negara yang maju secara ekonomi. Pada tahun yang
sama, Jepang diterima dalam OECD (Organization of Economic Cooperation and
Development) yang merupakan perkumpulan ekonomi negara dagang industri. Sedikit demi 8 Edwin O. Reischauer, Manusia Jepang (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hal. 450-451. 9 Maki Aoki-Okabe, Yoko Kawamura, dan Toichi Makita, “German in Europe”, Japan And Asia”: National Commitments to Cultural Relations within Regional Frameworks”, dalam Jessica C.E. Gienow-Hectht, Mark C. Donfried, ed., Searching for a Cultural Diplomacy (New York and Oxford: Berghahn, 2010) hal. 220. 10 Tadashi Ogawa,op.cit,, hlm. 268. 11 Ibid.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
5
sedikit, Jepang memperoleh pengakuan sebagai salah satu negara industri yang penting.12
Oleh karena itu, sangat wajar jika pada tahun 1970an, Jepang telah disejajarkan dengan
negara industri barat atau telah termasuk kedalam kelompok “dunia pertama”.
Kemajuan ekonomi Jepang pada dasawarsa 1970-an, selain mendapat perhatian
internasional juga diikuti dengan munculnya kecurigaan dan kritik terhadap Jepang. Perhatian
internasional dapat terlihat dari berkembangnya studi Jepang di banyak negara, terutama di
Amerika dan Eropa. Pada saat bersamaan juga menuai kritik dari Amerika Serikat dan negara-
negara di Asia Tenggara yang merupakan partner penting kerjasama ekonomi Jepang. Hal ini
sebagaimana terlihat dengan terjadinya Nixon Shock dan banyaknya demonstasi anti ekonomi
Jepang di Asia Tenggara pada awal 1970-an. Pemerintah Jepang kemudian menganggap
permasalahan ekonomi yang terjadi sebagai kesalahpahaman akibat perbedaan kebudayaan.
Pemerintah Jepang berusaha memperbaiki kebijakan yang selama ini dijalankannya
dengan semakin meningkatkan kerjasama dalam bidang kebudayaan. Keseriusan pemerintah
Jepang untuk menitikberatkan pada kebijakan kebudayaan diwujudkan dengan pendirian
Japan Foundation pada 1972. Pada awalnya Amerika Serikat yang menjadi target utama.
Selanjutnya pada 1974, kantor Japan Foundation didirikan di Thailand dan Indonesia sebagai
respons terhadap aksi demonstrasi anti-Jepang di kedua negara tersebut.Pemerintah Jepang
terus berupaya memperbaiki hubungannya dengan negara-negara di Asia Tenggara melalui
berbagai kerjasama dengan ASEAN. Maksud baik Jepang dibuktikan dengan kunjungan
Perdana Menteri Fukuda ke negara-negara ASEAN. Pada tanggal 18 Agustus 1977,
kunjungan Fukuda di Manila berakhir dengan dikeluarkannya Doktrin Fukuda, yang salah
satu isinya adalah Jepang akan berusaha keras untuk meningkatkan hubungan dengan negara-
negara ASEAN.13 Hubungan ini ditekankan sebagai hubungan persahabatan, tidak hanya di
bidang ekonomi dan politik, melainkan juga di bidang sosial budaya. Kebijakan yang
dikeluarkan salah satunya adalah didirikannya pusat kebudayaan untuk membangun citra baik
bangsa Jepang dan sebagai alat diplomasi.
Diplomasi kebudayaan Jepang di Indonesia melalui Japan Foundation semakin
mengalami peningkatan pasca dikeluarkannya Doktrin Fukuda. Melihat berbagai respon
masyarakat Indonesia terhadap Jepang, pada tahun 1979, didirikan Pusat Kebudayaan Jepang
di Jakarta. Tujuannya adalah untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antara Jepang dan
Indonesia.14 Hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Jepang dalam mempertahankan
12 Edwin O. Reischauer., op.cit., hal 484 13 J. Panglaykim, “Doktrin Fukuda: Suatu Pandangan Bisnis.” Analisa, Vol. VI No. 10 Oktober 1977, hal. 8. 14 The Japan Foundation, Nuansa, Jakarta: edisi Januari-Februari-Maret 2011, hal.1
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
6
hubungan baik dengan Indonesia.15 Pusat kebudayaan ini adalah perluasan dari kantor Japan
Foundation di Jakarta. Dengan pendiriannya diharapkan akan meningkatkan hubungan
persahabatan antara Jepang dan Indonesia. Untuk meningkatkan hubungan persahabatan
diperlukan saling pengertian akan kebudayaan masing-masing.
2.2 Pandangan Pemerintah Indonesia terhadap Jepang
Setelah kemerdekaan, pemulihan hubungan Indonesia-Jepang dilakukan dengan
penyelesaian pampasan perang oleh Jepang. Pada masa Orde Baru, pola hubungan Indonesia,
selain untuk melanjutkan penuntasan penyelesaian pampasan perang, juga dilanjutkan dengan
kerjasama ekonomi yang semakin intensif.16 Interaksi ekonomi menjadi bentuk hubungan
utama antara pemerintah Indonesia dan Jepang. Interaksi ekonomi ini terus berlanjut dan tidak
hanya dilakukan antar-pemerintah, tetapi juga melalui pihak swasta. 17
Kepentingan Jepang di Indonesia lebih memperlihatkan kepentingan ekonomi
daripada kepentingan lainnya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan mentah
yang dibutuhkan oleh Jepang untuk industrinya. Hal ini menjadi pendorong hubungan yang
muncul dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya pasca pembukaan hubungan diplomatik pada
15 April 1958. Bagi Indonesia, hubungan dengan Jepang pada tahun-tahun pertama setelah
hubungan diplomatik adalah untuk mencapai salah satu tujuan politik luar negeri Indonesia
saat itu, terutama untuk membangun kondisi dalam negeri yang terpuruk sejak dasawarsa
1950-an.18. Kedua negara sama-sama membutuhkan keamanan dan kestabilan kawasan Asia
Pasifik. Jepang memerlukannya untuk keamanan negara, sedangkan Indonesia
memerlukannya untuk membangun dan merealisasikan tujuan-tujuan nasional.19
Politik Indonesia waktu itu lebih diarahkan pada mencari bantuan luar negeri untuk
mencapai tujuan lebih besar, yaitu kestabilan ekonomi Indonesia. Terbukanya pintu bagi
investasi asing semakin mendorong mengalirnya modal asing ke Indonesia antara tahun
1968—1969. Investasi modal swasta Jepang juga meningkat dalam periode 1969—1970.
