Download - Sken 1 Traumatologi Completed
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK XXIII TRAUMATOLOGI
SKENARIO 1
PENANGANAN PASIEN TRAUMA KEPALA BERAT YANG DISERTAI
DENGAN MULTITRAUMA
Oleh
Kelompok 17:
Dewi Okta A (G0009056)
Ahmad Afiyyuddin N (G0009008)
Annisa Marsha Evanti (G0009020)
David Kurniawan S (G0009050)
Devi Purnamasari S (G0009054)
Gia Noor Pratami (G0009092)
Gloria K Evasari (G0009094)
Ichsanul Amy H (G0009104)
Isfalia Muftiani (G0009112)
Kristianto Aryo N (G0009118)
Siti Arifah (G0009200)
Tutor: Udi Herunefi, dr, SpOT
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Trauma Kepala
Trauma atau cedera kepala sering menyebabkan trauma pada sistem
saraf pusat. Trauma pada sistem saraf pusat merupakan penyebab kematian
pada trauma. Cedera kepala traumatik dikategorikan menjadi beberapa derajat,
yaitu ringan (80%), sedang (10%), atau berat (10%), tergantung dari tingkat
disfungsi neurologis pada saat penilaian. Penentuan dengan Glasgow Coma
Scale (GCS) sangat penting dilakukan sesegera mungkin, dan dilakukan
secara beberapa kali. Loss of consciousness (LOC) merupakan indikator
penting dari cedera kepala traumatik. Klasifikasi cedera kepala traumatik
berdasarkan GCS (Marion, 2002):
A. Cedera Kepala Ringan :
- Skor GCS 13-15.
- Periode LOC singkat.
- Prognosis sangat baik.
- Tingkat mortalitas <1%.
B. Cedera Kepala Sedang :
- Skor GCS 9-12.
- Biasanya dalam keadaan bingung dan terdapat defisit
neurologis fokal; dapat mengikuti perintah sederhana.
- Prognosis baik.
- Tingkat mortalitas <5%.
C. Cedera Kepala Berat :
- Biasanya skor GCS <8
- Tidak dapat mengikuti perintah.
- Tingkat mortalitas hingga saat ini >40%.
- Pasien akan memiliki kecacatan
- Meningkatnya TIK merupakan penyebab kematian
Berdasarkan patologinya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi
cedera kepala primer, kerusakan otak sekunder, edema serebral perifokal
generalisata, dan pergeseran otak (brain shift)-herniasi batang otak
(Satyanegara, 2010).
A. Cedera kepala primer dapat berupa (Satyanegara, 2010):
a. Fraktur linier, depresi, basis kranii, kebocoran likuor.
b. Cedera fokal berupa kontusi kup atau
konterkup,hematom epidural, subdural, atau intraserebral.
c. Cedera difus berupa konkusi ringan atau klasik atau
berupa cedera aksonal difusa yang ringan, moderat, hingga
berat.
d. Trauma tembak.
B. Cedera kepala sekunder dapat berupa (Satyanegara, 2010):
a. Gangguan sistemik: akibat hipoksia-hipotensi, gangguan
metabolisme energi, dan kegagalan otoregulasi.
b. Hematom traumatika: epidural, subdural (akut dan
kronis), atau intraserebral.
Penatalaksanaan Cedera Kepala Traumatik Berat
Pada manajemen perawatan intensif pada pasien dengan cedera kepala
traumatik berat (GCS <8), tujuan utamanya adalah mencegah cedera kepala
sekunder dengan membatasi iskemia serebral fokal dan meningkatkan perfusi
serebral. Hal ini dapat tercapai dengan baik dengan mengawasi parameter
fisiologis secara kontinu dan penggunaan terapi yang tepat untuk menurunkan
tekanan intra kranial (TIK) (Marion, 2002).
