Download - STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN
TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA
SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
SKRIPSI
Oleh :
STEF RIKO SAPUTRA
X7107079
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN
TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA
SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
SKRIPSI
Oleh :
STEF RIKO SAPUTRA
X7107079
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN
TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA
SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Oleh :
STEF RIKO SAPUTRA
X7107079
SKRIPSI
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan
gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan Kemampuan Membaca Pemahaman Terhadap Hasil Belajar
Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V SD Kecamatan Wonogiri Tahun Pelajaran
Oleh :
Nama : STEF RIKO SAPUTRA
NIM : X7107079
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hari : Selasa
Tanggal : 29 November 2011
Oleh:
Pembimbing I
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
HALAMAN MOTTO
1. Student learn best by actively constructing their own understanding
(CTL Academy Fellow, 1999)
(Cara belajar terbaik yaitu siswa mengkonstruksikan pemahamannya
sendiri secara aktif)
2. He who has not tasted bitter things, knows not what sweet is. (German
Proverbs)
(Dia yang belum merasakan pahit, tidak mengerti rasa manis itu seperti
apa)
3. Parents can only give good advice or put them on the right paths, but
the final forming of a person's character lies in their own hands. (Anne
Frank)
(Orang tua hanya bisa memberi nasihat yang baik atau menempatkan
mereka pada jalan yang benar, tetapi akhir pembentukan karakter
seseorang terletak di tangan mereka sendiri.)
4. make your own by experience.
(Penulis)
Belajar bukan hanya menyalin sebuah kamus, tetapi membuatnya
sendiri menurut pengalaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan
kepada:
1. Bapak Joko Harianto dan
Ibu Sri Wiji, orang tua yang
selalu merajut kehidupan saya.
2. Kedua adik saya, Loudi dan
Andre, tanpa mereka saya tidak
pernah menyangka bahwa hari
seperti ini akan ada.
3. Alamamater UNS yang
membanggakan, serta
4. Persahabatan dalam Klan
Stifler dan C-Lover yang
hangatnya takkan tergantikan.
Terima Kasih.
Tuhan Memberkati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis senantiasa panjatkan kepada Tuhan yang begitu baik
melimpahkan kasih dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi
dengan judul Contextual Teaching and Learning (CTL)
dan Kemampuan Membaca Pemahaman Terhadap Hasil Belajar Matematika Soal
. Penulis
sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagai
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Dalam proses penyusunan skripsi
ini penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. R.Indianto, M. Pd. Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
3. Drs. Hadi Mulyono, M. Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Prof. Dr. H. Soegiyanto, SU. Dosen Pembimbing I dan Drs. Chumdari, M.Pd.
Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
dorongan kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat peneliti selesaikan.
5. Sri Saparinsih, S.Pd. Kepala SDN 1 Pokoh Kidul, Endang Kristini, SR, BA.
Kepala SDN 2 Sendang, serta Sukarsih Heni Yanti, S.Pd. Kepala SDN 3
Wuryorejo, yang telah memberikan ijin tempat, dan bantuan dalam penelitian.
6. Ngatini, A.Ma Guru kelas V SDN 1 Pokoh Kidul, Siti Nur Harjati Budi
Hastuti, S.Pd Guru kelas V SDN 2 Sendang, dan Sri Hartati, S.Pd Guru kelas V
SDN 3 Wuryorejo, Siswa-siswi beserta segenap pihak sekolah yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
7. Segenap Dosen PGSD UNS yang secara tulus memberikan ilmu dan masukan
kepada peneliti.
8. Keluargaku yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, serta dukungan baik
material maupun spiritual.
9. Keluarga mahasiswa PGSD UNS khususnya Retno Witanti yang telah
membantu peneliti selama menjadi mahasiswa dan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10. Berbagai pihak yang telah membantu peneliti baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu.
Dengan segala kerendahan hati, Penulis menyadari bahwa karya ini masih
belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
berbagai pihak sangat diharapkan. Akhirnya semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, 12 Desember 2011
Penulis
STEF RIKO SAPUTRA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
ABSTRAK ...................................................................................................... xv
ABSTRACT ....................................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 6
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 6
E. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6
F. Manfaat Penelitian ................................................................................ 7
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 8
1. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 8
2. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Konvensional ................. 17
3. Tinjauan Tentang Kemampuan Membaca Pemahaman ................ 22
4. Tinjauan Tentang Hasil Belajar Metematika Soal Cerita .............. 41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
Halaman
B. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 50
C. Kerangka Berpikir ................................................................................ 51
D. Hipotesis Penelitian .............................................................................. 53
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 55
B. Populasi dan Sampel ........................................................................... 55
C. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 58
D. Definisi Operasional Variabel .............................................................. 59
E. Instrumen Penelitian ............................................................................. 61
F. Rancangan Penelitian ........................................................................... 68
G. Teknik Analisis Data ............................................................................ 71
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian ............................................................................. 78
1. Menetapkan Subyek Penelitian ..................................................... 78
2. Uji Keseimbangan ......................................................................... 78
B. Hasil Ujicoba Instrumen ....................................................................... 79
1. Instrumen Soal Pretest .................................................................. 79
2. Instrumen Soal Tes Hasil Belajar (Postest)................................... 81
3. Instrumen Soal Kemampuan Membaca Pemahaman .................... 82
C. Deskripsi Data Hasil Penelitian ............................................................ 83
1. Hasil Belajar Matematika Kelas Contextual Teaching and Learning ............................................... 83
2. Hasil Belajar Matematika Kelas Konvensional ............................ 84
D. Pengujian Prasyarat Analisis ................................................................ 85
1. Uji Normalitas ............................................................................... 85
2. Uji Homogenitas ........................................................................... 86
E. Uji Hipotesis Penelitian ........................................................................ 87
1. Uji Hipotesis Pertama.................................................................... 88
2. Uji Hipotesis Kedua ...................................................................... 88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
Halaman
3. Uji Hipotesis Ketiga ...................................................................... 88
F. Pembahasan Hasil Analisa Data ........................................................... 89
1. Hipotesis Pertama .......................................................................... 89
2. Hipotesis Kedua ............................................................................ 89
3. Hipotesis Ketiga ............................................................................ 90
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan ............................................................................................... 91
B. Implikasi ............................................................................................... 91
C. Saran ..................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 94
LAMPIRAN ..................................................................................................... 98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar: Halaman 1. Ranah Kognitif Bloom dan Taksonomi Barret .................................. 33
2. Kerangka Pemikiran........................................................................... 53
3. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual Teaching and Learning. ..................................................................... 84
4. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional ..................................................................................... 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
DAFTAR TABEL Tabel: Halaman
2.1. Perbedaan Pendekatan CTL dengan Pendekatan Tradisional .......... 20
3.1. Kisi-Kisi Soal Pemahaman Membaca ............................................. 63
3.2. Kisi-Kisi Soal Tes Hasil Belajar Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V ................................................................................. 64
3.3. Interpretasi Indek Kesukaran Soal (P) ............................................. 68
3.4 Klasifikasi Daya Beda Soal (D)....................................................... 68
3.5 Rancangan Analisis Faktorial 2 x 2 ................................................. 69
3.6 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalur ........................................ 77
4.1. Hasil Pengelompokan Data Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual Teaching and Learning. ...................................... 84
4.2. Hasil Pengelompokan Data Hasil belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional ........................................................................ 85
4.3. Hasil Uji Normalitas ....................................................................... 86
4.4. Hasil Uji Homogenitas ................................................................... 86
4.5. Rangkuman Anava Dua Jalan dengan Frekuensi Sel Tak Sama ................................................................................................ 87
4.6. Rangkuman Rataan Antar Sel dan Rataan Marginal ...................... 88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran: Halaman 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran .................................................. 98
2. Instrument Pretest Hasil Belajar ........................................................ 179
3. Instrument Postest Hasil Belajar ........................................................ 184
4. Instrument Kemampuan Membaca Pemahaman ............................... 190
5. Hasil Pengamatan Siswa dan Guru .................................................... 201
6. Uji Validitas, Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda dan Reliabilitas Soal Pretest ..................................................................... 204
7. Uji Validitas, Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda dan Reliabilitas Soal Postest ..................................................................... 219
8. Uji Validitas, Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda dan Reliabilitas Soal Kemampuan Membaca Pemahaman ...................... 212
9. Skor Jawaban Pretest Kelas Eksperimen ........................................... 215
10. Skor Jawaban Pretest Kelas Kontrol ................................................. 216
11. Daftar Nilai Pretest ............................................................................ 217
12. Uji Normalitas Data Pretest ............................................................... 218
13. Uji Homogenitas Data Pretest ........................................................... 220
14. Uji Keseimbangan .............................................................................. 222
15. Skor Jawaban Kemampuan Membaca Pemahaman Kelas Eksperimen ........................................................................................ 223
16. Skor Jawaban Kemampuan Membaca Pemahaman Kelas Kontrol ............................................................................................... 224
17. Skor Jawaban Postest Kelas Eksperimen .......................................... 225
18. Skor Jawaban Postest Kelas Kontrol ................................................. 226
19. Data Induk Penelitian ......................................................................... 227
20. Distribusi Frekuensi Data .................................................................. 228
21. Uji Normalitas .................................................................................... 229
22. Uji Homogenitas ................................................................................ 233
23. Pengujian Hipotesis ........................................................................... 237
24. Tabel-Tabel Statistik .......................................................................... 243
25. Rekap nilai UAS SD Kec. Wonogiri semester I 2010/2011 ............. 250
26. Gambar Pembelajaran Penelitian ....................................................... 252
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xv
ABSTRAK
Stef Riko Saputra. X7107079. PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI TAHUN PELAJARAN 2011/2012. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. November. 2011.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD ditinjau dari kemampuan membaca pemahaman siswa.Penelitian ini menggunakan metode eksperimental semu (Quasi experimental research). Populasi adalah seluruh siswa kelas V SD Negeri di Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri. Sampel diambil dengan Cluster Random Sampling sejumlah tiga kelas, yaitu kelas eksperimen, kelas kontrol dan kelas uji coba. Kelas eksperimen berjumlah 32 siswa dan kelas kontrol berjumlah 34 siswa untuk memenuhi persyaratan sebagai sampel maka dilaksanakan uji keseimbangan kemampuan awal antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan Uji t. Data penelitian ini berupa hasil belajar dan tingkat kemampuan membaca pemahaman. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas metode Liliefors yang digunakan untuk menguji keadaan distribusi sampel, uji homogenitas dengan metode Bartlet. Uji hipotesis menggunakan analisis variansi dua jalur.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) ada pengaruh antara model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran. Hasil belajar matematika dengan menerapkan model pembelajaran CTL lebih baik daripada model pembelajaran konvensional, dengan harga statistik uji FA > Ftabel, yaitu 4,480 > 3,996 dan rata-rata nilai hasil belajar dari siswa yang dikenai model pembelajaran Contextual Teaching and Learning lebih besar dari model pembelajaran konvensional, yaitu 76,69 > 72,74. (2) Ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kemampuan membaca pemahaman siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan harga statistik uji Fb > Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996 dan rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman tinggi lebih besar daripada rata-rata hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman rendah yaitu 80,68 > 68,25. (3) Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan tingkat kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan dengan harga statistik uji Fab < Ftabel, yaitu 0,206 < 3,996.
Kata Kunci : Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), Kemampuan Membaca Pemahaman, Hasil Belajar Matematika Soal Cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xvi
ABSTRACT
Stef Riko Saputra. X7107079. THE EFFECTS OF CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) MODEL APPLICATION AND READING COMPREHENSION SKILL ON THE LEARNING ACHIEVEMENT IN MATHEMATICAL WORD PROBLEMS FIFTH GRADE ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS OF SUBDISTRICT WONOGIRI YEAR 2011/2012. Skripsi. Teacher Training and Education Faculty. Sebelas Maret University of Surakarta. November 2011.
The aim of the research is to find out the effects of Contextual Teaching and Learning (CTL) model application on the learning achievement in mathematical word problems reading comprehension skill. This research uses quasi-experimental methods (Quasi experimental research). Population is the entire fifth grade students in subdistrict Wonogiri. samples were selected with Cluster Random Sampling amounts of three classes, the experimental class, control class and the test class. Experimental class is amount to 32 students and control class is amount to 34 students, to qualify as a sample of the test carried out beginning balance ability between the experimental group and control group by Matching Test. This research data is learning achievement and reading comprehension skill level. Analysis of the data in this research uses the normality test Liliefors methods to test the state distribution of samples, the test of homogenity by the method of Bartlet. The test of hypothesis by two way anova.
Based on this research can be concluded that (1) there is effect between learning models which used in class. learning achievement in mathematics with Contextual Teaching and Learning model is better than conventional model, which FA > Ftabel, 4,480 > 3,996 and learning achievement average with Contextual Teaching and Learning model had an advantage than conventionally, 76,69 > 72,74. (2) there is a significant effect reading comprehension skill level and learning achievement, which Fb > Ftabel, 38,428 > 3,996 and
learning achievement average who have high reading comprehension skill level learning achievement average who have low reading comprehension skill level 80,68 > 68,25 (3) there is no interactions between learning models and reading comprehension skill level in learning achievement, which Fab < Ftabel, 0,206 < 3,996.
Key words : Contextual Teaching and Learning model (CTL), Reading Comprehension Skill, Mathematical Words Problems Learning Achievement.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi yang sangat pesat mempunyai pengaruh yang
sangat besar didalam dunia pendidikan. Dengan berkembangnya teknologi ini
mengakibatkan berkembangnya ilmu pengetahuan yang memiliki dampak positif
maupun negatif. Perkembangan teknologi yang dimulai dari negara-negara maju ini
mengakibatkan Indonesia sebagai negara berkembang perlu mensejajarkan diri
dengan negara-negara yang sudah maju tersebut. Pendidikan matematika merupakan
salah satu fondasi dari kemampuan sains dan teknologi. Pemahaman terhadap
matematika, dari kemampuan yang bersifat keahlian sampai kepada pemahaman
yang bersifat apresiatif akan berhasil mengembangkan kemampuan sains dan
teknologi yang cukup tinggi (Buchori, 2001: 120-121).
Di satu sisi, matematika dianggap sangat penting bagi kehidupan manusia
karena memiliki keterkaitan dan menjadi pendukung berbagai bidang ilmu serta
berbagai aspek kehidupan manusia. Tetapi di sisi lain, matematika juga dianggap
sebagai suatu mata pelajaran yang cukup sulit bagi siswa, bahkan cukup
mengkhawatirkan (menakutkan) bagi beberapa siswa. Hal ini mungkin karena
matematika memiliki sifat abstrak, atau karena dalam pembelajaran, matematika
diposisikan terlalu tinggi atau di awang-awang (terlalu menonjolkan sifat deduktif
aksiomatik) dan kurang membumi atau kurang realistik, kurang dikaitkan dengan
kenyataan-kenyataan yang ada atau yang biasa ditemui siswa dalam lingkungan
kehidupan siswa atau pun juga karena guru menganggap siswa sebagai botol kosong
yang perlu diisi dan kurang memperhatikan bahwa sebenarnya siswa dapat
membangun/mengkonstruksi pengertian sendiri terhadap suatu konsep pengetahuan
(Hartini, 2008: 8).
Mengingat akan pentingnya matematika dalam pengembangan generasi
melalui kemampuan mengadopsi maupun mengadakan inovasi sains dan teknologi di
era globalisasi, maka tidak boleh dibiarkan adanya generasi muda yang buta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
matematika. Kebutaan matematika yang dibiarkan menjadi suatu kebiasaan,
membuat masyarakat kehilangan kemampuan berpikir secara disipliner dalam
menghadapi masalah-masalah nyata. Pendidikan merupakan proses untuk membantu
manusia dalam mengembangkan dirinya dan untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia, sehingga manusia mampu untuk menghadapi setiap perubahan
yang terjadi, menuju arah yang lebih baik. Namun kenyataannya prestasi belajar
mata pelajaran matematika pada kelas V sekolah dasar di Kecamatan Wonogiri
masih rendah dibanding dengan prestasi belajar mata pelajaran lain. Hal ini
dibuktikan dari rekap nilai hasil UAS SD/MI Kecamatan Wonogiri semester I tahun
pelajaran 2010/2011. Rata-rata nilai hasil UAS di Kecamatan Wonogiri pada tahun
2010/2011 pada kelas V yaitu Bahasa Indonesia 71.21; IPA 73.42; IPS 69.12;
Matematika 67.64; dan PKn 72.02. Berdasarkan data nilai rata-rata beberapa mata
pelajaran di atas dapat diketahui nilai rata-rata matematika masih rendah daripada
nilai rata-rata pelajaran lain. Rata-rata nilai tertinggi adalah pelajaran IPA dengan
nilai rata-rata 73,42 sedangkan matematika nilai rata-ratanya hanya 67,64. Hal ini
menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa kelas V SD di Kecamatan Wonogiri pada
pelajaran matematika masih rendah.
Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan
maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh
pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau
murid (Syaiful Sagala, 2006: 61). Mengajar bukan semata persoalan menceritakan.
Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari penuangan informasi ke dalam benak
siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Dalam hal
inilah keaktifan siswa dalam belajar sangat diperlukan. Siswa harus menggunakan
otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah dan menerapkan apa yang mereka
pelajari. Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, penuh semangat dan bergairah.
Siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan
berpikir keras (moving about dan thinking about). Bukan hanya itu, siswa perlu
sesuatu dengan cara mereka sendiri,
menunjukkan contohnya, mencoba mempraktekkan ketrampilan dan mengerjakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
tugas yang menuntut pengetahuan yang harus mereka dapatkan (Silberman, Melvin
L, 2004 : 1-2).
Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan
menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang
diinginkan. Dampak yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar siswa dalam
pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena dalam proses siswa kurang
dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat
pada guru, dan klasikal. Selain itu siswa kurang dilatih untuk menganalisis
permasalahan matematika, jarang sekali siswa menyampaikan ide untuk menjawab
pertanyaan bagaimana proses penyelesaian soal yang dilontarkan guru. Dari
beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang menarik dan dapat
memicu peningkatan penalaran siswa yaitu model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL). Model pembelajaran CTL Merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat (Depdiknas, 2002: 1). Pada dasarnya, pembelajaran CTL atau
kontekstual adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang
menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari
kehidupan sehari-hari siswa. Dalam pembelajaran ini siswa harus dapat
mengembangkan kemampuan dan pemahaman konsep matematika untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran matematika mempunyai
tujuan yang sangat luas, salah satu tujuannya adalah agar siswa memiliki
kemampuan menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan
menerapkannya dalam soal-soal. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran
CTL perlu diberikan oleh guru dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil
belajar yang lebih baik.
Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil
keputusan secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu
mengembangkan kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri. Dengan
menggunakan model pembelajaran CTL diharapkan siswa mampu menyelesaikan
soal-soal cerita matematika dengan baik. Penerapan model pembelajaran CTL dalam
pembelajaran matematika khususnya soal cerita melibatkan siswa untuk dapat
berperan aktif dengan bimbingan guru, agar peningkatan kemampuan siswa dalam
memahami konsep dapat terarah lebih baik.
Dalam mata pelajaran matematika, sebagai upaya agar materi yang
disampaikan benar benar dapat diterima dan dikuasai oleh siswa dapat dilakukan
dengan memberikan soal soal, salah satunya yaitu dengan memberikan soal cerita.
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan soal
cerita antara lain membaca dan memahami soal. Dengan membaca dan memahami
soal diharapkan siswa dapat menceritakan kembali soal tersebut dengan kata-kata
sendiri. Kemungkinan siswa menentukan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan dari soal yang diberikan. Pada langkah ini siswa menggunakan bilangan-
bilangan yang beserta dengan hubungannya kemudian membuat model
matematikanya. Apabila model matematika yang dimaksud telah ditentukan, siswa
menyelesaikan model matematika tersebut dengan melakukan operasi-operasi
aritmatika dan aljabar beserta algoritmanya. Dan langkah terakhir siswa
menggunakan penyelesaian itu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan dalam
soal dengan menggunakan kalimat jawab. Kebanyakan siswa menganggap langkah-
langkah tersebut terlalu rumit. Biasanya siswa-siswa berpikir praktis hanya
mempelajari jawaban dari contoh-contoh soal, lalu menghafalkannya, tanpa
memahami konsep-konsep yang seharusnya dipelajari dan dipahami. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan anak dalam kegiatan membaca pemahaman. (Hidayah
Adi Romanita, 2008: 5-6)
Kemampuan membaca pemahaman menjadi bagian dari penguasaan dan
perbendaharaan kata, tema topik dan pengalaman baru yang setiap saat menjadi lebih
meningkat. Dengan seringnya membaca dan beragam tema bacaan yang dibaca
siswa, maka siswa makin terbuka dalam memperoleh tambahan sejumlah kata-kata
dan memperkaya katanya serta wawasan pengetahuan dan pengalaman. Penguasaan
sejumlah kata sangat diperlukan untuk menentukan sebuah kalimat yang memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
makna. Makna kalimat tersebut sedemikian komplek sehingga kemampuan
menyusun kalimat yang tepat dan mudah ditangkap maknanya oleh lawan bicara atau
pendengar dalam bentuk bahasa lisan dalam bercerita memerlukan pembendaharaan
kata dan kejelasan tema atau topik. Usaha memperkaya kata tema-tema dan topik-
topik baru melalui membaca pemahaman perlu dilakukan secara terus menerus yang
disesuaikan dengan usia tingkat perkembangan dan pengalaman siswa,
penggunaannya disesuaikan pula dengan perkembangan dan tingkat kesulitannya
(Depdikbud, 1993: 17-19).
