Transcript
Page 1: Special Study Revised

SPECIAL STUDY

ANEMIA APLASTIK

Nama : I Kadek Juniadi Dwipayana

NIM : 0602005137

Semester : VII

Kelas : A

Penyelia : dr. I Nyoman Wande, Sp. PK

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar

2010

Page 2: Special Study Revised

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya laporan Spesial Studi dengan judul

“Anemia Aplastik” dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Keberhasilan itu sudah tentu karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. I W. P. Sutirta Yasa, M.Si selaku Ketua Program Special Study

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2. Kepala Bagian, dokter-dokter dan staf pegawai Laboratorium PK RSUP

Sanglah

3. dr. I Nyoman Wande, Sp. PK selaku pembimbing

4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini yang tidak

dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa laporan Special Study ini masih jauh dari harapan. Oleh

karena itu, kritik dan saran-saran demi perbaikan laporan ini sangat diharapkan agar

dapat bermanfaat untuk program Special Study selanjutnya. Terima Kasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, 22 Januari 2010

Penulis

ii

Page 3: Special Study Revised

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 2.1 Mekanisme patogenesis imunologi pada anemia aplastik.................... 6

Gambar 2.2 Selularitas sumsum tulang.................................................................... 8

Gambar 2.3 Algoritma penatalaksanaan pada pasien dengan anemia aplastik......... 13

Tabel 2.1 Klasifikasi etiologi anemia aplastik...................................................... 5

Tabel 2.2 Hasil pemeriksaan laboratorium pada anemia aplastik......................... 9

iii

Page 4: Special Study Revised

DAFTAR SINGKATAN

Allo-BMT : Allogenic – Bone Marrow Transplant

Allo-PBT : Allogenic – Peripheral Blood Transplant

ATG : Anti Thymosit Globulin

CSA : Cyclosporin Agent

FBC : Full Blood Count

G-CSF : Granulocyte Colony - Stimulating Factor

HCL : Hairy Cell Leukimia

HLA : Human Leukosit Antigen

IAAAS : The International Agranulocytosis and Anemia Aplastic Study

IL-2 : Interleukin -2

INF-γ : Interferon –γ

IST : Immunosuppressive Therapy

MDS : Myelodysplastic Syndrome

MUD : Matched Unrelated Donor

NSAID : Non Steroid Anti Inflamatory Drugs

PNH : Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria

TNF-α : Tumor Necrosis Factor –α

UCB : Umbilical Cord Blood

iv

Page 5: Special Study Revised

DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................................. i

Kata Pengantar.............................................................................................................. ii

Daftar Gambar dan Tabel............................................................................................. iii

Daftar Singkatan........................................................................................................... iv

Daftar Isi....................................................................................................................... v

Abstact.......................................................................................................................... vi

Abstrak.......................................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3

2.1 Definisi Anemia Aplastik.......................................................................... 3

2.2 Epidemiologi............................................................................................. 3

2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik...................................................................... 4

2.4 Etiologi Anemia Aplastik.......................................................................... 4

2.5 Patogenesis................................................................................................ 5

2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisik.................................................................... 6

2.7 Pemeriksaan Penunjang............................................................................. 7

2.8 Diagnosis................................................................................................... 9

2.9 Diagnosis Banding..................................................................................... 9

2.10 Penatalaksanaan......................................................................................... 10

2.11 Prognosis................................................................................................... 13

BAB III RINGKASAN............................................................................................... 14

Daftar Pustaka............................................................................................................... 16

Lampiran

Log Book

Referensi

v

Page 6: Special Study Revised

Abstract

In aplastic anemia, hematopoiesis fails: Blood cell counts are extremely low, and bone

marrow hypocellular. The pathophysiology of aplastic anemia is now believed to be

immunemediated, with active destruction of blood-forming cells by lymphocytes. The

aberrant immune response may be triggered by environmental exposures, such as to

chemicals and drugs or viral infections and, perhaps, endogenous antigens generated by

genetically altered bone marrow cells. Aplastic anaemia is classified as non-severe,

severe, or very severe on the basis of the degree of peripheral-blood pancytopenia.