1. Monitoring pasien dengan cedera kepala traumatik berat
a. Tekanan darah arterial
b. Denyut jantung, electrocardiogram (ECG), suhu, dan oksimeter
c. Monitoring tekanan vena sentral atau kateter arteri pulmonalis
d. Monitoring TIK
e. Keseimbangan cairan (intake dan output)
f. Tes gas darah arterial setiap 4 sampai 6 jam; elektrolit dan
osmolalitas serum (jika menerima manitol) setiap 6 jam; hematokrit,
PT, PTT, platelets setiap jam.
g. Saturasi O2 vena jugularis.
2. Tujuan terapi
a. Rata-rata tekanan darah arterial dari 90 hingga 110 mmHg pada
orang dewasa.
b. Saturasi O2 (arterial) 100%
c. TIK <20 mmHg
d. CPP >60-70 mmHg
e. PaCO2 = 35 ± 2 mmHg
f. Hematokrit = 32 ± 2 %
g. Tekanan vena sentral = 8 hingga 14 cm H2O
h. Hindari cairan intravena yang mengandung dextrose untuk 24 jam
pertama
i. Mempertahankan saturasi O2 vena jugularis >50% atau isi O2 4-6%
j. Memastikan PT, PTT, dan hitung trombosit normal
k. Merpertahankan suhu normal
3. Penanganan TIK yang meningkat
a. Peningkatan hasil dapat diharapkan jika TIK tetap terjaga <20
mmHg. Alat pengontrol TIK yang dianjurkan adalah kateter
ventriculostomy yang dihubungkan dengan alat ukur. Sistem ini relatif
tidak mahal, akurat, dan memungkinkan drainase CSF ketika
pengaturan atau pengontrolan TIK diperlukan.
b. Kateter substansia alba juga akurat dan dapat dipergunakan dengan
lebih mudah, namun lebih mahal dan tidak dapat digunakan untuk
drainase CSF.
c. Drainase CSF kontinu tidak dianjurkan karena dinding ventrikuler
dapat kolaps disekeliling kateter dan menutup salurannya.
d. Satu kali pengulangan pemeriksaan CT scan kepala sebaiknya
dilakukan dalam 24 jam setelah pemeriksaan CT scan pertama untuk
mengetahui adanya delayed posttraumatic hematoma, dan suatu
pemeriksaan CT scan juga dilakukan jika terjadi peningkatan TIK yang
mendadak atau jika terdapat perburukan pemeriksaan neurologis.
e. Ketika menggunakan barbiturat, penekanan dari kontraktilitas
miokard dapat diminimalisir dengan mempertahankan volume
intravaskuler yang normal-tinggi. Pada semua pasien yang menerima
terapi barbiturate (untuk TIK yang meningkat), cardiac output dan
cardiac preload sebaiknya diukur secara teratur.
f. Hindari hipovolemia dan hiperosmolalitas jika menggunakan manitol.
Osmolalitas sebaiknya dipertahankan <310 hingga 320 mOsm.
4. Profilaksis antikonvulsan
Terapi antikonvulsan jangka panjang tidak dianjurkan pada pasien
dengan cedera kepala traumatik. Anjuran yang ada saat ini adalah
penggunaan fenitoin dalam 7 hari pertama setelah cedera pada pasien
yang mempunyai risiko tinggi kejang pasca-trauma. Faktor risiko ini
termasuk memar kortikal, hematoma subdural, luka tusuk kepala,
hematoma epidural, fraktur kranium yang tertekan masuk, hematoma
intraserebral, dan kejang dalam 24 jam setelah cedera.
5. Mulai suplementasi nutrisi dalam 48 jam setelah cedera
Tujuan yang ingin dicapai adalah 25-30 kcal/kg/hari dengan cara
enteral atau dengan parenteral. Cara enteral lebih baik dilakukan
daripada parenteral.
2. Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah
dan jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilofasial dapat mencakup jaringan
lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak adalah
jaringan yang menutupi jaringan keras wajah. Yang dimaksud dengan jaringan
keras adalah tulang kepala yang terdiri dari os nasalis, os zygomaticus, os
maxilla, os mandibula, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan
lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial.
