Download - Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
1
SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT
Kata Pengantar
Kabupaten Garut kerap disebut-sebut sebagai miniatur
politik di Jawa Barat. Tidak heran, jika banyak kalangan datang
berguru ke Garut. Dalam banyak hal Kabupaten Garut memang
unik dan menarik. Sebagai daerah yang berkatagori tertinggal,
ternyata sangat dinamis namun sarat intrik dan konflik
kepentingan.
Penulis yang sejak tahun 1983 berprofesi sebagai
wartawan, banyak mencatat hiruk pikuknya dinamika
perpolitikan di wilayah Kabupaten Garut. Dari catatan secara
umum melalui penulusuran, dan catatan khusus karena penulis
sering masuk ke wilayah kekuasaan mencoba menuangkannya
dalam sebuah buku yang diberi judul
“SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT”.
Buku tersebut penulis berharap memberi gambaran,
bahwa betapa Kabupaten Garut yang unik dan menarik tidak
mau beranjak dari ketertinggalannya di satu sisi, namun di sisi
yang lain justru sangat berkembang pesat terutama dalam
berebut kekuasaan untuk menguasai jaringan pemerintahan,
politik dan hukum.
Kemajuan dalam berebut kekuasaan memang tidak
berbanding lurus dengan upaya meningkatkan pembangunan
untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Energi dan ongkos politik
2
dihabiskan untuk merebut kekuasaan baik dalam jabatan politik,
penanganan masalah hukum maupun perebutan jabatan di
lingkungan birokrasi.
Celakanya, ongkos politik dan tanpa disadari justru
diongkosi oleh rakyat dengan cara mengatur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara rapih, teratur
dan lolos dari jamahan hukum.
Tokoh wartawan senior H. Usep Romli, yang juga
sastrawan terkemuka sekaligus kiayi dalam tulisannya di Surat
Kabar Umum Garoet Pos menyebutkan, bahwa Garut adalah
tempat kursus politik. Sejumlah tokoh nasional dari berbagai
bidang berasal dari Garut baik di masa lampau maupun masa
sekarang.
Sebut saja tokoh masa lampau seperti
Prof. DR. KH. Anwar Musadad yang merintis berdirinya
Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, KH. Yusuf Taudjiri,
ulama pejuang. Prof. DR. Ihromi, ahli bahasa Ibroni yang
kemudian pernah menjadi Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Lalu ada Arudji Kartawinata, tokoh Partai Syarikat Islam
Indonesia dan pernah menduduki jabatan Ketua DPR-RI.
H. Usep Romli mencatatkan, rumah tokoh partai
nasionalis Bubu Burhan Mustafa di Jalan Bank no. 14 dijadikan
tempat kurus politik, yang melahirkan politisi-politisi handal yang
berasal dari kalangan pendidikan, seperti Drs. Sopandi guru SPG
Negeri dan Jajang Kurniadi, guru SMP Negeri I Garut.
3
Dari kubu partai Islam, rumah KH. Anwar Musadad di
Jalan Ciledug, juga dijadikan tempat kursus politik. Salah satu
jebolannya adalah Omo Suntama, seorang guru SPG Negeri yang
kemudian aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
mengantarkan KH. Sulaeman Afif menjadi anggota DPR-MPR.
Faktanya, Kabupaten Garut memang tidak terbantahkan lagi
sebagai tempat kurus politik yang melahirkan politisi-politisi
handal. Tak heran, jika kemudian generasi sekarang
memunculkan nama Memo Hermawan dari PDIP dan
Dedi Suryadi dari PPP, tercatat sebagai politisi lokal yang cerdik
dan hebat.
Tokoh masa sekarang ada Prof. Soleh Solahudin, yang
pernah menjadi Menteri Pertanian semasa presiden BJ.Habibie,
Burhanudin Abdullah, mantan Menko Ekuin semasa presiden
Gusdur yang kemudian menjadi Gubernur BI. (alm) Andung
Nitimiharja, mantan menteri Perindustrian era presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Sederet tokoh lainnya yang mewarnai percaturan politik
di Indonesia berasal dari Garut. Di PDIP ada Jajang Kurniadi, di
PKB ada Prof. Cecep Syarifudin, di PPP ada Maksum Djaeladri, di
Partai Golkar ada Asep Ruhimat Sudjana. Kalau kemudian
H. Usep Romli menyebutnya sebagai tempat kursus politik,
memang Kabupaten Garut layak menyandang sebutan tersebut
karena hingga kini masih tetap menjadi tempat penggojlogan
politisi-politisi handal.
Tanpa bermaksud menyudutkan siapa pun dan kelompok
manapun, semata-mata penulis hanya mengangkat ke
4
permukaan berdasarkan catatan dan pengalaman yang penulis
peroleh. Bahkan dalam hal ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
terselesaikannya buku ini.
Kepada kedua anak saya tercinta, sahabat dan teman-
teman pers yang bertugas di Kabupaten Garut dari media cetak
dan elektronik terutama keluarga besar Surat Kabar Umum
Garoet Pos, penulis haturkan terima kasih atas dorongan moril
serta bantuannya dalam banyak hal sehingga memungkinkan
bagi penulis menyelesaikan buku ini.
Di saat menyelesaikan buku ini, dalam waktu bersamaan
justru penulis menghadapi banyak masalah yang berkaitan
dengan berkecamuknya pendapat pro-kontra tentang penting
tidaknya buku ini diterbitkan. Alhamdulillah penulis diberi
kekuatan mental, kesabaran dan ketabahan serta kekihlasan
dalam menghadapinya sehingga tidak menjadi penghambat
untuk terus menyelesaikan buku ini.
Hanya kepada Allah-lah, penulis memohon bimbingan
sekaligus berserah diri atas segala hal yang selama ini menjadi
bahagian dari perjalanan hidup. Hanya do’alah yang
memungkinkan semuanya bisa teratasi. Terima kasih ya Allah,
Engkau telah membimbing hamba yang tdak punya kekuatan
apa pun selain hanya karena Engkau ya Allah. (*)
Salam hormat dan salam hangat untuk semua
Garut, Mei 201 Penulis : MUSTAFA FATAH
5
Daftar Isi:
1. Profil Penulis
2. Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru
3. Babak Baru di Era Reformasi
4. Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan
5. Gugatan di Peradilan T.U.N
6. Tentara Kembali Rebut Pemerintahan
7. Bungalau 12
8. Bertindak dengan Hati
9. Memo dan Kepala SMK PGRI
10. Jabatan tidak Digenggam
11. Pejabat dan Dunia Hiburan
12. Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi
13. Kalau Tidak, Ikut Mundur
14. Agus Tawari Iman jadi Sekda
15. Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum
16. Politisi Rebut Pemerintahan
17. Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)
18. Skandal Seks yang Di peti es kan
19. Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum
20. Aktivis dan Proyek D.A.K Buku
21. Desakan P.A.W
22. Tebang Pilih Penanganan Hukum
23. Jabatan Sekda Dipolitisir
24. Jurus Perbup Jerat Hilman
25. Iman Putera Mahkota Bupati Momon
26. Terparkirnya Pejabat Birokrasi
27. Mafia Jabatan
28. Dua Sosok Politisi Cerdik
6
29. Memo - Dedi tak Ambil Peluang
30. Memo vs Hasanudin
31. Manggungnya Independen
32. Aceng-Diky tak Penuhi Syarat
33. Aceng Fikri Orang Parpol
34. Dana Pengamanan Pemilu 2009
35. Pileg Syarat Pelanggaran
36. Potret Suram Pembangunan di Garut
37. Tiga Bupati tak Mampu Wujudkan G.O.R
38. Kabupaten Garut Selatan
39. Jelang Pemilukada 2013
40. Kepercayaan Pusat
41. Birokrat Sulit Diatur
42. Pejabat Pemda Dibidik Penegak Hukum
43. Bisnis CPNSD
7
Profil Penulis:
Nama pemberian orang tua adalah Mustofa, namun
kemudian ditambah dengan nama kakek yang bernama
Muhammad Fatah sehingga dalam akta kelahiran tertulis
menjadi Mustafa Fatah.
Lahir tanggal 24 Juli 1959 di desa Bojong Kecamatan
Bungbulang Kabupaten Garut. Setelah menamatkan sekolah
di SMP Negeri Bungbulang (sekarang SMP Negeri I
Bungbulang), melanjutkan ke SMEA Muhammadiyah di kota
Garut.
Pilihan sekolah bertentangan dengan keiinginan orang
tua agar masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Menjadi
guru bukan pilihan, tetapi sekolah ekonomi pun nyaris tanpa
tujuan yang jelas.
Selepas SMEA berkeiinginan melanjutkan kuliah, namun
dalam waktu bersamaan harus berbarengan dengan kakak
yang kebetulan lulus seleksi masuk ke IKIP Bandung
(sekarang UPI). Akhirnya mengalah untuk tidak melanjutkan
kuliah, karena keterbatasan orang tua dalam pembiayaannya,
dan lebih mendorong kakak agar kelak menjadi seorang guru
melanjutkan cita-cita ayah.
Tahun 1983 ikut seleksi calon wartawan di Harian
Umum Mandala yang sedang naik daun karena maraknya
pemberitaan seputar kasus penembakan misterius (petrus)
terhadap orang-orang yang meresahkan masyarakat
(preman).
8
Tahun 1986 semasa bupati Garut H. Taufik Hidayat,
akibat berita yang selalu mengkritisi kebijakan bupati yang
merugikan rakyat akhirnya di persona non grata (diusir dari
wilayah Garut).
Perseteruan dengan bupati sempat pula dimuat di
Majalah Tempo, dan pengusiran tidak jadi dilakukan.
Menjelang pergantian bupati dari Taufik Hidayat ke bupati
Momon Gandasasmita terjadilah islah (saling memaafkan).
Tahun 1989 Harian Mandala diambil alih oleh Grup
Kompas, dan ketika dilakukan seleksi oleh manajemen
Kompas dinyatakan lolos dan terus bergabung hingga
berakhirnya pengambilalihan Harian Mandala oleh Kompas
tahun 1990.
Tahun 1990-1992 lolos seleksi di Surat Kabar Surabaya
Minggu yang manajemennya diambil alih pengusaha sukses
Yakob Hendrawan beralamat di Jalan KH. Mas Mansyur
No. 55 Tanah Abang Jakarta Pusat.
Tahun 1992 kembali lagi ke Garut membuka Perwakilan
Surat Kabar Sunda “Kudjang” setelah diajak oleh Alvertoeng,
mantan Pemimpin Redaksi salah satu surat kabar milik grup
Media Indonesia dan terjadilah kerjasama dengan pemerintah
daerah Kabupaten Garut melalui bupati
H. Momon Gandasasmita.
Koran Kudjang ditinggalkan dan kembali lagi ke Koran
Mandala hingga akhirnya ke Surat kabar Harian Suara Publik
9
yang terbit di awal reformasi, milik Wakil Walikota Bandung
Enjang Darsono.
Selain aktif di Suara Publik, sempat pula menjadi
deklarator Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Garut
bersama sejumlah tokoh dari Muhammadiyah.
Turut mendeklarasikan Forum Pemuda Pelajar dan
Mahasiswa Garut (FPPMG) bersama Agustiana, yang
kemudian melahirkan sejumlah aktivis seperti Arif Rahman
Hidayat, SE.,Ak (mantan ketua STIE Yasa Anggana), Oim
Abdurohim (mantan anggota DPRD Garut/mantan calon wakil
bupati Garut 2008), Hasanudin (sekarang pengurus DPN
Refdem) dan lain-lain.
Pada Pemilu pertama era reformasi, yaitu tahun 1999
maju menjadi calon anggota DPRD dari daerah pemilihan
Kecamatan Cisewu.
Tahun 2001 mengundurkan diri dari PAN dalam posisi
sebagai salah satu sekretaris DPD Kabupaten Garut, karena
lebih memilih tetap menjadi wartawan yang sejak tahun 2000
lolos seleksi di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-
Grup Kompas).
Tahun 2003 ikut seleksi calon Anggota KPU Garut dan
lolos ke 10 besar, namun gugur di lima besar. Tahun 2005
sampai sekarang menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin
Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos.
10
Tahun 2008 ikut lagi seleksi calon anggota KPU dan
berhasil masuk lima besar yang ditetapkan oleh Tim Seleksi
dari KPU Propinsi Jawa Barat.
Selain aktif di organisasi profesi yaitu Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), juga aktif di organisasi
kemasyarakatan, antara lain Muhammadiyah, Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan di organisasi
sepak bola PSSI Pengcab Garut.
Beberapa wartawan senior dan wartawan muda
dilahirkan melalui tangan penulis, seperti Tisna Wibawa
(wartawan Koran BOM/Majalah Cermin Harian), Ridwan, S.Pd,
Taofik Rahman, S.Sos, Yosep Nasrullah, S.Ag, Tata Ansori
(Garoet Pos), Asep Hamdani (Harian Radar/Ketua APDESI
Garut), Rommy Rusyana (mantan wartawan SINDO), Jamjam
Jamaludin (Harian Radar), Indra Prasasti (Trans TV), Deni
Muhammad Arif (Indosiar) dan lain-lain. (*).
11
Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru
Tahun 1996 gerakan penumbangan rezim orde baru
semakin kencang. Kelompok pro-demokrasi bermunculan
dimana-mana termasuk di kabupaten Garut yang dimotori
mahasiswa dan aktivis.
Para aktivis pro demokrasi dari kalangan kampus pada
tahun yang sama mendatangkan tokoh penentang orde baru,
yaitu DR. Ir. Sri Bintang Pamungkas, dosen Fakultas Teknik
Universitas Indonesia dalam kegiatan seminar ekonomi yang
digagas oleh SENAT Mahasiswa STIE Garut diketuai Hasanuddin
bekerjasama dengan PWI Perwakilan Garut.
Kehadiran Sri Bintang Pamungkas ke Garut tidak
dihendaki oleh penguasa di Kabupaten Garut. Bahkan seluruh
pengelola gedung yang biasa menyewakan tempatnya
mendadak tidak mau memberikannya dengan berbagai alasan.
Akhirnya seminar digelar di halaman gedung Korpri Jalan
Patriot Garut, dilanjutkan di Sekretariat PWI Garut Jalan
Pembangunan. Saat itu jumlah personil keamanan baik yang
terbuka maupun tertutup, justru lebih banyak ketimbang peserta
seminar yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan
aktivis.
Tokoh ulama, politisi, sekaligus pemilik pondok pesantren
Darussalam Wanaraja KH. Cholid Taujiri mendaulat Sri Bintang
Pamungkas dan membawanya ke Pontrennya untuk bicara
panjang lebar dihadapan santri dan warga sekitarnya.
12
Kehadiran Sri Bintang Pamungkas, ternyata diikuti
aparat intelejen dari Jakarta karena setelah dari Garut
langsung terbang ke Jerman menghadiri seminar sekaligus
sebagai pembicara di sana. Sri Bintang Pamungkas, langsung
ditangkap penguasa orde baru dan dijebloskan ke penjara di
Jakarta, bahkan statusnya sebagai dosen PNS di Universitas
Indonesia dipecat/diberhentikan.
Tidak lama berselang, tokoh gerakan pro demokrasi
Agustiana digelandang ke penjara di Tasikmalaya atas
tuduhan sebagai dalang kerusuhan Tasikmalaya, dan sebelum
ditangkap sempat menggelar jumpa pers di sekretariat PWI
Garut. Sekretariat Forum Pemuda Pelajar (FPPMG) yang
dikomandani Agustiana beralamat di Jalan Ranggalawe
bersebelahan dengan tempat tinggal penulis.
Pasukan keamanan dari TNI, Polisi dan Satuan Polisi
Pamongpraja lengkap dengan senjatanya mengepung
sekretariat FPPMG, dan Komandan Intelejen Kodim (Kasi
Intel- Lettu. Inf. Anan Taryana) berada di rumah penulis.
Tembok pemerintah daerah Kabupaten Garut saat itu
memang sangat kuat dan kokoh. Salah satu tokoh kunci yang
membentengi pemda Garut adalah Letkol. Inf. Kohar
Somantri, mantan Kepala Staf Kodim 0611 Garut yang
diangkat sebagai Kepala Kantor Sosial Politik (Sospol) Pemda
Garut.
Letkol. Inf. Kohar Somantri, selaku Kepala Kantor Sosial
Politik Pemda Garut sangat disegani dan ditakui oleh semua
kalangan. Dalam mengendalikan pemerintahan di lingkungan
13
pemda Garut, Kohar membentuk kekuatan yang waktu itu
dikenal dengan istilah MARKODOTOH (Mardjuki, Kohar
Somantri, Dodi Soemartawijaya, Toto Rahmat). Mardjuki
adalah seorang Letkol TNI yang menjadi Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten (PUK), Kohar Somantri (Kepala
Sospol), Dodi Soemartawidjaya (Kepala Bagian Kepegawaian),
Toto Rahmat (Kepala Dispenda).
Kalau sekarang di tubuh pemda Garut ada kelompok
geng, memang bukan hal baru karena sudah merupakan
tradisi (warisan) dari orang-orang yang memiliki pengaruh di
lingkungan pemda Garut. Tidak heran, kelompok tersebut
sangat dominan dalam penempatan sejumlah pejabat yang
loyal kepada kelompok geng dimaksud.
Sekarang di lingkungan birokrasi pemda Garut dikenal
dengan geng-nya Iman Alirahman, dan itu tidak bisa
terbantahkan karena geng tersebut memiliki kekuatan yang
signifikan dalam berbagai hal. Bahkan sangat disadari oleh
Wowo Wibowo dan Hilman Faridz ketika naik menjadi Sekda
Garut.
Wowo Wibowo tidak mampu bertahan lama menjadi
sekda, karena ia banyak melakukan penekanan terhadap
sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut yang merupakan
geng-nya Iman Alirahman.
Kekuatan geng tersebut menyeret Wowo ke ranah
hukum, yang kemudian sempat mendekam di sel tahanan
Mapolda Jabar dengan tuduhan menyalahgunakan
14
wewenangnya menandatangani pencarian dana bantuan
sosial sebelum APBD Garut disahkan.
Keluhan Wowo Wibowo mengemuka setelah ia dengan
kewenangannya pernah melakukan tindakan tegas kepada
beberapa pejabat padahal pejabat tersebut adalah geng-nya
Iman Alirahman. Sebut saja Kepala Bagian Umum waktu itu
Dadi Jakaria dan staf-stafnya.
Tindakan tegas Wowo merupakan pemicu diungkitnya
persoalan dirinya saat menjadi Kepala BPKD yang dituduh
menggelontorkan dana bansos sebelum APBD disahkan.
Wowo kemudian digelandang oleh Polda Jabar dan
sempat mendekam beberapa bulan lamanya di sel tahanan.
Penulis sendiri berkesempatan melayat Wowo di Polda,
namun ternyata sosok Wowo terlihat tegar, tenang dan penuh
keikhlasan menghadapinya.
Hal yang sama dialami Hilman Faridz, sekda yang
menggantikan Wowo itu sempat menyampaikan keluhannya
kepada penulis, bahwa untuk beberapa hal ia tidak bisa
nyambung/sinergis dengan sejumlah pejabat di bawahnya.
Misalnya dengan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD)
sewaktu dijabat Drs. H. Djadja Sudardja, M.Si.
Menurut Hilman, setiap kebijakan yang diambilnya selalu
mendapat hambatan dan tantangan dari pejabat di bawahnya
yang memang gengnya Iman Alirahman. “Anda tahu sendiri di
tubuh birokrasi terpecah, ada yang memihak saya dan ada
15
juga yang memihak pa Iman”. Begitu dikeluhkan Hilman
Faridz. (*)
Babak Baru di Era Reformasi
Akhirnya Mei 1998 tumbanglah rezim orde baru, dan di
Kabupaten Garut bertepatan dengan akan berakhirnya masa
jabatan bupati Drs. H. Toharudin Gani, yang diangkat menjadi
bupati hasil penunjukan dari pihak Gedung Sate,
menggantikan Momon Gandasasmita yang telah dua kali
menjabat bupati.
DPRD Garut hasil pemilu 1997 atau pemilu terakhir era
rezim orde baru merupakan “DPRD transisisisi”, karena tahun
1999 digelar pemilu pertama masa reformasi. Tentu saja
anggota DPRD yang berjumlah 45 orang itu memanfaatkan
pemilihan bupati sebagai ajang mendulang uang dari para
calon bupati.
Perebutan kekuasaan menjelang pemilihan bupati pun
terasa memanas, seluruh petinggi pemda Garut, yaitu bupati
Drs. H. Toharudin Gani, Wakil Bupati Mamad Suryana, dan
Sekretaris Daerah Iing Kosim maju mencalonkan diri sebagai
bupati.
Dari luar pemda Garut muncul nama Dede Satibi, yang
masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, Letkol. Pol
(sekarang AKBP) Dede Hidayat Jayalaksana, mantan Kapolres
16
Garut. Dan dari kalangan DPRD nama H. Rukman yang ketua
DPRD maju juga menjadi kandidat.
Pertarungan sengit terjadi antara Dede Satibi dan Dede
Hidayat Jayalaksana. Anggota DPRD Garut yang akan
menentukan pilihannya menjadi terpecah. Kelompok aktivis,
dan tokok-tokoh ulama terpecah pula. Ada yang berada di
kubu Dede Jayalaksana dan ada di kubu Dede Satibi. Dede
Jayalaksana sangat dikenal luas di Garut, karena selain
pernah menjadi Kapolres Garut, perwira muda itu sebagai
sosok santun dan lebih mengedepankan pola kemitraan
dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban di
wilayah Kabupaten Garut.
Dede Hidayat Jayalaksana mendapat dukungan dari
tokoh-tokoh aktivis, seperti Toni Munawar, Gunadi dan aktivis
mahasiswa. Dari kalangan pengusaha ada H. Heri Sunardi
yang menguasai perkebunan Condong. Sedangkan tokoh
ulamanya ada KH. Uhom Hamdani, pemimpin pondok
Pesantren Sarohan Bayongbong dan tokoh Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Sementara Dede Satibi mendapat dukungan dari Dewan
Harian Daerah (DHD) Angkatan 45, Warga Indonesia Asal
Garut (WI-ASGAR), Angkatan 66 dan tokoh ulama yang
dimotori KH Abdul Halim, pemimpin pondok pesantren Al-
Bayyinah dan salah satu putera dari ulama besar KH. Anwar
Musadad.
Pertarungan sengit terjadi antara kubu Dede Satibi dan
kubu Dede Jayalaksana. Disebut-sebut uang jago pun
17
mengalir ke kocek anggota DPRD, dan akhirnya Dede Satibi-
lah yang memenangkan pertarungan tersebut namun kubu
Dede Hidayat Jayalaksana tidak terima kekalahannya lalu
menyandera seluruh Anggota DPRD sekaligus menguasai
gedung wakil rakyat berhari-hari lamanya.
Kemenangan Dede Satibi nyaris saja digagalkan, kalau
saja Dede Hidayat Jayalaksana tidak segera meyakinkan
pendukungnya untuk menerima hasil yang menyakitkannya
itu. Seorang tokoh ulama PPP sekaligus pimpinan Pondok
Pesantren Sarohan Bayongbong KH. Uhom Hamdani adalah
yang paling kecewa atas kekalahan Dede Hidayat
Jayalaksana. Kiayi yang dikenal berani itu pun kemudian
meninggal dengan membawa kekecewaan yang sangat
mendalam.
Gelombang aksi tandingan dari kubu Dede Satibi
berdatangan ke gedung DPRD, yang sebelumnya dilakukan
serangkaian pertemuan di komplek pesantren Al-
Mussadadiyah.
Penulis termasuk yang ikut dalam pertemuan itu, dan
diminta oleh peserta pertemuan masuk dalam penyusun
materi tuntutan yang akan disampaikan ke DPRD dan
berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan.
Dalam aksi tandingan dari kubu Dede Satibi, tampil KH
Abdul Halim sebagai penyampai orasi dan mendesak DPRD
Garut segera melantiknya karena sudah dinyatakan sebagai
pemenang.
18
Bupati terpilih Dede Satibi, memang tokoh birokrat
sejati karena malang melintang di pemda Garut hingga jadi
Mantri Polisi sebelum pindah ke Kabupaten Tangerang dan
Kabupaten Bekasi. Dalam mengendalikan pemerintahannya,
Dede Satibi tidak berkehendak didampingi Wakil Bupati
Mamad Suryana sebagai pesaing di pemilihan bupati.
Dalam masa kepemimpinan Dede Satibi tidak
didampingi Wakil Bupati karena Mamad Suryana ditarik oleh
Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan menduduki jabatan
sebagai Kepala Dispenda Jawa Barat.
Sementara Sekda Iing Kosim yang sebenarnya
didukung jajaran birokrasi dengan Korps Pegawai Negeri-nya
(KORPRI) gagal meraih kemenangan. Ia kemudian hengkang
dari Garut karena mendapat tawaran sebagai Wakil Bupati
Kabupaten Subang.
Jabatan sekda Garut, akhirnya diisi pejabat karir dari
pemda Garut, yaitu Rahman Ruhendar yang waktu itu
menjabat Ketua Bappeda (sekarang namanya Kepala
Bappeda).
Rahman Ruhendar tidak lama menjabat sekda keburu
meninggal dunia, dan Dede Satibi mengajak sohibnya
Rachmat Sudjana dari Kabupaten Sukabumi (Ketua Bappeda)
untuk mengisi jabatan sekda.
Kekuasaan Dede Satibi dimasuki kakak kandungnya
H. Hafid, yang kemudian mumunculka kelompok/geng di
lingkungan pemda Garut yang berkepentingan dalam
19
mengatur jabatan dan proyek. Siapa dekat dengan kelompok
tersebut, maka jabatan dan proyek pun dapat diraihnya.
Kepala Diparda, Hilman Faridz adalah salah satu
diantara yang masuk kelompok H Apit, makanya jabatannya
dipindahkan menjadi Ketua Bappeda yang ditinggalkan
Rachman Ruhendar. Kepala Diparda diisi oleh Iman Alirahman
yang semula Kepala Dinas Kebersihan.
Iman Alirahman adalah pejabat muda yang kurang
disenangi bupati Dede Satibi, namun justru bagi Iman
Alirahman dijadikan pintu masuk untuk menjalin hubungan
dengan banyak kalangan. Salah satu yang mulai dekat
dengan Iman Alirahman adalah Ketua PHRI Garut Memo
Hermawan, Manager Hotel Augusta Garut.