Clinical manifestations are proportional to the peripheral-blood cytopenias and can

include dyspnoea on exertion, fatigue, easy bruising, petechiae, epistaxis, gingival

bleeding, heavy menses, headache, and fever. A complete blood count, leucocyte

differential, reticulocyte count, and a bone-marrow aspirate and biopsy can establish the

diagnosis. Peripheral-blood flow cytometry to rule out paroxysmal nocturnal

haemoglobinuria and bone-marrow karyotyping to help exclude hypoplastic

myelodysplastic syndromes should be done for all patients. Aplastic anemia can be

effectively treated by stem-cell transplantation or immunosuppressive therapy.

Transplantation is curative but is best used for younger patients who have

histocompatible sibling donors.

Key Word: aplastic anemia, bone marrow hypocellular, pancytopenia, complete blood

count, bone-marrow aspirate and biopsy

vi

Page 7: Special Study Revised

Abstrak

Pada anemia aplastik, terjadi kegagalan hematopoetik: hitung sel darahnya sangat

rendah, dan terjadi hiposelularitas sumsum tulang. Patogenesis dari anemia aplastik

dipercaya sebagai suatu proses imunologi, dengan kerusakan aktif dari sel darah oleh sel

limfosit. Respon imun yang tidak normal mungkin dipacu oleh paparan lingkungan,

seperti bahan kimia dan obat atau infeksi virus serta antigen endogen yang dihasilkan

oleh sumsum tulang yang rusak secara genetik. Anemia aplastik diklasifikasikan

menjadi anemia aplastik tidak berat, berat, dan sangat berat berdasarkan derajat

pansitopenia pada darah tepi. Manifestasi klinis anemia aplastik sebanding dengan

derajat sitopeni darah tepi yang dialami, yang dapat berupa sesak nafas saat beraktifitas,

lemah, mudah memar, petekhi, epistaksis, gusi berdarah, menstruasi berat, sakit kepala,

dan demam. Penghitungan darah lengkap, hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan

aspirasi biopsi sumsum tulang merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis.

Peripheral-blood flow cytometry untuk mengeksklusi paroxysmal nocturnal

haemoglobinuria dan bone-marrow karyotyping untuk mengeksklusi hypoplastic

myelodysplastic syndrome perlu dilakukan pada pasien. Anemia aplastik dapat diterapi

dengan transplantasi sumsum tulang atau terapi imunosupresif. Transplantasi

merupakan terapi yang terbaik pada pasien dengan usia muda dan memiliki donor yang

cocok dari saudara terdekat.

Kata kunci: anemia aplastik, hiposelularitas sumsum tulang, pansitopenia,

penghitungan darah lengkap, aspirasi biopsi sumsum tulang.

vii

Page 8: Special Study Revised

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan

komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum

tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita

mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah

merah, sel darah putih, dan trombosit.(1)Aplastik anemia diidentifikasi pada tahun 1988

ketika dr. Paul Ehrlich, ahli patologi German, mempelajari kasus dari wanita hamil yang

meninggal karena kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan otopsi terhadap pasien

tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular.(2)

Insiden anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 7

kasus persejuta penduduk pertahun. Insiden anemia aplastik diperkirakan lebih sering

terjadi di Asia dari pada di Barat. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan

paparan terhadap faktor lingkungan seperti virus, obat-obatan, bahan kimia, faktor

genetik, kreteria diagnosis, dan desain studi.(3,4) Penelitian yang dilakukan di Thailand

menunjukkan peningkatan paparan dengan benzene dan kloramfenikol sebagai etiologi

yang tersering.(5)

Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan

salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti

dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga

diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.(1,5)

Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan sumsum tulang. Tanda dan

gejala yang ada pada pasien merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. (2) Namun,

gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling

berat. Diagnosis pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan

pemeriksaan sumsum tulang.(6) Penegakkan diagnosis secara dini sangatlah penting

sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh semakin besar.

Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak

dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit

1

Page 9: Special Study Revised

saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan. Semakin berat

hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek.(7) Dengan perawatan yang

baku berupa transplantasi sumsum tulang dan terapi imunosupresif, 70% sampai 90%

kasus anemia aplastik dapat pulih kemabali.(2)

2

Page 10: Special Study Revised

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anemia Aplastik

Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai dengan berkurangnya

sel induk hematopoetik dan sel progenitor, hiposelularitas sumsum tulang, dan

pansitopenia darah tepi.(1) Aplastik anemia diidentifikasi pada tahun 1988 ketika

dr. Paul Ehrlich, ahli patologi German, mempelajari kasus dari wanita hamil yang

meninggal karena kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan otopsi terhadap pasien

tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular.(2)

2.2 Epidemiologi

Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Angka

kejadiannya bervariasi di seluruh dunia, The International Agranulocytosis and

Aplastic Anemia Study (IAAAS) memperkirakan terdapat 2 kasus persejuta

populasi pertahun di Eropa dan Israel.(4,5) Di Barcelona, insiden anemia aplastik

tercatat 2,3 kasus persejuta populasi pertahun.(3) Pada penelitian di Bangkok

diperkirakan terdapat 3,9 kasus persejuta populasi pertahun, di Khonkaen terdapat

5 kasus persejuta pertahun, dan Cina terdapat 7,4 kasus persejuta pertahun.(5,8)

Data tersebut dapat memperlihatkan angka insiden di Asia 2-3 kali lebih tinggi

dari pada di Barat. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan paparan

terhadap faktor lingkungan seperti virus, obat-obatan, bahan kimia, faktor genetik,

kreteria diagnosis, dan desain studi.(3,4)

Frekuensi tertinggi dari anemia aplastik tejadi pada orang dengan umur

diatas 65 tahun yaitu 5,33 kasus persujuta populasi pertahun dan diikuti pada

orang dengan umur 15-24 tahun yaitu 2,16 kasus persejuta populasi pertahun.

IAAAS menyebutkan kasus anemia aplastik pada perempuan lebih tinggi daripada

laki-laki, namun di Thailand kasus anemia aplastik pada laki-laki hampir dua kali

dari kasus perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan

oleh perbedaan risiko pekerjaan dan lingkungan.(3)

3

Page 11: Special Study Revised

2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik

Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahannya dari kreteria

diagnosis standar untuk anemia aplastik.(4)

1. Anemia Aplastik Berat (Severe Aplastic Anemia)

a. Darah tepi memperlihatkan paling tidak dua dari karakteristik berikut:

i. Hitung neutrofil absolut < 0,5x109/L

ii. Hitung platelet < 20x109/L

iii. Hitung retikulosit < 20x109/L

b. Sumsum tulang memperlihatkan:

Selularitas < 25% dari normal atau selularitas 25% - 50% dari normal

dengan < 30% dari sisa sel masih hematopoetik

2. Anemia Aplastik Sangat Berat (Very Severe Aplastik Anemia)

Darah tepi dan sumsum tulang memperlihatkan hasil yang sama, kecuali

hitung neutrofil absolut < 0,2x109/L

3. Anemia Aplastik Tidak Berat (Non Severe Aplastic Anemia)

a. Darah tepi memperlihatkan paling tidak dua dari karakteristik berikut:

i. Hitung hemoglobin < 10 g/dl atau hematokrit < 30%

ii. Hitung leukosit total < 3,5x109/L

iii. Hitung platelet < 50x109/L

b. Sumsum tulang memperlihatkan:

i. Selularitas yang menurun dengan tidak ada atau penurunan semua

sel hematopoetik atau selularitas yang normal dikaitan dengan focal

erythoid hyperplasia dengan penurunan sel granulosit dan

megakaryosit.

ii. Tidak ada fibrosis yang signifikan dan atau infiltrasi neoplastik

2.4 Etiologi Anemia Aplastik

Anemia aplastik dapat menyerang siapa saja dari umur, ras, atau jenis

kelamin yang berbeda. Sebagian besar kasus anemia aplastik merupakan kasus

idiopatik. Kira-kira 15% - 25% dari anemia aplastik didapat muncul sebagai

reaksi idiosyncratic pada berbagai obat-obatan, paparan terhadap beberapa bahan

kimia, atau virus.(1,5) Kasus anemia aplastik herediter biasanya jarang terjadi.(2)

4

Page 12: Special Study Revised

Tabel 2.1 Klasifikasi etiologi anemia aplastik.(2,5,8,9)

Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)Anemia aplastik sekunderRadiasiBahan-bahan kimia dan obat-obatan

Efek regularBahan-bahan sitotoksikBenzene

Reaksi idiosinkratikKloramfenikolNSAIDAnti epileptikEmasBahan-bahan kimia dan obat-obatan lainnya

VirusVirus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)Human Immunodeficiency Virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)

Penyakit-penyakit imunologiEosinofilik fasciitisHipoimunoglobulinemiaTimoma dan carcinoma timusPenyakit graft-versus-host pada imunodefisiensiParoksismal nokturnal hemoglobinuriaKehamilan

Anemia aplastik primer (idiopatik)Anemia Aplatik yang Diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)Anemia FanconiDiskeratosis kongenitaSindrom Shwachman-DiamondDisgenesis reticularAmegakariositik trombositopeniaAnemia aplastik familialPreleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

2.5 Patogenesis

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan patogenesis dari

anemia aplastik, namun hingga saat ini masih belum diketahui secara tuntas. Dari

penelitian-penelitian tersebut, diperkirakan ada tiga mekanisme yang menjelaskan

terjadinya anemia aplastik yaitu kerusakan sel hematopoetik, kerusakan

lingkungan mikro sumsum tulang, dan proses imunologik yang menekan

hematopoetik.

Kerusakan sel induk hematopoetik yang dimediasi oleh sistem imun

mungkin merupakan mekanisme utama patogenesis anemia aplastik. Imun sistem

bereaksi menyerang sumsum tulang dan mempengaruhi kemampuannya dalam

membuat sel darah. Hal ini dibuktikan dengan penurunan lebih dari sepuluh kali

5

Page 13: Special Study Revised

jumlah sel CD34+ pada pasien dengan anemia aplastik yang dideteksi dengan flow

cytometry dibandingkan dengan sel CD34+ pada orang normal.(1) Sel induk yang

rusak tidak dapat digantikan, dan sisanya berkerja tidak efektif. Sehingga sel

darah merah, sel darah putih, dan platelet berkurang.

Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit

sitotoksik (CD4 atau CD8) berperan dalam menghambat proliferasi dan

mencetuskan kematian sel induk hematopoetik dengan meningkatkan produksi

dan aktivasi interferon -γ (INF-γ), tumor necrosis factor -α (TNF-α), dan Fas-

ligand. Sel T limfosit sitotoksik (CD4 atau CD8) ini juga mengsekresikan IL-2

yang mamicu proliferasi dirinya sendiri.(1,10)

Gambar 2.1 Mekanisme patogenesis imunologi pada anemia aplastik.Sitotoksik CD4 atau CD8 mengsekresikan IL-2 yang memicu proliferasi dirinya sendiri dan aktivasi INF-γ, TNF, Fas-ligand melalui reseptornya di target sel hematopoetik yang memicu kematiannya.(10)

2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisik

Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala

yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut.(2) Pada kebanyakan pasien,

gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau

pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan. Pada

anemia aplastik tidak berat penderita mungkin tidak memperlihatkan gejala

apapun.(1)

Hipoplasia eritropoetik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-

gejala anemia antara lain lemah, sesak saat beraktivitas, pusing, palpitasi,

takikardi, murmur, pucat pada kulit, dan mukosa.(1)

6

Page 14: Special Study Revised

Pengurangan elemen leukopoesis menyebabkan granulositopenia yang akan

menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan

keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.(1)

Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan yang sulit dihentikan.

Perdarahan yang berhubungan dengan trombositopenia termasuk epistaksis,

ekimosis, petekie, atau pendarahan di saluran pencernaan, saluran kemih kelamin

dan organ-organ.(1)

Tidak ditemukan adanya hepatosplenomegali dan limfadenopati.(11)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin yang biasa dilakukan meliputi hitung sel

darah merah, hitung sel darah putih, hemoglobin, hitung diferensial sel darah

putih, pengecatan sel darah tepi, hitung trombosit, dan hitung retikulosit.