Prakarsa Jepang dalam membentuk konsorsium negara-negara donor untuk Indonesia (IGGI)
15 Ibid., hal. 2-3 16 I Ketut Surajaya, “Hubungan Indonesia Jepang” dalam Hubungan Indonesia Jepang”, dalam Taufik Abdullah, R.Z. Leirissa, dan Saleh Asa’ad Djamhari, Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid VII. (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 2010), hal. 327. 17 Bantarto Bandoro, “Beberapa Dimensi Hubungan Indonesia-Jepang dan Pelajaran Bagi Indonesia” dalam Bantarto Bandoro, ed., Hubungan Luar Negeri Indonesia selama Orde Baru (Jakarta:CSIS, 1994), hal. 94 18 Ibid., hal. 99. 19 Ibid., hal 94.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
7
pada 1966 juga menunjukkan bahwa Jepang adalah bagian penting dalam proses
pembangunan ekonomi Indonesia. Pertemuan pertama IGGI juga dilaksanakan di Jepang.20
Kerja sama ekonomi Jepang dan Indonesia sempat terhambat oleh adanya peristiwa
Malari pada 1974. Peristiwa ini dapat dipahami sebagai hasil dari kecurigaan orang-orang
Indonesia kepada motivasi Jepang dalam memberikan banyak bantuan. Hal ini mendorong
Jepang dan Indonesia berintrospeksi mengenai kerjasama ekonomi yang selama ini telah
terjalin. “Jepang ... dipaksa untuk meninjau kembali peran ekonominya di kawasan Asia
Tenggara. Indonesia mengambil hikmah dari peristiwa di Jakarta itu, dalam arti ia didorong
untuk mengambil sikap lebih hati-hati terhadap setiap inisiatif ekonomi Jepang”.21
Setelah peristiwa Malari, pemerintah Jepang mengevaluasi banyak kebijakannya dan
melancarkan banyak program untuk mempererat hubungan kedua negara. Indonesia juga
menunjukkan minat untuk membina hubungan yang saling menguntungkan dengan Jepang.
Diplomasi Indonesia waktu itu tidak hanya untuk kepentingan pembangunan semata, tetapi
juga untuk pembangunan dan stabilitas kawasan. Hal ini dikarenakan hubungan dan
kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang terkait dengan kepentingan
kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN. Tidak lain karena ASEAN merupakan pilar
politik luar negeri yang penting bagi Indonesia.22
Usaha-usaha untuk mempererat hubungan kedua negara tetap dilakukan oleh kedua
belah pihak. Berbagai analisis mengenai hubungan Indonesia-Jepang difokuskan pada
hubungan ekonomi dan perdagangan.23 Dalam setiap kesempatan kunjungan ke Jepang, para
pejabat pemerintah Indonesia selalu mendesak pemerintah Jepang untuk menyingkirkan
rintangan-rintangan yang mempersulit masuknya produksi Indonesia ke Jepang. Jepang pun,
terutama kalangan pengusaha, meminta Indonesia memperbaiki iklim usaha yang
memungkinkan mereka melakukan investasi secara lebih baik.
Pada tahap tertentu, hubungan luar negeri Indonesia dengan Jepang tetap berorientasi
pada bidang ekonomi.24 Pada dasawarsa ini, terlihat bahwa Jepang adalah sumber dana luar
negeri yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Secara jelas, politik Indonesia terhadap
Jepang dalam dasawarsa 1970-an lebih diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi
20 “Hubungan Jepang –Indonesia” Aneka Jepang, 30 Januari 1974, hal.7. 21 Bandoro, op.cit., hal. 95. 22 Soedjono Hoemardani, “Indonesia-Japan Relation in Future: A Strategic Review.” Hadi Soesastro dan A.R. Sutopo, ed., Strategi dan Hubungan Internasional: Indonesia di Kawasan Asia Pasifik (Jakarta: CSIS, 1981). 23 Lihat misalnya CSIS, Japanese-Indonesia Relation in the Seventies (Jakarta: CSIS, 1973). Lihat juga A.R. Soehoed, “Toward New Pattern of Japan-Indonesian Cooperation in Private Investment.” Dalam CSIS, Japan-Indonesia Relation in Context of Regionalism in Asia (Jakarta:CSIS, 1977). 24 Bandoro, opcit., hal. 107.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
8
Indonesia. Jepang telah menjadi partner ekonomi Indonesia yang peranannya tidak dapat
diabaikan dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia.
