Download - Sumber: Yusuf Wibisono, 2020
Sumber: Yusuf Wibisono, 2020 – PEBS FEUI
Kuliah 8 – Penciptaan Uang dalam Perekonomian Modern
Penciptaan Uang (Money Creation)
• Dalam perekonomian modern, uang sebagai alat tukar dan alat pembayaran tidak lagi
dimonopoli sepenuhnya oleh pemerintah.
o Jumlah uang beredar kini tidak hanya terdiri dari uang yang dicetak dan diedarkan
pemerintah saja, namun juga seluruh alat tukar yang diterima pasar secaraumum.
• Alat tukar yang kini mendominasi perekonomian modern justru adalah uang bank (kredit)
yang diciptakan oleh perbankan swasta komersial melalui sistem fractional reserve
banking.
o Inovasi keuangan yang pesat, seperti kartu kredit, juga telah melahirkan berbagai
bentuk jenis uang baru yang membuat likuiditas perekonomian meningkat drastis.
Dampak Perbankan
• Sistem perbankan konvensional memiliki dampak terhadap ekspansi moneter melalui
aktivitas peminjaman berbasis bunga (debt-based financing) dengan menggunakan dana
simpanan nasabah.
• Ketika bank menahan semua deposito sebagai cadangan (reserve), dan tidak melakukan
aktivitas kredit, maka bank tidak memberi pengaruh pada jumlah uang beredar, dikenal
sebagai 100-percentreserve banking.
• Namun jika bank menahan hanya sebagian dari deposito dalam cadangan, tidak sejumlah
100%, maka bank menciptakan uang beredar melalui kredit yang diciptakannya, dikenal
sebagai fractional-reserve banking
Penciptaan Kredit dan Ekspansi Moneter
Sistem fractional-reserve banking ini sangat menguntungkan bank.
Dalam sistem ini, bank dapat menciptakan uang (kredit) nyaris tanpa biaya apapun: hanya
dengan memindah-bukukan dana simpanan milik nasabah penabung yang dititipkan ke
mereka ke nasabah penerima kredit, dengan nasabah penabung tetap merasa uang mereka
aman di bank, dan kemudian bank mendapat keuntungan dengan mengenakan bunga atas
setiap kredit yang mereka ciptakan.
Namun sistem perbankan seperti ini memiliki implikasi ekonomi yang serius.
Ketika bank menciptakan kredit, bank juga menciptakan utang untuk nasabah peminjam-
nya. Proses ini membuat perekonomian menjadi lebih likuid, yaitu jumlah uang beredar
menjadi lebih banyak, namun tanpa ada penambahan produksi barang dan jasa. Jika kredit
yang diciptakan tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi, maka kredit jelas akan bersifat
inflasioner.
Dalam sistem fractional-reserve banking, pertambahan jumlah uang beredar ditentukan
oleh ketentuan cadangan minimum (reserve requirement)
Reserve Requirement
• Jika reserve requirement adalah 1/10 (total reserve/total deposit), maka bank dapat
membentuk piramida terbalik 10:1 yaitu Rp 10,- uang beredar (dimana Rp 9,- adalah
kredit) yang hanya ditopang oleh Rp 1,- cadangan. Semakin rendah reserve requirement,
semakin besar piramida terbalik yang terbentuk dimana sejumlah kecil cadangan
menopang kredit yang jauh lebih besar.
• Jumlah uang beredar yang dapat digandakan perbankan melalui proses ini disebut money
multiplier = mm = 1 / rr dimana rr = reserve requirement. Dalam sistem fractional reserve
banking ini, jumlah uang beredar = uang primer + (total bank reserve x mm).
Fractional-reserve Banking dan Interest
• Kombinasi sistem fractional-reserve banking dan interest, dimana setiap kredit yang
diciptakan bank dikenakan bunga, secara pasti (by default) akan menciptakan ekspansi
moneter secara berlipat ganda dan berkelanjutan di masa depan, independen dari produksi
barang dan jasa di sektor riil.
• Jika produksi di sektor riil di masa depan gagal mengimbangi pertumbuhan sektor moneter,
maka inflasi tinggi dan berkelanjutan dipastikan tidak terhindarkan.
Ekspansi Moneter dan Keberlanjutan Sistem
• Sebagai misal, jika jumlah uang primer (high-powered money) Rp 100,- juta dan jika
reserve requirement adalah 1/5, maka bank dapat menciptakan kredit hingga Rp 400,-
juta, sehingga jumlah uang beredar Rp 500,- juta. Jika seluruh kredit jatuh tempo dalam
3 tahun dan dikenakan bunga 10%, maka harus terdapat ekspansi moneter dalam 3 tahun
berikutnya minimal sejumlah Rp 400,- juta x (1+10%)3 = Rp 532,40 juta, agar tidak terjadi
kredit macet.
• Pertumbuhan uang beredar yang dibutuhkan untuk mempertahankan sistem fractional
reserve banking ini hanya dapat berasal dari dua sumber, yaitu: (i) bank menambah uang
melalui penciptaan kredit baru; atau (ii) pemerintah meningkatkan pencetakan uang
primer.
Kredit dan Kebijakan Moneter
Dalam sistem fractional-reserve banking, bank memiliki kemampuan menciptakan uang
melalui aktivitas kredit.
o Dalam dunia modern, hampir seluruh uang beredar mengambil bentuk uang bank yang
diciptakan oleh aktivitas penciptaan kredit ini, bukan oleh pemerintah. Karena itu,
otoritas moneter modern tidak memiliki pengaruh langsung pada agregat moneter.
Pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai sasaran kebijakan moneter (monetary
targeting) telah ditinggalkan banyak negara sepanjang 1980-an.
o Otoritas moneter kini bergerak langsung ke pengendalian inflasi (inflation targeting)
tanpa bergantung pada sasaran antara (intermediate target).
Kredit Macet dan Kontraksi Moneter
Dengan transaksi keuangan yang saling terkoneksi, kegagalan satu bank akan membawa
dampak ikutan ke bank lain.
o Dalam situasi krisis, hal ini akan memicu penarikan dana besar-besaran oleh
penabung (bank run), sehinggasektor perbankan akan runtuh dalam sekejap,
sekaligus menghancurkan kredit yang merekaciptakan.
o Karena kredit merupakan bagian dari uang beredar,maka kredit macet yang diikuti
kebangkrutan bank akan menimbulkan kontraksi moneter.
Jumlah uang beredar akan terkontraksi secara signifikan, dan segera menurunkan
ekspektasi dan aktivitas ekonomi dengan segala dampak ikutannya di sektor riil.
Bank Run dan Bailout
Instabilitas sektor perbankan, dari aktivitas menciptakan kredit yang terlalu banyak dan
kemudian hancur secara cepat karena kredit macet, karenanya berpengaruh besar pada
jumlah uang beredar dan stabilitas moneter.
Untuk mencegah bank run, pemerintah umumnya memberi jaminan kepada publik atas
dana yang disimpan di bank. Keberadaan lembaga penjamin simpanan kini telah menjadi
bagian tidak terpisahkan dari sistem fractional-reserve banking.
Sedangkan untuk mencegah kehancuran sistem perbankan akibat kegagalan sebuah bank,
pemerintah umumnya melakukan bailout dengan mengambilalih bank gagal.
Uang Primer (Base Money)
Uang beredar adalah uang tunai yang dipegang masyarakat dan uang masyarakat yang
disimpan di perbankan, yaitu:
Money = M = Cp + Dp
o dimana Cp = uang yang dipegang publik, dan Dp= deposito milik publik di bank
komersial.
Uang primer (base money) adalah uang yang dipegang masyarakat dan bank, serta
simpanan perbankan di bank sentral, yaitu:
Base money = High-powered money = H
H = Cp + Cb + Db
o dimana Cb = uang yang dipegang bank, dan Db= deposito milik bank komersial di
bank sentral.
Currency and Reserve Ratio
Maka currency ratio adalah perbandingan uang tunai yang dipegang masyarakat terhadap
uang masyarakat yang disimpang di perbankan.
Currency ratio = c = Cp / Dp
Sedangkan reserve ratio adalah perbandingan uang tunai yang dipegang bank dan
simpanan perbankan di bank sentral terhadap uang masyarakat yang disimpan di
perbankan.
Reserve ratio = r = (Cb + Db) / Dp
Bond Ratio
• Bond ratio adalah perbandingan investasi bank dalam obligasi terhadap kredit yang
disalurkan ke masyarakat.
• Bond ratio = b = Bb / Lb
o dimana Bf = Obligasi pemerintah milik bank sentral, Bb = Obligasi pemerintah milik
bank komersial, Bp = Obligasi pemerintah milik publik, dan Lb = Utang bank
komersialke sektor swasta,
• Lebih lanjut, dapat didefinisikan R = Penerimaan dari menciptakan uang, Rh =
Penerimaan dari menciptakan high-powered money, Rl = Penerimaan dari menciptakan
low-powered money, P = Tingkat harga, V = Kecepatan peredaran uang, dan y =
Pendapatan riil.
Neraca Bank Sentral, Perbankan Komersial dan Publik
Bank Sentral Bank Komersial
Aset Kewajiban
Bf Cp
Cb
Db
Publik
Aset Kewajiban
Cp Lb
Dp
Bp
Cp = uang yang dipegang publik
Dp = deposito milik publik di bank komersial
Cb = uang yang dipegang bank
Db = deposito milik bank komersial di bank sentral
Bf = Obligasi pemerintah milik bank sentral
Bb = Obligasi pemerintah milik bank komersial
Bp = Obligasi pemerintah milik public
Lb = Utang bank komersial ke sektor swasta
Penciptaan Uang dan Seigniorage
• Jika tidak ada sistem perbankan, atau sistem perbankan mengadopsi 100-percent reserves
banking, maka seluruh penerimaan dari menciptakan uang akan mengalir sepenuhnya ke
pemerintah.
• R = ∆M = ∆H .... [1]
Aset Kewajiban
Cb Dp
Db
Bb
Lb
• Dengan fractional reserve banking system, penerimaan dari menciptakan uang berasal
dari penciptaan highpowered money (base money) dan dari penciptaan lowpowered money
(ekspansi kredit bank dan investasi bank di obligasi pemerintah).
• R = Rh + Rl ... [2]
• Dengan mengkombinasikan M dan H, kita akan mendapatkan persamaan money supply:
• M = H [ ( 1 + c ) / ( c + r ) ] .... [3]
Seigniorage in 100 Percent Reserve Banking
• Dengan asumsi c dan r adalah konstan, dan mengasumsikan semua tambahan sumber daya
ke perbankan akan diinvestasikan ke obligasi pemerintah, maka kombinasi turunan [3]
dengan 1 dan [2] adalah:
• R = Rh + Rl
• R = ∆H + ∆H [ ( 1 - r ) / ( c + r ) ] ... [4]
• Jika sistem perbankan mengadopsi 100 percent reserves banking ( r = 1 ) maka persamaan
[4] akan menjadi sama dengan persamaan [1]: tidak ada tambahan penciptaan uang dari
ekspansi sekunder dalam sistem perbankan.
Seigniorage in Fractional Reserve Banking
• Namun bayangkan jika r = 10% dan c = 5% maka
• ( 1 - r ) / ( c + r ) = 6.
• Artinya, jumlah penerimaan dari kenaikan uang bank akan 6 kali lebih besar dari jumlah
penerimaan dari uang yang diciptakan bank sentral.
Kredit ke Sektor Swasta dan Seigniorage
• Sistem perbankan tidak selalu harus menginvestasikan seluruh deposito barunya di
obligasi pemerintah atau sebagai cadangan, namun dapat sebagai kredit baru ke sektor
swasta.