Pemeriksaan tambahan yang mungkin dilakukan yaitu pembacaan hematokrit,

bleeding time, clot retraction time, capillary resistance test, besi serum dan

pemeriksaan sumsum tulang

2.7.1 Pemeriksaan Darah

Pada pemeriksaan ini ditemukan adanya pansitopenia, yaitu

penurunan jumlah dari semua sel darah. Karena produksi dari sel darah

menurun, maka tes-tes berikut menunjukkan hasil dibawah normal: Hitung

sel darah merah, hitung sel darah putih, determinasi hemoglobin,

pembacaan hematokrit, dan hitung trombosit. Hitung retikulosit biasanya

menurun.(12)

Karena sumsum tulang tidak memproduksi granulosit, hitung

diferensial sel darah putih menunjukkan penurunan granulosit dan

peningkatan limfosit (limfosit lebih banyak diproduksi di sistem limfatik

dari pada sumsum tulang).(12)

Hasil hitung trombosit yang rendah menyebabkan bleeding time

yang meningkat, clot retraction time yang meningkat, dan capillary

resistance test yang positif.(12)

Karena produksi sel darah merah menurun, besi yang biasanya

digunakan dalam pembentukan sel darah merah menjadi tidak berguna dan

7

Page 15: Special Study Revised

bertambah banyak di aliran darah dengan cepat. Sehingga pada

pemeriksaan besi serum memperlihatkan hasil yang meningkat.(12)

Hapusan sel darah merah dapat menunjukan hasil normositik atau

makrositik tanpa ada abnormalitas morfologi. Penampakan platelet

normal.(1)

2.7.2 Pemeriksaan Sumsum Tulang

Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk penilaian selularitas yang

akurat. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang menunjukkan hiposelularitas

dengan sel lemak yang menonjol dan selularitas yang sedikit. Sel blast,

granulositik dan megakariositik menurun atau tidak ada sama sekali.

Pewarnaan retikulin normal. Mungkin ditemukan limfosit, plasma sel, dan

makrofag. Walaupun mungkin ditemukan dyserythropoesis, tidak ada

displasia dari granulosit atau megakariosit.(1)

Gambar 2.2 Selularitas sumsum tulang.A. Selularitas pada sumsum tulang normal. B. Selularitas pada sumsum tulang anemia aplastik. Pewarnaan hematoxylin dan eosin, pada pembesaran 400x.(13)

2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium yang Lain

Terdapat penurunan marker pada sel CD34+ yang diukur dengan flow

cytometry dan kuantitasnya mungkin tetap rendah walaupun sudah terjadi

perbaikan hematopoetik. Level serum eritropoetin and growth factor

meningkat. Tes fungsi hati mungkin abnormal apabila anemia aplastik

disebabkan karena hepatitis akut.(1)

8

A B

Page 16: Special Study Revised

Tabel 2.2 Hasil pemeriksaan laboratorium pada anemia aplastik.(12)

2.8 Diagnosis

Diagnosis pasti dari anemia aplastik ditegakkan dengan pemeriksaan darah

dan pemeriksaan sumsum tulang. Pada pemeriksaan tersebut akan ditemukan

adanya pansitopenia pada pemeriksaan darah dan selularitas yang menurun pada

pemeriksaan sumsum tulang pada pasien.(6) Variasi hasil pemeriksaan

diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat keparahan dari anemia aplastik sesuai

dengan klasifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya.

2.9 Diagnosis Banding

Sangat penting untuk membedakan anemia aplastik dengan penyakit lain

yang memiliki kondisi yang sama, sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.

Beberapa kondisi dengan penampakan yang sama dengan anemia palstik yaitu

9

Page 17: Special Study Revised

paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH), myelodysplastic syndrome (MDS),

dan hypocellular acute leukemia.(1)

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria dan anemia aplastik memiliki

kesamaan berupa adanya pansitopenia, makrositosis, dan hiposelular sumsum

tulang. Namun pasien dengan PNH primer memperlihatkan retikulosis dan bukti

hemolisis scara klinis dan biokimia. Metode yang sensitif untuk mendeteksi sel

PNH adalah flow cytometry. Classical sucrose hemolysis test dan Ham test untuk

complement-mediated hemolysis mungkin menunjukkan hasil yang positif.

