STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN
PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT
UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF
CROATIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
TIARA DESI PUSPITASARI
NIM : E0004049
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN
PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION
ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA
Disusun oleh :
TIARA DESI PUSPITASARI
NIM : E0004049
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
Pembimbing
Bambang Santoso, S.H, M.Hum
NIP. 196202091989031001
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN
PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT
UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF
CROATIA
Disusun oleh :
TIARA DESI PUSPITASARI
NIM : E0004049
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 6 Juli 2010
TIM PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H.
NIP. 195706291985031002
Ketua
(……………………)
2. Kristiyadi, S.H., M.Hum.
NIP. 195812251986011001
Anggota
(……………………)
3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum.
NIP. 196202091989031001
Pembimbing
(……………………)
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.
NIP.196109301986011001
SURAT PERNYATAAN
Nama : Tiara Desi Puspitasari
NIM : E 0004049
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN
PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF
CROATIA adalah betul-betul karya sendiri
Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda
citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2010
Yang Membuat Pernyataan
Tiara Desi Puspitasari
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu
sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya
atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
(An-Nisa 4 : 135)
Iman adalah Kehidupan
( Penulis)
Tidak ada Tuhan satu melainkan Allah SWT
(Penulis)
Work hard, play hard, and get success
(Penulis)
Bahagiakan dirimu, lantas bahagiakan orang lain
(Penulis)
Orang tua tidak selamanya benar, dan anak tidak pula selamanya salah. Layaknya
anak adalah anugerah yang tuhan titipkan kepada orangtua, maka sebaliknya orangtua
adalah anugerah yang tuhan berikan kepada setiap anak. Baik anak atupun orangtua
tidak mempunyai hak memiliki yang hakekat, melainkan Allah SWT.
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT yang telah mendengarkan semua
doa, kupersembahkan skripsi ini untuk :
- Allah SWT, sumber kehidupanku, yang senantiasa melindungi dan
membimbing dalam setiap langkahku;
- Ayah dan Mama yang membesarkan, mendidik, mengasihi dan selalu
mendoakanku; adalah kalian anugerah terbesar yang Allah SWT beri untukku;
- Saudara-saudaraku, Kakakku Meira Herviani dan Dwi sefiandri, serta Adikku
Ryan Kusuma Jaya Nugraha yang senantiasa menjadi bagian dari hidupku;
- Almamaterku, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
TIARA DESI PUSPITASARI. E0004049. STUDI PERBANDINGAN HUKUM
PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN PERLINDUNGAN ( TYPES OF
PROTECTION MEASURES ) MENURUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS
PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA. Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) apakah persamaan dan perbedaan
pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures) UU No.13
Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness Protection Act of the
Republic of Croatia, (2) apakah kelemahan dan kelebihan pengaturan jenis-jenis tindakan
perlindungan (types of protection measures) UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam
penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu
berupa pengumpulan data sekunder, dengan cara mencari data-data dari buku-buku,
dokumen-dokumen, arsip dan juga peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan objek penelitian. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari,
diklasifikasikan, dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan
penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk
menggambarkan tentang keadaan dan gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan
data, menyusun, mengklarifikasi, menganalisa, serta menginterpretasikannya. Jenis data
yang digunakan adalah data sekunder. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis data kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-
analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga
perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh
Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa studi perbandingan hukum
pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures) menurut UU
No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness Protection Act
of the Republic of Croatia memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaannya terletak
pada sistem hukum, prosedur perlindungan, lembaga perlindungan dan keanggotaannya,
serta ketentuan pidana. Sedangkan persamaanya yaitu dalam hal definisi unsur-unsur,
tujuan perlindungan, pembiayaan, dan jenis perlindungan. Dari persamaan dan perbedaan
tersebut dapat disimpulkan pula bahwa terdapat kelemahan dan kelebihan dari masing-
masing negara yaitu Indonesia dan Croasia mengenai jenis-jenis tindakan perlindungan
terhadap saksi dan korban.
ABSTRACT
TIARA DESI PUSPITASARI. E0004049. A COMPARATIVE STUDY ON TYPES
OF PROTECTION MEASURES ACCORDING TO THE ACT NUMBER 13 OF
2006 ABOUT WITNESS AND VICTIM PROTECTION AND THE WITNESS
PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA. Law Faculty of Surakarta
Sebelas Maret University. Thesis. 2010.
This research aims to find out: (1) the similarity and difference of types of
protection measures between the Act No. 13 of 2006 about witness and victim protection
and the Witness Protection Act of the Republic of Croatia, and (2) the weakness and
strength of types of protection measures between the Act No. 13 of 2006 about witness
and victim protection and the Witness Protection Act of the Republic of Croatia.
This study belongs to a normative research or the library law research, that is the
one conducted by studying the library material consisting of primary, secondary and
tertiary law materials. Technique of collecting data used was library study, the secondary
data collection by searching for data from books, document, archive and also legislation
relevant to the research object. Then, the data obtained was studied, classified and
analyzed further in line with the research objective and problem.
This research is descriptive in nature, that is, a research attempting to describe
condition and other symptoms by collecting data, organizing, clarifying, analyzing, as
well as interpreting it. The type of data used was secondary one. Technique of analyzing
data used was qualitative data analysis one, that is, a research procedure providing
descriptive data analysis, what stated by the respondent orally or in written form, and the
actual behavior studied and learnt as a whole.
Through this research, it can be concluded that a comparative law research on of
types of protection measures between the Act No. 13 of 2006 about witness and victim
protection and the Witness Protection Act of the Republic of Croatia, has similarity and
difference. The difference lies in the law system, protection procedure, protection
institution and its membership, as well as punishment provision. Meanwhile the
similarity lies in the term of element definition, protection objective, funding, and type of
protection. From such similarity and difference, it can be concluded that there is also
strength and weakness from each country, Indonesia and Croatia, concerning the types of
protection measure on the witness and victim.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: STUDI PERBANDINGAN
HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN PERLINDUNGAN ( TYPES
OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN
2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS
PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA. Penulisan skripsi ini
bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi
ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril yang diberikan
oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah hati penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis
untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan skripsi.
2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi yang telah
menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya untuk memberikan ilmu, bimbingan
dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga untuk memberi nasihat, cerita,
serta mendengar keluh kesah penulis.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah
memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penulisan hukum ini.
4. Bapak Bambang Joko Sudibyo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas
bimbingan dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan
bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan
masa depan nantinya.
6. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum yang telah membantu dalam
mengurus prosedur-prosedur skripsi.
7. Segenap Staff dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas
bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di FH UNS.
8. Kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda Tjetjep Herriaman dan Ibunda Euis An‟an
Eriyani, yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada kata
yang dapat mewakili rasa terima kasih Ananda. Semoga Ananda dapat membalas
budi jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada Ananda. Sesungguhnya
kalian lah alasan Ananda tetap berjuang dalam tiap tangis, tawa, dan hela nafas
Ananda. Kalianlah sebentuk kasih yang sempurna di dunia ini.
9. Kakakku tercinta Meira Herviani serta Suami Dwi Sefiandri, serta keponakanku
terkasih Darfa Dwira Kusuma Sefiandri yang selalu mendoakan, memberikan kasih
sayang, semangat dan motivasi dengan caranya tersendiri kepada penulis, (akhirnya
lulus juga, horaaai...!!!)
10. Adikku tercinta Ryan Kusuma Jaya Nugraha, mari kita bahagiakan kedua orang kita
dengan menunjukan bahwa kita bisa menjadi anak yang ayah dan mama harapkan,
tetap berjuang dalam menjalani kehidupan dengan bekal keteguhan dan doa seperti
orang tua kita ajarkan. Ingat bahwa kita telah dianugerahi kehidupan ditengah
keluarga yg penuh kasih, dan itu patut kita syukuri... (apapun sikap teteh selama ini
sama kamu semata-mata karena cinta dan harapan teteh yang begitu besar untuk
kamu).
11. Sahabat-sahabatku Shanty, Sally, Dody, Eka, Billy, Ferry, terima kasih atas
kebersamaan kita dan persahabatan yang hangat, (meskipun kita berbeda arah, namun
tak ada alasan kita berhenti saling mengasihi), dan kebersamaan dengan kalian tak
pernah berbeda rasa.(Salut!!!)
12. Seseorang yang mendampingiku, berada disisiku melewati hari-hari yang sulit,
Zanuar....denganmu aku bisa tertawa dan berkat kesabaranmu aku bisa
bertahan..(apapun yang kita telah lewati, semata-mata adalah proses menuju hidup
yang lebih baik, amiin...)
13. Moh.Hendrawan Prasetyo, sulit mencari kata-kata yang mengungkapkan tentang kita
dan segala yang terlewati. Hanya terima kasih sedalamnya atas segala kesabaran,
kesetiaan, serta support yang diberikan kepada penulis selama ini. Semoga yang
terbaik Tuhan berikan untuk kita semua.
14. Keluarga Besar Kos Rumah Suci, Tiwi, Devi, Maya, untuk Mbak Ayudhawara terima
kasih karena telah menjadi kakak yang menyenangkan selama aku diperantauan.
15. Keluarga Besar UBB UNS, Ame, Adjie „tomphel‟, Zabeth, Bedu, Ipank, Tika, Rani,
Dila, Anis, Nopek, Intan, Tiwi, Rida serta keluarga besar ROCKUSTIK, Sukro,
Ragil, Tia, Denny Klo, Jonathan Goshong, Elman, Daniel, Indri, Dimas, Kethil,
terima kasih atas keceriaan „dunia‟ persahabatan kalian, menerima aku ditengah-
tengah kalian, dan berkat kalian pula aku lebih menikmati hidup, sekalipun tak
semuanya yang kita lalui adalah kesenangan, namun itulah arti hidup.
16. Keluarga Besar KSP FH UNS, Mb.Lia, Mb.Uchi, Mb.Ajeng, Aghata, Mas Gunalan,
Mas Heri, Mas Hafid, Mas Eksan, (lainnya yang penulis tidak bisa sebutkan satu
persatu), kalian adalah sahabat sekaligus teman yang baik bagi penulis, serta keluarga
besar Perum Tiara Ardi, Mas Agus dan Keluarga terima kasih telah menjadi tetangga
yang sangat menyenangkan, menerimaku ditengah lingkungan yang penuh
kekeluargaan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
17. Seluruh teman-teman Angkatan 2004 FH UNS yang telah mengisi hari-hari kuliah
penulis selama ini. Maaf tidak bisa menyebutkan kalian satu persatu.
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan hukum
ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk
itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga
dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan
manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... ... iii
SURAT PERNYATAAN ................................................................................ iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6
E. Metode Penelitian ....................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ........................................................................... 11
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum .................. 11
2. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.. 14
a. Pengertian Saksi .............................................................. 14
b. Pengertian Korban……………. ..................................... 16
c. Pengertian Tindakan Perlindungan ................................. 17
d. Hak-hak Saksi dan Korban ............................................ 18
e. Pemberian Bantuan Kepada Korban Kekerasan dan Pelanggaran
HAM Berat ..................................................................... 19
f. Kompensasi dan Restitusi ............................................... 19
g. Saksi dan Korban dalam Kondisi Khusus ....................... 20
h. Tata Cara pemberian Perlindungan dan Bantuan............ 21
B. Kerangka Pemikiran ................................................................... 22
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Jenis-jenis Tindakan
Perlindungan (types of protection measures) menurut UU No. 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness
Protection Act Of The Republic Of Croatia .............................. 24
B. Kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan
perlindungan (types of protection measures) menurut UU No.13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness
Protection Act of the Rrepublic of Croatia ................................. 64
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................... 66
B. Saran ........................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR & TABEL
Gambar 1. Kerangka Pemikiran …………………………………………… 22
Tabel 1. Persamaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the Republic of
Croatia ......................................................................................... 55
Tabel 2. Perbedaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the Republic of
Croatia ......................................................................................... 61
Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the
Republic of Croatia ...................................................................... 64
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan saksi dalam proses persidangan pidana memegang peranan yang
sangat penting dan dalam banyak kesempatan keterangan, saksi juga sangat
menentukan hasil akhir dari suatu kasus. Keterangan saksi yang diberikan di hadapan
pengadilan merupakan salah satu bukti penting yang menjadi pertimbangan hakim
dalam memutus sebuah perkara.
Kesaksian seorang saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 184 Undang
Undang Nomor 8 tahun 1981 atau Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Ketentuan tersebut menyatakan, keterangan saksi di pengadilan menjadi
salah satu alat bukti yang sah. Selanjutnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ayat ke-3 dari pasal yang
sama berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
apabila disertai dengan alat bukti lainnya.” Dari sini dapat diartikan, keterangan lebih
dari satu orang saksi saja tanpa disertai saksi atau alat bukti lainnya, dapat dianggap
cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak.
Fakta bahwa sebuah kesaksian dapat menentukan hasil akhir dari suatu
perkara, menyebabkan banyak tekanan baik yang sifatnya fisik maupun mental sering
ditujukan kepada para saksi dan keluarga ataupun orang terdekat saksi. Tujuannya,
agar saksi memberikan kesaksian yang berbeda dari yang sebenarnya atau bahkan
membatalkan kesaksiannya. Banyaknya kasus di pengadilan yang tidak terungkap
karena minimnya saksi yang bersedia memberikan kesaksiannya menjadi
permasalahan yang signifikan dalam penegakan hukum dan keadilan di negara ini.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah mengatur
mengenai perangkat dan dasar hukum perlindungan saksi, perangkat dan dasar hukum
perlindungan saksi dalam KUHAP yaitu:
1. Adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk :
a) anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir (a))
b) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik
kembali (Pasal 171 butir (b))
2. dapat didengarkannya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173)
3. dapat ditunjukan juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa Indonesia (Pasal
177)
4. dapat ditunjukan penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis (Pasal
178)
Mekanisme perlindungan saksi yang ada dalam KUHAP tersebut dalam
perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan
hukum dan keadilan. Karena itulah muncul gagasan untuk membuat perangkat hukum
khusus yang diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi saksi dan korban
ketika memberikan kesaksian. Peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang
mengatur mengenai perlindungan saksi terus-menerus mengalami perkembangan,
namun di dalam peraturan tersebut belum juga terdapat atau mengatur mengenai suatu
lembaga yang khusus menangani permasalahan terhadap perlindungan terhadap saksi
dan korban.