Geng yang dimotori kakak kandung bupati Dede Satibi
itu, semakin memperkuat posisi Asda III yang dipercayakan
kepada Drs. Yaya S. Permana dengan kewenangannya di
bidang keuangan dan kepegawaian. Penulis pun sempat
menitipkan anak dari keluarga miskin masuk menjadi Tenaga
Kerja Kontrak (TKK) tahun 2001, dan sekarang sudah
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Yaya S. Permana, sebagai pejabat yang mengurusi
keuangan dibantu oleh Kepala Bagian Keuangan Ny. Farida
Susilawati, SH (sekarang Sekretaris DPRD) dengan staf-
stafnya antara lain Totong, SE.,M.Si (sekarang Kepala
DPPKA), Anton Heryanto (mantan Kabid Anggaran),
Dra. Aneu Hayati, M.Si (sekarang Kabid Perimbangan di
DPPKA).
20
Kendati Iman Alirahman kurang disenangani bupati
Dede Satibi namun Iman selalu menunjukan kinerjanya
dengan baik, terutama dalam mengelola bidang
kepariwisataan. Iman juga mulai menyusun kekuatan di
lingkungan birokrasi dengan mncetak kader-kadernya, antara
lain Komar Mariyuana (terakhir Kadisdik), Arus Sukarna
(terakhir Asda I), Wawan Nurdin (sekarang Kepala
Perpustakaan Daerah), Farida Susilawati (Sekretaris DPRD),
Elka Nurhakimah (Sekarang Kepala Dinas Pendidikan) serta
sejumlah pejabat birokrat lainnya. (*).
Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan
Selama kepemimpinan Bupati Garut Dede Satibi, tokoh
sentral di lingkungan pemda Garut terutama yang berkaitan
dengan masalah keuangan dipercayakan kepada Drs. Yaya S.
Permana, selaku Asisten Daerah (Asda) III bersama-sama
dengan Sekda Rahmat Sudjana. Sedangkan nama Iman
Alirahman sama sekali tidak memiliki akses atau jaringan
dalam mengatur kebijakan di pemerintah daerah.
DPRD, di bawah kepemimpinan Ir. Iyos Somantri dan
Dedi Suryadi adalah politisi handal dan cerdik, sehingga
bupati dan jajarannya kerap tidak mampu membendung
keiinginan DPRD termasuk aliran dana APBD demi
kepentingan DPRD.
Dede Satibi tidak kalah cerdiknya, jebakan-jekabakan
pun mulai dimainkan dan DPRD tidak menyadarinya yang
21
penting dana APBD mengalir ke koceknya. Siasat Dede Satibi
memang luar biasa cerdiknya karena ia berkeinginan maju
lagi diperiode kedua pada pemilihan bupati tahun 2003.
Nama Iyos Somantri-Dedi Suryadi, disebut-sebut
sebagai pasangan paling berpeluang dalam pemilihan bupati,
dan itu menjadi batu sandungan bagi Dede Satibi. Akhirnya
melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Abdul
Halim mengendus dugaan penyimpangan dana APBD oleh
DPRD Garut yang kemudian dikenal dengan istilah APBD-Gate
hanya beberapa bulan menjelang pemilihan bupati.
Iyos Somantri, selain sebagai Ketua DPRD juga Ketua
DPD Golkar Garut, dan Dedi Suryadi adalah Wakil Ketua DPRD
sekaligus Ketua DPC PPP. Dede Satibi sangat sadar, bahwa
untuk mengalahkan pasangan Iyos-Dedi di pemilihan bupati
sangat tidak mungkin apalagi yang akan memilihnya pun
anggota DPRD yang berjumlah 45 orang.
Berkat peranan Ketua MUI yang melaporkan kasus
APBD Gate ke Kejaksaan, maka Iyos-Dedi ditetapkan sebagai
tersangka. Kedua tokoh yang sejak awal sudah dipersiapkan
maju sebagai pasangan calon menjadi berantakan, Iyos
bahkan terpental di konvensi partainya sendiri. Fraksi PPP di
DPRD terpecah belah, karena ketua Fraksinya Wawan Syafe’i
digaet oleh Dede Satibi sebagai pasangannya.
Dedi Suryadi tidak patah arang, ia pun tak kalah sengit
dengan menggaet Sekda Rahmat Sudjana sebagai pasangan
wakil bupatinya. Kemudian muncul kuda hitam Letkol. Inf.
Agus Supriadi, yang berhasil memanfaatkan keterpurukan
22
Iyos Somantri akibat kasus APBD Gate dan Agus Supriadi
memenangkan konvensi Partai Golkar.
Perebutan kekuasan di kabupaten Garut yang diawali
dari pemilihan bupati, memang sangat unik dan penuh intrik.
Dede Satibi yang terpental dari Partai Golkar, berkat kekuatan
keluarga besar Nahdatul Ulama (NU) berhasil menggunakan
PKB sebagai kendaraan politiknya untuk maju menjadi calon
bupati bersama Wawan Safe’i dari PPP.
Untuk meyakinkan PKB agar menyerahkan partainya
sebagai tunggangan Dede Satibi, maka tokoh NU pun
mendatangkan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) ke Pondok
Pesantren Al-Wasilah miliknya KH. Tantowi Djauhari.
Hampir seluruh partai dengan Fraksi-nya di DPRD tidak
terhindar dari konflik. Golkar yang diincar Iyos dan Dede
Satibi ternyata jatuh ke Agus Supriadi, PKB yang mestinya
memajukan Ketua DPC-nya Ali Rohman malah diberikan
kepada Dede Satibi. PPP pecah, sebagian ke Dedi Suryadi,
sebagian lagi ke Wawan Syafe’i. PAN yang akan
menyandingkan Rudi Gunawan dengan Ate Tohi, tiba-tiba
Mahyar Suara protes. Hanya PDIP yang nyaris tanpa konflik
karena hanya menyalonkan Memo Hermawan selaku Ketua
DPC-nya.
Majunya empat pasangan calon bupati tidak terlepas
dari peranan para “pemain” di luar gedung DPRD dan di luar
partai politik. Yang mengawinkan Dede Satibi-Wawan Syafe’i
adalah sejumlah Kiayi NU, yang mengawinkan Agus Supriadi-
Memo adalah mereka dari kalangan politisi dan kawan-kawan
23
dekatnya. Kemudian yang mengawinkan Rudi-Mahyar,
termasuk penulis ada di dalamnya melalui serangkaian
pertemuan di salah satu hotel di kawasan wisata Cipanas.
Begitu juga yang mengawinkan/memaketkan
pasangan Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana, tidak terlepas dari
peranan kalangan tertentu yang kemudian dikenal dengan
istilah Tim Sukses. Maka empat pasangan resmi maju di
pemilihan bupati. Mereka adalah 1. Dede Satibi-Wawan
Syafei. 2. Rudi Gunawan-Mahyar Suara. 3. Agus Supriadi-
Memo Hermawan. 4. Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana.
Di putaran pertama, pasangan Dedi-Rahmat dan Rudi-
Mahyar harus terpental, dan hanya pasangan Dede Satibi-
Wawan Syafe’i dan Agus Supriadi-Memo Hermawan yang
masuk ke putaran kedua pasangan Agus Supriadi-Meo
Hermawan keluar sebagai pemenangnya dengan selisih suara
yang sangat tipis, yaitu hanya tiga suara saja.
Kemenangan Agus Supriadi – Memo Hermawan lebih
ditentukan oleh solidnya suara PDIP yang pada saat akan
digelarnya pemilihan terlebih dahulu dilakukan pergantian
antar waktu (PAW) dua anggota Fraksi yang dianggap
mbalelo, yaitu Gunrana dan Wan Gunawan Husen, digantikan
oleh Dikdik Darmika dan Slamet Rianto.
Secara matematis suara yang diperoleh Agus-Memo
berasal dari Fraksi Golkar 14 suara dan suara Fraksi PDIP 6
suara. Kemudian mendapat tambahan suara 4 dari Fraksi PPP
yang diawali dengan komitmen politik antara Dedi Suryadi
24
dan Memo Hermawan yang kemudian disetujui oleh Agus
Supriadi.
Memang pemberian suara sifatnya rahasia, namun
dalam politik tidak selamanya 1 ditambah 1 menjadi 2, bisa
saja menjadi 1 atau 3. Akan halnya suara yang diperoleh
Agus-Memo, konon 6 dari PDIP, 13 dari Golkar karena satu
suara Golkar diberikan ke Dede Satibi, dan sisanya lima suara
dari Fraksi PPP yang jumlahnya 9 kursi dan 5 suara PPP
menjadi milik Dede Satibi.
Kendati Dede Satibi kalah dalam pemilihan bupati,
namun menjelang akhir jabatannya ia sukses menggiring
kelompoknya duduk di kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Garut.
Diawali dengan penunjukan Tim Seleksi yng terdiri dari
Ketua MUI KH. Abdul Halim, Asda I Drs. Kusnaeni, M.Si.
Sekretaris PGRI Alit Burhanudin, S.Sos. KH. Deden dari unsur
ulama dan Prof. Ikeu Sartika dari unsur Perguruan Tinggi.
Lima orang anggota KPU Garut ditetapkan oleh KPU
Jawa Barat, mereka adalah Aja Rowikarim, M.Ag yang tiada
lain adalah mahasiswanya KH. Abdul Halim, Lia Juliasih, S.IP
yang masih keluarga dari isterinya KH. Abdul Halim dan isteri
dari tokoh aktivis Garut Arif Rahman Hidayat, SE.,Ak.
Kemudian H. Mohamad Iqbal Santoso, tokoh Persatuan
Islam (Persis), Ny. Hj. Yayah Hidayah, isteri dari KH. Deden
salah seorang dari Tim seleksi. Hanya Dadang Sudrajat, S.Pd
yang bukan bagian dari kelompok Dede Satibi, ia berasal dari
25
guru sukwan di kecamatan Bayongbong yang secara
kebetulan kakak kandungnya pejabat di KPU Garut. (*)
Gugatan di Peradilan TUN
Sejumlah peserta seleksi calon anggota KPU menggugat
Tim seleksi yang telah meloloskan 10 orang calon ke KPU
Provinsi untuk menentukan lima anggota terpilih.
Dimotori Hasanudin, yang terpental dalam seleksi calon
anggota KPU yang diawali dari ketidaksenangannya atas
sebuah pertanyaan oleh Ketua Tim Seleksi KH. Abdul Halim Lc
saat tes wawancara dengan meminta agar Hasanudin
membacakan Surat Al-Fatihah lengkap dengan terjemahnya.
Hasanudin sempat berdebat atas pertanyaan tersebut, dan
merasa ketidaklolosannya akibat dari perdebatan sengit
tersebut.
Pucuk dicinta ulam tiba, Hasanudin menemukan
kejanggalan dalam keputusan Tim Seleksi yang meloloskan
Hj. Yayah Hidayah dan Undang Fadhita yang masih berstatus
Pegawai Negeri Sipil. Materi gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (Peratun) di Bandung salah satunya tentang
status calon anggota KPU yang belum mengambil person dari
PNS.
Tim Seleksi bersama Sekretariat KPU Garut dibuat gerah
akibat gugatan Hasanudin dan kawan-kawan itu, karena
26
hampir setiap minggu harus mengikuti persidangan di
Bandung.
Tidak ada putusan apa pun dalam gugatan tersebut,
karena masing-masing pihak mogok di tengah jalan. Akhirnya
perkara menjadi menggantung sedangkan lima anggota KPU
Garut yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Jawa Barat
menjalankan tugas-tugasnya sebagai komisoner dengan
menyelenggarakan pemilihan umum Tahun 2004. (*)
Tentara Kembali Rebut Pemerintahan
Kabupaten Garut memang lain dari yang lain.
umbangnya rezim orde baru telah memunculkan sikap anti
pati terhadap tentara. Dimana-mana tentara selalu dihujat,
tetapi di Garut sebaliknya. Hal itu terbukti ketika Letkol. Inf.
Agus Supriadi maju mencalonkan dirinya sebagai bupati Garut
justru disambut suka cita.
Kehadiran Agus Supriadi mengembalikan ingatan warga
Garut akan keberhasilan Letkol. Kav. Taufik Hidayat yang
sukses membawa kabupaten Garut ke arah yang berubah.
Biarlah di tempat lain tentara itu dihujat, tapi toh untuk
kabupaten Garut masih memerlukan sosok tentara sebagai
bupatinya.
Selain tekad keras Agus Supriadi sebagai putra daerah,
juga didukung kepiawaian Tim Suksesnya diawali
memenangkan pertarungan di konvensi partai Golkar untuk
27
mendapatkan kendaraan politik bagi Agus Supriadi supaya
bisa maju menjadi calon bupati dan kesuksesan
mengawinkannya dengan Ketua DPC PDIP Garut Memo
Hermawan.
Letkol Inf. Agus Supriadi tampil memimpin Garut setelah
terpilih melalui pemilihan di DPRD tanggal 18 Nopember
2008. Diawal terpilihnya sempat tergonjang-ganjing oleh
persoalan hukum yang mendera wakil bupatinya Memo
Hermawan yang diduga menggunakan ijazah palsu.
Suhu politik di Garut kembali memanas akibat
terkatung-katungnya penetapan bupati dan wakil bupati
terpilih. Gelombang demo nyaris tiap hari ke gedung DPRD
dari kubu Agus Supriadi-Memo Hermawan. Sedangkan kubu
Dede Satibi diam-diam mengamankan Kepala SMEA (SMK)
PGRI Garut Drs. Zaenal Arifin sebagai pihak yang dianggap
telah mengeluarkan keterangan ijazah bagi Memo Hermawan.
Kepala SMK PGRI itu, selain berada di bawah
penguasaan Dede Satibi dan kubunya, seperti Kepala Dinas
Pendidikan Drs. Darjo Sukarja, Ketua PGRI Drs. H. Amin
Minadipura, Asda I Pemda Garut Drs. Kusnaeni. Seluruh
dokumen sekolah yang berkaitan dengan kepentingan Memo
diamankan oleh pihak Dinas Pendidikan.
Yang tersisa menurut Zaenal Arifin hanya stempel
sekolah dan tiga lembar kertas ber-kop sekolahnya. Zaenal
sendiri selalu diawasi dan kerap diajak jalan-jalan oleh kubu
Dede Satibi ke Bandung dan Tasikmalaya. Sementara rumah
tinggal Zaenal Arifin secara bergiliran dijaga oleh aparat
28
keamanan. Keluarga Zaenal Arifin sendiri diungsikan kepada
orang tuanya di Kadungora.
Peralihan kekuasaan dari Dede Satibi kepada Agus
Supriadi nyaris tidak berjalan mulus. Memo Hermawan selaku
Ketua DPC PDIP dengan kekuatan penuh kadernya, termasuk
kekuatan Satgas partainya yang terkenal pemberani siap
berdarah-darah kalau pimpinan partainya tidak dilantik
menjadi wakil bupati.
Agus Supriadi sendiri tidak tinggal diam, dibantu oleh
jajaran Partai Golkar yang dikomandani oleh Drs. H. Ruhiyat
Prawira, M.Si terus berjuang agar kemenangannya segera
ditetapkan sekaligus dilantik setelah keluarnya Surat
Keputusan dari Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Karena rumitnya persoalan yang melilit Memo
Hermawan, maka orang-orang disekeliling Agus Supriadi
melakukan upaya agar yang dilantik cukup bupati saja.
Kubu Memo, tentu saja tidak terima perlakuan tidak adil
itu apalagi pemilihan bupati satu paket dengan wakil
bupatinya. Masalah Memo tidak pernah berhenti terus dibawa
ke ranah hukum.
Beberapa guru yang pernah mengajar di SMEA PGRI
dan teman-teman sekolah Memo tidak luput dari pemeriksaan
pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sekitar kesahihan
Memo bersekolah di SMEA PGRI Garut.
29
Kasus Memo sangat melelahkan, begitu diungkapkan
Kepala SMEA PGRI Zaenal Arifin kepada penulis. Ia tidak
menyangka buntut dari pemilihan bupati akan menyeret
dirinya.
Zaenal Arifin benar-benar menjadi “bintang” yang
diperebutkan oleh percaturan politik pasca pemilihan bupati.
Kubu Dede Satibi memanfaatkannya agar dapat membatalkan
hasil pemilihan. Namun sikap Zaenal Arifin yang pendiam
punya prinsip yang sangat kuat, yaitu ingin memberikan yang
terbaik bagi kepentingan kabupaten Garut sehingga lolos dari
kemungkinan terburuk. Misalnya terjadi huru-hara yang
meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat.
Kemenangan pasangan Agus-Memo mengakibatkan
terpecah belahnya birokrasi. Sebagian ada yang tetap berada
di kubu Dede Satibi karena masih menjabat bupati, sebagian
lagi ada yang berpihak kepada Agus-Memo.
Kepala Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Achmad
Muttaqien dan Asda I Wawan Dermawan, dan Kepala Diparda
Iman Alirahman tegas menyatakan dirinya berada di kubu
Agus-Memo. Bahkan Iman Alirahman dalam berbagai
kesempatan breefing dengan bupati Dede Satibi tidak sedikit
pun menunjukan keberpihakan kepada atasannya yang masih
berkuasa itu.
Sikap tegas Iman Alirahman semata-mata karena ia
adalah orangnya Memo Hermawan, dan memiliki target
merebut jabatan sekretaris daerah. Target serupa juga
menjadi incaran Achmad Muttaqien yang setia berada di
30
belakang Agus Supriadi. Ketika Agus-Memo dilantik menjadi
bupati dan wakil bupati, memang pilihan menduduki jabatan
sekda jatuh ke Achmad Muttaqien.
Pertarungan kekuasaan sudah mulai diperlihatkan oleh
bupati Agus Supriadi dan Wakil Bupatinya Memo Hermawan
dari perebutan jabatan sekda. Memo kalah telak karena gagal
mengusung Iman Alirahman. Namun bukan Memo kalau tidak
mampu memainkan bidak-bidak catur politiknya. Maka melalui
peranan Iman-lah kemudian tanpa disadari oleh Agus Supriadi
bahwa sebenarnya ia sedang terancam.
Ancaman itu terbukti ketika kemarahan dan kekesalan
Memo semakin memuncak, yang akhirnya meletuslah
gelombang demontrasi yang diawali oleh kehadiran Tim dari
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan di
pemda Garut bulan Juni 2007. (*)
Bungalau 12
Ada apa dengan Bungalau No 12 Hotel Sumber Alam.
Terkesan seperti bercanda, padahal peristiwa politik yang
tidak mungkin bisa dilupakan oleh para pelakunya. Sebelum
terjadi sesuatu di Bungalau tersebut, penulis bersama sdr.
Daba Tabrani Zeboa, salah seorang aktivis di Garut sempat
mendatangi Memo Hermawan untuk sekedar diskusi berkaitan
dengan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil
bupati.
31
Melalui perbincangan santai antara Memo Hermawan-
Penulis dan Daba Tabrani di salah satu ruangan di Hotel
Augusta awal Desember 2003, terungkaplah pernyataan
Memo yang mengejutkan sekaligus miris. Kenapa tidak, waktu
itu Memo tegas menyatakan “bagi saya dilantik atau tidak
dilantik tidak jadi masalah tetapi kalau gedung DPRD, gedung
pemda dan pusat kota Garut hancur lebur saya siap
menanggung semua resiko hukuman mati sekali pun”.
Penulis bertanya “sebenarnya apa yang menyebabkan
semua itu”. Dijawab oleh Memo, kuncinya ada di Kepala SMK
PGRI Zaeanal Arifin. Jika ada surat pernyataan yang dibuat
Kepala SMK PGRI maka pihak Departemen Dalam Negeri akan
segera memproses pengangkatan Agus-Memo sebagai bupati
dan wakil bupati Garut.
Penulis dan Daba Tabrani Zeboa, tentu saja dibuat
kaget dan miris jika apa yang diungkapkan Memo menjadi
kenyataan. Penulis dan sdr. Daba kemudian berinisiatif
menghubungi Kepala SMK PGRI tanpa pamrih apa pun,
semata-mata demi penyelamatan Garut saja.
Dalam pembicaraan di rumah pak Zaenal Arifin, di Jalan
Mustofa Kamil Tarogong dibahas kemungkinan-kemungkinan
terburuk yang bakal menimpa Garut. Salah satunya adalah
kehancuran infrastruktur yang sudah terbangun dengan baik,
seperti gedung DPRD, gedung Pemda dan pusat pertokoan di
kota Garut.
Pak Zaenal terkaget-kaget dengan kemungkinan
tersebut, dia pun mengajak penulis dan Daba Tabrani
32
mengkonsultasikan apa yang dikehendaki oleh Memo kepada
kakaknya DR. Adang Hambali, dosen di Universitas Islam
Negeri (UIN) Bandung.
DR. Adang Hambali bersedia datang ke Garut, dan
penulis mengatur pertemuan di Bungalau No.12 Hotel Sumber
Alam sekitar pertengahan Desember 2003. Di Bungalau
tersebut, ternyata DR. Adang Hambali sudah sangat paham
dengan kondisi kabupaten Garut dan dia pun menyatakan apa
yang diinginkan oleh Memo Hermawan tidak ada masalah
yang penting adiknya Zaenal Arifin siap membuat keterangan
dari sekolah yang dipimpinnya.
Redaksional pernyataan dari Zaenal Arifin dibuat
masing-masing oleh penuis, Zaenal Arifin dan Memo
Hermawan sendiri. Isinya menyatakan bahwa benar Memo
Hermawan adalah lulusan SMK PGRI Garut. Waktu itu juga
Memo melalui telepon gengangamnya (HP)
mengkonsultasikan redaksional dengan Kepala Biro Otda
Pemprop Jabar Drs. Tjatja.
Tjatja memandu Memo secara redaksional yang
dikehendaki sebagai persyaratan mempercepat SK dari
Mendagri. Kesimpulannya redaksional versi Tjatja-lah yang
terpakai dan penulis yang membuatnya di komputer milik
penulis. Kopinya di dalam disket karena waktu itu masih
jarang menggunakan flashdisk.
Pertemuan di Bungalau No.12 berakhir tanpa ada
komitmen apa pun dengan Memo Hermawan jika yang
bersangkutan benar-benar dilantik menjadi wakil bupati. DR.
33
Adang Hambali, adiknya Zaenal Arifin, Penulis dan Daba
Tabrani semata-mata hanya ingin masalah di Garut cepat
selesai sehingga tidak terjadi tindakan yang merugikan
masyarakat.
Tanggal 13 Januari 2004 ketika penulis sedang rapat di
kantor Redaksi Harian Metro Bandung (sekarang Tribun
Jabar), karena waktu itu penulis masih menjadi wartawan
Metro Bandung ditelepon oleh Memo agar pulang ke Garut
untuk menyelesaikan naskah pernyataan dari Kepala SMK
PGRI versi Tjatja.
Menurut Memo, esok harinya tanggal 14 Januari 2004 ia
ditunggu oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri
(sekarang Kemendagri) Oentarto Sindung Mawardi untuk
menyerahkan surat keterangan/pernyataan dari Kepala SMK
PGRI dalam kepentingan dikeluarkannya Surat Keputusan
Pengangkatan dirinya sebagai Wakil Bupati Garut.
Tanggal 20 Januari 2004 SK Mendagri keluar, namun
dalam waktu hampir bersamaan Memo Hermawan dikabarkan
ditangkap pihak Polda Jabar atas tuduhan pemalsuan ijazah.
Perkembangan politik memang berjalan sangat cepat, Memo
pun dipulangkan dan hari Jum’at tanggal 23 Januari 2004
dilantiklah Agus Supriadi-Memo Hermawan oleh Gubernur
Jawa Barat Danny Setiawan.
Memo Hermawan boleh dilantik bersama Agus Supriadi,
namun masalah hukum Memo terus berjalan. Nyaris setiap
saat Memo digoyang aksi demonstrasi agar penggunaan
ijazahnya yang diduga palsu terus diusut.
34
Setiap muncul aksi unjuk rasa, maka yang dibuat sibuk
dan menguras tenaga pikiran serta ongkos politik adalah
Iman Alirahman dan kawan-kawan. Anton Heryanto tampil
sebagai eksekutor karena memang memiliki otoritas dalam
penggunaan dana APBD.
Memang sulit ditelusuri aliran dana dalam penanganan
kasus Memo, atau memang tidak ada niat dari aparat
penegak hukum menelusurinya. Padahal ketika Erlan Rivan
ditetapkan sebagai tersangka mulai terbuka aliran dana APBD
masuk kemana-mana. (*)
Bertindak dengan Hati
Wajah boleh seram dan terkesan bengis, apalagi sehari-
harinya bergaul dengan tahanan dan narapidana di Lembaga
Pemsayarakatan (LP) Garut ternyata hatinya luluh juga. Itulah
Daba Tabrani Zeboa, blasteran ayah dari Pulau Nias Sumatera
Utara dan ibu dari Garut asli.
Suara yang selalu keras dalam berbagai hal, terutama
jika berdialog atau diskusi, namun Kepeduliannya terhadap
kabupaten Garut sangat luar biasa. Ketika gonjang-ganjing
dan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati
Garut terpilih (Agus Supriadi-Memo Hermawan) ia tidak
menginginkan suasana kabupaten Garut kacau balau apalagi
terjadi pertumpahan darah dan bakar-bakaran.
35
Seringkali pemikiran positif muncul dari benaknya,
termasuk mengajak penulis untuk menemui calon wakil bupati
terpilih Memo Hermawan karena tersiar kabar bahwa Memo
dengan kader PDIP-nya akan melakukan tindakan keras jika
Memo gagal dilantik sebagai wakil bupati.
Kala itu Daba Tabrani sempat mengemukan
pendapatnya “ janganlah dari konflik politik melebar menjadi
kerusuhan yang tidak ada artinya, bahkan hanya akan
merugikan masyarakat. Semua aturan hukum dan politik
adalah produk manusia yang bisa diubah-ubah kecuali
Al-Qur’an”.
Berangkat dari pemikiran itulah ia bersama penulis ingin
meyakinkan Memo Hermawan seputar kebenaran kabar yang
merebak di tengah-tengah masyarakat. Faktanya, terkatung-
katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati terselesaikan
juga setelah melalui serangkaian pembicaraan antara Memo
Hermawan dengan Kepala SMK PGRI Zaenal Arifin yang
difasilitasi Daba Tabrani Zeboa dan penulis.
Daba Tabrani memang bukan seorang aktivis yang selalu
“memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan”, karena toh
ia tidak “dibayar” oleh siapa pun semata-mata sebagai bentuk
kepedulian kepada Garut agar tidak mengalami kehancuran
hanya karena tidak dilantiknya pasangan calon bupati dan
wakil bupati terpilih. Semua tindakan harus dengan hati
bukan dengan perasaan. Jika dengan hati maka semua
persoalan akan terselesaikan dengan baik tanpa harus
36
menelan korban. Itulah yang menjadi pemicu Daba Tabrani
Zeboa mau menemui Memo Hermawan bersama penulis. (*).
