Download - Tesis Purwanto
ii
ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM
DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapaiderajat Master of Science (M.Sc.)
Magister Farmasi Sains dan Teknologi
Oleh :
Purwanto
09/291328/PFA/00845
Kepada :PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU FARMASIFAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2011
-
tll
ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI I{EM
DARI FLII{GI ENDOFIT TANAMAN Artemisiu annua L.
dipersiapkan dan disusun oleh :
PURWANTO
09/291328{PFA/00845
telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal I 7 Juni 201 I
Mengetahui:Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Prof. Dr. Mustof4 M.Kes., Apt. Prof. :N6rchaban, DESS., Apt.
imbing Pendamping d'
I
I
iv
Yang bertanda tangan di
Nama
NIM
SURAT PERNYATAAN
bawah ini :
: Purwanto
: 091291328/PFA/00845
Judul penelitian : Isolasi dan identifikasi senyawa penghambat
polimerisasi hem dari fungi endofit tanaman
Artemisia annuaL.
Menyatakan bahwa penelitian ini adalah hasil karya tesis dan di dalam tesis ini
tidak terdapatkarya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar magister di
suatu Perguruan Tinggi; dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya
atau pendapatyang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara terfulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
uni 201 1
v
PERSEMBAHANKU
”Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap” (Al-Insyiroh : 6-8)
Kekayaan yang paling tinggi nilainya adalah akal pikiran
Kemiskinan yang paling parah adalah kebodohan
Kesepian yang menakutkan adalah bangga pada diri sendiri
Kekaguman yang paling mulia adalah budi pekerti yang luhur
(Ali bin Abi Tholib)
Anda akan menjadi pribadi yang dihargai dan tidak terlupakan,jika Anda menjadikan kehadiran Andamerupakan sebuah keuntungan bagi orang lain(Mario Teguh)
Kupersembahkan kepada :
Rabbku, tanpa cinta-Mu apalah arti hidupku
Rasulku, tanpa teladanmu bagaimana jalan hidupku
Ibu dan bapakku, sebagai tanda baktiku yang telah mendidikku
dengan penuh curahan kasih sayang
Adikku, tanpa canda kalian, bagaimana asa di jiwa ini
Seluruh saudaraku, tanpa kalian, aku tidaklah bisa seperti sekarang ini
Almamaterku
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji kepada Alloh Tuhan Semesta
Alam, yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, hidayah, dan bimbingan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Isolasi dan identifikasi
senyawa penghambat polimerisasi hem dari fungi endofit tanaman Artemisia
annua L.”. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosululloh
Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan segenap umatnya hingga akhir
zaman. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai derajad Magister of
Science (M.Sc.) pada program Pascasarjana Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu jalannya penelitian ini baik langsung maupun tidak langsung, kepada :
1. Prof. Dr. Marchaban, DESS., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi yang
telah memberikan ijin penelitian.
2. Prof. Dr. Wahyono, S.U., Apt. selaku dosen pembimbing utama yang
telah banyak memberikan bimbingan, saran dan motivasi.
3. Prof. Dr. Mustofa, M.Kes., Apt. selaku dosen pembimbing pendamping
yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan motivasi.
4. Dr. Pudjono, S.U., Apt. dan Dr.rer.nat. Yosi Bayu Murti, M.Si., Apt.
selaku dosen penguji, atas saran dan masukan yang diberikan.
5. Mbak Wiwied dan Mas Bibit yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian penelitian ini.
vii
6. Ibu, Bapak, dan Endri yang senantiasa memberi dorongan dan doa hingga
selesainya penelitian ini.
7. Iramie DKI, S. Farm. atas kerelaannya memberikan saran, dorongan,
motivasi, bantuan selama kerja dan penyusunan penelitian ini.
8. Herlina Rante, M.Si., Apt dan Indah Purwantini, M.Si., Apt. atas diskusi
dan masukan selama penelitian ini.
9. Dr. Nanang Fakhrudin, M.Si., Apt. dan Sylvia Utami TP., M.Si atas
kiriman jurnal-jurnalnya.
10. Segenap karyawan Bagian Biologi Farmasi yang telah banyak membantu
dalam pengambilan data penelitian ini.
11. Segenap karyawan perpustakaan Fakultas Farmasi UGM yang telah
banyak membantu dalam penyusunan penelitian ini.
12. Sahabat-sahabatku, Fahrauk, Sri, Ari Sartinah, Hasnawati, Sumardi,
Mbak Dewi, Mbak Jovie, Mbak Lika, Mbak Yos, Mbak Maria, Mbak
Isnindar, atas kebersamaannya selama ini.
13. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, semoga Alloh
membalas kebaikan kalian semua dengan pahala berlimpah.
Penulis menyadari bahwa buah karya ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu saran, kritik, dan masukan sangat diharapkan demi penyempurnaan karya ini.
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat. Amin
Yogyakarta, Juni 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ...……………………………………………... iii
HALAMAN PERNYATAAN ...…………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...…………………………………………… v
KATA PENGANTAR …………………………………………………........... vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. viii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….. xiii
DAFTAR SINGKATAN KATA ……………………………………………… xiv
INTISARI …...………………………………………….................................... xv
ABSTRACT …...……………………………………….................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………............ 3
C. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Artemisia annua L .…………………….................. 4
B. Senyawa antiplasmodium dalam tanaman A. annua L............. 7
C. Malaria .............……………………………………............... 16
D. Mikroba Endofit …….…………………………………......... 24
E. Fermentasi ...................………………………………............ 27
F. Liquid Chromatography - Mass Spectrometer (LC-MS) …… 31
G. Landasan Teori ………………………………………………. 32
H. Hipotesis……………………………………………………... 33
ix
BAB III CARA PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Penelitian ………………………………........ 34
1. Definisi operasional dan variabel penelitian .................. 34
2. Bahan penelitian ............................................................. 34
3. Alat penelitian ...………………………………………. 35
B. Cara Penelitian…………………………………………….… 36
1. Identifikasi tanaman .……………………………..…... 36
2. Isolasi fungi endofit dari A. annua L. ........................…. 36
a. Pembuatan media PDA ......................................... 36
b. Isolasi fungi ........................................................... 37
3. Fermentasi fungi endofit ................................……….... 38
a. Pembuatan media M 102b ..................................... 38
b. Fermentasi ............................................................. 39
4. Bioassay guided fractionation ....................................... 39
a. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi ...... 39
b. Analisis profil KLT ekstrak etil asetat ................. 40
c. Uji penghambatan polimerisasi hem ..................... 40
d. Analisis ekstrak aktif dengan HPLC ..................... 45
e. Analisis ekstrak aktif dengan LC-MS ................... 45
5.Identifikasi golongan senyawa yang terdapat di dalamekstrak aktif .............................………………………..
46
6. Analisis profil pertumbuhan fungi ................................. 47
7. Identifikasi fungi .……………....................................... 47
C. Data dan Analisis Data .......…...…………………………….. 48
x
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Isolasi fungi endofit dari A. annua L.……………………….. 50
1. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA) …….... 50
2. Isolasi fungi .................................................................... 50
B. Fermentasi fungi endofit ......................................................... 52
C. Bioassay guided fractionation ................................................. 53
1. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi ………… 53
2. Hasil analisis profil KLT ekstrak etil asetat …………... 54
3. Hasil uji penghambatan polimeriasi hem ....................... 58
4. Hasil analisis dengan HPLC ........................................... 63
5. Hasil analisis dengan LC-MS ......................................... 65
D. Hasil identifikasi golongan senyawa dengan KLT .................. 69
E. Hasil analisis profil pertumbuhan fungi …………………….. 75
F. Hasil identifikasi fungi ……………………………………… 76
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………………………………………………….. 77
B. Saran …………………………………..…………………….. 77
DAFTAR PUSTAKA ……………………..……………................................... 78
LAMPIRAN ……………………………………………................................... 85
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Struktur kimia artemisinin dan turunannya ............................. 8
Gambar 2Mekanisme artemisinin dan turunannya yang melaluipenghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin ..............
10
Gambar 3 Jalur biosintesis artemisinin .................................................... 14
Gambar 4 Siklus hidup Plasmodium ….................................................... 19
Gambar 5 Struktur kimia hematin …........................................................ 23
Gambar 6 Struktur kimia agen antimalaria .............................................. 24
Gambar 7Bagan prosedur kerja penelitian identifikasi senyawa aktifpada fungi endofit A. annua L. ..............................................
49
Gambar 8Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102b dengan volumepenotolan 7,5 µL .....................................................................
55
Gambar 9Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102b dengan volumepenotolan 30 µL ......................................................................
56
Gambar 10 Profil KLT ekstrak etil asetat miselia fungi ........................... 57
Gambar 11 Kurva baku larutan hematin dalam larutan NaOH 0,1 M ....... 59
Gambar 12a Hasil elusi standar artemisinin dengan HPLC ......................... 64
Gambar 12b Hasil elusi ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC .. 64
Gambar 12cElusi hasil penambahan standar adisi artemisinin terhadapekstrak etil asetat miselia fungi E ............................................
65
Gambar 13aPola fragmentasi artemisinin setelah terprotonasi padametode ESI ..............................................................................
65
Gambar 13bPola fragmentasi dihidroartemisinin setelah terprotonasi padametode ESI ..............................................................................
66
Gambar 13cPola fragmentasi artemether setelah terprotonasi padametode ESI ..............................................................................
66
Gambar 13dPola fragmentasi arteether setelah terprotonasi pada metodeESI
66
Gambar 13ePola fragmentasi artesunat setelah terprotonasi pada metodeESI ...........................................................................................
67
Gambar 14aSpektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi E dalamrentang m/z 100 sampai m/z 1200 ...........................................
68
Gambar 14bSpektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi E dalamrentang m/z 235 sampai m/z 818 .............................................
68
xii
Gambar 15 Hasil elusi tanpa penyemprotan .............................................. 70
Gambar 16 Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3 .............................. 70
Gambar 17 Hasil penyemprotan dengan larutan Dragendorff ................... 71
Gambar 18 Hasil penyemprotan dengan anisaldehid asam sulfat .............. 71
Gambar 19 Hasil penyemprotan dengan larutan vanilin asam sulfat ......... 72
Gambar 20 Hasil penyemprotan dengan larutan SbCl3 .............................. 72
Gambar 21 Kurva pertumbuhan fungi E .................................................... 75
DAFTAR TABEL
Tabel IPengaruh pemberian ekstrak miselia fungi terhadap aktivitaspenghambatan polimerisasi hem .....................................................
60
Tabel IIKemungkinan nilai m/z yang terbentuk pada analisis artemisinindan turunannya dengan ESI pengionan positif ................................
67
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat identifikasi tanaman Artemisia annua L. ……………... 85
Lampiran 2 Gambar tanaman Artemisia annua L. ………………………. 86
Lampiran 3 Gambar penanaman eksplan dalam media PDA ……………. 86
Lampiran 4 Gambar fungi endofit hasil isolasi .......................................... 87
Lampiran 5 Surat identifikasi fungi E ……………………………………. 88
Lampiran 6 Gambar morfologi fungi E secara mikroskopis ...................... 89
Lampiran 7Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem fungi A .............................................................................
90
Lampiran 8Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem fungi E .............................................................................
94
Lampiran 9Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem fungi F .............................................................................
98
Lampiran 10Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem klorokuin difosfat ............................................................
99
xiv
DAFTAR SINGKATAN KATA
ADS : amorfa-4,11-diena sintaseBB : berat badanCPR : sitokrom P-450 reduktaseCYP71AV1 : sitokrom P-450 monooksigenaseDMSO : dimetil sulfoksidaEC50 : Effective Concentration 50FTIR : Fourier Transform Infra Redg : gramHPLC : High Performance Liquid Chromatographyi.d. : inner diameterIC50 : Inhibitory Concentration 50kg : kilogramkV : kilo VoltKLT : Kromatografi Lapis TipisL : literLAF : Laminar Air FlowLC-MS : Liquid Chromatography-Mass SpectrometryM : Molarmg : milligrammL : mililiterOD : Optical DensityPDA : Potato Dextrose Agarppm : part per millionRf : Retention factorSDS : Sodium Dodesyl SulphateUV : Ultra Violetv/b : volume per beratoC : derajat Celsiusµg : mikrogramµL : mikroliter
xv
INTISARI
Malaria adalah penyakit yang disebabkan parasit Plasmodium dan banyakmengancam kehidupan manusia. Penyebaran yang cepat dari malaria yangresisten terhadap obat golongan kuinolin mendorong pencarian antimalaria baru.Tanaman Artemisia annua L. yang mengandung metabolit sekunder artemisininsudah sejak lama digunakan sebagai antimalaria. Salah satu sumber senyawabioaktif adalah fungi endofit, fungi yang hidup di dalam jaringan tanaman danmampu menghasilkan metabolit yang sama atau mirip dengan tanaman inangnya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara isolasi fungi endofit dari jaringantanaman A. annua L., fermentasi fungi, ekstraksi media fermentasi maupunmiselia fungi, analisis profil kromatografi dengan KLT, uji aktivitaspenghambatan polimerisasi hem, analisis dengan HPLC dan LC-MS, analisisgolongan senyawa aktif, dan identifikasi fungi.
Dari 6 macam fungi endofit yang berhasil diisolasi, 3 fungi diantaranyadiduga menghasilkan artemisinin secara intraseluler, yaitu fungi A, E, dan F.Fungi E memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem yang tertinggi, yaitudengan nilai IC50 0,499 mg/mL. Hasil analisis dengan HPLC dan LC-MS,menunjukkan bahwa metabolit intraseluler fungi E tersebut tidak mengandungartemisinin atau turunannya, yaitu dihidroartemisinin, artemether, arteether, atauartesunat. Hasil analisis golongan senyawa menunjukkan bahwa senyawa yangterkandung di dalam ekstrak miselia fungi E yang termasuk dalam genusTritirachium sp. tersebut adalah senyawa golongan terpenoid.
Kata kunci : malaria, fungi endofit, fermentasi, artemisinin, polimerisasi hem
xvi
ABSTRACT
Malaria is a life-threatening disease caused by Plasmodium parasites. Therapid spread of malaria-quinoline resistance enforce a finding of new antimalariadrug. Artemisia annua L plant that had artemisinin as secondary metabolic, hadbeen used as antimalaria agent for long time ago. One source of bioactivecompound is endophytic fungus. This fungus can produce the same or similar toits host plant.
This research was done by isolation endophytic fungus, fermentation,extraction of fermentation medium and fungus miselium, analysis chromatogramwith KLT, analysis of the haem polymerization inhibitory activity, analysis withHPLC and LC-MS, analysis of active compound group, and fungus identification.
From 6 kind of fungus isolated from A. annua L., 3 kind of those fungus(fungus A, E, and F) was guessed could produce intracellular artemisinin. FungusE had the highest value of the haem polymerization inhibitory activity with IC50
0,499 mg/mL. However, the analysis result of HPLC and LC-MS showed thatfungus E did not contain artemisinin or its derivates, such dihydroartemisinin,arthemether, artheether, or artesunate. The result analysis of active compoundgroup showed that fungus E miselium was consisted of terpenoid groupcompound, and this fungus was included in genus Tritirachium sp.
Key words : malaria, endophytic fungus, fermentation, artemisinin, the haempolymerization
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun
2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia sekitar 243 juta orang,
dan 1 juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya (Shio et al., 2010). Di
Indonesia, malaria tergolong penyakit menular yang masih menjadi masalah
utama dalam bidang kesehatan. Kejadian Luar Biasa malaria pada tahun 2004 di
kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan kepulauan Karimun, Riau, menyebabkan
909 orang terinfeksi malaria dan 11 orang diantaranya meninggal dunia. Pada
bulan Juni 2005 di kabupaten Pangkal Pinang, Bangka Belitung, sebanyak 5000
orang terserang malaria dan 6 orang diantaranya meninggal dunia (Aryanti et al.,
2006).
Antimalaria sudah tersedia sejak lama, tetapi sampai kini belum ada
antimalaria ideal. Antimalaria yang ideal adalah efektif terhadap semua jenis dan
stadium parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara pemakaiannya
mudah, harga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, efek samping ringan,
serta toksisitas rendah (Yuliani et al., 2005).
Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali
mengingat adanya penyebaran Plasmodium yang resisten terhadap obat golongan
kuinolin secara cepat dan luas (Huy et al., 2007). Salah satu usaha pencarian
antimalaria baru adalah melalui penelitian terhadap tanaman obat yang secara
tradisional telah digunakan oleh masyarakat untuk mengobati malaria.
1
2
Keberhasilan pengembangan tanaman obat sebagai antimalaria telah terbukti
nyata dengan ditemukannya obat baru, yaitu artemisinin dan derivatnya dari
tanaman Artemisia annua L. (Suwandi et al., 2008) yang sudah lama digunakan
secara tradisional di Cina untuk mengobati malaria (Krishna et al., 2004).
Artemisinin dan turunannya, yaitu artemeter, artesunat, arteeter, dan
dihidroartemisinin, sulit untuk disintesis dan hanya menghasilkan randemen yang
rendah (Ferreira, 2004). Sementara itu, masalah yang dihadapi di Indonesia dalam
pengembangan obat dengan bahan aktif artemisinin adalah tidak tersedianya
bahan baku (tanaman artemisia) yang mempunyai kandungan artemisinin lebih
besar dari 0,5% sehingga tidak bernilai ekonomis bagi skala industri
(Anonim, 2009).
Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungi endofit. Fungi ini hidup
di dalam jaringan tanaman dan merupakan sumber alam yang melimpah yang
dapat dijadikan sumber penemuan obat baru. Endofit mampu memproduksi
senyawa yang mirip atau sama dengan senyawa yang diproduksi inangnya karena
telah terjadi rekombinasi genetik antara endofit dengan inang. Pertumbuhan
endofit lebih cepat dari inangnya, sehingga eksplorasi endofit sebagai sumber
penemuan obat baru sangat menguntungkan (Strobel and Daisy, 2003).
Salah satu mekanisme aksi senyawa antimalaria adalah melalui
penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin. Plasmodium memetabolisme
hemoglobin eritrosit menjadi asam amino dan hem. Asam amino diperlukan
Plasmodium untuk kelangsungan hidupnya, sedangkan hem yang bersifat toksik
bagi Plasmodium diubah menjadi hemozoin dan disimpan dalam vakuola
3
digestifnya. Hemozoin akan dilepaskan dalam darah pada saat Plasmodium pecah
menjadi merozoit dan skizon. Penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin
ini telah digunakan sebagai skrining awal uji aktivitas antiplasmodium (Basilico et
al., 1998).
Dalam penelitian ini dicari fungi endofit dari tanaman A. annua L. yang
menghasilkan metabolit sekunder dengan efek sebagai antiplasmodium melalui
mekanisme penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin.
B. Rumusan masalah
1. Apakah fungi endofit A. annua L. mengandung metabolit sekunder yang
mempunyai efek menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin ?
2. Senyawa golongan apakah yang berefek menghambat polimerisasi hem
tersebut ?
C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendapatkan fungi endofit A. annua L. yang menghasilkan metabolit
sekunder yang mampu menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin
serta isolasi senyawa aktif tersebut.
2. Mengetahui golongan senyawa yang mempunyai aktivitas menghambat
polimerisasi hem tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Artemisia annua L.
Klasifikasi tanaman A. annua L. dalam sistematika tumbuhan adalah :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Marga : Artemisia
Jenis : Artemisia annua L. (Anonim, 1999)
Artemisia annua L. adalah tanaman tradisional yang berasal dari provinsi
Char dan Suiyuan, Cina (Bhakuni et al., 2001) serta digunakan kurang lebih 2000
tahun yang lalu sebagai antimalaria, obat demam, dan pereda gangguan
menstruasi. Nama artemisia diambil dari nama dewi bangsa Yunani "Artemis",
yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit dan mencegah hal-hal yang
buruk (Ferreira, 2004). Kegunaan lain dari tanaman ini adalah untuk terapi
hemoroid, aromaterapi, antikanker, antivirus, antitripanosoma (Ferreira and
Janick, 2009), antibakteri, industri parfum, dan kosmetik (Muzemil, 2008).
Artemisia annua L. adalah tanaman semusim dengan tinggi 30-100 cm.
Batang tegak, bulat persegi, berwarna hijau kecoklatan. Daunnya bersifat
majemuk, bentuk oval, lonjong, panjang 10-18 cm, lebar 6-15 cm, ujung runcing,
pangkal tumpul, tepi bergerigi, anak daun bentuk oval, tepi bergerigi, pertulangan
4
5
daun tegas, warna ungu kehijauan atau hijau. Tanaman ini mempunyai bunga
majemuk, bentuk tandan, terletak di ujung batang, panjang mencapai 30 cm,
kelopak hijau, bentuk bintang, berlekuk 5, mahkota halus mengelilingi cawan
bunga tempat benang sari dan putik, diameter 2-3 cm, warna putih gading. Biji
berbentuk lanset, kecil, berwarna coklat. Akar serabut, berwarna putih kekuningan
(Anonim, 1999).
Sebagian besar spesies artemisia adalah tanaman yang tidak tergantung
musim. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran tinggi dengan
ketinggian 1000-1500 m di atas permukaan laut. Kondisi tanah yang cocok adalah
tanah yang berpasir atau berlempung, berdrainase baik dengan pH 5,5-8,5 (pH
optimum 6-8), dan curah hujan 700-1000 mm/tahun. Ketersediaan air merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada
umur 1-2 bulan (Gusmaini dan Nurhayati, 2007).
Perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji yang dipanen saat tanaman
berumur 13 minggu. Setelah berumur 40-50 hari ditanam dalam bedeng, benih
siap ditanam di tanah lapang. Panen dilakukan setelah tanaman berumur 5 bulan,
dan saat yang terbaik untuk panen adalah saat antara pembentukan kuncup bunga
dan pembungaan awal, karena kandungan artemisininnya mencapai jumlah yang
optimal, yaitu 0,3-0,6% terhadap bahan kering (Kardinan, 2008).
Sebagian besar kandungan metabolit sekunder A. annua L. adalah
terpenoid dan flavonoid. Minyak atsiri yang terkandung sebagian besar terdiri dari
monoterpen. Kandungan minyak atsiri berkisar antara 0,3-0,4% (v/b). Kandungan
kimianya pun berbeda-beda. Minyak atsiri A. annua L. dari Cina mengandung
6
63,9% artemisia keton; 7,5% artemisia alkohol; 5,1% mirsena; 4,7% α-guaina;
dan 3,3% kamfor; sedangkan tanaman dari Vietnam mengandung 21,8% kamfor;
18,3% germaserena-D; 5,6% α-kariofilina; 3,8% trans-α-farnesena; dan 3,1% 1,8-
sineol. Analisis GC-MS terhadap minyak atsiri diperoleh 38 senyawa, terdiri dari
22 senyawa monoterpen (57,89%), 14 senyawa seskuiterpen (36,84%), dan 2
senyawa fenolik (5,55%). Dari senyawa yang volatil, kamfor adalah komponen
terbanyak dengan jumlah mencapai 43,84% (Bhakuni et al., 2001). Senyawa
seskuiterpen yang terkandung dalam A. annua L. misalnya artemisinin (arteanuin
A), arteanuin B, artemisiten, dan asam artemisinat (Ferreira and Janick, 2009).
Fraksi kloroform dari ekstrak etanolik 70% herba A. annua L. banyak
mengandung flavonoid metoksi seperti artemetin, krisoplenetin, krisosplenol-D,
dan sirsilineol. Ekstrak ini mampu melawan P. falciparum secara in vitro dengan
Inhibitor Concentration 50 (IC50) sebesar 2,4-6,5 . 10-5 M (Muzemil, 2008).
Ekstrak air tanaman yang sedang berbunga sangat mematikan larva nyamuk Culex
pipiens dengan nilai Effective Concentration 50 (EC50) sebesar 4 g/L setelah 24
jam perlakuan, dan sangat nyata membunuh nematoda Meloidogyne incognita
pada konsentrasi 40 ppm (Aryanti et al., 2006). Alkaloid dalam A. annua L.
berefek sebagai inhibitor asetilkolin esterase sehingga mampu mencegah penyakit
Alzheimer’s (Mojarad et al., 2005).
Minyak atsiri banyak terdapat pada daun, dengan komponen utamanya
adalah tujon (mencapai 70%). Fungsi tujon adalah sebagai antioksidan,
antimikroba, dan antijamur. Pemakaian tujon dosis tinggi dapat berefek
halusinasi. Rasa pahit pada herba A. annua L. disebabkan oleh absinthin dan
7
anabsinthin. Minyak atsiri yang dicampurkan dengan minuman bersifat
aprodisiaka dan tonik (Kardinan, 2008).
