Download - Sosio kelompok2

Transcript
Page 1: Sosio kelompok2

Eksplanasi Sosiokultural Bagi Sejumlah Permasalahan Kebahasaan Bahasa Indonesia

Oleh:

KELOMPOK 2

Kelas : A

1. Ayu Mayasari (1113041009)2. Ridha Adilla. AR (1113041055)

Mata Kuliah: Sosiolinguistik

Dosen Pengampu: Munaris, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2012

Page 2: Sosio kelompok2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa penulis telah

menyelesaikan tugas Makalah Mata Kuliah Sosiolinguistik.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis

hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain

berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis

hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Munaris, M.Pdyang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga

penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.

2. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan

sehingga tugas ini selesai.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak

yang membutuhkan,

Bandarlampung, 12 Oktober 2012

Tim Penyusun

Page 3: Sosio kelompok2

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar....................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................. ii

BAB I Pendahuluan............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang..................................................................... 11.2 Rumusan Masalah................................................................ 21.3 Tujuan................................................................................... 2

BAB II Pembahasan............................................................................. 3

2.1Permasalahan-Permasalahan Gramatika.............................. 3

2.2 Klitika –nya.......................................................................... 3

2.3 Morfofonemik me(N)- dengan Dasar Kata Asing............... 4

2.4 Kendala Seleksi Bentuk Dasar Afiks me(N)- yang

Menyatakan ‘menjadi’................................................................. 5

2.5 Kata Majemuk Berstruktur Beku.......................................... 6

2.6 Penataan Wacana.................................................................. 7

BAB III Penutup................................................................................... 10

3.1 Simpulan................................................................................ 10

3.2 Saran...................................................................................... 11

Daftar Pustaka

Page 4: Sosio kelompok2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut (Chaer, 1995:3) menjelaskan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu

antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam

masyakarat. Sosiolonguistik adalah cabang ilmu bahasa yang berusaha menerangkan korelasi

antara perwujudan struktur atau elemen bahasa dengan faktor-faktor sosiokurtural

pertuturannya tentu saja mengasumsikan pentingnya pengetahuan dasar-dasar linguistik

dengan berbagai cabangnya seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik dalam dalam

menjelaskan fenomen-fenomena yang menjadi objek kajianya. (Wardaugh dan Holmes dalam

Wijana dan Rohmadi, 20011:11)

Seseorang tidak dimungkinkan menjadi seorang sosiolinguis bila tidak mengetahui

atau menguasai secara relatif mendalam keempat cabang ilmu bahasa linguistik (fonologi,

morfologi, sintaksis, dan semantik)(Wijana dan Rohmadi, 2011:14).

Dengan menyendirikan linguistik (ilmu bahasa) dengan ilmu-ilmu yang salah satu

dasarnya bahasa (fonetik, etnolingustik, sosiolinguistik, dan psikolinguistik) sangat di

khawatirkan akan memunculkan kesan (terutama pada calon-calon ahli bahasa) bahwa

permasalahan linguistik dapat diselesaikan tanpa bantuan keempat cabang ilmu di atas,

sekaligus kurang sentral peranannya dalam mempelajari linguistik secara lebih mendalam.

Sehubungan dengan itu, untuk menghindari munculnya kesan-kesan yang demikian, tulisan

ini akan menunjukkan sejumlah bukti yang mutlaknya, penjelasan yang bersifat

sosiolinguistik dalam menerangkan masalah-masalah kebahasaan (Wijana dan Rohmadi,

2011: 13).

Dalam KBBI Sosiokultural berkenaan dengan segi sosial dan budaya masyarakat.

Masyarakat pemakai bahasa secara sadar atau tidak menggunakan bahasa yang hidup dan

dipergunakan dalam masyrakat. Sebaliknya bahasa juga dapat mengikat anggota-anggota

masyarakat pemakai bahasa bersangkutan, menjadi satu masyarakat yang kuat, bersatu dan

maju (Kartomihardjo, 1988:1).

Kita ingin mengetahui sosiolinguistik karena kita adalah sebagian dari penutur

bahasa tertentu. Sebagai penutur bahasa tertentu, kita dihadapkan dengan berbagai persoalan.