Adapun peraturan perundangan-perundangan di Indonesia yang mengatur
mengenai perlindungan saksi, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau KUHP
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
KUHAP
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
8. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang
10. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat
11. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
12. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme
13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
Perkara Tindak Pidana Terorisme
14. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang
15. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Sesungguhnya apabila kita cermati dalam kenyataannya, kondisi saksi tidak
jauh berbeda dengan tersangka/terdakwa, mereka sama-sama memerlukan
perlindungan, karena:
1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu
hal yang mudah.
2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya
karena dianggap bersumpah palsu.
3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman,
teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan.
4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya
5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang
tersangka/terdakwa.
Setelah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun, Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban akhirnya disahkan juga dalam rapat paripurna DPR
pada tanggal 11 Agustus 2006, menjadi ”Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 terdapat ketentuan yang mengatur mengenai jenis tindakan perlindungan
terhadap saksi dan korban. Salah satunya adalah memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
Berbicara mengenai perlindungan saksi dan korban ada beberapa negara yang
memiliki regulasi yang hampir sama dengan UU 13 tahun 2006, yaitu regulasi yang
mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Salah satu negara tersebut adalah
Croasia, yaitu dengan dikeluarkannya Witness Protection Act of the Republic of
Croatia yang tercantum dalam Lembaran Negara Resmi No. 163 Tahun 2003.
Undang-undang ini mengatur hubungan dan prosedur untuk memberikan
perlindungan kepada orang-orang yang terancam, terkena bahaya jiwa, kesehatan,
hukuman badaniah yang tidak dapat diganggu gugat, kebebasan atau sifat skala besar
yang timbul dari memberikan kesaksian dalam persidangan tindak pidana untuk
perbuatan-perbuatan pidana seluruhnya diantisipasi dalam Undang-undang ini.
Sehingga menurut penulis sangat menarik untuk mengadakan kajian
perbandingan mengenai jenis-jenis perlindungan saksi dan korban menurut kedua
regulasi tersebut. Kemudian penulis akan menyusunnya dalam sebuah kajian ilmiah
dengan judul ”STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-
JENIS TINDAKAN PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION
MEASURES ) MENURUT UU NO.13 TAHUN 2006 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION
ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA”
B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini perumusan masalah dari obyek yang diteliti dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah persamaan dan perbedaan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (
types of protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of theRrepublic of
Croatia?
2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (
types of protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of theRrepublic of
Croatia
C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian apalagi penelitian ilmiah selalu memiliki tujuan-
tujuan tertentu. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini penulis bagi
dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui persamaan dan pengaturan jenis-jenis tindakan
perlindungan ( types of protection measures ) menurut UU No.13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the
Republic of Croatia
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan
perlindungan ( types of protection measures ) menurut UU No.13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the
Republic of Croatia
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan
kemampuan penulis mengenai ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana.
b. Untuk melatih kemampuan peneliti dalam menerapkan teori ilmu hukum yang
didapat selama perkuliahan guna menganalisis permasalahan-permasalahan
yang muncul dalam bidang Hukum Acara Pidana.
c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang kepidanaan secara umum dan Hukum Acara
Pidana pada khususnya;
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian
sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal
untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun untuk
praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar
dapat ditegakkan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta
tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan masalah yang
diteliti.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut
disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah pengaturan lembaga
perlindungan saksi dan korban menurut undang-undang nomor 13 tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban dengan witness protection act of the
republic of croatia.
Penelitian hukum seperti ini tidak mengenal penelitian lapangan (field
research) karena yang diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga dapat
dikatakan sebagai ; library based, focusing on reading, and analysis of the
primary and secondary materials. Dalam kepustakaan hukum Belanda
sebagaimana dikutip Johnny Ibrahim, istilah penelitian hukum normatif ini
dikenal sebagai kajian ilmu hukum. (Johnny Ibrahim, 2006 : 46)
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang dilakukan penulis ialah deskriptif, yaitu suatu
penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang keadaan dan gejala-
gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklarifikasi,
menganalisa, serta menginterpretasikannya (Soerjono Soekanto, 1986 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan penulis dalam melakukan penulisan hukum
ini adalah dengan pendekatan penelitian secara yuridis normative, antara lain
dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan analitis (analitycal approach). Suatu penelitian normative harus
menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. (Johnny
Ibrahim, 2006 : 302)
4. Jenis Data
Data adalah semua informasi mengenai variabel atau obyek yang diteliti.
Di dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari
masyarakat (data primer / primary data) dan dari buku pustaka (data sekunder /
secondary data) (Soerjono Soekanto, 2005 : 12).
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis Data
Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari perpustakaan
yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan
khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum penulis.
5. Sumber Data
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan Sumber Data
Sekunder. Dimana data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung dari perpustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan
peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penelitian
hukum penulis.
Sumber data yang akan digunakan adalah :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang
mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan
adalah :
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4) Witness Protection Act of The Republic Of Croatia
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
hukum primer, seperti :
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam penelitian ini.
2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
3) Buku-buku penunjang lain.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, diantaranya bahan dari media internet yang relevan dengan
penelitian ini.
6. Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara
pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel
maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut
pengelompokan yang tepat.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Studi Kepustakaan, yaitu berupa pengumpulan data sekunder, dengan cara
mencari data-data dari buku-buku, dokumen-dokumen, arsip dan juga peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Selanjutnya data
yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, serta dianalisis lebih lanjut
sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
7. Teknik Analisis Data
Analisa data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau
memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian
diolah pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat
normatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis yang bersifat
kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif-analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden
secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh. (Soerjono Soekanto,1986:250).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam bagian ini, penulis mensistematisasikan dalam bagian-bagian yang
akan dibahas menjadi beberapa bab yang saling berkait dan lebih sistematis, terarah
mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang bulat
dan utuh.
Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan yang terdiri dari
kerangka teori dan kerangka pemikiran. Hal-hal tersebut merupakan
landasan yang mendasari analisis hasil penelitian yang diperoleh dari
studi kepustakaan yang mengacu pada pokok-pokok permasalahan
dalam penelitian ini.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan
pembahasannya dengan teknik analisis data yang telah ditentukan
dalam sub bab metode penelitian.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan
permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum
Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan:
comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda),
droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di
Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih
bahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi
pendidikan hukum di Indonesia (Romli Atmasasmita, 2000 : 6). Istilah yang
dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan hukum (pidana).
Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan
tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang
sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata.
Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan
definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal. Romli
Atmasasmita (dalam bukunya Perbandingan Hukum Pidana : 2000) mengutip
pengertian perbandingan hukum dari beberapa ahli hukum, adapun beberapa ahli
hukum tersebut antara lain seperti di bawah ini.
Dalam buku Romli Atmasasmita, Rudolf B. Schlesinger mengatakan
bahwa perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan
bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi
unsur hukum asing dari suatu masalah hukum (2000 : 7). Winterton
mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu
perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data
sistem hukum yang dibandingkan (2000 : 7).
Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode
yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum.
Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing),
pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau
lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing
tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (2000 :
7).
Menurut Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David, dan George
Winterton, perbandingan hukum adalah metode umum dari suatu perbandingan
dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum (2000 :
8). Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu
pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai
lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-
sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya (2000 : 9).
Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum
mencakup : “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah
menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang ilmu
hukum (2000 : 9). Hesel Yutena mengemukakan definisi perbandingan hukum
sebagai berikut: Comparative law is simply another name for legal science, or like
other branches of science it has a universal humanistic outlook ; it contemplates
that while the technique nay vary, the problems of justice are basically the same
in time and space throughout the world. (Perbandingan hukum hanya suatu nama
lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu
sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan
yang universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya
sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia) (2000 : 9).
Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai
berikut : Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities
and differences and finding out relationship between various legal sistems, their
essence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and
typing to determine solutions to certain problems in these sistems with a definite
goal in mind, such as law reform, unification etc. (Perbandingan hukum
merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan
perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai
sistem-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-
konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah
tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti
pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain) (2000 : 10).
Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum dikemukakan
oleh Zweigert dan Kort yaitu : Comparative law is the comparison of the spirit
and style of different legal sistem or of comparable legal institutions of the
solution of comparable legal problems in different sistem. (Perbandingan hukum
adalah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda
atau lembaga-lembagahukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah
hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda)
(2000 : 10).
Romli Atmasasmita sendiri dalam bukunya berpendapat bahwa
perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara
sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan
mempergunakan metode perbandingan (2000 : 12). Adapun jenis kedua sistem
hukum yang dikenal yaitu Civil Law adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri
adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara
sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.
Dapat juga diartikan sebagai hukum yg dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yg
dilakukan lembaga legislatif. Sedangkan Common Law yaitu suatu sistem hukum
yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu
yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
2. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
a) Pengertian Saksi
Pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) menggunakan konsep
tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang
hendak memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan/ atau ia alami sendiri. Perbedaan dengan rumusan
KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam UU PSK mulai dari tahap
penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi sedangkan KUHAP hanya dimulai
dari tahap penyidikan.
Tentang perlindungan terhadap Pelapor sendiri telah lebih awal
diatur dalam Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa pelapor tidak dapat diajukan dalam
sidang pengadilan melainkan harus dilindungi identitas dan alamatnya.
Saksi dalam rumusan UU PSK dinyatakan sebagai saksi yang akan
memberikan keterangan untuk mendukung proses penyelesaian perkara
pidana. Saksi dalam definisi ini terpisah dengan pihak lain yang ada korelasi
dengan saksi yang bisa terlibat atau mendapatkan hak-hak yang tercatum
dalam Undang-Undang ini. Pembentuk Undang-Undang lebih memilih pihak-
pihak yang termasuk dalam pengertian saksi dalam UU ini dipisah yaitu
antara saksi itu sendiri dengan keluarga saksi. Pada poin 5 Pasal 1 UU PSK
menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan keluarga saksi yaitu orang
yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah,
atau mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan
saksi dan/ atau korban.
Rumusan tentang saksi yang demikian berbeda, misalnya, dengan
pengertian saksi dalam Undang-Undang tentang perlindungan saksi negara
Kanada yang menyatakan bahwa seorang saksi dalam program in adalah :
1) saksi adalah seseorang yang memberikan atau setuju untuk memberikan
informasi atau bukti atau yang ambil bagian dalam suatu hal yang terkait
dengan suatu penyelidikan atau investigasi atau penuntutan suatu
kejahatan, dan yang mungkin membutuhkan perlindungan karena resiko
keamanan atas dirinya dalam kaitan dengan penyelidikan, investigasi,
atau penuntutan tersebut, atau
2) seseorang yang karena hubungan atau ikatannya dengan orang yang
disebut pada bagian a diatas mungkin juga membutuhkan perlindungan
karena alasan yang sama seperti bagian a diatas
(www.elsam.or.id/031807/html).
Ketentuan mengenai dapat dimasukkannya pihak lain selain saksi
dan keluarga saksi akan menjamin bahwa pihak-pihak lain yang mempunyai
hubungan dengan saksi juga akan mendapatkan perlindungan. Undang-
Undang perlindungan saksi negara Kanada.tidak mendefenisikan saksi,
namun langsung menyatakan pihak-pihak yang dapat ikut dalam program
perlindungan.
UU Perlindungan Saksi di Quensland (Queensland, Witness
Protection Act 2000) juga menyatakan bahwa seseorang yang boleh
diikutsertakan ke dalam perlindungan saksi adalah orang yang membutuhkan
perlindungan dari suatu bahaya yang muncul karena orang tersebut telah
membantu, atau sedang membantu, suatu badan penegak hukum dalam
menjalankan fungsinya. Namun, jika menurut Undang-Undang Perlindungan
Saksi di Afrika Selatan (South Afrika,Witness Protection Bill 1998) saksi
didefinisikan sebagai setiap orang yang sedang atau dapat diminta, atau yang
telah memberi kesaksian dalam suatu persidangan.
b) Pengertian Korban
Korban dalam UU PSK dinyatakan sebagai seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluarga korban
dalam UU ini adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis
lurus ke atas atau kebawah, atau mempunyai hubungan perkawinan, atau
orang yang menjadi tanggungan saksi dan/ atau korban.
Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian perlindungan
kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu menyatakan bahwa
korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror,
dan kekerasan dari pihak manapun.
Jika pengertian korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No.
40/34 Tahun 1985 memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu korban adalah
orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana
yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian kerugian (harm) menurut Resolusi
Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985, meliputi kerugian fisik maupun
mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional
suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari
hak-hak asasi para korban (substansial impairment of their fundamental
rights).
Selanjutnya disebutkan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan
sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui,
ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga
antara si pelaku dan korban. Istilah korban juga mencakup keluarga dekat
atau orang-orang yang menjadi tanggungan korban, dan juga orang-orang
yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban.
Adapun mengenai pengertian korban sebenarnya terdapat berbagai
pengertian yang sedikit banyak memiliki perbedaan, berikut adalah paparan
perbandingannya :
1) Menurut UU PSK : Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.
2) Menurut PP No 2 Tahun 2002 : Korban adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
3) Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban : Korban adalah
orang orang yang, secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian,
termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi
atau perusakan yang substansial atas hak dasarnya, lewat tindakan atau
pembiaran yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di
negara-negara anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan yang bisa dikenai pidana
c) Pengertian Tindakan Perlindungan
Istilah perlindungan dalam UU PSK adalah bentuk perbuatan untuk
memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang
membutuhkan, sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya.
