SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN NOMOR 18 TAHUN 2020 TENTANG PENGENDALIAN
TRANSPORTASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENYEBARAN
CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
TASHA FAHIRA
NIM: 11160480000097
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2021 M
i
SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN NOMOR 18 TAHUN 2020 TENTANG PENGENDALIAN
TRANSPORTASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENYEBARAN
CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
TASHA FAHIRA
NIM: 11160480000097
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2021 M
ii
SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN NOMOR 18 TAHUN 2020 TENTANG PENGENDALIAN
TRANSPORTASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENYEBARAN
CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
TASHA FAHIRA
NIM: 11160480000097
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2021 M
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
NIP. 195403031976111001
Irfan Khairul Umam, S.H.I., L.L.M.
NIDN. 2123098401
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN
MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 18 TAHUN 2020 TENTANG
PENGENDALIAN TRANSPORTASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN
PENYEBARAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25
Januari 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 2021
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( )
NIP. 19670203 201411 1 101
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( )
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S. H., M.H. ( )
NIP. 19711120 200604 2 005
4. Pembimbing II : Irfan Khairul Umam, S.H.I., L.L.M. ( )
NIDN. 2123098401
5. Penguji I : Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.H., M. Ag. ( )
NIP. 19681014 199603 1 002
6. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H. I., M.H. ( )
NIDN. 2021088601
v
ABSTRAK
TASHA FAHIRA, NIM 11160480000097, “SINKRONISASI DAN
HARMONISASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 18
TAHUN 2020 TENTANG PENGENDALIAN TRANSPORTASI DALAM
RANGKA PENCEGAHAN PENYEBARAN CORONA VIRUS DISEASE
2019 (COVID-19)”. Konsentrasi Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2021 M.
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai faktor penyebab
terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan antara Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam
Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan
Berskala Besar Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19).
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Yuridis
normatif pada penelitian ini memiliki dua sumber hukum, yakni sumber hukum
primer dan sekunder. Sumber hukum primer merujuk pada Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam
Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Adapun
sumber hukum sekunder merujuk pada buku karya Ni’matul Huda dan Nazriyah
berjudul Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kementerian selaku lembaga
yang melahirkan Peraturan Menteri harus melakukan sinkronisasi terhadap
peraturan peraturan perundang-undangan baik secara vertical maupun horizontal
dan pembuatannya mengacu pada peraturan perundang-undangan diatasnya.
Kata Kunci : Harmonisai, Sinkronisasi, Peraturan Perundang-undangan
Pembimbing : 1. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung S.H., M.H.
2. Irfan Khairul Umam, S.H.I., L.L.M.
Daftar Pustaka : 1962 sampai 2015
vi
KATA PENGANTAR
�سم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang
tidak terhinggga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau
sampai akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn,
akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul
“SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN NOMOR 18 TAHUN 2020 TENTANG PENGENDALIAN
TRANSPORTASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENYEBARAN
CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)”
Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah
Swt dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini
berlangsung.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung
atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu
Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. H. A. Maggalatung S.H, M.H. dan Irfan Khairul Umam, S.H.I., L. L.
M. Pembimbing Skripsi. M. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.
Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan
vii
kesabaran dalam membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini.
4. Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan
meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang
diperlukan.
5. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Udin Sahidan, Ibu Lulu Esvandiar dan
juga kepada adik peneliti Aji Muhamad Abilluddin Sahidan yang selalu
memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil berupa motivasi, do’a,
bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga
menyelesaikan gelar sarjana ini.
6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi dalam penyelesaian skripsi
ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang
setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi
ini dan semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 26 Januari 2021
Tasha Fahira
NIM. 11160480000097
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………….……………………………..…....……….. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………...………………….… ii
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ……..……………. iii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………….......………………….… iv
ABSTRAK ……………………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR ……………………....………….……………………… vi
DAFTAR ISI ……………………….….…………………………….…....….. viii
BAB I PENDAHULUAN ……………..………………...……………... 1
A. Latar Belakang Masalah ………………….…………………. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah…………. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...……………………...…..... 5
D. Metode Penelitian ………………..…………......................... 6
E. Rancangan Sistematika Pembahasan ………...…………….... 9
BAB II PERSPEKTIF TEORITIK ILMU PERUNDANG-
UNDANGAN…………………………………………………... 11
A. Kerangka Konseptual ……..………………………...……… 11
1. Sinkronisasi …...…………………....…………………. 11
2. Harmonisai ……………………………………………. 11
3. Peraturan Perundang-Undangan …………………..…... 13
4. Peraturan Menteri ………..……….…………...………. 17
B. Kerangka Teori ………………….…………...……………... 17
1. Teori Negara Hukum ………...………………………... 17
ix
2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
……………………………………………………….... 21
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..……..……...……..… 23
BAB III REGULASI TRANSPORTASI BERBASIS ONLINE DI MASA
PANDEMI COVID-19 ….…………………………………….. 25
A. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ……. 25
B. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ……... 34
C. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pembatasan Berskala Besar Dalam Rangka
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ……... 36
BAB IV PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 18
TAHUN 2020 …………………...……………………………… 40
A. Materi Muatan Peraturan Menteri dalam Peraturan Perundang-
Undangan…………………………………………………… 40
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedan Peraturan Mengenai
Pembatasan Transportasi Berbasis Online di Masa Pandemi
COVID-19 …………….…………………………………… 46
C. Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 18 Tahun 2020 dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 ……………………….......................... 49
BAB V PENUTUP ……………...…………...……………….………… 54
A. Kesimpulan ………………………………...…….…………. 54
B. Rekomendasi ………………..………………………...……. 54
x
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..……….………….. 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hakikat negara hukum didasarkan pada konsep teori Kedaulatan
Negara (soeverignty) yang pada prinsipnya menyatakan kekuasaan tertinggi
di dalam suatu negara adalah hukum. Seluruh alat perlengkapan negara apa
pun namanya, termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta
menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Dalam pengaplikasiannya terhadap
norma yang berlaku di Indonesia telah tergas dibunyikan dalam konstitusi
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya teori hierarki.
Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum
disusun secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga.
Hubungan antara norma yang yang mengatur perbuatan norma lain dan
norma lain tersebut disebut sebagai hubungan super dan subordinasi dalam
konteks spasial.1 Norma yang menentukan perbuatan norma lain adalah
superior, sedangkan norma yang melakukan perbuatan disebut norma
inferior. Oleh sebab itu, perbuatan yang dilakukan oleh norma yang lebih
tinggi (superior) menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum yang
membentuk satu kesatuan.2
Mengacu pada teori jenjang hukum yang dikemukakan oleh Hans
Nawiasky, maka ada dua bentuk peraturan di bawah Undang-Undang yang
tentu saja merupakan peraturan hasil penyerahan kewenangan mengatur
dari undang-undang. Dua peraturan tersebut adalah Peraturan Pelaksana
(verodnung) dan Peraturan Otonom (autonome Satzung). Peraturan ini
berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.
1 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan 1,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 110.
2 Maria Farida Indrati, Ilmu PerundangUndangan: Dasar dan Cara Pembentukannya,
(Yogjakarta: Kanisius, 1998), h. 25.
2
Peraturan pelaksana (verodnung) bersumber dari kewenangan delegasi
yaitu kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
dilimpahkan oleh undang-undang kepada peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah.3 Kewenangan ini tidak diberikan, melainkan
‘diwakilkan’ dan bersifat sementara dalam arti kewenanagan ini dapat
diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Sedangkan
peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi yaitu kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh undang-
undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintah.4 Kewenangan ini
melekat terus-menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap
waktu diperlukan, sesuia dengan batas-batas yang diberikan.
Selain itu, teori atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir
Manan dibedakan sebagai berikut:
1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU (dalam arti formal) memberikan
kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri dan tanggung jawab
sendiri (mandiri) wewenang membuat/membentuk peraturan
perundang-undangan.
2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai wewenang
atributif (wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-
undangan) menyerahkan kepada badan lainnya wewenang
untukmembentuk peraturan perundang-undangan atas tanggung jawab
sendiri.5
Di Indonesia, rantai norma hukum ini diaktualisasikan ke dalam
hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7
3 Maria Farida Indari, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
(Yogyakarta, Kanisius, 2007), h. 56.
4 Maria Farida Indari, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
(Yogyakarta, Kanisius, 2007), h. 55.
5 Bagir Manan, Wewenang Provinsi Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah,
,Makalah Pada Seminar Nasional FH Unpad (Selajutnya disebut Bagir Manan V), 2000, h. 209-
210.
3
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan mengenai jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Meskipun tidak termasuk ke dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan kemudian menyebutkan
beberapa peraturan yang kehadirannya adalah sah dan mengikat, yaitu;
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.”
Merujuk pada penjabaran diatas, hadirnya Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi
Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dinilai tumpang tindih dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) yang lahir lebih dahulu pada 3 April 2020.
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun
2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menjadi dasar
4
diperbolehkannya ojek online untuk mengangkut penumpang di masa
pandemi ini. Sementara itu, Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) justru menentang pengoperasian ojek online yang
diperuntukkan pengangkutan penumpang.
Hal ini membuat ketidaksinkronan antar lembaga negara yang
setingkat yang kemudian menyebabkan pertentangan dan kebingungan pada
masyarakat peraturan manakah yang seharusnya diterapkan.