Memo dan Kepala SMK PGRI
Tanggal 23 Januari 2004 Agus Supriadi dan Memo
Hermawan resmi menjadi bupati dan wakil bupati Garut masa
bakti 2004-2009. Dua pemimpin berbeda latar belakang itu
harus mengendalikan pemerintahan dengan segudang
permasalahannya.
Agus Supriadi dengan latar belakang militer, tentu saja
penerapan disiplin merupakan prioritas utamanya. Di satu sisi
harus mendisiplinkan jajarannya, namun di lain sisi bupati
Agus Supriadi membuat kebijakan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip disiplin. Salah satunya adalah memberikan
kepercayaan penuh kepada Anton Heryanto, seorang
pelaksana pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah.
Sekitar setahun perjalanan kepemimpinan Agus-Memo,
penulis tidak pernah berhubungan dengan kekuasaan
termasuk dengan Memo Hermawan. Penulis pun
berkonsentrasi dengan profesi sebagai wartawan dan selalu
mengkritisi kebijakan bupati yang dianggap tidak sesuai
harapan rakyat.
Anton Heryanto, dan Wawan Nurdin, yang dikenal
sebagai geng di jajaran birokrasi datang ke rumah penulis
dengan maksud akan mengislahkan penulis dengan Memo
37
karena tidak pernah ada hubungan lagi. Penulis pun dibawa
oleh mereka ke rumah dinas wakil bupati yang berada di
Jalan Sudirman (Depan Bekas Mapolwil Priangan, sekarang
Mapolres Garut).
Waktu itu penulis minta kepada Anton Heryanto dan
Wawan Nurdin, jika ingin mempertemukan penulis dengan
Memo Hermawan harus menyertakan pula Kepala SMK PGRI
Zaenal Arifin.
Alasan penulis, tidak ingin ada kesalahpahaman terlebih
suuzdon bahwa seakan-akan saya ada deal-dealan dengan
Memo Hermawan. Misalnya diberi fasilitas karena sudah
menjadi wakil bupati.
Pertemuan di rumah dinas Wakil Bupati itu berlangsung
santai dan hangat, diselingi senda gurau nyaris tidak ada
batasan antara wakil bupati dengan rakyatnya.
Ketika itu Memo berjanji akan membantu SMK PGRI,
yang memang tengah kesulitan dalam hal sarana serta
prasarana. Bahkan ruangan kelas pun tidak memadai,
termasuk sangat kurangnya guru berstatus PNS.
Melalui Anton Heryanto, SMK PGRI mendapat bantuan
berupa pembangunan tiga unit ruang belajar. Sedangkan
penulis yang terlanjur memiliki ikatan bathin dengan Kepala
SMK PGRI serta Memo Hermawan menerima permintaan
Kepala SMK agar mau menjadi Ketua Komite Sekolah.
38
Beberapa karyawan pemda Garut yang merupakan
lulusan SMEA PGRI menggagas acara re-uni. Penulis masuk
dalam jajaran panitia re-uni, termasuk di dalamnya pejabat
Bank Jabar Drs. Yamin Abdul Latif dan Drs. Dedi (sekarang
Kabid PMG) di Dinas Pendidikan Garut.
Secara politis Memo Hermawan mendapat pengakuan
yang luar biasa, karena didaulat menjadi Ketua Alumni SMEA
PGRI. Namun demikian tidak mematahkan persoalan
hukumnya karena kasusnya terus menggelinding kendati
belakangan dikabarkan sudah dihentikan perkaranya.
Memang ada kekecewaan di diri penulis karena tidak
berhasil meyakinkan geng Memo di Pemda Garut agar
memberikan penghargaan kepada Zaenal Arifin, setidak-
tidaknya ia dipromosikan dalam jabatan sebagai Kepala SMK
Negeri atau dalam jabatan yang sama baik di SMP maupun di
SMA.
Masalahnya, Zaenal Arifin adalah seoarang PNS yang
dari persyaratan sudah terpenuhi. Hanya saja, nasib Zaenal
Arifin tidak seperti yang lain. Hingga berakhirnya Memo
Hermawan dari jabatan Wakil Bupati, tetap saja Zaenal Arifin
menjadi Kepala SMK PGRI. Ironis, memang…..
Dalam waktu bersamaan, sekitar di awal tahun 2005,
penulis dihubungi Sony MS, salah seorang wartawan yang
juga guru SMP namun sangat dekat hubungan secara
personalnya dengan Memo Hermawan dan Iman Alirahman.
39
Sony meminta kepada penulis menjadi pemimpin
Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos. Di belakang Koran
Garoet Pos itu ada Memo Hermawan, Iman Alirahman, Anton
Heryanto dan Wawan Nurdin.
Selain mengajak penulis, atas permintaan Memo
Hermawan, Iman Alirahman dan Wawan Nurdin, diajak pula
Asep Burhannudin (Ketua KNPI), Asep Irvan Setiawan (Ketua
PHRI) yang penulis ketahui ketika berkumpul di rumah makan
Copong dan turut hadir waktu itu Ajengan Mimih Haeruman,
seoarang aktivis yang merupakan tokoh kerusuhan
Tasikmalaya Tahun 1996.
Kenapa Ketua KNPI harus dilibatkan?. Alasannya, karena
KNPI memiliki jaringan sampai ke pelosok pedasaan. Seluruh
Ketua KNPI tingkat kecamatan dilibatkan dalam mengelola
Surat Kabar Umum Garoet Pos baik sebagai distributor
maupun kontributor.
Di awal berdirinya Surat Kabar Umum Garoet Pos,
jabatan Asep Burhannudin adalah Pemimpin Perusahaan,
sedangkan Asep Irvan Setiawan sebagai Direktur Utama
PT. Garut Cahaya Cemerlang, sebuah perusahaan yang
menerbitkan Surat Kabar Umum Garoet Pos.
Penulis yang masih terikat sebagai wartawan Harian
Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-Grup Kompas) tidak
mampu menolak tawaran tersebut.
Berlokasi di Jalan Pasundan 47, penulis resmi menjadi
Pemimpin Redaksi yang segala sarana serta fasilitas sudah
40
disediakan oleh Wawan Nurdin dan kawan-kawan termasuk
para pegawainya.
Tanggal 17 Maret 2005, Surat Kabar Umum Groet Pos
resmi diterbitkan perdana dan lounchingnya di rumah makan
Adirasa dihadiri langsung oleh bupati Agus Supriadi dan wakil
bupati Memo Hermawan setelah mengikuti upacara Hari Jadi
Garut di lapangan Otto Iskadardinata (alun-alun Garut). (*)
Jabatan Tidak Digenggam
Drs. Zaenal Arifin adalah seorang pribadi yang nyantri,
santun, dan lembut. Kelembutannya membuat orang lain
tidak akan menyangka kalau ia seoarang pahlawan dalam
pergolakan politik di kabupaten Garut.
Ia dipercaya mengelola SMK (dulu SMEA) PGRI dalam
keadaan yang sangat memprihatinkan. Kenapa tidak, lokasi
sekolahnya saja diusir oleh sebuah Yayasan Gereja Pasundan
di Jalan Bratayudha.
Zaenal Arifin memutar otaknya untuk menyelamatkan
anak didik, yang kemudian mendapatkan lokasi baru di Jalan
Karacak berupa tanah kosong bekas lahan pesawahan. Ia
pontang-panting membangun ruang belajar tanpa bantuan
dari pemerintah.
Tidak terbetik dalam pikiran Zaenal Arifin, sekolah yang
dipimpinnya akan menjadi pusat perhatian publik pada akhir
41
tahun 2003 pasca pemilihan bupati Garut yang dimenangkan
pasangan Agus Supriadi-Memo Hermawan.
Tandatangannya ternyata dipalsukan oleh seseorang
yang pernah bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di SMEA
PGRI di masa jayanya. Pemalsu tandatangan tersebut
bernama Isur Suryana yang mendapat perintah dari Drs.
Duden Suherman, pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten
Garut yang tiada lain adalah sohibnya Memo Hermawan.
Isur diperintahkan membuat Surat Keterangan dari SMK
PGRI untuk memenuhi persyaratan Memo Hermawan saat
akan maju menjadi calon wakil bupati Garut mendampingi
calon bupati Agus Supriadi. Entah apa yang mendorong Isur
sehingga berani memalsukan tandatangan Kepala SMK PGRI
Zaenal Arifin demi kepentingan Memo Hermawan.
Isur Suryana dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri
Garut dalam proses persidangan yang sama sekali tidak
menyentuh Memo Hermawan dan Duden Suherman. Yang
pasti pengacaranya kecewa karena dua nama tersebut hanya
sebagai saksi saja.
Zaenal Arifin, ternyata baru mengetahui tandatangannya
dipalsukan setelah pemilihan bupati yang tiba-tiba ia menjadi
“bintang” yang diperebutkan oleh kelompok yang bertikai
pasca pemilihan bupati.
Kalau saja Zaenal Arifin konsisiten tidak mau
mengeluarkan Surat Keterangannya bagi kepentingan Memo
Hermawan, maka karir politik Memo sudah berakhir pada
42
tahun 2004 karena dipastikan hanya calon bupati terpilih saja
yang memperoleh Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
yang berhak memimpin Kabupaten Garut.
Pahlawan penyelamat kabupaten Garut itu hingga kini
masih tetap menjadi Kepala SMK PGRI, padahal ia
berkeinginan berkarir sebagai Kepala SMK atau SMP Negeri di
lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut.
Boleh jadi karena Zaenal Arifin sebagai pribadi yang
mendapat jabatan tanpa harus melalui mafia jabatan atau
dengan cara tidak halal, misalnya mengeluarkan uang pelicin.
Padahal melalui penulis sudah disampaikannya kepada Memo
Hermawan ketika masih menjadi wakil bupati dan kepada
Iman Alirahman serta Wawan Nurdin yang dikenal ahli dalam
mengatur jabatan.
Geng Memo Hermawan, yang terdiri dari Iman
Alirahman, Wawan Nurdin, Komar Mariyuana, Jaja Sudarja,
Hengki Hermawan hanya butuh Zaenal Arifin dalam
memuluskan perebutan kekuasaan saja, sementara
pengorbanan seorang Zaenal Arifin sama sekali tidak
dihargainya padahal ia tidak meminta fasilitas apa pun kecuali
ingin berkarir menjadi Kepala SMK atau SMP Negeri saja. (*)
Pejabat dan Dunia Hiburan
Pejabat dan wakil rakyat di kabupaten Garut identik
dengan dunia hiburan. Ketika tim dari Komisi Pemberantasan
43
Korupsi (KPK) tengah melakukan penggeledahan di kantor
Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Garut, yang waktu
itu Kepala BPKD-nya Komar Mariyuana, justru sejumlah
pejabat, wakil rakyat dan aktivis berkumpul di rumah makan
Copong.
Penulis termasuk salah satu yang ikut hadir di rumah
makan tersebut hingga menjelang waktu Isya. Yang hadir
waktu itu sepakat melanjutkan pertemuannya di Hotel
Imperium Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo Bandung. Penulis
berangkat belakangan menggunakan mobil kepunyaan
Hasanudin, salah seorang aktivis Garut.
Di Hotel yang tersedia ruangan karaokean ternyata
sudah menunggu beberapa pejabat dan wakil rakyat, antara
lain Asda III Kuparman, anggota DPRD Lucky Lukmansyah,
Anton Heryanto, Wawan Nurdin dan sejumlah staf dari BPKD.
Di ruang karaokean sudah disiapkan wanita yang
berprofesi sebagai Pemandu Lagu (PL) secara berpasang-
pasangan. Penulis juga sudah disediakan dan satu ruangan
(room) bersama Wawan Nurdin dan Anton Heryanto.
Malam itu dihabiskan hanya untuk bersenang-senang
dan dipastikan menguras kocek yang tidak sedikit. Yang pasti,
penulis meninggalkan hotel itu sekira jam 3.00 pagi.
Kegiatan serupa, dilakukan pula menjelang
penangkapan Agus Supriadi oleh KPK. Beberapa pejabat dari
BPKD, Bawasda (Inspektorat) dan DPRD berkumpul lagi di
Hotel Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.
44
Penulis dimintai bantuan oleh Kepala Bawasda Hengki
Hermawan untuk meyakinkan isteri mudanya karena setiap
saat selalau meneleponnya. Sangat boleh jadi, isterinya itu
pencemburu sehingga selalu memantau aktivitas suaminya di
Jakarta.
Demi keselamatan keluarga Hengki Hermawan, penulis
mau membantunnya dengan meyakinkan isterinya, bahwa
suaminya Hengki Hermawan belum bisa pulang cepat-cepat
ke Garut karena setiap hari harus memenuhi panggilan ke
kantor KPK di Jakarta.
Aktivitas di Hotel Golden Boutique yang tarifnya cukup
mahal itu, selain untuk memudahkan KPK melakukan
pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat menjelang
penangkapan Agus Supriadi, selebihnya memang dijadikan
ajang hiburan. Kenapa tidak, di hotel tersebut tersedia
berbagai fasilitas hiburan termasuk wanita-wanita
penghiburnya, selain wanita lokal ada pula wanita asing
seperti dari China, Hongkong dan Korea. (*).
Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi
Sosok Agus Supriadi terbilang dekat dengan kalangan
pers. Ketika proses pencalonannya sebagai bupati Garut
selalu dikerubuti wartawan ketika ia dan keluarganya tinggal
di rumah kontrakan di Jalan Pajajaran Garut.
45
Kepemimpinan Agus Supriadi yang sarat kontroversi,
tentu saja menjadi buruan wartawan. Tidak heran, berita
tentang bupati Agus Supriadi selalu menghiasi halaman surat
kabar dan menjadi gunjingan di kalangan masyarakat.
Keberanian Agus Supriadi semakin kentara ketika
mengancam akan menggergaji pipa kilang gas bumi Darajat
yang dikelola PT. Chevron Texaco Energi Indonesia (CTEI),
sebuah perusahaan asing milik Amerika Serikat sebelum
persoalan yang berkaitan dengan bagi hasil bagi pemerintah
daerah belum diselesaikan secara baik dan menguntungkan
bagi Kabupaten Garut.
Gaya kepemimpinannya yang keras, tegas dan disiplin
membuat gerah para petinggi birokrasi di lingkungan pemda
Garut, apalagi tersiar kabar bahwa untuk mendapatkan
promosi jabatan harus menyetorkan sejumlah uang.
Pejabat di lingkungan pemda Garut tidak bisa
menerima gaya kepemimpinan Agus Supriadi yang penuh
disiplin itu, karena mereka sudah terbiasa dipimpin bupati
yang berasal dari sipil selama tiga periode, yaitu periode
Momon Gandasasmita (1988-1993), Toharudin Gani (1993-
1998) dan Dede Satibi (1998-2003).
Kendati tidak senang dengan gaya kepemimpinannya,
namun masalah jabatan tetap menjadi incarannya para
birokrat. Dalam kepemimpinan bupati Agus Supriadi,
keberadaan geng birokrasi tidak menonjol justru geng-geng
liar memanfaatkan nama bupati.
46
Geng liar itu kebanyakan dari kalangan luar yang
memang tidak terorganisir rapi seperti sehingga terkesan
seperti “calo jabatan” tidak seperti di era kepemimpinan
Dede Satibi dan kepemimpinan sekarang (bupati Aceng HM
Fikri).
Kondisi pemerintahan seperti itu menimbulkan
prasangka buruk dari kalangan elit di Kabupaten Garut,
bahkan sering muncul menjadi berita panas di salah satu
stasiun radio lokal yang menampung aspirasi pendengarnya.
Tentu saja gonjang-ganjing dari kabar yang memanas
itu menjadi buruan wartawan untuk diinvestigasi yang
kemudian munculah pemberitaan yang kerap membuat
banyak kalangan terutama kalangan elit tidak menyenangi
gaya kepemimpinan Agus Supriadi.
Namun demikian, sosok Agus Supriadi tidak pernah
menekan apalagi menakut-nakuti wartawan kendati dirinya
berlatarbelakang tentara. Agus justru menempatkan
wartawan sebagai mitranya, dan melalui peranan Anton
Heryanto selalu mengeluarkan kocek APBD guna membantu
tugas-tugas wartawan.
Ketika perseteruan elit, terutama yang dimotori wakil
bupati Garut Memo Hermawan maka gelombang
ketidaksenangan terhadap Agus Supriadi semakin menguat.
Awal kejatuhannya dipicu ketika Kepala Bappeda Iman
Alirahman menyatakan mundur dari jabatanya yang kemudian
diikuti oleh Anton Heryanto, sebagai Kepala Bidang Anggaran
47
di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) serta sejumlah
pejabat lainnya.
Pengunduran diri Iman Alirahman dan kawan-kawan
membuat sejumlah surat kabar menempatkan berita tersebut
di halaman muka. Akibatnya, tidak lama berselang gelombang
aksi menurunkan Agus Supriadi nyaris tidak pernah berhenti
bahkan gedung pendopo pun sempat dikepung para
demonstran.
Mundurnya Anton Heryanto, ternyata mendapat
dukungan dari seluruh Fraksi di DPRD Garut. Bahkan Fraksi
PKS yang kurang baik hubungannya dengan Anton Heryanto
mendadak menyatakan dukungannya.
Tidak hanya kalangan DPRD, tokoh keras seperti Ketua
MUI Garut KH. Abdul Halim mendukung Anton Heryanto. Kiayi
galak itu selalu berkomunikasi dengan Anton pasca
mundurnya dari jabatan di Bagian Keuangan, padahal
sebelumnya tidak pernah terjalin hubungan dekat antara KH
Abdul Halim dengan Anton Heryanto.
Ketika gelombang aksi semakin memanas, dalam waktu
bersamaan tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi justru
tengah melakukan penyelidikan dugaan terjadinya
peyimpangan keuangan di pemda Garut.
Para pejabat pemda Garut pun hampir dua pekan
berada di Jakarta, dan membooking beberapa kamar di hotel
Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.
Sejumlah anggota DPRD Garut pun kerap muncul di hotel
48
tersebut, bahkan Kepala Bawasda (Drs. Hengki Hermawan)
mengaku ketakutan dan tidak pernah lepas dari senjata api
yang dimilikinya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
terburuk yang menimpa dirinya.
Keberadaan sejumlah pejabat pemda Garut di Jakarta
untuk memudahkan komunikasi dan pemeriksaan-pemriksaan
yang dilakukan pihak KPK. Yang lumayan lama berada di
Jakarta adalah para pejabat dari Badan Pengelola Keuangan
Daerah (BPKD) dan dari Bawasda (sekarang Inspektorat
Daerah).
Akhirnya Agus Supriadi dipanggil KPK ke Jakarta
tanggal 27 Juli 2007, dan tidak pernah kembali lagi hingga
sekarang karena diganjar hukuman 10 tahun penjara oleh
Pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor).
Ketika Agus Supriadi baru berada di tahanan Mapolres
Metro Jakarta Selatan sekitar dua pekan, seorang aktivis
Garut Hasanudin mengajak penulis mengunjungi Agus
Supriadi di tahanan.
Sesampainya di Mapolres Metro Jakarta Selatan, penulis
tidak masuk dan hanya mengantarkan Hasanudin saja.
Selanjutnya Hasanudin tetap berada di Jakarta dan di
tempatkan di salah satu hotel bersama ajudan bupati Agus
Supriadi yaitu Bambang.
Kiprah Hasanudin di Jakarta, ternyata di luar dugaan
mampu merubah kondisi yang dialami sejumlah pejabat di
49
lingkungan pemda Garut atas ancaman yang disebut-sebut
pernah diungkapkan Agus Supriadi.
Hasanudin berhasil meluluhkan Agus Supriadi, diawali
dari kedatangan Wakil Bupati Memo Hermawan
menjenguknya di tahanan. Sejak itu pula para pejabat pemda
Garut bergiliran mendatangi Agus Supriadi, sehingga saat itu
ruang tahanan yang dihuni Agus Supriadi sekaligus menjadi
tempat beraktivitas Agus Supriadi karena masih bersatatus
sebagai bupati, seperti menandatangani surat-surat atau
dokumen. (*)
Agus Supriadi Anggap Enteng Memo
Bupati Garut Agus Supriadi yang tampil elegan sebagai
sosok perwira menengah TNI-AD sangat disegani oleh
kalangan birokrat, namun secara politis Agus Supriadi belum
teruji karena lebih banyak bertugas di pasukan tempur
ketimbang di teritorial.
Ketika ia memasuki ranah politik dan harus berhadapan
dengan para politisi terutama wakil bupatinya Memo
Hermawan, kurang cermat menghitung kalkulasi politiknya
sehingga membiarkan Memo sekaligus memperlakukan
seperti “anak bawang”.
Memo nyaris tidak diberi peran dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan, bahkan dalam banyak hal
Memo dibiarkan liar. Padahal Memo diam-diam menggalang
50
kekuatan di jajaran birokrasi yang dimotori oleh Iman
Alirahman dan Anton Heryanto serta Wawan Nurdin.
Sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut banyak
yang mengakui kehebatan Memo walau pun Memo sering
disebut-sebut tidak jelas sekolahnya. Ir Widyana CES, jebolan
IPB dan pernah lama di lingkungan pemda Bekasi yang
kemudian beberapa kali menduduki jabatan eselon II di
pemda Garut, adalah salah satunya yang mengakui
kecerdikan, kepintaran dan kehebatan Memo Hermawan.
Memo memang bukan politisi yang jago pidato (orator),
melainkan jago dalam hal strategi. Ia piawai membangun
jaringan dengan berbagai kelompok, tidak heran jika
kelompok yang menyerangnya berkaitan dengan dugaan
penggunaan ijazah palsunya justru berbalik menjadi
pendukung Memo.
Hal itu tidak disadari oleh Agus Supriadi, karena boleh
jadi Agus Supriadi tetap beranggapan bahwa Memo tidak
jelas sekolahnya dan tidak membahayakan dirinya, karena
memang orang bodoh. Kalau saja orang-orang dekat Agus
Supriadi, terutama staf ahlinya memberi masukan bagaimana
bahayanya seorang Memo Hermawan, maka dapat dipastikan
bupati Agus Supriadi tidak akan jatuh di tengah jalan.
Staf ahli bupati saat itu dari kalangan politisi ada
Machyar Suara, dari akademisi ada Prof.DR. Ali Ramdani, dari
kalangan aktivis ada Usep Sobar. Bahkan satu lagi dari
kalanga aktivis yang tidak terstruktural yaitu Agustiana. Para
staf ahli itu tidak mungkin tidak memiliki referensi tentang
51
kecerdikan Memo dalam berpolitik, atau pura-pura tidak tahu
sehingga tidak dijadikan program dan strategi bahasan
bersama bupati Agus Supriadi. Atau sangat boleh jadi
membiarkan Memo dengan bola panasnya karena staf ahli
pun menghendaki agar bupati Agus Supriadi jatuh di tengah
jalan. (*).
Kalau Tidak Ikut Mundur
“Kalau saja waktu itu saya tidak ikut mundur, saya jamin
pak Agus Supriadi tidak mungkin jatuh dari jabatannya
sebagai bupati.” Demikian diungkapkan Anton Heryanto
kepada penulis.
Anton Heryanto yang saat itu tengah disibukan dengan
masalah keuangan, pada hari Jum’at (lupa tanggalnya) di
bulan Juli 2007 pagi hari datang Iman Alirahman ke ruangan
kerjanya.
Iman bicara panjang lebar tentang situasi di
pemerintahan, salah satunya adalah bekerja seperti robot dan
sapi perahan oleh bupati Agus Supriadi. Iman menyampaikan
niatnya kepada Anton untuk mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Kepala Bappeda pada Jum’at sore hari itu
yang kebetulan akan mengikuti breefing bersama bupati Agus
Supriadi.
Betul juga, setelah breefing Iman kembali menemui
Anton di kantornya yang hanya berjarak beberapa meter saja
52
dari gedung Pendopo. Iman menyampaikan keputusannya
bahwa ia sudah mundur dari jabatan Kepala Bappeda
langsung disampaikan ke bupati.
Anton menyatakan siap mengikuti langkah Iman, yaitu
mundur juga dari jabatannya dan akan menggelar jumpa pers
esok harinya (hari Sabtu).
Sejumlah media massa sontak memuat pernyataan
Iman dan Anton yang mengundurkan dari jabatannya masing-
masing. Hari Senin di acara apel pagi, bupati Garut Agus
Supriadi sangat marah kepada Iman dan Anton yang
disampaikannya dalam pidato di depan peserta Apel. “Si Iman
dan si Anton adalah pengkhianat karena sudah mundur dari
jabatannya.”
Situasi setelah mundurnya Iman dan Anton semakin
memanas. Wakil Bupati Memo Hermawan, yang memiliki
kedekatan secara personal dengan pejabat di Komisi
Pemberantasan Korupsi meminta saran bagaimana menyikapi
dugaan korupsi yang dilakukan bupati Agus Supriadi melalui
hubungan telepon selular yang dikeluarkan suaranya
(loudspeaker) disaksikan Anton Heryanto.
Pejabat KPK menyarankan untuk mempercepat
penangkapan bupati Agus Supriadi adalah dengan cara
dilakukannya aksi unjuk rasa. Memo bersama Anton, Iman
dan pejabat pemda lainnya mengumpulkan sejumlah logistik
guna menggalang aksi unjuk rasa menuntut bupati Agus
Supriadi mundur.
53
Setelah gelombang aksi massa terus melakukan unjuk
rasa ke kantor pemda, gedung DPRD, alun-alun bahkan
mengepung gedung Pendopo sekaligus rumah dinas bupati,
maka akhirnya tanggal 27 Juli 2007 KPK memanggil bupati
Agus Supriadi ke Jakarta dan tidak kembali lagi (dilakukan
penahanan). (*)
Agus Tawari Iman jadi Sekda
Bupati Agus Supriadi yang dikenal keras dan disiplin
ternyata memiliki catatan tersendiri terhadap birokrat
bawahannya yang mempunyai kemampuan dalam kinerjanya.
Salah satunya ia memuji kecerdasan Iman Alirahman yang
justru menjadi pemicu jatuhnya Agus Supriadi dari jabatannya
sebagai bupati.
Ketika Agus Supriadi berada di sel tahanan Polres Metro
Jakarta Selatan atas peranan Hasanudin tiba-tiba antipati
terhadap Achmad Muttaqien, yang saat itu masih menjabat
sekretaris daerah.
Bupati Agus Supriadi secara tegas akan segera
mencopot Achmad Muttaqien, namun ia masih kesulitan
mencari penggantinya sebagai pejabat pelaksana tugas (Plt)
sekda. Dengan berbagai pertimbangan yang sekaligus
didiskusikan dengan Hasanudin dan Ketua APDESI Asep
Hamdani menjatuhkan plihannya ke Iman Alirahman.