2.3 Pandangan Umum Masyarakat Indonesia terhadap Jepang
Di Indonesia, kritik terhadap Jepang paling banyak dibandingkan negara Asia
Tenggara lainnya. Maraknya demonstrasi anti Jepang pada awal dasawarsa 1970-an dapat
menggambarkan hal tersebut. Ada kekhawatiran lama bahwa sebenarnya Jepang akan
menjalankan politik lama “kemakmuran bersama Asia Timur Raya” dengan Jepang sebagai
pemimpinnya.25 Dalam rangkaian demonstrasi-demonstrasi itu terdapat kritik-kritik tajam
yang antara lain “Negara milik Jepang, Akhirat milik kami” adalah poster yang dibawa para
demonstran di Jakarta pada 17 Desember 1973.26; “Jangan kuras Tanah Air sendiri, rakyat
sudah cukup lama menanggung derita, tangkap dan usut kolaborator-kolaborator Jepang yang
merugikan kekayaan negara”, adalah poster dari generasi muda angkatan 1966” pada 22
Desember 1973.27; “Stop Imperialisme Ekonomi Jepang” adalah poster yang dibawa
demonstran di depan kedutaan besar Jepang di Jakarta pada 31 Desember 1973.28 Peristiwa 15
Januari 1974, telah menjadi bukti protes terhadap invasi ekonomi Jepang di Indonesia. Selain
itu, pembakaran produk-produk Jepang saat itu juga merupakan peristiwa terburuk yang
pernah dialami menyangkut hubungan kedua negara setelah perang.
Sifat hidup eksklusif dari pengusaha Jepang di Indonesia juga menimbulkan rasa
kurang senang terhadap Jepang di kalangan para pejabat Indonesia. Seperti yang diucapkan
wakil presiden saat itu, Sultan Hamengkubuwono: “orang-orang Jepang terlalu eksklusif.
Mereka tidak bercampur dengan rakyat kita, yang disoalkan selalu bisnis. Mereka memiliki
perkumpulan, restoran, sekolah mereka sendiri. Itu (semua) membawa ingatan buruk bagi
pendudukan (Jepang)”; Umarjadi Njotowijono, mantan duta besar dan sekjen ASEAN yang
pernah belajar 14 tahun di Jepang dan beristerikan orang Jepang mengatakan: “Orang-orang
Eropa lebih dapat mengerti orang-orang Asia daripada orang-orang Jepang dan orang-orang
Jepang menganggap rendah orang-orang Indonesia” dan sebagainya.29
Penelitian PT. Inscore Indonesia dan CSIS di Jakarta bulan Juni-Juli 1974 mengenai
pandangan umum masyarakat terhadap penanaman modal Jepang di 25 Herman Kahn, The Emerging Japanese Superstate, (Harmondswaort: Penguin Book, Ltd, 1970), hal. 268 26 Harian Abadi, 18 Desember 1973, tahun ke XXIII 27 Nusantara, 22 Desember 1973, tahun ke-24 28 Indonesia Raya, 1 Desember 1973, Tahun ke-24 29 Kutipan-kutipan dalam terjemahan bahasa Inggris Lihat Raul S. Manglapus, Japan in Southeast Asia: Collision Course (New York/Washington D.C.: Carnegie Endowment for International Peace, 1976), Hal 44.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
9
Indonesia,30memperlihatkan bahwa kehadiran ekonomi Jepang yang besar di Indonesia belum
cukup berhasil mendapatkan derajat penerimaan yang tinggi dari masyarakat. Sikap tidak
suka terhadap Jepang ini dapat bertahan kalau tidak ada usaha perbaikan. Hal ini akan
mempengaruhi hubungan Indonesia Jepang secara negatif. Tidak mustahil ini akan membawa
kembali kenangan buruk masa pendudukan Jepang ke tengah-tengah masyarakat dan juga
generasi muda yang tidak pernah mengalaminya akan terpengaruh. Kurangnya pengetahuan
masyarakat Indonesia tentang kebudayaan dan ekonomi Jepang juga telah menimbulkan
perasaan atau kesan bahwa Jepang telah mencurangi Indonesia.31 Kurangnya pengetahuan
bangsa Indonesia mengenai kebudayaan, ekonomi, pola bekerja Jepang dan juga sebaliknya
kekurangan pengetahuan Jepang tentang sentimen, adat istiadat politik Indonesia dapat
membawa hubungan kedua negara kepada keadaan dan situasi yang tidak diinginkan.
Dalam suatu diskusi terkait pertukaran kebudayaan yang disponsori oleh Japan
Foundation, Dr. Lie Tek Tjeng mengatakan bahwa masalah antara Jepang dan Indonesia
bukan berbasis pada masalah antar-pemerintahan. Masalah yang sebenarnya antara Indonesia
dan Jepang di Asia Tenggara adalah mengadakan kontak antar masyarakat atau people-to-
people.32 Hal tersebut dikarenakan, masyarakat Indonesia dan masyarakat Jepang sangat
sedikit mengetahui satu sama lain, jika dibandingkan dengan hubungan keduanya dengan
negara-negara Barat (Eropa dan Amerika). Hal ini dikarenakaan terdapat kaitan dalam
masalah pendudukan dan masalah khusus lainnya.
