Transcript
Page 1: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

Wacana Tarekat di Sumatera Barat : antara Tradisionalisme dan Modernisme

Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kehidupan masyarakatnya

tidak bisa di pisahkan dari Islam. Bagi masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, “ menjadi orang

minang, berarti menjadi Muslim”. Jika ada orang Minangkabau yang tidak memeluk islam, atau

keluar dari agama islam, berarti secara sosial mereka di kucilkan. Dengan demikian dari waktu

kewaktu masyarakat berusaha menyesuaikan adat dan tradisi kemasyarakatannya dengan Islam.

Penyesuaian nilai islam dengan adat dikalangan masyarakat minangkabau ini telah dimulai

sejak orang minangkabau ini tampaknya telah dimulai sejak orang minangkabau menerima Islam

sebagai agamanya, yakni sejak berdirinya kerajaan pagaruyuang. Penyesuaian adat di kalangan

masyarakat Minangkabau ini terjadi secara bertahap, ketika Islam mulai masuk ke wilayah pesisir

(rantau) kedaerah pedalaman (darek). Sering juga di sebut dengan istilah, Syarak Mandaki, Adat

Manurun.

Perkembangan berikutnya, keterikatan masyarakat minangkabau dengan islam semakin

mengakar, khususnya setelah muncul gerakan Paderi dan terjadi kata sepakat atau perjanjian antara

tokoh adat dan tokoh agama di “ Bukit Marapalam” pada abad ke 19. maka lahirlah kesepakatan

“Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.

Masyarakat minangkabau meyakini bahwa adat dengan sendirinya mengandung nilai-nilai

hukum alam (sunatullah) dan tidak bertentangan dengan agama. Masyarakat minangkabau yakin

bahwa dalam sistemsosial kemasyarakatan mereka, islam dan adat terintegrasi dengan baik. Harus di

akui bahwa hubungan islam dan adat minagkabau memang sangat kompleks. Seperti yang di

kemukakan Taufik Abdullah, kalaupun terjadi konflik antara islam dan adat, hal itu tidak dipandang

sebagai bentuk ketegangan antara dua “pandangan dunia” (world view). Melainkan satu kesatuaan

dalam sistem yang secara keseluruhan.

Wacana tentang adat dan islam di minangkabau umumnya menyangkut pembahasan tentang

hubungan sistem kekeluargaan yang berdasarkan adat yang bersifat matrilineal dengan sistem

kekeluargaan islam yang lebih memperlihatkan sifat patrilineal. Topik ini juga telah menarik

perhatian sejumlah sarjana yang terpesona dengan sikap masyarakat minangkabau yang teguh islam,

di satu sisi tetap mempertahankan sistem kekeluargaannya yang berdasarkan adat itu di sisi lain.

Kendati menekankan peran perempuan di tengah-tengah sistem matrilineal di minangkabau, ini

disebut dengan “ Tradisi integrasi dalam proses islamisasi di dunia melayu”

1

Page 2: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

Kemudian yang berkaitan dengan tradisi keagamaan masyarakat minangkau adalah

munculnya fenomena Islam Tradisionalis( kaum tua) dengan Islam Modernis ( kaum muda).

Kelompok islam Tradisionalis atau kaum tua, biasanya merujuk pada mereka yang dalam praktek-

praktek keagamaannya mendasarkan pada berbagai tarekat. Di Sumatera Barat sendiri, tarekat yang

paling awal berkembang dan kemudian sangat mengakar pada sebagian masyarakat adalah tarekat

Syattariyah yang dibawa oleh Syaikh Burhanudin Ulakan (1646-1699), salah seorang murid ulama

Aceh terkemuka, Syaikh Abdurrauf (1615-1693). Untuk sekian lama, tarekat Syattariyah merupakan

satu-satunya representasi dari islam Tradisional di Sumatera Barat, sebelum akhirnya muncul tarekat

Naqshbandiyah pada sekitar tahun 1850. Selain itu juga berkembang juga tarekat lainnya, seperti

Sammaniyah. Sammaniyah sesungguhnya tidak terlalu berkembang di sumatera barat. Tarekat ini

hanya berkembnag di dua daerah saja, yakni di Padang Bubus Bonjo, Pasaman, dan daerah 50 koto,

itu pun banyak bercampur dengan tarekat Naqsabandiyah. Diantara corak keberagaman yang khas

dari kalangan Islam Tradisionalis adalah untuk bergabung dengan organisasi tarekat dengan

mengembangkan Islam Sufistik ( Tasawuf).

Jenis Tasawuf yang banyak berkembang di Sumatera Barat, berasal dari Aceh, yakni Tasawuf

Amali yang menekankan perpaduan pada ajaran Tasawuf dengan aspek-aspek syariat dalam islam.

Bahkan penekanannya cendrung menguat. Selain ritual tarekat, karakteristik keberagaman kau

tradisional adalah kesetiaannya untuk mengikuti berbagai Imam Mazhabnya. Seperti mazhab Safi’I

misalnya. Bagi kalangan Islam Tradisionalis, apa yang dituis dalam Mazhab, kebenaranya yang harus

diterima, dan harus di jadikan sebagai pedoman dalam beragama selain Al-qur’am dam hadis nabi.

Selain itu kalangan tradisionalis juga dikenal dengan kelompok yang mengikat diri secara ketatdengan

kekuasaan adat.

