Download - Tafsir Fiqhy
Tugas Makalah
Mata Kuliah : Manahij at-Tafsir
Dosen : Prof. Dr. H. Abd Muin Salim, MA.
TAFSIR FIQHY
Oleh:
M. ZULKARNAIN. M
NIM: 30300105019
Jurusan Tafsir Hadis Program Khusus
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2007-2008
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................ 1
Daftar Isi........................................................................................ 2
PENDAHULUAN ................................................................................. 3
A. Latar Belakang ..................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................................... 6
PEMBAHASAN............................................................................... 7
A. Sejarah Tafsir Fiqhy................................................................. 7
B. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Fiqhy .................................. 12
C. Jenis-jenis Tafsir Fiqhy ........................................................... 16
PENUTUP............................................................................................ 21
A. . Kesimpulan........................................................................... 21
B. . Saran-saran ............................................................................. 22
BIBLIOGRAFI
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur'an merupakan asas peradaban dan sumber pengatahuan
umat Islam sekaligus sebagai sumber hukum yang paling utama
dalam setiap bentuk dan jenis kehidupan umat manusia secara
umum dan umat Islam secara khusus, ia merupakan faktor utama
bangkitnya sebuah peradaban yang membebaskan manusia dari
segala bentuk penghambaan kepada makhluk ('ibadul 'Ibad) dan
membawanya kepada penghambaan kepada sang Maha kekal lagi maha
mengetahu Dia-lah Allah ('ibad al-Khaliq), disamping itu dapat
merangsang bangkitnya sebuah peradaban yang memiliki
karakteristik hukum dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kesamaan derajat dihadap Allah dan nilai-nilai toleransi (at-
Tasamuh) yang dapat menghasilkan menculnya sikap persaudaraan
antar sesama muslim (al-Ukhuwah al-Islamiyah) serta penegakan
hukum secara berimbang dan adil (tahqiq al-ahkam bi al-qishth).
Al-Qur'an diturunkan kepada manusia yang diciptakan
dengan kesempurnaan akal yang dapat membedakan antara yang hak
dan bathil. Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui
perantaraan jibril ke dalam hati beliau SAW yang bertujuan agar
Rasulullah SAW dapat menghafalkan teks-teks (baca:ayat) Allah,
memahami makna,maksud dan tujuan dari teks-teks tersebut serta
mampu mengaplikasikan dan mengejawantahkannya dalam kehidupan
4
pribadi dan sosial. Berdasarkan konteks ini, maka kita dapat
mengetahui bahwa sesunggunya teks-teks Allah yang dibawa oleh
Jibril kepada Rasulullah SAW merupakan teks yang secara mutlak
hanya Allah yang mengetahui makna dan tujuannya. Kemudian
disampaikan kepada Rasulullah Saw melalui Jibril berdasarkan
teks serta menjelaskannya kepada beliau makna, maksud dan
tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa yang paling mengetahui
tafsiran suatu lafal teks dari Al-Qur'an adalah Allah secara
mutlak kemudian Jibril karena beliau harus menjelaskannya
kepada Rasulullah Saw, lalu kemudian Rasulullah Saw.
Semasa Rasulullah Saw menjalankan segala bentuk perintah
Allah dan mensosialisasikan seluruh risalah Allah yang
diwahyukan kepada seluruh manusia yang hidup pada masa itu,
muncullah dua kelompok manusia yang mulia lagi diridhai setelah
Rasulullah Saw, mereka adalah kaum muhajirin dan anshar dimana
mereka adalah sosok manusia yang menerima pemahaman pertama
kali dari Rasulullah Saw tentang sebahagian besar dari makna,
maksud dan tujuan ayat-ayat Allah yang terdapat dalam al-
Qur'an. Diantara para sahabat yang dikenal sebagai ahli
dibidang penafsiran Al-Qur'an adalah Abdullah bin Abbas, Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, dan Ubai bin Ka'ab.1
1 Muahmmad Husain Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Cet. I;
Beirut: Maktabah Mus'ab bi Umair al-Islamiyyah, 1424H/2004M), Jld. I, Hal. 62-93
5
Pasca meninggalnya Rasulullah Saw dan tergantingannya
beliau sebagai pemimpin kaum muslimin oleh Abu Bakar Ash-
Shiddiq, mulailah para sahabat bertebaran di muka bumi diantara
mereka ada yang hijrah ke Baghdad (baca:'Iraq), Mesir, Yaman,
dan mayoritas diantar mereka memilih untuk tetap berdomisili di
Makkah dan Madinah.
