SEMIOTIKA NARATIF GREIMASIAN DALAM
KABANTI BULA MALINO
TESIS
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan lmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Sosial (M.Sos)
Oleh
La Ode Chusnul Huluk
NIM: 21140510100002
MAGISTER KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2018 M
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini
Nama
NlM
: La Ode Chusnul Huluk
: 21140510100002
Dengan m1 menyatakan bahwa tesisi yang berjudul
SEMIOTIKA NARATIF GREIMASIAN DALAM
KABANTI BULA MALINO
adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan
tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada
dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumher
kutipannya dalam tesis. Saya bersedia melakukan proses yang
semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
jika temyata tesis ini sebagian atau keseluruhan merupakan
plagiat dari karya orang lain.
Demikian pemyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 12 Oktober 2018
i
ABSTRAK
Manuskrip Kabanti Bula Malino karangan Muhammad
Idrus Kaimuddin (MIK) telah menjelma sebagai media untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah. Ramainya pengoleksi dan
pegiat kabanti yang ikut memproduksi ulang manuskrip membuat
masyarakat semakin mudah mengoleksinya dalam bentuk
transliterasi dan terjemahan. Bersamaan dengan itu, aksara dan
penggunaan bahasa yang dibangun oleh pengarang tentu
memberikan pemaknaan berbeda bagi pembaca lain. Dalam tradisi
semiotika, manuskrip kabanti tidak sekadar mengomunikasikan
kesenian nada-nada dan keunggulan warisan budaya. Bula Malino
mengandung ide dan gagasan yang dibangun oleh penulis kabanti
dalam setiap bait agar tertanam dalam benak pembaca. Semiotika
naratif dimaknai sebagai upaya penghitungan atau pembacaan
kembali terhadap sebuah subjek dari keseluruhan teks untuk
melihat narasi dan perubahan cerita dari tanda dalam konteks ini
manuskrip kabanti.
Bula Malino bisa dipahami sebagai narasi yang
menceritakan makna-makna tertentu dan berfungsi sebagai
hiburan, edukasi, silaturahmi, dan ekonomi. Menurut Greimas,
sebuah syair seperti kabanti memiliki actant yang menjadi model
atau subjek yang mengarahkan jalan cerita dari sebuah teks, yaitu
sebagai penentu arah (sender), penerima (receiver), menjadi
subjek, sebagai objek, dan juga bisa menjadi pendukung
(adjuvant) atau penghambat (traitor). Melalui aktansial Greimas,
penelitian ini mengungkap makna-makna penting yang
tersembunyi dalam bait-bait aksara bahasa Wolio bahwasanya
manuskrip karangan MIK tersebut merupakan narasi dakwah
untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat agar
senantiasa bertakwa kepada Allah Swt selama di dunia untuk
mencapai predikat husnul khatimah di akhirat.
Kata kunci: Kabanti, Naratif, Manuskrip, Bula Malino,
ii
ABSTRACT
Kabanti Bula Malino manuscript written by Muhammad
Idrus Kaimuddin (MIK) has been transformed as a medium to
deliver da'wah messages. The crowd of collectors and kabanti
activists who participated in the reproduction of manuscripts made
it easier for the public to collect them in the form of transliteration
and translation. At the same time, the characters and the use of the
language built by the authors certainly provide different meanings
for other readers. In the semiotic tradition, kabanti manuscripts do
not merely communicate the art of tone and excellence of cultural
heritage. Bula Malino contains ideas and ideas built by the writer
of kabanti in each verse so that it is embedded in the mind of the
reader. Narrative semiotics is interpreted as an effort to calculate
or re-read a subject from the entire text to see narratives and
changes in stories from signs in this context kabanti manuscripts.
Bula Malino can be understood as a narrative that tells
certain meanings and functions as entertainment, education,
friendship, and economy. According to Greimas, a poem like
kabanti has an actant that becomes a model or subject that directs
the storyline of a text, namely as a determinant of direction
(sender), receiver (receiver), being a subject, as an object, and can
also be a supporter (adjuvant) or inhibitor (traitor). Through
Greimas's activism, this research reveals the important meanings
hidden in the verses of the Wolio language script that the MIK
manuscripts are a da'wah narrative to give confidence to the
people to always fear Allah Almighty as long as in the world to
achieve the title husnul khatimah in the hereafter.
Keywords: Kabanti, Narrative, Manuscript, Bula Malino
iii
KATA PENGANTAR
حيـــــــــم حمن الر بســـــــــم الل الر
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kenikmatan-Nya selama
menyusun tesis dan terutama selama menempuh studi program
magister di Universtias Islam Negeri Jakarta sejak tahun 2014
hingga tahun 2018. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarganya,
sahabat dan para pengikutnya yang menjadi inspirator penulis
sehingga istikamah menuntaskan pendidikan pada jenjang ini.
Penulis sampaikan terima kasih tak terhingga kepada orang
tua penulis terutama kepada almarhumah Ibunda Wa Ode Zafiah
yang terus menyemangati studi penulis sampai beliau meninggal,
dan kepada Aba sebagai sosok pahlawan sekaligus informan
penting tentang penelitian ini. Begitu juga untuk keluarga yang
telah memberikan kasih sayang, do’a dan semangat yang menjadi
motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan di
kampus tercinta ini.
Selanjutnya, saya mengucapkan teri makasih kepada pihak
yang telah membantu, memotivasi, dan membimbing penulis
selama mengikuti pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih
kepada:
iv
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. sebagai Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Arif Subhan, MA. sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Suparto, M.Ed,
Ph.D. sebagai Wakil Dekan I Bidang Akademik, Ibu Dr.
Roudhonah, MA. sebagai Wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, dan Bapak Suhaimi, MA. sebagai
Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
3. Dr. Sihabuddin Noor, MA. sebagai Ketua Program Studi
Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Dr. Rulli Nasrullah, M.Si. sebagai Sekretaris Program
Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pemimbing
Penelitian Tesis yang telah banyak meluangkan waktunya
dalam membimbing penulis dari awal sampai akhir
penelitian skripsi ini selesai.
5. Dr. Tantan Hermansah, S.Ag., M.Si. sebagai Dosen
Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister
Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah memberikan
Pengajaran dan Pembelajaran teori maupun pengalaman
hidup yang luar biasa.
v
7. Seluruh relawan museum kesultanan Buton di Keraton
yang telah memberikan yang telah terbuka kepada penulis
untuk melakukan penelitian tesis ini.
8. Bapak Al Mujzai, Bapak Syaifuddin (alm), Bapak La
Ambalangi (alm), Ibu Siti Suhura, dan Bapak La Ode
Yusrie sebagai narasumber pegiat kabanti yang
meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan
memberikan banyak ilmu serta informasi penting untuk
tesis ini.
9. Ibu Ir Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc. sebagai Anggota
DPD RI Daerah Pemilihan Sulawesi Tenggara periode
2015-2019 serta seluruh seluruh orang tua dari Himpunan
Kerukunan Masyarakat (HIKMA) Buton di Jakarta yang
telah memberikan dukungan dan bantuan kepada saya
sehingga studi ini dapat diselesaikan.
10. Para kakak Wa Ode Alfiati Kalsumi, Zahid Alqaf, La Ode
Iman Wahyuddin, Wahyu Hidayat, Muhammad Tsauban,
Wahiduddin Ridha, Istiqomah, dan adik Ahmed Maqbulah
yang tiada henti memberikan motivasi dan bantukan baik
secara moril maupun materil yang tak terhingga disaat
penulis menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah.
11. Seluruh teman-teman Program Studi Magister Komunikasi
dan Penyiaran Islam angkatan 2014 yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga silaturahmi
tetap juga bisa menjaga semangat studi ke jenjang
berikutnya. Aamiin.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK .................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................... 6
C. Batasan Masalah ....................................................... 11
D. Rumusan Masalah .................................................... 12
E. Tujuan Penelitian ...................................................... 12
F. Manfaat Penelitian .................................................... 13
1. Teoritis ................................................................. 13
2. Praktis .................................................................. 13
G. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................... 13
H. Metode Penelitian .................................................... 15
1. Paradigma Penelitian ......................................... 15
2. Objek Penelitian ................................................ 16
3. Jadwal Penelitian ............................................... 16
4. Prosedur Pengumpulan Data ............................. 18
5. Teknik Analisis Data ......................................... 19
BAB II NARASI, MEDIA, DAN BUDAYA ......................... 21
A. Naratif ......................................................................... 21
viii
1. Teori dan Struktur Naratif ...................................... 24
2. Semiotika Naratif Greimasian ................................. 26
3. Aktansial Algridas Julian Greimas ......................... 28
B. Naratif dalam Syair ...................................................... 35
1. Syair di Indonesia .................................................. 38
2. Definisi Syair ......................................................... 38
3. Sejarah Perkembangan Syair ................................. 39
4. Syair yang Muncul di Buton .................................. 49
C. Media Dakwah ............................................................. 53
1. Definisi Media ....................................................... 54
2. Definisi Dakwah ................................................... 56\
3. Memahami Media Dakwah .................................... 59
4. Dakwah di Masa Lampau ...................................... 67
D. Budaya dan Artefak Budaya ........................................ 75
1. Arti Budaya ............................................................ 76
2. Konsep-konsep Kunci Kajian Budaya ................... 80
3. Artefak Budaya ...................................................... 85
E. Kerangka Berpikir ........................................................ 88
BAB III BUTON DAN MUNCULNYA KABANTI ............ 91
A. Asal Usul Nama Buton .............................................. 91
1. Berdirinya Kesultanan Buton ................................ 94
2. Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat ............... 97
3. Bahasa dan Kesenian Tradisional ....................... 101
B. Posisi Kabanti di Buton ........................................... 102
C. Mengenal Muhammad Idrus Kaimuddin (MIK) ....... 108
ix
1. Pemikiran dan Gerakan Dakwah MIK ................ 108
D. Pertunjukan Kabanti berdasarkan Masanya .............. 109
1. Masa Kesultanan ................................................. 110
2. Masa Pasca Kesultanan ...................................... 112
E. Naskah-naskah Kabanti yang Diperoleh .................. 116
BAB IV PENCIPTAAN KABANTI BULA MALINO ...... 119
A. Manuskrip Kabanti Bula Malino .............................. 119
B. Transliterasi dan Terjemahan Bula Malino ............... 122
C. Diksi dan Majas Kabanti Bula Malino ....................... 130
1. Baris 1-28: Mukadimah (Mengingat Kematian) . 130
2. Baris 29-42: Gambaran Kehidupan Dunia .......... 139
3. Baris 43-50: Rukun Islam dan Ibadah Fardhu .... 144
4. Baris 51-58: Penjelasan Sifat Gibah dan Fitnah . 147
5. Baris 59-66: Makrifat Insaniah ........................... 149
6. Baris 67-82: Gambaran Dunia Fana ................... 152
7. Baris 83-112: Istikamah pada Kebaikan ............. 157
8. Baris 112-123: Keutamaan Fardhu ..................... 166
9. Baris 124-139: Menjaga Silaturahmi .................. 170
10. Baris 140-147: Rukun Iman ................................ 176
11. Baris 148-155: Penjelasan Makna Ikhlas ............ 178
12. Baris 156-163: Peristiwa Kiamat ........................ 180
13. Baris 164-183: Tanda-tanda Kiamat ................... 183
14. Baris 184-199: Tanda Kebesaran Allah Swt ....... 189
15. Baris 200-319: Peristiwa di Hari Akhir .............. 195
16. Baris 320-331: Mengikuti Ajaran Nabi .............. 227
17. Baris 332-382: Perjalanan Kehidupan ................ 232
D. Kabanti Sebagai Tradisi Lisan .................................. 248
x
1. Teks Kabanti ....................................................... 248
2. Konteks Budaya dan Sosial Kabanti ................... 253
3. Fungsi Kabanti Tradisi Lisan .............................. 255
BAB V PEMAKNAAN KABANTI BULA MALINO ....... 257
A. Hubungan Penciptaan Kabanti dengan Pembaca .. 257
B. Tanda-tanda dalam Kabanti Bula Malino .............. 259
C. Aktansial Greimas dalam Kabanti Bula Malino .... 261
D. Kabanti Bula Malino sebagai Artefak Budaya ...... 270
E. Bula Malino sebagai Media Dakwah ..................... 272
1. Prespektif Ayat Al-Qur’an ............................... 272
2. Kabanti dalam Dakwah Kontemporer .............. 274
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................... 277
A. Simpulan ............................................................... 277
1. Kabanti Bula Malino sebagai Media Dakwah 279
2. Situasi Budaya dan Munculnya Kabanti ......... 280
B. Saran ...................................................................... 281
1. Faktor Pendukun ............................................. 281
2. Faktor Penghambat .......................................... 282
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tesis ini melanjutkan penelitian sebelumnya, yaitu
Komunikasi Naratif Kitab Kabanti Bula Malino dan Pesan
Dakwah dalam Baris 332-383.1 Pada kajian kali ini, peneliti
melihat teks kabanti pada pendekatan studi media dan kajian
budaya dengan metode analisis semiotika naratif Greimasian.
Prosesi pertunjukan kabanti di Buton semakin mengalami
degradasi. Pemaknaan kabanti, khususnya Bula Malino, kerap
bergeser dengan apatisnya masyarakat terhadap budaya di Buton.
Orang di Buton semakin banyak, tetapi orang Buton yang mengerti
bahasa Buton sudah menipis. Hal tersebut menurut La Ambalangi,
seorang pegiat kabanti, salah satu yang menyebabkan kabanti
sudah mulai dilupakan.2
Senada dengan Yusrie, terkait dengan kabanti Wolio
seperti Bula Malino kini semakin sepi pertunjukkan. Beberapa
sanggar seni serta kegiatan budaya kesulitan membangun konsep
dari teks kabanti tersebut. Meskipun antusias guru-guru di
beberapa sekolah terlihat mengekspresikan kabanti tersebut di
dunia maya, namun kabanti jeni agama ini memiliki porsi kecil
1 La Ode Chusnul Huluk, Komunikasi Naratif Kitab Kabanti Bula
Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 332-383, (FIDIK, UIN Jakarta: 2014). 2 Wawancara di kediaman La Ambalangi, Kelurahan Tarafu tahun
2014, saat sebelum ia meninggal dunia.
2
dalam pertunjukkan dibanding kabanti jenis syair percintaan.3 Hal
tersebut disebabkan degradasi pemahaman dan pemaknaan kabanti
di masyarakat, sehingga masyarakat mulai apatis dengan nyanyian
syair yang dahulu sangat popular di masa kesultanan Buton.
Kabanti Bula Malino ditulis pada abad ke-18 di mana MIK
sedang menjabat sebagai Sultan Buton4 ke-29 (1824-1851).
Pemikiran MIK punya pengaruh besar terhadap penerapan falsafah
kehidupan di lingkungan masyarakat Buton. Dalam penyusunan
Undang-Undang Adat Buton atau Sarana Wolio (SW) disebutkan
dalam SW tulisan MIK bahwa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597-
1631) menerapkan UU Adat Buton dengan unsur keislaman yang
kemudian disebut UU Martabat Tujuh atau Martabat Tujuh. Untuk
memahami makna dari Martabat Tujuh, masyarakat selalu merujuk
pada manuskrip yang ditulis oleh MIK.5 Hal tersebut cukup
3 Wawancara dengan La Ode Yusri, Peneliti Bahasa dan Sastra di
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, (wawancara via telepon, 15 Agustus 2018, pukul 16.42 WIB).
4 Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379).
5 Penjelasan Martabat Tujuh dalam SW MIK adalah “Mataua yingko otuladana murutabati tuju yi sarana Wolio yitu opangka-pangkamo yitu yituladana yitu. Okagagarina mincuana haqiqatina. Yotuladana yi murutabatiahadiyati yitu oqaumu Tapi-tapi, otuladana omurutabati wahidiyati yitu oqaumu Kumbewaha, otuladana omurutabati alamu mitsaali yit oSapati, otuladana omurutabati alamu insani yitu oKapitalao rumayiana. Osiitumo otapisaka mominana yi Sultani Dayanu Ihsanuddin/Mobolina Pauna …. (hlm. 20-21) (Ketahuilah engkau teladan Martabat Tujuh pada pemerintahan Wolio itu sudah pangkat-pangkat itu. Teladan itu penghitungannya bukan hakikatnya: teladan pada martabat ahadiyah itu kaum Tanailandu; teladan martabat wahdah itu kaum Tapi-tapi, teladan martabat wahidiyah itu kaum Kumbewaha, teladan martabat alam arwah itu sultan; teladan martaba alam insan itu Kapitalao yang dua orangnya. Itulah yang berasal dari Sultan Dayanu Ihasanuddin/Mobolina Pauna). Lihat Supriyanto, La Niampe, La Ode Muh. Syukur, dan Muh. Anwar, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV. Shadra: Kendari, 2009), h. 53-129.
3
menjelaskan bahwa manuskrip yang ditulis oleh Sultan ke-29
tersebut dianggap penting sehingga diterima oleh pemikiran
masyarakat Buton di masa sekarang.
Dari sejumlah manuskrip yang ada Buton, tulisan MIK
paling banyak ditemukan lalu diarsipkan dan ditulis ulang serta
disimpan sebagai peninggalan kebudayaan. Produktifitas seorang
MIK sebagai penulis dapat dilihat dari beberapa karyanya yang
relevan dengan situasi sosial di lingkungan keraton kesultanan.
Karya populer dari MIK adalah yang berbentuk syair nyanyian dan
dianggap menarik karena sampai hari ini syair nyanyian yang oleh
MIK disebut kabanti tersebut telah dijadikan warisan kearfian
lokal. Karena itu, kabanti Wolio menjadi kajian penting oleh
sejumlah akademisi. Kabanti adalah sebuah syair yang dapat
dinyanyikan dengan lagam tertentu. Selain MIK, syair-syair model
kabanti tersebut juga ditulis oleh Ulama tertentu seperti Haji Abdul
Ganiu.6
Dari masa ke masa, kabanti masih menjadi salah satu
falsafah kehidupan masyarakat Buton yang mayoritas muslim.7
Secara retoris ideologis, syair seperti Bula Malino adalah diskursus
(yang mencakup artefak visual dan tekstual) yang merefleksikan,
6 Haji Abdul Ganiu merupakan ulama di lingkungan kesultanan yang
sezaman dengan masa pemerintahan Sultan MIK (1824-1851). Ganiu seorang pengikut ajaran tasawuf Al-Ghazali yang pernah menjabat sebagai kenepulu (hakim) di darah Bula, Buton Selatan. Karya-karyanya yang dugunakan sebagai sumber histografi. Lihat Susanto Zuhdi, (2010:28-29).
7 Pada tahun 2015, menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, penduduk muslim di Kabupaten Buton berjumlah 295.128 jiwa dari 298.608 jiwa penduduk. Lihat https://sultra.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/86 (diakses pada Jumat, 5 Januari 2017; pukul 21.41 WIB).
4
membangun, atau menentang relasi kekuasaan yang ada di antara
dan di kalangan orang-orang. Maka, dalam term Burkean, retorika
itulah yang menyatakan bagaimana orang mesti berperilaku
terhadap satu sama lain. Di dalam sebuah teks tentu ada gagasan
ideologi dari seorang penulis. Ideologi secara umum dipahami
sebagai sistem keyakinan atau nilai yang berfungsi untuk
mempertahankan atau menentang tatanan yang ada.8
Manuskrip sastra di Buton identik dengan sastra Islam..
Sastra tulisan ini ada yang berbentuk puisi dan ada yang berbentuk
prosa. Sastra yang berbentuk puisi atau syair, masyarakat lokal
lebih mengenalnya tiga istilah kabanti9 atau nazamu. Secara garis
besar kabanti dibagi menjadi dua golongan; yang pertama karya
bersifat sufistik dan kedua adalah yang memperlihatkan sastra
Islam dalam bahasa melayu atau karya ciptaan baru yang bersifat
saduran.10 Oman Fathurahman menyebutkan bahwa kekayaan
manuskrip Nusantara, kini Asia Tenggara, pernah dilukiskan oleh
Taufik Abdullah (2001: 14) sebagai buah dari kegelisahan
intelektual para cerdik cendikia masa lalu. Sebagian besar dari para
penulis teks-teks Nusantara itu juga adalah dari kalangan ahli-ahli
agama, guru sufi, kyai, dan para mubaligh, selain para sastrawan
8 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Ensiklopodeia Teori
Komunikasi Jilid 1, (Jakarta, Kencana: 2016), h. 597-599. 9 Dalam Wolio Dictionary, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian,
sajak. Lihat J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), h. 51.
10 Supriyanto, Sejarah Kebduayaan Islam, (Kendari: cv. SHADRA, 2009), h. 86-90.
5
tentunya, yang memiliki kepedulian untuk menerjemahkan Islam
dalam konteks dan bingkai budaya lokal.11
Kabanti sebagai kearifan lokal kini telah diusulkan sebagai
warisan budaya dunia non-benda.12 Namun, posisi syair kabanti
agama dinyanyikan hanya pada saat upacara adat atau festival
budaya tahunan saja.13 Pertunjuka kabanti sesuai makna
penciptaan masih sangat jarang. Meskipun kalangan muda mudi
mulai menonjolkan kabanti dengan memanfaatkan media baru dari
perkembangan teknologi. Akan tetapi, rekasia tersebut belum
menunjukkan bahwa masyarakat mengenal seorang MIK sosok
pengarang Bula Malino sebagai sastrawan sufi.14
Apa yang telah dilakukan La Ambalangi seperti menyalin
ulang naskah-naskah kabanti adalah ekspresi kesadaran dan
kepahaman yang tinggi terhadap syair.15 Selain itu, ada Al Mujazi,
penjaga museum Keraton Buton, menyimpan beberapa manuskrip
tulisan MIK di museum dan beberapa tulisan lainnya disimpan di
11 Oman Fathurahman dalam Makalah Seminar Pada 20 Mei 2010, The
Wahid Institute menggelar Gus Dur Memorial Lecture (GDML) Seri ke-3, dengan tema “Islam dan Nasionalisme Abad ke-21 di Asia, sumber http://oman.uinjkt.ac.id/2010/05/manuskrip-islam-dan-nasionalisme-di.html.
12 Lihat berita online http://www.antarasultra.com/berita/274263/kabanti-diusulkan-jadi-warisan-dunia-bukan-benda (diakses pada Jumat, 5 Januari 2017; pukul 20.14 WIB).
13 Lihat berita http://news.metrotvnews.com/daerah/0kpr3J6N-festival-budaya-tua-buton-2016-upaya-lestarikan-budaya-dan-promosi-wisata. Lihat juga pada berita http://travel.kompas.com/read/2016/10/11/101500927/kota.baubau.gelar.festival.kota.tua.keraton.kesultanan.buton (diakses pada Jumat, 5 Januari 2017; pukul 20.47 WIB).
14 https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/1338 15 Saat penulis melakukan wawancara di kediamannya, Kelurahan
Tarafu tahun 2014, La Ambalangi menunjukkan sejumlah buku-buku salinan dari beberapa judul kabanti bahkan ia juga mengoleksi karya tersebut yang berbentuk audio visual.
6
dalam peti rumahnya. Sejalan dengan La Niampe, Mujazi
mengatakan bahwa di masa lalu, kabanti Wolio yang ditulis oleh
MIK menjadi materi penting dalam pendidikan nonformal di
rumah-rumah warga.16
Pada masa keemasan Islam di Kesultanan Buton, dimana
saat MIK menjabat sebagai Sultan ke-29, saat itulah seni budaya
Islam mulai disemarakkan. Sehingga kabanti yang tadinya tidak
lekat dengan syair agama, MIK menawarkan kabanti bernuasna
Islam dan dengan cepat masyarakat menyukainya. Kemudian,
kabanti dipahami sebagai sarana dakwah Islam oleh masyarakat
serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini, di
Buton setiap peringatan hari-hari besar Islam, kabanti menjadi
pengantar penting sesuai dengan tema yang diangkat.
B. Identifikasi Masalah
Problem yang muncul di masyarakat Buton saat ini
terhadap kabanti tersebut akan memengaruhi bagaimana teks
dimaknai oleh pembaca. Secara tekstual, Kabanti Bula Malino
ditulis menggunakan aksara Arab-Melayu (aksara Arab-Jawi), di
mana seseorang tentu perlu memahami tata cara membacanya.
Meskipun telah banyak transliterasi dan terjemahan yang
disuguhkan oleh sejumlah tokoh dan pegiat kabanti, namun
16 Lihat Laniampe, Nasihat Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu
Badaruddin Al-Buthuni, (Kendari, FKIP Unhalu, 2009). Wawancara dengan Al Mujazi, Penjaga Museum Kebudayaan Wolio sekaligus pemegang beberapa naskah kabanti (syair) yang ditulis oleh MIK, Kamis, 13 Maret 2014 di Jalan Labuke, Buton-Sulawesi Tenggara (kawasan benteng Keraton Buton). Sebab ia adalah putra dari Abdul Mulku Zahari yang menjadi Sekretaris Sultan MIK sehingga yang dikoleksi oleh Al Mujazi kebanyakan dari karya MIK saja.
7
penggunaan kata dan istilah yang dibangun penulis sudah jarang
didengar dan digunakan pada saat sekrang. Apalagi di era
perkembangan teknologi komunikasi. Rekonstruksi kabanti tidak
hanya pada tulisan saja, akan tetapi telah sampai pada produksi
video dengan sosok pegiat kabanti yang melantukan.17
Jika seorang pembaca tidak mengerti proses penciptaan
kabanti termasuk bahasa-bahasa yang digunakan oleh pengarang,
makan pemaknaan yang dibangunnya akan dipengaruhi oleh orang
lain yang bisa saja tidak sesuai tujuan si pengarang. Termasuk
bagaimana kabanti secara teks, konteks, dan fungsi dibentuk oleh
pengarang akan menjadi distorsi pemaknaan untuk apa
pertunjukkan kabanti seperti Bula Malino dibuat. Produksi ulang
kabanti yang telah digandakan di media baru belu tentu menjadi
gerakan terukur untuk melestarikan kearifan lokal ini.
Kajian dari penelitian ini berangkat dari masalah tersebut
di atas yaitu mengungkap tentang bagaimana struktur narasi
manuskrip di kesultanan Buton yang ditulis oleh MIK. Seni budaya
merupakan media yang digunakan sebagai strategi untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada mad’u.18 Narasi
sebagai suatu struktur makna (semantic structure), mirip dengan
sebuah kalimat yang terdiri dari rangkaian beberapa kata di mana
17 Peneliti melihat buku-buku transliterasi dan terjemahan serta
kepingan VCD yang dikoleksi oleh La Ambalangi. Dia mengakui bahwa darinya sumber kabanti jenis agama diperoleh jika ada peneliti sedang melakukan riset. Wawancara La Ambalangi, 2014.
18 Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), Hal. 163.
8
setiap kata mempunyai posisi dan fungsinya masing-masing
(sebagai subjek, objek, predikat, dan seterusnya).19
Kabanti Bula Malino bersifat sufitstik berhubungan
dengan ungkapan sejarah bahwa ajaran tasawuf dan sastra Melayu
tidak hanya berkembang di pulau Jawa dan Sumatera, akan tetapi
pengaruh tersebut juga sampai ke Sulawesi. Buton banyak
dipengaruhi ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fanshuri dan
Syamsuddin Sumatrani sebagaimana yang berkembang di Aceh
pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Ajaran yang tampak
di Buton pada pertengahan abad ke-17 adalah ajaran Martabat
Tujuh atau konsep manusia sempurna.20
Bagi Ricklefs, khususnya Syamsuddin, Abdurrauf, dan ar-
Raniri semuanya menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh
tahapan asal-usul (martabat), yang di dalamnya Tuhan
mewujudkan diri-Nya di dunia yang fana ini, yang mencapai
puncaknya pada manusia sempurna/insan kamil.21 Dengan
demikian maka cukup menguatkan dugaan bahwa narasi yang
dibangun dalam syair kabanti merupakan media sebagai sarana
menyampaikan dakwah dalam situasi budaya masyarakat yang
ada. Seperti manuskrip MIK berjudul Kabanti Bula Malino
berikut.
19 Algirdas J. Greimas, Structural Semantics: An Attempt at a Methods,
Lincoln: Universitas of Nebraska Press, 1983) h. 202 dalam Eriyantio, (2013: 95-96)
20 M. Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2007), hal. 148-149.
21 Ricklefs, 2011: 78.
9
Bismillahi kasi karoku si Alhamdu padaka kumatemo Kajanjinamo yoputa momakana Yapekamate Bari-baria batua
Dengan nama Tuhan Kasihan diriku Segala puji kelak aku akan mati Sudah takdir Tuhan yang Makah Kuasa Mematikan semua hamba22
Kitab Bula Malino berjumlah 383 baris merupakan syair
agama23 dan berjenis syair nasihat.24 Sama halnya dengan
manuskrip kabanti agama yang ditulis para penyair sezaman
dengan MIK seperti Syeikh Haji Abdul Ganiu (Kenepulu Bula), 25
Abdul Hadi, Haji Abdul Rakhim, dan La Kobu. Di lingkungan
masyarakat Buton, mereka disebut sebagai ulama lokal yang
mendalam pengetahuannya tentang Islam serta mempunyai
kecenderungan terhadap sufisme.26 Ciri khas dari kabanti Wolio
ini ialah iramanya yang lamban dan peningkatan suaranya yang
22 Tulisan tangan Lamra, Bula Malino: Syair Wolio (Tarafu: 1994), h.
5.; Laniampe, Nasihat Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-Buthuni, (Kendari, FKIP Unhalu: 2009).
23 Syair merupakan bagian dari jenis puisi lama yang terdiri dari empat baris yang mengandung empat kata dan sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata. Sepanjang perkembangannya, syair kemudian terbagi ke dalam lima golongan yaitu: Syair Panji, Syair Romantis, Syair Kiasan, Syair Sejarah, dan Syair Agama. Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta: 2011), h. 562-567.
24 Berdasarkan isinya, Fang membagi syair agama terbagi menjadi beberapa jenis. Pertama ialah syair sufi. Kedua ialah syair yang menerangkan ajaran Islam. Ketiga adalah syair anbia atau kisah para Nabi. Dan yang keempat adalah syair nasihat. Lihat Liaw Yock Fang (2011: 603-604).
25 Disebutkan bahwa Syekh Abdul Ganiu lahir pada awal abad ke 19. Lihat La Niampe, Nasihat Leluhur Untuk Masyarakat Buton-Muna, (Mujahid Press, ISBN, 978-979-762-251-0: 2014), h. xvi.
26 La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV. Shadra: 2009), Hal. 86.
10
mengerang rindu dengan mistik Islam.27 Ada beberapa tulisan lain
karangan MIK yang khusus membahas seputar tasawuf antara lain
adalah: Jauharana Manikamu, Mu’nisah al-Qulub fi Dzikr wa-
Musyahadah, Diya al-Anwar fi Tashfiyah al-Akdar, dan Kasif al-
Hijab fi Muraqabah al-Wahhab.28
Sampai hari ini, cara masyarakat mengekspresikan Kabanti
Bula Malino hanya dengan membaca dan menyanyikan syairnya
saja di arena-arena kesenian dan budaya. Sementara ide dan
gagasan dakwah dalam narasi manuskrip jenis kabanti belum
mendapat porsi besar untuk ditampilkan di masyarakat. Baru-baru
ini ada gerakan para guru untuk melestarikan kabanti, termasuk
Bula Malino. Misalnya seorang Kepala Sekolah Menengah Atas
(SMA) Negeri 2 Kota Baubau mengajak siswa-siswinya
mempraktikkan muatan lokal dengan nyanyian kabanti Bula
Malino yang diaudiovisualkan lalu dibagikan ke youtube.29
Namun, apa yang diupayakan oleh masyarakat untuk
menjaga kelestarian kabanti jenis agama ini semakin menunjukkan
bahwa perlu adanya penelitian mendalam dari sudut pandang lain
misalnya dalam perspektif narasi dakwah. Apa yang diwariskan
oleh MIK menurut penulis bukan hanya bertujuan menunjukkan
nyayian yang mistik dan kehebatan retorika semata, akan tetapi ada
27 La Ode Malim, Kesenian Daerah Wolio, (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan; Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah: 1981), h. 44.
28 Lihat Laniampe, Nasihat Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-Buthuni, (Kendari, FKIP Unhalu, 2009), h. 9.
29 Lihat https://www.youtube.com/watch?v=el3pINFsTbA&t=49s di akun youtube Radi Laega https://www.youtube.com/channel/UCnwh1rwQ0JRnRneRuMaoiSg. Diakses pada Kamis, 16 Agustus 2018 Pukul 15.21 WIB.
11
hal lain yang lebih penting yang berhubungan dengan ajaran
agama yang dinarasikan sesuai situasi budaya masyarakat Buton
saat itu. Maka dari itu, penelitian ini melihat bahwa karya sastra
yang berbentuk puisi lama seperti Kabanti Bula Malino dapat
dipandang sebagai narasi dakwah. Sebagaimana narasi adalah
representasi semiotik dari serangkaian peristiwa yang terhubung
secara bermakna dalam suatu cara temporal dan kausal.30
Semiotika Greimasian memberikan pandangan bahwa
dalam struktur narasi sebuah cerita diarahkan oleh enam aktor
yang disebut sebagai aktan.31 Aktan tersebut berfungsi untuk
menunjukkan tanda-tanda, termasuk bagaimana pengarang
membangun struktur narasi dalam Kabanti Bula Malino. Kearifan
lokal yang posisinya sangat familiar seperti manuskrip Kabanti
Bula Malino ini menjadi sebab utama mengapa penelitian ini
dilakukan.
C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini tidak terlalu luas sehingga penelitian
lebih fokus untuk dilakukan, maka peneliti membatasi objek kajian
penelitian ini pada manuskrip Kabanti Bula Malino karangan MIK
yang terdiri dari 383 baris.
30 Vervaeck, Luc Herman and Bart, Handbook of Narrative Analysis,
(London: University ofNebraska Press, 2005), h. 13. 31 Santosa, (1993:36) dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 141-142.
12
D. Rumusan Masalah
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam penelitian ini
seluruh jumlah bait dalam Kabanti Bula Malino yang ditulis oleh
MIK akan dijadikan sebagai sumber yang memiliki kedudukan
penting dari sejumlah kabanti yang ada di Buton. Bula Malino
merupakan manuskrip yang masih dijaga secara tradisi lisan oleh
masyarakat Buton saat ini.
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana teks penciptaan kabanti Bula Malino?
2. Tanda-tanda apa sajakah yang muncul dalam kabanti
tersebut?
3. Seperti apa peran skema aktan memberikan sebuah makna
pada kabanti tersebut?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana teks penciptaan kabanti Bula
Malino.
2. Untuk mengetahui tanda-tanda apa sajakah yang muncul
dalam kabanti tersebut.
3. Untuk mengetahui seperti apa peran skema aktan
memberikan sebuah makna pada kabanti tersebut.
13
F. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi ilmiah
untuk memahami secara komprehensif bagaimana semiotika
naratif kabanti Bula Malino dalam budaya masyarakat di
kesultanan Buton. Selain itu, penulis berharap penelitian ini dapat
menjadi literasi utama pada kajian manuskrip kabanti lainnya di
bidang Ilmu Komunikasi dan penyiaran Islam.
2. Praktis
Secara umum, penelitian ini akan berkontribusi dalam
memperkaya riset-riset berkaitan dengan pola dan cara penyebaran
Islam (dakwah dan strategi dakwah) di kepulauan Nusantara yang
menggunakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai media
penyebarannya, khususnya di tanah Buton (provinsi Sulawesi
Tenggara) yang menggunakan syair-syair nyanyian yang disebut
kabanti. Penelitian ini akan berkontribusi langsung bagi kajian
akademik yang lebih luas.
G. Tinjauan Kajian Terdahulu
Berapa penelitian terdahulu yang telah mengkaji kabanti
adalah sebagai beriku.
1. Buku berjudul Nasihat Sultan Muhammad Idrus
Kaimuddin yang diterbitkan oleh FKIP Unhalu (UHO),
Kendari: 2009 karya La Niampe. Penelitian ini juga
mengkaji Kabant Bula Malino dan bertujuan untuk
14
menegaskan bahwa yang ada dalam tulisan MIK tersebut
merupakan Nasihat Leluhur kesultanan Buton.32
2. Membara di Api Tuhan, judul buku terbitan Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah tahun 1983
(cetakan 1961) karya La Ode Malim. Buku tersebut
merupakan terjemahan dan penghayatan La Ode Malim
atas Syair Bula Malino dalam perspektik hermeneutik yang
kemudian terangkai dalam sebuah buku. Malim mengkaji
Bula Malino dalam persepktif hermeneutik.
3. Kearifan Lokal pada Kabanti Masyarakat Buton dan
Relevansinya dengan Pendidikan Karakter. Vol 14. No 2
Tahun 2012. Jurnal El Harakah ejournal.uin-malang.ac.id.
Dalam artikel ini, Sahlan membahas tentang pendidikan
karakter yang dari teks Kabanti Bula Malino.
4. Ijtihad Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu
Badaruddin Al-Buthuni (1824-1851): Akulturasi Islam
dengan Budaya di Kesultanan Buton. ajournal.uin-
malang.ac.id 2014. Artikel ini merupakan interpretasi dari
Kabanti Bula Malino dengan metode yang sama persis
dilakukan oleh La Niampe (2009), yaitu menginterpretasi
penggalan-penggalan bait yang berkatikan dengan kajian
budaya.
5. Asrif, Kesusastraan Buton Abad XIX: Kontestasi Sastra
Lisan dan Tulis, Budaya, Serta Agama. Jurnal UPI
INVOTEC Vol. 12, No. 1, Mei 2013. Artikel tersebut
32 Lihat La Niampe, Nasihat Muhammad Idrus Kaimuddin, (Kendari,
2009).
15
mengemukakan tentang sastra-sastra dan tradisi lisan
keagamaan di masa kesultanan Buton.33
Semua kajian terdahulu tersebut sama-sama menjadikan
naskah Kabanti Bula Malino sebagai batasan dan fokus masalah
penelitian untuk dikaji. Berbeda dengan penelitian ini, penulis
fokus mengkaji bagaimana semiotika naratif Greimasian dalam
Kabanti Bula Malino.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan objek kajian Kabanti Bula Malino yang ditulis
MIK sebagai sultan Buton ke-29 sekitar abad ke-18 Masehi. Pada
metode penelitian ini, penulis akan menjabarkan tentang
paradigma penelitian, pendekatan penelitian, prosedur
pengambilan data, dan teknik analisis data. Sebagaimana penulis
uraian berikut ini;
1. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif. Peneliti
akan mengkaji penelitian ini secara rinci dan menekankan aspek
detail yang kritis serta menggunakan cara studi kasus.
33 Lihat http://jurnal.upi.edu/artikulasi/view/2382/kesusastraan-buton-
abad-xix:-kontestasi-sastra-lisan-dan-tulis,-budaya,-serta-agama.html, diakses pada 19 Januari 2017 (13.53 WIB).
16
2. Objek Penelitian
Sumber teks utama yang digunakan oleh penulis adalah
naskah Kabanti Bula Malino karya MIK yang ditulis ulang oleh
Abdul Mulku Zahari sebanyak 383 bait dalam bentuk aksara
Wolio. Agar tidak terdapat kekeliruan transliterasi, peneliti juga
akan melihat salinan Bula Malino dari tulisan tangan pegiat
kabanti lain. Data yang akan di analisis dalam penelitian ini adalah
kata, bait, dan kalimat-kalimat yang berhubungan dengan konsep
dakwah.
Sebab, menurut Fathurahman bahwa penyalinan teks lama
(naskah lama) cenderung terjadi banyak dan beragam kesalahan
dengan macam-macam sebab. Kesalahan bisa disebabkan oleh
kesalahan membaca teks, memahami teks, atau bahkan salah
dalam mengeja sebuah kata.34
3. Jadwal Penelitian
Adapun waktu penelitian berlangsung sejak penyusunan
proposal tesis Maret 2018 hingga pemaparan hasil pada Oktober
2018.
34 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia; Teori dan Metode, (Jakarta:
Kencana, 2015), h. 67.
17
Tabel 1.1 Jadwal Penelitian 2018
No Uraian Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov
1 Penyusunan Draft Proposal
Tesis √ √ √ √
2 Pengajuan naskah proposal tesis √
3 Pendaftaran Ujian Proposal
Tesis √
4 Revisi Draft proposal tesis √ √
5 Proses Bimbingan Penelitian √ √ √ √ √ √
6
Pengumpulan, pemverifikasian,
pengklasifikasian penelitian
(Sumber Primer) √ √ √ √ √ √ √
7
Pengumpulan, pemverifikasian,
pengklasifikasian penelitian
(Sumber Sekunder) √ √ √ √ √ √ √
8
Penyusunan, penganalisisan,
dan penarikan kesimpulan (Doc
Primer dan Sekunder) √ √ √ √ √
9 Pengajuan pengesahan √
10 Uji Kelayakan (Seminar) √
11 Pengajuan Pemaparan Hasil
Penelitian √
12 Ujian Tertutup √
13 Ujian Terbuka √
14 Revisi dan finishing √
18
4. Prosedur Pengaumpulan Data
Dalam prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini
yaitu ada tiga tahap yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Teknik wawancara, peneliti bertemu dan melakukan
wawancara dengan sejumlah pegiat dan pemegang koleksi
manuskrip mengenai narasi dakwah manuskrip di
Keslutanan Buton. Beberapa tokoh yang diwawancarai
oleh peneliti adalah: Al Mujazi, Syaifuddin, La Ambalangi,
La Yusri, Siti Suhura, dan sebagainya.
b. Teknik penelusuran manuskrip, yakni peneliti mendatangi
museum Keraton Buton untuk dan bertemu dengan Al
Mujazi untuk mengambil gambar manuskrip yang
diinginkan. Kemudian melakukan penelusuran ke beberapa
pegiat kabanti lainnya dan menemukan isi manuskrip yang
sudah diproduksi ulang dalam bentuk tulisan maupun
rekaman video.
c. Teknik Baca, sebelum dilakukan analisis, peneliti
membaca seluruh isi dari semua manuskrip berjudul Bula
Malino.
d. Teknik Transliterasi, di mana pada tahap ini data yang
ditemukan akan disalin dari huruf abjad tulisan Arab
Melayu ke dalam tulisan Latin.
e. Teknik Terjemah, proses mengalihkan bahasa Buton ke
bahasa Indonesia, peneliti akan menggunakan kamus
19
karangan Anceaux, Wolio Dictionary (1987).35 Untuk
beberapa kata dan kalimat yang tidak ditemukan dalam
Anceaux, peneliti akan menerjemahkan dan
menginterpretasi hubungan kata dan kalimat.
f. Teknik Catat, yang dilakukan dalam tahap ini yakni
mencatat teks yang merupakan pernyataan mengenai
dakwah.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data ini terdiri atas tiga tahap yang dijelaskan
sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi unsur yang termasuk dalam kategori
aktansial yang terdapat dalam teks Kabanti Bula Malino.
b. Tahap pengklasifikasian teks aktansial pada setiap tema
yang tercantum dalam teks Bula Malino.
c. Pendeskripsian hasil penafsiran di tahap analisis yang
fokus pada skema aktan yang terdiri atas sender, receiver,
subject, object, adjuvant, dan traitor yang terdiri dari
situasi awal, transformasi, dan situasi akhir sehingga dapat
memberikan kesimpulan terhadap teks yang diteliti
berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan.
35 Anceaux, J. C. Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, Foris
Publication Holland: 1987.
20
21
BAB II
NARASI, MEDIA, DAN BUDAYA
A. NARATIF
Kita sering menghabiskan banyak waktu untuk bercerita:
menggosipkan teman, melawak, melamun, dan membangun
karakter blog dan media sosial sebagai kehidupan kedua di
internet. Membuat cerita, atau narasi, adalah cara utama di mana
makna dan kesenangan diatur, dan dibuat hidup di dalam dan di
luar media. Dalam sejarah bahasa Yunani, narasi bermakna
histroia. Menurut Branston dan Stafford, dalam membuat cerita
seseoang berupaya untuk menciptakan arti dan makna. Dongeng
telah dikatakan sebagai salah satu fitur mendefinisikan apa itu
menjadi manusia. Narasi adalah istilah khusus dalam menyusun
sebuah peristiwa yang terorganisir sehingga menjadi sebuah cerita.
Peristiwa dibentuk secara khusus yang terdiri dari pengaturan
waktu, karakter, dan sebagainya sehingga pembaca ikut ke dalam
alur cerita.1
Pendekatan retorik menganggap narasi sebagai tindakan
komunikatif yang bertujuan. Dalam pandangan ini, narasi bukan
hanya representasi peristiwa, tetapi juga merupakan peristiwa di
mana seseorang melakukan sesuatu dengan representasi peristiwa.
Lebih formal, teoretikus retoris mendefinisikan narasi sebagai
seseorang yang memberitahu orang lain pada suatu kesempatan
1 Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (New
York: Routledge, 2010), h. 69.
22
dan untuk beberapa tujuan bahwa sesuatu terjadi. Konsepsi ini
memiliki beberapa konsekuensi signifikan untuk jenis
pengetahuan tentang narasi serta memberikan perhatian khusus
pada hubungan antara teller, audiens, dan sesuatu yang telah
terjadi. Komunikasi naratif adalah peristiwa berlapis-lapis, yang di
dalamnya para pencerita berusaha untuk terlibat dan memengaruhi
kognisi, emosi, dan nilai-nilai audiensi mereka. Selain itu,
pendekatan retorik mengakui bahwa, dalam menceritakan apa
yang terjadi, narator memberikan kisah-kisah karakter yang
interaksinya satu sama lain memiliki dimensi etis dan bahwa
tindakan menceritakan dan menerima akun-akun ini juga memiliki
dimensi etis. Konsekuensinya, pendekatan retorik hadir baik pada
etika yang diceritakan atau etika yang menceritakannya.2
Dalam kajian narasi, kita perlu ketahui apa perbedaan
berita, novel, cerpen, puisi, dan film. Menurut Eriyanto, berita
adalah fakta, sementara novel, cerpen, puisi, dan film adalah karya
fiksi. Meskipun novel, cerpen, atau puisi diangkat dari kejadian
nyata, karya-karya tersebut tidak harus berdasarkan kejadian
faktual. Sebaliknya berita berita bukan harus mengacu pada fakta,
penulisnya pun harus objektif. Jurnalis diharuskan tidak
memasukkan opini pribadinya ke dalam berita.3 Tampaknya
penjelasan dari Branston dan Stafford lebih jelas bahwa, berita,
2 David Herman, The Cambridge Companion to Narrative, (New York:
Cambridge University Press, 2007), h. 203. Naratif adalah tindakan retoris di mana seseorang mencoba untuk mencapai suatu tujuan dengan memberitahu orang lain bahwa sesuatu telah terjadi.
3 Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media, (Jakarta: Kencana, 2013), h. v.
23
cerpen, novel atau pusisi baik bentuk faktual maupun fiksi semua
teks tersebut mempunyai struktur narasi.4
Apa yang ditegaskan Branston dan Stafford di atas juga
meliputi teks agama atau dakwah yang juga dapat dikatakan
memiliki struktur narasi. Teks agama atau dakwah meliputi: puisi,
syair, dan kitab keagamaan. Kita melihat bagaimana khalayak
mendengar narasi dakwah yang disampaikan lewat mimbar, siaran
radio dan televisi dengan penuh khidmat. Biagi menegaskan
bahwa mulai dari terbangun pagi hari sampai tertidur di malam
hari, media massa selalu menunggu untuk memborbardir setiap
kita terbangun.5 Musik, gambar, cerita, puisi, syair, dan film yang
bernuansa agama menjadi mudah kita jumpai. Kemudahan tersebut
dipengarui oleh adanya media apalagi dengan kemajuan perangkat
jaringan internet, teks-teks yang bernarasi dakwah semakin mudah
diakses kapanpun dan di mana saja.
Dalam pandangan semiotik, sebagian besar narratologis
setuju bahwa narasi terdiri dari tanda-tanda materi, wacana, yang
menyampaikan makna tertentu (atau konten), cerita, dan
memenuhi fungsi sosial tertentu. Karakterisasi ini menguraikan
tiga bidang potensial untuk suatu definisi: wacana, cerita, dan
penggunaan. Bidang-bidang ini sesuai dengan tiga komponen teori
4 Menurut Brodwell dan Thompson, narasi mempunyai struktur. Narasi
merupakan rangkaian peristiwa yang disusun melalui hubungan sebab akibat dalam ruang waktu tertentu. Dikutip Eriyanto, 2013: 15, dari David Brodwell dan Kristin Thompson, Film Art: An Interdaction, Fourth Edition (New York: McGraw-Hill, 2000), h. 83.
5 Shirley Biagi, 2010: 3. Selama waktu 24 jam hari hari kita tidak mungkin dihabiskan tanpa media. Ungkapan Biagi tersebut menggambarkan kehadiran media yang begitu luas.
24
semiotik: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sejalan dengan Rulli
Nasrullah dalam penelitiannya mengemukakan bahwa iklan
gambar busana Muslim pada level tersembunyi sebenarnya
mengarahkan pemaknaan terhadap iklan. Iklan tidak hanya
merepresentasikan makna visual sebagaima apa adanya. Tanda-
tanda dalam iklan juga mengalami pergeseran, dipengaruhi oleh
antartanda, dan pada akhirnya ada narasi yang diciptakan sesuai
makna yang mendekati keinginan si pembuat tanda.6
1. Teori dan Struktur Naratif
Ada beberapa tokoh yang telah memberikan perspektifnya
tentang naratif misalnya Vladimir Propp (1895–1970) kritikus
Rusia, ia telah banyak menulis buku naratif tentang dongeng.
Selain meniliti dongeng, Propp juga banyak menulis cerita-cerita
rakyat dengan paradigma naratif. Ia menemukan bahwa setiap
cerita mempunyai karakter, dan karakter-karakter tersebut
memiliki fungsi tertentu dalam cerita. Eriyanto melihat bahwa
gagasan Propp terhadap semua dongen Rusia bisa dipahami
dengan empat prinsip dasar; fungsi-fungsi di dalam dongeng
amatlah terbatas; sekuen-sekuen fungsi tersebut selalu identi; dan
dongeng hampir selalu berpegang pada struktur.7
Kemudian ada Tzvetan Todorov, seorang strukturalis asal
Bulgaria juga ahli sastra yang berpengaruh. Sejak1960 dia bergelut
6 Lihat Herman, 2007, 24; lihat juga Nasrullah, Semiotika Naratif
Greimasian dalam Iklan Busana Muslim, 2013. 7 Lihat Eriyanto, 2013: 65-66; Gill Branston and Roy Stafford, 2010:
33-35; dan Alex Sobur, 2014: 228-229.