Pengertian perlindungan ini hampir sama dengan pengertian perlindungan
dalam PP No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa perlindungan adalah
suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun
mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Istilah perlindungan secara umum beserta tujuannya terdapat dalam
Pasal 1 poin 6 dan Pasal 4 UU PSK, untuk pembahasan lebih lanjut akan
diuraikan dalam bagian pembahasan penelitian.ini.P
d) Hak-Hak Saksi dan Korban
Pemberian hak-hak kepada saksi dan korban dalam UU PSK banyak
memasukkan hal-hal baru yang belum diatur dalam Peraturan perundang-
undangan sebelumnya. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa
seorang saksi dan korban berhak:
1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikan;
2) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
3) memberikan keterangan tanpa tekanan;
4) mendapat penerjemah;
5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
7) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9) mendapat identitas baru;
10) mendapat tempat kediaman baru;
11) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
mendapat nasihat hukum; dan/atau
12) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir .
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai penjabaran hak-hak akan
diperoleh oleh saksi dan atau/korban akan diuraikan dalam bagian
pembahasan penelitian ini.
e) Pemberian Bantuan Kepada Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM
Berat
Korban dalam tindak pidana dengan kekerasan dan pelanggaran
HAM berat, selain berhak atas hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU
PSK, juga berhak mendapatkan bantuan berupa bantuan medis dan bantuan
rehabilitasi psiko-sosial sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU ini.
Penjelasan ketentuan tentang bantuan medis ini adalah bahwa tindak
kekerasan pada dasarnya menyebabkan penderitaan fisik pada korban dan
dalam hal ini negara berkewajiban untuk memberikan bantuan pada korban
untuk membantu menyembuhkan luka-lukanya. Sedangkan penjelasan
mengenai bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah adanya korban yang
menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya, bantuan psikolog sangat
diperlukan untuk membentunya kembali menjalani kehidupan yang telah
dikacaukan oleh adanya kekerasan. Penjabaran lebih lanjut mengenai
pemberian bantuan kepada korban juga akan penulis uraikan dalam bab III
(pembahasan).
f) Kompensasi dan Restitusi
Hak-hak selain yang ada dalam Pasal 5 dan 6 UU PSK, para korban
berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi bagi korban tindak
pidana dengan kekerasan dan pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi
oleh pelaku tindak pidana, yaitu terdapat dalam Pasal 7 UU ini. Hak-hak
tersebut diatas dapat diberikan dengan keputusan pengadilan. Sedangkan
pengaturan tentang kompensasi dan restitusi diatur lebih lanjut dengan PP.
Dalam kasus pelanggaran HAM berat sudah terdapat Peraturan
Pemerintah tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yaitu PP
No. 3 Tahun 2002. sedangkan pengaturan tentang restitusi oleh pelaku tindak
pidana selain diatur dalam Peraturan Pemerintah diatas juga diatur dalam
KUHP.
Kompensasi, restitusi dan bantuan rahabilitasi diatas merupakan
bagian dari upaya pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang
mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan
kepada para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh
mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dengan mencegah dan menangkal
pelanggaran.
Yang dimaksud dengan ”kompensasi” adalah ganti kerugian yang
diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memeberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan Yang
dimaksud dengan ”restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Restitusi dapat berupa:
- Pengembalian harta milik,
- Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan,
- Penggantian biaya untuk tindakan tertentu
g) Saksi dan Korban dalam kondisi khusus
Dalam UU PSK kondisi khusus adalah kondisi dimana saksi tidak
dapat memberikan kesaksian dipersidangan. Saksi dalam kondisi ini adalah
saksi dan/ atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang
sangat berat atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir
langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa (Pasal 9 ayat
1). Saksi sebagaimana pada ayat 1 dapat memberikan kesaksian secara
tertulis dan disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang
kesaksian tersebut (ayat 2). Saksi atau sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat
pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang. Syarat yang lainnya adalah adanya
persetujuan hakim, dan mekanisme pemberaian kesaksian tersebut harus
diberikan dihadapan pejabat yang berwenang.
h) Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 membagi tata cara mengenai
pemberian perlindungan dan bantuan secara berbeda, perlindungan yang
dimaksud adalah hak-hak yang diberikan sesuai dengan Pasal 5 sedangkan
bantuan seperti yang diatur dalam Pasal 6, mengenai penjabaran lebih lanjut
terhadap Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan juga akan penulis
kemukakan penjabarannya dalam bagian pembahasan penelitian ini.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Proses Penyelesaian Perkara
Pidana
Alat Bukti
Hasil kejahatan
Keterangan Saksi
(placement, integration)
Perlu
perlindungan
Sistem Hukum Common Law
(Croatia)
Civil Law
(Indonesia)
Jenis Tindakan
perlindungan
UU Perlindungan Saksi dan
Korban
Adanya ancaman
Persamaan dan
Perbedaan
Kelebihan dan
kelemahan
Perbandingan
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat
bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan. Dalam proses persidangan, terutama
yang berkenaan dengan Saksi dan Korban, tidak sedikit kasus yang kandas ditengah
jalan disebabkan ketiadaan Saksi dan Korban yang dapatmendukung tugas penegak
hukum. Oleh karena itu, keberadaan Saksi dan Korban merupakan suatu unsur yang
sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana. Peran Saksi dan Korban
dalam proses peradilan pidana selama ini sangat jauh dari perhatian masyarakat dan
penegak hukum. Adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan
disebabkan oleh karena keengganan saksi dan Korban untuk memberikan kesaksian
kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak-tertentu.
Pentingnya pemberian perlindungan terhadap saksi dalam proses pidana
merupakan prinsip yang bersifat universal. Semua negara tanpa membedakan sistem
hukum yang dianutnya membuat regulasi tentang perlindungan saksi dalam hukum
nasionalnya, Di Indonesia diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Negara Croatia mengaturnya dalam Witness Protection Act of
Republic of Croatia. Melalui studi perbandingan hukum akan dapat diketahui adanya
persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan diantara kedua jenis sistem
hukum.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Jenis-jenis Tindakan Perlindungan
(types of protection measures) menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act Of The Republic
Of Croatia
1. Pengaturan Jenis-jenis Tindakan Perlindungan (types of protection measures)
dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Sorban
a. Latar Belakang UU No. 13 tahun 2006
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami
sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari
kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan
karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya
ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan
hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban yang
sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada
alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan,
terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap
akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.
Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses
peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan
penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan
banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian
kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Dalam
rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak
pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui
atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana
yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan
hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang
memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir
atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan
undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum
(equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi
dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan
hukum.
b. Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban
Perlindungan yang diberikan melalui UU PSK adalah perlindungan
khusus yang diberikan kepada saksi dan korban dimana bobot ancaman atau
tingkat kerusakan yang derita oleh saksi dan/ atau korban ditentukan melalui
proses penetapan oleh LPSK. Definisi mengenai perlindungan dalam UU
PSK terdapat pada Pasal 1 angka 6. Menurut UU PSK perlindungan adalah
segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan. Lebih lanjut dalam UU
PSK menyatakan bahwa perlindungan saksi dan korban adalah bertujuan
untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/ atau korban dalam
memberikan keterangan pada setiap proses peradilan.
Pasal 5 UU PSK, Pasal 6, dan Pasal 7 menjadi rujukan mengenai
hak-hak, bentuk-bentuk perlindungan, dan bentuk bantuan yang dijamin oleh
undang-undang. Dalam Pasal 5, terdapat 13 (tiga belas) hak saksi dan atau
korban yang dalam konteks pemberian perlindungan akan diberikan oleh
LPSK. Dalam Pasal 5 tersebut, UU PSK menyebutkan bahwa perlindungan
utama yang dperlukan adalah perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta benda, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan
kesaksiannya dalam proses perkara yang berjalan.. Selain Pasal 5 itu, korban
juga memiliki hak atas kompensasi dan hak atas restitusi sebagaimana diatur
pada Pasal 7 UU PSK. Menurut UU PSK, dalam Pasal 6 khusus terhadap
korban pelanggaran hak asasi manusia berhak pula atas bantuan medis dan
bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Undang-Undang No. 16 tahun 2006 memberikan perlindungan pada
Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam
lingkungan peradilan. Sedangkan Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan
pada:
1) penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2) rasa aman;
3) keadilan;
4) tidak diskriminatif; dan
5) kepastian hukum.
Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana. Menurut UU No. 16 tahun 2006 Seorang Saksi dan
Korban berhak:
1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya,
2) serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya;
3) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
4) memberikan keterangan tanpa tekanan;
5) mendapat penerjemah;
6) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
7) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
8) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
9) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
10) mendapat identitas baru;
11) mendapatkan tempat kediaman baru;
12) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;.
13) mendapat nasihat hukum; dan/atau
14) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Hak-hak tersebut diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak
pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Korban
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak
sebagaimana di atas, juga berhak untuk mendapatkan:
1) bantuan medis; dan
2) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat;
2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi
diberikan oleh pengadilan.
Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap
penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang. Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya
berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara
tersebut scdang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban dapat memberikan
kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang
berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksian tersebut. Saksi dan/atau Korban dapat pula
didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun. perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama
tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang
memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) tidak merinci
tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut. Perumus UU
kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu
bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 tahun 2006 seperti peraturan
lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UU.
Adapun tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No
13 Tahun 2006, yaitu:
1) Menerima permohonan Saksi dan/ atau Korban untuk perlindungan
2) Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/ atauKorban
3) Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/ atau Korban
4) Menghentikan program perlindungan Saksi dan/ atau Korban
5) Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak
atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana
6) Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili
korban untuk bantuan
7) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan
diberikannya bantuan kepada Saksi dan/ atau Korban
8) Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU
PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika
diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-
undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai. Ada
beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK adalah yang
seharusnya masuk di dalam UU No 13 Tahun 2006 yakni :
1) Diberikan wewenang untuk menentukan layanan-layanan apa yang akan
diberikan bagi saksi, untuk memberikan bukti dalam persidangan apapun.
LPSK sebaiknya diperbolehkan membuat peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan :
a) bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;
b) penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;
c) konsultasi bagi para saksi; dan
d) hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur untuk
menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan;
2) Melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan saksi
dan orang orang terkait, termasuk menyangkut perlindungan sementara
dan layanan-layanan lainnya.
3) Membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan
oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat
kesepakatan dengan Departemen dilingkungan Pemerintahan lainnya,
atau membuat perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk
kepentingan LPSK yang lebih luas.
4) Diberikan wewenang untuk (1) menggunakan fasilitas atau
perlengkapan-perlengkapan milik atau yang ada di bawah penguasaan
Depertemen, orang, institusi atau organisasi tersebut; (2) mendapatkan
dokumen-dokumen atau informasi lainnya yang dibutuhkan dalam
rangka perlindungan seseorang yang dilindungi; atau menyangkut
berbagai hal yang akan membuat ketentuan-ketentuan Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban ini dapat berjalan.
5) Menetapkan langkah-langkah dan cara-cara bagaimana ketentuan-
ketentuan UU PSK mesti dijalankan oleh kantor-kantor cabangnya jika
ada dan menunjuk tempat-tempat yang akan difungsikan sebagai tempat-
tempat aman. LPSK harus juga mengawasi para staf di lembaga
perlindungan saksi; dan boleh menjalankan kewenangan serta harus
melaksanakan fungsi atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan,
ditugaskan atau dibebankan kepadanya oleh atau berdasarkan Undang-
Undang.
6) Secara tertulis mendelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang
diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya kepada anggota lain di
LPSK. Anggota LPSK yang didelegasikan kewenangan, fungsi dan
tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam bagian di atas, harus
menjalankan kewenangan, melaksanakan fungsi dan tugas-tugas dibawah
pengawasan dan petunjuk dari ketua LPSK;
7) Ketua LPSK dapat sewaktu-waktu mencabut pendelegasian secara
tertulis, dan pendelegasian kewenangan, fungsi dan tugas-tugas tidak
menghalangi ketua menjalankan, melaksanakan atau mengerjakan
kewenangan, fungsi dan tugas-tugas itu sendiri;
8) Semua Departemen dilingkungan Pemerintah harus memberikan bantuan
yang sekiranya diperlukan dalam rangka menjalankan, melaksanakan
atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang diberikan,
ditugaskan atau dibebankan kepada ketua oleh atau menurut UU PSK.
9) Kewenangan lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga ini dalam kaitannya
dengan lembaga penegak hukum lainnya adalah hak memberikan
rekomendasi tentang kondisi saksi maupun korban termasuk ketika saksi
akan memberikan keterangan dalam persidangan-persidangan pidana.
10) Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data-data
tertentu dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program perlindungan
saksi
d. Syarat dan Tata Cara Pemberian Perlindungan
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
1) sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
2) tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
3) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau
Korban.
Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:
1) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada LPSK;
2) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan tersebut.
3) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari
sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dalam hal LPSK menerima permohonan, Saksi dan/atau Korban
Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti
syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. Pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban memuat:
1) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan;
2) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya;
3) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia
berada dalam perlindungan LPSK;
4) kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi
dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan
kesediaan. Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat
dihentikan berdasarkan alasan:
1) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
2) atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
3) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam
perjanjian; atau LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak
lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan.
4) penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban
harus dilakukan secara tertulis.
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada
seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang
bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK. LPSK
menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.
Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan
jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. Keputusan LPSK mengenai
pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara
tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.
Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK
dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam
melaksanakan perlindungan dan bantuan instansi terkait sesuai dengan
kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
e. Ketentuan Pidana
1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan
kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau
Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban
tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana
pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200.
000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi
dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau
Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit
Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4) Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga
Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal
6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
5) Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya
kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan
kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
6) Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak
Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan
kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
7) Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban
yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan
oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
8) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38,
Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman
pidananya ditambah dengan 1/3.
f. Ketentuan Peralihan
Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau
Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
2. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam Witness
Protection Act Of The republic Of Croatia
a. Purpose (tujuan)
section 1
This Act regulates the terms and procedures for providing protection
and assistance to endangered persons, exposed to severe danger for life,
health, corporal inviolability, freedom or property of large scale arising from
witnessing in criminal proceedings for criminal offences anticipated in this
Act. Inclusion of endangered person into the Protection scheme is voluntary.
