STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN
(Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)
Oleh:
ABDUL MUGNI
A14202017
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
ABDUL MUGNI. STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM
MENGATASI KEMISKINAN. Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan,
Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat (Di bawah
bimbingan SAHARUDIN)
Kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dipahami
sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan
akan sandang, pangan dan papan serta keterbatasan dalam menjangkau pelayanan
pendidikan. Ciri kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dapat
diidentifikasi secara fisik dan sosial. Secara fisik, kemiskinan dapat dicirikan oleh
kepemilikan rumah tempat tinggal yang sangat sederhana, yaitu berupa rumah
semi permanen dan rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu. Selain itu,
dapat pula terlihat dari keterbatasan pemilikan barang-barang yang dapat
menunjukkan status sosial yang tinggi seperti emas, perabotan rumahtangga yang
mewah, dan lain-lain. Secara sosial, kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat
terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan keluarga, tingkat kesehatan dan lain-
lain.
Faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa
Limbangan sangat kompleks dan beragam. Faktor-faktor penyebab kemiskinan
tersebut berupa perubahan cuaca dan fluktuasi musim ikan, sumberdaya manusia
(SDM) nelayan yang masih rendah, adanya eksploitasi pemodal, ketimpangan
dalam sistem bagi hasil, motorisasi dan kebiasaan nelayan.
Strategi yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan dalam menghadapi
situasi kemiskinan tersebut berupa pola nafkah ganda, peranan anggota keluarga
(istri dan anak) nelayan, diversifikasi peralatan tangkap, pemanfaatan organisasi
produksi, dan pemanfaatan jaringan sosial. Penerapan berbagai strategi tersebut
telah membantu para nelayan dalam menghadapi situasi kemiskinan, sehingga
mereka tetap dapat bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin.
STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN
(Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten
Indramayu, Propinsi Jawa Barat)
Oleh: ABDUL MUGNI
A14202017
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM
MENGATASI KEMISKINAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN
OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2006
Abdul Mugni
A 14202017
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGAMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:
Nama Mahasiswa : ABDUL MUGNI
Nomor Pokok : A14202017
Judul : Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi
Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan,
Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi
Jawa Barat).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Saharuddin, M.Si
NIP. 132 047 078
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr.
NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus Ujian:
i
KATA PENGANTAR
Fenomena kemiskinan pada masyarakat nelayan di Indonesia merupakan
topik yang sering diperbincangkan baik dalam karya ilmiah maupun dalam media
masa. Dalam tulisan ini dijelaskan tentang faktor-faktor penyebab kemiskinan
pada masyarakat nelayan dan bentuk-bentuk strategi rumahtangga nelayan dalam
berusaha mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut. Semua kegiatan
yang berkaitan dengan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari adanya dukungan
berbagai pihak. Karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan dukungan terhadap kegiatan penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat kelulusan studi S1 saya di Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
ii
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan nikmat-Nya kepada kita semua. Atas izin dari-Nya juga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk
memenuhi syarat kelulusan studi S1 di Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi
ini mengambil judul “ Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi
Kemiskinan”.
Pada kesempatan ini rasa hormat dan terimakasih serta penghargaan yang
tulus penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Ir. Saharudin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Atas saran
dan bimbingannya.
2. Ibu Ir. Melani abdulkadir Sunito, M.Si selaku pembimbing akademik,
yang selalu mendukung dan memberi semangat.
3. Ir. Martua Sihalaho, M.Si, yang telah bersedia menjadi penguji dalam
ujian skripsi saya.
4. Ibu dan Ayah tercinta atas do’a dan usahanya yang tak kenal lelah
memperjuangkan segalanya.
5. Keluarga tercinta (paman, bibi, kakak dan adik-adikku) atas segala do’a
dan dukungannya.
6. Keluarga besar Bapak Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, M.Sc atas segala
dorongan, bimbingan dan bantuannya.
7. Rosi Cisadesi atas semangat, dukungan, kebersamaan dan bantuannya
selama penyusunan skripsi ini.
8. Masyarakat nelayan Desa Limbangan, atas kerjasama dan bantuannya.
9. Teman-teman KPM 39 atas kebersamaan dan dukungannya.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan studi pustaka ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Terimakasih atas segalanya. Tiada yang sempurna selain Allah. Saya hanya
manusia yang tak akan pernah sempurna, begitupun dengan karya ini. Kritik dan
saran demi perbaikan karya ini, saya terima dengan senang hati, alamatkan
langsung ke [email protected].
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1982 di Indramayu, Jawa
Barat. Penulis merupakan anak keempat dari sebelas bersaudara pasangan
Mukamad dan Maeni. Pendidikan yang di tempuh oleh penulis pertama kali
adalah SDN Srengseng III, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, tahun
1990-1996. Penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Karangampel di kota yang sama
pada tahun 1996-1999. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di SMUN 1
Krangkeng, pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002 pula, penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada
Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (KPM) sebagai angkatan 39.
Selama bersekolah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler
seperti Pramuka, PASKIBRA, PMR, dan OSIS. Penulis pernah menjabat sebagai
ketua PMR SMUN 1 Krangkeng pada tahun 2000-2001. Begitu pula pada masa
kuliah, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat
sebagai ketua UKM Aikido Institut Pertanian Bogor periode 2003-2004 dan, staf
Biro Olahraga dan Seni MISETA periode 2003-2004 dan anggota UKM
Bulutangkis tahun 2003 sampai sekarang.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Teoritis .................................................................................... 7
2.1.1 Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan ..................................... 7
2.1.1.1 Stratifikasi Masyarakat Nelayan ............................................. 7
2.1.1.2 Tipologi Nelayan .................................................................... 8
2.1.1.3 Hubungan Antar Tipe Nelayan ............................................... 11
2.1.2 Kemiskinan Nelayan ...................................................................... 12
2.1.2.1 Konsep Kemiskinan ................................................................ 12
2.1.2.2 Ciri Kemiskinan Nelayan ....................................................... 17
2.1.2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan ........................ 18
2.1.3 Strategi Rumahtangga Nelayan ..................................................... 20
2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................... 23
2.3 Batasan Pengertian ..................................................................................... 27
2.4 Hipotesis Pengarah ..................................................................................... 28
iv
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ...................................................................................... 29
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 30
3.3 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 30
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 31
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Desa ............................................................................... 33
4.1.1 Lokasi dan Keadaan Alam ............................................................... 33
4.1.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ..................................................... 34
4.1.3 Sarana, Prasarana dan Pola Pemukiman .......................................... 36
4.1.4 Motorisasi Peralatan Tangkap ......................................................... 39
4.1.5 Jenis Paralatan Tangkap .................................................................. 40
4.1.6 Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat .............................................. 44
BAB V KEMISKINAN DAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN
5.1 Situasi Umum Kehidupan Nelayan ............................................................. 46
5.1.1 Stratifikasi Masyarakat Nelayan ...................................................... 47
5.1.2 Hubungan Antar Tipe Nelayan ........................................................ 48
5.1.3 Sistem Bagi Hasil ............................................................................ 51
5.1.4 Kemiskinan Nelayan ........................................................................ 61
5.2 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan ........................................... 64
5.2.1 Fluktuasi Musim Tangkapan ........................................................... 64
5.2.2 Sumberdaya Manusia (SDM) Nelayan ............................................ 65
5.2.3 Eksploitasi Pemodal (Bakul) ........................................................... 66
5.2.4 Ketimpangan Sistem Bagi Hasil ...................................................... 67
5.2.5 Motorisasi ........................................................................................ 68
5.2.6 Pencemaran Lingkungan ................................................................. 69
5.2.7 Kebiasaan Nelayan .......................................................................... 70
5.3 Strategi Rumahtangga Nelayan .................................................................. 72
5.3.1 Peran Anggota Keluarga .................................................................. 72
5.3.2 Pola Nafkah Ganda .......................................................................... 73
v
5.3.3 Diversifikasi Peralatan Tangkap ...................................................... 74
5.3.4 Pemanfaatan Organisasi produktif ................................................... 75
5.3.5 Jaringan Sosial ................................................................................. 76
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 88
6.2 Saran ........................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 93
LAMPIRAN ....................................................................................................... 96
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
No Teks
1. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Limbangan, Kecamatan
Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat
Menurut Tingkat Pendidikan, 2005 ........................................................... 34
2. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Jenis Mata Pencaharian
di Desa Limbangan .................................................................................... 35
3. Bangunan Sarana Pendidikan di Desa Limbangan, Kecamatan
Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat ........................... 37
4. Bangunan Rumah Nelayan Menurut Jenis Rumah, Jumlah, dan Pemilik .. 39
5. Perbedaan Jenis Alat Tangkap Nelayan di Desa Limbangan
Menurut Jenis ikan, Jumlah nelayan, Frekuensi menabur jaring,
Wilayah operasi dan Musim ...................................................................... 43
6. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Payang .............. 53
7. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kantong ............ 56
8. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Rampusan ......... 58
9. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kopet ................ 60
10. Kalender Musim Nelayan Desa Limbangan ............................................ 64
11. Peralatan Tangkap Berdasarkan Jenis Ikan yang dapat di Tangkap .......... 75
Lampiran
12. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 97
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
No Teks
1. Kerangka Studi Strategi Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan ............... 26
2. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Payang .................. 55
3. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Kantong ................ 57
4. Rumah Tempat Tinggal Nelayan Bidak ....................................................... 63
5. Kegiatan Menggorek Anak-anak Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan ....... 72
6. Struktur Jaringan Sosial: Hubungan Bidak, Juragan dan Bakul ................. 77
7. Peta Mobilitas Musiman Nelayan di Desa Limbangan ................................ 80
Lampiran
8. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 96
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
No
1. Panduan Pertanyaan Wawancara ................................................................. 99
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia.
Dengan luas laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya
perikanan laut yang besar dan beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut
di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari berbagai jenis ikan, udang dan
cumi-cumi. Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai ekonomi berdasarkan
harga satuan komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $ 15
Miliar (Dahuri, 1996).
Jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya
terdapat 2 juta rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor
perikanan. Dengan asumsi tiap rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka
sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya sehari-
hari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada umumnya mendiami
daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai.
Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan
menangkap ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata
bahari, pengangkutan antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara
atau eceran hasil tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut , penambangan lepas
pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.
Nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang
mempunyai tingkat kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat
2
nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten
lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti
Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat nelayan
merupakan golongan masyarakat yang paling miskin.
Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah
lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana.
Kalaupun ada rumah-rumah yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran
(misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut
umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya
tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat
tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi
geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali
juga sudah sangat terpolusi.
Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi
kerja secara turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas
pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai
faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya
seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah
pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka
mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional,
sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus
berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003).
Rumahtangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih
komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian. Rumahtangga nelayan
3
memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan ( common
property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam kerja
yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat
dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur.
Selain itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh
resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki, hal ini
mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh.
Kemiskinan bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini
kembali muncul ke permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi
yang mendorong terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara “si kaya”
dan “si miskin” (Hermanto, 1995). Problem kemiskinan merupakan suatu hal
yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa. Kemiskinan merupakan
side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk
menciptakannya (Dahuri, 1994).
Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan baik oleh pemerintah
maupun pihak-pihak lain. Misalnya masalah pengelolaan dalam pemanfaatan
sumberdaya laut, pemerintah telah membuat peraturan yang tercantum dalam
perundangan yang ada, seperti UU No.9 Tahun 1985, Keputusan Menteri
Pertanian No.185, Kepres 23 Tahun 1982, peraturan-peraturan tersebut pada
dasarnya mengatur tentang pembatasan alat-alat tangkap yang merusak
sumberdaya laut, pembatasan dan pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan
skala usaha dan alat tangkap yang digunakan, pengaturan izin usaha kepada
nelayan-nelayan asing, izin pembudidayaan laut, dan pengaturan sistem
pemasaran ikan (Hermanto, 1995). Selain itu, pemerintah telah membentuk
4
Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah
dalam menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah
kemiskinan nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi
masyarakat kelautan dan perikanan, terutama masyarakat nelayan. yang selama ini
menjadi korban pembangunan. Namun dalam perjalanannya, ternyata keberadaan
DKP dengan program-programnya, khususnya Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu menciptakan nelayan-
nelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang
menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh
para akademisi, LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan,
terlebih program yang hanya bersifat proyek jangka pendek (Solihin, 2005).
Dari permasalahan di atas, maka pertanyaan pokok yang diajukan dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana masyarakat nelayan bertahan hidup ditengah
keadaan yang serba miskin?”. Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam
penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan pada masyarakat nelayan dan
mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor
penyebab kemiskinan tersebut.
5
1.2. Perumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan
masalah yang akan ditelaah lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai
kemiskinan pada masyarakat nelayan dan strategi yang dilakukan oleh
rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan
tersebut. Secara lebih rinci permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan?
2. Bagaimana strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi faktor-
faktor penyebab kemiskinan tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan
dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-
faktor penyebab kemiskinan tersebut.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak akademisi yang tertarik
pada masalah-masalah yang berkaitan dengan strategi rumahtangga nelayan dalam
mengatasi kemiskinan. Bagi penulis, kegunaan penelitian ini adalah dapat
menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi kemiskinan yang terjadi
pada masyarakat nelayan dan usaha-usaha untuk memberdayakannya. Selain itu,
bagi pembuat kebijakan (pemerintah, khususnya pemerintah daerah) penelitian ini
6
dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk mempertimbangkan pendekatan
yang tepat dalam usaha penanggulangan kemiskinan nelayan, sehingga program-
program atau proyek-proyek yang ditawarkan bagi masyarakat nelayan benar-
benar efektif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sedangkan bagi
masyarakat nelayan sendiri, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam
usaha memperbaiki kesejahteraan hidup para nelayan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendekatan Teoritis
2.1.1. Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan
Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian
utamanya berasal dari menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998),
nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan
dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan
jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan
alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula
dikategorikan sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang
lebih modern berupa kapal ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang
dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di samping itu juga nelayan dapat
diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di tambak dan
keramba-keramba di pantai.
2.1.1.1. Stratifikasi Masyarakat Nelayan
Menurut Soekanto (2002), setiap masyarakat senantiasa mempunyai
penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan
menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya.
Kalau masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan,
misalnya, maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan
8
menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-
pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan
pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda
secara vertikal.
Menurut Kusnadi (2000), dengan mengamati pola-pola penguasaan asset
produksi, seperti modal, peralatan tangkap, dan pasar, akan mudah
mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan.
Perbedaan-perbedaan kemampuan ekonomi diantara lapisan-lapisan sosial itu
diwujudkan dalam ketimpangan pemilikan barang-barang kekayaan. Di bagian-
bagian tertentu dari kampung nelayan, biasanya ada satu-dua rumah yang
dibangun megah. Sementara itu, kondisi rumah-rumah disekitarnya adalah
sebaliknya. Jenis rumah pertama dapat diidentifikasi sebagai rumah pemilik
perahu, pedagang ikan, sedangkan jenis rumah yang terakhir adalah milik nelayan
miskin. Gejala demikian merupakan gejala yang paling kasat mata dalam
kehidupan di kampung-kampung nelayan.
Rumah-rumah yang megah dan perhiasan emas yang dikenakan dalam
penampilan sehari-hari adalah harta kekayaan yang biasa diperlihatkan orang-
orang kaya. Sebaliknya, rumah yang sederhana, tidak adanya perhiasan dan
banyaknya hutang ke berbagai pihak adalah bentuk dari ketiadaan harta yang bisa
diperlihatkan oleh orang-orang miskin kepada masyarakat.
2.1.1.2. Tipologi Nelayan
Tipologi dapat diartikan sebagai pembagian masyarakat ke dalam
golongan-golongan menurut kriteria-kriteria tertentu. Mengacu kepada Satria
9
(2001), kriteria dalam tipologi masyarakat nelayan dapat dilihat berdasarkan
kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya. Dua hal tersebut
(teknologi dan orientasi budaya) sangat terkait satu sama lain. Nelayan kecil
mencakup barbagai karakteristik, ketika seorang nelayan belum menggunakan alat
tangkap yang maju, pada umumnya diiringi oleh beberapa karakteristik budaya
seperti lebih berorientasi subsistensi. Sementara itu, nelayan besar dicirikan oleh
skala usaha yang besar, baik kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah
armadanya, mereka berorientasi pada keuntungan (profit oriented), dan umumnya
melibatkan sejumlah buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan
organisasi kerja yang semakin kompleks. Pola hubungan antar berbagai status
dalam organisasi tersebut juga semakin hierarkhis. Wilayah operasinya pun
semakin beragam.
Satria (2002), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang
dilihat dari kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan
produksi. Keempat tingkatan nelayan terbut adalah:
1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi
pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan
golongan ini masih menggunakan alat tangkap tradisional, seperti dayung
atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai
tenaga kerja utama.
2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan
ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan
sarana perahu motor tersebut semakin membuka peluang bagi nelayan untuk
menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh
10
surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih
besar. Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir. Pada
jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang
digunakan sudah meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja.
3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan
keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya
jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer.
Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian
tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.
4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan cara-cara
yang mirip dengan perusahaan agroindustri dinegara-negara maju, secara
relatif lebih padat modal, memberikan pendapatan yang lebih tinggi
daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan
menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
Menurut Mubyarto, et al (1984), berdasarkan stratifikasi yang ada pada
masyarakat nelayan, dapat diketahui berbagai tipologi nelayan, yaitu:
1. Nelayan kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga
mempekerjakan nelayan lain tanpa ia sendiri harus ikut bekerja.
