Download - Tanggapan atas tokoh yang ucapkan natal
19/12/13 Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal | Islam Will Dominate
www.globalmuslim.web.id/2013/12/tanggapan-atas-tokoh-yang-ucapkan-natal.html 1/5
Posted by Hisyam Ad dien GM, Kajian Umum Online 8:37 AM
Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal
Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman
Pertama: Keharaman Merayakan Hari Raya kaum Kafir dan Mengucapkan Selamat “Hari Raya”
Kaum Muslim haram mengikuti Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) merayakan Hari Natal atau hari raya mereka, serta
mengucapkan ucapan “Selamat Natal”, karena ini merupakan bagian dari kegiatan khas keagamaan mereka, atau
syiar agama mereka yang batil. Kita pun dilarang meniru mereka dalam hari raya mereka.
Keharaman itu dinyatakan dalam al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Pertama, dalam al-Qur’an, Allah SWT
berfirman:
[والذین ال یشھدون الزور وإذا مروا باللغو مروا كراما [الفرقان:72
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikankemaksiatan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan
dirinya.” (Q.s. al-Furqan [25]: 72)
Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “az-Zûr (kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik .
Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ar-Rabî’ bin Anas, al-Qâdhî Abû Ya’lâ dan ad-Dhahâk.” Ibn Sirîn
berkomentar, “az-Zûr adalah Sya’ânain. Sedangkan Sya’ânain adalah hari raya kaum Kristen. Mereka
menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka merayakannya dengan membawa
pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis.”[1]
19/12/13 Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal | Islam Will Dominate
www.globalmuslim.web.id/2013/12/tanggapan-atas-tokoh-yang-ucapkan-natal.html 2/5
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, jika Allah memuji orang-orang yang tidak menyaksikanaz-
Zur (Hari Raya kaum Kafir), padahal hanya sekedar hadir dengan melihat atau mendengar, lalu bagaimana dengan
tindakan lebih dari itu, yaitu merayakannya. Bukan sekedar menyaksikan.
Kedua, mengenai as-Sunnah, dalil yang menyatakan keharamannya adalah hadits Anas bin Malik ra, yang
menyatakan:
قدم رسول هللا [صلم] المدینة ولھم یومان یلعبون فیھما، فقال: ما ھذا الیومان؟ قالوا: كنا نلعب فیھما في الجاھلیة، فقال رسول هللا[صلم]: إن هللا قد أبدلكم بھما
[خیرا منھما: یوم األضحى ویوم الفطر [رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم
“Rasulullah saw. tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka
sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak
zaman Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti
keduanya dengan hari yang lebih baik : Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad
dan an-Nasa’i dengan syarat Muslim)
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa kedua hari raya Jahiliyyah tersebut tidak diakui oleh
Rasulullah saw. Nabi juga tidak membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka.
Sebaliknya, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih
baik .” Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti” mengharuskan kita untuk meninggalkan apa yang telah
diganti. Karena tidak mungkin antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan sabda Nabi
saw,“Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang
disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Ketiga, tindakan ‘Umar dengan syarat yang ditetapkannya kepada Ahli Dzimmah telah disepakati oleh para sahabat,
dan para fuqaha’ setelahnya, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh medemonstrasikan hari raya mereka di wilayah Islam.
Para sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan hari raya mereka saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum
Muslim melakukannya, maka tentu tidak boleh lagi.
‘Umar pun berpesan:
.[إیاكم ورطانة األعاجم، وأن تدخلوا على المشركین یوم عیدھم في كنائسھم فإن السخطة تتنزل علیھم [رواه أبو البیھقیإسناد صحیح
“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuk i (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari
raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.”(Hr. al-Baihaqi
dengan Isnad yang Shahih)
Ibn Taimiyyah berkomentar, “Umar melarang belajar bahasa mereka, dan sekedar memasuk i gereja mereka pada
Hari Raya mereka. Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka? Atau mengerjakan apa yang menjadi
tuntutan agama mereka. Bukankah melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukanlah merayakan hari
raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam hari raya mereka? Jika murka Allah
akan diturunkan kepada mereka pada hari raya mereka, ak ibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat
bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagian ak tivitas tersebut pasti mengundang adzab tersebut.”[2]
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, Juz I/161.
Beliau menyatakan, para ulama’ sepakat tentang keharaman mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka,
tidak ada perselisihan pendapat.
Kedua: Mereka yang Membolehkan
Dr. Quraisy Shihab menyatakan, memberikan ucapan selamat Natal sudah diajarkandalam al-Qur’an, seperti
tertuang dalam surah Maryam ayat 34.