B. Senyawa antiplasmodium dalam tanaman A. annua L.
Diantara senyawa yang terkandung dalam A. annua L., artemisinin adalah
komponen yang paling banyak menarik perhatian karena efek antimalarianya
dalam menanggulangi P. falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin dan
kuinin. Artemisinin dan derivatnya juga berefek sebagai antisitotoksik dalam sel
tumor. Asam artemisinat, prekursor semi sintesis artemisia, berefek sebagai
antibakteri (Bhakuni et al., 2001).
Artemisinin merupakan senyawa induk yang aktif sebagai antimalaria dan
saat ini telah diproduksi derivat artemisinin secara semi sintesis, diantaranya
adalah artemether, arteether, dan artesunat. Artemether dan arteether bersifat lebih
non polar daripada turunan lain dan larut dalam eter, sementara itu, artesunat
bersifat lebih polar dapat larut dalam air. Artemisinin dan ketiga derivatnya
tersebut akan termetabolisme di dalam tubuh menjadi derivat aktif yang
bertanggung jawab sebagai antimalaria, yaitu dihidroartemisinin (Robert et al.,
2001). Rumus kimia artemisinin dan turunannya tertera pada Gambar 1.
8
Artemisinin Artemether
Arteether Artesunat
Dihidroartemisinin
Gambar 1. Struktur kimia artemisinin dan turunannya (Sweetman, 2009)
Artemisinin adalah endoperoksida lakton seskuiterpen dan merupakan
kandungan utama dalam tanaman A. annua L. (Jian-Wen et al., 2002).
Artemisinin pertama kalinya ditemukan oleh peneliti dari Cina pada abad ke-20.
Senyawa ini aktif terhadap malaria dengan mekanisme aksi yang berbeda dari
obat konvensional. Artemisinin mampu menghambat proliferasi, migrasi dan
pembentukan vena endotelial sel, menghambat vascular endothelial growth factor
(VEGF) dengan cara berikatan dengan permukaan reseptor pada HUVEC (Human
9
umbilical vein endothelial cell). Senyawa ini juga mampu mereduksi replikasi
virus hepatitis B dan C, herpes, influensa, dan HIV-1 dengan dosis rendah dalam
mikromolar (Krishna et al., 2008).
Artemisinin mampu melawan P. falciparum, malaria serebral, dan parasit
lain penyebab malaria yang telah resisten terhadap klorokuin dan kuinin (Bhakuni
et al., 2001). Untuk mencegah terjadinya resistensi, pemakaian artemisinin dan
turunannya sering dikombinasikan dengan obat lain, misalnya : artesunat dengan
meflokuin, artemether dengan lumefantrin, dan artesunat dengan amodiakuin
(Fidock et al., 2004).
Mekanisme aksi artemisinin dan turunannya sebagai antimalaria terjadi
melalui banyak mekanisme dan belum bisa dibuktikan secara pasti (Cui and Su,
2009). Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain : penghambatan polimerisasi
hem menjadi hemozoin melalui pembentukan radikal bebas dari lakton
seskuiterpen yang akan mengalkilasi hem membentuk kompleks hem-artemisinin
(Muzemil, 2008), penghambatan proses respirasi pada mitokondria, dan
penghambatan transporter ion Ca2+ yang disebut PfATP6, suatu sarco-
endoplasmic reticulum calcium-dependent ATPases (SERCAs) yang hanya
terdapat pada P. falciparum (Cui and Su, 2009). Mekanisme aksi artemisinin dan
turunannya yang diusulkan sebagai agen antiplasmodium melalui penghambatan
polimerisasi hem menjadi hemozoin adalah seperti Gambar 2.
10
Hemoglobin
1. Pembentukankompleks denganhem
Hem 2. Penghambatanpembentukanhemozoin 3. Peruraian
hemozoin
Hemozoin
GlobinPeptida Asam amino
Serin proteasePlasmepsin I&II danSistein protease
Penghambatan protease oleh hem bebas
Endoperoksida Penyimpanan sementarahem bebas
Pembentukanradikal bebas
a. Kerusakan membranb. Alkilasi protein malariac. Hemolisis
Kematian parasit
Gambar 2. Mekanisme artemisinin dan turunannya yang melalui penghambatanpolimerisasi hem menjadi hemozoin (Pandey et al., 1999)
Artemisinin akan berikatan dengan Plasmodium falciparum histidin rich
protein II (PfHRP II), suatu protein yang menjadi katalis dalam polimerisasi hem
di dalam vakuola digestif Plasmodium, sehingga polimerisasi hem menjadi
hemozoin menjadi terhambat (Cui and Su, 2009). Mekanisme melalui rute ini
sebenarnya bukan rute yang utama karena ternyata artemisinin yang ditemukan
dalam vakuola digestif Plasmodium hanya berkisar 13-15% saja (Krishna et al.,
2004). Ion besi dapat mengkatalisis dekomposisi baik ikatan hidrogen peroksida
maupun peroksida organik lain menjadi radikal bebas. Efek katalitik ini dimiliki
11
oleh ion besi dalam keadaan bebas maupun yang terikat hem. Hal ini dibuktikan
bahwa deoksiartemisinin, senyawa yang molekulnya tidak terdapat ikatan
endoperoksida, ternyata tidak aktif sebagai antimalaria. Bukti lain adalah bahwa
penangkap radikal bebas seperti asam askorbat dan vitamin E ternyata
menurunkan efek antimalaria dari obat baik secara in vitro dan in vivo. Bukti
bahwa ion besi berperan adalah penambahan khelator besi, ternyata menurunkan
efektifitas agen antimalaria (Meshnick, 1994).
Aksi artemisinin pada penghambatan respirasi pada mitokondria
ditunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae yang mengalami delesi pada gen
penyandi NADH dehidrogenase di sistem transpor elektron dalam mitokondria
memicu terjadinya resistensi terhadap artemisinin, sedangkan ekspresi berlebihan
dari gen ini meningkatkan sensitivitas terhadap artemisinin. Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa proses transpor elektron dalam mitokondria dapat
mengaktivasi artemisinin melalui pembentukan spesies radikal bebas dan dapat
menon-aktifkan mitokondria tersebut (Cui and Su, 2009).
Mekanisme aksi artemisinin terbaru yang diusulkan adalah melalui
penghambatan terhadap PfATP6, suatu transporter transmembran pada retikulum
endoplasmik yang hanya terdapat pada P. falciparum (Krishna et al., 2008)
sehingga influks ion Ca2+ menjadi terhambat. Sebuah studi di Perancis ditemukan
bahwa PfATP6 yang mengalami mutasi, yaitu terjadi pergantian asam amino ke-
769 (serin) dengan asparagin menyebabkan nilai IC50 artemether terhadap
Plasmodium tersebut meningkat lebih dari 20 kalinya, atau terjadi resistensi pada
kadar normal, yaitu dari 5,6 nM menjadi 116,8 nM. Selain itu, di Senegal, mutasi
12
pada asam amino ke-431 (glutamat) menjadi lisin ternyata meningkatkan nilai
IC50 artesunat dari 5,46 nM menjadi 20,8 nM.
Sifat antifungi dari artemisinin ditunjukkan dengan kemampuannya
melawan Pneumocytis carinii secara in vitro. Efikasinya juga efektif untuk
penyakit infeksi nonparasit seperti Schistosomiasis yang disebabkan oleh
Schistosoma japonicum, S. mansoni, dan S. haematobium. Senyawa turunan
artemisinin, α-arteether mempunyai mekanisme mengeblok enzim DNA-girase
pada E. coli, Mycobacterium smegmatis, dan M. tuberculosis yang telah resisten
terhadap kuinolin (Kumar et al., 2004).
Artemisinin berpotensi sebagai anti kanker pada uji sel dan pada hewan.
Pada uji secara in vivo, artemisinin aktif untuk menanggulangi kanker kolorektal
(Krishna et al., 2008). Beberapa pasien yang menderita kanker kulit, payudara,
dan paru berhasil disembuhkan dengan artemisinin (Kardinan, 2008). Turunan
artemisinin, yaitu artesunat, mampu melawan kanker kolon, payudara, paru dan
pankreas dengan mekanisme penghambatan angiogenesis. Artesunat efektif
mereduksi CMV-5 (Human Herpes Virus-5) pada anak 12 tahun dengan dosis 100
mg perhari selama 30 hari tanpa adanya gejala toksisitas (Krishna et al., 2008).
Kombinasi dihidroartemisinin dengan fero sulfat mampu mereduksi pertumbuhan
kanker, khususnya kanker payudara. Obat ini selektif karena tidak menyerang sel
normal (Ferreira, 2004).
Pada percobaan dengan tikus, pemberian artemisinin dengan dosis 200-
300 mg/kgBB tidak menimbulkan toksisitas. Dosis lazim pemakaian artemisinin
pada manusia adalah 30 mg/kgBB. Kelemahan artemisinin dalam terapi adalah
13
bioavailabilitas rendah dan waktu paruh biologisnya yang pendek. Derivat
artemisinin (dihidroartemisinin, artesunat, artemeter, dan arteeter) mempunyai
bioavailabilitas yang lebih baik (Ferreira and Janick, 2009). Waktu paruh biologis
yang pendek dari artemisinin ini mempunyai keuntungan, yaitu meminimalkan
terjadinya resistensi karena kadar artemisinin dalam plasma akan berada dalam
kadar subterapetik yang singkat (Cui and Su, 2009).
Pemberian artemisinin selama 4 minggu secara intraperitoneal dengan
dosis 100 dan 200 mg/kgBB mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah tikus
secara signifikan dibandingkan kontrol. Selain itu, pada dosis tersebut, artemisinin
mampu merelaksasi organ terisolasi aorta tikus yang diinduksi fenilefrin secara
signifikan (Mojarad et al., 2005). Artemisinin mampu menghambat pertumbuhan
akar beberapa jenis alang-alang sebanyak 50% pada kadar 33 μM. Hal ini
menunjukkan bahwa artemisinin dapat berfungsi sebagai herbisida (Bhakuni et
al., 2001).
Artemisinin dapat meningkatkan produksi asam lambung, sehingga perlu
hati-hati terhadap penderita tukak lambung. Artemisinin juga bersifat merangsang
menstruasi, sehingga dilarang untuk wanita hamil (Kardinan, 2008). Senyawa ini
juga dikontraindikasikan untuk wanita sehabis melahirkan dengan pendarahan
serta pasien demam dengan gangguan limpa dan perut (Anonim, 1993).
Jalur biosintesis artemisinin dalam tumbuhan dimulai dengan prekursor
farnesil difosfat. Jalur biosintesis artemisinin dapat dilihat pada Gambar 3.
14
Farnesil difosfat Amorfa-4,11-diena
Dihidroartemisinat alkohol Artemisinat alkohol
Dihidroartemisinat aldehid Artemisinat aldehid
Dihidro asam artemisinat Asam artemisinat
Artemisinin
Gambar 3. Jalur biosintesis artemisinin (Teoh et al., 2006)
Enzim yang terlibat dalam biosintesis artemisinin adalah amorfa-4,11-
diena sintase (ADS), sitokrom P-450 monooksigenase (CYP71AV1), dan
15
sitokrom P-450 reduktase (CPR). Enzim ADS dan CYP71AV1 terdapat melimpah
dalam tanaman yang sedang tumbuh. Kedua enzim tersebut banyak terdapat di
daun, yaitu 16 dan 8 kali lebih banyak daripada di akar; serta 10 dan 8 kali lebih
banyak daripada di batang. Tanaman yang sedang berbunga dan kultur yang
disimpan dalam lingkungan dingin menghasilkan ADS dan CYP71AV1 lebih
banyak (Zeng et al., 2009). Enzim ADS adalah enzim yang mengkatalisis siklisasi
farnesil difosfat membentuk amorfa-4,11-diena, suatu intermediet terbentuknya
asam artemisinat. Sementara itu, CYP71AV1 akan mengoksidasi amorfa-4,11-
diena menjadi artemisinat alkohol, artemisinat aldehid, dan asam artemisinat
(Lulu et al., 2008).
Intermediet stabil, yaitu dihidro asam artemisinat, bertindak sebagai
penangkap radikal oksigen. Reaksi oksidatif ini menghasilkan asam artemisinat
hidroperoksida. Radikal oksigen sering dihasilkan tanaman sewaktu sel-sel
tanaman dikenai tekanan oksidatif, seperti paparan cahaya dan suhu. Dengan
percobaan radiolabelling, ditemukan bahwa asam artemisinat adalah prekursor
umum bagi artemisinin A dan artemisinin B (Zeng et al., 2009).
Kandungan artemisinin dalam A. annua L. bervariasi, yaitu antara 0,1-
1,8% tergantung pada kondisi geografis tumbuh (Muzemil, 2008). Artemisinin
banyak ditemukan dalam daun dan bunga dari A. annua L., sementara itu di dalam
akar, batang, dan serbuk sari kandungan artemisininnya rendah (Kumar et al.,
2004). Artemisinin ditemukan dalam organ yang mengandung glandular trichoma
(Ferreira, 2004). Glandular trichoma adalah tempat penyimpanan minyak atsiri
16
aromatik, artemisia keton, 1,8-sineol kamfor, germaserena-D, kamfen hidrat, α-
pinena, β-kariofilena, mirsena, dan artemisia alkohol (Ferreira and Janick, 2009).
Artemisinin dan turunannya mempunyai struktur yang rumit akibat adanya
gugus peroksida dan banyaknya atom karbon kiral sehingga sulit untuk disintesis
secara kimiawi. Salah satu metode yang mudah untuk memproduksi artemisinin
adalah dengan teknik kultur jaringan tanaman menggunakan bioreaktor sehingga
dapat dihasilkan artemisinin dalam jumlah yang besar (Sharaf-Eldin and Elkholy,
2009). Kultur akar rambut A. annua L. mampu menghasilkan artemisinin paling
besar dibandingkan jaringan lain (Jien-Wen et al., 2002). Produksi artemisinin
meningkat menjadi 66,7-95,6% (7,5-8,8 mg/g berat kering) dengan adanya stress
lingkungan berupa suhu lingkungan kultur yang diturunkan pada 4oC, perlakuan
dengan water bath 42oC, dan sinar UV (80 Watt, berjarak 20 cm); masing-masing
selama 30 menit. Dari ketiga faktor tersebut, efek pendinginan memberikan
pengaruh yang paling besar. Peningkatan ini terjadi karena peningkatan ekspresi
gen amorfa-4,11-diena sintase dan sitokrom P-450 monooksigenase. Suhu yang
rendah meningkatkan ekspresi kedua gen tersebut 11 kali dan 7 kali lebih banyak
dibandingkan kontrol (Lulu et al., 2008).
C. Malaria
Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun
2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia sekitar 243 juta orang,
dan 1 juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya (Shio et al., 2010). Di
Indonesia, malaria tergolong penyakit menular yang masih menjadi masalah
utama dalam bidang kesehatan. Kejadian Luar Biasa malaria pada tahun 2004 di
17
kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan kepulauan Karimun, Riau, menyebabkan
909 orang terinfeksi malaria dan 11 orang diantaranya meninggal dunia.
Pada bulan Juni 2005 di kabupaten Pangkal Pinang, Bangka Belitung, sebanyak
5000 orang terserang malaria dan 6 orang diantaranya meninggal dunia (Aryanti
et al., 2006).
Malaria adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu protozoa dari
genus Plasmodium. Malaria yang menyerang manusia dapat disebabkan oleh P.
malariae, P. vivax, P. falciparum, dan P. oval. Penularan penyakit tersebut
diperantarai oleh nyamuk Anopheles betina (Harijanto, 2000; Pinheiro et al.,
2003). Faktor penentu epidemiologi yang penting adalah keadaan imunologi serta
genetik populasi, spesies parasit dan nyamuk dalam komunitas yang beresiko,
tingkat turunnya hujan, temperatur, distribusi tempat berkembang biaknya
nyamuk, penggunaan obat anti malaria, dan penerapan tindakan lainnya yang
dapat menurunkan penularan (Harijanto, 2000).
Di Indonesia, secara umum spesies yang paling sering ditemukan adalah
P. falciparum, dan P. vivax; sedangkan untuk P. malariae dan P. ovale jarang
ditemukan di Indonesia (Harijanto, 2000; Sutisna, 2004). Sifat malaria dapat
berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Sifat ini tergantung pada beberapa faktor,
yaitu faktor parasit, manusia, nyamuk sebagai vektor, dan lingkungan.
Agar dapat hidup sebagai parasit, Plasmodium harus ada dalam tubuh
manusia untuk waktu yang cukup lama dan menghasilkan gametosit jantan dan
betina pada saat yang sesuai untuk penularannya. Sifat spesifik parasit berbeda
untuk tiap jenis malaria. Plasmodium falciparum mempunyai masa infeksi
18
pendek, namun menghasilkan parasitemia paling tinggi dan gejala paling berat.
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Dari 400
lebih spesies nyamuk Anopheles di dunia, hanya sekitar 67 spesies yang terbukti
mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria. Di Indonesia telah
ditemukan 24 spesies Anopheles yang menjadi vektor malaria (Harijanto, 2000).
Secara patofisiologi, gejala malaria timbul pada saat pecahnya eritrosit
yang mengandung parasit. Gejala yang paling mencolok adalah demam yang
diduga disebabkan oleh pirogen endogen. Demam ini menyebabkan terjadinya
vasodilatasi. Pembesaran limpa disebabkan oleh peningkatan jumlah eritrosit yang
terinfeksi parasit (Pinheiro et al., 2003), teraktivasinya sistem retikuloendoteal
untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat
hemodialisis, penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutrofil, serta anemia
yang disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem
retikuloendoteal (Harijanto, 2000).
Siklus Hidup
Siklus hidup Plasmodium dapat dilihat pada Gambar 4.
19
Gambar 4. Siklus Hidup Plasmodium (Anonim, 2010)
Secara garis besar Plasmodium memiliki siklus hidup yang sama, yaitu :
a. Siklus aseksual (dalam tubuh manusia) dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :
1). Siklus hati
Infeksi malaria alami terjadi dengan masuknya sporozoit
melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit.
Siklus aseksual Plasmodium dimulai dengan masuknya sporozoit ini
ke dalam sirkulasi darah. Sporozoit ini segera menghilang dari
sirkulasi darah dan menetap di sel parenkim hati untuk
bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizon jaringan. Siklus ini
dikenal sebagai fase pre-eritrosit atau eksoeritrosit, dan berlangsung
selama 5-16 hari tergantung dari jenis Plasmodium. Setelah
20
perkembangan beberapa hari, skizon jaringan ini akan pecah dan
melepaskan beribu-ribu merozoit dan akan memasuki eritrosit.
2). Siklus darah/siklus eritrosit
Merozoit dari hati memasuki sel-sel darah merah. Pada infeksi
P. falciparum dan P. ovale beberapa skizon tetap dalam keadaan
laten untuk kemudian menimbulkan relaps. Parasit dalam eritrosit
memperbanyak diri membentuk tropozoit dan akhirnya menjadi
skizon matang. Eritrosit yang mengandung skizon ini kemudian
pecah melepaskan 6-24 merozoit ke sirkulasi darah. Merozoit ini
memasuki eritrosit lain dan mengulangi lagi fase skizogoni.
Penghancuran eritrosit yang terjadi secara periodik inilah yang
menimbulkan gejala khas malaria, yaitu demam yang diikuti
menggigil.
b. Siklus seksual (dalam tubuh Anopheles)
Sejumlah merozoit berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan betina.
Gametosit-gametosit ini tidak berkembang dan akan mati bila tidak
dihisap oleh nyamuk Anopheles betina. Gametosit dapat berpindah ke
nyamuk pada saat nyamuk menggigit pasien. Hal ini menandai dimulainya
siklus seksual. Gametosit jantan mengalami proses eksflagelasi dan
kemudian terjadi pembuahan dalam usus nyamuk. Zigot berkembang lebih
lanjut menjadi ookinet yang menembus dinding lambung nyamuk. Ookinet
berkembang lebih lanjut menjadi ookist di luar dinding lambung nyamuk.
Ookist yang telah matang kemudian pecah melepaskan sporozoit yang
21
bermigrasi ke kelenjar air liur nyamuk. Sporozoit menginfeksi manusia
lain melalui gigitan nyamuk (Ganiswara, 1995).
Manifestasi Klinis
Secara klinis, malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan
interval tertentu (disebut parokisme), diselingi oleh suatu periode yang
penderitanya bebas sama sekali dari demam (disebut periode laten). Sebelum
demam biasanya pasien merasa lemah, nyeri kepala, anoreksia, mual atau muntah
(semua gejala ini disebut gejala prodromal). Pasien dengan infeksi
majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau oleh satu jenis
Plasmodium tetapi infeksi berulang) mengalami serangan terus-menerus (tanpa
interval). Gejala yang khas di atas merupakan gejala yang biasanya ditemukan
pada penderita non imun (Harijanto, 2000).
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai timbul gejala klinis
malaria. Masa inkubasi malaria bervariasi antara 9-30 hari, sangat bergantung
pada Plasmodium yang menginfeksi. Masa inkubasi paling pendek dijumpai pada
malaria falciparum, dan yang terpanjang pada malaria kuartana (P. malariae).
Pada malaria yang alami, yang penularannya melalui gigitan nyamuk, masa
inkubasi adalah 12 hari untuk P. falciparum, 14 hari untuk P. vivax, 28 hari untuk
P. malariae, dan 17 hari untuk P. ovale.
Antimalaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua jenis dan
stadium malaria, menyembuhkan semua infeksi malaria, cara pemakaiannya
mudah, mudah diperoleh, efek samping ringan, toksisitasnya rendah, dan harga
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sampai saat ini belum ada obat
22
tunggal yang memenuhi persyaratan tersebut. Cara pengobatan, dosis, dan jenis
obat tergantung pada jenis parasit, berat badan, umur penderita, dan tingkat
sensitivitas terhadap antimalaria (Anonim, 1990).
Degradasi hemoglobin
Selama perkembangan di dalam sel eritrosit inang, Plasmodium
mendegradasi hemoglobin sel eritrosit tersebut guna menghasilkan produk
katabolik sebagai sumber asam amino. Proses degradasi hemoglobin ini terjadi di
dalam vakuola Plasmodium dan dikatalisis oleh enzim sistein dan aspartat
proteinase (Pinheiro et al., 2003), dan menghasilkan hem bebas yang bersifat
toksik dan oksidatif terhadap sel inang dan Plasmodium serta dapat
mengakibatkan kematian bagi Plasmodium tersebut (Basilico et al., 1998). Karena
ketiadaan hem oksigenase, Plasmodium tidak mampu memecah hem menjadi
cincin tetra pirol terbuka yang mudah untuk diekskresikan. Untuk mengatasi efek
toksik ini, Plasmodium mendetoksifikasi hem bebas dengan cara netralisasi
dengan protein kaya histidin, degradasi dengan glutation tereduksi, atau
kristalisasi menjadi hemozoin, suatu pigmen malaria tidak larut air yang
diproduksi dalam vakuola makanan (Huy et al., 2007).
Senyawa β-hematin, suatu kristal hem sintesis, mempunyai struktur
kimiawi yang sama dengan hemozoin. Hal ini menunjukkan bahwa secara in vitro,
penghambatan pembentukan β-hematin adalah target ideal suatu agen antimalaria.
Faktor-faktor seperti suhu, protein kaya histidin, lipida, dan alkohol
mempengaruhi proses pembentukan β-hematin. Struktur kimia hematin terlihat
seperti pada Gambar 5.
23
Gambar 5. Struktur kimia hematin (Wood et al., 2003)
Pengobatan Malaria
Berdasarkan kinerja pada tahapan perkembangan Plasmodium, antimalaria
dibedakan atas skizontosid jaringan dan darah, gametosid, dan sporontosid.
Untuk mengendalikan serangan klinik digunakan skizontosid darah yang
bekerja terhadap merozoit di eritrosit sehingga tidak terbentuk skizon baru dan
tidak terjadi penghancuran eritrosit yang menimbulkan gejala klinik. Contoh
obatnya adalah klorokuin, kuinin, dan meflokuin. Pirimetamin dan primakuin
efektif bekerja pada skizon yang baru memasuki jaringan hati dan mencegah
infeksi eritrosit lebih lanjut.
Gametositosid membunuh gametosid yang berada dalam eritrosit sehingga
dapat menghambat perpindahannya ke nyamuk. Gametosid P. vivak dan P.
malariae efektif dibunuh dengan klorokuin dan kuinin, sedangkan gametosid P.
falciparum dapat diatasi dengan primakuin. Obat golongan sporontosid
menghambat perkembangan gametosid lebih lanjut ke tubuh nyamuk yang
menghisap darah pasien sehingga dapat memutus rantai penularan. Contoh obat
dalam golongan ini adalah primakuin dan kloroguanid (Ganiswara, 1995).