Anemia aplastik didapat juga memiliki gambaran yang sama dengan

myelodysplastic syndrome dimana pada keduanya terdapat pansitopenia,

makrositosis, dan dyserythropoesis. Walaupun sumsum tulang pada MDS

biasanya hiperselular,(13) 20% dari kasus MDS dapat memperlihatkan gambaran

hiposelular. MDS memiliki gambaran tambahan yang tidak muncul di anemia

aplastik didapat seperti dispoesis dari granulocytic dan megakaryocyte cells,

peningkatan blasts dan peningkatan reticulin pada sumsum tulang. Kira-kira 20%

dari pasien dengan anemia aplastik didapat berkembangan menjadi MDS selama

perjalanan penyakitnya.

Pada hypocellular acute leukemia ditemukan peningkatan blasts dan

reticulin pada sumsum tulang. Pada hairy cell leukemia (HCL) ditemukan

pansitopenia, tetapi ada fibrosis pada sumsum tulang dengan sebagian besar

pasien mengalami splenomegali. Anemia aplastik didapat mungkin sama dengan

Fanconi Anemia, suatu aplasia kongenital yang sering didiagnosis saat anak-anak

tapi muncul pada saat dewasa. Tes genetik mitomycin-c induced chromosome

breakage merupakan karakteristik Fanconi Anemia.

2.10 Penatalaksanaan

Terdapat beberapa prinsip penatalaksanaan anemia aplastik yaitu sebagai

berikut:

2.10.1 Menghindari agen penyebab

Salah satu tipe dari anemia aplastik adalah anemia aplastik didapat.

Pada anemia aplastik ini, terjadi interaksi antara agen-agen penyebab yang

dapat berupa obat-obatan, bahan-bahan kimia dan radiasi dengan tubuh

10

Page 18: Special Study Revised

manusia, sehingga untuk terapinya adalah dengan menghindari agen-agen

penyebab tersebut.(12)

2.10.2 Terapi Imunosupresif

Terapi ini adalah berdasarkan fakta bahwa adanya reaksi imunologi

pada anemia aplastik idiopatik. Tujuan dari terapi imunosupresif (IST)

adalah untuk mencegah sel T menyerang sel hematopoetik dengan

menurunkan jumlah sel T yang aktif dan menghambat kerja dari sel T

tersebut.(1)

Kombinasi IST dengan anti thymosit globulin (ATG) dan

cyclosporin agent (CSA) memberikan respon yang lebih baik (mortality

rate 7%) dibadingkan dengan pemberian secara individual (mortality rate

12%).(14,15) ATG berakibat pada sitolisis atau penurunan dari sel T dengan

penanda dari antigen permukaan, sedangkan CSA menghambat aktivasi sel

T dan mengeluarkan sitokin.(1,16)

Jika terapi tidak merespon atau kerjadi kekambuhan maka terapi IST

dapat dilakukan kembali sampai tiga kali.

2.10.3 Transplantasi Allo-PBT/CD34+ (Allogenic Peripheralperal Blood

Transplant)

Allogenic PBT/CD34+ pada pasien dengan anemia aplastik

merupakan prosedur yang aman dengan angka kecocokan dari mortalitas

transplant, engraftment yang cepat, dan insiden GVHD (Graft versus Host

Diseases) yang rendah setelah transplantasi. Namun demikian angka

kematian dengan transplantasi ini sedikit lebih tinggi dari pada terapi

allogenic bone marrow transplant (Allo-BMT).(17)

2.10.4 Transplantasi Sumsum Tulang Allo-BMT (Allogenic Bone Marrow

Transplant)

Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi yang rasional bagi

penderita anemia aplastik. Pada terapi ini dilakukan penggantian sumsum

tulang yang kurang atau rusak pada pasien dengan sumsum tulang yang

baru dari donor. Terapi Allo-BMT merupakan pilihan bagi penderita

anemia aplastik yang berumur dibawah 40 tahun dan memiliki saudara

terdekat dengan HLA indentik dimana harapan hidupnya 91%.(16,18)

11

Page 19: Special Study Revised

Sebanyak 70% dari penderita anemia aplastik berat, tidak dapat memilih

Allo-BMT sebagai terapi pilihan karena umur penderita yang sudah tua

atau donor yang tidak cocok dengan penderita sehingga terapi

imunosupresif menjadi terapi pilihan.(1)