19/12/13 Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal | Islam Will Dominate
www.globalmuslim.web.id/2013/12/tanggapan-atas-tokoh-yang-ucapkan-natal.html 3/5
“Itu tentang Isa putera Maryam, yang merupakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang
kebenarannya.” (Q.s. Maryam [19]: 34)
Ayat ini sama sekali tidak membahas tentang hukum kebolehan mengucapkan “Selamat Natal”. Menurut al-Qurthubi,
ayat ini menjelaskan tentang siapa Nabi ‘Isa –‘alaihissalam. Dia adalah putra Maryam, tidak seperti yang dituduhkan
orang Yahudi, sebagai putra Yûsuf an-Najjâr, atau seperti klaim orang Kristen, bahwa dia adalah Tuhan (anak), atau
putra Tuhan.[3]
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, bahwa merayakan hari rayaagama adalah hak masing-masing agama,selama
tidak merugikan agamalain. Termasuk hak tiap agama untuk memberikan ucapan selamat saatperayaan agama lain.
Dia mengatakan, “Sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarangkami untuk untuk memberikan ucapan
selamat kepada non-Muslim warga negarakami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka.
Bahkanperbuatan ini termasuk dalam kategori al-birr (perbuatan yangbaik).
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.”(Q.s. al-Mumtahanah: 8)
Kebolehan memberikan mengucapkan selamat ini terutama bila pemeluk agama lain itujuga telah memberikan
ucapan selamat kepada kita dalam perayaan hari rayakita:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala
sesuatu.” (Q.s. an-Nisa’: 86)
Begitu, kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Padahal, Q.s. al-Mumtahanah: 8 di atas, khususnya frasa “Tabarrûhum wa
tuqsithû ilaihim”(berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka) tidak ada kaitannya dengan mengucapkan “Selamat
Hari Raya” kepada kaum Kafir yang tidak memerangi kita. Karena bersikap baik dan adil kepada mereka dalam hal
ini terkait dengan mu’amalah, bukan ibadah.Sedangkan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka bagian
dari ibadah. Konteks ayat ini terkait dengan Bani Khuza’ah, dimana mereka menandatangani perjanjian damai
dengan Nabi untuk tidak memerangi dan menolong siapapun untuk mengalahkan baginda saw, maka Allah
perintahkan kepada baginda saw untuk berbuat baik, dan menepati janji kepada mereka hingga berakhirnya waktu
perjanjian.[4] Jadi, konteks “berbuat baik” di sini sama sekali tidak ada kaitannya dengan “Selamat Hari Raya”
kepada mereka, yang merupakan bagian dari “berbuat baik”.
Demikian juga dengan Q.s. an-Nisa’: 86. Ayat ini menjelaskan tentang tahiyyah (ucapan salam) yang disampaikan
kepada orang Mukmin. Tahiyyah juga bisa berarti doa agar diberi kehidupan. Menurut at-Thabari, “Jika kalian
didoakan orang agar diberi panjang umur, maka diperintahkan untuk mendoakannya dengan doa yang
sama.”[5]Namun, menurut al-Qurthubi, tahiyyah di sini bisa berarti ucapan salam. Jadi, “Jika kalian diberi salam,
maka jawablah salamnya dengan lebih baik.” Hanya, menurut al-Qurthubi, balasan lebih baik ini dikhususkan kepada
orang Islam, jika mereka yang mengucapkan salam. Jika yang mengucapkan salam orang Kafir, termasuk Ahli
Dzimmah, maka tidak boleh membalas salam mereka, kecuali dengan jawaban yang diajarkan oleh Nabi, “Wa
‘alaikum.” [6]
Jadi, menggunakan ayat ini untuk membolehkan kaum Muslim mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum
Kafir jelas tidak tepat. Bahkan, bertentangan dengan sejumlah dalil, baik al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’
Sahabat. Meski begitu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi secara tegas mengatakan, bahwa tidak
halal bagi seorang Muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan khas agama
lain.
19/12/13 Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal | Islam Will Dominate
www.globalmuslim.web.id/2013/12/tanggapan-atas-tokoh-yang-ucapkan-natal.html 4/5
Adapun Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secarategas melarang seorang muslim
mengucapkan selamat kepada orang Kafir.Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah
berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini
tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut
jenazah tersebut.
Menurut beliau, ucapan “Selamat Hari Raya” kepada para pemeluk Kristiani yang sedang merayakan hari besar
mereka, juga tidakterkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkanhanya bagian
darimujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang Muslimkepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda
agama.Dia juga memfatwakan, bahwa karena ucapan selamat inidibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal
itu seperti membuatkartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapannatalnya.
Namun dia juga menyatakan, bahwa ucapan selamat ini harus dibedakan
dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan
menghadiri perayaan natal yang digelar di berbagai tempat.Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain
hukumnya haram dantermasuk perbuatan mungkar.
Mengenai berdiri atau duduknya Nabi ketika jenazah Yahudi lewat, sebenarnya bukan dalil khusus, tetapi ini
merupakan tindakan yang dilakukan Nabi secara umum terhadap jenazah, baik Muslim maupun non-Muslim. Karena
dalam riwayat al-Hasan maupun Ibn ‘Abbas dinyatakan, bahwa Nabi terdakang berdiri dan terkadang duduk, saat ada
jenazah melintas di hadapan baginda saw. Ini juga tidak ada kaitannya dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya”
kepada mereka. Karena konteksnya jelas-jelas berbeda.