Masa-masa ini disebut dengan masa Sahabat dan masa
munculnya generasi Islam ketiga yaitu para Tabi'in, adapun para
ahli tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Sa'id bin
Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus dan 'Atha bi Abi Rabah
semuanya merupakan hasil didikan Abdullah bin Abbas di Makkah.
Kemudian di Madinah terdapat Madrasah Ubai Bin Ka'ab yang
kemudian menghasilkan Zaid bi Aslam, Abu al-'Aliyah, dan
Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhy. Lalu di 'Iraq terdapat madrasah
Ibnu Mas'ud dan menghasilkan para mufassir handal seperti;
'Alqmah, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamadny, 'Amir
asy-Sya'by, al-Hasan, dan Qatadah. Demikianlah silsilah para
mufassirin dari tiga generasi utama dalam sejarah Islam.
Setelah mereka bermunculanlah para penulis-penulis tafsir
dengan menggunakan manhaj dan corak yang berbeda-beda tepatnya
6
pada akhir masa dinasti bani Umayyah dan awal masa dinasti bani
Abbasiyah.2
Dalam memahami al-Qur'an dibutuhkan pengetahuan terhadap
metodologi dan keragaman tipologi penafsiran al-Qur'an sebab ia
merupakan sebuah keniscayaan dalam membumikan maksud-maksud
wahyu Ilahi kepada manusia. Diantara corak dan tipologi
penafsiran adalah penafsiran ayat-ayat yang bernuansa hukum
atau disebut dengan iastilah Tafsîr ayãt al-ahkãm yang
diatasnya dibangun pemahaman terhadap kandungan hukum al-
Qur'an, corak penafsiran al-Qur'an dalam bentuk ini lebih
banyak diperankan oleh para fuqaha' (ahli fiqhi) seperti Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal
dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya tafsir fiqhy?
2. Apa saja kelebihan dan kekurang dalam penafsiran al-Qur'an
dengan menggunakan pendekatan fiqhi?
3. Apa saja jenid-jenis tafsir yang ditulis melalui
pendekatan fiqhi?
2 Manna' bin Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ululmal-Qur'an, (Cet.I; Mesir:
Mansyurat al-'ashru al-Hadits), hal. 338-340
7
PEMBAHASAN
A. Sejarah Tafsir Fiqhy
Penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan pendekatan fiqhi
atau hukum sebenarya telah dimulai sejak masa turunnya wahyu
Allah kepada Rasulullah Saw, sebab secara umum ayat-ayat dalam
al-Qur'an mengandung hukum-hukum yang berkenaan dengan
kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akhirat, oleh karena
itu para sahabat dimasa kehidupan Rasulullah Saw dapat memahami
ayat-ayat yang bernuansa hukum tersebut berdasarkan pemahaman
mereka terhadap bahasa Arab, adapun ayat-ayat yang menyulitkan
mereka dalam memahami maksud dan tujuannya, maka dengan segera
mereka menanyakannya kepada Rasulullah Saw. Diantara contoh
kasus tentang ayat-ayat hukum adalah sebab turunnya (sabab
nuzul) ayat tentang pengharaman khamar dimana Imam asy-Syaukany
–rahimahullah- menyebutkan dalam tafsirnya Fath al-Qadir:
Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, 'Abd bin
Humaid, Abu Daud, at-Tirmidzy, an-Nas'i, Ibnu Jarir,
Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Hakim, dari
Hadis Umar bin al-Khaththab beliau berkata: "Demi Allah
! jelaskanlah kemada kami perihal hukum khamar, kerena
benda tersebut dapat menyia-nyiakan harta dan
menghilangkan akal?, maka turunlah firman Allah dalam
Q.S al-Baqarah : 219".