2.3 Japan Foundation di Indonesia
Pendirian Japan Foundation Pusat di Tokyo pada 1972 merupakan titik krusial dalam
sejarah diplomasi Jepang. Takeo Fukuda yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri
menginstruksikan kepada Kementerian Luar Negeri untuk mulai mempelajari kemungkinan
dikerjakannya pendirian suatu organisasi berskala besar terkait pertukaran kebudayaan
internasional. Hal ini juga sebagai jawaban atas semakin cepatnya perkembangan dari
30 Pendapat Umum Tentang Penanaman Modal Jepang di Indonesia ( PT. Inscore Indonesia CSIS, Jakarta, Juni-Juli 1974) 31 Lie Tek Tjeng, Studi Wilayah pada Umumnya, Asia Timur pada Khususnya Jilid II (Penerbit Alumi: Bandung, 1977), hal. 336-392; lihat juga Alfian, Jepang Dilemma Sebuah Sukses (Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan, Desember 1971). 32 Discussion on Cultural Exchange Between Indonesia and Japan, Jakarta pada 20 Maret 1975, hal. .9
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
10
pertukaran kebudayaan internasional saat itu.33 Rencana Fukuda mulai terwujud pada Februari
1972 ketika Undang-Undang tentang Japan Foundation (Japan Foundation Law), telah
disetujui oleh kabinet dan segera disampaikan kepada Diet (parlemen Jepang). Pada 25 Mei
1972, Undang-Undang tentang Japan Foundation kemudian disetujui oleh Diet dan mulai
berlaku pada tanggal 1 Juni 1972. Japan Foundation yang telah lama dinanti-nantikan ini
kemudian diresmikan pada tanggal 2 Oktober 1972.34
Pada awalnya, Amerika Serikat yang menjadi prioritas utama sebagai negara sasaran
kegiatan dari Japan Foundation. Namun kemudian, Asia Tenggara menjadi wilayah lain yang
penting bagi Japan Foundation. Hal ini terjadi tidak lama setelah terjadi kerusuhan anti-
Jepang di Thailand dan Indonesia sewaktu kunjungan resmi dari Perdana Menteri Kakuei
Tanaka pada tahun 1974. Jepang menyadari bagaimana telah tertanam kuat perasaan negatif
beberapa negara Asia Tenggara terhadap Jepang. Hal ini berkaitan dengan pengalaman pahit
selama masa pendudukan Jepang pada Perang Dunia II dan dominasi ekonomi Jepang pasca
perang. Dalam merespon situasi ini, Japan Foundation memberikan banyak bantuan berupa
sumber daya manusia dan bantuan dana ke Asia Tenggara.35
Pemerintah Jepang telah mengirimkan beberapa orang dalam misi menjajaki
pertukaran kebudayaan antara Jepang dan Asia Tenggara. Pada tanggal 7 Agustus 1971
misalnya, sebuah tim yang membawa misi pertukaran kebudayaan Jepang telah tiba di
Indonesia.36 Selanjutnya, pada tanggal 25—30 Maret 1973, sebuah tim pertukaran
kebudayaan kembali mengunjungi Indonesia.37 Tujuan dari kunjungan misi tersebut di
Indonesia ialah untuk mengadakan tukar menukar pikiran dengan para tokoh Indonesia dari
berbagai kalangan mengenai cara-cara untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama
kebudayaan dan pendidikan antara Indonesia dan Jepang, serta untuk lebih memperkokoh
hubungan persahabatan yang telah ada antara kedua negara.
Di Indonesia, Japan Foundation tercatat telah memulai kegiatannya sejak tahun-tahun
awal berdirinya. Pada 1972, Japan Foundation telah mulai melakukan kegiatan seperti
pertukaran ahli, bantuan progam bahasa dan studi Jepang, pertunjukan, pameran dan lain-lain.
33 Morihiko Okatsu, “The Present State of Cultural Exchange in Japan: An Assesment.” The Japan Foundation, Dialogue Southeast Asia and Japan: Symposium on Cultural Exchange (Tokyo, The Japan Foundation, 1977) hal. 101. 34 Aneka Jepang, loc.cit. hal. 11 35 Tadashi Ogawa, loc.cit., hal. 269 36 “Misi Pertukaran kebudayaan Djepang Tiba Sabtu Ini.” Kompas, Sabtu, 7 Agustus 1971, hal. 1 sambung ke hal 7. 37“Misi Pertukaran Kebudayaan Pemerintah Jepang Ke Asia Tenggara Kunjungi Indonesia.” Aneka Jepang, 30 April 1973, hal. 12.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
11
Kemudian pada 1973 memulai dengan kegiatan sarana audio visual untuk Indonesia.38
Setahun kemudian, setelah membuka kantornya di Jakarta, kegiatan penerbitan dan
perpustakaan dimulai. Dengan membuka kantornya di Jakarta, kegiatan Japan Foundation di
Indonesia semakin meningkat.