Tentang pembuatan kartu Natal atau pernak-pernik Natal jelas haram, karena ini menyangkut madaniyyah
khâshash yang terkait dengan peradaban lain, di luar Islam, yang nota bene adalah Kufur. Karena itu, hukum
membuat, menjual, memanfaatkan dan mengambil harga dan keuntungan darinya juga haram.
Mengenai pernyataan Menteri agama yang menyatakan, bahwa ini hanyalah masalah mu’amalah, juga merupakan
pernyataan yang tidak cermat. Karena tidak memilah mana yang ibadah dan mu’amalah. Merayakan Natal Bersama
adalah bagian dari ibadah, yang haram dilakukan oleh kaum Muslim. Bahkan bisa menjerumuskannya dalam
kemurtadan. Sedangkan memberi ucapan “Selamat Hari Raya” bagian dari mu’amalah yang haram dilakukan oleh
kaum Muslim kepada non-Muslim, apapun alasannya. Apakah untuk mujamalah(basa-basi), yangnota bene adalah
sikap nifaq, maupun tasamuh (toleransi).
Pernyataan yang juga menggelikan adalah pernyataan MUI, yang menyatakan boleh menghadiri, asal serimonialnya
bukan ritualnya. Pernyataan seperti ini juga batil, yang sama sekali tidak ada dalilnya. Sebab, siapapun yang
menelaah dalil-dalil yang dikemukakan di atas, pasti paham, bahwa jangankan untuk menghadiri seremoninya,
karena melihatnya saja jelas-jelas tidak boleh.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan:
1- Hukum mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya” bagi orang non-Muslim dalam hari raya mereka
jelas haram. Dalam hal ini, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
2- Hukum mengikuti ritual maupun seremoni hari raya orang non-Muslim juga haram, tidak ada perbedaan pendapat
di kalangan ulama’.
3- Membuat kartu atau pernak-pernik natal atau hari raya agama lain juga diharamkan, karena ini
menyangkutmadaniyyah khashahyang bertentangan dengan Islam.
4- Dalil-dalil yang menyatakan keharamannya juga jelas, baik dalam al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat.
Sedangkan dalil-dalil yang digunakan untuk menyatakan kebolehannya sama sekali tidak ada kaitannya, baik
langsung maupun tidak. Karena itu, tidak layak dijadikan hujah dalam masalah ini.
19/12/13 Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal | Islam Will Dominate
www.globalmuslim.web.id/2013/12/tanggapan-atas-tokoh-yang-ucapkan-natal.html 5/5
Wallahu a’lam.
Biodata Penulis
Nama : Hafidz Abdurrahman
TTL : Lamongan, 10 Juli 1971
Pendidikan
Alumnus Ponpes Darul Ulum, Widang, Tuban, Jawa Timur (1989)
Sarjana Bahasa Arab, IKIP Malang, Jawa Timur (1994)
Magister Akidah dan Pemikiran Islam, Univesity of Malaya, Malaysia (2001)
Organisasi
Anggota Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama’ (1986);
Anggota Himpunan Mahasiswa Muslim (1989);
Bendahara Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab, IKIP Malang (1990-1991);
Ketua Umum BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1991-1992);
Ketua DPO BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1992-1993);
Ketua Dewan Syura BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1993-1994);
Ketua Pusat Komunikasi Pusat LDK se-Indonesia (1991-1992);
Ketua Umum DPP HTI (2004-2009);
Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI (2009-sekarang)
Buku
1. Diskursus Islam Politik dan Spiritual, (1998);
2. Metode Praktis Belajar Bahasa Arab,(2003);
3. Metode Belajar Ulumul Qur’an Praktis,(2004);
4. Ushul Fiqih: Membangun Paradigma Berfik ir Tasyri’i,(2004);
5. Koreksi atas Kesalahan Pemik iran Kalam dan Filsafat Islam,(2003);
6. Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Hutang: Membedah APBN 2005-2010 Versus APBN Khilafah, (2010);
7. Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam: Kritik Atas Sistem Ekonomi Kapitalisme hingga Sosialisme Marxisme,
(2010);
8. Buku Pintar Bisnis Syar’i: Rancangan Undang-Undang Perdagangan Negara Khilafah, (2011).
Di samping itu, penulis menerjemahkan belasan kitab adopsi Hizbut Tahrir, tafsir, sirah, ushul fiqh dan menulis
ratusan artikel di berbagai media massa nasional.[www.globalmuslim.web.id]
[1] Lihat, Ibn Taimiyyah,Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537; Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Juz I/488.
[2] Lihat, Ibn Taimiyyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/515.
[3] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XI/105.
[4] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XVIII/59.
[5] Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari, Juz V/119.
[6] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz V/297.