24
Guna mencegah tejadinya resistensi, pengobatan malaria saat ini banyak
digunakan kombinasi obat. Salah satu harapannya adalah, saat obat yang satu
sudah tereliminasi dari dalam tubuh karena waktu paruhnya pendek, obat yang
kedua masih aktif bekerja sehingga kinerja terhadap Plasmodium lebih optimal.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah kombinasi antara lumefantrin dan artemeter,
piperakuin dan dihidroartemisinin (Kiboi et al., 2009; Cui and Su, 2009).
Struktur kimia beberapa agen antimalaria terlihat pada Gambar 6.
Primakuin Meflokuin
Kuinin Klorokuin
Gambar 6. Struktur kimia agen antimalaria (Robert et al., 2001)
D. Mikroba Endofit
Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup berkoloni dalam jaringan
tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya
(Simanjuntak et al., 2002; Radji, 2005). Istilah endofit diperkenalkan pertama kali
oleh De Bary pada tahun 1866 sebagai mikroorganisme yang hidup dalam
25
jaringan tanaman yang menyebabkan infeksi asimtomatis tetapi tidak berupa
simtom penyakit (Wang et al., 2008).
Hampir semua jaringan tanaman mengandung mikroba endofit (Faeth,
2002), termasuk ganggang laut dan lumut (Tan and Zou, 2001). Hasil berbagai
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mikroba endofit yang ditemukan
adalah fungi (Strobel et al., 2004). Identifikasi fungi endofit yang banyak
dilakukan adalah dengan mengamati morfologi dari miselia dan konidianya
(Wang et al., 2008).
Pada permukaan daun, koloni fungi endofit dapat dilihat secara langsung
tanpa ditumbuhkan dalam media pertumbuhan fungi, sedangkan pada akar dan
batang, koloni fungi endofit hanya dapat diamati setelah ditumbuhkan dalam
media pertumbuhan. Fungi yang masih dalam bentuk spora baik pada daun,
akar, dan batang tidak dapat diamati tanpa ditumbuhkan dalam media
pertumbuhan. Populasi fungi endofit yang terdapat pada batang dan daun lebih
banyak dibandingkan pada akar (Morris et al., 2001).
Hubungan antara fungi endofit dan tumbuhan inang dapat terjadi melalui
infeksi yang tidak menimbulkan gejala penyakit sampai hubungan simbiosis
mutualisme. Mikroba endofit dalam jaringan tanaman memperoleh nutrisi dan
perlindungan dari inang, sebaliknya mikroba endofit membantu kehidupan inang
dengan cara memproduksi metabolit yang dibutuhkan inang tersebut. Tanaman
yang mengandung endofit sering tumbuh lebih cepat dari tanaman yang tidak
terinfeksi. Efek ini terjadi karena endofit memproduksi fitohormon seperti indole-
3-acetic acid (IAA), sitokin, dan senyawa pemacu pertumbuhan lain. Selain itu
26
endofit dapat membantu inang dalam mengambil nutrisi seperti nitrogen dan
fosfor (Tan and Zou, 2001).
Tumbuhan inang juga dapat memperoleh perlindungan dari hasil
metabolit fungi endofit terhadap serangan patogen seperti fungi, bakteri, insekta
dan predator lainnya (Strobel and Daisy, 2003). Mikroba endofit juga mampu
meningkatkan kemampuan adaptasi inang terhadap stress lingkungan (Faeth,
2002) dan ketahanan terhadap fitopatogen, herbivora, cacing, serangga pemakan
inang, serta bakteri dan fungi patogen. Endofit yang tumbuh pada rerumputan
biasanya menambah toleransi terhadap kekeringan (Tan and Zou, 2001; Faeth and
Fagan, 2002).
Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan
telah berhasil dibiakkan dalam media pembenihan yang sesuai. Metabolit
sekunder dari fungi endofit belum dieksporasi secara luas, tetapi fungi ini
menjanjikan sebagai sumber metabolit aktif karena melimpahnya populasi dan
kemampuannya untuk berasosiasi terhadap organisme lain (Lee et al., 1996).
Metabolit sekunder tersebut ada yang berupa antibiotik, misalnya adalah
munumbicin, antibiotik berspektrum luas yang dihasilkan oleh endofit
Streptomyces spp. strain NRRL 30562 yang merupakan endofit yang diisolasi dari
tanaman Kennedianigriscans. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan
Bacillus anthracis dan Mycobacterium tuberculosis yang multiresisten terhadap
berbagai obat anti TBC (Castillo et al., 2002). Contoh lainnya adalah fungi
endofit Pestalotiopsis microspora yang hidup pada tanaman Taxus taxifolia
mampu menghasilkan asam toreyanat yang berefek sebagai anti kanker dengan
27
mekanisme pemacuan apoptosis. Senyawa anti kanker ini dihasilkan dari P.
microspora yang ditanam dalam media Potato Dextrose Agar (PDA) dan
diekstrak dengan etil asetat (Lee et al., 1996).
E. Fermentasi
Fermentasi dalam mikrobiologi industri digambarkan sebagai proses untuk
mengubah bahan dasar menjadi produk yang dikehendaki dalam kultur mikroba
tertentu. Dalam pengambilan hasil fermentasi, terdapat sejumlah tahapan yang
tergantung bahan awal, konsentrasi awal, kestabilan produk, dan tingkat
kemurnian produk akhir yang diinginkan (Rahman, 1992).
Fermentasi dapat menghasilkan : a) Biomassa (sel-sel mikrobia), misalnya
protein sel tunggal; b) Enzim, misalnya amilase dan protease; c) Metabolit
mikroba, yaitu metabolit primer misalnya polisakarida, protein, asam nukleat,
dan metabolit sekunder misalnya antibiotika; d) Produk rekominan, misalnya
insulin dan interferon; dan e) Biokonversi, misalnya konversi asam asetat dari
etanol, aseton dari propanol, sorbosa dari sorbitol serta produk steroid, antibiotika
dan prostaglandin (Stanburry et al., 1995).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses fermentasi adalah :
a) Kecepatan aerasi sering tidak sesuai dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan
dan oksigen yang terlarut dalam media. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
detektor untuk mengontrol oksigen yang terlarut; b) Jumlah sumber karbon dan
nutrisi lain harus sesuai baik dalam jumlah dan komposisi dengan mikroba dan
produk yang diinginkan; c) Toksin yang terakumulasi dan dapat menghambat
pertumbuhan; d) Perubahan pH selama proses fermentasi. Hal ini dapat diatasi
28
dengan melakukan titrasi pH selama fermentasi berlangsung; e) Busa yang
mungkin timbul. Busa dapat disebabkan oleh : kandungan garam, pH, suhu,
komposisi media, aliran udara, agitasi, dan penambahan antibusa yang berlebihan.
Anti busa yang ditambahkan dalam media fermentasi dapat mengurangi jumlah
oksigen yang terlarut media (McNeil and Harvey, 2008).
Sistem fermentasi dapat dilakukan dengan 3 macam, yaitu :
1. Sistem Batch
Sistem ini adalah sistem yang paling sederhana dan sering digunakan
di laboratorium untuk mendapatkan produk sel atau metabolitnya.
Fermentasi sistem batch adalah sistem tertutup, artinya semua nutrisi yang
dibutuhkan mikroba selama pertumbuhan dan pembentukan produk berada
di dalam 1 fermentor. Jadi tidak ada penambahan bahan atau pengambilan
hasil selama fermentasi berlangsung.
Keuntungan sistem ini adalah mudah, sederhana, dan kecil
kemungkinan adanya kontaminasi; sedangkan kerugiannya adalah kultur
mikroba yang menua, yaitu tidak ada perbaruan pertumbuhan mikroba,
pembentukan metabolit toksik yang bercampur dengan produk, konsentrasi
substrat terbatas, dan sukar untuk diaplikasikan dalam skala besar.
2. Sistem Fed-batch
Sistem ini tidak tertutup seperti halnya sistem batch. Selama
fermentasi, substrat, nutrisi, atau induser dapat ditambahkan ke dalam
fermentor. Sistem fed-batch dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu sistem
volume tetap dan sistem volume berubah. Sistem volume tetap berarti setiap
29
ada penambahan medium baru ke dalam fermentor, ada medium lama,
produk, atau sel yang dikeluarkan sebanyak medium baru yang dimasukkan
fermentor; sedangkan sistem volume berubah, berarti ke dalam fermentor
ditambahkan medium baru tetapi tidak ada medium lama atau produk yang
dikeluarkan dari dalam fermentor.
Keuntungan sistem ini adalah mudah dalam pengontrolan konsentrasi
medium/substrat, pertumbuhan mikroba dapat dioptimalkan dan tingkat
kebutuhan oksigen dapat dikontrol; sedangkan kerugiannya adalah
membutuhkan pengetahuan tentang profil pertumbuhan mikroba, kontrol
lebih ketat, dan membutuhkan peralatan dan operator yang lebih terlatih.
3. Sistem Continous
Sistem fermentasi ini biasanya digunakan dalam skala industri.
Sistem continous adalah sistem batch yang fase eksponensialnya
diperpanjang, dengan tetap menjaga fluktuasi nutrisi dan jumlah
sel/biomassa. Mikroba diberi nutrisi/medium segar, sementara itu sejumlah
sel atau medium dikeluarkan dari sistem dengan kecepatan yang sama. Hal
ini menjamin tingkat kestabilan dari faktor-faktor seperti volume kultur,
biomassa, konsentrasi produk dan substrat, pH, suhu, dan oksigen terlarut.
Keuntungan sistem ini adalah mempunyai produktivitas dan
kecepatan pertumbuhan dapat dioptimalkan, proses dalam waktu lama dapat
dijalankan, dapat digunakan model sel amobil, serta faktor fisis dan
lingkungan mudah dianalisis; sedangkan kerugiannya adalah tidak sesuai
dengan kaidah Good Manufacturing Practice sehingga dilarang digunakan
30
untuk memproduksi produk farmasi, resiko kontaminasi yang besar, produk
yang belum optimal terbentuk, dan mudah timbul perubahan/evolusi pada
mikroba (McNeil and Harvey, 2008).
Pertumbuhan mikrobia di dalam media terjadi melalui 4 tahap, yaitu : a)
Fase Lag, merupakan fase adaptasi, fase penyesuaian mikroba pada lingkungan
baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, tetapi hanya terjadi
peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal
mikrobia dan media pertumbuhan; b) Fase Log/eksponensial, mikroba tumbuh
dan membelah dengan kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikrobia,
sifat media, dan kondisi pertumbuhan; c) Fase stasioner, pertumbuhan mikroba
terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dan sel yang
mati. Pada fase ini terjadi akumulasi buangan yang toksik; d) Fase kematian,
jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidak-tersediaan
nutrisi dan akumulasi produk toksik (Pratiwi, 2008).
Media fermentasi
Secara umum, harus tersedia semua nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba
untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel dan biosintesis
produk-produk. Dalam pemeriksaan laboratorium mikrobiologi penggunaan
media sangat penting untuk isolasi, identifikasi maupun diferensiasi. Media
merupakan kumpulan zat makanan (nutrisi) yang digunakan untuk pertumbuhan
mikroba dengan syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan komposisinya, media dibedakan menjadi 3, yaitu : a) Media
sintetik. Media ini komposisinya tertentu dan diketahui, serta berasal dari bahan-
31
bahan kimia; b) Media semi sintetik. Media ini sama dengan media sintetik, hanya
ditambah dengan bahan-bahan tertentu yang jumlahnya diketahui tetapi
komposisinya tidak pasti, seperti ekstrak yeast, bacto pepton; c) Media kompleks.
Media ini tidak mempunyai komposisi yang tetap dan sama dari batch ke batch.
Contoh media golongan ini adalah corn steep liquor, soya bean meals, molase,
dan hidrolisat amilum (McNeil and Harvey, 2008).
Menurut konsistensinya, media dibedakan menjadi 3 macam, yaitu : a)
Media cair, contohnya antara lain media gula, media kaldu, media pepton, dan
kaldu darah; b) Media semi padat, contohnya antara lain SSS (Semi Solid
Sucrose), Corry & Blair medium, dan Fletcher’s medium; c) Media padat, pada
media padat digunakan suatu bahan pembeku (solidifying agent) supaya media
dapat memadat, contohnya adalah agar (Pratiwi, 2008).
F. Liquid Chromatography - Mass Spectrometer (LC-MS)
Metode LC-MS telah banyak digunakan sebagai metode pemisahan dan
identifikasi bagi kebanyakan senyawa obat/organik. Metode ini sangat sensitif dan
selektif dibandingkan metode deteksi dengan sinar UV biasa (Ortelli et al., 2000).
Setelah pemisahan analit pada kolom HPLC, analit akan masuk ke detektor massa.
Di dalam detektor ini, analit akan mengalami ionisasi menjadi ion dalam fase gas.
Ion-ion tersebut akan terpisah berdasarkan rasio mass to charge (m/z) dan akan
terdeteksi berdasarkan kelimpahan masing-masing ion.
Salah satu metode ionisasi dalam spektrometer massa adalah electrospray
(ESI). Prinsip kerja metode ini adalah terbentuknya droplet campuran pelarut (fase
gerak HPLC) dan analit yang bermuatan listrik karena dilewatkan melalui celah
32
sempit yang berpotensial listrik tinggi (4-5 kV). Metode pengionan dengan ESI
adalah metode yang lunak karena hanya menghasilkan sedikit fragmentasi analit
dan proses dapat dilakukan pada tekanan atmosfer. Metode ESI dapat
menggunakan pilihan pengionan positif atau negatif. Pengionan positif akan
membuat analit menjadi terprotonasi atau menjadi kation, sedangkan pengionan
negatif akan membuat analit menjadi anion atau mengalami deprotonasi
(Kazakevich and Lobrutto, 2007). Kation-kation yang sering terbentuk dalam
metode ESI adalah ion pseudomolekul hasil adisi antara analit dengan proton
(H)+. Oleh karena itu, nilai m/z dalam spektra akan sering bernilai (M+H)+ atau
(2M+H)+, dengan M adalah bobot molekul analit (Kazakevich and Lobrutto,
2007).
G. Landasan teori
Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun
2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia sekitar 243 juta orang,
dan 1 juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya (Shio et al., 2010).
Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali
mengingat adanya penyebaran Plasmodium yang resisten terhadap obat golongan
kuinolon secara cepat dan luas (Huy et al., 2007). Salah satu usaha pencarian
antimalaria baru adalah melalui penelitian terhadap tanaman obat yang digunakan
secara tradisional oleh masyarakat untuk mengobati malaria. Keberhasilan
pengembangan tanaman obat untuk antimalaria telah terbukti nyata dengan
ditemukannya obat baru yaitu artemisinin dan derivatnya (Suwandi et al., 2008).
33
Artemisinin ini terbukti mampu menanggulangi Plasmodium yang telah resisten
terhadap klorokuin dan kuinin (Bhakuni et al., 2001).
Saat ini artemisinin dan turunannya sangat sukar disintesis secara kimia,
dan masih banyak diperoleh dengan cara isolasi dari tanaman walaupun memiliki
randemen yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan sumber-sumber
baru yang dapat menghasilkan artemisinin lebih efisien, yaitu dengan
memanfaatkan mikroba endofit yang hidup dalam jaringan tanaman (Simanjuntak
et al., 2002). Setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba
endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang
diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik dari tanaman inang ke
mikroba endofit. Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit
sekunder sesuai dengan tanaman inang merupakan peluang yang sangat
menguntungkan (Radji, 2005).
H. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori diatas, maka :
1. Fungi endofit tanaman A. annua L. mengandung senyawa yang berefek
sebagai antiplasmodium dengan mekanisme penghambatan polimerisasi
hem.
2. Senyawa yang menghambat polimerisasi hem tersebut adalah senyawa
golongan terpenoid (artemisinin dan turunannya).
BAB III
CARA PENELITIAN
A. Bahan dan alat penelitian
1. Definisi operasional dan variabel penelitian
Penelitian ini akan dilakukan secara eksperimental in vitro.
a. Variabel bebas
Konsentrasi ekstrak etil asetat media fermentasi dan miselia fungi
endofit A. annua L. yang proses ekstraksinya dibantu dengan gelombang
ultrasonik.
b. Variabel tergantung
Persentase penghambatan polimerisasi hem.
c. Variabel terkendali
Media fermentasi, suhu fermentasi, waktu fermentasi, suhu
inkubasi, cairan penyari, jumlah pencucian kristal β- hematin.
2. Bahan penelitian
Bahan yang akan digunakan untuk ditumbuhkan fungi endofitnya
adalah daun, bunga, akar, dan batang dari tanaman A. annua L.. Tanaman ini
berumur 6 bulan, berasal dari Balai Penelitian Tanaman Obat,
Tawangmangu. Untuk bagian batang, digunakan batang yang ada di tengah-
tengah tanaman, jangan yang terlalu muda atau tua. Untuk bunga dan akar,
digunakan bagian yang sudah tua. Untuk daun, digunakan daun yang sudah
34
35
tua dan agak menguning karena fungi endofit banyak terdapat dalam daun
yang telah tua.
Media isolasi fungi endofit adalah Potato Dextrose Agar (PDA) dan
media untuk fermentasi fungi endofit adalah media M 102b. Bahan
desinfektan yang digunakan adalah larutan NaOCl 5,25% (merk bayclean)
dan etanol 70%. Penyari untuk ekstraksi adalah etil asetat teknis. Guna
keperluan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pendahuluan digunakan fase
gerak etil asetat p.a. (E-Merck) dan n-heksana p.a. (Sigma Co.); fase diam
berupa plate silika gel F254 (E-Merck). Bahan uji aktivitas penghambatan
polimerisasi hem digunakan klorokuin difosfat (Sigma Co.), hematin, asam
asetat glasial, NaOH, DMSO (E-Merck). Analisis dengan High Performance
Liquid Chromatography (HPLC) digunakan fase gerak asetonitril, metanol
(Sigma. Co.), dan akuades; fase diamnya adalah LiChorsper®100 RP-18e
(25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); sedangkan untuk keperluan Liquid
Chromatography-Mass Spectrometry (LC-MS) digunakan fase gerak
metanol p.a. (E-Merck) dan akuades; fase diam Supelco RP-18 (25 cm x 2,0
mm i.d., 5µm). Uji golongan senyawa dengan KLT digunakan fase gerak etil
asetat p.a., metanol p.a., toluena p.a. (E-Merck), dan akuades; fase diamnya
adalah plate silika gel F254 (E-Merck).
3. Alat penelitian
Neraca analitik (BP 221 S), Autoclave (Sakura, Tokyo), Laminar Air
Flow cabinet (FARR co), hot plate (Ikamag® RH), mesin shaker
(Thermolyne), ultrasonikator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q dan Ultrasons P
36
Selecta), sentrifugator (Universal 32 R), inkubator (Lab Line), Elisa reader
(Bio-Rad Benchmark), mikrokultur 96 sumuran steril (Nalgene Nunc
International, Denmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) dengan detektor UV,
LC-MS (Hitachi L 6200, Mariner Biospectrometry) dengan sistem ESI
(Electrospray Ionization) Positive Ion Mode, seperangkat mikropipet, lampu
UV. Perlengkapan lain berupa : blue tip, yellow tip, eppendorf centrifuge
5417R 1,5 ml; kertas saring, kapas, aluminium foil, cawan porselin, pisau
skalpel, pinset, dan alat-alat gelas (gelas ukur, pipet tetes, erlenmeyer, beker
gelas, dan pipet volume).
B. Cara penelitian
1. Identifikasi tanaman
Identifikasi tanaman A. annua L. dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi, Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM di bawah
bimbingan Joko Santoso, M.Si.
2. Isolasi fungi endofit dari A. annua L.
a. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA) sebanyak 100 mL
Timbang saksama 3,9 g serbuk media PDA, masukkan ke dalam
erlenmeyer 250 mL. Tambah akuades hingga tanda 100 mL. Tutup
erlenmeyer dengan kapas dan aluminium foil. Panaskan di atas kompor
listrik sampai serbuk media PDA larut. Sterilkan dalam autoklaf pada
suhu 121oC selama 15 menit. Pada saat akan dipakai, panaskan dan
cairkan dahulu media PDA padat di atas kompor listrik. Dinginkan dalam
37
suhu kamar hingga suhunya mencapai + 40oC, segera tuang secara
aseptis ke dalam cawan petri sebanyak + 10 mL. Biarkan media PDA
dalam cawan petri menjadi dingin dan memadat sebelum digunakan.
b. Isolasi fungi
Bagian-bagian tanaman A. annua L. yang akan digunakan sebagai
eksplan dicuci dengan air mengalir guna menghilangkan tanah dan
kotoran yang menempel dan dikecilkan ukurannya menjadi + 2 cm.
Masukkan dalam erlenmeyer 250 ml, tambahkan etanol 70% sampai
terendam. Gojok pelan dan lakukan sterilisasi selama 2 menit. Buang
etanol 70%, lanjutkan sterilisasi dengan bayclean (NaClO 5,25%) selama
2 menit. Bilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali, masing-masing
selama 1 menit. Lakukan sterilisasi dengan erlenmeyer steril secara
aseptis di dalam LAF kabinet.
Tiriskan bahan-bahan tersebut dalam cawan petri steril. Potong-
potong dengan pisau skalpel steril menjadi ukuran + 1 cm. Untuk bagian
batang, hilangkan bagian kulitnya. Tanam bagian-bagian tersebut dalam
media PDA di dalam cawan petri steril pada suhu kamar (25oC) selama 1
minggu atau sampai ada pertumbuhan fungi endofit. Sebagai kontrol,
inokulasikan air bilasan terakhir eksplan pada media PDA. Setelah terjadi
pertumbuhan fungi, segera isolasi guna mendapatkan biakan murni.
Biakan murni fungi endofit ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan
petri (Liu et al., 2001; Peterson et al., 2005).
38
3. Fermentasi fungi endofit
a. Pembuatan media M 102b sebanyak 1 L
Timbang saksama bahan-bahan berikut ini :
- Sukrosa 30 g
- Malt extract 20 g
- Bactopepton 2 g
- Yeast extract 1 g
- KCl 0,5 g
- MgSO4. 7H2O 1 g
- KH2PO4 1 g
Masukkan bahan-bahan tersebut ke dalam erlenmeyer 1 L. Tambah
akuades hingga tanda 500 mL. Panaskan di atas kompor listrik dan
pengaduk magnetik sampai semua bahan larut, setelah itu tambahkan
akuades hingga tanda 1 L.
Untuk masing-masing fungi yang akan difermentasi membutuhkan
media M 102b sebanyak 250 mL, dengan rincian 50 mL untuk fermentasi
tahap awal, dan 200 mL untuk fermentasi tahap lanjut. Cara
pengerjaannya adalah masukkan 50 mL media M 102b tersebut kedalam
erlemmeyer 100 mL dan 200 mL media tersebut ke dalam erlenmeyer
500 mL. Masing-masing erlenmeyer tersebut disumbat dengan kapas dan
aluminium foil. Sterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit.
39
b. Fermentasi
Sebelum fermentasi, terlebih dahulu dibuat inokulum fungi endofit
yang telah dimurnikan galurnya. Inokulum dibuat dengan menanam 2
irisan plug fungi endofit berdiameter 5 mm dalam 50 ml media M 102b
steril dan digojok dengan kecepatan 200 rpm selama 3 hari pada suhu
kamar. Pertumbuhan fungi endofit ditandai dengan tumbuhnya miselia
dalam media. Ambil 50 ml kultur tersebut, inokulasikan ke dalam 200 ml
media M 102b steril. Lakukan fermentasi selama 18 hari pada suhu
kamar (25oC) (Prihatiningtias, 2005).
4. Bioassay guided fractionation
a. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi dengan etil asetat
Sebelum diekstraksi, pisahkan miselia fungi dan media fermentasi
dengan cara filtrasi menggunakan kertas saring. Proses ekstraksi ini
dilakukan dengan etil asetat (Liu et al., 2001) terhadap media fermentasi
dan miselia fungi. Untuk media fermentasi, digunakan cairan penyari
dengan jumlah sama banyak dengan jumlah media. Bagi cairan penyari
menjadi 4 bagian dan lakukan ekstraksi 4 kali terhadap media fermentasi.
Untuk miselia fungi, ekstraksi dilakukan dengan bantuan gelombang
ultrasonik berfrekuensi 20 kHz dan daya 60 Watt selama 30 menit
(Magnani et al., 2009) di dalam etil asetat sama banyak dengan bobot
miselianya, kemudian saring dengan kertas saring. Uapkan sari etil asetat
yang diperoleh di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak kering atau
tidak ada cairan penyari yang menguap lagi.