Dalam riwayat lain dari hadis Anas beliau berkata :
"Dahulu kami meminum khamar, kemudian turunlah pada saat
itu QS. Al-Baqarah : 219, lalu kami berkata : 'kami
hanya meminum khamar yang memberikan manfaat kepada
8
kami', maka turunlah QS. Al-Maidah: 90, lalu kami
berkata: "Ya Allah sesungguhnya kami telah berhenti dari
meminum khamar tersebut"3
Dari contoh kasus di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah
dan para sahabat memahami maksud dan tujuan teks-teks
Qur'aniyyah –utamanya yang mengandung pemahaman hukum
kausalitas dan kemanusiaan- melalui wahyu baik wahyu tersebut
adalah wahyu yang bersifat lafzhan wa ma'nan min Allah (al-
Qur'an) atau wahyu yang bersifat Ma'anan min Allah wa lafzdhan
min ar-Rasul (as-Sunnah).
Meskipun demikian perbedaan para sahabat dalam memahami
dan menyimpulkan sebuah bentuk hukum yang dimaksudkan oleh
teks-teks al-Qur'an dalam suatu permasalahan tidak dapat
terelakkan, hal ini lebih disebabkan karena muatan hukum dan
konteks sosial dimana hukum tersebut akan ditegakkan, sebagai
sebuah contoh kasus adalah ketika Rasulullah Saw memerintahkan
sekolompok sahabat untuk berangkat menuju Bani Quraidhah,
sebelum berangkat Rasulullah berpesan agar tidak shalat kecuali
setela sampai di tempat tujuan, namun dalam perjalanan telah
masuk waktu shalat ashar, maka terjadilah perbedaan diantara
mereka, ada yang berpendapat bahwa mereka harus melakukan
shalat di Bani Quraidhah berdasarkan pesan Rasulullah Saw,
sebahagian lainya berpendapat bahwa kita harus shalat tepat
3 Muhammad bin Ali asy-Syukany, Fath al-Qadir, (Cet. I; Beirut: Muassah
ar-Risalah, 1412H), Jld. I, hal. 335
9
waktu berdasarkan Firman Allah QS. An-Nisa' : 103 dan karena
dalam keadaan safar, maka shalat harus dilakukan dalam bentuk
qashar berdasarkan firman Allah QS. An-Nisa': 101. setelah
berita ini sampai ke telinga Rasulullah Saw, beliau pun
tersenyum tanda persetujuan (taqrir).
Contoh kasusu yang lainnya tentang; berapakah harta waris
yang didapatkan oleh suami, ayah, dan ibu yang ditinggalkan?
Ibnu Abbas menfatwakan bahwa suami mendapat 1/2, Ibu mendapat
1/3, dan ayah mendapat 'Ashabah (sisa harta yang telah terbagi
sebelumnya) berdasarkan QS. An-Nisa': 11. Disisi lain Zaid bin
Tsabit dan sahabat lainnya memandang bahwa Istri yang
ditinggalkan mendapat 1/3 dari sisa harta milik suami, hal ini
dipandang karena ayah dan ibu keduanya adalah lelaki dan wanita
dan keduanya mendaptkan harta waris dalam satu bentuk yaitu 1:2
(1 untuk wanita dan 2 untuk lelaki).4 Namun dengan demikian
masing-masing berusaha untuk tetap pada kebenaran tanpa harus
memaksakan sebuah ayat untuk dijadikan sebagai dalil dalam
pendapatnya, dan jika salah satu diantar dua orang sahabat
menemukan bahwa hasil kesimpulan hukum yang difahami oleh
sahabat lainnya lebih baik dan lebih mendekati kebenaran, maka
mereka tidak segan-segan dan tanpa rasa gengsi untuk menerima
pendapat sahabat yang berbeda dengannya.
