Download - skiripsi muhallil
-
ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA
NIKAH MUHALLIL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syariah
Oleh: M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2010
-
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah
a.n. Sdr. M. Da'in Fazani IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamuaalaikum Wr.Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : M. Da'in Fazani
Nomor Induk : 2103206
Jurusan : AS
Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I
TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Semarang, Desember 2009
Pembimbing,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19590413 198703 2001
-
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARIAH SEMARANG Jl. Prof. Dr. HAMKA km.2 (Kampus III) Ngalian 50159 Semarang
PENGESAHAN
Skripsi saudara : M. Da'in Fazani
NIM : 2103206
Fakultas : Syariah
Jurusan : AS
Judul : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG
SAHNYA NIKAH MUHALLIL
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:
29 Desember 2009
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1
tahun akademik 2008/2009.
Semarang, Januari 2010 Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Dra. Hj. Endang Rumaningsih, M.Hum Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19560101 198403 2 001 NIP. 19590413 198703 2 001 Penguji I, Penguji II, Drs. H. Muhyiddin, M.Ag Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP. 19550228 198303 1 003 NIP. 19690709 199703 1 001
Pembimbing,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19590413 198703 2001
-
iv
M O T T O
) :
230( Artinya: Jika ia mentalak isterinya maka tidak halal baginya kemudian
sehingga ia kawin dengan laki-laki lain. Jika kemudian ditalaknya juga, maka tidaklah berdosa bagi mereka untuk kembali rujuk, jika mereka yakin akan dapat menjalankan hukum Allah. (QS.Al-Baqarah.-230).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55..
-
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk:
o Bapak H. Sholeh Asy'ari dan Ibu Hj. Siti Shofiati selaku orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat, membimbing dan mengarahkan
hidupku, yang memberi tahu arti hidup ini.
o Kakak-kakakku tercinta (Miftakhul Falakh, Nichlatun Nafi'ah, M.Imam Nafi', dan Umi Zarin) yang selalu tak henti-hentinya memberi semangat dan
motivasi dalam hidup ini terutama dalam menyelesaikan studi dan khususnya
skripsi ini.
o Nida Naily 'Illiyyun, yang telah banyak membantu dan memotivasi dalam penulisan skripsi ini
o Teman-Temanku (Ucup, Gepeng, Eko, Syafiq, Fendy dan teman-teman WSC yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama-sama dalam
meraih cita-cita
Penulis
-
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
Semarang, 8 Desember 2009
M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206
-
vii
ABSTRAK
Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan
bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil itu sah. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah. Yang menjadi perumusan masalah yaitu bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil? Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data primernya yaitu Al-Umm sedangkan sumber data sekundernya yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim; Tasir Ibnu Kasir; Tafsir al-Maragi, Tafsir Ahkam; Fath al-Mu'in; Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Fiqh al-Sunnah. Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi juga berupa artikel dan penelitian-penelitian sebelumnya. Data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan metode penelitian deskriptif analisis.
Hasil penulisan menunjukkan bahwa Menurut Imam Syafi'i nikah muhallil sah. Dalam pandangan Imam Syafi'i, nikah muhallil itu sah sepanjang dalam ijab qabul pada saat akad nikah tidak disebutkan suatu persyaratan, meskipun adanya niat untuk menghalalkan wanita itu menikah lagi dengan suami yang lama. Menurut penulis, tampaknya Imam Syafi'i lebih melihat kepada aspek zahir atau luarnya saja yaitu ucapan dianggap bisa membatalkan keabsahan nikah muhallil, sedangkan niat tampaknya kurang dihiraukan oleh Imam Syafi'i. Padahal niat itu justru yang lebih menentukan suatu perbuatan. Meskipun calon suami mengucapkan suatu persyaratan, namun jika tidak ada niat seperti ucapannya, dengan kata lain, berbedanya niat dengan ucapan, maka sepatutnya ucapan dikalahkan oleh niat. Namun justru sebaliknya dalam perspektif Imam Syafi'i "niat" bisa dikalahkan oleh "ucapan". Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah muhallil dengan nikah biasa.
-
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul: ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I
TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Walisongo,
beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan
5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .................................................... 6
D. Telaah Pustaka .................................................... 6
E. Metode Penelitian .................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH MUHALLIL
A. Pengertian Akad .................................................... 13
B. Unsur-Unsur Akad .................................................... 14
C. Rukun dan Syarat Akad . ................................................... 17
D. Akad Nikah Muhallil .. 30
BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA NIKAH
MUHALLIL
A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karyanya ................. 35
1. Latar Belakang Imam Syafi'i ..................................... 35
2. Pendidikan ..................................... 38
-
x
3. Karyanya ..................................... 40
B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil ........ 42
C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya
Nikah Muhallil ..................................... 43
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG NIKAH
MUHALLIL
A. Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya
Nikah Muhallil ..................................... 52
B. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya
Nikah Muhallil ..................................... 62
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................... 73
B. Saran-saran .................................................... 73
C. Penutup .................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian berarti
perpisahan atau perpecahan.1 Islam melarang perceraian yang bisa
merobohkan sendi-sendi keluarga dan menyebarkan aib-aibnya,
melemahkan kesatuan umat dan membuat perasan mendendam serta
mengkoyak-koyak tabir kehormatan.2
Abul A'la Maududi mengatakan, salah satu prinsip hukum
perkawinan Islam adalah bahwa ikatan perkawinan itu harus diperkuat
sedapat mungkin. Oleh karena itu, segala usaha harus dilakukan agar
persekutuan tersebut dapat terus berlangsung. Namun, apabila semua
harapan dan kasih sayang telah musnah dan perkawinan menjadi sesuatu
yang membahayakan sasaran hukum untuk kepentingan mereka dan
kepentingan masyarakat, maka perpisahan di antara mereka boleh
dilakukan. Islam memang berusaha untuk menguatkan ikatan perkawinan,
namun berbeda dengan ajaran agama lain, Islam tidak mengajarkan bahwa
pasangan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan lagi. Bila pasangan tersebut
telah benar-benar rusak dan bila mempertahankannya malah akan
1Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 209. 2Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi
Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta: Agung Lestari, 1993, hlm. 87.