Page 5: Sosio kelompok2

Persoalan itu bukan saja menyangkut bahasa sebagai bahasa, tetapi bahasa sebagai

alat komunikasi (Pateda, 1987:9).

Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa permasalahan, yang dikemukakan pada

bagian ini yakni permasalahan-permasalahan graumatik meliputi; Klitika-nya, Morfofonemik

me(N)- dengan dasar kata asing, kendala seleksi afiks, kata majemuk berstruktur beku,

danpenataan wacana menurut sudut pandang sosiokulturalnya.

1.2 Rumusah masalah

1.2.1 Apa permasalahan gramatika dari klitika –nya?

1.2.2 Apa permasalahan gramatika dari morfofonemik me (N) dengan dasar kata asing?

1.2.3 Apa permasalahan gramatika dari kendala seleksi afiks me(N) yang menyatakan

menjadi?

1.2.4 Apa permasalahan gramatika dari Kata majemuk berstruktur beku?

1.2.5 Apa permasalahan gramatika dari Penataan wacana?

1.3 Tujuan

Agar mengetahuipermasalahan-permasalahan graumatik meliputi; Klitika-nya,

Morfofonemik me(N)- dengan dasar kata asing, kendala seleksi afiks, kata majemuk

berstruktur beku, dan penataan wacana.

Page 6: Sosio kelompok2
Page 7: Sosio kelompok2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1Permasalahan-Permasalahan Gramatika

Permasalahan-permasalahan gramatika yang akan di kemukakan disini meliputi;

Klitika-nya, Morfofonemik me(N)- dengan dasar kata asing, kendala seleksi afiks, kata

majemuk berstruktur beku, dan penataan wacana (Wijana dan Rohmadi, 2011:16)

2.2Klitika –nya

Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Klitika adalah morfem

bebas, namun secara fonologi terikat pada kata atau frasa lain. Klitika dieja seperti afiks,

tetapi secara kelas kata berada di tingkat frasa.Bentuk –ku, -mu, dan –nya adalah tiga dari

sekian banyak klitika dalam bahasa Indonesia sehubungan dengan sejumlah syarat yang

dipenuhinya, seperti keleluasaannya memilih bentuk-bentuk yang dilekatinya, kerenggangan

hubungannya dengan bentuk-bentuk yang dilekatinya, dan (walaupun bukan syarat mutlak)

dapat dikembalikan ke dalam bentuk yang lebih panjang. Dengan syarat yang pertama, di

mungkinkan dibentuk frase bukuku, datangmu, siangnya, dsb. Dengan syarat yang kedua,

dimungkinkan di bentuk buku baruku, datang bulanmu, siang harinya, dan sebagainya.

Dengan syarat ketiga dalam bahasa Indonesia dikenal bentuknya yang lebih lengkap, yakni

aku, kamu, dan dia. Sehubungan dengan sifat-sifat yang dimilikinya itu, klitika lebih

merupakan piranti sintaksis dibandingkan dengan piranti morfologis. Hanya saja yang

menjadi permasalahan dalam perbincangan ini adalah bagaimana proses linguistis

pembentukan dia menjadi –nya. Perubahan aku menjadi –ku dan kamu menjadi –mu, atau

engkau menjadi kau agak mudah diterangkan dengan penjelasan yang lebih mudah diterima

akal pula, yakni penghilangan suku pertama demi kemudahan pengucapan. Akan halnya

perubahan dia menjadi –nya haruslah dirunut secara diakronis dengan melihat perhubungan

bahasa Indonesia (Melayu) dengan bahasa-bahasa daerah serumpun lainnya. Dalam

hubungan ini ada kemungkinan (disamping berbagai kemungkinan lain) bunyi n- pada –nya

berasal (merupakan evolusi) dari pemarkah posesif yang ada pada bahasa-bahasa daerah Bali

(-ne), bahasa Jawa kuno (-nira), atau bahasa-bahasa daerah lain yang terbentuk karena bentuk

dasar yang berakhir dengan vokal. Perubahan –nira menjadi –ne mungkin bermula dari

