1
SITUASI JAPANESE ENCEPHALITIS (JE) DI PROVINSI BALI SAMPAI DENGAN TAHUN 2017
Oleh :
COKORDE ISTRI SRI DHARMA ASTITI
Epidemilog Kesehatan Madya
Dinas Kesehatan Provinsi Bali
2
A. LATAR BELAKANG
Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang otak
disebabkan oleh virus Japanese Encefalitis termasuk Family
Flavivirus. Penularan virus terjadi antara nyamuk, babi, dan atau
burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh
nyamuk Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya
nyamuk ini lebih aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex
ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi. Kejadian
penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim
hujan.
Sebagian besar penderita JE hanya menunjukkan gejala
yang ringan atau bahkan tidak bergejala sama sekali. Gejala dapat
muncul 5-15 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi virus
berupa demam, menggigil, sakit kepala, lemah, mual, dan muntah.
Kurang lebih 1 dari 200 penderita infeksi JE menunjukkan gejala
yang berat dan biasanya membaik setelah fase penyakit akut
terlampaui, tetapi pada 20-30% pasien dilaporkan mengalami
gangguan saraf menetap. Diagnosis memerlukan pemeriksaan
laboratorium dan tidak bisa dilakukan di laboratorium klinik
biasa. Komplikasi terberat pada kasus Japanese Encephalitis
adalah meninggal dunia (terjadi pada 20-30% kasus Encephalitis).
3
Hingga saat ini, belum ada obat untuk mengatasi infeksi
JE, pengobatan bersifat suportif untuk mengurangi tingkat
kematian akibat JE. Sebanyak 85% kasus JE yang dilaporkan
pada Tahun 2016 terjadi pada kelompok umur 15 tahun. Hal ini
menyebabkan JE dianggap sebagai penyakit pada anak. Intervensi
yang paling utama dalam penanggulangan JE adalah pengendalian
vektor, eliminasi populasi unggas, vaksinasi pada babi, eliminasi
pemaparan manusia pada vektor, dan imunisasi JE pada
manusia. Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk
mencegah JE pada manusia.
Japanese Encephalitis merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Asia termasuk di Indonesia. Jumlah kasus JE di
Indonesia Tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 326 kasus.
Kasus terbanyak dilaporkan terdapat di Provinsi Bali dengan
jumlah kasus 226 (69,3%). Tingginya kejadian Japanese
Encephalitis di Provinsi Bali dikaitkan dengan banyaknya
persawahan dan peternakan babi. Pemerintah Pusat telah
mencanangkan imunisasi JE pada anak usia 9 bulan sampai
dengan < 15 tahun di Bali pada tahun 2018. Untuk itu perlu
dilakukan analisa situasi JE di Bali sampai dengan tahun 2017,
sehingga dapat dibandingkan sebelum dan sesudah kegiatan
imunisasi JE dilakukan.
4
B. TUJUAN
a. Mendeskripsikan sumber daya yang mendukung pelaksanaan
surveilans JE di Bali sampai dengan tahun 2017.
b. Mendeskripsikan jejaring yang telah dikembangkan dan dapat
mendukung kegiatan surveilans JE di Provinsi Bali sampai
tahun 2017.
c. Mendeskripsikan penemuan suspek dan kasus JE secara
epidemiologi di Provinsi Bali sampai Tahun 2017.
d. Mengidentifikasi beberapa masalah yang dihadapi selama
pelaksanaan surveilans JE di Provinsi Bali sampai dengan
Tahun 2017.
C. PEMBAHASAN
1. Deskripsi Sumber Daya dan Jejaring
Sejak tahun 1990, telah mulai diidentifikasi kasus JE di
RSUP Sanglah pada Bagian Anak, kejadiannya terus meningkat,
sejak Juli tahun 2001 RSUP Sanglah bersama Dinas Kesehatan
Provinsi Bali dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, telah
melakukan kerjasama untuk melakukan pemantauan suspek dan
kasus JE di Bali. Sejak saat itu beberapa penelitian telah
dilakukan, sampai akhirnya pada tahun 2008 telah
direkomendasikan untuk melakukan imunisasi JE terhadap
sasaran yang berisiko.