Application of measures from this Act in connection with the endangered
minors may not be undertaken without approval of parents or trustee.
Concerning the persons with restricted capacity or legally incapacitated
persons, such approval is granted by the person authorized to represent the
endangered person in accordance with the law or by the trustee.
Penjelasan
(Undang-undang ini mengatur hubungan dan prosedur untuk
memberikan perlindungan kepada orang-orang yang terancam, terkena
bahaya jiwa, kesehatan, hukuman badaniah yang tidak dapat diganggu gugat,
kebebasan atau sifat skala besar yang timbul dari memberikan kesaksian
dalam persidangan tindak pidana untuk perbuatan-perbuatan pidana
seluruhnya diantisipasi dalam Undang-undang ini. Dimasukannya orang yang
terancam kedalam skema perlindungan merupakan disengaja. Penerapan
langkah-langkah dari Undang-undang ini dalam kaitannya dengan kaum
minoritas yang terancam tidak dapat dijalankan tanpa persetujuan orangtua
atau wali. Berkenaan dengan orang-orang yang memiliki kapasitas terbatas
atau orang yang dicabut haknya secara hukum, persetujuan diberikan oleh
orang yang diberi wewenang untuk mewakili orang yang terancam sesuai
dengan Undang-undang atau oleh walinya.)
1) Endangered person (orang yang terancam/korban):
a person whose inclusion into the Protection scheme is justified
due to possibility of life, health, corporal inviolability, freedom or property
endangering of large scale to herself or to persons related to him, because
of importance of information known to him for the criminal proceeding.
(seseorang yang pencantumannya kedalam skema perlindungan
dibenarkan Karena kemungkinan bahaya yang mengancam jiwa,
kesehatan, hukuman yang tidak dapat diganggu gugat, kebebasan atau
harta bendanya dalam skala besar terhadap dirinya atau orang-orang yang
berhubungan dengannya, karena pentingnya informasi yang ia ketahui
untuk persidangan tindak pidana).
2) Close person (orang terdekat/keluarga):
is a household member to endangered person as well as any other
member designated by him to be included into the Protection scheme.
(adalah salah seorang anggota keluarga dari orang yang terancam serta
anggota yang lain yang ditunjuk olehnya agar dimasukkannya dirinya
kedalam skema perlindungan).
3) Included person (orang yang terlibat/saksi):
a person having concluded the contract to be included into the
Protection scheme. (seseorang yang telah mengakhiri kontrak
dimasukkannya dirinya kedalam skema perlindungan).
4) Protection unit (unit perlindungan):
is a separate organizational unit within the Police Administration,
Ministry of Interior in charge of Protection scheme execution. (sebuah unit
organisasi yang berbeda didalam Administrasi Kepolisian, Kementrian
Dalam Negeri yang bertanggung jawab atas pelaksanaan skema
perlindungan).
5) Protection scheme (skema perlindungan):
consists of measures and activities executed and organized by the
Protection unit and competent body for prison administration of the
ministry competent for justice affairs in accordance with provisions of this
Act in order to protect the included persons. ( terdiri atas langkah-langkah
dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dan diatur oleh unit perlindungan
dan badan yang berwenang untuk administrasi penjara kementrian yang
berwenang atas urusan-urusan keadilan yang sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini guna melindungi orang-orang yang terlibat).
6) Board (dewan pengurus):
is a body prescribed by this Act, authorized to bring decisions on
inclusion and interruption of Protection scheme execution as well as other
activities prescribed by this Act. ( suatu badan yang ditentukan oleh
Undang-undang ini, yang berwenang untuk membawa memutuskan
pemasukan dan penghentian pelaksanaan skema perlindungan serta
kegiatan-kegiatan lain yang ditentukan oleh Undang-undang).
b. Board (dewan pengurus)
The Board consists of five members. Board is made up by a representative of
the Supreme Court of the Republic of Croatia out of the Supreme Court
judges, State Attorney General's Office of the Republic of Croatia out of
deputies of the State Attorney General, Ministry of Interior – Police
Directorate and the Head of Protection unit.
Members of the Board have their deputies.
Members of the Board and their deputies are nominated and acquitted by the
head of a body wherefrom such a Board member, i.e. deputy Board member
originates from. The Head of Protection Unit is a Board member by his
function, while his deputy is nominated, upon his proposal, by the Minister of
Interior.
(Dewan pengurus terdiri atas 5 orang anggota. Dewan pengurus terbentuk
dari seorang perwakilan dari Mahkamah Agung Republik Kroasia diluar para
hakim Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung Republik Kroasia diluar wakil
Jaksa Agung, Kementerian Dalam Negeri – Direktorat Kepolisian dan Kepala
Unit Perlindungan.
Para anggota Dewan Pengurus memiliki wakil-wakilnya.
Para anggota Dewan Pengurus dan wakil-wakilnya ditunjuk dan dibebaskan
oleh kepala suatu badan darimana anggota dewan pengurus tersebut, yaitu
wakil anggota dewan pengurus, berasal. Kepala Unit Perlindungan adalah
salah seorang anggota dewan pengurus dengan fungsinya, sedangkan
wakilnya ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, berdasarkan usulannya.)
1) Members of the Board, except the Head of Protection Unit, and their
deputies are nominated for the period of five years and may be re-
nominated.
Exceptionally after the first election, elapsing the three year period, re-
election of the
Board members and their deputies from the Supreme Court and State
Attorney's Office will be made.
(Para anggota Dewan Pengurus, kecuali Kepala Unit Perlindungan, dan
para wakilnya diangkat untuk masa jabatan lima tahun dan dapat
diangkat kembali.
Kecuali setelah pemilihan pertama, pemilihan kembali para anggota
dewan pengurus dan wakil-wakilnya dari Mahkamah Agung dan
Kejaksaan Agung akan dilakukan setelah masa jabatan tiga tahun.)
2) Membership to the Board will terminate: (Keanggotaan Badan
Pengurus akan berakhir )
a) By termination of service in the body wherefrom the member or
deputy member was nominated. (Dengan berakhirnya pengabdian
pada badan darimana anggota atau wakil anggota tersebut dipilih.)
b) With good reasons upon request of the member or a deputy member.
(Dengan alasan-alasan yang baik berdasarkan permintaan anggota
atau anggota wakil.)
c) Due to breach of the Board operation regulations. (Karena
pelanggaran terhadap undang-undang operasional Dewan Pengurus)
Decision on termination of membership in the Board is brought by the
Head of the body which nominated the board member or deputy
member ex officio for the reasons mentioned in paragraph 1 item 1 of
this Article, upon proposal of the member or deputy Board member
for the reasons mentioned in paragraph 1, item 2 of this Article and
upon proposal of the Board for the reasons mentioned in paragraph 1,
item 3 of this Article.
(Keputusan mengenai penghentian keanggotaan dalam Dewan
Pengurus dibuat oleh Kepala Dewan Pengurus yang menunjuk
anggota atau wakil anggota dewan pengurus ex officio karena alasan-
alasan yang disebutkan pada alinea 1 nomor satu pasal ini,
berdasarkan usulan anggota atau wakil anggota dewan pengurus
karena alasan-alasan yang disebutkan pada alinea 1, nomor 2 pasal ini
dan berdasarkan usulan Dewan Pengurus karena alasan-alasan pada
alinea 1, soal nomor 3 Pasal ini.)
c. President of the Board is in charge of the Board. (Presiden Dewan
Pengurus bertanggung jawab atas Dewan Pengurus)
By his function the Board President is a Board member coming as a judge
from the Supreme Court of the Republic of Croatia. In case of his disability,
his deputy will be replacing him. Board operations are secret. The Board
adopts a rulebook on its operations.
(Dengan fungsi ini, Presiden Dewan Pengurus adalah seorang anggota Dewan
Pengurus yang datang sebagai seorang hakim dari Mahkamah Agung
Republik Kroasia. Apabila tidak mampu, wakilnya akan menggantikan
dirinya. Operasi dewan pengurus adalah rahasia. Dewan pengurus
menggunakan sebuah kitab aturan mengenai operasinya.)
d. The Board brings decisions on its sessions. (Dewan pengurus membuat
keputusan-keputusan dalam sidang-sidangnya)
The Board can bring decision only providing at least four members or their
deputies were present at the session. Consent of four Board members is
mandatory to bring a decision on application and termination of measures,
while the other decisions are brought by majority of votes.
(Dewan pengurus dapat membuat keputusan hanya dengan setidaknya
menghadirkan empat orang anggota atau wakilnya dalam sidang. Persetujuan
keempat anggota Dewan Pengurus adalah wajib untuk membuat keputusan
tentang penerapan dan penghentian langkah-langkah, sedangkan keputusan
yang lain dibuat dengan suara mayoritas.)
e. Procedure and method of approach (Prosedur dan metode pendekatan)
Upon proposal of the competent state attorney or endangered person, State
Attorney General may submit request to the Board to include the endangered
person into the Protection scheme, in case that the free testimony of a witness
in a criminal proceeding could not be assured in any other way. In case that
even after the lapse of the Scheme period designated in the contract a need
for protection of included person continues to exist, the State Attorney
General will submit request to the Board for continuation of the Scheme
period.
Simultaneously to the submission of request from Article 9, paragraph 1 of
this Act, the State Attorney General will inform the Protection Unit in order
to undertake urgent measures. Before undertaking urgent measures, the Unit
Head will obtain a written consent of the endangered person. The Unit Head
will immediately inform the Board President and the State Attorney General
about the actions undertaken.
(Berdasarkan usulan dari pengacara negara yang berwenang atau orang yang
terancam, Ketua Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada Dewan
Pengurus agar memasukkan orang yang terancam kedalam skema
Perlindungan, apabila kesaksian bebas dari seorang saksi dalam sidang tindak
pidana tidak dapat dijamin dengan cara yang lain. Apabila bahkan setelah
berlalunya periode skema yang ditetapkan didalam sebuah kontrak, sebuah
kebutuhan akan perlindungan terhadap orang yang terlibat terus dilakukan,
Ketua Jaksa Agung akan mengajukan permohonan kepada Dewan Pengurus
atas kelanjutan periode skema tersebut.
Bersamaan dengan pengajuan permohonan dari Pasal 9, alinea 1 Undang-
Undang ini, Ketua Jaksa Agung akan memberitahu Unit Perlindungan agar
melakukan langkah-langkah yang mendesak. Sebelum melakukan langkah-
langkah yang mendesak, Kepala Unit akan memproleh sebuah persetujuan
tertulis dari orang yang terancam. Kepala Unit akan segera memberitahu
Presiden Dewan Pengurus dan Ketua Jaksa Agung tentang langkah-langkah
yang dilakukan.)
f. Proposal of the competent state attorney to the State Attorney General must
include (Usulan jaksa agung yang kepada Ketua Jaksa Agung harus
meliputi) :
1) data about the person proposed for inclusion into the protection scheme,
(data tentang orang yang diusulkan untuk dimasukkan kedalam skema
perlindungan)
2) description of criminal offence and evaluation of existing evidences,
(penjelasan tentang tindak kejahatan dan evaluasi tentang bukti-bukti yang
ada)
3) contents of possible testimony with evaluation of its importance for the
proceeding,
(kemungkinan isi kesaksian dengan evaluasi tentang pentingnya kesaksian
tersebut bagi siding)
4) description and evaluation of danger threatening the endangered person.
(penjelasan dan evaluasi tentang bahaya yang mengancam orang yang
terancam.)
In case the endangered person submitted proposal for submission of request
directly to the State Attorney General, before bringing his decision the State
Attorney General will request the competent state attorney to submit to him
the data from paragraph 1 of this
(Apabila orang yang terancam mengajukan proposal untuk pengajuan
permohonan secara langsung kepada Ketua Jaksa Agung, sebelum membuat
keputusan, maka Ketua Jaksa Agung akan memohon jaksa agung yang
berwenang agar mengumpulkan kepadanya data yang disebutkan pada alinea
1 Pasal ini.)
The proceeding judge submits proposal for inclusion of endangered person
into the Protection scheme to the State Attorney General. Before submission
of request to the Board,the State Attorney General will obtain the data from
Article 11, paragraph 1 of this Act.
(Jaksa sidang mengajukan proposal untuk memasukkan orang yang terancam
kedalam skema Perlindungan kepada Ketua Jaksa Agung. Sebelum pengajuan
permohonan kepada Dewan Pengurus, Ketua Jaksa Agung akan memperoleh
data dari Pasal 11, alinea 1 Undang-Undang ini.)
Upon receipt of the request, President of the Board will convene the Board
session immediately, but in any case within three days at latest. In case the
implementation of urgent measures is under way, they may last until the
Board decision.
(Berdasarkan kwitansi permohonan, Presiden Dewan Pengurus akan
memanggil rapat sesi Dewan Pengurus dengan segera, tetapi kadang-kadang
selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari. Apabila pelaksanaan langkah-
langkah yang mendesak sedang dilakukan, hal itu mungkin berakhir hingga
keputusan Dewan Pengurus.)
After consideration, the Board will bring decision on inclusion of the person
into the protection scheme and inform the State Attorney General and
Protection Unit about such decision.
(Setelah mempertimbangkan, Dewan Pengurus akan membuat keputusan
tentang memasukkan orang tersebut kedalam skema perlindungan dan
memberitahu Ketua Jaksa Agung dan Unit Perlindungan tentang keputusan-
keputusan tersebut.)
4 Types of protection measures (Jenis-jenis langkah perlindungan):
Protection measures for endangered persons are as follows (Langkah-
langkah perlindungan bagi orang-orang yang terancam adalah sebagai
berikut) :
a) physical protection (perlindungan fisik)
Physical protection from Article 15, paragraph 1, item 1 of this Act is an
immediate providing of protection in order to prevent endangering of life,
health, corporal inviolability, freedom or property of endangered person.