2.10.5 Terapi Suportif

Terapi suportif untuk trombositopenia dan anemia adalah transfusi

trombosit jika hitung trombosit kurang dari 10x109/L dan transfusi sel

darah merah untuk mengatasi gejala-gejala anemia. Antibiotik dan

antifungal digunakan untuk profilaksis pada pasien dengan neutrofilia

yang berkepanjangan. Penggunaan eritropoetin dan faktor-faktor

pertumbuhan tidak disarankan sebagai terapi primer karena kurang efektif

dan efek samping yang serius. Kortikosteroid tidak dianjurkan, karena

apabila diberikan dalam dosis rendah obat ini tidak akan berefek,

sebaliknya apabila diberikan dalam dosis tinggi obat ini akan memberikan

efek toksik yang berlebihan.(1)

Pasien dengan transfusi independen tidak memerlukan terapi namun

harus dimonitor pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah tepi yang

abnormal.

Walaupun anemia aplastik didapat pada umumnya suatu kelainan yang

kronis, suatu proporsi kecil tentang pasien dengan anemia aplastik telah

dilaporkan remisi secara spontan tanpa pengobatan spesifik seperti transplantasi

sumsum tulang atau terapi imunosupresif. Dari hasil penelitian didapatkan 18

(13%) dari 136 pasien mengalami remisi spontan pada rata-rata 14 hari, dimana

14 pasien (78%) mengalami remisi spontan tanpa relap. Terdapat beberapa faktor

prediktif yang mempengaruhi remisi spontan yaitu adanya infeksi saat diagnosis,

obat atau bahan kimia sebagai etiologi, dan serum albumin yang kurang dari 3,4

g/dl.(7)

12

Page 20: Special Study Revised

Gambar 2.3 Algoritma terapi dari pasien dengan anemia aplastik.(18)

2.11 Prognosis

Anemia aplastik merupakan penyakit yang serius dan memerlukan

penangan medis segera. Belasan tahun yang lalu tidak ada terapi untuk anemia

aplastik dan dipertimbangkan sebagai suatu penyakit yang fatal. Apabila tidak

diterapi maka prognosis dari anemia aplastik sangatlah buruk. Hanya 13% dari

pasien yang mungkin mengalami sembuh spontan.(7) Sekarang, dengan perawatan

yang baku berupa transplantasi sumsum tulang dan terapi imunosupresif, 70%

sampai 90% kasus anemia aplastik dapat pulih kembali.(2)

13

Page 21: Special Study Revised

BAB III

RINGKASAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan

produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada

darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel

darah putih, dan trombosit).(1)

Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidennya

bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 7 kasus persejuta penduduk

pertahun. Angka insiden di Asia 2 - 3 kali lebih tinggi dari pada di Barat. (3,4) Hal ini

mungkin disebabkan karena perbedaan paparan terhadap faktor lingkungan seperti

virus, obat-obatan, bahan kimia, faktor genetik, kreteria diagnosis, dan desain studi.(1)

Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan

terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan

seperti Anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan

idiopatik.(1,2,5)

Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang

timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut.(2) Hipoplasia eritropoetik akan

menimbulkan anemia dengan gejala lemah, sesak saat beraktivitas, pusing, palpitasi,

takikardi, murmur, pucat pada kulit, dan mukosa.(1) Pengurangan elemen leukopoesis

menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan

dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.(1) Trombositopenia dapat

mengakibatkan pendarahan yang sulit dihentikan berupa epistaksis, ekimosis, petekie,

atau pendarahan di saluran pencernaan, saluran kemih kelamin dan organ-organ. (1)

Tidak ditemukan adanya hepatosplenomegali dan limfadenopati.(11)

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya penurunan hemoglobin, hitung

eritrosit, hitung leukosit, dan hitung trombosit. Pemeriksaan darah tepi akan

menunjukkan eritrosit yang normokromik normositer. Pemeriksaan aspirasi sumsum

tulang pada pasien anemia aplastik merupakan pemeriksaan yang esensial. Pada

pemeriksaan ini akan ditemukan sumsum tulang yang hiposelular dengan penurunan

elemen mieloid, eritroid, dan megakaryosit.(11)

14

Page 22: Special Study Revised

Anemia aplastik tidak berat memiliki gambaran sumsum tulang yang hiposelular

dan dua dari tiga kriteria (hemoglobin <10 g/dl atau hematokrit <30%, leukosit total

<3,5x109/L, platelet <50x109/L). Anemia aplastik berat memiliki seluraritas sumsum

tulang <25% atau 25% - 50% dengan <30% sel masih hematopoietik, dan dua dari tiga

kriteria (neutrofil absolut <0,5x109/L, platelet <20x109/L, retikulosit <20x109/L).