54
Melalui telepon genggam milik Ketua APDESI yang saat
itu berada bersama bupati Agus Supriadi di kamar
tahanannya menelpon penulis agar menghubungi Iman
Alirahman guna menyampaikan tawarannya mau menjadi
pejabat pelkasana tugas sekda Garut. Menurut Agus Supriadi,
nama Iman Alirahman sangat pantas menjadi sekda.
Penulis lalu menemui Iman Alirahman di kantor Bappeda
menyampaikan pesan dan amanat dari bupati Agus Supriadi.
Kebetulan di ruang kerja Iman Alirahman sudah ada Wawan
Nurdin. Iman menyatakan akan piker-pikir dulu sekaligus
mengonsultasikannya dengan Wakil Bupati Memo Hermawan.
Memo Hermawan yang kemungkinan sudah mendapat
laporan dari Iman Alirahman kemudian menelpon penulis
dengan menyatakan bahwa Iman Alirahman jangan mau
menerima tawaran dari bupati Agus Supriadi tersebut. Memo
mengkhawatirkan tawaran itu sebagai sebuah jebakan dari
Agus Supriadi, kendati Memo tidak menjelaskan secara rinci
bentuk dan akibat dari jebakan Agus Supriadi.
Bupati Agus Supriadi akhirnya secara resmi
memberhentikan Achmad Muttaqien dari jabatan sekda,
sekaligus mengangkat Budiman sebagai pelaksana tugas
sekda. Waktu itu yang sudah merapat ke Agus Supriadi agar
mengangkatnya sebagai sekda antara lain Yaya.S Permana,
Wowo Wibowo dan Hilman Faridz.
Agus Supriadi memang tidak sendirian dalam
menentukan pilihannya mengangkat Plt sekda, karena dari
kalangan aktivis selalu didampingi oleh Dadan, Deni Ramdani
55
dan Ujang Saeful (Ujang Geren) dengan kelompok Dabo-Ribo-
nya.
Nama Ujang Geren adalah salah seorang aktivis yang
komitmennya dengan Agus Supriadi sangat tinggi. Ia
mempertaruhkan segala-galanya dalam membela Agus
Supriadi, bahkan selalu mengawal Agus Supriadi dalam setiap
persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Ketika Agus Supriadi mengusung Budiman sebagai Plt
Sekda, justru Kepala Badan Kepagawaian Daerah (BKD) Ara
Koswara menjadi tumbalnya karena dipecat oleh Memo
Hermawan. Padahal Ara Koswara salah satu pejabat pemda
Garut yang sangat setia membantu logistik bagi kepentingan
Agus Supriadi setelah mendekam di tahanan.
Ara Koswara dipersalahkan mengangkat Tenaga Kerja
Kontrak (TKK) dengan imbalan uang pelicin. Padahal uang
pelican tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu
dengan menjual nama bupati. Sebut saja Hasanudin ikut
menitipkan beberapa orang TKK, dan penulis termasuk yang
menitipkan kakak sepupu yang berprofesi sebagai guru dan
perawat sebagai TKK melalui Hasanudin.
Dari kasus pengangkatan TKK, Ara Koswara pernah
berurusan dengan aparat penegak hukum di Polres dan
Kejaksaan Negeri Garut. Hanya saja kasusnya tidak berlanjut,
dan Ara sendiri kini menjadi pejabat fungsional alias tidak
diberi jabatan apa pun setelah diberhentikan dari jabatannya
sebagai Kepala BKD. (*).
56
Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum
Naiknya Agus Supriadi dan Memo Hermawan sebagai
bupati dan wakil bupati tidak pernah lepas dari persoalan
hukum. Apalagi Memo Hermawan sejak awal memang sudah
bermasalah dengan hukum.
Birokrasi yang secara de jure berada di bawah
kekuasaan bupati namun faktanya de facto berada di bawah
kendali Wakil Bupati Memo Hermawan dengan Iman
Alirahman sebagai motornya. Kuatnya dominasi Memo
dengan Iman Alirahman, semakin memperkuat kelompok
birokrasi yang di bawahnya ada nama Hengki Hermawan,
Anton Heryanto, Wawan Nurdin, Erlan Rivan, Kuparman dan
Komar Mariyuana.
Setumpuk persoalan hukum yang melilit Memo dan
jajaran pejabat birokrasi lainnya selalu dapat diselesaikan
dengan menggunakan kekuatan politik. Kekuatan tersebut
tidak terlepas pula dari ajang perebutan kekuasaan, sehingga
ada kelompok yang diuntungkan secara hukum namun ada
pula kelompok yang justru jatuh karena hukum. Sebut saja
Ketua DPD Partai Golkar Garut, Drs. H. Ruhiyat Prawira MSi,
adalah bukti dari kekuatan politik yang tidak pernah mengenal
kompromi ketika sudah berhadap-hadapan dengan
kepentingan kekuasaan.
Ketika Memo Hermawan naik menjadi Penjabat Bupati
Garut, saat itu pula peta perpolitikan Garut merubah 360
derajat. Anton Heryanto yang merupakan tokoh kunci dan
tokoh pada jamannya Agus Supriadi justru didepak dari
57
kelompok Memo-Iman. Bahkan Anton harus mengalami nasib
terburuk yaitu digelandang di Kejaksaan Negeri Garut hingga
ke persidangan di Pengadilan Negeri Garut.
Korban berikutnya adalah sekda Garut Drs. Wowo
Wibowo, yang terpaksa selain dicopot dari jabatannya malah
sempat meringkuk di sel tahanan Mapolda Jawa Barat.
Beruntung Wowo Wibowo dinyatakan bebas oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Garut.
Jaringan birokrasi yang dimotori Memo Hermawan,
dengan tangan kanannya Iman Alirahman dan Wawan
Nurdin terbukti sukses memuluskan pasangan Aceng HM
Fikri-Diky Candra terpilih menjadi bupati dan wakil bupati
Garut periode 2009-2014, dan mengantarkan Memo
Hermawan menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Iman
Alirahman sendiri dipercaya menjadi pejabat sementara sekda
Garut setelah ditinggalkan Wowo Wibowo.
Sosok Wawan Nurdin sebagai birokrat memiliki jaringan
yang sangat luar biasa luasnya di institusi penegakan hukum,
yaitu di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Ia memiliki
kemampuan mengatur pejabat dan politisi yang tersandung
masalah hukum, sehingga kasusnya bisa terhenti atau
menggantung.
Pejabat dan politisi yang dibantunya terdiri dari dua
kelompok, Pertama mereka yang memiliki dana kuat dan
merupakan kelompoknya, sehingga secara politis harus
mengikuti permainan Wawan Nurdin bersama kelompoknya.
Kedua, yaitu pejabat dan politisi yang hanya memiliki dana
58
namun bukan dari kelompoknya. Yang terkahir ini, jika sukses
lolos dari jeratan hokum maka secara otomatis harus tunduk
dan masuk kelompok Wawan Nurdin.
Wawan Nurdin pernah bercerita kepada penulis tentang
masalah hukum yang dihadapi mantan Kasubbag Keuangan di
BPKD Erlan Rivan. Wawan Nurdin mau membantunya asal
ada uang tidak lebih dari satu milyar rupiah. Dana sebesar itu
tidak ada artinya dibandingkan dengan jabatan dan
kehormatan.
Erlan ternyata meragukan kemampuan Wawan Nurdin,
akhirnya mencari jalan sendiri dan menurut Wawan Nurdin
dana yang dikeluarkan Erlan Rivan hingga diputus oleh
Pengadilan diperkirakan mencapai lebih dari dua milyar
rupiah, atau jauh lebih besar jika diurus oleh Wawan Nurdin.
(*).
Politisi Rebut Pemerintahan
Lengsernya Wowo dari jabatan sekda, semula akan
memuluskan Iman Alirahman sebagai penggantinya. Namun
lagi-lagi sandiwara perebutan kekuasaan tidak terhindarkan.
Birokrat senior Hilman Faridz tiba-tiba menyodok dengan
mendapat dukungan dari banyak kalangan termasuk para
politisi.
Kelompok Iman dengan kekuatan kekuatan politiknya
menyadari bahwa kekuatan Hilman semakin besar bahkan
59
disebut-sebut mendapat dukungan dari Gubernur Jawa barat
melalui jaringan partai tertentu.
Jalan Hilman menuju jabatan sekda tak terelakan lagi,
namun kubu Iman tidak tinggal diam jauh-jauh hari sudah
dipersiapkan perangkat untuk menghentikan langkah Hilman,
yaitu dengan keluarnya Peraturan Bupati Garut No. 131
Tahun 2009 Tentang Pembatasan usia pensiun bagi pejabat
di lingkungan pemda Garut.
Korban pertama dari Perbup tersebut, tentu saja adalah
Hilman Faridz. Ia hanya menjabat sebagai sekda selama
sembilan saja karena keburu terkena Peraturan Bupati.
Sedangkan dua pejabat pemda lainnya yaitu Kadisdik Komar
Mariyuana dan Asda I Arus Sukarna melenggang manis
karena mendapat perpanjangan sebelum Peraturan Bupati
diterbitkan.
Politisi di Garut memang piawai dan cerdik dalam
merebut kekuasaan di pemerintahan. Politisi pendukung
Hilman harus diapresiasi karena mereka cerdik mengantarkan
Hilman kendati belum berkuasa secara penuh karena hanya
sembilan bulan.
Politisi yang berada di belakang Iman Alirahman, juga
harus diapresiasi karena mereka tidak pernah memudar
semangatnya untuk menjadikan Iman sebagai penguasa di
pemerintahan. Iman Alirahman memang sangat dikehendaki
oleh bupati Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Diky Candra,
karena pemimpin muda itu akan merasakan nyaman
didampingi oleh sekdanya sekelas Iman Alirahman.
60
Sosok Iman Alirahman, memang sangat disegani selain
usianya relatif masih muda dibandingkan pejabat birokrasi
eselon II lainnya juga memiliki kemampuan luar biasa dalam
membangun jaringan baik jaringan politik maupun jaringan
hukum.
Iman memiliki seseorang yang sangat dipercayainya,
yaitu Wawan Nurdin yang sudah bersahabat ketika Iman
menjadi Camat Bayongbong dan Wawan Nurdin waktu itu
menjadi Kepala Desa Bayongbong. Persahabatannya berlanjut
hingga Wawan Nurdin diangkat menjadi pegawai negeri sipil
(PNS) di lingkungan pemda Garut.
Iman Alirahman dan Wawan Nurdin layaknya “gula dan
manis-nya” yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Sebagai uji coba, Wawan Nurdin sempat diangkat menjadi
Kepala Bidang Pemerintahan Desa di Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) menjelang
perhelatan akbar pemilihan umum (Pemilu) Legislatif dan
pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Jabatannya itu, justru sebagai sarana untuk
menggalang kepala desa menyukseskan calon anggota DPRD
Jawa Barat Bagus Wiwaha dan Mayjen (Purn) Yahya
Sacawinata untuk DPR dari partai Demokrat. Nama Yahya
Sacawinta, waktu itu disebut-sebut bakal menjadi Menteri
Dalam Negeri jika SBY terpilih kembali menjadi presiden RI.
Setelah pemilu selesai Wawan Nurdin kembali ke habitatnya,
yaitu menjadi pejabat fungsional (jafung) di Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA).
61
Beberapa pergantian pejabat di lingkungan pemda
Garut dalam kepemimpinan bupati Aceng HM Fikri tidak
terlepas dari peranan Wawan Nurdin dalam menempatkan
sejumlah pejabat dari mulai eselon IV hingga eselon II.
Kongkritnya, Wawan Nurdin adalah sosok birokrat yang
sangat cerdik dalam menjabarkan sekaligus
mengaktualisasikan pola yang dirancang Iman Alirahman
dalam menguasai pemerintahan, politik dan hukum. (*)
Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)
Wakil rakyat di DPRD Kabupaten Garut pasca
tumbangnya rezim orde baru, memang menjadi sangat
berkuasa. Jika periode pertama reformasi 1999-2004 yang
diketuai Ir. Iyos Somantri dan Dedi Suryadi sangat ditakuti
eksekutif. Apa yang diminta pimpinan DPRD tidak pernah ada
yang ditolaknya.
Bupati Dede Satibi dengan sekdanya Rahmat Sudjana,
dan penguasa anggaran waktu itu Drs. Yaya S. Permana
sebagai Asda III mampu mengatur semua keiinginan dan
permintaan DPRD kendati pada akhirnya wakil rakyat
tersandung masalah hukum, menyusul terendusnya
penyimpangan dana APBD yang dikenal dengan APBD-gate.
DPRD periode 2004-2009 semakin menguat setelah
Dedi Suryadi (PPP) naik menjadi Ketua DPRD mengalahkan
Kohar Somantri didukung oleh bupati Garut Agus Supriadi.
Dedi Suryadi sebagai politisi muda yang cerdik dan energik
62
diam-diam membangun jaringan dengan wakil bupati Garut
Memo Hermawan melalui peranan Iman Alirahman-Wawan
Nurdin-Anton Heryanto dari pihak birokrasi, diperkuat
Hasanudin dari kelompok aktivis yang dikenal dekat dengan
Dedi Suryadi.
Kocek DPRD mengalir terus dari dana APBD baik yang
mengalir secara normatif berdasarkan ketentuan yang ada
maupun yang dilakukan “di belakang layar”, terutama dalam
memuluskan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban
(LKPJ) yang selalu diselesaikan secara “adat” jika kemudian
diketahui ada yang tidak sesuai dengan kehendak DPRD.
Memo Hermawan sebagai Wakil Bupati, dan Dedi
Suryadi sebagai Ketua DPRD adalah dua sosok politisi yang
tersandung masalah hukum. Jika kasus Memo masih terus
menggantung di Polda dan Kejaksaan Tinggi (jalan di
tempat), sementara kasus Dedi Suryadi sudah masuk ke
Mahkamah Agung.
Berkat jaringan politik dan hukum yang dilakukan para
birokrat cerdik, maka kedua kasus tersebut pun dalam
terselesaikan “secara adat”. Memo hingga kini tetap “aman”
dan Dedi Suryadi sendiri justru dalam Putusan Peninjauan
Kembali (PK) di Mahkamah Agung dinyatakan bebas. Memo
akhirnya melenggang ke gedung DPRD propinsi sebagai
anggota periode 2009-2014, sedangkan Dedi Suryadi terhenti
melenggang ke Senayan (gedung DPR-RI) karena perolehan
suaranya tidak signifikan dalam pemilu legislatif tahun 2009.
63
Ahmad Bajuri diuntungkan oleh Peraturan Pemerintah
No. 16 Tahun 2010 sebagai implementasi dari UU No. 27
Tahun 2009 Bahwa yang berhak menjadi Ketua DPRD adalah
dari partai pemenang pemilu. Akhirnya Lucky Lukmansyah
harus rela di posisi sebagai Wakil Ketua DPRD.
Golkar dan PDIP mendapat jatah pula untuk posisi wakil
Ketua, yaitu Drs H. Ruhiyat Prawira dan Dedi Hasan Bahtiar.
Penunjukan Dedi Hasan Bahtiar dari PDIP semata-mata
karena condongnya Memo terhadap Dedi Hasan, yang
sebelumnya Memo pun sempat meminta pendapat dan
pandangan kepada Penulis jika Dedi Hasan menjadi Wakil
Ketua DPRD.
Pasca pemilu legislatif 2009 dengan kemenangan partai
Demokrat, maka berubah pula wajah DPRD Garut karena
politisi anak bawang Ahmad Bajuri tiba-tiba naik menjadi
Ketua DPRD padahal yang dikehendaki penguasa di
pemerintahan kabupaten Garut adalah politisi PPP. Bahkan
fungsionaris partai Demokrat, yaitu H. Gunadi BSc menggebu-
gebu memperjuangkan agar Ir. Lucky Lukmansyah Trenggana
sebagai Ketua DPRD.
Penulis sempat dihubungi H. Gunadi untuk
memperjuangkan Lucky. Penulis, yang juga anggota KPU
menyampaikan pendapat kepada H. Gunadi bahwa Lucky
tidak mungkin bisa naik menjadi Ketua DPRD karena
mekanismenya sudah diatur oleh PP No. 16 Tahun 2010 dan
tidak ada mekanisme pemilihan pimpinan DPRD melainkan
penunjukan sesuai perolehan kursi hasil pemilu 2009
64
Wajah DPRD Garut periode 2009-2014 dari segi kualitas
jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang memiliki
sejumlah anggota sekelas Dedi Suryadi, Kohar Somantri,
Haryono, Dikdik Darmika, Gaos Syamdani, Ali Rohman.
Di periode 2009-2014 hampir semua pemain baru,
kecuali yang tersisa antara lain Lucky Lukmansyah, Ahmad
Bajuri, Dedi Hasan Bahtiar dan Yogi Yudawibawa. Semuanya
belum teruji sehingga bisa sekelas dengan wajah anggota
DPRD periode sebelumnya. Hanya Lucky Lukmansyah yang
lumayan teruji. Sedangkan Ahmad Bajuri masih harus banyak
belajar, sehingga ia tidak pernah bisa lepas dari ketiak
Wawan Nurdin dan Bagus Wiwaha.
Wajah DPRD Garut sedikit tertolong dengan masuknya
mantan pejabat pemda Garut, H Sobirin dari partai Demokrat.
Sosok Sobirin memang cukup berpengalaman, maka tidak
heran jika ia diposisikan sebagai Ketua Komisi C yang salah
satunya membidangi masalah keuangan.
Sobirin banyak terlibat di Panitia Anggaran (Panggar),
yang setidak-tidaknya bias mengimbangi pihak eksekutif yang
jago-jago dalam hal perhitungan anggaran.
Dua anggota DPRD Garut terpilih dari Partai Golkar
(Agus Ridwan, SH) dan dari PAN (Usep Jumhur) memperoleh
kursinya dengan mengorbankan seniornya di partai masing-
masing.
Agus Ridwan mendepak Ojo Sukmana di Daerah
Pemilihan Garut I berkat bantuan salah satu anggota Panitia
65
Pemilihan Kecamatan (PPK) Karangpawitan Asep Irvan yang
mengatur perolehan suara sehingga Agus Ridwan menyalip
perolehan suara Ojo Kusmana. Padahal faktanya suara Ojo
Kusmana jauh di atas suara yang diperoleh Agus Ridwan.
Asep Irvan nyaris dipidanakan, namun penulis yang
juga anggota KPU menyarankan kepada Ketua KPU Garut Aja
Rowikarim, M.Ag sebaiknya Asep Irvan dipecat saja dari
anggota PPK Kecamatan Karangpawitan. Asep Irvan akhirnya
dipecat dan dalam pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden 2009 tidak lagi ikut serta dalam kegiatan kepemiluan
di PPK Kecamatan Karangpawitan.
Sedangkan Usep Jumhur dari PAN merebut kursi DPRD
setelah calon terpilih urutan peraih suara terbanyak pertama
H. Gaos Syamdani meninggal dunia sebelum pelantikan
dilaksanakan. Mestinya pengganti H. Gaos Syamdani adalah
Hj. Tinnekeu, namun isteri mantan Ketua DPD PAN Garut H.
Sofwy Irvan itu dilaporkan ke Polres Garut dengan tuduhan
penggunaan ijazan palsu SMA-nya.
Akhirnya Hj. Tinnekeu menyatakan mengundurkan diri
dari calon anggota DPRD dan belakangan sekaligus mundur
dari keanggotaannya sebagai kader Partai berlambang
matahari. Mundurnya Hj. Tinnekeu memuluskan Usep Jumhur
yang berada di posisi ketiga menjadi anggota DPRD Garut
periode 2009-2014, dan di internal PAN masa bakti Usep
Jumhur hanya 2,5 Tahun karena berikutnya akan diganti oleh
calon urutan ke 3 Haris.
66
Begitulah percaturan politik dalam merebut kekuasaan
menghalalkan segala cara, termasuk menari di atas
penderitaan temannya sendiri yang penting kekuasaan dapat
digenggamnya. ( *).
Skandal Seks yang Di peti es kan
Adalah satu-satunya anggota DPRD Garut dari Partai
Gerinda, Hilman Yudiswara tersandung masalah pelecehan
seksual karena membawa gadis di bawah umur ke salah satu
hotel di kawasan wisata Cipanas.
Hilman dilaporkan oleh orang tua gadis yang
dikencaninya ke polisi. Hilman pun ditetapkan sebagai
tersangka, namun kasusnya hingga kini lenyap ditelan bumi
(dipeti es kan).
Dipetieskannya kasus Hilman berawal ketika Hilman
bersama ayahnya menemui penulis di kantor Redaksi Garoet
Pos. Mereka meminta bantuan penulis agar kasusnya dapat
diselesaikan tanpa harus berlanjut ke ranah hukum. Alasan
menemui penulis karena penulis salah satu anggota KPU.
Penulis menyarankan agar menemui Hasanudin (aktivis)
yang diketahui penulis punya kedekatan khusus dengan
Kapolres Garut waktu itu AKBP. Amur Candra dan
Kasatreskrim AKP. Oon Suhendar. Penulis kemudian
mempertemukan Hilman dan ayahnya dengan Hasanudin di
restoran Pujasega.
67
Selanjutnya Hasanudin bekerja untuk Hilman dengan
menggunakan lobi-lobi intensif di Polres Garut. Hasilnya,
kasus Hilman dipetieskan bahkan sekarang Hilman
melenggang menjadi Ketua DPC Partai Gerinda Kabupaten
Garut.
Hasanudin sempat mengeluhkan kekecewaannya
kepada penulis setelah sukses membantu Hilman yang kasus
pidananya tidak berlanjut. Hilman dianggap politisi kemarin
sore yang tidak komit atas penyelesaian kasusnya. Bahkan
Hasanudin menyatakan politisi seperti Hilman tidak bisa
diandalkan.
Hal yang sama dialami oleh Bendahara DPD PAN Garut,
Hj Tinekeu yang dilaporkan oleh kader PAN ke Polres dengan
dugaan menggunakan ijazah palsu dalam pencalonannya
sebagai anggota DPRD Garut pada Pemilu 2009.
Hj. Tinekeu adalah calon anggota DPRD Garut dari
Daerah Pemilihan Garut 2 meliputi kecamatan Tarogong
Kaler, Tarogog Kidul, Banyuresmi, Samarang dan Pasirwangi.
Ia seharusnya menggantikan H. Gaos Syamdani yang
meninggal dunia sebelum pelaksanaan pelantikan anggota
DPRD Garut hasil pemilu 2009.
Hj. Tinnekeu tidak dikehendaki menggantikan Gaos
Syamdani, maka didongkel-lah dugaan penggunaan ijazah
palsunya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut kerja keras
menangani proses pergantian antar waktu (PAW), dan
anggota KPU Garut M. Iqbal Santoso dan pegawai di
68
Sekretariat KPU sempat diperiksa sebagai saksi setelah Hj.
Tinnekeu ditetapkan sebagai tersangka.
Lagi-lagi istilah “politik itu kejam”, memang benar dan
dialami oleh Hj Tinnekeu yang harus menyatakan mundur dari
pencalonannya sebagai anggota DPRD Garut terpilih karena
ada deal politik tidak akan dilanjutkan perkaranya di
kepolisian.
Terbukti sudah, setelah Hj Tinnekeu menyatakan
mundur lalu DPRD dan KPU memproses pergantian antar
waktu (PAW), kemudian keluarlah surat keputusan Gubernur
Jawa Barat yang menetapkan dan mengangkat Usep Jumhur
sebagai pengganti Hj Tinnekeu maka kasusnya di Polres Garut
hingga kini raib ditelan bumi alias dipeti es kan.(*)
Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum
Penegak hukum terutama dari Polres Garut mulai
mengincar dan membidik anggota DPRD, yang diduga
menerima aliran bantuan sosial (bansos) dan dana alokasi
khusus (DAK) di Dinas Pendidikan.
Anggota Fraksi Partai Demokrat Ny. Euis Komariah
kepada penulis mengaku didatangani sejumlah anggota polisi
berseragam ke gedung DPRD Garut meminta keterangan
seputar aliran DAK dari Disdik, karena diduga sejumlah
anggota dewan mendapat jatah proyek yang didanai dari DAK
tersebut.
69
Anggota dewan yang satu ini terbilang vokal sehingga
meminta petugas dari kepolisian itu untuk tidak meminta
keterangannya di gedung DPRD melainkan secara resmi di
Markas Kepolisian Resort Garut dengan berita acara
pemeriksaan. Dengan begitu, menurut Ny. Euis Komariah bisa
leluasa berbicara apa adanya berkaitan data dan keterangan
yang dibutuhkan pihak kepolisian.
Namun ternyata tidak ada kelanjutannya, dan masih
menurut Ny Euis Komariah yang biasa dipanggil dengan
panggilan “bunda” itu padahal dirinya sudah sangat siap.
Namun belakangan malah Ketua Komisi D, dr. Helmi Budiman
yang membidangi pendidikan dan kesehatan sudah dimintai
keterangannya.
Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan
memang sangat besar, selain ada proyek pengadaan buku,
ada juga proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah-
sekolah. Kabar yang merebak proyek-proyek tersebut sudah
ada yang memegang oleh pihak-pihak yang memiliki akses
termasuk di kalangan anggota DPRD.
Karena menumpuknya proyek di Dinas Pendidikan
mengakibatkan bupati Garut Aceng HM Fikri mengalami
kesulitan mencari penggganti Kepala Dinas Pendidikan yang
ditinggalkan Komar Mariyuana setelah resmi pensiun.
Kesulitan tersebut sangat boleh jadi berkaitan dengan
pengamanan proyek yang terlanjur sudah didistribusikan ke
banyak pihak, karena sangat sulit mencari figur Kepala Dinas
70
Pendidikan setangguh Komar Mariyuana yang dikenal dekat
dengan aparat penegak hukum.
Kerja ekstra keras berpulang kepada sekda Garut Iman
Alirahman untuk mengamankan semua persoalan yang ada di
lingkungan pemda Garut, tidak terkecuali masalah yang
menumpuk di Dinas Pendidikan, termasuk yang melibatkan
anggota DPRD.
Lagi-lagi Iman diuji kemampuannya, kepiawaian
menggalang jaringan dan kekuatan hukumnya agar semua
persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik seperti
motto Pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
(*)
Aktivis dan Proyek D.A.K Buku
Jika anggota DPRD bermain dalam proyek yang didanai
dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan sudah tidak aneh
lagi. Kalau seorang aktivis bermain dalam proyek yang sama,
memang aneh apalagi melibatkan pejabat penegakan hukum
untuk memuluskan perolehan proyeknya.