• Ketika tidak ada tambahan pinjaman perbankan ke publik yang diinvestasikan ulang ke
obligasi pemerintah, maka penerimaan dari menciptakan low-powered money adalah:
• Rl = [ b / ( 1 + b ) ] [ ( 1 – r ) / ( c + r ) ] ∆H ... [5]
Quantity Theory of Money dan Seigniorage
• Dari persamaan quantity theory of money, kita • mengetahui:
• MV = P y ... [6]
• Dalam terms persentase perubahan, persamaan • quantity theory of money dapat
dituliskan:
• ∆M/M + ∆V/V = ∆P/P + ∆y/y ... [7]
• Dari persamaan [1] kita dapat menulis ulang penerimaan dari penciptaan uang dalam real
terms sebagai penjumlahan dari uang baru yang diciptakan dan jumlah eksisting uang
beredar:
• R = ∆M/P = ( ∆M/M ) ( M/P ) ... [8]
• Kombinasi persamaan [7] dan [8] akan menghasilkan:
• R = (∆P/P) (M/P) + (∆y/y - ∆V/V) (M/P) ... [9]
• Term pertama, (∆P/P) (M/P), adalah penerimaan yang dihasilkan dari inflation tax: inflasi
memaksa pemegang uang untuk meningkatkan kepemilikan uang nominal mereka untuk
mempertahankan daya beli uang.
• Term kedua, (∆y/y - ∆V/V) (M/P), adalah pinjaman sukarela untuk pemerintah yang
muncul dari keinginan publik untuk meningkatkan kepemilikan uangnya. Keinginan ini
dapat muncul karena meningkatnya pendapatan riil (∆y/y adalah positif) atau alasan lain
(∆V/V adalah negatif).
Kuliah 9 – Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Modern
Uang dan Kebijakan Makroekonomi
• Dalam rentang waktu yang panjang, ortodoksi yang diterima secara luas dalam ekonomi
mainstream adalah uang tidak memiliki peran kecuali ketika ia “out of order”, dan
intervensi pemerintah ke pasar seringkali membuat keadaan justru menjadi lebih buruk.
Perekonomian dengan pasar kompetitif memiliki mekanisme otomatis yang membawa
perekonomian selalu pada kondisi full-employment.
• Intervensi pemerintah, termasuk dengan cara“bermain-main” dengan jumlah uang
beredar, hanya akan mendistorsi keputusan pelaku ekonomi karena membuat keputusan
pada harga yang salah.
• Pemerintah harus dibatasi, hanya memastikan terpenuhinya kondisi yang dibutuhkan
sistem pasar agar dapat berjalan efisien. Tugas kebijakan makroekonomi hanya
mengkontrol jumlah uang beredar. Tugas ini dijalankan dengan baik oleh bimetalisme
dan standar emas, secara eksogen, tanpa keterlibatan pemerintah sama sekali.
• Sampai pertengahan 1800-an, standar emas secara meyakinkan berperan sebagai jangkar
peredam inflasi yang efektif. Dengan keterkaitan secara langsung antara uang beredar
dan emas, karakter alami emas yang terbatas menjamin tidak ada pencetakan uang yang
berlebihan.
• Namun terbatasnya emas juga sekaligus menjadi kelemahan utama standar emas: ekspansi
uang beredar seringkali tidak mampu mengimbangi pertumbuhan barang dan jasa.
• Seiring perkembangan perbankan, muncul gagasan untuk memutus keterkaitan uang dan
emas, uang yang lebih “elastis”, untuk mengakomodasi perdagangan dan
pertumbuhanpopulasi, yaitu uang diciptakan melalui kredit perbankan dan dilikuidasi
oleh pelunasannya.
• Ketika uang diciptakan oleh bank komersial saat mereka membuat kredit, maka bank
sentral tidak lagi memiliki kontrol secara langsung ke jumlah uang beredar.
Quantity Theory of Money
• Pada 1911, Irving Fisher membangun persamaan:
• MV = ∑pQ
• dimana M = uang beredar, V = kecepatan uang beredar,dan ∑pQ = penjumlahan seluruh
barang dan jasa yang terjual dikalikan dengan harganya.
• MV = p1Q1 + p2Q2 + p3Q3 + … +pnQn
• Menyederhanakan P = rata-rata tertimbang seluruh harga, dan T = jumlah seluruh barang
dan jasa, akanmenghasilkan:
• MV = PT
• Dengan uang kini terdiri dari uang primer dan uang bank, maka persamaan Fisher
menjadi:
• MV + M’V’ = PT
• Tekanan ke inflasi tidak lagi hanya uang primer yang dicetak bank sentral, namun juga
kredit dari bank komersial.
Revolusi Keynesian
• Meski menghasilkan stabilitas harga jangka panjang yang mengesankan, namun standar
emas dalam jangka pendek juga sering menciptakan instabilitas. Penemuan emas dalam
jumlah besar, menghasilkan inflasi, namun umumnya ekspansi produksi emas terlalu
sedikit, sehingga menghasilkan resesi dan pengangguran, yang berpuncak pada great
depression1929.
• Revolusi Keynesian menggagas jika produksi uang dapat dilepaskan dari belenggu emas
dan pencetakannya berada dibawah kontrol pemerintah, maka akan selalu terdapat jumlah
uang beredar yang sesuai dengan kebutuhanperekonomian.
• Pada 1930-an, Keynes menolak ortodoksi klasik bahwa monetary economy memiliki
tendensi otomatis ke fullequilibrium. Hal ini terjadi karena pelaku ekonomi memiliki
pilihan untuk menahan uang alih-alih membelanjakannya. Dalam ketidakpastian tinggi
dan uang memiliki fungsi sebagai store of value, perekonomian dapat terjebak pada
underemployment equilibrium.
• Dalam ortodoksi Keynesian, pemerintah harus mempengaruhi aggregate spending melalui
kebijakan fiskal, dengan kebijakan moneter dibuat konsisten dengan tujuan kebijakan
fiskal ini, termasuk dengan membiayai budget deficit.
• Dengan uang berada dibawah kontrol pemerintah, jumlah uang beredar menjadi bagian
dari kebijakan pemerintah. Tugas mengkontrol jumlah uang beredar yang awalnya
dipercayakan pada standar emas, kini dialihkan pada bank sentral.
• Ortodoksi Keynesian runtuh pada 1970-an ketika perekonomian menghadapi stagflation:
kenaikanyang simultan antara inflasi dan pengangguran.
• Revolusi Keynesian menjanjikan minimalisasi pengangguran tanpa mendorong inflasi.
Ketika keduanya gagal diwujudkan, maka secara politik Keynesian menjadi tidak berguna.
• Komitmen Keynesian pada penciptaan full-employment telah mendorong inflasi tinggi
dan di saat yang sama gagal pula menurunkan pengangguran.
Keynesian Multiplier
• Bayangkan perekonomian tertutup (closedeconomy):
• Y = C + I + G
• dimana C = C0 + cY, dengan C0 = konsumsi otonom, dan c = marginal propensity to
consume, I = I0 dan G =G0.
• Dengan memasukan bentuk fungsional dari C, I dan Gke dalam persamaan identitas
pengeluaran diatas, akan didapatkan:
• Y = ( 1 / 1-c ) ( C0 + I0 + G0 )
• dengan (1/1-c) = multiplier effect terhadapY.
• Misal, Y = 100, C0 = 30, I0 = 10, G0 = 10 dan c = 0,5, maka (1/1-c) = 2.
• Jika pemerintah melakukan stimulus fiskal sehingga G0 = 12, maka ∆G0 = 2, maka Y
akan meningkat menjadi Y = 2 (30+10+12) = 104, bukan 102, dengan (∆Y/∆G) =2.
Neo-classical Multiplier
• Dalam kerangka neoklasik, perekonomian tertutup:
• Y = C + I + G
• dimana C = C0 + C(i) + cY, dengan C(i) = konsumsi yang dipengaruhi oleh suku bunga,
dan I = I(i) dan G =G0.
• Dengan memasukan bentuk fungsional dari C, I dan Gke dalam persamaan identitas
pengeluaran, akan didapatkan:
• Y = ( 1 / 1-c ) ( C0 + C(i) + I(i) + G0 )
• Dalam kerangka neoklasik, ekspansi fiskal dengan utang publik, akan menghasilkan
dampak “crowding out” ke konsumsi dan investasi melalui kenaikan suku bunga.
• Misal, Y = 100, C0 = 20, C(i) = 10, I(i) = 10, G0 = 10 dan c = 0,5, maka (1/1-c) = 2. Jika
pemerintah melakukan stimulus fiskal sehingga G0 = 12, maka ∆G0 = 2, namun terjadi
crowding out effect ∆I(i) = -1 dan ∆C(i) = -0,5 maka Y hanya akanmeningkat menjadi Y
= 2 (20+9,5+9+12) = 101, dengan (∆Y/∆G) =0,5.
Independensi Bank Sentral
• Pada masa kejayaan Keynesian, bank sentral meminta diberikan “independensi
operasional” untuk mencegah pemerintah mencetak uang berlebihan. Pada rezim baru ini,
bank sentral akan mengkontrol inflasi dengan mengatur “bank rate”.
• Inflation targeting menjadi sarana bank sentral untuk meningkatkan kredibilitas dan
keakuratan kebijakan moneter. Tujuan utama hal ini adalah menurunkan derajat
ketidakpastian tingkat harga dalam jangka panjang.
• Kegagalan Monetarist pada 1980-an untuk mentargetkan jumlah uang beredar, membuat
kebijakan moneter tidak lagi secara langsung mentargetkan agregat moneter. Namun
demikian, untuk setiap bank rate yang ditetapkan dalam kerangka Inflation targeting,
terdapat implikasi pada agregat moneter.
Kebijakan Moneter
• Bank rate adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral untuk meminjamkan uang ke
bank komersial. Perubahan bank rate akan ditransmisikan ke interbank lending rate. Bank
kemudian akan menyesuaikan lending rate mereka masing-masing, baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
• Jalur market rates: perubahan official rate akan mempengaruhi struktur market rates.
• Jalur asset prices: suku bunga yang lebih rendah akan meningkatkan harga aset seperti
saham dan properti. Peningkatan harga aset akan menaikkan kekayaan rumah tangga dan
meningkatkan willingness to spend mereka.
• Jalur expectations/confidence: perubahan official rate akan mempengaruhi ekspektasi
kondisi perekonomian di masa depan. Misal, kenaikan official rates akan dimaknai
sebagai tanda bank sentral ingin melambatkan pertumbuhan ekonomi dan mencegahnya
“overheating”.
• Jalur exchange rate: misal, penurunan suku bunga akan memberi investor return lebih
rendah sehingga memberi tekanan pada mata uang domestik. Depresiasi akan membuat
harga impor meningkat dan harga ekspor turun.
Aturan Kebijakan Moneter: Taylor Rule
• Aturan kebijakan moneter (monetary rule) yang umum digunakan untuk memahami
perilaku bank sentral adalah taylor rule: Bank sentral memilih tingkat bunga yang akan
meminimalkan ukuran output gap dan deviasi dari target tingkat inflasi.
• i – π = r* + α ( π - π* ) – β (y)
• dimana i = (nominal) official bank rate, π = inflasi aktual, r* = (real) “natural” rate of
interest, (π - π*) = selisih inflasi aktual dan target inflasi, y = output gap dan i – π = real
interest rate.