Berdasarkan hal inilah, peneliti ingin mengkaji dan membahas
permasalahan tersebut dengan judul “SINKRONISASI DAN
HARMONISASI PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN
NOMOR 18 TAHUN 2020 TENTANG PENGENDALIAN
TRANSPORTASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN
PENYEBARAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah peneliti paparkan diatas,
maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya kepastian hukum mengenai peraturan perundang-
undangan yang tumpang tindih
b. Dualisme peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sejajar
c. Peraturan menteri yang tumpang tindih dengan Peraturan Menteri
lainnya
d. Peraturan menteri yang memuat norma baru
e. Ketidaksinkronan istilah, konsep, sistem serta pelaksanaan di dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang ingin peneliti paparkan dan kaji tidak
terlalu melebar, maka pembahasan skripsi ini dibatasi mengenai
5
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari seluruh apa yang telah peneliti identifikasi, maka
pada penulisan skripsi ini perumusan masalah yang diangkat oleh
peneliti yaitu terkait Kedudukan Peraturan Menteri dalam
Ketatanegaraan di Indonesia. Berdasarkan perumusan masalah tersebut
maka peneliti buat perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
a. Apa faktor penyebab terjadinya perbedaan pengaturan transportasi
berbasis online di masa pandemi COVID-19?
b. Bagaimanakah upaya untuk menyinkronkan dan
mengharmonisasikan perbedaan pengaturan transportasi berbasis
online di masa pandemi COVID-19?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab terjadinya
perbedaan pengaturan transportasi berbasis online di masa pandemi
COVID-19.
b. Untuk mengetahui sinkronisasi dan harmonisasi regulasi perbedaan
pengaturan transportasi berbasis online di masa pandemi COVID-
19.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Menambah referensi dan/atau sebagai bahan penelitian
lanjutan bagi mahasiswa atau peneliti yang akan melakukan
penelitian yang sama.
b. Manfaat Praktis
6
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran bagi para pengambil kebijakan dalam proses pembuatan
peraturan perundang-undangan, termasuk proses pembuatan
peraturan menteri.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
library research (studi kepustakaan) dengan metode penelitan yuridis
normatif. Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian
yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga sebagai
penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian terhadap hukum yang
dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut
pengkonsep atau dalam pengembangannya.6
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Undang-Undang (statute approach) dan konseptual (conceptual
approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang ada.
3. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.7Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian, 2010) h. 23.
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenadamedia,2005), h.
178.
7
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-udangan.
3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19)
5) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019
(COVID-19)
6) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang
hukum yang bukan termasuk dokumen resmi, seperti buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini, antara lain adalah buku-buku yang berkenaan
dengan ilmu perundang-undangan, skripsi dan jurnal serta materi-
materi hukum yang berkaitan dengan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan atau rujukan yang
berupa petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum
primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), ensiklopedia, indeks, koran dan sumber informasi lain yang
dapat mendukung penelitian ini.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
8
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
studi keputakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari
referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai
literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi,
tesis dan peraturan perundang-undangan di berbagai perpustakaan
umum dan universitas.
5. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa hasil studi literer
(kepustakaan) berupa data sekunder, yang berasal dari bahan hukum
primer
dan sekunder. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai
penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya
merupakan
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.8
6. Metode Analisis Data
Data ang diperoleh dan telah dikumpulkan, selanjutnya diolah
dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu metode analisis yang
bersifat mendeskripsikan data yang diperoleh dalam bentuk uraian
kalimat yang logis, lalu diberi penafsiran dan kesimpulan oleh peneliti.
Tujuan dairi penggunaan metode ini adalah untuk menjelaskan lebih
rinci mengenai isu hukum yang diteliti. Metode analisis ini juga lebih
menekankan pada kualitas ini penelitian yang ditelaah secara mendalam
dan menyeluruh.
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Teknik penarikan kesimpulan pada penelitian ini digunakan dengan
melakukan pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif adalah pola pikir
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pres, 1986), h. 251-252.
9
yang menarik kesimpulan khusus dari pernyataan-pernyataan yang
bersifat umum mengenai topik penelitian.9
E. Rancangan Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta Tahun 2017,
yang terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab yang
digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang
diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi mengenai Latar Belakang, Pembatasan
Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan
Sistematika Penelitian
BAB II PERSPEKTIF TEORITIK ILMU
PERUNDANG-UNDANGAN
Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului
dengan konsep dasar dan kerangka teori dan
kerangka konseptual tentang tinjauan umum tentang
teori peraturan perundang-undangan. Pada bab ini
juga dibahas review studi terdahulu yang relevan,
yang fokus pembahasannya mendeskripsikan
persamaan dan perbedaan dari studi yang peneliti
akan lakukan.
BAB III REGULASI TRANSPORTASI BERBASIS
ONLINE DI MASA PANDEMI COVID-19
9 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h. 28.
10
Bab ini akan menyajikan kajian terkait dengan
regulasi pembatasan operasional transportasi
berbasis online di masa pandemi COVID-19 di
Indonesia.
BAB IV PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN
NOMOR 18 TAHUN 2020
Bab ini merupakan analisis permasalahan yang akan
membahas dan menjawab permasalahan pada
penelitian ini diantaranya faktor apa yang
menyebabkan terjadinya dualisme peraturan terkait
pembatasan operasional transportasi berbasis online
di masa pandemic COVID-19 serta sinkronisasi dan
harmonisasi peraturan terkait.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan rekomendasi.
11
BAB II
PERSPEKTIF TEORITIK ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
A. Kerangka Konseptual
1. Sinkronisasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1, kata sinkron berarti
terjadi atau berlaku pada waktu yang sama: serentak, sejalan, sejajar,
sesuai, dan selaras. Sehubungan dengan judul kajian ini, kata
sinkronisasi berarti perihal menyinkronkan, penyerentakan.
Sinkronisasi yang dimaksud adalah dengan melihat kesesuaian atau
keselarasan peraturan perundang-undangan secara vertikal berdasarkan
sistematisasi hukum positif yaitu antara peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan sering
menimbulkan pertentangan mengenai peraturan perundang-undangan
yang mana yang lebih tepat untuk digunakan untuk kasus tertentu. Oleh
karena itu, para penegak hukum perlu memperhatikan asas-asas
berlakunya peraturan perundang-undangan2
2. Harmonisasi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,3 kata harmonis
diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan harmoni, atau seia
sekata, sedangkan kata harmonisasi diartikan sebagai pengharmonisan,
atau upaya mencari keselarasan. Dalam kajian ini kata harmonisasi juga
digunakan sebagai upaya untuk mencari kesesuaian/keselarasan antara
peraturan perundangundangan agar tidak terjadi duplikasi pengaturan.
a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program
Pembangunan Nasional, menegaskan bahwa salah satu program
pembangunan adalah program pembentukan peraturan perundang-
1 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sinkron, diakses pada 26 Januari 2021. 2 Endang Sumiarni, Metodelogi Penelitian Hukum dan Statistik, (Yogyakarta: UAYJ Press,
2013), h. 11. 3 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harmonisasi, diakses pada 26 Januari 2021.
12
undangan yang sasarannya adalah menciptakan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
b. Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
c. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang termuat dalam
pasal 51 berikut.
Pasal 51
1) Pemrakarsa menyampaikan permohonan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang telah mendapatkan paraf
persetujuan anggota panitia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 kepada Menteri.
2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disertai dengan dokumen:
a. Naskah Akademik;
b. Penjelasan mengenai urgensi dan pokok-pokok pikiran;
c. Keputusan mengenai pembentukan panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian;
d. RUU yang telah mendapatkan paraf persetujuan seluruh
anggota panitia antarkementerian dan/atau
antarnonkementerian; dan
e. Izin prakarsa dalam hal RUU tidak masuk dalam daftar
Prolegnas.
3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Menteri melakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
4) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RUU, dimaksudkan untuk:
a. menyelaraskan RUU dengan:
1) Pancasila, UUD-1945, dan Undang-Undang lain; dan
2) teknik penyusunan peraturan perundangundangan.
13
b. menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur
dalam RUU.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Pengertian dari peraturan perundang-undangan ditentukan dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan. Dalam kajian ini yang dikaji adalah pentingnya harmonisasi
peraturan perundang-undangan.
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto,4 pengertian peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan
jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang
bersifat atau mengikat umum.
b. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi
ketentuanketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, dan status
atau suatu tatanan.
c. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau
abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada
obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.
d. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda,
peraturan perundang-undangan lazim disebut dengan wet in
materiёle zin atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende
voorschrift.
Jadi, menurut Bagir Manan unsur-unsur peraturan
perundangundangan adalah suatu peraturan yang bersifat umum-
4 Maria Farida Indari, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), h. 10-11.
14
abstrak, tertulis mengikat umum, dibentuk oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang dan bersifat mengatur.
Menurut Rachmat Trijono,5 nomenklatur “perundang-undangan”
dapat didahului dengan kata lain, misalnya peraturan, sehingga menjadi
“peraturan perundang-undangan”. Nomenklatur peraturan adalah
aturan-aturan yang dibuat oleh yang berkuasa untuk mengatur sesuatu,
yang dibuat oleh pemerintah, yang salah satu bentuknya adalah undang-
undang. Nomenklatur “aturan” dalam bahasa Arab disebut sebagai
“kaidah” dan dalam bahasa Latin disebut dengan “norma”.
Nomenklatur “peraturan perundangundangan” mempunyai arti yang
lebih fokus yakni aturan (kaidah, norma) yang dibuat oleh yang
berkuasa melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan untuk mengatur sesuatu. Peraturan perundang-undangan
bersifat umum, abstrak dan terus-menerus. Hal ini berbeda dengan
keputusan yang bersifat konkrit, individual, dan final Rachmat Trijono.
Unsurunsur peraturan perundang-undangan menurut Rahmat Trijono
terdiri atas:
1) Peraturan tertulis
2) Dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara
3) Melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
4) Mengikat secara umum.
Ilmu pengetahuan perundang-undangan secara umum merupakan
terjemahan dari gesetzgebungswissenschaft adalah suatu cabang ilmu
baru yang pada awalnya berkembang di Eropa Barat. Istilah lain yang
sering dipergunakan adalah wetgevingswetenschap atau dalam Bahasa
Inggris berarti science of legislation.
Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan ilmu ini di Eropa Barat
antara lain, yaitu Peter Noll (1973) dengan istilah gesetzgebunglehre,
5 Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Jakarta:
Papas Sinar Sinanti, 2013), h. 11.