Atas dasar uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui adakah
pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
dan kemampuan membaca pemahaman siswa terhadap hasil belajar matematika soal
cerita. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis mengangkat judul Pengaruh
Penerapan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Kemampuan
Membaca Pemahaman terhadap Hasil Belajar Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V
SD Kecamatan Wonogiri Tahun Pelajaran 2011/2012
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, terdapat beberapa
masalah yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Berbagai masalah tersebut
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Rendahnya kemampuan siswa dalam mengerjakan soal cerita matematika
mengakibatkan hasil belajar matematika siswa menjadi rendah.
2. Penerapan model pembelajaran yang tepat akan mampu meningkatkan
kemampuan siswa dalam mengerjakan soal cerita.
3. Keberhasilan pembelajaran matematika khususnya soal cerita dipengaruhi oleh
tingkat kemampuan membaca siswa dalam memahami soal yang diberikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
C. Pembatasan Masalah
Agar hasil penelitian ini lebih mendalam dan permasalahan yang dikaji tidak
menyimpang dari tujuan penelitian maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian
sebagai berikut:
1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) atau
pembelajaran kontekstual.
2. Aspek kemampuan membaca dibatasi pada kemampuan siswa dalam memahami
isi bacaan secara cepat dan tepat.
3. Hasil belajar siswa dibatasi pada hasil belajar matematika tentang soal cerita
siswa kelas V SD.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning
(CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD?
2. Apakah ada pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar
matematika soal cerita siswa kelas V SD?
3. Apakah ada pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning
(CTL) dan kemampuan membaca pemahaman secara bersama-sama terhadap
hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning
(CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD.
2. Mengetahui pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar
matematika soal cerita siswa kelas V SD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
3. Mengetahui pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning
(CTL) dan kemampuan membaca pemahaman secara bersama-sama terhadap
hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD.
F. Manfaat Penelitian
Dengan diadakan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat
digunakan dalam mengembangkan kemampuan matematika. Secara rinci manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian penggunaan model Contextual Teaching
and Learning (CTL) dan kemampuan membaca pemahaman ini dapat
dimanfaatkan untuk menambah khasanah pengetahuan mengenai pembelajaran
soal cerita pada mata pelajaran matematika terhadap dunia pendidikan serta
kepada para pembaca pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi peserta didik
Dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik dalam pembelajaran
matematika khususnya pada soal cerita.
b) Bagi guru
Memberikan masukan pada guru untuk meningkatkan kemampuan
membaca pemahaman serta menggunakan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) khususnya pada soal cerita matematika.
c) Bagi sekolah
Sebagai acuan dalam penerapan dalam penyelesaian masalah
pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar
peserta didik. Siswa mampu menerapkan cara belajar dengan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam kelas dengan
kehidupan nyata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan tentang Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
a. Pengertian Belajar
Lee J Cronbach dalam Sumadi Suryabrata (1984: 231) menyatakan
bahwa yang
artinya belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Ernest R. Hilgard dalam Sumadi
Suryabrata (1984: 252) belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya
berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Howard L. Kingsley
dalam Djamarah (2008:13) menyatakan bahwa
behavior (in broader sense) is originated or changed through practice or
yang artinya belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti
luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan. Winkel (2005: 59)
merumuskan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis, yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
sejumlah perubahan dalam pemahaman-pemahaman, keterampilan dan nilai-
sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas.
James P. Chaplin (2002: 272) membatasi belajar (learning) dengan dua
macam rumusan. Pertama
yang artinya belajar
adalah perolehan dari sebarang perubahan yang relatif permanen dalam tingkah
laku, sebagai hasil dari praktek atau hasil pengalaman. Kedua
yang artinya belajar yaitu
proses mendapatkan reaksi-reaksi sebagai hasil dari praktek dan latihan khusus.
Hintzman dalam Muhibbin Syah (2009: 65) menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
yang artinya belajar merupakan perubahan yang terjadi
dalam diri organisme, manusia atau hewan disebabkan oleh pengalaman yang
dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Muhibbin Syah (2009: 68)
menjelaskan bahwa belajar merupakan tahapan perubahan perilaku siswa yang
relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan aspek kognitif. Daryanto (2010: 2) menyatakan bahwa belajar
merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oemar Hamalik (1999: 36-37) mendefinisikan dua pengertian yang
umum tentang belajar yaitu;
1) Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman
(learning is defined as the modification or strengthening of behavior through
experiencing)
2) Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi
dengan lingkungan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah proses perubahan pada diri seseorang yang relatif positif ditandai dengan
adanya perubahan tingkah laku, pengetahuan, pemahaman, keterampilan,
kecakapan dan kebiasaan sebagai hasil dari latihan dan pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
b. Pengertian Model
Menurut Udin S. Winataputra (1992: 34) secara umum istilah model
diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain model juga diartikan sebagai
barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti, globe adalah
model dari bumi tempat kita hidup. James P. Chaplin (2002: 306) mendefinisikan
model dengan empat macam pengertian. Pertama, model berarti satu kopi,
tembusan, salinan, turunan dari sesuatu. Kedua, satu bentuk ideal, atau standar.
Ketiga, satu penyajian fisik dari satu sistem untuk memperlihatkan cara kerja
sistem tersebut. Keempat, satu kumpulan asumsi atau postulat, seringkali dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
bentuk matematis yang berusaha untuk menetapkan konsepsi kerja yang
digeneralisasikan, yang dapat menerangkan data empitris atau relasi empiris.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, menyatakan bahwa model
adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem,
atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya
dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar
rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis
(http://id.wikipedia.org/ wiki/Model diakses tanggal 17 april 2011 jam 15.00 wib).
Dalam konteks pembelajaran, Joyce dan Weil mendefinisikan model
sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
suatu kegiatan. Soekamto (1997: 5) mengemukakan model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
c. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
Elaine B. Johnson (2002: vii) mendefinisikan Contextual Teaching and
Learning (CTL) sebagai berikut: Contextual teaching and learning is a system of
instruction based on the philosophy that students learn when they can connect
new information with prior knowledge and their own experience
Yang artinya CTL adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada
filosofi bahwa peserta didik mampu menyerap pelajaran apabila mereka
menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan menangkap
makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi dengan
pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya.
Johnson (2002: 25) juga berpendapat bahwa Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah:
An educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To achieve this aim the system encompasses the following eight components: making meaningful
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reach reaching high standards, using authentic assessment
Yang artinya sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang
bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik dalam
kontek kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi,
sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, system tersebut meliputi
delapan komponen: membuat keterkaitan keterkaitan yang bermakna, melakukan
pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan
kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan
berkembang, mencapai standar yang tinggi dan menggunakan penilaian autentik.
Menurut Rosalin (2008: 72) model pembelajaran kontekstual (CTL)
merupakan model pembelajaran yang mengarah pada pengembangan kecakapan
hidup, di mana dalam hal ini pembelajaran dikaitkan dengan konteks kehidupan
peserta didik agar mereka belajar menerapkan isi pelajaran dalam pemecahan
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Nurhadi (2009: 14)
menerjemahkan bahwa pembelajaran CTL (contextual teaching and learning)
adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik untuk
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya
dalam kehidupan mereka sendiri. Pada pembelajaran kontekstual, mata pelajaran
diintegrasikan antara satu dengan yang lain agar sesuai dengan kehidupan nyata,
dimana pembelajaran dikaitkan dengan konteks kehidupan peserta didik sehingga
memungkinkan mereka untuk belajar menerapkan isi mata pelajaran dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu model pembelajaran yang
menekankan keterlibatan peserta didik secara penuh untuk menkonstruksikan
pengetahuannya sendiri serta menghubungkan materi dengan situasi kehidupan
nyata peserta didik sehingga peserta didik mampu menangkap makna dalam
materi akademis yang di terima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
d. Prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning (CTL)
Para pendidik yang menyetujui pandangan ilmu pengetahuan bahwa alam
semesta itu hidup, tidak diam, dan bahwa alam semesta ditopang oleh tiga prinsip
kesalingbergantungan, diferensiasi, dan organisasi diri, harus menerapkan
pandangan dan cara berpikir baru mengenai pembelajaran dan pengajaran.
Menurut Johnson (2004: 15) tiga pilar dalam sistem CTL, yaitu:
1) CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan. Kesaling-tergantungan
mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa bergabung untuk memecahkan
masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan rekannya. Hal
ini tampak jelas ketika subjek yang berbeda dihubungkan, dan ketika
kemitraan menggabungkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas.
2) CTL mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika
CTL menantang para peserta didik untuk saling menghormati keunikan
masing-masing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi
kreatif, untuk bekerjasama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang
berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan
dan kekuatan.
3) CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri
terlihat ketika para peserta didik mencari dan menemukan kemampuan dan
minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik yang
diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam
tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan serta dalam
kegiatan-kegiatan yang berpusat pada peserta didik yang membuat hati
mereka bernyanyi.
e. Komponen Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Johnson (2002: 65) menjelaskan bahwa dalam sistem pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) mencakup delapan komponen penting,
yaitu (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna; (2) Melakukan
pekerjaan yang berarti; (3) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
(Pembelajaran Mandiri); (4) Bekerja Sama; (5) Berpikir Kritis dan Kreatif; (6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; (7) Mencapai standar yang
tinggi; (8) Menggunakan penilaian autentik. Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1) Membuat Keterkaitan-Keterkaitan yang Bermakna
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pengajaran
dan pembelajaran kontekstual. Ketika murid dapat mengaitkan isi dari mata
pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah
dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna
memberi mereka alasan untuk belajar. Mengaitkan pembelajaran dengan
kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah
inti dari CTL.
2) Melakukan Pekerjaan yang Berarti
Pekerjaan yang memiliki tujuan, berguna untuk orang lain, yang
melibatkan proses menentukan pilihan, dan menghasilkan produk yang nyata atau
tidak nyata.
3) Melakukan Pembelajaran yang Diatur Sendiri (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran mandiri adalah suatu proses belajar yang mengajak siswa
melakukan tindakan mandiri yang melibatkan terkadang satu orang, biasanya satu
kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan
akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara seemikian rupa untuk
mencapai tujuan yang bermakna. Tujuan ini mungkin menghasilkan hasil yang
nyata maupun yang tidak nyata.
4) Bekerja Sama
Kerja sama dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya
pengalaman dan cara pandang yang sempit. Jadi akan lebih mungkin untuk
menemukan kekuatan dan kelamahan diri, belajar untuk menghargai orang lain,
mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama.
Dengan bekerja sama, para anggota kelompok kecil akan mampu mengatasi
berbagai rintangan, bertindak mandiri dan dengan penuh tanggung jawab,
mengandalkan bakat setiap anggota kelompok, mempercayai orang lain,
mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
5) Berpikir Kritis dan Kreatif
Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang
digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil
keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah.
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang
terorganisasi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara
sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain. Berpikir kreatif adalah
kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru.
Berpikir kreatif dan kritis memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah
secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan dengan cara yang terorganisasi,
merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi original.
6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
Mengetahui dan mengenal murid dengan baik, memberi perhatian, dan
meletakkan harapan yang tinggi untuk setiap anak. Memotivasi dan mendorong
setiap siswa. Siswa tidak dapat sukses tanpa dukungan dari orang dewasa. Para
siswa menghormati teman sebayanya dan orang dewasa.
7) Mencapai standar yang tinggi
Pendidikan tradisional, yang menyampaikan materi dalam jumlah yang
sangat banyak dan sebagian besar dipelajari dengan cara menghafalkan diluar
kepala dan berbentuk ceramah-ceramah, telah gagal dan terus menggagalkan
yang terabaikan mendapatkan keuntungan dari sistem pengajaran dan
pembelajaran kontekstual. CTL berhasil karena tetap berfokus pada standar
akademik yang tinggi. CTL mengajak siswa untuk berani menerima tujuan-tujuan
berat pendidikan seperti yang dibuat oleh asosiasi profesional internasional
departemen pendidikan diberbagai tempat. CTL membuat tujuan-tujuan tersebut
menjadi jelas dan eksplisit, menjadikan tujuan-tujuan tersebut bermakna, dan
memasukkannya ke setiap tugas sekolah.
8) Menggunakan penilaian autentik
Penilaian autentik mengajak para siswa untuk menggunakan pengetahuan
akademik dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
f. Penerapan Pembelajaran CTL di Kelas
Yatim Riyanto (2009: 168-176) menjelaskan secara sederhana langkah
penerapan CTL dalam kelas secara garis besar adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
a) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
b) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri.
c) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Langkah-
langkah kegiatan menemukan (inquiry) yaitu:
a) Merumuskan masalah
b) Mengamati atau melakukan observasi
c) Menganalisis atau menyajikan hasil dalam tulisan, gambar laporan, bagan,
tabel, atau karya lainnya.
d) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audiensi yang lain.
3) Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya. Bertanya
merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa bertanya
merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis
inquiry, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa saja yang sudah
diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
a) Menggali informasi baik administrasi maupun akademis.
b) Mengecek pemahaman siswa
c) Membangkitkan respons kepada siswa.
d) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.
e) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa.
f) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
g) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa.
h) Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4) Menciptakan masyarakat belajar. Konsep masyarakat belajar (learning
community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama
dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar
kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Praktik metode ini dalam
pembelajaran terwujud dalam:
a) Pembentukan kelompok kecil.
b) Pembentukan kelompok besar.
c) Mendatangkan ahli kedalam kelas.
d) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya.
e) Bekerja dengan masyarakat.
5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Dalam sebuah
pembelajaran keterampilan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa
berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olahraga,
contoh karya tulis, cara melafalkan, dan sebagainya. Atau guru memberikan
contoh cara mengerjakan sesuatu. Dalam pendekatan CTL guru bukan satu-
satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang
siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu
kata. Contoh itu disebut sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model
sebagai standar kompetensi yang harus dicapainya.
6) Melakukan refleksi di akhir pertemuan. Pada akhir pembelajaran, guru
menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a) Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya pada hari itu.
b) Catatan atau jurnal dibuku siswa.
c) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu.
d) Diskusi
e) Hasil karya.
7) Melakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai
cara. Authentic assessment menekankan pada proses pembelajaran maka data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan siswa
pada saat proses pembelajaran. Karakteristik authentic assessment antara lain:
a) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
b) Bisa digunakan untuk formatif dan sumatif.
c) Yang diukur keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta.
d) Berkesinambungan
e) Terintegrasi.
f) Dapat digunakan sebagai feed back
8) Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa antara lain:
a) Proyek/kegiatan dan laporannya.
b) PR
c) Kuis
d) Karya siswa
e) Presentasi atau penampilan siswa
f) Demonstrasi
g) Laporan
h) Jurnal
i) Hasil tes tulis
j) Karya tulis.
2. Tinjauan tentang Model Pembelajaran Konvensional
a. Pengertian Pembelajaran Konvensional
berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat
kebiasaan yang ada secara turun temurun. Oleh karena itu, metode konvensional
juga dapat disebut sebagai metode tradisional. Dimyati dan Mudjiono (1999: 69)
lama dan biasa digunakan. Misalnya dengan metode ceramah. Pada metode ini
guru cenderung mendominasi dan memegang peranan utama dalam menentukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
isi dan mengakibatkan siswa hanya pasif, mudah jenuh, kurang inisiatif, sangat
Purwoto etode ceramah merupakan metode
Hal ini mungkin dianggap guru sebagai metode
pembelajaran yang paling mudah untuk dilaksanakan. Kalau bahan pelajaran
sudah dikuasai dan sudah ditentukan urutan penyampaiannya, guru tinggal
memaparkannya di kelas. Murid murid memperhatikan guru berbicara, mencoba
menangkap apa isinya, dan membuat penggalan-penggalan catatan. Sementara
Hasibuan dan Mudjiono (2002:13) menjelaskan metode ceramah merupakan
metode penyampaian bahan pelajaran dengan komunikasi lisan. Metode ini
ekonomis dan efektif bila untuk penyampaian informasi dan pengertian. Akan
tetapi, dalam pembelajaran dengan metode ini siswa cenderung bersifat pasif,
cenderung menempatkan pengajar sebagai otoritas terakhir, pengaturan kecepatan
secara klasikal ditentukan oleh pengajar, sehingga metode ini kurang cocok untuk
pembentukan keterampilan dan sikap siswa.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran dimana guru memiliki sikap, cara berpikir, dan
bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat yang ada secara turun
temurun. Dalam pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar didominasi
oleh guru. Guru mengajar sejumlah siswa dalam ruangan yang kapasitasnya besar
dan siswa diasumsikan mempunyai kemampuan dan kecakapan yang sama. Hal
ini mengakibatkan siswa bersikap pasif, reseptif sehingga antara siswa yang
mempunyai kemampuan tinggi dalam menerima materi pelajaran dengan siswa
yang memiliki kemampuan yang rendah mendapatkan perlakuan yang sama.
Karena siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru, hal ini
mengakibatkan siswa menjadi kurang inisiatif, sangat tergantung pada guru dan
tidak terlatih untuk mengembangkan pemikiran sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
Wijaya dalam jurnal pendidikan dan kebudayaan (2006: 7)
mengemukakan bahwa dalam pembelajaran matematika agar model konvensional
menjadi efektif dan efisien, menyarankan guru sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
1) Persiapan pendahuluan, guru membangkitkan perhatian dan minat siswa
dengan mengulangi bahan pelajaran yang telah diberikan, menerangkan tujuan
yang hendak dicapai serta masalah yang hendak dipecahkan.
2) Penyajian bahan, kegiatan belajar diciptakan secara variatif, membangkitkan
motivasi selama pembelajaran berlangsung, mempergunakan media
pembelajaran yang variatif sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan
disampaikan.
3) Penutup, guru menyimpulkan isi dari bahan pelajaran yang baru saja disajikan,
kemudian memberikan waktu kepada siswa untuk mencatat, meresapi dan
memahaminya, serta penilaian yang komprehensif untuk mengukur perubahan
tingkah laku.
Menurut Purwoto (2003: 67) keunggulan dan kelemahan metode
ceramah adalah sebagai berikut:
1) Keunggulan
a) Dapat menampung kelas besar, tapi murid mendapatkan kesempatan yang
sama untuk mendengarkan dan karenanya biaya yang diperlukan relative
lebih murah,
b) Bahan pelajaran atau keterangan dapat diberikan secara lebih urut oleh guru,
konsep-konsep yang disajikan secara hierarki akan memberikan fasilitas
belajar kepada siswa,
c) Guru dapat memberikan tekanan terhadap hal-hal yang penting hingga
waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin,
d) Isi silabus dapat diselesaikan dengan mudah karena guru tidak harus
menyesuaikan dengan kecepatan belajar siswa,
e) Kekurangan atau tidak adanya buku pelajaran dan alat bantu pelajaran tidak
menghambat dilaksanakannya pelajaran dengan ceramah.
2) Kelemahan
a) Pembelajaran berjalan membosankan, murid pasif karena tidak
berkesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Murid
hanya aktif membuat catatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
b) Kepadatan konsep-konsep yang diajarkan dapat membuat murid tidak
mampu menguasai bahan yang diajarkan
c) Pengetahuan yang diperoleh murid melalui ceramah akan lebih cepat
terlupakan.
d) Ceramah menyebabkan belajar murid menjadi belajar menghafal (role
learning) yang tidak mengakibatkan timbulnya pengertian.
b. Perbedaan Pendekatan Contextual Teaching and Learning dengan
Pendekatan Tradisional (Behaviorisme/Strukturalisme)
Menurut Yatim Riyanto (2009: ) terdapat beberapa aspek perbedaan yang
terlihat jelas antara pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan
pendekatan tradisional/konvensional. Perbedaan tersebut dinyatakan Riyanto
dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1. Perbedaan Pendekatan CTL dengan Pendekatan Tradisional No. PENDEKATAN CTL PENDEKATAN TRADISIONAL
1. Siswa secara aktif terlibat dalam
proses pembelajaran
Siswa adalah penerima informasi
secara pasif.