• Taylor rule menyatakan bahwa bank sentral harus menggerakkan official rate nya
mendekati natural rate ketika inflasi dan atau output mengalami deviasi dari targetnya
dalam rangka stabilisasi perekonomian.
• Koefisien α dan β menunjukkan perhatian relatif bank sentral terhadap inflasi dan output
gap. Jika β = 0, maka bank sentral hanya peduli dengan inflasi. Bank rate akan ditetapkan
sedemikian rupa untuk mencapai target inflasi.
• Ketika tingkat inflasi diatas target, hal ini memberi tanda bahwa pengeluaran agregat
tumbuh jauh lebih cepat dari volume output yang diproduksi, sehingga bank sentral akan
menaikkan bank rate untuk membuat saving menjadi lebih menarik.
• Sebaliknya, ketika tingkat inflasi dibawah target, maka bank rate harus diturunkan.
• Jika bank sentral memiliki tujuan inflasi yang jelas, dan membangun reputasi dalam
mencapai tujuan itu, hal tersebut akan menjadi jangkar ekspektasi.
Loss Function
• Preferensi bank sentral antara inflasi dan output diperlihatkan oleh “loss function”:
• Loss t = ( πt - π*)2 + λ (yt)2
• dimana π = inflasi aktual, π* = target inflasi, y = output gap dan λ = perhatian bank sentral
pada output.
• Jika λ = 0, bank sentral tidak peduli pada output dan akan melakukan segala cara untuk
mengatasi inflasi. Jika λ adalah tinggi, bank sentral akan mentoleransi inflasi yang tinggi
untuk mencegah turunnya output dan naiknya pengangguran.
• Terms yang dikuadratkan menunjukkan deviasi dari target inflasi dan output adalah sama-
sama tidak diinginkan, dan deviasi yang lebih besar jauh lebih tidak diterima
dibandingkan deviasi yang lebih kecil.
Inflation Targeting
• Tingkat inflasi diatas target mengindikasikan permintaan agregat lebih besar dari
penawaran agregat.
• Sebaliknya, tingkat inflasi dibawah target mengindikasikan lemahnya permintaan
dibandingkan penawaran.
• Maka inflation targeting adalah cara untuk menyeimbangkan permintaan agregat dan
penawaran agregat, dengan target inflasi menggantikan target full employment.
• Pengangguran akan berada di tingkat “natural” nya jika harga dipertahankan konstan.
Kebijakan bank rate untuk mencapai target inflasi adalah bentuk moneter dari fiscal fine-
tuning.
Quantitative Easing
• Ketika inflasi adalah sangat rendah, krisis perbankan meledak yang membawa
perekonomian pada resesi. Untuk mendorong permintaan agregat, bank sentral
menurunkan policy rate secara agresif dan dengan cepat menuju nol.
• Ketika perekonomian masih terus mengalami resesi, maka kebijakan policy rate tidak bisa
lagi digunakan. Dalam situasi inilah muncul quantitative easing (QE).
• Pijakan teoretis QE adalah liquidity trap. – Situasi yang menghasilkan “jebakan” adalah
ketika expected rate of return on investment (“natural rate of interest”) adalah lebih rendah
dari suku bunga terendah yang bank ingin kenakan pada kredit. Zero boundadalah batas
paling optimal yang dapat dicapai policy rate untuk menurunkan tingkat bunga kredit
perbankan.
i. Pada zero lower bound, permintaan untuk memeganguang adalah perfectly interest elastic.
Ketika zero lower bound tercapai, bank sentral harus beralih ke cara lain untuk menurunkan
tingkat bunga kredit di pasar.
• QE adalah unconventional monetary policy karena kebijakan mengkontrol kredit melalui
harganya (suku bunga) tidak lagi tersedia.
• QE dipandang tidak berimplikasi pada ekspansi moneter secara permanen karena aset yang
dibeli akan dijual kembali ketika perekonomian telah kembali “normal”.
Mekanisme Transmisi QE
• Bank sentral membeli aset dari lembaga keuangan, dan meng-kredit rekening bank si
penjual aset. Si penjual aset kini memiliki uang lebih banyak di rekening bank, dan
sebagai gantinya bank mendapat padanan-nya berupa klaim ke bank sentral, yaitu reserve.
Hasil akhirnya, uang akan bertambah dalam perekonomian.
• Penjual aset finansial yang memiliki uang lebih, dapat membelanjakannya, sehingga
mendorong pertumbuhan. Atau mereka akan membeli aset lain, seperti saham atau
obligasi, sehingga harga aset-aset ini akan meningkat, sehingga pemilik aset sebelumnya
akan meningkat kekayaannya, dan akan melakukan belanja.
• Kenaikan harga aset finansial akan menekan suku bunga sehingga cost of borrowing akan
turun, sehingga akan mendorong investasi perusahaan.
• Di sisi lain, bank yang kini memiliki reserve lebih banyak, akan terdorong meningkatkan
kredit, sehingga akan mendorong pertumbuhan lebih jauh.
Dampak QE
• Dengan menginjeksi uang secara langsung ke dalam perekonomian, bank sentral berupaya
menahan kejatuhan uang beredar akibat krisis perbankan. Dengan injeksi uang beredar,
permintaan agregat akan meningkat.
• Namun tambahan uang ini sebagian besar “stuck in the financial circulation”. QE gagal
mendorong kredit perbankan meski reserves mereka di bank sentral melonjak dramatis.
• QE juga gagal meningkatkan inflasi sebagai hasil dari meningkatnya aggregate spending.
Ekspektasi inflasi memainkan peran penting dalam pemulihan: jika di masa depan harga
akan naik, rumah tangga dan perusahaan akan meningkatkan pengeluaran mereka.
• QE diklaim bersifat netral, namun sebagian besar manfaat QE jatuh ke kelompok kaya,
pemilik mayoritas aset keuangan. Dengan memperkaya mereka yang sudah kaya,
konsentrasi kekayaan meningkat dan dampak ke aggregate spending adalah minimal
karena MPC kelompok kaya yang rendah.
Kuliah 10 – Uang dalam Perspektif Islam
Uang dalam Perspektif Islam
• Sebagaimana halnya terhadap barang dan jasa, Islam memberikan kerangka moral dan
hukum yang lengkap terhadap uang, baik di sisi pasokan uang (money supply) maupun
di sisi permintaan uang (demand for money).
• Pelarangan ribâ dan gharar, pengenaan zakât terhadap emas dan perak, larangan
menimbun uang (iktinâz), anjuran infâq, adalah beberapa contoh instrumen moral dan
hukum Islam untuk uang.
• Dalam perspektif Islam, produksi dan pasokan uang tidak hanya merupakan masalah
moneter, ekonomi dan teknologi semata.
• Demikian pula dengan permintaan dan penggunaan uang, tidak hanya sekedar masalah
konsumsi, investasi dan tabungan belaka.
Teori Moneter Islam
Kesepakatan jumhur ‘ulamâ’ tentang uang dan standar moneter dalam Islam secara umum
adalah:
1) perlindungan harta (al-mâl) adalah salah satu tujuan syarî’ah;
2) preferensi syarî’ah terhadap penggunaan uang dalam transaksi dibandingkan barter;
3) penerimaan emas dan perak sebagai uang adalah alamiah;
4) Nabi Muhammad menyetujui emas dan perak sebagai uang;
5) emas dan perak relatif lebih stabil dibandingkan bentuk uang yang lain;
6) merupakan kewajiban negara untuk mencetak, mengatur dan memasok emas dan perak;
7) uang adalah alat tukar (medium of exchange) dan ukuran nilai (measure of value), bukan
komoditas;
8) ‘illat ribâ pada uang adalah karena fungsinya sebagai medium of exchange dan measure
of value (tsamaniyyah), kecuali mazhab Hanafi.
Harta dan Uang
• Terdapat 2 cara untuk mendapatkan atau memiliki harta, yaitu:
1) dihasilkan dari tanah, tenaga kerja dan modal atau kombinasi ketiga-nya; dan atau,
2) diperoleh melalui transfer dari pemiliknya sebagai hasil dari transaksi pertukaran,
pembayaran hak ke pihak lain, warisan dan wasiat, serta hibah tak bersyarat seperti
infâq, wakaf, barang temuan (al-luqathah), danpemberian sepanjang umur untuk
barang tidak bergerak (al-ruqba), meliputi al-‘umra (hibah seumur hidup) dan al-sukna
(hak penggunaan seumur hidup).
• Uang merepresentasikan klaim yang dimonetisasi pemiliknya terhadap hak milik yang
diperoleh dari ke-2 cara pemilikan harta diatas.
Uang dan Perlindungan Harta
• Dalam perspektif ini maka aktivitas meminjamkan uang adalah transfer hak ini, dan
semua yang dapat diklaim sebagai return harus ekuivalen, tidak kurang tidak lebih.
• Maka, bunga pada pinjaman uang merepresentasikan penciptaan yang tidak dapat
dibenarkan dalam Islam atas hak milik secara instan.
• Investasi dengan menanggung resiko adalah konsisten dengan prinsip-prinsip Islam.
• Uang fiat apakah selaras dengan perlindungan hak milik?
Sistem Barter dan Ribâ al-Fadhl
• Syarî’ah mendorong penggunaan uang sebagai alat tukar dan tidak menganjurkan barter
karena terdapat peluang terjadinya ketidakadilan dan eksploitasi. Barter
• (bai’ al-muqâyadhah) diterima hanya dengan menerapkan sejumlah kondisi prasyarat
yang ketat. • Syarî’ah menetapkan bahwa pertukaran barang secara langsung hanya
boleh dilakukan untuk barang yang berbeda jenis dan harus dilakukan secara tunai.
• Sedangkan barter barang sejenis tidak boleh dilakukan kecuali kuantitas dan kualitas-nya
sama, serta dilakukan secara tunai.
• Pelanggaran terhadap kondisi prasyarat ini, akan membawa pada ribâ al-fadhl.
• Ribâ yang muncul dari barter barang sejenis ini, atau disebut juga ribâ al-buyû’, ditujukan
pada 6 komoditas yang secara spesifik disebut dalam hadîts (al-‘amwâl al-ribawîyah),
yaitu emas, perak, gandum, sya’ir (biji gandum), kurma, dan garam.
• Sebagian ‘ulamâ’ memandang bahwa ribâ al-fadhl dibatasi dan hanya terjadi pada 6
komoditas ini saja. Namun mayoritas ‘ulamâ’, dengan mempergunakan qiyâs,
memperluas cakupan komoditas.
• Terlihat bahwa al-‘amwâl al-ribawîyah ditujukan untuk komoditas penting yang
menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu uang dan barang kebutuhan pokok.
Rasionalisasi Pelarangan Ribâ al-Fadhl … Ibn Rusyd (w. 595/1198)
• Pelarangan ribâ al-fadhl bertujuan mencegah ketidakadilan (alghadru), keadilan dalam
barter hanya dapat dicapai dengan adanya kesamaan (nilai) dalam pertukaran.
o Ketika barter melibatkan barang yang berbeda jenis, yang tidak bisa diukur dan
ditimbang, maka akan sangat sulit mencapai kesamaan dalam pertukaran, hanya dapat
dicapai dengan menggunakan ukuran nilai moneter, yaitu dînâr dan dirham.
• Barter barang sejenis, yang bisa diukur dan ditimbang,harus ada kesamaan agar tercapai
keadilan.
o Namun hal ini dengan sendirinya meniadakan motivasi pertukaran karena mereka
homogen sehingga tidak ada perbedaan dalam segi kegunaan (fungible).
• Pelarangan ribâ al-fadhl pada emas dan perak karenafungsi mereka sebagai ukuran nilai,
bukan sarana untuk mencari keuntungan.