25
dengan kajian narasi hingga sekarang. Todorov melihat narasi
sebagai apa yang dikatakan, sehingga memiliki urutan kronologis,
motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa.
Menurut Branstone dan Stafford, Todorov melihat narasi
mempunyai struktur dari awal hingga akhir dan semua cerita selalu
dimulai dengan keseimbangan (equilibrium) di mana kekuatan
yang berpotensi berlawanan berada di awal keseimbangan. Teori
naratif Todorv adalah bahwa setiap cerita terdiri dari awal,
pertengahan, dan akhir.8 Berbeda dengan Todorov, Levi-Strauss,
seorang strukturalis berpendapat bahwa struktur abadi dari semua
pembuatan makna, bukan hanya narasi, adalah ketergantungan
pada oposisi biner, atau konflik antara dua kualitas atau istilah. Dia
kurang tertarik pada urutan di mana peristiwa diatur dalam alur
cerita (disebut hubungan sintagmatik) tapi dia mengambil sisi
paradigmati dari sebuah teks.9
Selain ketiga tokoh naratif di atas, ada seorang ahli bahasa
asal Lithuania, Algirdas Greimas, yang mengembangkan dan
memperbaiki gagasan Propp. Greimas melihat ada beberapa
kelemahan dari gagasan Propp. Pertama, Propp membagi karakter
dan fungsi dalam narasi ke dalam tujuh karakter. Menurut
Greimas, tujuh karakter tersebut bisa disederhanakan ke dalam
karakter yang lebih sedikit. Kedua, Propp tidak melihat relasi dari
masing-masing karakter. Padahal, karakter sebetulnya bisa dilihat
8 Tzvetan Todorov, The Poeitcs of Prose, translated bay Richard
Howard, Ithaca: Cornell Universtiy Press, 1997 dalam Eriyanto, 2013: 45-46 dan Gill Branston and Roy Stafford, 2010: 38.
9 Gill Branston and Roy Stafford, 2010: 37.
26
sebagai bagian dari aksi-reaksi dari karakter lain. Menrut Eriyanto,
model narasi Greimas banyak digunakan dalam analisis narasi,
selain Propp.10 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model
Greimas untuk melihat semiotika naratif dalam sebuah teks.
2. Semiotika Naratif Greimasian
Semiotika naratif memiliki akar teoretisnya dalam
linguistik struktural, yang dikembangkan pada tahun 1960 dan
1970-an oleh para penulis seperti Algirdas-Julien Greimas (1987),
Roland Barthes (1993), dan Gerald Prince (2000). Pendapat
mereka bahwa struktur narasi mendasari sebagian besar bentuk
wacana, tidak hanya cerita. Faktanya, banyak ahli teori yang
mempertahankan bahwa narasi adalah bagian mendasar dari cara
kita memandang dan menggambarkan dunia. Dengan kata lain,
cara paling umum untuk memahami apa yang kita rasakan dan
alami adalah melalui penciptaan cerita. Ini berarti bahwa struktur
naratif dapat ditemukan tidak hanya dalam cerita, seperti yang
diceritakan atau ditulis, tetapi juga dalam situasi sosial dan cara
kita mengatur pengalaman kita.11
Semiotika naratif diartikan sebagai upaya penghitungan
(recounting) atau pembacaan kembali terhadap dua atau lebih
situasi yang secara logika terhubung, baik dari segi waktu maupun
tempat, dan terkait dengan konsistensi sebuah subjek dari
10 Eriyanto, 2013: 95-96. 11 Sky Marsen, A Narrative-Semiotic Approach to Management
Communication: The Case of the Columbia Space Shuttle Accident, (London: SAGE Publications, Ltd., 2015), Access Date: July 31, 2018.
27
keseluruhan teks atau pesan untuk melihat narasi atau perubahan
cerita dari tanda; termasuk untuk mengungkap makna tersembunyi
dari tanda (lihat Prince, 1987). Bagi Greimas (1965) semiotika
naratif adalah “the orientation towards a goal, and therefore a
sense of closure and wholeness, as a crucial determinant of
naarative”.12
Susana Onega dan José Angel García Landa,
mengemukakan bahwa narasi adalah representasi semiotik dari
serangkaian peristiwa yang terhubung secara bermakna dalam
suatu cara temporal dan kausal. Dalam pandangan Vervaeck,
makna dalam peristiwa yang saling berhubungan tidak dapat
direduksi menjadi temporalitas dan kausalitas.13 Santosa
mengatakan bahwa dalam ruang lingkup sastra, karya sastra
dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai
sebuah tanda. Dimensi ruang waktu dalam sebuah cerita rekaan
mengandung tabiat tanda menanda yang menyiratkan makna
semiotika. Dari dua tataran (level) antara mimetik dan semiotik
(atau tataran kebahasaan dan mitos) sebuah karya sastra
menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.14 Artinya,
semiotika dalam narasi menghadirkan pemaknaan yang luas
12 Rulli Nasrullah, Semiotika Naratif Greimasian dalam Iklan Busana
Muslim, (Kawistara: Volume 3 No. 3, 22 Desember 2013), h. (Nasrullah, 2013) 227-334.
13 Vervaeck, Luc Herman and Bart, Handbook of Narrative Analysis, (London: University ofNebraska Press, 2005), h. 13.
14 Santosa, (1993:36) dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 141-142.
28
berdasarkan hasil dari interaksi antara pembaca dan teks itu
sendiri.
Menurut Aminuddin (1997:77), wawasan semiotika dalam
studi sastra memilih tiga asumsi. Pertama, karya sastra merupakan
gejala komunikasi yang berkaitan dengan (i) pengarang, (ii) wujud
sastra sebagai sistem tanda, dan (iii) pembaca. Kedua, karya sastra
merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda yang
memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. Ketiga, karya sastra
merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan
dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.15
3. Aktansial Algridas Julian Greimas
Greimas menganalogikan narasi sebagai suatu struktur
makna (semantic structure). Struktur tersebut mirip dengan sebuah
kalimat yang terdiri dari rangkaian beberapa kata di mana setiap
kata dalam kalimat mempunyai posisi dan fungsinya masing-
masing (sebagai subjek, objek, predikat, dan seterusnya). Kata
yang satu juga mempunyai relasi dengan kata yang lain sehingga
membentuk kesatuan yang koheren dan mengandung makna. Bagi
Greimas, narasi dapat juga dilihat seperti sebuah semantik dalam
kalimat. Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya
masing-masing. Lebih penting dari posisi itu adalah relasi dari
masing-masing karakter. Ada enam karakter dalam narasi yang
oleh Greimas menyebutnya sebagai aktan (actant) di mana aktan
15 (Sobur, 2009).
29
tersebut fungsinya adalah mengarahkan jalannya cerita. Karena
itu, analisis Greimas kerap disebut sebagai model aktan.16
Struktur naratif dari sebuah teks ditandai oleh enam peran
yang Greimas menyebutnya sebagai aktan adalah sebagai berikut:
a. Sender (Pengirim): ini mengacu pada kekuatan tertentu
yang menempatkan aturan dan nilai-nilai ke dalam
tindakan dan mewakili ideologi teks.
b. Receiver (Penerima): Ini membawa nilai-nilai destinator
(pengirim). Dia mengacu pada objek di mana pengirim
menempatkan nilai atau aturan dalam cerita.
c. Subjek: subjek menduduki peran utama dalam narasi.
Tokoh utama yang mengarahkan jalannya cerita.
d. Objek: objek dari narasi adalah apa yang diinginkan oleh
subjek. Itu mewakili tujuan yang menjadi minat subjek.
Objek bisa berupa orang tetapi juga bisa berupa keadaan
atau kondisi yang dicita-citakan.
e. Adjuvant (Pendukung): kekuatan pendukung ini membantu
subjek dalam usahanya mencapai objek.
f. Traitor (Penghalang): berfungsi sebagai penghambat dan
mewakili segala sesuatu yang mencoba untuk menghalangi
tujuan subjek.
Menurut Stefan Titscher, Michael Meyer, Ruth Wodak, dan
Eva Vetter, enam aktan tersebut di atas tidak juga harus dimaknai
16 Algirdas J. Greimas, Structural Semantics: An Attempt at a Methods,
Lincoln: Universitas of Nebraska Press, 1983) h. 202 dalam Eriyantio, (2013: 95-96)
30
sebagai aktor seperti halnya Propp. Greimas melihat ada hubungan
yang sangat khusus dari aktan tersebut. Ada keterkaitan antara satu
karakter dengan karakter lain. David Herman menyebut enam
aktan tersebut sebenarnya membentuk tiga pasangan.17 Subjek
mengarahkan dirinya ke objek dan dalam hal ini didukung oleh
adjuvant (pendukung) dan dihalangi oleh si penghambat. Semua
ini terjadi dalam struktur nilai dari sender (pengirim), yang
diberikan oleh receiver (penerima). Ideologi sender sering diwakili
oleh narator.18
Pertama, subjek dan objek dari sebuah peristiwa
menetapkan dua kelas aktor dalam hal ini mereka memberi nama
posisi karakter yang sebenarnya menempati sehubungan dengan
cerita. Subjek cerita adalah pelaku tindakan yang performatif, dan
objeknya adalah tujuan atau tujuan dari tindakan itu. Menurut
Cohan dan Shires, subjek dan objek berfungsi dalam hubungan
langsung dengan kejadian sebuah cerita. Relasi antara subjek dan
objek ini bisa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak (misalnya,
seorang pahlawan sebagai subjek yang ingin membebaskan
isterinya dari penculikan penjahat) atau tidak dikehendaki oleh
kedua belah pihak (misalnya, seorang pencuri ingin menyekap
korbannya). Menurut Eriyanto, objek tidak harus selalu berupa
orang, tetapi juga bisa berupa keadaan. Misalnya, seseorang
(subjek) menginginkan akhir hidupnya mati dalam keadaan husnul
17 David Herman, The Cambridge Companion to Narrative, (New
York: Cambridge University Press, 2007), h. 194-195 dan 220. 18 Stefan Titscher, Michael Meyer, Ruth Wodak, and Eva Vetter,
Methods of Text and Discourse Analysis, (London: Sage Publication, 2000), h. 127-129.
31
khatimah (objek) sehingga selama hidupnya ia menjadi orang yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhannya.
Kedua, selain subjek dan objek, ada aktor lain yang
berfungsi dalam hubungan tidak langsung dengan peristiwa:
pengirim memulai atau mengaktifkan acara dan memberikan nilai,
aturan, atau perintah agar objek bisa dicapai. Sementara penerima
adalah manfaat setelah objek berhasil dicapai oleh subjek. Sebagai
contoh, seorang raja baik (pengirim) memberikan perintah kepada
prajurit agar merebut kembali kerajaannya (objek) yang diambil
alih oleh raja palsu. Objek dari cerita ini adalah membeaskan
kerajaan, yang menjadi inti atau tujuan dari keseluruhan cerita.
Sementara penerima adalah kerajaan.
Ketiga, hubungan struktural antara penghambat (taitor) dan
pendukung (adjuvant). Penghambat berfungsi memperlambat atau
menghalangi acara dengan menentang subjek atau bersaing dengan
subjek untuk objek. Sementara pendukung berfungsi memajukan
atau memajukan acara dengan mendukung atau membantu subjek.
Misalnya, dalam suatu cerita, pahlawan mendapat bantuan dari
orang pintar, pedang, dan kuda. Di samping itu, pahlawan juga
mendapat halangan penyihir, naga, dan sebagainya.19 Ketiga relasi
struktural tersebut dapat digambarkan ke dalam tiga model sebagai
berikut.
19 Steven Cohan and Linda M. Shires, Telling Stories: A Theoretical
Analysis of Narrative Fiction, (London: Sage Publication, 1988), h. 69-70; Mieke Bal, Narratology Introduction the Theory of Narrative, Fourth Edition, (Toronto: University of Toronto Press, 2017), h. 166-167.
32
Gambar 2.1 Actantial Mythical Model
Ada dua pengaruh lain yang menentukan plot; yaitu ruang
dan waktu. Greimas mencirikan pengaruh ini sebagai isotop
(isotop ruang dan isotop waktu). Isotop ruang mengkategorikan
lingkungan di mana cerita itu mengambil tempat. Ruang batin di
mana subjek bertindak disebut utopian, sementara lingkungan
yang samar dan tidak pasti didefinisikan sebagai heterotopian.
Isotop waktu mencirikan perpindahan pada sumbu waktu, yang
berarti orientasi narasi terhadap masa lalu, sekarang dan masa
depan. Ini adalah tugas analisis struktur naratif untuk
menggambarkan keenam aktan ini dan dua isotop dalam perjalanan
narasi.20
Bagaimana karakter itu memiliki relasi, Greimas
menawarkan sebuah skema (Greimas Square) yang memetakan
kemungkinan-kemungkinan logis pemaknaan dari sebuah teks.
Skema ini merupakan alat bantu dan pada kenyataannya
memberikan upaya untuk mengisi dan menstimulasi imajinasi-
imajinasi yang mungkin muncul dari relasi teks tersebut, baik
20 (Stefan Titscher, 2000)
Sender Objek Receiver
Adjuvant Subjek Traitor
33
dalam sisi kebahasaan maupun kultur (lihat Katilius- Boydstun,
1990).21
Sejalan dengan Titscher, analisis struktur yang mendalam
(deep structure) dari sebuah teks harus bisa mengidentifikasi nilai-
nilai dan norma-norma yang mendasarinya. Struktur naratif yang
berbeda dapat didasarkan pada struktur yang mendalam dan
bersifat umum. Komponen struktur yang dalam harus (a) cukup
kompleks, konsisten secara logis dan cukup stabil untuk
memberikan representasi yang memadai dari teks, (b) memenuhi
fungsi perantara dan tujuan yang efektif antara teks dan analis, dan
(c) cukup tepat. Model yang cocok untuk ini adalah persegi
semiotik seperti gambar berikut.22 Berikut skema persegi semiotik
yang digambarkan oleh Greimas.
Gambar 2.2
Gambar Skema Semiotika Greimas23
21 (Nasrullah, Semiotika Naratif Greimasian dalam Iklan Busana
Muslim, 2013) 22 (Stefan Titscher, 2000) 23 Greimas dan F. Rastier, 1968: 86-105 dalam Nasrullah, 2013: 245
S1
~S1 ~S2
S2
34
Nasrullah memberikan cara membaca skema tersebut yaitu
dengan menaruh teks “cinta” (S1), “benci” (S2), “tidak cinta”
(~S1), serta “tidak benci” (~S2). Kontradiksi dari cinta (S1) adalah
tidak cinta (~S1) dan kemungkinan atau implikasi (implication)
yang muncul dari tidak cinta itu adalah benci (S2). Begitu juga
sebaliknya jika kontradiksi dari benci adalah tidak benci (~S2),
maka implikasi yang muncul adalah cinta. Kondisi antar-cinta dan
benci dihubungkan secara berlawanan (complexcontrary) dengan
sumbu kompleks “perasaan” (S) sementara tidak cinta dan tidak
benci dihubungkan secara berlawanan (neutral contrary) oleh
sumbu netral (~S).24
Ada tiga fase dalam prosedur analitis semiotika naratif
Greimas yang digunakan penulis untuk mengurai manuskrip Bula
Malino tersebut, yaitu pertama, teks yang muncul dikondisikan
atau dikategorikan dalam blok-blok tematik sehingga dapat
diketahui perubahan tema maupun alur narasi pemaknaannya.
Pengkategorian tersebut untuk mengetahui actant sebagai subjek
yang akan menentukan jalan narasi dan perannya dalam perubahan
makna di narasi tersebut. Setelah actant diketahui, maka akan arah
narasi itu dicoraki melalui isotop spasial (ruang, tanda) serta isotop
temporal (waktu, situasi).
Kedua, blok-blok tematik kemudian dianalisis untuk
melihat struktur, makna di permukaan (lahir), maupun makna yang
tersembunyi (batin) melalui prosedur, yaitu menganalisis isotop
24 (Stefan Titscher, 2000) dan (Nasrullah, 2013).
35
temporal maupun spasial yang mempengaruhi actant; menentukan
hubungan antar-actant baik sebagai sender, receiver, objek,
adjuvant, atau traitor dan mencari hubungan aktif-pasif serta
keterkaitannya; pergerakan actanti dianalisis dan bagaimana
karakter yang muncul apakah mengakuisi, konfrontasi, kognisi,
ekstensi, penegasan atau modifikasi; sasaran dari teks (subjek)
dimunculkan dan juga melakukan perbedaan apakah ia melibatkan
aspek kognitif seperti pengetahuan atau aspek pragmatik yang
merupakan aplikasi dari pengetahuan; terakhir, hasil dari tahap-
tahap sebelumnya disusun berdasarkan segmen tematik dan
diuraikan secara naratif untuk melihat pergeseran makna.
Ketiga, fase terakhir ini bergerak dari analisis teks secara
permukaan (lahir) atau struktur naratif ke arah struktur teks secara
lebih mendalam (batin). Pada fase ini juga dilakukan pembedaan
antara nilai yang dimiliki oleh subjek dan nilai sesungguhnya yang
digambarkan oleh sender dan receiver (Greimas & Rastier 1968
dalam Titscher et al. : 213-215).
B. Naratif dalam Syair
Selain dibaca sebagai teks, syair tersebut dibuat nyanyian
dan sejumlah penyanyi terkenal mengimprovisasi syair tersebut
dalam bentuk musik. Syair, layaknya do’a, sebagai gambaran
perbuatan manusia di muka bumi, tanpa dibatasi oleh waktu, batas-
batas geografis maupun bahasa. Sebagai jenis puisi lama, syair
36
mampu menjadi alat untuk menyampaikan apa yang diinginkan si
penyair tersebut dengan bahasa yang berbeda.25
Untuk melihat syair sebagai sebuah narasi, tentu diperlukan
teori-teori dan perspektif yang relevan. Fisher mengatakan bahwa
narasi memiliki relevansi dengan karya nyata dan karya fiksi, kisah
hidup, dan cerita imajinasi. Singkatnya adalah, narasi hadir dalam
segala bentuk komunikasi manusia.26 Bertentangan dengan
Rowland (1987, 1989), dia menyatakan bahwa beberapa bentuk
komunikasi tidak naratif seperti yang dikemukakan Fisher.
Pendapat Rowland, fiksi ilmiah dan fantasi tidak sesuai dengan
nilai kebanyakan orang. Di luar kedua itu, pandangan keduanya
terhadap narasi sangat berdekatan.27 Narasi memiliki kemampuan
untuk memproduksi makna melalui serangkaian peristiwa dan
karakter dalam cerita.28
25 Syair terdiri dari empat baris dan setiap baris mengandung empat
kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata. Lihat Fang, 2011: 556-563.
26 Walter R. Fisher, Human Communication as Narration: Toward a Philosophy as Reason, Value, and Action, (Columbia: University of South Carolina, 1987), h. 56-59. Maksud Fisher, paradigma narasi dapat dianggap sebagai sintesis dialektik dari dua untaian tradisional yang berulang dalam sejarah retorika: argumentatif, tema persuasif dan tema sastra.
27 Robert Rowland (1987,1989) dalam Alex Sobur, Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2014), h. 3.
28 Narasi yang sesungguhnya adalah mengandung tujuan dan moral. Setelah naratologi berkembang ke setting yang beragam seperti terapi, manajemen, fislafat, kepemimpinan, komunikasi, dan psikologi, ia memberikan nilai praktis dan martabat teoritis. Naratif juga dikaitkan dengan seni dan literatur karena konsepnya dapat diaplikasikan secara vertikal untuk menentukan apakah pemimpin dan pengikut menginterpretasikan cerita dengan cara yang sama, dan secara horizontal untuk menciptakan representasi estetika. Ia juga dapat bergerak dari lokal ke global; kita dapat mengisahkan cerita lokal tentang seni dalam kaitannya dengan makna kultural yang lebih besar. Lihat
37
Di Barat, sastra disebut dengan kata yang berbeda: sastra
(bahasa Prancis atau bahasa Inggris) letteratura (Italia),
"literatura" (Spanyol), Literatur (Jerman). Sebagaimana diamati
oleh Jacques Derrida dalam Demeure: Fiksi dan Kesaksian, kata
sastra berasal dari bahasa Latin. Miller memandang sastra adalah
memoar, sejarah, koleksi surat, risalah yang terpelajar, puisi, karya
lakon, dan tidak ada buku, muncul setelah zaman kamus Samuel
Johnson (1755). Sastra bisa menjadi abadi dan universal dan akan
bertahan hidup dan mengekspresikan semua perubahan historis
dan teknologi. Sastra adalah sebuah fitur budaya manusia setiap
saat dan tempat.29
Lain lagi dengan pendapat A. Teeuw, menurutnya sastra
merupakan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi
atau pengajaran; misalnya silpasastra, buku arsitektur,
kamasastra, dan buku petunjuk mengenai cinta. Penjelasan Miller
dan Teeuw mungkin bisa sedikit membantu kita memahami
tentang arti sastra. Agar semakin meyakinkan, kita perlu melihat
pandangan lain seperti Van Luxemburg, Bal, dan Weststeijn
bahwa setiap deifinisi sastra pada dasarnya terikat oleh waktu dan
budaya, karena sastra merupakan hasil kebudayaan.30
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Ensiklpodeia Teori Komunikasi, Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2016), h. 809-810.
29 J. Hillis Miller, On Literature: Thinking in Action, (London and New York: Routledge, 2002), h. 1-2.
30 Andries Teew, 1984: 23 dan Van Luxemburg, Bal, dan Weststeijn dalam Alex Sobur, Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2014), h. 23-24.
38
1. Syair di Indonesia
Di Indonesia, kebiasaan seorang ibu menuturkan cerita
kepada anaknya dikenal dengan kesusastraan rakyat. Banyak
hikayat pilihan untuk diceritakan kepada anaknya yang belum tahu
membaca tulisan seperti: cerita asal usul, cerita binatang, cerita
jenaka, cerita pelipurlara, hikayat dewa-dewa, dan lain sebagainya.
Fang mengatakan bahwa pada masa peralihan Hindu-Islam sastra
nusantara mulai beralih. Cerita dan hikayat mulai bernuansa Islam
dan hikayat seperti Ahmad Muhammad, cerita al-Qur’an, dan
cerita pahlawan Islam mulai dikenal dan dipraktikan dalam sastra
Melayu. Pada abad ke-16 sampai abad ke-17 Hamzah Fansuri dan
tokoh pemikir Islam lainnya muncul kemudian menulis kitab dan
syair sastra yang di dalamnya mengandung ajaran agama.31
Untuk memahami bagaimana posisi dan fungsi syair di
Nusantara, kita perlu mengetahui definisi dan sejarah
perkembangan syair.
2. Definisi Syair
Syair adalah jenis puisi lama. Menurut Teeuw, syair terdiri
dari empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang
sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku
31 Setelah Hamzah Fansuri ada beberapa nama lain yang menggunakan
sastra kitab dalam menyampaikan ajaran agama, seperti: Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abdur Rauf Sinkel (1615-1693), Abdul Samad Al-Palimbani, Daud Ibnu Abdullah Ibn Idris Al-Fatani, dan Syaikh Ahmad b. Muhammad Zain Patani (1856-1906) Fang, 2011. Masih banyak ulama Nusantara lainnya yang menulis kitab sastra yang hidup di abad ke-18. Lihat Liau Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (Jakarta: Yayasa Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. xxv dan 382.
39
kata. Syair juga tidak mempunyai unsr-unsur sindiran di dalamnya.
Aturan sanjak akhir ialah aaaa dan sanjak dalam (internal rhyme)
hampir-hampir tidak ada. Misalnya, ‘nya’ dianggap bersanjak
dengan ‘na’, intan dengan hitam, pura dengan dua, -ah, -ih dengan
i. Tidak hanya itu, persamaan tulisan juga dianggap bersanjak. U
dianggap bersanjak dengan dengan o atau au, karena ketiga huruf
tersebut dalam tulisan Jawi adala sama, yaitu wau (و).31F
32 Syair
digunakan untuk melukiskan hal-hal yang panjang misalnya
tentang suatu cerita, nasihat, agama, cinta, dan lain-lain.
3. Sejarah Perkembangan Syair
R. O. Winsted berpendapat bahwa syair pertama kali
muncul dalam sastra Melayu pada abad ke-15 dalam Syair Ken
Tambuhan. Bukti-bukti yang dikemukakannya ialah pemakaian
kata-kata Kawi seperti lalangan (kebun), kata-kata Jawa seperti
ngambara dan ngulurkan, perbendaharaan kata yang kaya, mitos
Hindu dan satu gaya yang klasik (R. O. Winsted, 1958: 152).
Teeuw tidak setuju dengan pendapat ini. Ditunjukkannya bahwa
Syair Ken Tambuhan baru ditulis pada abad ke-17 atau ke-18;
unsur-usnur Jawa yang terdapat dalam Syair Ken Tambuhan belum
tentu langsung berasal dari bahasa Jawa oleh penulisnya. Syair
tersebut mungkin berasal dari cerita Panji dan wayang yang
tersebar luas di alam Melayu sejak zaman dahulu kala. Meski
demikian, menurut Fang, kita juga tidak boleh menafsirkan adanya
32 Begitu juga i dianggap bersanjak dengan e atau ai, karena ketiganya
ditulis ya (ي) dalam tulisan Jawi. Lihat Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), hal. 562.
40
hubungan langsung dengan Jawa sesudah zaman Malaka, yaitu
abad ke-15.33
Periode kesusastraan Islam awal dimasukkan ke dalam
kurun dari pertengahan kedua abad ke-14 M sampai awal
pertengahan abad ke-16 M. Sedangkan periode Melayu klasik
berlangsung dari pertengahan pertama abad ke-16 M sampai awal
pertengahan abad ke-19 M ketika masa kesusastraan Melayu
didasari sebagai kesusastraan dunia Muslim di mana karya-karya
besar diciptakan. Sejalan dengan Teeuw, kemunculan syair dalam
sastra melayu tidak mungkin lebih awal daripada abad ke-16.
Sekitar tahun 1600, syair masih berarti puisi secara umum dan
bukan sesuatu jenis puisi tertentu.34
Dalam Tajus Salatin yang tertulis pada tahun 1602/1603
tidak terdapat sekuntum pun puisi yang mirip dengan struktur syair
sekarang. Syair sebagai jenis puisi yang berbaris empat dan
bersanjak aaaa baru tersebar sesudah Hamzah Fansuri menamai
puisi yang ditulisnya ruba’i (puisi yang berbaris empat). Tetapi
ruba’i Hamzah Fansuri berbeda dengan ruba’i sejenis puisi
Arab/Parsi. Ruba’i Hamzah Fansuri merupakan bagian dari sebuah
puisi yang lebih panjang, sedangkan ruba’i sebagai puisi
Arab/Parsi adalah sebuah puisi yang berdiri dengan sendirinya.35
33 (Fang, 2011) 34 Braginsky, 1993: 9-10 dalam Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam
Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), hal. 290; Fang, 2011: 563. 35 (Fang, 2011) 563.
41
Mula-mula puisi Hamzah itu terdiri atas beberapa kesatuan
yang disebut ruba’i, kadang-kadang bait dan sekali-sekali syi’r
atau sya’ir. Bila puisi-puisi jenis ini tersebar luas dan digemari
orang, maka dia mendapat sebutan baru, yaitu syair. Penyair-
penyair lain juga menulis puisi jenis ini (syair), tetapi tidak
membatasi diri pada puisi tasawuf lagi. Semua perkara disyairkan
dalam bentuk ini. Pengaruhnya juga kian meluas. Dalam sastra
Jawa muncul sejenis puisi yang berasal dari syair, yaitu sangir.
Pada tahun 1670, seorang Melayu di Makassar menggunakan
bentuk ini untuk menulis sebuah sysair sejarah, yaitu Syair Perang
Mengkasar. Lambat-laun, penulis-penulis di berbagai daerah
menggunakan puisi jenis ini untuk menulis puisi romantik seperti
Syair Ken Tambuhan.
Demikianlah kita melihat pada abad ke-17, syair-syair
sudah bermunculan di Johor, Palembang, Riau, Banjarmasin,
Batavia, (Jakarta), dan Ambon, bahkan di seluruh Nusantara (A.
Teeuw, 1966b: 446).36 Jauh sebelum A. Teeuw mengemukakan
kemungkinan Hamzah Fansuri sebagai pencipta syair Melayu yang
pertama, P. Voorhoeve sudah membuat kesimpulan yang serupa.
Dalam sebuah ceramahnya kepada pelajar-pelajar bahasa Melayu
di Paris, tahun 1952, P. Voorhoeve sudah mengatakan bahwa syair
Melayu yang mula-mula mungkin ditulis oleh Hamzah Fansuri.
Alasan yang dikemukakan hampir serupa dengan alasan yang
dikemukakan oleh A. Teeuw, yaitu sebagai beriku:
36 (Fang, 2011)
42
a. Tiada syair sebelum Hamzah Fansuri
b. Tiada bentuk syair dalam bahasa-bahasa Nusantara kecuali
sangir dalam bahasa jawa yang berasal dari syair melayu;
dan
c. Pada paruh pertama abad ke-17, puisi Hamzah Fansuri
tidak dikenal sebagai syair melainkan ruba’i dan Valentijin
dalam bukunya (1726) menyebutkan tentang Hamzah
Fansuri yang terkenal dengan syairnya. Bukan itu saja. Ar-
Raniri yang dalam hal agama, adalah saingan Hamzah
Fansuri, juga pernah dipengaruhi oleh Hamzah dan menulis
beberapa ruba’i dalam Bustanus Salatin (P. Voorhoeve,
1968: 277-278).
Syed Naguib Al-Attas menyatakan pendapatnya dengan
tegas. Dalam dua risalah (Syed Naguib Al-Attas, 1968, 1971),
menyerang A. Teeuw karena ketidak tegasannya dalam
mengemukakakn bahwa Hamzah Fansuri sebgai pencipta syair
Melayu yang pertama. Kesimpulannya ialah Hamzah Fansuri
mendapat pengaruh atau bentuk asal puisinya dari puisi Arab, syi’r
yang berbaris empat, seperti syi’r yang dikarang Ibnul Arabi dan
Iraqi yang banyak dikutipnya (Syed Naguib Al-Attas, 1968: 58).37
Amin Sweeney, seorang sarjana yang pernah mengajar di
Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak setuju dengan pendapat
ini. Menurutnya, syair Hamzah Fansuri mendapat pengaruh yang
kuat dari nyanyian rakyat (pantun) seperti yang terdapat dalam
37 (Fang, 2011) 564.
43
Sejarah Melayu. Dia sampai kepada kesimpulan ini sesudah
menyelidiki ciri-ciri syair, yaitu irama (metre), sanjak akhir
(rhyme), pembagian kesatuan (units) dan pengelompokkan
kesatuan.
Irama syair adalah menyerupai seperti irama pantun. Bukan
saja pantun kadang-kadang muncul dalam syair, baris-baris syair
juga kadang-kadang terdapat dalam panting. Doorenbos, seorang
sarjana Belanda telah menunjukkan dalam disertasinya bahwa
beberapa baris syair Hamzah Fansuri adalah seperti yang dipakai
dalam pantun. Dalam sebaris pantun atau syair selalu ada semacam
perhentian (caesura) ditengah-tengahnya, yaitu sesudah perkataan
yang kedua dalam sebaris pantun atau syair yang mengundang
empat perkataan itu. Sanjak akhir yang dipakai dalam syair
Hamzah Fansuri adalah aaaa. Ini adalah pola sanjak yang terdapat
dalam nyanyian-nyanyian dalam Sejarah Melayu.
Seandainya Hamzah mencontoh puisi Arab, setiap bait
Fansuri pasti hanya terdiri dari dua baris saja dan bukan empat
baris. Bait yang berbaris empat tidak dikenal dalam puisi Arab.
Nyatalah yang menjadi contoh syair Hamzah bukan puisi Arab
melainkan nyanyian (pantun) empat baris yang terdapat dalam
Sejarah Melayu (R. Roolvink, 1966: 455-457). Tentang
pengelompokkan kesatuan pula, kesatuan-kesatuan ini tidak
berdiri sendiri melainkan bersambung untuk mengembangkan
suatu tema atau cerita. Dalam puisi Arab, satu kesatuan (bait) yang
dua baris itu merupakan satu keseluruhan (Amin Sweeney, 1971:
58-66). Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa sungguhpun
44
Hamza Fansuri menggunakan Istilah puisi Arab, bait, syair, ruba’i,
syair Hamzah Fansuri bukanlah tiruan dari puisi Arab. Pengaruh
nyanyian (pantun) pada syair Hamzah Fansuri jauh lebih besar dari
puisi Arab. Syair Melayu, biarpun memakai istilah bahasa Arab
adalah puisi Melayu asli juga (C. Hooykas, 1947: 72).38
Menurut isinya, Fang membagi syair menjadi lima
golongan sebagai berikut.
a. Sayir Panji
Syair panji sebagian besar adalah olahan dari bentuk
prosanya, misalnya Syair Panji Semirang adalah olahan
dari Hikayat Panji Semirang, Syair Angreni adalah saduran
dari Panji Angreni. Sering hanya isinya saja yang diambil
dan bukan judulnya. Satu lagi antara perbedaan hikayat
Panji dan syair Panji ialah bahwa hikayat panji berbelit-
belit plotnya, sedang syair Panji lebih sederhana plotnya.
Biasanya satu syair hanya menceritakan satu cerita utama
saja. Misalnya Syair Ken Tambuhan, hanya menceritakan
percintaan dan perkawinan Raden Menteri dan Ken
Tambuhan; Syair Undakan Agung Udaya hanya
menceritakan kisah Panji tinggal di Daha dan memakai
nama Undakan Agung Udaya. Contoh syair Panji adalah;
Syair Ken Tambuhan, Syair Angreni, Syair Damar Wulan,
Syair Undakan Agung Udaya, dan Cerita Wayang
Kinudang.
38 (Fang, 2011) 565.
45
b. Syair Romantis
Syair romantis adalah jenis syair yang paling digemari.
Harun Mat Piah pernah mengkaji 150 buah syair untuk
disertasinya di Universitas Kebangsaan Malaysia (1989)
dan mendapati bahwa 70 buah (47 persen) adalah syair
romantis. Ini tidak mengherankan karena sebagian besar
syair romantik menguraikan tema yang biasa terdapat di
dalam cerita rakyat, penglipurlara dan hikayat. Contoh dari
syair romantis adalah; Syair Bidasari, Syair Yatim Nestapa,
Syair Abdul Muluk, Syair Sri Banian, Syair Sinyor Kosta,
Syair Cinta Berahi, Syair Raja Mambang Jauhari, Syair
Tajul Muluk, Syair Sultan Yahya, dan Syair Putri Akal.
c. Syair Kiasan
Syair kiasan atau simbolik adalah syair yang
mengisahkan percintaan antara ikan, burung, bunga, atau
buah-buahan. Hans Overbeck menemani syair jenis ini
sebagai syair binatang dan bunga-bungaan (Malay animals
and fllower shers, 1934). Menurut Overbeck lagi, syair
jenis ini biasanya mengandung kiasan atau sindiran
terhadap peristiwa tertentu. Misalnya Syair Ikan Terubuk
adalah syair yang menyindir peristiwa anak raja Malaka
meminang putri Siak. Syair Burung Pungguk menyindir
seorang pemuda yang ingin mempersunting seorang gadis
yang lebih tinggi kedudukannya. Ada juga syair yang
menyindir petualangan cinta saudagar pengembara atau
46
memberi nasehat pada pendengarnya. Contoh judul syair
kiasan adalah; Syair Burung Pungguk, Syair Kumbang dan
Melati, Syair Nuri, Syair Bunga Air Mawar, Syair Nyamuk
dan Lalat, Syair Kupu-kupu dengan Kembang dan Balang,
dan Syair Buah-buahan.
d. Syair Sejarah
Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa
sejarah. Di antara peristiwa sejarah yang paling penting
ialah peperangan, dan karena itu, syair perang juga
merupakan syair sejarah yang paling banyak dihasilkan.
Peristiwa sejarah itu mungkin juga merupakan kisah raja
yang memerintah atau residen Belanda. Syair Sultan
Mahmud di Lingga, misalnya, menceritakan masa
kehidupan Sultan Mahmud Syah beserta keluarganya,
Syair Residen De Brau pula mengisahkan peranan yang
dimainkan residen de Brau dalam pembuangan Perdana
Menteri dari Palembang ke tanah Jawa. Contoh judul syair
kiasan adalah; Syair Perang Mengkasar, Syair Kompeni
Welanda Berperang dengan Cina, Syair Perang di
Banjarmasin, Syair Raja Siak, Syair Sultan Ahmad
Tajuddin, dan Syair Siti Zubaidah Perang Melawan Cina.
e. Syair Agama
Syair agama adalah golongan syair yang paling
penting. Telah dijelaskan bahwa Hamzah Fansurilah orang
pertama menulis puisi dalam bentuk syair yang kemudian
47
diikuti oleh penyair-penyair lainnya di Aceh seperti Abdul
Jamal, Hasan Fansuri dan beberapa orang penyair-penyair
yang tidak bernama. Abdul Rauf sendiri juga pernah
menulis sebuah syair yang berjudul Syair Makrifat (Van
Ophuijsen, 78). Perkara yang disyairkan di dalam syair-
syair semuanya bersifat keagamaan. Hanyalah kemudian
dan dengan perlahan-lahan syair dipakai untuk menyairkan
hal-hal yang tidak ada kaitan dengan agama.
Berdasarkan isinya, syair agama dapat dibagi pula kepada
beberapa jenis.
a. Jenis pertama ialah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah
Fansuri dan penyair-penyair sezaman.
b. Jenis kedua adalah syair yang menerangkan ajaran Islam
seperti Syair Ibadat, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Rukun
Haji, Syair Kiamat, Syair Cerita di dalam Kubur dan
sebagainya.
c. Jenis ketiga ialah Syair Anbia, yaitu syair yang
mengisahkan riwayat hidup para nabi, misalnya Syair Nabi
Allah Ayub, Syair Nabi Allah dengan Firaun, Syair Yusuf,
Syair Isa, dan lain-lain.
d. Jenis keempat ialah syair nasihat, yaitu syair yang
bermaksud memberi pengajaran dan nasihat kepada
pendengar atau pembacanya, misalnya Syair Nasihat, Syair
Naihat Bapak Kepada Anaknya, Syair Nasihat Laki-laki
dan Perempuan dan sebagainya. Syair Takbir Mimpi dan
48
Syair Raksi mungkin juga dapat digolongkan ke dalam
jenis ini.
Contoh beberapa judul syair agama adalah; Syair Hamzah
Fansuri, Syair Perahu, Syair Dagang, Bahr An-Nisa’, Syair
Kiamat, Syair Takbir Mimpi, dan Syair Raksi.39 Syair-syair
tersebut mengandung teks yang tidak sedikit.
Ricklefs mengatakan bahwa bahwa syair-syair dari
karangan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin cenderung
menggambarkan ajaran tasawuf Islam. Selain mereka, ada penyair
lain pada masa kekuasaan Ratu Taj ul-Alam (1641-75). Abdurrauf
namanya, ia merupakan seorang pengarang yang terpenting di
istana dan menulis karya-karya ilmu hukum Syafi’i dan juga ilmu
tasawuf. Namun demikian, dengan masih bertahannya cerita-cerita
Hindu seperti Hikayat Seri Rama, sangat menggambarkan bahwa
kesastraan Melayu tidak seluruhnya didominasi oleh karya-karya
yang berilhamkan Islam. Syair di luar Islam misalnya sajak
macapat.40
39 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011),
hal. 566-611. 40 Sajak ini menggunakan bahasa Jawa yang sangat baik. Kesastraan
yang berbahasa Jawa Kuno mencerminkan peranan penting yang dimainkan Bali dalam memelihara warisan kesastraan pra-Islam Jawa setelah Jawa menjadi Islam. Berhubungan dengan kesastraan Bali terbagi menjadi tiga kelompok atas dasar bahasanya: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan (Jawa-Bali/Bali-Jawa), dan Bali. Buku-buku yang berbahasa Jawa Kuno masih dapat ditemukan di Jawa, namun sebagian besar hanya dikenal dalam bentuk salinan-salinan dari Bali atau Pulau Lombok yang letaknya berseblahan. Ini berhubungan dengan penolakan Bali terhadap Islam dan tetap mempertahankan warisan kesastraan dan agama yang di Jawa telah berubah (namun tidak pernah terhapus) sebagai akibat Islamisasi. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Gajah Mada University Press, Cetakan Ke-10: Yogyakarta, 2011), h. 77-87.
49
Kesastraan yang berbahasa Jawa Pertengahan merupakan
suatu subyek yang problematis. Sebagian besar dari naskah-naskah
itu dinamakan kidung (nyanyian). Naskah-naskah tersebut
terutama berisi legenda-legenda romantis mengenai zaman
Majapahit di Jawa (Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka,
Sunda). Orang-orang Bali juga menulis dalam bahasa mereka
sendiri, terutama mengenai sejarah kerajaan-kerajaan mereka yang
didapati dalam bentuk sajak. Begitupun Suku Bugis dan Makassar
di Sulawesi Selatan, keduanya mempunyai kesastraan yang
berkaitan erat, baik prosa maupun sajaknya. Kesastraan mereka
menggunakan tulisan asli yang nyata-nyata berbeda dari tulisan
Arab maupun Jawa, yang mempunyai kesamaan dengan tulisan
tersebut adalah beberapa tulisan Sumatera yang pada dasarnya
berasal dari India. Selain itu, masih ada tradisi-tradisi kesastraan
Indonesia lain di samping tradisi-tradisi kesastraan tersebut di
atas.41
4. Syair yang Muncul di Buton
Pengaruh ajaran tasawuf dan sastra Melayu tidak hanya
berkembang di pulau Jawa dan Sumatera, akan tetapi pengaruh
tersebut juga sampai ke Sulawesi. Yunus menyebut Buton terkena
pengaruh ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin
Sumatrani sebagaimana yang berkembang di Aceh pada akhir abad
ke-16 dan awal abad ke-17. Lebih lanjut Yunus mengemukakan,
bahwa ajaran yang tampak di Buton pada pertengahan abad ke-17
41 (Ricklefs, 2011) 77-87.
50
adalah ajaran Martabat Tujuh atau konsep manusia sempurna.42
Senada dengan Ricklefs, khususnya Syamsuddin, Abdurrauf, dan
ar-Raniri semuanya menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh
tahapan asal-usul (martabat), yang didalamnya Tuhan
mewujudkan diri-Nya di dunia yang fana ini, yang mencapai
puncaknya pada manusia sempurna/insan kamil.43
Terdapat dua jenis tradisi sastra di Buton, yaitu sastra
tulisan dan sastra lisan. Pada masa kerajaan Islam Buton,
keberdaan sastra lisan awalnya tidak begitu berkembang dalam
lingkungan Keraton. Umumnya sastra jenis ini dari segi isinya
hanya memuat tradisi lokal; di mana pada masa kesultanan
dibersihkan dari kehidupan dunia keraton. Sementara mulainya
sastra tulisan di Buton identik dengan sastra Islam. Selain isinya
memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran Islam, sastra ini
juga ditulis dalam aksara Arab yang oleh masyarakat
pendukungnya menyebutnya buri wolio. Sastra tulisan ini ada yang
berbentuk, prosa, dan syair. Sastra dalam bentuk puisi atau syair
masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan istilah kabanti atau
nazamu.44
Sastra tulisan di Buton secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua golongan. Pertama, ialah karya-karya yang bersifat
sufistik seperti karya-karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin,
42 M. Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal,
(Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2007), hal. 148-149. 43 Ricklefs, 2011: 78. 44 Supriyanto, La Niampe, La Ode Muh. Syukur, dan Muh, Anwar.
Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (Kendari: CV. Shadra, 2009), hal. 86-90.
51
Syeikh Haji Abdul Ganiu (kenepulu bula), Abdul Hadi, Haji Abdul
Rakhim, dan La Kobu. Mereka adalah para ulama lokal yang
mendalam pengetahuannya tentang Islam dan mempunyai
kecenderungan terhadap sufisme. Salah satu Kabanti (syair) yang
cukup populer pada masanya adalah syair bula malino karya MIK.
Sedangkan golongan yang kedua adalah karya-karya yang
memperlihatkan sastra Islam dalam bahasa melayu atau karya-
karya ciptaan baru yang memperlihatkan pengaruh agama atau
peradaban Islam terhadap penulisnya. Karya-karya yang
memperlihatkan pengaruh sastra Islam secara langsung ialah
karya-karya saduran (sastra terjemahan) seperti tula-tulana Nuru
Muhammad, terjemahan dari hikayat Nur Muhammad, tula-tulana
koburu terjemahan dari syair kubur, kitabi masaalah sarewu,
terjemahan dari kitab seribu masalah.45
Kabanti merupakan nyanyian atau syair yang tersimpan
dan terjaga oleh masyarakat Buton. Kabantai Wolio atau syair
Wolio/Buton telah menjadi tradisi nyanyian daerah di kalangan
masyarakat.46 Dalam Wolio Dictionary, kabanti bermakna puisi
syair, nyanyian, sajak.47 Pada pertengahan abad ke-19, Haji Abdul
Gani juga menulis naskah syair (kabanti) seperti MIK. Di
antaranya yang diterjemahkan oleh Abdul Mulku Zahari adalah
45 La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi
Tenggara, (CV. Shadra: 2009), Hal. 86-90. 46 Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk
sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379).
47 J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-Wolio-English-Indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), Hal. 51.
52
Ajonga Yinda Malusa (Pakaian yang Tidak Kusut).48 Termaksud
syair Kanturuna Mohelana (Lampu Orang yang Berlayar) anonim
(Ikram, 2002: 2).49
Di samping menumbuhkan kesusastraan dalam bahasa asli,
beberapa daerah telah membuat karya sastra dalam bahasa Melayu
seperti Aceh, Minangkabau Sulawesi Selatan dan Tenggara, Bima,
dan Maluku. Bahasa itu khususnya digunakan untuk menulis teks-
teks yang mempunyai kepentingan kenegaraan, seperti Hikayat
Aceh (Aceh), Bo’ Sangaji Kai (Bima), Hikayat Tanah Hitu
(Ambon), Istiadat Tanah Negeri Butun (Buton). Di lingkungan
bahasa Sunda dan Jawa tetap dihasilkan sastra agama Islam dalam
bahasa daerah dengan tata aksara Arab yang disesuaikan, yaitu
pegon.50
Berkenaan dengan aksara Arab pada tulisan kabanti,
sebenarnya secara keseluruhan, aksara yang ditemukan dalam
manuskrip mempunyai dua sumber, yaitu India dan Arab, meliputi
kurun waktu abad ke-9 sampai abad ke-20. Kedua sumber tersebut
tersebar ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, Bali, Sulawesi,
dan Maluku. Hadirnya teknologi percetakan yang disebarluaskan
dengan cara pendidikan formal bersama kedatangan bangsa Eropa
48 Achadiati Ikram, Katalok Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku
Zahari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hal. 5. 49 Kanturuna Mohelana menjadi syair yang dianggap sebuah sejarah
yang mengungkap latar belakang nama Buton. Lihat Ikram (2002: 2). 50 Achadiati Ikram dkk, Mukhlis PaEni: Editor Umum, Sejarah
Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 78-79.
53
dan terutama kekuasaan pemerintah kolonial memberi pukulan
telak kepada kehidupan seni tulis tangan.
Menurut Ikram, tradisi manuskrip lambat laun, tetapi pasti,
ditinggalkan untuk suatu teknologi yang lebih mudah. Bukan
hanya itu, aksara daerah akan terdesak oleh jenis tulisan yang
sudah lazim dipakai di dunia para penguasa dari Eropa.
Pertarungan yang tidak seimbang akhirnya menggeser aksara ke
alam sejarah. Begitupun bahasa daerah untuk tulisan, kini dalam
proses kepunahan. Walau masih ada juga masyarakat yang tetap
memilih menggunakan dan memelihara aksara daerah dan tulisan
tangan untuk tujuan-tujuan tertentu.51
C. Media Dakwah
Setiap orang telah menjadikan media sebagai kebutuhan
primer. Itu disebabkan karena seseorang membutuhkannya untuk
mengakses informasi agama, hiburan, pendidikan, dan
pengetahuan tentang apa yang sedang terjadi di muka bumi ini.
Perkembangan teknologi dan informasi menyebabkan lahirnya
perangkat-perangkat canggih yang diproduksi oleh industri.
Dengan demikian, segala hal yang kita ingin tahu dapat diakses
51 Tidak semua komunitas manusia memerlukan aksara atau tulisan,
kata Ong, bahasa hakikatnya adalah lisani (oral). Itu terbukti dalam penelitian bahwa di antara puluhan ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia hanya sekitar 106 yang memiliki sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan. Artinya, sebagian besar tidak mengenal tulisan (Ong, 1980:7). Kemduian, di antara kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup hanya kira-kira 78 yang mempunyai kesusastraan tertulis. Sehingga, dari tempat-tempat rekayasa sistem tulisan yang disebut di atas itulah, dan terutama dari Asia Minor kemudian pengenalan aksara menyebar sehingga banyak bangsa dapat mengambil alihnya dan mentransformasikannya tanpa perlu menciptakannya sendiri. Lihat PaEni (2009: 270 dan 279-280).
54
kapan dan dimana saja. Dokumen-dokumen penting, arsip rahasia
di masa lampau, dan bahkan manuskrip-manuskrip kuno yang
mengandung pesan-pesan penting dan sulit diakses, kini semua
sudah muncul di media cetak maupun elektronik. Menurut Johan
Fornäs, Karin Becker, Erling Bjurström, dan Hillevi Ganetz,
konsumsi masyarakat terhadap media kini tidak lagi dipisahkan
ruang dan waktu, sehingga media telah menjadi alat utama untuk
berkomunikasi lintas ruang dan waktu.52
1. Definisi Media
Definisi media secara umum dapat dipahami sebagai alat
komunikasi. Dari berbagai teori komunikasi massa, pengertian
media cenderung lebih lekat dengan sifatnya yang massa. Menurut
Nasrullah, kebanyakan definisi media memiliki kecenderungan
yang sama bahwa ketika disebutkan kata “media”, yang muncul
bersamaan dengan itu adalah sarana disertai teknologinya. Koran
merupakan representasi dari media cetak, sementara radio
merupakan media audio dan televisi sebagai audio visual
merupakan representasi dari dari media elektronik, dan internet
merupakan representasi dari media online atau di dalam jaringan.53
Menurut McLuhan, medium adalah pesan itu sendiri.