2. Siswa belajar dari teman melalui
kerja kelompok, diskusi, saling
mengoreksi.
Siswa belajar secara individual.
3. Pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan nyata dan atau masalah
yang disimulasikan
Pembelajaran sangat abstrak dan
teoritis.
4. Perilaku dibangun atas kesadaran diri. Perilaku dibangun atas kebiasaan.
5. Keterampilan dikembangkan atas
dasar pemahaman.
Keterampilan dikembangkan atas
dasar latihan.
6. Hadiah untuk perilaku baik adalah
kepuasan diri.
Hadiah untuk perilaku baik adalah
pujian atau nilai (angka) rapor.
7. Siswa tidak melakukan yang jelek
karena dia sadar itu keliru dan
merugikan dirinya
Siswa tidak melakukan yang jelek dia
takut hukuman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
8. Bahasa yang diajarkan dengan
pendekatan komunikatif, siswa
diajak menggunakan bahasa dalam
konteks nyata.
Bahasa diajarkan dengan pendekatan
struktural, rumus diterangkan sampai
paham, kemudian dilatih (drill).
9. Pemahaman rumus dikembangkan
atas dasar skemata yang sudah ada
dalam diri siswa.
Rumus itu ada diluar diri siswa, yang
harus diterangkan, diterima, dihafal
dan dilatih.
10. Pemahaman rumus itu relatif berbeda
antara siswa yang satu dengan yang
lainnya, sesuai dengan skemata siswa
(on going process of development)
Rumus adalah kebenaran absolut
(sama untuk semua orang). Hanya
ada dua kemungkinan, yaitu
pemahaman rumus yang salah atau
pemahaman rumus yang benar.
11. Siswa berfikir kritis, terlibat penuh
dalam mengupayakan proses
pembelajaran yang efektif, ikut
bertanggung jawab atas terjadinya
proses pembelajaran yang efektif,
dan membawa skemata dalam proses
pembelajaran.
Siswa secara pasif menerima rumus
atau kaidah (membaca,
mendengarkan, mencatat,
menghafal), tanpa memberikan
konstribusi ide dalam proses
pembelajaran.
12. Pengetahuan yang dimiliki siswa
dikembangkan oleh siswa sendiri.
Siswa menciptakan atau membangun
pengetahuan dengan cara memberi
arti dan memahami pengalamannya.
Pengetahuan adalah penangkapan
terhadap serangkaian fakta, konsep,
atau hukum yang berada diluar diri
manusia.
13. pengetahuan dikonstruksi oleh siswa
sendiri, sementara siswa selalu
mengalami peristiwa baru, maka
pengetahuan itu tidak pernah stabil,
selalu berkembang (tentative and
incomplete)
Kebenaran bersifat absolut dan
pengetahuan bersifat final.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
14. Siswa diminta bertanggung jawab
memonitor dan mengembangkan
pembelajaran mereka sendiri.
Guru adalah penentu jalannya proses
pembelajaran.
15. Penghargaan terhadap pengalaman
siswa sangat diutamakan.
Pembelajaran tidak memperhatikan
pengalaman siswa.
16. Hasil belajar diukur dengan berbagai
cara; proses kerja, hasil karya,
penampilan, rekaman, tes dll.
Hasil belajar diukur hanya dengan
tes.
17. Pembelajaran terjadi di berbagai
tempat, konteks, dan setting.
Pembelajaran hanya terjadi di dalam
kelas.
18. Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek.
Sanksi adalah hukuman dari perilaku
jelek
19. Perilaku baik berdasar motivasi
intrinsik
Perilaku baik berdasarkan motivasi
ekstrinsik.
20. Seseorang berperilaku baik karena
dia yakin itulah yang terbaik dan
bermanfaat.
Seseorang berperilaku baik karena
dia terbiasa melakukan begitu.
Kebiasaan ini dibangun dengan
hadiah yang menyenangkan.
3. Tinjauan tentang Kemampuan Membaca Pemahaman
a. Pengertian Kemampuan
James P. Chaplin (1981:1) mendefinisikan kemampuan sebagai berikut
ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan)
merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Menurut
Woodworth dan Marquis dalam Suryabrata (2002:161) kemampuan (ability)
mempunyai tiga arti yaitu:
1) Achievement yang merupakan actual ability, yang dapat diukur langsung
dengan alat atau tes tertentu.
2) Capacity yang merupakan potential ability, yang dapat diukur secara tidak
langsung dengan melalui pengukuran terhadap kecakapan individu, di mana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
kecakapan ini berkembang dengan perpanduan antara dasar dengan training
yang intensif dan pengalaman.
3) Atitude, yaitu kualitas yang hanya data diungkap/diukur dengan tes khusus
yang sengaja dibuat untuk itu.
Kemampuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002:
707- bisa atau sanggup. Kemampuan
adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu
apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Sedangkan menurut
Wikipedia Indonesia kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk dapat
melakukan berbagai macam tugas dalam suatu pekerjaan tertentu.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kemampuan, diakses 17 april 2011 jam 15.02 wib).
Berdasarkan pendapat diatas kemampuan adalah kesanggupan seseorang
dalam melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan yang berupa bawaan dari lahir
maupun hasil dari latihan dan praktek, kemampuan ini dapat diukur langsung
maupun secara tidak langsung dengan alat atau tes tertentu.
b. Pengertian Membaca
Sejumlah definisi membaca telah disampaikan oleh para pakar
pengajaran membaca. Namun seperti juga keterampilan berbahasa lain, pada
dasarnya membaca adalah proses komunikasi, terutama antara teks tertulis
(gagasan penulis) dan pembaca. Dalam hal ini keberhasilan membaca akan sangat
bergantung pada keberhasilan komunikasi itu sendiri. McKenna & Robinson
(1993: 21) menjelaskan bahwa membaca adalah sebuah proses interaktif antara
pengetahuan awal pembaca tentang isi bacaan dan tujuan membaca sehinggga
mempengaruhi apa yang dipelajari dari teks. Dalam menjelaskan proses membaca
ini, McKenna & Robinson (1993) menyatakan bahwa reading is defined as the
reconstruction in the mind of meaning encoded in print (membaca dapat pula
dikatakan sebagai rekonstruksi makna di dalam pikiran pembaca)
Membaca
(2002: 31) merupakan proses memperoleh makna dari barang cetak. Ada dua cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
yang ditempuh pembaca dalam memperoleh makna dari barang cetak yaitu secara
langsung dan tak langsung:
1) Langsung, yakni menghubungkan ciri penanda visual bunyi dari tulisan dengan
maknanya, biasanya digunakan oleh pembaca lanjut.
2) Tidak langsung, yakni mengidentifikasi bunyi dalam kata dan
menghubungkannya dengan makna, biasanya digunakan oleh pembaca
permulaan.
Comb
membaca menjadi tiga tahap, yaitu :
1) Dalam tahap persiapan, anak mulai menyadari tentang fungsi barang cetak,
konsep tentang cara kerja barang cetak, konsep tentang huruf, konsep tentang
kata.
2) Dalam tahap perkembangan, anak mulai memahami pola bahasa yang terdapat
dalam barang cetak. Anak mulai belajar memasangkan satu kata dengan kata
yang lain.
Pengajaran membaca sangat tepat digunakan sebagai sarana untuk
membimbing anak menjadi pembaca yang mandiri dan menumbuhkan minat baca.
Melalui pengajaran membaca bersuara, guru dapat menjadikan barang cetak
(mati) menjadi hidup. Melalui kegiatan ini guru dapat memberikan contoh cara
membaca dengan kecepatan, irama dan suara yang tepat. Selain itu, guru dapat
mengajak anak dengan bahasa tulis. Cara yang ditempuh untuk mengajak anak
mengakrabi buku sebagai berikut:
1) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
2) Perkenalkan buku-buku baru
3) Pilih waktu yang paling tepat
4) Beri kesempatan untuk merespon isi buku
5) Berikan bimbingan dalam memahami bacaan
6) Gunakan cara dan waktu yang bervariasi.
Untuk dapat memacu perkembangan anak dalam membaca. Clay dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
yang kondusif bagi kegiatan membaca. Kondisi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1) Kemahiran membaca diperoleh melalui interaksi sosial dan tingkah laku
emulatif (kompetitif).
2) Anak menguasai kemahiran membaca sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.
3) Anak akan menguasai kemahiran membaca jika ia tahu tujuan dan memerlukan
proses.
4) Kegiatan bermain memainkan peran dalam penguasaan bahasa.
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa membaca
adalah sebuah proses kompleks yang membuat pengajarannya sebagai proses yang
kompleks pula. Namun, guru membaca yang baik mempunyai satu hal yang sama,
yaitu mereka berpikir tentang membaca. Hal ini tidak berarti bahwa semua guru
membaca yang baik mempunyai pikiran yang sama. Banyak guru membaca yang
baik tidak memiliki pengetahuan atau preferensi tertentu tentang teori proses
membaca atau teori pengajaran membaca. Apa yang membedakan mereka adalah
kecenderungan untuk memikirkan peranan mereka dalam pengajaran membaca,
untuk mengembangkan pendekatan personal terhadap pengajaran membaca yang
menggabungkan apa yang mereka ketahui tentang proses membaca, tentang diri
mereka sebagai guru, tentang pengajaran membaca dan tentang pembelajar yang
mereka ajari.
Sementara itu, Otto, dkk (1979: 4) mengakui bahwa proses membaca dan
pengajaran membaca memang begitu kompleks, sehingga para ahli dapat
memantaunya dari berbagai sudut pandang. Sedikitnya ada lima disiplin ilmu
yang dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana proses membaca
berlangsung.
Disiplin ilmu pertama adalah psikologi, yang mengkaji proses ini melalui
pendekatan perseptual/konseptual, behavioristik, nativistik, kognitif, dan
psikometrik. Psikolinguistik adalah disiplin ilmu kedua yang juga memberikan
kontribusi terhadap pemaparan proses membaca. Bidang pengolahan informasi
(information processing) adalah bidang ketiga yang mengkaji proses membaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dari sudut pandang sibernetika, analisis sistem dan teori komunikasi umum.
Sosiolinguistik adalah bidang ilmu keempat yang memberikan kontribusi terhadap
pemahaman tentang proses membaca dan khususnya tentang proses pengajaran
membaca. Terakhir, ilmu-ilmu perilaku juga membantu meningkatkan wawasan
dan pemahaman tentang aspek-aspek tertentu dalam proses membaca.
Selain itu, para teoritikus mendekati proses membaca dengan berbagai
cara dan sudut pandang yang berbeda. Misalnya, ada beberapa jenis teori: teori
makro dan teori mikro. Teori makro berusaha membahas kegiatan membaca
dalam seluruh kompleksitasnya. Sedangkan teori mikro dirancang untuk
menjelaskan satu segmen kecil dalam proses membaca. Selain itu, ada pula teori
perkembangan dan teori deskriptif. Teori perkembangan adalah upaya untuk
menjelaskan kegiatan membaca menurut cara proses membaca itu dipelajari,
sedangkan teori deskriptif berusaha mendeskripsikan tindakan-tindakan pembaca
yang proses membaca. Terakhir, ada pendekatan molekuler dan pendekatan
holistik terhadap pengembangan kemampuan membaca. Pendekatan molekuler
berusaha menguraikan proses membaca ke dalam perilaku-perilaku atau
keterampilan-keterampilan tertentu dan menunjukkan bagaimana semua perilaku
ini digabungkan dalam mencapai keberhasilan membaca. Sebaliknya, pendekatan
holistik kurang menekankan perilaku-perilaku tertentu, tetapi lebih
menitikberatkan pada hubungan atau keterkaitan yang kompleks di antara
komponen-komponen proses membaca.
John B. Carroll (1987:424) dalam penelitiannya menggunakan salah satu
skala kemampuan membaca pemahaman yang disusun oleh Departemen
Pendidikan Amerika Serikat yang membidangi National Assessment of
Educational Progress yaitu sebagai berikut.
1) Rudimentary (Sangat Dasar)
Pembaca yang telah menguasai keterampilan dan strategi membaca yang
sangat dasar dapat mengikuti petunjuk tertulis yang singkat. Mereka juga dapat
memilih kata, frase, atau kalimat untuk menjelaskan sebuah gambar sederhana
dan dapat menafsirkan isyarat-isyarat sederhana untuk mengenal sebuah objek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
biasa. Kemampuan pada taraf ini menunjukkan kemampuan untuk melakukan
tugas-tugas membaca yang sederhana.
2) Basic (Dasar)
Pembaca yang telah mempelajari keterampilan dan strategi pemahaman
dasar dapat menemukan, dan mengenali fakta-fakta dari paragraf informasi, cerita
dan artikel berita sederhana. Di samping itu, mereka dapat menggabungkan
berbagai gagasan dan menarik kesimpulan yang didasarkan pada bahan bacaan
pendek. Kemampuan pada taraf ini adalah memahami informasi spesifik.
3) Intermediate (Menengah)
Pembaca yang memiliki kemampuan dan strategi ini dapat mencari,
menemukan, dan menyusun informasi yang ada dalam bahan bacaan yang relatif
panjang dan dapat membuat parafrase dari apa yang telah mereka baca. Mereka
juga dapat menarik kesimpulan dan mencapai generalisasi tentang gagasan utama
dan tujuan penulis. Pada taraf ini kemampuan yang dikuasai adalah mencari
informasi spesifik, menghubungkan berbagai gagasan, dan membuat generalisasi.
4) Adept (Terampil)
Pada taraf terampil ini pembaca dapat memahami teks sastra dan
informasi yang rumit, termasuk bahan bacaan tentang topik-topik yang mereka
pelajari di sekolah. Mereka juga dapat menganalisis bahan bacaan serta
memberikan reaksi atau penjelasan tentang teks secara menyeluruh. Dengan kata
lain, mereka dapat menemukan, memahami, merangkum, dan menjelaskan
informasi yang relatif kompleks.
5) Advanced (Mahir)
Pembaca yang menggunakan keterampilan dan strategi membaca mahir
ini dapat mengembangkan dan membentuk kembali gagasan-gagasan yang
disajikan dalam teks yang kompleks. Mereka juga mampu memahami hubungan
di antara gagasan-gagasan sekalipun hubungan itu tidak dinyatakan secara
eksplisit, dan bahkan membuat generalisasi yang tepat meskipun teks tidak
memuat keterangan yang jelas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
c. Pengertian Membaca Pemahaman
Robert Lado (1977: 223) menyatakan bahwa kemampuan membaca
pemahaman merupakan kemampuan memahami arti dalam suatu bacaan melalui
tulisan atau bacaan. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa Lado menekankan
adanya dua hal pokok dalam membaca pemahaman, yaitu bahasa dan simbol
grafis. Lado lebih lanjut menyatakan bahwa hanya orang yang telah menguasai
bahasa dan symbol grafislah yang dapat melakukan kegiatan membaca
pemahaman. Grellet (1986: 13) menyatakan bahwa kemampuan membaca
pemahaman merupakan kemampuan menyimpulkan informasi yang diperlukan
dalam bacaan. Sejalan hal tersebut, Goodman (1980: 15) menyatakan bahwa
membaca pemahaman merupakan suatu proses merekonstruksikan pesan yang
terdapat dalam teks yang dibaca. Goodman lebih lanjut menerangkan bahwa
proses rekonstruksi pesan itu berlapis, interaktif, dan didalamnya terjadi proses
pembentukan dan pengujian hipotesis. Selanjutnya hasil dari pengujian hipotesis
tersebut akan dipakai oleh pembaca sebagai dasar menarik kesimpulan mengenai
pesan atau informasi yang disampaikan oleh penulis.
Tarigan (1994: 9) menyebutkan bahwa kegiatan membaca ialah
memahami pola pola bahasa dari gambaran tertulisnya. Seseorang yang
melakukan kegiatan membaca pemahaman harus menguasai bahasa serta tulisan
agar memahami isi bacaan tersebut. Membaca pemahaman merupakan suatu
kegiatan yang tujuan utama adalah memahami bacaan secara cepat dan tepat.
Menurut Burns dalam Slamet (2008: 72) pemahaman merupakan hal yang penting
dalam membaca karena dengan pemahaman kita dapat mengetahui informasi dari
bacaan secara keseluruhan. Pemahaman sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan
pengetahuan pembaca. Pembaca yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang lebih luas berpeluang lebih besar untuk dapat mengembangkan pemahaman
kata dan konsep dari pada yang lainnya.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca
pemahaman terjadi apabila terdapat suatu ikatan yang aktif antara daya pikir dan
kemampuan yang diperoleh pembaca melalui pengalaman membaca mereka.
Membaca pemahaman dengan demikian merupakan proses pengolahan informasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
secara intensif, kritis, kreatif, dan apresiatif yang dilakukan dengan tujuan
memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh.
Menurut Broughton (dalam Tarigan, 1987:11-12) tingkat kemampuan
membaca pemahaman terdiri atas dua jenis, yaitu kemampuan yang bersifat
mekanik dan kemampuan membaca yang bersifat pemahaman. Kemampuan
membaca yang bersifat mekanik merupakan keterampilan membaca tingkat
rendah. Indikator atau penanda yang dapat digunakan untuk menentukan apakah
seseorang pembaca berada pada tingkat mekanik ini adalah sebagai berikut.
1) Pengetahuan pembaca baru sekedar mengenal bentuk-bentuk huruf, angka, dan
tanda-tanda yang lain.
2) Pembaca baru mengenal bentuk-bentuk linguistik, misalnya: fonem/grafem,
kata, frase, klausa, dan kalimat.
3) Pembaca baru mengenal hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi, atau
hanya sekedar mampu menyuarakan apa yang ditulis.
4) Biasanya kecepatan membaca masih lambat.
Keterampilan membaca pemahaman merupakan kelanjutan dari
keterampilan membaca mekanik. Pada tingkat ini, kepada pembaca tidak hanya
dituntut untuk mampu mengenal dan membaca unsur-unsur linguistik, melainkan
lebih dari itu. Penelitian ini dilakukan di perguruan tinggi, yaitu dengan tingkat
pemahaman bacaan. Aspek-aspek yang hendak dicapai pada taraf membaca
tingkat pemahaman adalah seperti berikut.
1) Pembaca memahami pengertian-pengertian sederhana dalam hal leksikal (kata-
kata), gramatikal (kalimat), dan retorikal (wacana).
2) Pembaca dapat memahami signifikansi dan makna yang dibaca.
3) Pembaca mampu mengevaluasi bacaan, misalnya evaluasi dari segi bentuk, isi,
tanda baca, dan lain-lain.
4) Pembaca mampu mengukur kecepatan membacanya, dalam arti pembaca
mengetahui kapan ia harus membaca hati-hati, kapan ia harus membaca cepat
atau membaca sekilas.
Membaca tingkat pemahaman sangat diperlukan di dalam dunia
pendidikan, terutama untuk jenjang perguruan tinggi. Menurut Herbert H. Clark
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dan Eva V. Clark (1977: 43) membaca pemahaman merupakan suatu proses
pembentukan interpretasi atau pengertian. Pemahaman lahir setelah pembaca
mengerti apa yang dibacanya. Pengertian ini merupakan jawaban atas pertanyaan
yang diajukan pada bacaan. Sejalan dengan pendapat di atas, Smith (1982: 62)
mengemukakan bahwa pemahaman berarti jawaban-jawaban yang diperoleh dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap suatu bacaan. Dari kedua pendapat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemahaman merupakan suatu kegiatan
membaca untuk memperoleh pengertian yang mendalam dari informasi yang
disampaikan penulis. Pengertian yang baik ini akan memudahkan pembaca untuk
menginterpretasikan dan menilai permasalahan yang terdapat dalam bacaan,
sehingga apabila diajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pembaca tersebut
dengan mudah akan mudah dijawabnya. Lebih dari itu, pemahaman terhadap
suatu bacaan dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang positif dari pembaca,
baik perubahan dalam bentuk pengetahuan, sikap maupun perubahan dalam
bentuk keterampilan.
Menurut Barret dalam Dupuis (1982: 25-27), pada dasarnya tingkat
pemahaman seseorang terhadap bacaan dapat diklasifikasikan atas beberapa
tingkat:
1) Kemampuan mengingat atau memahami kata-kata secara harfiah;
2) Kemampuan membentuk pengertian (apresiasi) berdasarkan pemahaman di
atas;
3) Kemampuan menarik kesimpulan; dan
4) Kemampuan mengadakan evaluasi.
Berdasarkan pendapat Barret tersebut, terlihat bahwa kegiatan membaca
pemahaman sangat perlu dilakukan untuk mengungkapkan makna dari seluruh
bacaan. Melalui kegiatan membaca pemahaman maka dengan mudah kita dapat
memperoleh gagasan dan pesan yang terdapat dalam bacaan, sehingga dengan
mudah pula pembaca mampu menghubung-hubungkan gagasan yang satu dengan
gagasan yang lain.