Uang Bukan Komoditas: Pelarangan Ribâ al-Fadhl
Jenis Barter Kuantitas–
Kualitas
Rasio
Pertukaran
Penyelesaian
Transaksi
Uang Sejenis
Uang Berbeda Jenis
Harus sama
Boleh berbeda
Sebanding(1:1)
Harga pasar
Harus tunai
Harus tunai
Barang Sejenis
Barang Berbeda Jenis
Harus sama
Boleh berbeda
Sebanding(1:1)
Harga pasar
Harus tunai
Harus tunai
Uang dengan Barang Boleh berbeda Harga pasar Boleh tidak tunai
Rasionalisasi Ekonomi Pelarangan Ribâ al-Fadhl
• Pelarangan ribâ al-fadhl berfungsi sebagai mekanisme komitmen awal (precommitment
mechanism) untuk mencapai efisiensi ekonomi, yaitu dengan cara memaksa pihak-pihak
untuk ”marking to market” terhadap barang yang akan dipertukarkan.
o Mekanisme ini akan menjamin keadilan dan mencegah inefisiensi ekonomi karena
ketiadaan informasi yang sempurna tentang harga pasar yang wajar dari pertukaran
dua barang.
• Dalam kasus pembiayaan berbasis jual beli dan sewa di perbankan Islam, esensi
pelarangan ribâ, yaitu pertukaran yang adil, akan tercapai ketika keuntungan yang diambil
bank Islam berada pada tingkat yang wajar.
o Suku bunga bank konvensional dapat menjadi benchmark yang sesuai.
Stabilitas Nilai Uang dalam Islam: Demand Side
• Pelarangan ribâ secara efektif menghapus praktek komoditisasi uang: mengambil
keuntungan dari uang dengan cara memperdagangkannya pada ”tingkat harga” (bunga)
tertentu.
• Ketika uang berfungsi sebagai ukuran nilai dan alat tukar, maka menetapkan harga berupa
bunga pada uang menjadi sebuah hal yang paradoks.
• Bunga membuat uang yang seharusnya memfasilitasi pertukaran, sebagai ukuran nilai
bagi seluruh komoditas, justru menjadi obyek pertukaran.
• Dengan melarang ribâ maka Islam melindungi fungsi dasar uang sebagai ukuran nilai dan
alat tukar.
• Pelarangan ribâ juga menjamin tidak akan ada ekspansi moneter yang tidak memiliki
padanan dengan penciptaan nilai tambah ekonomi di sektor riil, sehingga secara efektif
akan menjaga keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil, dan karenanya menjaga
stabilitas harga dan inflasi.
• Ketika menciptakan keuntungan melalui perdagangan uang murni dilarang, maka satu-
satunya jalan yang diberikan Islam bagi pemilik uang untuk menciptakan keuntungan
hanya di sektor riil saja.
o Pemilik uang dapat memperoleh keuntungan di sektor riil melalui partisipasi secara
langsung dengan menjadi pengusaha atau menjalin kemitraan dengan pengusaha lain
seperti melalui mudhârabah, muzâra’ah, dan musâqah.
• Penerapan zakât terhadap emas dan perak (al-mâl al-‘ayn), baik dalam bentuk uang koin
maupun batangan atau perhiasan (zakât al-’ayn) menjadi disinsentif bagi aktivitas
menumpuk harta (emas dan perak) dan menimbun uang baik karena motif keserakahan
maupun untuk spekulasi.
• Zakât al-’ayn dalam jangka pendek akan memaksa pemilik uang menginvestasikan
uangnya ke sektor riil untuk mendapatkan return, karena pelarangan ribâ meniadakan
peluang meminjamkan uang untuk keuntungan, sehingga velocity of money meningkat,
yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
• Di sisi lain, zakât al-’ayn juga akan secara efektif meminimalkan permintaan non-moneter
terhadap emas dan perak sehingga pasokan uang akan terjaga.
• Pelarangan gharar, bersamasama dengan pelarangan ribâ, membuat demand for money
sepenuhnya berasal dari kebutuhan riil perekonomian.
• Dengan meminimalkan permintaan uang yang tidak riil, maka permintaan uang akan
stabil, sehingga akan menstabilkan pasokan uang.
• Stabilitas demand for money dalam Islam didorong lebih lanjut dengan pelarangan
penimbunan uang (iktinâz), sebagaimana dalam alQur’ân 9: 34-35.
Stabilitas Nilai Uang dalam Islam: Supply-Side
• Negara memiliki otoritas untuk mencetak, mengatur dan mengedarkan uang. Dalam
sejarah Islam, kewenangan ini dijalankan oleh institusi sikkah.
o Sikkah, pemberian cap (khatm) pada dînâr dan dirham yang digunakan dalam
transaksi komersial, merupakan jabatan relijius dan berada dibawah khalîfah, yang
menunjukkan fungsi kontrol terhadap keseluruhan operasional pencetakan uang
logam dan semua kondisi yang meliputinya.
• Sikkah memberi tanda penguasa pada kepingan uang logam untuk menunjukkan kualitas
dan kemurnian-nya.
o Uang yang telah mendapat tanda mutu menjadi standar kemurnian yang menjadi
“pedoman” di masyarakat,dan mereka mempergunakannya untuk menguji uang
logam mereka. Dengan demikian, tujuan utama sikkah adalah untuk menghindari
pemalsuan pada dînâr dan dirham yang beredar di masyarakat.
Kuliah 11 – Sistem Moneter Islam: Perspektif Fiqh
Sistem Moneter Islam Klasik
• Sepanjang hampir seluruh sejarah manusia, uang adalah komoditas, sesuatu yang bernilai
dan berharga. Ketika datang pada abad ke-7, Islam menerima dan mengukuhkan sistem
uang komoditas ini.
• Islam yang sejak awal mewarisi sistem moneter Romawi Timur yang berbasis emas dan
tembaga serta Persia yang berbasis perak, kemudian mengadopsi standar trimetallism,
yang merupakan warisan dari subsidiary coinage system Yunani, yaitu koin emas-dînâr,
koin perak-dirham dan koin tembaga fulûs.
Insiden Uang Fiat Pertama: Fulus
• Berbeda dengan dînâr dan dirham yang sepenuhnya uang pokok yang menjadi alat
pembayaran yang sah (legal tender) dan merupakan uang komoditas murni (nilai intrinsik
uang sama dengan nilai nominalnya), fulûs adalah uang bantu (token money), dimana
statusnya tidak sepenuhnya menjadi legal tender dan meskipun merupakan uang
komoditas namun nilai intrinsik uang lebih rendah dari nilai nominalnya.
• Secara jelas terlihat bahwa fulûs mengandung elemen fiduciary, ciri utama uang fiat.
• Fakta bahwa Nabi Muhammad tidak menyebutkan tembaga sebagai al-‘amwâl al-
ribawîyah menunjukkan bahwa kedudukan tembaga memang berbeda dengan emas dan
perak.
• Jika pertukaran emas dan perak dengan komoditas sejenis dilarang kecuali sama kualitas
dan kuantitasnya serta dilakukan secara tunai, maka pertukaran tembaga dengan
komoditas sejenis untuk kuantitas berbeda diperbolehkan. Pelarangan ribâ al-fadhl tidak
berlaku untuk fulûs.
• Kedudukannya sebagai uang bantu dan elemen fiduciary yang dikandungnya, membuat
fulûs diterima dengan cara dihitung, tidak pernah diperhitungkan berat dan
kemurniannya.
• Sepanjang sejarah Islam, fulûs menunjukkan semua koin tembaga maupun perunggu,
terlepas dari ukuran maupun beratnya.
o Penerbitan fulûs ditujukan untuk mengisi kebutuhan transaksi kecil dan diterima
dengan cara dihitung, bukan ditimbang.
o Fulûs dicetak secara terdesentralisasi, sepenuhnya menjadi kewenangan gubernur dan
pejabat lokal tanpa kontrol pemerintah pusat, sehingga ukuran, berat dan jenis
inskripsi-nya berbeda-beda. Karena itu peredaran fulûs terbatas di sekitar tempat
pencetakannyasaja.
o Peredaran emas, perak dan tembaga secarabersamaan berimplikasi terciptanya nilai
tukar tetap diantara ketiganya. Nilai tukar dirham terhadap fulûs diketahui bervariasi
antara 1: 24 hingga 1: 48.
• Mayoritas ‘ulamâ’ menerima penggunaan fulûs namun dengan syarat dan ketentuan yang
ketat, seperti melarang qirâdh dengan fulûs dan membatasi sharf yang melibatkan fulûs
hanya boleh dilakukan dengan sesama fulûs. Terlihat bahwa pendapat ini muncul karena
banyak dipengaruhi oleh lemahnya stabilitas nilai fulûs yang pasokan-nya sering
mengalami fluktuasi.
Insiden Uang Fiat Ke-dua
• Insiden uang fiat kedua dalam sejarah Islam adalah dînâr dan dirham al-maghsyûsy, koin
emas dan perak yang tidak lagi murni, baik berat maupun kemurniannya, sehingga nilai
instrinsik uang lebih rendah dari nilai nominal-nya.
• Pada awalnya, berat dan kemurnian dînâr dan dirham sangat terjaga di seluruh dunia
Islam. Bahkan di masa kekuasaan Hârûn al-Rasyîd (785809) didirikan lembaga pengawas
pencetakan uang koin, nâdzir al-sikkah, untuk menjaga berat dan kemurnian uang koin
yang beredar.
• Namun setelah abad ke-4 H, terjadi banyak penyimpangan dalam pencetakan dînâr dan
dirham baik berat maupun kemurniannya.
• Beragamnya jenis dînâr dan dirham al-maghsyûsy yang beredar saat itu, membuka
peluang terjadinya ribâ, yaitu dînâr dan dirham al-maghsyûsy dari wilayah yang berbeda
memiliki berat dan kemurnian yang berbeda.
o Nilai intrinsik dînâr dan dirham al-maghsyûsy dari wilayah lain sangat mungkin tidak
diketahui (majhûl).
o Karena itu ‘ulamâ’ hanya membolehkan transaksi dengan dînâr dan dirham al-
maghsyûsy sepanjang uang koin tersebut hanya beredar di satu wilayah moneter saja
(râ’ij fî al-balad).
• Untuk membedakan dînâr dan dirham almaghsyûsy antar wilayah, maka pencetakan uang
koin mulai berbeda dari desain klasik.
Penerimaan Uang Fiat Awal
• ‘Ulamâ’ secara umum menerima penggunaan dînâr dan dirham almaghsyûsy dalam
transaksi dan menyamakan hukumnya dengan dînâr dan dirham yang murni, meskipun
kadar ketidakmurnian dînâr dan dirham almaghsyûsy tidak diketahui.
o Faktor penentunya adalah penerimaan pasar. Selama dînâr dan dirham almaghsyûsy
masih berlaku dan diterima pasar, maka hukumnya sama dengan dînâr dan dirham
yang murni.
o Ketidakmurnian tidak berpengaruh, karena yang dipentingkan dari uang bukanlah
unsur kebendaannya, melainkan daya belinya yang terlihat dari penerimaan pasar.
Penerimaan Uang Fiat Awal
• Logika yang sama berlaku untuk fulûs. Pada awalnya para ‘ulamâ’ membedakan hukum
fulûs dengan emas dan perak dikarenakan mereka di masa tersebut tidak melihat adanya
benda lain yang dapat menggantikan fungsi emas dan perak sebagai satuan moneter pokok
yang mengandung sifat nilai harga pasar.