Dengan kata lain, bentuk-bentuk baru media mentransformasikan
(pesan) pengalaman kita akan diri kita dan masyarakat kita, serta
52 Johan Fornäs, Karin Becker, Erling Bjurström, and Hillevi Ganetz,
Consuming Media: Communication, Shopping, and Everyday Life, (New York: Berg, 2007), h. 130.
53 Rulli Nasrullah, Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), h. 3.
55
pengaruhnya sangat jauh lebih penting daripada konten yang
ditransmisikan dalam pesan spesifiknya sendiri. Hubungan media
dan masyarakat, McLuhan menyebut media dengan istilah desa
global (global village) untuk mengacu pada bentuk baru
oraganisasi sosial yang jelas akan muncul ketika media elektronik
secara bersamaan mengikat seluruh dunia menjadi satu sistem
sosial, politik, dan kulutral yang besar. Pernyataan berikutnya,
media adalah perpanjangan manusia. Argument McLuhan tersebut
menjelaskan bahwa media secara harfiah memanjangkan
pandangan, pendengaran, serta sentuhan melalui ruang dan waktu.
Media elektronik akan membuka paronama baru bagi kebanyakan
orang dan memungkinkan kita untuk berada di mana-mana pada
saat yang bersamaan.54
Selain cara pandang tersebut di atas, media dapat dipahami
dengan melihat dari proses komunikasi itu sendiri. Bahkan
mempelajari media juga merupakan pemahaman tentang
bagaimana komunikasi yang dimoderasi secara teknologi terikat
dengan proses yang lebih luas di dunia modern, dari reproduksi
kehidupan sosial setiap hari untuk reorganisasi hubungan sosial
secara global.55 Proses terjadinya komunikasi melalui tigal hal,
yaitu objek, organ, dan medium.56 Pada saat kita membaca media
cetak misalnya majalah, maka majalah adalah objek dan mata
54 Lihat Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis, Teori Komunikasi
Massa: Dasar Pergolakan, dan Masa Depan, Edisi Kelima, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 272-273; McLuhan, Marshall, Understanding media: The extensions of Man, (American Quarterly, 1964) Volume 16, h. 109-110.
55 Shaun Moores, Media Theory: Thingking about Media and Communication (Comedia), (Canada: Routledge, 2005)
56 Nasrullah, 2015.
56
adalah organ. Perantara antara majalah dan mata adalah teks media
cetak. Contoh sederhana tersebut cukup menjelaskan bahwa media
merupakan wadah untuk mengirim pesan dari proses komunikasi.
Ada banyak kriteria yang dapat digunakan untuk melihat
bagaimana media itu. Ada yang membuat media berdasarkan
teknologinya, misalnya media cetak yang menunjukkan bahwa
media tersebut dibuat dengan mesin cetak dan media elektronik
dihasilkan dari perangkat elektronik. Dari sumber yang
menjelaskan bagaimana cara mendapatkan atau bagaimana kode-
kode pesan itu diolah, misalnya media audio visual yang diakses
menggunakan organ pendengaran dan penglihatan. Ada juga yang
menuliskannya berdasarkan bagaimana pesan itu disebarkan.
2. Definisi Dakwah
Makna dakwah secara bahasa berarti: panggilan, seruan,
atau ajakan. Kata tersebut diambil dari bahasa Arab dalam bentuk
mashdar, sedangkan bentuk kata kerja (fi’il) nya adalah berarti:
memanggil, menyeruh, atau mengajak (da’a, yad’u, da’watan).
Orang yang berdakwah disebut Da’i dan yang didakwahi disebut
dengan mad’u.57 Dalam pengertian istilah, dakwah merupakan
panggilan dari Allah Swt dan Rasulullah Saw untuk umat manusia
agar percaya kepada ajaran Islam dan mewujudkan ajaran yang
dipercayainya itu dalam segala segi kehidupannya. Dakwah lekat
dengan kehidupan islami yang memiliki tujuan dan fungsi sosial
57 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 406-407 dalam Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 1.
57
yaitu menghasilkan kehidupan damai, sejahtera, bahagia, dan
selamat. Islam dimaksud adalah penyerahan diri secara mutlak
kepada Allah Swt. dan memeluk Islam sebagai agama dengan
terlebih dahulu beriman kepada-Nya.58
Pendapat lain seperti Al-Ghazali, Sekh Ali Mahfudz,
Bakhial Khaul, dan Quraish Sihab bahwa dakwah mengajak
manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk,
menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari
perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Dakwah juga menjadi satu proses menghidupkan
peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari
satu keadaan kepada keadaan lain. Sejalan dengan definisi yang
dikemukakan oleh McCurry bahwa dakwah merupakan tindakan
memanggil manusia ke jalan Allah.59
Saat ini, untuk menyampaikan dakwah kepada mad’u tentu
sangat membutuhkan seorang da’i yang berkualitas dan mumpuni
dari segi keilmuan. Sebab, lajunya perkembangan informasi bisa
membuat seseorang semakin kritis untuk menerima informasi dari
siapapun. Dengan demikian, dakwah tidak hanya disampaikan
begitu saja namun perlu metode yang baik agar pesan-pesan
dakwah tersampaikan kepada mad’u. Apalagi dengan
58 Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2011), h. 2-3. Lihat juga Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, (Graha Ilmu: Yogyakarta, 2011), h. 24-25.
59 William Wagner, A Comparison of Christian Missions and Islamic Da'wah, (Missiology: An International Review, Vol. XXXI, No.3, July 2003), h. 339; Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Kencana, 2006), h. 7.
58
perkembangan teknologi komunikasi yang memberikan ruang
bebas bagi masyarakat untuk mengakses dan membagikan hal-hal
yang bisa saja mencederai kesucian dakwah dan Islam.
Dalam menyampaikan dakwah, Firman Allah dalam al-
Quran Surat an-Nahl ayat 125 menawarkan tiga metode yang agar
pesan dakwah dapat diterima oleh masyarakat.60 Dari tiga metode
tersebut, Munzier Suparta dan Harjani Hefni menjelaskan:
a. Metode Al-Hikmah
Al-Hikmah diartikan juga sebagai keadilan (al-‘adl)
kebenaran (alhaq), ketabahan (al-hilm), dan kenabian (an-
Nubuwwah). Ada juga yang mengartikan al-hikmah
ssebagai menempatakan sesuatu sesuai proporsinya.
Menurut Toha Yahya Umar, al-hikmah yang dimaksud
adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan
berpikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara
yang sesuai keadaan zaman dengan tidak bertentangan
dengan larangan Tuhan.61 Dalam menghadapi mad’u yang
beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dalan latar
belakang budaya, para da’i sangat memerlukan metode al-
hikmah sehingga muda diterima.
60 Terjemahan Lihat Surat an-Nahl 125, ‘’Serulah manusia kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
61 Dikutip dari Hasanuddnin, Hukum Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35. Lihat Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9.
59
b. Al-mau’idza Al-Hasanah
Meotde ini dipahami sebagai ungkapan atau upaya seorang
da’i menyampaikan dakwah yang mengandung unsur
bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita
gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan.
Metode ini ideal dengan kata-kata yang penuh kasih sayang
dan kelembutan sesuai arti katanya yaitu nasihat,
bimbingan, peringatan, dan pendidikan.
c. Al-Mujadalah
Metode dimaknai sebagai sinergi pendapat yang dilakukan
kedua pihak dan tidak menghindari perdebatan yang
berujung permusuhan. Metode menegaskan agar seorang
da’i mampu memberikan argumentasi yang masuk ken alar
mad’u sekaligus mengakui kebenaran yang ditunjukkan
orang lain secara ikhlas. 62 Kita bisa jumpai bagaimana
metode ini diterpakan di seminar-seminar nasional, dialog,
dan debat ilmiah.
3. Memahami Media Dakwah
Dua pengertian dasar tentang media dan dakwah telah
dijelaskan, akan tetapi tidak mudah membuat sebuah definisi
tentang media dakwah. Dibutuhkan pendekatan dari teori-teroi
media dan dakwah untuk menjelaskannya. Secara sederhana, jika
media dipahami sebagai alat untuk menyampaikan pesan secara
62 Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 15.
60
massa kepada khalayak dan dakwah merupakan seruan untuk
mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan seperti yang telah
dijelaskan di atas, maka media dakwah adalah alat yang digunakan
untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada khalayak.
Media berita dalam paraidgma jurnalistik dan pers, dipakai
untuk menyalurkan informasi yang faktual melalui surat kabar,
televisi, radio, dan internet kepada khalayak. Sementara dalam
perspektif advertising, media digunakan untuk iklan. Penggunaan
media iklan yang paling sering adalah untuk mempromosikan
penjualan produk atau layanan ke konsumen. Misalnya, penjualan
mobil, jeans, hamburger, minuman ringan ini adalah barang dari
iklan untuk konsumen.63
Menurut Horsfield dalam Morgan (2008), media agama
mengekspresikan keterkaitan antara media dan agama. Istilah
media dalam studi media dan agama dapat dipahami secara fokus
dan spesifik atau lebih luas. Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya mengenai definisi dakwah; yaitu menyampaikan
ajaran agama tentang larangan kemungkaran dan anjuran beriman
kepada Allah Swt, sehingga sejalan dengan Horsfield (dalam
Morgan 2008) bahwa media dakwah digunakan untuk
menyampaikan makna religius yang dikemas oleh orang-orang
yang memahami agama sesuai dengan ciri khas mereka masing-
masing juga sesuai kriteria dan sejalan dengan prinsip agama itu
63 W. Richard Whitaker, Janet E. Ramsey, and Ronald D. Smith, Media
Writing: Print, Broadcast and Public Relation , Second Eition, (London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2004), h. 390-391.
61
sendiri.64 Dengan demikian, secara sederhana jika dakwa adalah
pesan agama, maka media dakwah merupakan alat atau saluran
untuk membawa pesan-pesan agama kepada khalayak.
Karena sifat media yang massa, dimana pesan-pesannya
langsung dapat diakses oleh khalayak banyak, maka pesan dakwah
yang disampaikan melalui media akan mudah diakses oleh
khalayak. Ketika pesan dakwah disampaikan menggunakan media
massa seperti koran, majalah, radio, ataupun televisi, pada saat
yang sama pesan dakwah tersebut telah didistrubsikan secara luas
bahkan dapat diakses oleh khalayak dunia. Seseorang bisa
menyampaikan pesan-pesan dakwah di media cetak atau
elektronik dan bahkan dengan berkembangnya tekonolgi yang
karenanya perangkat canggih dibuat sehingga menyapaikan pesan
dakwah saat ini sudah terhubung secara online dengan khalayak
dan juga bisa menggunakan media baru.
Seperti yang Manovich katakan, berbeda dengan media
cetak, fotografi atau televis, media baru, tidak akan pernah
menceritakan keseluruhan cerita.65 Secara ontologis, media baru
dan media lama berbeda secara status. Media baru dalam bentuk
data digital sepenuhnya dapat dimanipulasi. Jadi, apa yang
ditampilkan di media baru dapat berubah makna, sebab sesuatu
yang disimpan dalam file dan database, diambil dan disortir,
64 David Morgan, Key Words in Religion, Media and Culture, (Canada:
Routledge, 2008), h. 111-112. 65 Mark B. N. Hansen, New Philosophy for New Media, (London: The
MIT Press, 2004), h. 30-32.
62
dijalankan melalui algoritma dan ditulis ke perangkat output
sehingga cenderung bisa dimanipulasi.
Bagi Asmuni Syukur, media dakwah adalah segalah
sesuatu yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan
dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat berupa
barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu dan
sebagainya.66
Dr. Taufik al-Wa’iy menyebut beragama-macam sarana
bertabligh atau berdakwah. Apalagi pada era teknologi, telah
bermacam-macam dan beraneka ragam media atau sarana dakwah.
Semuanya dapat dibagi beberapa kelompokkan seperti berikut.
a. Sarana sam’iyah (audio), seperti radio, seminar, khotbah,
diskusi, pelajaran, dan lain-lain.
b. Sarana maqru’ah (bacaan), seperti Koran, majalah, buku,
selebaran, dan lain-lain.
c. Sarana bashriyah (video), seperti televise, drama, bisokop,
dan lain-lain.
d. Sarana syakhsiyah (profil), seperti pertemuan, dakwah
fardiyah, percakapan, basa-basi, dan lain-lain.67
66 Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1983), Hal. 163.; Lihat juga La Ode Chsunul Huluk, Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah Dalam Baris 332-383, UIN Jakarta, 2014.
67 Dr. Taufik al-Wa’iy, “Da’wah Ilallah” Dakwah ke Jalan Allah: Muatan, Saran, dan Tujuan, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Hal. 352.; Lihat juga La Ode Chsunul Huluk, Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah Dalam Baris 332-383, UIN Jakarta, 2014.
63
Beberapa media dakwah yang dikutip oleh Asmuni Syukur
(Syukur: 168-180) adalah sebagai berikut.
a. Lembaga Pendidikan Formal
Lembaga pendidikan formal yang memiliki kurikulum,
siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin, dan
sebagainya. Seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, dan lain sebagainya. Dalam kurikulum yang
dianutnya terdapat bidang studi agama apalagi lembaga
pendidikan yang di bawah lingkungan Kementrian Agama.
Dengan pendidikan agama tersebutlah menunnjukkan
bahwa lembaga formal merupakan media dakwah. Sebab,
pendidikan agama pada dasarnya menanamkan ajaran
Islam kepada anak yang bertujuan melaksanakan perintah
Allah (dakwah).
b. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah kesatuan sosial yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak atau kesatuan sosial yang terdiri dari beberapa
keluarga yang masih ada hubungan darah. Keluarga
memiliki kepala keluarga yang berkuasa atas segalanya di
dalam keluarga dan juga sebagai sosok yang disegani.
Pada umumnya, di dalam keluarga terdapat kesamaan
agama, tapi ada juga bermacam-macam agama yang
dianutnya. Bagi kepala keluarga beragama Islam,
kesempatan yang baik keluarganya dapat dijadikan media
dakwah, seperti membiasakan anaknya shalat, puasa, dan
sebagainya sebagaimana disabdakan Rasulullah saw:
64
اء ن ب ـأ م ه ا و ه ي ـل ع م ه و ب ـر اض و ين ن س ع ب س اء ن ب ـأ م ه و ة لا اص با م ك د لا و ا أ و ر م
ا في م ه ن ـي ـا ب ـو ق ـر ف ـو ر ش ع [الحديث]ع اج ض لم
“Suruhlah anak-anakmu menjalankan ibadah shalat bila
mana sudah berusia tujuh tahun, dan apabila telah berusia
sepuluh tahun pukullah ia (bila tidak mau menjalankan
shalat tersebut) dan pisahkan tempat tidurnya” (Al-
Hadits).
c. Organisasi-organisasi Islam
Oraganisasi Islam sudah tentu berasaskan ajaran Islam.
Begitupun tujuan organisasinya, menyingguny ukhuwah
islamiyah, dakwah islamiah, dan sebagainya. Maka,
organisasi Islam seperti ini dapat dikatakan sebagai media
dakwah.
d. Hari-hari Besar Islam
Sebagai tradisi Umat Islam Inonesia, setiap peringatan
hari besar secara seksama mengadakan upacara-upacara.
Upacara peringatan hari besar Islam dilaksanakan di
berbagai tempat, di istana Negara, kantor-kantor, sampai di
daerha pelosok pedesaan. Di sinilah da’i memiliki
kesempatan yang baik dalam menyampaikan misi
dakwahnya. Baik bersifat pengajian umum maupun
selamatan di surau-surau atau tempat lainnya. Kebaikan
hari-hari besar memang biasa dijadikan sebagai media
dakwah.
65
e. Media Massa
Media yang berupa radio, televisi, surat kabar/majalah,
juga dipergunakan sebagai media dakwah. Baik melalui
rubrik/acara khusus agama ataupun acara/rubrik yang
berbentuk sandiwara, puisi, lagu-lagu, dan sebagainya.
f. Seni Budaya
Beberapa group kesenian dan juga kebudayaan
menunjukkan perannya dalam usaha penyeruan dakwah
Islam (amar ma’ruf nahi mungkar). Seperti group qosidah,
dangdut, musik band, sandiwara, wayang kulit, dan
sebagainya (Syukur:163).
Materi dakwah adalah isi pesan yang disampaikan da’i
kepada mad’u. Pada dasarnya, pesan dakwah itu adalah ajaran
Islam itu sendiri. Secara umum dapat dibagi beberapa kelompok
yaitu.
a. Pesan Akidah, meliputi Iman kepada Allah Swt, Iman
kepada Malaikat-Nya, Iman kepada kitab-kitab-Nya, Iman
kepada Rasul-rasul-Nya, Iman kepada Hari Akhir, dan
Iman kepada Qadha-Qadar.
1. Pesan Syair’ah, meliputi ibadah thaharah, shalat, zakat,
puasa, haji, serta mu’amalah. 1) hukum perdata meliputi:
hukum niaga, hukum nikah, dan hukum waris, dan 2)
hukum publik meliputi: hukum pidana, hukum negara,
hukum perang, dan damai.
b. Pesan Akhlak, meliputi akhlat terhadap Allah Swt, akhlak
terhadap makhluk yaitu manusia, diri sendiri, tetangga,
66
masyarakat, serta akhlak terhadap bukan manusia yaitu
flora, fauna, dan sebagainya.68
Saat ini banyak kita jumpai ceramah keagamaan, nanyian
(musik) religi, sampai film yang berhubungan dengan agama telah
diisi ke dalam CD atau DVD. Begitu juga pementasan budaya
seperti wayang, nyanyian syair agama, dan sebagainya kini mulai
ditampilkan media baru seperti DVD dan CD bahkan
bertransformasi menjadi figur tersendiri dari pesatnya
perkembangan teknologi.
Perlu diingat bahwa media baru merupakan tahapan lanjut
dari media sebelumnya. Creeber dan Martin menyebutkan
beberapa yang tergolong media baru antara lain: Internet, World
Wide Web, Televisi Digital, Sinema Digital, Komputer Pribadi
(PC), DVD (Digital Versatile Disc atau Digital Video Disc), CD
(Compact Disc), Komputer Pribadi (PC), Pemutar Media Portabel
(seperti MP3 Player), Ponsel Seluler (atau Seluler), Video (atau
Komputer) Game Virtual Reality (VR), Artificial Intelligence (AI),
dan sebagainya.69
McLuhan mengemukakan apa yang dia sebut sebagai
global village, bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat
terbuka karena perkembangan tekonologi komunikasi. Manusia
sangat tergantung pada teknologi, terutama teknologi komunikasi
68 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Rosdakarya: Bandung, 2010),
hal. 20. 69 Glen Creeber and Royston Martin, Digital Cultures, (New York:
Open University Press, 2009), h. 2.
67
untuk mendapatkan informasi.70 Sejalan dengan yang
dikemukakan Biagi bahwa saat ini media sangat dekat dengan
manusia dan terus hadir dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang
bisa mendengarkan berita radio meski berada di kamar mandi, dan
mendengarkan laporan-laporan lalu-lintas pada saat berada di jalan
raya. Surat kabar terus menawarkan berita lokal dan nasional yang
memberi banyak informasi yang kita inginkan, sementara pada
saat bersamaan, media online terus-menerus memperbaharui
berita-berita penting. Majalah mengiklankan permainan viedo
terbaru, model-gaya terkini, dan bahkan membantu kita untuk
merencanakan agenda penting seperti pernikahan, seminar, dan
lain sebagainya.71
Pendapat Mcluhan dan Biagi tersebut cukup menunjukkan
bahwa seseorang bisa mengerjakan pekerjaan rumah di laptop,
mengakses berita, bahkan membaca puisi-puisi keagamaan sambil
menyempatkan diri untuk berinteraksi dengan teman di facebook.
4. Dakwah di Masa Lampau
Awal dakwah dimulai setelah turun ayat 1-5 dari Surat Al-
Alaq pada 17 Ramadhan hari Isnin 13 tahun sebelum Hijriah (6
Agustus 610 M) sebagai ayat Al-Qur’an yang pertama turun.72
Kemduian turunlah ayat 1 sampai 7 dari Surat Al-Muddatsir,
70 McLuhan, Marshall, Understanding media: The extensions of Man,
(American Quarterly, 1964) Volume 16, h. 109-110. 71 Shirley Biagi, Media/Impact: Pengantar Media Massa, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2010), h. 5. 72 Muhammad Ridha, Muhammad Rasulullah (Kairo: Darul Ihya
Kutubul Arabiyah), 1980, h. 69 dalam Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. (Arnold, 1981) Rajagrafindo Persada, 2011), h. 11.
68
sebagai perintah Nabi Muhammad Saw untuk memulai
dakwahnya.73 Rasulullah Saw. diutus ke muka bumi adalah untuk
menyempurkan akhlak. Rasulullah adalah seorang juru dakwah
yang menyiarkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Karena
kehidupannya yang merupakan standar teladan yang baik (uswatun
hasanah) bagi umatnya, maka jelaslah bahwa yang dibawa Nabi
Muhammad Saw adalah dakwah Islam. Semangat dakwah sangat
menentukan dalam sejarah Islam sehingga dakwah telah sejalan
dan sejalin di dalam agama sejak awal.
Nabi Muhammad yakin tentang misi kerasulannya setelah
mengalami pertentangan jiwa dan kecemasan yang cukup lama.
Sehingga, dakwah beliau yang pertama-tama adalah ditujukan
kepada lingkungan anggota keluarganya. Di antara inti ajaran yang
disampaikan Nabi kepada mereka adalah masalah tauhid,
penghapusan patung-patung berhala, dan kewajiban manusia
beribadah kepada Allah Swt. Keberhasilan dakwah beliau adalah
isteri beliau, Khadijah, sebagai orang pertama yang masuk Islam
dan mengikut setelah itu para sahabat dan pengikutnya.74
Kemudian setelah Rasulullah wafat, dakwah Islam mulai
berkembang di kalangan bangsa-bangsa Asia Barat, Afrika,
Spanyol, Turki, Persia, Asia Tengah, Mongol, India, Cina, hingga
73 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikhul Islam as-Siyasi (Kairo: Maktabah
an-Nahdatul Misriyah, 1948), juz I h. 67-70; Muhammad Husain Haikal, Hayatu Muhammad (Kairo: Darul Qalam, 1978) h. 136 dalam Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 11.
74 Homas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam (Jakarta: Widjaya (Arifin, 2011), 1981), h. 10.
69
Indeonesia dan Malaysia.75 Saat ini, dakwah bukan saja mengenai
tentang fenomena keagamaan (tehologi) tetapi juga sudah
mencakup fenomena sosial yang berlangsung melalui proses sosial
dan memiliki impilkasi sosial. Artinya, dalam dakwah ada peran
(da’i, mubaligh, atau guru agama) yang mengajak pihak lain
(jama’ah atau mitra dakwah) tentang amar ma’ruf nahi munkar,
atau untuk memahami dan menguasai ilmu dan teknologi.76
Metode yang dipakai ulama berdakwah di masa lalu terus
berkembang hingga saat ini. Saluran atau media untuk
menyampaikan pesan dakwah ke mad’u dimulai dengan media
yang ada sekarang (surat kabar, televisi, radio, dan internet). Selain
berdakwah melalui mimbar-mimbar, para da’i di masa lampau
menyampaikan pesan dakwah dengan cara menulis dan
menyanyikan syair serta menulis kitab sastra. Menulis syair dan
kitab agama mulai disemarakkan ketika adanya kertas. Hal
tersebut dimanfaatkan oleh para ulama-ulama seperti dahulu untuk
menulis buku ilmiah serta karya-karya naratif yang berhubungan
dengan keagamaan agar tujuan mereka dapat tersampaikan lebih
luas.
Raffaele Santoro, Director of the Venetian State Archives,
menegaskan bahwa naskah kitab dan syair agama di masa dulu bisa
memberikan banyak informasi dan juga menunjukkan bagaimana
metode dakwah yang digunakan. Mneurut Santoro, arsip
75 Homas W. Arnold, 1981, h. 40. Lihat Juga h. xv-xviii. 76 Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi,
(Yogyakarta: Graha Ilmu: 2011), h. 38.
70
manuskrip banyak menyimpan catatan besar tentang masa lalu.77
Dari arsip naskah kuno tersebut kita bisa melihat bagaimana narasi
dakwah dibangun sehingga kita dapat menggali makna apakah
tradisi hikayat, menulis kitab, dan menulis syair agama disebut
sebagai media dakwah. Sebagian besar ahli filolog seperti
Chambert-Loir dan Fathurhahman dalam Tjandrasasmita (2009:
193) berpendapat bahwa studi naskah (manuscript) sangat penting,
karena naskah menyimpan informasi yang berlimpah, lebih banyak
daripada sastra.78
Kita sudah membahas tentang media dan dakwah serta
telah menguraikan definisi dari media dakwah. Namun jika ditarik
mundur ke masa lalu, maka untuk mengemukakan media yang
digunakan saat berdakwah oleh ulama terdahulu, tentu
memerlukan konsep dan kajian yang relevan. Cara berdakwah
Hamzah Fansuri sebenarnya telah menunjukkan apa saluran
(media) yang dipakai untuk menyampaikan pesan agama. Kita
ketahui bahwa Fansuri telah menulis syair yang banyak
menerangkan tentang ajaran Islam. Beberapa judul syair yang
dibuat oleh Fansrui adalah: Syair Ibadat, Syair Sifat Dua Puluh,
Syair Rukun Haji, Syair Kiamat, Syair Cerita di Dalam Kubur, dan
sebagainya.79
77 Maria Pia Pedani, Inventory of The Lettere e Scritture Turchesche in
The Venetian State Archives, (Leiden: Boston, (Fang, 2011) (Saputra, 2011) 2010)
78 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 191-192.
79 Lihat Fang, 2011, h. 603-604.
71
Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman
penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Dalam pola
perkembangan dakwah di Indonesia sebelum masa penjajahan,
baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk Islam
secara massal. Menurut para pakar sejarah, bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut
disebabkan saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan
politik yang berarti. Yaitu, ditandai dengan berdirinya beberapa
kerajaan bercorak Islam, seperti Kerjaan Aceh Darussalam,
Malaka, Demak, Buton, Cirebon, Ternate, dan lain-lainnya.
Hefni mengatakan, dalam literatur yang beredar dan
menjadi arus besar sejarah, masuknya Islam ke Indonesia selalu
diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia,
ataupun Gujarat. Selain itu, menurut Slamet Mulyana bahwa Islam
di Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur
Tengah, tetapi juga berasal dari Cina, tepatnya Yunan. Setelah
armada Tiongkok Dinasti Ming yang pertama kali masuk
Nusantara melalui Palembang tahun 1407 M, kemudian
Laksamana Ceng Ho membentuk Kerjaan Islam di Palembang
yang dalam perkembangannya Kerjaan Islam Demaklah yang
lebih dikenal.80
Sunan Bonang atau Maulana Makhdum Ibrahim adalah
putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Malina. Pemilik julukan
Prabu Nyokrokusumo itu adalah termasuk penyokong dari Kerjaan
80 Harjani Hefni, Lc, M.A, Pengantar Sejarah Dakwah (Kencana:
Jakarta, 2007), hal. 171-172.
72
Demak dan ikut pula membantu pendirian Masjid Agung di Kota
Bintaro, Demak. Selain mendirikan pendidikan dan dakwah Islam,
salah satu program dakwah yang dikembangkannya adalah
berinteraksi dengan masyarakat dan menciptakan gending-gending
atau tembang-tembang Jawa yang sarat dengan misi pendidikan
dakwah Islam (Hefni, 2007: 177). Seperti halnya MIK yang
membuat syair (kabanti) Buton, tembang ciptaan Sunan Bonang
juga membuat seperti Simon, Dandang Gulo, Pangkur, dan lain-
lain.
Sunan Bonang, seperti yang ditulis MIK dalam manuskrip
kabanti, juga melakukan kodifikasi atau pembukuan dakwah yang
diandili oleh murid-muridnya. Kitab itu ada yang berbentuk puisi
maupun prosa yang sampai saat ini dikenal sebagai Suluk Sunan
Bonang. Berkenaan dengan hal tersebut, syair yang dibuat dengan
pendekatan tasawuf atau religionitas adalah juga merupakan saran
dakwah Islam.81
Yusuf Qardhawi dalam Retorika Islam mengatakan bahwa
dakwah di jalan Allah SWT dapat dilakukan dengan menulis buku,
membangun lembaga pendidikan, mempresentasikan ceramah-
ceramah di pusat keilmuan, atau menyampaikan khutbah jum’at
dan sebagainya. Ada pula yang melakukan dakwah dengan kalimat
thayibah (baik), pergaulan yang baik dan keteladanan. Selain itu,
ada lagi bentuk dakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas
81 (Hefni H. , 2007).
73
material demi kemaslahatan dakwah, bahkan dakwah melalui seni,
baik seni suara maupun seni musik.82
Menurut Esa Poetra, yang dikutip Aripudin, bahwa lagu-
lagu dan puji-pujian pada masa penjajahan merupakan media yang
bisa menumbuhkan ketenangan dan keberanian. Pada masa Nabi
Muhammad saw, pernah suatu ketika dua kali pasukan tentara
Islam dipukul tentara Quraisy, Rasulullah sempat meminta
dikumpulkan penyanyi-penyanyi terbaik dengan meminta Hindun
menjadi lead vocal-nya. Dengan segala ridha-Nya, perang ketiga
akhirnya dimenangkan pasukan Islam.83
Berdasarkan prisnsip al-hikmah dan biqadri ‘uquulihim,
Wali Songo memanfaatkan seni budaya lokal (seni suara, seni
karawitan, dan wayang) sebagai media dakwah. Sebagaimana
Islam-Demak masyarakat umumnya menggunakan tembang gede,
sebuah seni suara Jawa-Hindu. Karena tembang tersebut dirasa
kurang menarik dan kurang praktis, maka Sunan Kalijaga, Sunan
Giri, dan Sunan Bonang (Wali Janget Tinelon/Tiga Serangkai)
mengganti dengan tembang macapat dengan lagu-lagunya yang
terkenal. Tembang macapat memiliki banyak lagu, di antaranya
lagu Kinanti karya Sunan Kalijaga, isi syairnya sebagai berikut:
Bismillahi- sun pitutu (r) Pitutur laku basuki Ing donya tum’keng delaha (n) Mung samungkem mring Ilahi Hasirik laku duraka
82 Acep Aripuddin, Dakwah Antarbudaya, (Rosdakarya, Bandung:
2012), hal. 137. 83 Lihat Aripudin, 2012: 137-138.
74
Asih tresno mring sasami
Artinya:
Bismillahi aku memberi wejangan Wewejang merupakan laku selamat Di dunia sampai akhirat Hanya taat kepada Tuhan Pantang melakukan perbuatan durhaka Kasih sayang kepada sesama manusia84
Islam telah memberikan acuan moral (akhlak) bagi para
penyair untuk membela agama, menonjolkan nilai-nilai yang baik,
melawan musuh-musuh kaum muslimin dengan kata-kata dan
membantah setiap tipu daya para pendusta. Al-Qur’an juga
mencela cara-cara yang dilakukan para penyair sesat, yang
membuat kalimat-kalimat tak berakhlak dan berisi khayalan,
mimpi-mimpi dan tipu daya yang menjauhkan pembacanya dari
hakikat kebenaran. Seperti firman Allah QS. Asy-Syu’ara: 224-
227)
Bahkan, Rasulullah Saw mendukung syair-syair yang
menyerukan pada keutamaan dan nilai-nilai yang terpuji. Sebuah
riwayat yang menyebutkan: beliau bersabda, “Sesungguhnya dari
syair itu terdapat hikmah” juga “Dengan syair itu, kalian laksana
melempar busur-busur panah ke mereka” (Bukhari, Al-Jami’ Ash-
Shahih, juz 7, hal. 107).85
84 Nawari Ismail, Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya,
(PT. Bulan Bintang, Jakarta: 2004), hal. 113-114. 85 Muhammad Amahzun, Manhaj Dakwah Rasulullah, (Qisthi Press,
Jakarta: 2004), hal.201-202.; Lihat juga La Ode Chsunul Huluk, Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah Dalam Baris 332-383, UIN Jakarta, 2014.
75
Semua syair agama yang telah ditulis akan berbeda dengan
syair yang hanya dituturkan. Di masa lalu, semarakknya nyanyian
dan syair agama belum bersentuhan dengan media elektronik
seperti radio, televisi, dan internet belum ada sehingga syair agama
ditulis layaknya media cetak seperti koran. Jika syair dijadikan
sebagai saluran untuk menyampaikan narasi agama, maka
nyanyian atau syair dapat dipandang sebagai media dakwah.
Dengan hadirnya media baru seperti yang dikemukakan Creeber
dan Martin,86 maka syair atau kitab sastra agama akan muda
diakses oleh khalayak.
D. Budaya dan Artefak Budaya
Secara sederhana, budaya bisa dimaknai sebagai nilai-nilai
yang ada di antara komunitas dan artefak budaya merupakan
wujud dari nilai-nilai tersebut.87 Termasuk juga dalam memahami
syair, misalnya dibacakan dengan nyanyian dan ritual tertentu
berdasarkan situasi budaya di dalam masyarakat itu.
Mieke Bal (1999:1) mengemukakan naratologi sebagai
ilmu yang mempelajari tentang naratif yang meliputi teks-teks
naratif, citra, tontonan, peristiwa, dan artefak-artefak kebudayaan
lainnya yang diasumsikan memiliki atau menyampaikan suatu
cerita. Adapun cerita menurut Bal 1999:3, diartikan sebagai suatu
teks yang mana seorang agen terkait atau menyampaikan suatu
86 (Martin, 2009). 87 Rulli Nasrullah, Etnografi Virtual: Riset Komunikasi, Budaya, dan
Sosioteknelogi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017), hal. 11.
76
cerita melalui suatu media tertentu seperti bahasa, citra, suara,
bangunan, atau juga kombinasi antara hal-hal tersebut.88
1. Arti Budaya
Budaya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses
interaksi antar individu. Nilai-nilai ini diakui, baik secara langsung
maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi
tersebut. Bahkan terkadang sebuah nilai tersebut berlangsung di
alam bawah sadar individu dan diwariskan pada generasi
berikutnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 169),
budaya bisa diartikan sebagai 1) pikiran, akal budi; 2) adat istiadat;
3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang
(beradab, maju); dan 4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
yang sudah sukar diubah.89
Kajian budaya atau dikenal dengan cultural studies, Stuart
Hall menyebutnya sebagai formasi diskursif. Hall mengatakan
bahwa kajian budaya adalah sebuah kluster (atau formasi) ide-ide,
gambaran-gambaran (images), dan praktik-praktik (practise) yang
menyediakan cara-cara menyatakan, bentuk-bentuk pengetahuan,
dan tindakan yang terkait dengan topik tertentu, aktivitas sosial,
atau tindakan institusi dalam masyarakat.90 Tradisi kajian budaya
menjadi tradisi studi yang banyak dilakukan awal kemunculannya
88 Kukuh Yudha Karnanta, Struktural (dan) Semantik: Teropong
Strukturalisme dan Aplikasi Teori Naratif A. J. Greimas, Atavisme, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 171—181.
89 Lihat Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 2.
90 Stuart Hall, 1997 dalam Rachmah Ida, Motode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya, (Jakarta: Kencana, 2014, h. 1-4.
77
oleh para peneliti dan akademisi di Centre of Contemporary
Cultural Studies (CCCS), Universitas Birmingham di Inggris pada
tahun 1960an. Kemudian tradisi tersebut meluas ke kalangan
intelektual seperti Amerika, Afrika, Australia, Asia, Amerika
Latin, dan Eropa, dengan setiap formasi yang berbeda-beda objek
kajiannya.91
Dreama Moon (1996) mencatat bahwa bagaimana budaya
didefinisikan menentukan bagaimana budaya dipelajari. Dia juga
berpendapat, untuk memperluas gagasan budaya agar
memasukkan gagasan perjuangan atas kekuasaan.92 Secara
pendekatan teori, misalnya dalam tradisi antropologi, Clifford
Geerzet (1973: 89) dalam (Nakayama, 2010) menjelaskan bahwa
budaya menunjukkan pola makna yang ditransmisikan secara
historis yang diwujudkan dalam simbol-simbol, sistem konsepsi
yang diwariskan serta diekspresikan dalam bentuk simbolik
dengan cara di mana seseorang berkomunikasi, mengabadikan dan
mengembangkan pengetahuan mereka tentang sikap terhadap
kehidupan.93 Dalam definisi ini, budaya merupakan nilai,
kebiasaan, karakteristik, perilaku, atau kepercayaan yang terus
berkembang.
91 Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practies, Fourth Edition
(London: Sage Publication) dalam (Ida, 2014, p. 1). 92 Judith N. Martin and Thomas K. Nakayama, Intercultural
Communication in Contexts, Fifth Edition (New York: McGraw-Hill, 2010), h. 48.
93 Geertz merupaka cendekiawan interpretatif, dipengaruhi oleh studi antropologis, juga memandang budaya sebagai yang dibagi dan dipelajari; namun, mereka cenderung berfokus pada pola perilaku komunikasi kontekstual, bukan pada persepsi yang terkait dengan kelompok. Lihat (Martin and Nakayama, 2010:87).
78
Geert Hofstede (1984), seorang psikolog sosial yang
terkenal, mendefinisikan budaya sebagai "pemrograman pikiran"
(programming of the mind) dan setiap manusia memiliki pola
pemikiran, perasaan, karakteristik, dan sudut pandang yang
berbeda. Hofstede menggambarkan bagaimana pola-pola tersebut
berkembang melalui interaksi dalam lingkungan sosial dan dengan
berbagai kelompok individu, terutama dalam keluarga dan
lingkungan, kemudian di sekolah dan di kelompok pemuda,
kemudian di perguruan tinggi, dan sebagainya. Perbedaan-
perbedaan itu muncul karena seseorang telah berinteraksi dengan
individu lain; misalnya seseorang anak akan memiliki karakter
yang berbeda sesuai dengan karakter yang dialamai dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Sejalan dengan Singer 1987:
34 dalam (Nakayama, 2010), ia mendefiniksan budaya sebagai
pola belajar, persepsi yang terkait dengan kelompok termasuk baik
sikap verbal dan nonverbal, nilai-nilai, sistem kepercayaan, sistem
tidak percaya, dan perilaku. Ilmuwan sosial juga telah memberikan
persepsi bahwa pola pemikiran dan makna budaya memengaruhi
proses persepsi kita, yang pada gilirannya, juga memengaruhi
perilaku kita.94
Sementara dalam pendekatan etnografi, Gerry Philipsen
(1992:7-8 dalam Martin dan Nakayama, 2010: 87) menegaskan,
budaya mengacu pada pola simbol, makna, bangunan, dan aturan
yang secara sosial dibangun dan secara historis ditransmisikan.
Marvin Harris (1968: 16) dalam Nasrullah (2014: 17)
94 (Martin and Nakayama, 2010:87).
79
mendefinisikan kebudayaan sebagai pola tingkah laku yang tidak
bisa dilepaskan dari ciri khas kelompok masyarakat tertentu,
misalnya ada istiadat.95
Definisi budaya dalam pandangan semiotika diartikan
sebagai persoalan makna. Menurut Thwaites et al. (2002:1 dalam
Nasrullah, 2014:17) menjelaskan bahwa budaya adalah
sekumpulan praktik sosial yang memproduksi, mendistribusikan,
dan mempertukarkan makna. Makna tersebut berada dalam tataran
komunikasi baik komunikasi antar individu maupun komunikasi
yang terjadi dalam kelompok. Sehingga budaya bukanlah ekspresi
makna yang berasal dari luar kelompok dan juga bukan menjadi
nilai-nilai yang baku. Sifat alamiah makna pada dasarnya tidaklah
bisa kekal karena manusia, bagi sebagai individu maupun anggota
kelompok, selalu dipengaruhi aspek-aspek sosial, misalnya
pendidikan, politik, ekonomi, dan sebagainya. Bagi Thwaites et
al., aspek sosial yang memberikan khazanah pemaknaan di mana
makna itu selalu berpindah, membelok, mengalami reproduksi,
dan juga saling dipertukarkan. Sehingga, budaya tidak terjadi
dalam ruang imajinasi, melainkan berada dalam praktik
komunikasi antarmanusia. Misalnya, kita bisa mengetahui apa
yang dipikirkan seseorang dari dari kalimat yang dia tulis tanpa
pernah sekalipun bertemu dengan orang tersebut. Namun, dalam
konteks budaya melalui perspektif semiotika ini, makna kalimat
95 Lihat Martin and Nakayama, 2010, h, 88 dan Nasrullah 2014, h. 17
80
yang ditulis tentu saja sesuai dengan praktik sosial yang secara
umum berlaku.96
2. Konsep-konsep Kunci Kajian Budaya
Budaya yang dimaksud Hall adalah meliputi: praktik-
praktik budaya, representasi-representasi, bahasa dan kebiasaan-
kebiasaan dari suatu masyarakat tertentu. Menurut Barker, ada
beberapa konsep kunci kajian budaya antara lain:
a. Praktik-praktik budaya (signifying practise) dalam
masyarakat yang menghasilkan makna. Budaya yang
dimaksud adalah makna sosial yang dibagi, yakni
bagaimana memaknai dunia dan kehidupannya. Dalam
kajian budaya, bahasa bukan merupakan medium yang
netral bagi formasi makna dan pengetahuan tentang dunia
objek yang independen ‘out ther’ atau di luar. Bahasa
digenerasikan melalui tanda-tanda yang terbentuk dan
dihasilkan dalam sistem sosial. Maka dari itu, produksi
makna itulah yang disebut sebagai praktik-praktik
signifikansi.
b. Representasi. Dalam studi-studi budaya, pertanyaan paling
mendasar adalah pada representasi-representasi, yakni
bagaimana dunia dikontstruksi secara sosial dan
direpresentasikan kepada dan oleh kita dalam cara-cara
yang bermakna. Maksudnya adalah, kita perlu melakukan
investigasi untuk melihat bagaimana makna diproduksi
96 Nasrullah, 2014, h. 17
81
dalam berbagai konteks. Representasi-representasi buda
dan makna memiliki meterialitas tertentu: yakni melekat
pada suara (sound), tulisan-tulisan/pesan/symbol
(isncriptions), objek, gambar-gambar (images), buku-
buku, majalah-majalah, dan program-program televisi.
Materialitas ini semuanya diproduksi, diaktifkan,
digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.
c. Materialisme dan Non-reductionism.97 Kajian budaya
selama ini fokus pada ekonomi industrialisasi modern dan
budaya media yang terorganisir dalam garis kapitalis.
Representasi kemudian dilihat sebagai hasil produksi dan
korporasi yang diatur dan diarahkan oleh motif atau
orientasi profit/keuntungan. Perkembangan dari kajian
budaya meliputi kajian-kajian yang mengarah pada bentuk-
bentuk materialisme budaya yang menekankan pada kajian
bagaimana dan mengapa makna-makna dihasilkan seperti
itu pada kondisi atau saat diproduksi. Maka, kajian budaya
menekankan pada hal-hal seperti: siapa yang memiliki dan
mengontrol produksi budaya; dan konsekuensi-
konsekuensi dari pola-pola kepemilikan dan control dari
cultural landscape atau konteks budaya. Non-reductionism
yang dimaksud adalah kajian budaya selama ini dalam
tradisinya melihat budaya memiliki makna-makna spesifik
sendiri, aturan-aturan dan praktik-praktik yang tidak dapat
97 Non-reductionism dalam kajian budaya mempertanyakan soal kelas,
gender, seksualitas, ras, etnisitas, kebangsaan dan usia yang mempunya kekhasan tertentu yang tidak dapat dikurangi baik oleh ekonomi politik maupun sebaliknya (Nasrullah, 2014).
82
dikurangi atau tidak bisa dijelaskan sendiri dalam
terminologi kategori lain atau level/tingkatan formasi
sosial. Bagi tradisi kajian budaya, budaya akan tergantung
pada referensi tempat di mana proses produksi (makna)
terjadi. Dengan kata lain, kajian budaya menolak
kepentingan ekonomi yang memengaruhi makna dari
budaya yang diproduksi.
d. Artikulasi. Kajian budaya juga memilih menggunakan
konsep ‘artikulasi’ dalam rangka untuk menteorikan
hubungan-hubungan antara komponen dan formasi sosial.
Konspe artikulasi adalah konsep yang dimaksudkan adalah
upaya melakukan representasi/ekspresi dan membawa
bersama atau putting together. Maksudnya, representasi
gender artinya membawa bersama soal ras atau bangsa.
Konspe artikulasi juga mengandung makna mendiskusikan
hubungan antara budaya dan ekonomi politik.
e. Kekuasaan (power). Dalam kajian budaya, konsep
kekuasaan menjadi sentral pertanyaan dalam studi-
studinya. Kekuasaan selalu berada di setiap tingkatan
hubungan sosial. Kekuasaan tidak hanya menyatuka
keseragaman, atau menekankan tekanan melalui
subordinasi terhadap proses-proses sosial, tindakan sosial,
dan hubungan yang terjadi. Dengan kata lain, kajian budaya
sangat memperhatikan persoala kelompok-kelompok yang
tersubnordinasi atau disubordinasi, baik kelas sosialnya,
ras, gender, bangsa, kelompok, dan sebagainya.
83
f. Budaya popular. Kajian budaya melihat budaya popular
seringkali menjadi dasar kajiannya. Budaya pop yang
diproduksi menghasilkan banyak sekali praktik-praktik
proses produksi makna yang beragam. Dalam budaya pop,
nila-nilai, ideology, subordinasi, representasi dan
eksistensi kekuasaan dan ekonomi politik diartikulasikan.
Program-program televisi, iklan-iklan, buku-buku,
majalah, dan sebagainya menjadi medium ‘menuliskan
(inscribe) kepentingan, kekuasaan, nilai-nilai, ideologi,
subrodinasi, dan sebagainya.
g. Teks dan Pembaca/Penonton. Kajian budaya
memperhatikan elemen medium seperti teks, terutama
praktik-praktik teks yang terhegemoni. Teks tidak hanya
berupa tulisan, melainkan juga gambar (images), suara
(sounds), objek (seperti pakaian), aktivitas (seperti menari
dan olahraga). Selama hal-hal ini merupakan sistem tanda
dan bisa disamakan sebagai mekanisme ‘bahasa’ maka hal-
hal ini disebut sebagai teks budaya atau cultural texts. Teks
akan bermakna menjadi pembaca atau penontonya. Teks
merupakan bentuk representasi yang polysemic atau
mempunyai makna yang lebih dari satu atau tidak tunggal.
Sehingga kajian budaya perlu memperhatikan pembaca
atau audiens sebagai bagian penting yang menyebabkan
teks itu bekerja (text work). Audiens menjadi penting untuk
melihat bagaimana makna diproduksi. Juga bagaimana
makna diproduksi dalam hubungan antara teks itu sendiri
84
dan audiens. Momen konsumsi teks lalu menjadi penting
sebagai momen produksi yang sangat bermakna.
h. Subjektifitas dan Identitas. Momen konsumsi teks yang
dilakukan oleh audiens (pembaca maupun penonton)
merupakan proses yang dibentuk oleh sunjektifitas dan
identitas lalu menjadi isu sentral bagi kajian budaya di
tahun 1990an. Kajian budaya kemudian mengungkap lebih
detail tentang: bagaimana kita menjadi orang seperti
sekarang ini; bagaimana kita menjadi orang seperti
sekarang ini; bagaimana kita diproduksi sebagai subjek dan
bagaimana kita mengidentifikasi dengan deskripsi-
deskripsi (secara emosional) tentang diri kita sebagai laki-
laki atau perempuan, sebagai orang berkulit hitam atau
putih, sebagai orang muda atau tua, dan sebagainya. Dalam
tradisi studi-studi budaya, argumen utamanya, yang
dikenal dengan ‘anti-essentialism’, melihat bahwa
identitas-identitas bukanlah sesuatu yang ada/exist, mereka
tidak mempunyai kualitas-kualitas esensial atau universal.
Dengan kata lain, bahwa identitas-identitas itu adalah
konstruksi-konstruksi diskursif, produk dari diskursif-
diskursif atau standar orang mengatakan tentang dunia.
Identitas-identitas itu dibuat dan dikonstitusikan, tidak
ditemukan oleh representasi, yang dikenal dengan
bahasa.98
98 Barker 2012: 7-10 dalam Ida, 2014: 4-9.
85
3. Artefak Budaya
Perlu diketahui, menurut Hoenigman dalam
Koentjaraningrat (2000), ada tiga wujud budaya yaitu: (1) ideas
(ide/gagasan) yang menghasilkan sistem budaya/adat-istiadat, (2)
activities (tindakan) yang menghasilkan sistem sosial, dan (3)
artifact (artefak) yang menghasilkan kebudayaan fisik.
Ketiga wujud tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, ide/gagasan/nilai/norma/peraturan merupakan sesuatu
yang bersifat abstrak, kerangka pemikiran dalam otak, kerangka
perilaku yang ideal, berupa tatanan/peraturan/norma ideal.
Misalnya: cita-cita, visi dan misi, norma/aturan-aturan, dan
seterusnya. Kedua, tindakan/aktivitas merupakan sesuatu yang
konkret, tindakan berpola manusia dalam masyarakat, perilaku
manusia dalam hidup bersosialisasi dan berkomunikasi, perilaku
manusia dalam bergaul dengan sesamanya, perilaku manusia
sehari-hari menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata
kelakuan. Misalnya: proses belajar-mengajar, proses administrasi,
proses kreatif, proses produksi, dan seterusnya. Ketiga,
artefak/kebudayaan fisik merupakan sesuatu yang konkret, benda-
benda hasil karya manusia, baik yang besar-besar maupun yang
kecil-kecil. Misalnya: bangunan, ruang, buku, komputer, candi,
dan seterusnya.99
Melihat gagasan Geerzet (1973: 89) mengenai budaya,
manuskrip merupakan hasil dari karya budaya (artefak budaya)
99 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan
86
sebagai bentuk atau cara di mana seseorang berkomunikasi,
mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang
sikap terhadap kehidupan.100 Sehingga, seperti yang diungkapkan
Hall bahwa ide/gagasan, aktifitas, dan praktik-praktik budaya
dalam suatu kelompok masyarakat tentu akan menghasilkan cara-
cara menyatakan bentuk-bentuk pengetahuan, dan tindakan yang
terkait dengan topik yang ditentukan, aktivitas sosial, atau tindakan
institusi dalam masyarakat.101 Manuskrip kuno yang berisi syair
agama merupakan karya atau praktik (practise) dari ide/gagasan
dan aktifitas masyarakat yang berkembang.