Page 8: Sosio kelompok2

penghilangan bunyi /r/ yang selanjutnya diikuti dengan gejala persendian /i/ dan /a/ menjadi

e. Hal ini sepertinya serupa permasalahannya dengan keberadaan klitika –mu bahasa Jawa

yang tidak cukup memuaskan bila dikatakan berasal dari kata awakmu. Karena di satu pihak

klitika –ku tidak berasal dari awakku, tetapi dari aku. Sehubungan dengannya studi diakronis

sangat pula diperlukan untuk menjawab permasalahan ini sehingga tidak tertutup

kemungkinan terdapatnya kaitan antara –mu dalam bahasa Jawa dengan –mu yang

diturunkan dari kamu dalam bahasa melayu. Perhubungan antara bahasa-bahasa yang

sekerabat di samping permasalahan historis tentunya juga sedikit banyak akan membicarakan

permasalahan sosiokultural antara penutur-penutur bahasa yang sekerabat itu. (Sudaryanto

dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:18).

2.3 Morfofonemik me(N)- dengan Dasar Kata Asing

Perbedaan perlakukan antara unsur-unsur yang berasal dari bahasa asing dengan

unsur-unsur bahasa Indonesia atau bahasa Jawa tampak dalam berbagai proses morfofonemik

bahasa Indonesia. Kita akan mengambil contoh salah satu saja, yaitu prosees morfofonemik

dengan afiks me(N)-, Afiks me(N)- biasanya wajib meluluhkan bunyi-bunyi awal tak

bersuara bentuk dasar yang dilekatinya, kecuali bunyi hambat lamino palata /c/, seperti

mencari, menceritakan, mencoba, dsb. Hanya saja, kaidah ini sering kali tidak dapat

diterapkan secara mulus akibat adanya sikap mental yang membedakan atau

mengistimewakan bentuk-bentuk yang berasal dari bahasa asing dengan dalih ketakuan akan

tidak dikenalinya bentuk-bentuk dasar dari bahasa asing itu oleh penutur bahasa Indonesia.

Misalnya saja sampai sekarang kata mensukseskan, mentoleransi, menterjemahkan, dsb.

masih kerap kali ditemukan, bahkan mungkin lebih sering mucul dibandingkan dengan

ekuivalennya yang benar menurut kaidah, yakni menyukseskan, menoleransi, dan

menerjemahkan. Bahkan, bila bunyi awal bentuk dasar itu berupa gugus konsonan (cluster),

seperti pl, pr, tr, kl, dan kr peluluhan bunnyi awal sama sekali tidak dimungkinkan sehingga

sampai sekarang bentuk-bentuk *memlot, *memroklamirkan, *memroses, *menradisi,

*mengedit, dan *mengritik hampir tidak ditemui pemakaiannya. Padahal bila gugus konsonan

itu berasal dari bahasa daerah masih dapat diharapkan adanya peluluhan, seperti pada kata

menerapkan yang berasala dari kata bahasa Jawa trap. Apa yang dapat disimpulkan dari

fenomena ini adalah bahwa penjelasan yang semata-mata bersifat linguistik tidak memadai

untuk mengklarifikasi masalah peluluhan konsonan-konsonan tak bersuara dan gugus-gugus

konsonan berawal bunyi tak bersuara di atas. Dalam hal ini penjelasan sosiolinguistik tetap,

bahkan mutlak diperlukan. (Wijana dan Rohmadi, 2011: 17-20)

Page 9: Sosio kelompok2

2.4 Kendala Seleksi Bentuk Dasar Afiks me(N)- yang Menyatakan ‘menjadi’

Afiks me(N)- memiliki sejumlah gamatikal yang jenis-jenisnya bergantung dengan

makna leksem atau bentuk dasar yang dilekatinya. Satu diantara makna-makna gramatikal itu

adalah ‘menjadi’, seperti yang terdapat pada kata polimorfemk menjanda, menduda, menguli,

memburug, membujang, dan menyupir. Permasalahan yang dapat dimunculkan dalam

hubungan ini adalah bagaimana kaidah seleksi leksikal afiks me(N)- yang dapat

menggunakan makna ‘menjadi’ itu sehubungan tidak semua ekuivalen leksem-leksem di atas