• Ketika itu fulûs muncul sebagai nilai harga bantu (token money) dengan peredaran
terbatas, sehingga para ‘ulamâ’ membedakan hukum fulûs dengan emas dan perak.
• Untuk menyamakan hukum fulûs dengan emas dan perak, maka fulûs harus beredar dan
diterima secara luas di pasar.
Fiqh Uang Fiat
• Adopsi uang kertas-fiat secara luas adalah eksperimen modern yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
o Para ‘ulamâ’ kontemporer berupaya mencari hukum uang fiat melalui berbagai metode
penetapan hukum.
• Melalui ijtihâd berbasis fiqh, mayoritas ‘ulamâ’ kontemporer menerima uang kertas-fiat.
o Penerimaan terhadap uang kertastelah diformalkan secara internasional oleh komisi
fatwa dari Rabîthah al-‘Âlam al-Islâmî pada 1982 dan Munazhzhamah al-Mu’tamar
al-Islâmî (Organization of the Islamic Conference) pada 1986.
al-Qiyâs
• Untuk melakukan qiyâs uang kertas ke emas-perak, titik krusial adalah menentukan ’illat
ribâ pada emas-perak.
o Jumhur ‘ulamâ’ berpendapat bahwa ‘illat ribâ pada emasperak adalah karena emas-
perak pada dasarnya benda yang sangat berharga (ghalabat al-tsamaniyyah).
• ‘Ulamâ’ tidak menjadikan ’illat ribâ pada emas dan perak adalah kebendaan emas dan
perak itu sendiri.
o Ghalabat al-tsamaniyyah sebagai ‘illat ribâ pada emas dan perak lebih dilihat sebagai
satuan moneter pokok yang mengandung sifat nilai harga pasar.
• Setiap benda yang mengandung ‘illat yang ada pada emas dan perak, boleh di-qiyâs-kan
kepadanya.
o Uang kertas serupa dengan uang emas dan perak, sebab saat ini uang kertas telah
menjadi satuan moneter pokok, bahkan tidak ditemukan lagi nilai harga pasar selain
uang kertas
al-Istihsân
• Seandainya uang kertas tidak bisa di-qiyâs dengan emas dan perak, maka hal ini akan
menyebabkan kesulitan yang besar, ribâ akan tersebar luas, hak para fakir miskin pada
uang kertas, yaitu zakât, akan terabaikan, mudhârabah akan terlarang karena modal
mudhârabah harus berbentuk emas dan perak sehingga akan mengakibatkan penyempitan
lapangan kerja dan penurunan kesejahteraan.
• Ketika penerapan qiyâs mengakibatkan kesulitan atau kesusahan, maka kita dapat
berpaling pada al-istihsân untuk menentukan hukum uang kertas. Prinsip al-istihsân
menguatkan bahwa uang kertas termasuk mâl ribâwi.
al-’Urf
• ‘Ulamâ’ memandang bahwa uang sebagai segala sesuatu yang dikenal orang banyak
sebagai satuan hitung dan perantara untuk saling tukar menukar. Dengan demikian, uang
ditentukan oleh adat atau tradisi (al-’urf).
• Ketika uang kertas telah menjadi mata uang pokok, bahkan satu-satunya uang yang diakui,
maka tidak berlebihan bila hukum uang kertas disamakan dengan emas dan perak.
o Hal ini serupa dengan fulûs yang pada awalnya hanya sebagai mata uang bantu dan
diperlakukan berbeda dari emas dan perak, namun hukumnya kemudian disamakan
dengan emas dan perak seiring perubahankedudukannya menjadi mata uang pokok
al-Mashâlih al-Mursalah
• Dalam al-Qur’ân dan hadîts tidak ada nashsh yang mewajibkan emas dan perak sebagai
uang, dan juga tidak ada teks yang melarang selain emas dan perak sebagai uang.
o Penyebutan emas dan perak dalam teks sesuai kondisi saat itu dimana uang adalah
emas dan perak. Karena itu emas dan perak hanya sekedar nama (laqab) yang tidak
memiliki konsep.
• Dengan demikian, uang termasuk dalam al-mashâlih almursalah. Atas dasar mashlahah
uang berlaku di pasar.
o Awalnya mu’âmalah pasar dilakukan secara barter (almuqâyadhah), kemudian dengan
uang komoditas non emas-perak (al-sil’iyah), lalu berkembang menjadi uang emas
dan perak, dan kini menjadi uang kertas
Uang Kertas dan Fiqh Kontemporer
• Meski tetap memandang emas-perak sebagai uang alamiah (naqd bi al-khilqah), namun
‘ulamâ’ kontemporer umumnya tidak membatasi uang hanya pada emas-perak saja.
o ‘Ulamâ’ kontemporer menerima uang kertas meski tidak memiliki nilai intrinsik karena
ia telah menjadi mata uang universal dimana barang dinilai, menjadi alat tukar dan
penyimpan nilai (naqd ishtilâhî).
o Mereka memperlakukan uang kertas sebagai mata uang independen, dan seluruh
hukum syarî’ah yang ditetapkan pada uang emas dan perak berlaku pula pada
uangkertas.
o Implikasi hukumnya adalah tidak diperbolehkan pertukaran uang kertas suatu negara
(jins) dengan uang kertasnegara lain (jins) atau dengan emas dan perak secara tidak
tunai, baik secara angsuran (taqsith) maupun secara tangguh (ta’jil).
Fiqh Kontemporer dan Demonetisasi Emas-Perak
• Sebagian ‘ulamâ’ bahkan melakukan demonetisasi emasperak secara penuh,
memperlakukannya tidak lagi sebagai standar harga (atsmân) dan memandangnya
sekedar sebagai komoditas biasa (sil’ah).
o Eksistensi sebuah hukum bergantung pada eksistensi ‘illatnya (al-hukmu yadûru ma’
‘illatihi wujûdan wa ‘adaman). Karena memandang ‘illat hukum ini, bahwa emas-perak
adalah tsaman, kini telah tiada, maka gugurlah hukum ribâ al-fadhl terhadap emas-
perak.
• Uang kertas kini adalah satu-satunya tsaman, sedangkan emas-perak sepenuhnya telah
menjadi sil’ah biasa, sebagaimana emas-perak yang dijadikan perhiasan.
o Dengan demikian emas dan perak sebagai sil’ah boleh dipertukarkan dengan uang
kertas secara tidak tunai,baik melalui jual beli biasa maupun jual beli murabahah.
Fiqh Penolak Uang Kertas
• Syarat sah uang sebagai nilai harga adalah material-nya harus dapat dimanfaatkan.
Sedangkan uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik, sebab material uang kertas tidak
dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dan setiap yang tidak bermanfaat maka ia tidak
termasuk harta.
• Legalisasi oleh pemerintah juga tidak cukup memberikan nilai harga terhadap uang kertas,
sebab ketika pemerintah mencabut legalisasi dan melarang peredarannya maka nilai harga
uang kertas akan terhapus dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang tidak berharga.
• Oleh sebab itu maka uang kertas tidak dapat ditukarkan dengan harta atau dijadikan nilai
harga untuk barang dan jasa.
• Syarî’ah menetapkan seluruh hukum mu’âmalâh dan ’ibâdâh mâliyyah berbasis emas dan
perak, seperti ketentuan zakât uang, pembayaran ganti rugi atas suatu tindak pidana
pembunuhan (diyyat), dan batas hukuman bagi pencurian (hadd al-sâriqah).
• Hal ini mengindikasikan bahwa syarî’ah memandang emas dan perak merupakan harga
pasar yang memiliki stabilitas nilai yang tinggi sehingga akan memberi keadilan yang
merupakan esensi dari hukum-hukum tersebut.
• Berbagai ketentuan syarî’ah yang melarang gaya hidup bermewahmewahan (al-tana’um)
juga secara jelas mengindikasikan bahwa fungsi utama emas dan perak adalah sebagai
uang.
o Larangan memakai perhiasan dari emas, seperti cincin, kalung dan anting, secara jelas
menunjukkan arahan syarî’ah untuk menekan kegunaan non-moneter emas.
o Lebih jauh, syarî’ah memberi disinsentif bagi penggunaan non moneter emas dan
perak dengan mengenakan zakât pada emasdan perak dalam segala bentuk, baik
sebagai uang maupun perhiasan.
Kuliah 12 – Uang Fiat dan Kontradiksi Fiqh
Uang Fiat dan Penerimaan Fiqh
• Penerimaan fiqh terhadap uang kertas-fiat meninggalkan dua permasalahan serius:
o siapa yang berhak menerbitkan uang fiat? dan
o bagaimana menjaga stabilitas nilainya?
• Hampir tidak ada perdebatan di kalangan ‘ulamâ’ bahwa yang berhak menerbitkan uang
hanyalah pemerintah dan pemerintah berkewajiban melakukan semua tindakan yang
diperlukan untuk menjamin stabilitas nilai uang sehingga uang dapat menjalankan
fungsinya secara efisien sebagai alat tukar, ukuran nilai, dan penyimpan daya beli.
• Dalam sistem uang fiat ini, pasokan uang cenderung bersifat demand-driven, sehingga
tantangan terbesar justru dianggap ada di pengendalian permintaan uang (demand for
money), yang dikendalikan melalui instrumen:
1) tingkat hasil usaha atau keuntungan (rate ofprofit), menggantikan tingkat suku bunga
(rate ofinterest);
2) institusi sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga; dan
3) nilai-nilai moral.
• Pemerintah secara sederhana diasumsikan akan selalu mengendalikan jumlah uang
beredar (money supply) sehingga tidak akan menerbitkan uang secara berlebihan.
Masalah yang tidak terselesaikan
• Namun asumsi diatas secara jelas tertolak oleh fakta sejarah. Dalam rentang waktu yang
panjang, pemerintah lebih sering menyalahgunakan kekuasaan yang dipegangnya
terhadap uang dibandingkan menjaganya, baik pemerintahan Islam maupun non-Islam.
• Tekanan fiskal yang dipicu oleh belanja negara yang tidak tertahankan akibat gaya hidup
mewah pejabat dan birokrat, korupsi, dan perang, telah memaksa pemerintah lebih sering
memanipulasi uang untuk membiayai defisit anggaran negara.
• Jika pemerintah masih mampu memanipulasi uang dalam sistem uang emas dan perak
yang memiliki disiplin inheren yang tinggi, terlebih lagi dalam sistem uang kertas-fiat
yang produksinya sepenuhnya menjadi diskresi pemerintah.
• Dengan demikian, kekuasaan mengelola uang yang diberikan ke pemerintah seharusnya
diiringi dengan prasyarat berupa mekanisme disiplin yang bersifat inheren dalam
produksi uang, bukan justru sebaliknya memberikan diskresi yang luas dalam produksi
uang ke pemerintah.
• Lebih jauh, pemerintah gagal dalam menjaga stabilitas nilai uang fiat. Dunia kini telah
memasuki era inflasi tinggi dan permanen. Hiperinflasi adalah fenomena modern di bawah
sistem uang fiat. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara pertumbuhan uang dan
inflasi.
• Di sepanjang masa, kegagalan menjaga nilai uang, selalu menimbulkan masalah keadilan.
Uang adalah ukuran nilai yang paling penting dan penurunan nilai pada uang, yaitu inflasi,
akan berdampak buruk pada keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Inflasi
• Inflasi yang signifikan dan persisten sebagai hasil dari kegagalan pemerintah menjaga
stabilitas nilai uang fiat ini, kemudian memunculkan praktek indeksasi (indexation)
terhadap kontrak-kontrak finansial, sebagai upaya mengkompensasi hilangnya daya beli
uang akibat inflasi.