5
Pada tahun 2014 telah dikembangkan faskes sentinal JE
secara nasional. Di Provinsi Bali faskes sentinal dikembangkan
secara bertahap sehingga pada tahun 2017 telah semua rumah
sakit pemerintah (RSUD se-Bali) merupakan faskes sentinal yang
didukung juga oleh lebih dari 50 rumah sakit swasta. Saat ini
telah dilakukan sosialisasi untuk melakukan identifikasi juga
terhadap suspek JE di setiap puskesmas sehingga dapat segera
dirujuk ke rumah sakit terdekat.
2. Deskripsi Suspek dan Kasus JE
Penderita penyakit JE pertama kali ditemukan di Jepang
pada tahun 1871, namun isolasi penyebab penyakit ini baru
berhasil pada tahun 1933 dengan nama Japanese "B" encephalitis
(HAYASHI, 1934). Virus JE telah ditemukan hampir di semua
negara Asia, termasuk Indonesia (VAN PEENEN et al., 1975)
Epidemiologi JE telah banyak dilaporkan diberbagai negara di Asia
seperti Kamboja, Cina, India, Jepang, Nepal, Filipina, Thailand dan
Vietnam (Tsai, 2000; Sohn, 2001 ; Day 2005). Dari isolasi virus di
Australia pada saat terjadi oubreak, sama dengan yang
teridentifikasi di Malaysia dan Indonesia. Jenis ini potensi
penularannya ke manusia melalui nyamuk dan babi.
Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara
agraris, dimana sebagian besar mata pencaharian penduduknya
6
dari bertani, seperti menanam padi disawah yang merupakan
habitat yang paling balk bagi perkembangbiakan nyamuk
termasuk vektor JE. Sebagai negara tropis dan negara agraris,
Indonesia memiliki hamparan sawah yang luas dengan populasi
yang padat, disertai dengan banyaknya populasi babi di
sekitarnya, maka akan sangat beresiko munculnya wabah
(meningkatnya kejadian) JE pada manusia (Van Peenen et al.,
1975; Mackenzie, 1998).
Pada tahun 1972 telah berhasil diisolasi virus JE dengan
babi sebagai reservoir utama (amplifying agent) dan Nyamuk Culex
tritaeniorhynchus sebagai vektor utama (Litbangkes dan NAMRU).
Penelitian yang dilakukan melaporkan bahwa kasus klinis JE pada
manusia di Bali mencapai 36%, di Manado (Sulawesi Utara)
mencapai 22%, dan di Pontianak (Kalimantan Barat) mencapai
25%. (Wei, 2005) Dari data tersebut terlihat bahwa Propinsi Bali
merupakan daerah beresiko JE terbesar disusul oleh Propinsi
Kalimantan Barat. Rasio populasi manusia terhadap babi di Bali
adalah 3 : 1 . Dari data tersebut terlihat bahwa babi merupakan
induk semang potensial yang dapat mengamplifikasi virus JE
sehingga siap ditularkan ke manusia dan hewan lainnya.
Telah dilaporkan di Sumatra Barat, Kalimantan
Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTTdan Papua
(Ompusunggu et al. 2008 ) seperti peta distribusi kasus dibawah ini
7
Hasil sentinal JE yang dikembangkan menunjukkan hasil
seperti tabel dibawah ini.
Tabel -1
Kasus JE Hasil Sentinal Tahun 2014 s/d 2016
8
Dari tabel diatas kasus JE di Bali memang yang tertinggi di
Indonesia, salah satu penyebabnya adalah surveilans kasus yang
telah berjalan lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Hal itu dapat dilihat dari tingginya suspek JE yang telah
teridentifikasi dari tahun ke tahun, dengan positif rate berkisar
antara 7-10%.
Provinsi Bali, merupakan salah satu provinsi di Indonesia
dengan luas lahan pertanian cukup tinggi. Saat ini luas lahan
persawahan sekitar 81.092 hektar dari luas Pulau Bali 5.633 km2
(Biro Pusat Statistik Provinsi Bali, 2017). Curah hujan yang tinggi
terjadi pada Bulan November sampai April sepanjang tahun
dengan rata-rata curah hujan 709 mm (345 mm - 88 mm) (Badan
Klimatologi dan Geofisika Provinsi Bali, 2017). Sebagian besar
(98%) penduduk beragam Hindu dan memiliki kebiasaan
memelihara babi rumahan untuk kepentingan upacara adat. Saat
ini diperkirakan lebih dari 800.000 ekor dipelihara di Bali,
terutama skala rumah tangga (Dinas Peternakan Provinsi Bali,
2017). Situasi ini memang lebih berisiko untuk meningkatkan
penularan JE.