diterima oleh afiks ini. Walaupun dalam bahasa Indonesia ada kata menduda dan menjanda,

serta membujang, tetapi tidak pernah ditemui kata *menyuami, *mengistri. Demikian pula

walaupun ditemui profesi menguli, memburuh, dan menyupir, tetapi tidak pernah dijumpai

profesi *melurah, *mendosen, *mengguru, dsb. Fenomena kebahasaan ini sungguh tidak

memadai bila hanya diselesaikan dengan mengatakan duda, buruh, kuli, dan bujang memiliki

atau termasuk dalam kelas yang sama (Sudaryanto dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:21).

Kedua kelompok itu tidak pula cukup dikatakan sebagai kata-kata yang memiliki peran yang

berbeda. Dalam hal ini penjelasan sosiolkultural mungkin dapat membantu, yakni dengan

melihat kenyataan bagaimana masyarakat Indonesia memandang referen kedua kelompok

kata itu. Sampai saat ini masyarakat Indonesia memandang bahwa status duda, janda, dan

bujang atau profesi kuli dan buruh sebagaimana status dan profei yang bernilai rendah dan

negatif. Sementara itu, kelompok kata yang lain, seperti gadis, suami, istri, guru, dan lurah

memiliki nilai yang sebaliknya di mata penutur bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini

dapat diprediksikan bahwa semakin positif nilai referen sebuah kata dimata penutur bahasa

Indonesia semakin besar ketidakmungkinannya dibentuk menjadi kata polimorfemik berafiks

men yang menyatakan ‘menjadi’, demikian sebaliknya. Untuk ini bentuk-bentuk berikut

dapat dijadikan pertimbangan sebagai pemerkuat argumentasi: menukang, membadut,

membabu, membecak, *memresiden, *mencamat, *mendosen, *mengaryawan, dsb (Wijana

dan Rohmadi, 2011: 22).

2.5 Kata Majemuk Berstruktur Beku

Dari sekian banyak permasalahan morfologi, problem kata majemuk merupakan satu

persoalan yang cukup penting dan menarik banyak perhatian dari para ahli. Persoalan-

persoalan yang menjadi perbincangan lazimnya berkenaan dengan keberadaannya, kategori,

sifat-sifat hubungan, dan ketegaran serta makna yang ditimbulkan oleh perpaduan elemen-

elemen pembentuknya (Ramlan dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:22). Dari kekhasan

Page 10: Sosio kelompok2

hubungan dan ketegaran urutan elemen-elemen pembentuknya itu. Kemudian didapatkan

adanya satu jenis kata majemuk , yakni kata majemuk berstruktur beku, seperti kesana

kemari, datang pergi, ayah ibu, besar kecil, tabrak lari, dsb. Meskipun unsur-unsur

pembentuknya memiliki kedudukan setara (secara logis mungkin dipertukarkan), urutannya

tidak dapat dipermutilasikan (dipotong-potong). Pertimbangkan misalnya *kemari ke sana,

*pergi datang, *ibu ayah, *kecil besar, *lari tabrak, dsb. Berdasarkan pengamatan dalam

hubungan ini, sekurang-kurangnya ada tiga faktor yang menyebabkan kebekuan struktur kata

majemuk ini, yakni faktor fonologis, faktor ikonik, faktor, sosiologis.

Faktor fonologis mengharuskan penempatan kata-kata yang memiliki ultima (suku

akhir) berpola /a/ mendahului kata-kata ultima bervokal /i/, seperti kesana kemari,

datang prgi, di sana sini, pulang pergi, dsb.

Faktor ikonik mewajibkan untuk meletakkan elemen-elemen yang terjadi lebih dahulu

mendahui elemen-elemen yang terjadi lebih kemudian, seperti tabrak lari, makan

tidur, jatuh bagun, tanya jawab, dsb. (untuk faktor ikonik waktu ini periksa lebih jauh

Baryadi, 2000).