Salah satu kegiatan Japan Foundation di Indonesia adalah menyelenggarakan
simposium maupun seminar. Seminar ini berkaitan dengan upaya meningkatkan pertukaran
kebudayaan antara Jepang dengan Indonesia.39 Hubungan antara Indonesia dan Jepang selama
ini dinilai terlalu menitikberatkan pada hubungan ekonomi saja. Oleh karena itu, perlu
mengembangkan hubungan-hubungan lain, seperti hubungan kebudayaan. Beberapa hasil
yang diperoleh dari seminar, antara lain disebutkan, perlunya tenaga-tenaga ahli mengenai
keadaan negara masing-masing dari kedua belah pihak. Dalam usaha meningkatkan
pengetahuan umum tentang keadaan masing-masing negera tersebut, juga diperlukan adanya
penerbitan buku-buku sejarah, ilmu bumi, kesusasteraan dan sebagainya untuk memperkaya
pengetahuan tentang keadaan negeri masing-masing. Selain itu, pertukaran kunjungan antara
pemuda, intelektual, juga dianggap penting sebagai landasan mengembangkan minat terhadap
negeri yang tidak dikenalnya sebelum itu.40
Upaya untuk mengundang beberapa tokoh untuk datang ke Jepang maupun sebaliknya
sebenarnya telah terlebih dahulu diupayakan oleh Japan Foundation. Tercatat tiga tokoh
Indonesia yang diundang oleh Japan Foundation untuk mengunjungi Jepang, tidak lama
setelah peresmian pendirian Japan Foundation pada 2 Oktober 1972. Drs. Gondomono M.A.,
Ketua Jurusan Studi Asia Timur, FSUI dan Drs. Livain Lubis, Dekan Fakultas Sastra,
Universitas Padjajaran, bertolak ke Tokyo pada 19 Februari 1973 dalam rangka undangan
untuk melakukan kunjungan selama dua minggu ke Jepang. Selama di Jepang, mereka
mengadakan pertemuan dengan para tokoh kebudayaan dan pejabat-pejabat yang
bersangkutan dengan Studi Jepang serta mengunjungi beberapa universitas dan lembaga
kebudayaan. Disamping kedua tokoh tersebut, Japan Foundation juga mengundang Dra. Wiwi
Winarsih, Staf Pengajar dari Jurusan Jepang, Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
Tujuannya diundang ke Jepang adalah untuk lebih memperdalam pengertian tentang Jepang
dan melakukan studi tentang bahasa dan kebudayaan Jepang. Ia berangkat ke Jepang pada
tanggal 17 Februari 1973. 41
38 The Japan Foundation, Laporan Kegiatan The Japan Foudation, hal. 11. 39”Seminar Indonesia-Jepang tentang Pembangunan Bangsa dan Pertukaran Kebudayaan.” Aneka Jepang, 30 April 1973, hal. 9—12. 40 Loc.cit. 41 “Tiga Pejabat Indonesia Diundang Yayasan Jepang.” Aneka Jepang, 28 Februari 1973, hal. 11.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
12
Tidak lama setelah peristiwa Malari, Japan Foundation semakin meningkatkan
kegiatannya. Pada bulan Februari 1974, Japan Foundation Liaison Office, kantor Japan
Foundation pertama di Asia Tenggara dibuka. Kantor ini awalnya bertempat di Kedutaan
Besar Jepang di Jakarta. Pembukaannya disebutkan sebagai usaha untuk menyelenggarakan
pertukaran kebudayaan yang sesuai dengan keadaan Indonesia saat itu.42 Semenjak pertama
kali didirikan, Japan Foundation Liaison Office mengalami berbagai perkembangan guna
semakin meningkatkan perannya sebagai suatu organisasi pertukaran kebudayaan. Pada bulan
Juli 1974, ditempatkan seorang Direktur yang bernama Takeshi Komiyama. Pada 31 Agustus
1975, dibuka The Japan Foundation Liaison Office baru yang bertempat di Jalan Cimandiri
24, Jakarta Pusat. Pada Agustus 1977, dilakukan pergantian Direktur The Japan Foundation
Liaison Office. 43 Tekeshi Komiyama digantikan oleh Tsuneharu Nakagawa.
Sebagai salah satu kantor di luar negeri, Japan Foundation Jakarta (Indonesia)
bertugas menyelenggarakan pelaksanaan kegiatan kebudayaan yang dilakukan oleh Japan
Foundation Pusat. Selain itu, berperan dalam memediasi dan memberitahukan tentang
keadaan kebudayaan negara setempat kepada kantor pusat. Kemudian dapat juga
mengusulkan kegiatan-kegiatan kebudayaan apa saja yang berlu dilakukan sebagai kegiatan
kantornya dengan pertimbangan bahwa kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan tersebut
erat hubungannya dengan negara setempat.44 Kantor Japan Foundation di Indonesia telah
menyelenggarakan bermacam-macam kegiatan seperti pertunjukan film, ceramah, pameran
dan sebagainya. Selain itu, juga menyelenggarakan kegiatan untuk perpustakaan dan
sumbangan peralatan.
Adanya Doktrin Fukuda pada 1977 membuat diplomasi kebudayaan Jepang semakin
meningkat. Alhasil, kegiatan Japan Foundation di Indonesia juga mengalami peningkatan.
Pada awal tahun 1978, Kedutaan Besar Jepang mengajukan permintaan dana sekitar 800 ribu
dollar Amerika Serikat pada kabinet pemerintahannya untuk membangun Pusat Kebudayaan
Jepang—Indonesia di Jakarta.45 Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Hidemichi Kira menilai
hubungan kebudayaan antara Jepang dan Indonesia agak terlambat dibina jika dibandingkan
dengan hubungan ekonomi dan perdagangan. Dalam sebuah pertemuan dengan wartawan
pada 18 Februari 1978 saat kunjungan ke Bandung, Kira mengharapkan parlemen Jepang
dapat menyetujui proyek tersebut.46
42 Ibid. 43 Ibid., hal. 12. 44 Ibid., hal. 24. 45 “Jepang Ingin Tingkatkan Hubungan Kebudayaan” Kompas, 22 Februari 1978. 46 Ibid.,.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
13
Rencana untuk pendirian pusat kebudayaan tersebut kemudian terwujud dengan
pendirian Pusat Kebudayaan Jepang pada 1979. Pada tanggal 2 April 1979, diresmikanlah
Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta yang diselenggarakan oleh Japan Foundation Pusat.