Situasi JE di Bali dari beberapa penelitian yang
teridentifikasi antara tahun 1990-1995 sebanyak 40 kasus JE
pada manusia. Secara serologis, 36,2% dari 116 kasus ensefalitis
merupakan positif akibat infeksi JE. Kasus terjadi pada anak-anak
9
umur 4 bulan hingga 10 tahun. Hasil pengamatan juga
menunjukkan bahwa mortalitas JE mencapai 16% sedangkan
morbiditasnya mencapai 62%. (Gautama, et.al, 2005). Penelitian
lainnya tahun 2001 – 2003 menunjukkan 86 kasus konfirmasi JE,
4 kasus probable. Insiden rate 7,1%. 8,2 per 100.000 berusia < 10
tahun, sebesar 0,4 per 100.00 anak usia 10-11 rahun. Kematian
10% dan 37% dengan gejala sisa yang berat (Komang Kari, et al,
2005). Penelitian lainnya selama tahun 2001-2005 menunjukkan
113 JE Positif (36,1%), ditemukan di seluruh kabupaten di Bali
dengan Case Fatality rate (CFR) setinggi 11% dan insidens:
8,1/100.000 anak usia < 10 tahun (Komang Kari, et al, 2008).
Dengan telah dibentuknya beberapa wilayah sentinal JE
diperoleh data rutin dari setiap kasus di Bali. Pada tahun 2014
ditemukan 6 kasus di Bali, meningkat tajam pada tahun 2015
menjadi 22, menurun lagi tahun 2016 sebanyak 17 kasus dan 5
kasus tahun 2017. Penurunan kasus kemungkinan karena
kualitas pemeriksaan spesimen mempergunakan reagen yang
berbeda pada tahun 2016. Sedangkan pada tahun 2017, reagen
tidak tersedia sehingga pemeriksaan dilakukan di Badan Pusat
Penelitian Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Jakarta dan
memakan waktu lebih dari setahun. Pemeriksaan sebelumnya
dilakukan di UPT BLK Provinsi Bali. Bila dibandingkan dengan
suspek JE, sejak tahun 2014 terus meningkat, kecuali pada tahun
10
2017 terjadi penurunan. Positif rate pada tahun 2014 dan 2015
hampir sama sebesar 10.9% dan 10,6%. Positif rate menurun
tahun 2016 dan 2017 menjadi sebanyak 6,9 % dan 2,8%.
Kemungkinan keadaan ini karena adanya perubahan tempat
pemeriksaan yang semula di UPT Balai Laboratorium Kesehatan
Provinsi Bali karena tidak tersedia reagen sehingga dikirim ke
Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. Gambaran hasilnya seperti grafik dibawah ini,
Grafik -1 Suspek dan Kasus JE di Provinsi Bali
Tahun 2014 s/d 2017
Jumlah suspek JE yang selanjutnya dikirim untuk
dilakukan pemeriksaan per kabupaten/kota dari tahun 2014
sampai 2017 menunjukkan Kabupaten Badung merupakan
11
kabupaten yang paling tinggi mengirimkan suspek sejak tahun
2015 sampai 2017. Salah satu penyebabnya adalah jejaring yang
terbentuk dengan faskes, terutama rumah sakit pemerintah,
swasta dengan puskesmas telah berjalan optimal. Pada Tahun
2017, Kabupaten Badung mengalami peningkatan yang cukup
dalam penjaringan suspek JE dibandingkan kabupaten/kota
lainnya. Hal ini disebabkan juga karena adanya kluster kasus
Meningitis Streptokukos Suis yang terjadi pada awal tahun.