2. Nelayan kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih
ikut bekerja sebagai awak kapal.
3. Nelayan sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi
dengan pendapatan pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki
perahu tanpa mempekarjakan tenaga dari luar keluarga.
11
4. Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak
mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja
lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri dan anak-anaknya.
5. Nelayan pandega atau tukang kiteng.
2.1.1.3. Hubungan Antar Tipe Nelayan
Menurut Satria (2002), hubungan antar tipe nelayan dicirikan dengan
kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan
konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan
ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah
yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien
merupakan institusi jaminan ekonomi. Hal ini terjadi karena nelayan belum
menemukan alternatif institusi yang menjamin kepentingan sosial ekonomi
mereka. Masyhuri (2001), menggambarkan bahwa pada saat hasil tangkapan
kurang baik, nelayan kekurangan uang. Pada akhirnya, ia melepas barang-barang
yang mudah dijual dengan harga lebih murah kepada patron. Selanjutnya, nelayan
akan mencari hutang kepada patron dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil
tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan harga lebih rendah dari
harga pasar.
Selain itu Kusnadi (2002), menjelaskan bahwa dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan berupa penangkapan ikan oleh berbagai tipe nelayan tidak
jarang menimbulkan konflik sosial antar kelompok masyarakat nelayan dalam
memperebutkan sumberdaya perikanan di daerah perairan mereka. Konflik sosial,
baik terbuka maupun laten antar kelompok masyarakat nelayan dalam
12
memperebutkan sumberdaya perikanan dapat berlangsung di berbagai daerah
pesisir.
2.1.2. Kemiskinan Nelayan
2.1.2.1. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa pengertian.
Menurut Hermanto dkk. (1995), kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana
seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan akan
pangan. Sedangkan Mangkuprawira (1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering
disebut pula sebagai ketidak berdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik
materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan, pakaian, kesehatan dan
papan. Sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak asasi,
kasih sayang, solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya..
Menurut Setiadi (2006), kemiskinan merupakan masalah struktural dan
multi dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain.
Dimensi-dimensi kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) tidak
dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses
pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya,
masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya
kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak,
termasuk akses informasi. (b) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam
institusi sosial yang ada, sehingga mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c)
rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup
13
mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya kepemilikan masyarakat
miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk asset
kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana,
perumahan, pemukiman dan sebagainya.
Ellis (1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi
kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan
ekonomi adalah kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum.
Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu.
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan sosial
dan struktur yang tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan
agar produktivitas seseorang meningkat. Penyebabnya antara lain karena faktor
internal yaitu hambatan budaya sehingga disebut kemiskinan kultural. Sedangkan
faktor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan resmi yang berakibat
mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang termasuk
dalam pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita
masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti
kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, pendidikan, komunikasi,
perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan politik
14
adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya
untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial.
Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan
dapat dilihat dari pola-polanya, yaitu:
1. Kemiskinan Individual, kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan-
kekurangan yang disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat
yang diperlukan untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan.
Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat bekerja yang
memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal finansial
atau modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak
mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam
kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup miskin dalam
lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai
jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan
menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
2. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini perlu diadakan
perbandingan antara taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga atau
rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu komunitas tertentu. Dengan
perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka
yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran
yang dipakai adalah ukuran pada masyarakat setempat (lokal). Dengan
demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif
miskin dapat saja termasuk golongan kaya apabila diukur dengan kriteria di
15
tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah
yang lebih miskin.
3. Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena
disandang oleh suatu golongan yang ”built in” atau menjadi bagian yang
seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat. Di dalam konsep
kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita
kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang
diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh
dari golongan yang menderita kemiskinan struktural yaitu nelayan yang
tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak terdapat orang-orang
yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya, akibatnya
mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung
lunas.
4. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat
di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak
sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak memiliki
ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial
yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan
menggunakannya untuk keperluan masyarakat.
Lewis (1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu
kebudayaan, atau lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan
hakikatnya yang tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari
generasi ke generasi melalui garis keluarga. Kebudayaan kemiskinan merupakan
16
suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus merupakan reaksi kaum
miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata
kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut
mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang
merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di
dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas.
Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam
lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri terpenting
kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan
akibat dari berbagai faktor termasuk langkanya sumberdaya-sumberdaya
ekonomi, segregasi dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apati, serta
berkembangnya pemecahan-pemecahan masalah secara setempat.
Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran
menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak
adanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya
jumlah uang tunai. Semua kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi
yang efektif di dalam sistem ekonomi yang lebih luas. Sebagai respon
terhadapnya, kita temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya hal gadai
menggadaikan barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat
setempat dengan bunga yang mencekik leher, munculnya sarana kredit informal
yang secara spontan diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan
pakaian dan mebel bekas, dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah
kecil-kecilan sehari-harinya sesuai dengan tingkat kebutuhan yang diperlukan.
17
2.1.2.2. Ciri Kemiskinan Nelayan
Menurut Hermanto (1995), kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat
dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat
pendidikan keluarga rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya
pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat
dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap permodalan yang rendah.
Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi
kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat
nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman.
Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah
hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman
bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun rumbia, dan keterbatasan pemilikan
perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan
tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang
memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang
perantara atau pedagang berskala besar dan pemilik toko.
Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat
pendidikan anak-anak mereka, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat
pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika
tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus
berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan
melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama. Disamping itu,
kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan miskin adalah
pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan
18
perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan
pangan merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan
hidup.
2.1.2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan
Menurut Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya
kemiskinan pada masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumber-
sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun
rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu
dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah
penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya tingkat
kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di
wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang
tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.
Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin
terpuruknya kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu:
1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan
atau ada potensi ikan yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih
terjamin, sedangkan pada saat tidak musim ikan nelayan akan menghadapi
kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun.
2. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam
pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan
pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan
19
teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta
terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga
nelayan. Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap
kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan rumahtangga
nelayan ke dalam jebakan kekurangan.
Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan
nelayan tidak pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat
hasil produksi nelayan yang sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi
nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk
mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar untuk
menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin
ikan hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling
penting adalah bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat,
meski seringkali kemudian mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang
memuaskan dari para tengkulak terhadap ikan hasil tangkapan mereka. Di
komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa menang dalam tawar-
menawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan selalu
kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena
perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi
perairan yang overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian
harus menjual sebagian atau bahkan semua asset produksi yang mereka miliki
untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup sehari-hari yang tak kunjung usai.
20
2.1.3. Strategi Rumahtangga Nelayan
Konsep strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai
suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi
adalah berbagai kombinasi dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan
orang agar supaya dapat mencapai kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Barret, et
all. dalam Aristiyani, 2001). Crow dalam Dharmawan (2003) mengartikan strategi
sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Konsep strategi
ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana dalam teori tersebut dikatakan
bahwa setiap pilihan yang dibuat individu, termasuk pemilihan suatu strategi
dibuat berdasarkan perimbangan rasional dengan mempertimbangkan untung rugi
yang akan diperoleh.
Rumahtangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap,
tetapi tidak selalu memiliki hubungan darah. Setiap anggota dalam rumahtangga
memiliki kesepakatan untuk menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya
secara bersama-sama. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Manig dalam
Dharmawan seperti dikutip Lestari (2005), bahwa rumahtangga adalah grup
dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap dan menggunakan dapur
yang sama, berkontribusi dalam pengumpulan pendapatan serta memanfaatkan
pendapatan tersebut untuk kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua
modal dan barang diatur oleh kepala rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih
demi kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian pekerjaan yang berdasarkan
jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk kepentingan bersama.
Masing-masing anggota rumahtangga akan berkontribusi sesuai dengan peran,
tanggungjawab dan kemampuannya.
21
Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga
nelayan miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara
rasional kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non
produksi. Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola
nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja
rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik
dalam status berusaha sendiri maupun status memburuh.
Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan asli merupakan bagian
penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan miskin. Sekalipun sifatnya
tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga kesejahteraan asli dapat
memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara langsung
maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan
rumahtangga nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan
biaya cukup besar, antara lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus),
dan modal usaha. Penerimaan tersebut tidak saja membantu rumahtangga nelayan
miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan (berupa kekurangan konsumsi)
tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab kemiskinan berupa
kekurangan modal produksi.
Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana
dapat dilakukan melalui:
1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak).
Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga
nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang
harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
22
2. Diversifikasi Pekerjaan
Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat
melakukan kombinasi pekerjaan.
3. Jaringan Sosial
Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif
dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya
yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi
rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup
sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara
alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi
dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang
bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitan-
kesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan tidak direspon dengan sikap
yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang pendapatan
setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan
sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan
mereka.
4. Migrasi
Migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim
ikan dan nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang
ada di daerah tujuan yang sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk
memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga
terjamin. Dalam waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh,
mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi
23
kadang kala penghasilan itu dititipkan kepada teman-temannya yang sedang
pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah musim ikan, atau
keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan
kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya.
2.2. Kerangka Pemikiran
Menurut Kusnadi (2000), faktor penyebab kemiskinan nelayan dapat
berupa berupa fluktuasi musim ikan, pada saat tidak musim menangkap ikan
nelayan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Ketimpangan sistem bagi hasil dan dampak negatif motorisasi,
menyebabkan semakin terpuruknya nelayan kecil. Pangemanan dkk. (2003)
menjelaskan bahwa faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan yaitu
berupa rendahnya tingkat pendidikan nelayan, sehingga rumahtangga nelayan
sangat terbatas dalam mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia khususnya
peluang kerja di luar sektor perikanan. Sedangkan Suyanto (2003) menjelaskan
bahwa kemiskinan nelayan di sebabkan oleh perangkap hutang, akibat irama
musim yang tidak menentu seringkali rumahtangga nelayan miskin harus menjual
asset produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menutupi hutang
yang tak kunjung usai.
Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi rumahtangga
nelayan miskin dalam mengatasi kemiskinan dapat berupa pola nafkah ganda dan
pemanfaatan kelembagaan kesejahteraan asli (kelompok arisan), penerapan
strategi tersebut dapat membantu rumahtangga nelayan miskin dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan membantu mengatasi faktor penyebab kemiskinan
24
berupa kekurangan modal produksi. Kusnadi (2000) menjelaskan bahwa strategi
yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan dapat
berupa peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan, diversifikasi pekerjaan.
Penerapan strategi ini dapat membantu menambah sumber pendapatan
rumahtangga nelayan di tengah ketidakpastian hasil tangkapan nelayan. Jaringan
sosial juga dapat diterapkan sebagai strategi mengatasi kemiskinan karena melalui
jaringan sosial rumahtangga nelayan akan lebih efektif untuk memperoleh akses
terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan
rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi kesulitan hidup
sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik.
Menurut Corner (1988:187-189) dalam Kusnadi (2000), bahwa
dikalangan penduduk miskin terdapat beberapa pola strategi adaptasi yang
dikembangkan untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu:
1. Melakukan beraneka ragam pekerjaan untuk memperoleh penghasilan.
2. Jika kegiatan-kegiatan tersebut masih kurang memadai, penduduk miskin
akan berpaling kepada sistem penunjang yang ada di lingkungannya.
Sistem ikatan kekerabatan, ketetanggaan, dan pengaturan tukar-menukar
secara timbal balik merupakan sumberdaya yang sangat berharga bagi
penduduk miskin dalam menghadapi penghasilan dan peluang yang
semakin menurun.
3. Bekerja lebih banyak meskipun lebih sedikit masukan. Strategi yang
bersifat ekonomis ini ditempuh untuk mengurangi tingkat kebutuhan
konsumsi sehari-hari.
25
4. Memilih alternatif lain jika ketiga alternatif di atas sulit dilakukan dan
kemungkinan untuk tetap bertahan hidup di Desa sudah sangat kritis.
Rumahtangga miskin tersebut harus menghadapi pilihan terakhir agar
segera meninggalkan Desa dan bermigrasi ke daerah lain.
Berdasarkan beberapa pustaka (Kusnadi, Sitorus, Suyanto, dan
Pangemanan dkk) masyarakat nelayan dengan berbagai karakteristiknya
khususnya nelayan kecil dan buruh nelayan selalu dihadapkan pada masalah
kemiskinan. Faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan tersebut dapat berupa
fluktuasi musim tangkapan, rendahnya sumberdaya manusia nelayan, eksploitasi
pemodal, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, motorisasi, pencemaran
lingkungan, serta kebiasaan nelayan. Strategi-strategi yang dapat dilakukan oleh
rumahtangga nelayan dalam mengatasi masalah kemiskinan yaitu pola nafkah
ganda, peranan anggota keluarga, diversifikasi peralatan tangkap, pemanfaatan
organisasi produktif, dan jaringan sosial. Strategi yang banyak dilakukan oleh
rumahtangga nelayan di Desa Limbangan untuk mengatasi kemiskinan yaitu
peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan.
26
Berikut adalah skema atau alur berpikir dari penelitian mengenai strategi
rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan:
Gambar 1. Kerangka Studi Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan
Keterangan:
: Memiliki keterkaitan dengan
Faktor Penyebab Kemiskinan: • Fluktuasi musim tangkapan • Sumberdaya manusia
nelayan • Eksploitasi pemodal • Ketimpangan sistem bagi
hasil • Motorisasi • Pencemaran lingkungan • Kebiasaan nelayan
Strategi Rumahtangga Nelayan:
• Pola nafkah ganda • Peranan anggota keluarga • Diversifikasi peralatan tangkap • Organisasi produktif • Jaringan sosial
Kemiskinan rumahtangga
nelayan
27
2.3. Batasan Pengertian
1. Kemiskinan
Kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan,
dan lain-lain.
2. Pola Nafkah Ganda
Upaya yang dilakukan rumahtangga nelayan untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup dengan menambah sumber pendapatan dengan
melakukan berbagai jenis pekerjaan yang berbeda.
3. Peran Anggota Keluarga
Upaya yang dilakukan rumahtangga nelayan untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup dengan menambah sumber pendapatan melalui
penghasilan anggota rumahtangga.
4. Organisasi produktif
Organisasi formal maupun informal (bentukan masyarakat sendiri) dimana
rumahtangga nelayan terlibat di dalamnya untuk memperoleh sejumlah
manfaat.
5. Jaringan Sosial
Merupakan strategi yang melibatkan pertukaran dan kerjasama dalam
bentuk materi ataupun non-materi.
28
2.4. Hipotesis Pengarah
Faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan sangat kompleks.
Faktor penyebab kemiskinan nelayan tersebut dapat berupa fluktuasi musin
tangkapan, rendahnya sumberdaya manusia (SDM) nelayan, eksploitasi pemodal,
ketimpangan sistem bagi hasil, motorisasi, pencemaran lingkungan, dan kebiasaan
nelayan.
Rumahtangga nelayan tidak menghadapi masalah kemiskinan dengan
sikap pasrah, melainkan melakukan berbagai strategi untuk mengatasi kemiskinan
tersebut. Strategi yang dapat dilakukan oleh rumahtangga nelayan yaitu pola
nafkah ganda, peranan anggota keluarga (istri dan anak), diversifikasi peralatan
tangkap, pemanfaatan organisasi produktif, dan jaringan sosial. Dengan penerapan
berbagai strategi tersebut, nelayan dapat bertahan hidup ditengah keadaan yang
serba miskin atau setidaknya nelayan tidak terjerumus lebih dalam kepada jurang
kemiskinan.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif,
yang berusaha menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi
kemiskinan melalui metode studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan untuk
mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan penelitian
yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang diantara orang-orang yang
menjadi subyek penelitian. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat
menggambarkan kompleksitas permasalahan penelitian dan untuk menghindari
keterbatasan pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan
yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. Melalui metode studi kasus, peneliti
berusaha menangkap realitas sosial secara holistik dan mendalam tentang
permasalahan penelitian.
Tipe studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tipe studi
kasus instrumental, dimana dalam penelitian ini memperlakukan kasus
rumahtangga nelayan sebagai instrumen untuk memahami kondisi kehidupan pada
masyarakat nelayan. Sesuai dengan tujuan dan kegunaan penelitian yang ingin
dicapai, maka digunakan tipe penelitian yang bersifat eksplanatif. Tipe tersebut
digunakan karena dalam penelitian ini ingin dipahami dan digambarkan
bagaimana masyarakat nelayan berusaha mengatasi kemiskinan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
30
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Masyarakat yang penulis kaji dalam penelitian mengenai strategi
rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan ini yaitu masyarakat nelayan
yang berlokasi di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu,
Propinsi Jawa Barat (lihat lampiran Gambar 8). Penentuan lokasi dilakukan secara
purposive (sengaja), dengan pertimbangan bahwa Desa Limbangan merupakan
salah satu pusat pemukiman nelayan yang ada di Kabupaten Indramayu, dan
kehidupan masyarakat nelayannya memiliki karakteristik yang mendukung topik
penelitian. Selain itu juga, jarak yang relatif dekat dan penguasaan peneliti
terhadap bahasa daerah masyarakat nelayan setempat dapat memudahkan dalam
pengambilan data.
Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juli sampai Agustus
2006. Dalam rentang waktu tersebut, peneliti diharapkan mampu mengumpulkan
data-data yang diperlukan untuk menjawab perumusan masalah yang diajukan
dalam penelitian ini.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder (lihat tabel 12). Pengumpulan data primer dilakukan dengan
menggunakan wawancara mendalam. Wawancara mendalam akan dilakukan
terhadap responden, baik nelayan Anak Buah Kapal (ABK) ataupun nelayan
juragan, dan yang relevan dengan studi. Wawancara juga dilakukan dengan para
informan. Wawancara seperti ini perlu dilakukan untuk re-cek informasi dari
responden. Untuk membantu proses wawancara dalam penelitian ini digunakan
31
pedoman pertanyaan sebagai interview guide (lihat lampiran 1). Pemakaian
pedoman wawancara dimaksudkan agar proses wawancara berjalan lancar dan
terarah pada fokus penelitian.
Disamping wawancara mendalam, penelitian akan menggunakan metode
pengamatan langsung (observasi). Tujuan pengamatan langsung adalah untuk
mencocokkan hasil wawancara dengan kenyataan yang ada. Selain itu juga,
dengan pengamatan langsung diharapkan akan terungkap kenyataan yang ada
yang mungkin tidak dapat diketahui hanya melalui wawancara. Sedangkan data
sekunder merupakan data yang menyangkut permasalahan penelitian dari berbagai
instansi maupun sumber lain yang telah didokumentasikan dan dicatat, termasuk
data statistik maupun data dari sumber litaratur yang lain. Data sekunder ini akan
diperoleh melalui studi dokumen.
Fenomena atau informasi penting tentang obyek studi dari seorang
responden akan diperdalam dan dikembangkan lebih lanjut dengan informasi dari
responden lainnya. Dengan cara ini, penetapan responden lebih ditentukan oleh
permasalahan penting yang muncul atau yang ditemukan di lapangan. Responden
dalam penelitian ini berjumlah 12 rumahtangga, terdiri atas 7 rumahtangga buruh
nelayan (Bidak), 3 rumahtangga pemilik perahu (Juragan), dan 2 rumahtangga
pemodal (Bakul).
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data kualitatif baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan di
lapangan melalui wawancara mendalam, pengamatan langsung (observasi) dan
studi dokumen dicatat dalam catatan harian yang kemudian akan diolah dan
32
dianalisis secara kualitatif melalui tahapan-tahapan reduksi, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998). Tahapan reduksi meliputi kegiatan
meringkas data, mengkode dan mengklasifikasikan data tersebut
berdasarkangugus-gugus analisis dalam outline skripsi. Penyajian data tersebut
diuraikan secara deskriptif dalam bentuk teks naratif dan matriks.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Desa
4.1.1. Lokasi dan Keadaan Alam
Desa Limbangan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Juntinyuat,
Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Desa ini termasuk Desa yang relatif
baru, karena baru terbentuk pada tahun 1986 yang merupakan hasil pemekaran
dari Desa Lombang. Menurut masyarakat setempat, asal usul nama Desa berasal
perjalanan seseorang yang bernama Mbah Kuwu Sangkan, pada saat sedang
mencari ikan-ikan kecil (rebon), beliau singgah di daerah ini untuk “melimbang”
yang artinya memisahkan antara sampah (balad) dengan ikan, sehingga daerah ini
dinamakan Desa Limbangan.
Desa Limbangan memiliki luas wilayah 321,354 Ha, terdiri dari 3 Rukun
Warga (RW) dan 12 Rukun Tetangga (RT). Masing-masing RW dan RT tersebut
dipimpin oleh seorang ketua. Sedangkan batas-batas wilayah administrasi Desa
Limbangan, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan
berbatasan dengan Desa Lombang, sebelah Barat berbatasan dengan Desa
Majakerta dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lombang.
Keadaan alam Desa Limbangan berupa pantai yang memanjang dan sungai
yang menjorok ke darat, sungai ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mendaratkan
perahu-perahu mereka. Selain itu, di Desa ini juga masih terdapat tanah sawah,
namun sawah-sawah tersebut merupakan sawah tadah hujan . Hal ini dikarenakan
tidak adanya saluran irigasi untuk sawah, kalaupun ada airnya sudah asin seperti
34
air laut, sehingga tidak cocok digunakan untuk pengairan sawah. Tanah sawah
tersebut sebagian besar dimiliki oleh penduduk Desa Lombang yang sebagian
besar bermata pencaharian sebagai petani. Pada perkembangannya tanah sawah di
Desa ini banyak dikonversikan menjadi tambak. Tambak yang terdapat di Desa
Limbangan pada umumnya adalah tambak udang dan hanya sebagian kecil
tambak ikan bandeng.
4.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian
Jumlah penduduk Desa Limbangan sebanyak 3662 jiwa atau 1004 Kepala
Keluarga (KK) yang terdiri atas 1897 jiwa laki-laki dan 1765 jiwa perempuan.
Adapun jumlah penduduk Desa Limbangan berdasarkan tingkat pendidikannya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Limbangan, Kecamatan
Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat Menurut
Tingkat Pendidikan 2005.
No Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (Jiwa)
Persentase (%)
1. Belum sekolah 1040 28,40 2. Tidak pernah sekolah 120 3,27 3. Tidak tamat SD 255 6,96 4. Belum tamat SD 697 19,04 5. Tamat SD/sederajat 878 23,97 6. Tamat SLTP/sederajat 473 12,92 7. Tamat SLTA/sederajat 186 5,08 8. Akademi/Perguruan Tinggi 13 0,36
Jumlah 3662 100,00 Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005.
Jika mengacu kepada program pendidikan yang dicanangkan oleh
pemerintah, yaitu program wajib belajar 9 tahun, maka tingkat pendidikan
penduduk di Desa Limbangan dapat dikatakan masih rendah. Hal itu ditunjukkan
dengan hanya 18,36 persen saja penduduk yang tamat di atas Sekolah Dasar (SD).
35
Rendahnya jumlah anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan para orang tua secara
materi, tetapi juga oleh keinginan sendiri anak-anak tersebut. Mereka memilih
tidak mau melanjutkan sekolah walaupun orangtuanya mampu. Mereka lebih
memilih langsung ikut bekerja di laut atau sebagai nelayan. Sebagian dari anak-
anak tersebut memilih melaut karena ikut-ikutan temannya yang lain, dan juga
mereka melihat anak-anak yang lain mampu mempunyai uang sendiri setelah
bekerja melaut. Namun ada juga sebagian orang tua yang menginginkan anaknya
untuk membantu bekerja di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,
sehingga terdapat anak-anak yang terpaksa harus meninggalkan bangku
sekolahnya.
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di
Desa Limbangan 2005.
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (jiwa)
Persentase (%)
1. Nelayan 1580 81,74 2. Petani 137 7,09 3. Pedagang 105 5,43 4. Wiraswasta 75 3,89 5. Buruh Industri 15 0,78 6. Pegawai Negeri Sipil 10 0,51 7. Peternak 10 0,51 8. Montir 1 0,05
Jumlah 1933 100,00 Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005
Mata pencaharian penduduk Desa Limbangan sangat bervariasi, mulai dari
petani, nelayan, sampai pegawai negeri (Tabel. 2). Tetapi berdasarkan Tabel
tersebut, sebagian besar penduduk di Desa Limbangan bermata pencaharian
sebagai nelayan, yaitu sebesar 81,74 persen. Hal ini disebabkan letak Desa
Limbangan yang berada di wilayah Pesisir Pantai Utara Jawa, selain itu juga,
sektor pekerjaan nelayan merupakan bidang yang paling terbuka luas dan sangat
36
mudah dimasuki oleh penduduk yang tingkat pendidikannya rendah dan memiliki
keterbatasan modal usaha.
Mata pencaharian sebagai petani, baik petani sendiri maupun buruh tani
pada tabel di atas, sebagian besar adalah bekerja sebagai petani sawah. Sementara
itu buruh industri yang banyak menjadi mata pencaharian penduduk sebagian
besar adalah industri pengolahan hasil ikan seperti industri udang, ikan teri dan
rajungan. Selain itu adapula pemilik toko atau warung yang menjual kebutuhan
hidup sehari-hari penduduk Desa Limbangan, mereka hampir tersebar merata di
seluruh bagian Desa ini.
4.1.3. Sarana, Prasarana dan Pola Pemukiman Penduduk
Kondisi jalan utama yang ada di Desa Limbangan yaitu berupa jalan
beraspal yang panjang keseluruhannya sekitar 600 meter. Pembangunan jalan-
jalan tersebut merupakan bantuan dari pemerintah dan hasil swadaya masyarakat.
Sedangkan jalan-jalan kecil yang ada di Desa, seperti gang-gang kecil, sebagian
sudah dilakukan pengerasan dengan biaya swadaya masyarakat, ada juga jalan-
jalan di Desa yang masih berupa jalan tanah atau kerikil.
Transportasi yang digunakan penduduk Desa ini apabila hendak bepergian
adalah dengan menggunakan becak dan sepeda motor. Sarana transportasi ini
hanya menghubungkan sampai jalan raya utama yaitu jalan yang menghubungkan
transportasi menuju daerah-daerah di Kabupaten. Namun, sebagian besar
penduduk juga telah memiliki kendaraan pribadi, seperti sepeda, sepeda motor
dan mobil yang dapat digunakan untuk sarana transportasi masyarakat setempat.
37
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Limbangan masih belum
mencukupi. Hal itu dapat terlihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Bangunan Sarana Pendidikan di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat,
Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat.
Bangunan Jumlah Bangunan Jumlah Guru Jumlah Murid Taman Kanak-kanak (TK) 2 4 97
Sekolah Dasar (SD) 2 20 878 Madrasah 1 4 80
Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005
Bagi penduduk yang akan melanjutkan pendidikan selepas Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terdekat adalah di Desa
Juntinyuat yang berjarak sekitar 3 Km dari Desa. Sedangkan bagi anak-anak yang
ingin melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), mereka
harus ke luar Kecamatan, biasanya sekolah yang dituju terletak di Kecamatan
Indramayu, Balongan, Jatibarang, Karangampel, Krangkeng dan lain-lain.
Prasarana untuk menunjang kegiatan ibadah, di Desa Limbangan terdapat
1 buah masjid dan 17 buah mushola. Untuk keperluan kesehatan, penduduk Desa
biasanya memanfaatkan Puskesmas pembantu yang ada di Desa tersebut. Selain
itu di Desa Limbangan juga terdapat dua orang bidan dan seorang mantri yang
membuka praktek setiap hari selain hari libur. Akan tetapi, banyak juga penduduk
yang lebih memilih berobat kepada paranormal atau ke luar Desa, yang biasanya
pada dokter-dokter spesialis yang ada di Kota Indramayu dan Cirebon.
Di Desa Limbangan fasilitas-fasilitas umum seperti listrik, telepon dan
Produksi Air Minum (PAM) sudah tersedia dan telah dinikmati hampir oleh
sebagian warga. Fasilitas listrik telah masuk ke Desa ini sejak tahun 1986. namun
ada pula sebagian rumah warga yang hanya dialiri listrik oleh tetangganya,
38
sehingga mereka hanya mempunyai kewajiban membayar kepada tetangga yang
mengaliri listriknya tersebut. Dengan adanya fasilitas listrik telah mendorong
kepemilikan barang-barang elektronik, seperti televisi, kulkas, tape, vcd dan lain-
lain.
Saluran PAM masuk ke Desa Limbangan pada tahun 1988. Sebelum
masuknya saluran PAM, kebutuhan air warga hanya di dapat dari sumur atau
sumur bor yang mereka miliki. Akan tetapi, air sumur yamg mereka miliki hanya
dapat digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan Buang air (MCK),
sedangkan untuk minum dan masak warga mengambil air dari desa lain atau yang
dikenal dengan istilah ngangsu. Hal ini dilakukan karena kebanyakan sumur-
sumur milik warga airnya tidak layak apabila digunakan untuk minum atau
masak.
Sarana komunikasi berupa fasilitas telepon baru masuk ke desa Limbangan
pada tahun 2001. Menurut salah seorang informan Dsp (55 tahun), akhir-akhir ini
telah banyak warga yang mempunyai telepon genggam atau handphone (HP). HP
ini digunakan oleh warga untuk berkomunikasi dengan keluarga atau saudaranya
yang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga
Kerja Perempuan (TKW). Selain itu, HP digunakan juga untuk mendapatkan
informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu.
Pola pemukiman penduduk di Desa Limbangan adalah pola menyebar
mengikuti jalan dan gang-gang, rumah-rumah penduduk menghadap ke jalan-jalan
utama Desa dan juga gang-gang kecil. Rumah-rumah di Desa ini sebagian besar
tidak mempunyai halaman yang luas dan jarak antar rumah saling berhimpitan.
Rumah-rumah yang terletak di pinggir-pinggir jalan Desa rata-rata kondisinya
39
cukup baik, apalagi rumah-rumah milik para bakul1 dan juragan2. Akan tetapi,
sebagian besar kondisi rumah-rumah nelayan masih sangat sederhana.
Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, rumah-rumah di Desa Limbangan dapat
dibagi menjadi tiga kategori, seperti terlihat pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Bangunan Rumah Nelayan Menurut Jenis Rumah, Jumlah, dan Pemilik.
Jenis Rumah Jumlah (buah) Pemilik Permanen 375 Bakul dan Juragan Semi permanen 475 Juragan dan Bidak Sedehana/gubuk 250 Bidak
4.1.4. Motorisasi Peralatan Tangkap
Motorisasi usaha penangkapan merupakan pengadaan motor bagi perahu-
perahu penangkap ikan milik nelayan baik berupa “motor tempel” maupun “motor
duduk” dengan tujuan untuk meningkatkan nelayan dalam mengelola sumberdaya
perikanan di laut. Dengan adanya motorisasi usaha penangkapan ikan ini,
diharapkan nelayan dapat meningkatkan jangkauan operasi penangkapan ikan
agar hasil yang diperoleh dapat ditingkatkan.
Motorisasi peralatan tangkap di Desa ini sudah dimulai sejak tahun 1972-
an. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya program pemerintah tentang motorisasi
peralatan tangkap dan persaingan diantara nelayan. Pada waktu perahu-perahu
nelayan di Desa Limbangan masih menggunakan dayung dan layar, perahu-
perahu nelayan dari daerah lain seperti Cirebon sudah menggunakan mesin,
sehingga nelayan di Desa ini kalah bersaing dengan nelayan-nelayan dari daerah
1 Bakul adalah istilah lokal untuk sebutan pemodal atau pedagang yang membeli hasil tangkapan
nelayan, disebut juga sebagai pedagang pengumpul. 2 Juragan adalah nelayan yang memiliki perahu yang digunakan untuk melaut, biasanya memiliki
buruh nelayan sebagai Anak Buah Kapal (ABK).
40
lain dalam usaha penangkapan ikan. Melihat kenyataan seperti itu, mau tidak mau
nelayan di Desa Limbangan melakukan motorisasi pada perahu-perahu mereka
dengan alasan agar mampu bersaing dengan nelayan-nelayan dari daerah lain dan
dapat meningkatkan hasil tangkapan.
Pada awal perkembangan proses motorisasi peralatan tangkap, para
nelayan mendapatkan mesin dan peralatan tangkap lainnya dari hasil kredit
kepada pemerintah melalui Koperasi yang ada di Desa ini. Pada tahun 1972,
pemerintah telah menyalurkan bantuan kredit berupa 12 unit mesin. Bantuan
kredit tersebut tidak disambut secara antusias oleh para nelayan karena pada
waktu itu para nelayan takut akan dikenakan sanksi apabila tidak dapat
mengembalikan bantuan kredit tersebut. Pada tahun 1974, bantuan kredit tersebut
dihentikan karena para nelayan tidak dapat mengembalikan pinjaman kredit,
sehingga untuk tahun-tahun selanjutnya para nelayan mendapatkan mesin dan
peralatan tangkap lainnya dari uang hasil pinjaman kepada bakul atau modal
sendiri.
4.1.5. Jenis Peralatan Tangkap
Peralatan tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Desa
Limbangan sangat beragam diantaranya yaitu:
1. Jaring Payang
Jaring Payang merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap
ikan teri. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 7 m, lebar 10 m, dan
diameter lubang jaring 4-5 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk
dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu
41
panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat
tangkap ini dioperasikan oleh 7-9 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada
jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur3 sebanyak 15-25 kali. Hal ini
sangat tergantung dengan banyaknya hasil tangkapan pada setiap tawur,
apabila hasilnya baik, maka kemungkinan besar nelayan akan melakukan
tawur lebih sedikit. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 7-
10 meter. Jenis alat tangkap ini biasa dioperasikan pada musim Timur.
2. Jaring Kantong
Jaring Kantong merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap udang. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 2 m, lebar 12 m,
dan diameter lubang jaring 2 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk
dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu
panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat
tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada
jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 3-4 kali. Wilayah
operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 10-20 meter. Jenis alat tangkap
ini biasanya dioperasikan pada musim Barat.
3. Jaring Rampusan/Unyil
Jaring Rampusan merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap berbagai jenis ikan, seperti ikan Lowang, Kembung dan lain-lain.
Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 5 m, lebar 15 m, dan diameter
lubang jaring 2,25 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan
kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang
3 Tawur adalah istilah lokal untuk kegiatan menabur jaring pada saat melaut
42
7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini
dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat
tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah operasi jenis
alat tangkap ini pada kedalaman 7-8 meter. Jenis alat tangkap ini biasa
dioperasikan pada musim Timur.
4. Jaring Kejer/Bubu
Jaring Kejer/Bubu merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap Rajungan. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 1 m, lebar 8
m, dan diameter lubang jaring 3-4 inci. Perahu yang digunakan bermesin
duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan
yaitu panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat
tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada
jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah
operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 9-10 meter. Jenis alat tangkap
ini biasa dioperasikan pada musim Timur.
5. Jaring Kopet
Jaring Kopet merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap
Ikan Tanjan. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 7 m, lebar 13 m, dan
diameter lubang jaring 1 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan
kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang
7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini
dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat
tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah operasi jenis
43
alat tangkap ini pada kedalaman 10-15 meter. Jenis alat tangkap ini biasanya
dioperasikan pada musim Barat.
Tabel 5. Perbedaan Jenis Alat Tangkap Nelayan di Desa Limbangan Menurut Jenis
ikan, Jumlah nelayan, Frekuensi menabur jaring, Wilayah operasi dan
Musim
Jenis alat tangkap Jenis ikan Jumlah nelayan (orang)
Frekuensi menabur
jaring
Wilayah Operasi (meter)
Musim
Jaring payang Teri 6-9 15-25 7-10 Timur Jaring Kantong Udang 3-4 3-4 10-20 Barat Jaring Rampusan
Lowang, kembung dan lain-lain
3-4
2-3
7-8
Timur
Jaring Kejer/Bubu Rajungan 3-4 2-3 9-10 Timur Jaring Kopet Tanjan 3-4 2-3 10-15 Barat
Pada umumnya kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan setiap hari
sepanjang tahunnya, namun karena hasil tangkapan dipengaruhi juga oleh musim
penangkapan ikan, sehingga pada musim-musim tertentu yaitu pada musim
paceklik ikan atau masyarakat sering menyebutnya sebagai musim laip, banyak
para nelayan yang tidak berangkat melaut karena tidak ada hasil tangkapan
sehingga kalau dipaksakan berangkat melaut akan rugi. Kondisi tersebut sangat
berhubungan dengan kondisi alam yang sedang terjadi di daerah tersebut.
Masyarakat nelayan di Desa Limbangan mengenal dua musim, yaitu musim Barat
atau yang biasa disebut Baratan dan musim Timur atau Timuran. Musim Barat
terjadi sekitar bulan November sampai bulan Pebruari, dimana pada musim ini
ombak relatif besar dengan arus yang relatif kuat, sehingga pada musim barat
kadang banyak nelayan yang tidak melaut. Sedangkan musim Timur terjadi antara
bulan April sampai bulan September, dimana pada musim ini ombak relatif kecil
dan merupakam musim kering atau banyak ikan.
44
4.1.6. Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat
Penduduk di Desa Limbangan semuanya beragama Islam. Untuk masalah
aliran, masyarakat di Desa Limbangan hanya mengenal satu aliran yaitu
Nahdlatul Ulama (NU), sehingga dalam ritual keagamaan diantara masyarakat
relatif sama.
Di Desa Limbangan terdapat tradisi yang sudah turun-temurun dan rutun
dilaksanakan setiap tahun. Tradisi tersebut adalah pesta laut yang oleh masyarakat
setempat dikenal dengan istilah Nadran. Dalam acara pesta nadran selain upacara
adat, terdapat pula pementasan kesenian daerah berupa pementasan wayang, baik
wayang kulit maupun wayang golek. Selain itu, terdapat juga hiburan yang dapat
dinikmati oleh masyarakat, antara lain konser dangdut, dan pasar malam yang
diselenggarakan selama seminggu.
Biaya yang digunakan untuk penyelenggaraan nadran tersebut merupakan
hasil dari swadaya masyarakat. Sumbangan dari masyarakat tersebut dikumpulkan
atau dicicil selama setahun, yang pembayarannya dapat dilakukan setelah pulang
melaut. Untuk jumlah uang yang harus disumbangkan biasanya telah ditetapkan
bersama melalui musyawarah. Selain itu, terdapat pula tradisi sedekah bumi dan
tolak bala. Tradisi-tradisi tersebut dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas hasil
tangkapan ikan yang telah diperoleh. Tradisi-tradisi tersebut dipercayai oleh
masyarakat untuk menghormati penguasa laut. Masyarakat nelayan mempercayai
bahwa penguasa laut adalah nabi Khidir, as. Selain itu, pelaksanaan tradisi-tradisi
tersebut bertujuan agar pekerjaan melaut mereka mendapatkan hasil yang lebih
baik dan agar tidak mendapatkan aral melintang dalam mencari ikan dilaut.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa jika tradisi-tradisi tersebut tidak
45
dilaksanakan pada kurun waktu tertentu, maka masyarakat akan mendapatkan
musibah.
Selain tradisi-tradisi tersebut, masyarakat nelayan juga mempercayai
adanya pantangan-pantangan yang harus dipatuhi, seperti tidak boleh melaut pada
saat hari lebaran, baik lebaran idul fitri maupun lebaran haji. Apabila pantangan
ini dilanggar masyarakat nelayan di Desa Limbangan percaya bahwa pada saat
melaut akan mendapatkan musibah.
BAB V
KEMISKINAN DAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN
5.1. Situasi Umum Kehidupan Nelayan
Bagi para nelayan di Desa Limbangan, secara umum kehidupan sehari-hari
mereka sudah dimulai pada pagi hari. Para nelayan berangkat melaut sekitar pukul
03.00 dan pulang pada siang hari sekitar pukul 13.00. Karena harus mengikuti
penjualan hasil tangkapan dan membereskan peralatan tangkap setelah digunakan
melaut, biasanya para nelayan baru pulang ke rumah juragan sekitar pukul 15.00.
Setelah pulang kerumah juragan, kegiatan yang dilakukan adalah pembagian hasil
atau dikenal dengan istilah nyacar. Setelah pembagian hasil selesai para nelayan
pulang kerumah masing-masing. Setelah di rumah kegiatan yang dilakukan oleh
nelayan satu dengan yang lainnya berbeda-beda, ada yang membantu pekerjaan
isterinya, beristirahat, ataupun melakukan kegiatan lainnya.
Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti pada saat musim menangkap
udang, kehidupan sehari-hari nelayan sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Pada
saat musim tersebut kegiatan nelayan sangat padat, karena setelah selesai
melakukan pembagian hasil para bidak masih mempunyai kewajiban untuk
memperbaiki alat tangkap jaring yang rusak ketika digunakan untuk menangkap
ikan. Kegiatan memperbaiki jaring yang terkoyak (ngiteng) pada saat menangkap
ikan ini dilakukan sampai larut malam bahkan sampai pagi hari, sehingga kadang-
kadang sebagian nelayan tidak sempat beristirahat untuk tidur karena harus pergi
melaut (miyang).
47
5.1.1. Stratifikasi Masyarakat Nelayan
Sektor nelayan yang menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Desa
Limbangan (81,74%), stratifikasi sosial yang muncul adalah berdasarkan
penguasaan asset produksi di bidang perikanan. Meskipun beragam sektor
pekerjaan lain mulai tumbuh di Desa ini, namun sektor perikanan masih menjadi
sektor yang diunggulkan oleh masyarakat. Stratifikasi sosial yang muncul pada
masyarakat nelayan di Desa Limbangan dapat terlihat oleh adanya ketidaksetaraan
ekonomi antar lapisan.
Pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan, muncul istilah bakul,
juragan, dan bidak. Istilah-istilah tersebut sekaligus menjadi penyebutan dalam
pelapisan di masyarakat. Istilah bakul menempati stratifikasi sosial yang paling
tinggi. Istilah bakul diperuntukkan untuk lapisan masyarakat yang mempunyai
asset yang besar dalam bidang perikanan dan hal itu tercermin dari kepemilikan
properti yang ada di darat, seperti bangunan rumah yang bagus, kepemilikan alat
transportasi, barang-barang elektronik dan sebagainya. Kelompok ini tidak terlibat
secara langsung dalam kegitan menangkap ikan, melainkan hanya sebagai
pembeli pengumpul atau mendistribusikan hasil tangkapan para nelayan.Bakul
yang sudah sukses biasanya mempunyai jaringan yang luas diantara para nelayan
dan juga jaringan pasar, baik pasar lokal maupun pasa regional seperti pasar
Jakarta dan sekitarnya. Bagi bakul yang melakukan usaha jual beli ikan dalam
skala kecil biasanya disebut sebagai bakul engklek.
Lapisan berikutnya adalah kelompok masyarakat nelayan yang di sebut
juragan. Juragan adalah nelayan yang memiliki alat-alat produksi (perahu dan
peralatan tangkap). Kelompok ini dianggap sebagai lapisan menengah. Sebagian
48
besar para juragan di Desa ini masih ikut dalam kegiatan menangkap ikan
(miyang), sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan para bidaknya. Karena
dianggap memiliki tingkat ekonomi yang lebih, juragan seringkali menjadi
sandaran bagi anak buahnya( bidak) bila mengalami kesulitan ekonomi.
Lapisan masyarakat yang dianggap paling bawah adalah bidak,
penyebutan istilah bidak adalah mengacu pada nelayan yang tidak bermodal,
hanya modal tenaga dan kemauan saja. Kelompok ini adalah lapisan yang paling
bawah, baik secara sosial mapun secara ekonomi. Lapisan ini banyak bergantung
pada hasil tangkapan, bila hasil tangkapan melimpah, penghasilan seorang bidak
akan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan bila hasil tangkapan ikan
sedikit, untuk mencukupi kebutuhan pokok saja harus menghutang terlebih dahulu
kepada juragan, kerabat, teman atau tetangganya.
5.1.2. Hubungan Antar Tipe Nelayan
Hubungan antar bakul secara sepintas terlihat sangat individualis dan
terkesan memiliki persaingan untuk memperoleh ikatan penjualan dari para
juragan. Kerjasama diantara bakul terlihat pada penetapan harga ikan hasil
tangkapan nelayan, sehingga harga penjualan ikan yang berlaku pada setiap bakul
sama. Hal ini akan memperkuat posisi para bakul dalam penetapan harga ikan
pada saat melakukan transaksi jual beli dengan para juragan.
Pola kerjasama antara bakul dan juragan terimplementasi dalam ikatan
jual beli. Pada saat seorang juragan membutuhkan modal untuk membeli atau
memperbaiki alat-alat produksi (perahu, mesin, dan peralatan tangkap lainnya),
mereka meminjam uang kepada bakul dengan konsekuensi juragan harus
49
menjual hasil tangkapannya kepada bakul tersebut dengan harga yang jauh lebih
rendah dibandingkan harga di pasaran. Kerjasama ini dilakukan oleh juragan
karena tidak membutuhkan persyaratan yang berbelit-belit, semuanya cukup
dilakukan secara lisan. Sekalipun uang pinjaman tersebut tidak memiliki bunga,
namun konsekuensi berupa ikatan penjualan dirasa oleh para juragan sangat
memberatkan karena harga penjualan ikan yang diperoleh jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan harga pasar, sehingga pola kerjasama yang terjadi dianggap
oleh para juragan secara tidak langsung bersifat eksploitatif, karena para bakul
hanya memetik keuntungan tanpa harus bekerja keras di laut.
Hubungan antar juragan terlihat pada kerjasama antar juragan dalam
penetapan sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap jenis alat tangkap, sehingga
sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap juragan relatif sama. Selain itu juga
kerjasama antar juragan terlihat ketika sedang menangkap ikan di tengah laut.
Kerjasama ini terjadi pada saat seorang juragan mendapatkan musibah, misalnya
terjadi kerusakan mesin sehingga perahu tidak dapat berjalan, maka juragan yang
lain akan membantu dengan menggandeng perahu tersebut sampai ke tempat
pendaratan perahu. Hal ini biasanya dilakukan tanpa adanya imbalan apapun atau
secara sukarela.
Pola hubungan kerjasama antara juragan dengan bidak adalah hubungan
kerja sama antara juragan sebagai ”patron” dengan bidak selaku ”klien”.
Hubungan kerjasama ini merupakan suatu bentuk hubungan kerjasama tradisional
dikalangan masyarakat nelayan khususnya nelayan di Desa Limbangan. Juragan
sebagai pemilik sarana penangkapan ikan (alat-alat produksi) membutuhkan
tenaga kerja, sedangkan bidak menyediakan tenaga kerja dengan menerima upah
50
berupa uang dari hasil penangkapan ikan di laut. Untuk bekerja menjadi bidak,
seseorang harus memiliki kriteria antara lain: memiliki fisik yang kuat, mau
bekerja keras, jujur, ulet, tidak mabuk laut serta tidak mudah putus asa dalam
bekerja. Akan tetapi hal terpenting adalah tidak mabuk laut agar tidak
menghambat kegiatan penangkapan ikan.
Pola hubungan seperti ini sudah berlangsung sangat lama dan bertahan
secara turun-temurun. Hubungan kerjasama ini biasanya diikat oleh pinjaman
uang (sejenis uang kontrak kerja) yang besarnya sekitar Rp 100.000,00 – Rp
500.000,00. Besarnya uang pinjaman yang diberikan oleh juragan didasarkan atas
pengalaman dan kemampuan bidak dalam memperoleh hasil tangkapan. Ikatan
kerja ini hanya berdasarkan kesepakatan informal yang dilandasai atas dasar rasa
saling percaya dan kejujuran. Pinjaman uang tersebut tidak perlu dibayar selama
bidak masih bekerja kepada juragan yang bersangkutan dan dianggap lunas atau
hanya membayar sebagian uang pinjaman jika bidak tersebut meninggal dunia.
Sepanjang bidak tersebut masih memiliki ikatan kerja dengan juragan, maka
bidak tidak diperkenankan bekerja pada perahu milik juragan yang lainnya. Jika
bidak ingin berpindah bekerja pada juragan lain, bidak harus mengembalikan
uang pinjaman tersebut pada juragan yang lama sebesar uang pinjaman yang
pernah diterimanya.
Menurut para nelayan bidak, berpindahnya bidak pada juragan lain
terutama karena juragan tersebut dianggap pelit dalam artian tidak mau
meminjamkan uang pada saat bidak sangat membutuhkan uang tersebut. Seperti
pada saat anggota keluarga sakit, lebaran atau untuk mencukupi kebutuhan
ekonomi keluarganya. Selain itu alasan lain mengenai berpindahnya bidak pada
51
juragan lain adalah adanya keinginan untuk memperoleh pinjaman uang ikatan
kerja yang lebih besar dari yang pernah diterima sebelumnya. Bagi para juragan
yang tidak mau bidaknya berpindah bekerja kepada juragan lain, maka juragan
tersebut sangat menghargai pekerjaan bidaknya dan tidak segan-segan untuk
memberikan pinjaman uang kepada bidaknya.
Bagi para bidak, menjalin ikatan dengan juragan merupakan suatu hal
penting untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Pola hubungan patron-klien ini
merupakan tata hubungan yang saling menguntungkan, dimana bidak selaku
nelayan yang tidak memiliki alat-alat produksi diberikan keuntungan oleh juragan
selaku pemilik alat-alat produksi untuk bekerja sebagai bidak pada juragan yang
bersangkutan dan akan memproleh imbalan yang setimpal dengan hasil usahanya.
5.1.3. Sistem Bagi Hasil
Sistem bagi hasil adalah pola pembagian dari hasil penjualan tangkapan
setelah melakukan kegiatan menangkap ikan di laut (miyang) dalam satu kali
melaut. Sistem bagi hasil ini dilakukan oleh para nelayan karena adanya
ketidakpastian hasil dalam usaha penangkapan ikan. Pada waktu dulu sistem bagi
hasil yang berlaku pada tiap-tiap peralatan tangkap sama yaitu 50 persen bagi
pemilik perahu (juragan) dan 50 persen bagi buruh nelayan (bidak). Namun pada
perkembangannya, sistem bagi hasil mengalami perubahan karena jumlah pemilik
perahu (juragan) yang semakin bertambah sementara jumlah buruh nelayan relatif
tetap, sehingga persaingan antar juragan untuk mendapatkan tenaga kerja buruh
nelayan. Untuk mengatasi persaingan antar juragan tersebut, para juragan
membuat kesepakatan yang baru tentang sistem bagi hasil yang berlaku.
52
Sistem bagi hasil yang berlaku pada masyarakat nelayan di Desa
Limbangan sangat bergantung pada jenis alat tangkap karena pada tiap-tiap alat
tangkap sistem bagi hasil yang berlaku berbeda-beda. Perbedaan sistem bagi hasil
ini dikarenakan oleh adanya perbedaan harga pada peralatan tangkap. Pada
peralatan tangkap yang harganya lebih mahal, maka bagian pemilik parahu
(juragan) akan lebih besar bila dibandingkan dengan sistem bagi hasil pada
peralatan tangkap yang harganya relatif lebih murah. Selain itu, perbedaan system
bagi hasil disebabkan pula oleh adanya perbedaan resiko kerusakan alat tangkap
jaring pada saat digunakan dalam kegiatan melaut (miyang). Sepeti terlihat pada
uraian berikut ini:
1. Jaring Payang
Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, hasil penjualan tidak
langsung dibagi, tetapi dipotong terlebih dahulu 3 persen untuk pembayaran
retribusi kepada petugas TPI. Biaya retribusi ini ditanggung bersama antara
nelayan dan bakul. Setelah dipotong biaya retribusi, baru kemudian dilakukan
pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian
hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen
yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut:
a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali
melaut mula-mula dipotong untuk biaya retribusi dan biaya perbekalan
atau biaya operasional melaut (miyang). Untuk sekarang ini, dengan
adanya kenaikan harga BBM, biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini
rata-rata sekitar Rp 125.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli,
minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih
53
dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut
selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil
tangkapan.
b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian,
yaitu satu bagian atau 40 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu
bagian 60 persen untuk buruh nelayan (bidak).
c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 60 persen tersebut,
dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-
masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.
Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada
tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Payang
No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3 4 5
Juru mudi Pemburit Jembatu Motoris Penabur saya
1 1 1 1
3 – 4
1,5 1,5 1 1 1
Keterangan:
1. Juru mudi, yaitu nelayan yang bertugas mengemudikan perahu pada saat
melaut
2. Pemburit, yaitu nelayan yang bertugas menarik jaring
3. Jembatu, yaitu nelayan yang bertugas melemparkan batu pada saat
menabur jaring
4. Motoris, nelayan yang bertugas mengopersikan mesin pada perahu
5. Penabur saya, yaitu nelayan yang bertugas menaburkan jaring pada saat
melaut (miyang).
54
Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring payang sebagai berikut:
Misal hasil kotor penjualan ikan teri dalam satu kali melaut (miyang)
adalah Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula dikurangi biaya retribusi sebesar
3%. Namun karena biaya retribusi ini ditanggung oleh nelayan dan bakul,
sehingga nelayan hanya di bebani setengahnya (1,5%) yaitu sebesar Rp 4500,00.
Dengan demikian uang yang tersisa adalah Rp 295.500,00. Dari uang yang tersisa
tersebut di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 125.000,00, sehingga uang yang
tersisa sebesar Rp 170.500,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 40% (Rp 68.200,00) dan
bagian bidak sebesar 60% (Rp 102.300,00). Dari bagian bidak sebesar Rp
102.300,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan
besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya
dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut (miyang) berjumlah 8
orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai
berikut:
a. Juru mudi (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00
b. Pemburit (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00
c. Jembatu (1 bagian) sebesar Rp12.800,00
d. Motoris (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00
e. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00
Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka
selain bagian juragan sebesar 40% (Rp 68.200,00) juga ditambah bagian jurumudi
sebesar1,5 bagian (Rp 19.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp
87.200,00.
55
Bagan alir bagi hasil pada jenis alat tangkap jaring payang dapat terlihat
pada gambar 2. perlu dikemukakan disini, bahwa mekanisme pembagian hasil
tersebut bisa dijalankan jika hasil yang di dapat dari kegiatan melaut (miyang)
telah melewati jumlah nilai untuk menutupi biaya retribusi dan biaya perbekalan.
Jika hasil dari melaut (miyang) relatif kecil, maka perhitungan tersebut tidak
sepenuhnya dijalankan.
Gambar 2. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Payang
2. Jaring Kantong
Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, kemudian dilakukan
pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian
hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen
yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut:
a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali
melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional
melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini
rata-rata sekitar Rp 90.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli,
Hasil Tangkapan
Dikurangi biaya retribusi dan operasional/perbekalan
40% juragan 60% Bidak
1. Juru mudi 2. Pemburit 3. Jembatu 4. Motoris 5. Penabur saya
56
minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih
dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut
selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil
tangkapan.
b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian,
yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu
bagian 70 persen untuk bidak.
c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut,
dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-
masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.
Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada
tabel 6 berikut ini:
Tabel 7. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kantong
No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3
Juru mudi Pemburit Penabur saya
1 1 2
1 1 1
Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring kantong sebagai berikut:
Misal hasil kotor penjualan udang dalam satu kali melaut (miyang) adalah
Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp
90.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 210.000,00. Selanjutnya uang
tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar
30% (Rp 63.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 147.00,00). Dari bagian
bidak sebesar Rp 147.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut
melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing
bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut
57
(miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak
adalah sebagai berikut:
a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00
b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00
c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00
Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka
selain bagian juragan sebesar 30% (Rp 63.200,00) juga ditambah bagian jurumudi
sebesar 1 bagian (Rp 63.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp
99.750,00.
Bagan alir bagi hasil pada jenis alat tangkap jaring kantong ini dapat
terlihat pada gambar 3 berikut ini:
Gambar 3. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Kantong
3. Jaring Rampusan/Unyil
Sistem bagi hasil pada jenis alat tangkap ini sama dengan sistem bagi hasil
yang berlaku pada jenis alat tangkap jaring kantong, yaitu:
a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali
melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional
Hasil Tangkapan
Dikurangi biaya operasional/perbekalan
30% juragan 70% Bidak
1. Juru mudi 2. Pemburit 3. Penabur saya
58
melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini
rata-rata sekitar Rp 80.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli,
minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih
dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut
selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil
tangkapan.
b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian,
yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu
bagian 70 persen untuk bidak.
c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut,
dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-
masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.
Tabel 8. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Rampusan
No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3
Juru mudi Pemburit Penabur saya
1 1 2
1 1 1
Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring rampusan/unyil sebagai
berikut:
Misal hasil kotor penjualan ikan dalam satu kali melaut (miyang) adalah
Rp 200.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp
80.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 120.000,00. Selanjutnya uang
tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar
30% (Rp 36.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 84.00,00). Dari bagian
bidak sebesar Rp 84.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut
melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing
59
bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut
(miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak
adalah sebagai berikut:
a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00
b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00
c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00
Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka
selain bagian juragan sebesar 30% (Rp 36.000,00) juga ditambah bagian jurumudi
sebesar 1 bagian (Rp 21.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp
57.000,00.
4. Jaring Kopet
Sistem bagi hasil pada jenis alat tangkap ini juga sama dengan sistem bagi
hasil yang berlaku pada jenis alat tangkap jaring kantong dan jaring rampusan,
yaitu:
a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali
melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional
melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini
rata-rata sekitar Rp 80.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli,
minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih
dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut
selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil
tangkapan.
60
b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian,
yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu
bagian 70 persen untuk bidak.
c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut,
dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-
masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.
Tabel 9. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kopet
No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3
Juru mudi Pemburit Penabur saya
1 1 1
1 1 1
Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring kopet sebagai berikut:
Misal hasil kotor penjualan ikan dalam satu kali melaut (miyang) adalah
Rp 200.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp
80.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 120.000,00. Selanjutnya uang
tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar
30% (Rp 36.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 84.00,00). Dari bagian
bidak sebesar Rp 84.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut
melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing
bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut
(miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak
adalah sebagai berikut:
a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00
b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00
c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00
61
Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka
selain bagian juragan sebesar 30% (Rp36.000,00) juga ditambah bagian jurumudi
sebesar 1 bagian (Rp 21.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp
57.000,00.
5. Jaring Kejer
Pada jenis alat tangkap ini tidak terdapat bagi hasil. Namun hanya membayar
uang sewa perahu kepada pemilik perahu (juragan) sebesar Rp 2.000-Rp
3.000 perkilogram untuk biaya pemeliharaan perahu dan mesin. Dalam
pengoperasiannya para bidak menggunakan alat tangkap sendiri-sendiri.
Contoh pembayaran sewa pada jenis alat tangkap jaring kejer sebagai
berikut:
Misal dalam kegiatan melaut (miyang) dilakukan oleh 4 orang terdiri
seorang juragan dan 3 orang bidak, dari masing-masing 4 orang tesebut
menghasilkan rajungan sebanyak 10 kg, jika juragan menentukan harga sewa
perkilogramnya sebesar Rp 3.000,00, maka masing-masing bidak tersebut akan
mengeluarkan biaya sewa sebesar Rp 30.000,00. Dengan demikian seorang
juragan medapatkan total biaya sewa sebesar Rp 90.000,00.
5.1.4. Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan dipahami secara beragam oleh masyarakat nelayan di Desa
Limbangan. Misalnya rumahtangga Bapak Dkm memahami kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Menurtnya
”Kemiskinan dicirikian oleh susahnya memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Rumahtangga miskin biasanya mengkonsumsi makanan dengan lauk tempe dan
tahu, sedangkan orang kaya mengkonsumsi makanan dengan lauk-pauk yang
beraneka ragam”.
62
Rumahtangga Bapak Rsd memahami kemiskinan sebagai keterbatasan
dalam bidang pendidikan. Menurutnya ”Kemiskinan ini di cirikan oleh rendahnya
tingkat pendidikan keluarga nelayan, sehingga tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang mencukupi untuk memenuhi syarat bekerja di sektor lain yang
memiliki penghasilan yang besar. Rumahtangga Bapak Usm memahami
kemiskinan sebagai ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu
kebutuhan pangan, sandang dan papan. Menurutnya ”Kemiskinan di cirikan oleh
kondisi tempat tinggal yang sangat sederhana yaitu berupa rumah semi permanen
atau gubuk yang berlantaikan tanah, dan tidak memiliki perabotan rumahtangga
yang mewah seperti TV, tape, kulkas, serta tidak memiliki barang-barang
kekayaan seperti perhiasan emas, dan alat transportasi (mobil dan motor).
Secara umum, kemiskinan dipahami oleh masyarakat nelayan sebagai
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan akan
sandang, pangan dan papan serta keterbatasan dalam menjangkau pelayanan
pendidikan. Kemiskinan nelayan di Desa Limbangan dapat dicirikan secara fisik
dan sosial. Secara fisik kemiskinan nelayan dicirikan oleh kondisi rumah tempat
tinggal nelayan yang sangat sederhana, yaitu berupa rumah-rumah semi permanen
atau rumah-rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu. Selain itu
kurangnya pemilikan perabotan rumahtangga serta tidak memiliki barang-barang
berharga yang dapat menunjukkan status sosial yang tinggi seperti perhiasan
emas, perabotan rumahtangga yang mewah, alat trasportasi, dan lain-lain.
63
Gambar 4. Rumah Tempat Tinggal Nelayan Bidak
Secara sosial, kemiskinan nelayan di Desa Limbangan dicirikan oleh
tingkat pendidikan anggota rumahtangga yang masih rendah. Sebagian besar
nelayan di Desa Limbangan hanya mampu menempuh pendidikan sampai tingkat
Sekolah Dasar (SD), bahkan ada pula sebagian nelayan yang sama sekali tidak
pernah mengenyam bangku pendidikan, sehingga tidak mempunyai kemampuan
baca tulis. Hal ini sangat logis, karena orang tua mereka dulu sangat miskin
sehingga tidak mampu membiayai mereka sekolah tinggi-tinggi, selain itu, anak-
anak mereka diharapkan bisa membantu pekerjaan orangtuanya di laut untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari meskipun harus berhenti sekolah.
”Kula lagi waktu cilik cuma bisa sekolah sampe kelas siji SD, sawise kuwen langsung menggawe ning laut, karena pada waktu semono wong tua kula wis tua lan sakit-sakitan, dadi kula selaku anak kang paling gede terpaksa kudu luruh duit kanggo nyukupi kebutuan wong tua lan ketelu adine kula (Ksd/Juragan)” (Saya pada waktu kecil hanya bisa sekolah sampai kelas satu SD, setelah itu langsung bekerja melaut, karena pada waktu itu orang tua saya sudah tua dan sakit-sakitan, sehingga saya sebagai anak yang paling tua terpaksa harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan ketiga adik saya).
Selain itu, kemiskinan dapat pula dicirikan oleh kesehatan anggota
rumahtangga yang masih rendah. Hal ini dapat terlihat dari menu makanan sehari-
hari dan perawatan kesehatan anggota rumahtangga. Bagi rumahtangga nelayan
64
miskin, menu makanan sehari-hari masih belum memenuhi menu empat sehat
lima sempurna. Selain itu, Rumahtangga nelayan miskin di Desa Limbangan
biasanya hanya memeriksakan kesehatannya di puskesmas pembantu yang ada di
Desa atau hanya kepada paranormal. Sedangkan orang yang kaya biasanya
memeriksakan kesehatannya di rumah sakit atau dokter spesialis yang ada di kota-
kota seperti Indramayu, Cirebon dan lain-lain. Hal ini seperti diungkapkan oleh
salah seorang responden sebagai berikut:
”Wong ora duwe mah mangane cuma karo oncom lan tau bae, ora kaya wong sugih mangane laue macem-macem (Wnh/Istri nelayan bidak)”.
(Orang miskin itu makannya hanya dengan tempe dan tahu saja, tidak seperti orang kaya makannya dengan lauk yang bermacam-macam).
5.2. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan
5.2.1. Fluktuasi Musim Tangkapan
Faktor penyebab kemiskinan nelayan di Desa Limbangan di antaranya
adalah berupa fluktuasi musim ikan. Fluktuasi musim ikan ini dapat menyebabkan
ketidakpastian pendapatan nelayan. Apabila sedang musim ikan, maka
penghasilan nelayan pun cukup baik. Namun pada saat musim ikanpun mulai
berkurang maka sering kali para nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang pas-
pasan atau bahkan rugi. Kondisi ini dapat dilihat pada kalender musim berikut ini:
Tabel 10. Kalender Musim Nelayan Desa Limbangan
No Kegiatan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Menangkap ikan teri 2 Menangkap udang 3 Menangkap rajungan 4 Menangkap berbagai jenis ikan 5 Panen raya 6 Nadran 7 Paceklik 8 Bawaan (mobilitas nelayan) 9 Bekerja dipertanian
65
”Ning waktu sewulan kira-kira cuma limang dina bae nelayan bisa oleh hasil tangkapan sing cukup lumayan, selebihe nelayan olih hasil sing pas-pasan bahkan kadang-kadang sempet rugi (Srm/Juragan)”
(Dalam waktu satu bulan diperkirakan hanya lima hari saja nelayan dapat menikmati hasil tangkapan yang cukup baik, selebihnya nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang pas-pasan atau bahkan rugi).
5.2.2. Sumberdaya Manusia (SDM) Nelayan
Sumberdaya manusia nelayan di Desa Limbangan masih sangat rendah.
Hal ini dapat terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan para nelayan yaitu hanya
18,36 persen saja penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan di atas SD.
Rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini tidak terlepas dari budaya dan
lingkungan setempat. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini bukan hanya
dialami oleh nelayan sebagai kepala keluarga saja, namun berimbas juga kepada
anggota keluarga. Rendahnya pendidikan para kepala keluarga ini tidak terlepas
dari latar belakang keluarga dan kondisi masyarakat Desa pada waktu dulu. Bagi
masyarakat Desa Limbangan yang dominan nelayan ini, pada waktu dulu tingkat
pendidikan bagi nelayan belum menjadi kebutuhan yang begitu penting, apalagi
pada saat itu kondisi sarana dan prasarana tidak mendukung, sehingga masyarakat
lebih memilih untuk bekerja.
Faktor utama masyarakat tidak melanjutkan pendidikan yaitu karena faktor
ekonomi keluarga. Selain itu, para orangtua terpaksa memanfaatkan tenaga
anaknya untuk membantu perekonomian keluarga, atau paling tidak dengan
demikian dapat mengurangi beban keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan rumahtangga nelayan dalam menjangkau pelayanan pendidikan
sangat terbatas. Dengan rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini berpengaruh
juga terhadap ketrampilan, pola pikir, dan sikap mental mereka. Dalam bekerja,
66
nelayan lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik atau tenaga, sehingga dapat
dipastikan bahwa nelayan tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk
mencari lapangan pekerjaan lain di luar sektor perikanan. Seperti diungkapkan
oleh salah seorang responden berikut.
”Nelayan kaya kula mah cuma bisa menggawene ning laut, lamon menggawe sejene ora becus, maklum pendidikane rendah, dadi ora ngerti apa-apa (Tlm/Bidak)”.
(Nelayan seperti saya hanya bisa bekerja di laut, kalau bekerja di pekerjaan lain hasilnya tidak memuaskan, maklum pendidikannya rendah, sehingga tidak mengerti apa-apa).
5.2.3. Eksploitasi Pemodal (Bakul)
Kemiskinan rumahtangga nelayan di Desa Limbangan dapat pula
disebabkan oleh adanya ekploitasi para pemodal (Bakul) yaitu berupa hubungan
patron-klien yang sangat merugikan nelayan kecil dan buruh nelayan. Pada saat
seseorang ingin memiliki perahu dan menjadi juragan namun tidak cukup
memiliki modal, maka orang tersebut akan meminjam uang kepada bakul untuk
membeli perahu dan perlengkapan alat tangkap. Besarnya uang pinjaman ini
berkisar antara Rp 5.000.000,00 – Rp 10.000.000,00 (20%-30% dari harga
perahu). Pilihan ini dilakukan oleh nelayan karena prosedurnya relatif lebih
mudah jika dibandingkan dengan meminjam uang di bank, peminjaman uang pada
bakul ini cukup dilakukan secara lisan. Namun konsekuensinya para juragan
harus menjual hasil tangkapannya kepada bakul yang telah meminjamkan uang
tersebut dengan harga hasil tangkapan yang jauh lebih rendah bila dijual dipasaran
(langgan). Contohnya harga ikan teri apabila dijual kepada langgan hanya Rp
9000,00-Rp 10.000,00 perkilogram sedangkan harga dipasaran mencapai Rp
12.000,00 perkilogram.