(Perlindungan fisik dari Pasal 15 alinea 1, nomor 1 Undang-Undang ini
merupakan sebuah penyediaan perlindungan yang segera guna mencegah
bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, kesehatan, hukuman yang
tidak dapat diganggu gugat, kebebasan atau harta benda orang yang
terancam.)
b) relocation (relokasi)
Relocation of endangered person from Article 15, paragraph 1, item 2 of
this Act is a temporary or permanent resettling from the place of residence
or domicile of endangered person to another location designated by the
Protection Unit. Relocation is possible on the territory of Republic of
Croatia or outside the territory of Republic of Croatia, in accordance with
international treaties. Regarding the endangered persons – prisoners on
remand or prisoners, the relocation measure is applied within the prison
system of the Republic of Croatia.
(Relokasi orang yang terancam dari Pasal 15, alinea 1, nomor 2 Undang-
Undang ini merupakan pemindahan sementara atau permanent dari tempat
tinggal atau domisili orang yang terancam ke tempat lain yang ditunjuk
oleh Unit Perlindungan. Relokasi memungkinkan untuk dilakukan di
wilayah Republik Kroasia atau diluar wilayah Republik Kroasia, sesuai
dengan perjanjian internasional. Mengenai orang-orang yang terancam –
nara pidana, langkah relokasi berlaku didalam system penjara Republik
Kroasia.)
c) measures of disguising identity and ownership (langkah menyamarkan
identitas dan kepemilikan)
Measure of disguising identity comprises the production and use of
personal documents with temporary changed personal data, as well as
production and use of title deeds of endangered persons. Measures of
disguising identity and ownership do not have as consequence the
permanent change of personal data and data about ownership in the
appropriate records.
(Langkah-langkah untuk menyamarkan identitas terdiri atas pembuatan
dan penggunaan dokumen pribadi dengan data pribadi yang diubah
sementara, serta pembuatan dan penggunaan ijazah orang-orang yang
terancam. Langkah-langkah untuk menyamarkan identitas dan
kepemilikan, sebagai akibatnya, tidak memiliki perubahan data pribadi
permanent dan data tentang kepemilikan dalam catatan yang tepat.
d) change of identity (perubahan identitas)
Change of identity from Article 15, paragraph 1, item 4 of this Act is a
change of parts or all personal data of endangered person. Approval of
the Board is necessary in order to apply this measure. Acquisition of new
identity has no impact on status and other rights and obligations of
endangered person. After change of identity, the Unit allows and
supervises the approach to real identity
(Perubahan identitas dari Pasal 15, alinea 1, soal 4 Undang-Undang ini
merupakan suatu perubahan bagian-bagian atau semua data pribadi orang
yang terancam. Pengesahan dari Dewan Pengurus diperlukan untuk
menerapkan langkah ini. Pemerolehan identitas baru tidak memiliki
dampak terhadap status dan hak-hak lain dan kewajiban orang yang
terancam. Setelah perubahan identitas, Unit ini membiarkan dan
mengawasi pendekatan terhadap identitas yang sesungguhnya.)
g. Application of measure disguising and changing of identity (Penerapan
langkah untuk menyamarkan dan mengubah identitas)
Upon request of the Protection Unit, the administrative bodies and legal
entities keeping records on civil status, data and registers about personal
data, status and other rightsof the citizens, as well as other records
wherefrom the data about identity and residence of a person could be
determined, will refuse to supply such data to any body or person. In case of
a quest for such data, the competent body or legal entity will inform the Unit
about it without delay. The data from paragraph 1 of this Article could be
supplied only upon approval of the Protection Unit.
Production and use of documents utilized in accordance with this Act, in
order to realize the measures disguising and changing of identity, is not a
criminal offence.
(Atas permintaan Unit Perlindungan, badan-badan administrasi dan badan
hukum yang menyimpan status perdata, data dan daftar tentang data pribadi,
status dan hak-hak warga negara lainnya serta catatan lain yang darinya data
tentang identitas dan tempat tinggal seseorang dapat ditentukan, akan
menolak untuk memberikan data kepada suatu badan atau seseorang. Dalam
pencarian data semacam itu, badan yang berwenang atau badan hukum akan
memberitahukan kepada Unit tentang hal tersebut tanpa menunda-nunda.
Data dari alinea 1 Pasal ini dapat diberikan hanya atas persetujuan Unit
Perlindungan.
Pembuatan dan penggunaan dokumen yang digunakan sesuai dengan
Undang-Undang ini, guna mewujudkan langkah-langkah untuk menyamarkan
dan mengganti identitas, bukan merupakan sebuah tindakan kejahatan.)
h. Protection Unit ( Unit Perlindungan)
Protection Unit carries out and organizes the Protection scheme, carries out
and organizes urgent measures and performs all other duties connected to
protection of endangered persons, unless this Act provides to the contrary.
Protection Unit is responsible for implementation of the Protection scheme.
Protection Unit decides independently on types of measures to be
implemented, save for change of identity measure (Article 15, paragraph 1,
item 4 of this Act), while in connection with the persons deprived of liberty in
cooperation with the competent body responsible for jail system management
at the ministry competent for justice affai In case the measures from Article
15, paragraph 1, item 1-4 of this Act cannot be carried out otherwise, in
performing of activities from its competence the Unit may disguise the real
identity of its employees as well as disguise ownership on articles used to
perform certain measures.
(Unit Perlindungan melakukan daan mengatur skema Perlindungan,
melakukan dan mengatur langkah-langkah yang mendesak dan menjalankan
semua kewajiban lainnya yang terkait dengan perlindungan orang yang
terancam, kecuali jika Undang-undang ini menyatakan sebaliknya. Unit
Perlindungan bertanggung jawab atas pelaksanaan skema Perlindungan. Unit
Perlindungan secara mandiri memutuskan tentang jenis-jenis langkah yang
harus dilaksanakan, aman untuk langkah penggantian identitas (Pasal 15,
alinea 1, nomor 4 Undang-undang ini), sementara dalam kaitannya dengan
orang yang dicabut hak kebebasannya dalam kerjasama dengan badan
berwenang yang bertanggung jawab atas penanganan system penjara di
kementerian yang berwenang dalam masalah keadilan. Apabila langkah-
langkah dari Pasal 15, alinea 1, nomor 1-4 Undang-Undang ini tidak dapat
dilakukan sebaliknya, saat melakukan kegiatan dari kemampuannya Unit
dapat menyamarkan identitas karyawan yang sesungguhnya serta
menyamarkan kepemimilikan atas pasal-pasal yang digunakan untuk
melakukan langkah-langkah tertentu.)
i. Provision of assistance to a person included into the scheme (Ketentuan
mengenai bantuan bagi seseorang yang dimasukkan kedalam skema)
The Unit will provide necessary psychical, social and legal assistance to the
included person. In order to assist the inclusion of included person into the
new environment, the Unit will assist such a person providing economic and
social support until the moment of his independence. Economic and social
support provided to the endangered person may not be higher than the sum
necessary to cover costs of living and inclusion into the new existential
environment and may not represent the basis for acquisition of wealth.
(Unit ini akan memberikan bantuan psikis, sosial, dan hukum kepada orang
yang terlibat. Untuk membantu memasukkan orang yang terlibat kedalam
lingkungan baru, Unit ini akan membantu seseorang yang memberikan
dukungan ekonomi dan sosial hingga ia bias mandiri. Dukungan ekonomi dan
sosial yang diberikan kepada orang yang terancam mungkin tidak lebih tinggi
daripada jumlah yang diperlukan untuk menutup biaya hidup dan
memasukkan kedalam lingkungan eksistensial yang baru dan tidak dapat
menggambarkan dasar bagi pemerolehan kesehatan.)
j. Accession to the program and the contract (Pencapaian program dan
kontrak)
In the course of implementation of urgent measures, the Protection Unit will
request from the endangered person to file the questionnaire on personal
data, property conditions, obligations, cycle of close persons as well as on
other data in accordance with the form enclosed to this Act, and to submit to
medical examination
(Dalam proses pelaksanaan langkah-langkah yang mendesak, Unit
Perlindungan akan meminta orang yang terancam agar mengajukan angket
mengenai data pribadi, kondisi harta benda, kewajiban, siklus orang dekat
serta data lain sesuai dengan formulir yang terlampir dalam Undang-Undang
ini, dan untuk mengajukan pemeriksaan kesehatan.)
The Contract is made in a single copy, which is kept with the Protection Unit
and during the Protection scheme period is accessible only to the Board. The
Contract must contain;
(Kontrak dibuat dalam satu salinan, yang disimpan oleh Unit Perlindungan
dan selama periode skema Perlindungan dapat diakses oleh Dewan Pengurus.
Kontrak harus berisi) :
1) the Parties to the Contract
( pihak-pihak yang terlibat dalam Kontrak)
2) Statement of endangered person about voluntary accession to the
Protection scheme as well as his statement that the data from the
questionnaire are true and that in case oftheir falseness the Contract could
be rescinded
(Pernyataan orang yang terancam tentang akses sengaja terhadap skema
Perlindungan serta pernyataannya bahwa data dari angket tersebut benar
dan bahwa pada kasus kesalahan mereka, Kontrak dapat dibatalkan,
3) Obligations of endangered person ( Kewajiban orang yang terancam) :
- to give full testimony in exactly specified procedure or procedures
which is substantially in accordance with contents of the statement
used as basis for accession into the program (Article 11, paragraph 1,
item 3 of this Act)
(memberikan kesaksian yang lengkap dalam prosedur atau prosedur-
prosedur yang telah ditetapkan secara tepat yang cukup sesuai dengan
isi pernyataan yang digunakan sebagai dasar untuk mengakses
program (Pasal 11, alinea 1, nomor 3 Undang-undang ini).
- to conform to instructions of the Unit, which are the precondition for
successful realization of security and protection of endangered person
(memenuhi perintah Unit, yang merupakan prasyarat bagi kesuksesan
terwujudnya keamanan dan perlindungan bagi orang yang terancam)
- to agree without specific court decision, for the purpose of protection,
to surveillance and technical recording of long-range communication
means, surveillance and technical recording of the premises where he
resides and to the secret monitoring andrecording
(menyetujui tanpa keputusan pengadilan tertentu, dengan tujuan
perlindungan, untuk pengawasan dan catatan teknis alat komunikasi
jangka panjang, pengawasan dan catatan teknis tentang dasar
pemikiran dimana ia berada dan dengan pengawasan dan perekaman
rahasia;
- to achieve financial independence until the expiration of the
agreement
(untuk mencapai kemandirian keuangan hingga berakhirnya
perjanjian)
- to inform the Unit without delay about any change of circumstances
having impact on realization of the protection scheme target
(menginformasikan Unit tanpa penundaan tentang perubahan situasi
yang memiliki dampak terhadap realisasi sasaran skema perlindungan,
4) Obligations to the included person( Kewajiban terhadap orang yang
terlibat)
- to realize contracted protection measures with only essential
restrictions to his personal freedom and rights
(mewujudkan langkah-langkah perlindungan yang tercantum dalam
kontrak hanya dengan larangan-larangan yang penting bagi kebebasan
dan hak-hak pribadinya)
- to provide to him the necessary psychological, social and legal
assistance during the Protection scheme
(Memberinya bantuan psikologis, sosial dan hukum dalam skema
Perlindungan)
- time span and scope of essential economic assistance
(Jangkauan waktu dan cakupan bantuan ekonomi yang penting)
5) Duration of Scheme implementation and reasons for cancellation of the
contract (Lamanya waktu pelaksanaan skema dan alasan-alasan
pembatalan kontrak)
6) a clause that the contract was made in a single copy, which is kept with
the Protection Unit, with the statement of endangered person to have
understood the contents of the contract and to have been informed about
the mutual rights and obligations
(Sebuah klausa bahwa kontrak dibuat dalam satu salinan, yang disimpan
oleh Unit Perlindungan, dengan pernyataan orang yang teranca, untuk
memahami isi kontrak dan untuk diberitahu tentang hak dan kewajiban
bersama)
7) Date and signature of the parties
(Tanggal dan tanda tangan kedua pihak-pihak yang terlibat)
k. Termination and interruption of the Protection scheme (Penghentian dan
Terhentinya Skema Perlindungan)
The Protection scheme of included person will terminate (Skema
perlindungan umtuk orang yang terlibat akan berakhir) :
1) At expiry of the contract
(pada waktu berakhirnya kontrak)
2) By death of included person
(karena kematian orang yang terlibat)
3) In case the included person, its trustee or legal representative gives up the
Protection
(apabila orang yang terlibat, wakil atau perwakilan hukum menyerahkan
perlindungan)
4) In case the Board brings decision on interruption of the Protection scheme
(apabila dewan pengurus membuat keputusan mengenai terhentinya skema
Perlindungan)
l. International cooperation (Kerjasama Internasional)
International cooperation is realized on basis of assumed rights and
obligations from international treaties signed by the Republic of Croatia.
International treaties may provide for relocation of endangered person
outside the territory of the Republic of Croatia or reception to the territory of
the Republic of Croatia.
(Kerjasama internasional diwujudkan berdasarkan hak dan kewajiban yang
diemban dari perjanjian-perjanjian internasional yang ditandatangani oleh
Republik Kroasia. Perjanjian-perjanjian internasional dapat menyediakan
relokasi bagi orang yang terancam diluar wilayah Republik Kroasia atau
penerimaan bagi wilayah Republik Kroasia.)
m. Records and data protection (Catatan dan perlindungan data)
During the Protection scheme implementation the Protection Unit keeps the
following Records (Selama pelaksanaan skema Perlindungan, Unit
Perlindungan menyimpan catatan-catatan berikut ini) :
1) On the personal data of the person which entered the Scheme, his
residence and information related to the change of identity as well as on
all other data arisen in the course of implementation of this Act,
(mengenai data pribadi orang yang dimasukkan dalam skema, tempat
tinggalnya dan informasi yang terkait dengan perubahan identitas serta
data semua data lain yang timbul selama pelaksanaan Undang-Undang
ini),
2) On the data from the questionnaire,
(mengenai data dari angket)
3) On concluded contracts,
(mengenai kontrak yang dihentikan)
4) On endangered persons included into the scheme on basis of international
treaties,
(mengenai orang yang terancam yang dimasukkan kedalam skema
berdasarkan perjanjian internasional)
n. Financing (Pembiayaan) :
The funds for implementation of this Act are secured as a special separate
budget item in the Budget of the Republic of Croatia. The Unit Head manages
the funds. The Unit Head is authorized to enter the payment legal affairs in
order to implement the measures from this Act. He reports semi-annually to
the Minister of Interior and to the Board about the utilization of funds.