15
Burkhardt Krems (1979) dan Werner Maihofer (1981) dengan istilah
gesetzgebungswissenschaft. Di Belanda antara lain S. O. van Poelje
(1980) dengan istilah wetgevingskunde, dan W. G. van der Velden
(1988) dengan istilah wetgevingstheorie, sedangkan di Indonesia
dicetuskan oleh Hamid S. Attamimi (1975) dengan istilah Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan.6
Menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan perundang-undangan
adalah ilmu pengetahuan tentang pembentukan peraturan negara yang
berupakan ilmu yang bersifat interdisipliner. Selain itu, ilmu ini
berhubungan dengan ilmu politik dan ilmu sosiologi. Secara garis besar,
ilmu ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a) Teori perundang-undangan, yaitu berorientasi pada mencari
kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan
bersifat kognitif
b) Ilmu perundang-undangan, yaitu berorientasi pada perbuatan
dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan
bersifat normatif
Burkhardt Krems kemudian membagi lagi bagian kedua tersebut
kedalam tiga sub bagian, yaitu:
1) Proses perundang-undangan
2) Metode perundang-undangan
3) Teknik perundang-udangan
Secara harfiah perundang-undangan berasal dari istilah “undang-
undang”, dengan awalan “per” dan akhiran “an”.
Menurut Maria Farida, perundang-undangan dalam bahasa
Inggris adalah legislation atau dalam bahasa Belanda wetgeving
6 Maria Farida Indrat Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan,Yogyakarta: Kanisius, 2007,
h. 1-6.
16
atau gesetzgebung dalam bahasa Jerman yang mempunyai
pengertian sebagai berikut:
1) Perundang-undangan sebagai proses pembentukan peraturan
negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah
2) Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang
merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah
Selanjutnya Maria Farida menegaskan bahwa ilmu perundang-
undangan adalah ilmu yang berkembang di negara-negara yang
menganut sistem hukum civil law, terutama jerman sebagai negara
yang bertama kali mengembangkan ilmu ini.
Menurut Bagir Manan, banyak kalangan yang menganggap
hukum, peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah
hal yang sama. Padahal hal tersebut tidaklah sama. Undang-undang
adalah bagian dari peraturan perundang-undangan sedangkan
peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang dan
berbagai peraturan perundang-undangan lain dan hukum bukan
hanya sekedar undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa
kaidah hukum seperti hukum adat, kebiasaan dan yurisprudensi.
4. Peraturan Menteri
Peraturan Menteri merupakan bagian tak terpisahkan dari peraturan
perundang-undangan karena legalitasnya telah terjamin dalam Pasal 8
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang dalam proses pembentukan dan
pengesahannya terlebih dahulu melalui proses atribusi ataupun delegasi
dari peraturan perundang-undangan diatasnya.
Peraturan Menteri merupakan peraturan pusat yang dibuat oleh
pemerintah pusat yang besifat pelaksanaan terhadap peraturan yang
17
lebih tinggi dan sekaligus merupakan pelaksanaan kewenangan pusat
yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada peraturan daerah. Oleh
sebab itu, setiap penetapan peraturan daerah harus mengacu berdasarkan
peraturan menteri.7
Pembentukan peraturan menteri sendiri dilatarbelakangi pada
kebijakan pemerintah yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan
yang bersifat pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi, oleh
sebab itu Menteri atau pejabat setingkat menteri dapat diberikan
kewenangan untuk membuat peraturan yang besifat pelaksanaan
tersebut.8
B. Kerangka Teori
1. Teori Negara Hukum
Profesor Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau
Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materil atau Negara Hukum
Modern.9 Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang
bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-
undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum
Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di
dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a
Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil
yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti
materiel yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak
serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian
7 Maria Farida dkk., Laporan Kompedium Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta:
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Badan Pembinaan Hukum Nasional Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, 2008), h. 47.
8 Zaka Firma Aditya dan M. Reza Winata, Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia, Jurnal Negara Hukum: Vol. 9, No. 1, Juni 2018, h. 95.
9 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1962), h. 9.
18
orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran
pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran
hukum materil.
Dalam pengertian Negara Hukum Klasik terdapat dua tipe pokok
negara hukum, yaitu a. Type Eropa Kontinental, yang berdasarkan pada
kedaulatan hukum (rechtsouvereiniteit), yang berintikan Rechtstaat
(negara hukum) b. Type Anglo Saxon, yang berintikan The Rule of Law;
Rechtstaat adalah sebuah konsep dalam pemikiran hukum Eropa
Kontinental yang awalnya dipinjam dari hukum Jerman, yang dapat
diterjemahkan sebagai "legal state", "state of law", "state of justice", or
"state of rights" dimana pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang
dibatasi oleh hukum.10
Frederich Stahl mengungkapkan setidaknya terdapat 4 unsur dari
rechstaat, yaitu:11
a. Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Pemerintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
d. Adanya Peradilan Administrasi Negara yang berdiri sendiri
(independent).
Istilah The Rule of Law ditemukan dalam buku AV. Dicey yang
berjudul Introduction To The Study Of The Constitution (1952)12. Di
dalam buku yang banyak dipakai dalam kajian tentang negara hukum
ini, Dicey menjelaskan keunikan cara berhukum orang-orang Inggris
10 Hayek, Friedrich, The Constitution of Liberty, (University of Chicago Press: Chicago,
USA, 1960), h. 199.
11 Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral,
(Surakarta, Lembaga Pengembengan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan percetakan UNS
(UNS PRESS) Universitas Sebelas Maret, 2007), h. 32.
12 Dicey, A.V., INTRODUCTION TO THE STUDY OF THE LAW OF THE
CONSTITUTION, Mc Millan and Co, Limited St. Martin’s Street, London,Part II. Chapters IV-XII,
1952. http://www.constitution.org/cmt/avd/law_con.htm, diakses pada 20 Juni 2020, pukul 19.00.
19
yang menganut sistem common law. Dicey menarik garis merah dari
cara berhukum tersebut sebagai sebuah konsep The Rule of Law dimana
masyarakat dan pemerintah taat dan patuh kepada hukum sehingga
ketertiban dapat dinikmati bersama-sama yang tidak ditemukan di
beberapa negara Eropa lainnya.
A.V. Dicey menguraikan adanya 3 unsur penting dalam setiap
negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”,
yaitu:13
1) Supremacy of Law yaitu dominasi dari aturan-atauran hukum untuk
menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan
kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah;
2) Equality Before the Law yaitu persamaan di hadapan hukum atau
penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of
the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada
orang yang berada diatas hukum, baik pejabat maupun warga negara
biasa, berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama;
3) Due Prosess of Law atau terjaminnya hak-hak manusia oleh
konstitusi yang merupakan hasil dari “the ordinary law of land”,
bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, akan tetapi merupakan
konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan
oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip hukum privat melalui
tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga
membatasi posisi crown dan pejabat.
Dalam perkembangan mengenai negara hukum, adanya upaya untuk
menghilangkan batasan pengertian negara hukum antara Rechtstaat dan
The Rule of Law, seperti halnya berangkat dari embrio pemikiran para
13 Philiphus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Perabadan, 2007, h. 75
20
penggagas negara hukum, seperti John Lock dan Montesquieu. Brian
Tamanaha mencoba melakukan terobosan dengan memformulasikan
sebuah alternatif baru dalam konsep negara hukum, dimana Brian
Tamanaha menawarkan pemisahan konsep The Rule of Law kedalam dua
kategori dasar, formal dan substantif, yang kedua-duanya masing-masing
memiliki tiga cabang atau format yang berbeda-beda.14
Didalam konsep negara hukum The Rule of Law terdapat konsep
Rule by Law atau biasa disebut konsep tindakan negara harus berdasarkan
hukum yang memiliki arti bahwa hukum menjadi suatu acuan bagi
praktek atau tindakan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah,
dimana menurut Brian Z Tamanaha Rule by Law terdapat pada versi
formal dari The Rule of Law15, dan konsep Rule by Law sangat popular
digunakan oleh negara-negara modern. Didalam konsep Rule by Law
merupakan sebuah gagasan bahwa hukum adalah sarana negara
melakukan urusan, segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah,
harus sesuai dengan aturan hukum. Sehingga apapun yang dikatakan oleh
hukum adalah suatu perintah yang harus dilaksanakan oleh pemerintah,
dan pemerintah lebih memilih konsep Rule by Law sebagai cara karena
dianggap paling nyaman untuk memerintah.
Rule by Law merupakan antithesis sebagai pelaksanaan kekuasaan
kesewenang-wenangan oleh negara atau pemerintah. Rule by Law bagian
dari bentuk konsep formal di dalam sistem teori negara hukum Rule of
Law.
Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan
perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
14 Brian Z Tamanahan, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge
University Press, United.Kingdom, h.91
15 Brian Z Tamanahan, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge
University Press, United.Kingdom, h.92
21
dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu
menjamin keadilan substantif. Oleh karena itu, di samping istilah ‘the
rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just
law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule
of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada
sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti
sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’,
pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam
istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi
tentang negara hukum di zaman sekarang.
2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
A.Hamid.S.Attamimi membagi asas pembentukan perundang-
undangan atas dua macam yaitu asas formal dan asas materiil: (1) Asas
formal terdiri dari : asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan,
asas organ atau lembaga yang tepat, asas materi muatan yang tepat, asas
dapat dilaksanakan, asas dapat dikenali ; dan (2) Asas materiil yaitu asas
sesuai dengan cita hukum dan fundamental negara, asas sesuai dengan
hukum dasar negara, asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum,
asas sesuai denagan prinsip-prinsip pemerintahan yang berdasarkan
konstitusi.16
Menurut Jimly Asshiddiqie, pengertian peraturan perundang-
undangan adalah keseluruhan susunan hierarkis peraturan perundang-
undangan yang berbentuk undang-undang ke bawah, yaitu semua
produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat
bersama-sama dengan pemerintah apapun yang melibatkan peran
pemerintah karena kedudukan politiknya dalam melaksanakan produk
16 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik;
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009),
h. 115.