40
b. Analisis profil KLT ekstrak etil asetat
Buat larutan ekstrak etil asetat media fermentasi dan miselia fungi
dalam metanol dengan kadar 5 mg/mL, serta standar artemisinin dengan
kadar 2 mg/mL. Elusi secara KLT dengan fase gerak n-heksana : etil
asetat (7:3), fase diam plate silika gel F254. Amati pola elusinya dengan
sinar UV 254 dan 366 nm, kemudian visualisasi bercak dengan disemprot
larutan anisaldehid asam sulfat, panaskan pada suhu 105oC selama 5
menit. Amati di bawah sinar tampak dan UV 366 nm.
c. Uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem
1) Pembuatan larutan NaOH 0,2 M sebanyak 250 mL (untuk
melarutkan hematin-porcine H3218)
Timbang saksama sebanyak 2000 mg kristal NaOH, masukkan ke
dalam labu takar 250 mL. Tambah 100 mL akuades, gojok hingga
kristal NaOH larut. Tambah akuades hingga tanda 250,0 mL.
2) Pembuatan larutan NaOH 0,1 M sebanyak 250 mL (untuk
melarutkan kristal β-hematin)
Timbang saksama sebanyak 1000 mg kristal NaOH, masukkan ke
dalam labu takar 250 mL. Tambah 100 mL akuades, gojok hingga
kristal NaOH larut. Tambah akuades hingga tanda 250,0 mL.
41
3) Pembuatan larutan hematin 1 mM sebanyak 100 mL dalam
larutan NaOH 0,2 M
Timbang saksama sebanyak 66,349 mg kristal hematin, masukkan ke
dalam labu takar 100 mL. Tambahkan 50 mL larutan NaOH 0,2 M;
gojok hingga kristal hematin larut. Tambahkan larutan NaOH 0,2 M
hingga tanda 100,0 mL.
4) Pembuatan kurva baku hematin
a) Buat seri kadar larutan hematin (dalam larutan NaOH 0,1 M ) :
250, 125; 62,5; 31,25; 15,6; 7,8; dan 3,9 μM. Masing-masing
kadar tersebut dibuat sebanyak 400 μL.
Larutan hematin 250 μM : ambil 100 μL larutan hematin
1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah
300 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.
Larutan hematin 125 μM : ambil 50 μL larutan hematin
1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah
350 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.
Larutan hematin 62,5 μM : ambil 25 μL larutan hematin
1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah
375 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.
Larutan hematin 31,25 μM : ambil 12,5 μL larutan hematin
1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah
387,5 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.
42
Larutan hematin 15,6 μM : ambil 6,25 μL larutan hematin
1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah
393,75 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.
Larutan hematin 7,8 μM : ambil 3,125 μL larutan hematin
1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah
396,875 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.
Larutan hematin 3,9 μM : ambil 1,56 μL larutan hematin
1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah
398,44 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.
b) Sebanyak 100 μL dari masing-masing kadar tersebut dimasukkan
dalam sumuran mikrokultur 96 sumuran.
c) Baca nilai OD pada λ 405 nm dengan Elisa reader.
5) Pembuatan seri konsentrasi sampel
a) Buat stok larutan sampel dengan konsentrasi 5,0 mg/mL
sebanyak 600 μL. Caranya adalah timbang saksama 3 mg
sampel, masukkan ke dalam effendorf 1,5 mL. Tambahkan 60 μL
DMSO 100%, gojok pelan hingga larut dan homogen. Setelah
sampel larut, tambah dengan 540 μL akuades. Homogenkan.
b) Buat larutan DMSO 10% sebanyak 10 mL dengan cara : ambil
1000 μL DMSO 100%, masukkan labu takar 10 mL. Tambah
akuades hingga tanda 10,0 mL. Homogenkan.
c) Larutan sampel yang akan dibuat adalah larutan dengan
konsentrasi 5,00; 2,50; 1,25; 0,63; 0,31 mg/mL.
43
Sampel konsentrasi 5,00 mg/mL
Langsung mengambil dari larutan stok sampel
Sampel konsentrasi 2,50 mg/mL
Ambil 150 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf
1,5 mL; tambah 150 μL larutan DMSO 10%. Homogenkan.
Sampel konsentrasi 1,25 mg/mL
Ambil 75 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf
1,5 mL; tambah 225 μL larutan DMSO 10%. Homogenkan.
Sampel konsentrasi 0,63 mg/mL
Ambil 37,5 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf
1,5 mL; tambah 262,5 μL larutan DMSO 10%. Homogenkan.
Sampel konsentrasi 0,31 mg/mL
Ambil 18,75 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf
1,5 mL; tambah 281,25 μL larutan DMSO 10%.
Homogenkan.
6) Uji penghambatan polimerisasi hem
Efek antimalaria senyawa uji dilakukan secara in vitro, yaitu
dengan metode uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem. Uji ini
dilakukan dengan metode Basilico (1998) yang dimodifikasi, yaitu
masalah kadar larutan hematin dan kadar sampel uji yang digunakan.
Sebanyak 100 µL larutan hematin 1 mM dalam NaOH 0,2 M
dimasukkan ke dalam tabung effendorf, kemudian ditambahkan
50 µL bahan uji dengan berbagai tingkatan kadar, yaitu 5,00; 2,50;
44
1,25; 0,63; dan 0,31 mg/mL. Replikasi sebanyak 4 kali untuk
masing-masing kadar. Untuk memudahkan pembuatan larutan
ekstrak dan klorokuin, proses pelarutannya ditambahkan DMSO
hingga konsentrasi DMSO 10% (Guetzoyan et al., 2009).
Untuk memulai reaksi polimerisasi hem, tambahkan 50 µL
larutan asam asetat glasial (pH 2,6) pada tabung effendorf yang
sudah berisi larutan hematin dan sampel, kemudian inkubasi pada
suhu 37oC selama 24 jam. Sebagai kontrol positif adalah klorokuin
difosfat, sedangkan sebagai kontrol negatif adalah akuades dan
larutan DMSO 10%.
Setelah inkubasi berakhir, tabung effendorf disentrifuse
dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit. Buang supernatannya,
endapan dicuci sebanyak 4 kali dengan 200 µL DMSO. Masing-
masing pencucian dengan cara disentrifuse berkecepatan 8000 rpm
selama 10 menit. Endapan yang diperoleh ditambah 200 µL NaOH
0,1 M. Setiap 100 µL larutan yang diperoleh dimasukkan ke dalam
mikroplate 96 sumuran dan dibaca nilai OD dengan Elisa reader
pada panjang gelombang 405 nm.
Nilai aktivitas penghambatan polimerisasi hem dinyatakan
dalam IC50 yaitu kadar yang mampu menghambat polimerisasi hem
hingga 50% yang dibandingkan dengan kontrol negatif. Kurva
standar dibuat dengan cara membuat seri konsentrasi hematin (yang
telah dilarutkan dalam NaOH 0,2 M). Seri kadarnya adalah : 250;
45
125; 62,5; 31,25; 15,6; 7,8; dan 3,9 mM. Sebanyak 100 µL dari
masing-masing kadar ini dimasukkan ke dalam sumuran mikrokultur
96 sumuran dan nilai OD dengan Elisa reader pada panjang
gelombang 405 nm.
d. Analisis ekstrak aktif dengan HPLC
Ditimbang 10 mg ekstrak etil asetat miselia fungi E secara
saksama, masukkan effendorf. Tambahkan 600 µL asetonitril dan 400
µL metanol, gojok hingga larut dan homogen. Injeksikan 20 µL larutan
tersebut ke dalam HPLC dengan sistem fase gerak asetonitril : akuades :
metanol (5:3:2); kolom RP-18e; laju alir fase gerak 1 mL/menit pada
suhu ruangan dan sistem isokratik. Standar yang digunakan adalah
larutan artemisinin dengan kadar 5 mg/mL yang dibuat dengan cara
melarutkan 5 mg artemisinin dalam pelarut yang terdiri dari 600 µL
asetonitril dan 400 µL metanol. Detektor yang digunakan adalah
detektor UV dengan panjang gelombang 215 nm (Lapkin et al., 2009).
e. Analisis ekstrak aktif dengan Chromatography-Mass Spectrometer
(LC-MS)
Dibuat ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan kadar 1 mg/mL
dalam pelarut metanol p.a. Injeksikan 20 µL larutan tersebut ke dalam
LC-MS dengan sistem fase gerak metanol : akuades (9:1); kolom RP-18,
laju alir fase gerak 1 mL/menit, detektor ESI-MS positive ion mode.
Sistem elusi yang digunakan adalah isokratik pada suhu ruangan.
46
5. Identifikasi golongan senyawa yang terdapat di dalam ekstrak aktif
Analisis golongan senyawa ini dilakukan dengan teknik KLT.
Sebanyak 7,5 µL ekstrak aktif (fungi E) dengan kadar 30 mg/mL dalam
pelarut metanol ditotolkan pada fase diam plate silika gel F254. Fase gerak
yang digunakan adalah fase gerak A = etil asetat : metanol : akuades
(100:13,5:10); dan fase gerak B = toluena : etil asetat (93:7)
Lakukan pengamatan di bawah sinar UV 254 dan 366 nm. Untuk
identifikasi senyawa golongan fenolik digunakan pembanding eugenol,
visualisasi bercak dengan disemprot larutan FeCl3; senyawa golongan
alkaloid digunakan pembanding piperin, visualisasi bercak dengan
disemprot Dragendorff; senyawa golongan terpenoid digunakan pembanding
timol, eugenol, dan saponin, visualisasi bercak dengan disemprot
anisaldehid asam sulfat, vanilin asam sulfat dan larutan SbCl3. Masing-
masing pembanding tersebut dibuat dengan kadar 10 mg/mL dan volume
penotolan 7,5 µL.
Setelah perlakuan dengan pereaksi semprot, lakukan pengamatan
sebagai berikut : a) pereaksi anisaldehid asam sulfat dan vanilin asam sulfat :
setelah disemprot, plate dipanaskan pada suhu 105oC selama 5 menit, amati
di bawah sinar tampak dan sinar UV 366 nm; b) pereaksi Dragendoff, FeCl3,
dan SbCl3 : setelah disemprot, plate diamati di bawah sinar tampak tanpa
pemanasan (Wagner and Bladt, 1996).
47
6. Analisis profil pertumbuhan fungi
Analisis profil pertumbuhan fungi dilakukan dengan cara mengukur
bobot kering miselia fungi selama periode fermentasi tertentu. Ke dalam 40
buah erlenmeyer ukuran 50 mL, masing-masing dimasukkan media M 102b
sebanyak 10 mL. Sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit. Sebanyak satu buah plug berdiameter 5 mm dari fungi E dalam media
PDA, inokulasikan ke dalam masing-masing erlenmeyer tersebut secara
aseptis. Fungi tersebut difermentasi pada suhu kamar sambil digojok dengan
kecepatan 80 rpm. Setiap hari pertumbuhan, ambil 2 buah erlenmeyer yang
digojok tersebut, saring miselia fungi dengan kertas saring yang telah ditara,
cuci kertas saring dengan 75 mL akuades, kemudian keringkan pada suhu
60oC hingga bobotnya konstan. Buat kurva hubungan antara waktu
fermentasi dengan bobot kering miselia fungi.
7. Identifikasi fungi
Identifikasi yang dilakukan adalah identifikasi morfologi fungi secara
mikrokopis dan akan didapatkan genus dari fungi yang bersangkutan.
Identifikasi ini dilakukan di laboratorium gisi dan pangan, Pusat Antar
Universitas, UGM.
48
C. Data dan analisis data
Untuk mengetahui kadar kristal β-hematin yang terbentuk (setelah
pencucian dengan DMSO), nilai OD pada masing-masing konsentrasi perlakuan
diinterpolasikan ke persamaan kurva baku.
Persentase hambatan polimerisasi hem dihitung dengan rumus :
: %100xA
BA
Dengan A adalah kadar hematin pada kontrol negatif (akuades) dan B adalah
kadar hematin setelah pemberian senyawa uji.
Data ditampilkan dalam bentuk tabel yang menghubungkan antara dosis
senyawa uji dengan persentase penghambatan. Aktivitas penghambatan
polimerisasi hem dinyatakan dalam IC50 (kadar ekstrak yang mampu menghambat
polimerisasi hem hingga 50%). Nilai IC50 ini diperoleh menggunakan analisis
probit. Perbedaan nilai IC50 untuk masing-masing perlakuan dianalisis dengan
menggunakan uji Anava (taraf kepercayaan 95%).
Bagan prosedur kerja penelitian ini adalah terlihat pada Gambar 7.
49
Gambar 7. Bagan prosedur kerja penelitian identifikasi senyawa aktifpada fungi endofit dari A. annua L.
Pengambilan sampel
Fungi endofit
Fermentasi
Ekstraksi
Uji penghambatan polimerisasi hem
Analisis dengan HPLC dan LC-MS
Analisis golongan senyawa
Identifikasi fungi
Penyiapan sampel tanaman
Determinasi tanaman
Isolasi fungi endofit
Miselia fungi
Bobot sel
Profil kurva pertumbuhan
Supernatan Endapan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Isolasi fungi endofit dari A. annua L.
1. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA)
Media yang dipakai untuk menumbuhkan fungi endofit A. annua L.
adalah media Potato Dextrose Agar (PDA). Media ini digunakan karena
media ini tidak cocok untuk pertumbuhan bakteri dan fungi patogen pada
manusia sehingga mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi (Strobel et
al., 2001). Media PDA mengandung ekstrak kentang, salah satu sumber
karbohidrat. Fungi dapat tumbuh pada media PDA karena fungi mampunyai
enzim untuk memotong polisakarida tersebut menjadi monosakarida yang
siap digunakan fungi untuk kelangsungan hidupnya (Strobel et al., 2001).
2. Isolasi fungi
Eksplan dari tanaman A. annua L. diambil pada saat tanaman berumur
6 bulan karena masa panen A. annua L. adalah saat tanaman berumur lebih
dari 5 bulan. Pada umur ini kandungan metabolit sekundernya sudah optimal
sehingga diharapkan fungi endofit yang berada dalam jaringan tanaman pada
waktu ini juga sudah mengalami rekombinasi genetik dan mampu
menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman inangnya, yaitu
artemisinin. Pengambilan eksplan diutamakan pada daun karena bagian ini
paling banyak mengandung artemisinin, yaitu mencapai 89% dari total
artemisinin yang terdapat dalam tanaman (Kardinan, 2008). Bagian daun
50
51
yang diambil adalah daun yang sudah tua karena fungi endofit banyak
tumbuh dalam jaringan daun yang sudah tua (Suryanarayanan and
Thennarasan, 2004). Eksplan bagian batang perlu dihilangkan kulit arinya
terlebih dahulu sehingga fungi endofit yang tumbuh adalah benar-benar dari
dalam jaringan eksplan tersebut, bukan fungi yang berasal dari luar jaringan.
Proses sterilisasi eksplan tidak digunakan etanol murni, tetapi
digunakan etanol 70% karena proses denaturasi protein mikroba memerlukan
keberadaan air, dan etanol dengan kadar 70% adalah kadar yang optimal
untuk tujuan ini (Pratiwi, 2008). Dalam larutan, natrium hipoklorit (NaClO)
akan melepaskan radikal klor (Cl.) yang mampu merusak membran dan
protein mikroba. Gambar penanaman eksplan dalam media PDA dapat
dilihat dalam Lampiran 3.
Dari berbagai macam eksplan yang ditanam dalam media PDA, fungi
endofit hanya tumbuh dari eksplan daun, batang, dan akar. Endofit biasanya
bertempat pada bagian tanaman yang berada di atas tanah, seperti daun,
batang, kulit batang, tangkai daun, dan alat reproduktif. Hal ini berhubungan
dengan banyaknya paparan sinar matahari yang diterima bagian tersebut
(Faeth and Fagan, 2002). Beberapa fungi endofit hanya membentuk
koloni di salah satu bagian dalam jaringan tanaman, sehingga tidak semua
jaringan tanaman yang ditanam secara acak terjadi pertumbuhan fungi
endofit (Johnston et al., 2006). Kontrol akuades steril bilasan eksplan yang
ditanam dalam media PDA tidak terdapat pertumbuhan fungi. Hal ini
menunjukkan bahwa fungi-fungi yang tumbuh pada eksplan adalah fungi
52
yang berasal dari dalam jaringan tanaman tersebut, bukan fungi yang berasal
dari spora yang menempel di permukaan eksplan tersebut.
Dari penanaman eksplan yang dilakukan, diperoleh 6 fungi endofit,
yaitu 1 fungi endofit dari eksplan batang (fungi A) dan 5 fungi endofit dari
eksplan daun (fungi B, C, D, E, dan F). Gambar fungi endofit hasil isolasi
dapat dilihat pada Lampiran 4.
B. Fermentasi fungi endofit
Proses fermentasi fungi endofit dilakukan dengan media semi sintetik,
artinya media yang tersusun dari bahan kimia yang diketahui jumlah dan unsur
penyusunnya, dan dicampur dengan bahan nabati yang tidak pasti
komposisinya, yaitu ekstrak malt, bactopepton, dan ekstrak yeast. Tujuan
pencampuran ini adalah agar nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
fungi dapat tersedia lengkap sehingga proses pertumbuhan fungi di dalamnya
dapat optimal. Selama proses fermentasi, media digojok selama 24 jam agar
konsentrasi nutrisi dan oksigen dalam media dapat dipertahankan
homogenitasnya. Fermentasi pendahuluan bagi fungi yang berhasil diisolasi
dilakukan dengan 2 tahap, yaitu 3 hari pertama untuk mempercepat fase lag,
sedangkan tahap kedua, yaitu fermentasi selama 18 hari, di dalamnya
termasuk fase logaritma dan fase stasioner (Prihatiningtias, 2005). Selama fase
stasioner ini metabolit sekunder akan dibentuk dan pada akhir tahap ini proses
fermentasi dihentikan.
Media yang digunakan untuk inokulum adalah sama dengan media
yang digunakan untuk produksi, yaitu M 102b. Tujuannya adalah untuk
53
meminimalkan fase adaptasi (fase lag) akibat perbedaan media pertumbuhan.
Volume inokulum yang digunakan adalah 4% dari volume media produksi,
yaitu 8 mL inokulum dengan volume media produksi 200 mL. Volume
inokulum yang optimal adalah sebanyak 3-10% volume media produksi. Pada
jumlah volume inokulum tersebut diharapkan dapat meminimalkan fase lag
dan memaksimalkan pertumbuhan biomassa (Stanbury et al., 1995).
Proses fermentasi fungi endofit digunakan media cair karena
fermentasi dengan media cair lebih efektif untuk memproduksi biomassa
(Pokhrel and Ohga, 2007) dan senyawa bioaktif dibandingkan fermentasi
dalam media padat (Yan et al., 2010). Hal ini karena dalam fermentasi cair
terdapat proses agitasi yang memungkinkan nutrisi dalam media dapat terus
homogen dan tidak ada gradien konsentrasi produk/toksin sehingga mikrobia
dapat lebih optimal mengabsorbsi nutrisi tersebut. Guna menghasilkan proses
agitasi yang sempurna, perbandingan jumlah media dengan ukuran fermentor
adalah 2 : 5 (Wu et al., 2004).
C. Bioassay-guided fractionation
1. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi dengan etil asetat
Proses fermentasi dilakukan terhadap fungi A, B, C, D, E, dan F.
Proses penyarian dilakukan terhadap media fermentasi dan miselia fungi
guna mengetahui apakah metabolit aktif fungi diekskresikan secara
ekstraseluler atau intraseluler. Penyarian media dilakukan dengan
etil asetat sama banyak dengan jumlah media dan dibagi menjadi 4 kali
replikasi guna meningkatkan efisiensi transfer massa sehingga
54
metabolit dalam media dapat tersari ke dalam etil asetat secara maksimal,
sedangkan untuk miselia fungi, sebelum proses ekstraksi, sel-sel miselia
fungi dipecah dahulu dengan gelombang ultrasonik pada frekuensi 20 kHz
selama 30 menit. Sebagai medium dalam proses tersebut sekaligus sebagai
cairan penyari adalah etil asetat dengan jumlah sama banyak dengan bobot
fungi yang bersangkutan.
Gelombang ultrasonik menghasilkan getaran kuat yang menyebabkan
gelombang kejut dan radikal bebas reaktif (radikal hidroksil dan hidrogen
peroksida) sehingga sel menjadi pecah dan terjadi inaktivasi struktur
mikrobia. Material sel akan pecah dan masuk ke dalam medium penyarinya.
Metode ini sederhana dan tidak menghasilkan produk toksik yang dapat
membahayakan sampel (Naddeo et al., 2007).
2. Hasil analisis profil KLT ekstrak etil asetat
Langkah ini dimaksudkan sebagai uji pendahuluan, apakah fungi hasil
isolasi menghasilkan metabolit sekunder artemisinin. Pengujian dilakukan
terhadap ekstrak etil asetat media fermentasi dan miselia fungi. Hasil
pengujian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) terhadap ekstrak etil
asetat tersebut dapat dilihat pada Gambar 8, 9, dan 10.
55
8a 8b
8c 8d
Gambar 8. Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102bdengan volume penotolan 7,5 µL
a) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 254 nm;b) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm;c) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah sinar tampak;d) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm
Sistem KLT : fase gerak : n-heksana : etil asetat (7:3); fase diam silika gel F254
Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;5) Fungi D; 6) Fungi E; 7) Fungi F; dan 8) Media M 102b
Pada Gambar 8 terlihat bahwa ekstrak etil asetat media fermentasi
fungi A, B, C, D, E, dan F dengan kadar 5 mg/mL dan volume penotolan 7,5
μL tidak menunjukkan bercak apapun, sedangkan bercak standar artemisinin
dengan kadar 2 mg/mL dan volume penotolan 15 μL sudah kelihatan dengan
56
jelas. Untuk itu dicoba menambah volume penotolan sampel karena diduga
penyebab tidak tampaknya bercak karena kadar senyawa di dalamnya terlalu
kecil. Hasil KLT dengan jumlah totolan setelah ditingkatkan menjadi 4 kali
adalah seperti pada Gambar 9.
9a 9b
Gambar 9. Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102b dengan volume penotolan sampel 30 μL
a) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah sinar tampak;b) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm
Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;5) Fungi D; 6) Fungi E; 7) Fungi F; 8) Media M 102 b; dan9) Ekstrak etanolik 95% herba A. annua L.
Dari Gambar 9 terlihat bahwa walaupun volume penotolan sampel
sudah dinaikkan menjadi 4 kali lipat, yaitu menjadi 30 μL, pada sampel uji
tidak terlihat adanya bercak dengan nilai Rf yang mirip dengan nilai Rf
artemisinin standar. Dari data ini disimpulkan bahwa di dalam media
fermentasi fungi endofit uji, tidak terdapat metabolit sekunder artemisinin.
Dengan kata lain, fungi-fungi tersebut tidak mengekskresikan metabolit
yang diduga artemisinin secara ekstraseluler. Hasil kromatografi miselia
fungi tertera pada Gambar 10.
57
10a 10b
10c 10d
Gambar 10. Profil KLT ekstrak etil asetat miselia fungia) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 254 nm;b) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm;c) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah sinar tampak;d) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm
Sistem KLT : fase gerak : n-heksana : etil asetat (7:3); fase diam silika gel F254
Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;5) Fungi D; 6) Fungi E; dan 7) Fungi F
Dari Gambar 10, sampel dengan kadar 5 mg/mL dan volume
penotolan 20 μL, menunjukkan bahwa fungi A, E, dan F mempunyai bercak
dengan nilai Rf yang mirip dengan standar artemisinin, yaitu 0,60. Warna
bercak-bercak tersebut berbeda dengan artemisinin (Gambar 10c), yaitu
58
coklat tua, sedangkan artemisinin mempunyai warna coklat tua kekuningan.
Perbedaan warna ini dimungkinkan karena dalam bercak sampel tersebut
berisi lebih dari satu macam senyawa, atau mungkin merupakan senyawa
yang berbeda dengan artemisinin, tetapi mempunyai tingkat kepolaran yang
sama dengan artemisinin sehingga mempunyai nilai Rf yang mirip. Dari
pola kromatogram ini dapat disimpulkan sementara bahwa ekstrak etil asetat
miselia fungi A, E, dan F mengandung metabolit sekunder yang sama atau
mirip dengan artemisinin, sehingga ekstrak dari fungi ini yang akan
dilakukan uji tahap selanjutnya.