Adalah Direktur Pusat Informasi dan Studi
Pembangunan (PISP) Hasanudin, dengan menggaet Kepala
Satuan Reserse Polres Garut AKP. Oon Suhendar berhasil
melumpuhkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut
Komar Mariyuana dan jajarannya sehingga proyek D.A.K buku
71
yang nilainya 1,8 milyar rupiah diraih oleh Hasanudin dengan
mengusung bendera PT. Mangle Panglipur.
Hasanudin pernah bercerita kepada penulis bagaimana
kerasnya “berperang” melawan pesaing-pesaingnya dalam
memperebutkan proyek tersebut bahkan tangan kanan bupati
Garut Isur Suryana yang membawa pengusaha kuat harus
terpental oleh kepiawaian Hasanudin dengan gayanya yang
khas memanfaatkan ketakutan jajaran birikrat di Dinas
Pendidikan oleh pejabat di Polres Garut. Hasanudin mengaku
kecewa karena pengusaha dari Jakarta yang meminjam
bendera PT. Mangle Panglipur tidak konsisiten atas komitmen
yang disepakatinya menyangkut “komitmen fee” sebesar
sepuluh (10) persen dari nilai proyeknya.
Dari fee yang diperoleh Hasanudin dialirkan ke
beberapa pihak, terutama ke pejabat di Polres Garut, pejabat
di Dinas Pendidikan, pejabat di pemda Garut yang terlibat
dalam panitia lelang, seperti Kepala Bagian Pengendalian
Pembangunan Heri Suherman, SE.
Penulis sendiri kecipratan sebesar tiga juta rupiah,
karena saat itu Hasanudin tahu bahwa penulis sedang
kesulitan uang untuk membayar sewa kontrak kantor Redaksi
SKU Garoet Pos yang sudah habis masa kontraknya dan
pemiliknya hampir tiap hari mempertanyakan apakah akan
dilanjutkan atau tidak sewa kontraknya.
Hasanudin yang kebetulan numpang aktivitasnya di
kantor penulis mengaku kewalahan menghadapi sejumlah
72
orang yang meminta bagian dari fee proyek buku DAK itu,
termasuk sejumlah wartawan. (*)
Desakan PAW
DPRD Garut hasil pemilihan umum 2009 terus digoyang
kelompok masyarakat tertentu, menyusul beberapa anggota
DPRD yang bermasalah hukum, terutama tiga anggotanya
dari Fraksi partai Golkar, yaitu Wakil Ketua DPRD H. Ruhiyat
Prawira, Ketua Fraksi Rajab Prinaldi, dan Agus Ridwan.
DPRD kerap didatangi kelompok masyarakat yang
mendesak agar tiga anggota DPRD tersebut diberhentikan
karena dianggap sudah tidak memenuhi syarat setelah
dinyatakan bersalah oleh pengadilan sebelum yang
bersangkutan dilantik menjadi wakil rakyat.
Sekretaris DPRD Garut Ny. Farida Susilawati mengakui
berdatangannya kelompok masyarakat yang mendesak
dilakukannya pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD
itu. Hal yang sama dibenarkan oleh anggota Fraksi partai
Demokrat Ny. Euis Komariah. Bahkan menurut Ny. Euis
Komariah kelompok masyarakat yang mendesak PAW itu
menuding KPU menerima uang pengamanan dari anggota
DPRD yang bermasalah agar tidak di-PAW.
Tentu saja KPU Garut tidak terima tuduhan yang
menyakitkan itu, karena bagi KPU tidak pernah menunda-
nunda Pergantian Antar Waktu (PAW) jika prosesnya
73
ditempuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Setahu penulis bahwa mekanisme PAW diawali dari
pengusulan partai politik ke DPRD untuk memproses
Pergantian Antar Waktu (PAW), yang surat dan dokumen-
dokumen lainnya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris
partai bersangkutan. Selanjutnya DPRD mengusulkan ke KPU
agar melakukan verifikasi, dan pihak KPU membentuk
Kelompok Kerja PAW, dengan anggota pokjanya selain dari
KPU juga melibatkan unsur pemerintah daerah dan sekretariat
DPRD.
Jika hasil verifikasi sudah terpenuhi maka KPU
mengajukan usulan ke Gubernur Jawa Barat untuk
menerbitkan surat keputusan pemberhentian dan
pengangkatan anggota DPR yang terkena pergantian antar
waktu (PAW).
Kelompok penekan/pressur PAW ke DPRD Garut, diduga
kuat ada muatan-muatan politis tertentu tanpa memahami
prosedur yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan sehingga dengan arogan dan kejinya menuduh KPU
main mata dengan tuduhan menerima aliran dana dari
anggota DPRD yang bermasalah.
KPU Garut baru menyelesaikan satu kali pergantian
antar waktu (PAW) dari Partai Amanat Nasional (PAN), itu pun
prosesnya memakan waktu cukup lama karena permasalahan
di internal partai cukup alot juga sehingga pemberkasan
bolak-balik antara KPU-DPRD dan PAN. (*).
74
Tebang Pilih Penanganan Hukum
Penegakan hukum pasca tumbangnya rezim orde baru
memang semakin kencang terutama yang berhubungan
dengan pejabat dan wakil rakyat. Akan halnya di abupaten
Garut dimulai dengan diseretnya pimpinan DPRD Garut
periode 1999-2004, kemudian mnyusul bupati Garut H. Agus
Supriadi.
Setelah itu berturut-turut mantan Kepala Dinas Pasar
Drs. Djohansyah Kustiaman, mantan Sekda Garut H. Achmad
Muttaqien, dan mantan Sekda Wowo Wibowo, mantan Kabag
Keuangan Kuparman, mantan pejabat di di BPKD Anton
Heryanto, Erlan Rivan, Enjang dan lain-lain.
Dari pihak DPRD, tercatat nama mantan Wakil Ketua
Dikdik Darmika, Barman Sachyana (alm), Ofie Firmansyah, Ali
Rohman. Politisi sekaligus pengusaha H. Ruhiyat Prawira,
Rajab Pirnandi, Endang Suhendar, Agus Ridwan.
Sedangkan mantan Kepala Dinas PU Bina Marga, Ir.
Deni Suherlan dan sejumlah pejabat di bawahnya, kemudian
mantan pejabat di Bagian keuangan Totong, SE.,M.Si dan
Dra. Aneu Hayati, M.Si yang sudah ditetapkan sebagai
tersangka sejak tahun 2004 hingga kini terus menggantung
bahkan Deni Suherlan diangkat menjadi Kepala Dinas
Bangunan dan Pemukiman (sekarang Dispertacip). Totong
dan Aneu Hayati justru saat ini menjadi Kepala DPPKA dan
Kepala Bidang Perimbangan di DPPKA.
75
Kepiawaian orang atau pihak yang menggantung kasus
tersebut memang luar biasa. Bayangkan saja, tersangka dari
kalangan pengusaha yaitu H. Ocad Rosadi yang sempat
berstatus tahanan kota setelah dijatuhi hukuman empat tahun
kini beada di sel tahanan.
Hal yang sama juga dialami mantan bupati Garut
H. Agus Supriadi yang dijatuhi hukuman 10 tahun oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Agus Supriadi
termasuk yang terkait kasus serupa bersama Ocad Rosadi,
Totong dan Aneu Hayati dalam aliran dana pembayaran
pembangunan pasar Cikajang.
Penulis sempat berbincang-bincang dengan salah
seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Garut, kenapa Totong
digantung. Menurut Jaksa tersebut karena Totong adalah
pejabat yang berada pada jabatan panas. Maksudnya yaitu
jabatan yang mengelola keuangan daerah.
Belakangan Kepala Dinas Bina Marga H. Atang
Subarzah, juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh
Polda Jabar, namun lagi-lagi prosesnya menggantung. Kesan
tebang pilih penanganan hukum tidak bisa dipungkiri lagi.
Faktanya, Memo Hermawan, Deni Suherlan, Totong, Aneu
Hayati, Ahmad Bajuri (Ketua DPRD), Atang Subarzah nyaris
tidak terusik lagi.
Hal yang sama, diawal kepemimpinan bupati Aceng HM.
Fikri sempat berurusan dengan Polda Jabar dari dugaan
penerimaan penerimaan dana bantuan sosial untuk kegiatan
istigosah sewaktu bupati Agus Supriadi. Lagi-lagi penanganan
76
kasus tersebut hingga saat ini tidak ada kabar beritanya lagi,
nyaris ditelan bumi dan terkubur rapat-rapat.
Kasus-kasus berskala kecil justru sebaliknya mengalir
deras ditangani pihak penegak hukum, terutama oleh Polres
Garut dan Kejaksaan Negeri Garut. Sebut saja kasus kepala
desa, proyek-proyek di Dinas Perternakan dan kasus-kasus
lainnya yang lebih kecil dibandingkan kasus yang melibatkan
sejumlah pejabat dan wakil rakyat.
Yang tak kalah menariknya adalah kasus yang melilit
Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (APDESI)
Asep Hamdani, Kepala Desa Sukakarya Kecamatan Samarang
Kabupaten Garut kendati sempat mendekam di sel tahanan
Mapolda Jabar terkait kasus bersama mantan Wakil Ketua
DPRD Garut Dikdik Darmika, dan salah seorang aktivis LSM
Tedi justru berubah hanya menjadi saksi dan kini bebas
berkeliaran, malah desanya mendapat bantuan dari
pemerintah propinsi berupa dana peradaban sebesar satu
milyar rupiah.
Konon Asep Hamdani, disebut-sebut memiliki kedekatan
dengan kekuasaan dan mendapat pembelaan dan bantuan
advokasi dari pihak kekuasaan melalui peranan Wawan
Nurdin.
Wawan Nurdin sendiri kepada penulis mengakui telah
membantu Ketua APDESI lolos dari jeratan hukum di Polda
Jawa Barat. Dengan harapan, Ketua APDESI itu bisa
membantu mendulang suara bagi calon anggota DPRD Jawa
Barat dari Partai Demokrat, yaitu Bagus Wiwaha.
77
Keterlibatan Wawan Nurdin dalam membantu
membebaskan Ketua APDESI diakuinya kepada penulis dalam
suatu perbincangan yang kerap dilakukan penulis dengan
Wawan Nurdin. Hanya saja Wawan Nurdin mengaku kecewa
terhadap Ketua APDESI itu karena tidak komit dalam
mendulang suara untuk salah satu calon anggota DPRD Jabar
dari Partai Demokrat, Bagus Wiwaha.
Wawan Nurdin tidak bisa melupakan kekecewaannya,
karena faktanya Asep Hamdani ingkar janji karena gagal
mengantarkan Bagus Wiwaha ke kursi DPRD. Keberuntungan
memang berpihak kepada Ketua APDESI Garut tersebut.
Penulis sempat pula diminta bantuan oleh Wawan
Nurdin dan Ahmad Bajuri agar menaikan suara Bagus Wiwaha
di KPU Garut, yang justru saat itu KPU Jawa Barat sedang
menggelar rapat Pleno Penghitungan suara. Penulis yang
sedang mengikuti Rapat Pleno di KPU Jabar dan menginap di
salah satu Hotel di Jalan Riau didatangi Wawan Nurdin
bersama seorang perempuan cantik, konon katanya salah
seorang mahasiswi di kota Bandung.
Penulis yang menginap bersama Kepala Sub Bagian
Teknis KPU Garut, Parhan, S.IP memutuskan untuk segera
pulang saja ke Garut karena didatangi Wawan Nurdin, dan
besok paginya penulis berangkat lagi ke Bandung untuk
mengikuti Rapat Pleno yang berlangsung sangat alot. (*)
78
Wowo Wibowo Diputus Bebas
Nasib tragis menimpa Drs. H. Wowo Wibowo M.Si yang
dilantik sebagai sekretaris daerah menjelang akhir masa
jabatan Memo yang menjadi pejabat bupati Garut, menyusul
diberhentikannya bupati Garut H. Agus Supriadi.
Terpilihnya Wowo Wibowo sebagai sekda Garut sangat
tidak dikehendaki oleh pejabat bupati Memo Hermawan.
Masalahnya Memo menghendaki Iman Alirahman sebagai
sekda karena kalkulasi politiknya justru akan menguntungkan
Memo selaku Ketua PDIP Cabang Kabupaten Garut.
Kendati Memo sempat tidak mau melantik Wowo
Wibowo, namun surat keputusan Gubernur Jawa Barat atas
dasar hasil uji kelayakan dan kepatutan yang diperkuat oleh
Kementerian Dalam Negeri bahwa Wowo-lah yang lolos
menjadi sekda Garut, akhirnya Memo tidak bias lama-lama
menunda pelantikannya.
Wowo resmi menjabat sekda Garut hanya beberapa
bulan menjelang berakhir masa jabatan Memo. Wowo
mendampingi bupati dan wakil bupati Garut terpilih hasil
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) 2008, yaitu
Aceng HM Fikri dan Dicky Candra.
Sebelum menyerahkan jabatannya kepada Aceng HM
Fikri ada komitmen tidak tertulis antara Memo dan Aceng HM
Fikri, yaitu agar menjadikan Iman Alirahman sebagai
sekdanya sehingga di awal kepemimpinan bupati Aceng HM
79
Fikri dibuat tidak nyaman didampingi oleh Wowo Wibowo
sebagai sekdanya.
Rekayasa hukum dimainkan dengan cara mendesak
pihak Polda Jabar yang sempat menunda proses
penananganan kasus Wowo Wibowo terkait dugaan
penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) sewaktu Wowo
menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD).
Banyak kalangan yang meragukan keterlibatan Wowo
dalam kasus bansos tersebut, karena Wowo sama sekali tidak
turut menikmatinya kecuali hanya menandatangani pencairan
dana bansos sebelum APBD kabupaten Garut disahkan. Boleh
jadi, ditundanya proses penanganan kasus Wowo oleh Polda
karena hanya kesalahan penandatangan proses pencairan
saja.
Karena Wowo tidak dikehendaki mendampingi bupati
Aceng HM Fikri, dan ingin segera Iman Alirahman naik
sebagai sekda maka Polda pun melanjutkan prosesnya dan
sempat menahan Wowo di tahanan Mapolda Jawa Barat pada
tanggal 4 Mei 2009.
Polda Jabar kemudian melimpahkan berkas perkaranya
ke Kejaksaan Negeri Garut, lalu Wowo dibawa ke sidang
Pengadilan Negeri Garut dengan tuntutan dua tahun enam
bulan penjara. Proses peridangan terbilang cepat dengan
putusan/vonis bahwa Wowo dinyatakan tidak bersalah dari
semua dakwaan dan tuntutan Jaksa oleh Majelis Hakim yang
dipimpin Puji Astuti Handayani.
80
Padahal Wowo didakwa oleh Jaksa ketika menjabat
sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD)
Kab. Garut, melanggar pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat 1 ke 1 jo. pasal 64
ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Karena Wowo Wibowo dipulihakan kembali nama
baiknya, dan kembali ke pemda Garut namun tidak diberi
jabatan apa pun. Garis tangan Wowo Wibowo yang disebut-
sebut sebagai pejabat bersih memang selalu baik. Setelah
diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Garut, dan tidak punya
jabatan apa pun di pemda Garut justru dipercaya oleh Wali
Kota Bogor menjadi salah satu staf ahlinya di Pemerintah
Kota Bogor. “Memang Wowo luar biasa”.
Kalau saja pengganti Wowo, yaitu Hilman Faridz cukup
waktu menjadi sekda Garut boleh jadi akan diperlakukan
sama seperti Wowo. Beruntung Hilman dibatasi oleh
Peraturan Bupati (Perpub) No. 131 Tahun 2010 Tentang
Pembatasan Usia Pensiun Bagi Pegawai/Pejabat di lingkungan
Pemda Garut.
Selamatlah Hilman dari kemungkinan jeratan hukum,
kendati Hilman tidak tinggal diam untuk tetap
mempertahankan jabatannya. Kenapa tidak, jabatannya yang
baru dijalaninya selama sembilan bulan harus berakhir hanya
karena dibatasi Peraturan Bupati. Kalau hal itu disadari oleh
Hilman Faridz, boleh jadi ia mensyukurinya karena lolos dari
upaya pendongkelan/rekayasa hukum yang menyeretnya ke
meja hijau. (*)
81
Jabatan Sekda Dipolitisir
Jabatan sekretaris daerah jangan menjadi rebutan kepentingan karena jabatan tersebut karir tertinggi bagi pejabat birokrasi di daerah sebagai pengelola manajemen pemerintahan yang membantu tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Jabatan sekda ternyata nyaris menyamai jabatan bupati
dan wakil bupati. Kenapa tidak, setiap pergantiannya menjadi ajang rebutan kepentingan berbagai kelompok elit. Sementara rakyat hanya menonton dari kejauhan dan hampir dipastikan tidak peduli siapa yang menduduki jabatan tersebut. (Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Katholik Parahyangan Prof. DR. Asep Warlan Yusuf).
Rebutan kepentingan untuk sebuah jabatan sekda di
Garut dimulai dari kepemimpinan Bupati Garut periode 1993-1998 Drs. H Toharudin Gani. Pejabat karir di gedung Sate itu saat terpilih jadi bupati Garut harus berdampingan dengan sekda yang berasal dari gedung Sate, yaitu Memet Hamdan yang dikenal cerdas, berani dan memiliki jaringan kuat. Bupati dan sekda waktu itu kurang harmonis sehingga memunculkan beragam spekulasi.
Memet Hamdan terpental dari Garut dan harus
menerima jabatan yang sama di kabupaten Purwakarta. Nama Iing Kosim yang merupakan putera daerah Garut, tiba-tiba muncul sebagai pengganti Memet Hamdan. Toharudin pun nyaman didampingi Iing Kosim hingga akhirnya mereka maju menjadi calon bupati Garut pada pemilihan bupati 1999, kendati dikalahkan oleh Dede Satibi, yang waktu itu masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi.
82
Bupati Dede Satibi di awal kepemimpinanya didampingi Sekda Iing Kosim, lagi-lagi ketidakharmonisan tidak bisa dipungkiri. Iing Kosim terpaksa hengkang dari Garut dan dipromosikan menjadi Wakil Bupati Subang , sementara Dede Satibi lebih memilih pejabat karir dari lingkungan pemkab Garut , yaitu Rachman Ruhendar (Kepala Bappeda) sebagai pengganti Iing.
Sayangnya, Rachman Ruhendar tidak lama enjadi sekda
karena meninggal dunia. Dede Satibi lumayan kesulitan mencari penggantinya, apalagi kepemimpinan almarhum Rachman Ruhendar terbilang kondusif, karena ia dikenal sosok pejabat yang mumpuni, rendah hati, cerdas dan “parigel”. Kondisi pemerintahan di kabupaten Garut saat itu berjalan baik, gairah dari kalangan birokrasi pun terbangun secara baik pula.
Agaknya Drs. Dede Satibi kesulitan mencari pengganti
almarhum dari lingkungan sendiri, ia kemudian menarik sahabatnya Drs.H. Rachmat Sudjana (waktu itu Kepala Bappeda Kabupaten Sukabumi) menggantikan almarhum Rachman Ruhendar. Duet Dede Satibi-Rachmat Sudjana terbilang sukses, apalagi saat itu dihadapkan kepada kuatnya tekanan DPRD hasil pemilu pertama era reformasi.
Sukses Dede Satibi-Rachmat Sudjana bersama Drs. Yaya
S.Permana sebagai pejabat pengelola anggaran karena menjabat Asda III, tanpa disadari menjebak pimpinan dan para anggota DPRD yang kemudian berakhir dengan munculnya kasus “ APBD gate” jilid I dan jilid II.
Rezim Dede Satibi berakhir, lalu beralih ke H. Agus
Supriadi, yang saat itu tidak mau memperpanjang jabatan Rachmat Sudjana sebagai sekdanya. Agus pun dianggap
83
melanggar komitmen dengan Ketua DPC PPP Dedi Suryadi, yang juga Wakil Ketua DPRD, dimana kemenangan Agus-Memo dalam pemilihan justru ditentukan oleh suara dari Fraksi PPP. Dedi meminta kepada Agus agar memperpanjang masa jabatan sekda Rachmat Sudjana.
Agus lebih memilih Drs. Achmad Muttaqien untuk
mendampinginya. Gebyar pembangunan pun dijalankan oleh bupati H. Agus Supriadi, dan diakui banyak kalangan memang memunculkan gairah terutama di pedesaan. Kendati saat itu Achmad Muttaqien tidak terlampau signifikan menjalankan tugasnya selaku pengelola manajemen pemerintahan.
Jajaran birokrasi di pemkab Garut terpecah-pecah, dan
sekda Achmad Muttaqien tidak mampu berbuat banyak, apalagi saat itu ada kekuatan luar biasa di lingkungan pemkab Garut yang bisa mengatur banyak hal, terutama soal mutasi pejabat dan penentuan anggaran.
Agus Supriadi, nampaknya merasakan ketidaknyaman
bersama sekda Achmad Muttaqien, justru saat ia berada di sel tahanan Mapolres Metro Jakarta Selatan setelah dijebloskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Agus pun memberhentikan Muttaqien sekaligus menunjuk Budiman sebagai pelaksana tugas (Plt) sekda dan mengajukan nama Wowo Wibowo selaku sekda definitif.
Nama Drs. Wowo Wibowo diusung oleh bupati H. Agus
Supriadi melalui usulannya ke Gubernur dan dijalankannya dari sel tahanan. Pejabat bupati Garut Memo Hermawan, sempat menggantung pelantikan Wowo Wibowo kendati surat keputusan Gubernur sudah keluar.
84
Memo akhirnya mengalah, dan Wowo dilantik juga hingga bersambung mendampingi duet bupati Aceng HM Fikri dan wakil bupati Dicky Candra hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) 2008. Wowo tidak bertahan lama, karena yang bersangkutan harus menghadapi persoalan hukum hingga akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Garut “tidak bersalah” bahkan dibebaskan dari segala tuntutan hukum-nya.
Kekosongan jabatan sekda setelah ditinggalkan Wowo,
bupati Aceng HM Fikri menunjuk Iman Alirahman (Inspektur Pengawasan) sebagai pejabat pelaksana tugas (Plt). Iman bersama Hilman Faridz diusulkan bupati ke Gubernur untuk menjadi sekda definitif. Saat itulah tarik menarik kepentingan mulai muncul.
Gedung Sate dan Kantor Kementerian Dalam Negeri
nyaris tiap hari didatangi dua kelompok yang berbeda. Bupati Aceng HM fikri mengaku kewalahan menyaksikan sepak terjang dua kelompok tersebut, bahkan dikabarkan sempat “berseteru” paham dengan gubernur Jabar H. Achmad Heryawan untuk menentukan siapa sebenarnya yang layak jadi sekda Garut.
Yang pasti, kocek dari dua kelompok berbeda itu
terkuras hanya untuk “berperang” di Gedung Sate dan Kementerian Dalam Negeri, kendati belum diketahui secara pasti darimana kocek itu berasal yang mengalir deras sebagai biaya “pertarungan”.
Genderang pertarungan babak kedua mulai
dipertontonkan lagi menyusul pensiunnya H. Hilman Faridz, dan diusulkannya tiga nama oleh bupati Garut H. Aceng HM Fikri, yaitu Inspektur Pengawasan (Iman Alirahman), Kepala
85
Dinas Peternakan dan Perikanan (Ir. Hermanto), Kepala Dinas Perkebunan (Ir. Ny. Indriana Sumarto) ke Gubernur Jawa Barat. Calon sekda baru sudah diuji kelayakan dan kepatutannya (fit and propertest). Hasilnya, menurut sekda Jawa Barat, Lek Lesmana, nama Iman Alirahman paling memenuhi syarat (qualified) berdasarkan pertimbangan akhir Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Propinsi Jawa Barat.
Yang harus mengakhiri “pertarungan itu adalah pihak
Gedung Sate, dalam hal ini Gubernur Jawa Barat, dan pihak Pendopo (bupati Aceng HM Fikri). Ternyata keduanya sudah menyemburkan air sebagai pemadamnya.
Pihak Gedung Sate melalui putusan akhir BKD sudah
menetapkan nama Iman Alirahman sebagai calon sekda yang paling memenuhi syarat, lalu bupati pun siap menerima putusan tersebut dan berharap sekda yang akan mendampinginya mampu menjadi operator yang bisa melayani semua kepentingan jaringan (terkoneksi secara baik).
Bupati Aceng HM Fikri pun menganggap “pertarungan”
itu sesuatu yang wajar sebagai ciri khas dinamika kabupaten Garut, yang memang berbeda dengan daerah lain. Yang paling penting dari semua itu tetap dalam kerangka “deudeuh” ka Garut bukan “geuleuh” ka lemah cai na. ( *).
86
Jurus Perbup Jerat Hilman
Apa pun persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan tidak pernah luput dari politisasi. Jabatan sekda saja yang secara normatif adalah jabatan karir bagi pegawai negeri sipil (PNS) ternyata sarat intrik dan politisasi.
Politisasi jabatan sekda lebih mengemuka dan cenderung
menghabiskan energi dan ongkos politik yang tidak sedikit
ketika persaingan terjadi antara Hilman Faridz dan Iman
Alirahman. Hilman Faridz yang mendapat dukungan dari Tim
Sukses Bupati Garut Aceng HM Fikri, yang di dalamnya
terdapat sejumlah tokoh aktivis cerdik dan piawai mampu
menggaet kekuatan salah satu partai politik yang memiliki
kedekatan dengan kekuasaan di Gedung Sate.
Hilman harus berhadapan dengan kekuatan kelompok
Iman Alirahman yang mendapat dukungan luas dari jajaran
birokrasi. Bupati Garut Aceng HM Fikri sendiri lebih condong
berada di balik kelompok Iman Alirahman sehingga harus
berhadap-hadapan dengan tim-nya sendiri.
Berbagai intrik dimainkan, antara lain menggelindingnya
isu Ahmadiyah yang dialamatkan kepada Iman Alirahman.
Nampaknya isu tersebut cukup ampuh untuk menyingkirkan
Iman Alirahman dari kejaran jabatan sekda. Hilman Faridz
pun mendapat keuntungan dari isu tersebut, dan Gubernur
bersama Kementerian Dalam Negeri memutuskan Hilman
Faridz yang layak menjadi sekda Garut.
87
Bupati Garut Aceng HM Fikri tidak berdaya menghadapi
masalah tersebut, ia pun tidak cukp alas an untuk tidak
melantik Hilman faridz sebagai sekda. Dengan pengamanan
super ketat dari pasukan Brimob Polda Jabar mengawal acara
pelantikan Hilman Faridz di gedung pendopo.
“Biarkan anjing menggonggong kapilah tetap berlalu”.
Peribahasa tersebut menggambarkan “perang bintang”
memperebutkan jabatan sekda Garut. Artinya, biarlah Hilman
Faridz melenggang ke jabatan puncak dalam karir PNS-nya
itu, toh tidak akan lama karena kelompok Iman Alirahman
sudah menyiapkan perangkapnya yaitu Peraturan Bupati No.