Members of the Board and their deputies are entitled to a separate
remuneration for their work. The amount of remuneration will be determined
by the Government of the Republic of Croatia.
(Dana untuk pelaksanaan Undang-Undang ini diperoleh sebagai anggaran
terpisah khusus dalam Anggaran Negara Republik Kroasia. Kepala Unit
mengelola dana tersebut. Kepala Unit diberi wewenang untuk memasukkan
urusan hukum pembayaran guna melaksanakan langkah-langkah dari
Undang-Undang ini. Ia setiap setengah tahun sekali melapor kepada Menteri
Dalam Negeri dan kepada Dewan Pengurus tentang pemanfaatan Dana. Para
anggota Dewan dan perwakilan mereka berhak mendapatkan upah yang
terpisah atas pekerjaan mereka. Jumlah upah itu akan ditentukan oleh
Pemerintah Negara Republik Kroasia)
o. Transitional and closing provision (Ketentuan transisi dan penutupan)
Within the period of 30 days after this Act has become effective, the Ministry
of Interior will bring the decision on establishment of the Protection Unit,
nominate its Head and perform the necessary changes of regulations on
internal order. The Minister of Interior will bring the by-law regulations on
the way of protection scheme implementation in accordance with this Act
within the period of 45 days after this Act has become effective.
(Dalam waktu 30 hari sesudah undang-undang ini berlaku, Kementerian
Dalam Negeri akan membuat keputusan tentang pembentukan Unit
Perlindungan, menunjuk Kepalanya dan melakukan perubahan-perubahan
peraturan yang diperlukan atas perintah internal. Menteri Dalam Negeri akan
membawa peraturan-peraturan menurut hukum dalam cara pelaksanaan
skema perlindungan sesuai dengan Undang-Undang ini dalam waktu 45 hari
setelah Undang-Undang ini berlaku).
Persamaan dan perbedaan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of
protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban dengan Witness Protection Act of theRrepublic of Croatia
1. Persamaan dan Perbedaan:
a. Persamaan:
No Persamaan Indonesia Kroasia
1. Segi definisi korban,
saksi, LPSK,
ancaman, keluarga,
perlindungan, unit
perlindungan,
mempunyai
kesamaan definisi
Korban: seseorang
yang mengalami
penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian
ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu
tindak pidana
Saksi: orang yang
dapat memberikan
keterangan guna
kepentingan
penyelidikan,
penyidikan, penuntutan,
Endangered
person (orang yang
terancam/korban): a
person whose inclusion
into the Protection
scheme is justified due
to possibility of life,
health, corporal
inviolability, freedom or
property endangering
of large scale to herself
or to persons related to
him, because of
dan pemeriksaan di
sidang pengadilan
tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri
LPSK : lembaga
yang bertugas dan
berwenang untuk
memberikan
perlindungan dan hak-
hak lain kepada Saksi
dan/atau Korban
sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang
itu.
Ancaman: segala
bentuk perbuatan yang
menimbulkan akibat,
baik langsung
maupun tidak langsung,
yang mengakibatkan
Saksi dan/atau Korban
merasa takut
dan/atau dipaksa untuk
melakukan atau tidak
melakukan sesuatu hal
yang berkenaan
dengan pemberian
kesaksiannya dalam suatu
proses peradilan pidana.
importance of
information known to
him for the criminal
proceeding.( seseorang
yang pencantumannya
kedalam skema
perlindungan
dibenarkan Karena
kemungkinan bahaya
yang mengancam jiwa,
kesehatan, hukuman
yang tidak dapat
diganggu gugat,
kebebasan atau harta
bendanya dalam skala
besar terhadap dirinya
atau orang-orang yang
berhubungan
dengannya, karena
pentingnya informasi
yang ia ketahui untuk
persidangan tindak
pidana).
Included person
( orang yang
terlibat/saksi): a person
having concluded the
contract to be included
into the Protection
scheme. ( seseorang
yang telah mengakhiri
Keluarga: orang
yang mempunyai
hubungan darah dalam
garis lurus ke atas atau
ke bawah dan garis
menyamping sampai
derajat ketiga, atau yang
mempunyai
hubungan perkawinan,
atau orang yang menjadi
tanggungan Saksi
dan/atau Korban
Perlindungan:
segala upaya pemenuhan
hak dan pemberian
bantuan untuk
memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau
Korban yang wajib
dilaksanakan oleh
LPSK atau lembaga
lainnya sesuai dengan
ketentuan Undang-
Undang ini.
kontrak dimasukkannya
dirinya kedalam skema
perlindungan).
Protection unit (
unit perlindungan):
is a separate
organizational unit
within the Police
Administration, Ministry
of Interior in charge of
Protection scheme
execution. ( sebuah unit
organisasi yang berbeda
didalam Administrasi
Kepolisian, Kementrian
Dalam Negeri yang
bertanggung jawab atas
pelaksanaan skema
perlindungan
Board ( dewan
pengurus): is a body
prescribed by this Act,
authorized to bring
decisions on inclusion
and interruption of
Protection scheme
execution as well as
other activities
prescribed by this Act. (
suatu badan yang
ditentukan oleh Undang-
undang ini, yang
berwenang untuk
membawa memutuskan
pemasukan dan
penghentian pelaksanaan
skema perlindungan
serta kegiatan-kegiatan
lain yang ditentukan
oleh Undang-undang).
Close person
(orang
terdekat/keluarga): is a
household member to
endangered person as
well as any other
member designated by
him to be included into
the Protection scheme. (
adalah salah seorang
anggota keluarga dari
orang yang terancam
serta anggota yang lain
yang ditunjuk olehnya
agar dimasukkannya
dirinya kedalam skema
perlindungan).
Protection
scheme ( skema
perlindungan):
consists of measures
and activities executed
and organized by the
Protection unit and
competent body for
prison administration of
the ministry competent
for justice affairs in
accordance with
provisions of this Act in
order to protect the
included persons. (
terdiri atas langkah-
langkah dan kegiatan-
kegiatan yang
dilaksanakan dan diatur
oleh unit perlindungan
dan badan yang
berwenang untuk
administrasi penjara
kementrian yang
berwenang atas urusan-
urusan keadilan yang
sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini
guna melindungi orang-
orang yang terlibat).
2. Lembaga khusus
yang menangani
perlindungan saksi
dan korban.
LPSK (Lembaga
Perlindungan Saksi dan
Korban)
Protection Unit (unit
perlindungan) sebagai
bentuk perlindungan
bagi saksi dan korban.
3. Jenis perlindungan
saksi dan korban
dalam undang-
undang
perlindungan fisik,
relokasi, penyamaran
identitas dan
kepemilikan, serta
perubahan identitas.
perlindungan fisik,
relokasi, penyamaran
identitas dan
kepemilikan, serta
perubahan identitas.
4. Pembiayaan anggaran khusus untuk
proses perlindungan bagi
saksi dan korban, dimana
di Indonesia berasal dari
anggaran pendapatan
dan belanja negara
Anggaran untuk
lembaga perlindungan
saksi dan korban di
Croasia berasal dari
anggaran Negara
republic croasia.
5. Masa jabatan
keanggotaan
lembaga
perlindungan saksi
dan korban
5 tahun 5 tahun
Tabel 1. Persamaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of
the Republic of Croatia
b. Perbedaan:
No Indikator Pembeda Indonesia Kroasia
1. Sistem hukum Civil Law: sistem hukum
dengan ciri-ciri adanya
berbagai ketentuan-
ketentuan hukum
dikodifikasi (dihimpun)
secara sistematis yang
akan ditafsirkan lebih
lanjut oleh hakim dalam
penerapannya
Common law: sistem
hukum yang
didasarkan pada
yurisprudensi yaitu
keputusan-keputusan
hakim terdahulu yang
kemudian menjadi
dasar keputusan
hakim-hakim
selanjutnya
2. Unsur kenggotaan
lembaga perlindungan
saksi dan korban
7 (tujuh) orang yang
berasal dari unsur
profesional yang
mempunyai pengalaman
di bidang pemajuan,
pemenuhan, perlindungan,
yaitu penegakan hukum
dan hak asasi manusia,
kepolisian, kejaksaan,
Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia,
akademisi, advokat, atau
lembaga swadaya
masyarakat
5 (lima) orang
anggota yaitu seorang
perwakilan dari
Mahkamah Agung
Republik Kroasia
diluar para hakim
Mahkamah Agung,
Kejaksaan Agung
Republik Kroasia
diluar wakil Jaksa
Agung, Kementerian
Dalam Negeri,
Direktorat Kepolisian
dan Kepala Unit
Perlindungan.
3. Prosedur pemberian
perlindungan
Saksi dan/atau Korban
yang bersangkutan, baik
atas inisiatif sendiri
maupun ataspermintaan
Di Croasia:
usulan dari
pengacara negara
yang berwenang atau
pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan
secara tertulis kepada
LPSK;
LPSK segera melakukan
pemeriksaan terhadap
permohonan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
Keputusan LPSK
diberikan secara tertulis
paling lambat 7 (tujuh)
hari sejak
permohonanperlindungan
diajukan.
orang yang terancam,
Ketua Jaksa Agung
dapat mengajukan
permohonan kepada
Dewan Pengurus agar
memasukkan orang
yang terancam
kedalam skema
Perlindungan,
Atau:
orang yang
terancam mengajukan
proposal untuk
pengajuan
permohonan secara
langsung kepada
Ketua Jaksa Agung.
4. Asas yang mendasari
perlindungan saksi dan
korban
penghargaan atas harkat
dan martabat manusia,
rasa aman, keadilan, tidak
diskriminatif, dan
kepastian hukum
tidak disebutkan asas
yang mendasari
konsep perlindungan
bagi saksi dan korban
5.
6.
Ketentuan Pidana
Penghentian
Perlindungan
Terdapat dalam isi UU
No.13 Tahun 2006
tenteng perlindungan
saksi dan korban
Saksi dan/atau
Korban meminta agar
Dalam Witness
Protection Act of the
Republic of Croatia
tidak dicantumkan
ketentuan pidana
At expiry of
the contract
perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal
permohonan diajukan atas
inisiatif sendiri;
Atas permintaan
pejabat yang berwenang
dalam hal permintaan
perlindungan terhadap
Saksi dan/atau Korban
berdasarkan atas
permintaan pejabat yang
bersangkutan;
Saksi dan/atau
Korban melanggar
ketentuan sebagaimana
tertulis dalam perjanjian;
atau LPSK berpendapat
bahwa Saksi dan/atau
Korban tidak lagi
memerlukan perlindungan
berdasarkan bukti-bukti
yang meyakinkan.
Penghentian
perlindungan keamanan
seorang Saksi dan/atau
Korban harus dilakukan
secara tertulis.
(pada waktu
berakhirnya kontrak)
By death of
included person
(karena kematian
orang yang terlibat)
In case the
included person, its
trustee or legal
representative gives
up the
Protection
(apabila orang yang
terlibat, wakil atau
perwakilan hukum
menyerahkan
perlindungan)
In case the
Board brings
decision on
interruption of the
Protection scheme
(apabila dewan
pengurus membuat
keputusan mengenai
terhentinya skema
Perlindungan)
Tabel 2. Perbedaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of
the Republic of Croatia
B. Kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types
of protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia
1. Kelebihan dan Kekurangan:
No Negara Kelebihan kekurangan
1. Indonesia Indonesia terdapat ketentuan
pidana yang jelas dalam UU
Perlindungan Saksi dan
Korban No.13 Tahun 2006
Indonesia mempunyai asas-
asas yang mendasari proses
perlindungan saksi dan korban
Tidak disebutkan adanya
kerjasama internasional
dengan negara lain dalam
hal perlindungan bagi saksi
dan korban
2. Kroasia Adanya kerjasama internasional
yang dijalin dengan negara-
negara lain dalam proses
perlindungan terhadap saksi dan
korban
Tidak terdapat ketentuan
pidana dalam Witnes
Protection Act of the
Republic of Croatia
Tidak terdapat asas-asas
yang mendasari
perlindungan terhadap
saksi dan korban
Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Undang-undang No.13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection
Act of the Republic of Croatia
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis, yaitu
(1) apakah persamaan dan perbedaan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan
(types of protection measures) UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia, (2) apakah
kelemahan dan kelebihan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of
protection measures) UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok
diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures) UU
No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness
Protection Act of the Republic of Croatia memiliki persamaan dan perbedaan,
yaitu:
a. Persamaan :
1) Baik dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang jenis-jenis tindakan
perlindungan saksi dan korban maupun Witness Protection Act of the
Republic of Croatia, terdapat kesamaan definisi tentang saksi, korban, unit
perlindungan, serta tujuan perlindungan.
2) Jenis perlindungan bagi saksi dan korban yang berlaku baik di Indonesia
maupun di Croasia yaitu meliputi: perlindungan fisik, relokasi,
penyamaran identitas dan kepemilikan, serta perubahan identitas.
3) Indonesia maupun Croasia mempunyai lembaga khusus yang
bertanggungjawab menangani perlindungan terhadap saksi dan korban.
Dimana di Indonesia dibentuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban), sedangkan Croasia dibentuk berupa Protection Unit (unit
perlindungan) sebagai bentuk perlindungan bagi saksi dan korban
4) Serta mempunyai kesamaan dalam hal pembiayaan, yang mana di
Indonesia sumber pembiayaan berasal dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) sedangkan Croasia berasal dari anggaran negara
republic croasia.