Dalam peresmiannnya, gedung “Pusat Kebudayaan Jepang” baru yang terletak di Jalan
Cemara 1 ini ditandai dengan pengguntingan pita oleh Menteri PDK, Dr. Daoed Joesoef dan
Dubes Jepang, Hidemichi Kira. Selain itu, tampak juga menyaksikan pengguntingan pita
tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo.47 Pusat kebudayaan Jepang ini merupakan
yang pertama yang didirikan di Asia setelah perang Dunia II, setelah sebelumnya sudah ada
dua pusat kebudayaan Jepang di Eropa, yaitu di Roma dan Koln yang didirikan sebelum
perang.48 Hal ini dapat diindikasikan betapa pentingnya hubungan kebudayaan antara
Indonesia dan Jepang. Pendirian Pusat Kebudayaan ini merupakan salah satu usaha yang
dilakukan oleh Jepang dalam menjalin persahabatan dari hati ke hati dengan rakyat Indonesia
sebagaimana tertuang dalam Doktrin Fukuda.
Berbagai perkembangan situasi dan kondisi pada 1980-an banyak berpengaruh
terhadap perkembangan The Japan Foundation di Indonesia yang saat itu disebut Pusat
Kebudayaan Jepang. Setelah pendirian Pusat Kebudayaan Jepang yang terletak di Jalan
Cemara 1, pada 1985, kantor The Japan Foundation atau Pusat Kebudayaan Jepang berpindah
lokasi ke Summitmas Tower di Jalan Jendral Sudirman. Dapat dilihat bahwa perpindahan
lokasi ini dari Jl. Cemara 1 di daerah Menteng yang notabenenya daerah pemukiman
penduduk ke Jl. Jendral Sudirman yang terkenal sebagai pusat perekonomian dan bisnis di
Jakarta, sedikit banyak terkait dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat itu.
Sebagaimana diketahui bahwa era 1980-an mulai terjadi peningkatan kerjasama ekonomi
Indonesia dan Jepang, seiring dengan pemberian ODA yang terus meningkat. Era 1980-an
juga dianggap masa pematangan hubungan antara Indonesia dan Jepang terutama dalam
bidang ekonomi, perdagangan dan politik.
3. Kesimpulan
Hubungan Jepang dan Indonesia era 1970-an memiliki dua sudut pandang yang
berbeda. Sudut pandang tersebut berasal dari sisi pemerintahan dan sisi masyarakat umum.
Pemerintah Orde Baru melihat Jepang sebagai sumber modal utama untuk pembangunan.
47 “Gedung Baru “PKJ”: ‘Pusat Kebudayaan Jepang’ Diresmikan.” Majalah Ambassador, edisi April-Mei 1979, hal. 38. 48 H.Kira, “Hubungan Indonesia Jepang: Sangat Bermanfaat Bagi Stabilitas dan Perdamaian di Asia.” Majalah Ambassador, edisi April-Mei 1979, hal. 7.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
14
Kerjasama ekonomi antar pemerintah Jepang dan Indonesia kemudian terjalin erat. Kedua
negara memiliki ketergantungan: Indonesia adalah sumber bahan mentah untuk industri
Jepang dan Jepang adalah sumber dana untuk pembangunan nasional Indonesia. Hubungan
kedua pemerintahan juga terkait dengan situasi politik internasional, yakni Perang Dingin.
Sebagian besar hubungan yang terjalin antarpemerintahan terkait pada masalah ekonomi dan
politik. Pada sisi berbeda, pandangan masyarakat Indonesia terhadap Jepang tidak begitu baik.
Kerjasama ekonomi yang terjalin antar pemerintah belum mendapat penerimaan yang positif
dari masyarakat. Banyaknya kerjasama ekonomi antara pemerintah Indonesia dan Jepang
pada gilirannya turut membawa para pengusaha Jepang ke Indonesia. Para pebisnis Jepang
tersebut dianggap sebagai representasi dari negara Jepang. Sikap hidup eksklusif pengusaha
Jepang di Indonesia, telah menimbulkan rasa kurang senang dari sebagian besar kalangan
masyarakat umum. Terlebih lagi, terdapat pengalaman pahit ketika Jepang pernah menjajah
Indonesia. Diplomasi ekonomi Jepang dianggap sebagai bentuk imperialisme baru.
Masyarakat juga mencurigai adanya motif tersembunyi dari bantuan ekonomi yang diberikan
Jepang. Hal tersebut kemudian memunculkan sikap sentimen anti Jepang karena adanya
kekhawatiran bahwa Jepang akan kembali menjajah dengan kekuatan ekonominya.
Sadar akan keadaan ini, pemerintah Jepang berusaha memperbaiki kebijakan yang
selama ini dijalankannya di Indonesia. Pemerintah Jepang melakukan berbagai upaya guna
menjernihkan ataupun memperbaiki citra Jepang yang buruk tersebut. Masalah yang timbul
dinilai karena kekurangan pengetahuan bangsa Indonesia terhadap kebudayaan Jepang,
ekonomi dan pola bekerja orang Jepang dan sebaliknya kekurangan pengetahuan Jepang
tentang sentimen, adat istiadat politik bangsa Indonesia. Melalui program pertukaran
kebudayaan, Jepang berusaha menjelaskan kebudayaan Jepang agar terjadi saling pengertian.
The Japan Foundation yang telah berkegiatan sejak 1972, memiliki peran penting sebagai
sarana dan panggung dialog yang mempertemukan kebudayaan Jepang dan Indonesia.
Landasan pokok kegiatan the Japan Foundation di Indonesia pada tahun 1970-an,
terlebih dahulu adalah untuk mengenalkan kebudayaan Jepang kepada masyarakat Indonesia.