22
legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-
sama dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing.17
Berlakunya suatu undang-undang dalam arti materiil dikenal
beberapa asas, antara lain:
Pertama, undang-undang tidak berlaku surut. Asas ini terdapat
dalam Pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (disingkat A.B.)
yang terjemahannya berbunyi, “undang-undang hanya mengikat untuk
masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang beraku surut.”
Kedua, undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
Ketiga, undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan
undang-undang yang bersifat umum (lex spesialis derogate lex
generalis).
Keempat, undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan
undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posterior derogate lex
priori).
Kelima, undang-undang sebagai sarana untuk mencapai
kesejahteraan bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan
atau pelestarian (welvaarstaat).18
C. Tinjuan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada skripsi, buku,
maupun jurnal terdahulu, dengan menyamakan dan membedakan apa yang
menjadi fokus masalah dalam rujukan dengan fokus masalah yang peneliti
munculkan, diantaranya :
17 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik;
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009),
h. 119.
18 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 7-11.
23
1. Skripsi yang ditulis oleh Nindya Chairunnisa Zahra berjudul
“Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis
Peraturan Perundang-Undangan” (Universitas Indonesia, 2014).
Skripsi ini membahas kewenangan dalam pembentukan Peraturan
Menteri ditinjau dari teori peraturan perundang-undangan dan dari Pasal
8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 serta bagaimana
keberlakuan Peraturan Menteri yang pembentukannya tidak didasarkan
pada kewenangan tersebut. Persamaan antara penelitian tersebut dengan
penelitian ini adalah sama-sama membahas mengenai kedudukan dan
materi muatan Peraturan Menteri. Perbedaannya adalah penelitian
tersebut tidak mengamini bahwasannya Peraturan Menteri dapat
dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi dan atribusi. Menurut
penelitian tersebut, Peraturan Menteri hanya dapat dibentuk melalui
kewenangan delegasi.
2. Buku yang ditulis oleh Ni’matul Huda dan Nazriyah berjudul “Teori
dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan” (Nusa Media,
2015). Persamaan antara buku tersebut dengan penelitian ini adalah
sama-sama membahas mengenai materi muatan Peraturan Menteri. Hal
yang membedakannya adalah buku tersebut membahas secara luas
terkait dengan materi muatan peraturan perundang-undangan sedangkan
penelitian ini hanya berfokus kepada Peraturan Menteri saja.
3. Jurnal yang ditulis oleh Cholida Hanum berjudul “Analisis Yuridis
terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-Asas Materi Muatan
Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia” (In Right
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia,Vol. 7, No. 1, November 2017).
Jurnal ini membahas mengenai latar belakang hadirnya Perda Syari’ah
dan isi materi muatan Perda Syari’ah jika dilihat dari perspektif asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi
muatan peraturan daerah. Persamaannya adalah jurnal ini membahas
mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan yang tidak
sesuai dengan asas-asas hukum perundang-undangan dan peraturan
24
perundang-undangan diatasnya. Perbedaannya adalah obyek yang
diteliti yaitu pada jurnal ini terfokus kepada Peraturan Daerah
sedangkan penelitian ini terfokus kepada Peraturan Menteri.
25
BAB III
REGULASI TRANSPORTASI BERBASIS ONLINE DI MASA
PANDEMI COVID-19
A. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Teori Hierarki merupakan teori yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen
yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga
dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang mengatur
perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai
hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.1 Menurut Hans
Kelsen, norma itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki.
Pengertiannya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber, dan
berdasar dari norm yang lebih tinggi, dan norma lebih tinggi juga bersumber
dan berdasar dari norma yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai
berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar
(grundnorm) dan masih menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma
yang dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh
lembaga otoritasnya yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma
yang lebih tinggi, sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat
dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi (superior), pada akhirnya
hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu
hierarki.2
Hans Kelsen membagi jenjang norma tersebut ke dalam beberapa
jenjang penormaan secara berlapis atau bertahap, yaitu mulai dari
grundnorm atau basic norm (sebagai jenjang norma tertinggi) yang tidak
dapat ditetapkan oleh suatu kekuasaan, tetapi keberadaannya diasumsikan
dan diandaikan ada oleh akal budi manusia. Jenjang berikutnya adalah norm
1 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, 2006), h. 110.
2 Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 14-15.
26
sebagai jenjang norma yang ada dibawahnya dan norm ini juga berjenjang.
Dalam pandangan Hans Kelsen, grundnorm merupakan norma tertinggi
yang tidak ditetapkan oleh suatu kekuasaan (yang tentu saja memerlukan
norma yang lebih tinggi sebagai landasan kewenangannya), tetapi
keberadaannya diasumsikan atau diandaikan ada oleh akal budi manusia.3
Norma dasar sebagai norma tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat
dan menjadi sumber bagi norma-norma yang lebih rendah. Oleh karena itu,
norma dasar itu disebut presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu.4
Dalam stufentheorie-nya, Hans Kelsen mengemukakan bahwa di
puncak “stufenbau” terdapat kaidah dasar dari suatu tatanan hukum nasional
yang merupakan suatu kaidaj fundamental (grundnorm/ursprungnorm),
grundnorm merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak, umum dan
hipotesis. Grundnorm pada umumnya bersifat metajurisdisch, bukan
produk buatan badan pembuat undang-undang (‘de wetgeving), bukan
bagian dari peraturan perundang-undangan (‘algemene venbindende
voorshrifften’), namun merupakan sumber dari semua sumber (the source
of the sources’) dari tatanan peraturan perundang-undangan yang ada
dibawahnya. Grundnorm berada dipuncak stufenbau, namun stands outside
on the hilltop dan hanya ada satu grundnorm, serta tidak boleh bercokol dua
atau lebih grundnorm dipuncak bangunan piramida, grundnorm menjadikan
aturan-aturan hukum berlaku mengikat sebagai kaidah-kaidah hukum
positif. Bagi Kelsen, grundnorm merupakan dasar segala kekuasaan dan
legalitas hukum positif.5
Secara teoritik, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat
dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai Sutfenbau des Recht atau
3 Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Kerjasama Konstitusi Press,
Jakarta & Citra Media, 2006), h. 16.
4 Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Prenada
Media, 2011), h. 52.
5 Ni’matul Huda, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Press,
2008), h. 54-55.
27
The Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan
suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah
bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Untuk lebih memahami teori
Stufenbau des Recht, harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain
yaitu Reine Rechtslehre atau the pure theory of law (teori murni tentang
hukum) dan bahwa hukum itu tidak lain “command of the sovereign”
kehendak yang berkuasa.6
Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem norma
yang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan
dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang
membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma
tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pembentukannya.7
Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas
yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi
sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang-jenjang
dan membentuk hierarki, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber, dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar
(grundnorm).
Tata urutan atau hierarki perundang-undangan dalam suatu tatanan
hukum itu oleh Hans Kelsen disebut hierarchi of norm (strufenbau des
recht).8 Setiap tata kaidah hukum merupakan suatu susunan daripada
6 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Pres, 2004), h. 203.
7 Hans Kelsen, dikutip kembali oleh A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden
RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor,
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h. 112-113.
8 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
28
kaidah-kaidah. Dalam stufentheorie-nya Hans Kelsen mengemukakan
bahwa dipuncak “stufenbau” terdapat kaidah dasar dari suatu tata hukum
nasional yang merupakan suatu kaidah fundamental. Kaidah dasar tersebut
disebut “grundnorm” atau “ursprungnorm”. Grundnorm merupakan asas-
asas hukum yang bersifat abstrak, bersifat umum atau hipotesis.
Menurut Kelsen, grundnorm pada umumnya adalah meta juridisch,
bukan produk (buatan) badan pembuat undang-undang (‘de wetgeving),
bukan bagian dari peraturan perundang-undangan (‘algemene venbindende
voorschrifften’), namun merupakan sumber dari semua sumber (‘the source
of the source’) dari tatanan peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya. Grundnorm berada di puncak stufenbau namun stands outside,
on the hilltop. Lagipula, hanya ada satu grundnorm. Tidak boleh bercokol
dua grundnorm dipuncak bangunan piramida. Grundnorm menjadikan
aturan-aturan hukum berlaku mengikat sebagai kaidah-kaidah hukum
positif. Oleh sebab grundnorm itulah maka aturan-aturan hukum
berkekuatan sebagai kaidah-kaidah hukum positif yang mengikat rakyat
banya. Bagi Kelsen, grundnorm adalah dasar segala kekuasaan dan legalitas
hukum positif.9
Teori hierarki atau jenjang tata hukum dari Kelsen ini diilhami oleh
seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl (1836-1896) yang terlebih
dahulu telah menulis teori yang oleh Jeliae disebut “stairwell structure of
legal order”. Teori Merkl ini adalah tentang tahapan hukum (die Lehre von
Stufenbau der Rechtsordnung) yaitu bahwa hukum adalah suatu tata urutan
hierarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan dan
tindakan hukum. Norma yang mengkondisikan berisi kondisi untuk
pembuatan norma lain atau tindakan. Pembuatan hierakis ini
termanifestasikan dalam bentuk regresi dari sistem tata hukum yang lebih
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor, Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990, h. 114-115.
9 M.Laica Marzuki, “Mula Keberadaan Negara Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum
Amanna Gappa Vol. 14 Nomor 1, Maret 2006, hal. 6-7.
29
tinggi ke sistem tata hukum yang lebih rendah. Proses ini selalu merupakan
proses kritisasi dan individualisasi.10
Lebih lanjut Merkl mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu
selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlizt). Suatu norma
hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya
Jadi, esensi dari teori Stufenbau des Rechts atau teori jenjang norma
hukum Kelsen ini ingin melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri
dari susunan norma yang berbentuk pyramidal. Norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatan dari norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu
norma, akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukan suatu norma akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang
paling tinggi atau menduduki puncak piramida, bahkan bersifat “meta
juristic” atau di luar sistem hukum, norma semacam ini disebut oleh Kelsen
dengan nama Grundnorm atau ursprungnorm.11
Teori Hans Kelsen kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky.