-
2
menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi kedua belah pihak dan akan
melampaui ketentuan-ketentuan Allah, ikatan itu harus dikorbankan. Itu
berarti pintu perceraian harus dibuka, walaupun tidak selebar yang
dilakukan negara Rusia, Amerika, dan sebagian negara Barat.3
Meskipun tidak ada ayat al-Quran yang menyuruh atau melarang
melakukan talak, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi
Nabi Saw. Ketidaksenangan Nabi Saw kepada perceraian itu terlihat dalam
hadisnya dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan
disahkan oleh Al-Hakim, sabda Nabi:
: )
(4 Artinya: Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah Saw bersabda:
perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Hakim).
Walaupun talak itu dibenci namun terjadi dalam suatu rumah tangga,
dan sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan
tertentu (darurat, logis dan argumentatif) boleh dilakukan.5
Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali
kepada mantan istrinya, talaq itu ada dua macam:
3Abul A'la Maududi, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad Rais,
"Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991, hlm. 41. 4Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Bairut: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah,
tth, hlm. 223 5Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 201
-
3
1). Talaq raj'iy. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yaitu talaq dimana
suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk)
sepanjang istrinya tersebut masih alam masa 'iddah, baik istri tersebut
bersedia dirujuk maupun tidak.6 Hal senada dikemukakan juga oleh Ibnu
Rusyd bahwa talaq raj'iy adalah suatu talaq dimana suami memiliki hak
untuk merujuk istri.7
Dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa talaq raj'iy adalah talaq satu
atau talaq dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri, dimana suami boleh
ruju' kepada istri, sebagaimana firman Allah pada surat al-Baqarah (2)
ayat 229:
) :229(
Artinya: Talaq itu adalah sampai dua kali, sesudah itu tahanlah dengan baik atau lepaskanlah dengan baik. (Q.S. al-Baqarah: 229)8
Lafaz mengandung arti ruju' pada waktu
masih berada dalam masa 'iddah.
2). Talaq bain. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talaq bain adalah talaq
yang menceraikan istri dari suaminya sama sekali, dimana suami tak dapat
lagi secara sepihak merujuki istrinya.9 Dengan kata lain, takak bain yaitu
6Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 451. 7Ibnu Rusyd, Bidyah al Mujtahid Wa Nihyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 45. 8Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55. 9Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Marah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, Fiqih Wanita, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 411.
-
4
talaq yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami
kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru, talaq bain inilah yang
tepat untuk disebut putusnya perkawinan.
Talaq bain ini terbagi pula kepada dua macam:
a. Bain sughra, ialah talaq yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas
suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas
istrinya itu.10 Atau talaq yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan
istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui
muhallil.
b. Bain kubra, yaitu talaq yang telah dijatuhkan tiga.11 Atau dengan kata lain
talaq yang tidak memungkinkan suami ruju' kepada mantan istrinya. Dia
hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan
laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis 'iddahnya.
Sebagian berpendapat, perkawinan istri dengan suami kedua tersebut
bukanlah suatu rekayasa licik, akal-akalan, seperti nikah muhallil (sengaja
diselang). Sebagian lainnya mengatakan, hal itu dapat saja terjadi dan
halal bagi suami pertama.
Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan
bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah
muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah
muhallil itu sah.12 Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan
batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah.
10Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 140. 11Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 81. 12Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44.
-
5
Menurut Imam Syafi'i akadnya dianggap sah, hal ini sebagaimana ia
katakan dalam kitabnya al-Umm:
13 Artinya: Seperti demikian juga, kalau lelaki itu kawin dengan seorang
wanita. Niatnya lelaki dan niatnya wanita atau niatnya salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, bahwa lelaki tersebut tidak menahan wanita itu, selain kadar ia menytubuhinya. Maka perkawinan itu menghalalkan wanita tersebut bagi suaminya, yang tetaplah nikah itu. Sama saja diniatkan oleh wali itu bersama kedua suami isteri tersebut atau diniatkan oleh bukan wali atau tidak diniatkan oleh wali dan oleh yang lain dari wali.
Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini
dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil
B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil ditinjau
dari aspek sahnya?
2. Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah
muhallil?
13Imam Syafi'i, al-Umm. Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 86.
-
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil
ditinjau dari aspek sahnya
2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya
nikah muhallil
D. Telaah Pustaka
Dalam penelitian di perpustakaan, peneliti belum mampu menemukan
skripsi yang membahas nikah muhallil, dan berdasarkan penelitian baru
ditemukan skripsi yang judulnya hanya membahas talaq tapi belum
menyentuh persoalan nikah muhallil. Skripsi yang dimaksud di antaranya:
1. Penelitian yang disusun Mukhsin, 2199141 (Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang): Studi Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang
Batalnya Talaq dengan Sumpah Talaq. Dalam skripsi ini dijelaskan
bahwa menurut Ibnu Hazm, talaq dengan sumpah talaq tidak berlaku
sehingga dengan sendirinya talaq yang demikian tidak sah atau batal.
Apabila seorang suami berkata seperti, "apabila akhir bulan datang maka
engkau tertalaq atau ia menyebutkan waktu tertentu maka dengan ucapan
seperti ini tidak berarti jatuh talaq baik sekarang ini maupun nanti ketika
akhir bulan tiba. Alasannya ialah karena di dalam Al-Qur'an dan Sunnah
Nabi tidak ada keterangan tentang jatuhnya talaq seperti itu atau karena
-
7
Allah telah mengajarkan kepada kita tentang mentalaq isteri yang sudah
dikumpuli atau yang belum dikumpuli.
2. Penelitian yang disusun oleh Siti Nur Khasanah, 2100146 (Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang) dengan judul: Studi Komperatif
Terhadap Pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm Tentang Taklik
Talaq Kaitannya Dengan Waktu Yang Akan Datang. Menurut penyusun
skripsi ini bahwa ucapan ta'lik talaq yang dikaitkan pada waktu akan
datang maksudnya ialah: talaq yang diucapkan dikaitkan dengan waktu
tertentu sebagai syarat dijatuhkannya talaq, dimana talaq itu jatuh jika
waktu yang dimaksud telah datang. Contohnya: seorang suami berkata
kepada isterinya: Engkau besok tertalaq atau engkau tertalaq pada akhir
tahun; dalam hal ini talaqnya akan berlaku besok pagi atau pada akhir
tahun, selagi perempuannya masih dalam kekuasaannya ketika waktu
yang telah tiba yang menjadi syarat bergantungnya talaq.
3. Penelitian yang disusun oleh Nur Kheli, 2100043 (Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang) dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i
tentang Talaq Tiga yang Dijatuhkan Sekaligus Sebagai Talaq Sunni.