5) Masa jabatan keanggotaan lembaga perlindungan masing-masing negara
baik Indonesia maupun Kroasia adalah 5 (lima) tahun.
b. Perbedaan :
1) Dalam sistem hukum, Indonesia menganut sistem hukum Civil Law, yaitu
suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan
hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan
lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.Sedangkan Croasia menganut
sistem hukum Common law: sistem hukum yang didasarkan pada
yurisprudensi yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian
menjadi dasar keputusan hakim-hakim selanjutnya.
2) Dilihat dari segi keanggotaan lembaga yang bertangungjawab atas
perlindungan saksi dan korban, di Indonesia terdapat 7 (tujuh) orang yang
berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang
pemajuan, pemenuhan, perlindungan: penegakan hukum dan hak asasi
manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.
Sedangkan Croasia terdiri dari 5 (lima) orang anggota yaitu seorang
perwakilan dari Mahkamah Agung Republik Kroasia diluar para hakim
Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung Republik Kroasia diluar wakil Jaksa
Agung, Kementerian Dalam Negeri – Direktorat Kepolisian dan Kepala
Unit Perlindungan.
3) Di indonesia Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak
diskriminatif, dan kepastian hukum. Sedangkan Croasia tidak disebutkan
asas yang mendasari konsep perlindungan bagi saksi dan korban.
4) Dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
terdapat ketentuan pidana, sedangkan dalam Witness Protection Act of the
Republic of Croatia tidak disebutkan ketentuan pidananya.
5) Dalam hal prosedur pemberian perlindungan di Indonesia:
a) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri
maupun ataspermintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepadaLPSK;
b) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan
sebagaimana dimaksudpada huruf a;
c) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari
sejak permohonanperlindungan diajukan.
Di Croasia:
a) usulan dari pengacara negara yang berwenang atau orang yang
terancam, Ketua Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada
Dewan Pengurus agar memasukkan orang yang terancam kedalam
skema Perlindungan,
Atau:
b) orang yang terancam mengajukan proposal untuk pengajuan
permohonan secara langsung kepada Ketua Jaksa Agung.
6) Dalam hal penghentian perlindungan, di Indonesia memiliki syarat sebagai
berikut:
a) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
c) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis
dalam perjanjian; atau LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau
Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti
yang meyakinkan.
d) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban
harus dilakukan secara tertulis. Sedangkan di Kroasia:
- At expiry of the contract
(pada waktu berakhirnya kontrak)
- By death of included person
(karena kematian orang yang terlibat)
- In case the included person, its trustee or legal representative gives
up the Protection
(apabila orang yang terlibat, wakil atau perwakilan hukum
menyerahkan perlindungan)
- In case the Board brings decision on interruption of the Protection
scheme
(apabila dewan pengurus membuat keputusan mengenai terhentinya
skema Perlindungan)
2. Pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures)
menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan
Witness Protection Act of the Rrepublic of Croatia memiliki persamaan dan
perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan. Dalam hal ini, kelebihan maupun
kekurangan masing-masing negara yaitu Indonesia dan Kroasia terdapat pada
asas-asas yang mendasari proses perlindungan saksi dan korban, ketentuan
pidana, serta kerjasama internasional. Dimana asas-asas proses perlindungan saksi
dan korban serta ketentuan pidana yang menjadi unsur kelebihan di Indonesia,
merupakan unsur yang tidak terdapat dalam Witness Protection Act of the
Republic Croatia. Sebaliknya, mengenai kerjasama internasional yang terdapat di
Kroasia, menjadi suatu unsur kekurangan yang tidak dimiliki oleh Indonesia.
B. Saran
1. Perlu adanya kerjasama internasional bagi negara Indonesia dengan negara lain
dalam hal perlindungan bagi saksi dan korban, mengingat perkembangan tindak
pidana pada jaman sekarang ini, yang memungkinkan terjadinya tindak pidana
lintas negara.
2. Perlu adanya peran aktif dari LPSK untuk lebih mensosialisasikan peran LPSK
kepada masyarakat Indonesia, agar tercapainya pemenuhan perlindungan bagi
saksi dan korban yang berkaitan dengan tindak pidana di Indonesia.
3. Tidak hanya LPSK yang mempunyai kewajiban dan tugas dalam perlindungan
saksi dan korban, masyarakatpun diharapkan memiliki andil dalam pelaksanaan
perlindungan saksi dan korban, yakni salah satunya adalah dapat bekerjasama
dengan LPSK dalam hal memberikan keterangan yang berkaitan dengan
pemenuhan perlindungan saksi dan korban
4. Mempertahankan kelebihan-kelebihan, serta membenahi kekurangan yang
dimiliki oleh Indonesia dalam unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-undang
No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Amirudin dan Zaenal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing
Moeljatno. 1990. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
M. Yahya Harahap. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP- Jilid
II. Jakarta: Pustaka Kartini.
Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Soenarto Soerodibroto R. 2003. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
UU Narkotika (UU No. 22 Tahun 1997)
UU Psikotropika (UU No. 5 Tahun 1997)
UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999)
UU Perlindungan Saksi Kanada (Canada, Witness Protection Bill 1997)
UU Perlindungan Saksi Afrika Selatan (South Afrika, Witness Protection Bill1998)
UU Perlindungan Saksi Queensland (Queensland, Witness Protection Act 2000)
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UUNomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU Tindak Pidana Pencucian uang (UU No. 15 Tahun 2002)
UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003)
UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13 Tahun 2006)
PP tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat
(PP No. 2 Tahun 2002)
PP tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
HAM Berat (PP No. 3 Tahun 2002)
Witness Protection Act of the Republic of Croatia
Internet
Anonim. 2010. UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
www.antikorupsi.org/docs/uuperlindungansaksikorban. Diakses di Surakarta,
5 Januari 2010 pukul 20:12
Anonim. 2010. Witness Protection Act Of The Republic Of Croatia.
www.vsrh.hr/.../Static/.../Legislation__Witness-protection-Act. Diakses di
Surakarta, 5 Januari 2010, pukul 20:3
DAFTAR LAMPIRAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban
Witness protection Act of the Republic of croatia
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; b. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana Bering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. 2. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang itu. 4. Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana. 5. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban. 6. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal 3 Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak diskriminatif; dan e. kepastian hukum. Pasal 4 Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. BAB Il PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI DAN KOREAN Pasal 5 (1) Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pasal 6 Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pasal 7 (1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan
berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 9 (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut scdang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. (3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Pasal 10 (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Bagian Kesatu Umum Pasal 11 (1) LPSK merupakan lembaga yang mandiri. (2) LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia. (3) LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Pasal 12 LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. Pasal 13 (1) LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. (2) LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Bagian Kedua Kelembagaan Pasal 14 Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. Pasal 15 (1) Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun. (2) Setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pasal 16 (1) LPSK terdiri atas Pimpinan dan Anggota.
(2) Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. (3) Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan Peraturan LPSK. Pasal 17 Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pasal 18 (1) Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. (2) Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. (3) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. (5) Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak LPSK terbentuk. Pasal 19 (1) Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden. (2) Dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk panitia seleksi. (3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut: a. 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan b. 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat. (4) Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan scleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK, diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 20 (1) Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan. (2) Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 21 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima. (2) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan. (3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui. (4) Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima. Pasal 22 Presiden menetapkan anggota LPSK yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan diterima Presiden. Bagian Ketiga Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 23 (1) Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia; b. sehat jasmani dan rohani; c. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun; d. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan; e. berpendidikan paling rendah S 1 (strata satu); f. berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun; g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan h. memiliki nomor pokok wajib pajak. Pasal 24 Anggota LPSK diberhentikan karena: a. meninggal dunia; b. masa tugasnya telah berakhir; c. atas permintaan sendiri; d. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus; e. melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK; atau f. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Pengambilan Keputusan dan Pembiayaan Pasal 26 (1) Keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Pasal 27 Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BAB IV SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN BANTUAN Bagian Kesatu Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Pasal 28 Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban; b. tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban; c. basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban. Bagian Kedua Tata Cara Pemberian Perlindungan Pasal 29 Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut: a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK; b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Pasal 30 (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. (2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Pasal 31 LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 32 (1) Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri; b. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan; c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. (2) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus dilakukan secara tertulis. Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian Bantuan Pasal 33 Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK. Pasal 34
(1) LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (2) Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Pasal 36 (1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang. (2) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 37 (1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200. 000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 38 Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 39 Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 40 Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 41 Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 42 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Pasal 43 (1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 46 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 64 PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
I. UMUM Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu. Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi: 1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; 3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan Saksi dan Korban. Apabila perlu, Saksi dan Korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman.
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperLancar persidangan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Seringkali Saksi dan Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi Saksi dan Korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karma itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada Saksi dan Korban. Huruf g Informasi ini penting untuk diketahui Saksi dan Korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan tersebut. Huruf h Ketakutan Saksi dan Korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan dan is berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. Huruf i Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisasi, Saksi dan Korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, Saksi dan Korban dapat diberi identitas baru. Huruf j - Apabila keamanan Saksi dan Korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada Saksi dan Korban harus dipertimbangkan agar Saksi dan Korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. - Yang dimaksud dengan "tempat kediaman bare" adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman. Huruf k Saksi dan Korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara. Huruf l Yang dimaksud dengan "nasihat hukum" adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh
Saksi dan Korban apabila diperlukan. Huruf m Yang dimaksud dengan "biaya hidup sementara" adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kasus-kasus tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "bantuan rehabilitasi psikososial" adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. Pasal 7 Cukup Jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "ancaman sangat besar" adalah ancaman yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak dapat memberikan kesaksiannya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa Saksi dan/atau Korban tidak dalam paksaan atau tekanan ketika Saksi dan/atau Korban memberikan keterangan. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pelapor" adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "memberikan keterangan tidak dengan itikad baik" dalam ketentuan ini antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Pasal 11
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lembaga yang mandiri" adalah lembaga yang independen, tanpa campur tangan dari pihak mana pun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c
Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi Saksi dan/atau Korban dari berbagai kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "instansi terkait yang berwenang" adalah lembaga pemerintah dan nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh Saksi dan/atau Korban. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Yang dimaksud dengan "pejabat publik" adalah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas.
Please note that the translation provided below is only provisional translation and therefore does NOT represent an official document of the Republic of Croatia. It confers no rights and imposes no obligations separate from does conferred or imposed by the legislation formally adopted and published in Croatian language. Please note that this translation is a final text version published in the Official Gazette no. 163/2003.
Witness Protection Act 1. Introduction Article 1 This Act regulates the terms and procedures for providing protection and assistance to endangered persons, exposed to severe danger for life, health, corporal inviolability, freedom or property of large scale arising from witnessing in criminal proceedings for criminal offences anticipated in this Act. Inclusion of endangered person into the Protection scheme is voluntary. Application of measures from this Act in connection with the endangered minors may not be undertaken without approval of parents or trustee. Concerning the persons with restricted capacity or legally incapacitated persons, such approval is granted by the person authorized to represent the endangered person in accordance with the law or by the trustee. Article 2 Certain expressions used in this Act have the following meanings: 1. Endangered person: a person whose inclusion into the Protection scheme is justified due to possibility of life, health, corporal inviolability, freedom or property endangering of large scale to herself or to persons related to him, because of importance of information known to him for the criminal proceeding. 2. Close person: is a household member to endangered person as well as any other member designated by him to be included into the Protection scheme. 3. Included person: a person having concluded the contract to be included into the Protection scheme. 4. Protection unit is a separate organizational unit within the Police Administration, Ministry of Interior in charge of Protection scheme execution. 5. Protection scheme: consists of measures and activities executed and organized by the Protection unit and competent body for prison administration of the ministry competent Witness protection Act
2 for justice affairs in accordance with provisions of this Act in order to protect the included persons.
6. Board: is a body prescribed by this Act, authorized to bring decisions on inclusion and interruption of Protection scheme execution as well as other activities prescribed by this Act. Article 3 Application of this Act is possible when there exists a possibility that a witness, due to a possible threat, would not freely testify in a criminal proceeding for grievous crimes; against the Republic of Croatia; against values protected by international law; crimes with elements of violence; organized crime and other grievous criminal offences when there were information about large scale dangers for life, health, corporal inviolability or property of the witness, while the witnessing is connected with disproportional difficulties without witnessing of endangered witness. 2. Board Article 4 The Board consists of five members. Board is made up by a representative of the Supreme Court of the Republic of Croatia out of the Supreme Court judges, State Attorney General's Office of the Republic of Croatia out of deputies of the State Attorney General, Ministry of Interior – Police Directorate and the Head of Protection unit. Members of the Board have their deputies. Members of the Board and their deputies are nominated and acquitted by the head of a body wherefrom such a Board member, i.e. deputy Board member originates from. The Head of Protection Unit is a Board member by his function, while his deputy is nominated, upon his proposal, by the Minister of Interior. Article 5 Members of the Board, except the Head of Protection Unit, and their deputies are nominated for the period of five years and may be re-nominated. Exceptionally after the first election, elapsing the three year period, re-election of the Board members and their deputies from the Supreme Court and State Attorney's Office will be made. Article 6 Membership to the Board will terminate: Witness protection Act
3 1. By termination of service in the body wherefrom the member or deputy member was nominated. 2. With good reasons upon request of the member or a deputy member.
3. Due to breach of the Board operation regulations. Decision on termination of membership in the Board is brought by the Head of the body which nominated the board member or deputy member ex officio for the reasons mentioned in paragraph 1 item 1 of this Article, upon proposal of the member or deputy Board member for the reasons mentioned in paragraph 1, item 2 of this Article and upon proposal of the Board for the reasons mentioned in paragraph 1, item 3 of this Article. Article 7 President of the Board is in charge of the Board. By his function the Board President is a Board member coming as a judge from the Supreme Court of the Republic of Croatia. In case of his disability, his deputy will be replacing him. Board operations are secret. The Board adopts a rulebook on its operations. Article 8 The Board brings decisions on its sessions. The Board can bring decision only providing at least four members or their deputies were present at the session. Consent of four Board members is mandatory to bring a decision on application and termination of measures, while the other decisions are brought by majority of votes. 3. Procedure and method of approach Article 9 Upon proposal of the competent state attorney or endangered person, State Attorney General may submit request to the Board to include the endangered person into the Protection scheme, in case that the free testimony of a witness in a criminal proceeding could not be assured in any other way. In case that even after the lapse of the Scheme period designated in the contract a need for protection of included person continues to exist, the State Attorney General will submit request to the Board for continuation of the Scheme period. Witness protection Act
4 Article 10 Simultaneously to the submission of request from Article 9, paragraph 1 of this Act, the State Attorney General will inform the Protection Unit in order to undertake urgent measures. Before undertaking urgent measures, the Unit Head will obtain a written consent of the endangered person. The Unit Head will immediately inform the Board President and the State Attorney General about the actions undertaken.