Nawiasky dalam teorinya mengenai “Die Lehre vom dem Stufenaufbau der
Rechtsordnung” atau “Die Stufenordnung der Rechtnormen”
mengemukakan, sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari
negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana
norma yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang
lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi, berlaku, berdasar dan bersumber pada
norma yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma tertinggi disebut
Norma Dasar. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum
dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas: (1)
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara); (2)
Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar); (3) Formell Gesetz (Undang-undang
10 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at Adam dalam, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 109.
11 Marida Farida Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan
Perkembangannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 25.
30
Formal); (4) Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan
Aturan Otonom).12
Lebih lanjut Nawiasky mengemukakan, isi staatsfundamentalnorm
ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
undang-undang dasar suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma
pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat
bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih
dahulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
Selain itu “norma dasar” sebagaimana yang disebutkan bersifat pre-
supposed dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya, sehingga
tidak perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan
lagi sebagai suatu hipotesis, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma. Ini
diperlukan untuk tidak menggoyahkan lapis-lapis bangunan tata hukum
yang pada akhirnya menggantungkan atau mendasar diri kepadanya. Di
dalam suatu negara norma dasar ini disebut juga staatsfundamentalnorm.13
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan
antara teori jenjang norma (stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teori
jenjang norma hukum (Die Theorie von Stufennordnung der Rechtsnormen)
dari Hans Nawiasky. Persamaannya adalah bahwa keduanya menyebutkan
bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis. Perbedaannya
adalah Hans Kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu, sedangkan
Hans Nawiasky membagi norma-norma itu ke dalam empat kelompok
berlainan. Perbedaan lainnya adalah bahwa teori Hans Kelsen masih
membahas jenjang norma itu secara umum (general) dalam arti berlaku
12 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor, Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990.
13 A. Hamid S. Attamimi, UUD 1945-TAP MPR-UNDANG-UNDANG”, dalam Padmo
Wahjono (Penghimpun), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984), h. 125-126.
31
untuk semua jenjang norma (termasuk norma hukum negara), sedangkan
Hans Nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus,
yaitu dihubungkan dengan suatu negara. Selain perbedaan-perbedaan
tersebut, didalam teorinya Hans Nawiasky menyebutkan Norma Dasar
Negara itu adalah bukan Staatsgrundnorm melainkan dengan istilah
Staatsfundamentalnorm. Hans Nawiasky berpendapat bahwa apabila
dipakai istilah Staatsgrundnorm, pengertian Grundnorm itu kecenderungan
untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara
Norma Dasar Negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu
pemberontakan, kudeta dan sebagainya.14
Perbedaan yang lain ialah kata “norm” dalam grundnorm yang
dimaksud Kelsen adalah norma dalam arti yang masih umum (norma
hukum, norma sopan santun, norma kesusilaan, norma sosial dan norma
agama). Sedangkan kata “norm” dalam staatsfundamentalnorm yang
dimaksud Hans Nawiasky adalah norma yang bersifat khusus, yaitu norma
hukum dalam pengertian hukum positif atau hierarki peraturan perundang-
undangan.15
Sebagaimana norma dasar suatu negara (staatsfundamentalnorm)
memberikan landasan bagi aturan dasar yang merupakan tatanan suatu
negara dalam bentuk Undang-Undang Dasar atau konstitusi (tertulis), maka
aturan dasar tersebut pada gilirannya merupakan landasan bagi hukum
perundang-undangan (gesetzesrecht) yang berlaku dalam negara. Biasanya
aturan-aturan dasar tersebut apabila dituangkan dalam suatu dokumen
negara disebut vervasssung, dan apabila dalam beberapa dokumen atau
14 Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Perkembangannya,
(Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 29-30.
15 Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Kerjasama Konstitusi Press,
Jakarta & Citra Media, 2006), h. 60.
32
tersebar-sebar disebut grundgessetze.16 Isi penting bagi aturan dasar selain
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara juga terutama
aturan-aturan untuk memperlakukan dan memberikan kekuatan mengikat
kepada norma-norma hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat
umum.
Apabila pada peraturan dasar masih kita jumpai aturan-aturan umum
yang bersifat garis-garis besar, maka pada undang-undang (formell gesetz)
kita dapati norma-norma yang lebih mengikat. Biasanya pada bentuk
perundang-undangan yang tertinggi. Pelaksanaan (volstreckunswang)
maupun berupa hukum (srafe). Memang baru ada sistem undang-undang
inilah kita memperoleh suatu tata norma hukum yang verbindlich secara
nyata.
Menurut Hans Kelsen, sebuah konstitusi merupakan norma dasar (basic
norm) apabila “the validity of this first constitution is the lap presup
position, the final postulate, upon which the validity of all the norms of our
legal order depends.”17 Demikian juga menurut Hans Nawiasky yang
mengikuti jejak Kelsen mengatakan bahwa, staatsfundamentalnorm adalah
Geltungsbedingung order Geltungsvorausssetzung der Verfassung.18
Sebuah konstitusi dalam arti material ternyata mengandung aturan-aturan
yang mengatur pembentukan norma hukum yang bersifat umum, khususnya
undang-undang. Demikian juga konstitusi pertama-tama berisi syarat-syarat
bagi terbentuknya hukum perundang-undangan (gesetzesrecht),
16 A. Hamid S. Attamimi, UUD 1945-TAP MPR-UNDANG-UNDANG”, dalam Padmo
Wahjono (Penghimpun), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984), h. 126.
17 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor, Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990, h. 115
18 A. Hamid S. Attamimi, UUD 1945-TAP MPR-UNDANG-UNDANG”, dalam Padmo
Wahjono (Penghimpun), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984), h. 127.
33
sebagaimana staatsfundamentalnorm bagi hukum konstitusi
(verfassungsrecht).19
Pada 12 Agustus 2011, Pemerintah telah mengundangkan UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menggantikan UU No. 10 Tahun 2004. Dengan berlakunya UU yang baru
ini otomatis UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku
lagi. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-
kelemahan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang antara lain:
1. Materi dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 banyak yang
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan
suatu kepastian hukum
2. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten
3. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan
atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
4. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai
dengan sistematika
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya,
terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini,
yaitu antara lain:
a) Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah
satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan
setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang
tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Perundang-
undangan lainnya
19 A. Hamid S. Attamimi, UUD 1945-TAP MPR-UNDANG-UNDANG”, dalam Padmo
Wahjono (Penghimpun), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984), h. 127-128.
34
c) Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d) Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
e) Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-
undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
f) Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I
Undang-Undang ini.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan didalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-Undangan, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Ketetapan MPR
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden
6) Peraturan Daerah Provinsi
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
B. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Pengangkutan merupakan suatu bentuk kegiatan yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pengangkutan didasari oleh
berbagai faktor, baik faktor geografis, faktor pemenuhan kebutuhan untuk
menunjang pembangunan berbagai sektor berupa penyebaran, pemerataan
dan pendistribusian hasil pembangunan ke seluruh pelosok tanah air, serta
35
faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.20 Tujuan dari proses
pengangkutan itu sendiri adalah pemindahan orang atau barang dari suatu
tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat angkut untuk memenuhi
kebutuhan perseorangan atau pribadi, yaitu agar tiba di tempat tujuan
dengan selamat dan meningkatkan nilai guna atau nilai tukar dari barang
atau orang yang diangkut.21
Alat transportasi berbasis aplikasi yang sedang berkembang pada saat ini
berupa angkutan taksi online dan ojek online. Pemesanan angkutan berbasis
aplikasi online dapat dilakukan oleh calon penumpang dengan memesan
angkutan yang diinginkan melalui sebuah apikasi yang dapat diunduh pada
handphone yang milik customer. Aplikasi yang digunakan untuk memesan
alat transportasi online telah terintegrasi dengan perusahaan aplikasi online.
Saat melakukan proses pemesan alat transportasi online, calon
penumpang harus mengisi lokasi penjemputan, tempat tujuan serta moda
transportasi yang diinginkan. Setelah informasi diterima, maka perusahaan
aplikasi online tersebut akan menghubungkan informasi yang telah diinput
pada aplikasi kepada para driver yang tergabung dalam perusahaan
transportasi online tersebut. Aplikasi tersebut termuat informasi seperti
identitas pengemudi, nomor polisi kendaraan pengemudi, nomor telepon
ojek online yang dapat dihubungi, jumlah tarif perjalanan yang harus
dibayar. Selain itu, customer dapat mengetahui perkembangan posisi ojek
online yang akan menuju titik penjemputan secara langsung melalui fitur
pelacak posisi.22
Terkait dengan hal tersebut, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18
Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) lahir ditengah-tengah
20 Kadir Muhammad Abdul, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, (Jakarta,
Citra Aditya Bakti, 1991), h. 30. 21 Adriyani Wuri dan Samzari Boentoro, Buku Ajar Hukum Pengangkutan, (Surabaya,
Universitas Airlangga, 2007), h. 1. 22 Nuraini Fillaili, “Tanggung Jawab Perusahaan Transportasi Online terhadap
Penumpang Akibat Adanya Praktik Peralihan Akun”, Jurist-Diction, Vol. 2, No. 4, Juli, 2019,
hlm. 1377.
36
pandemic COVID-19 yang didalam aturannya termuat pengaturan
mengenai transportasi online di masa pandemic COVID-19, yaitu:
Pasal 11 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18
Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) berbunyi,
“dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan
untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut
penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan
sebagai berikut:
1. aktivitas lain yang diperbolehkan selama Pembatasan Sosial
Berskala Besar
2. melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan
setelah selesai digunakan
3. menggunakan masker dan sarung tangan
4. tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan diatas
normal atau sakit.”
C. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Corona Virus Diseases 2019 atau disebut dengan nama lain Covid-19
menjadi permasalahan yang banyak menyoroti perhatian masyarakat di
berbagai belahan dunia. Sejak pertama sekali diketahui dari pasien yang
terinfeksi Covid-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada 8 Desember 2019,
kini virus ini telah menyebar ke 216 negara (WHO, 13 Juni 2020).
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala Besar Dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
sebagai upaya untuk menekan jumlah pasien terjangkit virus COVID-19.
Pembatasan kegiatan masyarakat adalah upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah untuk membatasi kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
dalam berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya untuk mencegah
kemungkinan penyebaran wabah COVID-19 yang menggunakan ruang
publik, moda transportasi publik, dan bangunan publik.
37
Pembatasan kegiatan masyarakat ditujukan untuk membatasi kegiatan
tertentu dan pergerakan orang dalam menekan penyebaran COVID-19 tanpa
mengabaikan dampak psikologis masyarakat, meningkatkan antisipasi
perkembangan ekskalasi penyebaran COVID-19, memperkuat upaya
penanganan Kesehatan dan mengurangi pencirian negatif (stigma) di
masyarakat akibat COVID-19, dan mengurangi dampak ekonomi, sosial
dan keamanan dari penyebaran COVID-19. Pada pelaksanaan pembatasan
kegiatan masyarakat setiap orang wajib melaksanakan protokol COVID-19.
Indonesia menyikapi situasi pandemi Covid 19 untuk menekan
meluasnya
penyebaran virus ini.23 Penyebaran Covid 19 berpotensi menimbulkan
kegawatdaruratan kesehatan, sehingga untuk mencegah meluasnya dampak
virus ini diperlukan seperangkat regulasi.24 Keputusan Presiden Republik
Indonesia, Ir. Joko Widodo, pada 31 maret 2020, menetapkan status darurat
kesehatan masyarakat terkait wabah Covid 19 dan memilih Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai respon untuk mengatasi dampak
wabah Covid 19 tersebut, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kebijakan ini
merupakan langkah sigap pemerintah dalam menanggulangi pandemi covid
19.25 Keputusan Presiden mengenai penetapan darurat Kesehatan
Masyrakat tersebut dituangkan ke dalam Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
COVID-19 dan selanjutnya pada 1 April 2020, pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) (selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut PP PSBB).
23 Engkus, "Covid-19: Kebijakan mitigasi penyebaran dan dampak sosial ekonomi di
Indonesia." LP2M, Mei 2020, h. 9. 24 Dalinama Telaumbanua, "Urgensi Pembentukan Aturan Terkait Pencegahan Covid-19
Di Indonesia", QALAMUNA: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, Nomor 1, Pebruari 2020, h.
59. 25 Imas Novita Juaningsih, "Penerapan Sanksi Pidana bagi Penimbun Masker di
Indonesia Selama Masa Pandemi Covid-19." ‘ADALAH, Nomor 1, 2020, h. 76.
38
Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
dengan adanya Keputusan Presiden tersebut maka dapat dinyatakan bahwa
untuk percepatan penanggulangan wabah COVID-19, Presiden telah
menetapkan darurat kesehatan masyarakat COVID-19 dan memilih PSBB
sebagai penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, halmana PSBB adalah
sebagai respon kedaruratan kesehatan masyarakat yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, mengingat bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dimaksud, guna
penyelenggaran kekarantinaan masyarakat in casu PSBB, Pemerintah dapat
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) maka sejak penetapan
tersebut Pemda dapat mengajukan penyelenggaraan PSBB di daerahnya
masing-masing kepada Pemerintah c.q Menteri Kesehatan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) jo. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19).
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan mengatur mengenai sanksi pidana atas
pelanggaran penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan diatur pada Pasal 93
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
yang menyatakan:
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau
menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).”
39
Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan juga dinyatakan: “Setiap orang wajib mematuhi
penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”.
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) yang didalam aturannya termuat pengaturan mengenai
transportasi online di masa pandemic COVID-19, yaitu:
“Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan;
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
d. pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
e. pembatasan moda transportasi; dan
f. pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan
keamanan.”
40
BAB IV
PERATURAN MENTERI YANG MEMUAT NORMA BARU YANG
BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Materi Muatan Peraturan Menteri dalam Peraturan Perundang-
Undangan
Dalam sistem demokraasi dan negara hukum modern, suah umum
diketahui bahwa kekuasaan negra dibagi dan dipisahkan antara cabang-
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pokoknya,
kekuasaan membuat peraturan dalam kehidupan bernegara dikonstruksikan
berasal dari rakyat yang berdaulat yang dilembagakan dalam organisasi
negara I lembaga legislative sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan
cabang kekuasaan pemerintahan negara sebagai organ pelaksanaa atau
eksekutif hanya menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
cabang legislatif. Sementara itu, cabang kekuasaan kehakiman adau
yudikatif menjadi pihak yang memiliki kewenangan untuk menegakkan
peraturan-peraturan itu melalui proses peradilan yang independent dan
imparsial.1
Oleh karenanya, satu-satunya pintu sumber legitimasi organ negara
untuk membuat dan menetapkan suatu norma hukum yang kemudian
berbentuk peraturan (regelling) adalah organ yang bekerja di cabang
kekuasaan legislatif. Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya
dituangkan dalam Undang-Undang Dasar sebagai “de hoogste wet” atau
hukum yang tertinggi, sedangkan hukum yang tertinggi di bawah Undang-
Undang Dasar adalah Undang-Undang (gesezt, wet, law) sebagai bentuk
peraturan yang ditetapkan oleh legislator (legislator act). Namun,
dikarenakan materi yang diatur dalam undang-undang itu hanya terbatas
kepada soal-soal yang umum, maka diperlukan bentuk peraturan yang lebih
1 Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2006), h. 213.
41
rendah kedudukannya (subordinate legislation) sebagai peraturan pelaksana
undang-undang yang bersangkutan.
Sudah menjadi kenyataan umum di semua negara bahwa kewenangan
untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang bersifat teknis itu kepada lembaga
eksekutif untuk menetapkan peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan
pelaksana (subordinate legislation). Namun, karena sumber kewenangan
mengatur pada pokoknya berada di tangan [ara wakil rakyat sebagai
legislatior, sekiranya diperlukan peraturan yang lebih rendah untuk
mengatur pelaksanaan suatu materi undang-undang, maka pemberian
kewenangan untuk lebih lanjut itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga
pelaksana, haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang
akan dilaksanakan. Hal inilah yang biasa dinamakan “legislative delegation
of rule-making power”. Dengan penegasan itu berarti kewenangan untuk
mengatur lebih lanjut itu secara tegas didelegasikan oleh legislator utama
(primary legislator) kepada legislator sekunder (secondary legislator).
Proses pendelegasian kewenangan regulasi atau legislasi inilah yang disebut
pendelegasian kewenangan legislatif (legislative delegation of rule-making
power).2
Istilah materi muatan undang-undang pertama kali diperkenalkan oleh
A. Hamid Attamimi sebagai terjemahan dari het onderwerp dalam
ungkapan Thorbecke het eigennarding onderwerp ke dalam Bahasa
Indonesia dengan istilah materi muatan. Attamimi mengatakan:3
“… dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama kali
istilah materi muatan. Kata materi muatan pertama kali diperkenalkan oleh
penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam ungkapan
Thorbecke het eigenaarding der werp. Penulis menerjemahkannya dengan
2 Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2006), h. 214. 3 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi untuk memperoleh gelar
Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal.
193-194. Lihat juga I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, DIinamika Hukum dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2008, hal. 89-90.
42
materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan
yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang
sehingga menjadi materi muatan undang-undang.”
Bagir Manan mengartikan materi muatan adalah muatan yang sesuai
dengan bentuk peraturan perundang-undangan tertentu.4 Lebih lanjut Bagir
Manan menyatakan hingga saat ini belum pernah ada satu ketentuan atau
ajaran yang memastikan materi muatan suatu peraturan perundang-
undangan. Ajaran mengenai materi muatan lebih bersifat asas-asas umum
daripada materi kaidahnya.
Setiap jenis peraturan perundang-undangan memuat materi tertentu,
yang satu berbeda dengan yang lain. Hal ini mengandung arti bahwa secara
substansial pembedaan jenis suatu peraturan perundang-undangan tidak
semata-mata didasarkan pada bentuk, syarat dan cara pembentukan serta
badan pembentukannya, tetapi juga didasarkan isi yang terkandung
didalamnya. Pada hakikatnya jenis peraturan perundang-undangan
mencerminkan sebagai suatu wadah. Pembedaan suatu wadah disebabkan
oleh pembedaan muatan yang diwadahi.
Pejabat atau kementerian ataupun pimpinan suatu departemen
pemerintahan dapat mengeluarkan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri.
Akan tetapi, tidak semua Menteri diberi kewenangan mengatur.
Kewenangan itu harus dibatasi hanya digunakan oleh Menteri yang
memimpin departemen (dengan portofolio). Alasannya adalah karena hanya
Menteri yang memimpin departemen sajalah yang mempunyai aparatur
yang cukup untuk menjamin bahwa peraturan yang dibuat itu dapat
dijalankan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan Menteri Koordinator
ataupun Menteri Negara dan Menteri Muda yang tidak memimpin
departemen pemerintahan tertentu, tidak perlu diberi kewenangan untuk
menetapkan suatu peraturan tertentu. Kebutuhan untuk pengaturan yang
4 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997, hal. 145.
43
dimaksud cukup dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri yang tekait
dengan bidang yang bersangkutan.5
Peraturan Menteri (permen) adalah suatu peraturan yang dikeluarkan
oleh seorang Menteri yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bidang
tugasnya. Dan Surat Keputusan Menteri adalah Keputudan Menteri yang
bersifat khusus mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang tugasnya.6
Dalam praktek, ada Menteri yang hanya mempergunakan bentuk
Keputusan Menteri (Kepmen). Ada pula Menteri yang mempergunakan
bentuk Peraturan Menteri-sesuai dengan namanya-berisi ketentuan yang
bersifat mengatur. Sedangkan Kepmen dapat berupa peraturan (regeling)
atau ketetapan (beschiking). Materi muatan Permen dan Kepmen (yang
bersifat mengatur) mencakup hal-hal baik yang bersumber pada atribusi
atau delegasi.