• Cendekiawan muslim mengalami dilema disini. Atas nama keadilan, di satu sisi mereka
memperbolehkan indeksasi untuk kontrak seperti upah, gaji dan pensiun.
• Namun di sisi lain mereka melarang indeksasi untuk kontrak utang (qardh al-hasanah),
secara sederhana karena indeksasi pada utang akan menyerupai ribâ yang terlarang.
• Indeksasi pada pinjaman dipandang melanggar prinsip-prinsip syarî’ah, antara lain
mengandung gharar dan jahl karena nilai dalam pertukaran diharuskan sepadan (‘uqûd
al-mu’âwadhâh), menimbulkan ketidakadilan bagi peminjam, dan mengandung elemen
ribâ al-fadhl.
• Beberapa ‘ulamâ’ kemudian memperbolehkan indeksasi termasuk untuk utang dan
instrument keuangan lainnya ketika inflasi terjadi dalam skala yang tinggi, seperti yang
terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an.
• Inflasi tinggi yang dihasilkan sistem uang fiat telah menghancurkan daya beli uang dan
merugikan masyarakat secara tidak merata dimana beban inflasi lebih besar ditanggung
oleh penabung kecil dan pekerja dengan upahtetap.
• Ketiadaan kompensasi atas hilangnya daya beli uang fiat ini secara jelas bertentangan
dengan semangat al-Qur’ân 7: 85 tentang keadilan dalam transaksi. Karenanya indeksasi
untuk kontrak upah, gaji dan pensiun mendapat dukungan.
Indeksasi
• Namun, berbasis pertimbangan yang sama, indeksasi terhadap qardh al-hasanah
seharusnya juga diperbolehkan.
• Kekhawatiran jatuh pada ribâ dapat dibantah karena ribâ bermakna “ziyâdah fî dzâtih”,
dalam teknis ekonomi serupa dengan “increase in real term”.
• Sedangkan indeksasi hanya mengkompensasi hilangnya daya beli uang sehingga tidak
bisa dianggap sebagai kenaikan dalam kekayaan secara riil.
• Dalam kontrak qardh, agar terbebas dari ribâ, komoditas yang dipinjam harus
dikembalikan dengan nilai intrinsik yang sepadan.
• Emas dan perak yang termasuk harta mitslî, harta yang tidak berbeda satu sama lain
sehingga memiliki ekuivalensi nilai intrinsik pada jenisnya sendiri, dapat dipinjamkan
tanpa terlibat ribâ dengan ketentuan pengembalian jumlah setara dari jenis yang sama.
Kontrak Utang Klasik
• Di era Islam klasik dengan sistem uang komoditas, dimana inflasi ditimbulkan karena
kecurangan dalam berat dan kemurnian uang koin, kesamaan nilai dalam transaksi ini
dipertahankan dengan menerima dînâr dan dirham dengan cara diukur dan ditimbang,
bukan dengan dihitung.
• Uang kertas fiat tidak bisa dikategorikan harta mitslî, dan jika dikategorikan harta qîmî -
dimana harta memiliki perbedaan yang besar satu sama lain sehingga ekuivalensi nilai
hanya bisa diukur dari harga-nya- maka ekuivalensi nilai harus dicari dari sumber lain,
seperti indeksasi harga konsumen, sebab uang fiat tidak memiliki nilai intrinsik.
Kontrak Utang Kontemporer
• Argumen yang sama semestinya juga berlaku untuk tabungan.
• Jika aset finansial tidak dikompensasi dengan indeksasi, penabung akan terdorong untuk
mengalihkan dana ke aset riil seperti tanah, emas, dan properti, dan meninggalkan
institusi keuangan sehingga intermediasi keuangan yang sangat dibutuhkan perekonomian
tidak berjalan.
Inflasi, Indeksasi, dan Riba
• Namun jika argumen diatas diterima, dan indeksasi diterapkan secara luas, maka
implikasi sosialekonomi yang ditimbulkannya adalah signifikan dan tidak diharapkan.
• Dalam perekonomian modern, inflasi mempengaruhi sektor-sektor perekonomian secara
berbeda.
• Ketika terjadi inflasi, sektor jasa dan perdagangan cenderung diuntungkan dimana tingkat
keuntungan meningkat pesat.
• Hal yang sama tidak terjadi di sektor industri dimana tingkat keuntungan tidak meningkat
sesuai inflasi.
• Dengan demikian, ketika indeksasi diterapkan termasuk terhadap kredit bank, sehingga
bank juga dapat mengkompensasi nasabah penabungnya dari turunnya daya beli
tabungan, maka sektor produktif yang kenaikan harga produknya dibawah inflasi, akan
dirugikan.
• Hal yang lebih buruk terjadi pada sektor pertanian dimana harga produknya sebagian
besar dikendalikan secara ketat oleh pemerintah.
• Adopsi sistem uang fiat menimbulkan dilema besar yang tidak terpecahkan di dunia Islam
kontemporer.
• Uang fiat yang menyebabkan era inflasi tinggi dan permanen, menciptakan kebutuhan
yang besar terhadap indeksasi untuk mempertahankan keadilan.
• Namun ketika indeksasi diterapkan secara luas, maka sistem ekonomi ribâwi terwujud
dengan sendirinya.
Kuliah 13 – Sistem Moneter Islam: Perspektif Sejarah
Kondisi Moneter Awal
• Bangsa Arab sebelum Islam berbasis penggembalaan Islam dengan fragmentasi politik
yang tinggi berdasarkan kesukuan, berada ditengah persaingan geopolitik dua kekaisaran
besar saat itu, Romawi dan Persia.
o Namun dengan lokasi geografis yang strategis, yaitu berada ditengah pusat
perdagangan Yaman danSyiria, Makkah menjadi tempat lalu lintas perdagangan
internasional yang ramai.
o Transformasi penduduk Makkah menjadi pedagang internasional dimulai ketika
bangsa Himyar di Yaman mengalami krisis politik internal pada pertengahan abad
ke-5.
• Dengan perkembangan komersial yang pesat inilah, penduduk Makkah pra-Islam telah
menggunakan uang yaitu koin emas dînâr (denarius) Romawi Timurdan koin perak
dirham (drachm) Persia, dan sebagian kecil dirham bangsa Himyar.
Pengelolaan Moneter Awal Islam
• Masih terbatasnya Islam aktivitas ekonomi instrument keuangan, membuat pengelolaan
moneter awal Islam tidak banyak memiliki pilihan kebijakan.
o Negara Islam saat itu tidak menerbitkan mata uang, sehingga pasokan uang koin
(money supply) sepenuhnya berada diluar kendali pemerintah Islam (exogenous).
o Pilihan tidak menerbitkan mata uang secara independen di masa awal ini
kemungkinan diakibatkan kombinasi dari faktor kelemahan penguasaan teknologi,
prioritas negara yang masih terfokus pada upaya menjaga dan menyebarkan agama
Islam, serta relatif stabilnya nilai uang internasional yang saat itu digunakan.
• Dengan demikian, pengelolaan moneter awal Islam lebih bertumpu pada sisi permintaan
uang (demand driven).
• Pelarangan ribâIslam …, pelarangan iktinâz, dan penerapan zakât terhadap uang emas dan
perak, membuat permintaan uang sepenuhnya merupakan permintaan riil, yaitu untuk
keperluan transaksi di sektor riil dan berjaga-jaga.
o Tidak ada permintaan uang untuk spekulasi dan kegiatan tidak riil atau aktivitas
perburuan rente ekonomisemata.
• Sedangkan upaya mendorong kerjasama bisnis seperti mudhârabah, muzâra’ah, dan
musâqah, serta mendorong qardh al-hasanah, akan membuat kecepatan peredaran uang
(velocity of money) meningkat sehingga menurunkan kebutuhan terhadap permintaan
uang.
o Dengan demikian, dalam perekonomian Islam, permintaan uang dijaga sedemikian
agar semata mencerminkan kebutuhan riil perekonomian.
• Di sisi lain, perdagangan antar negara berjalan bebas tanpa hambatan tarif atau non-tarif.
Dengan negara tidakmencetak mata uang dan sepenuhnya menggunakan mata uang
negara lain (“dollarization”), maka uang internasional akan diimpor dan diekspor
mengikuti arus perdagangan internasional.
o Kombinasi liberalisasi perdagangan dan sistem devisa bebas, membuat penawaran
uang domestik akan responsif terhadap perubahan tingkat pendapatan riil (income
elastic).
• Dengan menjangkar permintaan dan penawaran uang sepenuhnya pada sektor riil, maka
keseimbangan pasar uang sepenuhnya diturunkan dari keseimbangan pasar barang.
o Keseimbangan sektor moneter merupakanderived market dari keseimbangan sektor riil.
• Dengan stabilitas sektor moneter yang Islam relatif terjaga baik, maka inflasi di masa
awal Islam lebih banyak terjadi karena faktor riil, seperti faktor cuaca atau bencana, dan
karenanya pengendalian inflasi lebih banyak dilakukan melalui kebijakan di sektor riil.
o Nabi Muhammad tercatat pernah menolak opsi kebijakan penetapan harga (tas’ir)
ketika terjadi inflasi tinggi di Madinah.
o Penolakan Nabi dikarenakan kenaikan harga disebabkan kekuatan pasar alamiah,
pengendalian inflasi karenanya lebih bersandar pada market intervention, bukan price
intervention.
’Umar ibn al-Khaththâb dan Uang Fiat
• Cendekiawan muslim kontemporer menerima standar fiat dengan berpatokan pada
pandangan fiqh dimana dimana tidak ada teks al-Qur’ân dan hadîts yang secara tegas
melarang penggunaan uang selain emas dan perak.
• Kasus klasik terpenting yang menjadi salah satu pijakan utama pendukung sistem uang
fiat adalah kasus khalîfah ’Umar ibn al-Khaththâb (w. 33/644) yang pernah berniat
membuat uang dari kulit unta namun ‘Umar membatalkan rencana ini setelah diingatkan
kemungkinan punahnya unta akibat penerapan gagasan ini.
• Kasus ini kemudian menjadi landasan umum dalam fiqh kontemporer bahwa amîr al-
mu’minîn dapat memilih uang dari materi atau komoditas apapun dan dengan bentuk
apapun selama dapat merealisasikan mashlahah dan tidak menyalahi hukum syarî’ah.
• Chapra (1985) berargumen sistem fiat dapat dibenarkan ketika kekuasaan menciptakan
uang dipandang sebagai prerogratif sosial sehingga pendapatan bersih dari penciptaan
uang harus digunakan untuk kesejahteraan umum dan khususnya kesejahteraan orang
miskin.
• Bahkan Chapra (1996) memperlakukan seigniorage sebagai fay’ dimana penggunaannya
diarahkan pada pembiayaan proyek untuk meningkatkan kondisi sosialekonomi kelompok
miskin dan menurunkan kesenjangan.
• Penggunaan kasus khalîfah ‘Umar sebagai pembenaran standar uang fiat mendapat
kualifikasi yang baik sekali dari al-Haritsi (2003). Perkataan khalîfah ‘Umar bahwa “Aku
berkeinginan menjadikan dirham dari kulit unta” lalu dikatakan kepadanya, “Jika
demikian, tidak ada unta”, maka beliau menahan diri, mengandung beberapa pelajaran
penting.