Faktor sosiologis menghendaki elemen yang bernuansa sosiokultural tertentu

mendahului elemen yang bernuansa sosialkultural lainnya. Nuansa sosialkultural itu,

misalnya gender, senioritas, dan kuantitas. Faktor gender mewajibkan maskulin

mendahului feminin. kakek nenek, ayah ibu, laki-laki perempuan, jantan betina, siswa

siswi, karyawan karyawati, dsb. Faktor senioritas menyebabkan referen yang lebih tua

mendahului yang lebih muda, seperti tua muda, besar kecil, atasan bawahan, dsb.

Pertimbanan kuantitas mengakibatkan ditempatkannya kuantitas yang lebih besar

mendahului yang lebih kecil, seperti tinggi rendah, besar kecil, panjang pendek, dsb.

Berkaitan dengan faktor sosioogis ini, terutama menyangkut perihal gender dan

senioritas sedikit banyak pula tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kenyataan-kenyataan

yang ada dalam masyarakat, seperti ketidak setaraan gender, penghormatan kepada senior,

dsb. Ini juga merupakan bukti bahwa masalah struktur bahasa tidak seluruhnya berdiri sendiri

lepas dari faktor-faktor kemasyarakatan (Wijana dan Rohmadi, 2011: 22).

2.6 Penataan Wacana

Wacana, sebagai satuan gramatikal (tata bahasa) terbesar, kemampuannya

merefleksikan (mencerminkan) nilai-nilai kultural masyarakatnya telah dibktikan oleh

sejumlah pakar. Dua diantaranya adalah Scollon & Scollon danKaplan dalam Wijana, 2011:

24). Dengan mendefinisikan wacana (penataan unit-unit sintaksis menjadi unit-unit linguistik

Page 11: Sosio kelompok2

yang lebih besar) sebagai retorika (keterampilan berbahasa secara efektif). (Kaplan

dalamWijana dan Rohmadi, 1999:41) mengamati perbedaan pola-pola penataan wacana

bahasa dan rumpun bahasa didunia ini menjadi 5 macam, yakni pola berputar-putar, seperti

bahasa Inggris, pola zigzag, seperti bahasa semit, pola melingkar, seperti bahasa-bahasa

timur, dan dua pola zigzag yang masing-masing berbeda dengan pola bahasa Semit, seperti

yang berturut-turut dimiliki oleh bahasa Romawi dan Bahasa Rusia. Dengan kerangka teori

Kaplan inilah Sujoko (1999) mendasarkan penelitiannya mengenai pola ulur pikir sejumlah

etnis dalam megembangkan paragraf berdasarkan proposal skripsi berbahasa Indonesia

mahasiswa FKIP Universitas Negeri Surakarta. Penelitian kuantitatifnya diakhiri dengan

kesimpulan bahwa secara dominan, yakni sebanyak 83%, pola pikir yang digunakan adalah

pola pikir berputar-putar (spiral). Dengan rincian 66% dilakukan oleh mahasiswa yang

berasal dari Jawa Timur, 100% dari Jawa Barat, 83,3% dilakukan secara sama oleh

mahasiswa DIY, Jawa Barat dan Lampung. Hasil yang jauh berbeda didapatkan pada

kelompok mahasiswa lain ditugasi menulis paragraf dengan menggunakan bahasa Inggris.

Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan retorika (keterampilan berbahasa secara efektif)

kedua bahasa. Temuan Sujoko ini dapat digunakan sebagai landasan bahwa agaknya sangat

mustahil untuk mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara bahasa dengan pola budaya

masyarakat bersangkutan. (Wijana dan Rohmadi, 2011:24)

Dalam tataran yang lebih rendah (Scollon & Scollon dalam Wijana dan Rohmadi,

2011:25) mengamati perbedaan penataan elemen alasan dan tindakan dalam wacana yang

diungkapkan oleh pengusaha Cina Hong-Kong dengan pengusaha Amerika Utara yang

berlatar belakang bahasa Inggris (Anglo-North American). Dalam hubungan ini mereka

mencontohkan kutipan wacana (a) berikut ini:

(a) “Because most of our production is done in China now, and ih, it’s not really certain

how the government will react in the run-up to 1997, and since I think a certaint

amount of caution in committing TV advertisement in necessary because of the

expense. So I suggest that we delay making our decision until fter Legco makes its

decision”.