Dengan berbagai program yang telah disusun sedemikian rupa sesuai dengan tujuan
pendirinya, The Japan Foudation telah memiliki modal besar untuk melakukannya. Hal ini
juga sesuai dengan garis besar visi dan misi The Japan Foundation sendiri. Pembukaan kantor
The Japan Foundation di Indonesia sejak 1974, selain melakukan kegiatan kebudayaan yang
dilakukan oleh kantor pusatnya di Tokyo, juga senantiasa dituntut untuk memberitahukan
keadaan kebudayaan negara Indonesia kepada pusat dan mengusulkan kegiatan yang perlu
dilakukan sebagai kegiatan kantornya.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
15
The Japan Foundation kembali mengalami peningkatan pasca dikeluarkannya Doktrin
Fukuda pada 1977. Fungsi dan kegiatannya di Asia Tenggara semakin meningkat, terlebih
lagi dengan tambahan dana dari pemerintah Jepang. Akhirnya pada 1979, kantor Japan
Foundation di Indonesia diperluas menjadi Pusat Kebudayaan Jepang. Tidak dapat dipungkiri
bahwa selain semakin meningkatnya diplomasi kebudayaan Jepang, pendirian Pusat
Kebudayaan Jepang ini didorong oleh situasi politik yang berkembang di Asia Tenggara.
The Japan Foundation di Indonesia terus berkembang dalam hal kegiatan maupun
struktural sejak pertama kali didirikan hingga diperluas menjadi Pusat Kebudayaan Jepang.
Namun, perkembangannya sendiri mengalami pasang surut karena menyesuaikan keputusan
pemerintah Jepang sebagai pemberi dana utama. Situasi internasional, politik luar negeri,
kepentingan nasional dan keadaan dalam negeri Jepang berpengaruh besar dalam hal ini.
Hingga pada 1981 atau tiga tahun sejak berdirinya Pusat Kebudayaan Jepang (PKJ), Direktur
PKJ saat itu menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan belum maksimal. Hal ini terlihat dari
jarangnya kegiatan pentas yang diselenggarakan di PKJ pada waktu itu. Menurutnya, hal ini
dikarenakan terbatasnya anggaran dan kurangnya fasilitas yang ada di Indonesia. Dalam
perkembangan selanjutnya, hal tersebut terus mengalami perbaikan dan penyesuaian pada
dekade 1980-an dan setelahnya. Pada tahun 1985, PKJ pindah lokasi ke Summitmas Tower di
Jalan Jendral Sudirman, Jakarta.
Kegiatan Japan Foundation sendiri—yang merupakan bentuk diplomasi kebudayaan—
bukan hanya berguna untuk kepentingan jangka pendek, tetapi juga jangka panjang. Jepang
kini dipandang memiliki kesan baik dan positif sebagai negara pemberi bantuan ekonomi dan
negara yang berbudaya. Program hubungan kebudayaan yang dijalankan oleh Japan
Foundation sejak didirikannya pada 1970-an, dan organisasi-organisai kebudayaan lainnya
turut memberikan andil dalam mencapai kesan-kesan tersebut. Dengan perkataan lain,
kegiatan yang dilakukan Japan Foundation pada dasawarsa 1970an, melandasi kegiatan
pertukaran kebudayaan internasional Jepang pada masa setelahnya. Namun, tidak dapat
dilupakan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut dijalankan fleksibel sesuai dengan situasi
internasional yang berkembang terhadap Jepang. Hasilnya saat ini adalah Jepang memiliki
citra internasional yang positif di sebagian besar negara-negara Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
16
Daftar Referensi
Surat Kabar :
Harian Abadi, 18 Desember 1973, tahun ke XXIII.
Nusantara, 22 Desember 1973, tahun ke-24.
Indonesia Raya, 1 Desember 1973, Tahun ke-24.
Kompas, 14-16 Januari 1974.
Misi Pertukaran kebudayaan Djepang Tiba Sabtu Ini. (1971, Agustus 7). Kompas, hal. 1
sambung ke hal 7.
Jepang Ingin Tingkatkan Hubungan Kebudayaan. (1978, Februari 22). Kompas.
Hasil Survey:
Pendapat Umum Tentang Penanaman Modal Jepang di Indonesia (1974, Juni-Juli). Jakarta:
PT. Inscore Indonesia dan CSIS
Majalah dan Terbitan Berkala:
The Japan Foundation. (2011, Januari-Februari, Maret). Nuansa.
Hubungan Jepang–Indonesia. (1974, Januari 30). Aneka Jepang.
Memperkenalkan: Hidemi Kohn “Presiden Pertama Yayasan Jepang.(1973, April 30). Aneka
Jepang.
Misi Pertukaran Kebudayaan Pemerintah Jepang Ke Asia Tenggara Kunjungi Indonesia.(
1973, April 30) Aneka Jepang, hal. 12.
Seminar Indonesia-Jepang tentang Pembangunan Bangsa dan Pertukaran Kebudayaan.(1973,
April 30). Aneka Jepang, hal. 9—12.
Tiga Pejabat Indonesia Diundang Yayasan Jepang. (1973, Februari 28). Aneka Jepang, hal.
11.
Gedung Baru “PKJ”: ‘Pusat Kebudayaan Jepang’ Diresmikan. (1979, edisi April-Mei).
Majalah Ambassador, hal. 38.
Kira, Hidemichi. Hubungan Indonesia Jepang: Sangat Bermanfaat Bagi Stabilitas dan
Perdamaian di Asia. (1979, edisi April-Mei). Majalah Ambassador, hal. 7.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
17
Buku:
Alfian. Jepang Dilemma Sebuah Sukses. Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan,
Desember 1971.
Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Japan-Indonesia Relation: Past,
Present, and Future. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS),
1979.
-------. Japan-Indonesia Relation In The Context Regionalism in Asia. Jakarta: Centre for
Strategic and International Studies (CSIS), 1976.
-------. Japanese-Indonesian Relations In The Seventies. Jakarta: Centre Strategic and
International Studies (CSIS), 1973.