Anemia aplastik sangat berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali neutrofil

<0,2x109/L.(4)

Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia

aplastik harus dihentikan.(12) Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu

dengan transfusi sel darah merah dan trombosit. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi

juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi standar untuk

anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien

yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan

sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang

mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.(1)

Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia pasien,

ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum tulang

allogenik.(2)

15

Page 23: Special Study Revised

DAFTAR PUSTAKA

1 Keohame EM. Acquiered Aplastic Anemia. Clinical Laboratory Science. 2004; 17(3): 165-171

2 Baker M. Acquired Aplastic Anemia Basic Explaination, Maryland, USA: Aplastic Anemia & MDS International Foundation, Inc. 2003; 1:1-8. Available in: www.aamds.org

3 Montané E, Ibáñez L, Vidal X, Ballarin E, Puig R, García N, Laporte JR, et al. Epidemiology of aplastic anemia: a prospective multicenter study. Haematologica. 2008; 93(4): 518-523

4 Shaikh MA, Hussianabbasi A, Solangi HA, Maheshwari N, Kumari D. Evaluation of Aplastic Anemia. Medical Channel. 2009; 15(3): 22-24

5 Issaragrisil S, Kaufman DW, Anderson T, et al. The epidemiology of aplastic anemia in Thailand. Blood. 2006; 107(4): 1299-1307

6 Nakao S, Feng X, Sugimori C. Immune Pathophysiology of Aplastic Anemia. Int J Hematol. 2005; 82:196-200

7 Hwan J, Rok Y. Spontaneous remission of aplastic anemia: a retrospective analysis. Haematologica. 2001; 86(9): 928-933

8 Young NS, Kaufman DW. The epidemiology of acquired aplastic anemia. Haematologica. 2008; 93(4): 489-492

9 Young NS. Harrison’s Principle of Internal Medicine. New York, USA: McGraw Hill. 2005; 16: 617-626.

10

Corbeel L. Immune-mediated aplastic anaemia. Eur J Pediatr. 2005; 164: 698–699

11

Asaad SH. Internal Medicine 2008 Haematology. Alexandria, Egypt: AlexMedOnline Student. 2008; 1: 23-35. Available in: www.alexmedonline.com/students

12

Seiverd CE. Hematology for Medical Technologists. Philadelphia, USA: Lea and Febiger. 1983; 5: 655-657

13

Bennett JM, Orazi A. Diagnostic criteria to distinguish hypocellular acute myeloid leukemia from hypocellular myelodysplastic syndromes and aplastic anemia: recommendations for a standardized approach. Haematologica. 2009; 94(2): 264-268.

14

Yamazaki H, Sugimori C, Chuhjo T, Nakaoa S. Cyclosporine Therapy for Acquired Aplastic Anemia: Predictive Factors for the Response and Long-term Prognosis. Int J Hematol. 2007; 85:186-190

15

Passweg JR, Tichelli A. Immunosuppressive treatment for aplastic anemia: are we hitting the ceiling?. Haematologica. 2009; 94(3): 310-312

16

Page 24: Special Study Revised

16

Bacigalupo A. Aplastik Anemia: Pathogenesis and Treatment. Hematology. 2007; 23-28

17

Rubia J, Cantero S, Sanz GF et al. Transplantation of CD34+ selected peripheral blood to HLA-identical sibling patients with aplastic anaemia: results from a single institution. Bone Marrow Transplantation. 2005; 36: 325-329

18

Marsh J. Making Therapeutic Decisions in Adult with Aplastic Anemia. Hematology. 2006. 78-85

17


Top Related