Sedyawati (2008) dalam Azwar (2015) mengatakan bahwa
salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Indonesia adalah nilai-
nilai luhur dan kearifan lokal yang tersimpan dalam artefak
kebudayaan seperti manuskrip kuno. Manfaat mempelajari
manuskrip kuno adalah memetik kearifan dari perbandingan antara
apa yang telah terjadi di masa lampau dan kenyataan yang hidup
dan berkembang di masa kini. Isi manuskrip kuno itu dapat dilihat
sebagai suatu yang memiliki kebermaknaan bagi dunia (Memory
of the Word), yang dapat dilihat dari sudut nilai kesejarahan, nilai
perkembangan ilmu, serta nilai kemanusiaan pada umumnya.102
Manuskrip kuno menggambarkan kondisi sosial, politik, sejarah,
100 Lihat (Martin and Nakayama, 2010:87). 101 Stuart Hall, 1997 dalam Rachmah Ida, 2014, h. 1-4. 102 Edi Sedyawati, Kedwiakasaraan Dalam Pernaskahan Nusantara,
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008 dalam Azwar, Alih Media Manuskrip Kuno sebagai Pengembangan Ekonomi Kreatif, (Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Volume 5 No. 1 April 2015), hal. 2-3.
87
ekonomi, kebudayaan suatu kelompok masyarakat pada
zamannya.
Bagi Yusuf (2006) dalam Azwar (2015), manuskrip kuno
sebagaimana layaknya sebuah media, juga berperan untuk
menyampaikan dan mendokumentasikan serta memuat berbagai
macam ilmu pengetahuan. Berbagai macam muatan manuskrip
kuno itu di antaranya adalah ajaran agama (syair agama dan kitab
ajaran keagamaan), karya sastra, sejarah, undang-undang, ramalan
dan teks-teks azimat. Manuskrip kuno mengandung nilai-nilai
luhur bangsa dan kearifan lokal yang sangat berharga bagi
pembentukan karakter bangsa. Nilai-nilai luhur dan kearifan lokal
itu sayangnya terpendam bersama catatan-catatan sejarah dan
artefak kebudayaan, seperti di dalam manuskrip kuno itu. Selain
orang-orang Eropa, orang Belanda khususnya, yang sangat rajin
memburu, mengumpulkan, mempelajari dan mengoleksi
manuskrip kuno Nusantara, sangat sedikit perhatian dan usaha
yang diberikan terhadap karya-karya klasik berupa manuskrip dari
masa lampau ini.103
Tidak hanya Bal (1999: 1 dalam), Herman juga menyebut
artefak jenis teks sebagai artefak semiotika. Menurutnya, narasi
teks berasal dari dalam pikiran sebagai pola informasi murni,
terinspirasi oleh pengalaman hidup atau diciptakan oleh imajinasi,
terlepas dari representasi mereka melalui tanda-tanda medium
103 M. Yusuf, Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau,
(Tokyo: 2006) dalam Azwar, 2015: 3.
88
tertentu.104 Syair dari manuskrip kuno lahir dari ide atau gagasan
dan aktifitas lingkungan yang terus berkembang sehingga
memengaruhi pola pikir, perilaku, aturan-aturan yang berlaku.
E. Kerangka Berpikir
Penelitian ini mengkaji manuskrip Kabanti Bula Malino
karangan MIK yang terdiri dari 383 bait. Syair agama yang ditulis
menggunakan aksara Arab-Melayu ini menjadi manuskrip
kesultanan Buton paling popular yang mengandung nasihat-
nasihat untuk menyiapkan diri sebelum ajal menjemput. Setiap
tema konsep dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan bahasa
lain adalah perbuatan baik dan perbuatan buruk dimuat dalam syair
sehingga membawa pembaca ke dalam alur cerita.
Kronologi cerita yang dibentuk dalam manuskrip Bula
Malino akan diteliti berdasarkan kata, kalimat, atau pernyataan
yang menegaskan perbuatan baik dan perbuatan buruk. Penelitian
ini fokus pada narasi dakwah pada definisi amar ma’ruf nahi
mungkar yang memungkinkan skema yang termasuk dalam kajian
naratologi Algridas Julien Greimas.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
naratologi Algridas Julien Greimas melalui penelusuran skema
aktan berdasarkan kajian kata, kalimat atau pernyataan yang
berhubungan dengan konsep berdakwah yang terdapat di dalam
manuskrip. Aktansial Greimas sangat sesuai digunakan untuk
memahami bagaimana dakwah disampaikan melalui narasi media
104Lihat (Herman, 2007); (Karnanta, 2015).
89
(narasi dakwah dalam manuskrip) di masa lalu dengan tradisi
budaya masyarakatnya.
Syair tidak seketika dipahami meskipun telah dibaca
seluruhnya. Syair Kabanti Bula Malino dengan tulisan Arab-
Melayu membutuhkan metode transliterasi, terjemahan, dan
pemaknaan secara metodologis untuk mengungkap makna lain
dalam setiap kata dan baitnya. Isi Bula Malino berbeda dengan
cerita tentang tokoh seperti novel atau cerita dongeng. Sehingga
skema aktan Greimas akan sulit menganalisis tanpa dibantu
dengan pendekatan lain seperti teori dakwah untuk mengungkap
makna manuskrip agama di kesultanan Buton.
MIK mengarang syair tersebut tentu berdasarkan hasil
interaksi dengan masyarakat saat itu. Tradisi menulis syair agama
dan cara menyampaikan pesan-pesan dakwah dalam kabanti Bula
Malino dapat mendefinisikan ciri khas adat istiadat masyarakat
Buton. Termasuk bagaimana cara masyarakat memandang
mansukrip kabanti jenis agama di kesultanan Buton. Dengan
demikian, maka tentu berbeda pula cara masyarakat sekarang
bagaimana kabanti dipahami dan dilestarikan.
Hadirnya media dan media baru juga mengubah
masyarakat menyikapi cara melestarikan dan menyampaikan
kabanti. Apalagi di era media baru yang dibarengi dengan
perkembangan teknologi, tentu akan menjadi cara pandang baru
memosisikan manuskrip syair agama di dalam kehidupan sehari-
hari. Sehingga, analisis dan temuan penelitian terhadap naraasi
90
dakwah manuskrip di kesultanan Buton ini perlu memerhatikan
studi media dan kajian budaya.
91
BAB III
MUNCULNYA KABANTI DI BUTON
A. Asal Usul Nama Buton
Ada empat pengertian mengenai nama Buton: 1) nama
yang diberikan untuk sebuah pulau, 2) nama kerajaan atau
kesultanan, 3) nama sebuah kabupaten, dan 4) nama untuk
menyebut orang Buton.
Sebagai nama kerajaan, Buton sudah diperkirakan telah
dikenal sebelum Majapahit menyebutnya sebagai salah satu daerah
“taklukannya”. Ketika Kakawin Negarakartagama (1365)
mengungkap nama Buton, yang disebut bergandengan dengan
Banggawi, daerah itu sudah tentulah sudah berpenghuni bahkan
sudah suatu tatanan sosial dan politik. Selain Buton, nama Wolio
juga dilekatkan pada nama kerjaan yang sama. Wolio merupakan
nama yang berkaitan dalam agenda pembentukan permukiman
tersebut, yang tidak dikisahkan dalam satu mitos tentang migrasi
kelompok orang datang dari Johor.
Nama Wolio muncul dari kata welia yang artinya
‘membuka’ atau ‘menebangi kayu’.1 Konon awal kata welia ini
muncul dari datangnya kelompok yang dipimpin empat orang (Mia
Patamiana, berarti ‘si empat orang’) membuka lahan untuk
11 Anceaux, 1987: 191.
92
permukiman dengan “membuka” wilayah atau “menebangi kayu-
kayu” yang disebut welia.
Datangnya Islam dipahami sebagai terciptanya mitos baru
tentang Buton dan Wolio. Dalam mitos ini, Buton dianggap berasal
dari bahasa Arab: butun atau bathni atau bathin, yang berarti
‘perut’ atau ‘kandungan’. Pertelaan mengenai nama-nama itu
terungkap di dalam naskah Kanturuna Mohelana (hlm. 326)
sebagai berikut.
Tuamo si iaku kupatindamo Ikompona incana uincana Kaapaaka upeelu butuuni Kuma anaiya Butuuni kakompo
Motodikana inuncana kuruani Yitumo duka nabita akooni Apaincanamo sababuna tana siy Tuamo sii awwalina wolio
Inda kumondoa kupetula-tulakeya Soo kudingki awwalina tua siy Taokana akosaro butuuni Aaboorasimo pangkati kalangaana
Artinya:
Demikian itu saya bertanya minta kejelasana Di perut siapa kamu nyata Karena engkau suka Butuuni Kuartikan Butuuni mengandung
Yang tertulis di dalam Qur’an Di situlah pula nabi kita bersabda Menyatakan sebabnya tanah ini Demikian ini awalnya Wolio
Tidak selesai kuceritakan
93
Hanya kusinggung awalnya seperti ini Sebabnya bernama Butuuni Menempati pangkat yang tinggi
Berikut kisah mitos Wolio dengan versi Islam. Konon
berawal dari datangnya seorang musafir Arab yang diperintah
Rasulullah Muhammad untuk berlayar ke timur kemudian
menemukan pulau yang sudah lama merindukan kedatangan Islam.
Ketika itu seorang musafir dianggap sebagai “waliulloh” (Pesuruh
Tuhan), dan dari kata itulah dikenal kata Wolio.2
Wilayah kekuasaan Buton mencakupi pulau Buton Muna,
pulau terbesar kedua yang juga disebut Wuna atau Una. Pulau-
pulau lainnya ada Kabaena3 dan sekumpulan pulalu yang dikenal
dengan Kepulauan Tukang Besi. Kepulauan Tukang Besi terdiri
atas pulau-pulau Wangi-Wangi atau Wanci-Wanci, Kledupa yang
disebut juga Kadupan, Kadupa, atau Caydupa, Tomea, dan
Binngko.4 Selain itu, terdapat sejumlah pulau kecil di sekitar Buton
dan Muna: Tikola, Tobea Besar dan Tobea Kecil, Mangkasar,
Batauga (Bataoga), Kadatuwang, Masirieng, Siompo.
Adapun wilayah kesultanan Buton yang menyatu dengan
daratan pulau Sulawesi meliputi Poleang dan Rumbia. Kedua
wilayah ini berbatasan di sebelah barat dengan wilayah Luwu,
sebelah utara dengan dengan Laiwui, dan sebelah timur dengan
2 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu
Wana, (Wdatama Widya Sastra, Edisi Revisi, Jakarta: 2018), hal. 29-30. 3 Kabaena atau Kubaena atau Kobaena atau Kambaena. 4 Keempat pulau tersebut kini membentuk sebuah kabupaten dengan
akronim Wakatobi: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomea, Binongko. Lihat Zuhdi, 2018: 31.
94
Selat Tiworo. Ada satu pulau lagi yang diakui sebagai wilayah
kesultanan Buton, yakni Wawonii, terletak di sebelah utara Pulau
Buton, tapi pulau ini masih menjadi pertikaian antara Buton dan
Ternate sampai pertengahan abad ke-19.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Buton sekarang hamper
seluruhnya termasuk daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang
dibentuk pada tahun 1964.5 Batas wilayah Provinsi ini di sebelah
utara dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi
Tengah, dan di sebelah timur dengan Laut Banda, di sebelah
selatan dengan Laut Flores, dan di sebelah barat dengan Teluk
Bone. Provinsi yang mencakup daerah daratan (jazirah bagian
tengah Sulawesi) dan daerah kepulauan ini memliki wilayah seluas
kurang lebih 38.140 km2, sedangkan wilayah perairan (laut) kira-
kira 110.000 km2. Jadi, provinsi ini memiliki luas perairan tiga kali
dari luas daratannya.6
1. Berdirinya Kesultanan Buton
Masyarakat Buton menganggap peletak dasar Kerajaan
Wolio (Buton) Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati
(Hikayat Sipanjonga).7 Lalu perkawinan Sipanjonga dengan
5 Provinsi Sulawesi Tenggara awalnya terdiri atas kabupaten Buton,
Muna, Kendari, dan Kolaka. Dengan pelaksanaan Otonomi Daerah 1999, Provinsi Sulawesi Tenggara memekarkan wilayah kabupaten Buton menjadi Kabupaten Buton (induk), Buton Utara, Buton Selatan, Buton Tengah, dan Wakatobi (Wanci-Kaledupa-Tomea-Binongko). Lihat Zuhdi, 2018: 32.
6 Alala, 1992: 4-5 dalam Zuhdi, 2018: 32. 7 Sipanjonga, pemilik kelompok, adalah seorang hartawan dan
dermawan yang berasal dari Pulau Liya (diperkirakan adalah Pulau Riau). Ia bermimpi didatangi seorang tua yang menyuruhnya pergei ke tempat lain yang lebih baik. Lihat Zuhdi, 2018: 42.
95
Sabanang saudara perempuan Simalui, melahirkan anak laki-laki
bernama Betoambari. Ia (Betoambari) merupakan tokoh penting
dalam pendirian Kerajaan Buton. Betoambari mengadakan
perjalanan ke Kamaru, di bagian timur Buton. Betoambari kawin
dengan putri Kamaru, sehingga bertambah lagi wilayah pengaruh
cikal bakal Kerajaan Buton (Wolio).
Dalam tradisi lokal, ada kisah seorang putri misterius yang
dianggap turut menjadi pendiri Kerajaan Buton. Putri yang
bernama Wakaka itu muncul dari “buluh gading”. Sementara itu,
disebutkan juga adanya tokoh misterius lain yang ditemukan dari
sebuah jaring di sungai di Wakarumba. Tokoh itu seorang pemuda
tampan yang masyarakat kenal dengan nama Sibatara. Wakaka
anak perempuan Batara Guru yang bermukim di langit, sedangkan
Sibatara cucu seorang raja dari Majapahit.8
Betoambari kemudian mengawinkan Wakaka dengan
Sibarata, lalu Wakaka menjadi Raja Buton. Dari perkawinan itu
lahir tujuh anak perempuan, yang tertua Bulawambona, yang
kawin dengan La Baluwu. Lalu Wakaka bersama dengan enam
anak perempuannya kembali ke langit. Bancapatolah, anak laki-
laki tertua Bulawambona dan La Baluwu, menurunkan Murhum,
yang kemudian menjadi raja Buton. Pada masa pemerintahan
Murhum inilah Islam masuk ke Kerajaan Buton.
Dengan masuknya Islam, kemudian dikenal pula mitos
yang bercorak Islam. Dilihat dari lapis-lapis mitos yang muncul
8 Vonk, 1937: 20 dalam Zuhdi, 2018: 61
96
dalam konteks asal-usul, maka corak berikut merupakan lapis yang
berdasarkan Islam. Mitos asal-usul tentang penduduk Buton
dimulai dari kisah berikut.
“Perjalanan Nabi Muhammad ke suatu pulau di timur yang muncul dari lautan dan belum berpenduduk. Kembalilah ia kepada Tuhan menyampaikan apa yang dilihatnya. Tuhan mengenalinya kira-kira sama dengan “Tanah Roem”. Tuhan bertanya lagi kepada Muhammad, “ Apa nama tanah itu?” dijawab, “Butu’ni”. Tapi, arti dari kata ini tidak diketahui”.9
Murhum mempunya dua anak laki-laki dan perempuan
yang bernama Paramasuni. Kedua anak laki-laki itu masing-
masing menjadi raja, dan dilanjutkan oleh cucu mereka masing-
masing. La singka dan La Bula. Ketiga anak Murhum dikenal
sebagai kamboru-mboru talu miana dan menurunkan tiga
golongan bangsawan yang disebut kaomu, yang meliputi 1) tapi-
tapi, yakni keturunan La Singka; 2) kumbewaha, yaitu keturunan
La Bula, dan 3) tanailandu, yang merupakan keturunan
Paramasuni.
Raja keenam Buton yang memerintah kira-kira tahun 1491-
1537 inilah yang pertama kali, menurut tradisi lokal, menggunakan
gelar sultan. Sesudah wafat ia terkenal dengan sebutan Sultan
Murhum. Suatu wilayah kekuasaan yang disebagai kesultanan,
umum dikenal dalam sejarah Indonesia sesudah masuknya Islam.
Sebutan “sultan” ditiru dari negeri-negeri Arab atau Timur Tengah
9 J. Couvreur, Ethnograusche Overzicht van Moena, Raha 1935: 1.
William Dampier, A New Voyage Round The World, London: The Agronaut Press, 1927 dalam Zuhdi, 1987: 60-61.
97
untuk raja yang telah dikenal sebelumnya. Sultan untuk pertama
kali digunakan di Buton oleh Laki Laponto dengan gelar Sultan
Qaimuddin (Peletak Agama). Sebelum itu para penguasa tertinggi
di wilayah politik Buton disebut “raja”.10
2. Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat
Masyarakat Buton mayoritas penganut Islam fanatik. Orang
Buton yang berganti agama dianggap kafir (kafiri). Ada beberapa
versi tradisi lokal mengenai masuknya Islam di Buton. Islam
masuk kira-kira tahun 1540. Menurut tradisi lokal, pembawa Islam
ke Buton ialah Syaikh Abdul Wahid, putra Syaikh Sulaiman
keturunan Arab yang beristri putri sultan Johor. Sekembali dari
Ternate melalui Adonara menuju Johor, Syaik Abdul Wahid
berpapasan dengan guru Imam Pasai, bernama Ahmad bin Qois Al
Aidrus, di perairan Flores (dekat pulau Batuatas). Sang guru
menugaskan muridnya untuk tidak segera kembali ke Johor,
melainkan terlebi dahulu menuju ke utara, yakni negeri Buton.
Perahu yang ditumpangi Syaikh Abdul Wahid berlabuh di
Burangasi, di Rampea bagian selatan pulau Buton. Kedatangannya
menimbulkan kecurigaan penduduk sekitar pantai yang selalu
bersiaga menghadapi segala kemungkinan munculnya pasukan La
Bolontio pemimping bajak laut dari Tobelo. Untuk sementara
waktu mereka tidak diperbolehkan mendarat.11
10 Zuhdi, 2018: 62. 11 La Ode Abu Bakar, Sejarah Masuknya Islam di Buton dan
Perkembangannya. Makalah Seminar Masuknya Islam di Buton, Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, 1980 dalam Zuhdi, 2018: 84.
98
Versi di atas diperkuat dengan adanya kisah yang berasal
dari sumber Melayu bahwa pada tahun 1564 seorang bernama
Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al Patani mengadakan
perjalan dari Patani ke Buton agar penduduknya memeluk Islam.12
Penyebutan orang Buton sebagai suatu kesatuan etnis
sebenarnya tidaklah tepat karena yang mendiami wilayah
Kesultanan Buton merupakan penduduk yang beragam.13 Asal
usul penduduk Buton sangat beragam, antara lain dari Toraja,
Bugis, dan Makassar.14 Penduduk Buton diklasifikasi menjadi
lima kelompok besar: orang Buton yang mendiami Pulau Buton,
orang Muna yang mendiami Pulau Muna, orang Moronene yang
mendiami Poleang dan Rumbia, orang Kabaena yang mendiami
Pulau Kabaena, dan penduduk yang mendiami Kepulauan Tukang
Besi. Sehingga, orang Buton merupakan kelompok sosial yang
heterogen dan tidak menggunakan satu bahasa, tetapi beberapa
bahasa yang berbeda.
Selain kelompok etnis tersebut di atas, terdapat pula
kelompok orang yang dikenal dengan sebutan orang Bajo, Bajau,
atau Bajao. Karaktersitik kemaritiman orang Bajo menjadikan
mereka tersebar luas mencakupi pantai timur Sabah, Kepulauan
Sulu, Selat Makassar, pantai Timur Kalimantan, Sulawesi Maluku,
12 Abdul Rahman al-Ahmadi, Sejarah Hubungan Klentan/Patani,
sebagaimana dikutip Pelras Religion, Tradition, and Dynamic of Islamization in South Sulawesi, dalam No. 57, April, 1993: 137 dalam Zuhdi, 2018: 84.
13 De Jong, 1919: 92 dalam Zuhdi 2018: 35. 14 Bergh, 1937 dalam Zuhdi 2018: 35.
99
dan Nusa Tenggara. Mereka menyebut diri sebagai Orang Sama,
sedangkan sebutan orang Bajo diberikan oleh orang luar.15
Orang Bajo juga tersebar di perairan sekitar pulau-pulau
Buton, yaitu Pulau Kabaena, Poleang, Muna Timur, Kepulauan
Tukang Besi—terutama di kaledupa—dan di Kepulauan Tiworo.16
Selain itu mereka juga terdapat di Pasar Wajo17 (sekarang menjadi
sebuah kecamatan) di bagian selatan Pulau Buton. keberadaan
orang Bajo mempunya peran tersenidir bagi Kesultanan Buton.
Pada salah satu dari dua belas pintu gerbang benteng Keraton
Buton terdapat nama Lawana Wajo.18 Pintu-pintu itu diberi nama
sesuai dengan nama atau gelar petugas yang mengawasinya.19
Pintu-pintu itu digunakan orang dari berbagai kelompok atau
daerah yang hendak menghadap sultan atau untuk urusan
pemerintahan lainnya.20
Tradisi, budaya dan adat istiadat di Buton selain
mengandung nilai-nilai hidup juga mengandung nilai-nilai Islam,
yang tetap terpelihara sejak ajaran Islam maju dan pesat
15 Lapian, 1992: 10-12; 1996: 57 dalam Zuhdi 2018: 36. 16 Vonk, 1937: 19 dalam Zuhdi, 2018: 36. 17 Wajo dalam bahasa Wolio adalah Bajo. Jadi Pasar Wajo adalah Pasar
(orang) Bajo. Lihat Anceaux, 1987:19. Wajo bukan mengaju pada nama tempat di Sulawesi Selatan, tetapi pasarnya orang Bajo yang kini berubah menjadi Kabupaten Buton.
18 Lawana Wajo adalah bahasa Wolio, Lawa artinya “pintu gerbang” dan Wajo sebutan untuk orang Bajo. Lihat catatan di atas, lihat Anceaux 1987: 92-93, 190.
19 Zahari, 1977, I: 156-7) dalam Zuhdi, 2018: 36. 20 Zuhdi, 2018: 37.
100
berkembang di Pulau Buton.21 Meskipun demikian, tradisi yang
bernuansa Islami ini juga banyak yang terancam punah, akibat sifat
keterbukaan masyarakat Buton secara umum.22
Tradisi harian orang Buton pada beberapa desa masih
mengimplementasikan adat dan tradisi yang mengandung nilai-
nilai Islam. Pemimpin adat di Buton biasanya dikenal dengan
istilah parabela. Parabela untuk kondisi sekarang berperan sebagai
kepala adat, yaitu seseorang yang diangkat berdasarkan
musyawarah adat oleh pemuka-pemuka adat yang memiliki peran
penting dalam bidang kemasyarakatan khususnya dalam
menyikapi kondisi sosial budaya, keagamaan dan adat istiadat
seperti urusan sengketa perdata, perkawinan, upacara
kekeluargaan, upacara adat dan urusan penting lainnya. Peran
tersebut sangatlah berkaitan dengan keahliannya sebagai kepala
adat. Disamping itu, peran strategis parabela sebagai tokoh
masyarakat juga melestarikan budaya lokal seperti
Kagasia/Pasampea (Pesta Adat), Kaombo (Pelarangan), kakopoa
(Pemberian Sesajen), Tempoa (penentuan waktu/kutika musim
tanam/membangun rumah, dan hal-hal baik lainnya dalam
kegiatan sehari-hari) di Desa Kaongkeongkea. Kagasia/Pasampea
(pesta adat) rutin setiap tahun dilaksanakan dua kali, yaitu pada
21 Muhammad Alifuddin, 2007, Islam Buton (interaksi Islam dengan
Budaya Lokal), Disertasi Bidang Ilmu Agama Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
22 Pim Schoorl, 2003, Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, DjambatanKITLV, Jakarta.
101
bulan April (paska panen musim hujan) dan pada bulan Oktober
(paska panen musim kemarau).23
3. Bahasa dan Kesenian Tradisional
Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa (1994)
memetakan beberapa bahasa yang ada di wilayah bekas
Kesultanan Buton. Ada enam belas nama bahasa yang diakui
penduduk setempat: Morunene, Wowoni, Kalisusu, Kambowa,
Kaumbewaha, Cia-Cia, Gonda Baru, Todanga, (kedelapan bahasa
ini terdapat di Pulau Buton), Wasilomata, Muna, Jawa (ketiganya
di Pulau Muna), Siompu, Rahantari (di Pulau Kabaena), serta Pulo
(Kapota), Pulo (Kaledupa) Pulo (Tomia), dan Pulo (Binongko)
(keempat bahasa ini terdapat di Kepulauan Tukang Besi).
Dalam peta hasil penelitian tersebut tidak terlihat bahasa
Wolio. Akan tetapi, dalam penelitian bahasa-bahasa kemaritiman
di Buton, Liebner (1990) menyebut adanya bahasa Wolio. Liebner
membagi bahasa-bahasa kemaritiman ke dalam Binongko, Tomea,
Cia-Cia, Muna/Siompu, dan Wolio. Bahasa Wolio merupakan
bahasa resmi resmi pemerintahaan Buton. Fungsi bahasa ini
sebagai alat untuk mengintergrasikan wilayah-wilayah kekuasaan
Buton. Oleh sebab itu mayoritas pejabat pemerintah diangkat dari
penduduk yang dapat menggunakan bahasa Wolio. Bahasa ini
23 Rafik, 2013, Peran Parabela Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Adat
(Studi di Desa Kaongkeongkea Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton), Skripsi S1 Jurusan Antropologi, FISIP Univ. Halu Oleo, Kendari; Burhan dan Imelda Wahyuni, Rutinitas Adat Orang Buton: Membangun Peradaban dan Karakter yang Sejahtera dan Berkeadilan Sosial di Tengah Arus Globalisasi, STAIN Sultan Qaimuddin Kendari, Al-Izzah, Vol. 9 No. 2, November 2014.
102
memperoleh masukan dari unsur-unsur bahasa Melayu, Bugis, dan
Arab. Beberapa contoh dapat dipaparkan seberapa besar pengaruh
bahasa-bahasa itu di dalam kosakata Wolio. Bandingkan kosakata
kerja dan harta (Melayu) menjadi karajaa dan arataa (Wolio),
kosakata khatib dan zaman (Arab) menjadi hatibi dan zamani
(Wolio).24
Selain tari-tarian, kesenian tradisional Buton dalam aspek
nyanyian daerah juga memiliki ciri khas. Antara lain seperti
kabanti jenis agama dan kabanti jenis syair percintaan muda mudi.
Dari kabanti, masyarakat mengadopsi bahasa dan langgamnya ke
penciptaan lagu-lagu daerah, misalnya: Lagu Tanah Wolio (Tanah
Wolio), Ngkururio (Burung Nuri), Wandiu-ndiu (Ikan Duyung),
dan masih banyak lagi yang lainnya. Begitupun pada tarian.
Penciptaan tarian oleh orang-orang di lingkungan kesultanan kini
masih dipraktikkan, misalnya: Tari Bosu (Tarian Mangkuk), Tari
Potimbe (Tarian Perang), Tari Linda (Tarian Linda), dan lain
sebagainya.
B. Posisi Kabanti di Buton
Ada dua jenis kabanti di Buton, yaitu kabanti yang tidak
memakai alat musik dan kabanti yang memakai alat musik. Jenis
pertama (kabanti tanpa alat musik) identik dengan kelompok
bangsawan yang isinya nasihat-nasihat agama. Kedua, (kabanti
dengan menggunakan alat musik) masuk ke golongan bukan
bangsawan yang masyarakat Buton menyebutnya sebagai
24 Lihat Vonk, 1937: 59 dikutip Zuhdi, 2018: 37; Anceaux, 1987.
103
golongan muda-mudi. Teks kabanti yang tergolong bukan kabanti
bangsawan (muda-mudi) mengandung syair-syair percintaan.25
Versi lain mengenai masuknya Islam ke Buton pada tahun
1580 ketika Sultan Baabullah dari Ternate memperluas
kekuasaannya.26 Dari kedua versi tersebut, orang Buton cenderung
menetapkan yang pertama bahwa Islam masuk pada tahun 1540,
tidak langsung dari Ternate, tetapi dari Solor.27
Dalam lingkungan masyarakat Buton (Wolio), dikenal
empat lapisan masyarakat; 1) kaum kaomu, dari golongan ini
sultan dipilih dan beberapa kedudukan tertentu dicadangkan bagi
mereka; 2) kaum walaka, yang juga tergolong elite penguasa: para
wakil walaka memlilih sultan; 3) kaum papara, penduduk desa,
yang hidup dalam masyarakat yang agak otonom, dan 4) kaum
batua, yang biasanya bekerja untuk para kaomu atau walaka.
Lapisan tertinggi adalah kaomu, yakni ningrat atau bangsawan.28
Lapisan kaomu mencakup keturunan dan garis bapak
pasangan raja pertama. Para penguasa sultan dipilih dari kaomu
lalu berkembang kebiasaan dan melekatkan sebuah gelar di depan
nama para anggota golongan masyarakat ini dengan La Ode bagi
kaum laki-laki dan Wa Ode bagi kaum perempuan. Lapisan walaka
25 Supriyanto dalam Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara,
(Kendari: 2009), hal. 86; LaYusri, wawancara via telepon, 2018, pukul 16.42 WIB.
26 A. Ligvoet, Beschrijving en Geshiednis van Boeton. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 1987, 26: 1-112, dalam Zuhdi: 2018: 86.
27 Zuhdi, 2018: 84-86. 28 Lihat Supriyanto, La Niampe, La Ode Muh. Syukur, dan Muh,
Anwar, 2009: 80-81.
104
dalam dokumen sarana Wolio (konstitusi), bahwa mereka
diturunkan dari garis bapak para pendiri Kesultanan Buton melalui
suatu sistem perkawinan seorang laki-laki kaomu dapat mengawini
seorang perempuan dari lapisan walaka. Para wakil walaka dapat
memilih dan memecat seorang penguasa sesuai yang disyaratkan.
Sementara lapisan papara disebut budak adat namun mereka
berpeluang memiliki jabatan dalam organisasi desa tetapi tidak
diperhitungkan menduduki jabatan penting kesultanan. Adapaun
lapisan batua (budak) meskipun disebut tidak memliki lapisan,
tetapi mereka sudah membentuk satu kelompok di pusat
kesultanan dan di desa-desa. Dulu mereka diperlakukan sebagai
budak belian dan senantiasa bergantung pada pemiliknya.
Ciri Kabanti Bula Malino sebagai jenis kabanti bangsawan
yang tidak menggunakan alat musik dapat dilihat dari narasinya
yang meliputi nasihat-nasihat agama. Nasihat dalam kabanti ini
diawali dengan cerita kematian. Dituliskan dalam Bula Malino
bahwa ajal kematian pasti akan menjemput dan sudah merupakan
takdir Tuhan. Teks kabanti MIK seolah menegaskan kepada
dirinya sendiri bahwa sebelum kematiannya tiba, maka segera dia
memohon kepada Tuhan agar diberi kekuatan iman serta dapat
mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan teguh.29
Hampir semua kabanti Wolio jenis nasihat agama
mengandung ajaran baik-buruknya tingkah laku kita dan
mengetahui gambaran jati diri kita. Menurut Al Mujazi, kabanti
29 La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu
Badaruddin Al-Buthuni, (Kendari, FKIP Unhalu, 2009), Hal. 20.
105
karya MIK menggambarkan sejarah dan situasi budaya di
kesultanan Buton (termasuk situasi budaya di lingkungan Benteng
Keraton Buton). Seperti kabanti-kabanti yang ditulis selain MIK,
juga mengandung ajaran agama untuk menuju pada kesalehan dan
inasnul kamil (pribadi paripurna).30 Kabanti bermakna puisi syair,
nyanyian, sajak.31 Senada dengan Syaifuddin, objek atau kunci
akhir daripada kabanti ini adalah untuk betul-betul menjadi
seorang insan kamil di hadapan Allah Swt, di mana waktu itu
kabanti diajarkan dalam bentuk pendidikan informal yang
materinya tertuju kepada ketinggian tauhid seseorang.32
Menurut Supriyanto, La Niampe, La Ode Muh. Syukur,
dan Muh, Anwar (2009), sastra tulisan di Buton secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, ialah karya-karya
yang bersifat sufistik seperti karya-karya Sultan Muhammad Idrus
Kaimuddin, Syeikh Haji Abdul Ganiu (kenepulu bula), Abdul
Hadi, Haji Abdul Rakhim, dan La Kobu. Mereka adalah para
ulama lokal yang mendalam pengetahuannya tentang Islam dan
mempunyai kecenderungan terhadap sufisme. Salah satu Kabanti
30 Al Mujazi, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya,
Sambali, Baubau, Sulawesi Tenggara). Al Mujazi adalah seorang pemerhati dan penjaga naskah-naskah asli Wolio. Aktivitas hariannya menjaga Museum Kebudayaan Wolio di Badhia. Ia juga menyimpan dan memelihara peninggalan kebudayaan Wolio yang benda dan tak benda dengan rapih dan terjaga.
31 J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), Hal. 51.
32 Syafiuddin, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya Bataraguru, Baubau, Sulawesi Tenggara). Syafiuddin adalah seorang Tokoh Adat Kebudayaan Wolio. Selain mengkaji kabanti, ia sekaligus pemerhati budaya pernikahan wolio (buton) dalam hal ini oleh masyarakat disebut Boka. Ia Guru Besar di Universitas Dayanu Ihsanuddin Baubau.
106
(syair) yang cukup populer pada masanya adalah Kabanti Bula
Malino karya Sultan MIK.
Sedangkan golongan yang kedua adalah karya-karya yang
memperlihatkan sastra Islam dalam bahasa Melayu atau karya-
karya ciptaan baru yang memperlihatkan pengaruh agama atau
peradaban Islam terhadap penulisnya. Karya-karya yang
memperlihatkan pengaruh sastra Islam secara langsung ialah
karya-karya saduran (sastra terjemahan) seperti tula-tulana Nuru
Muhammad, terjemahan dari hikayat Nur Muhammad, tula-tulana
koburu terjemahan dari syair kubur, kitabi masaalah sarewu,
terjemahan dari kitab seribu masalah.33
Kabanti Bula Malino berdasarkan pandangan beberapa
tokoh sebenarnya mengekspresikan sistem pemahaman di dalam
pelaksanaan tasawuf, sebagai salah satu pengamalan tarekat yang
digemari oleh orangtua di masa lampau. Karena itulah, umumnya
kabanti karangan MIK termasuk syair Bula Malino selalu
didekatkan dengan etika Islam, yang mana ajarannya adalah
tentang rukun Iman dan Islam.34 Kabanti dipakai setiap kali oleh
masyarakat, di samping untuk pengkajian nilai-nilai keislaman,
mereka juga langsung mengamalkan isi dari pada kabanti tersebut.
Masyarakat sudah mengenal narasi teks dan alur cerita dalam
33 Supriyanto, La Niampe, La Ode Muh. Syukur, dan Muh, Anwar.
Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (Kendari: CV. Shadra, 2009), hal. 86-90.
34 Hiroko K. Yamaguchi, Manuskrip Buton: Kesitimewaan dan Nilai Budaya, Sari 25 (2007) 41 -50.
107
kabanti yaitu mengenai tujuan penulis menulis syair agama: yaitu
tentang kedekatan hamba dengan Tuhan.
C. Mengenal Muhammad Idrus Kaimuddin (MIK)
MIK merupakan seorang Sufi ternama dari Buton. Ia
diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18, karena pada saat itu
sedang menduduki jabatan sebagai Sultan Buton pada tahun 1824
atau sekitar berusia 40 tahun. MIK menerima pendidikan Islam
dari kakeknya, La Jampi, yang juga pernah menjadi Sultan dengan
gelar Sultan Qa’im al-Din Tua (1763-1788). Sampai pada tahun
1974, orang Buton masih menemukan jejak tempat ia dibina oleh
kakeknya dalam pengetahuan agama, khususnya tasawuf. Tempat
itu dikenal dengan Zawiyah.35
Sejak masa kanak-kanak MIK telah memperlihatkan sifat-
sifat terpuji sebagai pengaruh dari pendidikan tasawuf yang
diperolehnya. Kepribadiannya yang baik terbawa hingga ia
menjabat sebagai Sultan. Kedudukannya sebagai Sultan
merupakan bukti bahwa ia memiliki sifat-sifat yang terpuji
sebagaimana yang diisyaratkan dalam Undang-Undang Dasar
Sultanat Buton Martabat Tujuh tentang syarat-syarat pegawai
Sultanat. Disamping sebagai Sultan dan ulama, MIK juga dikenal
oleh masyarakat sebagai tokoh politik. Sebagai tokoh politik, ia
pemah menduduki jabatan Sultan selama 27 tahun (1824-1851)
dari keturunan Kumbewaha. Tahun kelahirannya tidak diketahui
dengan pasti. Diperkirakan lahir pada perempat akhir abad ke-18.
35 Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kesultanan Buton
pada Abad Ke-19, h. 73.
108
Hal ini, dilihat dari ia memangku jabatan Sultan pada tahun
1824,13 pada usianya sekitar 40 tahun. Sebelum menjadi sultan,
MIK menduduk jabatan kapitan laut.36
Menilik nasabnya, MIK merupakan turunan ke-14 dari Wa
Kaa Kaa (raja wanita) Buton ke-1, dan berasal dari golongan kaum
(bangsawan) Kumbewaha, pejabat Kenipulu pada masa
pemerintahan Sultan IV Dayyanu Ihsan ad-Din (1597-1631)
seleku sumber pokok kaum Kumbewaha.37
1. Pemikiran dan Gerakan Dakwah MIK
Guru MIK yang lain adalah Syekh Muhammad bin Syais
Sumbu al-Makki. Dari ulama inilah ia menerima tarekat
Khalwatiyyah Sammaniyah. Tulisan-tulisannya yang khusus
membahas tentang tasawuf antara lain: Jauharana Manikamu,
Mu’nisah al-Qulub fi Dzikr wa Musyahadah, Diya al-Anwar fi
Tashfiyah al-Akdar, dan Kasif al-Hijab fi Muraqabah al-
Wahhab.38 MIK dikenal sebagai sosok penulis yang produktif.
Tidak hanya syair (kabanti), dia juga menulis buku tentang fiqih
dan tafsir al-Qur’an.
Pengaruh besar dari pemikiran dan gerakan MIK juga bisa
dilihat pada bagaimana masyarakat menafsirkan undang-undang
adat Buton yang disusun oleh Dayanu Iksanuddin (sultan ke-4)
yang unsurnya terdiri dari; 1) Unsur Tuhan; 2) Unsur Martabat
36 Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kesultanan Buton
pada Abad Ke-19, h. 75. 37 Muh. Rajab, Dakwah Islam pada Masa Pemerintahan Sultan Buton
Ke Xxix, Jurnal Diskursus Islam 57 Volume 3 Nomor 1, Tahun 2015. 38 La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu
Badaruddin Al-Buthuni, (Kendari, FKIP UHO 2009), hal. 9; Syukur, 2009: 86-90.
109
Tujuh; 3) Unsur Sifat Dua Puluh; 4) Unsur Al-Qur’an yang 30 Juz;
dan 5) Unsur Itikad yang 72 Kaum. Salah satu yang diuraikan oleh
MIK (halaman 1-16) dalam teks konstitusinya (sarana Wolio)
menegaskan bahwa Martabat Tujuh sebagai Undang-Undang
Kerajaan Buton.39 Beberapa karya MIK tersebut menggambarkan
banyak hal kebiasaan masyarakat Buton untuk mengetahui
bagaimana gerakan dan pemikiran dakwah diimplementasikan di
kesultanan Buton di masa lampau.
Salah satu metode dakwah yang dilakukan Sultan MIK
yaitu aktivitas bahasa lisan/tulisan (bi ahsan al-qawl/bi al-Jdtabah).
Melalui syari (kabanti) yang ditulisnya merupakan hasil
perenungan sebagai dakwah untuk dirinya dan orang lain. Menurut
penjelasan Muirun Awi bahwa syair-syair ciptaan MIK kadang-
kadang dilantunkan oleh kelompok masyarakat atau anggota
masyarakat, tetapi syair-syair ini dibaca pada hari-hari besar Islam
serta pada saat menyambut hari besar tersebut syair ini dilombakan
sebagai bukti kecintaannya kepada Sultan. Ini menggambarkan
bahwa kecintaan masyarakat terhadap kabanti Wolio (syair yang
berbahasa Wolio) sekaligus menggambarkan kecintaan mereka
terhadap si pengarang.40
D. Pertunjukan Kabanti berdasarkan Masanya
Penulis akan menguraikan berdasarkan masa, yakni masa
kesultanan, dan paska kesultanan atau di masa sekarang.
39 Supriyanto, La Niampe, La Ode Muh. Syukur, dan Muh, Anwar,
2009: 54-57. 40 Muh. Rajab, Dakwah Islam pada Masa Pemerintahan Sultan Buton
Ke Xxix, Jurnal Diskursus Islam 57 Volume 3 Nomor 1, Tahun 2015.
110
1. Masa Kesultanan
Di saat kesultanan masih berjalan sebagai sistem
pemerintahan di Buton, fungsi kabanti bagi orangtua sangat
penting dalam pendidikan moral dan ajaran agama. Ketika
masyarakat di lingkungan keraton Buton mengajarkan dan
membacakan kabanti, mereka terlebih dahulu mengumpulkan
keluarga serta beberapa sanak saudara lainnya dalam satu forum
informal. Kemudian, pelantun kabanti akan menjelaskan makna
setiap kata dan kalimat berdasarkan judul dan tema kabanti yang
akan disampaikan. Pesan-pesan yang diterima masyarakat dari
kabanti kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.41
Kabanti menjadi tema favorit masyarakat untuk belajar agama dan
menjelma menjadi kebiasaan pendidik menentukan materi untuk
menyampaikan pesan-pesan agama di ruang-ruang belajar
informal.
Berdasarkan tradisi lisan masyarakat Buton, yang
melatarbelakangi kabanti dibuat karena adanya aktivitas
masyarakat yang sudah menyimpang dari agama dan adat istiada
orang Buton. Kondisi masyarakat di lingkungan kesultanan sudah
semakin tidak takut kepada Allah Swt. Karena itulah, para ulama,
termasuk MIK, menciptakan kabanti.42 Artinya, ketika ciri khas
lantunan kabanti yang seketika meresap ke dalam perasaan
41Al Mujazi,wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya,
Sambali, Baubau, Sulawesi Tenggara). 42 Muh. Rajab, Dakwah Islam pada Masa Pemerintahan Sultan Buton
Ke Xxix, Jurnal Diskursus Islam 57 Volume 3 Nomor 1, Tahun 2015.
111
masyarakat Buton, khususnya pendengar yang paham bahasa
Wolio.
Menurut Suhura, seorang pelantun kabanti terkenal di
Buton, kabanti dinyanyikan bersamaan dengan waktu masyarakat
beraktivitas. Pertunjukan kabanti dilakukan di ruang-ruang tertup
pada waktu-waktu tertentu. Menurut tradisi lisan, di luar
pertunjukan khusus, orangtua terdahulu menyanyikan kabanti
ketika merasa dirinya sudah jauh dari Sang Pencipta. Misalnya, di
waktu malam hari, ada juga yang mengatakan bahwa kabanti
dinyanyikan sebagai pengantar tidur (nasihat sebelum tidur).
Sebagai pengajar langgam kabanti, Suhura mengakui bahwa, tanpa
pertunjukan khusus, orang Buton (yang bisa berbahasa Buton)
spontan akan terketuk hatinya ketika kabanti dinyanyikan dengan
nada yang sesui.43
Berdasarkan informasi dari Lambalangi, kabanti jenis
agama ini paling utama menjadi nyanyian nasihat ketika
masyarakat sedang pesta khamar, berjudi, dan perilaku-perilaku
yang dianggap bersebrangan dengan adat istiadat masyarakat
Buton. Karena tradisi lisan masyarakat Buton saat itu adalah
senang berkabanti, sehingga peluang untuk menyampaikan
kebaikan menjadi mudah dilakukan.44 Pernyataan La Ambalangi
tersebut menggambarkan situasi budaya masyarakat Buton saat itu
mulai dipengaruhi hal-hal yang dilarang agama. Oleh karena itu,
43 Siti Suhura, wawancara pribadi via telepon, Selasa, 9 Oktober 2018.
Pukul 12.30 – 13.02 WIB. 44 Lambalangi, wawancara tanggal 25 Maret 2014 (di kediamannya,
Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara).
112
ketika masyarakat gemar bersyair kabanti, maka saat ia
menyanyikan Bula Malino, bersamaan dengan itu ia akan
menyimak nasiha-nasiha agama yang mengharukan dan mampu
menjatuhkan air mata.
2. Masa Pasca Kesultanan
Di masa sekarang, masyarakat menyikapi dan memahami
kabanti seiring dengan pengaruh lingkungan. Masyarakat masih
mengenal apa itu kabanti Bula Malino, namun tidak sampai
memahami alur cerita dalam syair MIK tersebut. Akhirnya, kabanti
hanya dibaca pada hajatan-hajatan atau peringatan hari besar Islam
seperti: maulid, pernikahan, syukuran (termasuk syukuran rumah
baru yang akan ditempati), dan sebagainya. Siti Suhurah, seorang
pelantun kabanti wanita, beberapa kali mendapat panggilan untuk
membacakan kabanti hajatan-hajatan penting yang berhubungan
dengan adat istiadat budaya masyarakat.45
Rekonstruksi kabanti dari aspek tulisan dan pertunjukkan
sangat memengaruhi pemaknaan utama dari narasi teks kabanti itu
sendiri. Pertunjukan kabanti jenis agama saat ini ditentukan oleh
pemerintah, yakni digelar hanya di saat kegiatan budaya tahunan
saja. Penciptaan kabanti dan hubungannya terhadap masyarakat di
masa lalu, praktiknya kini mulai longgar. Tidak hanya bentuk
pembacaan, menurut Suhura, penyebab paling utama dari
45 Siti Suhurah, wawancara di kediamannya, Kaobula (Maret, 2013). Ia
melantukan kabanti Momondona Ruamiaana (Terjalinnya dua sejoli) di acara pernikahan putri Walikota Baubau tahun 2012. Kabanti ini menurut Surah, menceritakan tentang hukum dan syarat nikah serta kiat-kiat bagaimana membangung rumah tangga.
113
pergesaran makna yang dipahami masyarakat saat ini adalah
penggunaan bahasa dan cara pandang masyarakat terhadap
kabanti. Maksudnya, tali pemahaman kabanti jenis nasihat agama
ini telah putus, karena perubahan bahasa dan sikap masyarakat
terhadap budaya. Menurunnya pengetahuan bahasa daerah di
Buton juga menggeser hal penting yang menjadi alat untuk
pendengar kabanti agar lebih khusyuk dan khidmat.46
Permisifnya masyarakat untuk menjalinkan budaya baru
dengan kearian lokal nonbenda ini semakin membukan jurang
yang dalam untuk tercapainya pemaknaan kabanti di masa
sekarang. Meskipun ketertarikan masyarakat terhadap kabanti dari
langgamnya yang khas masih ada, tetap saja sudah beberapa tahun
belum ditemukan pertunjukan ruitn kabanti agama dihadirkan
yang mampu menarik antusia masyarakat banyak.47
Di luar prosesi adat yang sakral, kabanti mulai dialihkan
dan diinterpretasi menjadi nyanyian masa kini muda-mudi.
Beberapa sekolah di Buton menjadikan kabanti sebagai materi
pelajaran dalam pelajaran muatan lokal. Meskipun demikian,
kabanti seakan semakin ditarik ke ruang kepunahan, bahkan sudah
tergantikan dengan musik seperti dangdut dan seni musik lainnya.
Faktanya, kita bisa melihat bagaimana pesan dakwah dalam
kabanti tidak diberikan porsi untuk dikaji layaknya keunikan
langgamnya yang justru disenangi masyarakat. Masyarakat tidak
46 Wawancara Suhura, via telepon, 9 Oktober 2018. 47 Syafiuddin, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya
Bataraguru, Baubau, Sulawesi Tenggara).
114
menyadari fenomena kabanti jenis agama ini dibuat oleh para
ulama terdahulu, sehingga pemahaman Islam masyarakat Buton
saat ini sudah mulai longgar.
Masyarakat sangat percaya bahwa menurunnya
pemahaman Islam di Buton dapat menyebabkan kabanti akan
menjadi hal yang tidak penting lagi. Mulai dari kurangnya
mencintai al-Qur’an hingga sudah tidak peduli lagi dengan dakwah
dalam bingkai kearifan lokal ini. Ibarat manusia yang belajar ilmu
berenang tapi melupakan ilmu menyelam.48
Sebab lain mengapa mengapa masyarakat semakin
permisif terhadap kabanti adalah karena semakin berkurangnya
orang Wolio asli. Perlu kita resapi makna ungakapan La
Ambalangi yang mengatakan, “orang Wolio sudah berkurang tapi
orang di Wolio sudah semakin banyak”. Maksud ungakpan
tersebut adalah banyaknya masyarakat Buton yang sudah tidak
memahami bahasa daerahnya sendiri.49 Yusri menyadari ada
semacam penurunan dari posisi kabanti saati ini bahkan terancam
punah. Parahnya lagi, ancaman kepunahan itu tidak diikuti dengan
upaya pelestarian. Terutama oleh kelompok sanggar seni di Buton,
mereka lebih tertarik pada tarian yang belum menuju pada seni
nyanyian dalam hali ini kabanti. Padahal kabanti mengandung
48 Lambalangi, wawancara tanggal 25 Maret 2014, (di kediamannya,
Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara). Ia memutuskan menjadi penyalin kabanti dan membukukan kabanti setelah pensiun pada 1992 sebagai upaya melestarikan budaya kabanti. Ia menulis kabanti dengan tulisan Woilo dan tulisan Latin.
49 Lambalangi, wawancara tanggal 25 Maret 2014
115
makna dan pesan nasihat yang tinggi sekali sehingga sangat
disayangkan belum ada upaya melestarikannya.50
Di masa lalu, kabanti yang tidak menggunakan alat musik
ini (seperti Bula Malino) kemurniannya sangat dijaga dan tidak
bukan sembarang orang menyanyikannya. Begitu kuatnya
hegemoni Wolio di masa lalu, sampai seni pun diatur oleh Sultan.