Pembatasan-pembatasan materi muatan Permen atau Kepmen (yang
bersifat mengatur) adalah:7
1. Lingkungan pengaturan terbatas pada lapangan administrasi negara
baik dalam fungsi instrumental maupun fungsi perjanjian
(perlindungan).
2. Lingkungan pengaturan terbatas pada bidang yang menjadi tugas,
wewenang, dan tanggungjawab Menteri yang bersangkutan.
3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya dan asas-asas umum penyeleggaraan
pemerintahan yang layak (algame beginselen van behoorlijk bestuur).
Menurut penjelasan Pasal 8 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yang
dimaksud Peraturan Menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh Menteri
5 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Edisi Revisi, Alumni, Bandung, hal. 154. 6 Philips M. Handjon, et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketiga,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 59. Dikutip kembali oleh Abdul Latief dalam
Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press,
Yogyakarta, 2005, hal. 140. 7 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Edisi Revisi, Alumni, Bandung, hal. 154.
44
berdasarkan matei muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu
dalam pemerintahan.
Sesuai dengan tugas dan fungsi seorang Menteri menurut Pasal 17
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
fungsi dari Peraturan Menteri adalah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
Penyelenggaraan fungsi ini adalah berdasarkan Pasa 17 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Perubahan) dan kebiasaan yang ada.
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan
Presiden. Oleh karena fungsi Peratuan Menteri disini sifatnya
dlekegasian dari Peraturan Presiden, maka Peraturan Menteri disini
sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dari kebijakan yang oleh
Presiden dituangkan dalam Peraturan Presiden.
c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.8
Dalam hal materi yang bersifat tumpang tindih dengan materi Peraturan
Menteri lainnya atau Peraturan Pejabat setingkat Menteri lainnya, apakah
dapat dibenarkan dikeluarkannya peraturan bersama seperti yang selama in
dikenal dengan sebutan Surat Keputusan Bersama? Menurut Jimly
Asshiddiqie, kebiasaan seperti ini harus dihentikan karena dapat
mengacaukan sistematika peraturan perundang-undangan kita. Dalam hal
demikian itu maka yang sebaiknya dibuat adalah Peraturan Presiden yang
diharapkan dapat mengatur materi yang lebih luas. Sedangka bentuk-bentuk
putusan dengan nomenklatur Keputusan Menteri ataupun Keputusan
pejabat setingkat Menteri lainnya masih tetap dapat dipertahankan, yaitu
8 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan
Perkembangannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h.225-227.
45
dibatasi hanya membuat materi-materi yang bersifat administrative dan
hanya bersifat penetapan administrative biasa (beschkikking).9
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Peraturan Mengenai
Pembatasan Transportasi Berbasis Online di Masa Pandemi COVID-
19
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sebagai negara yang bberdasar pada hukum segala sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara haruslah didasarkan pada hukum. Meski negara
Indonesia adalah negara hukum, akan tetapi dalam tata cara
menginterpretasikan hukum itu sendiri bukanlah hanya sekadar hukum
tertulis, utamanya harus didukung oleh pribadi-pribadi yang berbudi pekerti
luhur untuk dapat melaksanakan hukum agar hukum dapat berjalan sesuai
dengan fungsinya.
Pemerintah diperhadapkan permasalahan pandemik virus corona atau
COVID-19. Hal ini merupakan tantangan besar pemerintah Indonesia untuk
tetap menciptakan negara welfare state. COVID-19 merupakan tantangan
yang sangat besar berkaitan dengan permasalah ekonomi dan pendemi ini.
Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2
(SARS-CoV2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit
karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona dapat
menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pneumonia akut, sampai
kematian. severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)
yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari
coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini dapat menyerang siapa
saja, baik bayi, anak-anak, orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu
menyusui. Penyebaran corona virus atau COVID-19 menyebabkan
9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h. 355.
46
lumpuhnya perekonomian dan ada beberapa daerah yang melakukan local
lockdown atau karantina wilayah sebagai bagian pemutusan mata rantai
penyebaran COVID-19 ini.10
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan
tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran COVID-19. Pembatasan sosial ini dilakukan terhadap
pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota
tertentu. Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) disebutkan bahwa PSBB
dilakanakan dengan pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman,
efektivitas, dukungan sumber daya teknis operasional, pertimbangan
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Pedoman teknis PSBB diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19). Kriteria PSBB adalah jumlah kasus dan atau jumlah kematian
akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke
beberapa wilayah dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa
di wilayah lain. Pengusulannya disertai dengan data peningkatan jumlah
kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu dan kejadian
transmisi lokal. Kasus adalah pasien dalam pengawasan dan kasus
konfirmasi positif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan RT-
PCR.
Kesiapan pemerintah daerah melaksanakan PSBB dilihat pula dari
aspek ketersediaan lebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana
Kesehatan, anggaran dan oeprasionalisasi jaring pengaman sosial dan aspek
10 Alodokter, Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS – CoV – 2),
https://www.alodokter.com/virus-corona, diakses pada 26 Januari 2021.
47
keamanan. Selain itu pemerintan daerah harus secara konsisten mendorong
dan mensosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat.
Lahirnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020
tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan salah satu bentuk siap
tanggap pemerintah guna mewujudkan tercapainya penekanan angka
penyebaran COVID-19 di Indonesia. Demikian pula dengan kehadiran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) yang lebih dahulu lahir.
Kebijakan ini dilaksanakan untuk memutus penyebaran virus corona
COVID-19. Pertimbangannya jelas, pertama, pengemudi ojek dapat
menjadi orang yang rawan tertular oleh COVID-19 dari penumpang yang
positif terinveksi COVID-19. Kedua, pengemudi ojek online dapat menjadi
pembawa virus atau carrier, baik dari penumpang yang diangkut bawa
maupun barang yang pengemudi antarkan. Ketiga, pengemudi yang sudah
tertular COVID-19 juga dapat menularkan kepada penumpang maupun
keluarga di rumah.
Namun demikian, hadirnya ojek online dalam ruang lingkup
masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kebutuhan
transportasi sehari-hari terutama di kota-kota besar. Ketergantungan
masyarakat terhadap transportasi ini sangat luar biasa dikarenakan praktis
dan dapat menjamin karena adanya hubungan antara ojek online dengan
perusahaan trasportasi online sehingga masyarat lebih mudah melakukan
complain apabila merasa dirugikan melalui aplikasi tersebut dan sanksi
yang sangat tegas. Banyak ojek online yang mengantungkan hidup pada
aplikasi ini untuk dapat menafkahi anak dan keluargannya sehingga harus
dipertimbangakan mengenai kesejahteraan seperti halnya dituangkan dalam
amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tanggung jawab negara Welfare State terhadap kesejahteraan warganya
apabila PSBB dilakukan.
48
Kebijakan ini memiliki pertentangan yang dimana didalam Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian
Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) ini memperbolehkan ojek online untuk memangkut
penumpang. Sementara itu, dalam Peraturan menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) justru
sebaliknya.
Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan pengaturan mengenai
pembatasan transportasi berbasis online di masa pandemi COVID-19 dapat
dikaji berdasarkan teori sistem hukum bahwa tahapan-tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dilaksanakan. Tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sebuah sistem hukum
mengharuskan adanya sinkronisasi dan harmonisasi antara Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
peraturan perundang-undangan lainnya karena sistem hukum merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhuungan. Sebuah
sistem hukum daapt berjalan jika keseluruhan peraturan perundang-
undangan sejalan dan tidak berbenturan satu sama lain.
Pertentangan antar peraturan perundang-undangan menjadi salah satu
masalah hukum yang tak kunjung selesai di Indonesia. Banyak produk
hukum yang dilahirkan oleh legislator maupun eksekutor tidak sinkron baik
secara vertikal maupun horizontal. Kualitas yang tidak maksimal terhadap
sinkronisasi dan harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan
menjadi perhatian utama banyak pemerhati hukum. Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia sebagai penanggungjawab dianggap tidak
melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan baik rancangan peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sehingga dapat terjadinya dualisme
peraturan yang membingungkan masyarakat.
49
C. Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 18 Tahun 2020 dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2020
Infeksi virus Corona yang kemudian disebut COVID-19 (Corona Virus
Disease 2019) yang pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada
akhir 2019 merupakan virus menular yang tingkat penyebaran virusnya
sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara termasuk
Indonesia. Pasalnya, virus ini telah menyebar ke lebih dari 110 negara sejak
Desember 2019. Hal ini yang membaut beberapa negara kemudian dengan
cepat membuat dan menerapkan kebijakan guna memperlambat penyebatan
virus COVID-19.
Pandemi COVID-19 ini tentunya telah mempengaruhi hampir seluruh
aspek kehidupan manusia, seperti sektor pendidikan, perekonomian,
transportasi, politik dan budaya Semenjak diumumkannya Indonesia
tertular virus COVID-19 pada Maret 2020, pemerintah mulai melakukan
berbagai cara guna menekan penyebaran virus COVID-19 salah satunya
dengan menerbitkan peraturan. Adanya himbauan social distancing dan
physical distancing yang ditetapkan oleh pemerintah bagi seluruh
masyarakt Indonesia guna mencegah penularan COVID-19. Selain itu,
banyak perubahan yang terjadi di masa pandemi ini yang kemudian dikenal
dengan sebutan new normal.
Perubahan yang terjadi secara signifikan adalah dengan
diberlakukannya protokol kesehatan yang telah diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan
Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran
dan Industri dalam Menukung dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha
pada Situasi Pandemi. Hal umum yang wajib masyarakat lakukan di masa
pandemic ini yaitu dengan menjaga jarak, selalu memakai masker,
membawa handsanitizer dan selalu mencuci tangan.