Penataan wacana seperti terkutip di atas (alasan mendahului inti wacana atau tindakan)

lazimnya dilakukan oleh orang-orang Cina atau Asia ketika berbicara dalam bahasa Inggris

dengan mitra bisnisnya yang berbahasa ibu bahasa Inggris. Walaupun pada tataran kata dan

kalimat tidak terdapat kesukaran berarti untuk memahami kutipan di atas, orang-orang yang

berlatar belakang bahasa inggris mengalami kesukaran dalam menangkap inti pembicaraan

(main point) mitra wicaranya yang berasal dari Asia itu karena orang-orang berbahasa ibu

Page 12: Sosio kelompok2

bahasa Inggris menyusun elemen-elemen wacananya dengan cara sebaliknya (Inti wacana

atau tindakan mendahului alasan atau latar belakangnya), seperti kutipan (b) berikut ini.

(b) “ I suggest that we delay making our decision untilafter legco makes its direction. That

is because I think a certain amount of caution in committing to TV advertisement is

necessary because of the expense. In addition to that, most of our production is done

in China now, and it’s not really certain how the goverment will react in the run-up to

1977.

Perbedaan penataan wacana diatas dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya Barat dan

Timur. Penutur-penutur bahasa Inggris dengan kebiasaannya berterus-terang cenderung

menempatkan bagian terpenting wacana didepan mendahului bagian yang dianggap kurang

penting. Sementara itu, orang-orang Asia karena kebiasaannya bertutur secara tidak langsung

harus menyembunyikan inti pembicaraan di balik berbagai macam alasannya. Bila

berintrospeksi ke dalam bahasa Indonesia, agaknya juga antara kecenderungan orang untuk

memilih konstruksi (c) dibandikan dengan (d).

(c) Karena salah satu persyaratan yang tidak dipenuhi, kami terpaksa tidak bisa menerima

lamaran Anda.

(d) Kami terpaksa tidak bisa menerima lamaran Anda, karena salah satu persyaratan yang

tidak dipenuhi.

Dari sini jelas, bahwa studi tentang komunikasi lintas budaya memegang peranan yang

sangat penting dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang mungkin timbul di antara

keduanya. Untuk ini, pengetahuan tentang ilmu bahasa yang berwawasan kultural mutlak

diperlukan.

Hubungan performansi linguistik dengan cara-cara berpikir secara lintas kultural

(kebudayaan) dalam tataran yang lebih rendah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia

pernah dikemukakan oleh (Dardjowidjojo dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:26). Dalam

bagian akhir artikelnya ia mengatakan bahwa kesukaan orang memakai kalimat pasif pada

situasi-situasi tertentu dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain di Nusantara ini

merupakan hasil modes (ragam) pikiran yang tertanam jauh di bawah kesadaran (Wijana dan

Rohmadi, 2011:26).

Page 13: Sosio kelompok2

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Permasalahan-permasalahan gramatika yang tidak dapat dijelaskan melalui

penjelasan linguistik, dapat dijelaskan melalui penjelasan sosikultural

3.2 Saran

Makalah ini ditujukan untuk mahasiswa agar mereka mampu menyelesaikan

permasalahan-permasalahan gramatika, seperti: Klitika-nya, Morfofonemik me(N)- dengan

dasar kata asing, kendala seleksi afiks, kata majemuk berstruktur beku, dan penataan wacana

melalui eksplanasi sosiokultural.

Page 14: Sosio kelompok2

DAFTAR PUSTAKA

Wijana, I Dewa Putu dan M. Rohmadi. 2011. Sosiolinguistik: Teori dan Analasis. Jakarta: Pustaka Pelajar

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa

Kartomihardjo, Soesono.1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Offline versi 1.1)

Page 15: Sosio kelompok2

Pertanyaan Termin 1

1. Herda Silviani (1113041031)

Tolong jelaskan kembali pengertian kata majemuk berstruktur beku dan contohnya!