Klasifikasi trauma maksilofasial ada 3 berdasarkan Le Fort, yaitu :
Le Fort I
Garis fraktur berjalan dari sepanjang maksilla bagian bawah
sampai dengan bawah rongga hidung. Disebut juga fraktur
“guerin”. Kerusakan yang mungkin terjadi yaitu pada dasar sinis
maxillaris, palatum durum dan bagian bawah lamina pterigoid.
Le Fort II
Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang
lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke
bagian atas dari sinis maxillaris juga ke arah lamina pterigoid
sampai ke fossa pterigo palatina. Disebut juga fraktur “pyramid”.
Fraktur ini sangat mudah digerakkan maka disebut juga “floating
maxilla” (maksila yang melayang).
Le Fort III
Garis fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang
ethmoid junction melalui fissura orbitalis superior melintang
kearah dinding lateral ke orbita, sutura zigmatikum frontalis dan
sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga sebagai “cranio-facial
dysjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap
sutura tulang dan cranial.
3. Trauma Thorax
Luka pada thorax dapat terjadi akibat trauma tajam atau tumpul dan
menyebabkan kematian pada 50% dari seluruh kematian akibat trauma.
Trauma thorax dapat menyebabkan hemothorax. Hemothorax adalah
terdapatnya darah pada cavym pleura. Hemothorax bisa tidak tampak pada
radiografi awal karena perdarahan lambat dan tidak tampak pada beberapa jam
awal.
4. Intubasi Endotracheal
a. Indikasi
i. Pengelolaan gejala hiperkapnea
ii. Pengelolaan gejala hipoksemia
iii. Perlindungan airwy terhadap aspirasi
iv. Pembersihan paru-paru
b. Kontraindikasi
i. Pasien sadar
ii. Airway yang dikelola kurang invasif
5. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada
perfusi yang tidak adekuat.
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada
syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari
kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga
abdomen. Manifestasi klinis yang terjadi, seperti kulit basah, dingin, pucat,
gangguan kesadaran, hipotensi, denyut nadi cepat dan lemah.
6. Primary Survey (Prosedur ABCDE)
A. Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas.
Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas yang dapat
disebabkan fraktur benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksilla, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk
membebaskan airway harus selalu diikuti dengan melindungi
vertebrae cervical. Dalam hal ini dapat dimulai dengan tahap chin
lift atau jaw thrust. Pada oenderita yang dapat berbicara, jalan
napas dianggap bersih, walaupun demikian penilaian ulang
terhadap airway harus tetap dilakukan. Harus dilakukan segala
usaha untuk menjaga jalan napas dan memasang airway definitif
bila diperlukan. Hal yang tidak kalah penting adalah mencegah
kemungkinan gangguan airway yang dapat terjadi kemudian
dengan melakukan reevaluasi berulang terhadap airway.
B. Breathing
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Setiap komponen harus dievaluasi
secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi
pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan apakah ada
udara yang masuk ke dalam paru atau tidak. Perkusi dilakukan
untuk meniali apakah ada udara, cairan atau darah dalam rongga
pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan
dinding dada yang mungkin menganggu ventilasi.
C. Circulation
a. Volume darah dan cardiac output
Penemuan klinis dalam hitungan detik yang dapat
memberikan informasi tentang hemodinamik yaitu tingkat
kesadaran, warna kulit, dan nadi. Pada keadaan
hipovolemia terjadi penurunan kesadaran, warna kulit dan
ekstremitas pucat, serta nadi yang cepat dan kecil.
b. Perdarahan
Perdarahan luar harus dikelola dengan primary survey.
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada
luka. Spalk udara juga dapat digunakan untuk mengontrol
perdarahan. Spalk harus tembus cahaya untuk mengawasi
perdarahan.