Di dunia pendidikan dan perekonomian, pandemic ini memiliki efek
yang sangat besar dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang biasanya
50
dilakukan dengan tatap muka secara langsung kemudian berubah menjadi
belajar dirumah melalui daring (online). Begitupun dengan sektor
perekonomian yang menerapkan ketentuan bekerja dari rumah atau work
from home (WFH). Meski demikian, tidak semua sektor perekonomian
menerapkan sistem WFH, salah satu jenis pekerjaan yang mungkin
menjalankan ketentuan WFH adalah driver ojek online.
Kementerian Kesehatan yang memiliki peran besar dalam penanganan
pandemi COVID-19 ini kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial
Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19). Dalam jangka waktu yang tidak lama,
Kementerian Perhubungan kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi
Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) yang kemudian menjadi isu hangat di Indonesia.
Hal ini dikarenakan Kementerian Perhubungan mengeluarkan
peraturan yang bertentangan dengan Kementerian Kesehatan dalam hal
mengatur regulasi ojek online dalam masa PSBB COVID-19.
Apabila dicermati lebih dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) memiliki
dualisme aturan yang termuat didalamnya. Pasal 11 huruf c berbunyi,
“sepeda motor berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk
pengangkutan barang.” Pasal ini telah membatasi penggunaan
pengangkutan ojek online hanya untuk barang saja yang berarti ojek online
tidak diperbolehkan untuk membawa penumpang.
Namun dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
berbunyi,
51
“dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan
untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut
penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan
sebagai berikut:
5. aktivitas lain yang diperbolehkan selama Pembatasan Sosial
Berskala Besar
6. melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan
setelah selesai digunakan
7. menggunakan masker dan sarung tangan
8. tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan diatas
normal atau sakit.”
Permenhub ini memperbolehkan ojek online untuk mengangkut
penumpang, namun dengan ketentuan telah memenuhi protokol kesehatan.
Tentu hal ini tidak berjalan efektif dalam pelaksanaannya dikarenakan tidak
adanya pengawasan secara intensif yang dimana protokol kesehatan itu
sendiri meliputi disinfeksi kendaraan serta cek suhu badan.
Pasal ini kemudian dinilai bertentangan dengan Pasal 13 ayat (1)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pasal tersebut berbunyi,
“Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi:
g. peliburan sekolah dan tempat kerja;
h. pembatasan kegiatan keagamaan;
i. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
j. pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
k. pembatasan moda transportasi; dan
l. pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan
keamanan.”
Perdebatan ini dikarenakan Dalam lampiran Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial
Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) bagian pelaksanaan pembatasan sosial berskala
besar nomor 6 juga dijelaskan bahwa semua layanan transportasi udara, laut,
kereta api, jalan raya (kendaraan umum/pribadi) tetap berjalan dengan
pembatasan jumlah penumpang.
52
Pada lampirannya dinyatakan khusus bahwa: “Angkutan roda dua
berbasis aplikasi sebagai bagian dari layanan ekspedisi barang dibatasi
hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.” Senada
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Gubernur DKI
Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33
Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)
menyebutkan, “angkutan roda dua berbasis aplikasi (ojek online) dibatasi
penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang.”
Dalam hierarki perundang-undangan, peraturan menteri memiliki
tingkatan yang sama11 dalam artian tidak ada lembaga kementerian yang
diistimewakan dari yang lainnya. Maka kedua peraturan Menteri ini tidak
bertentangan dengan aturan diatasnya, melainkan saling tumpang tindih satu
sama lain. Pemahaman wilayah kewenangan dalam satu dimensi yang sama
menimbulkan ketidakharmonisan dalam dua regulasi ini. Kementerian
Kesehatan yang memiliki kewenangan penuh untuk membantu presiden
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dalam rangka penanganan COVID-19 dan Kementerian Perhubungan yang
merasa memiliki kewenangan dalam mengatur transportasi yang digunakan
oleh masyarakat di masa pandemi.
Berbagai regulasi yang muncul pada saat ini nampaknya
membingungkan masyarakat dalam melaksanakan aturan yang berlaku,
bukannya terimplementasi dengan baik namun menimbulkan problematika
11 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan.
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 63
53
baru. Padahal hukum pada fungsinya harus bisa dijadikan sebagai sarana
untuk memecahkan problematika dalam penyelenggaraan negara.12
Oleh karenanya, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun
2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan
Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) memiliki conflict of norm (pertentangan antar
norma) antar peraturan tingkat horizontal.
Dengan demikian guna memberikan kepastian hukum pada
masyarakat, Pasal 11 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) harus
dilakukan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Agung.
12 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. (Bandung:
Kumpulan Karya Tulis, 2002), h. 48.
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor yang menyebabkan terjadinya dualisme peraturan mengenai
pembatasan transportasi berbasis online adalah tidak dilaksanakannya
penyinkronan dan pengharmonisasian peraturan setingkat oleh
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga yang
bertanggungjawab.
2. Upaya yang dapat dilaksanakan untuk menanggapi dualisme peraturan
mengenai pembatasan transportasi berbasis online adalah dengan
melaksanakan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Agung.
B. Rekomendasi
1. Diharapkan bagi setiap Kementerian yang akan mengeluarkan peraturan
Menteri harus berpedoman pada peraturan perundang-undang yang
berlaku untuk kembali melakukan pengecekkan terhadap materi muatan
yang akan diatur apakah telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-
Undangan.
2. Diharapkan bagi setiap Kementerian untuk melakukan sinkronisasi
peraturan perundang-undangan yang telah dilakukan oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga dapat meminimalisir
ketentuan-ketentuan yang dapat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.
55
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdul, Kadir Muhammad. 1991. Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Jakarta,
Citra Aditya Bakti.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. 2010. Metode Penelitian Hukum.
Ciputat: Lembaga Penelitian.
Adriyani, Wuri dan Samzari Boentoro. 2007. Buku Ajar Hukum Pengangkutan. Surabaya,
Universitas Airlangga.
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at. 2006. Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,
Cetakan 1. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Attamimi, A. Hamid S. 1984. “UUD 1945-TAP MPR-UNDANG-UNDANG”,
dalam Padmo Wahjono (Penghimpun), Masalah Ketatanegaraan Indonesia
Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum: Normatif
dan Empiris. Jakarta: Prenadamedia Group.
Hayek, Friedrich. 1960. The Constitution of Liberty. University of Chicago Press:
Chicago. USA.
Hamidi, Jazim. 2006. Revolusi Hukum Indonesia. Yogyakarta: Kerjasama
Konstitusi Press, Jakarta & Citra Media.
Huda , Ni’matul. 2008. UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta:
Rajawali Press.
Indrati, Maria Farida. 1998. Ilmu PerundangUndangan: Dasar dan Cara
Pembentukannya. Yogjakarta: Kanisius.
Indari, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan. Yogyakarta: Kanisius.
56
Indari, Maria Farida dkk. 2008. Laporan Kompedium Peraturan Perundang-
undangan. Jakarta: Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Badan
Pembinaan Hukum Nasional Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem
Hukum Nasional.
Indari, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Hadjon, Philiphus M. 2007. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah
studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi,
Perabadan. Surabaya: Bina Ilmu.
Manan , Bagir. 2004. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Pres.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Edisi Revisi, Alumni. Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Prenadamedia.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 2003. Perundang-undangan dan
Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pres.
Sulistiyono, Adi. 2007. Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma
Moral. Surakarta, Lembaga Pengembengan Pendidikan (LPP) dan UPT
Penerbitan dan percetakan UNS (UNS PRESS) Universitas Sebelas Maret.
Sumiarni, Endang. 2013 Metodelogi Penelitian Hukum dan Statistik. Yogyakarta:
UAYJ Press.
Syahuri, Taufiqurrahman. 2011. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta:
Prenada Media.
Syamsuddi, Aziz. 2011. Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang. Jakarta:
Sinar Grafika.
Tamanahan, Brian Z. 2004. On The Rule Of Law, History, Politics, Theory.
United.Kingdom: Cambridge University Press.
Trijono, Rachmat. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan.
Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Utrecht. 1962. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Ichtiar.
57
Yuliandri. 2009. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
Baik; Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
JURNAL
Aditya, Zaka Firma dan M. Reza Winata. “Rekonstruksi Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia”. Dalam Jurnal Negara Hukum, Vol. 9,
No. 1, Juni 2018.
Fillaili, Nuraini. “Tanggung Jawab Perusahaan Transportasi Online terhadap Penumpang
Akibat Adanya Praktik Peralihan Akun”, Jurist-Diction, Vol. 2, No. 4, Juli, 2019.
Marzuki, M.Laica. “Mula Keberadaan Negara Republik Indonesia”. Dalam Jurnal
Ilmu Hukum Amanna Gappa, Vol. 14 Nomor 1, Maret 2006.
MAKALAH HASIL SEMINAR
Manan, Bagir. “Wewenang Provinsi Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi
Daerah” dalam Seminar Nasional FH Unpad (Selajutnya disebut Bagir
Manan V) Tahun 2000.
SKRIPSI DAN DISERTASI
Skripsi yang ditulis oleh Nindya Chairunnisa Zahra berjudul “Kewenangan
Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perundang-Undangan”
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor,
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990,
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
58
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19)
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian
Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (COVID-19)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan
Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19)
WEBSITE
Dicey, A.V., INTRODUCTION TO THE STUDY OF THE LAW OF THE
CONSTITUTION, Mc Millan and Co, Limited St. Martin’s Street, London,Part II.
Chapters IV-XII, 1952. http://www.constitution.org/cmt/avd/law_con.htm, diakses
pada 20 Juni 2020, pukul 19.00.
Alodokter, Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS – CoV
– 2), https://www.alodokter.com/virus-corona, diakses pada 26 Januari 2021.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sinkron, diakses pada 26 Januari 2021.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harmonisasi, diakses pada 26 Januari
2021.