131 Tahun 2010.
Peraturan bupati yang membatasi usia pensiun pejabat
pemda Garut itu, memang produk politik karena mendapat
dukungan dan persetujuan DPRD Garut. Ketika Hilman Faridz
baru menjabat sekda selama Sembilan bulan dan pada 1
Januari 2011 harus pensiun, ternyata masih memiliki
kekuatan politik. Ia dan kelompoknya berusaha
mempertahankan jabatannya dan berjuang agar Perbup No
131 dibatalkan demi hukum.
Upaya Hilman menjadi sia-sia wala pun kelompoknya
terus menggelindingkan isu Ahmadiyah yang diarahkan
kepada Iman Alirahman. Gelombang aksi dari dua kubu terus
dimainkan, akhirnya bupati Aceng HM Fikri mengambil alih
bola liar itu dengan mengumpulkan para ulama dan kiayi di
gedung pendopo guna mendaulat Iman Alirahman
mengikrarkan dua kalimah sahadat sebagai bukti benar-
88
benar seorang muslim yang mengakui dan bersaksi tiada lagi
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-
Nya.
Ternyata tidak selesai di pengikraran dua kalimah
sahadat, karena kelompok pendukung Iman Alirahman
dimotori mantan Ketua NU Garut KH. Sirojul Munir (Ceng
Munir) mendatangi gedung DPRD Provinsi dan Gedung Sate
mendesak agar Gubernur segera menetapkan Iman Alirahman
sebagai sekda Garut menggantikan Hilman Faridz.
Sukses mempolitisi jabatan sekda adalah dengan
dilantiknya Iman Alirahman pada tanggal 17 Pebruari 2011
namun tanpa pengamanan super ketat seperti saat melantik
Hilman faridz. Kini Iman Alirahman berhasil menguasai
pemerintahan yang diperjuangkannya sejak tahun 2004 ketika
naiknya Agus Supriadi dan Memo Hermawan sebagai bupati
dan wakil bupati Garut. (*)
Iman Putera Mahkota Bupati Momon
Bersinarnya nama Iman Alirahman di lingkungan
pemerintahan kabupaten Garut sudah terlihat ketika
kepemimpinan bupati Garut H. Momon Gadasasmita.
Iman, disebut-sebut sebagai putera mahkota Momon
Gandasasmita. Kenapa tidak, mulai dari jabatan Kasubbag
Humas terus melejit menjadi Camat Bayongbong, Cikajang
dan Garut Kota.
89
Bupati Momon Gandasasmita, sebagai sosok birokrat
tulen yang santun, intelektual, nyantri dan penuh kewibawaan
melihat ada potensi besar di diri Iman Alirahman yang kelak
akan menjadi birokrat cerdas dan handal.
Iman Alirahman yang lahir dari keluarga kaya di kota
Tasikmalaya, menurut teman sekolahnya sewaktu di SMA
(Syamsul Ma’arief/ wartawan senior di Tasikmalaya), memang
seorang pemberani, bahkan di sekolahnya kerap berkelahi
namun Iman juga termasuk murid yang cerdas dan
bertanggung jawab.
Potensi Iman Alirahaman dimulai ketika pertama kali
bertugas di pemda Garut ditempatkan di Bagian Hukum,
kemudian di Bagian Pembangunan (sekarang Bagian
Pengendalian Pembangunan), Bagian Humas lalu menjadi
Camat Bayongbong.
Penulis sempat dimintai masukan oleh Hj. Itjeu Fatimah
Momon Gandasasmita (isteri bupati) karena adanya keluhan
dari bupati Momon menyangkut kinerja Kepala Bagian Humas
(waktu itu Yaya Rochyana), yang sangat lemah sehingga
menyulitkan bupati dalam mempublikasikan program-program
serta kegiatan kesehariannya.
Penulis diminta menunjuk pejabat yang layak menjadi
Kabag Humas agar bupati merasa nyaman. Penulis
mengajukan dua nama, yaitu Suhara Kusliaman (saat itu
Camat Singajaya) dan Iman Alirahman (Camat Bayongbong).
90
Ny. Itjeu langsung menjawab, “ pak Iman tidak mungkin
dikembalikan ke Humas. Pa Iman akan dipromosikan oleh
bapak (maksudnya bupati Momon) dengan jabatan yang lebih
bagus lagi. Ibu setuju pak Suhara saja,” demikian
diungkapkan Ny. Itjeu.
Memang benar juga karena Iman Alirahman terus melejit
hingga menjadi Camat Kota dan Kepala Dinas Kebersihan.
Naluri mantan bupati Garut alm H. Momon Gandasasmita
ternyata benar adanya, karena pada 17 Pebruari 2011 Iman
Alirahman setelah melalui proses panjang dan melelahkan
dilantik juga sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Garut oleh
Bupati H. Aceng HM Fikri ( *)
Terparkirnya Pejabat Birokrasi
Politisasi jabatan di tubuh birokrasi pemda Garut tidak
terelakan, siapa yang berhadapan dengan kekuasaan dan
dianggap tidak loyal bahkan kerap melakuan perlawanan
maka jangan harap memperoleh posisi jabatan yang
dikehendakinya.
Sejumlah nama pejabat yang memiliki kemampuan baik
di lingkungan pemda, sebut saja Yaya S. Permana, Andi
Rahmat, Abdurahman, Sujana Syafei, Didit Gorda Nurawan,
Burdan Ali Junjunan harus rela ditempatkan di posisi pejabat
fungsional dengan menjadi staf ahli bupati, staf ahli Bappeda
atau posisi pejabat struktural eselon III.
91
Pejabat muda yang memiliki loyalitas tinggi terhadap
“penguasa”, seperti Dadi Jakaria, Didit Fajar Putradi, Jat-jat
Munajat, Mlenik Maumeriadi, Dadang Purwana justru melejit
menduduki posisi jabatan struktural di eselon III dan eselon
II.
Di kalangan birokrasi pemda Garut memang ada “geng
jabatan” yang salah satu tokoh gengnya adalah Wawan
Nurdin. Siapa yang bisa mendekati Wawan Nurdin, maka
jabatan yang dikehendaki bisa didapatkannya.
Contoh kongkritnya adalah Dadi Jakaria yang sekarang
menjabat Kepala BPMPD, Totong menjabat Kepala DPPKA,
dan beberapa orang yang menduduki jabatan camat. Mereka
adalah loyalis “geng” di birokrasi, sehingga dengan
kedekatannya sekaligus menyisihkan koceknya maka
melangganglah mereka ke posisi jabatan yang diincarnya.
Sedangkan yang tidak loyal harus rela diparkir di jabatan
fungsional.
Sementara nasib tragis menimpa Anton Heryanto, yang
disebut-sebut sangat berjasa dalam pembangunan di
kabupaten Garut sewaktu bupati Garut Agus Supriadi, justru
tidak diberi jabatan apa pun. Bahkan tersiar kabar, Surat
Keputusan Bupati tentang pemecatannya dari pegawai negeri
sipil (PNS) tinggal ditandatangani namun bupati Aceng HM
Fiki masih mempertimbangkannya.
Salah satu yang menjadi pertimbangan bupati Aceng HM
Fikri adalah bahwa antara dirinya dengan Anton Heryanto
memiliki hubungan personal dan emosional yang sangat
92
dekat. Aceng banyak menerima aliran dana dari Anton
Heryanto untuk kegiatannya sewaktu aktif di LSM dan
lembaga kemasyarakatan lainnya. (*)
Mafia Jabatan
Bagi jajaran birokrasi di lingkungan pemda Garut
menduduki jabatan yang diincarnya merupakan target
pengabdiannya sebagai pegawai pemerintah selaku abdi
rakyat.
Untuk menduduki jabatan tertentu mulai dari eselon IV
hingga eselon II tidak seluruhnya sesuai dengan peraturan
jabatan dan kepangkatan. Kenapa tidak, banyak birokrat yang
tiba-tiba dipromosikan dengan melanggar aturan
kepegawaian.
Dalam hal ini banyak menelan korban dan menimbulkan
sikap putus asa (prustasi) dari sejumlah pejabat di lingkungan
pemda Garut. Ternyata agar bias menempati jabatan tertentu
sesuai yang diinginkannya harus mengeluarkan uang yang
tidak sedikit melalui sindikat atau mafia jabatan yang sudah
bukan rahasia lagi bergentayangan di lingkungan pemkab
Garut.
Penulis yang memiliki kedekatan dengan sejumlah
pejabat di lingkungan pemkab Garut mengakui harus
mengeluarkan uang sedikitnya lima puluh juta rupiah agar
bisa menempati posisi sebagai camat. Bahkan di lingkungan
93
Dinas Pendidikan dengan mengincar jabatan Kepala Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan Dasar Dinas
Pendidikan Tingkat Kecamatan harus mengeluarkan “uang
jago” sedikitnya tiga puluh juta rupiah.
Agar mereka dapat masuk ke jaringan sindikasi jabatan
memerlukan waktu lumayan lama, karena harus melewati
orang atau kelompok tertentu agar bisa nyambung dengan
orang yang sangat berpengaruh dalam sindikat mafia jabatan
tersebut.
Celakanya, tidak sedikit pula yang gagal menempati
jabatan yang diinginkannya ketika persaingan semakin ketat
di tubuh sindikat mafia jabatan. Kegagalan mereka
diakibatkan ngantrinya yang mengincar jabatan sekaligus
melakukan praktek “lelang jabatan”. Siapa berani lebih besar
penawarannya maka yang di bawahnya akan kalah. Dan
gagal-lah mereka. (*).
Dua Sosok Politisi Cerdik
“Kehangatan” politik Garut tidak bisa dilepaskan dari
peran dua sosok politisi cerdik, yaitu Memo Hermawan dan
Dedi Suryadi. Keduanya bisa bersama-sama dalam sebuah
kepentingan yang sama. Misalnya, ketika menjelang
kejatuhan bupati Agus Supriadi keduanya bersatu padu yang
kemudian berlanjut dengan solidnya kedua fraksi di DPRD,
dalam hal ini Fraksi PPP dan PDIP.
94
Mereka pun memiliki kekuatan jaringan yang sama pula
dengan mediasinya Iman Alirahman dan kawan-kawan. Nyaris
tidak ada lawan politik tangguh bagi Dedi dan Memo, hal itu
dibuktikan dengan lolosnya mereka dari jeratan hukum
sementara politisi yang lain justru tumbang oleh percaturan
politik melalui badai penegakan hukum.
Memo sudah sangat teruji dalam kecerdikan
berpolitiknya. Penulis termasuk yang mengantarkan Memo ke
jenjang politik yang dimulai tahun 2001 ketika DPC PDIP
menggelar Konferansi Cabang di hotel Cempaka.
Saat itu Memo dipastikan terpental karena di arena
Konfercab beredar copy Surat Keputusan Dewan Pimpinan
Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) dimana nama
Memo Hermawan tercantum sebagai Ketua Departemen
Budaya dan Pariwisata Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PAN
Garut di bawah kepemimpinan Ketua DPD PAN Drs. H. Sofwi
Irvan.
Memo meminta bantuan penulis yang kebetulan salah
satu deklarator PAN Garut agar mengklarifikasi surat
keputusan tersebut. Padahal Ketua PAN sudah beralih ke
H. Ganiyasa, namun penulis mencoba membantu kepentingan
Memo dengan waktu hanya beberapa jam menjelang
pemilihan Ketua DPC PDIP Garut.
Setelah melakukan pembicaraan dengan H. Sofwi Irvan,
penulis dating ke kantor DPD PAN di Jalan Merdeka (Kerkov)
menemui Sekretaris DPD PAN Drs. H. Maman Sukirman
95
meminta kop surat DPD PAN semasa kepengurusan H. Sofwi
Irvan.
Kop surat tersebut sangat penting untuk dibuatkan
pernyataan tertulis dari H. Sofwi Irvan, yang menyatakan
bahwa Memo bukan pengurus DPD PAN bahkan sekali-kali
bukan kader partai matahari. Kalau pun dia tercantum dalam
SK DPP PAN yang ditandatangani Ketua Umumnya Prof Amien
Rais dan Sekjennya Faisal Basri hanya dicatut namanya.
Penulis sedikit mengalami kesulitan soal sekretaris DPD
PAN periode kepemimpinan H. Sofwi, yaitu Jajang Murod
karena terlanjur menjadi tim sukses Dadan Slamet dalam
Konfercab DPC PDIP, sehingga tidak mungkin mau
menandatangani pernyataan untuk kepentingan Memo karena
akan menjadi pesaing berat bagi Dadan Slamet.
Penulis atas petunjuk H. Sofwi akhirnya memutuskan
Wakil Sekretaris DPD PAN, Drs. Nana Suryana yang
menandatangani di atas materai Rp. 6.000,-. Setelah penulis
selesai membuat pernyataan tersebut kemudian menemui H.
Sofwi Irvan dan Nana Suryana untuk menandatangani
pernyataan tersebut. Tidak hanya berhenti di situ penulis
datang lagi ke kantor DPD PAN menemui Maman Sukirman
meminta stempel DPD PAN tahun 1999, karena stempelnya
sudah berubah. Kongkritnya, pernyataan tersebut kendati
dibuat tahun 2001 namun ditarik mundur menjadi bulan
Oktober 1999 hanya berselang beberapa hari setelah
keluarnya SK DPP PAN yang mencantumkan nama Memo
sebagai salah satu pengurus DPD PAN Garut.
96
Beruntung sistem kearsipan di DPD PAN terbilang rapi,
sehingga stempel lama masih tersimpan sehingga
memudahkan untuk kepentingan Memo Hermawan. Akhirnya
sekitar jam 19.00 WIB pernyataan tersebut selesai kemudian
penulis menyerahkannya ke Memo Hermawan di Hotel
Augusta.
Malam itu, copy surat pernyataan yang ditandatangani
H. Sofwi Irvan dan Nana Suryana beradar di arena Konfercab
PDIP. Hasilnya, subuh menjelang pagi pemilihan Ketua DPC
PDIP berakhir mulus dengan kemenangan bagi Memo
Hermawan.
Mulai saat itulah Memo Hermawan dengan cerdiknya
memainkan bidak-bidak percaturan politik di Garut. Memo,
memang salah seorang penggemar olah raga catur, sehingga
dalam memainkan politik di kabupaten Garut persis seperti
permainan catur. Ada kalanya menyerang, bertahan atau
membunuh.
Kecerdikan serupa dilakoni pula oleh Dedi Suryadi,
seorang pengusaha muda di sektor hasil bumi sayur mayor di
wilayah kecamatan Cisurupan, yang kemudian berkiprah di
Koperasi Unit Desa (KUD) penghasil susu dan sempat menjadi
kader Golkar. Namun tahun 1992 Dedi tiba-tiba muncul di
kubu Partai Persatuan Pembangunan yang memang saat itu
PPP berhasil membuat gerah penguasa orde baru.
Dedi tidak terbendung lagi sebagai sosok politisi muda,
dan mengantarkannya ke puncak yaitu sebagai Ketua DPC
97
PPP Garut, dan pasca tumbangnya rezim orde baru bertemu
dengan sosok Memo Hermawan yang sama-sama cerdik pula.
Awal kebersamaannya dimulai ketika Dedi Suryadi kalah
di pemilihan bupati Garut Tahun 1998 pada putaran pertama.
Di putaran kedua Dedi menyerahkan sisa suara Fraksi PPP
yang sudah terambil oleh pasangan Dede Satibi-Wawan
Syafei untuk menambah perolehan suara pasangan Agus
Supriadi-Memo Hermawan.
Memo dan Dedi membuat komitmen politik, yaitu jika
Agus-Memo terpilih menjadi bupati dan Wakil Bupati, maka
Dedi Suryadi harus menjadi Ketua DPRD dan
mempertahankan Sekda Garut Rachmat Sudjana sampai
perpanjangan kedua usia pensiunnya. Maka Agus-Memo
berhasil mengalahkan Dede Satibi-Wawan Syafei di putaran
kedua pemilihan bupati Garut Nopember 1998.
Komitmen yang dibangun Memo dan Dedi, ternyata
dikhianati oleh bupati Agus Supriadi yang tidak
mempertahankan Rahmat Sudjana sebagai Sekda malah
menggantinya oleh Achmad Muttaqien.
Begitu juga saat pemilihan Ketua DPRD Garut, Agus
Supriadi justru mendukung Kohar Somantri dari Partai Golkar.
Kekecewaan Dedi dan Memo semakin mengental kepada
bupati Agus Supriadi. Akhirnya kedua politisi cerdik itu
kompak mengeoyok bupati Agus Supriadi hingga jatuh di
tengah jalan tersandung kasus hukum oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
98
Dedi dan Memo berhasil pula mencetak politisi di
lingkungan birokrasi bahkan saat ini menguasai
pemerintahan. Mereka kompak mendukung tampilnya Aceng
HM Fikri dalam pemilihan bupati Garut melalui peranan Iman
Alirahman dan Wawan Nurdin. Bedanya, Memo sejak awal
sudah menyatakan dukungannya sementara Dedi masuk
setelah calon dari PPP, yaitu Aceng Wahdan Bakri kalah di
putaran pertama.
Kendati kedua politisi cerdik itu secara struktural tidak
punya kekuatan apa pun di partai politik, karena Memo dan
Dedi sama-sama terpental dari jabatan sebagai Ketua Partai-
nya masing-masing. Bukan Dedi dan Memo kalau lepas begitu
saja dari percaturan politik di Garut. Mereka tetap eksist
dengan jaringan dan kekuatannya baik yang ada di birokrasi,
DPRD mau pun kelompok lainnya.
Dua-duanya dikabarkan tengah bersiap-siap mengambil
alih kekuasaan melalui pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada) tahun 2013 nanti. Dedi Suryadi saat ini tengah
mengembangkan sayap bisnisnya diberbagai bidang usaha
guna mengumpulkan logistik bagi kepentingan perebutan
kekuasaan pada pemilukada.
Memo sendiri dengan kapasitasnya sebagai anggota DPRD
Jawa Barat, apalagi masuk dalam panitia anggaran (Panggar),
tentu saja berikhtiar semaksimal mungkin bagaimana caranya
mengumpulkan logistik sebesar-besarnya guna menghadapi
pertarungan di 2013 sehingga kekuasaan di kabupaten Garut
berada di genggamannya lagi.
99
Meredupnya suhu politik di Garut di bawah kepemimpinan
bupati Aceng HM Fikri, lebih dikarenakan adanya “komitmen”
politik antara Dedi-Memo-Aceng HM Fikri. Bagi bupati Aceng
HM Fikri sendiri sangat mengakui kehebatan kedua seniornya
itu, ia pun tidak mungkin berkhianat apalagi disebut durhaka.
Jika Dedi-Memo tetap menjalankan aktivitas politiknya
seperti sekarang, maka kepemimpinan Aceng HM Fikri akan
berjalan aman sekaligus nyaman hingga berakhirnya jabatan
bupati tahun 2014. Kenyamanan Aceng HM Fikri sangat
ditentukan oleh Iman Alirahman yang saat ini sebagai
pendampingnya.
Politik memang sangat sulit ditebak, bisa saja perjalanan
Aceng HM Fikri terseok-seok atau bahkan tumbang di tengah
jalan kalau dalam mengendalikan pemerintahan tidak sejalan
dengan sekdanya Iman Alirahman. Namun banyak yang
memprediksi bahwa antara bupati Aceng HM Fikri dengan
sekda Iman Alirahman tidak akan memunculkan gesekan
yang membahayakan kedudukannya secara politis.
Jika kondisi seperti itu tetap terpelihara, maka dengan
sendirinya “dukun” politik, yakni Memo-Dedi tidak akan
turun gunung. Mereka tetap mempercayakannya kepada
Iman Alirahman, namun jika Iman sudah tidak nyaman
mendampingi Aceng HM Fikri, maka dapat dipastikan dua
politisi ulung itu dengan seketika bisa merubah keadaan. (*)
100
Memo - Dedi tak Ambil Peluang
Manusia diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Dua sosok politisi cerdik Dedi Suryadi dan
Memo Hermawan dengan segala kelebihannya mampu
membolak-balik situasi politik di Garut, namun keduanya
lemah dalam mengambil peluang merebut kekuasaan.
Peluang di depan mata sebenarnya terjadi pada pemilihan
bupati Garut 2008. Kenapa tidak, jika mereka bersatu (koalisi)
menjadi pasangan bupati dan wakil bupati secara hitung-
hitungan (kalkulasi) politik dipastikan akan memenangkan
pertarungan maut itu.
Saat itu Memo dengan kecerdikannya sudah membuka
diri untuk berpasangan dengan Dedi Suryadi, bahkan Memo
rela di posisi calon wakil bupati jika Dedi Suryadi
berkeiinginan di posisi calon bupatinya.
Penulis dimintai bantuan oleh Memo memediasi agar Dedi
Suryadi mau maju bersamanya di pemilihan bupati itu. Dedi
Suryadi sendiri dengan perahu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) terlanjur mengusung KH. Wahdan Bakri
dan sangat tidak mungkin menarik dukungannya apalagi tiba-
tiba merubah keputusannya dengan memaksakan maju
bersama Memo Hermawan.
Penyesalan memang dirasakan oleh Memo Hermawan,
karena peluang emas melayang begitu saja sehingga harus
menunggunya lima tahun. Waktu bergulir begitu cepat,
101
keduanya sudah berancang-ancang merebut kekuasaan pada
pertarungan pemilukada 2013.
Dedi Suryadi dikabarkan tengah menyiapkan logistik yang
cukup besar dengan terus mengembangkan usahanya di
bidang penanaman kayu, bisnis perbankan melalui Baitul Mal
Wa Tamwil (BMT), sayur-mayur serta sejumlah jaringan
bisnisnya untuk mendulang dana segar bagi kepentingan
pertarungan merebut kekuasaan di 2013.
Jika Dedi Suryadi dan Memo Hermawan maju di
pemilukada 2013, maka dipastikan suasana politik di Garut
akan semakin dinamis, seru dan layak dijadikan sebagai ajang
pembelajaran dan pendidikan politik.
Kesemarakan politik akan bertambah seru jika kemudian
Rudi Gunawan, Aceng HM Fikri, dan tokoh-tokoh lainnya
keluar dari persembunyian untuk merebut kekuasaan di
pemilukada 2013.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut sendiri sudah
menyusun dan mengajukan anggaran penyelenggaraan
pemilukada sebesar lima puluh tiga milyar rupiah lebih. Pihak
pemda dan DPRD Garut pada perhitungan APBD tahun
anggaran 2011 sudah menyimpan dana cadangan sebesar
dua milyar rupiah padahal tahun anggaran menjelang
pemilukada hanya tersisa dua tahun anggaran lagi.
Bagi KPU tidak akan ambil pusing, jika pada waktunya
penyelenggaraan apalagi awal 2013 tahapan pemilukada
102
sudah mulai dilakukannya, seperti pembentuka Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK) dan infrastruktur lainnya.
Seperti diungkapkan Ketua KPU Garut Aja Rowikarim,
M.Ag kalau pada saatnya memasuki tahapan pemilukada
pihak pemda dan DPRD menyediakan anggarannya, maka
KPU tidak ada alasan menunda-nundanya. Tetapi jika pada
saatnya anggaran tidak tersedia, maka tidak ada alasan pula
memaksakan diselenggarakannya pemilukada. (*).
Memo vs Hasanudin
Ketangguhan Memo Hermawan dalam kancah
perpolitikan memang sangat luar biasa, ia mampu melakukan
apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya. Hanya saja
dalam mengendalikan partainya PDIP, ternyata Memo
berhadapan dengan lawan tangguh, yaitu Hasanudin.
Aktivis Relawan Pro-Demokrasi (Repdem), salah satu
organisasi sayap PDIP berhasil memukul knock out (KO)
sehingga Memo Hermawan terpental dari kedudukannya
sebagai Ketua DPC PDIP Garut.
Memo yang terpilih kembali menjadi Ketua PDIP periode
2010-2015 harus rela menyerahkannya kepada Yogi
Yudawibawa yang dimotori Hasanudin. Melalui jaringannya di
DPP PDIP hampir saja Memo kehilangan segalanya dan karir
politiknya dipastikan berakhir hanya karena kepiawaian
103
Hasanudin memainkan bidak caturnya untuk
“mengandangkan” Memo dari kancah politik.
Memo dihadapkan pada pilihan yang sama sekali tidak
dikehendakinya, yakni memilih menjadi Ketua DPC PDIP Garut
dengan resiko harus mundur dari anggota DPRD Jawa Barat,
dan jika ingin tetap menjadi anggota DPRD harus mundur dari
jabatan Ketua DPC PDIP terpilih.
Bukan Memo kalau tidak melakukan perlawanan politik.
Ia rela melepaskan jabatan Ketua DPC PDIP namun meminta
kepada DPP PDIP untuk tidak memberikan kesempatan
kepada Hasanudin menduduki jabatan strategis di DPC PDIP
Garut.
Hasanudin pun sadar sesadar-sadarnya jika terus
menerus berhadap-hadapan dengan Memo lelah dan
energinya akan habis juga. Ia akhirnya ikut bertarung dalam
kongres Dewan Pimpinan Nasional Repdem dan berhasil
merebut jabatan sebagai bendahara umum-nya.
Kini PDIP Garut terancam pecah dan memporak-
porandakan infrastruktur yang sudah dibangun oleh Memo
Hermawan. Kepemimpinan Yogi Yudawibawa yang kalem dan
tidak ambisius serta cenderung tidak menghambur-
hamburkan logistiknya akan semakin mengentalkan
pendukung panatiknya dengan pendukung panatik Memo
Hermawan.
Persetruan pun sudah dimulai dengan terjadinya konflik
fisik di kantor secretariat DPC PDIP Jalan Cimanuk-Pedes
104
hingga memakan korban yang berujung dibawa ke ranah
hukum melalui Polres Garut.
Jamannya Memo, ketika kader PDIP terlibat masalah
hukum selalu dapat diselesaikan “secara adat” dengan pihak
kepolisian. Sedangkan sekarang era kepemimpinan Yogi
Yudawibawa justru tidak mau melibatkan diri dalam
penanganan hukum apalagi harus diselesaikan “secara adat”.
(*).
Manggungnya Independen
Kejatuhan bupati Agus Supriadi memunculkan sebuah
spekulasi bahwa partai sudah tidak dipercaya lagi oleh
masyarakat dalam menampilkan calon pemimpinnya di Garut.
Ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut menggelar
pemilihan kepala daerah, maka seketika itu pula bermunculan
calon-calon dari unsur perseorangan (independen).