Kabupaten Karangasem pada tahun 2017 juga cukup tinggi
penjaringan suspek JE tetapi masih menurun dibandingkan tahun
2016. Pada tahun 2017, penjaringan suspek JE di Kabupaten
Buleleng menurun tajam, kemungkinan karena penemuan
dirumah sakit juga menurun, tidak semua rumah sakit dan
puskesmas memiliki pemahaman yang sama dalam penjaringan
suspek JE. Yang paling rendah melakukan penjaringan suspek JE
adalah Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Bangli. Hal ini
kemungkinan karena jejaring dengan rumah sakit belum berjalan
optimal. Pemahaman dokter yang bertugas di Poli rumah sakit dan
puskesmas dalam penjaringan suspek JE juga belum optimal. Di
Kabupaten Jembrana, terjadi penurunan jumlah suspek JE dari
tahun 2014 sampai dengan 2017. Situasi tersebut memerlukan
tindak lanjut yang segara. Gambarannya seperti grafik dibawah ini
12
Grafik -2 Suspek JE Per Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Tahun 2014 s/d 2017
Kasus JE yang konfirmasi laboratorium dari tahun 2014
sampai dengan 2017 per kabupaten/kota se-Provinsi Bali
menunjukkan Kabupaten Buleleng dengan kasus tertinggi.
Demikian juga untuk tahun 2017. Kabupaten Jembrana dengan
jumlah suspek yang lebih rendah tetapi kasus JE yang ditemukan
cukup tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Kabupaten
Klungkung juga memiliki kasus JE yang cukup tinggi, bila dibabi
kaitkan dengan jumlah peternak babi, kabupaten Klungkung dan
Tabanan merupakan kabupaten dengan peternak babi tertinggi
dbandingkan dengan daerah lainnya di Bali. Kota Denpasar pada
tahun 2016, kasus JE juga dilaporkan cukup tinggi hampir sama
dengan Klungkung, walaupun daerah persawahan dan peternakan
babi paling rendah dibandingkan dengan daerah lainnya di Bali.
13
Hal ini memerlukan pemetaan yang lebih cermat mengingat
mobilisasi penduduk pendatang musiman (harian atau mingguan)
sangat tinggi di Denpasar. Sampai saat ini belum ada data yang
lengkap yang dapat dipakai untuk melakukan pemetaan suspek
dan kasus JE, termasuk juga penelusuran faktor risiko lainnya.
Penelitian tahun 2005 sampai 2007 yang mencari faktor risiko JE
di Provinsi Bali, menunjukkan rumah dekat persawahan dan
rumah dekat kandang babi (kurang 100 meter) merupakan faktor
risiko terjadinya JE di Provinsi Bali (Paramarta, et.al, 2009).
Gambaran kasus JE per kabupaten/kota se-Bali seperti grafik
dibawah ini.
Grafik -3
Kasus JE Per Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2014 s/d 2017
14
Kasus JE bila dijabarkan per jenis kelamin dari tahun 2014
sampai dengan 2017 per kabupaten/kota se-Provinsi Bali
menunjukkan ada kecenderungan jenis kelamin laki-laki lebih
tinggi dibandingkan perempuan terkait dengan kasus JE, kecuali
pada tahun 2017. Beberapa penelitian negara lainnya (Thailand,
India, Nepal, dan Cina) menunjukkan tidak ada perbedaan
proporsi kasus JE antara jenis kelamin laki-laki maupun
perempuan dengan rasionya berturut-turut yaitu 1,3:1, 1:0,63,
1,7:1,1 dan 1,3:1,4. Sedangkan penelitian di Bali dilaporkan jenis
kelamin pada pasien JE 65,2% laki-laki (Kari, et.al, 2003). Secara
proporsi pada tahun 2014 dan 2016 proporsi laki-laki jauh lebih
berturut-turut 83% dan 76%. Pada tahun 2015 hampir sama
proporsinya 55% pada laki-laki. Sebaliknya pada tahun 2017
proporsi perempuan 80% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
laki-laki. Keterbatasan data pada tahun-tahun sebelumnya pada
suspek JE tidak dapat dilakukan komparasi dengan suspek JE
tahun 2017. Pada tahun 2017 suspek JE berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 114 orang (63%), tetapi yang JE konfirmasi
laboratorium hanya 1 orang (20%). Gambaran kasus JE
berdasarkan jenis kelamin tahun 2014 sampai dengan 2017
seperti grafik dibawah ini.