Sejalan dengan pendapat Barret, Gray dalam Gardner (1978: 65-81)
mengemukakan beberapa tingkatan pemahaman terhadap bacaan. Tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
pemahaman bacaan tersebut dapat diklasifikasikan atas lima tingkatan, yaitu
berikut di bawah ini.
1) Persepsi awal yang terdiri dari (a) pemahaman terhadap kosakata, (b)
pengenalan struktur bacaan, (c) memahami dan mengikuti petunjuk yang
terdapat dalam bacaan.
2) Pemahaman atau interpretasi terhadap bacaan yang terdiri dari (a) merasakan
atau mengetahui tujuan yang hendak dicapai penulis, (b) menemukan
hubungan sebab akibat yang terdapat dalam bacaan, (c) mengetahui suasana
dan perasaan penulis, (d) menganalisis karakter dan motif yang terdapat dalam
bacaan, (e) mencatat kriteria-kriteria dan hubungan-hubungan yang terdapat
dalam bacaan, (f) membuat kesimpulan bacaan, dan (g) mampu dan mau
berspekulasi dengan peristiwa dan kenyataan.
3) Mengadakan evaluasi, yaitu mengukur seberapa jauh pembaca dapat menilai
baik tidaknya bacaan yang dibacanya.
4) Memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya. Reaksi ini dapat bersifat
emosional intelektual (penuh pertimbangan baik buruk).
5) Mengadakan integrasi bacaan dengan latar belakang pembaca.
Berhasil tidaknya seseorang dalam melakukan kegiatan membaca
pemahaman dapat dilakukan dari berbagai hal, yaitu berdasarkan kemampuan
mengungkap kembali apa yang telah dibacanya, kemampuan memberikan
penilaian terhadap permasalahan yang dikemukakan penulis, kemampuan
menerapkan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam bacaan, kemampuan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bacaan. Bila pembaca
mampu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan baik, besar
kemungkinan baik pulalah pemahaman pembaca tersebut. Demikian pula
sebaliknya, banyak aspek yang dinyatakan untuk mengetahui tingkat pemahaman
seseorang dalam membaca.
Farr (1969: 3) menyatakan bahwa aspek-aspek membaca pemahaman
meliputi (1) faktor verbal umum atau a general verbal factor, (2) pemahaman
ekesplisit bahan yang dinyatakan atau comprehension of explicitly stated material
(3) pemahaman implisit arti yang sebenarnya atau comprehension of implicit of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
latent meaning, dan (4) apresiasi atau appreciation. Sementara Tierney (1990:
235) menjelaskan bahwa aspek membaca pemahaman meliputi (1) tingkat literal
atau literal level, (2) tingkat interpretasi atau interpretative level, dan (3) tingkat
penerapan atau applied level. Selain itu, Dubois (1972: 24) mengemukakan
taksonomi B Barret membagi tingkatan membaca pemahaman menjadi tingkat
lateral, tingkat inferensial, tingkat evaluasi, dan tingkat apresiasi. Pemahaman
lateral membutuhkan ingatan pada gagasan-gagasan, informasi, kegiatan-kegiatan
yang dinyatakan secara jelas pada bahan bacaan. Pemahaman inferensial
merupakan pemahaman yang ditunjukan ketika pembaca menggunakan sintesis
pada isi lateral tersebut pada suatu seleksi, pengetahuan personalnya, intuisinya,
dan imajinasinya sebagai suatu dasar untuk penghubung-penghubung hipotesis.
Pemahaman evaluasi merupakan pemahaman yang ditunjukkan ketika pembaca
menilai suatu bacaan. Pemahaman apresiasi adalah pemahaman yang
bersangkutan dengan kesadaran akan teknik-teknik sastra, bentuk, gaya, dan
struktur yang digunakan penulis untuk membangkitkan respon-respon emosional
pembacanya. Sheila (1982: 41) telah mengemukakan aspek-aspek membaca
pemahaman yang lebih lengkap, yaitu (1) lateral; (2) reorganisasi; (3) apresiasi;
(4) evaluasi; (5) ekstrapolasi. Pemahaman lateral adalah pengidentifikasian dan
pengingatan rincian-rincian, ide-ide, fakta, pendapat, konsep, instruksi, contoh,
simpulan, dan petunjuk-petunjuk. Pemahaman reorganisasi berisi identifikasi ide-
ide dan rekonstruksinya ke dalam ringkasan dan abstrak. Pemahaman apresiasi
berupa penghayatan terhadap gaya, perasaan, nuansa-nuansa. Pemahaman
evaluasi merupakan tafsiran pendapat, argumen, kritik, dan uraian isi yang
disampaikan. Pemahaman ekstrapolasi adalah kesimpulan di luar wacana,
penerapan pada situasi lain.
Pendapat tersebut di atas senada dengan tingkatan membaca pemahaman
yang diajukan oleh Barret yang terkenal dengan sebutan
Dupuis (1972: 24-28) menyebutkan keempat tingkatan membaca pemahaman itu,
yakni (1) pemahaman literal, (2) pemahaman inferensial, (3) pemahaman evaluasi,
dan (4) pemahaman apresiasi. Selanjutnya, Dupuis mengemukakan bahwa
pemahaman lateral adalah pemahaman yang membutuhkan ingatan mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
gagasan-gagasan, informasi, kejadian-kejadian yang dinyatakan secara jelas pada
bahan bacaan. Pemahaman inferensial merupakan pemahaman yang ditujukan
ketika pembaca menggunakan sintesis pada isi lateral tersebut pada suatu seleksi,
pengetahuannya personalnya, intuisi, dan imajinasinnya sebagai suatu dasar untuk
penghubung-penghubung hipotesis. Pada pemahaman inferensial ini, pernyataan-
pernyataan imajinasi memerlukan pemikiran. Evaluasi merupakan yang
ditunjukan ketika pembaca menilai isi bacaan. Ia membandingkan kriteria
eksternal dan internal. Kriteria eksternal ditunjukkan dari subjektivitas pengarang
dan internal berdasarkan pengalaman pembaca, pengetahuannya yang
menghubungkan antara yang ditulis dengan pembaca. Apresiasi adalah
pemahaman yang berkaitan dengan kesadaran teknik sastra, bentuk, gaya, dan
struktur yang dikerjakan pengarang untuk mendorong respon-respon emosional
pembacanya.
Ketiga tingkatan Barret yaitu literal, inferensial, dan evaluasi
berhubungan dengan taksonomi Bloom. Pada tingkatan keempat (apresiasi),
taksonomi Barret berhubungan dengan tingkat afektif Bloom karena respon dari
pembaca terhadap apa yang terkandung dalam bacaan. Jika dibandingkan antara
ranah kognitif Bloom dan taksonomi Barret dapat dilihat sebagai berikut.
Gambar 1. Ranah kognitif Bloom dan taksonomi Barret
Bidang Kognitif Bloom
Taksonomi Membaca Barret
(6) evaluasi 3. evaluasi
(5) sintesis
(4) analisis 2. inferensial
(3) penerapan
(2) pemahaman 1. Lateral
(1) ingatan
Gray dalam Keith Gardner (1978: 65-81) mengklasifikasikan tingkat
pemahaman dalam membaca menjadi lima, tingkat seperti berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
1) Persepsi awal, yang meliputi: (a) memahami kata, (b) mengenal struktur, (c)
membuat ringkasan, dan (d) mengikuti dan memahami petunjuk yang ada
dalam bacaan.
2) Pemahaman atau interpretasi yang mencakup: (a) merasakan atau mengetahui
tujuan pengarang, (b) menemukan hubungan kausal, (c) mengetahui suasana
hati perasaan pengarang, (d) menganalisis karakter dan motif, (e) mencatat
kriteria dan hubungan, (f) membuat kesimpulan, dan (g) berspekulasi antara
peristiwa dan kenyataan.
3) Evaluasi, yakni bagaimana pembaca dapat menilai baik tidaknya teks bacaan.
4) Reaksi, baik emosional maupun intelektual dari pembaca.
5) Integrasi, antara bacaan dan latar belakang pembaca.
Pada pendapat Gray di atas terlihat bahwa pemahaman tidaklah terbatas
hanya mengerti makna harfiah yang disampaikan, tetapi hendaknya pembaca tahu
tujuan pengarang dan dapat merasakan suasana hati dan perasaan yang dikandung
dalam karangan itu. Pembaca dapat bereaksi, baik secara emosional maupun
intelektual terhadap materi yang dibacanya.
Smith (1973: 231-234) mengemukakan bahwa aktivitas pemahaman
membaca dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) literal, (2)
inferensial, dan (3) evaluasi. Tahap literal pembelajar diharapkan dapat
memparafrasekan arti arti yang diberikan dengan jelas dalam wacana. Tahap
inferensial merupakan tahap pencarian beberapa jenis organisasi dari bahan dan
mencari ide-ide pada informasi yang ada dalam bacaan. Pada tahap elaboratif,
pemahaman yang diharapkan dari pembelajar adalah proses berfikir baru.
Penekanannya di sini pada daya kreatif yang dimiliki pembelajar.
Berdasarkan uraian di atas, tingkatan-tingkatan pemahaman secara garis
besar ada tiga, yaitu (1) lateral, (2) inferensial, dan (3) ekstrapolasi. Peningkatan
literal merupakan tingkat pemahaman yang menanyakan apa yang dimaksud oleh
pengarang atau pembaca dapat menjelaskan makna secara jelas pada teks atau
yang tersurat. Tingkatan inferensial adalan tingkatan pemahaman yang
menanyakan apa yang dimaksud oleh pengarang atau pembaca dapat menerapkan
organisasi dari bahan dan mencari ide-ide pada bacaan itu. Ekstrapolasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
merupakan tingkatan pemahaman yang menyatakan di luar bacaan. Pada tingkatan
ini pembaca membuat kesimpulan di luar wacana, kreasi ide-ide dan konsep-
konsep serta kesimpulan-kesimpulan lebih jauh dari bacaan.
d. Pendekatan Dalam Membaca Pemahaman
Proses membaca pemahaman pada hakikatnya tidak terlepas dari adanya
penerapan pendekatan yang digunakan. Secara umum adanya dua konsep
pendekatan dalam membaca pemahaman yakni pendekatan bottom-up dan
pendekatan top-down.
Pendekatan bottom-up, membaca dipandang sebagai suatu proses
menafsirkan simbol-simbol tertulis yang memulai dari satuan-satuan yang lebih
kecil (huruf) dan kemudian mengarah kesatuan-satuan yang lebih besar (kata,
klausa, dan kalimat). Jadi pembaca menggunakan strategi menafsirkan bentuk-
bentuk tertulis guna memperoleh pemahaman makna suatu bacaan.
Pendekatan top-down sebaliknya lebih menekankan pada rekonstruksi
makna dari pada sekedar penafsiran sandi-sandi bentuk bahasa. Dalam pendekatan
top-down, interaksi antara pembaca dan teks merupakan inti kegiatan membaca.
Proses interaksi tersebut pembaca akan membawa pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya tentang subjek yang dibacanya. Pembaca akan memanfaatkan
pengetahuan kebahasaan, motivasi, minat serta sikapnya terhadap isi teks untuk
merekonstruksikan makna suatu bacaan. Nunan (1989: 65-66) menyatakan bahwa
dalam pendekatan top-down pembaca tidak lagi menterjemahkan setiap symbol
atau bahkan setiap kata tetapi akan membentuk hipotesis-hipotesis tentang unsur
yang terdapat dalam teks dan kemudian menggunakan teks tersebut sebagai
semacam sampel untuk menemukan betul tidaknya hipotesis yang telah diajukan.
Nunan lebih lanjut menyatakan bahwa pendekatan top-down sangat diperlukan
dan merupakan koreksi atas pendekatan bottom-up, karena dalam kenyataan
sehari-hari proses membaca mengikuti urutan terbalik dari pendekatan bottom-up
yaitu menafsirkan makna terlebih dahulu kemudian mengidentifikasikan kata dan
huruf (1989: 33). Jadi dalam hal ini Nunan berpendapat bahwa dalam membaca
seseorang perlu memahami makna terlebih dahulu agar dapat mengidentifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
kata-kata dan perlu mengenal kata-kata untuk mengidentifikasi huruf dan bukan
sebaliknya.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa pendekatan bottom-up maupun
topdown masing-masing memiliki kelemahan. Kelemahan utama dari pendekatan
bottom-up bahwa inisiatif proses pemahaman makna dalam tataran yang lebih
tinggi harus menunggu proses penafsiran (decoding) simbol-simbol sandi bahasa
seperti huruf dan kata yang berada pada proses tataran yang rendah. Sedangkan
kelemahan pendekatan top-down adalah kurang memberikan peluang pada proses
tataran yang lebih rendah untuk mengarah proses tataran yang lebih tinggi seperti
pemahaman makna global melalui pengetahuan latar. Beranjak dari dua
kelemahan pendekatan di atas, Stanovich dalam Nunan (1989: 67) mengajukan
alternatif pendekatan yang berupa intergrasi dua pendekatan sebelumnya.
Pendekatan Stanovich dikenal sebagai model pendekatan interactive-
compensatory. Dalam pendekatan ini pembaca memproses teks dengan
memanfaatkan semua informasi yang tersedia secara simultan dari berbagai
sumber yang meliputi fonologis, leksikal, sintaksis, maupun pengetahuan tentang
wacana.
Berdasarkan uraian di atas, meskipun dari beberapa pendapat
memberikan gambaran yang berbeda-beda tentang proses membaca pemahaman,
jika dicermati setidaknya terdapat empat ciri umum yang berkaitan dengan proses
membaca pemahaman. Pertama, membaca adalah berinteraksi dengan bahasa
yang sudah disandikan dalam bentuk tulisan. Kedua dari hasil interaksi dengan
bahasa tertulis harus berupa pemahaman. Ketiga, kemampuan membaca erat
kaitanya dengan kemampuan berbahasa lisan. Keempat, membaca merupakan
proses yang aktif dan berkelanjutan yang secara langsung dipengaruhi oleh
interaksi-interaksi dalam lingkunganya.
e. Tujuan Membaca Pemahaman
Slamet (2009: 85) mengemukakan bahwa membaca dalam konteks
ilmiah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan, karena bisa
mengembangkan potensi-potensi intelektual dan bakat-bakat artistik kita, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dapat mengaktualisasi diri dan memasuki proses sosialisasi diri sebaik-baiknya.
Senada dengan pendapat di atas, Morrow sebagaimana dikutip Utari dan Subyakto
(1993: 164-165) menyatakan bahwa tujuan membaca adalah mencari informasi
yang: (1) kognitif dan intelektual yaitu yang digunakan seseorang untuk
menambah keilmuanya sendiri; (2) referensial dan faktual, yaitu yang digunakan
seseorang untuk mengetahui fakta-fakta yang nyata di dunia ini; (3) afektif dan
emosional, yaitu yang digunakan seseorang untuk mencari kenikmatan dalam
membaca. Dalam aktivitas berbahasa, membaca pemahaman selalu melibatkan
beberapa psikologis (mental) seperti kegiatan penilaian, penalaran, pertimbangan,
pengkhayalan, dan pemecahan masalah. Selain itu membaca pemahaman
memiliki empat faktor landasan psikologis, antara lain (1) kapasitas lisan, yaitu
kemampuan bawaan untuk mempelajari bahasa simbol dan kemampuan
menangkap konsep-konsep abstrak; (2) pemahaman pendidikan, yaitu keseluruhan
gagasan, pengertian dan pengetahuan praktis yang diperoleh melalui kontak
pribadi dengan lingkungan; (3) kemampuan berkonsentrasi, yaitu pengarahan
pikiran pada pengetahuan tertentu, gagasan-gagasan dan informasi yang
berhubungan dengan pemecahan dan analisis; dan (4) adanya tujuan sehingga
kemampuan mental dapat difokuskan dalam mempelajari hal-hal tertentu.
Berpijak pada uraian di atas, maka pembaca pemahaman dituntut dapat
melibatkan dirinya secara aktif dalam bacaan, mengolah informasi visual dan non
visual, serta mengkonstruksikan isi yang tersurat dan tersirat dalam bacaan.
f. Pengukuran Kemampuan Membaca Pemahaman
Tes yang bersifat subjektif maupun berbentuk objektif dapat
dipergunakan untuk mengukur kemampuan membaca pemahaman seseorang.
Menurut Soenardi Djiwandono (1996: 64-65) bahwa tujuan pokok
penyelenggaraan tes membaca adalah mengetahui dan mengukur tingkat
kemampuan memahami makna tersurat, tersirat maupun implikasi dari isi suatu
bacaan, oleh karenanya dapat dipilih tes bentuk subjektif maupun objektif. Tes
bentuk subjektif dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan yang dijawab melalui
jawaban panjang dan lengkap atau sekedar jawaban pendek. Sedangkan tes
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
objektif dapat disusun dalam bentuk tes melengkapi, menjodohkan, pilihan ganda
atau bentuk-bentuk gabungan. Burhan Nurgiantoro (1988: 248) berpendapat
bahwa pengukuran kegiatan membaca dapat mencakup dua segi yaitu kemampuan
dan kemauan. Kemampuan membaca lebih berkaitan dengan aspek kognitif yang
mencakup enam tingkatan sedangkan faktor kemauan berkaitan dengan aspek
afektif. Lebih lanjut Burhan Nurgiantoro (1988: 249) menyatakan bahwa tes esai
maupun objektif dapat dipilih, hanya saja untuk mengukur tingkat sintesis dan
evaluasi bentuk tes esai lebih mudah disusun. Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa pengukuran kemampuan membaca pemahaman dapat
dilakukan melalui tes bentuk esai ataupun objektif dengan memperhatikan
beberapa indikator.
Berbicara tentang indikator kemampuan membaca pemahaman, David
Russel yang dikutip Dikjen Dikti (1985: 65-66) menyatakan bahwa kemampuan
membaca adalah kemampuan memberi respon yang tepat dan akurat terhadap
tuturan tertulis yang dibaca. -49)
membedakan pemahaman atas empat tingkatan yaitu (1) tingkat pemahaman
literal, yaitu pemahaman arti kata, kalimat, serta paragraf dalam bacaan; (2)
tingkat pemahaman interpretatif, yaitu pemahaman isi bacaan yang tidak langsung
dinyatakan dalam teks bacaan; (3) tingkat pemahaman kritis, yaitu pemahaman isi
bacaan yang dilakukan pembaca dengan berfikir secara kritis terhadap isi bacaan;
(4) tingkat pemahaman kreatif, yaitu pemahaman terhadap bacaan yang dilakukan
dengan kegiatan membaca melalui berfikir secara interpretatif dan kritis untuk
memperoleh pandangan-pandangan baru, gagasan-gagasan baru, gagasan yang
segar dan pemikiran-pemikiran orisinal.
Sedangkan Anderson (1980: 106) membedakan tingkatan membaca
pemahaman atas tiga tingkatan yaitu (1) membaca barisan, (2) membaca
antarbarisan, dan (3) membaca di luar barisan. Untuk tiga tingkatan tersebut,
Anderson (1990: 106), menyatakan terdapat tujuh keterampilan yang terkandung
di dalam tingkat pemahaman yaitu (1) pengetahuan makna kata, (2) pengetahuan
tentang fakta, (3) pengetahuan menentukan tema pokok, (4) kemampuan
mengikuti hal yang mengatur sebuah wacana, (5) kemampuan memahami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
hubungan timbal balik, (6) kemampuan menyimpulkan, dan (7) kemampuan
melihat tujuan pengarang. Sehubungan dengan kompetensi yang dituntut dalam
membaca pemahaman, menurut Henry Guntur Tarigan (1987: 37) mengatakan
bahwa sesuai dengan tujuan pengajaran membaca pemahaman, maka indikator
kemampuan membaca pemahaman siswa dapat dilihat dari kemampuan siswa
dalam (1) menetapkan ide pokok; (2) memilih butir-butir penting; (3) mengikuti
petunjuk-petunjuk; (4) menentukan organisasi bahan bacaan; (5) menentukan citra
visual dan citra lainya dalam bacaan; (6) menarik kesimpulan-kesimpulan; (7)
menduga dan meramalkan dampak dan kesimpulan; (8) merangkum bacaan; (9)
membedakan fakta dari pendapat; (10) memperoleh dari aneka sarana khusus
seperti ensiklopedi.
Pendapat yang agak berbeda diutarakan oleh Alan Davies dan
Widdowson (1974: 167-175) menyatakan bahwa indikator-indikator untuk
mengukur kemampuan membaca pemahaman terdiri atas: (1) acuan langsung
yang dirinci dalam kemampuan memahami makna kata, istilah, ungkapan,
kemampuan menangkap informasi dalam kalimat, dan kemampuan menjelaskan
istilah; (2) penyimpulan yang dirinci dalam kemampuan menemukan sifat
hubungan suatu ide dan kemampuan menangkap isi bacaan yang tersurat maupun
tersirat; (3) dugaan yang dirinci dalam kemampuan menduga pesan yang
terkandung dalam bacaan dan kemampuan menghubungkan teks dengan situasi.
g. Pokok Uji Membaca Pemahaman
Menurut Nurgiyantoro (1995: 86-88) terdapat beberapa bentuk tes yang
dipergunakan untuk mengukur membaca pemahaman, antara lain tes pilihan
ganda dan tes cloze.