Kemenangan pasangan calon perseorangan Aceng HM
Fikri Diky Candra, disebut-sebut sebagai kelalahan partai
politik yang sudah mulai luntur kepercayaannya. Padahal
sebenarnya tidak demikian, justru kemenangan Aceng HM
Fikri tidak lepas pula dari kiprah politisi dengan mesin
partainya.
Kekalahan calon dari partai politik lebih disebabkan oleh
kesalahan para petinggi partainya, terutama di kubu partai
Golkar yang sebenarnya punya peluang besar dengan
105
meloloskan nama Rudi Gunawan melalui konvensi partai
tersebut.
Kalau saja para petinggi partai Golkar sedikit mengerti
dan atau paham dengan kecerdikan politikus ulung Memo
Hermawan, maka hasilnya akan terbalik 360 derajat. Kenapa
tidak, pasangan Rudi Gunawan dengan orang yang
dikehendaki Memo, maka koalisi partai Golkar dengan PDIP
dipastikan akan memenangkan perebutan dalam pemilihan
bupati Garut.
Penulis sempat diminta bantuan oleh Memo Hermawan
untuk melobi Rudi Gunawan dan petinggi partai Golkar,
dengan harapan partai Golkar berubah pikiran tidak
memaketkan Rudi Gunawan dengan Oim Abdurohim.
Penulis langsung menghubungi Rudi Gunawan dengan
maksud mau mempertemukanya dengan Memo Hermawan.
Rudi menolak ajakan itu dengan alasan tidak mau
berseberangan dengan keinginan para petinggi partai Golkar.
Penulis kemudian menemui salah satu fungsionaris partai
Golkar H. Endang Suhendar, yang tiada lain adalah kakak
kandung Ketua DPD Partai Golkar H. Ruhiyat Prawira
menyampaikan pesan Memo Hermawan sebelum terlanjur
didaftarkan sebagai paket pasangan ke Komisi Pemilihan
Umum. Menurut H. Endang, pemasangan Rudi dengan Oim
sudah merupakan keputusan final yang dikehendaki partai
Golkar.
106
Bukan Memo kalau tidak piawai dan cerdik memainkan
kartu-kartu politiknya. Secara formal karena ia sebagai Ketua
DPC PDIP dimana-mana menyatakan dukungannya terhadap
pasangan Rudi-Oim. Padahal, Memo sebenarnya diam-diam
menggalang kekuatan di tubuh PDIP dan jajaran birokrasi
untuk mendukung pasangan Aceng HM Fikri-Dicky Candra.
Di lain kesempatan, Memo juga menyatakan
dukungannya kepada pasangan KH Abdul Halim-Nandang.
Iman Alirahman dan Wawan Nurdin sengaja ditempatkan oleh
Memo di kubu tersebut. Padahal diam-diam Memo lari ke lain
hati. Yang pasti, dukungan mutlaknya diberikan kepada
pasangan Aceng HM Fikri-Dicky Candra, termasuk keluarga
besar Memo Hermawan berada di jajaran tim sukses
pasangan tersebut.
Menjelang putaran pertama digelar, posisi Memo masih
berada di kubu pasangan calon KH Abdul Halim-Nandang.
Namun tiba-tiba Memo berubah pikiran, dan lagi-lagi meminta
kepada penulis untuk dipertemukan dengan Aceng HM Fikri.
Tengah malam bertempat di salah satu kamar Hotel
Agusta, Memo Hermawan bertemu dengan Aceng HM Fikri
yang difasilitasi penulis. Pertemuan yang berlangsung hangat
disaksikan oleh penulis dan Ketua Fraksi PDIP DPRD Garut Iip
Sukasah.
Dalam pertemuan tersebut, Memo menyatakan dukungan
penuh kepada Aceng HM Fikri bahkan malam itu Memo
menyerahkan sejumlah uang terbungkus kantong plalstik
yang tidak tahu berapa jumlahnya. Yang pasti, Memo
107
menyerahkan uang sepuluh juta rupiah kepada penulis
sebagai biaya pemasangan iklan bagi pasangan Aceng Fikri-
Diky Candra di surat kabar yang dikelola penulis.
“Ceng, pokoknya Aceng harus menang dalam pemilihan
bupati dan akang akan membantu semaksimal mungkin. Ini
akang ada rejeki tolong terima, dan mulai besok diawali oleh
pa Iman Alirahman akan datang ke Aceng, kemudian disusul
pejabat pemda lainnya. Berapa pun mereka bantu Aceng
secara materi terima saja,” demikian disampaikan Memo
dalam pertemuan tersebut.
Perebutan suara di putaran pertama, pasangan Aceng
Fikri-Diky Candra nyaris terpental oleh pasangan koalisi PPP-
PKS (Aceng Wahdan Bakri-Helmy Budiman), kalau saja waktu
itu tidak segera diluruskan kesalahan perhitungan di Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK) Cibiuk maka dipastikan yang
maju ke putaran kedua adalah pasangan Rudi-Oim melawan
pasangan Aceng Wahdan-Helmi.
Di putaran kedua, pasangan Rudi-Oim berhadapan dengan
pasangan Aceng-Diky yang ternyata pasangan Aceng-Diky
mendapat dukungan kuat dari PPP melalui Dedi Suryadi.
Sehari menjelang pelaksanaan pemungutan suara, lagi-lagi
penulis memfasilitasi pertemuan antara Aceng Fikri dengan
Dedi Suryadi di rumahnya Ketua DPRD itu di Jalan Cipanas
Tarogong Garut.
Dalam pertemuan tersebut, Dedi Suryadi selain
menyatakan dukungannya bersama kader PPP, juga Aceng
mendapat bantuan materi/keuangan yang jumlahnya entah
108
berapa. Yang pasti, Dedi Suryadi karena tidak memiliki uang
tunai maka Hasanudin, salah seorang aktivis yang dikenal
dekat dengan Dedi Suryadi mencarikan dana pinjaman
kepada salah satu pengusaha rekanan di Garut.
Penulis yang kadung mendukung Aceng HM Fikri
memberikan halaman surat kabar yang dikelolanya untuk
menampilkan pasangan Aceng Fikri-Diky, baik melalui berita
atau tulisan maupun iklan kampanye. Bahkan Radio yang
dikelola penulis di Bungbulang digratiskan menyiarkan iklan
pasangan Aceng Fikri-Diky Candra.
Dalam sebuah kegiatan kampanye terbuka di pusat
Kecamatan Bungbulang, pasangan Aceng-Diky sempat
melakukan kampanye dengan siaran langsung melalui radio.
Tim sukses pasangan Aceng pun turut menyaksikannya,
anatara lain Toni Munawar, Gandi Sugandi dan beberapa
artis yang dibawa Diky Candra.
Pemungutan suara putaran kedua dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum, dan akhirnya pasangan Aceng-Diky
menjadi pemenangnya. Ada yang menarik atas kemenangan
Aceng, yaitu pernyataan simpatik dari calon yang
dikalahkannya Rudi Gunawan. Calon dari partai Golkar itu
walau pun belum diumumkan oleh KPU siapa pemenangnya,
namun Rudi Gunawan secara kesatria menyatakan selamat
kepada pasangan Aceng-Diky pada sore hari setelah
selesainya pemungutan suara.
Kemenangan pasangan Aceng HM Fikri- Dicky Candra
sebagai bupati dan wakil bupati Garut dari unsur
109
perseorangan (independen), memang yang pertama di
Propinsi Jawa Barat dan menjadi tonggak sejarah baru dalam
kancah politik di era demokrasi.
Bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut, kemenangan
pasangan perseorangan itu membawa dampak luar biasa.
Kenapa tidak hampir seratusan kabupaten dan kota se-
Indonesia datang ke KPU Garut sekedar berguru (studi
banding) atas kemenangan pasangan perseorangan itu.
Bahkan dari Provinsi Kalimantan Selatan, seluruh KPU
Kabupaten dan Kota berikut dari pemerintahannya datang ke
Kabupaten Garut berkaitan dengan akan dilaksanakannya
pemilihan umum kepala daerah baik provinsi, kabupaten dan
kota di wilayah Provinsi tersebut.
Kedatangan tamu dari Ujung Timur Irian (Papua) hingga
ujung Barat Aceh ke kabupaten Garut, ternyata tidak
dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah kabupaten Garut
padahal KPU Garut sudah berbaik hati agar momentum
tersebut dimanfaatan pemkab Garut guna mempromosikan
wilayahnya.
Memang untuk hal-hal yang sifatnya bukan “proyek” tidak
direspon secara positif oleh pejabat birokrasi di pemda Garut.
Alasannya, biarlah itu kan urusannya KPU bukan pemerintah
daerah.
Satu-satunya yang lumayan merespon adalah Wakil
Bupati Diky Candra ketika kedatangan rombongan dari
110
Propinsi Kalimantan Selatan. Wakil bupati menyediakan Hotel
Cipanas Indah sebagai tempat penerimaan tamu tersebut.
Saat itu Wakil Bupati menyatakan, “tidak perlu di gedung
pendopo lebih baik di Cipanas saja, ya setidak-tidaknya bias
menjual air panas-lah.” Memang bupati Aceng Fikri datang
juga dalam penyambutan rombongan dari Kalsel itu kendati
waktunya sangat sempit karena kebetulan menjelang sholat
Jum’at. (*)
Aceng- Diky Tak Penuhi Syarat
Kalau Allah sudah berkehendak, benteng sekokoh apa
pun tak akan bisa menghalanginya. Akan halnya kemenangan
pasangan Aceng-Diky dalam pemilihan bupati adalah semata-
mata karena kehendak Allah.
Tetapi jika berpaling ke belakang pada saat Komisi
Pemilihan Umum melakukan verifikasi dukungan bagi calon
perseorangan (independen), ternyata pada saat menjelang
penutupan pendaftaran jumlah dukungan bagi Aceng-Diky
tidak memenuhi syarat yaitu kurang dari ketentuan 3%
jumlah penduduk kabupaten Garut sekitar 73.0000 dukungan.
Di KPU sendiri tidak bisa dihindarkan adanya
kepentingan dari pihak tertentu. Misalnya, Sekretaris KPU
Mlenik Maumeriadi dimintai bantuan oleh Wakil Bupati Memo
Hermawan agar meloloskan pasangan Sali Iskandar-Asep
111
Hamdani, mengingat Asep Hamdani sebagai Kepala Desa
sekaligus Ketua APDESI.
Dari pasangan independen, yang dianggap lolos dan
memenuhi syarat hanya KH. Abdul Halim-Nandang,
sedangkan pasangan Aceng-Diky nyaris terpental kalau saja
salah satu anggota KPU Dadang Sudrajat tidak segera
memberi tahu Tim Suksesnya melalui Deden Bima.
Dalam hitungan jam, kekurangan dukungan bagi Aceng-
Diky dikebut oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Garut
yang diketuai Ayep Rusmana, dan PPK Karangpawitan yang
ketuanya Encang.
Berkat kerja keras Deden Bima dan kawan-kawan, dan
kebaikan dari PPK Garut Kota serta Karangpawitan, maka
jumlah dukungan bagi Aceng-Diky dapat terpenuhi sehingga
dinyatakan lolos sebagai pasangan calon yang kemudian
ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kini bupati Garut Aceng HM Fikri nyaman dengan
kepemimpinanya kendati banyak kalangan menganggap tidak
kejutan apa pun dalam meningkatkan pembangunan dan
kesejahteraan rakyat.
Kenyamanannya semakin mantap setelah yang
mendampinginya sebagai sekretaris daerah adalah Iman
Alirahman. Aceng HM Fikri pun tidak segan-segan melepaskan
statusnya sebagai orang independen setelah masuk ke Partai
Golkar dan menyandang jabatan sebagai unsure ketua di DPD
Partai Golkar Jawa Barat.
112
Aceng HM Fikri diperkirakan banyak kalangan akan naik
lagi menjadi calon bupati di pemilukada 2008, dan bias
dipastiakan menggunakan kendaraan partai Golkar. Kenapa
tidak, tiketnya sudah dikantongi setelah resmi bergabung di
partai berlambang pohon beringin itu. (*)
Aceng Fikri Orang Parpol
Nama Aceng HM Fikri yang tiba-tiba muncul dari calon
perseorangan/independen, bagi sebagian warga kabupaten
Garut boleh jadi ia adalah benar-benar orang netral. Padahal
sebenarnya seorang politisi yang malang-melintang di Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada Pemilihan Umum 1999 masih menjabat sebagai
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) Kabupaten Garut yang waktu itu ketuanya Ali
Rohman.
Dalam Musyawarah Cabang DPC PKB, justru Aceng HM
Fikri terpilih menjadi Ketua DPC, namun kemudian
kemenangannya tidak diakui oleh Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) PKB Abdurahman Wahid (Gus Dur). Bahkan DPP
menunjuk karateker, yaitu Imas Ubudiah Maksum. Aceng HM
Fikri malah dipecat dari keanggotaannya di PKB.
Aceng Fikri memang poitisi muda yang harus diakui
kecerdikannya, karena pada pemilihan umum kepala daerah
113
(Pemilukada) 2008 menggaet seorang aktris sinetron Diky
Candra sebagai pasangan calon wakil bupatinya.
Dalam pencalonan dirinya dari jalur
perseorangan/independen harus berhadapan melawan
gurunya sendiri, KH Abdul Halim yang telah mendidiknya di
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Musadadiyah Garut.
Namun bukan politisi jika harus mengalah hanya karena
lawannya adalah gurunya sendiri.
Dengan tegar ia maju bersama Diky Chandra dengan
melibatkan banyak tim sukses melalui “Aceng Fikri-Diky
Chandra Center” (ANDA Center), dimotori salah satu
pengusaha sukses H. Yayan dan kawan-kawannya. Bahkan
tokoh berpengaruh dari partai Golkar Toni Munawar berbalik
mendukung pasangan Aceng-Diky.
Tokoh aktivis yang juga pengusaha sukses H. Gunadi
dari partai Demokrat menyatakan dukungannya untuk Aceng-
Diky. Sementara partai democrat sendiri berkoalisi dengan
PKB mendukung pasangan Harliman-Ali Rohman.
Kemunculan Aceng Fikri dengan keterujiannya sebagai
politisi, memang telah membuyarkan konsentrasi para
fungsionaris partai-partai. Sejak awal Ketua DPC PDIP Memo
berada di belakang Aceng Fikri, padahal partainya sendiri
berkoalisi dengan partai Golkar mengusung Rudi Gunawan-
Oim Abdurohim.
Kecerdikannya dalam berpolitik kembali dipertontonkan
Aceng HM Fikri. Ketika sekarang ia menjadi bupati dan
114
membutuhkan partai untuk maju di pemilukada 2013
mestinya kembali ke PKB yang mengalami penurunan luar
biasa di Garut karena di pemilu 2004 masih mendapat 5 kursi
namun di pemilu 2009 hanya tiga kursi. Aceng malah lari ke
partai Golkar. Itulah bukti kecerdikan seorang plitisi muda
Aceng HM Fikri. (*).
Dana Pengamanan Pemilu 2009
Pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan
wakil presiden 2009 menggunakan anggaran yang sangat luar
biasa besar. Anggaran yang dikelola Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kabupaten Garut saja mencapai lima puluh satu milyar
lebih.
Keseluruhan anggaran pemilu dialokasikan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk seluruh proses
pelaksanaannya, termasuk anggaran pengamanan yang
dikelola pihak kepolisian.
Seluruh instansi terkait semula ramai-ramai mengajukan
anggaran ke pemerintah daerah melalui alokasi dana
anggaran pendapatan dan belanja daerahnya (APBD). Pihak
Polres Garut pun mengajukan anggaran bagi pengamanan
pemilu tersebut.
Ketika seluruh Kapolda, Kapolres dan KPU berkumpul di
Jakarta membahas tentang pelaksanaan pemilu terungkap
bahwa seluruh jajaran kepolisian di semua tingkatan tidak
115
boleh meminta bantuan anggaran kepada pemerintah daerah
karena sudah dianggarkan melalui APBN.
Kapolres Garut waktu itu AKBP. Rusdihartono, yang
dikenal oleh jajarannya sebagai pemimpin yang “mumpuni”
langsung mencabut usulannya kepada pemerintah daerah
terkait anggaran pemilu. Hanya saja belakangan muncul isu
adanya upaya kasak-kusuk dari oknum di lingkungan Polres
Garut yang memanfaatkan dana tersebut.
Komandan Provost Polres Garut (wakti itu Iptu U. Yusuf
Hamdani, sekarang Kasatreskrim Polres Garut) adalah orang
yang mencurigai adanya aliran dana melalui oknum Polres.
Komandan Provost menghubungi penulis sekedar
berkonsultasi tentang dana tersebut karena menganggap
penulis sebagai anggota KPU mengetahuinya.
Iptu. Yusuf meminta bantuan penulis mencari tahu untuk
mencari tahu apakah ada atau tidak aliran dana ke Polres.
Masalahnya, sudah ditegaskan oleh Kapolres tidak boleh
menerima bantuan dari pemerintah daerah. Iptu. Yusuf
diperintahkan mengamankan kebijakan Kapolres sehingga
tidak dijadikan kesempatan atau peluang oleh oknum
bawahannya.
Penulis waktu itu memberikan jawaban kepada Iptu.
Yusuf tidak mengetahui, karena memang bukan kapasitas
anggota KPU mengurusi hal-hal seperti itu. Hanya saja penulis
memberikan masukan agar mencari tahu di kantor Kesatuan
Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat
(Kesbangpollinmas) pemda Garut. Masalah hal-hal yang
116
berhubungan dengan pengamanan pemilu ada di kantor
tersebut.
Komandan Provost Polres Garut mencurigai dua orang
Kepala Satuan di Polres Garut, yang diduga “bermain mata”
dengan anggaran pengamanan dari bantuan pemerintah
daerah. Tetapi sampai sekarang tidak ada kabar lagi
kesahihan ada tidaknya aliran dana pengamanan pemilu dari
APBD ke Polres Garut. (*).
Pileg Syarat Pelanggaran
Perhelatan akbar pemilihan umum legislatif Juni 2009
syarat pelanggaran, namun tidak satu pun pelanggarannya
yang masuk ke Pengadilan.
Salah satu pelanggaran yang sangat pantastis adalah
dihentikannya proses pemungutan suara di salah satu TPS di
Kecamatan Limbangan oleh anggota Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten Garut Juju Nuzuludin.
Kasus tersebut merupakan kasus baru yang boleh jadi
tidak mungkin terjadi di mana pun di Indonesia. Jika saja
media massa mengendusnya, bukan mustahil akan
menimbulkan kegaduhan politik yang berimplikasi kepada
kekacauan pelaksanaan pemilu yang sangat tidak dikehendaki
oleh siapa pun.
Menyikapi pelanggaran tersebut kalangan media massa
baik cetak maupun elektronik masih berbaik hati. Walau pun
117
prinsip media massa mengincar berita yang heboh, namun
yang dimungkinkan akan menimbulkan kegaduhan nasional
sangat dihndarinya.
Tidak kurang dari Kapolda Jabar waktu itu Irjen Timur
Pradopo (sekarang Kapolri) dibikin gerah karena menyangkut
pertaruhan jabatannya, karena dianggap gagal mengawal
pelkasanaan pemilu yang aman, lancer dan penuh
kedamaian.
Beruntung wartawan media cetak dan elektronik yang
bertugas di kabupaten Garut sehari sebelum pelaksanaan
pemungutan suara bersama Kepala Bagian Informatika
Pemda Garut Drs. Dikdik Hendrajaya dating ke KPU dan
sempat berbincang-bincang dengan penulis yang memang
berprofesi sebagai wartawan walau pun dipercaya menjadi
anggota KPU.
Teman-teman pers yang masih menganggap penulis
sebagai wartawan, dan menghargai Kapolres Garut (waktu itu
AKBP. Rusdihartono) yang dikenal akrab dengan kalangan
pers tidak punya niatan merepotkan KPU dan aparat penegak
hukum sehingga kasus pelanggaran yang fatal tersebut luput
dari pemberitaan media massa.
Selamatlah jajaran Polres Garut, bahkan Kapolda pun
yang sudah diagendakan akan datang ke Garut urung juga.
Penyelenggaraan Pemilu Legislatif Tahun 2009 di kabupaten
Garut dianggap sukses, dan Kapolres Garut AKBP.
Rusihartono mendapat promosi menjadi Kapolres Cimahi,
yang kepindahannya diiringi isak tangis jajarannya di Polres
118
Garut karena merupakan Kapolres yang sangat mumpuni di
kalangan anggotanya termasuk kalangan pers, tokoh
masyarakat dan masyarakat kabupaten Garut. (*).
Potret Suram Pembangunan di Garut
Kepemimpinan Agus Supriadi sebagai bupati Garut
selama 3,5 tahun (Januari 2004-Juli 2007) terbilang sukses
menjalankan pembangunannya. Hal itu terbukti dari gairah
membangun di desa-desa setelah digulirkannya program saba
desa.
Arsitek dari program saba desa adalah Anton Heryanto,
yang mendapat kepercayaan penuh dari Agus Supriadi
sebagai pengelola keuangan daerah. Tidak hanya kepala desa
dan warganya yang bergairah namun hampir semua
komponen masyarakat merasakan kegairahan karena
menggelontornya kucuran dana ABPD melalui kepiawaian
seorang Anton Heryanto.
Tercatat beberapa prestasi spektakuler ditorehkan akibat
dari gairah membangun itu. Sebut saja desa Sukakarya
kecamatan Samarang dan Desa Sukamurni Kecamatan Cilawu
berhasil menjadi desa teladan tingkat nasional. Hampir saja
desa Cisewu kecamatan Cisewu akan mengikutinya namun
Bupati Agus Supriadi terlanjur ditangkap oleh KPK sehingga
desa Cisewu tertunda kemenangannya sebagai desa teladan
tingkat nasional.
119
Naiknya Memo Hermawan sebagai pejabat bupati,
ternyata tidak mampu melanjutkan hingar bingarnya gairah
membangun seperti sewaktu Agus Supriadi. Bahkan
kepemimpinan Memo yang disebut-sebut masa transisi justru
makin redup. Hampir saja pada pemilihan bupati putaran
kedua, pihak KPU Garut tidak mau melaksanakannya karena
pihak pemda kesulitan anggaran.
Beruntung Gubernur Jawa Barat membantu
pembiayaannya, dan Memo sendiri dengan caranya sendiri
berhasil mengalokasikan anggaran pelaksanaan pemilihan
bupati putaran kedua.
Tampilnya Aceng Fikri sebagai bupati Garut, tentunya
diharapkan oleh berbagai kalangan mampu menggairahkan
pembangunan, namun kenyataannya justru semakin meredup
saja dan status daerah tertinggal yang disandang kabupaten
Garut hingga saat ini belum mau dilepaskan.
Dalam seminar bertajuk refleksi dua tahun kepemimpinan
Aceng HM Fikri, yang digagas oleh Warga Indonesia Asal
Garut- Jakarta (Wi-Asgar Jaya) dimotori Imam Hermanto tak
terbendung hujatan kepada bupati Garut karena dianggap
tidak mampu menggairahkan pembangunan di kabupaten
Garut dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Mandegnya gairah membangun dari kepemimpinan
bupati Aceng HM Fikri selalu dengan alasan klise, yaitu
minimnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurut bupati Aceng HM Fikri dalam berbagai kesempatan,
untuk memperbaiki jalan kabupaten saja yang pada umumnya
120
mengalami kerusakan yang parah dibutuhkan anggaran
sedikitnya 1,3 triliun rupiah sedangkan APBD hanya 1,6 trilun
rupiah. Itu pun kata bupati sebagian besar dana APBD untuk
menggaji pegawai.
Itu hanya satu dari sekian banyak infrastruktur yang
ada, belum berapa banyak sekolah dasar yang rusak, berapa
banyak Puskesmas yang sudah tidak layak sebagai tempat
melayani kesehatan masyarakat.
Belum lagi ancaman bagi pasar tradisional yang saat ini
terus diserbu pasar modern (mini market) yang marak di
seluruh kota kecamatan di wilayah kabupaten Garut.
Kongkritnya bagi bupati Aceng HM Fikri sangat sulit
menjalankan visi-misinya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dalam masa kepemimpinannya yang tersisa
sekitar 2, 5 tahun lagi.
Tiga Bupati tak Mampu Wujudkan GOR
Pembangunan gelanggang olah raga (GOR) Ciateul yang
digagas semasa bupati Garut Drs H. Dede Satibi, hngga saat
ini masih belum terwujud padahal lahan seluas 14,2 hektar
sudah dibebaskan menggunakan dana dari APBD kabupaten
Garut.
Rancangan pembangunannya pun sudah dibuat dengan
bantuan LAPI Institut Teknologi Bandung (ITB), yang juga
dibayar menggunakan dana APBD yang tidak sedikit.
121
Masyarakat Garut, terutama para penggiat olah raga
mempertanyakannya karena sudah tiga kali penggantian
bupati masih tetap saja tidak terwujud.
Pada periode bupati Dede Satibi digagas pembangunan
Gelanggang Olah Raga (GOR), gagasan ini lalu dituangkan
dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2004 oleh
Bupati Garut H. Agus Supriadi. Pemerintah daerah
menganggap pembangunan itu layak dan dapat diwujudkan,
baik dari sisi ketersediaan lahan, teknis (rancang bangun),
pembiayaan dan pengeloalaannya.
LAPI ITB yang sudah teruji kepasitas dan kapabilitasnya
sudah membuat rancang bangun yang sangat ideal untuk
sebuah GOR, yang tentu saja dilengkapi berbagai fasilitas
keolahragaan. Dalam rancang bangun tersebut, sesuai
kebutuhan anggaran sudah ditentukan pula skema
pembiayaan setiap tahunnya dari APBD.
Tidak cukup alasan jika pemda dan DPRD
membiarkannya karena perangkat aturannya sudah sangat
jelas yaitu diawali dengan Perda No. 6 Tahun 2004 dan Perda
No 9 Tahun 2006 yang justru mengatur skema pembiayaan.
Jadi apalagi alasannya, masa sih begitu saja tidak
mampu mewujudkan keiinginan masyarakat. Kapan dong
Garut mau maju kalau sarana olah raga saja dibiarkan
terkatung-katung. (*)
122
Kabupaten Garut Selatan
Desakan dibentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB)
Kabupaten Garut Selatan terus digulirkan melalui perjuangan
tanpa lelah dari masyarakat Garut Selatan melalui tokoh-
tokohnya. Sukses pertama perjuangan mereka adalah
keluarnya Surat Keputusan Bupati dan DPRD Garut yang
menyetujui pembentukan kabupaten Garut Selatan.