2. Cita Dani Apriyanti (1113041015)“Semakin positif nilai referen suatu sebuah kata di mata penutur bahasa Indonesia

semakin besar ketidakmungkinannya dibentuk menjadi kata polimorfemik berafiks men- yang menyatakan menjadi”

Apa maksud dari pernyataan tersebut?

3. Soviera Vitaloka (11130410apa perbedaan dari ketiga faktor kebekuan struktur majemuk?

Pertanyaan Termin 2

1. Bagus Setiawan (1113041011)Dalam makalah halaman 7 tentang penataan wacana, “83% pola pikir yang

digunakan adalah pola pikir berputar-putar (spiral)”Apa arti dari pola pikir berputar-putar itu?

2. Lisda Syari (1113041035)Tolong berikan contoh lain dari penataan wacana?

3. Septi Khusnul (1113041059)Jelaskan kembali kendala afiks men- yang menyatakan menjadi!

Jawaban

Termin 11. Kata majemuk berstruktur beku adalah kata yang unsur pembentuknya memiliki

kedudukan setara (secara logis mungkin dipertukarkan), urutannya tidak dapat dipermutilasikan (dipotong-potong).

Contohnya: kesana kemari, datang pergi, ayah ibu, besar kecil, tabrak lari, dsb.Dari contoh di atas kata majemuk tersebut tidak dapatditukar dan dipotong-potong,

seperti: *kemari ke sana, *pergi datang, *ibu ayah, *kecil besar, *lari tabrak, dsb.

2. Teradapat kelompok kata menjanda, menduda, membujang, menguli, memburuh, dsb. dalam masyarakat Indonesia kelompok kata tersebut masih dianggap rendah dan negatif, dan kata guru, dosen, camat, lurah, dsb. di kehidupan masyarakat Indonesia dianggap positif

Page 16: Sosio kelompok2

sehingga tidak bisa diberi imbuhan men- yang berarti menjadi. Itulah maksud dari pernyataan “Semakin positif nilai referen suatu sebuah kata di mata penutur bahasa Indonesia semakin besar ketidakmungkinannya dibentuk menjadi kata polimorfemik berafiks men- yang menyatakan menjadi”

3. Struktur kata majemuk ini, yakni faktor fonologis, faktor ikonik, faktor,

sosiologis.Faktor fonologis mengharuskan penempatan kata-kata yang memiliki ultima (suku

akhir) berpola /a/ mendahului kata-kata ultima bervokal /i/, seperti kesana kemari, datang

prgi, di sana sini, pulang pergi, dsb.

Faktor ikonik mewajibkan untuk meletakkan elemen-elemen yang terjadi lebih

dahulu mendahui elemen-elemen yang terjadi lebih kemudian, seperti tabrak lari, makan

tidur, jatuh bagun, tanya jawab, dsb. (untuk faktor ikonik waktu ini periksa lebih jauh

Baryadi, 2000).

Faktor sosiologis menghendaki elemen yang bernuansa sosiokultural tertentu

mendahului elemen yang bernuansa sosialkultural lainnya. Nuansa sosialkultural itu,

misalnya gender, senioritas, dan kuantitas. Faktor gender mewajibkan maskulin mendahului

feminin. kakek nenek, ayah ibu, laki-laki perempuan, jantan betina, siswa siswi, karyawan

karyawati, dsb. Faktor senioritas menyebabkan referen yang lebih tua mendahului yang lebih

muda, seperti tua muda, besar kecil, atasan bawahan, dsb. Pertimbanan kuantitas

mengakibatkan ditempatkannya kuantitas yang lebih besar mendahului yang lebih kecil,

seperti tinggi rendah, besar kecil, panjang pendek, dsb.

Berkaitan dengan faktor sosioogis ini, terutama menyangkut perihal gender dan

senioritas sedikit banyak pula tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kenyataan-kenyataan

yang ada dalam masyarakat, seperti ketidak setaraan gender, penghormatan kepada senior,

dsb. Ini juga merupakan bukti bahwa masalah struktur bahasa tidak seluruhnya berdiri sendiri

lepas dari faktor-faktor kemasyarakatan (Wijana, 2011: 22).