1) Tes pilihan ganda
Tes pilihan ganda merupakan suatu bentuk pertanyaan yang
menghendaki subyek yang dites untuk memilih salah satu alternatif jawwaban
yang disediakan. Pilihan jawaban (option) yang disediakan pada umumnya
berkisar antara tiga sampai lima butir, sedang jawaban yang benar (biasanya
dikatakan paling tepat) hanya satu butir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
2) Tes Cloze
Tes cloze merupakan suatu tugas untuk melengkapi kembali kata-kata
yang sengaja dihilangkan pada sebuah wacana. Penghilangan kata-kata itu
biasanya bersifat sistematis, yaitu setiap kata yang ke-n (5,6, atau 7). Oller (1979:
345) memandang tes cloze sebagai sebuah tugas pragmatik dan juga merupakan
salah satu bentuk tes komunikatif berhubung pengisian kata-kata tersebut harus
tidak semata-mata mempertimbangkan kelayakan kebahasaan melainkan juga
ketepatan makna konteks. Menurut Brown (1993: 94) faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat reabilitas dan validitas tes cloze adalah (1) cara
penyekoran, (2) banyaknya kata-kata yang dihilangkan, (3) frekuensi
penghilangan atau jarak antara kata-kata yang dihilangkan (4) tingkat keterbacaan
wacana (5) hasil tes untuk penutur asli dan bukan penutur asli dan panjangnya tes
atau jumlah keseluruhan butir tes.
Penelitian Nurgiyantoro (1995: 95) menyimpulkan bahwa terdapat
kesejajaran antara bentuk tes pilihan ganda dengan tes cloze. Artinya kedua
bentuk tes tersebut sama-sama dapat dipakai untuk menyadap kemampuan
membaca pemahaman. Keduanya dapat dipakai secara bersama-sama, saling
melengkapi dan saling menggantikan, dan akan memberikan hasil yang kurang
lebih sama.
4. Tinjauan tentang Hasil Belajar Metematika Soal Cerita
a. Pengertian Hasil Belajar
Abdurrahman (2003: 37) menyatakan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Reigeluth
dalam Uno (2007: 137) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah semua efek
yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu
metode di bawah kondisi yang berbeda.
Gagne (1992: 43-49) menjelaskan bahwa
human beings and in their capabilities for particular behaviors take place
following their experience within certain yang artinya
hasil belajar merupakan kapasitas terukur dari perubahan individu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
diinginkan berdasarkan ciri-ciri atau variabel bawaannya melalui perlakuan
pengajaran tertentu. Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni
Keterampilan intelektual (intellectual skill), Strategi kognitif (cognitive
strategies), Informasi verbal/lisan (verbal information), Keterampilan motoris
(motor skills), dan Sikap (attitude).
1) Keterampilan intelektual (intellectual skill), intellectual skill enable individuals
to interract with their environment in terms of symbols or conceptualizations.
Keterampilan intelektual memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan
lingkungannya dalam bentuk simbol-simbol maupun konseptualisasi.
2) Strategi kognitif (cognitive strategies), cognitive strategies are special and
very important kind of skills. They are the capabilities that govern the
and thinking behavior. Strategi
kognitif merupakan jenis keterampilan yang istimewa dan sangat penting.
Strategi-strategi tersebut yaitu kemampuan yang menentukan pembelajaran
individu itu sendiri, mengingat, dan tingkah laku berpikir.
3) Informasi verbal/lisan (verbal information), verbal information is the kind of
knowledge we are able to state. It is knowing that, or declarative knowledge.
Informasi verbal/lisan merupakan jenis pengetahuan yang memungkinkan kita
untuk menyatakan sesuatu. Informasi tersebut yaitu mengetahui sebab, atau
pengetahuan untuk menyatakan sesuatu.
4) Keterampilan motoris (motor skills), another kind of capability we expect
human beings to learn is a motor skill (Fitts and Posner, 1967; Singer, 1980) ...
a motor skill is one of the most obvious kinds of human capabilities. Fitts and
Posner, 1967; Singer, 1980 dalam Gagne (1992: 47) menyatakan bahwa jenis
kemampuan yang lain yang kami harapkan untuk dipelajari oleh umat manusia
adalah keterampilan motoris ... keterampilan motoris adalah satu yang paling
nyata dari sekian banyak jenis kemampuan manusia.
5) Sikap (attitude), considered as a human capability, an attitude is a persisting
Sebagai kemampuan
manusia, sikap merupakan pernyataan yang mengubah pilihan individu untuk
bertindak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Bloom, dkk dalam Winkel (2005: 272-276) mengklasifikasikan hasil
belajar menjadi 3 ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotorik.
1) Ranah kognitif (cognitive domain) berkenaan dengan hasil belajar intelektual
yang terdiri dari enam aspek, yakni:
a) Pengetahuan (knowlegde), mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah
dipelajari dan disimpan dalam ingatan. hal-hal itu dapat meliputi fakta,
kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan yang
disimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan
mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).
b) Pemahaman (comprehension), mencakup kemampuan untuk menangkap
makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini
dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari suatu bacaan; mengubah data
yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk lain, seperti rumus
matematika kedalam bentuk kata-kata; membuat perkiraan tentang
kecenderungan yang nampak dalam data tertentu, seperti dalam grafik.
Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan 1 (pengetahuan)
c) Penerapan (application), mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu
kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus/problem yang konkret dan
baru. Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu rumus pada
persoalan yang belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada
pemecahan problem baru. kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada
kemampuan 2 (pemahaman), karena memahami suatu kaidah belum tentu
membawa kemampuan untuk menerapkannya terhadap suatu kasus atau
problem baru.
d) Analisis (analisys), mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan
kedalam begian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya
dapat dipahami dengan baik. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam
penganalisaan bagian-bagian pokok atau komponen-komponen dasar,
bersama dengan hubungan/relasi antara semua bagian itu. Kemampuan ini
setingkat lebih tinggi daripada kemampuan 3 (penerapan), karena sekaligus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
harus ditangkap adanya kesamaan dan adanya perbedaan antara sejumlah
hal.
e) Sintesis (synthesis), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu
kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain,
sehingga terciptakan suatu bentuk baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan
dalam membuat suatu rencana, seperti penyusunan satuan pelajaran atau
proposal penelitian ilmiah, dalam mengembangkan suatu skema dasar
sebagai pedoman dalam memberikan ceramah dan lain sebagainya.
Kemampuan ini setingkat lebih daripada kemampuan 4 (analisis), karena
dituntut kriteria untuk menemukan pola dan struktur organisasi.
f) Evaluasi (evaluation), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu
pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan
pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu.
2) Ranah afektif (affective domain) berkenaan dengan sikap menurut Kratwohl,
Bloom, dkk dalam winkel (2005: 276-278) terdiri dari lima aspek yakni:
a) Penerimaan (receiving), mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang
dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran
atau penjelasan yang diberikan oleh guru.
b) Partisipasi (responding), mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara
aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
c) Penilaian/penentuan sikap (valuing), mencakup kemampuan untuk
memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan
penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap: menerima, menolak atau
mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan
konsisten dengan sikap batin.
d) Organisasi (organization), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu
sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Nilai-nilai
yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai: mana yang
pokok dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting.
e) Pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex),
mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan
nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri.
3) Ranah psikomotorik (Psychomotoric Domain) berkenaan dengan hasil belajar
keterampilan dan kemampuan bertindak. Menurut Simpson ada tujuh aspek
psikomotorik yakni:
a) Persepsi (perception), mencakup kemampuan untuk mengadakan
diskriminasi yang tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan
pembedaan antara ciri-ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan.
b) Kesiapan (set), mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam
keadaan akan memulai sustu gerakan atau rangkaian gerakan.
c) Gerakan terbimbing (guided response), mencakup kemampuan untuk
melakukan suatu rangkaian gerak-gerik, sesuai dengan contoh yang
diberikan (imitasi).
d) Gerakan yang terbiasa (mechanical response), mencakup kemampuan untuk
melakukan suatu rangkaian gerak-gerik dengan lancar, karena sudah dilatih
secukupnya, tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan.
e) Gerakan yang kompleks (complex response), mencakup kemampuan untuk
melaksanakan suatu keterampilan, yang terdiri atas beberapa komponen,
dengan lancar, tepat, dan efisien.
f) Penyesuaian pola gerakan (adjustment), mencakup kemampuan untuk
mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak-gerik dengan kondisi
setempat atau dengan menunjukkan suatu taraf keterampilan yang telah
mencapai kemahiran.
g) Kreativitas (creativity), mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola
gerak yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara
ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di
sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para peserta didik dalam menguasai
isi bahan pengajaran.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan
bahwa hasil belajar adalah suatu bentuk pencapaian perubahan perilaku yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dari proses
belajar yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
b. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Purwanto (2002: 107) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil belajar meliputi: a. Faktor dari luar, meliputi: lingkungan yang terdiri dari
lingkungan alam dan lingkungan sosial dan instrumental yang terdiri dari
kurikulum/ bahan pelajaran, guru/ pengajar, sarana dan fasilitas, administrasi/
manajemen; Faktor dari dalam, meliputi fisiologis yang terdiri dari kondisi fisik
dan panca indera dan psikologis yang terdiri dari bakat, minat, kecerdasan,
motivasi, dan kemampuan kognitif.
Menurut Sudjana (1989: 39-
dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang
ri diri
siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Di samping itu faktor kemampuan
yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan
perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial, ekonomi, faktor fisik
dan psikis. Sungguhpun demikian, hasil yang dapat diraih masih tergantung pada
lingkungan. Salah satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi
hasil belajar di sekolah ialah kualitas pengajaran. Yang dimaksud kualitas
pengajaran adalah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar mengajar
dalam mencapai tujuan pengajaran. Caroll dalam Sudjana (1989: 40) berpendapat
bahwa hasil belajar yang dicapai siswa di pengaruhi oleh lima faktor, yakni (a)
bakat belajar, (b) waktu yang tersedia untuk belajar, (c) waktu yang diperlukan
peserta didik untuk menjelaskan pelajaran, (d) kualitas pengajaran, dan (e)
kemampuan individu.Empat faktor yang disebut di atas (a, b, c, e) berkenaan
dengan kemampuan individu dan faktor (d) adalah faktor di luar individu
(lingkungan).
Dari berbagai pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa faktor
yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik yaitu yang berasal dari dalam
peserta didik seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, kecerdasan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
kemampuan kognitif, faktor psikis dan fisik, kebiasaan belajar, ketekunan, sosial
dan ekonomi sedangkan faktor dari luar diri peserta didik seperti lingkungan dan
instrumental.
c. Pengertian Matematika
Menurut Jonson dan Rising dalam Jihad (2008: 152) mengemukakan
pola berfikir, pola mengorganisasikan pembuktian
yang logic, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang
didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat dengan simbul yang padat, lebih berupa
bahasa simbul mengenai arti dari pada bunyi; matematika adalah pengetahuan
struktur yang terorganisasi, sifat-sifat atau teori-teori dibuat secara deduktif
berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang
telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang pola keteraturan
pola atau ide; dan matematika adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada
keterurutan dan keharmonisan. Reys dan Kline dalam Jihad (2008: 152)
menjelaskan secara simpel bahwa matematika diartikan sebagai telaah tentang
pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni, suatu bahasa dan
suatu alat karena matematika bukan pengetahuan yang menyendiri, tetapi
keberadaannya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai
permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Menurut Soedjadi (2000: 11) ada
beberapa pengertian matematika yaitu: matematika adalah cabang ilmu
pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, pengetahuan tentang
bilangan dan kalkulasi, tentang penalaran logik dan berhubungan dengan
bilangan, tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah ruang dan bentuk, struktur-
struktur yang logik dan pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 566) matematika adalah ilmu tentang
bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, prosedur operasional yang
digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.
Kline dalam Abdurahman (2003: 252) mengemukakan bahwa
matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan
cara bernalar deduktif tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Sedangkan menurut Paling dalam Abdurrahman (2003: 252) matematika adalah
suatu cara untuk menemukan jawaban menggunakan pengetahuan tentang bentuk
dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang berhitung, dan yang paling
penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan
menggunakan hubungan-hubungan. Menurut Sutawijaya dalam Aisyah (2007:
1.1) mengemukakan bahwa matematika mengkaji benda abstrak (benda pikiran)
yang disusun dalam suatu sistem aksiomatik dengan menggunakan simbol
(lambang) dan penalaran deduktif. Pendapat lain menurut Hudoyo dalam Aisyah
(2007: 1.1) menjelaskan bahwa matematika berkenan dengan ide (gagasan-
gagasan), aturan-aturan, hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga
matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Menurut Hilbert dalam Uno
(2007: 127) mengemukakan bahwa matematika adalah sebagai sistem lambang
yang formal sebab matematika bersangkut paut dengan sifat-sifat struktural dari
simbol-simbol melalui berbagai sasaran yang menjadi objek matematika.
Sedangkan menurut Lerner yang dikutip dalam Abdurrahman (2003: 252)
merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat,
dan mengkomunikasikan ide menge
Andrew Nydam dalam Johnson (2002: 160) menyatakan:
predictions. Understand and make inferences based on the analysis of d refine mathematical
information in multiple ways: reflecting, verbalizing, discussing, or writing.
Yang artinya matematika: Merancang dan melakukan percobaan untuk
membuktikan atau menyanggah prediksi. Memahami dan membuat kesimpulan
berdasarkan analisis hasil percobaan...Mengatur, menjelaskan, dan menyaring
informasi matematis dengan berbagai cara: merenungkan, mengungkapkan secara
lisan, mendiskusikan, atau menulis.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan
bahwa matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi yang memiliki
objek tujuan abstrak sebagai bahasa simbolis serta memiliki pola pikir deduktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
d. Pengertian Soal cerita
Permasalahan Matematika dalam kehidupan nyata sehari-hari yang
diwujudkan dalam kalimat-kalimat verbal adalah soal cerita. Soal cerita menurut
Abdia dalam Marsudi Raharjo (2009:2) adalah soal yang disajikan dalam bentuk
cerita pendek. Cerita yang diungkapkan dapat merupakan masalah kehidupan
sehari-hari atau masalah lainnya. Bobot masalah yang diungkapkan akan
mempengaruhi panjang pendeknya cerita tersebut. Makin besar bobot masalah
yang diungkapkan, memungkinkan semakin panjang cerita yang disajikan.
Sementara itu, menurut Haji dalam Marsudi Raharjo (2009:2), soal cerita
merupakan soal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
bidang matematika dapat berbentuk cerita dan soal bukan cerita/soal hitungan.
Dalam hal ini, soal cerita merupakan modifikasi dari soal-soal hitungan yang
berkaitan dengan kenyataan yang ada di lingkungan siswa.
Menurut pendapat diatas disimpulkan bahwa soal cerita merupakan soal
yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang Matematika
yang disajikan dengan bentuk cerita pendek dan berkaitan dengan permasalahan
sehari-hari.
e. Soal Cerita di Sekolah Dasar
Kenyataan yang terjadi di Sekolah Dasar sering dijumpai soal
matematika dalam bentuk cerita. Dalam silabus matematika kelas V Sekolah
Dasar semester I terdapat 26 jam pelajaran soal cerita. Soal cerita sering disiapkan
dalam bentuk cerita pendek yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Panjang dan
pendeknya kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan soal cerita tersebut
sangat berpengaruh. Dalam penelitian ini yang dimaksud soal cerita adalah soal
cerita yang disajikan dengan kalimat-kalimat yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari, serta memuat masalah yang menuntut pemecahan. Soal cerita dalam
pengajaran matematika di Sekolah Dasar sangat penting bagi perkembangan
proses berpikir siswa, sehingga keberadaannya mutlak diperlukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
f. Langkah-Langkah Menyelesaikan Soal Cerita
Polya dalam Herman Maier (1985: 81) mengatakan bahwa dalam proses
pemecahan masalah soal cerita terdapat empat tahap utama yaitu.
1) Pemahaman soal
2) Pemikiran suatu rencana
3) Pelaksanaan rencana
4) Peninjauan kembali
Dari pendapat di atas, dapat uraikan langkah-langkah yang digunakan
dalam menyelesaikan soal cerita adalah sebagai berikut.
1) Memahami masalah atau soal yang akan diselesaikan
Langkah ini dimulai dengan aktivitas siswa untuk membaca soal sampai
akhirnya dapat menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang akan dicari,
ditanyakan ataupun yang akan diselesaikan dalam soal tersebut. Jadi dalam
mempelajari matematika diperlukan juga kemampuan bahasa sehingga siswa
dapat mengerti akan maksud soal yang akan diselesaikan, dapat menggunakan
logika, imajinasi dan kreativitas dalam mencari solusinya.
2) Merumuskan penyelesaian masalah
Langkah ini berkaitan dengan bagaimana siswa dapat mentransfer hasil
yang telah diperoleh dari langkah pertama ke dalam model matematika yang
sesuai serta mengaitkannya dengan materi yang telah dipelajari untuk menentukan
langkah penyelesaian yang benar. Kesalahan dalam pemodelan ataupun dalam
memilih langkah penyelesaian, secara beruntun akan menyebabkan kesalahan
dalam menyelesaikan soal tersebut.
3) Melakukan langkah penyelesaian masalah
Langkah penyelesaian masalah dilakukan dengan menguraikan proses
penyelesaian masalah yang telah dirumuskan dalam langkah dua. Ketepatan serta
ketelitian algoritma sangat berperan dalam langkah ini.
4) Evaluasi / memeriksa kembali hasil pengerjaan soal
Langkah terakhir yang berupa evaluasi, berhubungan dengan bagaimana
siswa dapat menerjemahkan hasil penyelesaian yang berupa model ataupun
kalimat matematika ke dalam permasalahan yang pertama dicari dalam soal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
diselesaikan. Ada kecenderungan beberapa siswa yang melewatkan langkah ini
dan terlupa untuk menyimpulkan hasil penyelesaian soal serta mengaitkannya
dengan permasalahan yang ditanyakan di awal.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang relevan dengan yang
dilaksanakan saat ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan keberhasilan
penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pelajaran
matematika maupun pengaruh membaca pemahaman dalam pelajaran matematika.
Penelitian-penelitian tersebut antara lain:
Michael Crawford dan Mary Witte (1999: 34-38) dalam Strategies For
Mathematics: Teaching In Context telah melakukan penelitian terhadap lingkungan
pembelajaran yang berbasis kontekstual dan hasilnya adalah lima hal yang biasa
disebut dengan contextual teaching strategy (strategi pembelajaran kontekstual) yang
diterapkan dalam pembelajaran matematika oleh guru-guru matematika didalam
kelas, lima hal tersebut antara lain relating (membuat hubungan), experiencing
(mengalami), applying (penerapan), cooperating (kerjasama), dan transferring
(pemindahan pengetahuan).
Jackie Davis (2008: 11-12) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa: Students who receive direct reading comprehension instruction related
specifically to math content will improve their word problem scores. Students who receive reading comprehension instruction to help facilitate word problem success feel better about their role as a mathematician. The use of technology increases the students' participation in the activities and provides a multi-sensory approach that benefits the students. By combining using reading comprehension instruction with a specific math emphasis, and using technology to further enhance and motivate, students were able to have success in working with math word problems.
Yang artinya siswa yang mendapatkan pelajaran membaca pemahaman
langsung yang berkaitan secara khusus dengan materi pelajaran matematika akan
meningkatkan nilai soal cerita mereka. Siswa yang menerima pelajaran membaca
pemahaman untuk membantu memudahkan soal cerita merasa lebih baik tentang
peranan mereka sebagai pelajar matematika. Penggunaan teknologi meningkatkan
partisipasi siswa dalam berbagai kegiatan dan memberikan pendekatan multi-indera
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
yang menguntungkan siswa. Dengan menggabungkan penggunaan pelajaran
membaca pemahaman dengan penekanan matematika tertentu, dan menggunakan
teknologi untuk lebih meningkatkan dan memotivasi, siswa mampu untuk berhasil
dalam mengerjakan soal cerita matematika.