Penyusun skripsi ini menjelaskan bahwa talaq tiga yang dijatuhkan
sekaligus menurut Imam Malik adalah bukan talaq sunni, sedangkan
Imam Syafi'i dan juga menurut daud al-Zhahiriy memandang yang
demikian adalah talaq sunni. Alasannya adalah bahwa selama talaq yang
diucapkan itu berada sewaktu suci yang belum dicampuri adalah talaq
sunni. Menurut ulama Hanafiyah talaq tiga yang termasuk talaq sunni itu
-
8
adalah talaq tiga yang setiap talaq dilakukan dalam masa suci, dalam arti
talaq tiga tidak dengan satu ucapan.
4. Penelitian yang disusun oleh Aliyatulhikmah, 2101339 (Fakultas Syariah
IAIN Walisongo Semarang)dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i
tentang Hak Waris Istri yang Ditalaq Bain oleh Suami Yang Sedang Sakit
Parah. Menurut penulis skripsi ini bahwa mengenai orang sakit yang
menjatuhkan talaq ba'in kemudian meninggal karena penyakitnya, maka
Imam Malik dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa istrinya (yakni
bekas istri) menerima warisan. Sedang Imam Syafi'i dan fuqaha lainnya
berpendapat bahwa istrinya itu tidak menerima warisan. Fuqaha yang
menetapkan istri menerima warisan terbagi menjadi tiga golongan.
Golongan pertama berpendapat bahwa istri menerima warisan selama ia
masih berada dalam masa 'iddah (ketika suaminya meninggal). Di antara
fuqaha yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah bersama
para pengikutnya dan ats-Tsauri. Golongan kedua berpendapat bahwa istri
mendapat warisan selama ia belum kawin lagi. Fuqaha yang berpendapat
demikian antara lain Imam Ahmad dan Ibnu Abi Laila. Golongan ketiga
berpendapat bahwa istri menerima warisan tanpa dibedakan apakah ia
masih berada dalam masa 'iddah atau tidak, dan apakah ia sudah kawin
lagi atau belum. Ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Laits. Silang
pendapat ini disebabkan oleh perselisihan mereka tentang keharusan
diterapkannya saddu 'dz-dzara-i' (penyumbatan jalan). Demikian itu
karena suami yang sedang sakit yang dalam sakitnya itu menceraikan
-
9
istrinya, dapat dituduh bahwa ia bermaksud menghapuskan bagian
warisan istrinya.
Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu
penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengungkapkan pendapat
Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil..
E. Metode Penelitian
Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-
langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan
masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya
dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:14
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif doktrinal
yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis,
maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research
menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian
murni.15 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau
sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain.
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu karya Imam Syafi'i yang berjudul: Al-Umm. Kitab
14Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 21 - 22.. 15Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 89.
-
10
ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i secara sistematis sesuai dengan
bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam Mazhab Syafii. Kitab
ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam berbagai masalah fikih.
Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam Syafi'i yang dikenal
dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid
(pendapat baru). Al-qaul al-qadim di kemukakan Imam Syafi'i ketika
di Bagdad, sedangkan al-qaul al-qadim dikemukakan Imam Syafi'i
ketika di Mesir. Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid.
Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir,
kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.16
b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di
atas, di antaranya: Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim; Fath al-Mu'in;
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar;
Subulus Salam; Fiqh al-Sunnah.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library
research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang
dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang
digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi berupa bahan
dokumentasi, agar dapat ditemukan berbagai teori hukum, dalil, pendapat,
guna menganalisa masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan
masalah yang sedang dikaji.
16Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132
-
11
4. Metode Analisis Data
Data-data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul
kemudian dianalisis dengan metode komparatif yaitu dengan
membandingkan pendapat Imam Syafi'i dengan ulama lainnya . Metode ini
diterapkan dengan cara mendeskripsikan pendapat dan metode istinbat
hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil dan pendapat para
ulama yang berbeda dan yang sama pandangannya dengan Imam Syafi'i.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-
masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara
dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian,
telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang pernikahan muhallil yang
meliputi pengertian nikah muhallil, rukun dan syarat nikah, pernikahan yang
diharamkan, larangan pernikahan, pendapat para ulama tentang nikah
muhallil.
Bab ketiga berisi pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil
yang meliputi biografi Imam Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya, pendapat
Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil, metode istinbat hukum Imam
Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil.
-
12
Bab keempat berisi analisis pendapat imam Syafi'i tentang nikah
muhallil yang meliputi analisis pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah
muhallil, metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
penutup.
-
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH MUHALLIL
A. Pengertian Akad
Akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul
(pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syariah yang
berpengaruh kepada obyek perikatan1 Rukun yang pokok dalam akad
(perjanjian) itu adalah ijab-qabul yaitu ucapan penyerahan di satu pihak dan
ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-qabul dalam pernikahan ini
merupakan indikasi adanya saling ridha dari pihak-pihak yang mengadakan
akad pernikahan.
Pernikahan berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat
saling ridha yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu akad. Namun suka
saling ridha itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam dari
manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan
suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang
saling ridha itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-qabul itu sebagai suatu
indikasi.2
Ijab-qabul adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang
adanya rasa suka sama suka. Bila pada waktu ini kita dapat menemukan cara
lain yang dapat ditempatkan sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau
1Mustafa Ahmad Zarqa, al-Madhal al-Fiqh alam, Beirut: Darul al-Fikr, 1968, hlm. 247-
248 2Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195
-
14
saling menanda tangani suatu dokumen, maka yang demikian telah memenuhi
unsur suatu akad.
B. Unsur-Unsur Akad
Setidaknya ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qur'an yang berhubungan
dengan perjanjian, yaitu al-'aqdu (akad) dan al-'ahdu (janji). Pengertian akad
secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya
adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi
seperti seutas tali yang satu.3 Kata al-'aqdu terdapat dalam QS. al-Maidah (5):
1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman
Djamil, istilah al-'aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam
KUH Perdata.4 Sedangkan istilah al-'ahdu dapat disamakan dengan istilah
perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan
orang lain.5 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76, yaitu "sebenarnya
siapa yang menepati janji (huruf tebal dari penulis) (yang dibuat)nya dan
bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa."6
Para ahli Hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad
sebagai: "pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara yang
3Ghufron A. Mas'adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 75. 4 Faturrahman Djamil, "Hukum Perjanjian Syari'ah", dalam Kompilasi Hukum Perikatan
oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 247-248. 5Ibid., hlm. 248 6Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, ed. Revisi, Semarang: Kumudasmoro
Grafindo Semarang, 1994, hlm. 88.