67
”Lamon cuma ngandalaken asil sing nangkep iwak, juragan ora bakal bisa nglunasi utange ning bakul, sebab asil nangkep iwak ora tentu lan ning waktu rugi, juragan terpaksa nyilih duit maning ning bakul kanggo biaya ngurusi prau lan alat tangkep, dadi utang juragan tambah gede lan tergantung pisan karo bakul (Wrn/Juragan)”. (Kalau hanya mengandalkan hasil dari menangkap ikan, juragan tidak akan pernah bisa melunasi hutangnya kepada bakul, karena hasil tangkapan yang tidak menentu dan pada saat rugi, juragan terpaksa akan meminjam uang lagi kepada bakul untuk biaya pemeliharaan perahu dan perlengkapan alat tangkap, sehingga hutang juragan akan semakin besar dan akan sangat tergantung kepada bakul).
5.2.4. Ketimpangan dalam Sistem Bagi Hasil
Sistem bagi hasil dilakukan oleh para nelayan dengan alasan karena hasil
tangkapan yang tidak menentu. Sistem bagi hasil yang berlaku ini dianggap hanya
menguntungkan pihak juragan saja karena besarnya pembagian hasil yang sangat
timpang. Ketidakpuasan nelayan bidak terhadap sistem bagi hasil terjadi jika
operasi perahu tidak memperoleh penghasilan, pada situasi seperti itu, bidak tidak
mendapatkan suatu kompensasi dalam bentuk apapun dari juragan pemilik kapal.
Jaminan sosial tenaga kerja bagi bidak juga tidak ada, sehingga jika bidak sakit
harus menanggung sendiri biaya pengobatannya atau meminjam uang terhadap
juragannya. Dalam keadaan seperti ini bidak tidak dapat berbuat banyak karena
tingkat ketergantungan terhadap juragan cukup tinggi. bidak menerima
kenyataan-kenyataan seperti ini karena dipaksa oleh keadaan dan terikat kontrak
kerja terhadap juragannya. Hal ini menurut mereka merupakan suatu sistem yang
telah diterima secara turun-temurun.
”Urip nelayan bidak mah kengelan pisan sebab ning bagi asil bae cuma olih sebagen. Sing enak mah juragan bisa olih asil bagen sing akeh (Tnh/Bidak)”. (Hidup nelayan bidak sangat susah karena dalam bagi hasil saja hanya mendapatkan satu bagian. Yang enak juragan bisa mendapatkan hasil bagian yang banyak).
68
5.2.5. Motorisasi
Motorisasi perahu-perahu nelayan dalam pelaksanaannya memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dengan adanya penggunaan mesin, perjalanan perahu
nelayan untuk menangkap ikan dapat dilakukan dengan lebih cepat, penghematan
tenaga pendayung dan kegiatan tidak tergantung pada arah angin, yang berarti
waktu dan tenaga dapat dihemat. Selain itu juga, kegiatan menangkap ikan dapat
dilakukan dengan lebih intensif. Namun, dalam perkembangannya motorisasi
peralatan tangkap ini telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi (TPI)
karena para nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang
menjadi langgannya bukan melalui lelang bebas di TPI seperti sebelum
diberlakukannya motorisasi. Selain itu, motorisasi peralatan tangkap erat
kaitannya dengan penggunaan bahan bakar. Setelah adanya kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) mulai tahun 1998 sampai terakhir pada bulan September
2005 yang lalu, masyarakat nelayan sangat merasa terbebani karena harus
mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar. Kenaikan harga BBM tersebut
tidak dibarengi dengan kenaikan harga hasil produksi nelayan. Seperti
diungkapkan oleh salah seorang responden sebagai berikut:
”Ning waktu bengen nangkep iwak ora usah ado-ado, cukup ning banyu 3 depah ato sekitar 8 meter, nelayan wis oli pengasilan akeh, sawise ana motorisasi, nelayan angel oli iwak lan jarake kudu ado, dadi kudu ngetokaken biaya perbekelan sing luwi akeh (Kmr/Juragan)”. (Pada waktu dulu menangkap ikan tidak perlu jauh-jauh, cukup pada jarak kedalaman 3 jengkal atau sekitar 8 meter, nelayan sudah mendapatkan hasil yang banyak, setelah adanya motorisasi, nelayan susah mendapatkan ikan dan jaraknya pun harus jauh, sehingga harus mengeluarkan biaya perbekalan yang semakin besar). ”Bengen sadurunge krisis, lagi waktu rega solar masih Rp 750,00 rega urang bisa sampe Rp 100.000,00 – Rp 125.000,00 perkilo, sekiyen rega solar Rp 5000,00, tapi rega urang cuma Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00 perkilo (Wrn/Juragan)”. (Dulu sebelum krisis, pada waktu harga solar masih Rp 750,00 harga udang bisa mencapai Rp 100.000,00 – Rp 125.000,00 perkilogram, sekarang harga solar Rp 5000,00, namun harga udang hanya Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00 perkilogram).
69
5.2.6. Pencemaran Lingkungan
Kemiskinan rumahtangga nelayan dapat terlihat pula oleh adanya
penurunan hasil tangkapan dan gagalnya usaha tambak para nelayan. Menurut
Informasi salah seorang informan Rmd (49 tahun), hal ini diduga akibat adanya
pencemaran lingkungan oleh PT. Pertamina dan PT. Batavindo yang bergerak
pada pembuatan bahan baku cat dan pelapis keramik. Kebocoran pada pipa
pengeboran lepas pantai menyebabkan pencemaran laut, sehingga ikan-ikan yang
dulunya bisa ditangkap nelayan kini tidak ada, selain itu pembangunan tempat
penambangan lepas pantai dulunya merupakan wilayah penangkapan ikan yang
sangat potensial, akibat pembangunan tempat penambangan lepas pantai, kini
nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan di tempat tersebut.
Selain itu, pipa limbah pembuangan dari PT. Batavindo yang mengalami
kebocoran menyebabkan pencemaran dan akibatnya nelayan mengalami gagal
panen pada usaha tambaknya. Setelah melalui proses penelitian oleh Dinas
Pertambangan dan Lingkungan hidup, terbukti bahwa pencemaran lingkungan di
Desa Limbangan disebabkan oleh kebocoran pipa limbah PT. Batavindo, maka
pada tahun 2003 para nelayan menuntut ganti rugi, namun jumlah ganti rugi yang
diberikan oleh PT. Batavindo dinilai oleh para nelayan tidak sebanding dengan
kerugian yang harus ditanggung oleh para nelayan. Sekalipun penyebab
pencemaran sudah ditangani, namun dampaknya sampai saat ini masih dirasakan
oleh para nelayan yaitu berupa penurunan hasil produksi nelayan. Seperti
diungkapkan oleh salah seorang responden berikut.
“ Asil tangkepan nelayan tambah susah sawise ana dibangun tempat penambangan ning tengah laut karma tempat mau bengene dadi tempat tangkepan iwak kang bagus, akibat anane penambangan ning tengah laut, sekiyen nelayan ora bisa maning nangkep iwak ning tempat mau, Sejene kuwen, kebocoran pipa penambangan nyebabaken iwak kang bengene bisa ditangkep sekiyen ora nana maning (Srm/Juragan)”.
70
(Hasil penangkapan nelayan semakin susah setelah adanya pembangunan tempat penambangan lepas pantai karena tempat tersebut pada waktu dulu merupakan tempat penangkapan ikan yang sangat potensial, akibat adanya pembangunan tempat penambangan lepas pantai, sekarang nelayan tidak dapat lagi menangkap di tempat tersebut. Selain itu, kebocoran pada pipa penambangan menyebabkan ikan yang dulunya dapat di tangkap di wilayah itu, sekarang tidak ada lagi)
5.2.7. Kebiasaan Nelayan
Pada saat hasil tangkapan sedang tidak baik atau pada saat musim
paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali para nelayan
meminjam uang kepada para juragan atau Bank harian (Bank dinan). Bahkan
untuk memenuhi kebutuhan yang memerlukan biaya yang besar, para nelayan
biasanya meminjam uang kepada para rentenir. Pinjaman kepada para rentenir ini
biasanya dialokasikan oleh para nelayan untuk biaya anggota keluarga (istri dan
anak) yang akan berangkat bekerja ke luar negeri sebagai TKI atau TKW.
Sedangkan pinjaman kepada juragan dan Bank harian (Bank dinan) biasanya
dialokasikan oleh para nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
seperti kebutuhan dapur, membayar iuran listrik dan iuran air. Namun adapula
sebagian nelayan yang mengalokasikan uang pinjaman tersebut untuk memenuhi
kebiasaan-kebiasaan mereka, yaitu berupa kebiasaan minum-minuman keras dan
bermain judi. Selain uang pinjaman, uang hasil menangkap ikan yang seharusnya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga digunakan untuk
minum-minuman keras dan berjudi. Kebiasaan ini hampir sudah umum dilakukan
oleh para nelayan yang dalam kehidupan sehari-harinya memang kurang taat
beribadah. Kebiasaan buruk ini sangat terlihat jelas pada saat acara pesta laut
(nadran), hari raya idul fitri, dan pada saat ada pesta hiburan di Desa seperti
71
sandiwara, konser dangdut dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan ini menyebabkan
para nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Kebiasaan ini dapat terlihat pada contoh kasus rumahtangga Bapak Prd
berikut ini:
Prd (28 tahun) adalah seorang bidak yang berasal dari keluarga yang
sederhana, ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Kemampuan sebagai
nelayan didapatnya dari orangtuanya. Karena keterbatasan ekonomi keluarga, ia
hanya mampu menikmati pendidikan sampai kelas empat SD. Pada waktu kecil, ia
banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di bakul udang milik saudaranya.
Namun setelah usaha milik saudaranya tersebut mengalami kebangkrutan, ia
terpaksa harus bekerja di laut sebagai nelayan bidak karena menurutnya tidak ada
peluang kerja yang lain yang dapat ia masuki. Sebagai seorang nelayan ia banyak
menghabiskan waktunya untuk bekerja di laut. Jika tidak melaut ia menghabiskan
waktunya untuk beristirahat di rumah.
Menurutnya ”Hidup nelayan sangat susah karena penghasilannya tidak
menentu. Apalagi sebagai nelayan bidak penghasilannya sangat sedikit karena
dalam bagi hasil hanya mendapatkan satu bagian”. Sebagai nelayan yang relatif
muda, Prd masih suka berkumpul dengan teman-temannya. Apalagi sekarang ia
hanya tinggal seorang diri karena istrinya bekerja ke luar negeri. Ketika penulis
menanyakan tentang kegiatan berkumpul-kumpul dengan teman-temannya, ia
menjelaskan bahwa “ Saat berkumpul dengan teman-temannya ia melakukan
kegiatan yang telah umum dilakukan oleh teman-temannya yaitu minum-
minuman keras”. Ketika penulis menyatakan bahwa kegiatan tersebut tidak baik,
ia mengakui kalau kegiatan tersebut tidak baik dan di larang oleh agama, namun
72
karena ajakan teman-temannya ia hanya bisa menuruti dengan alasan tidak enak
dengan teman. Untuk memenuhi kebiasaan minum-minuman keras ini Pak Prd
menggunakan uang hasil melaut dan kadang-kadang meminjam kepada Juragan.
5.3. Strategi Rumahtangga Nelayan
5.3.1. Peran Anggota Keluarga
Rumahtangga nelayan berusaha mengoptimalkan peran tenaga kerja
anggota keluarga dalam berusaha mengatasi masalah kemiskinan,. Bagi anak-anak
yang masih kecil biasanya membantu mencari penghasilan dengan menggorek4 di-
Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Kegiatan menggorek ini dilakukan pada saat
musim menangkap ikan teri. Sedangkan untuk hari-hari biasa anak-anak meminta
ikan kepada nelayan yang baru mendarat (alang-alang). Dalam sehari, biasanya
anak-anak tersebut bisa mendapatkan penghasilan Rp 3.000,00 - Rp 10.000,00.
Uang hasil nggorek dan alang-alang tersebut sebagian diserahkan kepada orang
tua dan sebagian lagi dipergunakan untuk jajan dan ditabung untuk keperluan
sekolah.
Gambar 5. Kegiatan Menggorek Anak-anak Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan 4 Menggorek adalah kegiatan mencari sisa-sisa ikan yang berceceran pada saat penimbangan
73
”Sawise balik sekolah, kula biasa nggorek atawa jaluk alang-alang ning nelayan kang nembe darat. Biasane duite sebagian dinakna ning wong tua, kanggo jajan, lan ditabung kanggo keperluan sekolah (Irw/Anak nelayan bidak)”. (Setelah pulang sekolah, saya biasanya menggorek atau minta alang-alang kepada nelayan yang baru mendarat. Biasanya uang dari kegiatan tersebut sebagian diberikan kepada orangtua, jajan, dan ditabung untuk keperluan sekolah).
Bagi para istri atau anak gadis dapat membantu memenuhi kebutuhan
hidup keluarga dengan bekerja di pabrik pengolahan ikan. Namun ada pula
sebagian istri dan anak nelayan yang memilih bekerja keluar negeri sebagai
Tenaga Kerja Wanita (TKW). Hasil dari pekerjaannya sebagai TKW ini sangat
membantu dalam meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga.
”Lamun dudu karna pengasilan anak kang menggawe ning luar negri, kluarga kula ora arep kaya skiyen, bisa mbangun umah, tuku prabotan rumahtangga, lan bisa nduweni modal kanggo buka usaha dadi pedagang blekutak lan sontong (Srn/Bidak)”.
(Kalau bukan karena penghasilan anak yang bekerja diluar negeri, keluarga saya tidak akan seperti sekarang ini, bisa membangun rumah, membeli perabotan rumahtangga, dan bisa mempunyai modal untuk membuka usaha menjadi pedagang blekutak dan sontong).
Sedangkan bagi anak laki-laki biasanya membantu orang tuanya bekerja
melaut atau bekerja ke luar negeri sebagai TKI. Bagi nelayan juragan
menggunakan tenaga kerja anggota keluarga lebih menguntungkan karena tidak
harus memberikan pinjaman uang sebagai ikatan kerja, dan selain itu hasilnya pun
bisa dinikmati oleh keluarga sendiri. Penerapan strategi ini telah membantu
menambah pendapatan rumahtangga nelayan dalam mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari.
5.3.2. Pola Nafkah Ganda
Menghadapi situasi kemiskinan yang berkaitan dengan hasil tangkapan
yang tidak menentu, rumahtangga nelayan berusaha mengalokasikan tenaga
kerjanya ke berbagai jenis pekerjaan, seperti menjadi buruh tani, buruh pabrik
74
pengolahan ikan, dan lain-lain. usaha-usaha ini perlu dilakukan untuk menambah
sumber pendapatan keluarga. Dengan semakin tumbuhnya sektor informal di
Desa Limbangan, memicu gejala pola nafkah ganda pada masyarakat nelayan.
Meskipun kegiatan perikanan sangat padat sehingga sangat sedikit memberi ruang
bagi para nelayan untuk melakukan pekerjaan lain, para nelayan pada suatu waktu
masih mempunyai kesempatan untuk melakukan pola nafkah ganda. Penerapan
strategi ini telah membantu sumber pendapatan keluarga di tengah ketidakpastian
hasil tangkapan ikan. Seperti di ungkapkan salah seorang responden berikut.
”Karna asil tangkepan sing ora tentu, kadang-kadang kula gah menggawe dadi buruh tani, atawa menggawe dadi buru pabrik iwak. Asil sing pegawean-pegawean iku bisa nambah pendapetan kluarga (Dkm/Bidak)”. (Karena hasil tangkapan yang tidak menentu, kadang-kadang saya bekerja juga sebagai buruh tani atau bekerja sebagai buruh pabrik pengolahan ikan. Hasil dari pekerjaan-pekerjaan tersebut dapat menambah sumber pendapatan keluarga).
5.3.3. Diversifikasi Peralatan Tangkap
Diversifikasi peralatan tangkap pada masyarakat nelayan di Desa
Limbangan difasilitasi oleh pemerintah melalui pemberian bantuan kredit
peralatan tangkap jaring. Pelaksanaan bantuan kredit ini dikoordinir oleh kopersi
nelayan. Misalnya peralatan tangkap jaring kopet, mulai dikenal oleh para nelayan
di Desa Limbangan sekitar dua tahun yang lalu. Pada awalnya jenis peralatan
tangkap ini hanya berjumlah 10 unit jaring, namun karena dinilai banyak
memberikan keuntungan bagi nelayan, akhirnya nelayan banyak yang mengadopsi
peralatan tangkap tersebut.
Diversifikasi peralatan tangkap ini dilakukan oleh para nelayan untuk
mengantisipasi fluktuasi musim ikan, sehingga pada saat-saat tertentu para
nelayan harus menggunakan alat tangkap tertentu yang sesuai dengan jenis ikan
75
yang dapat ditangkap. Misalnya pada saat musim ikan teri, maka para nelayan
menggunakan alat tangkap jaring payang. Pada saat musim udang, para nelayan
menggunakan alat tangkap jaring kantong. Pada saat musim rajungan, para
nelayan menggunakan alat tangkap jaring kejer atau bubu, dan lain-lain.