3. Hasil uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem
Untuk kelangsungan hidupnya, P. falciparum di dalam eritrosit akan
memecah hemoglobin menjadi globin dan hem bebas di dalam vakuola
digestifnya. Globin ini akan diuraikan menjadi asam-asam amino sebagai
bahan baku sintesis protein bagi Plasmodium. Hem bebas ini, yaitu fero-
protoporfirin IX, akan segera teroksidasi menjadi feri-protoporfirin IX di
dalam vakuola digestif yang bersifat asam, dan bersifat toksik bagi sel inang
dan Plasmodium (Huy et al., 2007). Hem bebas bersifat sangat toksik karena
dapat membentuk spesies radikal oksigen yang dapat menyebabkan
kematian bagi Plasmodium (Kumar et al., 2007).
Oleh Plasmodium, hem bebas ini akan diubah menjadi bentuk dimer
yang inert, yaitu hemozoin (pigmen malaria). Pembentukan pigmen malaria
ini, menjadi salah satu target aksi bagi agen antimalaria golongan kuinolin
(Huy et al., 2007). Senyawa basa lemah seperti senyawa turunan kuinolin
59
(klorokuin) akan menghambat terbentuknya polimerisasi hem menjadi
hemozoin (Pisciotta and Sullivan, 2008). Suatu polimer yang identik dengan
hemozoin, yaitu β-hematin, dapat terbentuk secara in vitro dari hematin
dalam suasana asam. Dengan alat Fourier Transform Infra Red (FTIR)
terlihat bahwa ikatan antara ion besi-karboksilat dari dua molekul hem
dalam hemozoin adalah sama dengan analognya, yaitu β-hematin (Wood et
al., 2003). Kristal β-hematin ini selanjutnya dapat diukur serapannya dengan
Elisa reader pada panjang gelombang 405 nm. Jumlah kristal β-hematin
yang terbentuk berbanding terbalik dengan aktivitas agen antimalaria
penghambat polimerisasi hem tersebut (Basilico et al., 1998). Hasil
pengukuran kurva baku hematin tertera pada Gambar 11.
Kurva baku hematin
y = 0.0069x + 0.0667
R2
= 0.9995
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
0 50 100 150 200 250 300
Kadar hematin (mM)
Ser
ap
an
Gambar 11. Kurva baku hematin dalam larutan NaOH 0,1 M
Dalam suasana asam, hematin akan berpolimerisasi menjadi kristal
β-hematin. Senyawa uji yang mampu menghambat polimerisasi hematin ini
akan mengurangi kristal β-hematin yang terbentuk. Data pengukuran nilai
IC50 tertera pada Tabel I.
60
Tabel I. Pengaruh pemberian ekstrak miselia fungi terhadapaktivitas penghambatan polimerisasi hem
Bahan ujiKonsentrasi
(mg/mL)
Rerata kadarhemozoin
(mM) + SD
Rerata persenpenghambatan
+ SD
IC50
(mg/mL)
5,00 47,77 + 15,43 54,34 + 14,74
2,50 82,02 + 15,90 21,61 + 15,19
1,25 63,18 + 11,24 39,61 + 10,74
0,63 59,08 + 6,96 43,54 + 6,65
Fungi A
0,31 77,97 + 8,34 25,48+ 7,97
14,359
5,00 8,30 + 2,41 92,06 + 2,31
2,50 17,87 + 3,04 82,92 + 2,90
1,25 33,14 + 8,94 68,33 + 8,54
0,63 36,61 + 4,71 65,01 + 4,50
Fungi E
0,31 69,61+ 6,83 33,47 + 6,53
0,499
5,00 57,77 + 1,89 44,78 + 1,80
2,50 67,68 + 4,10 35,32 + 3,92
1,25 131,88 + 2,63 -26,04 + 2,51
0,63 139,71 + 15,61 -33,52 + 14,92
Fungi F
0,31 137,82 + 11,92 -31,72 + 11,40
-
5,00 51,49 + 1,01 50,79 + 0,97
2,50 37,10 + 5,49 64,54 + 5,25
1,25 63,33 + 11,82 39,47 + 11,30
0,63 69,37 + 7,76 33,70 + 7,41
Klorokuin
0,31 76,81 + 12,25 26,59 + 11,71
2,320
Akuades 104,63 + 0,22 0,00 + 0,00
DMSO 10% 103,91 + 0,93 0,00 + 0,00
Hasil uji menunjukkan, ekstrak etil asetat miselia fungi A, E, dan
kontrol positif klorokuin mempunyai nilai IC50 sebesar 14,359 mg/mL,
0,499 mg/mL; dan 2,320 mg/mL. Nilai IC50 ekstrak etil asetat miselia fungi
F tidak bisa dihitung karena menyebabkan endapan β-hematin yang lebih
banyak dibandingkan kontrol negatif akuades.
61
Titik isoelektrik hematin adalah pada pH 5, seperti halnya kondisi
pH dalam vakuola digestif Plasmodium. Untuk mencapai keadaan tersebut
digunakan asam asetat sebagai pengatur tingkat keasaman pada reaksi
polimerisasi hematin menjadi hemozoin (Guetzoyan et al., 2009).
Polimerisasi hematin dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam karena pada
suhu dan waktu tersebut, kristal β-hematin yang terbentuk adalah optimal
(Basilico et al., 1998). Kondisi yang digunakan dalam polimerisasi hem ini
meniru suasana pada sel hidup (eritrosit yang terinfeksi Plasmodium). Pada
sel hidup banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi aktivitas
antiplasmodium dibandingkan uji dengan reaksi kimiawi biasa, misalnya
adanya enzim, protein, dan lemak yang akan mempengaruhi absorbsi dan
penetrasi molekul obat ke dalam eritrosit dan Plasmodium.
Proses pembentukan β-hematin akan didahului dengan pembentukan
endapan amorf hem, dan diikuti dengan konversi secara lambat menjadi β-
hematin kristalin (Kumar et al., 2007). Proses pencucian endapan β-hematin
dimaksudkan untuk menghilangkan hematin yang terjerap dalam endapan β-
hematin. Pencucian tersebut dapat menggunakan DMSO, larutan SDS 2,5%,
atau larutan 0,1 M dapar natrium bikarbonat pH 9,1. Larutan pencuci
tersebut tidak melarutkan kristal β-hematin. Dalam penelitian ini digunakan
DMSO karena tidak menimbulkan busa selama proses dan merupakan
larutan pencuci yang siap digunakan.
Walaupun mekanisme kerja suatu antiplasmodium tidak hanya
melalui penghambatan polimerisasi hem, tetapi aktivitas penghambatan
62
polimerisasi hem adalah metode yang mudah dan cukup akurat untuk
mengetahui efek sebagai antimalaria. Aktivitas penghambatan polimerisasi
hem merupakan kerja dari satu atau dua mekanisme, yaitu : 1) terjadi
interaksi antara senyawa terpenoid, fenol dan sterol dengan sistem elektronik
hem, 2) ekstrak tersebut terdiri dari senyawa-senyawa yang memiliki gugus
hidroksil yang dapat berikatan dengan ion besi hem (Basilico et al., 1998).
Dalam ekstrak etil asetat miselia fungi sangat mungkin terdapat
berbagai macam senyawa yang berpengaruh dalam aktivitas penghambatan
polimerisasi hem. Kondisi keasaman ekstrak, warna, dan pencucian endapan
β-hematin sangat berpengaruh terhadap hasil pembacaan serapan pada Elisa
reader. Menurut Baelsman et al. (2000), senyawa yang mempunyai nilai
IC50 penghambatan polimerisasi hem yang lebih kecil dari nilai IC50
kloroquinsulfat, yaitu 37,5 mM (12 mg/mL), maka senyawa tersebut dapat
dikatakan memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem. Berdasarkan
data tersebut, ekstrak etil asetat miselia fungi A dan E memiliki aktivitas
penghambatan polimerisasi hem, sedangkan untuk ekstrak miselia fungi F
tidak memiliki aktivitas tersebut karena tidak menghambat terbentuknya
endapan β-hematin, tetapi malah menjadi katalisator terbentuknya endapan
β-hematin karena menghasilkan endapan β-hematin yang lebih besar
dibandingkan kontrol akuades. Pengujian tahap selanjutnya hanya akan
dilakukan pada fungi E karena mempunyai nilai aktivitas penghambatan
polimerisasi hem secara in vitro yang paling tinggi, yaitu dengan IC50 0,499
mg/mL. Analisis hasil pengujian aktivitas penghambatan polimerisasi hem
63
ini tidak perlu dilakukan uji Anava karena perbedaan nilai aktivitas antar
ketiga fungi tersebut sangat jauh.
4. Hasil analisis ekstrak aktif dengan HPLC
Analisis dengan HPLC dan KLT mempunyai mekanisme pemisahan
yang mirip, yaitu terjadinya interaksi antara analit, fase gerak, dan fase
diam. Pola interaksi yang berdasarkan tingkat kepolaran tersebut akan
memisahkan analit dari campurannya. Kelebihan analisis dengan HPLC
dibandingkan metode KLT adalah lebih sensitif dan bisa menghasilkan
resolusi pemisahan yang lebih baik.
Hasil analisis ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC
menunjukkan bahwa di dalam ekstrak tersebut tidak mengandung
artemisinin. Hal ini terlihat pada Gambar 12b, tidak ada puncak yang
mempunyai nilai waktu retensi yang sama dengan waktu retensi artemisinin,
yaitu 2,748 menit. Hal ini ditegaskan dengan pemberian standar adisi
artemisinin standar pada ekstrak etil asetat miselia fungi E tersebut, seperti
terlihat pada Gambar 12c.
64
Waktu retensi (menit)
Gambar 12a. Hasil elusi standar artemisinin dengan HPLC
Waktu retensi (menit)
Gambar 12b. Hasil elusi ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC
65
Waktu retensi (menit)
Gambar 12c. Elusi hasil penambahan standar adisi artemisinin terhadapekstrak etil asetat miselia fungi E
5. Hasil analisis dengan Liquid Chromatography - Mass Spectrometer
(LC-MS)
Walaupun metode ESI adalah metode yang lunak, tetapi fragmentasi
molekul analit masih dapat terjadi. Menurut Shi et al. (2006), fragmentasi
yang terjadi pada molekul artemisinin dan turunannya setelah terprotonasi
pada metode ESI adalah seperti pada Gambar 13.
HO+H
O
O
HO+
O
H
O
H
H
O
O - CH3OH
- CH3OH
m/z 283,3 m/z 219,2
Gambar 13a. Pola fragmentasi artemisinin setelah terprotonasi pada metode ESI
66
HO+H HHO+
O
H
OH
H
H
O
OO
HO
HO+H
- H2O
- C2H5OH
- C2H2O2
m/z 285,3 m/z 221,3 m/z 163,3
Gambar 13b. Pola fragmentasi dihidroartemisinin setelah terprotonasi padametode ESI
HO+H HHO+
O
H
O
H
H
O
OO
HO
HO+H
- CH3OH
- C2H5OH
- C2H2O2
m/z 299,4 m/z 221,3 m/z 163,3
Gambar 13c. Pola fragmentasi artemether setelah terprotonasi pada metode ESI
HO+H HHO+
O
H
O
H
H
O
OO
HO
HO+H
- C2H5OH
- C2H5OH
- C2H2O2
m/z 313,4 m/z 221,3 m/z 163,3
Gambar 13d. Pola fragmentasi arteether setelah terprotonasi pada metode ESI
67
HO+
O
H
O
H
H
O
O
OH
O
O HO+H H
OHO
HO+H
- C4H6O4
- C2H5OH
- C2H2O2
m/z 385,4 m/z 221,3 m/z 163,3
Gambar 13e. Pola fragmentasi artesunat setelah terprotonasi pada metode ESI
Dari hasil protonasi dan fragmentasi artemisinin dan turunannya, maka
kemungkinan nilai m/z yang terbentuk adalah seperti pada Tabel II.
Tabel II. Kemungkinan nilai m/z yang terbentuk pada analisis artemisinin danturunannya dengan ESI pengionan positif, dengan m/z H = 1,01;C = 12,01; dan O = 15,99
Nilai m/z ionpseudomolekul
Nilai m/z hasilfragmentasi ke-No. Senyawa Nilai M
(M+H)+ (2M+H)+ 1 2
1. Artemisinin 282,3 283,3 565,6 219,2 -
2. Dihidroartemsinin 284,3 285,3 569,6 221,3 163,3
3. Artemether 298,4 299,4 597,8 221,3 163,3
4. Arteether 312,4 313,4 625,8 221,3 163,3
5. Artesunat 384,4 385,4 769,8 221,3 163,3
Hasil spektra ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan ESI-MS terlihat
pada Gambar 14.
68
99.0 319.2 539.4 759.6 979.8 1200.0
Mass (m/z)
0
207.7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%In
tens
ity
Mariner Spec /132:135 (T /6.50:6.65) -111:124 (T -6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)[BP= 279.3,208]
279.31
295.29
280.31
296.30 557.02335.19
411.10 619.81 707.56510.96163.47 261.32 936.20839.84 1028.80
Gambar 14a. Spektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi Edalam rentang m/z 100 sampai m/z 1200
235.0 351.6 468.2 584.8 701.4 818.0
Mass (m/z)
0
1000.9
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%In
ten
sit
y
Mariner Spec /132:135 (T /6.50:6.65) -111:124 (T -6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)=>CT[BP= 279.3,1001]
279.31
295.29
319.25280.31557.02
395.16335.19296.30558.00320.21 393.14 634.07255.33 474.36 707.56511.86 750.88
Gambar 14b. Spektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi Edalam rentang m/z 235 sampai m/z 818
Dari Gambar 14a dan 14b, tidak terlihat adanya nilai m/z artemisinin
dan turunannya, baik dalam bentuk (M+H)+, (2M+H)+, ataupun hasil
fragmentasinya. Pada Gambar 14a, terdapat puncak dengan m/z 163,47;
tetapi puncak ini bukan puncak dari hasil fragmentasi kedua dari turunan
artemisinin karena selain puncak dengan m/z tersebut tidak dijumpai puncak
dengan m/z 221,3 sebagai produk fragmentasi pertama, ataupun m/z dari ion
69
pseudomolekul dari (M+H)+. Puncak dengan m/z 163,47 tersebut
kemungkinan adalah ion pseudomolekul atau hasil fragmentasi molekul lain
yang bukan turunan artemisinin.
D. Hasil identifikasi golongan senyawa dengan KLT
Prinsip dari identifikasi golongan senyawa ini adalah dengan cara
membandingkan warna bercak hasil elusi ekstrak uji dengan senyawa standar
setelah disemprot dengan reagen pembentuk warna dan dilihat di bawah sinar
tampak atau sinar UV 366 nm. Fase gerak A digunakan untuk identifikasi
golongan senyawa yang lebih polar seperti : antraglikosida, alkaloid,
flavonoid, dan saponin, sedangkan fase gerak B digunakan untuk identifikasi
golongan senyawa yang lebih non polar seperti : kumarin dan terpenoid
(Wagner and Bladt, 1996).
Hasil identifikasi KLT setelah disemprot berbagai macam pereaksi
semprot dapat dilihat pada kromatogram berikut ini (dalam tiap plate, bercak
sebelah kiri adalah hasil elusi standar, sedangkan bercak sebelah kanan adalah
hasil elusi sampel).
70
15a 15b 15c 15d
Gambar 15. Hasil elusi tanpa penyemprotan15a) fase gerak A, sinar UV 254 nm; 15b) fase gerak A, sinar UV 366 nm15c) fase gerak B, sinar UV 254 nm; 15d) fase gerak B, sinar UV 366 nm
16a 16b
Gambar 16. Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3,tanpa pemanasan, dengan standar eugenol
16a) fase gerak A, sinar tampak; 16b) fase gerak B, sinar tampak
4
6
8
2
4
6
8
2
4
6
8
2
71
17a 17b
Gambar 17. Hasil penyemprotan dengan larutan Dragendorff,tanpa pemanasan, dengan standar piperin
17a) fase gerak A, sinar tampak; 17b) fase gerak B, sinar tampak
18a 18b 18c 18d
Gambar 18. Hasil penyemprotan dengan anisaldehid asam sulfatsetelah dipanaskan pada suhu 105oC selama 5 menit denganstandar timol
18a) fase gerak A, sinar tampak; 18b) fase gerak A, sinar UV 366 nm18c) fase gerak B, sinar tampak; 18d) fase gerak B, sinar UV 366 nm
4
6
8
2
4
6
8
2
4
6
8
2
72
19a 19b
Gambar 19. Hasil penyemprotan dengan larutan vanilin asam sulfat,setelah dipanaskan pada suhu 105oC selama 5 menit denganstandar eugenol
19a) fase gerak A, sinar tampak; 19b) fase gerak B, sinar tampak
20a 20b
Gambar 20. Hasil pencelupan dengan larutan SbCl3 ,tanpa pemanasan, dengan standar saponin (1), daneugenol (2)
20a) fase gerak A, sinar tampak; 20b) fase gerak B, sinar tampak
1 2 1 2
4
6
8
2
4
6
8
2
73
Plate silika gel F254 akan berflorosensi kuning-hijau jika terkena sinar
UV 254 nm. Senyawa yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi dalam
struktur molekulnya, akan mengabsorbsi sinar UV tersebut sehingga bagian
plate yang terdapat bercak senyawa tersebut akan terjadi pemadaman.
Sementara itu, senyawa yang mampu berpendar di bawah sinar UV 366 nm,
menunjukkan bahwa senyawa tersebut mempunyai struktur kromofor, planar,
dan kaku. Pada Gambar 15a, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,90. Senyawa
yang mampu memadamkan fluorosensi plate silika ini mempunyai struktur
ikatan rangkap terkonjugasi, dengan kemungkinan senyawa tersebut adalah
golongan antraglikosida, kumarin, alkaloid tertentu (turunan indol, kuinolin,
dan isokuinolin). Pada Gambar 15d, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,53.
Kemungkinan bercak tersebut adalah senyawa golongan antraglikosida,
kumarin, flavonoid, atau asam orto hidroksi karboksilat (Wagner and Bladt,
1996).
Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3 (Gambar 16) menunjukkan
bahwa di dalam sampel tidak terdapat senyawa yang mempunyai gugus
fenolik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukannya bercak hasil elusi sampel
yang berwarna ungu kecoklatan sebagai hasil reaksi antara ion feri dengan
gugus hidroksi fenolik.
Pereaksi Dragendorff adalah pereaksi yang khas untuk senyawa
golongan alkaloid dengan membentuk warna merah-jingga. Tidak terdapatnya
bercak dengan warna merah-jingga pada hasil elusi sampel (Gambar 17)
menandakan bahwa sampel tidak mengandung senyawa golongan alkaloid.
74
Pereaksi anisaldehid asam sulfat adalah pereaksi yang tidak khas untuk
golongan senyawa tertentu. Hampir semua senyawa bisa bereaksi dan
membentuk warna dengan pereaksi ini walaupun senyawa tersebut tidak
mempunyai gugus fungsional yang aktif, artinya hanya mempunyai ikatan
tunggal antar atom pembentuk senyawa tersebut dan hanya tersusun dari atom
karbon dan hidrogen, seperti halnya kebanyakan senyawa golongan terpenoid.
Pada Gambar 18c, terlihat adanya bercak dengan warna merah tua pada hasil
elusi sampel. Menurut Wagner and Bladt (1996), anisaldehid asam sulfat
dengan senyawa golongan minyak atsiri (monoterpenoid dan seskuiterpenoid)
akan memberikan warna merah, coklat, atau biru; dan akan terelusi dengan
baik dalam sistem fase gerak B, sedang sistem fase gerak A akan
menghasilkan bercak dengan nilai Rf yang mendekati 1 (satu).
Pada Gambar 19b, setelah perlakuan semprot dengan vanilin asam
sulfat, pada elusi sampel terdapat bercak merah keunguan pada nilai Rf 0,36.
Menurut Wagner and Bladt (1996), bercak tersebut kemungkinan adalah
senyawa golongan terpenoid. Sementara itu, setelah perlakuan dengan reagen
SbCl3, pada hasil elusi sampel (Gambar 20) terdapat bercak dengan warna
coklat kekuningan. Reagen ini spesifik terhadap senyawa golongan terpenoid,
terutama saponin.
Dari data-data KLT di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa senyawa
yang terdapat dalam ekstrak etil asetat miselia fungi F adalah senyawa
golongan terpenoid. Hal ini sesuai dengan Basilico et al. (1998) yang
75
menyatakan bahwa senyawa yang mempunyai aktivitas penghambatan
polimerisasi hem diantaranya adalah senyawa golongan terpenoid.
E. Hasil analisis profil pertumbuhan fungi
Pengujian kurva pertumbuhan fungi E dilakukan dengan media yang
sama dengan media fermentasi sehingga meminimalkan perbedaan
pertumbuhan karena pengaruh media. Pola pertumbuhan ini dilakukan dengan
mengukur massa miselia fungi selama periode fermentasi. Fungi E pada
pertumbuhannya menghasilkan banyak miselia yang tidak homogen dalam
media fermentasinya, sehingga pengambilan sampel per satuan waktu tidak
bisa dikerjakan hanya dalam 1 fermentor, tetapi proses fermentasi fungi harus
dilakukan dengan jumlah fermentor sebanyak jumlah sampel massa miselia
yang akan diambil. Kurva pertumbuhan fungi E terlihat pada Gambar 21.
Kurva pertumbuhan fungi E
0
50
100
150
200
250
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 16 17 18 19 20
Hari ke-
Ma
ssa
ker
ing
fun
gi
(mg
)
Gambar 21. Kurva pertumbuhan fungi E
Dari Gambar 21 terlihat bahwa fungi E tidak mempunyai fase adaptasi
tetapi langsung memasuki fase pertumbuhan eksponensial. Hal ini
menunjukkan bahwa media yang digunakan untuk fermentasi fungi E sudah
76
sesuai dengan karakter pertumbuhan fungi sehingga tidak memerlukan fase
adaptasi terlebih dahulu. Fungi E memasuki fase stasioner sekitar hari ke-10
fermentasi. Pada fase ini metabolit sekunder akan mulai terbentuk. Pada
fermentasi pendahuluan (fermentasi pertama kali) yang dilakukan, yaitu
selama 18 hari, ternyata kondisi fungi E sudah berada dalam fase stasioner,
sehingga pada hari ke-18 tersebut sangat mungkin fungi sudah membentuk
berbagai macam metabolit sekundernya, salah satunya adalah metabolit yang
aktif dalam menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin.
F. Hasil identifikasi fungi
Identifikasi fungi E dilakukan dengan cara pengamatan morfologi
secara mikroskopis di Laboratorium Gizi dan Pangan, Pusat Antar
Universitas, UGM. Morfologi fungi E yang teramati selanjutnya dibandingkan
dengan data base morfologi fungi. Dari hasil identifikasi tersebut, didapatkan
bahwa fungi E termasuk ke dalam fungi dengan genus Tritirachium sp. Fungi
genus ini banyak diisolasi dari kertas, jerami, kain, dan gipsum yang
digunakan pada dinding. Habitat asli fungi ini adalah di dalam tanah dan
tanaman yang telah membusuk. Fungi ini bersifat patogen bagi serangga dan
pada manusia dapat menyebabkan mikosis seperti ulcer pada kornea dan
otomikosis (Moraes et al., 2010). Bukti surat identifikasi dan gambar
morfologi fungi E tertera dalam Lampiran 5 dan 6.
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Fungi endofit yang berhasil diisolasi dari herba tanaman A. annua L.
menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menghambat polimerisasi
hem secara intraseluler.
2. Metabolit intraseluler fungi E mengandung senyawa golongan terpenoid.
B. Saran
1. Perlu dilakukan uji antiplasmodium bagi metabolit intraseluler fungi E
dengan P. falciparum secara in vitro.
2. Perlu dilakukan elusidasi struktur terhadap senyawa aktif yang terdapat
dalam metabolit intraseluler fungi E yang mempunyai aktivitas
menghambat polimerisasi hem.
3. Perlu dilakukan identifikasi secara urutan DNA bagi fungi E guna
mendapatkan jenis fungi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Malaria, Pengobatan Radikal Malaria, Buku 3, DirektoratJenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan LingkunganPemukiman, Dep. Kes. RI., Jakarta.
Anonim, 1993, Chinese Herbal Medicine : Materia Medica, compiled andtranslated by Dan Bensky and Andrew Gamble, 110-111, Eastland Press,Washington.
Anonim, 1999, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, edisi V, 17-18, Dep.Kes. RI,Jakarta.
Anonim, 2009, Laporan Tahunan, 47-48, Balai Penelitian Tanaman Obat danAromatik, Bogor.
Anonim, 2010, Malaria, http//www.dpd.cdc.gov/dpdx, diakses tanggal 3 April2010.