-
15
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya."7 Abdoerraoef
mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-aqdu) melalui tiga tahap, yaitu
sebagai berikut:8
1. Al'Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya
dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya
untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh
Allah SWT dalam QS. Ali Imran (3): 76.
2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut hams sesuai dengan
janji pihak pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan 'akdu' oleh al-Qur'an yang terdapat dalam
QS. al-Maidah (5): 1. Maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau 'ahdu itu, tetapi akdu.
Sebagai contoh, jika A menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil
kemudian B menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil, maka A dan B
berada pada tahap 'ahdu. Apabila merek mobil dan harga mobil disepakati
oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji tersebut
7Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi,
Yogyakarta: U1I Press, 2000, hlm. 65; dan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu'amalah, cet. 1, ed. 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 14.
8Abdoerraoef, Al-Qur'an dan llmu Hukum: A Comparative Study, Djakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 122-123.
-
16
dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh
A, maka terjadi perikatan atau 'akdu di antara keduanya.
Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang
dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Subekti
memberi pengertian perikatan adalah "suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu."9 Sedangkan, pengertian perjanjian menurut Subekti
adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal."10
Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan di antara orang-orang tersebut
yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan
dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang
tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah
satu sumber perikatan.
Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam
dan KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan
Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua
tahap), baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata,
perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang
kemudian menimbulkan perikatan di antara mereka. Menurut A Gani
Abdullah, dalam Hukum Perikatan Islam, titik tolak yang paling
9 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 14, Jakarta: Intermasa, 1992, hlm. 1. 10 Ibid.
-
17
membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam
tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan
dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah 'aqdu (perikatan).
C. Rukun dan Syarat Akad .
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa definisi akad adalah pertalian
antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat
hukum terhadap obyeknya. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur
yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:11
1. Pertalian ijab dan kabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan
menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya
(qaabil). Ijab dan kabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan.
Bentuk dari ijab dan kabul ini beraneka ragam dan diuraikan pada bagian
rukun akad.
2. Dibenarkan oleh syara'
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari'ah atau
hal-hal yang diatur oleh Allah SWT. dalam al Qur'an dan Nabi
Muhammad SAW, dalam Hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun
objek akad tidak boleh bertentangan dengan syari'ah. Jika bertentangan,
akan mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu perikatan
yang mengandung riba atau objek perikatan yang tidak halal (seperti
11Mas'adi, op. cit., hlm 1. 76-77 dan Djamil, op. cit., hlm. 248
-
18
minuman keras), mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut
Hukum Islam.
3. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf).
Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang
diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan
kewajiban yang mengikat para pihak.
Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan
tasharruf. Musthafa Az-Zarqa, mendefinisikan tasharruf adalah "segala
sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara'
menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).12 Menurut
Mustafa az-Zarqa, tasharruf memiliki dua bentuk, yaitu sebagai berikut:13
a. Tasharruf fi'li (perbuatan). Tasharruf fi'li adalah usaha yang dilakukan
manusia dari tenaga dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus
atau mengelola tanah yang dibiarkan kosong oleh pemiliknya.
b. Tasharruf qauli (perkataan). Tasharruf qauli adalah usaha yang keluar dari
lidah manusia. Tidak semua perkataan manusia digolongkan pada suatu
akad. Ada juga perkataan yang bukan akad, tetapi merupakan suatu
perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi dalam dua bentuk, yaitu sebagai
berikut:
1) Tasharruf qauli aqdi adalah sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua
pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan
12Ibid, hlm. 77 13Ibid., hlm. 78. Lihat juga Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 25-27.
-
19
kabul. Pada bentuk ini, ijab dan kabul yang dilakukan para pihak ini
disebut dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan
di antara mereka.
2) Tasharruf qauli ghairu aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat
akad atau tidak ada ijab dan kabul. Perkataan ini ada yang berupa
pernyataan dan ada yang berupa perwujudan.
(a) Perkataan yang berupa pernyataan, yaitu pengadaan suatu hak atau
mencabut suatu hak (ijab saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak,
pemberian hibah. Namun, ada juga yang tidak sependapat
mengenai hal ini, bahwa ikrar wakaf dan pemberian hibah
bukanlah suatu akad. Meskipun pemberian wakaf dan hibah hanya
ada pernyataan ijab saja tanpa ada pernyataan kabul, kedua
tasharruf ini tetap termasuk dalam tasharruf yang bersifat akad.
(b) Perkataan yang berupa perwujudan, yaitu dengan melakukan
penuntutan hak atau dengan perkataan yang menyebabkan adanya
akibat hukum. Sebagai contoh, gugatan, pengakuan di depan
hakim,. sumpah. Tindakan tersebut tidak bersifat mengikat,
sehingga tidak dapat dikatakan akad, tetapi termasuk perbuatan
hukum.
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk
-
20
sahnya suatu pekerjaan,"14 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan,
petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."15
Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn],
jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang dan
sandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan
syarat (Arab, syarth jamaknya syara'ith) secara literal berarti pertanda,
indikasi dan memastikan. Dalam istilah para ahli hukum Islam, rukun
diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari
keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu
sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku)
berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan
yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati). Adapun
syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad
Al-Khudlari Bek, ialah: "sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan
(mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri." Yang demikian itu terjadi,
kata Al-Khudlari, karena hikmah dari ketiadaan syarat itu berakibat pula
meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum.16
Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
14Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2002, hlm. 966. 15Ibid., hlm. 1114. 16Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm. 95
-
21
sesuatu itu."17 Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya
keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada."18 Perbedaan antara rukun
dan syarat menurut ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang
kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu
sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung
keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri.19 Sebagai
contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat
itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal,
tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan
bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak
sah.
Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan
rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam di kalangan para ahli fiqih.
Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-
'aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-'aqidain (subjek
akad) dan mahallul 'aqd (objek akad). Alasannya adalah al-'aqidain dan
mahallul 'aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum
akad). Kedua hal tersebut berada di luar perbuatan akad. Berbeda halnya
dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi'i termasuk Imam Ghazali dan
kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-'aqidain dan
17Abdul Azis Dahlan, ed.. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: Ichtiar Barn van
Hoeve, 1996, hlm. 1510 18Ibid., hlm. 1691. 19Ibid., hlm. 1692.