Piia Maria Vilenius-Tuohimaa, Kaisa Aunola dan Jari-Erik Nurmi (2007:
409 426), yang telah melakukan penelitian terhadap 225 siswa kelas 4 (usia 9-10
tahun) tentang pengaruh membaca pemahaman terhadap soal cerita matematika
menyimpulkan bahwa:
The results showed that performance on maths word problems was strongly related to performance in reading comprehension. There were no gender differences in maths word problem-solving performance, but the girls were better in technical reading and in reading comprehension. Parental levels of education positively predicted -solving performance and reading comprehension skills.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa prestasi belajar soal cerita
matematika berhubungan sangat kuat dengan prestasi belajar dalam membaca
pemahaman. Tidak ada pembedaan terhadap jenis kelamin dalam penelitian ini,
namun siswa perempuan memiliki teknik membaca dan kemampuan membaca
pemahaman yang lebih baik. Tingkat pendidikan orang tua diperkirakan memberikan
pengaruh yang positif terhadap keterampilan menyelesaikan soal cerita dan
kemampuan membaca siswa.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir pada hakekatnya bersumber dari kajian teoritis dan sering
diformulasikan dalam bentuk anggapan dasar. Menurut Arikunto (2006:68) yang
nnya oleh peneliti
yang Berdasarkan kajian teoritis sebagaimana telah
dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini dipandang perlu mengajukan kerangka
pemikiran, dengan dua macam pengajaran yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
pertama menggunakan model konvensional yang dalam penelitian ini metode
ekspositori dan yang kedua pengajaran dengan menggunakan model Contextual
Teaching and Learning (CTL).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Dilihat dari cara pelaksanaannya kedua metode pengajaran ini jelas berbeda
apabila diterapkan untuk menyampaikan pelajaran matematika. Pengajaran dengan
menggunakan metode konvensional (ekspositori) adalah pengajaran dimana guru
yang dominan sebagai sumber informasi, sedangkan siswa tidak dituntut aktif, hanya
memperhatikan, membuat catatan, dan mengerjakan latihan seperlunya. Lain halnya
dengan pengajaran menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL). Dengan metode ini, siswa dituntut untuk aktif, membuat hubungan
dari materi yang dipelajari, mengalami sendiri materi pembelajaran, menerapkan
teori yang dipelajari pada kehidupan nyata. siswa dikondisikan untuk saling
membantu dan bekerjasama antar anggota kelompoknya dalam menyelesaikan tugas-
tugas yang terstruktur. Pemindahan pengetahuan tidak hanya dilakukan oleh guru,
tetapi juga bisa dilakukan siswa yang telah memahami permasalahan tertentu kepada
anggota kelompoknya yang belum paham. Karena siswa dituntut aktif, maka dalam
proses pembelajaran siswa akan lebih sungguh-sungguh sehingga prestasi belajarnya
akan baik. Dengan kata lain prestasi belajar matematika siswa yang diberi pelajaran
dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik jika
dibandingkan dengan siswa yang diberi pelajaran dengan menggunakan metode
konvensional.
Perbedaan kemampuan membaca pemahaman tentu juga dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar siswa. Siswa yang memiliki
kemampuan membaca pemahaman tinggi akan lebih mudah untuk memahami
masalah yang berupa soal cerita matematika sehingga mereka dapat berprestasi lebih
baik bila dibandingkan siswa yang memiliki kemampuan membaca pemahaman
rendah.
Jika dibandingkan dengan model konvensional, model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) akan menghasilkan prestasi belajar
matematika soal cerita yang lebih baik. Hal ini tidak hanya terbatas pada siswa yang
memiliki kemampuan membaca pemahaman tinggi saja namun siswa yang memiliki
kemampuan membaca pemahaman rendah juga akan mencapai prestasi belajar
matematika soal cerita yang lebih baik. Hal tersebut disebabkan karena model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) menekankan pada proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
belajar siswa aktif, jadi model ini dapat meningkatkan prestasi belajar matematika
bagi siswa baik yang memiliki kemampuan membaca pemahaman tinggi maupun
rendah. Dengan kata lain, tidak terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan
tingkat kemampuan membaca pemahaman terhadap prestasi belajar matematika
siswa. Berdasarkan pemikiran diatas dapat digambarkan paradigma penelitian
sebagai berikut:
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
X1 : Penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
X2 : Kemampuan membaca pemahaman.
Y : Hasil belajar matematika soal cerita.
D. Hipotesis Penelitian
Menurut S. Margono (2005: 80) hipotesis berasal dari perkataan hipo (hypo)
dan tesis (thesis). Hipo berarti kurang dari, sedang tesis berarti pendapat. Jadi
hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara
belum benar-benar berstatus sebagai suatu tesis. Sedangkan Yulius Slamet (2007: 76)
menjelasan bahwa hipotesis adalah suatu pernyataan tentang hubungan antara dua
variabel atau lebih yang dapat diuji kebenarannya. Yang dimaksud dengan menguji
hipotesis ialah membuktikan kebenaran atau kesalahan di dalam penelitian.
X I
X 2
Y
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Berdasarkan pernyataan yang dipaparkan oleh para ahli diatas, hipotesis
merupakan petunjuk jalan bagi kegiatan-kegiatan dalam pola-pola research (research
design). Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir dapat diajukan hipotesis
alternatif sebagai berikut:
1. Ada pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa.
2. Ada pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar
matematika soal cerita siswa.
3. Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan tingkat kemampuan membaca pemahaman
terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa.
Sedangkan sebagai hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dinyatakan
dalam bentuk hipotesis nihil (H0) sebagai berikut:
1. Tidak ada pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa.
2. Tidak ada pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar
matematika soal cerita siswa.
3. Terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan tingkat kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil
belajar matematika soal cerita siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat
Dalam penelitian ini peneliti memilih tempat penelitian di Kecamatan
Wonogiri, Kabupaten Wonogiri. Alasan Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan
Wonogiri, Kabupaten Wonogiri adalah karena banyak Sekolah Dasar di Kecamatan
Wonogiri masih mempunyai nilai matematika yang belum memuaskan, dalam arti
target nilai rata-rata belum memenuhi standar. Nilai rata-rata yang yang kurang
memenuhi standar ini diduga karena dipengaruhi oleh penerapan model mengajar
yang kurang tepat atau masih konvensional. Pemilihan lokasi ini juga dikarenakan
adanya ketersediaan data dan terjangkaunya lokasi oleh peneliti. Sekolah Dasar di
Kecamatan Wonogiri terdiri dari 50 Sekolah Dasar Negeri yang tersebar di
Kecamatan Wonogiri.
2. Waktu
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, tahap pertama yaitu persiapan, terdiri
dari pengajuan judul penelitian, penyusunan proposal penelitian, pengajuan proposal
penelitian, serta mengurus ijin penelitian. Kegiatan ini dilakukan selama bulan Maret
hingga bulan Juli 2011. Tahap kedua pelaksanaan penelitian, tahap ini terdiri dari uji
coba instrumen, uji validitas instrument, pelaksanaan penelitian dan analisis data
penelitian. Kegiatan pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil
tahun ajaran 2011/2012, yaitu mulai bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011.
Sedangkan tahap ketiga penyusunan laporan, terdiri dari penyusunan laporan,
pelaksanaan ujian skripsi, revisi, hingga pengesahan dilakukan selama bulan Agustus
hingga bulan Oktober 2011.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. (Suharsimi Arikunto, 1996:
115). Pernyataan diatas dapat diartikan bahwa populasi adalah keseluruhan subyek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56 penelitian yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Dilihat dari sifatnya
populasi dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Populasi yang bersifat homogen, adalah populasi yang unsur- unsurnya memiliki
sifat yang sama sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif.
b. Populasi bersifat heterogen, adalah populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat
atau keadaaan yang bervariasi sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya baik
secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sedangkan populasi apabila dilihat dari jumlahnya dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
a. Populasi terhingga, yaitu populasi yang terdiri dari elemen atau unsure yang
memiliki batas.
b. Populasi tak terhingga, adalah populasi yang terdiri dari elemen atau unsur dengan
jumlah yang sukar sekali dicari batasnya.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas maka populasi yang dijadikan
obyek penelitian ini adalah populasi yang bersifat homogen karena memiliki unsur-
unsur dan sifat yang sama. Apabila dilihat dari jumlahnya, populasi yang diteliti
adalah populasi terhingga karena memiliki jumlah populasi yang jelas. Maka dapat
dikatakan yang menjadi populasi target penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V
Sekolah Dasar di Kecamatan Wonogiri yang terbagi dalam 50 Sekolah Dasar.
2. Sampel
Menurut Sutrisno Hadi (1983: 221), sampel adalah sejumlah penduduk yang
jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Sedangkan Menurut Suharsimi Arikunto
(1993: 104), sampel diartikan sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Dari
pengertian-pengertian diatas dapat diberikan simpulan bahwa sampel adalah wakil
dari populasi yang diteliti dengan menggunakan teknik tertentu. Random sampling
adalah cara untuk memperoleh sampel yang representative. Menurut Sutrisno Hadi
(1983: 222-225), suatu sampel adalah sampel random jika tiap-tiap individu dalam
populasi diberi kesempatan yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V yang diambil dua kelas dari SD
Negeri I Pokoh Kidul dan SD Negeri III Wuryorejo yaitu kelas V SD Negeri III
Wuryorejo sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57 Contextual Teaching and Learning (CTL) dan kelas V SD Negeri Pokoh Kidul I
sebagai kelas kontrol dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.
Sedangkan sebagai sampel Uji Validitas dan Uji Reabilitas instrument adalah siswa
kelas V SD Negeri II Sendang.
3. Sampling
Teknik sampling adalah cara atau teknik yang digunakan untuk mengambil
sampel (Suharsimi Arikunto, 2002:109). Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Cluster Random Sampling. Menurut Nazir
(1988: 366), Cluster Random Sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari
kelompok-kelompok unit yang kecil. Populasi dari cluster merupakan subpopulasi
dari total populasi. Pengelompokan secara cluster menghasilkan unit elementer yang
heterogen seperti halnya populasi sendiri.
Sebelum diberi perlakuan, kedua kelas tersebut diuji terlebih dahulu apakah
kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam keseimbangan. Uji keseimbangan yang
digunakan adalah dengan menguji kesamaan dua variansi yang disebut Uji Matching.
Adapun prosedur uji keseimbangan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis
H0 : 1 = 2 (kedua kelompok mempunyai keadaan awal yang sama)
H1 : 1 2 (kedua kelompok mempunyai keadaan awal yang berbeda)
b. Tingkat signifikan : = 5 %
c. Statistik uji
21
21
11nn
S
XXt
p
h it
Dengan: pS = 2
)1()1(
21
222
211
nnSnSn
Ket: t = t ~ 221 nnt
1X = rata-rata nilai kelas eksperimen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
2X = rata-rata nilai kelas kontrol
21s = variansi kelas eksperimen
22s = variansi kelas kontrol
1n = jumlah siswa kelas eksperimen
2n = jumlah siswa kelas control
d. Daerah Kritik (DK)
DK = 2;2 21 nn
tt
e. Keputusan Uji
Tolak H0, jika thit > 221 nnt . Artinya, kedua kelompok memiliki
keadaan awal yang berbeda. (Budiyono, 2000:156).
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan keterangan-keterangan yang dibutuhkan dalam
suatu penelitian, maka perlu menentukan metode pengumpulan data yang sesuai
dengan masalah yang diteliti. Di dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk
memperoleh data adalah :
1. Metode Tes
Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 127), tes adalah serentetan pertanyaan
atau latihan atau data lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan pengetahuan
intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok. Pada
penelitian ini metode tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai hasil
belajar matematika, dengan cara memberi tes pada kedua kelas sampel sebelum dan
setelah perlakuan dengan strategi pembelajaran konvensional maupun Contextual
Teaching and Learning (CTL) dengan menggunakan soal yang sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
2. Metode Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:135), metode dokumentasi adalah cara
yang digunakan untuk mengetahui segala sesuatu dengan melihat catatan-catatan,
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Pada penelitian
ini metode dokumentasi digunakan untuk mengetahui data mengenai nilai semester
ganjil bidang studi matematika untuk uji keseimbangan dan daftar nama siswa.
D. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang
digunakan peneliti dan kemampuan membaca pemahaman siswa.
a. Model Pembelajaran
1). Definisi Operasional
Dalam konteks pembelajaran, Joyce dan Weil mendefinisikan model
sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
suatu kegiatan. Soekamto (1997: 5) mengemukakan model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
2). Indikator
Penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) untuk kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional untuk kelas
kontrol. Sebagai instrument pembelajaran yaitu Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), Guru Kelas, Lembar Observasi Guru, dan Lembar Observasi
Siswa.
3). Skala Pengukuran
Skala nominal yang terdiri dari dua kategori yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
a). Kelas eksperimen: siswa yang diberikan pembelajaran dengan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
b). Kelas kontrol: siswa yang diberikan pembelajaran dengan model
pembelajaran konvensional.
4). Simbol: ; i = 1,2
A1 = Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
A2 = Model pembelajaran konvensional
b. Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa
1). Definisi Operasional
Kemampuan membaca pemahaman merupakan kemampuan memahami
arti dalam suatu bacaan melalui tulisan atau bacaan (Robert Lado, 1977: 223).
Dalam penelitian ini kemampuan membaca pemahaman siswa dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok membaca pemahaman tinggi dan kelompok membaca
pemahaman rendah.
2). Indikator
Indikator untuk menentukan kemampuan membaca pemahaman siswa
dalam penelitian ini adalah nilai tes membaca pemahaman.
3). Skala pengukuran
Skala interval diubah menjadi skala ordinal dalam dua kategori yaitu:
tinggi dan rendah.
Kategori tinggi : SDXX
21
Kategori rendah : SDXX
21
4). Simbol: 2,1; jB j
B1 = Kemampuan membaca pemahaman rendah
B2 = Kemampuan membaca pemahaman tinggi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
2. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika soal
cerita siswa.
a. Definisi operasional
Hasil belajar adalah suatu bentuk pencapaian perubahan perilaku yang
cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dari proses
belajar yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu. hasil belajar merupakan
kapasitas terukur dari perubahan individu yang diinginkan berdasarkan ciri-ciri
atau variabel bawaannya melalui perlakuan pengajaran tertentu. hasil belajar
dibagi dalam lima kategori, yakni Keterampilan intelektual, Strategi kognitif,
Informasi verbal/lisan, Keterampilan motoris, dan Sikap.
b. Indikator
Indikator untuk menentukan hasil belajar matematika soal cerita siswa
dalam penelitian ini adalah Nilai tes pada pokok bahasan soal cerita yang
menggunakan KPK dan FPB.
c. Skala Pengukuran
Skala pengukuran yang digunakan adalah interval. Skala pengukuran
interval mempunyai tiga karakteristik yaitu: dapat dilakukannya klasifikasi
pengamatan, dapat dilakukannya pengurutan pengamatan, dan terdapatnya satuan
pengukuran.
d. Simbol : Y
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data menggunakan
instrumen tes kemampuan membaca pemahaman dan tes hasil belajar matematika
soal cerita. Setelah instrumen selesai disusun harus diujicobakan terlebih dahulu
sebelum dikenakan pada sampel penelitian. Tujuan ujicoba ini adalah untuk melihat
apakah tes yang telah disusun valid atau tidak valid. Untuk mendapatkan instrumen
yang benar dan akurat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
1. Penyusunan instrumen
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa nilai untuk
memperoleh data tentang kemampuan membaca pemahaman dan hasil belajar
matematika soal cerita, pembuatan instrumen pada penelitian ini meliputi:
a. Tes Kemampuan Membaca Pemahaman
Instrumen pengumpul data kemampuan membaca pemahaman dalam
penelitian ini adalah berupa tes. Siswa diberi soal teks yang berbentuk wacana
pendek. Yang dimaksud dengan wacana pendek adalah wacana yang terdiri satu
atau dua alinea atau kira-kira sebanyak 50 sampai 100 kata. Wacana pendek
bahkan dapat berupa satu kalimat, atau satu pernyataan, yang kemudian dibuat
parafrasenya. Penilaian kemampuan membaca dalam hal ini adalah memahami
dan memilih parafrase tersebut yang sesuai dengan pernyataan. Bentuk wacana
yang dipergunakan sebagai bahan untuk penilaian kemampuan membaca dapat
berbentuk prosa, puisi, dan drama. Pada penelitian ini wacana yang dipergunakan
adalah berbentuk prosa. bacaan dmatematikahami atau dibaca dengan teliti,
kemudian siswa mengerjakan soal pemahaman terhadap isi bacaan yang telah
dibaca siswa. Soal pemahaman terhadap isi bacaan berbentuk tes cloze - pilihan
ganda yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan penelitian
nurgiyantoro (1995), instrumen tes berjumlah 5 teks dengan 5 butir soal pada
setiap teks, tiap soal mempunyai empat pilihan jawaban (option). Prosedur
pemberian skor untuk jawaban tes adalah nilai 1 jika benar dan nilai 0 jika salah.
Untuk menjamin validitas isi (content validity) dilakukan dengan
menyusun kisi-kisi, sehingga masing-masing sub pokok bahasan tersusun secara
proporsional. Kisi-kisi soal dapat dilihat pada tabel berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Tabel 3.1. Kisi-Kisi Soal Pemahaman Membaca
Variabel Indikator Alat Ukur
Sumber Data
Jumlah Item Butir Tes
Membaca Pemahaman
Mengidentifikasi unsur-unsur cerita
TES Siswa
6 4, 6, 13, 15, 16,
21
Menemukan ide pokok 5 1, 9, 11, 18, 25
Melengkapi kalimat rumpang 5 2, 8, 12, 17, 22
Pemahaman isi bacaan 5 3, 7, 10, 19, 23
Penguasaan kosakata 4 5, 14, 24,20
JUMLAH 25
b. Tes Hasil Belajar Matematika Soal Cerita.
Brown (1970: 2) menyatakan bahwa A test will be defined as a
systematic procedure for measuring a sample behavior. Yang
artinya tes dapat didefinisikan sebagai salah satu teknik pengukuran individu.
Definisi tersebut mengandung dua hal pokok yang perlu di perhatikan dalam
memahami makna tes, yaitu:
1). systematic procedure, yang artinya bahwa suatu tes harus disusun,
dilaksanakan (diadministrasikan) dan diolah berdasarkan aturan-aturan
tertentu yang telah ditetapkan. Sistematis di sini meliputi tiga langkah, yaitu
(a) sistematis dalam isi, artinya butir-butir soal (item) suatu tes hendaknya
disusun dan dipilih berdasarkan kawasan dan ruang lingkup tingkah laku
yang akan dan harus diukur atau dites, sehingga tes tersebut benar-benar
tingkat validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, (b) sistematis dalam
pelaksanaan (administrasi) artinya tes itu hendaknya dilaksanakan dengan
mengikuti prosedur dan kondisi yang telah ditentukan; dan (c) sistematis di
dalam pengolahannya, artinya data yang dihasilkan dari suatu tes diolah dan
ditafsirkan berdasarkan aturan-aturan dan tolak ukur (norma) tertentu.
2). yang artinya bahwa tes itu hanya
mengukur suatu sampel dari suatu tingkah laku individu yang dites. Tes tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
dapat mengukur seluruh (populasi) tingkah laku, melainkan terbatas pada isi
(butir soal) tes yang bersangkutan.
Pada penelitian ini instrumen yang akan digunakan untuk mengukur hasil
belajar matematika soal cerita siswa terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1). Soal tes matematika soal cerita siswa kelas V. instrument tes berbentuk 25
buah soal cerita.
2). Kunci jawaban soal tes,
Untuk menjamin validitas isi (content validity) dilakukan dengan
menyusun kisi-kisi, sehingga masing-masing sub pokok bahasan tersusun secara
proporsional. Kisi-kisi soal dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.2. Kisi-Kisi Soal Tes Hasil Belajar Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V
Indikator Bentuk Soal Nomor Soal Jumlah
1) Menggunakan Faktor Prima untuk menentukan KPK dan FPB
Pilihan ganda 1,2,3,4,5 5
2) Menentukan FPB 2 bilangan puluhan dari soal cerita
Pilihan ganda 6,7,8,9,10 5
3) Menentukan KPK 2 bilangan puluhan dari soal cerita
Pilihan ganda 11,12 2
4) Menentukan FPB 3 bilangan puluhan dari soal cerita
Pilihan ganda 13,14,15 3
5) Menentukan KPK 3 bilangan puluhan dari soal cerita
Pilihan ganda 16,17 2
6) Menentukan FPB 2 bilangan ratusan dari soal cerita
Pilihan ganda 18,19 2
7) Menentukan KPK 2 bilangan ratusan dari soal cerita
Pilihan ganda 20,21 2
8) Menentukan KPK dan FPB dari 2 bilangan atau lebih secara bersamaan
Pilihan ganda 22,23,24,25 4
JUMLAH SOAL 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2. Tahap Uji Coba
Sebelum instrumen ini digunakan maka diteliti dulu kualitasnya melalui uji
coba. Kualitas instrumen ditunjukkan oleh kesahihan dan keterandalannya dalam
mengungkapkan apa yang akan diukur. Syarat-syarat tes yang baik paling sedikit
memiliki: kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas), tingkat kesukaran, dan
daya pembeda.