Ada seni yang boleh didomain oleh bangsawan saja, ada seni yang
ranahnya untuk masyarakat biasa, bukan kalangan bangsawan.51
Saat ini, hegemoni itu tidak lagi berlaku, siapa saja bisa mengakses
dan membaca kabanti bangsawan tersebut. Akan tetapi, bekas
hegemoni Wolio yang mengatur kesenian di masa lampau masih
dipegang teguh oleh masyarakat adat keturunan bangsawan.
Dampaknya dapat dirasakan ketika manuskrip asli kabanti masih
diyakini oleh pewaris agar disembunyikan ke orang lain.
Di tengah semakin punahnya manuskrip kabanti, akhir-
akhir ini para guru terus melestarikan kabanti jenis bangsawan ini
di sekolah. Sebagai bentuk kesadaran untuk memberi porsi kabanti
dalam tradisi lisan kesenian Buton, seorang Kepala Sekolah
Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Kota Baubau mengajak siswa-
siswinya mempraktikkan muatan lokal dengan nyanyian kabanti
Bula Malino kemudian dibagikan ke youtube.52 Ekpresi tersebut
50 La Ode Yusri, Peneliti Bahasa dan Sastra di Kantor Bahasa Provinsi
Sulawesi Tenggara, (wawancara via telepon, 15 Agustus 2018, pukul 16.42 WIB).
51 Yusri, wawancara via telepon, 15 Agustus 2018, pukul 16.42 WIB. 52 Lihat https://www.youtube.com/watch?v=el3pINFsTbA&t=49s di
akun youtube Radi Laega
116
adalah bentuk saran tidak langsung untuk pemerintah agar ada
lomba-lomba atau upaya untuk menepis ancaman kepunahan
kabanti. Begitu pula untuk kelompok-kelompok sanggar seni di
Buton juga diberi masukan agar memberi porsi untuk kabanti ini
di pementasan mereka.
Hal tersebut di atas menjelaskan bagaimana posisi kabanti
di masa sekarang. Berdasarkan beberapa wawancara tersebut,
dipahami bahwa masyarakat masih memandang kabanti sebagai
syair agama di mana pesan-pesannya yang relevan dengan kondisi
masyarakat saat ini. Jelasnya, praktik kabanti di masa dulu dan di
masa sekarang sangat berbeda. Pengaruh ide, aktifitas, dan artefak
budaya yang bersinggungan dengan masyarakat menggunakan
media dan media baru bisa mengubah sikap masyarakat dalam
upaya melestarikan kabanti golongan bangsawan ini.
E. Naskah-naskah Kabanti yang Diperoleh
Selain Bula Malino, masih puluhan hingga ratusan kabanti
manuskrip kuno yang ada di Buton. Karya kabanti jenis bangsawan
(tidak menggunakan alat musik) dipegang oleh anak cucu
pengarang dan untuk menjaga kemurnian dari kabanti tersebut,
mereka mendapat wasiat agar merahasiakan keberadaan
manuskrip aslinya. Beberapa judul kabanti yang ditemukan dan
ditulis ulang oleh La Ambalangi adalah sebagai berikut.53
https://www.youtube.com/channel/UCnwh1rwQ0JRnRneRuMaoiSg. Diakses pada Kamis, 16 Agustus 2018 Pukul 15.21 WIB.
53 Lihat La Ode Chusnul Huluk, Komunikasi Naratif Kitab Kabanti Bula Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 383, (UIN Jkt: 2014).
117
Syair Jilid I terdiri dari:
1. Bula Malino
2. Tazkiri Momampodo
3. Nuru Molabi
4. Jauharana Amala
5. Maiyati
6. Kaokabi
7. Kaokabi Mainawa
8. Pakeana Arifu
Syair Jilid II terdiri dari:
1. Kamainawa Arifu
2. Kalipopo Mainawa
3. Kaluku Panda
Sayir Jilid III terdiri dari:
1. Jagugu/Kanturuna Mohelana
2. Anaana Maelu Undu-undu
3. Anaana Maelu Bula Baani
4. Tula-tulana Nabi
5. Paiyasa Mainawa
Syair Jilid IV
1. Wa Iyati/Wahadini
2. Bunga Malati
3. Bunga Dalima
118
4. Jauhara Manikamu Molabi
5. Wafatina Nabi saw
Syair Jilid V
1. Bunga-bungana Wameo
2. Taguna Nua
3. Bunga Cengkeh
4. Lele Matapa
5. Kalipopo Niyzani
6. Kanturuna Mohelana
7. Wafatina Nabi saw
8. Qoburu
119
BAB IV
PENCIPTAAN KABANTI BULA MALINO
A. Manuskrip Kabanti Bula Malino
Peneliti telah menelusuri keberadaan manuskrip Kabanti
Bula Malino tulisan tangan MIK, akan tetapi penulis hanya
menemukan manuskri dari koleksi Abdul Mulku Zahari. Karena
keterbatasan waktu dan tidak mudah bagi setiap peneliti untuk
mendapatkan naskah asli tulisan tangan MIK, sehingga manuskrip
yang dikaji dalam penelitian ini adalah koleksi Zahari.
Berikut gambar koleksi manuskrip Abdul Mulku Zahari
dari Kabanti Bula Malino karangan MIK.
120
121
122
B. Transliterasi dan Terjemahan Kabanti Bula Malino
Berikut hasil transliterasi dan terjemahan Kabanti Bula
Malino yang ditemukan peneliti dan beberapa telah dicocokkan
beberapa temuan dari buku-buku, jurnal ilmiah, dan kamus bahasa
Wolio.
Transliterasi Terjemahan Bismillahi kasi karoku si Alhamdu padaka kumatemo Kajanjinamo yoputa momakana Yapekamate Bari-baria batua Yinda samia batua bomolagina Sakabumbua pada posamatemo Somo Opu alagi samange-ngeya Sakiyayiya yinda kokapada Ee Waopu dawuaku iymani Wakutuna kuboli badaku siy Tee sahada iqiraru momatangka Tee tasdiqi iymani mototapu Ee Waopu rangania rahamati Muhammadi caheya babana Oyinciamo kainawa motopene
Dengan nama Tuhan kasihan diriku ini Segala puji, kelak aku akan mati Sudah takdir Tuhan Maha Kuasa Mematikan semua hamba Tak satupun hamba yang kekal abadi Semuanya akan mati Hanya Tuhan yang kekal abadi Selama-lamanya tidak berkesudahan Wahai Tuhan, berikanlah aku iman Pada waktu meninggalkan jasad ini Dengan syahadat ikrar yang tega Dan dengan tasdiq iman yang tetap Wahai Tuhan, tambahkanlah rahmat Muhammad cahaya permulaan Dialah cahaya paling mulia
123
Mosuluwina ummati mokodhosana Siyo-siyomo Waopu bei kupokawa Yi muhusura toromuyana batua Agoyaku yi’azabu naraka Te huru-hara nayile muri-murina Siy sangu nazamu oni wolio Yikarangina Ayedurusu Matambe Kukarangia betopayasaku Bara salana bekuyose kadari Siyo-siyomo Opu atarimaku Bekuwewangi yincaku momadakina Kusarongia kabanti yincasiy Bula Malino Kapekarunana Yinca Ee karoku bega-bega umalango Yinda ufikiri kampodona umurumu Matemo yitu tomo yipogaka Tee malingu sabara manganamu Temoduka sabara musirahamu Witinayi tawa mosaganana Ee karoku yada-dari karomu Nafusumu bega-bega uwoseya Tabeyanamo nafusu radhiya Nafusu sarongi marudhiya Mo saerwu guru mowadariko Yinda molawana yada-dari karomu Motuwapa kasina miya yitu Yinda beyakawa kasina yi karomu Ee, karoku, menturu sambahea Te puwasa yi nuncana Ramadani Fitaramu boli yumalingayeya Palimbayiya ahirina poyasa Zikirillahi menturuyakeya mpu Te salawa salamu yi Nabimu Pontanga malo bangu emani amponi Yincafuyaka kadakina amalamu Ee karoku, boli yumangabuya-buya Temo duka boli yumangahumbu-humbu Kadakina tabuya-buya rangata Hari kiyama nayile beyu marimba Kadakina tahumbu miya rangamu Yokadakina yuala meya yingko Yokalapena posaleya yinciya Hari kiyama dela beya totumpu Ee karoku yincamu pekangkiloa Ngangarandamu boli yumanga pipisi Temo duka boli yumanga pisaki Fikiriya katambena karomu Yuwe satiri banamo minamu Simbayu duka kadidiyanamko yitu Yi yuncana tana nayile yuhancurumo Yuposalomo te tana koburumu Ee karoku, fikiriya mpu-mpu
Yang menyinari hamba yang berdosa Semoga tuhan mempertemukanku Di Padang Mahsyar terkumpulnya hamba Hindarkanlah aku dari azab neraka Dan keributan pada hari kemudian Yang satu ini syair berbahasa wolio Dikarang oleh Idrus yang hina Kukarang untuk cerminku Semoga aku akan mengikuti ajaran Mudah-mudahan Tuhan menerimaku Untuk memerangi hatiku yang jelek Kuberi nama syair ini Purnama Cerah Penyegar Hati
Wahai diriku, jangan kau mabuk Tidakkah kau pikir umurmu yang singkat Kematian itu akan memisahkanmu Dengan semua anakmu Dan juga dengan semua karibmu Family atau manusia lainnya Wahai diriku ajar-ajarilah dirimu Jangan terlalu mengikuti nafsumu Kecuali nafsu Radhiyah Nafsu yang dinamakan mardhiyah Walau seribu guru yang mengajarimu Tiada bandingnya mengajari diri sendiri Walau bagaimana kasih orang itu Tiada bandingnya mengasihi diri sendiri Wahai diriku, seringlah sembahyang Dan berpuasa pada bulan Ramadhan Fitrahmu jangan lupa Keluarkan pada akhir puasa Berzikirlah sesering mungkin Dan bershalawat salam pada Nabimu Tengah malam bangun mohon ampun Insyafkan ketidakbaikkan amalanmu Wahai diriku, jangan suka membual Dan juga jangan mengumpat Keburukan menghasud sesama itu Pada hari kiamat kau akan ditntut Kejelekan mengumpat sesamamu Keburukannya engkau yang ambil Kebaikannya dia yang ambil Pada hari kiamat lidahmu akan dibakar Wahai diriku, sucikanlah dirimu Niatmu jangan merendahkan orang Juga jangan memandang remeh Pikirkanlah betapa hinanya dirimu Air setetes awal kejadianmu Seperti juga hewan yang lain Di dalam tanah kelak engkau akan hancur Bercampur dengan tanah kuburmu Wahai diriku, pikirkan betul-betul Kekuasaan hanya ada di dunia
124
Kakawasa tangkanamo yi duniya Yokalaki tangkanamo yi weyi Te malingu kabelokana duniya Yukawaka nayile muri-murina Yamapupumo bari-bariya situ Tangkanamo totona yinca mangkilo Bemolagina nayile muri-murina Ee karoku togasaka mpu-mpu Yokadakina fitanana duniya Pamana bose padaka yuhelamo Yinda beyulagi yi lipu podagamu Duniya si mboresa momarungga Totula-tula yi hadisina Nabi Yincema-yincema miya moperawasiya Satotuna miya yitu kafiri Ee karoku tawakala mpu-mpu Pengkenisi ajanji mina yi Nabi Dunia si mboresana karimbi Abari mpu racu ibinasaka Ominana racu ibinasaka Oporango, opokamata opebou Situmo mokawana yi manisi Morimbitina yincamu momalapena Mboresana nafusu momadaki Polotana rua mbali lupe-lupe Situmo ewalina molagina Motopene incana karota si Kaewangina ewali incia yitu Zikirillahi menturu yakea mpu Yincamu yitu pekaekayiya mpu Yiparintana Oputa Momakana Te yumenturu rango oni malape Kadarina paimia salihi Boli panganta beu rango kadari Bara salana betao bahagiamu Osea mpu saor yi malakpeaka Malinguaka oni yi rangomu yitu Kawanamo mina yi momagilana Neo yitumo saro yimalapeaka Akonimo hatimi rusuli Muhammadi sayidina anbiya Aleya komiyu katau yitu Hengga katau yi mulutina binate Neo yitumo giu yimalapeaka Ee karoku bega-bega mengkooni Neukooni sabutuna hajati Upekalape yincana mia rangamu Teupakawa maksuduna yincamu Kamengkooni dala yimarimbiaka Tabeanamo oni yimalapeaka Simbounamo tatula-tula kitabi Te lelena kalabiana Nabi Te lolitana karamatina wali
Kebangsawanan hanya ada di sini Dan segala perhiasan dunia Sampai pada hari kemudian Habislah semua itu Hanya hati nurani yang suci Yang kekal abadi Wahai diriku, betahlah betul-betul Dari (godaan) kejelekan fitnah dunia Bagaikan berlayar tidak lama lagi bertolak Tidak akan kekal di negeri perdaganganmu Dunia ini tempat yang bersifat hancur Diceritakan di dalam hadits Nabi Siapa saja yang tidak percaya itu Sesungguhnya orang itu kafir Wahai diriku betawakkallah dengan sungguh Berpeganglah pada janji Tuhanmu Dunia ini tempatnya kesalahan Banyak sekali racun yang membinasakan Asalnya racun yang membinasakan Pendengaran, penglihatan, penciuman Itulah yang sampai pada perasaan Yang menghukum hati yang baik Tempat nafsu yang tidak baik Di antara kedua tulang rusuk Di situlah musuh yang kekal Yang baik pada diri kita Untuk melawan musuh seperti itu Berzikirlah sesering mungkin Buatlah hatimu menjadi takut Pada perintah Tuhan Yang Maha Kuasa Dan seringlah dengar ucapan baik Ajaran dari orang-orang saleh Jangan bosan mendengarkan ajaran Barangkali untuk kebahagiaanmu Ikutilah betul yang namanya kebaikan Segala kata yang engkau dengar itu Walaupun asalanya dari orang gila Kalau sudah itu yang membuatmu baik Bersabda Rasul yang terakhir Muhmmad penghulu segala Nabi Ambillah kalian ilmu tersebut Meskipun ia dari mulut hewan Demi menuju pada kebaikan Wahai diriku, jangan terlalu banyak bicara Bicaralah seperlunya Selaraskan perasaannya sesamamu Hubungkan dengan maksud hatimu Banyak bicara itu merusakan Kecuali ucapan yang membawa kebaikan Seperti yang dikisahkan dalam Kitab Dan kisah keunggulan Nabi Dan pokok-pokok karoma para wali
125
Te lacuna paimia salihi Somana boli yubotuki wajibu Te malingu faralu yi karomu Ee karoku boli yupake pewuli Aboasaka saro yinda motindana Barangkala yupakemo yinciya yitu Amadakimo yi lipu rua anguna Neu kabonga boli upolalo sara Tontoma kea laengana morangoa Neu kabonga podo sabu-sabutuna Yupekalape yincana mia rangamu Tabeyanamo te yantona banuamu Yinda pokia nea tolabe saide Upatotapu rouna pomananea Upekatangka sarona pomusiraha Ijtihadi umbore yi duniya Nunua mpu saro yimalapeaka Sio-siomo Opu apaliharaku Yi hura-hura nayile muri-murina Ee karoku paihilasai yincamu Patotapua poaromu yi Opumu Pengkenisi agamana babimu Te yuosea kadarina gurumu Mira rangamu masiyakea mpu Simbou duka masiyaka karomu Tuamo yitu tuturana mu’mini Ambo-mbore yi nuncana dunia si Ee karoku yihilasi atopene Rahasiana Oputa mopewauko Adikaka yinda yimasiyaka Nganga randana batua yimimiyaka Oihilasi rahasia motowuni Ikalibina batua mosalihi Ositumo jauharana amala Mosuluwina bari-baria fe’eli Ee karoku pekatangka pengkenimu Itikadimu boli akadoli-doli Matomo yitu pada aumbatikomo Hari kiyama pada alahirimo Yi weyitumo huru-hara momaoge Kasukarana bari-baria batua Atotimbangi bari-baria amala Yi mizani kaloesa mobanara Ee karoku ombu pada aumbamo Bea buke nayile duniya si Amalalanda, agalapu, apoposa Mo saide yindamo te kainawa Yitumo duka kaheruana batua Pokeni lima paimia Isilamu Te akoni manga yinciya yitu Yinciyamo si zamani be tamatemo Potangisimo paiaka Isilamu Atangi mpu aoge-oge yincana
Serta perilaku orang-orang saleh Asal jangan meninggalkan yang wajib Serta melupakan kebutuhan pribadi Wahai diriku, jangan gunakan kedustaan Saat menyatakan sesuatu yang tidak jelas Jika kelakuanmu seperti itu Hancurlah di kedua negeri itu Saat bergurau janganlah melampaui batas Perhatikan, pantas tidak bagi yang dengar Saat bergurau seperlunya saja Senangkanlah perasaan sesamamu Kecuali sesama orang dalam rumah Tidak apa bila kelewat sedikit Pereratlah sebuah kasih sayang Kukuhkanlah hubungan kekeluargaan Berijtihadlah menelusuri dunia Kejarlah kebaikan dengan seirus Semoga Tuhan memeliharaku Pada keributan di hari kemudian Wahai diriku, ikhlaskan hatimu Kuatkan pendirianmu pada Tuhanmu Berpegang teguhlah pada agama Nabimu Serta ikutilah yang ajaran gurumu Sayangi betul orang sesamamu Layaknya menyayangi diri sendiri Itulah aturan sesama orang beriman Yang bersemayam di dunia ini Wahai diriku, rasa ikhlas itu sangat baik Sebagai rahasia Tuhan yang menciptamu Menaruh pada hati yang dikasihi Lubuk hati hamba yang disayangi Ikhlas rahsia yang tersembunyi Pada kalbu hamba yang saleh Di situlah permata amal Yang menyinari semua perilaku Wahai diriku, kuatkanlah teguhanmu I’tikadmu jangan sampe goyah Kematian akan menghampirimu Hari kiamat akan hadir Di situlah peristiwa yang menggemparkan Yang menjadi duka semua hamba Semua amal perbuatan akan dihisab Dengan mizan timbangan yang benar Wahai diriku, asap akan muncul Yang memenuhi duni ini nantinya Membuatnya gelap, gulita, dan membutakan Walau sedikit tidak ada cahaya Itulah pula yang dicemaskan hamba Menjabat tangan orang-orang saleh Seraya berkata para hamba itu Inikah masa setelah kematian? Bertangisanlah umat Islam Menangis keras dengan hati yang sungguh
126
Audanimo janji mina yi Nabi Hari kiyama pada aka aumbamo Salana manga poma-mafuaka Nedangia te salana mangengena Apentamo hukumu mina yi Opu Opeamo bara bemokorouna si Atangi mpu bari-baria situ Audanimo karunggana alamu Te afikiri bangu yi hari kiyama Betuapa nayile yingkita si Ee karoku keniyaka mea mpu Duniya si padaaka amarunggamo Ngalu maka padaaka tumpumo Bemorunggana bari-baria kabumbu Te amatu bari-baria yandalaa Te akolendu soma-somana kaka Ositumo akrunggana alam Kapupuna bari-baria batua Afanamo malingu kadangia Somo Opu molagina mobaka Alamu si ambulimo anainda Simbou duka kadangia yi azali Pata pulu taona tua situ Beafana bari-baria batua Simpomini ambuli adangia Ositumo kadangiya molagi Ee karoku rangoa tula-tulana Kadangia nayile muri-murina Babana akowau rahamati Asapo mai minaka yi arasi Apepatai bari-bariya koburu Amemeiki paikaro mobinasa Orahamati amina yi Opu rahimu Bea pabangu bari-baria batua Bana bangu nayile muri-murina Malaikati pata miyana situ Akoni Oputa Momakana Lipa komiu yi nuncana soroga Beu ala mahkuta molabina Te malingu pakea momuliana Te tombi liwaulhamdu Te buraku mosakalina kaliga Tao Nabi batua yilabiaka Muhammadi rasulu yimimiyaka Oyinciyamo mia yimasiyaka Asafati paimiya mokodosa Yi huru-hara nayile muri-murina Te azabu sikisa naraka Te arangani mokurana fahalana Yi apaika mu’mini umatina Sambulina malaikati yitu Aminaka yi nuncana soroga Apenunumo koburuna nabita
Mengingat janji dari pada Nabi Bahwa hari kiamat akan datang Hendaklah saling memaafkan kesalahan Termaksud kesalahan yang telah lalu Menantikan hukuman apakah dari Tuhan Bagaimana wujud kita nanti Akan menangis semua itu Membayangkan kehancuran alam Juga memikirkan wujud di hari kiamat Bagaimana kita di hari esok Wahai diriku yakinilah dengan sungguh Dunia ini sebentar lagi akan hancur Angin kencang benar akan tiba Ia akan menghancurkan gunung-gunung Semua lautan yang dalam mengering Juga terjadi guncangan yang dahsyat Itulah tanda kehancuran alam Penghabisan semua hamba bernyawa Fanalah semua yang ada di bumi Hanya Tuhan yang kekal abadi Alam ini akan kembali tiada Seperti keadaan sebelum lahir Demikian itu empat puluh tahun lamanya Semua hamba bernyawa akan fana Kemudian akan kembali ada Begitulah keadaan yang abadi Wahai diriku, dengarkan cerita Keadaan di hari kemudian Mula-mula hujan rahmat Naik turun berasal dari arsy Menyeluruh kepada semua kuburan Membasahi semua jasad yang binasa Rahmat itu berasal dari tuhan Rahim Untuk membangkitkan semua hamba-Nya Pertama-tama yang bangun Empat orang Malaikat Berfirman Tuhan Yang Maha Kuasa Pergilah kalian ke dalam surga Untuk mengambil mahkota yang mulia Dan juga semua pakaian yang mulia Dan bendera kebesaran Tuhan Dan buraq yang teramat cepatnya Untuk Nabi hamba yang dimuliakan Muhammad Rasul yang disayangi Dialah orang yang dikasihi Syafaat pada umat yang berdosa Pada peristiwa di hari kemudian Dan azab siksaan api neraka Dan menambah yang kurang pahalanya Di mana saja umatnya yang mukmin Sekembalilnya malaikat itu Datang dari surge Menelusuri kuburan Nabi Muhammad
127
Yimuhusara maedani molalesa Sakawana manga yi tanga-tangana Agoramo ruhuli Amina Jibirilu mutunggunamo wahi Oandeana bari-baria rasulu Te banguna gorana Jibrilu Yi yapaimo koburuna Muhammadi Salapasina goana Jibrilu Amawetamo tana koburuna yitu Abangumo Nabi mina yi tana Kuncura yi bana koburuna Te asapui jangkuna momuliyana Te bana motopenena kawondu Te asapui ngawu tana koburuna Apekangkilo badana moalusuna Te apoili yi kayi yi kana Bari-baria dangia amampada Lausakamo abaki Jibrilu Onabita safili ummati Jibrilu maipo peumbaku Opeamo bara eo yincia si Akonimo Jibrilu situ Ositumo eo safatimu Te akakaro makamu kapujiamu Beuagoa umatimu mokodasana Akonimo safili umati Alaihi salawa tee salamu I apaimo manga umatiku sii Ulana bara incanamo sikisaa Akoonimo jibriilu siitu Oumatimu indapo tee mobanguna Aharamu porikana bea bangu Malinguaka I apai maanusia Tabeana porikana ingko Tee mobanguna minaaka I koburu Kabea bangu mia mosagaanana Itumo duka rouna kamuliaamu Kaa bangu Sidiki mobanara Abubakara oamana Aisa Kaa bangu Umara moadilina Rua miaana sahabatina molabi Kaa pake manga talu miaia Malinguaka pakea I sorgaa Omakuta tee izari momulia Tee kausu motopenena kalape Osawikana podo buraku molabi Apiliakea I nuncana sorgaa Osiitumo kamuliangina Opu Akukumbai batua talu miana Salapasina padana tua siitu Alingkamo manga talumiaia Aporikana Sidiki tee Umara I aroana safiili umati
Di padang masyhar tempat yang luas Setibanya mereka di tengah-tengah Berserulah Ruhil Amin Jibril yang menjaga wahyu Sahabat karibnya semua Rasul Dengan bentuk panggilan Jibril Di mana kuburan Muhammad Setelah Jibril berseru Terbelahlah tanah kuburan Muhammad Bangunlah Nabi dari dalam tanah Lalu duduk di kepala kuburannya Dan menyapu janggutnya yang mulia Dan kepalanya yang teramat harum Dan menyapu abu tanah kuburannya Membersihkan badannya yang halus Menoleh ke kiri dan ke kanannya Semua masih tiada Terus ia bertanya kepada Jibril Nabi kita syafiil umat Jibril, cobalah beritahu daku Apakah hari sekarang ini Jibril pun berkata Itulah hari syafaatmu Dan berdiri makam kelebihanmu Engkau selamatkan umatmu yang berdosa Bersabda Nabi Muhammad Mengucapkan salawat dan salam Di mana umatku ini Barangkali sudah di dalam siksaan Berkata Jibril itu Umatmu belum ada yang bangun Haram mereka bangun lebih dulu Siapa saja mereka manusia itu Kecuali engkau yang mendahului Yang bangun dari kubur Lalu bangun menyusul yang lain Itulah tanda kemuliaanmu Lalau bangun Sidiq yang benar Abubakar ayahnya Aisya Disusul Umar yang adil Keduanya sahabat yang mulia Lalu berpakaian mereka ketiganya Semua pakaian di surga Mahkota dan kain yang mulia Serta sepatu yang sangat bagus Menumpangi buraq yang sangat cepat Dipilihkan dari dalam surga Itulah kemuliaan Tuhan kepadanya Menyayangi hamba yang tiga Setelah selesai mereka itu Pergilah mereka bertiga Lebih dahulu Sidiq dari pada Umar Di depannya syafiil umat
128
Motutunia Nabiita molabina Sakabumbua podo malaikati Temoo dua I yapai moiringia I kaanana tee weta I kaaina Kambeli-mbeli manga incia siitu I muhusara maedani kalalesa O Nabiita atoku-toku umatina Tee apentaa paimia mobanguna Israfiili atowi sangkakala Bea banguna sabara antona tana Sarangona suarana sangkakala Posabangumo paimia koburu O Isilamu tee malingu kaafiri Posabangumo sumbe-sumbere kaomu Kawanamo o kadadi o binate Posabangumo naile I muhusara Sakamatana Nabiita molabina I apaika mia mobanguna yitu Akoonimo Nabiita molabina Jibriilu sumakomo umatiku Akoonimo Jibriilu siitu Manga sumako mincuana umatimu Indaa mangenge padanaa tua siitu Umbalakamo manusia mobari Abuke mea I apai anguna tombu Tee malingu tarafuna mbooresa Akoonimo Jibriilu siitu Muhammadi sumakomo umatimu Alipamo Nabiita molabina Pakawaaka paimia umatina Akoniimo Nabiita molabina Abakai manga umatina yitu Tuapamo komiu namisimiu Umboo-mboore I nuncana koburumiu Sarangona manga incia siitu Potangisimo bari-baria siitu
O Nabiita safiili umati Atangimo duka aoge-oge incana Kama-kamata manga ummatina yitu Osiitumo rouna kaasina Ee karoku fikira mpuu-mpuu Okaasina tee manga umatina Opea bara inda ituruakamu Beu osea I apai kasameana Kasameana Nabiita molabina Tapatotapu kaekata I Oputa Tee tasabara I apaika bala Tee tarela tee malingu kadalaana Tee tasikuru I Oputa momalangana Adawu kita ni’mati bari-bari Momaogena ni’mati Isilamu Ni’matina atopene kabarina Ee karoku mate pada aumbamo
Mengukuti Nabi yang mulia Sekumpulan barisan para malaikat Dan juga beberapa yang mengiringnya Di sebalah kana dan sebelah kirinya Berjalan-jalan mereka itu Di padang mahsyar yang teramat luasnya Nabi Muhammad memerhatikan umatnya Menantikan orang yang akan bangkit Israfil meniup sangkakala Membangunkan semua isi kubur Setelah mendengar suara sangkakala Bangunlah semua isi kubur Baik Islam maupun kafir Juga binatang di dalam tanah Semua ikut bangun Bangun di padang masyhar Setelah melihat Nabi kita yang mulia Orang-orang yang bangun itu Bertanyalah Nabi yang mulia Jibril, sana umatku? Jibril menjawab Mereka sana bukanlah umatmu Tidak lama setelah itu Bermunculanlah manusia banyak Memenuhi semua tempat Dan segala susunan tempat tinggal Berkata Jibril itu Muhammad, sana umatmu Pergilah Nabi yang mulia Menemui para umatnya Bertanyalah Nabi yang mulia Bertanya kepada umatnya Bagaimana persaan kalian Tinggal di dalam kubur Setelah mendengar itu Bertangisanlah mereka semua Nabi kita syafiil umat Menangis juga dengan sejadi-jadinya Melihat-lihat umatnya tersebut Itulah tanda sayangnya pada umatnya Wahai diriku, pikirkan betul-betul Kasih sayang Nabi pada umatnya Betapa engkau masih tak patuh Untuk mengikuti segala petuahnya Pesan Nabi kita yang mulia Tetapkanlah takutmu pada Tuhanmu Dan sabarlah bila bala menimpamu Dan rela pada kelalaian kita Bersyukur pada Tuhan Yang Agung Memberi kita nikmat yang berlimpah Yang besar adalah nikmat Islam Nikmat-Nya amatlah banyak Wahai diriku, kematian nanti akan datang
129
Ngalu hela padaaka atumpumo Pamondomea kasangkana sawikamu Pentaaka wakutuuna helamu Matemo yitu hela yindaa mobancule Osiitumo bose mosatotuuna Indamo ambuli paimia molingkana Moporopena I dala incia siitu Matame itu intaana alimu Itoku-tokuna paimia saalihi Kasawika motopenena kalape Oimani tasdiiki momatangka Kokombuna ala akea haufu Kokombuna bakea-kea rijaa Tawadu betao kapabelona Mosaahida betao para bosena Ria dalati kamondona rabutana Kinaati kasangkana kabokena Ulina yitu mopatotona inca mangkilo Opadomana mosusuakana dala Okuruaani tee hadisina Nabii Obanderana sulaakea zuhudu Tombi-tombina zikir tee tasubehe Juru batuna sarai laahiri Juru mudina ilimu batiini Mopolumena madadi mina I guru Anakodana hidayatina Opu Asangkaaka kamondona hela yitu Tawakalamo poaromu I Opumu Adikaaka ngali ihelaakamu Patotomea poropena Bangka yitu Botukimea lipu mbooresa Masirahamu tee antona banuamu Pepuu mea kambotu motopenena Zikiriillahu laa ilaaha illallahu Neakawako garurana seetani Tangasaana daangiiapo uhela Patotomea poropena Bangka yitu Pangaawana boli ataurakea Osiitumo uso imapasaaka Neatosala poropena Bangka yitu Amapasaaka Bangka incia siitu Tokarugimu naile muri-murina Osiitumu kampadaa momadaki Isarongimo suu’ul haatima Alapamo beumatina Nabii Asala mea millati Isilamu Ee waOpu patotapua incaku Poaroku kutonto maka zatumu Oiimani motopenena karosa Kapupuaku tee husnul khatimah
Angin berlayar sudah akan berhembus Siapkan kelengkapan tumpanganmu Menantikan waktu berlayarmu Mati itu pelayaran yang tidak kembali Dan itulah pelayaran yang hakiki Tidak kembali semua yang telah pergi Yang menuju di jalan itu Mati itu yang dinantikan orang alim Yang diharap-harapkan orang saleh Dan tumpangan teramat baiknya Iman dan tasdiq yang teguh Tiang perahu itu ambilkan khauf Layarnya bentangkan rijaa Tawadhu’ dijadikan layar depan Mujahid untuk para pendayungnya Riyadhat kelengkapan tali-temalinya Kina’at kelengkapan pengikatnya Kemudinya meluruskan hati yang bersih Sebagai kompas penunjuk arah Qur’an dan Hadits Nabi Benderanya pasangkan zuhud Fandelnya zikir dan tasbih Juru batunya sara’i yang zahir Juru mudinya ilmu batin Yang menimba air ilmu dari guru Nahkodanya hidayah dari Tuhan Kalau telah lengkap kesiapan berlayar itu Tawakallah menghadap Tuhanmu Kapan angina berlayar sudah bertiup Luruskan haluan perahu Putuskan negeri tempat tinggalmu Sahabat, kenalan, dan seisi rumahmu Mulailah dengan keputusan yang tetap Berzikirlah laa Ilaaha Illallah Jika kamu didatangi godaan setan Semetara engkau sedang berlayar Tetapkan haluan perahu itu Jangan turunkan layarnya Itulah angin topan yang bisa pecahkan kapal Jika perahumu salah haluan Kalau akhirnya pecah perahumu Kelak kau akan rugi pada hari kemudian Itulah penghabisan yang buruk Itu pula namanya su’ul kahtimah Sudah lepas dari umat Nabi Telah menyalahi garis-garis Islam Wahai Tuhan, kuatkan hatiku Hadapku menatap zat-Mu Keimanan yang kuat dalam diri Akhirkanlah aku dengan husnul khatimah
130
Tabel 4.1 Transliterasi dan Terjemahan Bula Malino
C. Diksi dan Majas Kabanti Bula Malino
Setelah membaca keseluruhan bait manuskrip Kabanti
Bula Malino, peneliti menemukan ada pola pengklasifikasian tema
di mana kata dan kalimat yang berhubungan dengan konsep
dakwah dibangun berdasarkan tema terdapat pada setiap kata dan
bait. Untuk melihat pernyataan secara metafora dan hiperbola
mengenai dakwah Islam dalam manuskrip Bula Malino ini tidak
cukup terbantu dengan hanya membaca transliterasi dan
terjemahannya saja. Karena itu, penulis meningterpretasi diksi dan
majas yang memiliki makna lain yang belum peneliti temukan dari
hasil riset di lapangan.
1. Baris 1-28: Mukadimah (Mengingat Kematian)
Kejadian yang diceritakan dalam tema ini tersusun seperti
kisah yang diceritakan kebanyakan Umat Islam. Kejadian dalam
tema tersebut adalah sebagai berikut:
Pada baris pertama Syair Bula Malino diawali dengan kata
Bismillahi, kemudian dilanjutkan dengan kata kaasi, karoku, dan
sii, yang artinya: dengan nama Allah sayang sekali diriku ini).
Bismillahi terdiri dari tiga kata yaitu ,ب, اسمdan الله yang artinya:
dengan, nama, dan Allah. MIK menegaskan tulisannya ditujukan
untuk masyarakat Buton dengan gaya bahasa al-Qur’an.0F
1
1 Kita ketahui bahwa setiap Surat dalam Al-Qur’an selalu diawali
dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim. Dengan demikian, di awal bait syair,
131
Sayangnya diriku ini menggambarkan bahwa hubungan hamba
dengan Sang Pencipta tidak dibatasi oleh apapun. Kata karoku2
bisa berarti, pribadiku, jiwaku, yang berasal dari kata karo dan
yaku (diri dan aku). Sintaksis dari kalimat tersebut menjelaskan
seorang MIK sedang merenung dan mengintrospeksi dirinya.
Pada baris 2 dibentuk dengan kata Alhamdu, padaaka, ku-,
mate, dan –mo. Syukur tahmid (alhamdu) juga diadopsi dari
bahasa Arab. Padaaka kumate-mo (sebentar lagi aku akan mati)
secara stilistika menunjukkan makna bahwa manusia adalah
makhluk yang memenuhi syarat untuk mati. Mengapa harus
diawali dengan kalimat syukur ketika menjelang kematian?
Menurut penulis, retorika MIK merupakan apa yang dipahami dari
kandungan al-Qur’an dan Hadits dan menegaskan bahwa tidak
satupun yang mengetahui kapan datangnya Malaikat Izrail. Maka
dari itu, makna lain dari kata alhamdu (kalimat syukur) adalah
motivasi untuk menjadi hamba yang saleh dan siap kapanpun ajal
menjemput.
Kata kajanjina, -mo, Oputa, mo-, makaa, na, apekamate,
bari-baria, dan batua (sudah janji Tuhan Yang Maha Kuasa yang
akan mematikan semua hamba), merupakan susunan dari baris 3-
4 yang berhubungan dengan kumatemo. Mo dalam bahasa Wolio
pembaca akan segera menyadari bahwa pesan-pesannya adalah berhubungan dengan ajaran Islam.
2 Karoku terdiri dari kata karo dan aku bukan kata aku yang bermakna tunggal. Pengarang menggunakan kata diriku bisa diartikan bahwa kematian adalah terpisahnya ruh dan jasad. Sehingga, terminologi dari karoku adalah gambaran adanya dua zat yaitu ruh dan jasad.
132
seperti ketentuan yang memenuhi syarat yang bermakna sudah.3
Secara sintaksis, dua bait tersebut menafsirkan bahwa syarat mati
itu berlaku pada semua yang bernyawa. Sebab, kematian
merupakan janji Tuhan dan korelasinya dengan kalimat akan
mematikan hamba adalah menggambarkan bahwa seorang hamba
tergantung kuasa Tuhannya. Dengan arti lain bahwa kematian
seorang hamba merupakan hak penciptanya.
Kalimat pada baris 5-8 muncul kembali kata hamba,
Tuhan, mati, serta kekal. Indaa, samia, batua, bomolagina,
Sakabumbu, -a, paaa, po-, samate-, -mo, Somo, Opu, alagi,
samange-ngeya, Sakiyayiya, indaa, ko-, kapada. Kata Tuhan
kedua menggunakan bahasa wolio (Opu).4 Kata indaa samia (tak
seorang) menunjukkan bahwa seorang hamba di sini adalah (tiada
seorang yang bernyawa) yaitu batua (hamba). Awalan po- dan
akhiran –mo pada kata posamatemo di baris ke-6, mengandung
makna (ketika semua hamba sudah dimatikan). Sehingga, maksud
somo Opu (hanya Tuhan) pada baris 7-8, secara sintaktis
menunjukkan hubungan sifat Abadi Tuhan (kekal) dibanding
manusia yang punya batas akhir, setelah semua hamba kelak sudah
dimatikan.
3 Akhiran –mo mengndung makna tekanan, ketentuan, dan kesudahan
(Anceaux: xiv). Contoh pada kata lain adalah Padamo (pada dan mo). Pada berarti telah, mo adalah kata penghubung yang lazim disandingkan dengan kata pada atau kata kerja yang telah memenuhi syarat untuk dilakukan. Jika hanya menggunakan pada, secara makna akan berubah.
4 Dalam bahasa wolio, Opu memiliki banyak versi. Nama lain selain Opu adalah, Wa Opu (wa berkonotasi wanita, ibu. Ibu dipahami sebagai induk). Kawaasana Opu (Kuasa Tuhan), serta sesekali menggabungkan bahasa arab dan wolio kedalam sebuah sebutan Tuhan seperti, Allaah Ta’alaa (Aulaa Ta’aalaa). Masing-masing nama Tuhan tersebut berfungsi seuai konteks kalimat.
133
Kita perhatikan pada baris 9-10 dibangun dari kata Ee,
WaOpu5, dawu, -a, -ku, iimani, wakutuu, -na, kuboli, bada, -ku, sii.
Kata ee merupakan seruan yang ditujukan pada Waopu (Tuhan).
Akhiran –a-ku pada kata dawuaku mengkespresikan kata
permohonan, artinya berilah aku. Kata iimani berarti iman.
Akihiran –na pada kata wakutuna menggambarkan sebuah
masa/waktu. Ku adalah yaku (aku) awalan kata kerja boli
(meninggalkan). Kata bada dan akhiran –ku pada kata badaku
artinya badanku: membayangkan sebuah kejadian berpisahnya ruh
yang hendak memisahkan dirinya dengan jasad. Kata sii artinya
ini. Sintaksis dari kalimat ini menegaskan bahwa keimanan
hendaknya dimiliki seorang hamba sebelum menjelang kematian.
Retoris kalimat pada baris 11-12 tersusun dari kata tee,
sahada, iqiraru, momatangka, tee, tasdiqi, iimani, dan mo-, dan
totapu. Kata tee menjelaskan hubungan sebuah kalimat dengan
kalimat sebelumnya. sahadha artinya syahadat yang merupakan
lafaz ikrar seorang hamba saat sedang sakratulmaut. Kata iqraaru
berarti iqrar. Momatangka kuat/tidak lemah dalam berikrar. Tee
seperti dijelaskan di muka. Iimani adalah iman berkorelasi dengan
kata mototapu artinya terikat. Iman yang terikat adalah iman yang
mantap dan tidak mudah goyah. Kalimat tersebut
menginterpretasikan bahwa karena jasad tidak dapat berbuat apa-
apa dalam berikrar, melainkan jiwa dengan keimananlah yang
akan mampu melakukan ikrar syahadat dengan lancar.
5 Kata Waopu Tuan/Tuhan dalam Wolio Dictionary ditulis bahwa pada
zaman dahulu kata ini diucapkan semua hadirin sambil menundukkan kepala dan mengangkat tangan di atas (Anceaux: 191).
134
Kalimat pada baris 13-14 dibentuk dari kata ee, waopu,
rangani, -a, rahmati, muhammadi, caheya, baabaa, dan –na. kata
ee dan waopu telah dijelaskan sebelumnya, ia merupakan seruan
hamba pada Tuhannya. Akhiran –a pada kata rangania
mengekspresikan permohanan: agar ditambahkan sesuatu.
Rahmati adalah rahmat adalah sesuatu yang diharapkan oleh
hamba dari Allah Swt. Kata Muhammadi maksudnya Nabi
Muhammad, dimunculkan setelah kata iman sehingga
membayangkan Nabi Muhammad adalah seorang iman yang kuat
(teladan bagi umat). Caheya (cahaya) mengekspresikan Nuurul
Muhammad (seorang penerang). Akhiran –na, pada kata babaana
menegaskan kemuliaan pada diri Rasul (cahaya paling mulia).
Pada kalimat pernyataan baris 15-16 dibangun dari kata
incia, -mo, kainawa, mo-, topene, mo-, suluwi, -na, umati, mo-,
dhosa, dan –na. Akhiran –mo pada kata inciamo (dialah)
mengandung makna penegasan. Kata kainawa mengekspresikan
sifat dari caheya (cahaya) artinya yang terang. Kata motopene
menggambarkan kedudukan pada kata kainawa, artinya amat
mulia. Kalimat tersebut menegaskan seorang Muhammad sebagai
Nabi mulia yang memiliki cahaya penerang (syafa’at). Awalan
mo- pada kata mosuluwina mengekspresikan fungsi dari kainawa
(cahaya) yaitu menyinari. Kata umati berarti umat yang menjadi
objek dari kata kerja mosuluwina. Awalan mo- dan akhiran –na
pada kata mokodhosana menggambarkan seorang hamba yang
berdosa. Maksud kalimat tersebut adalah, cahaya pada diri Nabi
135
yang disebut sebagai syafa’at akan menyinari semua hamba yang
berdosa.
Sintaksis kalimat pada baris 17-18 tersusun dari kata sio-
siomo, waopu, bee, ku, pokawa, i, muhusara, toromua, -na, dan
batua. Pada kata sio-siomo (artinya: semoga) mengekspresikan
sebuah pengharapan akan sesuatu dengan cara yang sopan.6
Waopu seperti telah dijelaskan di muka, artinya: Pencipta. Kata
bee merupakan awalan kata kerja pada kata beekupokawa artinya
ingin bertemu. I artinya di dan muhusara berarti Padang Masyhar.
Akhiran –na pada kata toromuana membayangkan adanya
sejumlah orang yang terkumpul. adalah sebuah harapan hamba
ingin berjumpa dengan Nabinya di tempat berkumpulnya manusia
di Padang Masyhar.7 Batua artinya hamba. Sehingga, maksud dari
kalimat tersebut adalah seorang hamba yang memohon pada Tuhan
agar dipertemukan dengan Nabi pada saat terkumpulnya seluruh
makhluk di Padang Masyhar. Kata mohon dari kalimat ini
mengandung arti berharap dengan ketaatan, dan belum adanya
kepastian dikabulkan atau tidak.
Kalimat pada baris 19-20 dibentuk dari kata aagoaku, i,
azabu, naraka, tee, huru-hara, naile, muri-muri, dan -na. Awalan
kata kerja a- pada kata aagoaku menunjukkan permintaan kepada
6 Kata sio-siomo dalam Wolio Dictionary memangandung makna
berharap yang sopan atau berharap tanpa makna mendesak (Anceaux: 166). 7 Kata toromuana (terkumpul) lebih tepat digunakan oleh dari pada
kata pokompuluana (berkumpulnya). Secara terminology memang sama, namun dapat kita pahami bahwa, manusia bukan datang berkumpul di padang masyhar namun dikumpulkan oleh Allah SWT.
136
seorang dan akhiran –ku membayangkan seorang manusia entah
laki-laki maupun perempuan.8 I artinya di yang menunjuk sebuah
tempat. Karena i terikat dengan kata azabu, maka bisa dimaknai
menjadi (dari azab). Kata naraka (neraka) menegaskan maksud
azab: yaitu siksa neraka. Kata tee artinya juga yang
menggambarkan adanya kata selanjutnya. Kata huru-hara berarti
kegemparan yang membayangkan adanya kegemparan/keributan.
Naile (esok) berkorelasi dengan kata muri-murina (akhir) atau hari
kiamat. Makna stilistika dari kalimat tersebut adalah betapa
sultinya hari kiamat, sehingga hamba wajib memohon kepada
Allah Swt agar diselamatkan dari azab neraka dan huru-hara yang
menakutkan pada hari kiamat.
Retoris di baris 21-22 dibangun dari kata sii, saangu,
nazamu, ooni, wolio, ikarangina, Ayedurusu, dan matambe. Pada
kata sii artinya ini (menunjuk sesuatu yang dekat). Saangu artinya
satu, berkorelasi dengan kata nazamu, artinya adalah kabanti, atau
syair. Kata ooni wolio maksudnya adalah berbahasa wolio yang
menjelaskan bahwa inilah sebuah syair berbahasa wolio. Kata
ikarangina artinya dikarang (oleh), menggambarkan adanya
seorang yang mengarang. Kata Ayedurusu yaitu Muhammad Idrus
Kaimuddin. Matembe artinya hina, menegaskan betapa hinanya
8 Ago dalam Wolio Dictionary (Anceaux: 1) adalah menolong,
membantu, menyelamatkan, mencegah. Kata agoaku adalah permintaan (ditolong atau diselamatkan) dari hamba kepada Penciptanya. Berasarkan ajaran agama islam bahwa di hari kiamat, sudah tidak ada lagi pertolongan Allah. Sehingga, kata tersebut ditujukkan pada Nabi Muhammad saw sebagai cahaya yang mulia.
137
seorang MIK.9 Interpretasi dari kalimat tersebut bahwa seorang
pengarang menyatakan dirinya sebagai hamba yang hina dapat
dimaknai bahwa syair ini memang ditulis sebagai bahan
inntrospkesi diri seorang Sultan MIK.
Susunan kata pada baris 23-34 yaitu: ku, karangi, -a,
betoo, paiyasaku, baraa, salana, be, kuose, dan kaadari. Awalan
ku singkatan dari aku dan akhiran -a pada kata kukarangia
(kukarang) adalah sebuah pernyataan MIK sendiri yang
mengarang syair. Satuan kata bee dan too (untuk) menjelaskan
tujuan mengapa syair ditulis (dikarang). Kata paiyasakua artinya
cerminku, maksudnya adalah untuk bahan introspeksi diri
(muhasabah). Baraa menggambarkan sebuah kemungkinan
artinya barangkali yang menyatu dengak kata sala akhiran –na
yang mengandung makna sesuatu.10 Awalan be- yang terhubung
dengan kata kerja ku-ose (aku mengikut) menegaskan rasa ingin
yang cukup tinggi. Kata kaadari menggambarkan sebuah ajaran
yang baik, artinya ajaran.11 Kalimat tersebut menjelaskan latar
belakang MIK membuat syair ini semata-mata untuk cerminan diri
agar senantiasa istiqomah menaati ajaran Islam.
9 Matambe dari kata tambe artinya bawah, rendah. Matambe lebih dari
rendah. 10 Kata salana berasal dari kata sala dan –na (kata ganti persona
ketiga). Dalam Wolio Dictionary, sala mempunyai beberapa arti yaitu; I. Celana. II. Salah, kesalahan, dosa, dan penghukuman. III. Salah satu, dan sesuatu (Anceaux: 158).
11 Kata bekuose kaadari secara retoris mempunyai hubungan dengan matambe. Ketika manusia menyadari dirinya hina, maka sangat pantas untuk mencari sebuah pencerahan.
138
Kalimat pernyataan di baris 25-26 dibangun dari kata siyo-
siyomo, Opu, a-, tarima, ku, be-, ku-, ewang, -i, inca, -ku, mo-,
madaki, dan -na. Kata sio-siomo mengandung makna permohonan
yang sopan. Kata Opu (Tuhan) menegeaskan bahwa yang
permohonan ditujukan pada Tuhan. Awalan kata kerja a- dan
akhiran –ku pada kata atarimaku (menerimaku) membayangkan
makna diterima di sisi Allah. Kata bee yang menyatu dengan kata
kerja ku-ewangi (untuk kulawan) mengekspresikan seseorang yang
berupaya melawan sesuatu. Inca-ku artinya hatiku. Awalan mo-
dan akhiran -na pada kata momadakina menegaskan sebuah inca
(hati) seseorang yang busuk. Interpretasi dari kalimat tersebut
menegaskan bahwa seorang MIK memohon dengan sangat kepada
Tuhannya agar diterima di sisinya dengan cara menunjukkan
perjuangan melawan keburukan hati.
Kalimat pada baris 27-28 dibentuk dari kata ku, sarongi, -
a, kabanti, inca, sii, Bula, Malino, ka-, pekaruna, -na, dan inca.
Kata ganti aku (-ku) yang terhubung dengan kata kerja sarongi
artinya menamai. Akhiran –a pada kata tersebut membayangkan
seseorang sedang menamai sesuatu. Kabanti berarti syair,
mengkespresikan bahwa kata benda yang dinamai Idrus. Kata
incia (dia) adalah sebutan untuk orang/benda ketiga (ghaib) dan sii
artinya ini, menunjuk kabanti. Kalimat tersebut secara metaforis
menafsirkan bahwa syair beserta penentuan judulnya begitu
relevan dengan kondisi hati (qalbu) manusia yang fluktuatif.
Ketika MIK mulai menyimpang, maka syair yang dikarangnya
139
akan menjadi cermin untuk mengintrospeksi diri.12 Kata bula
artinya purnama atau bulan. Malino bermakna tenang, cerah, dan
damai. Sementara pekarunana di sini karena berhubungan dengan
hati manusia, maka bisa diartikan melunakkan atau
menstabilkan.13 Kata inca artinya hati manusia, berkorelasi
dengan kata kapekarunana. Metafora dari bula malino pekarunana
inca bermakna bahwa syair ini mengandung pesan-pesan untuk
melunakkan kerasnya hati.