• (i) ‘Umar hanya ingin menjadikan dirham saja dari kulit unta, bukan uang secara
keseluruhan;
• (ii) ‘Umar ingin menghilangkan kesulitan uang perak, dengan mencoba mencari uang dari
komoditas lain; dan
• (iii) Pilihan kepada kulit unta didasarkan pada kenyataan bahwa kulit unta memenuhi
syarat yang baik sebagai uang yaitu:
a) relatif langka karena unta adalah hewan yang sangat mahal di dunia Arab saat itu;
b) kulit unta kuat bertahan hingga puluhan tahuntanpa mengalami perubahan fisik;
c) kulit unta dapat dipecah ke dalam bagian-bagianyang lebih kecil tanpa kehilangan nilai
(divisibility); dan
d) mudah disimpan dan dibawa (portable).
Lesson Learned
• ‘Umar melontarkan gagasan pencetakan dirham dari kulit unta dikarenakan dirham Persia
saat itu yang beredar sangat beragam bentuk dan beratnya, serta banyak ditemukan
kecurangan didalamnya.
o Ketika ‘Umar melontarkan gagasan dirham kulit unta, khilâfah Islam saat itu belum
memiliki kemampuan untuk mencetak dirham secara mandiri, padahal dirhamadalah
mata uang pokok negara.
o Setelah sebagian besar wilayah Persia dan Romawi ditaklukan, maka ‘Umar
mencetak dirham yang murni.
• Gagasan pencetakan dirham dari kulit unta adalah gagasan ad-hoc jangka pendek, untuk
• menyelamatkan stabilitas moneter negara Islam saat itu dimana dirham yang merupakan
satuan moneter utama mengalami banyak pemalsuan.
• Kemampuan metalurgi negara yang masih terbatas saat itu membawa ‘Umar untuk
mencari komoditas non logam yang serupa dengan perak (dirham).
• Pilihan ‘Umar jatuh pada kulit unta didasari fakta bahwa karakteristik kulit unta memenuhi
semua syarat sebagai uang yang baik.
• Karakteristik terpenting yang mendekatkan kulit unta dan perak adalah pasokan kulit unta
yang relatif langka. Selain disebabkan harganya yang sangat mahal, pasokan kulit unta
yang langka juga didasarkan pada fakta bahwa bangsa Arab saat itu sangat tidak mudah
menerima penyembelihan unta karena besarnya keterkaitan dan kecintaan
merekapadanya.
• Dengan demikian, penggunaan kulit unta sebagai uang dipastikan tidak akan berimplikasi
pada ekspansi moneter yang berlebihan, ciri terpenting yang sama dengan uang perak.
Reformasi Moneter ’Abd al-Malik
• Reformasi moneter ’Abd al-Malik dilakukan secara menyeluruh sehingga beliau banyak
dianggap sebagai orang pertama yang mencetak uang dalam Islam, menggantikan uang
koin emas dan tembaga Romawi Timur dan uang koin perak Persia.
o Proses penerbitan dînâr-emas pada 77/696-697, yang didahului dengan dua cetakan
percobaan, berjalan relatif sederhana karena pencetakan uang terpusat di Damaskus.
o Penerbitan dirham-perak jauh lebih rumit karena banyaknya jenis koin cetakan
percobaan dan tempat percetakan yang tersebar di berbagai wilayah.
o Sedangkan reformasi fulûs-tembaga terjadi paling akhir, dikarenakan peredarannya
yang terbatas.
Reformasi Moneter ’Abd alMalik dan al-Ma’Mûn
• Reformasi moneter al-Ma’mûn dimulai pada 205/820 untuk dînâr dan pada 206/821 untuk
dirham.
• Terdapat tiga fitur utama dari reformasi moneter uang koin al-Ma’mûn yaitu:
1) Penambahan ayat ”kemenangan”, yaitu al-Qur’ân 30:45, pada tepi sebelah luar kedua
koin, menggantikan garis melingkar yang menjadi ciri dirham ’Umayyah, dengan
tepi pertama mencantumkan nama tempat dan tanggal pencetakan;
2) kecenderungan penerbitan uang koin tanpa nama penguasa (anonymous coins), baik
khalîfah maupun gubernur; dan
3) perbaikan tingkat kemurnian (’iyâr) dînâr dengan konsistensi dan standar yang sangat
tinggi hingga 100%.
Reformasi Moneter Islam Klasik
• Dari sejarah reformasi moneter di dunia Islam klasik terlihat bahwa, pasca gagasan dirham
kulit unta ‘Umar yang batal dilaksanakan, tidak pernah ditemui kasus penerbitan uang
fiat di kemudian hari meski hanya sekedar gagasan-nya sekalipun.
• Yang jelas terlihat justru adalah upaya memperkuat sistem uang emas dan perak secara
menyeluruh, mengkontrol produksi-nya secara ketat, perbaikan proses pencetakan untuk
menyelamatkannya dari kecurangan dan peningkatan kemurnian-nya pada standar yang
sangat tinggi.
Hak Sikkah Sebagai Kekuasaan Allâh dan Utusan-Nya
• Kebangkitan khilâfah Islam di masa awal sebagai imperium terbesar di dunia saat itu,
didukung oleh kekuatan dan stabilitas moneter.
o Berbeda dengan masa Nabi Muhammad dan Khilâfah alRâsyidah dimana negara tidak
mencetak uang dan mendasarkan pasokan uang pada kebutuhan sektor riil dan
ketersediaan uang internasional, sejak masa dinasti ‘Umayyah dan berpuncak pada
masa dinasti ’Abbâsiyah, produksi dan pasokan uang dilakukan secara independen
oleh khilâfah Islam.
• Dari reformasi moneter ‘Abd al-Malik dan alMa’mûn, terlihat jelas bahwa dalam teori
Islam klasik, kekuasaan mencetak uang (sikkah) berasal dari Tuhan, yang diturunkan
kepada utusan-Nya, dan kemudian pada para khalîfah.
• Hingga masa kekuasan ’Abd al-Malik ibn Marwân (65-86/684-705), pencetakan uang
dalam wilayah khilâfah Islam hanya meneruskan tradisi Byzantium dan Persia, dengan
tingkat otonomi wilayah yang tinggi.
o Mengikuti tradisi coinage Byzantium dan Persia, padamasa ini para gubernur lazim
memasukkan namanya dalam uang koin. Dari masa Mu’âwiyah hingga ‘Abd al-
Malik, pada pencetakan uang koin muncul gambar dan nama penguasa diikuti dengan
gelar khalîfah atau amîr al-mu’minîn.
o Reformasi moneter ’Abd al-Malik menghapus seluruh gambar, nama penguasa dan
simbol yang ada pada uang koin (anonymous), dan menggantikannya dengan ukiran
yang sepenuhnya berasal dari al-Qur’ân.
o Nama manusia yang muncul pada uang koin hanyalah nama Nabi Muhammad, yang
menandakan bahwa hak sikkah berada di tangan Allâh danutusan-Nya.
Kuliah 14 – Sistem Moneter Islam: Perspektif Maqashid
Uang, ‘Urf dan Maslahah
• Para ‘ulamâ’ mendefinisikan uang dengan melihat fungsinya. Uang didefinisikan secara
umum sebagai apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media
transaksi pertukaran dan media penyimpan nilai.
o Terkait hal ini, para ‘ulamâ’ mempertegas peran tradisi (‘urf) dalam pengukuhan
uang, tidak terbatas pada emas dan perak saja. Apapun yang dikenal orang banyak
sebagai satuan hitung dan alat tukar, maka dianggap sebagai uang.
o Penyebutan emas dan perak dalam teks sesuai kondisi saat itu sehingga emas dan
perak hanya sekedar nama (laqab) yang tidak memiliki konsep. Uang dan evolusi-
nya, dari barter hingga ke uang kertas, termasuk dalam almashâlih al-mursalah. Atas
dasar mashlahah uangberlaku di pasar.
Uang dalam Al-Qur’an
• Namun, adalah terlalu sederhana untuk menyatakan bahwa penyebutan emas dan perak
dalam al-Qur’ân hanya karena sekedar sesuai kondisi saat itu, sekedar laqab yang tidak
memiliki konsep, dan karenanya komoditas apapun bisa dikukuhkan sebagai uang.
• Meski diturunkan dalam konteks dan lokalitas sosialbudaya masa lalu, dan karenanya
harus dipahami dalam konteks kesejarahannya, namun al-Qur’ân mengandung nilai-nilai
universal yang akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (shâlih li kulli zamân wa
makân).
• Tidak adanya larangan menjadikan selain emas dan perak sebagai uang dalam al-Qur’ân,
juga tidak bisa secara otomatis diinterpretasikan bahwa komoditas apapun bisa dijadikan
uang.
Maslahah dan Al-Qur’an
• Dalam upaya mencari makna sesungguhnya dari teksteks al-Qur’ân, mufassir kontemporer
menggunakan kaidah al-’ibrah bi maqâshid al-syarî’ah (ibrah harus mengacu pada tujuan
syarî’ah). Dengan kaidah ini, yang menjadi pegangan untuk mengambil kesimpulan
hukum adalah maksud dan tujuan dari teks-teks al-Qur’ân, yang seringkali tidak terlihat
dalam teks itu sendiri.
• Pembuatan hukum dapat dilakukan dengan penuh keyakinan meski tanpa ada dasar
hukum jika kita mengetahui tujuan syarî’ah. Para ‘ulamâ’ melindungi mashlahah dengan
mendorong kebijakan berorientasi syarî’ah (siyâsah syar’iyyah), yang mencakup seluruh
tindakan yang mendekatkan manusia pada kemanfaatan (shalâh) dan menjauhkan mereka
dari kerusakan (fasâd).
Maslahah dan Ushûl al-Fiqh
• Sebagai pendekatan tafsîr yang tidak mendasarkan diri secara langsung kepada teks
tertentu, maqâshid memiliki keunggulan dalam menjawab permasalahan yang tidak diatur
secara tegas dalam syarî’ah karena lebih mendasarkan diri pada mashlahah yang universal
sebagai tujuan syarî’ah.
• Pembacaan berbasis maqâshid berlandaskan pada mashlahah yang bersifat dharûriyyât,
yakni melindungi dan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Di ranah
ushûl al-fiqh, proses ini tidak lain adalah istishlâh, yaitu ijtihâd berbasis mashlahah
mursalah.
Kondisi-Kondisi (Shurûth) Penetapan Mashlahah
1) haqîqiyyah, yaitu mashlahah yang dikandung harus genuine, sangat esensial dan mendasar
yang bertujuan melindungi al-dharûriyyât alkhamsah;
2) kulliyyât, yaitu mashlahah bersifat umum atau universal, melindungi kepentingan publik
dan menolak kerusakan bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan orang per orang atau
kelompok tertentu saja; dan
3) mashlahah tidak bertentangan dengan prinsipprinsip atau nilai-nilai yang telah ditegakkan
oleh nashsh atau ijmâ’.
Integrasi Maqâshid dan Ushûl al-Fiqh
• Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara maqâshid dan ushûl al-fiqh, namun terlihat
bahwa keduanya cenderung dibangun secara terpisah.
o Pengembangan maqâshid sebagai disiplin independen yang terpisah dari ushûl al-fiqh
seringkali menciptakan benturan diantara keduanya.
o Kecenderungan ini merugikan kedua disiplin ini: ushûl al-fiqh mengalami stagnasi
dan kering dari semangat maqâshid, sedangkan maqâshid menjadi tercerabut dari
peran praktisnya yang berada di ranah ushûl al-fiqh.
• Upaya mendamaikan debat pembaruan antara kelompok modernis-liberal dan kelompok
tradisional-konservatif akan terjembatani ketika maqâshid diperlakukan tidak terpisah
dari ushûl al-fiqh, dan memadukan keduanya dalam sebuah kerangka analisis yang
integral sebagai bidang ilmu lanjutan dalam fiqh Islam.