Kelompok islam modernis, atau kaum mudadi sumatera barat adalah mereka yang dalam

berbagai paham dipengaruhi oleh pemikiran kaum pembaharuan mesir, seperti Muhammad Abduh

dan rasyid Ridla.gelombang pemikiran yang bercorak modernis ini mulai muncul di sumatera barat

pada sekitar abad ke-19 terutama ketika tahun 1803, tiga haji terkemuka di minangkabau, yakni haji

Miskin, Haji Piyobang, dan haji Sumanik, kembali dari Mekkah dan menyebarkan Pahan

pembaharuaan di bidang keagamaan. Gerakan ketiga haji tersebut juga kemudian di iikuti oleh

generasi Ulama Minangkabau berikutnya pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20,

seperti Shaikh Muhammad Djamil Jambek, Haji Abdullah Ahmad, dan Haji Abdulla Ahmad dan Haji

Abdul Karim Amrullah.

Berbeda dengan Faham keagamaan tradisionalis, para ulama yang terlibat dalam gerakan

pembaharuan Islam ini berpandangan bahwa hanya Al-qur’an dan Hadist nabi yang shahih saja lah

2

Page 3: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

yang mempunyai otoritas kebenaran Mutlakdan karenanyadapat dijadikan sebagai pedoman Umat

Islam dalam melaksanakan praktik-praktik keagamaannya.

Mereka juga mengganggap bahwa tidak ada ulama, termasuk para ulama Mazhab sekalipun

yang luput dari kekeliruan dan oleh karenanya pandangan keagamaan tidak dapat di ikuti secara

mutlak. Apalagi, Tuhan Telah menganugerahkan akal kepada manusia untuk berijtihad setiap saat.

Sebagai konsekuensi perbedaan faham keagamaan antara kaum modernis dan kaum

tradisionalis ini, makagesekan pun tidak dapat di hindar, kendati secara umum, pergesekan ini

sesungguhnya tidak beranjak dari persoaalan keagamaan yang sifatnya Furu’iyyah belaka, sejak awal

memang perdebatan, dimanapun islam berkembang.

Dalam konteks Sumatera Barat, ketegangan yang dihadapi oleh kaum islam Tradisionalis

sesungguhnya lebih kompleks lagi, karena mereka tidak hanya menerima “serangan” dari kaum

Modernis, melainkan pada saat yaang sama jugajuga dihadapkan pada pertentangan anta sesama

kelompok islam tradisionalis itu sendiri, yakni antara penganut tarekat Syattariyah dan tarekat

Naqsabandiyah. Tarekat Naqsabandiyah menuduh para penganut tarekat syattariyah sebagai sesat

(heretic), karena mengajarkan doktrin Martabattujuh dan whadatal wujud( kesatuan yang wujud). Hal

ini yang menjadi latar belakang munculnya kecendrungan para pengikut syattariyah di Sumatera Barat

untuk melucuti Wahdat al-Wujud keseluruhan ajarannya. Selain itu perdebatan juga terjadi berkaitan

dengan perbedaan penetapan awal dan akhir Puasa Ramadhan.

Demikian lah pertentangan agama baik antara penganut tarekat Syattarriyah dengan Tarekat

Naqsabandiyah, maupun antara kalangan modernis di Sumatera Barat, pernah menciptakan krisis

sosial yang berkepanjangan di Alam Minangkabau.

Analisis dengan Pendekatan Antropologi Agama

Kehidupan manusia di muka bumi ini tak terlepas dari yang namanya kehidupan Beragama.

Tidak ada Masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan

sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama

dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian

yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat

tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang

politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai

salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan

realitas sosial yang lebih lengkap.

3

Page 4: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

Agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa

keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik

keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian

disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat

sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja di Minangkabau, yang

Mengaitkan agama dan adat dengan pepatah-petitih “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabbullah”

dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya

dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original.

Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri

yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Hal ini berarti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan

praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini

tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa

dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi

manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek

ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka

dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat

menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat

lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz

misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam

menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang

agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat

dipengaruhi oleh lingkungan budaya.

Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan

dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan

agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan

tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi

kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan

penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan

makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk

memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat

memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen

antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu

4

Page 5: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish

Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama

Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol

akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan

utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan

yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam

kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog

menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka

sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense

mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun

dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di

luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.

Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama

sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam

penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting

bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan

agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha

untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian

tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan

lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas

kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari

keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi

sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan

memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran

sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah

banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal

1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia

khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri

dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan

analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik.

5

Page 6: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz

telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya.

Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka

berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan

trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh

terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz

tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada

orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga

kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah

kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang

berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam

birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda.

Antropologi melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masyarakat dalam

tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat

agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi,

dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya

sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan. Kepentingan untuk melihat agama dalam

masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang

belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai

posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat

tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya

lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama

dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem

demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai.

Bagi ilmu sosial, hal utama yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi,

globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog

antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan

alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar"

untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya

"pengetahuan lokal" di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga

menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan

dunia, menjadi sangat penting.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat

relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk

6

Page 7: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada

pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat

diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk

membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus

mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama

yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka

pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan

masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai

system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial

manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa

manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat

sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan

sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-

simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan.

Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya

menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari

makna (meaning).

Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem

makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi

manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone,

karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka."

Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian

mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang

realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah

membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas

kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat

keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah

masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-

culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan

pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog

dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi

sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

7

Page 8: Tarekat Dan Tradisi Keagamaan Di Sumatera Barat

Daftar Pustaka:

Faturrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. 2008. Prenada Media Grup. Jakarta

www.Google.search=antropologi+agama+sebuah pendekatan.hml, diunggah 10 Mei 2012

8


Top Related