Aryanti, Ermayanti, T.M., Prinadi, K.I., dan Dewi, R.M., 2006, Uji dayaantimalaria Artemisia spp. terhadap Plasmodium falciparum, MajalahFarmasi Indonesia, 17 (2), 81-84.
Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, Amicrotitre-based method for measuring the haem polymerizationinhibitory activity (HPIA) of antimalarial drugs, Journal of AntimicrobialChemotherapy, 42, 55-60.
Baelsmans, R., Deharo, E., Munoz, V., Sauvain, M., and Ginsburg, H., 2000,Experimental conditions for testing the inhibitory activity of chloroquineon the formation of β-hematin, Experimental Parasitology., 42, 55-60.
Bhakuni, R.S., Jain, D.C., Sharma, R.P., and Kumar, S., 2001, Secondarymetabolites of Artemisia annua and their biological activity, CurrentScience, 80 (1), 35-48.
Castillo, U.F., Strobel, G.A., Ford, E.J., Hess, W.M., Porter, H., Jensen, J.B. et al.,2002, Munumbicins, wide-spectrum antibiotics produced byStreptomyces NRRL 30562, endophytic on Kennedia nigricans,Microbiology, 148, 2676.
Cui, L. and Su, X., 2009, Discovery, mechanisms of action and combinationtherapy of artemisinin, Expert Review of Anti Infective Therapy, 7 (8),999-1013.
78
79
79
Faeth, S.H., 2002, Are endophytic fungi defensive plant mutualist?, Oikos, 98, 25-36.
Faeth, S.H. and Fagan, W.F., 2002, Fungal endophytes : common host plantsymbionts but uncommon mutualists, Integrative and ComparativeBiology, 42, 360-368.
Ferreira, J. and Janick, J., 2009, Annual Wormwood (Artemisia annua L.),www.hort.purdue.edu/newcrop/cropfactsheets/artemisia.pdf, diaksestanggal 18 Maret 2010.
Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.
Fidock, D.A., Rosenthal, P.J., Croft, S.L., Brun, R., and Nwaka, S., 2004,Antimalarial drug discovery : efficacy models for compound screening,Nature Reviews, 3, 509-520.
Ganiswara, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 545-547, BagianFarmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.
Guetzoyan, L., Yu, X., Ramiandrasoa, F., Pethe, S., Rogier, C., Pradines, B.,Cresteil, T., Perrée-Fauvet, M., dan Mahy, J., 2009, Antimalarialacridines: Synthesis, in vitro activity against P. falciparum andinteraction with hematin, Bioorganic & Medicinal Chemistry, 17, 8032-8039.
Gusmaini dan Nurhayati, H., 2007, Potensi pengembangan budidaya Artemisiaannua L. di Indonesia, Perspektif, 6 (2), 57-67.
Harijanto, J.R.S., 2000, Malaria, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinisdan penanganan, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T. et al.,2007, Alcohols induce beta-hematin formation via the dissociation ofaggregated hem and reduction in interfacial tension of the solution, ActaTropica, 101, 130–138.
Jian-Wen, W., Zhong-Hao, X., and Ren-Xiang, T., 2002, Elicitation onartemisinin biosynthesis in Artemisia annua hairy roots by theoligosaccharide extract from the endophytic Colletotrichum sp B501,Acta Botanica Sinica, 44 (10), 1233-1238.
80
80
Johnston, P.R., Sutherland, P.W., dan Joshee,S., 2006, Visualising endophyticfungi within leaves by detection of (1/3)-ß-D-glucans in fungal cell walls,Mycologist, 20, 159-162.
Kardinan, A., 2008, Artemisia (Artemisia annua) tanaman anti malaria, WartaPenelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor, 14(2), 1-3.
Kazakevich, Y. and Lobrutto, R., 2007, HPLC for Pharmaceutical Scientist, 282,288, 289, 299, 304-306, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.
Kiboi, D.M., Irungu, B.N., Langat, B., Wittlin, S., Brun, R., Chollet, J., Abiodun,O., Nganga, J.K., Nyambati, V.C.S., rukunga, G.M., Bell, A., and Nzila,A., 2009, Plasmodium berghei ANKA : selection of resistance topiperaquine and lumefantrine in a mouse model, ExperimentalParasitology, 122, 196-202.
Krishna, S., Uhlemann, A., and Haynes, R.K., 2004, Artemisinins : mechanismsof action and potential for resistance, Drug Resistance Updates, 7, 233-244.
Krishna, S., Bustamante, L., Haynes, R.K., and Staines, H.M., 2008,Artemisinins: their growing importance in medicine, Trends inPharmacological Sciences, 29 (10), 520-527.
Kumar, S., Gupta, S.K., Singh, P., Bajpai, P., Gupta, M.M., Singh, D., Gupta,A.K., Ram, G., Shasany, A.K., and Sharma, S., 2004, High yields ofartemisinin by multi-harvest of Artemisia annua crops, Industrial Cropsand Products, 19, 77-90.
Kumar, S., Guha, M., Choubey, V., Maity, P., and Bandyyopaddhay, U., 2007,Antimalarial drugs inhibiting hemozoin (β-hematin) formation : A mechanistic update, Life Sciences, 80, 813-828.
Lapkin, A.A., Walker, A., Sullivan, N., Khambay, B., Mlambo, B., and Chemat,S., 2009, Development of HPLC analytical protocols for quantification ofartemisinin in biomass and extracts, Journal of Pharmaceutical andBiomedical Analysis, 49, 908-915.
Lee, J.C., Strobel, G.A., Lobkovsky, E., and Clardy, J., 1996, Torreyanic acid : Aselectively cytotoxic quinine dimmer from the endophytic fungusPestalotiopsis microspora, Journal of Organic Chemistry, 61, 3232-3233.
Liu, C.H, Zou, W.X., Lu, H., and Tan, R.X., 2001, Antifungal activity orArtemisia annua endophyte cultures against phytopathogenic fungi, TheJournal of Biotechnology, 88, 277-282.
81
81
Lulu, Y., Chang, Z., Ying, H., Ruiyi, Y., and Qingping, Z., 2008, Abiotic stress-induced expression of artemisinin biosynthesis genes in Artemisia annuaL., Chinese Journal of Applied & Environmental Biology, 14 (1), 001-005.
Magnani, M., Calliari, C.M., de Macedo Jr., F.C., Mori, M.P., de Syllos Cólus,I.M., and Castro-Gomez, R.J.H., 2009, Optimized methodology forextraction of (1→3)(1→6)-β-D-glucan from Saccharomyces cerevisiaeand in vitro evaluation of the cytotoxicity and genotoxicity of thecorresponding carboxymethyl derivative, Carbohydrate Polymers, 78,658–665.
McNeil, B. and Harvey, L.M., 2008, Practical Fermentation Technology, 42, 70-90, 100-101, John Wiley & Son Ltd., England.
Meshnick, S.R., 1994, The mode of action of antimalarial endoperoxides,Supplement, 88 (1), 31-32.
Mojarad, T.B., Roghani, M., and Zare, N., 2005, Effect of subchronicadministration of aqueous Artemisia annua extract on α1-adrenoceptoragonist-induced contraction of isolated aorta in rat, Iranian BiomedicalJournal, 9 (2), 57-62.
Moraes, R.N.R., Ribeiro, M.C.T., Nogueira, M.C.L., Cunha, K.C., Soares,M.M.C.N., and Almeida, M.T.G., 2010, First report of Tritirachiumoryzae infection of human scalp, Mycopathologia, 169, 257-259.
Morris, C., Bacon, C.W., and White, J.F., 2001, Microbial Endophyte, 225,Marcel Dekker, Inc., New York.
Muzemil, A., 2008, Determination of artemisinin and essential oil contents ofArtemisia annua L. grown in Ethiopia and in vivo antimalarial activity ofits crude extracts against Plasmodium berghei in mice, Thesis, School ofPharmacy, Addis Ababa University, Ethiopia.
Naddeo, V., Belgiorno, V., dan Napoli, R.M.A., 2007, Behavior of natural organicmater during ultrasonic irradiation, Desalination, 210, 175-182.
Ortelli, D., Ructaz, S., Cognarct, E., and Veuthey, J.L, 2000, Analysis ofDihydroartemisinin in Plasma by Liquid Chromatography-MassSpectrometry, Chromatographia, 52 (7/8), 445-450.
Pandey, A.V., Tekwani, B.L., Singh, R.L., and Chauhan, V.S., 1999, Artemisinin,an endoperoxide antimalarial, disrupts the hemoglobin catabolism andhem detoxification systems in malarial parasite, The Journal ofBiological Chemistry, 274 (27), 19383-19388.
82
82
Peterson, S.W., Vega, F.E., Posada, F., and Nagai, C., 2005, Penicillium coffeae, anew endophytic species isolated from a coffee plant and its phylogeneticrelationship to P. fellutanum and P. brocae based on parsimony analysisof multilocus DNA sequences, Mycologia, 97 (3), 659-666.
Pinheiro, J.C., Kiralj, R., and Ferreira, M.M.C., 2003, Artemisinin derivativeswith antimalarial activity against Plasmodium falciparum designed withthe aid of quantum chemical and partial least squares methods, QSAR &Combinatorial Science, 22, 830-842.
Pisciotta, J.M. and Sullivan, D., 2008, Hemozoin: oil versus water, ParasitologyInternational, 57, 89-96.
Pokhrel, C.P. and Ohga, S., 2007, Submerged culture conditions for mycelialyield and polysaccharides production by Lyophyllum decastes, FoodChemistry, 105, 641-646.
Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, Erlangga, Jakarta.
Prihatiningtias, W., 2005, Senyawa bioaktif fungi endofit akar kuning (Fibraureachloroleuca Miers) sebagai agensia antimikroba, Tesis, SekolahPascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rahman, A., 1992, Teknologi Fermentasi Industrial II, 123, Arcan, Jakarta.
Radji, M., 2005, Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembanganobat herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3), 113-126.
Robert, A., Benoit-Vical, F., Dechy-Cabaret, O., and Meunier, B., 2001, Fromclassical antimalarial drugs to new compounds based on the mechanismof action of artemisinin, Pure and Applied Chemistry, 73 (7), 1173-1188.
Sharaf-Eldin, M. and Elkholy, S., 2009, Artemisinin production from shootculture systems of Artemisia annua L., Australian Journal of Basic andApplied Sciences, 3 (3), 2212-2216.
Shi, B., Yu, Y., Li, Z., Zhang, L., Zhong, Y., Su, S., and Liang, S., 2006,Quantitative Analysis of Artemether and its MetaboliteDihydroartemisinin in Human Plasma by LC with Tandem MassSpectrometry, Chromatographia, 64 (9/10), 523-530.
Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innateinflammatory response to the malarial pigment hemozoin, Microbes andInfection, doi: 10.1016/j.micinf.2010.07.001.
83
83
Simanjuntak, P., Parwati, T., Bustanussalam, Prana, T.K., dan Shibuya, H., 2002,Produksi alkaloid kuinina oleh beberapa mikroba endofit denganpenambahan zat induser, Majalah Farmasi Indonesia, 13 (1), 1-6.
Stanburry, P. F., Whitaker A., and Hall, S.J., 1995, Principle of FermentationTechnology, 2nd edition, 1-5, 147-149, Elsevier Science Ltd., Oxford.
Strobel, G.A., Dirkse, E., Sears, J., and Markworth, C., 2001, Volatileantimicrobials from Muscodor albus, a novel endophytic fungus,Microbiology, 147, 2943-2950.
Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes andtheir natural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67(4), 491-502.
Strobel, G., Daisy, B., Castillo, U., and Harper, J., 2004, Natural products fromendophytic microorganisms, Journal of Natural Products, 67, 257-268.
Suryanarayanan, T.S. and Thennarasan, S., 2004, Temporal variations inendophyte assemblages of Plumeriarubra leaves, Fungal Diversity, 15,197-204.
Sutisna P., 2004, Malaria secara Ringkas, cetakan I, EGC, Penerbit BukuKedokteran, Jakarta.
Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiplasmodium ekstrak daun sungkai (Peronemacanescens) in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding,Universitas Lampung.
Sweetman, S.C., 2009, Martindale : The complete drug reference, 36th edition,598, Pharmaceutical Press, Great Britain.
Tan, R.X. and Zou, W.X., 2001, Endophytes : a rich source of functionalmetabolits, Natural Product Reports, 18, 448-459.
Teoh, K.H., Polichuk, D.R., Reed, D.W., Nowak, G., and Covello, P.S., 2006,Artemisia annua L. (Asteraceae) trichome-specific cDNAs reveal CYP71AV1, a cytochrome P450 with a key role in the biosynthesis ofthe antimalarial sesquiterpene lactone artemisinin, FEBS Letters, 580,1411-1416.
Wagner, H. and Bladt, S., 1996, Plant Drug Analysis : A thin layerchromatography atlas, 2nd edition, 349-364, Springer-Verlag, Berlin.
84
84
Wang, Y., Lo, H., and Wang, P., 2008, Endophytic fungi from Taxus mairei inTaiwan : first report of Colletotrichum gloeosporioides as an endophyteof Taxus mairei, Botanical Studies, 49, 39-43.
Wood, B.R., Langford, S.J., Cooke, B.M., Glenister, F.K., Lim, J., andMcnaughton, D., 2003, Raman imaging of hemozoin within the foodvacuole of Plasmpdium falciparum trophozoites, FEBS Letters, 554, 247-252.
Wu, J., Cheung, P.C.K., Wong, K., and Huang, N., 2004, Studies on submerged
fermentation of Pleurotus tuber-regium (Fr.) Singer. Part 2: effect ofcarbon-to-nitrogen ratio of the culture medium on the content andcomposition of the mycelial dietary fibre, Food Chemistry, 85, 101-105.
Yan, J., Li, L., Wang, Z., and Wu, J., 2010, Structural elucidation of anexopolysaccharide from mycelial fermentation of a Tolypocladium sp.fungus isolated from wild Cordyceps sinensis, Carbohydrate Polymers,79, 125-130.
Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderitamalaria tanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh,Girimulyo Kabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1),13-19.
Zeng, Q., Zeng, X., Yin, L., Yang, R., Feng, L., and Yang, X., 2009,Quantification of three key enzymes involved in artemisinin biogenesisin Artemisia annua by polyclonal antisera-based ELISA, Plant MolecularBiology Reporter, 27, 50-57.
85
Lampiran 1. Surat identifikasi tanaman Artemisia annua L.
86
Lampiran 2. Gambar tanaman Artemisia annua L.
Lampiran 3. Gambar penanaman eksplan dalam media PDAA. Eksplan batang A. annua L.B. Eksplan daun A. annua L.
87
Lampiran 4. Gambar fungi endofit hasil isolasi
88
Lampiran 5. Surat identifikasi fungi E
89
Lampiran 6. Gambar morfologi fungi E secara mikroskopis
90
Lampiran 7. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemfungi A
91
92
93
94
Lampiran 8. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemfungi E
95
96
97
98
Lampiran 9. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemfungi F
99
Lampiran 10. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemklorokuin difosfat
100
101
102
RINGKASAN
ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM
DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.
Oleh :
Purwanto09/291328/PFA/00845
PROGRAM PASCASARJANAFAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA2011
Persetujuan Ringkasan Tesis
ISOLASI DAN IDENTIF'I.KASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM
DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annuaL.
Oleh:
Purwanto09t291328tPFAl0084s
Telah disetujui oleh :
. Wahyono, S.U., Apt.
'. t . t rtL9lr"",(V
Tanggal : t1lt tlI?
Prof. Dr. Mustofa.
2
ABSTRAK
Malaria adalah penyakit yang disebabkan parasit Plasmodium dan banyakmengancam kehidupan manusia. Penyebaran yang cepat dari malaria yangresisten terhadap obat golongan kuinolin mendorong pencarian antimalaria baru.Tanaman Artemisia annua L. yang mengandung metabolit sekunder artemisininsudah sejak lama digunakan sebagai antimalaria. Salah satu sumber senyawabioaktif adalah fungi endofit, fungi yang hidup di dalam jaringan tanaman danmampu menghasilkan metabolit yang sama atau mirip dengan tanaman inangnya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara isolasi fungi endofit dari jaringantanaman A. annua L., fermentasi fungi, ekstraksi media fermentasi maupunmiselia fungi, analisis profil kromatografi dengan KLT, uji aktivitaspenghambatan polimerisasi hem, analisis dengan HPLC dan LC-MS, analisisgolongan senyawa aktif, dan identifikasi fungi.
Dari 6 macam fungi endofit yang berhasil diisolasi, 3 fungi diantaranyadiduga menghasilkan artemisinin secara intraseluler, yaitu fungi A, E, dan F.Fungi E memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem yang tertinggi, yaitudengan nilai IC50 0,499 mg/mL. Hasil analisis dengan HPLC dan LC-MS,menunjukkan bahwa metabolit intraseluler fungi E tersebut bukan artemisininatau turunannya, yaitu dihidroartemisinin, artemether, arteether, atau artesunat.Hasil analisis golongan senyawa menunjukkan bahwa senyawa yang terkandungdi dalam ekstrak miselia fungi E yang termasuk dalam genus Tritirachium sp.tersebut adalah senyawa golongan terpenoid.
Kata kunci : malaria, fungi endofit, fermentasi, artemisinin, polimerisasi hem
3
RINGKASAN
A. LATAR BELAKANG
Malaria adalah salah satu penyakit endemik di negara tropis. Pada
tahun 2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia adalah sekitar
243 juta orang, dan 1 juta diantaranya meninggal dunia (Shio et al., 2010).
Antimalaria sudah tersedia sejak lama, tetapi sampai kini belum ada yang
ideal (Yuliani et al., 2005).
Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali
mengingat adanya penyebaran malaria yang cepat dan luas, terutama malaria
yang resisten terhadap obat golongan kuinolin (Huy et al., 2007). Salah satu
usaha tersebut adalah melalui penelitian terhadap tanaman obat yang secara
tradisional telah digunakan oleh masyarakat untuk mengobati malaria, salah
satunya adalah Artemisia annua L. (Suwandi et al., 2008) yang mengandung
artemisinin. Metabolit ini, termasuk turunannya, sulit untuk disintesis dan
hanya menghasilkan randemen yang rendah (Ferreira, 2004) sehingga
umumnya hanya diisolasi dari tanaman A. annua L.
Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungi endofit. Fungi ini
hidup di dalam jaringan tanaman dan merupakan sumber alam yang melimpah
yang dapat dijadikan sumber penemuan obat baru. Endofit mampu
memproduksi senyawa yang mirip atau sama dengan senyawa yang
diproduksi inangnya (Strobel and Daisy, 2003).
Salah satu mekanisme aksi senyawa antimalaria adalah melalui
penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin. Plasmodium
memetabolisme hemoglobin eritrosit menjadi hem dan asam amino. Hem yang
bersifat toksik bagi Plasmodium tersebut diubah menjadi hemozoin.
Penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin ini telah digunakan
sebagai skrining awal uji aktivitas antiplasmodium (Basilico et al., 1998).
Dalam penelitian ini dicari fungi endofit dari tanaman A. annua L.
yang menghasilkan metabolit sekunder dengan efek sebagai antiplasmodium
melalui mekanisme penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin.
4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah fungi endofit A. annua L. mengandung metabolit sekunder yang
mempunyai efek menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin ?
2. Senyawa golongan apakah yang berefek menghambat polimerisasi hem
tersebut ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Mendapatkan fungi endofit A. annua L. yang menghasilkan metabolit
sekunder yang mampu menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin serta
isolasi senyawa aktif tersebut dan mengetahui golongan senyawa yang
mempunyai aktivitas tersebut.
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tanaman Artemisia annua L.
Artemisia annua L. adalah herba tradisional yang berasal dari Cina
(Bhakuni et al., 2001) serta digunakan kurang lebih 2000 tahun yang lalu
sebagai antimalaria, obat demam, dan pereda gangguan menstruasi
(Ferreira, 2004). Sebagian besar kandungan metabolit sekunder A. annua
L. adalah terpenoid dan flavonoid. Minyak atsiri yang terkandung sebagian
besar terdiri dari monoterpen (Bhakuni et al., 2001). Senyawa seskuiterpen
yang terkandung dalam A. annua L. misalnya artemisinin (arteanuin A),
arteanuin B, artemisiten, dan asam artemisinat (Ferreira and Janick, 2009).
2. Senyawa antiplasmodium dalam tanaman A. annua L.
Artemisinin adalah komponen yang paling banyak menarik
perhatian karena efek antimalarianya dalam menanggulangi P. falciparum
yang telah resisten terhadap klorokuin dan kuinin (Bhakuni et al., 2001).
Mekanisme aksi artemisinin dan turunannya sebagai antimalaria terjadi
melalui banyak mekanisme dan belum bisa dibuktikan secara pasti (Cui
and Su, 2009). Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain :
penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin melalui pembentukan
5
radikal bebas dari lakton seskuiterpen yang akan mengalkilasi hem
membentuk kompleks hem-artemisinin (Muzemil, 2008), penghambatan
proses respirasi pada mitokondria, dan penghambatan transporter ion Ca2+
yang disebut PfATP6, suatu sarco-endoplasmic reticulum calcium-
dependent ATPases (SERCAs) yang hanya terdapat pada P. falciparum
(Cui and Su, 2009).
3. Malaria
Malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus
Plasmodium. Malaria yang menyerang manusia dapat disebabkan oleh P.
malariae, P. vivax, P. falciparum, dan P. oval. Penularan penyakit tersebut
diperantarai oleh nyamuk Anopheles betina (Harijanto, 2000). Agar dapat
hidup sebagai parasit, Plasmodium harus ada dalam tubuh manusia untuk
waktu yang cukup lama dan menghasilkan gametosit jantan dan betina
pada saat yang sesuai untuk penularannya (Harijanto, 2000). Secara garis
besar Plasmodium memiliki 2 siklus hidup, yaitu siklus aseksual yang
terjadi dalam tubuh manusia dan siklus seksual yang terjadi dalam tubuh
nyamuk (Ganiswara, 1995).
4. Mikroba endofit
Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup berkoloni dalam
jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan
inangnya (Radji, 2005). Hampir semua jaringan tanaman mengandung
mikroba endofit (Faeth, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar mikroba endofit adalah fungi (Strobel et al., 2004).
Hubungan antara mikroba endofit dan tumbuhan inang terjadi melalui
infeksi yang tidak menimbulkan gejala penyakit sampai hubungan
simbiosis mutualisme. Mikroba endofit dalam jaringan tanaman
memperoleh nutrisi dan perlindungan dari inang, sebaliknya mikroba
endofit membantu kehidupan inang dengan cara memproduksi metabolit
yang dibutuhkan inang tersebut (Tan and Zou, 2001).
6
E. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan secara eksperimental in vitro. Sebagai
variabel bebas adalah konsentrasi ekstrak etil asetat media fermentasi dan
miselia yang telah disonikasi, variabel tergantung adalah persentase
penghambatan polimerisasi hem, dan sebagai variabel terkendali adalah
media fermentasi, suhu fermentasi, waktu fermentasi, suhu inkubasi, cairan
penyari, jumlah pencucian kristal β- hematin.
F. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN
Daun, bunga, akar, dan batang tanaman A. annua L.; media Potato
Dextrose Agar (PDA) dan M 102b; larutan NaOCl 5,25%, etanol 70%; etil
asetat teknis; etil asetat p.a., toluena (E-Merck), n-heksana p.a. (Sigma Co.),
plate silika gel F254 (E-Merck); klorokuin difosfat (Sigma Co.), hematin, asam
asetat glasial, NaOH, DMSO (E-Merck); asetonitril dan metanol (Sigma. Co.),
akuades, LiChorsper®100 RP-18e (25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); Supelco RP-
18 (25 cm x 2,0 mm i.d., 5µm).
Alat yang digunakan adalah : Autoclave (Sakura, Tokyo), mesin shaker
(Thermolyne), ultrasonikator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q dan Ultrasons P
Selecta), sentrifugator (Universal 32 R), inkubator (Lab Line), Elisa reader
(Bio-Rad Benchmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) dengan detektor UV,
LC-MS (Hitachi L 6200) dengan sistem ESI Positive Ion Mode.
G. CARA PENELITIAN
1. Tahap pertama adalah isolasi fungi endofit dari tanaman A. annua L.
dalam media PDA, fermentasi dalam media M 102b, dan ekstraksi media
fermentasi dan miselia fungi yang telah disonikasi dengan etil asetat.
2. Kedua adalah uji profil KLT terhadap kedua ekstrak tersebut dengan
pembanding artemisinin.
3. Tahap ketiga adalah pengujian aktivitas penghambatan polimerisasi hem
dengan metode Basilico et al. (1998) yang dimodifikasi, yaitu masalah
7
kadar larutan hematin dan kadar sampel uji yang digunakan dan perbedaan
dalam hal kecepatan dan waktu pencucian kristal β-hematin.