D. Disability
Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologi secara
cepat. Yang dimulai adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan
reaksi pupil. Cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran
adalah APVU (Alert, Vocal, Pain, Unresponsive). GCS (Glasgow
Coma Scale) dapat digunakan untuk menggantikan APVU. GCS
adalah sistem scoring sederhana yang dapat meramalkan outcome
penderita. Jika penilaian ini belum dilakukan pada primary survey,
harus dilakukan di secondary survey pada saat pemeriksaan
neurologis.
E. Exposure
Penderita harus dibuka seluruh pakaiannya untuk
memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka,
penting untuk mengelola agar penderita tidak mengalami
hipotermia. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup
hangat dan cairan IV yang sudah dihangatkan.
7. Fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang (patah) atau
tulang rawan yang umumnya akibat trauma.
b. Etiologi
i. Jatuh
ii. Cidera
iii. Osteoporosis
iv. Kecelakaan
v. Tumor dan infeksi tulang
c. Manifestasi Klinis
i. Nyeri saat beristirahat dan aktivitas
ii. Pucat
iii. Deformitas
iv. Krepitasi
v. Hilangnya fungsi
d. Klasifikasi
1. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Hubungan Antara Tulang
a). Fraktur Tertutup (closed / simple fraktur) , adalah fraktur
dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan.
b). Fraktur terbuka (open / compond fraktur), adalah fraktur
dimana kulit dari extermitas yang telah ditembus dan terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan udara luar. Fraktur
terbuka dibagi menjadi 3 derajat fraktur menurut Gustilllo :
o Ø Derajat 1
· Luka < 1 cm
· Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk
· Fraktur sederhana, transversal, oblik
· Kontaminasi minimal
o Ø Derajat 2
· Laserasi > 1 cm
· Kerusakan jaringan lunak tidak luas
· Fraktur komunitif sedang
· Kontaminasi sedang
o Ø Derajat 3
· Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi
struktur kulit otot dan neuromuskuler serta kontaminasi derajat
tinggi.
2. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Jumlah Garis Patah
a). Fraktur komunitif, yaitu garis patah lebih dari 1 dan saling
berhubungan
b). Fraktur segmental , yaitu garis patah lebih dari 1 tetapi tidak
saling berhubungan. Bila 2 garis patah disebut fraktur di fokal.
c). Fraktur multiple, yaitu garis patah lebih dari 1 tetapi pada
tulang yang berlainan tempat contoh : fraktur femur kruris,
fraktur tulang belakang
3. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Bentuk Garis Patah Dan
Hubungan Dengan Mekanisme Trauma
a). Garis patah melintang : trauma anglusi atau langsung
b). Garis patah oblig : trauma angulasi
c). Garis patah melintang : trauma rotasi
d). Fraktur kompresi : traum aksila fleksi pada tulang spongiosa
e). Fraktur ovulasi : trauma tarikan atau traksi otot, misal :
fraktur patella
4. Klasifikasi fraktur berdasarkan bergeser atau tidaknya fragmen
tulang
a). Fraktur undisplased (tidak bergeser), garis patah komplit
tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
b). Fraktur displased (bergeser), terjadi pergeseran fragmen
tulang.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario, didapatkan kasus seorang laki-laki yang diduga mengalami
cedera kepala. Hal ini dapat dilihat dari adanya gejala muntah, kejang, keluar
darah dari mulut, hidung dan telinga. Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan
cedera yang tidak dapat kita hindari pada kejadian trauma kepala. Apabila cedera
kepala primer tidak ditangani dengan segera maka dapat muncul manifestasi dari
cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan primary survey
berupa pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary survey, dan secondary
survey.
Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia
merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat
disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan
napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan
hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka,
ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen.
Pasien pada skenario ini mengalami penyumbatan jalan napas yang
disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar. Pada
keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot lidah
sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior
menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada
kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran).
Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu
dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman
dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical).
Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien.
Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang
ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran). Pembebasan
jalan napas dilakukan dengan cara suction, dan pada kasus ini digunakan kanul
yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap darah dan muntahan yang
berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di orofaring sulit untuk dihentikan
dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu dipersiapkan tindakan needle
crycothyroidotomi.
Karena pasien tidak sadar, maka selain cara-cara tersebut diatas diperlukan
usaha untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif berupa
pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan
napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi.
Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring.
Monitoring dalam pemberian oksigenasi sangat diperlukan karena jika pasien
ternyata mengalami pneumothorax, maka keadaannya justru akan semakin
memburuk dengan terapi oksigen, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih
dahulu pada pneumothoraxnya.
Breathing atau pernapasan merupakan salah satu tanda vital kehidupan.
Frekuensi pernapasan normal pada dewasa adalah 12-20 kali per menit.
Pernapasan dikatakan abnormal jika frekuensinya telah melebihi dari 30 kali per
menit atau jika kurang dari 10 kali menit. Abnormalitas dari pernapasan ini dapat
diakibatkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain adalah gangguan pada
ventilasi dan gangguan dari jalan nafas pasien. Pada skenario, pernapasan pasien
sudah mengalami abnormalitas karena telah mencapai 30 kali per menit.
Kemungkinan besar, abnormalitas ini akibat adanya gangguan ventilasi pada
pasien.
Pada thorax terdapat jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra. Hal ini
perlu diperhatikan karena kemungkinan luka yang terjadi tidak hanya pada
permukaan dari dinding dada saja, tetapi dapat juga mencederai organ vital di
dalamnya yaitu paru-paru. Hal ini diperkuat oleh adanya pengembangan yang
tertinggal dan auskultasi suara vesikuler yang menurun pada hemithorax sinistra.
Pengembangan dinding dada yang tertinggal dapat disebabkan oleh berbagai
macam sebab, antara lain fraktur dari costa ataupun perubahan pada tekanan di
dalam organ paru itu sendiri. Auskultasi suara vesikuler yang menurun atau
menjadi redup, menandakan bahwa jaringan paru terisi oleh suatu cairan, yang
kemungkinan besar berupa darah. Pemeriksaan foto thorax diperlukan untuk
mengetahui secara pasti adanya fraktur pada costa ataupun memastikan adanya
hematothorax pada pasien ini.
Pada pemeriksaan status sirkulasi, denyut nadi pasien mengalami
peningkatan yaitu 108 kali per menit yang dapat dikategorikan mengalami
takikardi karena sudah melebihi 60- 100 kali per menit pada keadaan tidak banyak
beraktivitas. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan karena perfusi oksigen
yang menurun di jaringan akibat terjadinya sumbatan jalan napas, gangguan
ventilasi maupun akibat kehilangan darah karena perdarahan aktif pada pasien.
Peningkatan denyut nadi tersebut merupakan kompensasi untuk mempertahankan
perfusi jaringan agar tetap adekuat. Meskipun terjadi takikardi dan terdapat
perdarahan aktif, pasien belum masuk dalam keadaan syok, hal ini dapat dilihat
dari tekanan darah dan perfusi jaringan perifer pada pasien (dilihat dari akral)
yang masih normal.
Pada keadaan ini, masih tetap diperlukan resusitasi cairan sedini mungkin
untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan syok dengan segala konsekuensi
metabolik yang mengiringinya. Infus RL (Ringer Laktat) yang diberikan oleh
dokter pada kasus ini merupakan golongan kristaloid yang mirip dengan cairan
ekstraseluler. Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat dan sejumlah
volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan,
sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang.
Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana
asam laktat melalui siklus Krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis
metabolik. Pemberian RL sebanyak 20 tetes/ menit merupakan dosis pemeliharaan
yang sering dipakai. Selain itu, untuk menilai keseimbangan cairan pada pasien,
dipasang kateter urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur
produksi urin. Produksi urin menggambarkan normal atau tidaknya fungsi
sirkulasi. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kgBB/jam, bila
kurang menunjukkan adanya hipovolemia.
Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera
kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 8.
Cedera kepala primer dapat berupa fraktur dari cranium. Pada pasien di skenario
ini, kemungkinan besar mengalami fraktur basis cranii dan fraktur maksilofacial.
Kecurigaan fraktur basis cranii ditandai dengan adanya halo test + yang
merupakan tanda adanya LCS (Liquor Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain
itu juga terdapat perdarahan dari telinga dan hidung. Perdarahan dari telinga,
kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii fossa media, dan perdarahan dari
hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior. Oedema periorbita dextra et
sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii. Fraktur maksilofacial yang
terjadi juga dapat menyebabkan perdarahan dari hidung dan telinga. Pada pasien
ini, dari hasil secondary survey berupa floating maksila maka dapat disimpulkan
fraktur maksilofasial yang terjadi masuk dalam kategori Le fort 2. Adanya
deformitas mandibula menandakan juga terjadi fraktur mandibula. Maloklusi gigi
yang terjadi merupakan akibat dari pergeseran posisi rahang yang disebabkan
fraktur maksila dan mandibula.
Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen
yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin,
masuknya kalsium intrasel, dan pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini
dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran
mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra selular. Influks
Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Hal inilah yang mendasari terjadinya
kejang pada pasien tersebut. Untuk mengkompensasi keadaan neurotoksik lebih
lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan
penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang
menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan
asidosis dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma.
Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor, penurunan refleks cahaya,
dan hemiparese dekstra yang menunjukkan adanya lateralisasi (ada ketidaksamaan
antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) akibat trauma kepala.
Cedera kepala dapat menimbulkan kerusakan sawar darah otak (blood brain
barrier) sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak.
Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan
penekanan pada pembuluh-pembuluh darah mengakibatkan aliran darah
berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat
hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya autoregulasi
aliran darah sehingga edema semakin hebat.
Karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini
akan menimbulkan peningkatan tekanan dalam rongga tengkorak (peningkatan
tekanan intracranial). Peningkatan TIK yang cukup tinggi dapat menyebabkan
turunnya batang otak (herniasi batang otak). Keadaan ini dapat menyebabkan
iskemia dan nekrosis jaringan otak sehingga terjadi deficit neurologis pada pasien.
Anisokor pupil timbul akibat adanya kompresi saraf cranial III pada herniasi
tentorial. Penurunan reflex cahaya pada matakiri terjadi karena adanya lesi pada
mesensefalon, sedangkan hemiparesis dextra terjadi karena adanya kerusakan
saraf motorik kiri. Adanya gangguan pada mata kiri diikuti hemiparesis kanan
menunjukkan adanya herniasi transtentorial lateral kiri. Pada herniasi
transtentorial lateral menunjukkan adanya midriasis pupil dan penurunan reflex
cahaya pada mata ipsilateral serta hemiparesis kontralateral.
Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang
pusat muntah yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar
ventrikel keempat, dan secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan
pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari korteks serebral, organ
vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n. X dan simpatis)
dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan melalui
serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus
gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot
abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam, penutupan glotis,
pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior, kemudian kontraksi
yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot
abdomen akan memeras perut diantara difragma dan otot-otot abdomen,
membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Hal kemudian
diikuti dengan relaksasi otot sfingter esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi
lambung ke atas melalui esophagus. Hal ini menyebabkan pada pasien terdapat
gejala muntah. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran.