Menurut Sutrisno Hadi (1991: 1), validitas tes adalah ketepatan alat ukur
dengan apa yang hendak diukur. Sedangkan menurut Kerlinger (1973: 709),
Reliabilitas tes adalah kemampuan mempertahankan kestabilan/kemantapan,
keterpercayaan dan ketepatan dari suatu ramalan. Selain memenuhi validitas dan
reliabilitas, suatu tes juga harus memiliki daya pembeda dan keseimbangan dari
tingkat kesulitan soal tersebut, yaitu adanya soal-soal yang mudah, sedang dan sukar
secara proporsional.
Untuk mengetahui validitas butir soal digunakan korelasi product moment,
sedangkan reliabilitas menggunakan rumus Kuder-Richardson 20 (KR-20). Rumus
KR-20 digunakan karena masing-masing butir soal memiliki tingkat kesukaran yang
relatif sama. Rumus-rumus yang digunakan untuk perhitungan adalah sebagai
berikut:
a. Uji Validitas
Untuk mengukur validitas item digunakan rumus korelasi product moment
dimana hasil tes tiap butir soal dikorelasikan dengan skor tes totalitas. Untuk
mengetahui valid dan reliabilitas product moment sebagai berikut:
2222 YYNXXN
YXXYNrxy
Keterangan:
xyr = koefisien korelasi suatu butir item
N = banyaknya subyek
X = jumlah skor tiap item
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Y = jumlah skor total item
XY = jumlah perkalian skor item X dan skor total item Y
Setelah diperoleh xyr, kemudian dikonsultasikan dengan harga kritik r
produk moment. Apabila ta belxy rr maka dikatakan butir soal tes itu valid,
sedangkan apabila tebelxy rr maka dikatakan soal tes tersebut tidak valid
(Suharsimi Arikunto,2006: 170).
b.
Untuk mengetahui tingkat reliabilitas tes digunakan rumus reliabilitas KR-
20 sebagai berikut:
(Djaali, Pudji Mulyono, dan Ramly, 2000:145)
Dimana :
K = banyaknya butir soal
p = proporsi peserta tes yang menjawab dengan benar.
q = 1 p
Sebelum instrumen kemampuan pemahaman membaca digunakan untuk
mengumpulkan data, terlebih dahulu dilakukan uji coba selanjutnya dianalisis
dengan analisis butir soal. Analisis tersebut dimaksudkan untuk menentukan butir-
butir soal yang layak dan yang tidak layak dgunakan dalam penelitian.
Kelayakan butir soal didasarkan pada dua hal yaitu (a) tingkat kesukaran
soal atau indeks kesukaran item, dan (b) daya pembeda atau indeks diskriminasi
item. Tingkat kesukaran soal tercermin dari indeks kesukaran yang merupakan
sebuah kontinum yang bergerak dan 0,00 - 1,00. Butir soal dengan indeks 0,00
adalah soal atau item yang sangat sulit, karena tidak ada satu pun siswa yang
menjawab dengan benar. Sebaliknya, butir soal dengan indeks 1,00 adalah soal
yang sangat mudah. Karena semua siswa menjawab dengan benar. Kedua jenis
soal tersebut tidak layak digunakan dalam pengumpulan data. Sementara soal-soal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
atau item yang dianggap layak untuk digunakan dalam penelitian adalah yang
memiliki indeks antara kedua kutub tersebut. Daya Pembeda soal atau indeks daya
diskriminasi item adalah kemampuan soal untuk membedakan antara siswa yang
memiliki kemampuan tinggi dan siswa yang mempunyai kemampuan rendah.
Daya pembeda tersebut tercermin dari indeks diskriminasi yang bergerak antara -
1,00 sampai 1,00. Suatu soal dengan indeks diskriminasi -1,00 menunjukkan
bahwa soal tersebut dapat dijawab dengan benar oleh seluruh siswa kelompok
rendah, tetapi tidak dapat dijawab dengan benar oleh seluruh siswa kelompok
tinggi. Soal yang demikian ini tidak memiliki daya pembeda yang baik. Oleh
karena itu, soal tersebut tidak layak untuk digunakan dalam penelitian. Sebaliknya
suatu soal dengan indeks dikriminasi 1,00 menunjukkan bahwa soal tersebut dapat
dijawab dengan benar oleh seluruh siswa pada kelompok tinggi, tetapi tidak dapat
dijawab dengan benar oleh seluruh siswa pada kelompok rendah. Soal yang
demikian ini memiliki daya diskriminasi yang baik. Dalam penelitian ini soal
yang dianggap layak adalah soal dengan indeks diskriminasi 0,00. Berdasarkan
dua kriteria tersebut, maka dapat ditentukan layak dan tidaknya suatu butir soal
atau item dapat diambil atau digunakan. Tes objektif diuji dengan menganalisis
butir soal untuk mengetahui taraf kesukaran dan daya pembedanya.
Taraf atau tingkat kesukaran soal dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
(Suharsimi Arikunto, 2003 : 208)
Dimana:
P = indek kesukaran
B = banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul
JS = jumlah seluruh siswa peserta tes
Lebih lanjut dijelaskan oleh Suharsimi Arikunto (2003: 210) indek
kesukaran soal sering diklasifikasikan menjadi tiga kelompok sebagaimana
dijelaskan dalam tabel berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Tabel 3.3. Interpretasi Indek Kesukaran Soal (P)
Nilai P Klasifikasi Interprestasi
0,00 0,30 Soal sukar
0,30 0,70 Soal sedang
0,70 1,00 Soal mudah
Sedangkan untuk menentukan daya pembeda soal atau indek daya
diskriminasi item dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(Suharsimi Arikunto, 2003 :213)
dimana:
D = indek daya diskriminasi item
BA = banyaknya peserta kelompok atas menjawab soal dengan benar
BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar
JA = banyaknya peserta kelompok atas
JB = banyaknya peserta kelompok bawah
Lebih lanjut dijelaskan Suharsimi Arikunto (2003 : 218) bahwa indek
daya beda dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagaimana dalam
tabel berikut ini.
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Beda Soal (D)
Daya Beda Nilai D Klasifikasi Interpretasi
Negatif Semuanya tidak baik, dibuang saja
0,00 - 0,20 Jelek ( )
0,20 - 0,40 Cukup baik ( )
0,40 - 0,70 Baik ( )
0,70 - 1,00 Baik sekali (E )
F. Rancangan Penelitian
Rancangan analisis penelitian ini adalah rancangan faktorial 2 X 2. Faktor
pemilahnya adalah variabel moderator membaca pemahaman siswa. Pemilahan
dibagi atas dua tingkatan yaitu membaca pemahaman di atas rata-rata kelompok dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69 di bawah rata-rata kelompok setelah data diurutkan dari yang paling besar ke yang
paling kecil. Dengan pemilahan ini diharapkan dapat menambah kecermatan
penelitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini, pemisahan tingkat membaca
pemahaman siswa bersifat semu artinya dalam kegiatan eksperimen, para siswa tidak
dipisahkan secara nyata antara yang memiliki tingkat membaca pemahaman di atas
dan di bawah rata-rata kelompok.
a. Faktor metode pembelajaran (A) terdiri atas dua kategori:
1). Metode pembelajaran kontekstual (A1)
2). Metode pembelajaran konvensional (A2)
b. Faktor membaca pemahaman (B) terdiri atas dua kategori:
1). Membaca pemahaman tinggi (B1)
2). Membaca pemahaman rendah (B2)
Tabel 3.5 Rancangan Analisis Faktorial 2 x 2
Faktor A
Faktor B
Model Pembelajaran
CTL / Kontekstual
(A1)
Konvensional
(A2)
Pemahaman
Membaca
Tinggi (B1) A1B1 A2B1
Rendah (B2) A1B2 A2B2
keterangan :
A1 = Model Belajar Contextual teaching and learning (CTL)
A2 = Model Belajar Konvensional
B1 = Membaca pemahaman Tinggi
B2 = Membaca pemahaman Rendah
A1B1 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca
pemahaman tinggi yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode
pembelajaran kontekstual
A2B1 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca
pemahaman tinggi yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode
pembelajaran konvensional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70 A1B2 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca
pemahaman rendah yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode
pembelajaran kontekstual
A2B2 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca
pemahaman rendah yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode
pembelajaran konvensional
Tabel diatas menyatakan bahwa penelitian ini akan memberikan perlakuan
dalam pembelajaran melalui dua model yaitu contextual teaching and learning (CTL)
untuk kelas eksperimen, dan konvensional untuk kelas kontrol, yang akan
menunjukkan pengaruh terhadap hasil belajar matematika soal cerita setelah
menerima perlakuan tersebut.
Pada masing-masing kelas terdapat kelompok yang memiliki pemahaman
membaca tinggi dan rendah. Dengan demikian ada 4 kelompok yaitu: (1) siswa yang
diberikan model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) untuk
membaca pemahaman tinggi, (2). siswa yang diberikan model pembelajaran
contextual teaching and learning (CTL) untuk membaca pemahaman rendah, (3)
siswa yang diberikan model pembelajaran konvensional untuk membaca pemahaman
tinggi dan (4) siswa yang diberikan model pembelajaran konvensional untuk
membaca pemahaman rendah.
Pengontrolan validitas dilakukan agar hasil eksperimen benar-benar sebagai
akibat dari pengaruh perlakuan. Menurut Campbell (1966: 5-6) ada dua belas faktor
penyebab rendahnya validitas internal suatu penelitian, yaitu : (1) faktor sejarah, (2)
proses kematangan (3) testing, (4) instrumen pengukuran, (5) regresi statistik, (6)
seleksi subyek, (7) mortalitas pada eksperimen, (8) interaksi antara pemilihan dan
kematangan, (9) efek interaksi testing, (10) efek interaksi dari bias seleksi dan
variabel eksperimen, (11) efek reaksi terhadap perencanaan / persiapan eksperimen,
(12) perlakuan ganda.
Faktor sejarah dalam penelitian ini telah dikendalikan dengan melaksanakan
post tes waktunya serentak antara kelompok kontrol dan eksperimen. Instrumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71 dikontrol dengan memberikan instrumen yang valid dan reliabel untuk mengetahui
membaca pemahaman dan hasil belajar matematika soal cerita siswa.
Pada penelitian ini dilakukan pengambilan kelompok kontrol, maka
tindakan ini telah mampu mengendalikan faktor sejarah, kematangan, testing dan
instrumentasi. Sedangkan dengan menggunakan rancangan post-tes memungkinkan
untuk mengendalikan faktor kematangan subyek. Selama penelitian ini dilaksanakan
tidak ada siswa yang mengundurkan diri sehingga faktor mortalitas dapat
dikendalikan.
Untuk meningkatkan validitas eksternal penelitian ditempuh langkah-
langkah sebagai berikut : (1) pemilihan kelompok diambil secara random, dalam hal
ini kelompok eksperimen dan kontrol telah memiliki kesetaraan karena berasal dari
masukan siswa yang memiliki rerata nilai siswa dan nilai rerata kelas pada raport
untuk mata pelajaran matematika relatif sama, (2) uji perbedaan pra tes antara kelas
eksperimen dan kontrol dilakukan untuk melihat sejauh mana kesetaraan antara kelas
eksperimen dan kontrol, hasil analisis dengan uji-t untuk menunjukkan bahwa antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan (3) selama
pelaksanaan eksperimen diusahakan tidak diketahui atau disadari oleh siswa karena
dilaksanakan sesuai dengan pembelajaran rutin, hal ini dilakukan guna menghindari
perubahan sikap pada saat diberi perlakuan, (4) selama eksperimen berlangsung
diharapkan tidak terjadi peristiwa atau kejadian khusus yang mengganggu jalannya
eksperimen. Dengan pengambilan langkah tersebut maka validitas internal dan
eksternal penelitian ini dapat dipenuhi sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi
pada populasi.
G. Teknik Analisis Data
1. Uji Prasyarat Analisis
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan terhadap data hasil belajar matematika soal
cerita siswa yang diberi pembelajaran dengan model contextual teaching and
learning (CTL) baik secara keseluruhan maupun berdasarkan kemampuan
pemahaman membaca siswa. Uji normalitas ini bertujuan untuk mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
apakah sampel yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau
tidak. Metode yang digunakan dalam uji normalitas ini adalah metode Lilliefors
dengan
1). Hipotesis
H0 = sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Hi = sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
2). Taraf signifikan %5
3). Statistik Uji yang Digunakan
iZSiZFmak L
Dimana:
L = koefisien liliefors dari pengamatan
N (0,1)
S(Z
Zi = skor standar, untuk S
XXZ i
i
S = standar deviasi = NN
XX
22
4). Daerah Kritik
DK = {L | L > L :n }dengan n adalah ukuran sampel
5). Keputusan Uji
H0 ditolak jika L > L :n, sedangkan H0 :n
(Budiyono, 2000: 169)
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk menguji apakah kelompok mempunyai
variansi sama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode uji
Bartlett yang prosedurnya sebagai berikut:
1). Hipotesis
H0 = sampel berasal dari populasi yang homogen
Hi = sampel tidak berasal dari populasi yang homogen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
2). Taraf signifikan %5
3). Statitiska uji yang digunakan
22 loglog203.2
jj SfRKGfc
Dengan : 122 k
2 = chi kuadrat
k = banyaknya populasi = banyaknya sampel
f = derajat kebebasan untuk RKG = N-k
fj = derajat kebebasan untuk Sj = nj 1
j
N = banyaknya seluruh nilai (ukuran)
Nj = banyaknya nilai (ukuran sampel ke- j)
jfkc
j
1113
11
j
j
f
SSRKG
j
jjj n
XXSS
22
4). Daerah kritik
1:22| kDK
5). Keputusan uji
H0 ditolak jika DK2 sedangkan H0 diterima jika DK2
(Budiyono, 2000: 176)
c. Uji Hipotesis
Dalam penelitian ini menggunakan analisis variansi dua jalur.
1). Model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Dengan
Xijk = data amatan ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j
= rerata dari seluruh data amatan
Xi = efek baris ke-i pada variabel terikat
j = efek kolom ke-j pada variabel terikat
( )ij = kombinasi efek baris ke-i dan kolom ke-j pada variabel terikat
ijk = deviasi data amatan terhadap rataan populasi (galat eror)
;2,1i 1 = pemberian pembelajaran dengan menggunakan Model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
2 pemberian pembelajaran dengan menggunakan Model pembelajaran
konvensional
;2,1j 1 kemampuan membaca pemahaman siswa rendah
2 kemampuan membaca pemahaman siswa tinggi
nk ,...,,2,1 (Budiyono, 2000: 225)
2). Prosedur
a). Hipotesis
H0A: i = 0, untuk setiap i
H1A: j 0, untuk paling sedikit satu i
H0B: i = 0, untuk setiap j
H1B: j 0, untuk paling sedikit satu i
H0AB: ( )ij = 0 = 0, untuk setiap i dan j
H1AB: ( )ij 0, untuk paling sedikit satu ( )ij
b). Taraf signifikan = 5%
c). Komputasi
i. = NG 2
ii. = jijSS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
iii. = i
i
qA 2
iv. = j
j
p
B 2
v. = ij
ijAB 2
Dimana:
Aij = i
ijAB 2
= jumlah rataan pada baris ke-i
Bj = j
ijAB 2
= jumlah rataan pada kolom ke-j
G = ij
ijAB 2
= jumlah rataan semua sel
ijk
kijk
kijij n
X
XSS
2
2
= jumlah kuadrat deviasi amatan pada sel uji
N = ijijn
= banyaknya seluruh data amatan
n h = rataan harmonik frekuensi seluruh sel = ij ijn
pq1
nij = rataan sel ij = banyaknya data amatan sel ij
d). Jumlah kuadrat
JKA = n h {(3)-(1)}
JKB = n h {(4)-(1)}
JKAB = n h {(1)+(5)-(3)-(4)}
JKG = (2)
JKT = JKA + JKB +JKAB + JKG
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
e). Jumlah kebebasan
dk A = p-1
dk B = q-1
dk AB = (p-1) (q-1)
dk G = N pq
dk T = N-1
f). Rataan kuadrat
RK A = dkA
JKA
RK B = dkBJKB
RK AB = dkAB
JKAB
RK G = dkGJKG
g). Statistika uji
RKG
RKAFa
RKGRKB
Fb
RKG
RKABFab
h). Daerah kritik
(1) Dka = {FIF > F :p-1, N-pq}
(2) Dkb = {FIF > F :q-1, N-pq}
(3) Dkab = {FIF > F :(p-1)(q-1), N-pq}
i). Keputusan uji
H0 ditolak jika harga statistika uji yang bersesuaian melebihi harga
kritik masing-masing. (Budiyono, 2000: 226-228)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
3). Rangkuman analisis
Tabel 3.6 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalur
Sumber JK dk RK F ,5 P
Baris
Kolom
Interaksi
Galat
Total
JKA
JKB
JKAB
JKG
JKS
p-1
q-1
(p-1)(q-1)
N-pq
N-1
RKA
RKB
RKAB
RKG
-
Fa
Fb
Fab
-
-
< atau >
< atau >
< atau >
-
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 78
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang maksimal, sebelum dilaksanakan
penelitian terlebih dahulu dilakukan berbagai persiapan penelitian. Adapun hal-hal
yang disiapkan adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan Subyek Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri I Pokoh Kidul
dan SD Negeri III Wuryorejo. Siswa kelas V SD Negeri III Wuryorejo sebagai kelas
eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan siswa kelas V SD Negeri I Pokoh Kidul sebagai kelas kontrol
dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.
2. Uji Keseimbangan
Tujuan dari uji keseimbangan adalah untuk menguji keseimbangan
kemampuan awal antara kelas Contextual Teaching and Learning dan kelas
konvensional sebelum perlakuan. Data untuk uji keseimbangan diambil dari nilai
hasil pretest yang terdiri dari 21 butir soal pilihan ganda. Statistik uji yang digunakan
adalah uji t (uji kesamaan rata-rata).
Berdasarkan tabulasi data untuk kelas Contextual Teaching and Learning
dengan jumlah sampel 32 siswa diperoleh rata-rata 72,1 dan standar deviasi 11,5444,
sedangkan untuk kelas konvensional dengan sampel 34 siswa diperoleh rata-rata 71,6
dan standar deviasi 12,1203.
Berdasarkan hasil uji t diperoleh thitung = , sedangkan DK = {t | t <
1,998 atau t > 1,998}. Karena thitung = DK maka H0 diterima, sehingga
dapat disimpulkan bahwa sebelum perlakuan kelas Contextual Teaching and
Learning dan kelas konvensional mempunyai kemampuan awal yang seimbang.
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14 (hal 222).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
B. Hasil Ujicoba Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal pretest, soal
postest dan soal kemampuan membaca pemahaman. Sebelum instrumen diberikan
kepada subyek penelitian terlebih dahulu dilakukan ujicoba. Tujuan ujicoba adalah
mengukur validitas dan reliabilitas instrumen. Uji coba dilakukan sekali, adapun
subyek ujicoba adalah 32 siswa kelas V SD Negeri II Sendang tahun ajaran 2010/
2011. Dalam penelitian ini uji validitas soal pretest, soal postest dan soal
kemampuan membaca pemahaman dilakukan menggunakan rumus korelasi product
moment. Sedangkan untuk uji reliabilitas digunakan rumus KR-20.
1. Instrumen Soal Pretest
a. Uji Validitas Soal Pretest
Hasil uji validitas menunjukan bahwa instrumen penelitian yang berupa
soal pretest yang berbentuk pilihan ganda sebanyak 25 butir soal diperoleh 21 soal
yang valid, yaitu soal nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
21, 22, 23 dan 25. Sedangkan untuk soal nomor 5, 11, 14 dan 24 dinyatakan tidak
valid. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6 (hal 204).
b. Tingkat Kesukaran Soal Pretest
Soal yang baik adalah soal yang mempunyai tingkat kesukaran yang
memadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Dalam penelitian ini
soal mempunyai tingkat kesukaran yang memadai jika 0,30 P 0,70, dimana
P adalah indeks kesukaran.
Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran dari 25 item soal diperoleh 3
item soal yang tidak memadai yaitu item soal nomor 5 mempunyai indeks
kesukaran 0,91 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 11 mempunyai indeks
kesukaran 0,88 termasuk kriteria mudah, dan item soal nomor 24 mempunyai
indeks kesukaran 0,84 termasuk kriteria mudah. Sedangkan item soal yang lain
mempunyai tingkat kesukaran yang memadai. Perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 6 (hal 204).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
c. Daya Pembeda Soal Pretest
Daya pembeda masing-masing butir soal dilihat dari perbedaan rata- rata
(mean) antara rata-rata dari kelas atas dengan rata-rata dari kelas bawah untuk
tiap-tiap item. Dalam penelitian ini soal dianggap mempunyai daya beda yang
memadai jika memiliki daya beda cukup, yang ditunjukkan dengan D > 0,21,
dimana D adalah indeks daya beda. Berdasarkan hasil uji coba 25 butir soal
terhadap 32 responden menunjukkan bahwa 4 item soal mempunyai daya beda
yang kurang memadai yaitu untuk item soal nomor 5 mempunyai indeks daya
beda 0,06, item soal nomor 11 mempunyai daya beda 0,00, item soal nomor 14
mempunyai daya beda 0,13 dan item soal nomor 24 mempunyai indeks daya beda
0,06, sehingga keempat item soal dianggap tidak baik. Perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 6 (hal 204).
d. Analisis Butir Soal Pretest
Berdasarkan indeks kesukaran dan daya beda yang ditetapkan dari 25
item soal terdapat 4 item soal yang tidak efektif yaitu soal nomor 5, 11, 14 dan 24.
Selanjutnya diperoleh 21 item soal yang mewakili semua indikator yang akan
dipakai untuk menentukan kemampuan awal siswa. Soal-soal yang digunakan
tersebut adalah item soal nomor: 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19,
20, 21, 22, 23 dan 25. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6
(hal 204).
e. Uji Reliabilitas Soal Pretest
Teknik perhitungan yang digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas
menggunakan Kuder Richardson KR-20. Uji reliabilitas dilakukan untuk item soal
yang akan digunakan sebagai instrumen penelitian, sehingga uji reliabilitas hanya
dilakukan untuk 21 soal yang dipakai. Hasil perhitungan diperoleh indeks
reliabilitas dari 21 soal yang dipakai sebesar 0,792 yang berarti instrumen soal
pretest tersebut adalah baik dan reliabel karena nilainya lebih besar dari 0,70.
Perhitungan selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 6 (hal 204).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
2. Instrumen Soal Tes Hasil Belajar (Postest)
a. Uji Validitas Soal Tes Hasil Belajar
Hasil uji validitas menunjukan bahwa instrumen penelitian yang berupa
soal tes hasil belajar yang berbentuk pilihan ganda sebanyak 25 butir soal
diperoleh 22 soal yang valid, yaitu soal nomor 1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24 dan 25. Sedangkan untuk soal nomor 2, 7 dan 22
dinyatakan tidak valid. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7
(hal 209).
b. Tingkat Kesukaran Soal Tes Hasil Belajar
Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran dari 25 item soal diperoleh 3
item soal yang tidak memadai yaitu item soal nomor 2 mempunyai indeks
kesukaran 0,91 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 7 mempunyai indeks
kesukaran 0,84 termasuk kriteria mudah, dan item soal nomor 22 mempunyai
indeks kesukaran 0,88 termasuk kriteria mudah. Sedangkan item soal yang lain
mempunyai tingkat kesukaran yang memadai. Perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 7 (hal 209).
c. Daya Pembeda Soal Tes Hasil Belajar
Berdasarkan hasil uji coba 25 butir soal terhadap 32 responden
menunjukkan bahwa 3 item soal mempunyai daya beda yang kurang memadai
yaitu untuk item soal nomor 2 mempunyai indeks daya beda 0,06, item soal
nomor 7 mempunyai daya beda 0,06, dan item soal nomor 22 mempunyai indeks
daya beda 0,13, sehingga ketiga item soal dianggap tidak baik. Perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7 (hal 209).
d. Analisis Butir Soal Tes Hasil Belajar
Berdasarkan indeks kesukaran dan daya beda yang ditetapkan dari 25
item soal terdapat 3 item soal yang tidak efektif yaitu soal nomor 2, 7 dan 22.
Selanjutnya diperoleh 22 item soal yang mewakili semua indikator yang akan
dipakai untuk menentukan hasil belajar siswa. Soal-soal yang digunakan tersebut
adalah item soal nomor: 1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
20, 21, 23, 24 dan 25. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7
(hal 209).
e. Uji Reliabilitas Soal Tes Hasil Belajar
Hasil perhitungan diperoleh indeks reliabilitas dari 22 soal yang dipakai
sebesar 0,828 yang berarti instrumen soal tes hasil belajar tersebut adalah baik dan
reliabel karena nilainya lebih besar dari 0,70. Perhitungan selengkapnya
ditunjukkan pada Lampiran 7 (hal 209).
3. Instrumen Soal Kemampuan Membaca Pemahaman
a. Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman
Hasil uji validitas menunjukan bahwa instrumen penelitian yang berupa
soal tes kemampuan membaca pemahaman yang berbentuk pilihan ganda
sebanyak 25 butir soal diperoleh 21 soal yang valid, yaitu soal nomor 1, 2, 4, 6, 7,
9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25. Sedangkan untuk
soal nomor 3, 5, 8 dan 14 dinyatakan tidak valid. Perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 8 (hal 212).
b. Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman
Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran dari 25 item soal diperoleh 4
item soal yang tidak memadai yaitu item soal nomor 3 mempunyai indeks
kesukaran 0,97 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 5 mempunyai indeks
kesukaran 0,94 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 8 mempunyai indeks
kesukaran 0,88 termasuk kriteria mudah, dan item soal nomor 14 mempunyai
indeks kesukaran 0,91 termasuk kriteria mudah. Sedangkan item soal yang lain
mempunyai tingkat kesukaran yang memadai. Perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 8 (hal 212).
c. Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman
Berdasarkan hasil uji coba 25 butir soal terhadap 32 responden
menunjukkan bahwa 4 item soal mempunyai daya beda yang kurang memadai
yaitu untuk item soal nomor 3 mempunyai indeks daya beda 0,06, item soal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
nomor 5 mempunyai daya beda 0,00, item soal nomor 8 mempunyai daya beda
0,13, dan item soal nomor 14 mempunyai indeks daya beda 0,06, sehingga
keempat item soal dianggap tidak baik. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 8 (hal 212).
d. Analisis Butir Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman
Berdasarkan indeks kesukaran dan daya beda yang ditetapkan dari 25
item soal terdapat 4 item soal yang tidak efektif yaitu soal nomor 3, 5, 8 dan 14.
Selanjutnya diperoleh 21 item soal yang mewakili semua indikator yang akan
dipakai untuk menentukan kemampuan membaca pemahaman siswa. Soal-soal
yang digunakan tersebut adalah item soal nomor: 1, 2, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25. Perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 8 (hal 212).
e. Uji Reliabilitas Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman
Hasil perhitungan diperoleh indeks reliabilitas dari 21 soal yang dipakai
sebesar 0,801 yang berarti instrumen soal tes kemampuan membaca pemahaman
tersebut adalah baik dan reliabel karena nilainya lebih besar dari 0,70. Perhitungan
selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 8 (hal 212).
C. Deskripsi Data Hasil Penelitian
Data hasil belajar matematika diperoleh dengan alat ukur (instrumen) tes
yang terdiri dari 21 butir soal pilihan ganda.
1. Hasil Belajar Matematika Kelas Contextual Teaching and Learning
Hasil belajar matematika siswa kelas Contextual Teaching and Learning skor
tertinggi 95 dan terendah 55, nilai rata-rata sebesar 76,69 dan nilai standar deviasi
sebesar 10.1963. Hasil pengelompokan dengan interval yang dilakukan terhadap data
hasil belajar siswa kelas Contextual Teaching and Learning dideskripsikan pada
tabel 4.1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Tabel 4.1. Hasil Pengelompokan Data Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual Teaching and Learning.
Interval xi fi fk Frekuensi relatif
51 - 60 55,5 3 3 9%
61 - 70 65,5 5 8 16%
71 - 80 75,5 12 20 34%
81 - 90 85,5 8 28 25%
91 - 100 95,5 4 32 13%
Jumlah 32 100%
Adapun histogram data adalah sebagai berikut
Gambar 3. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual
Teaching and Learning.
2. Hasil Belajar Matematika Kelas Konvensional
Berdasarkan hasil tabulasi data diperoleh skor hasil belajar matematika siswa
kelas konvensional tertinggi 91 dan terendah 55, nilai rata-rata (mean) sebesar 72,74
dan nilai standar deviasi (SD) sebesar 10.4281. Hasil pengelompokan dengan
interval yang dilakukan terhadap data hasil belajar siswa kelas konvensional
dideskripsikan pada tabel 4.2.
35
128
4
02468
1012
51 - 60 61 - 70 71 - 80 81 - 90 91 - 100
Interval
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Tabel 4.2. Hasil Pengelompokan Data Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional
Interval xi fi fk Frekuensi relatif
51 - 60 55,5 6 6 18%
61 - 70 65,5 8 14 24%
71 - 80 75,5 11 25 32%
81 - 90 85,5 7 32 21%
91 - 100 95,5 2 34 6%
Jumlah 34 100%
Adapun histogram data adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional
D. Pengujian Prasyarat Analisis
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data mempunyai
distribusi yang normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan uji Lilliefors.
Hasil uji normalitas dapat dirangkum dalam tabel 4.3 sebagai berikut:
68
117
202468
1012
51 - 60 61 - 70 71 - 80 81 - 90 91 - 100
Interval
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Tabel 4.3. Hasil Uji Normalitas
Hasil belajar N Lhitung Ltabel Keputusan
Kelas Contextual Teaching and
Learning 32 0,0828 0,157 Normal
Kelas Konvensional 34 0,0854 0,152 Normal
Kelompok kemampuan membaca
pemahaman tinggi 34 0,1184 0,152 Normal
Kelompok kemampuan membaca
pemahaman rendah 32 0,1344 0,157 Normal
(Lihat lampiran 21 hal 229)
Pada = 0,05 menunjukkan bahwa harga statistik uji Lhitung dari masing-
masing kelompok lebih kecil dari Ltabel. Dengan demikian diperoleh keputusan uji
bahwa H0 diterima. Ini berarti data hasil belajar dari masing-masing kelompok
berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilaksanakan untuk mengetahui apakah masing-masing
kelompok memiliki variansi yang homogen atau tidak. Uji homogenitas dilakukan
dengan menggunakan uji Bartlett. Hasil uji homogenitas dapat dirangkum dalam
tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4. Hasil Uji Homogenitas
Hasil belajar 2hitung
2tabel Keputusan Kesimpulan
Contextual Teaching
and Learning
dan Konvensional
0,016 3,841 H0 diterima
Variansi-variansi
dari kedua
populasi homogen
Kemampuan membaca
pemahaman tinggi dan
rendah
0,307 3,841 H0 diterima
Variansi-variansi
dari kedua
populasi homogen
(Lihat lampiran 22 hal 233)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Berdasarkan hasil perhitungan uji homogenitas untuk data hasil belajar
matematika siswa diperoleh harga statistik uji 2hitung dari masing-masing kelompok
yang dibandingkan memiliki nilai lebih kecil dari 2tabel. Dengan demikian diperoleh
keputusan uji bahwa H0 diterima, hal ini menunjukkan bahwa data hasil belajar
matematika dari masing-masing kelompok yang dibandingkan memiliki variansi
yang homogen.
E. Uji Hipotesis Penelitian
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis variansi dua
jalur, yaitu untuk melihat perbedaan hasil belajar berdasarkan model pembelajaran
yang digunakan antara model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dan
model pembelajaran Konvensional, selain itu juga berdasarkan tingkat kemampuan
membaca pemahaman (tinggi dan rendah), adapun ringkasan hasil analisis anava dua
jalur dipaparkan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Rangkuman Anava Dua Jalan dengan Frekuensi Sel Tak Sama
Sumber
Variansi Jk dk Rk Fobs F Keputusan
(A) 303,6050 1 303,6050 4,480 3,996 Ho ditolak
(B) 2604,3907 1 2604,3907 38,428 3,996 Ho ditolak
(AB) 13,9335 1 13,9335 0,206 3,996 Ho diterima
(G) 4201,9236 62 67,7730
( T ) 7123,8528 65
( Lihat lampiran 23 hal 237)
Adapun rataan antar sel lengkap dengan rataan marginalnya sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Tabel 4.6. Rangkuman Rataan Antar Sel dan Rataan Marginal
Kemampuan membaca
pemahaman Rataan
marginal Tinggi Rendah
Model
pembelajaran
Contextual Teaching
and Learning 83,44 69,94 76,69
Konvensional 78,22 66,56 72,74
Rataan marginal 80,68 68,25
( Lihat lampiran 21 hal 230, dan lampiran 23 hal 237)
Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan sel tak sama maka dapat
dilakukan pengujian hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Uji hipotesis pertama
Pengujian hipotesis pertama dapat dilihat pada Tabel 4.5 untuk efek utama A
(metode pembelajaran), harga statistik uji FA = 4,480, sedangkan Ftabel pada tingkat
kepercayaan 95% ( = 0,05) dengan dk = (1;62) = 3,996, berarti FA > Ftabel, yaitu
4,480 > 3,996, maka H0 ditolak, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ada
perbedaan hasil belajar ditinjau dari perbedaan metode pembelajaran.
2. Uji hipotesis kedua
Pengujian hipotesis kedua dapat dilihat pada Tabel 4.5 untuk efek utama B
(kemampuan membaca pemahaman), harga statistik uji FB = 38,428, sedangkan Ftabel
pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) dengan dk = (1;62) = 3,996, berarti FB >
Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996, maka H0 ditolak, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa
ada perbedaan hasil belajar ditinjau dari perbedaan kemampuan membaca
pemahaman.
3. Uji hipotesis ketiga
Pengujian hipotesis ketiga dapat dilihat pada Tabel 4.5 untuk efek interaksi AB
(metode pembelajaran dan tingkat kemampuan membaca pemahaman), harga
statistik uji FAB = 0,206, sedangkan Ftabel pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
dengan dk = (1;62) = 3,996, berarti FAB < Ftabel, yaitu 0,206 < 3,996, maka H0
diterima, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada kombinasi efek (interaksi) antara
metode pembelajaran dan kemampuan membaca pemahaman siswa terhadap hasil
belajar.
F. Pembahasan Hasil Analisa Data
1. Hipotesis Pertama
Hipotesis pertama Ada pengaruh
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar
matematika soal cerita siswa Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan untuk sel
tak sama untuk efek utama faktor A (model pembelajaran) diperoleh harga statistik
uji FA > Ftabel, yaitu 4,480 > 3,996, sehingga FA DK, dengan demikian H0A ditolak,
hal ini berarti pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) ada perbedaan hasil belajar
ditinjau dari perbedaan model pembelajaran.
Melihat hasil rataan marginal (Tabel 4.6) rata-rata hasil belajar matematika
dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
diperoleh 76,69, sedangkan rata-rata hasil belajar matematika dengan model
pembelajaran konvensional diperoleh 72,74. Tampak bahwa rata-rata hasil belajar
dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning lebih tinggi daripada
rata-rata hasil belajar dengan model pembelajaran Konvensional. Dengan demikian
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dapat menghasilkan hasil
belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran konvensional,
sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar matematika soal
cerita siswa dapat diterima.
2. Hipotesis Kedua
Hipotesis kedua dalam penelitian ini mengatakan bahwa Ada pengaruh
kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika soal cerita
siswa Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan untuk sel tak sama untuk efek
utama faktor B (kemampuan membaca pemahaman) diperoleh harga statistik uji FB >
Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996 sehingga FB DK dengan demikian H0B ditolak. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
berarti pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) ada perbedaan hasil belajar ditinjau
dari perbedaan kemampuan membaca pemahaman.
Berdasarkan rataan marginal diperoleh rata-rata hasil belajar matematika siswa
yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman tinggi sebesar 80,68 dan rata-
rata hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman rendah
sebesar 68,25. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada pengaruh
kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika soal cerita
siswa dapat diterima.
3. Hipotesis Ketiga
Berdasarkan hasil anava dua jalan dengan sel tak sama diperoleh harga statistik
uji Fab = 0,206 sedangkan Ftabel = 3,996, maka Fab < Ftabel sehingga Fab DK, dengan
demikian H0AB diterima. Hal ini berarti pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05)
tidak terdapat kombinasi efek (interaksi) antara model pembelajaran dan tingkat
kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa. Hal
tersebut menunjukkan siswa yang diberi pembelajaran dengan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning hasil belajarnya akan selalu lebih baik daripada
siswa yang diberi model pembelajaran konvensional baik secara umum maupun
ditinjau dari kategori kemampuan membaca pemahaman. Dengan demikian hipotesis
yang menyatakan tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan tingkat kemampuan membaca pemahaman
terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa dapat diterima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 91
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada
bab-bab sebelumnya, dengan mengacu pada hipotesis yang dirumuskan dan tingkat
kepercayaan 95% ( = 0,05), maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Ada pengaruh antara model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran.
Hasil belajar matematika dengan menerapkan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning lebih baik daripada model pembelajaran konvensional,
dengan harga statistik uji FA > Ftabel, yaitu 4,480 > 3,996 dan rata-rata nilai hasil
belajar dari siswa yang dikenai model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning lebih besar dari model pembelajaran konvensional, yaitu 76,69 > 72,74.
2. Ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kemampuan membaca pemahaman
siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan harga statistik uji Fb >
Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996 dan rata-rata hasil belajar matematika siswa yang
mempunyai kemampuan membaca pemahaman tinggi lebih besar daripada rata-
rata hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman
rendah yaitu 80,68 > 68,25 .
3. Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan tingkat
kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa,
dengan dengan harga statistik uji Fab < Ftabel, yaitu 0,206 < 3,996.
B. Implikasi
1. Implikasi terhadap Penerapan Model Pembelajaran Matematika
Temuan bahwa model pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada model
pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa
ditinjau dari kemampuan membaca pemahaman siswa, memberikan petunjuk bahwa
dalam pembelajaran matematika, model pembelajaran kontekstual lebih tepat untuk
diterapkan dari pada model pembelajaran konvensional. Penerapan model
pembelajaran kontekstual dalam pelajaran matematika berimplikasi terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92 perencanaan dan pengembangan model pembelajaran matematika selanjutnya. Guru
harus lebih menekankan pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk membuat
keterkaitan-keterkaitan dari setiap materi yang siswa alami, sehingga siswa dapat
menemukan makna dari pengalaman mereka sendiri. Mengaitkan pembelajaran
dengan kehidupan siswa membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan
inilah inti dari pembelajaran kontekstual.
2. Implikasi terhadap Peran Guru
Upaya penerapan model pembelajaran kontekstual dalam pelajaran
matematika menuntut perubahan peran guru. Implikasi model kontekstual dalam
pembelajaran adalah kegiatan aktif siswa dalam usaha membangun sendiri
pengetahuannya. Siswa diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri dari apa yang
mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan
kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan siswa bertanggung jawab
atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertian yang lama dalam situasi belajar
yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya
dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui
dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru. Dalam upaya untuk
menumbuhkan dan mengembangkan situasi yang kondusif. Dalam pembelajaran
guru hendaknya mengambil posisi sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.
Peran sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran akan memberikan kesempatan
yang luas kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dan argumentasinya.
C. Saran
1. Bagi Kepala Sekolah
Kepala sekolah diharapkan dapat memberikan perhatian dan dukungan
secara penuh terhadap penerapan dan pengembangan model pembelajaran
kontekstual di sekolah secara umum. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dengan
menerapkan model kontekstual mengharuskan siswa untuk mengaitkan materi
pelajaran dengan kehidupan siswa sebenarnya. Hal ini juga tidak lepas dari
kebutuhan akan media pembelajaran. Oleh karena itu kepala sekolah diharapkan
dapat memberikan dukungan dan fasilitas belajar siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
2. Bagi Guru
Guru disarankan untuk menggunakan model belajar Contextual Teaching
and Learning (CTL) sebagai model belajar alternatif dalam pembelajaran matematika
khususnya soal cerita. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan
sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
(a) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa. (b) Memberi
kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri. (c) Menyadarkan
siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
3. Bagi Siswa
Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dengan menerapkan
model kontekstual. Belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling
mengoreksi. Pengetahuan yang dimiliki siswa dikembangkan oleh siswa sendiri.
Berfikir kritis, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran dengan
menerapkan model kontekstual yang efektif agar sebagai dampaknya siswa dapat
berkerja dengan masyarakat dan menerapkan materi pembelajaran dalam kehidupan
sehari-hari
4. Bagi Para Peneliti
Untuk kesempurnaan penelitian ini, disarankan kepada peneliti untuk
mengadakan penelitian lanjutan dengan melibatkan variabel moderator lain, seperti
sikap, motivasi, IQ, pengetahuan verbal dan lain-lain, sehingga dapat meningkatkan
hasil belajar matematika siswa. Di samping itu disarankan pula untuk memperbanyak
jumlah populasi dan sampel penelitian, serta menambah waktu pelaksanaan
penelitian.