Sukses berikutnya adalah Keputusan yang sama di
tingkat Propinsi, dan saat ini sudah berada di tangan
Kementerian Dalam Negeri. Langkah perjuangan masyarakat
Garut Selatan yang dalam Surat Keputusan bupati-DPRD
Garut serta Surat Keputusan Gubernur-DPRD Provinsi Jawa
Barat diputuskan sebanyak 16 kecamatan bergabung ke
kabupaten Garut Selatan, yaitu Cikajang, Banjarwangi,
Singajaya, Peundeuy, Cihurip, Cisompet, Cibalong,
Pameungpeuk, Cikelet, Mekarmukti, Caringin, Bungbulang,
Pamulihan, Pakenjeng, Cisewu dan Talegong.
Berdasarkan kajian dari Universitas Pajajaran, calon ibu
kota Kabupaten Garut Selatan berada di kecamatan
Mekarmukti. Di wilayah tersebut memang sudah tersedia
lahan untuk sarana perkantoran dan sarana kegiatan
pemerintahan.
Persoalannya kemudian, kapan terwujudnya Kabupaten
Garut Selatan itu?. Tidak bisa dianggap enteng, bahwa untuk
meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan
Kabupaten Garut Selatan oleh pemerintah dibutuhkan lobi-lobi
maksimal dengan ongkos politik yang tidak sedikit pula.
123
Kemudian jika RUU sudah masuk ke DPR, lagi-lagi
dibutuhkan lobi luar biasa dan ongkos politik yang cukup
besar apalagi di tingkat DPR akan ditangani oleh Panitia
Khusus (Pansus) UU Pembentukan Kabupaten Garut Selatan.
Siapa, berapa dan darimana ongkos politik guna
mempercepat pembentukan kabupaten Garut Selatan itu.
Pengelola APBD di pemda Garut sangat boleh jadi enggan
menyisihkan anggaran begitu besar sebagai ongkos politik
mempercepat pembentukan kabupaten Garut Selatan, sangat
berbeda dengan ongkos politik yang harus dikeluarkan demi
menyelesaikan masalah hukum yang terkait kepentingan
pejabat dan wakil rakyat. Untuk yang satu ini nyaris tanpa
ragu-ragu untuk dikeluarkannya sehingga mengalir deras
kemana-mana.
Perjuangan tanpa lelah dari para tokoh Garut Selatan
kerap merogoh koceknya sendiri, padahal secara politis belum
tentu mereka yang akan menikmatinya nanti jika kemudian
Kabupaten Garut Selatan berdiri. Masalahnya, pertarungan
politik akan terjadi dalam merebut kekuasaan di Kabupaten
Garut Selatan.
Dimotori tokoh intelektual muda asal Cisewu
DR. Gunawan Undang, memang patut diapresiasi karena
mereka bekerja keras memujudkan impiannya sejalan dengan
“wangsit karuhun” bahwa Garut Selatan harus memiliki
kabupaten sendiri apa pun resikonya. (*)
124
Jelang Pemilukada 2013
Masa jabatan bupati Aceng HM Fikri memang relatif
masih lama yaitu sekitar 2, 5 tahun lagi, namun bagi politisi
waktu tersebut relatif sangat singkat karena tidak akan terasa
akan memasuki masa persiapan merebut kekuasaan.
Partai-partai politik kini tengah berbenah diri, dan hampir
semua partai sudah melakukan pergantian kepemimpinannya.
PPP yang semula diketuai Dedi Suryadi sudah beralih ke
Lucky Lukmansyah. PDIP dari Memo Hermawan ke Yogi Yuda
Wibawa. PKB yang terus berganti-ganti, kini diambil alih tokoh
muda Dadan Hidayatulloh, PAN sudah memilih Ketua Fraksi di
DPRD Garut H. Babay Tamimi sebagai ketua DPD-nya.
Partai Hanura, yang semula dipegang tokoh pengusaha
sukses sekaligus tokoh intelektual muslim dari ICMI Drs.
Nadiman beralih ke Ny. Lela Nurlaela. PKS dari dr. Helmi
Budiman berpindah ke ustad Imron Rosyadi.
Partai Golkar masih mempertahankan Drs. H. Ruhiyat
Prawira yang tersandung masalah hukum. Dikabarkan mantan
Kepala Dinas Pendidikan Garut Drs. Komar Mariyuana
mengincar jabatan Ketua DPD Golkar menyusul
kesuksesannya merebut Ketua Kosgoro Garut yang
merupakan organisasi sayap partai Golkar.
Perebutan kursi bupati di pemilukada 2013 akan semakin
seru, memanas namun dipastikan bakal dinamis dibandingkan
pemilihan bupati 2008. Dua politisi ulung, yaitu Dedi Suryadi
dan Memo Hermawan dipastikan bakal maju walau pun belum
125
tentu partainya akan memberikan kepercayaan, mengingat
ketua partainya saat ini juga dipastikan tidak mau membuang
kesempatan emas tersebut, seperti lucky dan Yogi
Yudawibawa.
Nama Rudi Gunawan kemungkinan besar maju lagi, dan
partai Golkar tidak akan dilepaskannya, apalagi kalau Rudi
Gunawan berhasil meloloskan Ketua DPD Partai Golkar
Ruhiyat Prawira dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) di
Mahkamah Agung.
Bupati sekarang Aceng HM Fikri, yang sudah berada di
barisan Partai Golkar dengan masuknya sebagai alah satu
ketua di DPD Partai Golkar Jawa Barat, nampaknya akan maju
lagi di pemilihan bupati 2013. Aceng HM Fikri diperediksi akan
berebut perahu partai Golkar dengan Rudi Gunawan, yang
saat ini tengah berjuang habis-habis meloloskan H. Ruhiyat
Prawira dari jerat hukumnya dalam proses Peninjauan
Kembali (PK) di Mahkamah Agung.
Jika Rudi Gunawan dalam kapasitas sebagai advokat
berhasil meloloskan H. Ruhiyat Prawira, maka dapat
dipastikan genggaman partai Golkar ada di tangan Rudi
Gunawan. Jika itu yang terjadi, maka akan terjadi
pertarungan politik yang sangat menarik di tubuh partai
Golkar menjelang pemilukada 2013.
Pertarungan pemilukada 2013 kemungkinan akan
tambah seru jika keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
berdasarkan revisi UU No 22 Tahun 2007 sudah tidak
126
independen lagi karena nantinya akan diisi oleh orang-orang
dari partai politik.
Kemudian jika sampai dengan pemilukada 2013
Kabupaten Garut Selatan masih belum terbentuk, maka
pertarungan semakin seru dan memanas karena suara dari
Garut Selatan akan menjadi rebutan semua kandidat.
Sebaliknya, jika Kabupaten Garut Selatan sudah
terbentuk sebelum pemilukada 2013 maka politisi yang gagal
di kabupaten induk akan bertarung di kabupaten Garut
Selatan. Yang penting merebut kekuasaan dimana pun sah-
sah saja. (*)
Kepercayaan Pusat
Bagaikan bangun dari tidur, tiba-tiba masyarakat ramai
berguncing membicarakan salah seorang sosok mantan
pejabat yang cukup populer pada masa pemerintahan
sebelumnya. Adalah mantan Kabid Anggaran Badan
Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Garut
Anton Heryanto S.IP, namanya akhir-akhir ini menjadi topik
berita sejumlah surat kabar.
Anton dinyatakan sebagai tersangka baru pada kasus
dugaan korupsi anggaran makan dan minum (mamin) APBD
2007. Sejalan perubahan pemerintahan, Anton Heryanto
tenggelam namanya semenjak dimutasikan ke Kasi
127
Ketentraman dan Ketertiban di Kecamatan Cikelet dan
terakhir ditempatkan di sekretariat KORPRI.
Mengulas perjalanan karirnya di masa pemerintahan
bupati H. Agus Supriadi, terlepas dari persoalan yang
mengguncang pemda Garut, Anton Heryanto memiliki peran
besar dalam mendongkrak pemerintahan Kabupaten Garut
dari ketertinggalan.
Perannya mulai dari menyusun Rencana Strategi
(Renstra) pembangunan berbasis pedesaan hingga
membuahkan hasil beberapa desa menjadi percontohan di
tingkat nasional, meningkatkan IPM yang bermuara pada
keluarnya kabupaten Garut dari lebel kabupaten tertinggal di
Jawa Barat bersama Sukabumi. Penomenal lagi, dirinya
berperan dalam membuka akses ke pemerintahan pusat
untuk mendongkrak sekaligus menggelontorkan anggaran ke
kabupaten Garut.
”Saat itu APBD kita hanya dua ratus miliar rupiah, namun
semua kebutuhan dapat terpenuhi. Sebenarnya, jika
mengandalkan nilai APBD sebesar itu tidak mungkin cukup,
maka perlu ada jaringan dan lobi dengan pemerintah pusat
maupun lainnya. Nah, jika sekarang mendengar tunjangan
perangkat desa jadi menurun, sama sekali tidak ada alasan.
Sebab APBD 2008 mencapai 1,3 trilyun rupiah, artinya punya
keleluasaan dalam mengatur kebutuhan, belum lagi anggaran
dari APBD Propinsi dan pusat,” terang Anton Heryanto.
Menyinggung pemerintahan kabupaten Garut saat ini,
Anton berharap pemda tidak bisa hanya mengandalkan APBD.
128
Artinya, pemimpin daerah siapapun dari kelas apapun
tentunya pasti mampu kalau sekedar ”ngajeujeuhkeun”
anggaran yang ada. Maka pemda sebenarnya mesti mampu
mencari peluang dan menarik anggaran dari pusat. Semua itu
dituntut kepiawaian membuka jaringan dan lobi dari
pemerintah daerah itu sendiri. Sampai kapan pun jika tidak
dilakukan itu, mustahil semua persoalan kebutuhan anggaran
dapat teratasi. (*)
Birokrat Sulit Diatur
Mantan bupati Garut 2004-2007 H. Agus Supriadi dikenal
sosok bupati yang tegas terhadap jajaran birokrasi. Salah satu
bentuk ketegasannya adalah setiap apel hari Senin dan apel
pagi sebelum memulai aktivitas di setiap Satuan Organisasi
Perangkat Daerah (SOPD) lapangan upacara sekretariat
daerah selalu penuh.
Pria tampan lulusan Akademi Militer itu tampak semakin
tegap dan kekar, dengan wajah yang berseri-seri sempat
diwawancarainya seputar tiga tahun pengalamannya menjadi
bupati Garut. Pembicaraan santai namun penuh makna tidak
terselip sepatah kata sebagai ungkapan perasaan dendam
kepada siapa pun.
129
Berikut petikan wawancaranya :
Bagaimana bapak bisa berkesempatan ke Garut, bahkan ke
rumah sakit lagi?
Agus Supriadi : Ayah saya sedang sakit dan dirawat di RSU
Dr. Slamet Garut, tentu saja sebagai anak dalam keadaan apa
pun sebisa mungkin mendampinginya. Hanya saja saya tidak
mungkin bisa terus mendampinginya. Anda tau sendiri saya
sedang berada di LP Cipinang. Alhamdulillah saya diberi
kesempatan untuk menengoknya, dan saya tidak sendirian
karena didampingi petugas dari LP Cipinang.
Apa saja aktivitas bapak di LP Cipinang?
Agus Supriadi : Selain rutinitas sebagai penghuni LP, saya
juga banyak belajar antara lain membaca buku dan berdiskusi
dengan sesama napi. Di LP Cipinang banyak napi yang terdiri
dari beragam profesi. Ada pakar hukum, mantan birokrat,
profesional dan lainnya. Saya lebih banyak berdiskusi soal
hukum terutama masalah korupsi yang melibatkan kepala
daerah. Dari diskusi tersebut disimpulkan bahwa korupsi itu
koorporasi (bersama-sama). Jadi, jika korupsi di
pemerintahan tidak mungkin dilakukan secara perseorangan
karena berkaitan dengan sistem administrasi. Yang sederhana
saja soal suap menyuap (gratifikasi), itu melibatkan setidak-
tidaknya dua orang yaitu yang menyuap dan yang menerima
suap. Nah, dalam kasus saya terungkap di persidangan
bahwa mantan bupati Garut H. Taufik Hidayat telah
menyogok saya tetapi kenapa si penyogoknya dibiarkan.
Secara hukum, mestinya dia harus diseret juga seperti saya.
130
Namun itulah potret buram hukum kita yang belum
sepenuhnya memeunhi rasa keadilan.
Bapak menyesal atau setidak-tidaknya kecewa terhadap
keadaan seperti itu?
Agus Supriadi : Apa yang harus saya sesali toh semuanya
sudah terjadi. Bagi saya justru menjadi pelajaran berharga,
karena ternyata memimpin birokrat itu tidak mudah. Mereka
adalah pelaku administrasi dan implementasi sistim
administrasi pemerintahan yang pintar-pintar. Artinya, pintar
dalam tanda kutip. Ketika saya menjadi bupati, justru dimulai
dari hal kecil yaitu disiplin aparat. Terus terang saja sewaktu
saya dinas di militer tidak “bermain” dengan uang tapi di
birokrat sebaliknya yang mereka mainkan adalah uang. Nah,
saya terjebak juga karena betul-betul wilayah baru bagi saya.
Tetapi sekarang saya jadi punya ilmu bagaimana menaklukan
birokrat yang sudah jago-jago itu. Makanya saya tidak yakin
siapa pun bupatinya kalau dia orang baru yang masuk ke
pemerintahan, saya yakin akan menghadapi kesulitan
menertibkan birokrat yang pandai-pandai itu. Jangan-jangan
bupati Garut sekarang pun nantinya akan terjebak juga
seperti saya, tapi saya berharap tidak terjadi hal seperti itu
kapan Garut mau membangun. Resiko menjadi bupati jika
terjebak dengan sistim administrasi yang dilakukan birokrat,
maka mengalami dua keungkinan yaitu dia akan jatuh di
tengah jalan seperti saya atau tersandung setelah selesai
menjadi bupati. Hal itu banyak terjadi di beberapa daerah
bahkan banyak mantan kepala daerahnya yang sekarang
bernasib sama seperti saya. Masalah seperti itulah yang
131
sering menjadi topik hangat dan menarik dalam diskusi
hukum sesama napi di LP Cipinang.
Bagaimana pengelolaan APBD sewaktu bapak jadi bupati?
Agus Supriadi : Saya kan sudah katakan di atas, bahwa
yang pintar dan cerdik itu adalah birokrat tentu saja dalam
hal APBD pun merekalah yang sangat paham bagaimana
mengaturnya. Saya sering turun ke desa-desa dan selalu saja
memberikan bantuan langsung. Hasilnya anda boleh tanya
para kepala desa, ya paling tidak ada gairah-lah di desa
dengan APBD hanya sembilan ratus milyar rupiah. Sekarang
APBD katanya sudah satu triliun tiga ratus milyar rupiah,
apakah bupati sekarang sering turun ke desa dan memberi
bantuan langsung dan bagaimana pula gairah di desa.
Pertanyaannya kemudian seperti apa pengelolaan APBD-nya,
apalagi sekarang diterima dana bagi hasil (DBH) panas bumi.
Jika bupati kurang hati-hati maka hal itu akan menjadi sebuah
jebakan yang tidak menutup kemungkinan menjadi batu
sandungan yang kemudian berujung pada persoalan hukum.
Saya juga punya pengalaman soal penertiban kawasan
perkotaan yang kemudian Garut memperoleh piagam Adipura.
Itu kan tidak gratis karena menggunakan dana APBD, dan
saya sebagai orang yang bertanggung jawab atas
penggunaannya tetapi hal-hal yang berkaitan dengan
administrasi adalah para birokrat. Nah, birokrat itulah yang
cerdik dan pandai memainkan administrasinya dan itu bisa
saja menjadi jebakan bagi bupati.
132
Barangkali bapak punya resep menaklukan birokrat yang
pintar-pintar itu?
Agus Supriadi : Itulah pentingnya ada staf ahli bupati.
Menurut saya staf ahli bupati itu betul-betul sangat diperlukan
dan orang-orangnya pun harus terdiri dari mereka yang juga
benar-benar ahli. Pendapat dan kajian mereka harus menjadi
alat bagi bupati untuk perencanaan pembangunan,
pembenahan birokrasi serta hal-hal lain demi kemajuan
daerah. Dan yang paling penting juga bahwa birokrat itu
jangan berpolitik. Artinya, semua sistem kepegawaian yang
berkitan dengan karir harus menjadi ketentuan yang tidak
boleh diintervensi oleh kekuatan mana pun. Namun faktanya,
pejabat birokrasi justru sering “ bermain” untuk mendapatkan
kedudukan. Banyak cara yang mereka lakukan, bisa
menggunakan partai politik, tekanan dari kelompok penekan
(pressure grup), tokoh masyarakat dan lain-lain. Fakta seperti
itu pernah juga saya alami selama menjadi bupati Garut.
Untuk menaklukannya, marilah berdiskusi dengan saya
karena pengalaman adalah guru yang paling berharga.
Bagaimana pendapat bapak tentang bupati Garut sekarang?
Agus Supriadi : Saya dan bupati Garut sekarang pasti
beda. Kalau saya berasal dari militer dan sebelumnya tidak
bersentuhan dengan birokrasi di pemerinthan apalagi
pemerintahan daerah. Makanya ketika saya masuk ke ranah
pemerintahan ada sesuatu yang sangat berbeda dengan
sistim di militer. Sedangkan bupati Garut sekarang saya kira
sudah biasa bersentuhan dengan birokrat, bahkan sewaktu
133
saya jadi bupati dia sering datang ke pendopo. Ya,biasalah
namanya juga warga Garut yang punya aktivitas di gerakan
dan partai politik. Bahkan bupati yang sekarang ada
kelebihannya karena dia seorang santri. Yang penting
menurut saya, bagaimana bupati sebisa mungkin
menggairahkan pembangunan terutama di desa-desa, dan
menertibkan birokrat yang cerdik-cerdik itu. Dulu saya punya
obsesi bagaimana desa dan kecamatan bisa berkembang,
bahkan ibu kota kecamatan harus menjadi pusat perkotaan
sehingga warganya tidak harus selalu berbelanja di ibu kota
kabupaten. Jika melihat latar belakangnya saya kira dia bisa
memimpin kabupaten Garut, namun jika kurang hati-hati ya
bisa saja pengalaman saya akan terulang lagi tetapi saya
berharap tidak demikian.
Ada kabar, bapak tidak lama lagi akan bebas?
Agus Supriadi : Ya, itu sih tergantung perjuangan saya
dalam menegakan hukum dan mencari keadilan. Tadi saya
sudah katakan, bahwa korupsi di pemerintahan adalah
koorporasi (bersama-sama). Selama ini saya terus berjuang
walau pun ada di dalam penjara, dan fakta-fakta baru
(novoum) sudah bermunculan antara lain adanya sejumlah
pejabat pemda Garut, anggota DPRD yang sudah dan sedang
diproses secara hukum bahkan ada yang sudah dijatuhi
hukuman. Yang penting saya tidak berhenti berjuang walau
pun dikerangkeng, dan itu adalah hak saya sebagai warga
negara yang sedang mencari keadilan.
134
Kalau nanti bapak bebas, apa yang akan bapak lakukan?
Agus Supriadi : Tentu saja saya kembali ke keluarga yang
sudah begitu lama tidak bersama-sama dengan mereka.
Mereka sangat membutuhkan perhatian dan bimbingan saya,
dan Alhamdulillah saya semakin banyak menimba ilmu,
termasuk bagaimana saya belajar bersabar, ikhlas, tidak
mendendam dan mengambil hikmah dari semua yang saya
alami selama ini. Saya sebagai warga Garut, tentunya akan
berkiprah semampu saya bersama-sama warga yang lain agar
hidup ini bermanfaat bagi orang banyak.
Maaf pak, apakah jadi bupati itu menyenangkan?
Agus Supriadi : Jelas dong. Jadi bupati itu enak lho semua
fasilitas sudah disediakan dan didanai oleh APBD. Jadi,
apanya yang tidak menyenangkan. Bohong kalau menjadi
bupati tidak punya apa-apa. Saya saja yang banyak bergerak
ke desa-desa masih saja ada lebihnya, ya bisa beli rumah
atau mobil apalagi jika bupatinya tidak bergerak karena
secara otomatis anggaran pun tidak bergerak juga. Dan itu
harus menjadi pertanyaan, kemana mengalirnya dana APBD
karena faktanya pembangunan nyaris tidak bergerak.
Sebelum mengakhiri perbincangan dengan SKU Garoet Pos,
H. Agus Supriadi menyampaikan permohonan maaf kepada
warga Garut yang selama ini masih memberikan dukungan
moril kepadanya. Ia mengatakan, “saya belum bisa berbuat
apa-apa, jadi tolong maafkan saya semata-mata bukan
karena kesombongan dan ketamakan namun Allah telah
menakdirkan saya harus mengalami nasib seperti ini”. (*)
135
Prof. Asep Warlan Yusuf :
Pejabat Pemda jadi Bidikan Penegak Hukum
Hal-hal yang berkaitan dengan kesalahan administrasi
pemerintahan daerah, terutama yang berhubungan dengan
penggunaan dana APBD menjadi bidikan aparat penegakan
hukum. Akibatnya, tidak sedikit saat ini pejabat birokrasi yang
terjerat tindak pidana korupsi.
Demikian diungkapkan Guru Besar Hukum dari
Universitas Parahyangan Bandung, Prof DR. Asep Warlan
Yusuf MH, ketika berbicara di depan peserta sosialisasi
Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan
Undang-Undang Pelayanan Publik di Hotel Paseban Garut,
Sabtu (27/11).
Menurutnya, penggunaan dana APBD memang harus
hati-hati dan diperlukan keterbukaan kepada masyarakat.
Masalahnya, kedua UU tersebut sudah jelas ada sangsi pidana
dan ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum justru
UU lainnya sudah menanti untuk menjeratnya, seperti UU
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Tidak hanya aparat penegak hukum, lanjut Asep Warlan,
transparansi/keterbukaan penggunaan dana APBD juga
dituntut oleh kelompok masyarakat. Belum lama ini Walikota
Bandung Dada Rosada membawa sejumlah pejabat pemkot
ke Gungzhou, Cina untuk memberi semangat para atlet asal
kota Bandung yang tengah memperkuat kontingen Indonesia
di Arena Asian Games.
136
Walikota Bandung, kata Asep Warlan diprotes habis-
habisan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), soalnya
berangkat ke Cina menggunakan dana APBD. Padahal,
menurut mereka kalau mau memberikan semangat lebih dana
APBD tersebut dijadikan bonus kepada atlet kota Bandung
yang meraih medali.
Prof. Asep Warlan sempat diminta pendapat oleh
Walikota terkait protes tersebut. “Saya katakan ke pa
Walikota, anda tidak salah menggunakan dana APBD untuk
menyuport atlet di Asian Games. Tapi anda juga harus sadar
bahwa masyarakat menganggap hal itu kurang patut
dilakukan, dan lebih pautu jika dana APBD digunakan sebagai
bonus ketika nanti para atlet kota Bandung meraih medali,”
ungkapnya. (*)
Bisnis CPNSD
Setiap tahun pemerintah daerah kabupaten Garut
mendapat jatah penambahan pegawai baru melalui seleksi
calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD). Seleksi calon
CPNSD selalu diwarnai praktek kolusi dan nepotisme, hal itu
sudah bukan rahasia lagi.
Anak-anak pejabat ramai-ramai ikut seleksi, dan
memang lolos. Selain itu, terjadi pula jual beli kelulusan yang
melibatkan banyak pihak. Salah satu yang sangat signifikan
peranannya adalah Wawan Nurdin. Ia kerap mengatur siapa-
137
siapa saja yang harus diluluskan, tentu saja dengan imbalan
uang yang tidak sedikit.
Yang paling menghebohkan dalam seleksi CPNSD tahun
2010 yang meloloskan puteri mantan wakil bupati Garut
Ghea Abigail. Puteri Memo Hermawan itu dikabarkan sedang
berada di Thailand ketika pelaksanaan seleksi.
Sedangkan sejumlah peserta seleksi yang lulus dengan
imbalan uang, besarannya antara 50- 100 juta rupiah sebuah
tarif yang mencengangkan untuk menjadi calon-calon birokrat
dikemudian hari. Sedangkan pihak-pihak tertentu juga
kecipratan jatah untuk menitipkan peserta seleksi tanpa ada
imbalan uang. Biasanya yang mendapat jatah tersebut adalah
pihak atau kelompok yang dianggap membahayakan bagi
pemerintah daerah.
Bisnis CPNSD diakui bupati Aceng HM Fikri kepada
penulis di ruang Pamengkang komplek gedung Pendopo,
tanggal 14 Desember 2010 menjelang pengumuman hasil
seleksi. Menurut bupati, dari setiap penerimaan CPNSD ada
komitmen dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan
pembuat soal, antara lain Universitas Pajajaran, sebelum
diambil alih Universitas Indonesia.
Ketika masih oleh UNPAD, ada jatah secara khusus
yang diberikan kepada bupati namun ada kewajiban
menyetorkan uang masing-masing sepuluh juta rupiah ke
BKN dan dua puluh juta rupiah ke UNPAD. Dicontohkan oleh
bupati pada seleksi CPNSD tahun 2009 dirinya mendapat
jatah 97 orang CPNSD. Artinya, bupati harus menyetorkan
138
uang ke BKN sebesar Rp. 970.000.000,- (sembilan ratus tujuh
puluh juta rupiah) dan ke UNPAD
Rp. 1.940.000.000,- (satu milyar sembilan ratus empat puluh
juta rupiah). Untuk dua lembaga itu bupati harus
mengeluarkan uang sebesar Rp. 2.910.000.000,- (dua milyar
sembilan ratus sepuluh juta rupiah).
Tentu saja bupati tidak mungkin mengeluarkan uang
begitu saja dari koceknya sendiri atau dari APBD, melainkan
terpaksa menjual jatah tersebut di luar jatah yang
digratiskan. Dicontohkan bupati Aceng HM Fikri dari jatah 97
orang diambil 20 % (kurang lebih 20 orang), selebihnya
sekitar 77 orang jatah yang kemudian dijual dengan harga
rata-rata enam puluh juta rupiah karena ada yang mencapai
di atas tujuh puluh lima juta rupiah. Artinya, bupati bisa
mengantongi uang sebesar Rp. 4.620.000.000,- (empat
milyar enam ratus dua puluh juta rupiah).
Dari dana yang diperoleh sebesar Rp. 4.620.000.000,-
(empat milyar enam ratus dua puluh juta rupiah) disetorkan
ke BKN dan UNPAD sebesar Rp. 2.910.000.000,- (dua milyar
sembilan ratus sepuluh juta rupiah) maka bupati masih
mengantongi hasil penjualan jatah CPNSD sebesar
Rp. 1.710.000.000,- (satu milyar tujuh ratus sepuluh juta
rupiah). Memang setiap penerimaan CPNSD menjadi ajang
jual beli yang diistilahkan banyak orang adalah “jual jongko”.
(*).