2. Baris 29-42: Gambaran Kehidupan Dunia
Kejadian yang diceritakan dalam bait tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Kesenangan dunia yang memabkukkan membuat lupa diri.
b. Kematian memisahkan kita dengan anak-anak, kenalan
(teman), family, dan yang lainnya.
c. Mengendalikan nafsu duniawi dan cenderung pada nafsu
mardhiyah
12 Upaya Muhammad Idrus Kaimuddin mengadakan sayembara
mengarang kabanti untuk melestarikan kebudayaan islam di Buton bisa menjadi peringatan bagi para pejabat kerajaan agar menjadi pribadi seperti anjuran dalam Kabanti. Dengan itu, dapat dipahami bahwa dengan memulai dari diri Sultan dan diri para Pejabat Keraton, maka akan mudah untuk mengajarkan nilai-nilai keislaman melalui kabanti kepada masyarakat agar menjadi masyarakat islami nan qur’ani yang selalu memuhasabah diri.
13 Menggunakan kata pekarunana yang berarti yang melunakkan dibayangkan bahwa, jika hati telah keras maka kebaikan akan enggan dilakukan. Sejumlah manusia yang telah menduduki jabatan sehingga dihargai masyarakat akan semakin menguji hatinya untuk terhindar dari sifat riya dan keras hati.
140
d. Mengajari14 dan mengasihi diri sendiri lebih baik daripada
di ajari dan dikasihi oleh orang lain.
Pada kalimat pernyataan di baris 29-30 dibangun dari kata
eee, karoku, bega-bega, umalango, inda, ufikiri, kampodo, -na,
umuru, dan mu. Kata ee membayangkan seorang sedang
memanggil dirinya sendiri. Kata bega-bega artinya berlebihan.15
Umalango artinya mabuk, metafora dari mabuk adalah mabuk
keduniaan. Kata indaa (tidak) berkorelasi dengan kata kerja
ufikiri artinya kau pikir menegaskan makna peringatan dengan
bentuk pertanyaan, yaitu tikdakkah engkau pikir. Awalan ka- dan
akhiran –na pada kata kampodona (betapa singkatnya)
menegaskan sesuatu yang singkat. Sesuatu yang singkat itu adalah
umuru (usia). Akhiran –mu adalah kata ganti dari ingko (kamu)
dipakai pada kata benda. Sintaksis dari kalimat tersebut adalah
keduniaan sangat memabukkan dan membuat kita lupa betapa
singkatnya usia.
Kalimat pada baris 31-32 dibentuk dari kata mate, -mo,
yitu, taomo, papogaa, -ko, tee, malingu, sabara, manga, ana, dan
-mu. Akhiran –mo pada kata matemo (kematian) dan yitu (itu)
mengandung makna penegasan. Kata taomo artinya adalah yang
akan. Akhirna –ko kata pendek dari ingko (kamu) yang terhubung
dengan kata papogaa menggambarkan sesuatu yang berpisah. Tee
14 Stilistik mengajari di sini adalah memperingati, muhaasabah, dan
menyadari perbuatan dosa. 15 Boli umalango (jangan mabuk) di sini bukan karena khamar atau
miras, dan semacamnya. Malango dalam Wolio Dictionary artinya: sibuk (Anceaux: 101). Karena mabuk yang dimaksud adalah tentang keduniaan. Diksi mabuk yang berarti sibuk di sini, sangat tepat jika dibangun dengan kata dunia. Maka, kata bega-bega cukup relevan disandingan dengan kata keduniaan.
141
adalah kata hubung, menyatu dengan kata malingu artinya
segalanya atau semuanya (jamak). Kata sabara artinya adalah
apa saja dan lekat dengan makna kata malingu (semua). Manga
kata ganti untuk orang banyak (ghaib) artinya mereka. Kata ana-
mu (anak) menjelaskan stilistika kalimat bahwa kematian akan
memisahkan manusia dari kehidupan dunia, termasuk anak cucu
dan segala apa yang dimiliki di dunia.
Metaforis kalimat pada baris 33-34 tersusun dari kata temo,
duka, sabara, manga, musiraha, -mu, witinayi, atawa, mo-,
sagaana, dan na. kata temo dan duka menggambarkan sebuah
hubungan dengan kalimat sebelumnya, artinya demikian juga.
Pada kata sabara dan manga telah dijelaskan di atas. Kata ganti
ingko (-mu) pada kata musirahamu menegaskan makna
kenalanmu. Kata witinai artinya sepupu atau family. Pada kata
atawa dan mosaganaana (atau yang lainnya) menegaskan bahwa
yang akan ditinggalkan seorang hamba dari kehidupan fana selain
sanak family, kenalan, dan kerabat lainnya.
Pada kalimat pernyataan di baris 35-36 dibangun dari kata
ee, karoku, adaa-dari, karomu, nafusu, -mu, bega-bega, uose, dan
–a. Pengarang mengulangi kembali kata ekarou dan dieruskan kata
perintah: ada-adari karomu. Kata karomu adalah, MIK menyeru
dirinya sendiri. Nafusu artinya nafsu. Kata bega-bega maknanya
adalah larangan berlebihan, berkorelasi dengan kata uyoseya
artinya kau ikuti. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa
seorang MIK, sebagai pengarang syair, mengingatkan dirinya agar
senantiasa bermuhasabah serta tidak terlalu mengikuti hawa nafsu.
142
Kalimat pada baris 37-38 dibentuk dari kata tabea, -na, -
mo, nafusu, raudhiyah, nafusu, sarongi, dan marudhiyah. Akhiran
–na dan –mo pada kata tabeanamo menggambarkan makna
pengecualian. Nafusu artinya nafsu (pada manusia) berkorelasi
dengan kata raudhiyah menunjukkan ada tingkatan nafsu yang
baik dalam diri manusia. Raudhiyah dan Mardhiyah adalah nafsu
ketuhanan yang amat halus dan lembut. Dalam bahasa arab,
radhiyah adalah masdar yang berarti rida (rela). Sementara
mardhiyah adalah maf’uulun bih yang berarti diridai (oleh Allah
SWT). Tingkatan pertama, radhiyah adalah nafsu yang hanya
fokus pada kecintaan diri pada Allah SWT. Sedangkan mardhiyah
ialah bentuk nafsu yang terfokus pada kecintaan hanya kepada
Allah SWT dan tingkatannya telah sampai pada balasan cinta dari
Allah.16 Stilistika kata tersebut menunjukkan upaya pengarang
menasihati diri untuk menuju pada tahap insan kamil pada ilmu
tasawuf.17
Retoris kalimat pada baris 39-40 tersusun dari kata mo,
sarewu, guru, be, mo-, adarii, -ko, indaa, mo-, lawa, -na, ada-
adari, karo, dan –mu. Kata mo sama dengan moa artinya meskipun
berkorelasi dengan kata sarewu yang berarti meskipun seribu. Kata
be- merupakan awalan kata kerja artinya hendak. Guru seperti
dalam bahasa Indonesia guru yang bertugas mengajar. Awalan mo-
dan akhiran –ko pada kata moadariko (yang mengajarimu)
mengekspresikan adanya penegasan. Kata indaa artinya tidak.
16 Mardhiyah merupakan bentuk keselarasan dan menyatunya cinta
hamba dengan Allah SWT. 17 Seperti yang diungkap Syafiuddin saat diwawancara. Ia mengatakan
bahwa kabanti merupakan ajaran tashawuf.
143
Molawana berkorelasi dengan kata indaa secara sintaksis artinya
tiada bandingnya. Kata ada-adari berasal dari kata adari: artinya
ajari, pengulangan kata berarti terus menerus. Karo dan mu
maksudnya mengajari dirimu sendiri (Idrus sendiri). Interpretasi
kalimat tersebut adalah keyakinan Idrus tentang mengajari diri
(bermuahasabah) secara terus menerus lebih lebih besar efeknya
dibanding orang lain meskipun yang mengajari kita ribuan guru.
Pada kalimat pernyataan di baris 41-42 dibangun dari kata
mo- tuapa, kaasi, -na, mia, yitu, iinda, be-, akawa, kaasi, -na, i,
karo, -mu. Walan mo- pada kata motuapa (walau bagaimana)
menegaskan makna perbandingan. Kata kaasi artinya rasa kasih
atau mengasihi.18 Akhiran –na membayangkan seseorang,
berkorelasi dengan kata mia artinya manusia. Kata yitu
mengeaskan kata mia artinya itu. Iinda artinya tiada berkorelasi
dengan kata kerja akawa (sampai), maksudnya adalah tak akan
menyamai. Kata kaasina seperti yang sudah dijelaskan. Kata i
(pada) dan karo-mu artinya dirimu. Secara semantik pada kalimat
tersebut menunjukkan bahwa peran diri sendiri untuk melawan
penyakit hati dan hawa nafsu lebih menentukan dari nasehat ribuan
orang. Begitupun pada ekspresi rasa peduli dari orang lain, tidak
akan menyaingi efek dari rasa peduli pada diri sendiri.
18 Kaasi yang dibangun dalam kalimat tersebut oleh orang buton
dimaknai menyayangi, mengasihani. Mengasihani diri karena sudah banyak melakukan perbuatan dosa.
144
3. Baris 43-50: Rukun Islam dan Ibadah Fardhu
Kejadian pada bait tersebut menceritakan kewajiban Rukun
Islam. Strukturnya sebagai berikut.
a. Selalu shalat.
b. Selalu Puasa Ramadhan.
c. Zakat Fitrah di hari-hari akhir puasa.
d. Berzikir selalu serta bershalawat atas Nabi.
e. Shalat tengah malam (berdo’a saat Tahajjud).
Pada kalimat pernyataan di baris Kalimat 43-44 dibangun
dari kata ee, karo, ku, menturu, sambahea, tee, poasaa, i, nunca,
-na, dan Ramadhani. Pada kata ee dan karoku, seperti dijelaskan
sebelumnya, merupakan seruan untuk diri sendiri. Menturu
artinya selalu, dihubungkan dengan kata sambaheya
(sembahyang), secara stilistika, maknanya adalah kewajiban
shalat tidak hanya sekali dalam sehari atau sehari saja dalam
setahun.19 Kata tee yang terhubung dengan poasaa
menegkspresikan anjuran berpuasa sebanyak 29/30 hari. Kata I
nunca -na sering telah di jelaskan, artinya di dalam. Akhiran –na
mengekspresikan ramadhani yang berarti Ramadhan. Shalat dan
puasa merupakan ibadah yang membutuhkan keimanan dan
keistiqomaan yang mantap. Keistiqomaan yang benar sudah pasti
19 Menturu berarti selalu, ia juga membayangkan adanya makna
anjuran shalat sunnah, sebab shalat wajib jumlahnya lima kali sehari semalam. Shalat juga membuat hati tenang (Q.S. Ar-Ra’d: 28). Kata tersebut sangat relevan dengan ucapan Lambalangi ketika diwawancara, bahwa masyarakat mulai menyimpang dari syari’at Islam pada masa Kabanti dibuat dan dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari.
145
didukung oleh hati yang bersih dan ketakwaan yang meningkat.
Sehingga, diksi menturu dari sintaksis kalimat tersebut
merupakan pilihan kata yang tepat terhadap sifat manusia di mana
kualitas keimanannya bersifat fluktuatif.
Kalimat pada baris 45-46 dibentuk dari kata fitaraa, -mu,
boli, umalinga, -ea, palimba, -ia, ahiri, -na, dan poasaa. Akhiran
–mu pada kata fitaraamu menyatakan makna zakat fitrah seorang
hamba yang mukallaf. Boli artinya jangan, terhubung dengan kata
umalinga (lupa) dan –ea (membayangkan adanya sesuatu)
menegaskan larangan agar tidak melupakan kewajiban zakat
fitrah. Akhiran –ia (kata ganti zakat fitrah) pada kata kata kerja
palimba mengandung makna perintah agar mengeluarkan zakat
fitrah. Ahiri artinya akhir, dengan akhiran –na sebagai kata ganti
dari puoasaa (puasa); menjelaskan batas waktu mengeluarkan
zakat fitrah sampai akhir puasa atau sebelum Shalat Idul Fitri.
Secara tematik, kalimat tersebut mengacuh pada Rukun Islam
secara berurutan (Shalat, puasa, dan zakat).
Susunan kalimat pada baris 47-48 adalah dari kata
zikirillahi, menturu, akea, mpuu, tee, salawa, salamu, i, Nabii,
dan –mu. Pada kata zikikirillahu menegaskan agar tetang zikir
kepada Allah. Menturu berkorelasi dengan kata akea (tertuju pada
zikirillahi) mengekspresikan bahwa zikir kepada Allah itu harus
dirutinkan. Kata mpuu menegaskan makna lebih atau sangat pada
146
kata menturuakea.20 Tee salwa salamu menyatakan juga banyak-
banyak bershalawat. Kata i berarti pada, dihubungkan dengan
kata Nabii; artinya pada Nabimu. Akhiran –mu membayangkan
adanya seorang yang menyimak. Sintaksis dari kalimat tersebut
adalah seringnya mengingat Allah dan bershalawat atas Nabi akan
memberikan kedamaian serta mendatangkan kemudahan dalam
mememerangi penyakit hati dan nafsu duniawi.
Pernyataan kalimat di baris 49-50 dibangun dari kata
pontanga, malo, bangu, eemani, amponi, iincafuaka, ka-, daki, -
na, amala, dan –mu. Kata pontanga berkorelasi dengan malo
artinya tengah malam. Bangu berarti bangun, maksudnya adalah
bangun dari tidur. Kata eemani (meminta) merupakan perintah
untuk meminta. Amponi maksdunya adalah ampunan dari Allah
pada saat tengah malam.21 Akhiran –aka pada kata iincafu
(isnyaf) mengandung makna agar. Awalan ka- dan akhiran –na
pada kata kadakina menegaskan sebuah keburukan.22 Kara amala
yang berarti amal (perbuatan) terhubung dengan akhiran -mu
sebagai kata ganti dari ingko (kamu). Kalimat tersebut
menyimpulkan bahwa, ketenangan hati serta khusyuk dalam
beribadah (seperti zikir) sangat tepat aplikasinya di waktu shalat.
20 Kata menturu dalam bahasa wolio adalah sering. Namun, ada kata
penekanan yang sering dihubungkan dengan kata kerja, yaitu; akea (kan) dan mpu (sangat, sekali, banget, dan lebih).
21 Lihat Q.S 17:79 (Al-Israa’). Dalam Tahajjud mengandung harapan semoga Allah memuliakan hamba dan diberikan tempat yang baik.
22 Dalam Wolio Dictionary (Anceaux: 54) kadaki: keburukan, kejahatan, tingkah laku yang buruk, kesukaran, penderitaan, kesengsaraan. Na pada kadaki membayangkan tingkah laku yang buruk yang masih cenderung dilakukan.
147
MIK menyebut bahwa terbangun di tengah malam sangat baik
digunakan untuk bertobat dan memohon ampunan.
4. Baris 51-58: Penjelasan Sifat Gibah dan Fitnah
Identifikasi narasi dakwah dari cerita pada bait tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Larangan membual.
b. Larangan mengumbar aib.
c. Hukuman membual dan fitnah.
Kalimat pernyataan pada baris 51-52 dibangun dari kata ee,
karoku, boli, manga, bua-bua, temo, duka, boli, umanga, dan
humbu-humbui. Kata ee dan karoku telah dijelaskan di muka
(wahai dirku). Kata boli merupakan kata larangan (jangan).
Manga yang terhubung dengan kata bua-bua mengekspresikan
kata kerja yaitu sifat menggunjing, maknanya dekat dengan kata
humbu-humbu yang berarti mengumpat atau memfitnah. Larangan
MIK pada klimat tersebut menjelaskan bahwa sifat saling
mengumpat akan menimbulkan fitnah. Keharmonisan
silaturrahmi yang kuat antar sesama akan ternodai bahkan
terputus oleh sifat yang suka mengumpat (gosip).
Kalimat pada baris 53-54 dibentuk dari kata kadaki, -na,
ta-, bua-bua, ranga, -ta, hari, kiama, naile, bee, dan umarimbi.
Akhiran –na pada kata kadakina mengekspresikan keburukan.
Ta- kata pendek dari kita yang digunakan pada awalan kata kerja.
Kata bua-bua diawali dengan kata ta-; artinya memfitnah. Ranga
148
(sesama) adalah objek dari memftinah. Akhiran –ta menegaskan
makna rangata adalah sesame kita. Kata hari menyatu dengan
kiama yang berarti hari kiamat. Naile menerangkan waktu hari
kiamat; yaitu esok, entah kapan hari, tahun, dan tanggalnya.
Awalan kata be- pada kata kerja umarimbi membayangkan
adanya seorang yang dihukum atas perbuatannya.23 Kalimat
tersebut menjelaskan adanya ganjaran di hari kiaamat berupa
denda terhadap siapa saja yang suka memfitnah sesama.
Kalimat pada baris 55-56 tersusun dari kata kadaki, -na, ta-
, humbug, mia, ranga, -mu, okadaki, -na, ualaa, mea, dan ingko.
Akhiran –na pada kata kadakina (keburukan) bertemu dengan ta-
humbu yang berarti menggunjing (gosip). Mia membayangkan
adanya seseorang yang digunjing. Kata rangamu artinya
sesamamu, berkaitan dengan kata mia. Awalan o- dan akhiran –
na pada kata okadakina mengekspresikan keburukan sesuatu.
Kata kerja uala membayangkan adanya orang yang mengambil.24
Terhubung dengan kata mea (ualamea) yang bermakna; kau akan
mengambil. Kata ingko artinya kamu sebagai pelaku dari kata
ualea (kau ambil). Metaforis dari baris syair ini menjelaskan
denda memfitnah dan menggunjing orang lain adalah, keburukan
yang difitnah bisa kembali ke tukang fitnah.
23 Dalam Wolio Dictionary, rimbiti dari kata rimbi artinya mendenda,
dan menyita. Sehingga, marimba berarti terdenda. Kata tersebut secara stilistik membayangkan makna bahwa ganjaran memfitnah orang akan mendapatkan denda (Anceaux: 153).
24 U adalah awalan kata kerja untuk pelaku persona kedua (tunggal dan jamak). Lihat Wolio Dictionary (188).
149
Pada kalimat pernyataan baris 57-58 dibangun dari kata
okalape, -na, posa, alea, incia, hari, kiama, dela, -mu, bee, dan
atotunu. Akhiran –na pada kata okalapena mengekspresikan
kebaikan dari seorang yang digunjing.25 Posa artinya
(seluruhnya) mengandung makna banyak. Kata alea (mengambil)
secara stilistik mengandung makna mentransfer. Incia artinya dia
atau orang yang menggunjing. Kata hari dan kiama adalah
kesatuan kata yang artinya hari kiamat. Kata dela berarti lidah
dan akhiran –mu kata ganti dari ingkoo (kamu) menunjukkan
lidah si penggunjing. Totunu (dibakar), secara retorik diksi
dibakar menegaskan betapa perihnya lidah jika dibakar tidak
sesingkat lidah yang dipotong. Retoris dari kalimat tersebut
menegasakan bahwa semua kebaikan ditransfer oleh si B dan pada
hari kiamat, lidah si A (tukang gunjing) akan dibakar.
5. Baris 59-66: Makrifat Insaniah
Pada bait tersebut pesan-pesan dakwah menganjurkan
beberapa hal sebagai berikut:
a. Menyucikan diri.
b. Jangan merendahkan orang lain.
c. Jangan meremehkan orang lain.
25 Menggunjing merupaka sifat kadaki (buruk) yang selalu
menghadirkan pertengkaran. Dalam komunikasi masyarakat buton di Tolandona, penulis sering mendengar ungkapan kadaki to karomu, kalape to karoku (keburukan untuk dirimu, kebaikan untuk diriku) untuk meredam emosi dari pedihnya gosip. Tolandona adalah sebuah desa di dataran yang menggunakan bahasa wolio asli. Al-Mujazi mengatakan, bahasa Keraton di Wolio sama persis dengan Tolandona.
150
d. Menyadari hinanya manusia berasal.
e. Manusia akan hancur bersama tanah.
Kalimat pernyataan pada baris 59-60 dibangun dari kata ee,
karoku, inca, -mu, pe-, kangkilo, -a, nganga, randa, -mu, boli,
umanga, dan pipisi. Kata yinca artinya hati. Akhiran –a pada kata
Pekangkiloa menyatu dengan kata inca mengandung makan
anjuran untuk membersikan. Kata nganga menyatu dengan randa
artinya lubuk hati. Akhiran –mu menunjukkan kepemilikan
(kamu). Kata boli (jangan) bermakna larangan. Umanga
membayangkan anjuran kepada sejumlah orang (banyak orang).
Kata pipisi artinya mencela dan merendahkan. Kalimat tersebut
menganjurkan agar senantiasa membersihkan hati. Kemudian
melarang untuk selalu berniat mencela sesama.
Kalimat pada baris 61-62 dibentuk dari kata tee, boli,
umanga, pisaki, fikiri, -a, ka-, tambe, -na, karo, dan -mu. Kata tee
menjelaskan adanya hubungan dengan kalimat sebelumnya. boli
merupakan larangan artinya jangan. Kata umanga membayangkan
sejumlah orang. Pisaki berarti menghina, dihubungkan dengan
kata boli merupakan larangan untuk menghina. Akhiran –a pada
kata kerja fikiri merupakan anjuran untuk berfikir sebelum
bertindak. Kata katembe dan akhiran – na mengekspresikan
kehinaan seorang. Gabungan kata karo dan –mu menegaskan
makna kehinaan pada diri sendiri. Jadi, kalimat tersebut
menegaskan bahwa semua manusia sama di sisi Allah. Sehingga,
sintaksis dari kalilmat tersebut adalah sebelum menghina orang
151
lain, dianjurkan untuk melihat pada kekurangan (kehinaan) dalam
diri sendiri dulu.
Metaforis kalimat pada baris 63-64 tersusun dari kata
uuwe, satiri, baana, -mo, mina, -mu, simbao, duka, ka-, dadi, -na,
maka, dan yitu. Kata uuwe artinya air dihubungkan dengan kata
satiri (setetes), maksudnya adalah air nuthfah (sperma). Akhiran –
mo pada kata baanamo dan mina-mu mempunyai arti yang sama
yaitu asal atau awal. Sintaksis dari kedua kata itu menegaskan
maksud sperma merupakan asal manusia. Itulah sebabnya manusia
disebut sebagai makhluk yang hina. Kata simbo mengandung
makna sama dengan. Kadadina berasala dari kata dadi artinya
hidup, menyatu dengan awalan ka- dan akhiran –na serta kata
maka; kalimat ini membayangkan adanya sesuatu yang hidup
(makhluk lain). Kata yitu artinya itu menunjuk pada kata kadadina.
Maksudnya adalah, begitupun makhluk lain, asal kejadiannya dari
setes air.
Kalimat pernyataan pada baris 65-66 dibangun dari kata i,
nunca, -na, tana, naile, uhancuru, -mo, uposalo, -mo, tee, tana,
koburu, -mu. Kata i nunca artinya di dalam dan akhiran –na
menggambarkan sebuah tempat. Tana artinya tanah menegaskan
makna di dalam tanah yaitu kuburan. Akhiran –mo pada kata
uhancurumo menegaskan sosok jasad (orang) dihancurkan oleh
tanah. Akhiran –mo pada kata kerja uposalo menjelaskan
seseorang yang bercampur dengan sesuatu. Tee maksudnya
dengan. Kata tana berkorelasi dengan koburu, menggambarkan
makna tanah yang ada dalam kuburan. Akhiran –mu menunjuk
152
pada komunikan artinya kamu (kependekan dari ingko). Kalimat
tersebut menafsirkan bahwa jasad akan hancur dan melebur
dengan tanah (di dalam kuburan).
6. Baris 67-82: Gambaran Dunia Fana
Pada bait tersebut juga nasihat pada diri pengarang sendiri.
Kejadian yang diceritakan adalah tentang kenikmatan dunia.
Kekuasaan (jabatan), kebangsawanan, hiasan dunia, tidak kekal
selamanya. Hati nurani yang sucilah yang mampu dibawa sampai
hari akhirat kelak. Fitnah dunia atau kesenangan dunia bagaikan
orang berdagang dengan cara berlayar ke pulau-pulau. Jika barang
dagangan habis, maka kapal dagangan juga sudah pasti akan
bertolak meninggalkan pulau tersebut.
Pada kalimat pernyataan baris 67-68 dibangun dari kata ee,
karoku, fikiria, mpuu-mpuu, kakawasa, tangkana, -mo, i, dan
duniaa. Kata ee dan karoku menggambarkan makna seruan untuk
diri sendiri. Akhiran kata kerja –a pada kata fikira
mengekspresikan seruan untuk memikirkan sesuatu. Mpuu-mpuu
Kata dasarnya adalah mpuu yang mengandung arti kesungguhan.
Jika dilihat dari pengulangan katanya, ini menunjukkan keseriusan
untuk memahami atau memikirkan sesuatu. Kata kakawasa berarti
kekuasaan yang menggambarkan masa kekuasaan MIK sebagai
Sultan, serta pejabat-pejabat keraton lainnya. Hubungan kata i dan
dunia mengespresikan eksistensi kekuasaan yang disandang
manusia hanya di dunia saja. Retoris kalimat tersebut adalah
153
peringatan tentang kenikmatan dunia yang meliputi kekuasaan
atau jabatan di mana sifatnya hanya sesaat.
Kalimat pada baris 69-70 terdiri dari kata okalaki,
tangkana, -mo, i, wei, tee, malingu, ka-, beloka, -na, dan duniaa.
Okalaki dan kakawasa berhubungan dengan kebangsawanan yang
ada di dalam masyarakat Buton. Ada tiga tingkatan yaitu kaomu,
walaka, dan papara.26 Kata tangkanamo artinya hanya yang
mengandung makna penegasan, terhubung denan kata i dan wei
(di sini), maksudnya adalah hanya di dunia. Tee dan malingu (dan
segala hal) menegaskan lebih dari satu (banyak). Kata kabelokana
membayangkan adanya manusia yang punya segalanya hingga
harta. Perhiasan ini meliputi segalanya mulai dari kakawasa,
kalaki, dan perhiasan (kabeloka) lainnya. Sehingga, maksud dari
kalimat tersebut menegaskan kembali bahwa kebangsawanan,
perhiasan, dan nikmat keduniaannya lainnya tidak akan dibawa
ke akhirat.
Susunan kalimat pada baris 71-72 dari kata akawaa, -ka,
naile, muri-muri, -na, a-, mapupu, -mo, bari-baria, dan yitu.
Akhiran –ka pada kata akawaaka artinya masa yang akan datang.
Kata naile berarti besok yang terhubung dengan kata muri-murina
sehingga maksud hari besok adalah hari akhir (kiamat). Awalan
a- dan akhiran –mo pada kata amapupumo berarti akan habis,
sebagai metafora dari kata hari akhir yaitu hari penghabisan. Kata
26 Ada perbedaan antara bangsawan yang tidak memenuhi syarat untuk
memegang jabatan tinggi. Bangsawan yang boleh memegang jabatan itu adalah yang bergelar La Ode. La Ode adalah gelar untuk bangsawan golongan kaomu.
154
bari-baria dan kata yitu menunjuk pada tiga elemen di atas,
kakawa, kalaki, dan beloka. Interpretasi dari kalimat tersebut
bahwa ketiga elemen tersebut akan musnah dan tidak berguna di
hari penghabisan.
Kalimat pernyataan pada baris 73-74 dibangun dari kata
tangkana, -mo, toto, -na, inca, mangkilo, bee, molagi, -na, naile,
muri-muri, dan –na. Kata tangkanamo membayangkan ada
pengecualian yang bisa dibawa oleh hamba menuju akhirat.
Secara sintaksis, totona (kelurusan) dan yinca menggambarkan
kesucian hati manusia. Toto artinya benar, sesuai, lurus.27 Kata
mangkilo menegaskan kedudukan hati yang bersih (suci). Kata
bemolagina bermakna kekal, menjelaskan amal perbuatan
manusia itu kekal. Maka, dapat dipahami bahwa hati yang suci
berkaitan dengan amal saleh. Kata naile dan muri-murina artinya
hari akhir. Maksud MIK adalah hanya amal saleh serta kesucian
hati (keimanan yang kuat) yang akan menjadi teman hamba di
akhirat.
Kalimat pada baris 75-76 dibentuk dari kata ee, karoku,
togaasaka, mpuu-mpuu, okadaki, -na, fitanaa, -na, dan duniaa.
Pada kata ee dan karoku artinya wahai diriku. Kata mpuu-mpuu
setelah kata togaasaka menjelaskan upaya kesungguhan MIK
untuk menghindari fitnah. Kata okadakina menegaskan buruknya
efek fitnah. Kata fitana secara sintaksis bermakna bahwa
kenikmatan dan kesenangan dunia adalah fitnah dan muslihat.
27 Wolio Dictionary, J. C. Anceaux (Foris Publication Holland: 1987),
Hal. 185.
155
Sehingga, kalimat tersebut menceritakan bahwa, keburukan fitnah
dunia dapat dihindari dengan menjauhinya dengan uapaya
memahami bahwa fitnah hanyalah muslihat dunia.
Retoris kalimat pada baris 77-78 tersusun dari kata
pamana, ubose, padaaka, uhela, -mo, iinda, bee, ulagi, i, lipu,
podagaa, dan -mu. Kata pamana (bagaikan) mengumpamakan.
Ubose artinya mendayung, seakan menggambarkan tradisi
kehidupan masyarakat Buton sebagai pelaut. Kata padaaka
artinya sedikit lagi (hitungan mundur), menegaskan bahwa hari
kiamat tidak lama lagi datang. Akhiran –mo pada kata kerja uhela
mengandung makan telah/sudah. Hela (Tarik), membayangkan
seseorang menarik tali kapal. Kata artinya tidak. Secara metaforis,
beulangi pada tradisi berlayar, menganalogikan kehidupan di
dunia yang tidak bisa terulang kembali. Kata i dan lipu
menggambarkan sebuah tempat tinggal, seperti pulau, negara, dan
dunia. Kata podagaamu berkorelasi dengan kata lipu, ia
mengekspresikan makna perdagangan. Perdagangan dalam
kalimat tersebut berhubungan dengan kapal-kapal perdagangan di
pulau Buton.28 Kaliamt tersebut mengibaratkan perjalanan
kehiduan menuju kematian kematian seperti halnya kita sedang
berlayar menelusuri samudera.
28 Di kutip oleh Pallaloi dalam Kota Baubau: Editor bahwa pelayaran
telah menjadi ruh di Kesultanan Buton. Ini disebebkan posisi geografisnya berada di jalur perdagangan rempah-rempah. Kapal-kapal dagang milik VOC singgah di Baubau dalam perjalanan dari negeri rempah-rempah Maluku ke Jawa begitupun sebaliknya.
156
Kalimat pernyataan pada baris 79-80 dibangun dari kata
dunia, sii, mbooresa, momarungga, tula-tula, i, hadisi, -na, dan
Nabii. Kata duniaa artinya dunia dan sii berarti ini, kata mbooresa
artinya tempat tinggal. Kata mo- adalah awalan kata kerja untuk
membuat partisip aktif sementara ma- adalah awalan kata kerja
intransitif. Maka kata momarungga menjelaskan dunia yang
memiliki batas akhir. Tula-tula artinya kisah atau cerita. Kalimat
i hadisina Nabi berarti di dalam hadis Nabi. Secara metaforis,
maksud MIK bahwa kita harus merujuk ke hadits Nabi suaya
menyadari bahwa dunia ini tidak kekal.
Kalimat pada baris 81-82 dibentuk dari kata incema-
incema, mia, mo-, parewosii, -a, satotuuna, mia, yitu, dan kaafiri.
Awalan mo- dan akhiran –a pada kata moperawasiia
menggambrkan makna mendustai atau tidak meyakini hadits.
Kata tersebut dibangun setelah kata yincema-yincema miya, miya
menunjukkan adanya orang, yincema-yincema bermakna setiap
manusia tanpa terkecuali. Jika memperhatikan kalimat (82),
orang yang mendustai hadits tersebut adalah kafir. Kata
satotuuna29 secara stilistika membayangkan keimanan seseorang
yang sebenarnya belum paham Islam.
29 Dalam kalimat lain seperti satotuna miya yincamai mina yi wolio
yang artinya sebenanrya orang tersebut berasal dari wolio. Jadi, satotuna menunjukkan makna hakekat seseorang. Sehingga, dalam baris 82, tidak tersirat unsur mengkafirkan seseorang.
157
7. Baris 83-112: Istikamah pada Kebaikan
Pada bait tersebut pengarang menganjurkan dirinya untuk
senantiasa bertawakkal serta berpegang teguh pada janji Allah.
Diceritakan bahwa dunia tempat yang mengandung banyak dosa.
Begitu banyak racun yang membinasakan. Racun tersebut
bersumber dari indra manusia. Racun itulah yang dapat
membekkukan hati. Musuh yang kekal pada diri manusia terdapat
di antara kedua tulang rusuk yaitu hati. Untuk melunakkannya,
manusia senantiasa berzikir dan bertawakkal kepada Allah SWT
serta selalu mentransfer ungkapan-ungkapa baik yang berasal dari
orang saleh.
Penegasan agar tidak jenuh mendengarkan ajaran
kebaikan. Kebaikan merupakan kebahagiaan jika diikuti dengan
sungguh. Sekalipun kebaikan berasal dari orang gila atau dari
binatang, juga dapat membuat manusia menjadi baik. Relevan
dengan sabda Rasulullah saw yang artinya: ambillah kalian ilmu
itu meskipun berasal dari mulut binatang demi menuju jalan
kebaikan.
Kalimat pernyataan pada baris 83-84 dibangun dari kata ee,
karoku, tawakala, mpuu-mpuu, pengkenisi, -a, janji, mina, i, Opu,
dan –mu. Kata ee karoku kembali ke MIK. Tawakkal artinya
bertawakkal atau berserah diri kepada Allah. Kata mpuu-mpuu
menegaskan kesungguhan bertawakal. Pengkenisia dibangun dari
kata pengkeni dan akhiran si-a menegaskan perintah untuk
memegang sebuah pegangan (pedoman). Kata janji yang
158
dibangun bersama kata mina i Nabii menginterpretasikan bahwa,
pedoman yang dipegang oleh seorang hamba adalah sesuatu yang
telah dijanjikan oleh Nabi Muhammad saw.
Kalimat pada baris 85-86 dibentuk dari kata dunia, sii,
mbooresa, -na, karimbi, abari, mpuu, racu, ibinasa, dan –aka.
mbooresana terdiri dari dua kata yaitu mbooresa sebagai tempat
berhuni dan akhiran -na membayangkan adanya sesuatu yang
dihunia. Karimbi adalah kesalahan atau perbuatan salah.
Perbuatan salah ini tak terlihat, namun merajalela di dalam dunia.
Karimbi adalah sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama.
Pada kalimat abarimpu racu yi binaasaka (86), dibangun dari kata
bari, racu, dan binasa. Bari (banyak) membayangkan karimbi
(kesalahan) berhubungan dengan racu (racun) dan ibinasaaka
(yang membinasakan). Secara stilsitika, ibinaasaka
menggabarkan adanya sumber racun.30 Kalimat tersebut
mengingatkan bahwa dunia tempat bersarangnya kejahatan dan
racun yang membinasakan potensi kebaikan pada diri manusia.
Retoris kalimat pada baris 87-88 tersusun dari kata omina,
-na racu, ibanasa, -aka oporango, opokamata, dan opebou. Kata
ominana mengekpresikan sumber dari hal yang membinasakan
manusia. Kata oporango, opokamata, dan opebou
menggambarkan adanya tiga sumber racun yang membinasakan
manusia. Ketiga sumber tersebut berasal dari panca indra
30 Racu menyatu dengan kata ibinasaaka. Di satu sisi, ibinasaaka
bermakna yang membinasakan. Namun di sisi lain, jika dilihat di akhir kata ka (ibinasaa-ka) menggambarkan ada sumber yang mempengaruhi binasa tersebut.
159
manusia. Pendengaran yang dijejali berita kotor yang melenakan
mampu meracuni nurani manusia. Arah pandangan negatif akan
memengaruhi behavioral sehingga mengundang mata menjadi
pintu nafsu setan. Begitupun penciuman yang harus dijaga saat
berpuasa dan yang berbauh wangi pada wanita. Ketiga yang
disebutkan di atas punya konstruksi terhadap perasaan manusia
yang mampu membuatnya kotor penuh nanah, dosa, dan perilaku
tercela.
Kalimat pernyataan pada baris 89-90 dibangun dari kata
siitu, -mo, mo-, kawa, -na, i, namisi, morimbiti, -na, inca, -mu,
mo-, malape, dan –na. Kata siitumo menyatakan ketiga element
tersebut. Awalan –mo dan akhiran –na pada kata mokawana
sebagai sebuah jalan yang menghubungkan ketiga elemen menuju
i (ke) namisi (perasaan/hati). Kata morimbitina maknanya bukan
lagi hanya sekedar perbuatan salah. Dalam Wolio Dictionary,
rimbiti artinya menyita (Anceaux 1987:153). Yincamu (hatimu)
momalapena (yang baik), artinya adalah hatimu yang (begitu)
baik. Jika digabungkan, kata morimbitina lebih tepat bermakna
menggerogoti. Sehingga, retoris dari baris tersebut
membayangkan adanya sesuatu yang akan menggerogoti hati
(yang suci).
Kalimat pada baris 91-92 terdiri dari kata mbooresa, -na
nafusuu, mo-, madaki, polotaa, -na, rua-mbali, dan lupe-lupe.
Akhiran -na pada kata mbooresana (tempat tinggal)
menggambarkan sesuatu atau seseorang yang menyinggap pada
sebuah tempat. Nafusuu dan momadaki dua kata yang menyatu
160
(nafsu yang buruk) yang menyinggap pada mbooresa. Pada
kalimat polotaana rua mbali lupe-lupe (92) menceritakan adanya
sebuah tempat yang berada di antara dua bagian. Kata ruambali
berkorelasi dengan lupe-lupe adalah kedua tulang rusuk. Jika
digabungkan dengan kalimat sebelumnya, metaforis dari kalimat
tersebut menginterpretasikan sebuah tempat hinggapnya nafsu
yang buruk. Tempat yang disinggapi tersebut letaknya di antara
dua tulang rusuk. MIK menegaskan bahwa di antara kedua rusuk
adalah hati (tempat hati berada), di mana dari hati itulah sumber
nafsu yang buruk.
Narasi pada baris 93-94 tersusun dari kata siitu, -mo, ewali,
-na, molagina, mo-, topene, -na, incana (i nuncana), karo, -ta, dan
sii. Akhiran –mo pada kata siitumo (itulah) menunjuka kepada
hati yang berada di antara dua tulang rusuk. Ewali-na
menggambarkan hati adalah musuh yang, terhubung dengan kata
molagina yang berarti kekal. Kata incana atau i nunca-na artinya
di dalam-nya, diakhiri dengan kata karo yang berarti diri, dan
akhiran –ta sebagai kata pendek dari kita (diri kita).31 Kata sii
artinya ini, menegaskan kembali kata diri kita (karota). Sehingga,
dapat dipahami bahwa maksud MIK adalah, hati merupakan
musuh yang kekal dan paling utama dalam diri manusia.
Kalimat pernyataan pada baris 95-96 dibangun dari kata
ka-, ewangi, -na, ewali, incia, yitu, zikirillahi, menturu, -akea, dan
mpuu. Awalan kata kerja ka- dan akhiran –na pada kata
31 Kata Karo-ta, pada akhiran -ta maknanya tidak tunggal. –ta
menggambarkan makna lebih dari tiga orang (kita).
161
kaewangina menegaskan pernyataan adanya cara perlawanan.
Kata ewali artinya musuh. Kata incia (dia) dan yitu (itu)
maksudnya adalah hati yang di antara kedua tulang rusuk. Kata
zikirillah adalah berzikir kepada Allah atau mengingat Allah
SWT. Akhiran –akea pada kata menturu-akea sesudah kata
zikirillahi menegaskan agar sering mengingat Allah. Kata mpuu
(keseriusan) satu bangungan dengan kalimat “zikirillahi
menturuakea”. Secara metaforis, kalimat tersebut
menginterpretasikan bahwa seringnya berzikir kepada Allah
melalui shalat dan ibadah utama lainnya mampu mengendalikan
hati (sumber masuknya keburukan).
Retoris kalimat pada baris 97-98 tersusun dari kata iinca, -
mu, yitu, pe-, kaekai, -a, mpuu, iparinta, -na, Opu, -ta, mo-,
makaa, dan -na. Akhiran –mu pada kata iincamu menggambarkan
makna peringatan, artinya hatimu. Katai yitu artinya itu menunjuk
pada hati, yang membayangkan adanya perintah dari komunikator
kepada komunikan. Awalan kata kerja pe- dan akhiran –a pada
kata pekaekaia menegaskan kepada seseorang agar senantiasa
(hatinya) merasa takut.32 Mpuu artinya kesungguhan (sungguh-
sungguh). Iparintana artinya perintah-Nya, akhiran –na
menunjuk kepada Allah Swt. Dihubungkan dengan kata
pekaekaiya sehingga maknanya adalah ketaatan pada perintah
Allah SWT. Kata Oputa dan momakana menegaskan sifat Tuhan
32 Kata pekaekaiya mengandung makna lain yaitu menaati atau
mengikuti. Ketakutan di sini bermakna ketaatan kepada Allah Swt. D apat dilihat pada kata setelahnya yaitu Iparintana (yang diperintahkan-
Nya).
162
Yang Maha Kuasa. Sintaksis dari baris ini bermakna; dengan
ketaatan yang tinggi kita mampu mengendalikan hati yang busuk.
Kalimat pernyataan pada baris 99-100 dibangun dari kata
tee, umenturu, rango, ooni, malape, kadari, -na, paimia, dan
salihi. Kata tee sebagai jembatan penghubung dengan kalimat
sebelumnya, artinya dan. Awalan kata kerja u- pada kata menturu
bermakna perintah untuk merutinkan. Kata rango artinya
mendengar atau menyimak. Kata ooni berkorelasi dengan kata
malape perkataan baik. Metaforis dari kalimat tersebut
menjelaskan bahwa ucapan positif mampu mencegah obesitas
penyakit hati. Pada kata kaadarina membayangkan adanya
nasihat atau ajaran. Kata paimia terhubung dengan kata salihi,
mengekspresikan bahwa ajaran-ajaran yang didengar berasal dari
orang-orang saleh.
Pada baris 101 menegaskan boli panganta (jangan jenuh)
yang dibangun dengan kalimat bee urango kaadari (untuk
mendengarkan ajaran). Kejenuhan merupakan sifat manusia yang
yang bersumber dari pengaruh bisikan setan. Kaadari
berhubungan dengan ajaran agama.33 Kalimat pada baris 102,
dibangun dari kata baraa, salana, beto, dan bahagiamu. Baraa
dan salana artinya barangkali, menunjukkan makna adanya
peluang dari seringnya menyimak nasehat yang baik. Kata bee
dan too mengekspresikan adanya manfaat dari nasehat-nasehat
tersebut. Kata bahagia dan akhiran -mu adalah manfaat yang
33 Makna lain dari boli panganta beu rango kaadari adalah; jangan
bosan-bosan dinasehati.
163
berupa kebahagiaan (kehidupan bahagia). Bahagia
membayangkan sebuah kehidupan harmonis. Sebuah ajaran
kebaikan akan menjaga kehidupan bahagia jika mampu konsisten
berada di garis kebaikan. Tidak pernah jenuh menyimak dan
mengimplementasikan nasihat yang baik dalam kehidupan.
Kalimat pada baris 103-104 disusun dari kata Ose, -a,
mpuu, saro, i, malape, -aka, yitu, malinguaka, ooni, irango, -mu,
dan yitu. Akhiran –a pada kata kerja osea (ikuti) bermakna
perintah. Mpuu merupakan penegasan kembali dari kata osea
(ikutilah dengan sungguh).34 Kesatuan kata pada kalimat
imalapeaka yitu secara retoris mengekspresikan ajaran yang baik,
dan mengandung makna aktif (bukan pasif). Malinguaka
menunjukkan semua bentuk kebaikan. Stilistika ooni
menejalaskan ucapan dari orang-orang saleh. Bangunan kata
irangomu dan yitu mengingatkan kembali pada ajaran baik yang
telah dan sedang didengar. Jadi, kalimat tersebut menegaskan
agar senantiasa berada di jalur kebaikan dan menyimak segala
ucapan dan nasihat yang didengar.
Metaforis kalimat pada baris 105-106 tersusun dari kata
kawana, -mo, mina, i, mo-, magila, -na, nee, oitu, -mo, saro,
imapale, dan –aka. Akhiran –mo pada kata kawanamo
mengandung makna penegasan artinya sekalipun. Kata mina dan
i menggambarkan sebuah sumber dari sesuatu dan seseorang.
34 Menurut penulis, MIK memakai kata perintah osea, secara sintaksis
membayangkan adanya kemungkinan hilangnya hasrat untuk mendengar ajaran yang baik jika tidak sering mendengar nasihat.
164
Awalan mo- dan akhiran –na pada kata momagilana35
menjelaskan sosok manusia gila atau tidak normal yang masih
hidup. Menurut MIK kebaikan bisa saja berasal dari orang gila.
Kata nee dan oitumo bermakna jika hanya itulah. Saro (yang
dinamkan) membayangkan adanya sumber; yaitu pada kata Yi-
malape-a-ka (hal yang berefek positif). Retoris dari kalimat
tersebut adalah, sekalipun kebaikan bersumber dari orang gila
(magila-gila) bisa jadi memliki pengaruh positif.
Kalimat pernyataan pada baris 107-108 dibangun dari kata
akoonii, -mo, hatimi, Rusuli, Muhammadi, saidina, dan anbiyaa.
Akhiran –mo pada kata akoonimo mengandung makna sudah,
stilistika dari hadits. Sebab, kata akooni dibangun dengan kata
Hatimi Rusuli yang artinya Rasul yang paling akhir. Muhaamadi
yaitu Nabi Muhammad saw. Kata Saidina dan anbiya
menjeleaskan bahwa Muhammad saw merupakan penghulu
segala Nabi. Jadi, MIK ingin menyatakan bahwa semua anjuran
dan nasihat tersebut juga pernah disabdakan oleh Nabi
Muhammad saw.
Kalimat pada baris 109-110 dibentuk dari kata ale, -a,
komiu, katau, yitu, hengga, katau, i, muluti, -na, dan binata. Kata
alea artinya perintah untuk mengambil. Komiu artinya kalian,
jamak (laki-laki atau perempuan). Katau artinya ilmu
35 Mo (yang) magila (edan, gila) -na (akhiran yang menetukan kata
seperti parsitip). Magilana dimaknai orang gila menjadi perumpaan untuk kita pelajari agar akal tetap tenang. Bahkan bisa diartikan magila-gila yang masyarakat wolio memaknainya: bertingkah aneh-aneh dan atau cenderung jelek. Mo-na bisa dibilang sifat seseroang, atau perbuatan seseorang.
165
pengetahuan, ditekankan dengan kata yitu (itu). Hengga artinya
meskipun. Kata i dan mulutina menyatu dengan kata binata:
membayangkan adanya ilmu pengetahuan (kebaikan) yang
berasal dari mulut binatang. Jika dihubungkan secara sintaksis
pada kalimat tersebut, maka makna lain dari mulut adalah tingkah
binatang.36 Sehingga, menurut penulis, reotoris dari kalimat
tersebut menjelaskan bahwa manusia bisa belajar dan mendapat
pengetahuan dari kehidupan binatang.
Sintaksis kalimat pada baris 111 tersusun dari kata nee oitu,
-mo, giu, imalape, dan aka. Kata nee dan oitumo artinya jika
itulah, menggambarkan makna andai tiada lagi sumber kebaikan
yang ada selain belajar dari kehidupan binatang. Kata Giu dalam
kalimat berhubungan dengan saro imalapeaka dalam kalimat
(106). Dua kata tersebut menyatu dalam makna sesuatu (kebaikan
dan ilmu pengetahuan). Dalam bahasa Wolio, saro artinya nama,
dan giu artinya macam, jenis (Anceaux: 1987). Kalimat tersebut
membayangkan adanya suatu masa di mana manusia sudah tidak
lagi menjadi sumber kebaikan dan di mana perilaku dan pola pikir
manusia sudah semakin parah. Sehingga, manusia akan
menyadari bahwa kehidupan binatang sudah lebih baik diri
mereka.
36 Menurut penulis, maksudnya adalah, manusia juga bisa belajar dari
binatang atau kehidupan binatang. Sebab, jika diartikan secara harfiah, mulut binatang, tentu tidak relevan dengan makna kalimat.
166
8. Baris 112-123: Keutamaan Fardhu
MIK menasihati dirinya agar menyesuaikan ucapan dengan
kondisi tempat jika ingin mengatakan sesuatu yang urgent
maupun bercanda. Manusia hendaknya berkata seperlunya dan
menghindari perkataan dan perbuatan yang berlebih-lebihan.
MIK menegaskan bahwa omongan yang melampaui batas dapat
menodai silaturahmi.
Berbicara yang banyak diperbolehkan jika berkenaan
dengan hal-hal yang baik seperti memberi kabar gembira dan lain
sebagainya. Kebaikan yang dimaksud adalah yang berhubungan
dengan Kitabullah (Al-Qur’an), kisah para Nabi serta mukjizat
yang diberikan, critra keramatnya para Wali Allah, beserta
perbuatan orang-orang saleh. Semua dapat dilakukan asal tidak
meninggalkan kewajiban dan menyampingkan hal yang fardhu
serta prioritas bagi diri sendiri.
Kalimat pernyataan pada baris 112-113 dibangun dari kata
ee, karoku, bega-bega, mengkooni, nee, ukooni, sabutuna, dan
haajati. Kata ee dan karoku adalah seruan untuk diri sendiri. Kata
bega-bega bermakan keberhati-hatian, maksudnya agar tidak
lewat batas. Meng-kooni (banyak bicara atau cerewet), meng
menggambarkan seseorang lelaki atau perempuan, tua atau mudah.
Kata nee dan ukooni artinya jika kau mau bicara, secara sintaksis,
menjelaskan sifat manusia yang komunikatif. Sabutuna artinya
seperlunya, menyatu dengan kata haajati artinya keinginan/hajat.
167
Retoris dari kalimat tersebut merupakan penegasan MIK terhadap
dirinya agar menggunakan mulut secara proporsional.