4 Adz-Dzahaby, Op.cit, hal. 151
10
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum
suatu permasalahan terus berlangsung hingga masa generasi
fuqaha' al-mazahib (ahli fiqhi mazhab), namun perbedaan yang
terjadi dikalangan para fuqha' tersebut disebabkan karena
munculnya berbagai macam persoalan hidup baik individu maupun
sosial dikalangan kaum muslimin, dimana persoalan-persoalan
tersebut belum terjadi sebelumnya dan bahkan belum ditemukan
garis hukum yang berkenaan dengan beberapa masalah, oleh karena
itu para fuqaha' seperti Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i, Ahmad
Bin Hanbal dan selain mereka5 berusaha semaksimal mungkin
untuk menggali seluruh kandungan hukum yang terdapat dalam al-
Qur'an, as-Sunnah dan landasan-landasan syari'at lainnya
kemudian menterjemahkannya dan mentafsirkannya sesuai dengan
konteks sosial yang mereka hadapi pada masa itu, sehingga
terkadang kita menemukan kesepatan tentang hukum suatu
permasalahan dan terkadang pula kita temukan terjadinya
perbedaan. Namun perbedaan ini terjadi lebih disebabkan karena
perbedaan pandangan masing-masing Imam dalam memahami sutu
dalil, meskipun demikian tidak tampak dari mereka terjdinya
sikap ta'ashub al-madzhaby akan tetapi mereka berusaha untuk
mencari kebenaran hukum dari suatu permasalahan dengan
berlandas pada kebenaran dalil, dan bahkan jika salah seorang
5 Selain keempat Imam tersebut terdapat fuqaha' lainnya seperti; Abu Daud
Adh-Dhahiry, al-'Auza'i, ats-Tsury, Ath-Thabary, al-Zaidiyyah, dan al-Ja'fary.
11
diantara mereka mendaptkan bahwa pendapat saudaranya lebih
tepat dan lebih sesuai dengan al-Qur'an dari pendapatnya, maka
dia tidak sungkan untuk menerima dan mengamalkan pendapat
saudaranya dan meninggalkan pendapatnya hal ini tergambarkan
dalam perkataan mereka masing-masing seperti perkataan Imam
Malik : "Seluruh perkataan manusia dapat diterima dan ditolak
kecuali perkataan Rasulullah Saw", Imam Asy-Syafi'i pernah
berkata: "Jika sebuah hadis itu shahih, maka itulah mazhabku",
dalam perkataan beliau yang lain : "Jika kalian menemukan dalam
pendapatku terdapat pendapat yang menyalahi al-Qur'an dan as-
Sunnah, maka buanglah pendapatku dan ambillah al-Qur'an dan as-
Sunnah", beliau juga pernah berkata kepada muridnya Ahmad bin
Hanbal semasa di Baghdad : "Jika sebuah hadis shahih dalam
pandanganmu, maka ajarkanlah aku", demikianlah sikap para
fuqaha terhadap perbedaan pemahaman dan persepsi dalam
mengambil dan mengistinbath sutu hukum dari al-Qur'an.
Setelah terputusnya masa para aimmah al-madzahib, dan
munculnya masa taqlid dimana hukum yang diperpegangi pada masa
ini merupakan produk hukum hasil olah fikir para fuqaha'
terdahulu, maka nampaklah perbedaan tata cara ibadah dan
muamalah pada masing-masing muqallid bahkan tidak sedikit
diantara mereka menjadi kelompok yang fanatik terhadap satu
madzhab tertentu sehingga mereka menafsirkan al-Qur'an
12
berdasarkan pemahaman madzhab yang mereka yakini kebenarannya
dan bahkan cenderung berusaha untuk membenarkan bentuk
penafsiran imam madzhab yang menjadi panutan dan anutan mereka
dalam menjalankan hukum syari'at serta menjatuhkan dan
menafikan pemahaman madzhab yang tidak sejalan dengan madzhab
mereka.
Sikap seperti ini pun terjadi dalam melakukan penafsiran
terhadap al-Qur'an utamanya yang berhubungan dengan ayat-ayat
hukum. Dapat kita temukan bahwa penafsir dari kalangan al-
muqallid al-madzhaby berusaha untuk menafsirkan al-Qur'an dan
memahaminya dengan berusaha untuk tidak menyalahi pendapat imam
madzhab panutannya, atau jika harus berseberangan, maka ia
berusaha untuk tidak membela madzhab yang tidak sejalan dengan
panutannya, atau berusaha untuk masuk dalam wilayah at-Tansikh
dan at-Takhshish.
Dari sinilah muncul kebinekaan dan keragaman tafsir fiqhi
sehingga kita dapat menemukan tafsir-tafsir al-Qur'an yang
sesuai dengan madzhab Hanafy, Maliky, Syafi'y, dan sebagainya.
B. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhy
1. Kelebihan Tafsir Fiqhy
Kendatipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam
melakukan penafsiran al-Qur'an lewat pendekatan fiqhi sangatlah
13
besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa
kelebihan, diantaranya :
a. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan
hukum syari'at yang terdapat dalam al-Qur'an, hal ini
menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-
Qur'an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat
transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga
menjelaskan tentang aspek-aspek syri'ah, disisi lain juga
memberitahukan bahwa syri'ah atau hukum bukan semata-mata
merupakan produk fuqaha' akan tetapi telah menjadi bagian
dari nash-nash al-Qur'an bahkan lebih dominan yang mampu
mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun
sosial.
b. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan
untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh
bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur'an
setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhabi dogmatis
serius yang bersifat teoritis.
c. Tafsir al-Qur'an dengan pendekatan fiqhi meskipun
memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap
teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran
bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam
kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk
14
kepada al-Musyarri' al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya
yang mulia kemudia kepada pembawa wahyu dan risalah yang
kemudian dikenal sebagai al-musyarri' ats-Tsany ba'da
Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi
kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
d. Tafsir fiqhy berusaha untuk membumikan al-Qur'an lewat
pemahaman lewat ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat
kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan
advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
e. Tafsir fiqhy kendatipun bergam tetap memberikan kekayaan
bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya
penafsiran al-Qur'an dalam bentuk ini, maka umat Islam
secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar
hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
2. Kelemahan Tafsir Fiqhy
Hasil olah fikir manusia biasa tidak akan pernah lepas
dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab
sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah
makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga
adanya dengan penafsiran al-Qur'an yang meskipun landasan
penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan
Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia,
15
maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan
penafsiran al-Qur'an melalui pendekatan fiqhi adalah :
a. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby
sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan
pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan
keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan
kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
b. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu
dari al-Qur'an (penafsiran parsial) padahal al-Qur'an
meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan
praktek yang membutuhkan pemhaman dan penafsiran secara
universal.
c. Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur'an
dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan
cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum
yang terdapat di dalam al-Qur'an (rahmatan li al-
'alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang
telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa
sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-
ayat hukum al-Qur'an yang sesuai dengan kebutuhan zaman
saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat
16
analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak
terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.6
C. Jenis-Jenis Tafsir Al-Qur'an Lewat Pendekatan Fiqhi
Tafsir fiqhy merupakan salah satu corak penafsiran yang
sangat dikenal dikalangan umat Islam baik salaf maupun khalaf,
perkembangan penafsiran dengan menggunakan pendekatan fiqhi
telah ada sejak masa Rasulullah Saw hingga masa perkembangan
madzahib al-fiqhiyyah bahkan hingga saat ini sebagaiman yang
telah kami uraikan sebelumnya pada poin A dalam bab ini.
Kendatipun keberadaan corak penafsiran al-Qur'an dalam
bentuk ini telah ada sejak masa wahyu di turunkan akan tetapi
pada perkembangannya telah melalui beberapa tahap dalam beragam
bentuk metode penyajiannya. Adapun metode penyajian yang kita
kenal saat ini ada empat yaitu; metode tahlily, ijmaly,
muqaran, dan maudhu'i.
Penafsiran al-Qur'an lewat pendekatan fiqhi juga
menggunakan salah satu metode dari empat metode penyajian di
atas, diantaranya adalah :
1. Tafsir Fiqhy Tahlily : Penafsiran al-Qur'an lewat
pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian
tahlily diwakili oleh kitab Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-
6 Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan
oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I;
Yogyakarta: Nawesea, 2007), h. 27-28
17
Qur'an karya Muhammad bin Jarir ath-thabary yang
selanjutnya dikenal dengan Tafsir ath-Thabary, kitab ini
merupakan presentasi dari fiqhi asy-Syafi'iyyah meskipun
dalam pembahasannya Imam ath-Thabary lebih banyak
menggunakan mazhab sendiri ketimbang terkontaminasi
dengan madzhab yang sudah ada pada masa itu, kemudian
kitab al-Jami' li ahkam al-Qur'an karya Abu Bakar al-
Qurthuby, kemudian kitab Ahkam al-Qur'an karya Abu Bakar
Ibnu al-'Araby yang keduanya merupakan presentasi dari
kitab tafsir fiqhy madzhab al-Malikiyyah, kemudian kitab
Ahkam al-Qur'an karya Imam Abu Bakar Ahmad bin ar-Razy
al-Jashshash yang kemudian dikenal dengan nama Ahkam al-
Qur'an li al-Jashshash yang merupakan presentasi dari
kitab fiqhi madzhab al-Hanafiyyah, kemudian kitab fath
al-Qadir karya Muhammad bin 'Ali Asy-Syaukany dan
kemudian kitab Tafsir ayat al-Ahkam karya Ali Ash-
Shabuny.