-
22
mahallul 'aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan
salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.20
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-'aqidain,
mahallul 'aqd, dan sighat al-'aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-
Zarqa menambah maudhu'ul 'aqd (tujuan akad). la tidak menyebut keempat
hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat 'aqd (unsur-unsur
penegak akad).21 Sedangkan menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal
tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk
terbentuknya suatu akad.22
Dalam konteksnya dengan uraian di atas, bahwa dalam transaksi
ekonomi dikenal pula istilah khiyar. Kata al-khiyar dalam bahasa Arab, berarti
pilihan. Pembahasan al-khiyar dikemukakan para Ulama Fiqih dalam
permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya
transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang
melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi
dimaksud.
Secara terminologis para Ulama Fiqih mendefinisikan al-khiyar
dengan: Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan
transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati
sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan
transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan,
20Mas'adi, op. cit., hlm. 79 21Ibid. hlm. 81. Lihat juga Djamil, op.cit, hlm. 252-258. 22Ash-Shiddieqy, op. cit., hal. 23. 80-86 3.
-
23
sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan
sebaik-baiknya, Status khiyar, menurut Ulama Fiqih, adalah disyariatkan atau
dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Berikut dikemukakan beberapa pengertian masing-masing khiyar:
1) Khiyar al-Majlis
Yang dimaksud dengan khiyar al-majlis, yaitu hak pilih kedua
belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya
masih berada dalam majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah
badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah
pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau salah seorang di
antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.
Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat
mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual-beli
dan sewa menyewa.
Dasar hukum adanya khiyar al-majlis ini adalah Sabda Rasulullah
SAW. yang berbunyi: "Apabila dua orang melakukan akad jual-beli, maka
masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum
berpisah badan ,. ."(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn 'Umar)
Para pakar hadis menyatakan, bahwa yang dimaksudkan
Rasulullah SAW. dengan kalimat "berpisah badan" adalah setelah
melakukan akad jual-beli barang diserahkan kepada pembeli dan harga
barang diserahkan kepada penjual. Imam an-Nawawi, muhadis dan pakar
fiqih Syafi'i, mengatakan bahwa untuk menyatakan penjual dan pembeli
-
24
telah berpisah badan, seluruhnya diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan
masyarakat setempat di mana jual-beli itu berlangsung.
2) Khiyar at-Ta'yin
Yang dimaksud dengan khiyar at-ta'yin, yaitu hak pilih bagi
pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual-beli.
Contoh adalah dalam pembelian keramik, misalnya, ada yang berkualitas
super (KW 1) dan sedang (KW 2). Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui
secara pasti mana keramik yang super dan mana keramik yang berkualitas
sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan bantuan pakar
keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut Ulama Hanafiyah adalah
boleh. Dengan alasan, bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat
banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli,
sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak
tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka
khiyar at'ta'yin diperbolehkan.
3) Khiyar asy-Syarth
Yang dimaksud dengan khiyar asy-syarth, yaitu hak pilih yang
ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi
orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli, selama masih
dalam tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan
"saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih
antara meneruskan atau membatalkan akad selama seminggu.
-
25
Para Ulama Fiqih sepakat menyatakan, bahwa khiyar asy-syarth ini
dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur
penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual. Khiyar asy-syarth,
menurut mereka hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat
kedua belah pihak, seperti jual-beli, sewa menyewa, perserikatan dagang,
dan ar-rahn (jaminan utang). Untuk transaksi yang sifatnya tidak mengikat
kedua belah pihak, seperti hibah, pinjam-meminjam, perwakilan (al-
wakalah), dan wasiat, khiyar seperti ini tidak berlaku. Demikian juga
halnya dalam akad jual- beli pesanan (bai' as-salam) dan ash-sharf (valuta
asing), khiyar asy-syarth juga tidak berlaku sekalipun kedua akad itu
bersifat mengikat kedua belah pihak yang berakad, karena dalam jual beli
pesanan, diisyaratkan pihak pembeli menyerahkan seluruh harga barang
ketika akad disetujui, dan dalam akad ash-sharf diisyaratkan nilai tukar
uang yang dijualbelikan harus diserahkan dan dapat dikuasai (diterima)
masing-masing pihak setelah persetujuan dicapai dalam akad. Sedangkan
khiyar asy-syarth menentukan, bahwa baik barang maupun nilai/ harga
barang baru dapat dikuasai secara hukum, setelah tenggang waktu khiyar
yang disepakati itu selesai.
Menurut Imam Abu Hanifah, Zufar ibn Huzail (728- 774 M), pakar
fiqih Hanafi dan Imam asy-Syafi'i (150- 204 H/767- 820 M), tenggang
waktu dalam khiyar asy-syarth tidak lebih dari tiga hari. Hal ini sejalan
dengan hadis yang berbicara tentang khiyar asy-syart, yaitu hadis tentang
kasus Habban ibn Munqiz yang melakukan penipuan dalam jual-beli,
-
26
sehingga para konsumen mengadu kepada Rasulullah SAW. yang ketika
itu bersabda sebagai berikut:
"Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada
penjual): Jangan ada tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga
hari".(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar).
Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa tenggang waktu itu
ditentukan sesuai dengan keperluan itu boleh berbeda untuk setiap objek
akad. Untuk buah-buahan, khiyar tidak boleh lebih dari satu hari. Untuk
objek lainnya, seperti tanah dan rumah diperlukan waktu lebih lama.
Dengan demikian, menurut mereka, tenggang waktu amat tergantung pada
objek yang diperjualbelikan.
Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari sebab berikut itu:
a) Terjadi penegasan pembatalan akad atau penetapannya.
b) Berakhir batas waktu khiyar.
c) Terjadi kerusakan pada objek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi
dalam penguasaan pihak penjual, maka akadnya batal dan berakhirlah
Khiyar. Namun, apabila kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan
pembeli, maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad.
d) Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak
pembeli, baik dari segi jumlah seperti, beranak atau bertelur atau
mengembang
e) Wafatnya shahibul khiyar, ini menurut pendapat Mahzab Hanafiyah
dan Hanabilah. Sedangkan Mahzab Syafi'iyah dan Malikiyah
-
27
berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris
ketika shahibul khiyar berakhir.
4) Khiyar al'Aib
Yang dimaksud dengan Khiyar al'Aib, yaitu hak untuk
membatalkan atau melangsungkan jual-beli bagi kedua belah pihak yang
berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjualbelikan,
dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.