Cipto, Bambang. Politik dan Pemerintahan Amerika. Yogyakarta: Penerbit Lingkaran, 2003.
Connors, Michael K. The New Global Politics of the Asia-Pacific. New York: Routledge,
2004.
Drifte, Reinhard. Japan’s Foreign Policy. London: Routledge, 1990
Effendi, Tony Dian. Diplomasi Publik Jepang: Perkembangan dan Tantangan. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.
H, A. Irawan J. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007.
Hook, Glenn D. Julie Gilson, Christopher W. Hughes, Hugo Dobson. Japan’s International
Relations : Politics, Economics and Security. New York: Routledge, 2001.
-------. Japan’s International Relations : Politics, Economics and Security. New York:
Routledge, 2005.
Irsan, Abdul. Budaya & Perilaku Politik Jepang di Asia. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah
Ilmu, 2007.
-------. Jepang: Politik Domestik, Global dan Regional. Makassar: Hasanuddin University
Press, 2005.
Kahn, Herman. The Emerging Japanese Superstate. Harmondswaort: Penguin Book, Ltd,
1970.
Lie Tek Tjeng. Studi Wilayah pada Umumnya, Asia Timur pada Khususnya Jilid II. Bandung:
Penerbit Alumi, 1977.
Manglapus, Raul S. Japan in Southeast Asia: Collision Course. New York/Washington D.C.:
Carnegie Endowment for International Peace, 1976.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
18
Muhaimin, A. Yahya. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi di Indonesia 1950-1980.
Jakarta: LP3ES, 1989.
Ogoura, Kazuo. Japan’s Cultural Diplomacy. Tokyo: The Japan Foundation, 2009.
Reischauer, Edwin O. Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Suryohadiprojo, Sayidiman. Belajar Dari Jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang dalam
Perjoangan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1987.
The Japan Foundation. 15 Years The Japan Foundation. Tokyo: The Japan Foundation, 1990.
---------.Dialogue Southeast Asia and Japan: Symposium on Cultural Exchange. Tokyo: The
Japan Foundation, 1977.
--------. Discussion on Cultural Exchange Between Indonesia and Japan, Jakarta pada 20
Maret 1975. Tokyo: The Japan Foundation, 1975.
--------. Laporan Kegiatan The Japan Foundation Di Indonesia (2 Oktober 1972 – 31 Maret
1978). Jakarta: Japan Cultural Centre Jakarta (The Japan Foundation), April 1979.
Artikel atau Bab dalam Buku:
Bandoro, Bantarto. (1994). Beberapa Dimensi Hubungan Indonesia-Jepang dan Pelajaran
Bagi Indonesia. Dalam Bantarto Bandoro, ed., Hubungan Luar Negeri Indonesia
selama Orde Baru. Jakarta: CSIS.
Hoemardani, Soedjono. (1981). Indonesia-Japan Relation in Future: A Strategic Review.
Dalam Hadi Soesastro dan A.R. Sutopo, ed., Strategi dan Hubungan Internasional:
Indonesia di Kawasan Asia Pasifik. Jakarta: CSIS.
Maki, Aoki-Okabe. Yoko Kawamura. dan Toichi Makita. (2010). “German in Europe”,
“Japan and Asia”: National Commitments to Cultural Relations within Regional
Frameworks”. Dalam Jessica C.E. Gienow-Hectht, Mark C. Donfried, ed., Searching
for a Cultural Diplomacy. New York and Oxford: Berghahn.
Nagasu. Kazuji, (1981). Citra Suatu Kekuasaan Raksasa Ekonomi. Dalam Mohtar Lubis. ed.
Kekuatan Yang Membisu: Kerpibadian dan Peranan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
Nishihara, Masashi. (2003). Japan’s Political and Security Relations with ASEAN. Dalam
Pamela J. Noda, ed. ASEAN-Japan Cooperation: A Foundation for East Asian
Community. Tokyo: Japan Center For International Exchange (JCIE).
Ogawa, Tadashi. (2009). Origin and Development of Japan’s Public Diplomacy. Dalam
Nancy Snow, Philip M. Taylor. ed. The Routledge Handbook of Public Diplomacy.
New York And London: Routledge.
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016
19
Okatsu, Morihiko. (1977). The Present State of Cultural Exchange in Japan: An Assesment.
Dalam The Japan Foundation, Dialogue Southeast Asia and Japan: Symposium on
Cultural Exchange. Tokyo, The Japan Foundation.
Soehoed, A.R. (1977). Toward New Pattern of Japan-Indonesian Cooperation in Private
Investment. Dalam CSIS, Japan-Indonesia Relation in Context of Regionalism in
Asia. Jakarta:CSIS.
Surajaya, I Ketut. (2011). Hubungan Indonesia Jepang. Dalam Taufik Abdullah, R.Z.
Leirissa, dan Saleh Asa’ad Djamhari. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid VII. Jakarta:
Ichtiar baru van Hoeve.
Umesao. Tadao. (1981). Keluar dari Keterkucilan Kebudayaan. Dalam Mohtar Lubis. ed.
Kekuatan Yang Membisu: Kerpibadian dan Peranan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
Artikel Jurnal:
J. Panglaykim. Doktrin Fukuda: Suatu Pandangan Bisnis. (Analisa, Vol. VI No. 10 Oktober
1977.
Sumber Internet:
BBC News. (2011, Maret 7). BBC World Service Country Rating Poll . 2014, November 12,
news.bbc.co.uk/2/shared/bsp/.../05_03_11_bbcws_country_poll.pdf
The Japan ..., Asep Mulyana, FIB UI, 2016