15
Grafik -4 Kasus JE Per Jenis Kelamin di Provinsi Bali
Tahun 2014 s/d 2017
Kasus JE berdasarkan jenis kelamin dari tahun 2014 sampai
dengan 2017 menunjukkan kasus tertinggi dibawah usia 5 tahun
hampir setiap tahun, kecuali tahun 2014. Pada tahun yang sama juga
ditemukan kasus > 15 tahun. Hampir semua penelitian
menggambarkan kasus tertinggi ditemukan pada usia < 15 tahun
seperti penelitian di India (Tamil Nadu), 39% kasus menyerang anak-
anak umur 4-6 tahun dan 28% pada umur 7-9 tahun (Umar, et.al,
1990). Pada penelitian lainnya di Bali berdasarkan umur rata-rata
pasien JE didapatkan pada kelompok kasus 65,5 bulan. Terbanyak
pada kelompok umur 4-6 tahun (60%). Pada umur ini pasien sudah
dapat bermain keluar rumah, terutama sore hari oleh karena nyamuk
16
Culex menggigit sore. Gambaran kasus JE berdasarkan kelompok umur
di Provinsi Bali tahun 2014 s/d 2017 seperti grafik dibawah ini.
Grafik - 5 Kasus JE Per Golongan Umur di Provinsi Bali
Tahun 2014 s/d 2017
3. Identifikasi Masalah
Selama pelaksanaan surveilans JE di Provinsi Bali, telah
ditemukan beberapa kendala :
a. Masih belum berjalan secara optimal jejaring surveilans JE di
beberapa kabupaten/kota sehingga penjaringan kasus belum
optimal
b. Peran puskesmas dengan konsep Pemantauan Wilayah
Setempat (PWS) masih belum optimal dalam melakukan
penjaringan suspek JE selama ini., sehingga sebagian besar
suspek JE dijaring melalui rumah sakit.
17
c. Masih rendahnya penjaringan suspek JE di beberapa rumah
sakit, karena pemahaman tentang penjaringan suspek JE
masih belum merata untuk tenaga klinisi terkait.
d. Adanya penambahan tenaga baru dan mutasi tenaga yang
cukup tinggi di fasilitas kesehatan termasuk rumah sakit tidak
disertai dengan desiminasi informasi tentang JE yang rutin
atau berkelanjutan.
e. Pengambilan sampel, penyimpanan dan diagnosis JE
memerlukan laboratorium yang memiliki kemampuan dan
sarana yang tidak sederhana. Hal ini menjadi masalah setelah
reagen dan biaya untuk pengambilan dan pemeriksaan
terbatas.
f. Penelusuran faktor risiko terhadap data rutin tidak dilakukan
karena penegakan diagnosa memerlukan waktu yang cukup
lama dan keterbatasan tenaga untuk melakukan.
g. Data suspek dan kasus JE yang dikumpulkan sangat terbatas,
sehingga tidak dapat dilakukan analisa lebih lanjut.
h. Analisa data sederhana untuk situasi JE di Bali belum
dilakukan secara rutin pada semua tingkatan.
i. Keterbatasan data dan analisa data termasuk penelitian
tentang JE dalam 5 tahun terakhir kurang dapat memberikan
masukan atau rencana tindak lanjut segera.
18
D. KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan sekaligus saran dalam
analisa data JE adalah :
1. Surveilan JE telah dilaksanakan di Provinsi Basli sejak tahun
2001 dengan melibatkan semua unsur tekait, tetapi
pelaksanaannya belum optimal. Perlu dilakukan desiminasi
informasi secara rutin tingkat faskes bagi petugas rumah sakit
dan puskesmas.
2. Analisa data sederhana belum dilakukan secara rutin setiap
tahunnya untuk memantau capaian hasil surveilans JE,
sehingga disarankan untuk melakukan analisa data deskriptif
sederhana dan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi sistim
surveilans JE yang telah dibentuk dan dilaksanakans elama
ini.
3. Investigasi bila ditemukan kasus JE, tidak dilakukan karena
hasil pemeriksaan laboratorium terlambat. Disarankan untuk
melakukan investigasi pada saat masih menjadi suspek JE
dengan cara menambahkan informasi sederhana lainnya yang
diperlukan, termasuk faktor risiko.