Cedera kepala yang terjadi juga akan menstimulasi sistem saraf pusat
menghasilkan berbagai mediator. Beberapa sitokin dilepaskan oleh mikroglia dan
astrosit di permukaan leukosit dan sel endotel yang mengendalikan migrasi
leukosit ke jaringan antara lain: Interleukin 1-β, tumor nekrosis alfa, interleukin
6, ICAM-1, E-selektin, L-selektin, P-selektin, dan intergrin. Ekspresi toksik
mediator ini melalui 2 cara, yang pertama dengan plugging leukosit ke
mikrosirkulasi dan yang kedua dengan memfasilitasi pelepasan radikal bebas oleh
PMN yang bermigrasi ke jaringan otak akibat aktivitas molekul adhesi. Aktivitas
sitokin ini menyebabkan berbagai manifestasi klinis setelah cedera kepala antara
lain: pireksia, netrofilia, dan edema serebri akibat kerusakan sawar darah. Edema
serebri yang terjadi kemudian ditangani dengan pemberian manitol bolus 200 cc
iv. Manitol bolus merupakan preparat diuresis osmotik yang digunakan untuk
menarik cairan dari jaringan intersisial ke intravaskuler sehingga edema dapat
berkurang. Pemeriksaan CT scan kepala diperlukan untuk evaluasi selanjutnya.
Pada kepala didapatkan bloody rhinorrhoea dextra et sinistra dan bloody
otorrhoea sinistra disebabkan oleh adanya perdarahan akibat fraktur karena
trauma. Cedera kepala dapat menimbulkan kerusakan sawar darah otak (blood
brain barrier) sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan
otak. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan
penekanan pada pembuluh-pembuluh darah mengakibatkan aliran darah
berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat
hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya autoregulasi
aliran darah sehingga edema semakin hebat. Hasil pemeriksaan foto thorax
didapatkan hematothorax kiri,pelvis dan cervical dalam batas normal. Dari hasil
secondary primary survey pada rontgen dada didapatkan diagnosa hematothorax.
Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura. Biasanya disebabkan
oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya
membran serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru.
Robekan ini akan mengakibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang
akan menyebabkan penekanan pada paru. Adanya penekanan ini menyebabkan
nyeri dan pengembangan dinding dada tidak asimetri. Pengembangan dinding
dada pada hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan
pernapasan. Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan
kehilangan darah. Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh efek
akumulasi darah dalam rongga pleura, dan pada foto rontgen pelvis dan cervical
dalam batas normal.
Pada ekstremitas didapatkan vulnum appertum femur dextra sepanjang
3cm, nampak angulasi, perdarahan aktif, fat globul(+), oedem dan krepitasi (+).
Menurut gustillo, fraktur ini digolongkan sebagai fraktur terbuka tipe 3 karena
didapatkan adanya kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi serta ditemukan fat globul (+).
Dokter melakukan penanganan sementara dengan bebat tekan realignment femur
dan imobilisasi untuk mencegah terjadinya cedera yang lebih parah saat pasien
dirujuk ke trauma center.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Korban trauma ditangani dengan prinsip ABCDE yang dikenal juga
dengan primary survey.
2. Adanya penurunan kesadaran dan luka dikepala dicurigai sebagai
adanya trauma yang mengenai organ dalam cranium
B. Saran
1. Korban trauma hendaknya segera dirujuk ke trauma center setelah
distabilkan kondisinya melalui penilaian ABCDE
2. Apabila didapatkan adanya pendarahan, terutama pendarahan masif
harus segera ditangani dan dirujuk
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon. 1997. Advanced Trauma Life Support. United
states of America. First Impression.
Arif Mansyoer Dkk. 2000. Kapita Selecta Kedokteran. Ed 2, Jakarta : Media
Aesculapius
De Jong W. 2002. Buu ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC
Doengoes, Marillyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed 2 Jakarta : EGC
Marion D.W. 2002. Head Injury dalam The Trauma Manual 2nd Ed. Lippincott
Williams and Wilkins. Pp: 133-6.
Oswari E. 2000. Bedah Dan Perawatannya. FKUI : Jakarta.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Ed.IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pp: 191-2; 198.
Setyono, H. 2011. Kuliah penatalaksanaan trauma kepala. Surakarta: FK UNS.