4. Ekstrak yang paling aktif dalam menghambat polimerisasi hem dianalisis
senyawa aktifnya dengan HPLC dan LC-MS.
5. Analisis golongan senyawa dalam ekstrak aktif dengan KLT.
6. Analisis profil pertumbuhan fungi dan identifikasi fungi.
H. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Isolasi fungi endofit dari A. annua L..
Media yang dipakai untuk menumbuhkan fungi endofit A. annua L.
adalah media PDA karena media ini tidak cocok untuk pertumbuhan
bakteri dan fungi patogen pada manusia sehingga mengurangi
kemungkinan adanya kontaminasi (Strobel et al., 2001). Eksplan dari
tanaman A. annua L. diambil pada saat umur tanaman 6 bulan karena pada
saat itu kandungan metabolit sekundernya sudah optimal sehingga
diharapkan fungi endofit yang berada di dalamnya sudah mengalami
rekombinasi genetik dan juga mampu menghasilkan metabolit sekunder
sama dengan tanaman inangnya, yaitu artemisinin. Dari penanaman
eksplan yang dilakukan, diperoleh 6 fungi endofit, yaitu fungi endofit dari
batang sebanyak 1 fungi (fungi A) dan fungi endofit dari daun sebanyak 5
fungi (fungi B, C, D, E, dan F).
2. Dari hasil analisis profil KLT, media fermentasi tidak mengandung
artemisinin, sedangkan analisis terhadap miselia fungi yang telah
disonikasi menunjukkan bahwa fungi A, E, dan F; diduga mengandung
metabolit artemisinin/turunannya karena mempunyai bercak dengan nilai
Rf yang sama dengan Rf standar artemisinin.
3. Hasil uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem, diperoleh nilai IC50
untuk fungi A adalah 14,359 mg/mL; fungi E 0,499 mg/mL; fungi F tidak
mempunyai aktivitas penghambatan polimerisasi hem; dan kontrol positif
klorokuin difosfat 2,320 mg/mL.
8
4. Hasil analisis dengan HPLC terhadap fungi E, menunjukkan bahwa fungi
tersebut tidak menghasilkan artemisinin secara intraseluler. Hal ini terbukti
tidak ada puncak dengan waktu retensi yang sama dengan waktu retensi
artemisinin standar. Hasil uji dengan LC-MS juga menunjukkan bahwa
fungi tersebut tidak menghasilkan artemisinin atau turunannya.
Kesimpulan ini didapatkan dari hasil analisis m/z spektra massa dengan
kemungkinan m/z fragmen artemisinin dan turunannya setelah dianalisis
dengan sistem ESI positive ion mode.
5. Hasil analisis golongan senyawa dalam ekstrak miselia fungi E tersebut
menunjukkan hasil yang negatif terhadap golongan flavonoid, kumarin,
alkaloid, dan fenolik. Pereaksi semprot yang menunjukkan hasil positif
muncul warna pada bercak adalah anisaldehid H2SO4, vanilin H2SO4, dan
SbCl3. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat dalam ekstrak
tersebut adalah golongan terpenoid. Hal ini sesuai dengan Basilico et al.
(1998), bahwa senyawa yang mampu menghambat polimerisasi hem,
adalah senyawa fenolik atau terpenoid.
6. Hasil analisis profil pertumbuhan fungi E menunjukkan bahwa fungi E
dalam media M 102b tidak mempunyai fase lag, tetapi langsung memasuki
fase log. Fase stasioner dicapai setelah 6 hari fermentasi dalam media
tersebut. Hasil analisis morfologi fungi secara mikroskopis, fungi E
termasuk fungi dengan genus Tritirachium sp.
I. KESIMPULAN
1. Fungi endofit yang berhasil diisolasi dari herba tanaman A. annua L.
menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menghambat polimerisasi
hem secara intraseluler.
2. Metabolit intraseluler fungi E mengandung senyawa golongan terpenoid.
9
J. SARAN
1. Perlu dilakukan uji antiplasmodium bagi metabolit intraseluler fungi E
dengan P. falciparum secara in vitro.
2. Perlu dilakukan elusidasi struktur terhadap senyawa aktif yang terdapat
dalam metabolit intraseluler fungi E yang mempunyai aktivitas
menghambat polimerisasi hem.
K. DAFTAR PUSTAKA
Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, Amicrotitre-based method for measuring the haem polymerizationinhibitory activity (HPIA) of antimalarial drugs, Journal of AntimicrobialChemotherapy, 42, 55-60.
Bhakuni, R.S., Jain, D.C., Sharma, R.P., and Kumar, S., 2001, Secondarymetabolites of Artemisia annua and their biological activity, CurrentScience, 80 (1), 35-48.
Cui, L. and Su, X., 2009, Discovery, mechanisms of action and combinationtherapy of artemisinin, Expert Review of Anti Infective Therapy, 7 (8),999-1013.
Faeth, S.H., 2002, Are endophytic fungi defensive plant mutualist?, Oikos, 98, 25-36.
Ferreira, J. and Janick, J., 2009, Annual Wormwood (Artemisia annua L.),www.hort.purdue.edu/newcrop/cropfactsheets/artemisia.pdf, diaksestanggal 18 Maret 2010.
Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.
Ganiswara, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 545-547, BagianFarmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.
Harijanto, J.R.S., 2000, Malaria, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinisdan penanganan, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
10
Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T., Oida, T.,Harada, S., and Kamei, K., 2007, Alcohols induce beta-hematinformation via the dissociation of aggregated hem and reduction ininterfacial tension of the solution, Acta Tropica, 101, 130–138.
Radji, M., 2005, Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembanganobat herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3), 113-126.
Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innateinflammatory response to the malarial pigment hemozoin, Microbes andInfection, doi: 10.1016/j.micinf.2010.07.001.
Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes andtheir natural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67(4), 491-502.
Strobel, G., Daisy, B., Castillo, U., and Harper, J., 2004, Natural products fromendophytic microorganisms, Journal of Natural Products, 67, 257-268.
Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiPlasmodium ekstrak daun sungkai (Peronemacanescens) in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding,Universitas Lampung.
Tan, R.X. and Zou, W.X., 2001, Endophytes : a rich source of functionalmetabolits, Natural Product Reports, 18, 448-459.
Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderitamalaria tanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh,Girimulyo Kabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1), 13-19.
SUMMARY
ISOLATION AND IDENTIFICATIONTHE HAEM POLYMERIZATION INHIBITOR COMPOUND
FROM ENDOPHYTIC FUNGUS OF Artemisia annua L. PLANT.
By :
Purwanto09/291328/PFA/00845
GRADUATE PROGRAMFACULTY OF PHARMACY
UNIVERSITAS GADJAH MADA2011
Persetujuan Ringkasan Tesis dalam Bahasa Inggris
ISOLATION AND IDENTIF'ICATIONTHE HAEM POLYMERIZATION INHIBITOR COMPOUND
FROM ENDOPI{YTIC FUNGUS OF Artemisia annua L. PLANT
Oleh:
Purwanto09t291328tPFA/00845
Telah disetuiui oleh:
Pembim
Prof. . Wahyono, S.U., Apt, Prof. Dr. Mustofa,
T l: l9i r t)'| (t ranggal ' LUllr"
bing Pendamping
2
ABSTRACT
Malaria is a life-threatening disease caused by Plasmodium parasites. Therapid spread of malaria-quinoline resistance enforce a finding of new antimalariadrug. Artemisia annua L plant that had artemisinin as secondary metabolic, hadbeen used as antimalaria agent for long time ago. One source of bioactivecompound is endophytic fungus. This fungus can produce the same or similar toits host plant.
This research was done by isolation endophytic fungus, fermentation,extraction of fermentation medium and fungus miselium, analysis chromatogramwith KLT, analysis of the haem polymerization inhibitory activity, analysis withHPLC and LC-MS, analysis of active compound group, and fungus identification.
From 6 kind of fungus isolated from A. annua L., 3 kind of those fungus(fungus A, E, and F) was guessed could produce intracellular artemisinin. FungusE had the highest value of the haem polymerization inhibitory activity with IC50
0,499 mg/mL. However, the analysis result of HPLC and LC-MS showed thatfungus E did not contain artemisinin or its derivates, such dihydroartemisinin,arthemether, artheether, or artesunate. The result analysis of active compoundgroup showed that fungus E miselium was consisted of terpenoid groupcompound, and this fungus was included in genus Tritirachium sp.
Key words : malaria, endophytic fungus, fermentation, artemisinin, the haempolymerization
3
SUMMARY
A. BACKGROUND
Malaria is one of common diseases in a tropical country. In 2008 has
been reported that there were an estimated 243 million cases of malaria, with
nearly one million deaths (Shio et al., 2010). Antimalaria has been known for
long time ago, but there hasn’t been an ideal drug until this time (Yuliani et al.,
2005).
Now, an effective new antimalaria need to be found because there
were the rapid spread of resistance quinolone Plasmodium (Huy et al., 2007).
One struggle of that case was done by a research of drug plant that has been
used traditionally as antimalaria, such as Artemisia annua L. (Suwandi et al.,
2008). Artemisinin and its derivatives, an A. annua L. metabolites, were
difficult to be an synthetic compound and only has a low randemen (Ferreira,
2004) so that it commonly was isolated from A. annua L.
One source of bioactive compound is endophytic fungus. This fungus
lives in the plant tissue and can act as a source of new drug. Furthermore,
endophytes can produce similar or same compound with their host (Strobel
and Daisy, 2003).
One of mechanism of antimalarial drug is done by inhibiting haem
polymerization to hemozoin. Plasmodium metabolize erithrocitic haemoglobin
to free haem and amino acid. This free haem is toxic and converted to
hemozoin. Inhibition of the haem polymerization to hemozoin have been used
for primary screening antiplasmodium compound (Basilico et al., 1998).
This research look for an endophytic fungus from A. annua L.
producing secondary metabolite as antiplasmodium that has mechanism
inhibition of the haem polymerization.
4
B. PROBLEM STATEMENT
1. Does endophytic fungus of A. annua L. contain secondary metabolite that
has the haem polymerization inhibitory activity?
2. What is class of the compound that has the haem polymerization inhibitory
activity?
C. OBJECTIVE OF RESEARCH
To get endophytic fungus producing secondary metabolite that has the
haem polymerization inhibitory activity to hemozoin, isolation of this active
compound and know, what class of that active compound is.
D. THEORITICAL BASIS
1. Artemisia annua L. plant
Artemisia annua L. is a traditional herbal from China (Bhakuni et
al., 2001) and has been used to cure malaria, fever, and to decrease
menstruation sindrome for 2000 years ago (Ferreira, 2004). Most of
secondary metabolite of A. annua L. are terpenoid dan flavonoid. Most of
essential oil in this plant are monoterpene (Bhakuni et al., 2001). Thus,
sesquiterpenes compound contained in A. annua L. are artemisinin
(arteanuin A), arteanuin B, artemisiten, dan artemisinic acid (Ferreira and
Janick, 2009).
2. Antiplasmodium compounds in A. annua L. plant
Artemisinin is the most interesting compound because of its
antimalarial activity against P. falciparum that have been resistant to
chloroquine and quinine (Bhakuni et al., 2001). The mechanism action of
artemisinin and its derivatives as antimalarial occur through many
mechanisms and can not be proved certainty (Cui and Su, 2009). These
mechanisms include: inhibition of polymerization hem into hemozoin via
free radical formation from the lactone sesquiterpenes which will alkylate
hem form a complex hem-artemisinin (Muzemil, 2008), inhibition of the
process of respiration in mitochondria, and inhibition of transporter ion
5
Ca2+ called PfATP6, a Sarco-endoplasmic reticulum calcium-dependent
ATPases (SERCAs) present only in P. falciparum (Cui and Su, 2009).
3. Malaria
Malaria is an infection caused by protozoa of the genus
Plasmodium. Malaria that infect humans can be caused by P. malariae, P.
vivax, P. falciparum, and P. oval. Transmission of the disease is mediated
by the female Anopheles mosquito (Harijanto, 2000). To be able to live as
a parasite, Plasmodium must exist in the human body for a long time and
produces male and female gametocytes at the time that is suitable for
transmission (Harijanto, 2000). Plasmodium has 2 kind of life cycles,
namely asexual cycle that occurs in the human body and the sexual cycle
that occurs in the mosquito's body (Ganiswara, 1995).
4. Endophytic microbe
Endophytic microbes are microbes that live in colonies in plant
tissues without causing disease symptoms on host plants (Radji, 2005).
Almost all plant tissues contain endophytic microbes (Faeth, 2002). The
results showed that most microbes are endophytic fungi (Strobel et al.,
2004). The relationship between endophytic microbes and host plants
occurs through infection that does not cause symptoms until the disease
symbiotic relationship mutualism. Endophytic microbes in plant tissue
obtain nutrients and protection from the host, whereas endophytic
microbes help the host's life by producing the required host metabolites
(Tan and Zou, 2001).
E. RESEARCH DESIGN
This research will be done experimentally in vitro. As an independent
variable is the concentration of ethyl acetate extracts of fermentation media
and mycelia that have been sonicated, dependent variable is the percentage
inhibition of the haem polymerization, and as the controlled variable is the
fermentation medium, fermentation temperature, fermentation time,
6
incubation temperature, liquid extractor, the number of β-hematin crystals
washing .
F. MATERIALS AND RESEARH EQUIPMENT
Leaves, flower, root, and stem of A. annua L.; Potato Dextrose Agar
(PDA) dan M 102b medium; solution of NaOCl 5,25%, solution of ethanol
70%; ethyl acetate technical; ethyl acetate p.a., toluene (E-Merck), n-hexane
p.a. (Sigma Co.), silica gel F254 plate (E-Merck); chloroquine diphosphate
(Sigma Co.), hematin, glacial acetic acid, NaOH, DMSO (E-Merck);
acetonitrile and methanol (Sigma. Co.), aquades, LiChorsper®100 RP-18e
(25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); Supelco RP-18 (25 cm x 2,0 mm i.d., 5µm).
Equipment that is used : Autoclave (Sakura, Tokyo), shaker machine
(Thermolyne), ultrasonicator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q and Ultrasons P
Selecta), centrifugator (Universal 32 R), incubator (Lab Line), Elisa reader
(Bio-Rad Benchmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) with UV detector, LC-
MS (Hitachi L 6200) with ESI Positive Ion Mode system.
G. RESEARCH PROCEDURE
1. The first stage was isolation of endophytic fungus from A. annua L. in
PDA medium, fermentation in M 102b medium, and extraction of
fermentation medium and fungal mycelia which has been sonicated with
ethyl acetate.
2. The second was analysis of TLC profile of both extract with artemisinin
comparison.
3. The third stage was analysis of haem polymerization inhibitory activity
with modified Basilico et al. (1998) methode, about concentration of
hematin solution and sample and the difference in speed and time of β-
hematin crystals washing.
4. Analyzed the most active extracts that inhibit the haem polymerization by
HPLC and LC-MS.
7
5. Analyzed of classes of compounds in the active extracts by TLC.
6. Analysis of fungal growth profile and identification of fungus.
H. RESULT AND DISCUSSION
1. Isolation of endophytic fungus of A. annua L.
Media used to grow the endophytic fungus of A. annua L. was
PDA medium because this medium was not suitable for the growth of
bacteria and fungal pathogens in humans, thereby reducing the possibility
of contamination (Strobel et al., 2001). Explants of A. annua L. was taken
when the plant was 6 months because at that time were optimal secondary
metabolites so hopefully endophytic fungus residing in it have suffered
genetic recombination and also capable of producing secondary
metabolites similar to its host plant, namely artemisinin. There were 6
endophytic fungus obtained in this research, 1 fungus (fungus A) from
stem and 5 endophytics fungus from leaves (fungus, B, C, D, E, and F).
2. From the results of TLC profile analysis, fermentation medium did not
contain artemisinin, whereas analysis of mycelial fungus have shown that
fungus A, E, and F sonicated; suspected to contain metabolites of
artemisinin or its derivatives because they have the spots with the same Rf
value Rf artemisinin standard.
3. From the results of haem polymerization inhibitory activity assay, IC50
values obtained for fungus A was 14,359 mg/mL; fungus E 0,499 mg/mL;
fungus F did not have the haem polymerization inhibitory activity, and
positive controls chloroquine diphosphate 2,320 mg/mL.
4. The results of fungus E analysis by HPLC, indicated that these fungi did
not produce intracellular artemisinin. It was proved that there was no peak
with the same retention time with retention time of artemisinin. Test
results with LC-MS also showed that these fungus did not produce
artemisinin or its derivatives. This conclusion was obtained from analysis
of m/z mass spectra with the possibility of m/z fragment of artemisinin and
its derivatives after the system was analyzed by positive ion ESI mode.
8
5. The result analysis of class of compounds in the extracts of fungal mycelia
E showed a negative result on the class of flavonoids, coumarins, alkaloids,
and phenolic. Spray reagent which showed positive results/color appear on
the spot was anisaldehid H2SO4, vanillin H2SO4, and SbCl3. This indicated
that the compound contained in the extract are the terpenoids. This was in
accordance with Basilico et al. (1998), that compounds capable of
inhibiting polymerization hem, were a phenolic or terpenoid compounds.
6. The result of fungal growth profile analysis showed that the fungal E in M
102b medium did not have the lag phase, but directly enter the log phase.
Stationary phase was reached after 6 days of fermentation in these medium.
Morphological analysis results in a microscopic fungus, the genus of
fungus E was Tritirachium genus sp.
I. CONCLUSION
1. Endophytic fungus isolated from A. annua L. plant produced intracellular
secondary metabolites which can inhibit the polymerization hem.
2. These intracellular fungal metabolite compound contains terpenoids.
J. ADVICE
1. Antiplasmodial test needs to be done for fungus E intracellular metabolite
by P. falciparum in vitro.
2. Necessary structure elucidation of active compounds contained in the
fungus E intracellular metabolite, which has the haem polymerization
inhibitory activity.
9
K. REFERENCES
Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, Amicrotitre-based method for measuring the haem polymerizationinhibitory activity (HPIA) of antimalarial drugs, Journal of AntimicrobialChemotherapy, 42, 55-60.
Bhakuni, R.S., Jain, D.C., Sharma, R.P., and Kumar, S., 2001, Secondarymetabolites of Artemisia annua and their biological activity, CurrentScience, 80 (1), 35-48.
Cui, L. and Su, X., 2009, Discovery, mechanisms of action and combinationtherapy of artemisinin, Expert Review of Anti Infective Therapy, 7 (8),999-1013.
Faeth, S.H., 2002, Are endophytic fungi defensive plant mutualist?, Oikos, 98, 25-36.
Ferreira, J. and Janick, J., 2009, Annual Wormwood (Artemisia annua L.),www.hort.purdue.edu/newcrop/cropfactsheets/artemisia.pdf, diaksestanggal 18 Maret 2010.
Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.
Ganiswara, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 545-547, BagianFarmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.
Harijanto, J.R.S., 2000, Malaria, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinisdan penanganan, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T., Oida, T.,Harada, S., and Kamei, K., 2007, Alcohols induce beta-hematinformation via the dissociation of aggregated hem and reduction ininterfacial tension of the solution, Acta Tropica, 101, 130–138.
Radji, M., 2005, Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembanganobat herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3), 113-126.
Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innateinflammatory response to the malarial pigment hemozoin, Microbes andInfection, doi: 10.1016/j.micinf.2010.07.001.
10
Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes andtheir natural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67(4), 491-502.
Strobel, G., Daisy, B., Castillo, U., and Harper, J., 2004, Natural products fromendophytic microorganisms, Journal of Natural Products, 67, 257-268.
Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiPlasmodium ekstrak daun sungkai (Peronemacanescens) in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding,Universitas Lampung.
Tan, R.X. and Zou, W.X., 2001, Endophytes : a rich source of functionalmetabolits, Natural Product Reports, 18, 448-459.
Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderitamalaria tanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh,Girimulyo Kabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1), 13-19.
NASKAH PUBLIKASI
ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM
DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.
Program Studi Ilmu FarmasiMagister Farmasi Sains dan Teknologi
Oleh :
Purwanto09/291328/PFA/00845
KepadaPROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU FARMASIFAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2011
NASKAH PUBLIKASI
ISOLASI DAN IDENTIFIKASISEI.{YAWA PENGIIAMBAT POLIMBRISASI HEM
DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annuaL.
Oleh:
Purwanto
0912913281PFA/00845
Telah disetujui oleh :
Pembimbing Utama
. Wahyono, S.U., Apt.
anggaT: Irll , \((?
mbing Pendamping
Prof. Dr. Mustofa, M.
Tanggal: ,r{U,t
1
ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM
DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.
ISOLATION AND IDENTIFICATIONTHE HAEM POLYMERIZATION INHIBITOR COMPOUND
FROM ENDOPHYTIC FUNGUS OF Artemisia annua L. PLANT
Purwanto1), Wahyono1), Mustofa2)
1) Fakultas Farmasi UGM2) Fakultas Kedokteran UGM
INTISARIMalaria adalah penyakit yang disebabkan parasit Plasmodium dan banyak
mengancam kehidupan manusia. Penyebaran yang cepat dari malaria yang resistenterhadap obat golongan kuinolin mendorong pencarian antimalaria baru. TanamanArtemisia annua L. yang mengandung metabolit sekunder artemisinin sudah sejak lamadigunakan sebagai antimalaria. Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungiendofit, fungi yang hidup di dalam jaringan tanaman dan mampu menghasilkanmetabolit yang sama atau mirip dengan tanaman inangnya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara isolasi fungi endofit dari jaringan tanamanA. annua L., fermentasi fungi, ekstraksi media fermentasi maupun miselia fungi,analisis profil kromatografi dengan KLT, uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem,analisis dengan HPLC dan LC-MS, analisis golongan senyawa aktif, dan identifikasifungi.
Dari 6 macam fungi endofit yang berhasil diisolasi, 3 fungi diantaranya didugamenghasilkan artemisinin secara intraseluler, yaitu fungi A, E, dan F. Fungi E memilikiaktivitas penghambatan polimerisasi hem yang tertinggi, yaitu dengan nilai IC50 0,499mg/mL. Hasil analisis dengan HPLC dan LC-MS, menunjukkan bahwa metabolitintraseluler fungi E tersebut bukan artemisinin atau turunannya, yaitudihidroartemisinin, artemether, arteether, atau artesunat. Hasil analisis golongansenyawa menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung di dalam ekstrak miselia fungiE yang termasuk dalam genus Tritirachium sp. tersebut adalah senyawa golonganterpenoid.
Kata kunci : malaria, fungi endofit, fermentasi, artemisinin, polimerisasi hem
ABSTRACTMalaria is a life-threatening disease caused by Plasmodium parasites. The rapid
spread of malaria-quinoline resistance enforce a finding of new antimalaria drug.Artemisia annua L plant that had artemisinin as secondary metabolic, had been used asantimalaria agent for long time ago. One source of bioactive compound is endophyticfungus. This fungus can produce the same or similar metabolite to its host plant.
This research was done by isolation endophytic fungus, fermentation, extractionof fermentation medium and fungus miselium, analysis chromatogram with KLT,
2
analysis of the haem polymerization inhibitory activity, analysis with HPLC and LC-MS, analysis of active compound group, and fungus identification.
From 6 kind of fungus isolated from A. annua L., 3 kind of those fungus (fungusA, E, and F) was guessed could produce intracellular artemisinin. Fungus E had thehighest value of the haem polymerization inhibitory activity with IC50 0,499 mg/mL.However, the analysis result of HPLC and LC-MS showed that fungus E did notproduce artemisinin or its derivates, such dihydroartemisinin, arthemether, artheether,or artesunate. The result analysis of active compound group showed that fungus Emiselium was consisted of terpenoid group compound, and this fungus was included ingenus Tritirachium sp.
Key words : malaria, endophytic fungus, fermentation, artemisinin, the haempolymerization------------------------------------------------------------Korespondensi : PurwantoAlamat : Fakultas Farmasi UGMEmail : [email protected]
PENDAHULUAN
Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun 2008
dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia adalah sekitar 243 juta orang, dan 1
juta diantaranya meninggal dunia (Shio et al., 2010). Antimalaria sudah tersedia sejak
lama, tetapi sampai kini belum ada yang ideal, yaitu efektif terhadap semua jenis dan
stadium parasit, cara pemakaiannya mudah, harga terjangkau, efek samping ringan,
serta toksisitas rendah (Yuliani et al., 2005).
Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali mengingat
adanya penyebaran malaria yang cepat dan luas, terutama malaria yang resisten
terhadap obat golongan kuinolin (Huy et al., 2007). Salah satu usaha tersebut adalah
melalui penelitian terhadap tanaman obat yang secara tradisional telah digunakan oleh
masyarakat untuk mengobati malaria, salah satunya adalah Artemisia annua L.