4. Penelitian tentang faktor risiko tidak pernah dilakukan dalam
sepuluh tahun terakhir sehingga disarankan untuk mendorong
dan memfasilitasi mahasiswa atau peneliti lainnya melakukan
penelusuran faktor risiko kasus JE di Provinsi Bali.
19
E. DAFTAR PUSTAKA
Kumar R, Mathur A, Kumar A, Sharma S, Chakrabortys,
Chaturvedi MC. Clinical Features and prognostic indicator of Japanese Encephalitis in children in Lucknow (India). Indian J Med Res 1990;91:321-7.
Kari K, Gautama K, Wei L, Zhi Yi Zu. Japanese Encephalitis di
Bali. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. 2003:57-66.
Sendow Indrawati, Sjamsul Bahri. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia. Wartaozoa,Vol 15 No . 3 Th. 2005
Komang Kari, Wei Liu, Kompiang Gautama, Mammen P Mammen
J, John D Clemens, Ananda Nisalak, Ketut Subrata, Hyei Kyung
Kim, Zhi-Yi Xu. 2006. A hospital-based surveillance for Japanese
encephalitis in Bali, Indonesia. BMC Medicine 2006, 4:8
doi:10.1186/1741-7015-4-8.Published: 07 April 2006.
20
Wei Liu, John D. Clemens, Komang Kari, Zhi-Yi Xu. 2008. Cost-effectiveness of Japanese encephalitis (JE) immunization in Bali,
Indonesia Volume 26, Issue 35, 18 August 2008, Pages 4456–4460
Subanada Ida Bagus, I Komang Kari. 2012. Akurasi Rapid Test
Serum Fase Akut Simpan Dalam Mendiagnosis Japanese Encephalitis. Jurnal Ilmiah Kedokteran Medicina 2013;44:22-26
Ompusunggu S, SL Hills, MS Maha, VA Moniaga. 2008.
Confirmation of Japanese Encephalitis (JE) as An Endemic
Human Disease Through Sentinel Surveillance in Indonesia. The
American journal of Tropical Desease. 1208-1214. Rampengan Novie H. 2014. Japanese Encephalitis di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 2 Suplemen, Juli
2016, hlm. S10-S22
Lopez A.L., Josephine G. A., Vito G. R., Amado O. T., Ava K., Fe E., Espino, Maricel D.C., Youngmee J., Maria J.D., Kimberley K.
2014. Epidemiology of Japanese Encephalitis in the Philippines : A Systematic Review. PLOS Neglected Tropical Diseases DOI:10.1371/ journal.pntd.0003630 March 20, 2015 1 / 17
Dong K.Y., Byoung H.K., Chang H.K., Jun H.K., Seong I .L., HONG
R.H. 2004. Biophysical Characterization of Japanese Encephalitis Virus (KV 1899) isolated from Pigs in Korea . J. Vet.Sci.5(2) : 125-
130.
Paramarta I Gede E., I Komang Kari, Sunartini Hapsara. 2009. Faktor Risiko Lingkungan pada Pasien Japanese Encephalitis. Sari
Pediatri, Vol. 10, No. 5, Februari 2009 Gurav Y. K., Babasaheb V. T., Ramesh S. J., Rashmi S. G.,
Sanjaykumar S.T., Aniruddha V. J., Ravindra K. K., Suresh V. J., Vidya A. A., Akhilesh C. M., 2007. Chandipura virus encephalitis
outbreak among children in Nagpur division, Maharashtra. Indian J Med Res 132, October 2010, pp 395-399
Manmohan Parida, Paban K. Dash, Nagesh K. Tripathi, Ambuj, Santhosh Sannarangaiah, Parag Saxena, Surekha Agarwal, Ajay K.
Sahni, Sanjay P. Singh, Arvind K. Rathi, Rakesh Bhargava, Ajay Abhyankar, Shailendra K. Verma, Putcha V. Lakshmana Rao,
Krishnamurthy Sekhar. 2005. Japanese Encephalitis Outbreak,
21
India, 2005. Emerging Infectious Diseases • www.cdc.gov/eid • Vol. 12, No. 9, September 2006, 1427-1429