Kalimat pada baris 114-115 dibentuk dari kata upeka, -
lape, inca, -na, mia, ranga, -mu, tee, upakawa, maksudu, -na, inca,
dan –mu. Awalan upeka- yang dihubungkan dengan kata lape
selain perbaiki, makna lainnya: menyelaraskan. Kata inca artinya
hati/perasaan, dengan akhiran –na: kata ganti dari mia sebagai
orang ketiga. Kata rangamu diawali kata mia artinya manusia
sesamamu: menjelaskan bahwa nasihat tersebut hendaknya
diperdengarkan ke orang lain juga entah laki-laki maupun
perempuan. Kata tee u-pakawa mengekspresikan upaya
mencocokkan sesuatu. Maksudu, dan akhiran -na membayangkan
ideologi seseorang. Kata inca-mu (hatimu). Jadi kalimat dari baris
tersebut menjelaskan bahwa agar orang lain tidak tersinggung
hendaknya kita menyelaraskan dan berusaha memahami perasaan
antar sesama.
Retoris kalimat pada baris 116-117 tersusun dari kata ka-,
mengkooni, dala, imarimbi, -aka, tabeana, -mo, ooni, iamalape,
dan –aka. Kata kamengkooni sudah diterangkan di muka, artinya
cerewet. Metafora dari kata dala (jalan) adalah cara atau sumber.
Sebab, i-marimbi-aka membayangkan adanya subjek yaitu sebuah
keburukan (banyak bicara) yang mempengaruhi seseorang (objek)
menjadi hina. Kata tabeanamo menyiratkan ada pengecualian
(istitsnaa). Oni artinya ucapan. Secara semantik, kata imalapeaka
mengekpresikan sebuah perintah berkata baik. Jadi, kalimat
tersebut menyatakan bahwa bicara yang berlebihan mampu
168
membuat manusia menjadi hina, kecuali mampu memahami
proporsi dalam berbicara.
Kalimat pernyataan pada baris 118-119 dibangun dari kata
simbou, -na-mo, tula-tula, -na, Kitaabi, tee, lele, -na, kalabia, -na,
dan Nabii. Kalimat tersebut merupakan representasi dari anjuran
dibolehkan untuk berbicara lebih (mengkooni). Akhiran –mo pada
kata simbouna-mo (kecuali) menegaskan adanya pengecualian.
Kata tula-tula, mengekspresikan sebuah cerita, akhiran –na
merupakan kata ganti orang persona, kedua, ketiga (jamak);
menyatu dengan kata kitabi yang menunjuk arti al-Qur’an.37 Tee
adalah kata penghubung. Kata lele dan akhiran -na menyatakan
adanya kabar berupa cerita-cerita positif yang bersumber dari
mulut kemulut. Kalabiana artinya kelebihan secara stilistika
bermakna mukjizat: sebab menyatu dengan kata Nabi. Jadi,
maksudnya adalah dibolehkan untuk berbicara sebanyak-
banyaknya, jika yang materinya berhubungan dengan kisah dari al-
Qur’an dan cerita mukjizat para Nabi.
Kalimat pada baris 120-121 dibentuk dari kata tee, lolitaa,
-na, karaamati, -na, wali, tee, laku, -na, paimia, dan salihi. Kata
lolitana bermakna kisah, seperti pada tula-tulana. Karamatina
adalah kemuliaan untuk manusia yang dibangun dengan kata
lolitana. Makna wali selain wakil orang tua, juga sebagai
37 Kata kitabi yang ditulis tanpa diawali dengan alif laam atau awal al-
(Al-Kitaabi). Kitabi yang dimaksud adalah al-Qur’an. Kata tersebut sangat relevan dengan ucapan Lambalangi saat diwawancari, bahwa kabanti dibuat dari indikasi masyarakat yang sudah menyimpang jauh ke perbuatan fasik.
169
pengayom umat (Agustin: 537) yang diberikan karomah oleh
Allah SWT.38 Kata laku dan akhiran -na tidak hanya berarti
perbuatan seseorang akan tetatapi, juga bermakna sifat. Kata
paimia mengekspresikan banyaknya orang-orang yang saleh,
entah di mana dan bagaimana fisiknya. Pada kata salihi
menggambarkan adanya tingkatan hubungan derajat, orang saleh
berada pada tingkatan setelah Nabi dan Wali Allah. Dapat
dipahami bahwa maksud MIK, selain kisah dalam al-Qur’an dan
cerita mukjizat para Nabi, kisah-kisah para wali dan certita
pengalaman yang baik dari orang-orang saleh bisa menjadi materi
untuk menyampaikan kebaikan.
Metaforis kalimat pada baris 122-123 tersusun dari kata
somana, boli, ubotuki, waajibu, teei, malingu, faradhuu, i, karoi,
dan –mu. Kata somana dan boli mengekspresikan sebuah larangan.
Pada kata ubotuki menegaskan kemungkinan manusia akan
meninggalkan, menghentikan, dan memutuskan sesuatu. Waajibu
adalah perintah Allah Swt yang jika dikerjakan dibalas dengan
pahala namun sebaliknya akan mendapat imbalan dosa. Tee, kata
penghubung seperti yang dijelaskan di muka. Kata malingu
(segala): jumlah banyak. Faraadhu lekat dengan waajibu
perbuatan yang hukumnya fardhu atau wajib. Kata karo dan -mu
membayangkan seseorang seperti yang dijelaskan di muka,
berhubungan dengan faradhuu. Sehinggaretoris kalimat tersebut
38 Wali atau auliya (jamak) adalah pelindung umat yang diberi karomah
oleh Allah karena ketinggian ilmu dan tingkat ketakwaannya.
170
adalah, hal paling utama dari perbuatan yang baik adalah
memprioritaskan yang fardhu.
9. Baris 124-139: Menjaga Silaturahmi
MIK mengingatkan dirinya untuk tidak mencampur
kebohonngan dalam menyatakan sesuatu yang belum jelas
kebenarannya. Sebab, hal yang demikian itu dapat mencelakai dua
negeri.39 Kemudian, MIK menegaskan untuk tidak berlebihan
dalam bercanda. Saat manusia bercanda, hendaklah bergurau
dalam batas wajar.
Di samping itu, MIK menganjurkan untuk memperbaiki
hubungan sesama dan menghargai perasaan sesama. Ada batasan
dalam bergurau, misalnya bertujuan menguatkan suasana
harmonis dalam keluarga. Selain iut, MIK juga mengisyaratkan
agar waspada terhadap keduniaan dan lebih cenderung melakukan
kebaikan supaya menjadi senjata perlindungan di hari kemudian
nanti.
Kalimat pernyataan pada baris 124-125 dibangun dari kata
ee, karoku, boli, upake, pewuli, aboasaka, saro, iinda, mo-, tinda,
dan –na. Kata Ee dan karoku (wahai diriku) seperti yang dijelaskan
di muka. Kata boli adalah larangan, terhubung dengan kata upake:
39 Beberapa orang menafsirkan lipu ruanguna adalah negeri dunia dan
negeri akhirat. Lihat Laniampe Nasihat Muhammad Idrus Kaimuddin (Kendari: 2009), Hal. 34.
171
artinya berhubungan dengan sedang memakai, dan tingkah laku.40
Kata pewuli bermakna kebohongan, dusta: langsung terucap dari
mulut. Kata aboasaka membayangkan ucapan kebohongan yang
sedang tertutur dari mulut. Saro artinya nama, sebagai perumpaan
sesuatu. Kata yinda dan kata motindana mengekspresikan suatu
yang tidak kasak mata dan belum falid datanya. Sehingga, kalimat
tersebut melarang untuk menyatakan persoalan yang tidak objektif
dengan retorika yang bagus untuk memaksakan kebenarannya.
Kalimat pada baris 126-127 dibentuk dari kata
barangkaala, upake, -mo, incia, yitu, amadaki, -mo, i, lipu,
ruaangu, dan –na. Kata barangkaala artinya (jikalau)
mengekspresikan perbuatan yang sudah dilakukan dengan
terpaksa, sebab terhubung dengan kata kerja upake (sifat). Akhiran
mo- menegaskan kata upake. Kata yinciya membayangkan sesuatu
yang lain, bisa makhluk hidup, sifat, dan benda. Yitu (itu) adalah
kata ganti orang, benda, dan lainnya. Akhiran –mo pada kata
amadakimo membayangkan ada sesuatu yang rusak, binasa atau
hancur. Kata i artinya dalam. Stilistika dari kata lipu di satu sisi
bermakna: negeri, desa, dunia: makna lainnya adalah: kehidupan
dunia, dan kehidupan akhirat. Kata ruangu artinya dua,
menunjukkan ada dua negeri. Akhiran -na merupakan kata ganti
orang persona, kedua, dan jamak. Kalimat tesebut
40 Lihat Anceaux Wolio Dictionary (1987: 122). Makna dasar dari kata
upake adalah pake artinya tingkah laku, kelakuan, dan pada kata kerja yaitu memakai.
172
menginterpretasikan bahwa nasib di dunia dan di akhirat akan
rusak jika di setiap ucapan kita hanyalah kebohongan.
Narasi kalimat pada baris 128-129 tersusun dari kata nee,
ukabonga, boli, upalalo, sara, tontoma, -akea, laenga, -na, mo-
rango, dan –a. Kata nee artinya: kalaupun, jika. Kata ukabonga
mengekspresikan seorang yang bergurau atau bercanda. Boli
(jangan) sebelum kata upalalo (kelewatan), maksudnya jangan
kelewatan bercanda. Kata sara bermakna batas yang sewajarnya.
Akhiran –aeka pada kata tontomaakea menunjukkan isyarat
memperhatikan atau melihat dengan seksama.41 Kata laenga
artinya sebuah kecocokkan, kesamaan, yang dalam hal ini
dianamakan perasaan (kondisi hati). Akhiran -na pengganti orang
ketiga. Kata morango membayangkan terlibatnya orang lain
(manusia). Kata a adalah kata pendek pengganti dari kata kabonga.
Jadi, kalimat tersebut merupakan peringatan bahwa bercanda di
luar batas wajar akan berefek negatif.
Kalimat pernyataan pada baris 130-131 dibangun dari kata
nee, ukabonga, podo, sabutu-sabutu, -na, upekalape, inca, -na,
mia, ranga, dan mu. Kata ne dan kabonga sudah dijelaskan di
muka. Podo artinya sekadar, seperlunya, atau secukupnya. Kata
sabutu-sabutuna mengisyaratkan beberapa bagian yang masing-
41 Kata kea adalah kata yang maknanya tertuju pada suatu yang lain
seperti pobusua-kea Pengguna bahasa wolio memahaminya (kea) adalah sebuah akhiran kata kerja yang mengandung makna terlebih dahulu. Sebagai contoh, kata pobusuakea (berkelahilah terlebih dahulu) dan tontomakea (perhatikan dulu). Dalam dua kata tersebut mengandung makna adanya sebuah syarat untuk mendapatkan atau melakukan hal setelahnya.
173
masing ada batasnya.42 Stilistika upekalape bermakna
menyenangkan sesuatu atau membuat bahagia. Kata inca artinya
hati, perasaan dalam hati manusia. Akhiran -na kata ganti orang
ketig. Kata mia artinya seseorang, entah pria atau wanita, kapan
dan di mana, tua ataupun muda. Ranga artinya kenalan, sesama
manusia, entah keluarga atau bukan, kenal dekat atau tidak.
Akhiran -mu kata ganti dari ingkoo (kamu). Jadi, kalimat tersebut
menegaskan lebih baik menyenangkan perasaan sesama daripada
bercanda yang berlebihan. Sebab, jika berlebihan bisa
menghadirkan bencana.
Kalimat pada baris 132-133 dibentuk dari kata tabeana, -
mo, tee, anto, -na, banua, -ta, iinda, pokia, nee, atolabi, dan saide.
Kata tabeana bermakna pengecualian. Akhiran -mo mengandung
makna penegasan. Kata tee adalah pengubung. Secara stilistika,
antona (isinya) dan kata banua (rumah) membayangkan sosok
manusia, bukan hewan, tumubuhan ataupun benda. Sebab, banua
sebuah tempat tinggal manusia, berdiam, dan tempat yang
ditinggali keluarga. Kata -ta adalah pengganti kata kita (ingkita).
Iinda artinya tidak atau tiada digabung dengan kata pokia artinya
apa (apa-apa), maknanya adalah tidak apa-apa (tiada mengapa).
Kata nee sudah dijelaskan di muka. Atolabi adalah berlebihan,
menggambarkan bergurau yang berlebihan. Saide artinya sedikit.
Metafora dari kata saide mengisyaratkan boleh kelewatan, tapi
batasannya hanya sedikit. Kalimat tersebut seakan menjelaskan
42 Pengulangan kata membayangkan bahwa bergurau ada banyak
caranya, sementara isyarat tersebut meliputi semua cara yang dilakukan.
174
bahwa bergurau dengan saudara di rumah diperbolehkan kelewat
sedikit jika tujuannya untuk menguatkan hubungan keluarga.
Metaforis kalimat pada baris 134-135 tersusun dari kata
upatotapu, rou, -na, po-, maasi, -na, upekatangka, saro, -na, po-,
dan musiraha. Kata upatotapu membayangkan ada lebih dari satu
hati (banyak) untuk disamakan, diikat erat, atau diselaraskan.
Rou-na artinya dahi, atau muka seseorang: rouna di sini artinya
menjadi wajah atau bentuk. Po- merupakatan awalan kata kerja.
Makna dari kata maasina adalah kasih sayang. Pada kata
upekatangka artinya mengeratkan, berhubungan dengan kata
upatotapu. Kata saro artinya nama: membayangkan adanya yang
lain selain nama. Na adalah kata ganti sesuatu yang lain selain
nama itu. Awalan kata kerja po- diksi musiraha menggambarkan
adanya (hubungan kekeluargaan). Interpertasi dari kalimat
tersebut menganjurkan keselarasan untuk beradaptasi dengan pola
kehidupan orang lain serta memahami cara hidup lingkungan kita.
Kalimat pernyataan pada baris 136-137 dibangun dari kata
ijtihaadi, umboore, i, dunia, nunu, a, mpuu, saro, imalape, dan -
aka. Kata ijtihaadi artinya berjuang, sungguh-sungguh. Umboore
menggambarkan seseorang (manusia), menempati atau mendiami.
I dunia artinya di dunia, di mana manusia beserta makhluk ciptaan
lainnya hidup (berdiam). Akhiran –a pada kata nunua maknanya
adalah perintah untuk mengejar, mencari, dan menuntut. Kata
mpuu mengisyaratkan kesungguhan. Saro artinya nama, bisa juga
sebagai penggati sebutan sesuatu (yang dinamakan). Kata malape
adalah kebaikan, perbuatan baik yang dibayangkan sebagai amal
175
akhirat. Akhiran -ka menyatu dengan malape, ia merupakan wadah
yang menjadikan manusia sebagai pribadi yang baik. Jadi, kalimat
tersebut menyeru untuk berijtihad dan bersungguh-sungguh dalam
menjalani hidup.
Metaforis kalimat pada baris 138-139 tersusun dari kata
sio-sio, -mo, Opu, apalihara, -aku, i, huru-hara, naile, muri-muri,
dan -na. Kata sio-sio menggambarkan harapan yang diserahkan
kembali ketentuannya oleh Tuhan. Opu artinya Tuhan, Allah,
tempat memohon, serta menggambarkan sifat Maha Berkuasa.
Kata palihara (memelihara) maknanya menyatu dengan Opu Yang
Menjaga. Akhira -aku artinya aku, kata ganti MIK (Pengarang
Kabanti). I menunjukkan sebuah tempat, artinya di. Huru-hara
membayangkan suasana hari kiamat yang menggemparkan. Kata
naile artinya besok, entah kapan persisnya. Kata muri-muri
mengkekspresikan waktu akhir dari yang paling akhir. Akhiran -
na kata ganti dari naile. Baris ini merupakan ekspresi harapan dan
upaya besar seseorang agar selamat dari huru-hara hari kiamat.
10. Baris 140-147: Rukun Iman
Cerita di tema ini, MIK menasihati dirinya agar meyakini
bahwa semua upaya dan kondisi hati senantiasa diikhlaskan serta
diserahkan kepada Allaw Swt. Kemudian menjelaskan bagaimana
maksud berserah diri dan menjaga hubungan harmonis antar
sesama.
176
Kalimat pernyataan pada baris 140-141 dibangun dari kata
ee, karoku, paihilasi, -a, inca, -mu, patotapu, -a, poaro, -mu, i,
Opu, dan mu. Kata ee karoku adalah seruan untuk diri sendiri.
Akhiran -a pada kata paihilasi merupakan anjuran mengikhlaskan
sesuatu. Kata yincamu adalah keterangan dari paihilasi. Kata
patoatua artinya menguatkan serta memantapkan. Poaromu secara
stilsitik artinya pendirianmu, yang dimantapakan. Kata i di sini
artinya pada. Kata Opu mengisyaratkan sifat Kuasa (kepemilikan).
Akhiran -mu pengganti kata ingkoo (kamu) yang dimaksudkan
untuk manusia (pria atau wanita). Sehingga, kalimat tersebut
merupakan perintah berserah diri kepada Allah Swt, dengan
menetapkan pendirian hanya kepada-Nya.
Kalimat pada baris 142-143 dibentuk dari kata pengkeni, -
si, agama, -na, Nabii, -mu, te, uose, -a, kaadari, -na, guru, dan -
mu. Kata pengkeni artinya memegang dan akhiran -si
menunjukkan sesuatu (yang dipegang), maka pengkenisi
maknanya berpegang pada sesuatu (pedoman). Agama adalah
kepercayaan umat tertentu seperti Islam, Hindu, Budha, dan
Kristen. Nabii artinya penyeru, rasul (utusan), serta manusia
pilihan yang memiliki kesabaran tinggi dan dikaruniai mukjizat.
Akhiran -mu merupakan kata ganti ingko seperti dijelaskan di
muka. Tee menjembatani kata perintah uosea yang mengisyaratkan
untuk mengikuti sesuatu. Kaadari artinya ajaran: bermakna
nasihat, didikan, dan bimbingan. Akhiran -na kata ganti untuk
orang ketiga. Kata guru artinya orang yang memiliki ilmu
pengetahuan dan pantas mengajarkan ilmu. Maksud MIK, agama
177
dari yang dibawa para Nabi, dan ajaran seorang guru perlu
diteladani.
Retoris kalimat pada baris 144-145 tersusun dari kata mia,
ranga, -mu, maasi, -akea, mpuu, simbou, duka, maasia, -ka, karo,
dan -mu. Kata mia artinya seseorang. Kata rangamu maksudnya
sesama manusia. Kata perintah maasiakea artinya mengasihi
dengan akhiran -mpuu yang menegaskan kesungguhan. Kata
simbou digunakan untuk analogi. Duka artinya juga, menyatu
dengan makna simbou. Kata maasiaka seperti telah dijelaskan
sebelumnya, artinya menyayanginya. Karomu artinya dirimu.
Kalimat tersebut menegaskan agar menyayangi orang lain seperti
meyayangi diri sendiri.
Kalimat pernyataan pada baris 146-147 dibangun dari kata
tuamo, yitu, tutura, -na, mu’mini, amboo-mboore, i, nunca, -na,
dunia, dan sii. Kata tuamo artinya yang demikian itu,
mengekspresikan kalimat sebelumnya. Kata yitu digunakan
menunjukkan sesuatu yang jauh, masa lampau, dan masa depan.
Akhiran –na pada kata tutura-na membayangkan sifat kaum
mu’min yang sudah menjadi tartib dan teratur. Kata mu’min
adalah orang yang beriman, secara stilistik jenisnya adalah pria.
Amboo-mboore adalah kata kerja berulang yang membayangkan
adanya seorang manusia mendiami sesuatu. Yi artinya di, dan
dalam kata nunca-na menunjukkan dalam sebuah ruangan. Sii
mengisyaratkan kembali sebuah ruang; juga digunakan untuk
menunjukkan sesuatu yang dekat. Kalimat tersebut menegaskan
178
narasi kalimat sebelumnya mengenai aturan orang-orang beriman
dalam menelurusi kehidupan.
11. Baris 148-155: Penjelasan Makna Ikhlas
Pada bait tersebut MIK bercerita mengenai keikhlasan.
Ikhlas sembari merenungkan penciptaan Tuhan atau menghadirkan
Tuhan ke dalam pikiran. Serta dijelaskan bagaimana rahasia Ilahi
ditunjukkan di dalam kehidupan.
Kalimat pernyataan pada baris 148-149 dibangun dari kata
ee, karoku, ihilasi, atopene, rahasia, -na, Opu, -ta, mo-, pewau, -i,
dan -ko. Kata Ee Karoku adalah seruan untuk diri sendiri. Kata
ihilasi (keikhlasan) dipertegas dengan kata atopene (tingkat yang
lebih tinggi) menunjukkan predikat/nilai sifat ikhlas pada diri
manusia. Rahasia-na (rahasia) adalah sesuatu yang tidak boleh
diketahui oleh orang lain selain orang tertentu. Kata Opu-ta
menegaskan rahasia Tuhan tidak bisa ditebak. Kalimat tersebut
menganjurkan agar memantapkan ikhlas dari cobaan dunia. Sebab,
cobaan-cobaan tersebut adalah rahasia Tuhan.
Kalimat pada baris 150-151 dibentuk dari kata adika, -aka,
inca, imaasi, -aka, nganga, randa, -na, batua, imimi dan -aka.
Pada kata adikaaka membayangkan Tuhan menyimpan sesuatu
untuk hamba. Kata inca artinya hati, organ tubuh makhluk hidup
yang mengisyaratkan manusia. Imaasiaka (yang dikasihi)
mengekspresikan adanya hamba pilihan yang dikasihi oleh Tuhan.
Kata nganga (mulut) dan randa: bahasa Buton memaknainya isi
179
dalam dada yaitu hati (lubuk hati), dan akhiran -na maksudnya
adalah hati seorang hamba. Kata imimiaka (disayangi,
menggemaskan, disenangi) maknanya sejalan dengan imaasiaka.
Maksud kalimat tersbut adalah, keikhlasan terdapat pada hati
hamba yang dikasihi. Letak ikhlas itu ada dalam lubuk hati seorang
hamba yang dikasihi oleh Allah Swt.
Retoris kalimat pada baris 152-153 tersusun dari kata
oihilasi, rahasia, mo, towuni, i, kalibi, -na, batua, dan mosalihi.
Pada awalan o- adalah kata sandang (Anceaux: 118)43 pada kata
ihilasi: keihlasan. Kata rahasia seperti yang diterangkan di muka.
Mo- (ter) adalah awalan kata kerja untuk membuat partisip aktif
(Anceaux: 111). Kata towuni artinya tersembunyi menyatu dengan
maksud kata rahasia. I menunjukkan suatu tempat, artinya di atau
di dalam. Kalibi (kalbu) hati. Batua artinya hamba (hamba Allah)
yaitu manusia entah pria maupun wanita. Kata mo-(salihi) artinya
saleh, lebih kepada sifat agamis. Kalimat baris ini merupakan
penegasan bahwa keihlasan tersembunyi pada kalbu hamba yang
saleh.
Kalimat pernyataan pada baris 154-155 dibangun dari kata
osiitu, -mo, jauhara, -na, amala, mo-, suluwi, -na, bari-bari, -a,
dan amala. Awalan o- dan akhiran –mo pada kata osiitumo
menunjuk pada makna ihilasi di kalimat sebelumnya. Kata
43 O oleh masyarakat buton diartikan sebagai sesuatu, sebuah, atau
pengkhususan. Seperti kata dalam bahasa Inggris yaitu The yang digunakan pada kata yang menunjukkan sesuatu yang khusus. Contoh The Book, The Heart. O-buku, O-yinca.
180
jauhara-na artinya permata: membayangkan sebuah nilai atau
kemuliaan. Amala adalah sebuah perbuatan yang bernuansa Islam.
Kata mo-suluwi-na (yang menyinari) pancaran sifat keikhlasan
(ihilasi). Kata bari-baria artinya semua bentuk amal setiap hamba.
Kata fe’eli artinya perangai yang masyarakat Buton memakainya
dalam bahasa keagamaan.44 Sehingga, kalimat tersebut
menegaskan bahwa keikhlasan yang menjadi permata dalam hati
seorang hamba dapat memengaruhi sifat dan perilakunya.
12. Baris 156-163: Peristiwa Kiamat
Pada baris tersbut MIK menggambarkan kebenaran dari
peristiwa hari akhir sehingga agar tetap istikamah. Kemudian,
peristiwa hari kiamat serta kondisi seluruh umat manusia. MIK
juga menjelaskan mengenai mizan sesuai janji Allah Yang Maha
Benar.
Kalimat pada baris 156-157 dibangun dari kata ee, karoku,
pekatangka, pengkeni, -mu, itikadi, -mu, boli, dan akadoli-doli.
Kata ee karoku telah dijelaskan sebelumnya. Kata pekatangka
(kuatkanlah) dan kata pengkenimu (peganganmu) maksudnya
adalah berpendirian dan istikamah yang kuat. Kata itikadi-mu
artinya i’tikadmu, yaitu kemauan yang teguh, keyakinan dan
kepercayaan yang berhubungan dengan ibadah. Boli artinya
jangan: bertemu dengan kata akadoli-doli artinya goyah, berkaitan
44 Makna lain dari fe’eli (tingkah laku, perangai) adalah pake
(memakai, tingkah laku). Namun kata ini lebih tepat digunakan pada konteks keagamaan yaitu amal perbuatan.
181
dengan keyakinan manusia terhadap agama. Penegasan dalam
kalimat tersebut mengenai keteguhan iman dan menjaga keyakinan
serta i’tikad agar tidak gampang goyah.
Kalimat pada baris 158-159 dibentuk dari kata mate, -mo,
yitu, padaa, aumbati, -ko, -mo, hari, kiama, padaa, dhoohiri, dan
-mo. Kata mate-mo menegaskan janji Allah yaitu kematian. Yitu
kata ganti yang menunjuka ke kata mati. Kata padaa artinya
sebentar lagi, bisa sejam lagi, sehari lagi, seminggu lagi, sebulan
lagi, setahun lagi, dan seterusnya. Stilistika dari aumba-ti adalah
ajal (kematian) yang menjemput umat manusia. Kata ko45 dan
mo46menegaskan bahwa kematian adalah kepastian. Pada kata hari
membayangkan suatu waktu, siang atau malam. Kiama artinya
kiamat, kata tersebut mengkespresikan sebuah peringatan
peristiwa besar. Kata padaa telah dijelaskan di muka. Secara
stilistika dhohirimo (zahir) juga menyiratkan makna ciri-ciri
kiamat sebelum tibanya kiamat sesungguhnya. Arti lain dari zahir
adalah lahir; lahiriah. MIK menyatakan bahwa kematian pasti
datang dengan tanda-tanda yang jelas.
Kalimat pada baris 16-161 dibentuk dari kata i, weitu, -mo,
huru-hura, mo-, maoge, ka-, sukara, -na, bari-baria, dan batua.
Kata i (yi) artinya di, pada, ke, dan dalam (Anceaux, 1987: 44).
Kata weitu-mo (disitulah) mengkspresikan hari kiamat. Huru-hara
45 -ko adalah akhiran kata kerja transitif untuk obyek tunggal persona
yang kedua (Anceaux, 1987: 80). 46 -mo adalah akhiran yang berfungsi sintaksis, sering termaksud
makna sudah (Anceaux, 1987: 111); dan 46-48.
182
artinya peristiwa menggemparkan. Kata mo-maogena (yang besar)
meenegaskan kondisi kejadian yang menggemparkan (huru-hara)
tersebut. Pada kata ka-sukara-na47 (perasaan sukar): merasa takut
atas amal selama di dunia. Bari-baria artinya seluruhnya dan
semuanya, secara keseluruhan tanpa terkecuali. Kata batua artinya
hamba seperti dijelaskan sebelumnya. MIK mengekspresikan
bahwa hari kiamat merupakan hari kesukaran bagi seluruh hamba.
Makna metafora dari baris ini adalah, seakan setiap hamba pasti
ragu dengan apa yang sudah diperbuatnya di dunia.
Narasi kalimat pada baris 162-163 disusun dari kata a-, to-
, timbang, -i, bari-baria, amala, i, miizanii, kaloesa, mo-, dan
banara. Kata a-to-timbang-i bersumber dari kata tiimbangi artinya
alat timbang. Awalan a- dalam bahasa Wolio adalah awalan kata
kerja untuk pelaku persona ketiga, tunggal, dan jamak.48
Sementara to adalah awalan kata kerja pasif.49 Kata atotimbangi
membayangkan adanya sesuatu yang ditimbang, entah itu benda,
atau non-benda. Kata bari-baria berarti keseluruhan. Amala
mengekspresikan amal perbuatan manusia di dunia. Kata i
bermakna di, pada, ke, dalam, seperti diterangkan di muka.
Miizani artinya mizan yaitu sebuah lambang keadilan juga
47 Ka-sukara-na dari kata sukara artinya susah, sedih hati, berduka cita.
Dalam Wolio Dictionary (Anceaux: 50), awalan ka- dalam bahas wolio bisa berarti awalan kata benda seperti (ka-bebe artinya alat pukul), bebe artinya pukul, dan awalan kata kerja seperti (ka-alaala artinya mengambil tanpa meminta, panjang tangan), ala-ala atau ala artinya mengambil, menerima, mengangkat, memasukkan (Anceaux: 3).
48 Anceaux, Wolio Dictionary (Holland: 1987) hal. 1. 49 Ibid, hal. 181.
183
lambang timbangan. Ka-loesa50 (gantungan) secara sintaksis
menggambarkan sebuah timbangan yang digantung. Kata mo-
banara menjelaskan sifat pada timbangan mizan Yang Maha
Benar. Mizan di sini merupakan timbangan Allah SWT. Kaliamt
tersebut menjelaskan Mizan sebagai sebuah timbangan amal Yang
Maha Benar di hari kemudian.
13. Baris 164-183: Tanda-tanda Kiamat
Pada kalimat ini, MIK kembali menegaskan hari kiamat
dan menceritakan bagaimana peristiwa hari akhir. MIK menulis
tanda-tanda kiamat dengan kejadian-kejadian seperti kegelapan
yang tidak pernah terjadi sebelumnya tanpa cahaya sedikitpun.
MIK juga menganjurkan kiat-kiat yang harus dilakukan umat
manusia sebelum tibanya hari akhir.
Kalimat pada baris 164-165 dibangun dari kata ee, karoku,
oombu, pada, aumba, -mo, bee-, abuke, naile, dunia, dan sii. Pada
kata ee karoku merupakan seruan untu diri seorang MIK. Oombu
artinya asap: bisa bermakna kabut yang menggelapkan dunia. Kata
padaa artinya kelak, membayangkan masa depan. Akhiran mo-
pada kata aumbamo (akan datang) menegaskan bahwa sudah ada
tanda-tanda kedatangan. Awalan kata kerja be-51 artinya: akan,
harus, mungkin, dan hendak. Abuke artinya penuh, menyatu
dengan kata oombu. Pada kata naile (besok) mengekspresikan
50 Ka-loe-sa dari kata loe yang berarti menggantungkan. (kaloe) sebuah
benda yaitu gantungan berhubungan dengan kata kaloesa. 51 Anceaux, Wolio Dictionary (Holland: 1987) hal. 16.
184
waktu dan masa. Kata dunia di sini menggambarkan kejadian,
bahwa asap (kabut) telah memenuhi dunia. Sii artinya ini
(menunjuka dunia). MIK menegaskan bahwa kabut yang
menggelapkan dunia adalah salah satu dari tanda-tanda kiamat.
Kalimat pada baris 166-167 dibentuk dari kata amalalanda,
agalapu, apoposa, moo, saide, inda, -mo, tee, dan kainawa. Kata
amalalanda dan agalapu artinya gelap, disebabkan oleh kabut
asap. Apoposa artinya membutakan, berhubungan dengan
pandangan mata: menjadi buta. Kata moo lekat dengan kata moa,
artinya: meskipun, biarlah, jikalau, dan sekalipun.52 Saide artinya
sedikit. Kata inda-mo berarti penghabisan (tidak ada lagi). Te
artinya; dan, dengan, dan juga. Pada kata kainawa (cahaya,
penerangan) mengekspresikan sebuah cahaya terang yang tidak
muncul lagi pada waktu tersebut. Kalimat tersebut
menggambarkan kabut mengubah dunia menjadi gelap gulita
sehingga membuat pandangan seperti buta.
Retoris kalimat pada baris 168-169 tersusun dari kata yitu,
-mo, duka, ka-, herua, -na, batua, po-, keni, lima, paimia, dan
isilamu. Kata yitu-mo (itulah) menjembatani kalimat sebelumnya.
Duka artinya juga, menggambarkan ada lagi yang lain. Awalan ka-
dan akhiran –na pada kata kaheruana53 mengeksrpresikan seorang
yang sedang risau, perasaan terganggu, dan merintangi (hati yang
52 Anceaux, 1987: 111. 53 Kaheruana berasal dari kata heru yang artinya risau; maheru,
kaheruna. Lihat Anceaux dalam Wolio Dictionari (WD) hal. 42. Na kata ganti orang ketiga seperti telah dijelaskan pada bait-bait sebelumnya.
185
selalu resah dan gelisa). Batua artinya hamba. Po adalah awalan
kata kerja yang artinya; saling. Kata keni artinya memegang:
sehingga pokeni mengekpresikan adanya beberapa tangan
berpegangan. Lima berarti tangan, entah telapak tangan, jemari,
maupun pergelangan. Sintaksis kata pai54-mia dalam kalimat ini
lebih dari satu hamba. Kata Isilamu dengan paimia artinya umat
Islam. Kalimat tersebut mengekspresikan saling berpegangan
tangan adalah reaksi ketakutan hamba terhadap hari kiamat.
Nasihat pada baris 170-171 dibangun dari kata te, akooni,
manga, incia, yitu, incia, -mo, si, zamani, bee-, ta-, mate, dan -mo.
Kata tee artinya dan atau juga. Akooni membayangkan adanya
orang sedang berbicara. Kata manga artinya mereka, bersatu
dengan kata iincia artinya dia, mereka: menegaskan jumlah yang
banyak. Kata yitu artinya itu, menegaskan kalimat manga-yinciya-
yitu. Kata incia-mo di gabungkan dengan sii (inciamosii)
mengandung makna pertanyaan (sudah inikah?) dan pernyataan
(sudah inilah).55 Kata zamani (masa, waktu, zaman)
menggambarkan adanya ruang perisitwa. Be-tamate-mo artinya
saat kematian kita. Secara sintaksis, kata tersebut
mengekspresikan peringatan bahwa ada masa di mana semua
manusia didatangi ajalnya. Interpretasi dari kalimat tesebut bahwa
seluruh umat bertanya-tanya apakah ini yang dinamakan hari
dimatikannya seluruh makhluk?
54 Pai artinya; di mana, juga (WD: 121). 55 Kalimat inciamo sii menyiratkan dua makna, bisa jadi kalimat
pernyataan dan atau kalimat pertanyaan. Hanya perlu ditambah dengan tanda tanya atau tanda seruh.
186
Kalimat pada baris 172-173 dibentuk dari kata po-, tangisi,
-mo, paiaka, Isilamu, atangi, mpuu, aoge-oge, inca, dan -na.
Awalan po- dan akhiran –mo pada kata potangisimo (bertangisan)
membayangkan adanya sejumlah manusia sedang menangisi
sesuatu. Kata paiaka sama dengan painamo artinya di mana saja,
apa saja, yang mana saja, bagaimanapun juga, dan tidak apalah.56
Jika dihubungkan dengan kata Isilamu, maka makna paiaka
menjadi sejumlah, beberapa, dan sebagian (sebagian orang Islam).
Kata atangi (menangis) membayangkan seorang hamba menangis
akan kualitas amalnya di dunia. Mpuu mengekspresikan
keseriusan. Kata aoge-oge artinya besar, kuat, dan tebal,
dihubungkan dengan kata inca dan –na (perasaan seseorang).
Sehingga, aoge-aoge incana bermakna kuat (menangis sejadi-
jadinya). Metafora dari kalimat ini menjelaskan tangisan yang
sejadi-jadinya adalah kesadaran betapa buruknya kualitas amal
perbuatan hamba selama di dunia.
Narasi kalimat 174-175 tersusun dari kata a-, udani, -mo,
janji, mina, i, Nabii, hari, kiama, pada, -aka, a-, umba, dan -mo.
Awalan kata kerja a- dan akhiran –mo pada kata audanimo
menegaskan seseorang sedang mengingat. Kata janji adalah
ketetapan yang pasti. Mengingkari janji dalam Islam termasuk
perbuatan dosa. Kata mina i Nabi (dari Nabi) menjelaskan
kebenaran janji tersebut. Hari dan kiama artinya hari kiamat. Kata
pada dengan aumbamo menyatakan hari kiamat telah ditentukan
waktunya. Jadi, menurut MIK bahwa sebab umat Islam menangis
56 Anceaux, 1987:121.
187
di akhirat karena sadar bahwa di dunia, Nabi Muhammad pernah
mengigatkan tentang hari kiamat namun mereka tidak mengikuti.
Pernyataan pada baris 176-177 dibangung dari kata sala, -
na, manga, po-, maa-maafu, -aka, nee, dangia, tee, sala, -na,
mangenge, dan -na. Akhiran –na pada kata sala (kesalahan)
mmerupakan kekhilafan seorang hamba (-na). Kata manga artinya
mereka entah dari agama mana, negeri mana, tua atau muda.
Pomaa-maafu (saling memaafkan) menggambarkan adanya sifat
baik. Akhiran –aka menjelaskan waktu, sesuduah, agar, dan
supaya.57 Kata ne artinya jika, kalau, dan jikalau terhubung
dengan kata dangia artinya ada. Kata tee bermakna juga, seperti
pada kata teemo duka (ada yang lain). Sala-na mange-nge-na
(kesalahan yang lalu) membayangkan himbauan untuk meningat
kesalahan yang pernah dilakukan.58 Interpretasi dari kalimat
tersebut adalah penegasan agar saling memaafkan terutama
kesalahan yang telah lalu.
Retoris kalimat pada baris 178-179 disusun dari kata
apentaa, -mo, hukumu, mina, i, Opu, opea, -mo, bara, bee,
mokorou, -na, dan sii. Pada kata apenta-mo artinya menegaskan
adanya orang sedang menunggu. Kata hukumu (hukum) berkaitan
dengan amal perbuatan. Mina artinya berasal dari dan kata i Opu
57 Anceaux, 1987: xiv. 58 Secara tekstual, arti maenge dan mange-nge adalah sama. Namun,
makna dari keduanya berbeda secara konteks. Maenge membayangkan waktu yang lama. Sementara mange-nge, (pengulangan katanya) bermakna amat lama, bisa berkaitan dengan hal yang kuno, dan kata tersebut sering dipakai untuk masa lampau.
188
(dari Tuhan).59 Kata opea-mo adalah kalimat pertanyaan seperti
tuapa-mo (bagaimana kah? Bara artinya barangkali, kiranya,
boleh jadi, seandainya, dan kalau kiranya.60 Kata be-mokorou-na
(yang nampak) stilistikanya adalah yang nampak dari amal dan
membayangkan sebuah pertanyaan, hukum seperti apakah yang
berasal dari Tuhan kelak? Kalimat tersebut menggambarkan rasa
penasaran seorang hamba tentang nasibnya di akhirat dengan
reaksi bertanya-tanya bagaimana Tuhan menilai amal
perbuatannya.
Narasi baris 180-181 dibangun dari kata a-tangi, mpuu,
bari-bari-a, siitu, a-udani-mo, karungga-na, dan alamu. Pada kata
a-tangi (mereka menangis) membayangkan seorang hamba
menangisi amal perbuatannya. Sebab, pada kata mpuu (sangat)
sudah menunjukkan kondisi perbuatannya di dunia. Bari-bari-a
dan siitu menginterpretasikan pada umat manusia seluruhnya. Kata
a-udani-mo bermakna telah mengingat (menyadari). Karungga
artinya kerusakan (porak-poranda). Kata karungga ketika
dihubungkan dengan alamu, maknanya menunjukkan sebuah
kejadian pada alam di hari kiamat. Makna karungga bisa jadi
hancur, terbongkar, porak-poranda, atau runtuh61. Kalimat
tersebut menafsirkan bahwa yang membuat umat menangis di hari
59 Kalimat Mina I Opu terdiri dari tiga kata. Sebab dalam penggunaan
bahasa Wolio, setelah kata mina (dari) selalu diikuti dengan kata I untuk menunjukkan keterangan dari kalimat sempurna. Dalam bahasa Indonesia, Mina I Opu (Dari Tuhan) cukup ditulis dua kata yaitu Dari Tuhan.
60 Anceaux, 1987: 13. 61 Anceaux, 1987: 106.
189
akhir nanti alaha karena amal perbuatan buruk mereka lebih
dominan.
Kalimat pada baris 182-183 dibentuk dari kata tee, a-fikiri,
bangu, i, harikiama, bee-, tuapa, naile, ingkita, dan sii. Kata tee
(juga) menunjukkan hubungan dua kata/kalimat. Kata afikiri
(berpikir) membayangkan adanya seseroang yang sedang berpikir.
Bangu dalam bahasa Wolio mengandung dua makna, bisa bangun
(dari pembaringan), atau bentuk, potongan, corak, wujud, rupa,
gaya, model, ciri, dan sifat. Sintaksis bangu di sini maksudnya
adalah wujud. Kata i berarti di, menunjuk pada suatu tempat. Kata
harikiama (hari kiamat) lalu afikiri (memikirkan): membayangkan
seorang sedang memikirkan sesuatu. Be-tuapa dan naile
(bagaimanakah esok) sebuah pertanyaan. Kata ingkita artinya kita
yaitu hamba, entah pria atau wanita, tua atau muda. Sii (ini)
mengekspresikan sosok hamba, atau manusia. Kalimat tersebut
adalah ekpresi manusia ketika membayangkan nasib mereka di
hari kiamat dengan membawa banyak perbuatan dosa dibanding
amal saleh.
14. Baris 184-199: Kiamat dan Kebesaran Allah Swt
Pada bait tersebut, MIK menjelaskan bahwa eksistensi
dunia punya batas akhir. Akhir dari dunia ditandai dengan
datangnya angin kencang yang mengipas semua gunung sampai
hancur. Kemudian disusul dengan mengeringnya semua lautan di
dunia bahkan lautan yang paling dalam sekalipun. Guncangan
gempa yang begitu dahsyat menakuti semua makhluk di bumi.
Itulah tanda-tanda kehancuran alam.
190
MIK juga menjelaskan kejadian akhir semua makhluk di
seluruh alam dan menulis peristiwa-peristiwa di bumi yang fana.
Semua hamba akan kembali dicipatakan kembali seperti
sebelumnya. Ciptaan kedua itulah kehidupan yang kekal.
Nasihat pada baris 184-185 dibangung dari kata ee, karoku,
keni -akea, mpuu, dunia, sii, padaaka, amarungga, dan mo. Kata
ee dan karoku adalah seruan untuk diri sendiri. Akhiran –akea pada
kata keniakea artinya pegangilah, secara sintaksis, dia bermakna
percayalah, atau yakinilah. Kata mpuu (sungguh)
mengekspresikan kata keniakea, sehingga dapat bermakna teguh.
Pada kata dunia (dunia) menggambarkan makna seluruh alam
termasuk bumi. Sii berari ini, menunjukk ke dunia. Kata padaaka
bermakna tidak lama lagi. Akhiran –mo pada kata amarunggamo
artinya menegaskan kehancuran yang berkeping-keping,
ditegaskan dengan kata setelahnya: dunia. Akhiran -mo
mengandung makna tekanan, ketentuan, dan kesudahan.62
Metaforis dari kalimat tersebut mengajak umat untuk meyakini
bahwa dunia ini pasti hancur.
Kalimat pada baris 186-187 dibentuk dari kata ngalu,
makaa, padaaka, tumpu, -mo, bemorungga, -na, bari-baria, dan
kabumbu. Kata ngalu artinya angina, menggambarkan sebuah
angin kencang yang datang sebagai tanda-tanda kiamat. Makaa
berarti kencang, itulah angin yang muncul menjelang kiamat.
Kata padaaka adalah kejadian di masa yang datang dan bersifat
62 Anceaux, 1987: xiv.
191
pasti. Tumpu63 artinya utusan: bermakna tiba atau sampai.
Stilistika tumpu adalah utusan, dipahami bahwa Tuhanlah yang
mengatur segala kejadian tersebut. Akhiran –mo menunjukkan
tekanan pada kejadian. Kata bemorungga artinya yang
menghancurkan sementara akhiran -na merupakan kata ganti dari
dunia. Kata bari-baria berarti semuanya tanpa terkecuali.
Kabumbu bisa diartikan bukit atau gunung.64 Sehingga, metafora
dari kalimat di atas adalah hancurnya gunung karena angin
merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Narasi kalimat di baris 188-189 disusun dari kata tee, a-,
matuu, bari-baria, andala, tee, akolendu, soma-somana, dan
kakaa. Kata tee artinya dan, dengan, dan juga. Awalan a-
merupakan awalan kata kerja untuk pelaku persona ketiga, tunggal,
dan jamak sementara matuu artinya kering, mengering, dan surut,
membayangkan adanya air. Kata bari-baria berarti secara
keseluruhan tak terkecuali. Kata andala65 secara sintaksis jika
dikolerasikan dengan kata amatuu (keering), membayangkan
makna sifat air laut (pasang dan surut). Sifat tersebut terdapat pada
genangan air yang bersumber dari dalam bumi (bukan ari bak atau
kolam buatan). Tee dan awalan a-, telah dijelaskan di muka. Kata
63 Dalam bahasa Wolio, tumpu banyak versi, ada tumpu=sisa
(umpamanya dari api), tumpu= tumpua= remains (bahasa Inggris), tumpu= tumpu incaku= senang, gembira, merasa puas, dan tumpu= katumpu= potumpu= pesuruh, duta, perintah, dan utusan. Lihat Anceaux, 1987: 186.
64 MIK tidak memakai kata gunu sebab kata kabumbu selain merupakan bahasa Wolio (bukan bahasa adopsi) juga akan sesuai rima syair. Syair Bula Malino menggunakan aksara.
65 Pada Wolio Dictionary, kata andala adalah samudra, atu lautan (Anceaux: 4).
192
kolendu66 artinya terguncang menggambarkan sebuah goyangan
yang terjadi pada bumi: misalnya gempa. Kata soma-somana
artinya puncak, bisa juga berarti luar biasa. Kakaa: makaa artinya
kencang dan keras, menegaskan kolendu (gempa). Sehingga,
soma-somana kakaa secara sintaksis berarti luar biasa
kencangnya, membayangkan bumi bergoncang hingga semua
isinya terbongkar.
Kalimat pernyataan pada baris 190-191 dibentuk dari kata
o, siitu, -mo, karungga, -na, alam, kapupua, -na, bari-baria, dan
batua. Huruf o merupakan kata sandang. Siitumo menegaskan
kalimat sebelumnya. Kata karungga artinya kehancuran,
terbongkar, dan rusak. Akhiran -na menunjuk pada alam (alam).
Kapupua berarti penghabisan dan akhiran –na sebagai kata ganti,
menggambarkan makna masa penghabisan makhluk. Kata bari-
baria mengespresikan semua makhluk (jamak). Batua artinya
hamba. Baris ini menjelaskan ketidak kekalan semua hamba di
dunia.
Kalimat pada baris 192-193 dibentuk dari kata afanaa, -mo,
malingu, ka-, daangia, soomo, Opu, molagina, dan mobakaa.
Akhiran –mo pada kata a-fanaamo artinya tidak kekal, atau bersfiat
duniawi:67 menegaskan sifat makhluk Tuhan. Kata malingu di sini
66 Secara stlistik, masyarakat wolio selalu menggunakan kata kolendu
saat mengekspresikan kejadian gempa. Masyarakat jarang menggunakan kata selain itu.
67 Dihubungkan dengan awalan a- menjadi afanaa. Awalan a seperti telah dijelaskan, merupakan awalan kata kerja (kk) untuk pelaku persona, ketiga, dan jamak.
193
bermakna semua, atau segala. Stilistika kata kadangia bermakna
makhluk.68 Kata somoo artinya hanya atau kecuali terhubung
dengan Opu (Tuhan) mengekspresikan bahwa Tuhan Yang Maha
Kekal serta tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Molagina
artinya kekal, mengekspresikan keabadian Tuhan. Begitupun pada
kata mobakaa, tidak berbeda maknanya dengan kekal atau abadi.
Menurut penulis, MIK mengulangi penegasan kekal dengan kata
molagina dan mobakaa, selain menegaskan kefanaan seluruh
makhluk di dunia, juga menggambarkan kekekalan Alla SWT
sebagai isyarat agar semua hamba beriman kepada hari akhir.
Retoris kalimat pada baris 194-195- tersusun dari kata
alamu, sii, ambuli, -mo, anainda, simbou, duka, kadaangia, i, dan
azali. Kata alamu artinya alam, atau dunia: seakan menegaskan
karya Sang Pencipta. Sii artinya ini menunjukkan pada alam. Kata
ambuli-mo yang berarti akan kembali sementara anainda artinya
tiada. Sintaksis dari kalimat tersebut membayangkan alam semesta
yang akan kembali tiada (tiba masa hancurnya). Pada kata simbou
lekat dengan kata simboo yang berarti perumpamaan. Duka artinya
juga: menunjukkan adanya sesuatu yang lain. Kata kadaangia
artinya keadaan, yang ada: bermakna kejadian, atau yang terjadi.
Kata i artinya di, pada, dan dalam. Azali menggambarkan sebelum
adanya kehidupan atau penciptaan. Maksudnya kalimat tersebut
adalah alam akan kembali tiada seperti keadaan azali.
68 Kadaangia dari kata dangia artinya ada. Kata kadaangia pada
konteks ini menginterpretasikan kadaangia (yang ada) di dunia. Kita mengetahui, semua yang ada di dunia adalah ciptaan Allah Swt yang berwujud.
194
Retoris pada baris 196-197 dibangun dari kata pata, pulu,
tao, -na, tua, siitu, beafanaa, bari-baria, dan batua. Pada kata
pata, pulu, tao artinya empat puluh tahun menunjukkan jumlah
waktu dalam hitungan tahun. Akhiran –na membayangkan ada
makna dari empat puluh tahun tersebut.69 Kata tua artinya
demikian dan siitu artinya itu, mengekspresikan jumlah hari. Bee
merupakan awalan kata kerja yang artinya akan, harus, mungkin,
dan hendak. Sementara afana berarti tiada atau tidak kekal.