(Suwandi et al., 2008) yang mengandung artemisinin. Metabolit ini, termasuk
turunannya, sulit untuk disintesis dan hanya menghasilkan randemen yang rendah
(Ferreira, 2004) sehingga umumnya hanya diisolasi dari tanaman A. annua L.
Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungi endofit. Fungi ini hidup di dalam
jaringan tanaman dan merupakan sumber alam yang melimpah yang dapat dijadikan
sumber penemuan obat baru. Endofit mampu memproduksi senyawa yang mirip atau
sama dengan senyawa yang diproduksi inangnya (Strobel and Daisy, 2003).
3
Salah satu mekanisme aksi senyawa antimalaria adalah melalui penghambatan
polimerisasi hem menjadi hemozoin. Plasmodium memetabolisme hemoglobin eritrosit
menjadi hem dan asam amino. Hem yang bersifat toksik bagi Plasmodium tersebut
diubah menjadi hemozoin. Penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin ini telah
digunakan sebagai skrining awal uji aktivitas antiplasmodium (Basilico et al., 1998).
Dalam penelitian ini dicari fungi endofit dari tanaman A. annua L. yang
menghasilkan metabolit sekunder dengan efek sebagai antiplasmodium melalui
mekanisme penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin.
METODOLOGI
Bahan dan Alat Penelitian
Daun, bunga, akar, dan batang tanaman A. annua L. yang berumur 6 bulan; media
Potato Dextrose Agar (PDA) dan M 102b; larutan NaOCl 5,25%, etanol 70%; etil asetat
teknis; etil asetat p.a., toluena (E-Merck), n-heksana p.a. (Sigma Co.), plate silika gel
F254 (E-Merck); klorokuin difosfat (Sigma Co.), hematin, asam asetat glasial, NaOH,
DMSO (E-Merck); asetonitril dan metanol (Sigma. Co.), akuades, LiChorsper®100
RP-18e (25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); Supelco RP-18 (25 cm x 2,0 mm i.d., 5µm).
Alat yang digunakan adalah : Autoclave (Sakura, Tokyo), mesin shaker
(Thermolyne), ultrasonikator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q dan Ultrasons P Selecta),
sentrifugator (Universal 32 R), inkubator (Lab Line), Elisa reader (Bio-Rad
Benchmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) dengan detektor UV, LC-MS (Hitachi L
6200) dengan sistem ESI Positive Ion Mode.
Jalannya Penelitian
Bagian tanaman A. annua L. yang telah didesinfeksi ditanam pada media PDA
pada suhu ruangan. Fungi yang diperoleh diisolasi dan difermentasi dengan media M
102b selama 18 hari pada suhu kamar dan diuji secara bioassay-guided fractionation.
Lakukan ekstraksi dengan etil asetat terhadap media fermentasi dan miselia fungi yang
telah disonikasi selama 30 menit. Amati profil KLT kedua ekstrak etil asetat tersebut
dengan fase gerak n-heksana : etil asetat (7:3) dan fase diam plate silika gel F254.
Uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem dilakukan secara in vitro
berdasarkan metode Basilico et al. (1998). Buat sampel dalam larutan DMSO 10%
dengan kadar 5,00; 2,50; 1,25; 0,63; dan 0,31 mg/ml. Tambahkan 100 µL larutan
4
hematin 1 mM dalam NaOH 0,2 M dengan 50µL sampel. Untuk memulai reaksi
polimerisasi, tambahkan 50 µL asam asetat glasial. Inkubasi selama 24 jam pada suhu
37oC. Pisahkan endapan β-hematin yang terbentuk dengan centrifuge berkecepatan
8000 rpm selama 10 menit. Cuci endapan dari sisa hematin dengan 200 µL DMSO.
Larutkan kristal β-hematin dengan larutan NaOH 0,1 M. Sebanyak 100 µL larutan
tersebut masukkan ke dalam microplate 96 well, kemudian baca nilai OD pada λ 405
nm dengan Elisa reader. Hitung kadar β-hematin setiap perlakukan dengan
diinterpolasikan ke dalam baku larutan hematin.
Ekstrak etil asetat yang paling besar nilai penghambatannya terhadap polimerisasi
hem dianalisis lebih kandungan senyawa aktifnya dengan HPLC fase gerak asetonitril :
akuades : metanol (5:3:2); fase diam LiChorsper®100 RP-18e; kecepatan fase gerak 1
mL/menit pada suhu ruangan dan sistem isokratik, dan detektor yang digunakan adalah
detektor UV 215 nm (Lapkin et al., 2009). Analisis juga dengan LC-MS dengan
metanol : akuades (9:1); fase diam kolom Supelco RP-18 (25 cm, 5µm, ID 2 mm),
kecepatan alir fase gerak 1 mL/menit, detektor massa dengan sistem ESI positive ion
mode. Sistem elusi yang digunakan adalah isokratik dan suhu ruangan. Identifikasi
golongan senyawa dalam ekstrak aktif secara KLT dengan fase gerak A, etil asetat :
metanol : air (100:13,5:10) dan fase gerak B, toluena : etil asetat (93:7) dengan berbagai
macam pereaksi semprot penampak bercak (Wagner and Bladt, 1996). Lakukan
identifikasi morfologi fungi secara makroskopis.
Analisis Data
Persentase penghambatan polimerisasi hem dihitung dengan membandingkan β-
hematin yang terbentuk pada perlakuan dengan kontrol. Data ditampilkan dalam bentuk
tabel yang menghubungkan antara dosis senyawa uji dengan persentase penghambatan.
Aktivitas penghambatan polimerisasi hem dinyatakan dalam IC50 dan dilanjutkan
dengan uji Anava.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi fungi endofit dari A. annua L.
Media yang dipakai untuk menumbuhkan fungi endofit A. annua L. adalah media
PDA karena media ini tidak cocok untuk pertumbuhan bakteri dan fungi patogen pada
manusia sehingga mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi (Strobel et al., 2001).
5
Eksplan dari tanaman A. annua L. diambil pada saat umur tanaman 6 bulan karena pada
saat itu kandungan metabolit sekundernya sudah optimal sehingga diharapkan fungi
endofit yang berada di dalamnya sudah mengalami rekombinasi genetik dan juga
mampu menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman inangnya, yaitu
artemisinin. Dari penanaman eksplan yang dilakukan, diperoleh 6 fungi endofit, yaitu
fungi endofit dari batang sebanyak 1 fungi (fungi A) dan fungi endofit dari daun
sebanyak 5 fungi (fungi B, C, D, E, dan F).
Fermentasi fungi endofit
Selama proses fermentasi, media digojok selama 24 jam agar konsentrasi nutrisi
dalam media dapat dipertahankan homogenitasnya. Media yang digunakan untuk
inokulum adalah sama dengan media yang digunakan untuk produksi, yaitu M 102b
guna meminimalkan fase adaptasi (fase lag) akibat perbedaan media pertumbuhan.
Volume inokulum yang optimal dibandingkan volume media produksi adalah 3-10%.
Pada volume inokulum ini diharapkan dapat meminimalkan fase lag dan
memaksimalkan pertumbuhan biomassa (Stanbury et al., 1995).
Bioassay-guided fractionation
Proses fermentasi dilakukan terhadap fungi A, B, C, D, E, dan F. Sebelum
ekstraksi, sel-sel miselia fungi dipecah dahulu dengan sonikasi pada frekuensi 20 kHz
selama 30 menit. Gelombang ultrasonik menghasilkan gelombang kejut dan radikal
bebas reaktif (radikal hidroksil dan hidrogen peroksida). Akibatnya adalah sel menjadi
pecah dan terjadi inaktivasi struktur mikrobia. Material sel akan pecah dan masuk ke
dalam medium penyarinya. Metode ini sederhana dan tidak menghasilkan produk toksik
yang dapat membahayakan sampel (Naddeo et al., 2007).
Hasil analisis profil KLT ekstrak etil asetat
Pada Gambar 1 terlihat bahwa ekstrak etil asetat media fermentasi fungi A, B, C,
D, E, dan F tidak menunjukkan bercak yang mempunyai nilai Rf sama dengan
artemisinin. Dari Gambar 1 dapat disimpulkan bahwa metabolit artemisinin atau
turunannya tidak diekskresikan secara ekstraseluler.
6
1a 1b
Gambar 1. Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102bsetelah disemprot anisaldehid asam sulfat
1a) di bawah sinar tampak; 1b) di bawah UV 366 nm.Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;
5) Fungi D; 6) Fungi E; 7) Fungi F; 8) Media M 102 b; dan9) Ekstrak etanolik 95% herba A. annua L.
Sementara itu, profil KLT ekstrak miselia fungi yang telah disonikasi (Gambar 2)
menunjukkan bahwa pada fungi A, E, dan F terdapat bercak dengan nilai Rf yang mirip
dengan Rf artemisinin, yaitu 0,60. Warna bercak-bercak tersebut berbeda dengan
artemisinin, yaitu coklat tua, sedangkan artemisinin mempunyai warna coklat tua
kekuningan. Perbedaan warna ini dimungkinkan karena dalam bercak sampel tersebut
berisi lebih dari satu macam senyawa, atau mungkin merupakan senyawa yang berbeda
dengan artemisinin, tetapi mempunyai tingkat kepolaran yang sama dengan artemisinin.
2a 2b
Gambar 2. Profil KLT ekstrak etil asetat miselia fungisetelah disemprot anisaldehid asam sulfat.
2a) di bawah sinar tampak; 2b) di bawah UV 366 nm.Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;
5) Fungi D; 6) Fungi E; dan 7) Fungi F
Hasil uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem
Semakin banyak kristal β-hematin yang terbentuk, warna larutan (setelah kristal β-
hematin dilarutkan kembali dalam larutan NaOH 0,1 M) akan semakin pekat sehingga
nilai OD juga semakin besar. Dengan kata lain, senyawa uji yang mampu menghambat
polimerisasi hematin ini akan mengurangi kristal β-hematin yang terbentuk, sehingga
7
semakin aktif senyawa uji, warna larutan akan semakin tidak berwarna, nilai OD akan
semakin kecil. Data pengukuran nilai IC50 tertera pada Tabel I.
Tabel 1. Pengaruh ekstrak miselia fungi terhadap aktivitaspenghambatan polimerisasi hem
Bahan ujiKonsentrasi
(mg/mL)
Rerata kadarhemozoin
(mM) + SD
Rerata persenpenghambatan
+ SD
IC50
(mg/mL)
5,00 47,77 + 15,43 54,34 + 14,742,50 82,02 + 15,90 21,61 + 15,191,25 63,18 + 11,24 39,61 + 10,740,63 59,08 + 6,96 43,54 + 6,65
Fungi A
0,31 77,97 + 8,34 25,48+ 7,97
14,359
5,00 8,30 + 2,41 92,06 + 2,312,50 17,87 + 3,04 82,92 + 2,901,25 33,14 + 8,94 68,33 + 8,540,63 36,61 + 4,71 65,01 + 4,50
Fungi E
0,31 69,61+ 6,83 33,47 + 6,53
0,499
5,00 57,77 + 1,89 44,78 + 1,802,50 67,68 + 4,10 35,32 + 3,921,25 131,88 + 2,63 -26,04 + 2,510,63 139,71 + 15,61 -33,52 + 14,92
Fungi F
0,31 137,82 + 11,92 -31,72 + 11,40
-
5,00 51,49 + 1,01 50,79 + 0,972,50 37,10 + 5,49 64,54 + 5,251,25 63,33 + 11,82 39,47 + 11,300,63 69,37 + 7,76 33,70 + 7,41
Klorokuin
0,31 76,81 + 12,25 26,59 + 11,71
2,320
Akuades 104,63 + 0,22 0,00 + 0,00DMSO 10% 103,91 + 0,93 0,00 + 0,00
Titik isoelektrik hematin adalah pada pH 5, seperti halnya kondisi pH dalam
vakuola digestif Plasmodium. Untuk mencapai keadaan tersebut digunakan aasm asetat
sebagai pengatur tingkat keasaman pada reaksi polimerisasi hematin menjadi hemozoin
(Guetzoyan et al., 2009). Dalam penelitian ini digunakan DMSO karena tidak
menimbulkan busa selama proses dan merupakan larutan pencuci yang siap digunakan.
Walaupun mekanisme kerja suatu antiplasmodium tidak hanya melalui penghambatan
polimerisasi hem, tetapi aktivitas penghambatan polimerisasi hem adalah metode yang
mudah dan cukup akurat untuk mengetahui efek sebagai antimalaria. Aktivitas
penghambatan polimerisasi hem merupakan kerja dari satu atau dua mekanisme, yaitu :
1) terjadi interaksi antara senyawa terpenoid, fenol dan sterol dengan sistem elektronik
8
hem, 2) ekstrak tersebut terdiri dari senyawa yang memiliki gugus hidroksil yang dapat
berikatan dengan ion besi hem (Basilico, et al., 1998).
Menurut Baelsman et al. (2000), senyawa yang mempunyai nilai IC50
penghambatan polimerisasi hem yang lebih kecil dari nilai IC50 kloroquinsulfat, yaitu
37,5 mM (12 mg/mL), senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki aktivitas
penghambatan polimerisasi hem. Berdasarkan data tersebut, ekstrak miselia fungi A dan
E memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem, sedangkan untuk ekstrak miselia
fungi F tidak memiliki aktivitas tersebut.
Hasil analisis ekstrak aktif dengan HPLC
Hasil analisis ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC menunjukkan
bahwa di dalam ekstrak tersebut tidak mengandung artemisinin. Hal ini terlihat pada
Gambar 3 dan 4, tidak ada puncak dengan nilai waktu retensi yang sama dengan waktu
retensi artemisinin, yaitu sekitar 2,748 menit.
Gambar 3. Hasil elusi ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC
Gambar 4. Hasil adisi artemisinin terhadap ekstrak etil asetat miselia fungi E
Hasil analisis dengan Liquid Chromatography - Mass Spectrometer (LC-MS)
Salah satu metode ionisasi dalam spektrometer massa adalah electrospray (ESI).
Pengionan positif akan membuat analit menjadi terprotonasi atau menjadi kation,
sedangkan pengionan negatif akan membuat analit menjadi anion. Kation-kation yang
9
sering terbentuk dalam metode ESI adalah ion pseudomolekul hasil adisi antara analit
dengan proton (H)+. Oleh karena itu, nilai m/z dalam spektra akan sering bernilai
(M+H)+ atau (2M+H)+, dengan M adalah bobot molekul analit (Kazakevich and
Lobrutto, 2007). Dari hasil protonasi dan fragmentasi artemisinin dan turunannya, maka
kemungkinan nilai m/z yang terbentuk adalah seperti pada Tabel II.
Tabel II. Kemungkinan nilai m/z yang terbentuk pada analisis artemisinin danturunannya dengan ESI pengionan positif,dengan m/z H = 1,01; C = 12,01; dan O = 15,99
Nilai m/z ionpseudomolekul
Nilai m/z hasilfragmentasi ke-No. Senyawa Nilai M
M + H+ 2M + H+ 1 21. Artemisinin 282,3 283,3 565,6 219,2 -2. Dihidroartemsinin 284,3 285,3 569,6 221,3 163,33. Artemether 298,4 299,4 597,8 221,3 163,34. Arteether 312,4 313,4 625,8 221,3 163,35. Artesunat 384,4 385,4 769,8 221,3 163,3
Hasil spektra ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan LC-MS metode ESI terlihat pada
Gambar 5 dan 6.
99.0 319.2 539.4 759.6 979.8 1200.0
Mass (m/z)
0
207.7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%In
ten
sit
y
Mariner Spec /132:135 (T /6.50:6.65) -111:124 (T-6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)[BP= 279.3,208]
279.31
295.29
280.31
296.30 557.02335.19
411.10 619.81 707.56510.96163.47 261.32 936.20839.84 1028.80
Gambar 5. Spektra ekstrak miselia fungi E dalam rentang m/z 100 sampai m/z 1200
235.0 351.6 468.2 584.8 701.4 818.0
Mass (m/z)
0
1000.9
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%In
tensit
y
Mariner Spec /132:135 (T/6.50:6.65) -111:124 (T-6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)=>CT[BP= 279.3,1001]
279.31
295.29
319.25280.31557.02
395.16335.19296.30558.00320.21 393.14 634.07255.33 474.36 707.56511.86 750.88
Gambar 6. Spektra ekstrak miselia fungi E dalam rentang m/z 235 sampai m/z 818
10
Dari Gambar 5 dan 6, tidak terlihat adanya nilai m/z artemisinin dan turunannya,
baik dalam bentuk (M+H)+, (2M+H)+, ataupun hasil fragmentasinya. Pada Gambar 5,
terdapat puncak dengan m/z 163,47; tetapi puncak ini bukan puncak dari hasil
fragmentasi kedua dari turunan artemisinin karena selain puncak dengan m/z tersebut
tidak dijumpai puncak dengan m/z 221,3 sebagai produk fragmentasi pertama, ataupun
m/z dari ion pseudomolekul dari (M+H)+. Puncak dengan m/z 163,47 tersebut
kemungkinan adalah ion pseudomolekul atau hasil fragmentasi molekul lain
Hasil elusi tersebut tertera pada pada Gambar 7 sampai 12.
7a 7b 8 9
10a 10b 11 12
Gambar hasil elusi KLT7a) tanpa disemprot, pada UV 254 nm; 7b) tanpa disemprot, pada UV 366 nm; 8)disemprot larutan FeCl3, pada sinar tampak, standar eugenol; 9) disemprot reagenDragendorff, pada sinar tampak, standar piperin; 10a) disemprot larutan anisaldehidasam sulfat, pada sinar tampak; 10b) disemprot larutan anisaldehid asam sulfat, padasinar UV 366 nm, standar timol; 11) disemprot larutan vanilin asam sulfat, pada sinartampak, standar eugenol; 12) dicelup larutan SbCl3, pada sinar tampak, standar1 : saponin, standar 2 : eugenol.
Dalam tiap plate, bercak sebelah kiri adalah hasil elusi standar, sedangkan bercak
sebelah kanan adalah hasil elusi sampel. Hasil elusi dengan fase gerak A menghasilkan
pola elusi yang tidak baik karena bercak sampel hampir selalu terikut dengan ujung fase
gerak berada, sehingga hanya elusi dengan fase gerak B saja yang dianalisis
4
6
8
2
4
6
8
2
1 2
11
Pada Gambar 7a, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,90. Senyawa yang mampu
memadamkan florosensi plate silika ini mempunyai struktur ikatan rangkap
terkonjugasi. Pada Gambar 7b, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,53. Kemungkinan
bercak tersebut adalah senyawa golongan antraglikosida, kumarin, flavonoid, atau asam
orto hidroksi karboksilat (Wagner and Bladt, 1996).
Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3 (Gambar 8) menunjukkan bahwa di
dalam sampel tidak terdapat senyawa yang mempunyai gugus fenolik. Hal ini terbukti
dengan tidak ditemukannya bercak hasil elusi sampel yang berwarna ungu kecoklatan
sebagai hasil reaksi antara ion feri dengan gugus hidroksi fenolik. Pereaksi Dragendorff
adalah pereaksi yang khas untuk senyawa golongan alkaloid dengan membentuk warna
merah-jingga. Tidak terdapatnya bercak dengan warna merah-jingga pada hasil elusi
sampel (Gambar 9) menandakan bahwa sampel tidak mengandung senyawa golongan
alkaloid.
Pereaksi anisaldehid asam sulfat adalah pereaksi yang tidak khas untuk golongan
senyawa tertentu. Hampir semua senyawa bisa bereaksi dan membentuk warna dengan
pereaksi ini. Pada Gambar 10a, terlihat adanya bercak dengan warna merah tua pada
hasil elusi sampel. Menurut Wagner and Bladt (1996), anisaldehid asam sulfat dengan
senyawa golongan minyak atsiri akan memberikan warna merah, coklat, atau biru; dan
akan terelusi dengan baik dalam sistem fase gerak B, sedang sistem fase gerak A akan
menghasilkan bercak dengan nilai Rf yang mendekati 1 (satu).
Pada Gambar 11, setelah perlakuan semprot dengan vanilin asam sulfat, pada elusi
sampel terdapat bercak merah keunguan pada nilai Rf 0,36. Menurut Wagner and Bladt
(1996), bercak tersebut kemungkinan adalah senyawa golongan terpenoid. Sementara
itu, setelah perlakuan dengan reagen SbCl3, pada hasil elusi sampel (Gambar 12)
terdapat bercak dengan warna coklat kekuningan. Reagen ini spesifik terhadap senyawa
golongan terpenoid, terutama saponin.
Dari data-data KLT di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa senyawa yang
terdapat dalam ekstrak etil asetat miselia fungi F adalah senyawa golongan terpenoid.
Hal ini sesuai dengan Basilico et al. (1998) yang menyatakan bahwa senyawa yang
mempunyai aktivitas penghambatan polimerisasi hem diantaranya adalah senyawa
golongan terpenoid dengan cara berikatan dengan sistem elektronik hem.
12
Hasil analisis profil pertumbuhan fungi
Kurva pertumbuhan fungi E
0
50
100
150
200
250
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 16 17 18 19 20
Hari ke-
Mas
sake
rin
gfu
ngi
(mg)
Gambar 13. Kurva pertumbuhan fungi E
Dari Gambar 13 terlihat bahwa fungi E tidak mempunyai fase adaptasi tetapi
langsung memasuki fase pertumbuhan eksponensial. Hal ini menunjukkan bahwa media
yang digunakan untuk fermentasi fungi E sudah sesuai dengan karakter pertumbuhan
fungi sehingga tidak memerlukan fase adaptasi terlebih dahulu. Fungi E memasuki fase
stasioner sekitar hari ke-10 fermentasi.
Hasil identifikasi fungi
Identifikasi fungi E dilakukan dengan cara pengamatan morfologi secara
mikroskopis di Laboratorium Gizi dan Pangan, Pusat Antar Universitas, UGM.
Morfologi fungi E yang teramati selanjutnya dibandingkan dengan data base morfologi
fungi. Dari hasil identifikasi tersebut, didapatkan bahwa fungi E termasuk ke dalam
fungi dengan genus Tritirachium sp.
KESIMPULAN
Fungi endofit yang berhasil diisolasi dari herba tanaman A. annua L.
menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menghambat polimerisasi hem secara
intraseluler. Metabolit intraseluler fungi E tersebut mengandung senyawa golongan
terpenoid.
13
DAFTAR PUSTAKA
Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, A microtitre-based method for measuring the haem polymerization inhibitory activity(HPIA) of antimalarial drugs, Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 42, 55-60.
Baelsmans, R., Deharo, E., Munoz, V., Sauvain, M., and Ginsburg, H., 2000,Experimental conditions for testing the inhibitory activity of chloroquine on theformation of β-hematin, Experimental Parasitology., 42, 55-60.
Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.
Guetzoyan, L., Yu, X., Ramiandrasoa, F., Pethe, S., Rogier, C., Pradines, B., Cresteil,T., Perrée-Fauvet, M., dan Mahy, J., 2009, Antimalarial acridines: Synthesis, invitro activity against P. falciparum and interaction with hematin, Bioorganic &Medicinal Chemistry, 17, 8032-8039.
Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T., Oida, T.,Harada, S., and Kamei, K., 2007, Alcohols induce beta-hematin formation viathe dissociation of aggregated hem and reduction in interfacial tension of thesolution, Acta Tropica, 101, 130–138.
Kazakevich, Y. and Lobrutto, R., 2007, HPLC for Pharmaceutical Scientist, 282, 288,289, 299, 304-306, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.
Naddeo, V., Belgiorno, V., dan Napoli, R.M.A., 2007, Behavior of natural organicmater during ultrasonic irradiation, Desalination, 210, 175-182.
Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innate inflammatoryresponse to the malarial pigment hemozoin, Microbes and Infection, doi:10.1016/j.micinf.2010.07.001.
Stanburry, P. F., Whitaker A., and Hall, S.J., 1995, Principle of FermentationTechnology, 2nd edition, 1-5, 147-149, Elsevier Science Ltd.
Strobel, G.A., Dirkse, E., Sears, J., and Markworth, C., 2001, Volatile antimicrobialsfrom Muscodor albus, a novel endophytic fungus, Microbiology, 147, 2943-2950.
Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes and theirnatural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67 (4), 491-502.
14
Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiPlasmodium ekstrak daun sungkai (Peronema canescens)in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding, UniversitasLampung.
Wagner, H. and Bladt, S., 1996, Plant Drug Analysis : A thin layer chromatographyatlas, 2nd edition, 349-364, Springer-Verlag, Berlin.
Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderita malariatanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh, GirimulyoKabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1), 13-19.