Penerapan strategi ini telah membantu nelayan dalam mengatasi faktor penyebab
kemiskinan berupa fluktuasi musim ikan yang tidak menentu.
”Ning waktu bengen, alat tangkep sing digunakaken cuma loro, yaiku jaring payang lan jaring kantong, dadi kula sering nganggur. Sekiyen mah enak alat tangkepe wis akeh, dadi kula bisa sering-sering miyang (Srm/Juragan)”. (Pada waktu dulu, alat tangkap yang saya gunakan hanya dua jenis, yaitu jaring payang dan jaring kantong, sehingga saya sering kali menganggur. Sekarang mah enak alat tangkapnya sudah banyak, sehingga saya bisa sering-sering melaut).
Diversifikasi peralatan tangkap yang dilakukan oleh para nelayan di Desa
Limbangan dapat terlihat pada tabel 11 berikut ini:
Tabel 11. Peralatan Tangkap Berdasarkan Jenis Ikan yang dapat di Tangkap
No Peralatan Tangkap Jenis Ikan 1 2 3 4 5
Jaring Payang Jaring Kantong Jaring Kejer/Bubu Jaring Rampusan/Unyil Jaring Kopet
Teri Udang Rajungan Lowang, kembung, gilig, keting Tanjan
5.3.4. Pemanfaatan Organisasi Produktif
Para istri nelayan di Desa Limbangan ikut aktif dalam kelompok arisan
dan kelompok pengajian untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan.
Kegiatan arisan dilakukan setiap seminggu sekali yaitu pada hari Jum’at dengan
besar iuran Rp 10.000,00 – Rp 20.000,00. Pembayaran uang iuran ini bisa
diangsur dari hasil menangkap ikan. Kegiatan arisan ini biasanya dilakukan pada
saat pengajian ibu-ibu. Kegiatan ini dilakukan pada siang hari karena para isteri
nelayan memiliki waktu yang sangat luang disiang hari. Hasil dari kegiatan arisan
76
ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan selain itu, dapat
pula dijadikan sebagai modal untuk membuka usaha kecil-kecilan seperti
berdagang dan lain-lain. Sedangkan kelompok pengajian bapak-bapak dilakukan
setiap seminggu sekali yaitu setiap malam jum’at. Kegiatan ini dilakukan pada
malam hari karena pada siang hari para nelayan banyak menghabiskan waktunya
untuk menangkap ikan di laut. Penerapan strategi ini telah membantu
rumahtangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tambahan
modal usaha. Seperti diungkapkan salah seorang responden berikut.
“Sejene sibuk ngurusi pegawaean umah, saben dina jumat kula biasane melu kegiatan arisan lan pengajian wong wadon. Gedene setoran arisan iki Rp 20.000,00 lan lamon untung bias olih duit skitar Rp 2.000.000,00. Duit arisan ini biasane kanggo nyukupi kebutuan sedina-dina, mbayar setoran listrik lan banyu, terus kanggo modal usaha cilik-cilikan (Kltm/Istri nelayan bidak)” (Selain sibuk mengurusi pekerjaan rumahtangga, setiap hari Jumat saya biasanya ikut kegiatan arisan dan pengajian ibu-ibu. Besarnya iuran dalam kegiatan arisan ini Rp 20.000,00 dan kalau beruntung bisa mendapatkan uang sekitar Rp 2.000.000,00. Uang tersebut biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membayar tagihan listrik dan air, serta untuk dijadikan modal usaha kecil-kecilan).
5.3.5. Jaringan Sosial
Hubungan sosial yang dilakukan nelayan merupakan salah satu upaya
untuk mempertahankan keberadaannya. Setiap individu nelayan memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam hal kuantitas dan kualitas, juga intensitas
hubungan sosial yang dilakukannya, sekalipun terbuka luas peluang nelayan untuk
melakukan hubungan sosial secara maksimal. Hubungan tersebut bukan hanya
melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Hubungan antar individu
nelayan tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan
terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Jaringan
sosial mengacu pada hubungan yang di bangun oleh nelayan dengan berbagai
pihak untuk mengantisipasi tekanan-tekanan hidup.
77
Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam
menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan
menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan ekonomi. Pada musim tidak
menangkap ikan para nelayan (Bidak) biasanya meminjam uang kepada saudara,
tetangga maupun teman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapula
nelayan yang meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja,
sehingga pada saat musim ikan tiba nelayan tersebut harus bekerja pada juragan
tersebut.
”Ning masa paila, biasane kluarga kula gadekaken atawa ngadol prabotan umah kanggo nyukupi kebutuan urip sedina-dina. Lamon ora nyukupi, kluarga kula biasa nyili duit ning sedulur, tangga atawa batur kang dianggep mampu. Pernah kula nyili duit ning juragan kelawan jaminan pegawean, dadi lamon musim miyang teka, kula kudu menggawe ning juragan mau (Rsd/Bidak)”. (Pada saat masa paceklik, biasanya keluarga saya menggadaikan atau menjual perabotan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila hal itu tidak juga mencukupi, keluarga saya biasa meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu. Pernah juga saya meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga apabila musim menangkap ikan tiba, saya harus bekerja pada juragan tersebut).
Gambar 6. Struktur Jaringan Sosial: Hubungan Bidak, Juragan dan Bakul
Keterangan:
: Memiliki hubungan yang terikat
: Memiliki hubungan yang tidak terikat
5
1
10
3 4
9
2
8 7 6 11 12 13 14
78
Berdasarkan gambar di atas, struktur jaringan sosial yang terjadi pada
hubungan antara Bidak, Juragan dan Bakul adalah sebagai berikut. Nsd sebagai
seorang bakul ia memiliki 2 orang juragan (Dna dan Wrn) yang terikat penjualan
hasil tangkapan kepadanya, hubungan yang terikat ini terjadi karena bakul
memberikan sejumlah pinjaman uang kepada juragan yang membutuhkan modal
untuk membeli atau memperbaiki alat produksi (perahu, mesin, dan peralatan
tangkap lainnya). Karena telah terikat penjualan dengan bakul Nsd, maka kedua
juragan ini tidak boleh menjual hasil tangkapannya kepada bakul lainnya (Rmd).
Nsd juga memiliki hubungan kerjasama dengan bakul lain (Rmd), kerjasama ini
dilakukan untuk menetapkan harga ikan hasil tangkapan nelayan, sehingga tidak
ada persaingan harga diantara bakul dan memperkuat posisi bakul dalam transaksi
jual beli.
Dna sebagai seorang juragan ia memiliki 4 orang bidak yang semuanya
memiliki ikatan kerja kepadanya, sehingga ke empat bidaknya tersebut tidak boleh
bekerja kepada juragan lain (Wrn atau Dsn). Ikatan kerja ini terjalin karena
juragan memberikan sejumlah uang pinjaman sebagai ikatan kerja kepada para
bidaknya. Apabila salah seorang bidaknya ingin pindah bekerja kepada juragan
lain. Maka ia harus melunasi terlebih dahulu uang ikatan kerja kepada juragan
1. Nsd (Bakul)
2. Rmd (Bakul)
3. Dna (Juragan)
4. Wrn (Juragan)
5. Dsn (Juragan)
6. Usm (Bidak)
7. Ipn (Bidak)
8. Trj (Bidak)
9. Dkm (Bidak)
10. Tlm (Bidak)
11. Tnh (Bidak)
12. Rsd (Bidak)
13. Prd (Bidak)
14. Srn (Bidak)
79
yang lama (Dna). Perekrutan para Bidak tersebut didasarkan pada kemampuan
yang dimiliki oleh para Bidak, selain itu juga masih terkait adanya hubungan
kekerabatan dan ketetanggaan antara Juragan dan Bidak. Wrn sebagai juragan ia
memiliki 3 orang bidak yang terikat hubungan kerja (Tlm, Tnh dan Rsd) dan
seorang bidak yang tidak terikat (Prd). Karena tidak memiliki ikatan kerja, Prd
dapat bekerja kepada juragan lain (Dna atau Dsn).
Dsn sebagai seorang juragan ia memiliki seorang bidak yang terikat (Srn)
dan seorang bidak yang tidak terikat (Prd). Ia dulunya terikat penjualan kepada
seorang bakul (Nsd), namun setelah ia mampu melunasi uang pinjamannya
kepada bakul tersebut, sekarang ia tidak memiliki ikatan penjualan kepada bakul
tertentu, sehingga ia bisa menjual hasil tangkapannya kepada bakul yang ia
kehendaki. Diantara para juragan (Dna, Wrn dan Dsn) memiliki hubungan
kerjasama dalam penetapan sistem bagi hasil yang berlaku, sehingga sistem bagi
hasil yang berlaku pada setiap juragan relatif sama.
Selain itu, jaringan sosial dimanfaatkan juga oleh para nelayan untuk
mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu. Informasi
ini diperoleh masyarakat nelayan dari kerabat atau temannya yang tinggal di
daerah lain. Informasi tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan sebagai salah satu
bahan pertimbangan untuk memutuskan dalam kegiatan mobilitas musiman
nelayan (bawaan). Kegiatan bawaan ini dilakukan oleh para nelayan karena di
daerah Limbangan sedang tidak musim ikan sedangkan di daerah lain sedang
musim ikan. Adapun daerah yang sering menjadi tujuan dalam kegiatan bawaan
ini adalah daerah Terungtum, Eretan, Blanakan, Ciasem, dan Muara Angke.
Khusus untuk daerah Muara Angke, biasanya para nelayan yang melakukan
80
bawaan ke daerah ini bersifat perorangan karena apabila berkelompok dan
menggunakan perahu akan memerlukan biaya operasional yang sangat besar
karena jaraknya yang relatif sangat jauh dari Desa Limbangan.
Pada saat para nelayan sedang melakukan bawaan, para bakul banyak
yang tidak memperoleh pendapatan karena para nelayan yang menjadi
langgannya menjual hasil tangkapannya di daerah lain. Namun, terdapat juga
sebagian bakul yang mendatangi daerah-daerah tujuan bawaan nelayan dengan
maksud agar para nelayan yang menjadi langgannya tetap menjual hasil
tangkapan kepada bakul tersebut. Kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan)
ini dapat terlihat pada peta mobilitas nelayan berikut ini:
Gambar 7. Peta Mobilitas Musiman Nelayan di Desa Limbangan
Berdasarkan gambar di atas, pada saat air laut pasang, para nelayan di
Desa Limbangan mendaratkan perahunya di sungai, sehingga para nelayan akan
melakukan penjualan hasil tangkapan pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI II)
karena jaraknya yang dekat dengan sungai tempat mendaratkan perahu nelayan
Ikan Teri
Rajungan
Udang
Ciasem
Tempat pendaratan
TPI II
TPI I
Musim kemarau
LAUT
Muara Angke
Terungtum
Eretan
Blanakan
Tempat pendaratan
Keterangan: Nelayan pergi ke laut Nelayan kembali ke daratan
Air laut pasang
DARATAN
81
tersebut. Sedangkan pada saat air laut surut (musim kemarau) dan sungai tidak
bisa digunakan untuk mendaratkan perahu, maka para nelayan mendaratkan
perahunya di tepi-tepi pantai dan menjual hasil tangkapannya di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI I). TPI I ini dulu merupakan tempat kegiatan lelang terbuka,
namun setelah adanya langgan di TPI I ini tidak ada lagi kegiatan lelang terbuka
karena para nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang
menjadi langgannya, sehingga setiap harinya di TPI I ini relatif sepi.
Penerapan berbagai strategi tersebut dapat terlihat pada contoh-contoh
kasus rumahtangga berikut ini:
a. Rumahtangga Bapak Dkm
Bapak Dkm (39 tahun) merupakan seorang nelayan bidak yang
kehidupannya sangat sederhana, rumahnya berlantai tanah dan dinding yang
terbuat dari anyaman bambu sudah terlihat sangat rusak termakan usia.
Kemampuan bekerja sebagai nelayan diperoleh dari orang tuanya yang dulu
juga sebagai nelayan bidak. Pada waktu kecil ia hanya bersekolah sampai
kelas empat SD, dan setelah itu ia langsung bekerja di laut untuk membantu
mencari ikan.
Kehidupan sehari-hari Pak Dkm banyak dihabiskan untuk bekerja di
laut dan pada saat-saat tertentu ia bekerja juga sebagai buruh tani. Menurutnya
“Kehidupan sebagai nelayan sangat susah karena hasil tangkapannya tidak
menentu dan penghasilannya sedikit”. Ketika penulis menanyakan apa
maksud penghasilanya sedikit?, Pak Dkm menjelaskan bahwa dalam sekali
melaut hasil bersih nelayan bidak setelah bagi hasil misalnya Rp 15.000,00,
bisa dibayangkan uang tersebut bagaimana bisa untuk mencukupi kebutuhan
82
keluarga, belum untuk biaya sekolah anak. “Kalau bapak pendidikannya
tinggi mah enak bisa mencari pekerjaan yang penghasilannya tetap”.
Ibu Wnh (35 tahun), istri Pak Dkm ini sempat lulus SD,sehingga ia
mempunyai kemampuan untuk baca tulis. Sehari-hari ibu Wnh menghabiskan
waktunya untuk bekerja mengurusi pekerjaan rumahtangga, bekerja di pabrik
rajungan, menjadi buruh cuci dan pada waktu panen padi ia bekerja juga
sebagai buruh tani. Menurutnya ”Orang miskin itu serba susah, makannya saja
hanya dengan tempe dan tahu saja, tidak seperti orang kaya makannya dengan
lauk yang bermacam-macam”. Selain itu juga ia menjelaskan “kalau hanya
mengandalkan penghasilan suami, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, sehingga saya juga harus ikut membantu bekerja untuk memenuhi
sumber pendapatan keluarga”.
Pasangan bapak Dkm dan ibu Wnh ini telah 19 tahun menikah dan
dikaruniai dua orang anak, anak pertamanya Irw (11 tahun) masih duduk di
kelas lima SD dan anak keduanya Aln (6 tahun). Irw ditengah kesibukannya
bersekolah ia menyempatkan diri untuk membantu keluarga dengan
menggorek di tempat pelelangan ikan (TPI) atau meminta alang-alang kepada
para nelayan yang baru mendarat. Menurutnya “uang hasil kegiatan tersebut
sebagian di berikan kepada orangtua, jajan, dan ditabung untuk keperluan
sekolah”.
b. Rumahtangga Bapak Usm
Bapak Usm (50 tahun) adalah seorang nelayan bidak, ia mulai bekerja
melaut pada usia 15 tahun, pada waktu kecil ia hanya bersekolah sampai kelas
83
2 SD, kemampuannya bekerja dilaut didapat dari orangtuanya yang dulu juga
seorang nelayan bidak. Kehidupan sehari-hari pak Usm adalah bekerja di laut
sebagai buruh nelayan (bidak), selain itu, ia juga membantu usaha dagangan
istrinya, dan pada waktu-waktu tertentu ia juga bekerja di pertanian sebagai
buruh pemanen padi (nderep). Ketika penulis menanyakan kondisi
kehidupannya sebagai nelayan, ia menjelaskan bahwa ”Kehidupan sebagai
nelayan banyak susahnya apalagi seorang nelayan bidak seperti saya, kalau
hanya mengandalkan dari pekerjaan melaut tidak akan cukup untuk memenuhi
keluarga, untungnya istri saya membuka warung kecil-kecilan dan anak
perempuan saya juga bekerja di luar negeri sebagai TKW, jadi bisa membantu
untuk memenuhi kebutuhan keluarga”.
Ibu Ktn (42 tahun), istri pak Usm mini dalam kehidupan sehari-hari ia
banyak menghabiskna waktunya untuk mengurusi pekerjaan rumahtangga dan
berjualan. Seminggu sekali ia menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian
dan arisan. Menurutnya “ Mengikuti pengajian dan arisan banyak memberikan
keuntungan, selain dapat meningkatkan tali silaturahmi diantara istri nelayan
juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, misalnya modal warung
ini sebagian saya peroleh dari hasil arisan, dan sebagian keuntungan yang
diperoleh dari usaha warung ini saya tabung untuk membayar iuran arisan
setiap minggunya sebesar Rp. 20.000,00”. Ketika peneliti menanyakan peran
anak-anaknya dalam membantu memenuhi kebutuhan keluarga, ia
menjelaskan bahwa “ kedua anak gadisnya sudah setahun ini bekerja ke luar
negeri sebagai TKW, uang dari hasil kerja anaknya di luar negeri tersebut
dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga seperti memperbesar usaha
84
warung dan membiayai sekolah anak. Selain itu, Hto (12 tahun), anak ketiga
dari pasangan bapak Usm dan Ibu Ktn ini, selain sibuk bersekolah juga ikut
menggorek di tempat pelelangan ikan atau meminta alang-alang kepada para
nelayan yeng baru mendarat.
c. Rumahtangga Bapak Dsn
Bapak Dsn (55 tahun) adalah seorang juragan, ia mulai bekerja di laut
pada usia 16 tahun, pada waktu itu ia ikut membantu orangtuanya yang juga
sebagai juragan. kehidupan sehari-hari Pak Dsn banyak dihabiskan untuk
bekerja di laut, dan apabila sedang tidak melaut Pak Dsn menghabiskan
waktunya untuk memperbaiki alat tangkap dan beristirahat. Perahu yang
dimiliki Pak Dsn dulunya sebagian modalnya merupakan hasil pinjaman
kepada bakul. Namun setelah anak perempuannya bekerja ke luar negeri
(Arab Saudi) sebagai TKW, ia dapat melunasi hutangnya. Menurutnya “
Hidup sebagai nelayan sangat susah karena hasilnya tidak dapat dipastikan,
kadang dapat hasil banyak, kadang pas-pasan, bahkan kadang-kadang rugi”.