Article 11 Proposal of the competent state attorney to the State Attorney General must include: 1. data about the person proposed for inclusion into the protection scheme, 2. description of criminal offence and evaluation of existing evidences, 3. contents of possible testimony with evaluation of its importance for the proceeding, 4. description and evaluation of danger threatening the endangered person. In case the endangered person submitted proposal for submission of request directly to the State Attorney General, before bringing his decision the State Attorney General will request the competent state attorney to submit to him the data from paragraph 1 of this Article. The request for prolongation of the Scheme period must include the data from paragraph 1, item 4 of this Article. Article 12 The proceeding judge submits proposal for inclusion of endangered person into the Protection scheme to the State Attorney General. Before submission of request to the Board, the State Attorney General will obtain the data from Article 11, paragraph 1 of this Act. Article 13 Upon receipt of the request, President of the Board will convene the Board session immediately, but in any case within three days at latest. In case the implementation of urgent measures is under way, they may last until the Board decision. Article 14 After consideration, the Board will bring decision on inclusion of the person into the protection scheme and inform the State Attorney General and Protection Unit about such decision. Witness protection Act
5 In case the request was accepted, the Board will authorize the Protection Unit to enter into contract with the endangered person. 4. Types of protection measures Article 15 Protection measures for endangered persons are as follows: 1. physical protection 2. relocation 3. measures of disguising identity and ownership 4. change of identity. It is possible to apply one or more measures from paragraph 1 of this Article in procedures of providing protection to endangered persons. Protection measures from paragraph 1 of this Article are carried out and organized by the Protection unit, while in case of persons deprived of liberty in cooperation with the
Prison system administration of the ministry in charge of justice affairs. Article 16 Physical protection from Article 15, paragraph 1, item 1 of this Act is an immediate providing of protection in order to prevent endangering of life, health, corporal inviolability, freedom or property of endangered person. Article 17 Relocation of endangered person from Article 15, paragraph 1, item 2 of this Act is a temporary or permanent resettling from the place of residence or domicile of endangered person to another location designated by the Protection Unit. Relocation is possible on the territory of Republic of Croatia or outside the territory of Republic of Croatia, in accordance with international treaties. Regarding the endangered persons – prisoners on remand or prisoners, the relocation measure is applied within the prison system of the Republic of Croatia. Article 18 Measure of disguising identity comprises the production and use of personal documents with temporary changed personal data, as well as production and use of title deeds of endangered persons. Measures of disguising identity and ownership do not have as consequence the permanent change of personal data and data about ownership in the appropriate records. Witness protection Act
6 Article 19 Change of identity from Article 15, paragraph 1, item 4 of this Act is a change of parts or all personal data of endangered person. Approval of the Board is necessary in order to apply this measure. Acquisition of new identity has no impact on status and other rights and obligations of endangered person. After change of identity, the Unit allows and supervises the approach to real identity. Article 20 All the contacts of included person concerning his status and other rights and obligations are to be realized through the Unit. Article 21 Measures from Article 15, paragraph 1, item 1, 2 and 3 may be applied as urgent measures pursuant to Article 10, paragraph 2 of this Act. 5. Application of measure disguising and changing of identity Article 22 Endangered person may not use the documents from Article 18, paragraph 1 of this Act when concluding legal transactions that might have impacts on the third parties. In such
cases the endangered person may, upon consent of the Unit, nominate a proxy who will conclude legal transactions on his behalf. Article 23 In case the security of endangered person cannot be secured by application of measures from Article 15, paragraph 1, item 1-3 of this Act, the measure of change of identity may exceptionally be applied, upon approval of the Board. The included person may not get his original identity in case the change of identity had a significant impact on status of the third person (marriage, fatherhood, motherhood etc). Article 24 In case the change of identity measure has been approved, the Unit will invite the endangered person to fulfill his due obligations to the third parties. In case the included person has not fulfilled his obligations mentioned in paragraph 1 of this Article, the change of identity measures will not be applied until such obligations were fulfilled. Witness protection Act
7 Upon request of the Unit and based on the data provided by it, the competent bodies will issue the new necessary identity documents for the endangered persons within 15 days at latest. Simultaneously, the competent bodies for issuance of personal documents and keeping of other records will enter the remark into the records that the Protection Unit must be informed about any further inquiries concerning the real identity. The Unit will take over and safe-keep all the documents about real identity of the included person. Article 25 In case the competent bodies for issuance of documents and keeping of other records find out that the changes in records would be contrary to the protection of common interest, they will inform the Unit accordingly, which will pass over these data to the Board. Article 26 In order to fulfill his rights and obligations which have not terminated after the change of identity, the included person can nominate a proxy to represent him. Change of identity may concern all the personal data of endangered person. Personal data entered into the new identity documents may not be identical to similar data of another person. After the expiry of this measure, the included person will decide on the issue of preserving the new identity.
In case that, after change of identity, the Unit learns about an obligation arisen before, at the time the included person had its real identity but the included person had no knowledge about it, the Unit will invite the included person to fulfill such an obligation through the Unit. In case the included person cannot or does not wish to fulfill his obligation, the Unit will request the Board to bring decision on termination of measure implementation. Article 27 In case of persecution for the criminal offence the included person committed before change of identity, the Unit will ensure his presence at the court upon the court request. In case of persecution for the criminal offence the included person committed after change of identity, the Unit will inform the State Attorney General and the Board. The included person participates in criminal proceedings for criminal offences committed before inclusion into the Scheme with his real identity. In case the included person has been invited as a witness in the criminal proceedings for criminal offences committed before inclusion into the Scheme, the summon will be delivered to him through the Unit, which will ensure the included person's arrival at the court. Witness protection Act
8 Article 28 With approval of the Unit and in accordance with security instructions, the included person may participate in official proceedings where the use of original personal data is inevitable using his original personal data. Article 29 In case it determines that the security of included person can be ensured by implementation of any other measure described in Article 15, paragraph 1, items 1-3 of this Act, except in case described in paragraph 4 Article 23, the Unit can suggest to the Board, with prior approval of the included person, to terminate the measure of change of identity. Article 30 Upon request of the Protection Unit, the administrative bodies and legal entities keeping records on civil status, data and registers about personal data, status and other rights of the citizens, as well as other records wherefrom the data about identity and residence of a person could be determined, will refuse to supply such data to any body or person. In case of a quest for such data, the competent body or legal entity will inform the Unit about it without delay.
The data from paragraph 1 of this Article could be supplied only upon approval of the Protection Unit. Article 31 Production and use of documents utilized in accordance with this Act, in order to realize the measures disguising and changing of identity, is not a criminal offence. 6. Protection Unit Article 32 Protection Unit carries out and organizes the Protection scheme, carries out and organizes urgent measures and performs all other duties connected to protection of endangered persons, unless this Act provides to the contrary. Protection Unit is responsible for implementation of the Protection scheme. Protection Unit decides independently on types of measures to be implemented, save for change of identity measure (Article 15, paragraph 1, item 4 of this Act), while in connection with the persons deprived of liberty in cooperation with the competent body responsible for jail system management at the ministry competent for justice affairs. The federal government bodies, government bodies, regional and local selfgovernment bodies and other legal entities performing public authorities are obliged to provide assistance to the Protection Unit and, upon request of the Protection Unit, perform necessary activities from their competence in order to implement the measures from this Act, without any remuneration. Witness protection Act
9 Article 33 In case the measures from Article 15, paragraph 1, item 1-4 of this Act cannot be carried out otherwise, in performing of activities from its competence the Unit may disguise the real identity of its employees as well as disguise ownership on articles used to perform certain measures. 7. Provision of assistance to a person included into the scheme Article 34 The Unit will provide necessary psychical, social and legal assistance to the included person. In order to assist the inclusion of included person into the new environment, the Unit will assist such a person providing economic and social support until the moment of his independence. Economic and social support provided to the endangered person may not be higher than the sum necessary to cover costs of living and inclusion into the new existential environment and may not represent the basis for acquisition of wealth. 8. Accession to the program and the contract Article 35 In the course of implementation of urgent measures, the Protection Unit will request
from the endangered person to file the questionnaire on personal data, property conditions, obligations, cycle of close persons as well as on other data in accordance with the form enclosed to this Act, and to submit to medical examination. Article 36 On basis of the gathered data, the Protection Unit will make recommendation on endangered person suitability for accession to protection, recommendation for accession of close person to the Protection scheme, as well as its opinion on the type of measure to be implemented, advising the Board about it accordingly. Article 37 On basis of authorities from Article 14, paragraph 2 of this Act, the Protection Unit Head will enter into contract with the endangered person and his close person on implementation of the protection scheme. The Protection scheme will commence upon entering into contract. Witness protection Act
10 Article 38 The Contract is made in a single copy, which is kept with the Protection Unit and during the Protection scheme period is accessible only to the Board. The Contract must contain; 1. the Parties to the Contract, 2. Statement of endangered person about voluntary accession to the Protection scheme as well as his statement that the data from the questionnaire are true and that in case of their falseness the Contract could be rescinded, 3. Obligations of endangered person; - to give full testimony in exactly specified procedure or procedures which is substantially in accordance with contents of the statement used as basis for accession into the program (Article 11, paragraph 1, item 3 of this Act), - to conform to instructions of the Unit, which are the precondition for successful realization of security and protection of endangered person, - to agree without specific court decision, for the purpose of protection, to surveillance and technical recording of long-range communication means, surveillance and technical recording of the premises where he resides and to the secret monitoring and recording; - to achieve financial independence until the expiration of the agreement, - to inform the Unit without delay about any change of circumstances having impact on realization of the protection scheme target, 4. Obligations to the included person; - to realize contracted protection measures with only essential restrictions to his personal freedom and rights,
- to provide to him the necessary psychological, social and legal assistance during the Protection scheme, - time span and scope of essential economic assistance. 5. Duration of Scheme implementation and reasons for cancellation of the contract, 6. a clause that the contract was made in a single copy, which is kept with the Protection Unit, with the statement of endangered person to have understood the contents of the contract and to have been informed about the mutual rights and obligations. 7. Date and signature of the parties. Article 39 On behalf of minors and legally incapacitated endangered persons, parent or legally authorized person will conclude the Contract. Witness protection Act
11 9. Termination and interruption of the Protection scheme Article 40 The Protection scheme of included person will terminate: 1. at expiry of the contract 2. by death of included person 3. in case the included person, its trustee or legal representative gives up the protection; 4. in case the Board brings decision on interruption of the Protection scheme. Article 41 Upon proposal of the State Attorney General or the Protection Unit, the Board may bring decision on interruption of the included person Protection scheme; 1. in case there are no further conditions justifying the protection; 2. in case the included person does not fulfill contractual obligations related to the criminal proceeding; 3. in case that, in the course of protection, a criminal proceeding has been brought against the included person for committed crime, 4. in case that the included person deviates from the rules of behavior mentioned in the agreement or given by the Unit without a valid reason or breaches the obligation to inform the Unit and in such a way severely jeopardize or renders the protection impossible; 5. in case that the included person turns down employment possibility ensured by the Unit or rejects to continue other activity for making income without a reason; 6. in case a foreign country requests termination of protection of the included person which has been relocated to its territory; 7. in case the included person gives false data (Article 35 of this Act). 10. International cooperation Article 42 International cooperation is realized on basis of assumed rights and obligations from international treaties signed by the Republic of Croatia. International treaties may provide for relocation of endangered person outside the
territory of the Republic of Croatia or reception to the territory of the Republic of Croatia. Witness protection Act
12 11. Records and data protection Article 43 During the Protection scheme implementation the Protection Unit keeps the following records: 1. on the personal data of the person which entered the Scheme, his residence and information related to the change of identity as well as on all other data arisen in the course of implementation of this Act 2. on the data from the questionnaire, 3. on concluded contracts . 4.on endangered persons included into the scheme on basis of international treaties. Article 44 All the data about the Board activities, data from the records as well as other data arisen in connection with the implementation of this Act are considered as official secret, with the highest level of classification "Very classified". According to Article 8, paragraph 8 of this Act the Board can bring decision on declassification. 12. Financing Article 45 The funds for implementation of this Act are secured as a special separate budget item in the Budget of the Republic of Croatia. The Unit Head manages the funds. The Unit Head is authorized to enter the payment legal affairs in order to implement the measures from this Act. He reports semi-annually to the Minister of Interior and to the Board about the utilization of funds. Article 46 Members of the Board and their deputies are entitled to a separate remuneration for their work. The amount of remuneration will be determined by the Government of the Republic of Croatia. 13. Transitional and closing provision Article 47 Within the period of 30 days after this Act has become effective, the Ministry of Interior will bring the decision on establishment of the Protection Unit, nominate its Head and Witness protection Act
13 perform the necessary changes of regulations on internal order. The Minister of Interior will bring the by-law regulations on the way of protection scheme implementation in accordance with this Act within the period of 45 days after this Act has become effective. Article 48
The minister competent for justice affairs will bring the by-law regulations on the way of protection scheme implementation within the jail system within the period of 45 days after this Act has become effective. Article 49 The competent ministries have to bring the implementation regulations connected to Article 24 of this Act within the period of 45 days after this Act has become effective. . Article 50 The Board has to be constituted within the period of 45 days after this Act has become effective. Within the additional period of 30 days it has to bring the rule-book on its operations. Article 51 This Act becomes effective within the period of eight days after its publication in the Official Gazette, while its application will start six months after the day of publication. Article 52 This Law comes into force on January 1, 2004.