Misalnya, seseorang membeli telur ayam satu kilogram, kemudian satu
butir di antaranya sudah busuk atau ketika telur dipecahkan sudah menjadi
anak ayam. Hal ini sebelumnya belum diketahui, baik oleh penjual
maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini, menurut para pakar fiqih,
ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar hukum khiyar al'Aib di
antaranya; adalah sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi: "Sesama muslim
itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjadi barangnya kepada
muslim lain, padahal pada barang terdapat 'aib/cacat. (HR. Ibn Majah dari
'Uqbah ibn 'Amir)
Khiyar al'Aib ini, menurut kesepakatan Ulama Fiqih, berlaku sejak
diketahuinya cacat pada barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh
ahli waris pemilik hak khiyar.
Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak objek
jual-beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang.
Tetapi, menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah seluruh cacat yang
-
28
menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan
daripadanya.
Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar al'-Aib, menurut para
pakar fiqih, cacat pada barang itu adalah:
a) cacat itu diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima
barang dan harga; atau cacat itu merupakan cacat lama.
b) pembeli tidak mengetahui, bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad
berlangsung.
c) ketika akad berlangsung, pemilik barang (penjual) tidak mensyaratkan,
bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan.
d) cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.
5) Khiyar ar' Ru'yah
Yang dimaksud dengan Khiyar ar-Ru'yah, yaitu hak pilih bagi
pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual-beli yang ia lakukan
terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Jumhur
ulama fiqih, yang terdiri atas Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan
Zahiriyah menyatakan, bahwa khiyar ar-Ru'yah disyariatkan dalam Islam
berdasarkan Sabda Rasulullah SAW, yang mengatakan: "Siapa yang
membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu". (HR. ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan objek
yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena
-
29
sulit dilihat, seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar ar-Ru'ya, menurut
mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan ia beli.
Akan tetapi, Ulama Syafi'iyah dalam pendapat baru (Al-Mahzab
al-jadid), mengatakan bahwa jual-beli yang gaib tidak sah, baik barang itu
disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut
mereka, khiyar ar-Ru'yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung
unsur penipuan yang boleh membawa kepada perselisihan, dan hadis
Rasulullah SAW. menyatakan: Rasulullah SAW. melarang jual-beli yang
mengandung penipuan. (HR .al-Jamaah) {mayoritas pakar hadis}, kecuali
al-Bukhari.
Hadis yang dikemukakan jumhur di atas, menurut mereka, adalah
hadis dho'if (lemah), tidak boleh dijadikan dasar hukum. jumhur Ulama
mengemukakan beberapa syarat berlakunya Khiyar ar-Ru'yah, yaitu:
a) Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
b) Obyek akad itu berupa materi, seperti tanah, rumah, dan kendaraan.
c) Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan, seperti jual-beli
dan sewa menyewa. Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, menurut
Jumhur Ulama, maka Khiyar ar-Ruyah tidak berlaku. Apabila akad ini
dibatalkan berdasarkan Khiyar ar-Ru'yah menurut Jumhur Ulama,
pembatalan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1) hak khiyar masih berlaku bagi pembeli;
2) pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual, seperti pembatalan
hanya dilakukan pada sebagian objek yang dijual belikan; dan
-
30
3) pembatalan itu diketahui pihak penjual.
6) Khiyar Naqad (pembayaran) pihak melakukan jual-beli dengan ketentuan, jika
pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak
menyerahkan barang, dalam batas waktu tertentu, maka pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya.
D. Akad Nikah Muhallil
Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata kata, zawaj. Dalam
Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikah ( ) dan az-
ziwaj/az-zawj atau az-zijah - - ( ). Secara harfiah, an-nikah
berarti al- wath'u ( ), adh-dhammu ( ) dan al-jam'u ( ). Al-
wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an - - ( ), artinya
berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli
dan bersetubuh atau bersenggama.23 Adh-dhammu, yang terambil dari akar
kata dhamma - yadhummu dhamman ( - - ) secara harfiah
berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,
menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan.
Juga berarti bersikap lunak dan ramah.24
Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jamaa - yajma'u -
jam'an - - ( ) berarti: mengumpulkan, menghimpun,
menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya
23Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1461. 24Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm.42-43
-
31
mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-
jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua
aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.25
Sebutan lain buat pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj dan az-zijah.
Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan ( - - - ) yang secara
harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu
domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini ialah at-
tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju- tazwijan )-
- ( dalam bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu- taf'ilan" )- -
( yang secara harfiah berarti menikahkan, mencampuri, menemani,
mempergauli, menyertai dan memperistri.26 Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz
al-Malibary dalam kitabnya mengupas tentang pernikahan. Pengarang kitab
tersebut menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan
melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan. Kata
nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.27
Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum pernah
nikah", artinya bahwa si A belum pernah mengkabulkan untuk dirinya
terhadap ijab akad nikah yang memenuhi rukun dan syaratnya. Jika dikatakan:
"Anak itu lahir diluar nikah", artinya bahwa anak tersebut dilahirkan oleh
25Ibid, hlm. 43. 26Ibid, hlm. 43-44. 27Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Muin, Beirut: Dar al-Fikr, t.th,
hlm. 72.
-
32
seorang wanita yang tidak berada dalam atau terikat oleh ikatan pernikahan
berdasarkan akad nikah yang sah menurut hukum.
Dalam pasal 1 Bab I Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan;
"Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".28
Dalam konteksnya dengan pernikahan muhallil, maka yang dimaksud
dengan nikah muhallil adalah nikah untuk menghalalkan mantan istri yang
telah ditalak tiga kali. Menurut Ibnu Rusyd, nikah muhallil adalah nikah yang
dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah ditalaq tiga kali.29
Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya adalah
haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti perbuatan yang
menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan nikah menjadi
boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain
melakukan nikah itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal
melakukan nikah disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai
muhallallah.30
Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan untuk
menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali
28Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
(INPRES No 1 Tahun 1991), pernikahan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
29Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 44.
30Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm.. 103.
-
33
kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya
sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak
boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah
menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:
):230( Artinya: Kemudian jika suami menalaknya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali bila dia telah kawin dengan suami lain. (QS. al-Baqarah: 230).31
Yang dimaksud dengan menikah dengan laki-laki lain dalam ayat
tersebut bukan hanya sekadar melakukan akad nikah, tetapi lebih jauh telah
melakukan hubungan kelamin sebagaimana layaknya kehidupan suami istri
pada umumnya.