Termin 2

1. Spiral itu bentuknya seperti suatu titik, dimana titik itu semakin lama akan semakin berkembang membentuk lingkaran yang semakin lama semakin membesar. Spiral itu maksudnya adalah "berkembang".

Pola pikir spiral (berputar-putar) artinya pola pikir yang setiap waktu semakin berkembang. lingkaran yang selalu berkembang ke arah yang lebih baik dari kemarin, walaupun di saat situasi di atas atau bawah. Menyangkut dengan bahasa artinya pola pikir

Page 17: Sosio kelompok2

tentang bahasa dalam hal ini orang Indonesia asli yang belajar bahasa Indonesia, jika membuat suatu cerita, teks atau paragraf, pola pikir mereka sudah berkembang, karena dari awal mereka sudah menguasai bahasa Indonesia.

2. Contoh dari penataan wacana, yaitu:a. Karena kamu ribut didalam kelas, silakan kamu keiuar dari kelas ini.b. Silakan kamu keluar dari kelas ini, karena kamu ribut didalam kelas.

Perbedaan penataan wacana diatas dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya Barat dan Timur. Penutur-penutur bahasa Inggris dengan kebiasaannya berterus-terang cenderung menempatkan bagian terpenting wacana didepan mendahului bagian yang dianggap kurang penting. Sementara itu, orang-orang Asia karena kebiasaannya bertutur secara tidak langsung harus menyembunyikan inti pembicaraan di balik berbagai macam alasannya. Bila berintrospeksi ke dalam bahasa Indonesia, agaknya juga antara kecenderungan orang untuk memilih konstruksi (a) dibandikan dengan (b).

3. Kendala afiks men- yang menyatakan menjadi seperti yang terdapat pada kata polimorfemk menjanda, menduda, menguli, memburug, membujang, dan menyupir. Permasalahan yang dapat dimunculkan dalam hubungan ini adalah bagaimana kaidah seleksi leksikal afiks me(N)- yang dapat menggunakan makna ‘menjadi’ itu sehubungan tidak semua ekuivalen leksem-leksem di atas diterima oleh afiks ini. Walaupun dalam bahasa Indonesia ada kata menduda dan menjanda, serta membujang, tetapi tidak pernah ditemui kata *menyuami, *mengistri. Demikian pula walaupun ditemui profesi menguli, memburuh, dan menyupir, tetapi tidak pernah dijumpai profesi *melurah, *mendosen, *mengguru, dsb.

Sampai saat ini masyarakat Indonesia memandang bahwa status duda, janda, dan bujang atau profesi kuli dan buruh sebagaimana status dan profei yang bernilai rendah dan negatif. Sementara itu, kelompok kata yang lain, seperti gadis, suami, istri, guru, dan lurah memiliki nilai yang sebaliknya di mata penutur bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini dapat diprediksikan bahwa semakin positif nilai referen sebuah kata dimata penutur bahasa Indonesia semakin besar ketidakmungkinannya dibentuk menjadi kata polimorfemik berafiks men yang menyatakan ‘menjadi’, demikian sebaliknya.

Page 18: Sosio kelompok2

Menambahkan Jawaban:

1. Abbas Habibi (1113041001)Menambahkan jawaban dari pertnyaan Cita Dani, bahwa di indonesia dalam masyarakat memang kata membujang, memburuh, menduda, menjanda, dsb. dipandang sebagai status yang rendah di bandingkan kata guru, dosen, lurah, yang dilihat dari sudut pekerjaan nya lebih positif dibandingkan dengan kata buruh, bujang, duda, janda, dsb.

2. Deni Yuniardi (1113041017)Kata buruh, bujang, duda, dsb. yang dapat diberi afiks men- yang artinya menjadi dalam masyarakat Indonesia merupaka kata yang memiliki nilai referen yang rendah, dan kata guru, dosen, camat, dsb. adalah kata yang memiliki nilai referen atau lebih dipandang positif dibanding kelompok kata bujang, duda, buruh, kuli, dll. maka dari itu kata yang memiliki nilai referen yang tinggi tidak dimungkinkan untuk diberi afiks men- yang menyatakan menjadi.


Top Related