Kekayaan dan Maqâshid
• Kekayaan (al-mâl) dicirikan dengan beberapa karakteristik simultan berikut:
a) kepemilikannya secara alamiah diinginkan manusia, atau memiliki nilai komersial;
b) dapat dimiliki dan dikuasai;
a) dapat disimpan (iddikhâr);
b) dapat diedarkan (tadâwul);
c) dapat diukur (miqdâr);
d) harus diusahakan untuk memperolehnya (muktasab);
e) memiliki manfaat dalam pandangan syarî’ah; dan
f) kepemilikannya dapat dialihkan dan ditransfer ke pihak lain.
• Hak milik pribadi mendapat penghormatan dalam Islam, sesuai kaidah lâ yajûzu ahad ay-
yatasharraf fî milk al-ghayr bilâ idznih (seseorang tidak boleh bertindak terhadap milik
orang lain tanpa izinnya).
• Sebagaimana seseorang tidak boleh bertindak terhadap milik orang lain tanpa izin,
demikian pula seseorang tidak boleh memerintahkan orang lain untuk bertindak terhadap
milik orang lain, sesuai kaidah al-amr bi at-tasharruf fî milk al-ghayr bâthil
(memerintahkan tindakan terhadap milik orang lain adalah tidak sah).
Penciptaan Uang dalam Sistem Komoditas
• Penambang emas dan perak pertama adalah pihak yang paling beruntung dimana mereka
menjadi kaya raya dan melakukan permintaan barang dan jasa dari seluruh dunia sehingga
mendorong kenaikan hargaharga. Melalui cara ini kemudian emas dan perak
didistribusikan ke seluruh dunia dan berakhir dengan kenaikan harga melalui waktu yang
panjang.
• Di akhir proses, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih buruk.
Sumber daya yang digunakan untuk menambang emas, memindahkannya ke tempat yang
jauh, mencetaknya menjadi koin, dan menumpuknya menjadi cadangan di ruang besi
bawah tanah bank, seringkali nilainya lebih besar dibandingkan emas tersebut.
Uang, Komoditas dan Jangkar Harga
• Meskipun dampak kesejahteraan dari penemuan emas hampir dapat dipastikan negatif,
namun eksistensistandar emas, atau standar komoditas secara umum, bukanlah kesalahan
atau membahayakan bagi masyarakat.
• Benar bahwa biaya yang dikeluarkan masyarakat secara keseluruhan adalah besar untuk
mendapatkan emas dan perak. Namun memiliki alat tukar yang stabil dan diterima secara
luas adalah sangat krusial bagi berfungsinya setiap masyarakat modern yang kompleks.
• Tidak ada uang yang dapat menjalankan fungsi tersebut kecuali jumlah nominalnya
terbatas. Sepanjang sejarah manusia, pembatasan yang efektif tersebut hanyadiberikan
oleh hubungan antara uang dan komoditas. Keterkaitan antara uang dan komoditas
menjadi jangkar (anchor) bagi tingkat harga.
Kekangan Standar Komoditas
Produksi Emas Sebagai Jangkar Harga Nominal yang Efektif
Kasus Tambang emas di Veladero, San Juan, Argentina, seluas 3.000 km persegi, dengan
estimasi cadangan emas 900 ton, jumlah pekerja 5.000 orang, dan estimasi lama waktu
eksploitasi 17 tahun.
Tahap Biaya Waktu Aktivitas
Tahap
”Prospecting”,
dimulai tahun
1994
US$ 10 Juta 1-3 Tahun Membuat peta, riset kepustakaan,
membuat gambar satelit, dan kajian
lapangan untuk memastikan adanya
cadangan emas.
Tahap
”Exploitation”
US$ 90 Juta 2-5 Tahun Setelah cadangan dipastikan
membuat estimasi dimensi, cadangan,
hasil dan biaya ekstraksi
Tahap ”Blueprint
of the Mine ”
US$ 547 Juta 2-5 Tahun Jika cadangan dan biaya layak secara
finansial, maka tambang dibuka,
dampak lingkungan di analisis, dan
infrastruktur dibangun.
Setelah satu dekade melakukan riset dan pengembangan operasional tambang skala-besar
sejak 1994, dan dengan biaya produksi yang mahal, produksi pertama tambang diperoleh pada
Oktober 2005.
Mashlahah dan Mafsadah Uang Fiat
• Mashlahah terdiri dari 2 jenis: kemanfaatan publik (mashlahah ’âmmah) dan kemanfaatan
pribadi (mashlahah khâshshah).
o Mashlahah ’âmmah terdiri dari hal-hal yang bermanfaat dan berguna bagi seluruh
atau sebagian besar masyarakat, seperti misalnya melindungi segala sesuatu yang
memiliki nilai ekonomi (mutamawwilât) dari kerusakan. Sebagian besar aturan-
aturan alQur’ân dan kewajiban kolektif (furûd al-kifâyah) merupakan mashlahah
kategori ini.
o Sedangkan mashlahah khâshshah terdiri dari segala sesuatu yang bermanfaat bagi
individu, sebagian aturan al-Qur’ân dan sebagian besar Sunnah merupakan mashlahah
kategori ini.
• Karena itu, setiap kebijakan publik seharusnya ditujukan untuk mewujudkan
kemaslahatan rakyat serta menghilangkan kerusakan dari mereka (iqâmah almashâlih wa
izâlah al-mafâsid).
• Kemanfaatan murni (naf’ khâlish) dan keburukan absolut (dhurr khâlish) umumnya jarang
ditemui. Yang lebih menjadi tujuan aturan syarî’ah adalah kesadaran tentang mashlahah.
o Mafsadah yang tidak signifikan tidak mempengaruhi jalannya kehidupan yang
dipenuhi dengan mashlahah, dan sebaliknya mashlahah yang tidak signifikan menjadi
tidak berarti di tengah kehidupan yang dipenuhi mafsadah.
• Ketika unsur mashlahah dan mafsadah dari satuperkara saling berbenturan, maka menolak
unsur mafsadahlebih diutamakan daripada upaya mendatangkan mashlahah, terlebih
ketika unsur mafsadah jauh melebihi unsur mashlahah.
o Hal ini karena syarî’ah lebih banyak memperhatikan larangan daripada perintah,
sesuai dengan kaidah dar’u almafâsid aula min jalb al-manâfi’ (menolak kerusakan
lebih utama daripada menarik manfaat).
Universalitas Mashlahah
• Mashlahah bersifat harmonis dan universal. Jika syarî’ah saling bertentangan, maka ia
tidak akan lagi menjadi sumber mashlahah namun menjadi sumber mafsadah.
o Syarî’ah berlaku secara umum untuk seluruh umat manusia, karena itu mashlahah
juga bersifatuniversal, berlaku pada semua tempat dan waktu.
o Universalitas mashlahah hanya dapat terwujud jika sejalan dengan universalitas
hukum alam, karena alam adalah ciptaan-Nya dan saling mendukung dengan syarî’ah
secara kausalitas bagi terwujudnya mashlahah.
• Terlihat bahwa hukum alam dan syarî’ah adalah bagian integral kehendak Allâh dalam
mewujudkan mashlahah. Allâh menciptakan aturan-aturan-Nya di alam semesta untuk
membawa manusia kepada mashlahah.
Tradisi Moneter Dunia
• Tradisi (custom) adalah faktor paling menentukan dalam pengembangan uang (Carl
Menger, 18401921).
o Uang adalah institusi sosial yang dihasilkan dari proses evolusi yang panjang, sangat
sulit menjelaskan uang sebagai ciptaan hukum.
o Sebagian besar institusi masyarakat faktanya dihasilkan oleh tradisi, kebiasaan dan
praktek yang berlaku di masyarakat.
‘Urf Sebagai Sumber Hukum
1) ’urf harus merepresentasikan fenomena yang umum dan berulang, yaitu bahwa ‘urf tidak
saja harus konsisten namun juga harus dominan dimana ia terobservasi dalam seluruh atau
sebagian besar kasus;
2) ’urf harus eksis pada saat dimana transaksi dilakukan, yaitu berlakunya kontrak dan
transaksi komersial hanya diberikan kepada adat yang lazim pada saat transaksi terjadi,
dan tidak dberikan kepada adat berikutnya;
3) ’urf tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian yang jelas, yaitu bahwa perjanjian
tertulis lebih tinggi atas adat, dan adat hanya berlaku ketika tidak ada perjanjian; dan
4) ’urf tidak melanggar ketentuan nashsh.
Uang dan ‘Urf
• Dalam perspektif ribuan tahun sejarah moneter dunia, uang kertas adalah kebiasaan yang
bersifat khusus (al-‘urf al-khâshsh), bukan kebiasaan umum (al-‘urf al-‘âmm).
o Kebiasaan yang lazim berlaku di semua tempat dimana semua orang bersepakat
terlepas dari berjalannya waktu adalah uang logam, khususnya emas dan perak.
o Sedangkan uang kertas sebagai adat baru menjadi lazim ditemui pada empat dekade
terakhir saja, dan hal itupun terjadi dengan pemaksaan oleh negara, bukan muncul
dari transaksi sukarela oleh masyarakat itu sendiri.
• Dalam perspektif sejarah, emas-perak dipilih pasar menjadi uang melalui mekanisme
pasar alamiah. Dalam waktu yang panjang, uang berevolusi dari berbagai jenis komoditas
hingga menjadi bentuk akhirnya yaitu emas-perak. Emas-perak memenangkan
persaingan dengan komoditas lain menjadi uang karena memiliki karakteristik yang paling
sempurna sebagai uang.
• Dalam perspektif ekonomi, karakteristik utama dari emasdan perak yang membuatnya
dipilih pasar menjadi uang adalah:
a) memiliki permintaan pasar yang sangat tinggi (heavy demand) sehingga akan
diterima semua orang;
b) sangat mudah dibagi-bagi ke dalam unit yang lebih kecil (high divisible) sehingga
ukuran transaksi dapat menjadi sangat fleksibel;
c) mudah dibawa ke semua tempat (portable) untuk memfasilitasi transaksi;
d) ketersediaannya langka, namun memiliki permintaan yang besar, sehingga nilai per
unit-nya sangat tinggi (high value per unit weight);
e) tahan lama (highly durable), nyaris abadi, sehingga dapat berfungsi sebagai
penyimpan nilai untuk jangka waktu yang lama.
Memperpanjang Rantai Jangkar dan Uang Fiat
• Pengenalan fractional reserve system memberi doronganbagi bank sentral dan bank
komersial untuk menurunkan reserve ratio, dengan implikasi ekspansi moneter yang lebih
besar.
• Bank sentral diberikan hak monopoli untuk menerbitkan bank notes, namun konvertibel
ke komoditas, dan kemudian diberi status sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender).
Kewajiban konvertibilitas masih mampu menjadi jangkar yang kredibel bagi sistem.
Memberi status legal tender pada bank notes memperpanjang hubungan uang dan
komoditas, menjadi tahapan penting menuju standar uang fiat murni.
• Upaya terakhir memperpanjang rantai jangkar adalah sistem Bretton Woods dimana bank
sentral bersepakatmenggunakan uang kertas dollar sebagai cadangan internasional dan
dollar dijangkar ke emas pada tingkat $ 35 per ons.
• Ketika tidak ada lagi cara memperpanjang rantaijangkar, maka jangkar komoditas ini
kemudian dihentikan dan perekonomian sepenuhnya beralih ke sistem fiat murni.