Suami kedua yang telah mengawini perempuan itu secara biasa dan
kemudian menceraikannya dengan cara biasa sehingga suami pertama boleh
kawin dengan mantan istrinya itu sebenarnya dapat disebut muhallil. Namun
tidak diperkatakan dalam hal ini, karena nikahnya telah berlaku secara
alamiah dan secara hukum.32
Suami yang telah menalak istrinya tiga kali itu sering ingin kembali
lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut
ketentuan nikah yaitu mantan istri kawin dengan suami kedua dan hidup
secara layaknya suami istri, kemudian karena suatu hal yang tidak dapat
31Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 56. 32Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 43 44.
-
34
dihindarkan suami yang kedua itu menceraikan istrinya dan habis pula
iddahnya, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat
maksudnya itu ia mencari seorang laki-laki yang akan mengawini bekas
istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syarat bahwa setelah
berlangsung akad nikah segera diceraikan sebelum sempat digaulinya. Ini
berarti kawin akal-akalan untuk cepat menghentikan suatu yang diharamkan.
Atau sengaja melakukan nikah secara akal-akalan untuk mempercepat
berlangsungnya nikah suami pertama dengan mantan istrinya. Nikah akal-
akalan seperti inilah yang, disebut nikah tahlil dalam arti sebenarnya. Suami
kedua disebut muhallil dan suami pertama yang merekayasa nikah kedua
disebut muhallallah.33
Nikah tahlil biasanya dalam bentuk persyaratan yang dilakukan
sebelum akad atau syarat itu disebutkan dalam ucapan akad, seperti: "Saya
kawinkan engkau kepadanya sampai batas waktu engkau menggaulinya"; atau
"Saya kawinkan engkau dengan syarat setelah engkau menghalalkannya tidak
ada lagi nikah sesudah itu"; atau "saya kawinkan engkau kepadanya dengan
ketentuan setelah engkau halalkan segera menalaknya". Dalam bentuk ini
nikah tahlil nikah dengan akad bersyarat. Nikah tahlil ini tidak menyalahi
rukun yang telah ditetapkan; namun karena niat orang yang mengawini itu
tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, nikah ini dilarang oleh Nabi
dan pelakunya baik laki-laki yang menyuruh kawin (muhallallah) atau laki-
laki yang menjadi penghalal itu (muhallil) dilaknat.
33Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.
21.
-
35
BAB III
PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG
SAHNYA NIKAH MUHALLIL
A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karyanya
1. Latar Belakang Imam Syafi'i
Imam Syafi'i adalah imam ketiga dari empat imam madzhabi
menurut urutan kelahirannya.1 Nama lengkap Imam Syafi'i adalah
Muhammad ibn Idris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafii ibn al-Saib ibn
Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.2
Lahir di Ghaza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150
H/767 M, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman
Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Jafar al
Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun
204 H/820 M.3
Imam Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi
di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun
kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari
perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.
1Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat
Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 127. 2Syeikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60,
"Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, hlm. 355. 3Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.
-
36
Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan
mereka.
Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an
dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian
menghafal hadi. Ia menerima haditsdengan jalan membaca dari atas
tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke
tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat
dipakai.4
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri
dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.
Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari
bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di
pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam
bidang syair yang digubah kabilah Huzail itu, amat indah susunan
bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain
panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal
hadits, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai
kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah.
Imam Syafi'i belajar pada ulama-ulama Mekkah, baik pada ulama-
ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadits, sehingga ia terkenal dalam
bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu.
Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam Syafi'i
4Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.
-
37
bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh kedudukan
yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.5
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah al-Munawwarah ada
seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang memang pada masa itu
terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang
ilmu dan hadits. Imam Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi
sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta',
susunan Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Kemudian ia
berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan
membawa sebuah surat dari gubernur Mekkah. Mulai ketika itu ia
memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping mempelajari al-
Muwatta'. Imam Syafi'i mengadakan mudarasah dengan Imam Malik
dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam
Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa
dan matang.6
Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam
Syafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan sunnah atau
metode istinbat (ushul fiqih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya
dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada
kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu
yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi
demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul
5Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 28. 6TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 481.
-
38
fiqih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang
ahli haditsbernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar
Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbat.7
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum
Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu disusun ketika Imam
Syafi'iberada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu
berada di Mekkah. Imam Syafi'i memberi judul bukunya dengan "al-
Kitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku), kemudian lebih dikenal
dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat." Dinamakan demikian,
karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada Abdurrahman bin
Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun dikenal dengan ar-Risalah
al-Qadimah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya
termuat buah-buah pikiran: Imam Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah
sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan
bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan
al-Risalah al-Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul-fiqih sepakat
menyatakan bahwa kitab ar-Risalah karya Imam Syafi'i ini merupakan
kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih
sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun
pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.8
7Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. 8Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 361.
-
39
2. Pendidikan
Imam Syafi'i menerima fiqih dan haditsdari banyak guru yang
masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-
tempat berjauhan bersama lainnya. Imam Syafi'i menerima ilmunya dari
ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan
ulama-ulama Yaman.9
Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah,
Muslim ibn Khalid al-Zanzi, Said ibn Salim al-Kaddlah, Daud ibn abd-
Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad.
Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Imam Malik ibn
Annas, Ibrahim ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz ibn Muhammad ad-
Dahrawardi, Ibrahim ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad ibn Said Ibn
Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi teman ibn Abi Zuwaib.10
Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf ibn
Mazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn abi Salamah, teman Auzain dan
Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits. Ulama-ulama Iraq yang menjadi
gurunya ialah: Waki ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, dua
ulama Kuffah Ismail ibn Ulaiyah dan Abdul Wahab ibn Abdul Majid, dua
ulama Basrah. Juga menerima ilmu dari Muhammad ibn al-Hasan yaitu
dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya.
Dari padanyalah dipelajari fiqih Iraqi.11
9Mahmud Syalthut, op.cit. hlm. 18. 10Ibid 11TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 486-487.
-
40
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H
Imam Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar dan
mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam
membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka
menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah
tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197
H), dan akhirnya di Mesir (198-204 H). Dengan demikian ia sempat
membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan
bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang
terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhabi Hanbali),
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-
Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270
H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting
dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam Syafi'i.12
Imam Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jumat tanggal 30
Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak
orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan
makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.13
3. Karyanya
Karya-karya Imam Syafi'i yang berhubungan dengan judul di atas
di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i
secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama
12Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1680.
13Ibid, hlm. 18.