2. Tafsir Fiqhy Ijamly : Penafsiran al-Qur'an lewat
pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian
ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur'an li Asy-
Syafi'i yang dikumpulkan oleh Imam al-Baihaqy.
3. Tafsir Fiqhy Muqaran : Penafsiran al-Qur'an lewat
pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian
18
Muqaran diwakili oleh kitab Tafsir ath-Thabary, Al-
Qurthuby , dan Tafsir Ibnu Katsir. Kitab-kitab tafsir
tersebut melakukan pendekatan muqaran dalam menguraikan
ayat-ayat yang menimbulkan beberapa perselisihan utamnya
ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
4. Tafsir Fiqhy Maudhu'i : Penafsiran al-Qur'an lewat
pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian
Mudhu'i diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur'an li al-
Jashshash, kemudian kitab Tafsir ayat al-Ahkam karya Ali
Ash-Shabuny.
5. Tafsir Fiqhy Tahlily Maudhu'i : Penafsiran al-Qur'an
lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode
penyajian Tahlily Mudhu'i diwakili oleh kitab Ahkam al-
Qur'an karya al-Jashshash dan kitab Tafsir al-Munir
karya Dr. Wahbah al-Zuhaily. Kitab tersebut menguraikan
ayat-ayat secara tahlily dengan memberikan tema pada
setiap kelompok ayat yang akan ditafsirkan.
6. Tafsir Fiqhy Tahlily Muqaran : Penafsiran al-Qur'an
lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode
penyajian Tahlily Muqaran diwakili oleh kitab Tafsir
ath-Thabary, Al-Qurthuby , dan Tafsir Ibnu Katsir.
Kitab-kitab tersebut menguraikan ayat secara tahlily
dengan menguraikan perbandingan-perbandingan antara
19
pendapat para fuqaha' lalu berusaha mentarjihkan dan
atau menkompromikan antara satu pendapat dengan pendapat
lainnya dengan mengacu pada dalil-dalil yang shahih.
7. Tafsir Fiqhy Tahlily Ijmali : Penafsiran al-Qur'an lewat
pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian
Tahlily Ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur'an karya
Abu Bakar Ibnu al-'Araby.
Seluruh kitab tafsir yang kami sebutkan di atas hanyalah
sebahagian kecil dari kitab-kitab tafsir fiqhy yang menurut
kami dapat mewakili seluruh bentuk ragam metode penyajian mulai
dari metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu'i, atau
penggambungkan dua metode penyajian dalam satu bagian kerangka
metodologi penulisan tafsir yang dimaksudkan untuk dapat
memudahkan para mujtahid dan umat Islam secara keseluruhan
dalam memahami al-Qur'an secara utuh.
Selain dari jenis dan corak tafsir fiqhy di atas terdapat
pula corak tafsir fiqhy yang lain yang disebut dengan istilah
Tafsir al-Fqhy al-Haditsiyyah; yaitu penafsiran ayat-ayat ahkam
lewat riwayat hadis-hadis Rasulullah Saw atau atsar dari
sahabat beliau, corak ini diwakili oleh kitab-kitab hadis
seperti Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Jami' at-Tirmidzy,
Sunan Abi Daud, Sunan An-Nasi'i, Sunan Ibnu Majah, al-Mustadrak
yang didalamnya terdapat satu kitab khusus yaitu kitab at-
20
Tafsir, serta kitab ad-Durru al-Manstur fi at-Tafsir bi al-
Ma'tsur karya Imam As-Suyuthy. Tentunya diantara ayat-ayat
hukum yang ditafsirkan lewat periwayatan ini jumlahnya lebih
sedikit bahkan mayoritasnya lebih kepada penguraian secara
khusus tentang sebab turunnya (asbab an-Nuzul) suatu ayat yang
berkenaan dengan hukum.