Pada waktu musim tidak menagkap ikan (paceklik), Pak Dsn biasanya
melakukan bawaan ke berbagai daerah, biasanya daerah yang dituju antara
lain Trungtum, Eretan, Blanakan, dan Ciasem.
Ibu Rmn (45 tahun), layaknya sebagai ibu rumahtangga ia
mengerjakan tugas rumahtangga dan membantu suaminya menyiapkan
peralatan dan perbekalan untuk melaut. Selain itu juga, pada waktu-waktu
tertentu ia bekerja dipertanian. Pasangan Bapak Dsn dan ibu Rmn ini telah
menikah selama 36 tahun dan telah dikaruniai 6 orang anak. Empat anak
85
tertuanya telah berkeluarga dan tinggal bersama mertuanya, dan anak ke
limanya Ipn (22 tahun) bekerja melaut membantu orangtuanya dan pada
waktu-waktu tertentu ia bekerja juga sebagai buruh di pabrik penggilingan
padi. Stn (19 tahun) anak ke enamnya ini bekerja di Luar negeri (Abudabi)
sebagai TKW, uang hasil kerjanya rutin dikirmkan kepada orangtuanya untuk
membantu memenuhi kebutuhan keluarga dan menambah modal usaha
orangtuanya.
d. Rumahtangga Bapak Rsd
Pak Rsd (60 tahun) adalah seorang nelayan bidak, ia merupakan
anak kedua dari empat bersaudara. Orangtuanya dulu merupakan seorang
pemilik perahu (juragan). Pada waktu kecil, Pak Rsd hanya mampu sekolah
sampai kelas dua SD, alasannya karena ia ingin bekerja sebagai nelayan dan
dapat menghasilkan uang sendiri. Kehidupannya sebagai nelayan banyak
dihabiskan untuk bekerja di laut dan pada saat tidak melaut, ia menghabiskan
waktunya untuk beristirahat dengan keluarga dan cucu-cucunya. Menurut
ceritanya dulu ia pernah bekerja di saudaranya sebagai buruh pengepakan
udang, tapi setelah usaha saudaranya mengalami kebangkrutan, ia terpaksa
bekerja di laut, karena dengan pendidikannya yang rendah sulit baginya untuk
memasuki pekerjaan di sektor lain. Menurutnya “Hidup sebagai nelayan
sangat susah karena sangat tergantung dengan keadaan fluktuasi musim ikan,
sehingga hasilnya tidak menentu, tidak seperti kerja di darat hasilnya sudah
dapat ditentukan”. Misalnya pekerja kantoran hasilnya sudah ditentukan setiap
bulannya berapa, sedangkan bekerja dilaut hasilnya tidak dapat dipastikan.
86
Susahnya hidup sebagai nelayan sangat dirasakan ketika sedang tidak
musim menangkap ikan (paila). Menurutnya “Pada saat masa paceklik,
biasanya keluarga saya menggadaikan atau menjual perabotan rumahtangga
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila hal itu tidak juga
mencukupi, keluarga saya biasa meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau
teman yang dianggap mampu. Pernah juga saya meminjam uang kepada
juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga apabila musim menangkap
ikan tiba, saya harus bekerja pada juragan tersebut”.
Ibu Kltm (53 tahun), istri pak Rsd ini hanya seorang ibu rumahtangga.
Setiap harinya banyak menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas-
tugas rumahtangga, dan mengurusi cucunya ketika anaknya bekerja di pabrik
pengolahan ikan. Menurutnya “Selain sibuk mengurusi pekerjaan
rumahtangga, setiap hari Jumat saya biasanya ikut kegiatan arisan dan
pengajian ibu-ibu. Besarnya iuran dalam kegiatan arisan ini Rp 20.000,00 dan
kalau beruntung bisa mendapatkan uang sekitar Rp 2.000.000,00. Uang
tersebut biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
membayar tagihan listrik dan air, serta untuk dijadikan modal usaha kecil-
kecilan”. Pada saat musim paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga kadang-kadang saya meminjam uang kapada Bank harian (bank
dinan). Uang pinjaman kepada bank harian ini sebesar Rp 112500,00 – Rp
225.000,00. Besarnya setoran setiap hari untuk pinjaman sebesar 112500,00
adalah Rp 5000,00 sedangkan untuk pinjaman Rp 225.000,00 adalah sebesar
Rp 10.000,00.
87
Dari hasil pernikahannya dengan Ibu Kltm, Pak Rsd dikaruniai tiga
orang anak yang semuanya sudah berkeluarga. Hanya seorang anaknya yang
masih tinggal bersamanya yaitu Rni (35 tahun). Rni bekerja di pabrik
rajungan, pada saat ia bekerja anaknya yang masih balita dititipkannya kepada
ibunya. Pada saat gajian rni sering mengasih uang kepada ibunya untuk
membantu mencukupi kebutuhan keluarga.
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa
Limbangan tidak terlepas dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan.
Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa fluktuasi musim tangkapan, faktor
ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para nelayan, sehingga
pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya
manusia nelayan yang dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga
nelayan menyebabkan susahnya nelayan untuk mengakses peluang-peluang kerja
yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor perikanan. Eksploitasi
pemodal berupa ikatan penjualan kepada bakul tertentu dengan harga jauh di
bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan,
sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan (bidak) semakin
terpuruk karena sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak
juragan saja, sehingga menambah kesenjangan ekonomi antara pemilik perahu
(juragan) dan buruh nelayan (bidak).
Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi
memiliki keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan
penangkapan ikan tidak lagi bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan
dapat lebih intensif untuk pergi melaut (miyang). Namun di sisi lain, penerapan
89
motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi (TPI),
sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di
TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil
tangkapannya kepada para bakul yang menjadi langgannya. Hal ini telah
menyebabkan semakin tingginya ketergantungan para nelayan terhadap para
pemodal (bakul). Faktor ini sangat dominan dalam menyebabkan kemiskinan
nelayan di Desa Limbangan kerena selain menyebabkan tersisihnya kelembagaan
ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan bakar minyak
(BBM), kenaikan harga BBM tidak di di barengi dengan kenaikan harga hasil
produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pencemaran lingkungan yang diduga
disebabkan oleh PT. Pertamina dan PT. Batavindo telah menyebabkan
menurunnya hasil tangkapan dan gagalnya usaha tambak nelayan. Sekalipun
pencemaran lingkungan ini sudah ditangani, namun sampai saat ini dampaknya
masih dirasakan oleh para nelayan yaitu berupa penurunan hasil produksi nelayan.
Pada saat musim paceklik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
rumahtangga nelayan seringkali menggadaikan atau menjual harta kekayaan dan
perabotan rumahtangga, apabila hal tersebut tidak mencukupi, maka para nelayan
akan meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu,
bahkan ada pula sebagian nelayan yang meminjam uang kepada juragan dan
rentenir. Pengalokasian uang tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Sebagian nelayan
mengalokasikan uang pinjaman ini untuk memenuhi kebiasaan-kebiasaan mereka
90
berupa minum-minuman keras dan berjudi, sehingga menyebabkan nelayan
terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Menghadapi situasi kemiskinan tersebut, rumahtangga nelayan berusaha
menerapkan berbagai strategi dengan melakukan diferensiasi peranan.
Diferensiasi peranan tersebut dapat terlihat dalam berbagai strategi yang
diterapkan oleh rumahtangga nelayan. Strategi-strategi tersebut berupa peranan
anggota keluarga (istri dan anak nelayan), penerapan strategi ini terlihat pada
peranan anggota rumahtangga dalam membantu memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Bagi anak-anak yang masih kecil biasanya membantu mencari
penghasilan dengan menggorek dan meminta ikan kepada nelayan yang baru
mendarat (alang-alang). Bagi para istri atau anak gadis membantu memenuhi
kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja menjadi buruh di pabrik pengolahan
ikan atau memilih bekerja keluar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Sedangkan bagi anak laki-laki biasanya membantu orang tuanya bekerja di laut.
Penerapan strategi ini telah membantu menambah pendapatan rumahtangga
nelayan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pola nafkah ganda, rumahtangga nelayan berusaha mengalokasikan tenaga
kerjanya ke berbagai jenis pekerjaan, seperti menjadi buruh tani, buruh pabrik
pengolahan ikan, dan lain-lain. Penerapan strategi ini dimaksudkan untuk
menyikapi situasi kemiskinan yang berkaitan dengan hasil tangkapan yang tidak
menentu. Penerapan strategi ini telah membantu sumber pendapatan rumahtangga
di tengah ketidakpastian hasil tangkapan nelayan. Diversifikasi peralatan tangkap,
pada saat-saat tertentu para nelayan menggunakan alat tangkap sesuai dengan
jenis ikan yang dapat ditangkap pada waktu itu. Diversifikasi peralatan tangkap
91
ini dilakukan oleh para nelayan untuk mengantisipasi fluktuasi musim ikan yang
tidak menentu.
Pemanfaatan organisasi produktif, untuk membantu memenuhi kebutuhan
hidup keluarga, para istri nelayan di Desa Limbangan ikut aktif dalam kelompok
arisan dan kelompok pengajian. Hasil dari kegiatan arisan ini dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan selain itu, dapat pula dijadikan sebagai
modal usaha. Jaringan sosial, para nelayan memanfaatkan jaringan sosial sebagai
salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini
dimanfaatkan dalam kegiatan menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan
ekonomi. Selain itu, jaringan sosial dimanfaatkan juga oleh para nelayan untuk
mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu. Informasi
tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan sebagai salah satu bahan pertimbangan
untuk memutuskan dalam kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan).
Penerapan strategi ini telah membantu rumahtangga nelayan dalam mengatasi
faktor penyebab kemiskinan berupa eksploitasi pemodal dan ketimpangan sistem
bagi hasil. Dari berbagai strategi yang diterapkan, peranan anggota keluarga (istri
dan anak) nelayan merupakan strategi yang banyak dilakukan oleh rumahtangga
nelayan di Desa Limbangan karena strategi ini relatif mudah dilakukan dan dapat
membantu rumahtangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penerapan berbagai strategi tersebut dapat membantu para nelayan bertahan hidup
ditengah keadaan yang serba miskin.
92
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat diusulkan
sebagai saran adalah:
1. Mengoptimalkan kembali peran kelembagaan ekonomi (TPI), sehingga para
nelayan dapat melakukan kegiatan lelang terbuka kembali dan tidak terlalu
bergantung kepada para juragan atau bakul.
2. Perlu dibangun pelabuhan kecil agar perahu-perahu dari daerah lain dapat
mendaratkan dan menjual ikannya di daerah Limbangan. Hal ini perlu
dilakukan untuk menunjang kemajuan ekonomi Desa.
3. Perlu dibentuk kelompok-kelompok nelayan dan kegiatan pendampingan,
baik oleh petugas penyuluhan, LSM, dan lain-lain, agar nelayan dapat
dikoordinir dalam wadah organisasi.
93
DAFTAR PUSTAKA
Aristiyani, Tri. 2003. Strategi Nafkah dan Kerja Perempuan pada Rumahtangga
Petambak Penggarap dalam Menghadapi Resiko (Kasus pada Komunitas
Petambak di Desa Karya Bakti, Kabupaten Karawang, Jawa Barat).
Skripsi, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Dahuri, Rokhmin. 1994. Studi Model Pengentasan Kemiskinan Nelayan di Desa
Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Program
Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut
Pertanian Bogor; Bogor.
Dahuri, Rokhmin. 1996. Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut: Perspektif
Ekonomi dan Ekologi. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan.
Institut Partanian Bogor; Bogor.
Darwin, M.S.P. 2002. Karakteristik Kemiskinan Masyarakat Nelayan di
Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Skripsi Institut Pertanian Bogor;
Bogor.
Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-
economic Changes in Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen,
Jerman.
Hermanto et al., 1995. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif
Penanggulangannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB; Bogor.
Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia;
Jakarta.
Lestari, Dewi. 2005. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Pantai Utara dan
Pantai selatan Jawa (Studi kasus Komunitas Nelayan Banyuwoto, Jawa
94
Tengah dan Komunitas Nelayan Cipatuguran, Jawa Barat). Skripsi,
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kusnadi, 2000. Nelayan : Strategi adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora
Utama Press ; Bandung.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya
Perikanan. LKiS; Yogyakarta.
Lewis, Oscar. 1966. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan (ed.),
kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Mangkuprawira, S. 1993. Pendekatan Pengentasan Kemiskinan Oleh Perguruan
Tinggi. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat. IPB; Bogor.
Masyhuri, 2001. Adaptasi Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia. Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E - LIPI); Jakarta.
Mubyarto et al., 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Rajawali Pers; Jakarta.
Pangemanan, et al., 2003. Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan.
http://rudyct.tripod.com/sem1_023.htm. Diakses pada tanggal 5 Desember
2005 pukul 08.30 wib.
Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT Pustaka
Cidesindo; Jakarta.
Setiadi, 2006. Mengungkap pengentasan Kemiskinan Secara Partisipatoris.
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=307. Diakses pada
tanggal 28 Februari 2006 pukul 08.55 wib.
Setyohadi, Tuk. 1998. Pemberdayaan Nelayan dan kelautan Dalam Kerangka Konsepsi Benua Maritim Indonesi dalam Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan bekerja sama dengan Japan Internasition
95
Agency, Universitas Hasanuddin, Dinas Perikanan Dati I Sulawesi Selatan, Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia.
Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar. DOKISH.
Fakultas pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Gravindo Persada;
Jakarta.
Soemardjan, Selo. Alfian. Tan Mely G. 1984. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga
Rampai. Mataangin Offsen; Jakarta
Soemardjan, Selo. 1997. Jurnal Sosiologi Indonesia. Ikatan Sosiologi Indonesia;
Jakarta.
Solihin, Ahmad. 2005. Pendekatan Sosial-Budaya dalam Memberdayakan
Nelayan.http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=307.Diakses
Pada tanggal 25 Februaru 2006 pukul 09.30 wib.
Sumodiningrat. 1989. Dalam Darwis,V dan Numanaf, R.A. 2001. Pengentasan
Kemiskinan: Upaya Yang Telah Dilakukan Dan Rencana Waktu
Mendatang.http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi/FAE_19_1_2001_4.p
df. Diakses pada tanggal 1 Maret 2006 pukul 08.15 wib.
Suyanto, Bagong. 2003. Upaya Menyejahterakan Nelayan di Jatim Meningkatkan
Produktivitas atau Diversifikasi?. http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0304/23/jatim/274420.htm. Di akses pada tanggal 14 Desember
2005 pukul 8.04 wib.
LAMPIRAN
Lampiran Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian
KABUPATEN INDRAMAYULOKASI
PENELITIAN
Desa Limbangan
97
Lampiran Tabel 12. Teknik Pengumpulan Data
No Kebutuhan data/informasi Sumber
data/informasi
Teknik
pengumpulan data
1 Gambaran Umum Desa:
Jumlah penduduk Desa
Mata pencaharian
Penyebaran penduduk
Komposisi penduduk
(usia, jenis kelamin,
pendidikan, etnis, dan
religi)
Kondisi infrastruktur
Desa
Sistem nilai budaya,
norma, dan pranata
dalam Desa
Data Monografi
Desa
Aparatur Desa,
tokoh masyarakat
dan anggota
masyarakat
Studi Dokumen
data monografi
Desa
Wawancara
Pengamatan
langsung
2 Faktor penyebab
kemiskinan nelayan
Faktor-faktor penyebab
kemiskinan nelayan
Faktor paling dominan
yang menyebabkan
kemiskinan nelayan
Informan dan
Responden
Wawancara
mendalam
Pengamatan
langsung
3 Strategi rumahtangga
nelayan
Bentuk-bentuk strategi
rumahtangga nelayan
Pihak-pihak yang
terkait dalam strategi
Informan dan
Responden
Wawancara
mendalam
Pengamatan
langsung
98
tersebut
Implementasi strategi
Hasil yang dapat
diperoleh dari
penerapan strategi
tersebut
99
Lampiran 1. Panduan Pertanyaan Wawancara
1. Gambaran umum Desa Limbangan
a. Bagaimana sistem nilai budaya, norma, dan pranata yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat?
b. Bagaimana kehidupan sosial ekonomi desa, khususnya masyarakat
nelayan?
c. Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana umum yang tersedia di
Desa yang mendukung kegiatan penangkapan?
d. Bagaimana gambaran umum lingkungan perumahan desa, khususnya
perumahan nelayan?
2. Identifikasi faktor penyebab kemiskinan nelayan
a. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat
nelayan di Desa Limbangan?
b. Faktor apa yang paling dominan menyebabkan kemiskianan pada
masyarakat nelayan di Desa Limbangan?
3. Strategi rumahtangga nelayan
a. Bagaimana bentuk-bentuk strategi rumahtanga nelayan dalam mengatasi
faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut?
b. Pihak-pihak mana saja yang terkait dalam strategi tersebut?
c. Bagaimana implementasi dari berbagai bentuk strategi tersebut?
d. Bagaimana hasil yang dapat diperoleh/dirasakan oleh rumahtangga dari
penerapan strategi tersebut?