-
41
dalam Madzhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam
berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam
Syafi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan
al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam
delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fiqih Imam Syafi'i yang
berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-
Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.14
(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqih yang pertama
kali dikarang dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar
ilmu ushul fiqih. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi'i
dalam menetapkan hukum.15 (3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra;
Mukhtasar al-Buwaithi;16 Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab
Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastra.17 Siradjuddin Abbas dalam
bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam
fiqih Imam Syafi'i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas masing-masing
dari karya Imam Syafi'i tersebut.18 Ahmad Nahrawi Abd al-Salam
menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi'i adalah Musnad li al-
Syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.19
14TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. 15Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 16Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat
Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144. 17Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab",
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110. 18Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 19Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44.
-
42
B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan
bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah
muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah
muhallil itu sah.20 Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan
batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah.
Menurut Imam Syafi'i akadnya dianggap sah, hal ini sebagaimana ia
katakan dalam kitabnya al-Umm:
21 Artinya: Seperti demikian juga, kalau lelaki itu kawin dengan seorang
wanita. Niatnya lelaki dan niatnya wanita atau niatnya salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, bahwa lelaki tersebut tidak menahan wanita itu, selain kadar ia menytubuhinya. Maka perkawinan itu menghalalkan wanita tersebut bagi suaminya, yang tetaplah nikah itu. Sama saja diniatkan oleh wali itu bersama kedua suami isteri tersebut atau diniatkan oleh bukan wali atau tidak diniatkan oleh wali dan oleh yang lain dari wali.
Dalam perspektif Imam Syafi'i apabila seorang suami menceraikan
istrinya dengan talak yang sudah berjumlah tiga, kemudian istri itu menikah
lagi dengan pria lain. niat keduanya untuk menghalalkan kembalinya istri itu
pada suami pertama, maka jika hanya sekedar niat tanpa diucapkan syarat itu
dalam akad nikah, maka pernikahan yang demikian dianggap halal. Yang
20Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44. 21Imam Syafi'i, al-Umm. Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 86.
-
43
penting telah melakukan layaknya hubungan suami istri, maka jika terjadi
perceraian lagi dan istri ingin menikah lagi dengan suami pertama, maka
nikahnya halal.
C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil
Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i
menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah
muhallil dengan nikah biasa.
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Dua
sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya
merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil
lain selain al-Qur'an dan sunnah seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi
tiga dalil disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya
merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung
oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Karena hanya sebagai alat bantu untuk
memahami al-Qur'an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai
metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode
istinbat. Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil digunakan untuk Al-
Qur'an dan Sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur'an dan Sunnah seperti
ijma', qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, 'urf dan sadd az-zari'ah
tidak digunakan istilah dalil. Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil
yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati,22 yang disepakati yaitu
al-Qur'an, as-sunnah, ijma, qiyas. Sedangkan yang belum disepakati yaitu
22Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2007, hlm. 77-78.
-
44
istihsan, maslahah mursalah, istishhab, mazhab shahabi, syari'at kaum
sebelum kita.
Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i
menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah
muhallil dengan nikah biasa. Qiyas menurut bahasa Arab berarti
menyamakan, membandingkan atau mengukur.23 Menurut Hanafi, qiyas
menurut istilah, ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada
ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.24
Menurut Abd al-Wahhb Khalf, qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh
adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan
suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena
persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.25 Sejalan dengan itu, menurut
Abu Zahrah, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam al-Qur'an dan hadis dengan cara membandingkannya dengan
sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash atau menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.26
Apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus
dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk
mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus
23Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, Jiid I, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 107. 24A. Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, 2001, hlm. 128. 25Abd al-Wahhb Khalf, Ilm usl al-Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,
Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 66. 26Muhammad Abu Zahrah, Usl al-Fiqh, Terj. Saefullah Ma'shum, et al, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003, hlm. 336.
-
45
yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada
kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada
nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum
itu ada di mana illat hukum ada.27
Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para
ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat yaitu:28
(1). Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah
ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur'an atau dalam Sunnah
Rasulullah. Ashal disebut juga al-maqis 'alaih (tempat mengiyaskan
sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramnya dalam ayat:
) :90(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan Al-Qur'an. (QS. al-Maidah/5:90).29
Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi adalah:
a). Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada
pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan
(mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat
pemindahan hukum.
27Abd al-Wahhb Khalf, op.cit., hlm. 66. 28Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 132 29Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1999, hlm. 179.
-
46
b). Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara',
bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa,
karena pembicaraan kita adalah qiyas syara'.
c). Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti
sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.
Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada
apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya
(meniadakannya), tetapi puasanya tetap ada.30
(2). Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara' yang terdapat pada ashal yang
hendak ditetapkan pada far'u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya
hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Qur'an.
Syarat-syarat hukum ashal, menurut Abu Zahrah, antara lain adalah:
a). Hukum ashal hendaklah berupa hukum syara' yang berhubungan
dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian Ushul Fiqh
adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b). Hukum ashal dapat ditelusuri 'illat (motivasi) hukumnya. Misalnya
hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu
diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal
pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui 'illat
hukumnya (gairu ma'qul al-ma'na), seperti masalah bilangan rakaat
shalat.
c). Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi
30Hanafie, op.cit., hlm. 129.
-
47
Muhammad SAW misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari
empat orang wanita sekaligus.31
(3). Adanya cabang (far'u), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan
hukumnya dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma', yang hendak ditemukan
hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky. Syarat-
syaratnya, seperti dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting:
a). Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul fiqh
menetapkan bahwa: "Apabila datang nas (penjelasan hukumnya
dalam Al-Qur'an atau sunnah), qiyas menjadi batal". Artinya, jika
cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada ketegasan hukumnya
dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam
masalah tersebut.
b). 'Illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat
pada ashal.
c). Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.32
(4). 'Illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas, karena
berdasarkan 'illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan. 'Illat menurut bahasa
berarti "sesuatu yang bisa mengubah keadaan", misalnya penyakit
disebut 'illat karena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena
penyakit itu.33
31Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 359. 32Hanafie, op.cit., hlm. 129. 33Satria Effendi, M. Zein, op.cit., hlm. 135.
-
48
Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i
menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah
muhallil dengan nikah biasa yang dapat dijelaskan sebagai berikut:.
(1) Ashal yaitu nikah biasa yaitu dipenuhinya syarat dan rukun
(2) Hukum ashal yaitu menikah itu menghalalkan hubungan suami istri
(3) Fara yang berarti nikah muhallil
(4) Illat, ada ijab qabul, ada kedua calon mempelai, ada saksi, ada wali.
Hadi