21
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan beberapa hal yang berhubungan
dengan tafsir al-Qur'an lewat pendekatan fiqhi atau disebut
dengan istilah "tafsir fiqhy" atau "tafsir fuqha'", maka
tibalah pada beberapa kesimpulan diantaranya;
1. Tafsir al-Qur'an dengan menggunakan pendekatan fiqhiyyah
atau hukum telah ada sejak masa Rasulullah Saw dan
berlanjut ke masa sahabat yang kemudian terjadi perbedaan
pemahaman diantara mereka, lalu perbedaan ini terus
berlanjut hingga masa tabi'in dan bahkan lebih serius lagi
pada masa munculnya madzhab-madzhab fiqhi dan berjubelnya
para muqalidin wa al-muntashibin 'ala al-madzahib al-
fiqhiyyah al-mu'ayyanah (para pengikut setia madzhab-
madzhab fiqhi tertentu).
2. Bahwa tafsir fiqhy memilik kelebihan dan kekurangan,
diantara kelebihannya adalah; a) Memberikan kejelasan
terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari'at yang
terdapat dalam al-Qur'an, b) mempermudah manusia dalam
mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang
termaktub di dalam al-Qur'an, c) memberikan sumbangsih
pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan
hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap
22
harus tunduk kepada al-Qur'an dan As-Sunnah, d) berusaha
untuk membumikan al-Qur'an lewat pemahaman lewat ayat-ayat
qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah, e) memberikan kekayaan
khazanah intelektual muslim dunia.
Adapun kelemahannya adalah : a) Tafsir fiqhi cenderung
terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap
ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab
tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya, b)
Tafsir fiqhi hanya melakukan reduksi pada satu aspek
tertentu dari al-Qur'an yaitu aspek hukum, c) Tafsir fiqhi
lebih mengedepankan penafsiran al-Qur'an dengan
menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung
mengabaikan sifat universal hukum-hukum yang terdapat di
dalam al-Qur'an.
3. Tafsir fiqhy memiliki berbagai macam metode penyajian
diantaranya menggunakan metode tahlily, ijmaly, muqaran,
mudhu'i, tahlyly maudhu'i dan tahlily muqaran serta tahlily
Ijamly.
B. Saran-saran
1. Hendaknya seluruh kaum muslimin yang ingin mengetahui suatu
hukum dari al-Qur'an terlebih dahulu melakukan pendekatan
muqaranah antar ayat hukum yang satu dengan ayat hukum
lainnya, kemudian mencari hadis-hadis Rasulullah Saw yang
23
merupakan representasi dari penafsiran ayat tersebut, lalu
menilik kepada pemahaman dan praktek para sahabat dan
tabi'in yang kemudian mengambil sebuah istinbath hukum
tanpa harus terjebak ke dalam perbedaan yang bersifat
mazhaby.
2. Kepada seluruh mahasiswa yang mengambil konsentrasi pada
bidang tafsir hendaknya untuk dapat memahami metodologi
tarjih utamaya yang berhubungan dengan penafsiran ayat-ayat
ahkam sehingga tidak terjebak pada sikap ortodoksi dan
justifikasi madzhaby.
24
BIBLIOGRAFI
Adz-Dzahaby, Muahmmad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun. Cet. I;
Beirut: Maktabah Mus'ab bi Umair al-Islamiyyah, 1424 H /
2004 M. Jld. I & II.
Hanafi, Hassan, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah.
diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan judul; Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat. Cet.I; Yogyakarta: Nawesea
Press, 2007.
Al-Juwainy, Mustafa ash-Shawy, Manahij fi at-Tafsir. Cet.I;
Iskandariyah: Mansya' al-Ma'arif, T.Th.
Al-Jashshah, Ahamd ar-Razy, Abu Bakar, Ahkam al-Qur'an. Cet.I;
Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H / 1993 M.
Rusmana, Dadan, Al-Qur'an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat. Cet.I; Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Al-Qaththan, Manna' bin Khalil, Mabahits fi Ulum al-Qur'an. Cet.I;
Mesir: Mansyurat al-Ashri al-Hadits, T.Th.
Asy-Syukany, Muhammad bin Ali, Fath al-Qadir. Cet. I; Beirut:
Muassah ar-Risalah, 1412H. Jld. I.