Sehingga, beafana mengekspresikan kejadian yang pasti berakhir.
Bari-baria artinya semuanya. Kata batua (hamba) berkorelasi
dengan bari-baria. Maksudnya, semua hamba tak terkecuali. MIK
menulis bahwa empat puluh tahun selang waktu setelah seluruh
alam dihancurkan sampai dijadikan-Nya kembali seperti keadaan
azali.
Kalimat pada baris 198-199 dibentuk dari kata simpo, mini,
ambuli, adaangia, Osiitu, -mo, kadaangia, dan molagi. Pada kata
simpo (baru saja) dengan kata mini (lagi): simpomini artinya baru
lagi: bermakna kemudian atau selanjutnya. Akhiran –mo pada kata
ambulimo menegaskan sesuatu yang (pasti) akan kembali. Kata
adaangia berarti ada, mengekspresikan kembalinya batua (hamba)
setelah dibinasakan oleh Pencipta. Kata osiitu-mo menunjuk pada
peristiwa ambulimo adaangia (kembali lahir/ada). Kadaangia
69 Makna dari “empat puluh tahun” yang ditulis Idrus Kaimuddin oleh
Laniampe dalam Nasiha Sultan Muhammad Idrus menafsirkan bahwa empat puluh tahun merupakan berlangsungnya sebuah peristiwa (tidak diterangkan apa dan bagaimana peristiwanya. Namun menurut penulis, jika diperhatikan secara metaforis, makna empat puluh tahun yang dimaksud ialah saat ketiadaan hamba sebelum dibangkitkan kembali.
195
bermakna keadaan atau situasi. Sementara molagi artinya kekal.
Kekal yang dimaksud adalah kehidupan setelah dibangkitkannya
kembali semua hamba setelah peristiwa hari akhir (kiamat).
Sehingga, kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa kehidupan
yang kekal adalah di hari kebangkitan seluruh makhluk (hari
kiamat).
15. Baris 200-319: Peristiwa di Hari Akhir
Pada bait tersebut MIK menceritakan lebih banyak
peristiwa kiamat. Pada awalnya, diceritakan bahwa rahmat yang
berasala dari singgahsana Tuhan (arsy) turun seperti hujan ke
setiap kuburan hingga membasahi semua jasad di dalamnya yang
telah bercampur dengan tanah. Tiada lain bahwa rahmat tersebut
bersumber dari Tuhan Yang Maha Rahim. Kemudian, bermuara
ke tiap kuburan untuk membangkitkan semua hamba-Nya.
Pertama-tama yang dibangkitkan oleh Allah adalah empat
malaikat, dan diceritakan bahwa saat itu Tuhan berfirman dengan
memerintahkan kepada malaikat agar mereka menuju surga untuk
mengambil mahkota yang mulia. Selain itu, malaikat yang empat,
juga mengambil semua pakaian yang mulia, bendera kebesaran
Tuhan, serta kendaraan burak mempunyai kecepatan yang luar
biasa. Semua yang diambil dari surga tersebut dipersembahkan
untuk para Nabi, para hamba yang pantas (mulia), serta
Muhammad Rasulullah saw, kekasih Allah. Muhammad memiliki
syafaat dan diberikan pada hamba yang berdosa di yaumul mizan.
Syafaat dari Nabi menjadi tambahan timbangan amal baik umatnya
yang beriman.
196
Saat malaikat kembali dari surga, diceritakan bahwa hamba
akan menelusuri kuburan Nabi Muhammad saw di padang
masyhar yang begitu luas. Setibanya mereka di tengah-tengah,
berserulah Ruhil Amin yaitu Jibril yang menjaga wahyu. Jibril
menanyai semua sahabat Rasulullah saw mengenai letak
kuburannya, seketika itu pula terbelah tanah kuburan Muhammad
kemudia beliau bangun dan duduk di kepala kuburannya.
Muhammad duduk sambil memebersihkan janggutnya, juga
kepalanya yang sangat wangi, menyapu abu tanah kuburannya, dan
membersihkan badannya yang sangat halus.
Dalam baris kabanti MIK ini, diceritakan bahwa
Rasulullah saw bertanya-tanya kepada Jibril mengenai hari
(kiamat) itu serta dituliskan bagaimana jawaban malaikat Jibril
terhadap pertanyaan Rasulullah saw serta bagaimana reaksi Nabi
melihat umatnya setelah hari kebangkitan itu. Ketika Nabi mencari
umatnya, malaikat Jibril menjawab “umatmu belum ada yang
dibangkitkan. Bukan hanya umatmu, bahkan seluruh manusia
belum ada yang bangun dari kuburnya. Engkaulah yang lebih dulu
bangun dari kubur lalu menyusul yang lain. Itulah tanda kemuliaan
pada dirimu, kata Jibril”.
Di saat percakapan itu, bangkitlah kemudian Abu Bakar
Asiddik ayah Aisya yang disusul oleh Umar Bin Khattab yang
dikenal adil saat menjadi khalifah. Keduanya sahabat Rasul yang
mulia. Muhammad saw dan kedua sahabatnya mengenakan
pakaian dari surga beserta mahkota dan izar yang mulia. Sepatu
197
yang sangat gagah dengan tumpangan burak yang begitu cepat
dipilihkan dari dalam surga.
Rasulullah saw dan para sahabat mengelilingi padang
masyhar yang begitu luas. Nabi terus mencari umatnya dan
menantikan waktu dibangkitkannya seluruh manusia. Diceritakan
setelah malaikat Israfil meniup sangkakala, seluruh manusia serta
binatang dalam tanah juga ikut dibangkitkan dan dikumpulkan di
padang masyhar. Saat Nabi melihat orang-orang yang bangkit dari
kubur mereka, seketika Ia berkata, “Jibril, sana umatku!” Jibril
menjawab Nabi, “mereka sana bukanlah umatmu’.
Tak lama setelah itu, bermunculanlah semua manusia
meluapi semua tempat dan segala tingkatan tempat (tempat-tempat
yang tersusun)70. Kemudian Jibril memberitahu Nabi,
“Muhammad, sana para umatmu”. Spontan Nabipun pergi
menemui para umatnya seraya menanyai mereka tentang kondisi
jiwa dan perasaan umatnya selama di dalam kubur. Seketika
mereka (umat Nabi) menangis setelah menyaksikan ekspresi dan
rasa cinta Muhammad saw kepada umatnya. Rasulullahpun
menangis dengan sejadi-jadinya tatkalah melihat umatnya yang
terlihat merasa sukar.
70 Maksud tarafu mbooresa adalah tempat-tempat yang mempunyai
tingkatan (bertingkat). Di Buton tepatnya di Kota Baubau, terdapat lingkungan bernama Tarafu. Tarafu artinya yang memeilik taraf (mungkin dari kata taraf/taraf-taraf), memiliki tingkatan. Menurut La Ode Chalid, dulu, yang berkediaman di lingkungan Tarafu adalah mereka-mereka yang memiliki tingkatan atau keistimewaan khusus (jajaran sultan).
198
Kalimat pernyataan pada baris 200-201 dibangun dari kata
ee, karoku, rangoa, tula-tula, na, kadaangia, naile, muri-muri, dan
na. Pada kata Ee karoku artinya wahai diriku seperti dijelaskan di
bait-bati sebelumnya. Kata rango artinya dengar dan akhiran –a
menunjukkan makna perintah (dengarkanlah). Tula-tula berarti
cerita. Ini membayangkan sosok MIK sebagai pengarang yang
sedang bercerita lewat kabanti. Akhiran –na kembali pada kata
setelahnya yaitu kadaangia yang berarti: keadaan, peristiwa. Kata
naile adalah esok mengkespresikan waktu sang peristiwa. Pada
kata muri-muri (akhir) dan akhiran –na (nya), menyiratkan bahwa
hari akhir bisa diartikan sebagai hari kiamat.
Narasi pada baris 202-203 dibentuk dari kata babaana,
akowao, rahamati, asapo, mai, minaaka, i, dan arasyi. Babaa
artinya mula-mula, pertama-tama sementara –na (nya):
menjelaskan pada awalnya. Akowao (a-ko-wao) artinya (sedang)
hujan. Pada kata rahamati (rahmat) adalah rintikan hujan yang
digambarkan MIK dalam syair.71 Asapo artinya turun, berkaitan
dengan sifat hujan. Mai menunjukkan pada kata wao (hujan). Kata
minaaka berarti dari yang mengekspresikan sebuah sumber.
Arasyi adalah Singgahsana Allah (Arsy) yang dibayangkan
sebagai sumber rahmat yang turun bagaikan rintikan hujan.
Retoris kalimat pada baris 204-205 tersusun dari kata
apepatai, bari-baria, koburu, amemeiki, paikaro, mo, dan binasa.
Pada kata apepata-i artinya menyeluruh: rerintikan hujan yang
71 Rahmat yang turun seperti hujan membayangkan makna betapa
banyaknya rahmat Allah yang harus diturunkan ke bumi.
199
turun secara menyeluruh. Bari-baria artinya semuanya dan koburu
berarti kuburan: menggambarkan rerintikan hujan yang turun pada
setiap kuburan. Kata a-memei-ki artinya membasahi atau
menyirami, berkaitan dengan makna hujan (akowao). Kata paikaro
berasal dari kata pai (segala) dan karo (diri/hamba) yang ada dalam
kubur. Awalan mo- pada kata mobinasa membayangkan adanya
sesuatu yang binasa, hancur lebur. Sintaksis dari kalimat tersebut
adalah tentang hancur leburnya seorang hamba di alam kubur.
Kalimat pernyataan pada baris 206-207 tersusun dari kata
orahamati, amina, i, Opu, rahimu, be, apabangu, bari-baria, dan
batua. Pada kata orahamati (sebuah rahmat) berkaitan dengan
baris 204-205. Amina artinya dari berhubungan dengan rahmat.
Kata i artinya dari dan Opu adalah Tuhan, menunjukkan bahwa
sumber rahmat dari Tuhan. Kata rahimu artinya rahim, sebagai
gambaran sifat Allah SWT Yang Maha Penyayang. Be- adalah
awalan kata kerja: harus, mungkin, dan hendak.72 Kata apabangu
artinya membangunkan. Awalan a- dari kata tersebut
mengekspresikan adanya sosok yang membangunkan hamba. Kata
bari-baria berarti semuanya. MIK menegaskan bahwa rahmat dari
Allah Swt akan membangunkan semua hamba.
Kalimat pada baris 208-209 terbentuk dari kata baana,
bangu, naile, muri-murina, malaikati, pata, mia, na, dan siitu. Kata
baana artinya: awal, pertama. Pada kata bangu (bangun)
berhubungan dengan baana membayangkan orang bangun dari
72 Anceaux, 1987: 16.
200
tidur, pembaringan, atau kubur. Naile artinya esok yang
mempunyai kesatuan makna dengan muri-murina (naile muri-
murina) artinya hari akhir. Kata malaikati artinya malaikat
menjelaskan bahwa malaikatlah yang pertama dibangunkan. Pata
artinya empat dan mia artinya orang. Maksudnya adalah empat
malaikat yang pertama dibangkitkan oleh Allah SWT. Siitu (itu)
menunjuk keempat malaikat tersebut.
Susunan kalimat pada baris 210-211 dibangun dari kata
akooni, mo, Opu, ta, mo-, makaa, -na, lipa, komiu, i, nuncana, dan
soroga. Pada kata akooni artinya berkata, dihubungkan dengan
akhiran –mo (mengandung makna sudah), membayangkan ada
seseorang yang berkata, jika Tuhan, maka makna sesungguhnya
adalah berfirman, bersabda. Opu artinya Tuhan, menunjukkan
bahwa yang berkata adalah Tuhan. –ta kata pendek dari kita
(Tuhan Kita). Momakaana artinya Yang Maha Kuasa. Kata lipa
berarti pergi yang berkorelasi dengan kata komiu artinya kalian.
Lipa komiu mengandung makna perintah. I artinya di dalam,
menyatu dengan kata setelahnya soroga (surga). Secara retoris,
maksud kalimat ini adalah seruan Tuhan pada malaikat agar
menuju ke surga.
Kalimat pernyataan pada baris 212-213 terbentuk dari kata
be, uala, makuta, molabi, na, tee, malingu, pakea, mo-, muilia, dan
–na. Awalan kata kerja be artinya hendak, atau harus. Uala (ambil)
menyiratkan sebuah perintah mengenai malaikat yang diutus ke
surga. Makuta artinya mahkota yang ada dalam surga. Molabi-na
(yang mulia) adalah status mahkota Allah yang disimpan dalam
201
surga. Kata tee artinya juga (dan) menggambarkan adanya sesuatu
yang lebih dari satu. Malingu artinya segala atau semua
menunjukkan jumlah yang banyak (jamak). Kata pakea adalah
pakaian yang di surga yang jika dihubungkan dengan kata
setelahnya yaitu momulia-na (yang mulia) mengeinterpretasikan
pakaian yang banyak, itu menggambarkan ada banyak hamba
dipilih untuk mengenakan pakaian yang mulia itu.73
Kalimat pada baris 214-215 disusun dari kata tee, tombi,
liwaulhamdu, tee, buraku, mosakalina, dan kaliga. Pada kata tee
(juga) dan tombi (bendera) juga berada di surga. Kata liwaa-
ulhamdu artinya bendera kebesaran Tuhan.74 Tee artinya juga.
Buraku adalah burak kendaraan miliki Allah Swt. Mosakalina
artinya yang nakal dan koliga75 (mungkin kolingkaa) secara
sintaksis artinya, jalannya sangat bandel kecepatannya. Bisa juga
diinterpretasikan bahwa kecepatan burak sangatlah luar biasa.76
73 Berdasarkan cerita pada baris tersebut, dapat ditafsrikan bahwa, yang
mulia di sisi Allah bukan hanya Nabi Muhammad dan para sahabat saja. Banyaknya jumlah pakean yang diambil dari surga dalam syair tersebut menandakan peluang manusia untuk optimis menjadi hamba yang mulia telah mendapatkan jawabannya.
74 Kata liwaa-ulhamdu berasal dari bahasa arab yaitu liwaa-un artinya bendera dan alhamdu artinya berkaitan dengan keterpujian Allah (kebesaran/kesucian).
75 Dalam Nasihat Muhammad Idrus Kaimuddin (La Niampe: 43) ditulis kaliga.
76 MIK menggunakan kata mosakalina sebab berhubungan dengan kecepatan burak yang benar-benar diyakini kehebatannya. Orang Buton biasanya menghubungkan kata mosakalina dengan kata-kata tertentu untuk mengekspresikan sesuatu seperti : sakali kakidana artinya, bandel benar kehebatnnya (mosakalina kakida).
202
Kalimat berikutnya pada baris 216-217 dibangun dari kata
tao, Nabii, batua, ilabiaka, Muhammadi, rasulu, dan imimiaka.
Kata tao artinya untuk.77 Nabii adalah Nabi, maksudnya, burak
tersebut diambilkan untuk Nabi. Batua adalah hamba, Nabi juga
seorang hamba. Kata ilabiaka artinya dilebihkan (dimuliakan),
itulah predikat kehambaan Nabi, dimuliakan. Muhammadi dan
kata rasulu: maksudnya, utusan seperti Nabi-nabi sebelum
Muhammad saw. Kata imimia-ka (dikasihi) merupakan perlakuan
khusus Muhammad saw sebagai Rasul dari Allah SWT.
Metaforis kalimat pada baris 218-219 dibentuk dari kata
oincia, mo, mia, imaasiaka, asaafati, paimia, dan mokodosana.
Kata oincia dan akhiran –mo berarti dialah, mengekspresikan
sosok Muhammad saw. Mia artinya orang, ada hubungannya
dengan Muhammad. Kata imaasiaka (yang dikasihi)
membayangkan kasih sayang Tuhan kepada Muhammad saw.
Pada kata asaafati menunjukkan makna kata kerja (sebab diawali
dengan a-) artinya memberi syafaat. Paimia (semua orang)
menunjuk semua hamba. Sementara kata mokodosana
mengekspresikan sosok hamba yang berdosa. Sehingga, bisa
dipahami maksud dari kalimat tersebut bahwa syafa’at
Muhammad saw menjadi penolong bagi hamba yang berdosa.
Narasi pada baris 220-221 dibangun dari kata i, huru-hara,
naile, muri-muri, -na, te, azabu, siksa, naraka. Pada kata i huru-
77 Tao dalam Wolio Dictionary (Anceaux: 177). I artinya tahun. II
artinya janik, dan babi laut. III artinya untuk. Jika diinterpretasi secara seluruh kalimat, tao tersebut berarti untuk.
203
hara (kegemparan) mengekspresikan makna hari kiamat. Muri-
murina makusdunya adalah paling akhir (hari akhir). Te artinya
dan (juga). Kata azabu artinya azab yang berlaku di hari akhirat.
Siksa (siksaan) menyatu dengan kata azabu. Neraka artinya
neraka. Pada kalimat tersebut masih menjelaskan fungsi huru-hara
azab neraka.
Dalam kalimat baris 222-223 terbentuk dari kata tee,
arangani, mokura, -na, fahala, -na, i, apaiaaka, mu’mini, umati,
dan –na. Pada kata tee (juga) masih membahas efek dari syafa’at
Nabi. Arangani artinya menambah, menggambarkan ada sesuatu
yang kurang. Mokura-na (yang kurang), -na menyiratkan sesuatu
yang sudah ada namun belum cukup. Fahala berarti pahala atau
ganjaran bagi hamba yang saleh. Akhiran –na tertuju pada hamba.
Iapaiaa-ka adalah kesatuan kata yang bermakna siapa saja (yang)
dan di mana saja: akhiran –ka menunjukkan makna khusus. Kata
mu’mini artinya orang-orang beriman yang berhubungan denan
Islam. Umati artinya umat, jika duhubungkan dengan akhiran –na
ia mengisyaratakan satu kesatuan dengan kalimat sebelumnya.
Sehingga, maksud umatina di kalimat ini menginterpretasikan
umat Muhammad saw.
Narasi pada baris 224-225 disusun dari kata Sambuli, -na,
malaikati, yitu, aminaaka, i, nuncana, dan soroga. Pada kata
sambuli artinya sepulang dan –na adalah nya (sepulangnya). Kata
malaikati menjelaskan bahwa yang pulang adalah malaikat. Yitu
menunjuk ke kata malaikati. Kata aminaaka artinya berasal dari
(dari) membayangkan bahwa malaikat melakukan perjalana. I
204
artinya di: dan kata setelehanya adalah nuncana artinya dalam.
Kalimat tersebut mengintrepertasikan perjalanan malaikat yang
diperintahkan oleh Tuhan berjalan menuju surga.
Metaforis kalimat pada baris 226-227 dibentuk dari kata a-
, penunu, -mo, koburu, -na, nabii, -ta, i, muhusara, maedani, dan
molalesa. Pada kata a- merupakan awalah kata kerja bagi pelaku
orang ketiga atau jamak. Penunu artinya mencari dengan teliti
(menyusut), yang mencari adalah malaikat. Akhiran –mo
menggambarkan makna ketegasan (juga berhubungan dengan
makna sudah).78 Koburu artinya kuburan yang terhubungkan
dengan akhiran –na sehingga menunjukkan makna tunggal
(sebuah kuburan). Kata nabii-ta dengan kata koburu menjelaskan
bahwa yang dicari adalah kuburan Nabi Muammad saw. I berarti
di menunjukkan sebuah tempat bisa juga waktu. Kata muhusara
artinya Padang Masyhar. Maedani79 (lapangan) membayangkan
bentuk muhusara yang lapang (seperti lapangan). Kata molalesa
berarti luas yang mengekspresikan bentuk padang masyhar.
Retoris pada baris 228-229 dibangun dari kata sakawa, -na,
manga, i, tanga-tanga, agora, -mo, ruhili, dan Amina. Pada kata
sakawa-na (setelah sampainya) dalam hal ini adalah para malaikat
yang diutus. Manga artinya mereka kata ganti dari empat malaikat
yang diutus. Kata i menunjukkan sebuah tempat. Tanga-tanga
(tenga-tengah) adalah tempat yang dimaksud yaitu di padang
78 Akhiran kata yang sering digunakan MIK membayangkan seolah dia
sedang bercerita dengan cera tatap muka. 79 Berhubungan dengan bahasa Arab maidaanun artinya lapangan.
205
masyhar tersebut. Akhiran –mo pada kata agora-mo
(memanggillah) mengekspresikan ada sosok yang memanggil para
malaikat. Kata Ruhili dan Amina merupakan kesatuan makna
sebagai sebuatn lain dari Malaikat Jibril As.
Kalimat pernyataan pada baris 230-231 tersusun dari kata
Jibriilu, mo-, tunggu, -na, -mo, wahi, Oandea, -na, bari-baria, dan
rasulu. Kata Jibriilu (Jibril) adalah malaikat. Awalan kata kerja
mo- dan akhiran -na-mo dalam kata mo-tunggu-na-mo80 (yang
menjaga) di samping mengekspresikan upaya pengarang bercerita
dengan pembaca secara berhadapan, juga membayangkan makna
kebenaran yang diyakini mengenai Malaikat Jibril As. Wahi
artinya wahyu: dimaknai sebagai mukjizat Nabi Muhammad Saw.
Oandea-na berarti sahabatnya. Akhiran –na maksudnya adalah
jibril. Bari-baria artinya semuanya. Semuanya yang dimaksud
adalah kata rasulu yang berarti utusan dalam hal ini adalah Rasul
Allah Swt.
Kalimat pada baris 232-233 dibentuk dari kata tee, bangu,
-na, gora, -na, Jibriilu, i, yapa, -mo, koburu, -na, dan muhammadi.
Pada kata banguna setelah tee (juga) secara sintaksis bukan berarti
bangun melainkan bentuk.81 Kata gorana artinya panggilan, jika
dihubungkan dengan kata sebelumnya maka menjelaskan bentuk
panggilan. Jibriilu menjelaskan sebagai yang memanggil dengan
80 Tugas Jibril As dari Allah SWT adalah menyampaikan wahyu. 81 Dalam bahasa Wolio, bangu memiliki banyak makna. Akan tepat
dipakai sesuai maknanya jika relevan dengan koteks kalimatnya. Contoh: abangu mina i koburu artinya bangun dari kuburan dan bangumu yitu apokanamo tee amamu artinya bentukumu sudah sama seperti ayahmu.
206
bentuk panggilan khusus. I yapai serta akhiran –mo
mengkespresikan sebuah seruan yang berbentuk pertanyaan.
Artinya adalah di manakah, sebab -mo mengandung makna
ketegasan. Koburu artinya kuburan dan –na membayangkan
seorang Muhammadi (Muhammad) yang mana kuburannya sedang
dicari-cari oleh Malaikat Jibril As.
Kalimat metaforis pada baris 234-235 dibangun dari kata
salapasi, -na, gora, -na, Jibriilu, amawetai, -mo, tana, koburu, -
na, dan yitu. Pada akhiran –na dalama kata salapasi-na (seusainya)
menggambarkan makna kesudahan. Kata gora adalah seruan Jibril
dan –na kata ganti Jibril As. Akhiran –mo dalam kata amaweta-mo
(terbelahlah) mengekspresikan makna upaya mempercayai
kebenaran kisah hari akhir. Tana berarti tana yang manusia injak
dan darinya tumbuh tanaman dan muncul air. Kata koburu
(kuburan) membayangkan makam Rasulullah saw. Kata yitu
merupakan kata ganti juga penegasan dari koburu. Maksud kalimat
ini adalah, kuburan mulai terbelah setelah berkumandang seruan
dari Malaikat Jibril As.
Kalimat pada baris 236-237 dibangun dari kata abangu, -
mo, Nabii, mina, i, tana, ka-auncura, i, baa, -na, koburu, dan –na.
Pada akhiran –mo dalam kata abangu-mo (bangunlah): kata
lampau. Kata Nabii maksudnya adalah Muhammad Saw. Mina
artinya dari. Kata i berarti di menunjukkan makna dalam (di
dalam). Tanah, stilistikanya adalah dalam tanah yang mempunya
ruangan yaitu kuburan. Awalan –ka pada kata ka-auncura
mengekspresikan bahwa kemudian Nabi duduk, entah bagaimana
207
bentuk duduknya. I artinya di dan baa maksudnya kepala kuburan.
Akhiran –na pada kata kuburana (kuburan) menjelaskan posisi
Nabi setelah bangkit dari kuburannya.
Narasi kalimat pada baris 238-239 tersusun dari kata tee,
asapui, jangku, -na, mo-, milia, -na, tee, baa, -na, mo-, topene, -
na, dan kawondu. Kata tee menunjukkan kelanjutan dari kalimat
sebelumnya. Asapui artinya adalah mengelus, membayangkan
sedang membersihkan jenggotnya yang kotor disebabkan tanah
kuburan. Kata jangku yang terhubung dengan akiran –na
maksudnya jenggot Nabi Muhammad Saw. Awalan mo- dan
akhiran –na pada kata momuliana membayangkan kemuliaan bagi
Rasulullah saw.82 Tee baa-na maksudnya adalah kepalanya (Nabi)
juga. Awalan mo- dan akhiran –na dalam kata motopenena (yang
teramat) secara retoris menginterpretasikan kemuliaan yang luar
biasa. Kata kawondu berarti wangi. Wangi yang berasal dari kepala
Nabi Muhammad saw.
Retoris kalimat pada baris 240-241 dibangun dari kata tee,
asapui, ngawu, tana, koburu, -na, apekangkilo, badha, -na, mo-,
alusu, dan -na. Pada kata tee asapui artinya juga membersihkan
(dengan tangan). Ngawu artinya debu: tanah yang tidak basah.
Kata tana dan koburuna mengekspresikan tanah kuburan
Muhammad Saw. Pada kata apekangkilo menggambarkan ada
sebuah aktivitas membersihkan. Badha artinya badan dan –na
82 Jika dinterpretasi dari kalimatnya, jenggot Rasulullah saw
(dianggap) mulia.
208
adalah Muhammad Saw. Awalan mo- dan akhiran –na dalam kata
moalusuna membayangkan badan Nabi yang halus.
Kalimat pada baris 242-243 tersusun dari kata tee, apoili, i,
kaai, i, kaana, bari-baria, dangia, dan amapada. Kalimat tersebut
masih berhubungan dengan baris sebelumnya. Pada kata tee apolili
adalah menggambarkan sosok Muhammad Saw di atas kuburnya
yang sedang menoleh. I kaai dan i kaana berarti di kiri dan kanan
(kiri-kanan): maksudnya sedang mencari sesuatu. Bari-baria
artinya semuanya yang berhubungan dengan umat Muhammad
saw. Kata dangia artinya masih yang menunjukkan
keadaan/kondisi sesuatu. Amampada merupakan keadaan yang
dilihat Rasulullah saw yaitu masih tiada (tidak ada seorang
manusiapun).
Kalimat pernyataan pada baris 244-245 dibentuk dari kata
laosaka, -mo, abaki, Jibriilu, Onabii, ta, syafiili, dan umati. Pada
kata laosaka membayangkan respon Muhammad Saw yang
spontan. Akhiran –mo dalam laosakamo bermakna langsung (lah).
Abaki didahului oleh awalan kata kerja a- mengekspresikan
Muhammad Saw yang bertanya. Kata Jibriilu (Jibril) adalah
malaikat yang ditanya. Onabii dengan akhiran –ta adalah Nabi kita
Muhammad Saw. Syafiili menggambarkan kemuliaan Nabi yang
memiliki sifat mengayomi. Kata umati adalah relasi dari kata
syafiili. Pesan cerita ini adalah Nabi Muhammad Saw mengayomi
umat manusia.
209
Kalimat pada baris 246-247 dibangun dari kata Jibriilu,
maipo, paumbaa, ku, opea, -mo, baraa, eo, incia, dan sii. Kata
Jibriilu merupakan panggilan serta rasa ingin bertanya
Muhammad Saw kepada Jibril As. Maipo membayangkan Jibril
sedang dipanggil oleh Muhammad Saw yang menggambarkan
adanya jarak yang memisahkan di antara mereka. Kata paumbaaku
artinya beritahu saya yang merupakan ucapan penasaran Nabi dari
hal yang belum diketahuinya. Opea adalah bentuk pertanyaan
artinya apakah. Akhiran –mo pada kata pertanyaan
mengekspresikan sesuatu yang ditanya telah nampak di depan
mata. Kata baraa artinya kiranya dan eo artinya hari, dalam
kalimat ini maknanya berkaitan dengan hari dibangkitkannya
kembali seluruh manusia. Incia dan sii mengekspresikan kembali
hari tersebut; eo inciasii artinya hari ini.
Kalimat metaforis di baris 248-249 tersusun dari kata
akooni, -mo, Jibriilu, siitu, osiitu, -mo, eo, safa’ati, dan mu.
Akhiran –mo pada kata akoonimo membayangkan adanya
percakapan. Jibriilu yang berucap guna menjawab pertanyaan dari
Nabi. Siitu merupakan kata ganti dari Jibril yang menggambarkan
kisah ini diceritakan oleh pengarang kabanti (syair). Pada akhiran
–mo dalam kata osiitumo mengekspresikan waktu (masa) yang
sedang dijalani. Kata eo artinya hari, itulah yang dimaksud dengan
waktu atau masa tersebut (hari akhir). Syafa’ati menejelaskan
makna sebuah hari yaitu hari di aman syafa’at Nabi berlaku bagi
hambanya. Akhiran –mu menunjuk ke Nabi Muhammad Saw.
210
Pada kalimat di baris 250-251 dibentuk dari kata tee,
akakaro, makamu, kapujiai, -mu, bee, uagoa, umati, -mu,
mokodhosa, dan –na. Pada kata tee akakaro (dan diapun berdiri)
mengekspresikan masa kebangkitan kemuliaan Muhammad Saw.
Makamu adalah kedudukan Muhammad Saw yang tidak dimiliki
Rasul lainnya. Kata kapujia menegaskan kelebihan Nabi yang
terpuji. Akhiran –mu penegasan menunjuk ke Nabi Muhammad
saw. Kata bee adalah kata kerja yang berarti harus, dan hendak.
Akhiran –a pada kata uagoa membayangkan adanya seseorang
yang hendak diselematkan. Umati merupakan umat Nabi yang
bakal mendapat syafa’at. Akhiran -mu adalah kata ganti kamu
(Muhammad). Awalan mo- dan akhiran –na dalam kata
mokodhosana (yang berdosa) membayangkan ada sebagian umat
Muhammad Saw yang berdosa.
Retosir pada kalimat baris 252-253 dibangun dari kata
akooni, safiili, umati, alaihi, salawa, tee, salamu. Pada kata akooni
mengekspresikan adanya sosok yang berseru (Muhmmad Saw).
Safiili ummati adalah julukan Nabi sebagai pengayom umat. Pada
kalimat alaihi salawa tee salamu merupakan satu ungkapan
shalawat dan salam kepada Rasulullah.
Kalimat pada baris 254-255 tersusun dari kata i, apai, -mo,
manga, umati, -ku, sii, ulana, bara, incana, -mo, dan sikisaa. Pada
kesatuan kata iapaimo mengekspresikan sebuah pertanyaan.
Manga adalah mereka (umat manusia). Kata umati adalah umat
dan –ku kata ganti aku: maksudnya adalah umat Muhammad Saw.
Sii artinya ini, penegasan kata umatiku. Kata ulana dan bara
211
mengekspresikan dugaan yang artinya barangkali. Akhiran –mo
pada kata incanamo membayangkan dugaan Nabi pada umatnya
telah berada di dalam sebuah tempat yang berhubungan dengan
ruangan. Kata sikisaa artinya siksaan yang berkorelasi dengan
makna di dalam sehingga menggambarkan makna neraka.
Metaforis dari kalimat ini merupakan ekspresi kecintaan Nabi
Muhammad Saw kepada umatnya.
Kalimat pernyataan pada baris 256-257 terbentuk dari kata
akooni, -mo, jibriilu, siitu, oumati, -mu, indapo, tee, -mo, bangu,
dan –na. Akhiran –mo pada kata akooni (berkata) membayangkan
ada sebuah percakapan seperti kalimat sebelumnya. Jibriilu
memberikan jawaban pada pertanyaan dari Nabi. Kata siitu (itu)
merupakan penegasan dari Jibril As. Kata oumatimu
mengekspresikan penegasan pernyataan yang ditujukan ke umat:
akhiran–mu kata ganti dari Muhammad Saw. Kata indapo berarti
belum: menyatu dengan tee-mo-bangu-na menjelaskan
Muhammad Saw sedang menanyakan umatnya. Secara sintaksis,
kalimat di baris ini menggambarkan keadaan umat manusia yang
belum dibangkitkan dari kuburnya.
Kalimat di baris 258-259 dibangun dari kata aharamu,
porikana, be, abangu, malingua-ka, i, apai, dan manusia. Pada
kata aharamu maksudnya haramlah, kata tersebut merupakan
tanggapan Jibril As. Kata porikana berarti lebih dulu (duluan) atau
sudah terjadi di awal. Kata be-abangu membayangkan seseorang
yang hendak bangun dari kubur. Malinguaka artinya segalanya:
yaitu segala makhluk. Manusia adalah maksud dari Jibril
212
mengenai keharaman jika mendahului Nabi saat semua manusia
dibangkitkan dari kuburnya. Secara metaforis, kalimat ini
dipahami bahwa Muhammad Saw merupakan manusia yang
pertama bangkit dari tanah kuburan.
Kalimat pada baris 260-261 disusun dari kata tabeana, -mo,
porikana, -po, ingko, tee, mo-, bangu, -na, minaaka, i, dan koburu.
Pada kata tabeana berarti melainkan: ada sebuah takhsis. Akhiran
–mo mengandung makna penegasan. Akhiran –po pada kata
porikanapo (lebih dulu) menjelaskan sesuatu yang telah terjadi.
Ingko artinya kamu: maksudnya adalah Nabi Saw. Tee bermakna
yang: kata penghubung. Awalan mo- dan akhiran –na dalam kata
kerja mobanguna membayangkan sosok manusia atau hamba. Kata
minaaka berarti dari yang menegkspresikan makna dari dalam.
Koburu merupakan kuburan yang dari dalam kuburan tersebut
manusia kemudian dibangkitkan kembali.
Pada kalimat pernyataan baris 262-263 terbentuk dari kata
ka, bee, abangu, mia, mosaagana, -na, itu, -mo, duka, rou, -na,
kamulia, dan –mu. Pada kata ka-bee-abangu menunjukan makna
hendak terjadi: artinya baru kemudian bangulah. Kata mia artinya
manusia, entah laki-laki atau perempuan. Mosagana menjelaskan
termasuk manusia yang lain selain Nabi. Akhiran –na menegaskan
kembali hamba yang lain tersebut. Akhiran –mo dalam kata itumo
menunjuk kepada sesuatu, yaitu Muhammad Saw. Duka artinya
juga, kata rou dan –na secara stilistika bermakna tanda-nya.
Kamulia-mu mengekspresikan kemuliaan Nabi (Muhammad saw).
213
Kalimat baris 264-265 dibangun dari kata Ka, abangu,
Sidiki, mobanara, -na, Abu bakara, oama, -na, dan Aisya. Awalan
kata kerja ka- dalam kata ka-abangu mengekspersikan makna
kemudian ada yang bangkit dari kubur. Kata tersebut juga
meninterpretasikan bahwa akan ada yang bangkit dari tanah
kuburan setelah Nabi. Sidiki sebutan untuk Abu Bakar Siddiq RA,
dialah yang bangun setelah Muhammad Saw. Kata mobanara
dengan akhiran –na menegaskan makna sidiki hanya ada pada diri
Abu Bakar. Abu bakar adalah yang menyandang gelar Sidiki
mobanara, ia adalah sahabat Nabi. Kata oama mengkespresikan
Abubakar sebagai seorang ayah. Akhiran –na menunjuk pada kata
Aisya, maksudnya adalah ayah Aisya.
Narasi kalimat dalam baris 266-267 tersusun dari kata ka,
abangu, Umara, moadili, -na. rua, mia, -na, sahabati, -na, dan
molabi. Pada kata ka-abangu menunjukkan kejadian yang
berurutan.83 Nama Umara (maksudnya Umar bin Khattab)
merupakan sosok yang bangkit setelah Abu Bakar. Kata moadili
sebutan sifat yang dikenal pada pribadi Umar bin Khattab. Akhiran
–na menegaskan kembali gelar moadili pada Umar. Kata rua (dua)
dan mia (orang) merupakan satu kesatuan makna yang
menggambarkan sosok Abu Bakar dan Umar. Akhiran –na pada
kata sahabtina menjelaskan kedekatan mereka dengan Nabi. Kata
83 Maksud berurutan di sini adalah, manusia yang dibangkitkan dari
tanah kuburnya pada hari kiamat secara berurutan. Awalnya adalah Muhammad Saw, kemudia Abu Bakar Siddik, kemudian Umar Bin Khattab, dan seterusnya.
214
molabi artinya yang dilebihkan, mengekspresikan takhsis daripada
sahabat Nabi yang lain.
Pernyataan baris 268-269 dibentuk dari kata ka, apake,
manga, talu, mia, -ia, malinguaka, pakea, i, dan soroga. Pada
awalan –ka di kata kerja apake bermakna melakukan sesuatu. Kata
manga adalah kata ganti dari orang ketiga; jamak. Akhiran –ia
pada kata talumia-ia mengekspresikan sebuah keaktifan (lawan
dari pasif). Kata malinguaka menunjukkan makna lebih dari satu
yang artinya segalanya. Pakea berarti pakaian. I maksudnya di
dalam. Kata soroga artinya surga menegaskan kembali mengenai
perintah Tuhan kepada Malaikat untuk mengambil pakaian mulia
di Surga.
Kalimat pada baris 270-271 dibangun dari kata omakuta,
tee, izari, mo-, mulia, tee, kausu, mo-, topene, -na, dan kalape.
Pada kata omakuta yang berarti mahkota masih merupakan
lanjutan dari kalimat sebelumnya, (berhubungan dengan mahkota
kepala). Kata tee menejelaskan makna dan juga. Izari dari bahasa
Arab artinya kain. Awalan mo- dalam kata momulia
mengekspresikan status mahkota dan kain yang mulia. Tee kausu
artinya dan sepatu. Kausu berfungsi sebagai alas kaki entah
bagaimana bentuk dan motifnya, sepatu pria atau sepatu wanita.
Awalan mo- dan akhiran –na pada kata motopenena
mengekspresikan kelebihan dan kemuliaan sepatu. Kalape berarti
kemuliaan pada sepatu.
Retoris kalimat pada baris 272-273 tersusun dari kata
osawika, -na, podo, buraku, molabi, apiliakea, i, nuncanca, -na,
215
dan soroga. Pada kata osawika menunjukkan makna kendaraan
yang bisa ditumpangi oleh manusia. Akhiran –na adalah kata ganti
untuk orang ketiga. Kata podo mengisyaratkan makna kesamaan.
Buraku ialah kendaraan yang begitu cepat, pernah digunakan Nabi
Muhammad Saw, artinya burak. Kata molabi menegaskan
keunggulan burak (berhubungan dengan kecepatan). Pada kata
apiliakea berarti dipilihkan84 menjelaskan sebuah perencanaan. I
menunjukkan makna di dalam. Akhiran –na dalam kata nuncana
(dalam) membayangkan sebuah ruang yaitu bumi (bukan ruangan
rumah juga bukan kuburan). Kata soroga berarti surga adalah
tempat yang mulia dan penuh kebaikan.
Kalimat pernyataan pada baris 274-275 dibentuk dari kata
osiitu, -mo, ka-, mulia, -ngi, -na, Opu, akukumba, -i, batua,
talumia, dan -na. Akhiran –mo pada kata osiitumo menunjukkan
sesuatu yang telah ada (ada wujudnya). Awalan ka- dan akhiran –
ngi-na pada kata kamuliangina mengekspresikan karunia
kemuliaan. Opu berkorelasi dengan kata sebelumnya sehingga
membayangkan makna Kemaha Muliaan Tuhan. Stilistik dari kata
akukumba-i maknanya adalah Tuhan memanjakan seseorang yang
membayangkan adanya orang yang dikasihi (dimanjakan). Batua
berarti hamba, menggambarkan kehambaan Nabi dan kedua
sahabatnya. Talumia-na (ketiganya) mengeskpresikan kembali
status hamba pada diri Nabi dan sahabatnya.
84 Kata dipilihkan seakan menafsirkan bahwa perjalanan Nabi
Muhammad memang telah direncanakan sehingga disiapkan seekor burak yang paling bagus.
216
Kalimat pada baris 276-277 dibangun dari kata salapasi, -
na, pada, -na, tua, siitu, alingka, -mo, manga, talu, mia, dan ia.
Pada akhiran –na dalam kata salapasina (sesudah)
menggambarkan makna melewati suatu aktifitas. Kata padana
sangat lekat maknanya dengan salapasina, artinya sesudahnya.
Kata tua dan siitu maksudnya; demikian itu, menjelaskan
seusainya Nabi dan sahabat mengenakan semua yang dipilihkan
dari surga. Akhiran –mo dalam kata alingkamo menerangkan
makna kesudahan yang artinya pergilah (mereka). Kata manga
sebagai kata ganti dari mereka. Akhiran –ia dalam kata talumiaia
mengandung makna aktif (bukan pasif) yang artinya ketiganya
yaitu Muhammad Saw, Abu Bakar Siddik RA, dan Umar bin
Khattab RA.85
Kalimat pada baris 278-279 tersusun dari kata aporikana,
Sidiki, tee, Umara, i, aroa, na, safiili, dan umati. Pada kata
aporikana (duluan) merupakan kata kerja yang membayangkan
adanya seseorang dan mengisyaratkan makna sedang berjalan.
Sidiki dan Umara adalah sahabat Nabi yang digambarkan sedang
jalan di depan Nabi (jalan duluan). I menjelaskan makna di.
Akhiran –na dalam kata aroana mengekspresikan makna di
perjalanan. Kata safiili umati seperti dijelaskan sebelumnya,
merupakan kelebihan Muhammad Saw sebagai pengayom umat.
Pada kalimat pernyataan baris 280-281 dibentuk dari kata
mo-, tutu, -nia, Nabii, ta, mo-, labi, -na, sakabumbua, podo, dan
85 Akhiran –ia merupakan kata ganti orang ketiga yang sering
digunakan dalam sebutan seseorang setelah kata kerja.
217
malaikati. Pada awalan mo- dan akhiran –nia dalam kata motutunia
membayangkan sebuah aktifitas yang bermakna mengikuti.86 Kata
Nabii-ta menegaskan pada siapa saja: Abu Bakar dan Umar
mengikuti Nabi Muhammad Saw. Awalan mo- dan akhiran –na
pada kata molabina menunjukkan kemuliaan seorang Muhammad
Saw. Kata sakabumbua artinya sekumpulan. Podo menunjukkan
jumlah yang banyak. Kata malaikati (malaikat). Kalimat ini
menegaskan banyaknya malaikat mengiringi Muhammad Saw.
Kalimat pada baris 282-283 dibangun dari kata tee, -mo,
duka, i, apai, mo-, iringi, -a, i, kanaa, -na, weta, i, kaai, dan –na.
Kata tee dan akhiran –mo mengisyaratkan adanya kelanjutan.
Duka berate juga membayangkan adan sesuatu yang lain atau
seseorang yang lain. Kata i apai secara sintaksis bukanlah bentuk
pertanyaan melainkan pernyataan. Awalan mo- dan akhiran –a
dalam kata moiringia mengekspresikan makna kata kerja. Akhiran
–a menggambarkan bahwa yang diiringi hanyalah satu orang
(yaitu Nabi). Kata i kaana (kanan) menunjukkan posisi para
malaikat yang mengiringi Nabi. Akhiran –na kata ganti untuk
Muhammad. Kata weta maknanya bagian, membayangkan adanya
jarak pemisah.87 I kaai dan –na maksudnya adalah bagian kiri
Nabi.
86 Dalam Wolio Dictionari, yang lebih tepat adalah tuutuu artinya
urutan. Sedangkan tutu artinya bisa memberitahu bisa juga menumbuk sesuai konteks katanya (Anceaux: 187).
87 Makna kata kerja dari weta adalah membelah. Sehingga, weta artinya sebelah. Jarak pemisah tersebut adalah posisi Nabi Muhammad saw.
218
Metaforis kalimat di baris 284-285 tersusun dari kata
kambeli-mbeli, manga, incia, siitu, i, muhusara, maedani, dan
kalalesa. Pada kata kerja kambeli-mbeli secara sintaksis bukan
Cuma berarti jalan-jalan seperti refreshing atau menikmati
keindahan sekeliling jalan. Manga adalah kata ganti orang yang
ketiga (jamak): yaitu Nabi dan orang-orang (malaikat) yang
mengiringinya. Kata incia sering dilekatkan dengan kata manga,
yang maknanya membayangkan manusia (bukan binatang,
tumbuhan, dan benda mati). Pada kata siitu (itu), menegaskan
kembali orang-orang yang mengiringi malaikat. Kata i
menunjukkan sebuah tempat entah pada, di, atau di dalam.
Muhusara artinya Masyhar (Padang Masyhar), berkumpulnya
seluruh makhluk pada hari kebangkitan. Kata maedani berarti
lapangan, secara sintaksis maksudnya adalah padang. Kalalesa
mengekspresikan luasnya maedani muhusara tersebut.
Kalimat pada baris 286-287 dibentuk dari kata onabii, taa,
atoku-toku, umati, -na, tee, apentaa, paimia, dan mobanguna.
Awalan o- pada kata onabii merupakan kata sandang yang
menunjukkan sebuah subjek. Kata taa membayangkan manusia
entah laki-laki atau perempuan (jamak): kata ganti dari kita.
Nabiita menjelaskan bahwa Muhammad saw adalah Nabi seluruh
umat. Kata kerja atoku-toku artinya menunggu; memperhatikan;
dan melihat-lihat. Akhiran –na pada kata umatina maksudnya
adalah umat Nabi. Kata tee menunjukkan adanya aktivitas
berikutnya. Apentaa adalah kata kerja; menantikan. Kata paimia
berarti siapa saja yang membayangkan sosok manusia. Kata
219
awalan mo- dan akhiran –na pada kata kerja mobanguna
mengekspresikan umat (manusia) sedang bangkit dari sesuatu
(yaitu tanah kuburan).
Kalimat pada baris 288-289 dibangun dari kata Israfiili,
atowii, sangkakala, bee, abanguna, sabara, antona, dan tana. Kata
Israfiili adalah malaikat Israfil. Atowii adalah kata kerja yang
menggambarkan Israfil sedang meniup. Kata sangkakala
membayangkan sebuah terompet yang maha luar biasa dahsyatnya.
Bee bermakna harus; hendak. Kata kerja abanguna
membayangkan adanya hubungan dengan aktifitas manusia. Kata
sabara mengekspresikan makna segala macam yang ada (bukan
hanya manusia). Antona berarti isi, lekat dengan kata sabara. Kata
tana menginterpretasikan sebuah bumi yang berkaitan dengan
tanah kuburan. Kalimat ini menegaskan segala macam isi dalam
tanah termasuk selain manusia.
Retoris kalimat pada baris 290-291 tersusun dari kata
sarango, -na, suara, -na, sangkakala, posa-, bangu, -mo, paimia,
dan koburu. Akhiran –na pada kata sarangona (setelah
mendengar) mengekspresikan adanya respon atau efek yang
dilakukan oleh makhluk hidup. Kata suara berhubungan dengan
sesuatu yang berbunyi dan dapat direspon oleh telinga. Akhiran–
na menunjuk ke sumber suara (sumber bunyi). Kata sangkakala
adalah sumber suara yang didengar. Posa merupakan awalan kata
kerja yang artinya bersama-sama, dan sebagai satu golongan.88
88 Anceaux, 1987: 146.
220
Akhiran –mo pada kata posabangumo menjelaskan makna sudah
(telah) bangun. Kata paimia artinya semua orang entah laki-laki
maupun perempuan. Koburu artinya kuburan, menggambarkan
sebuah peristiwa yang berhubungan dengan hari dikumpulkannya
manusia di padang mahsyar.
Kalimat pada baris 292-293 dibentuk dari kata oisilamu,
tee, malingu, kaafiri, posa-, bangu, -mo, sumbe-sumbere, dan
kaomu. Awalan o- pada kata isilamu secara stilistik menunjukkan
makna kaum Muslim atau orang yang beragama Islam. Tee
berperan sebagai kata penghubung. Kata malingu artinya
segalanya. Kata kaafiri seperti halnya kata Isilamu; orang-orang
kafir. Kata posabangu seperti yang dijelaskan pada kalimat
sebelumnya (paragraf di atas). Kata sumbe-sumbere artinya
masing-masing, membayangkan makna tiap orang sendiri-sendiri.
Kaomu menejelaskan makna golongan (golongan makhluk).
Mungkin mengisyaratkan makhluk hidup lainnya (berhubungan
dengan binatang).
Kalimat pernyataan di baris 294-295 dibangun dari kata
kawana, -mo, okadadi, obinata, posa-, bangu, -mo, naile, i, dan
muhusara. Akhiran –mo pada kata kawanmo yang artinya juga.
Kata okadadi berkaitan dengan binatang; hewan. Binata
penegasan dari kadadi; artinya binatang. Keduanya
menggambarkan adanya makhluk lain di dalam tanah selain
manusia. Kata posabangumo artinya (semua bangkit). Pada kata
naile mengekspresikan bahwa ini adalah kisah yang pasti terjadi.
Kata i menunjukkan makna tempat. Muhusara adalah Padang
221
Masyhar di mana terkumpulnya seluruh makhluk Tuhan di tempat
tersebut.
Kalimat pada baris 296-297 tersusun dari kata sa-, kamata,
-na, Nabii, -ta, molabina, i, apaiaka, mo-, bangu, -na, dan yitu.
Awalan sa- pada kata sakamatana adalah awalan kata kerja:
artinya sesudah.89 Akhiran –na pada kata sakamatana
menunjukkan bahwa yang melihat (subjek) adalah makhluk yang
bangun dari tanah kuburan. Nabii merupakan objek (yang dilihat).
Kata ta adalah kata ganti kita (termasuk pembaca kabanti ini). Kata
molabina menegaskan keunggulan Nabi yang mulia (memiliki
kelebihan). Iapaiaka menjelaskan yang bangun dari tempat mana
saja letak kuburannya. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata
mobanguna menggambarkan sosok makhluk yang bangkit dari
kubur, berkaitan dengan kata ganti yitu.
Pada kalimat pada baris 298-299 terbentuk dari kata
akooni, -mo, nabii, -ta, molabina, Jibriilu, sumako, -mo, umati, dan
–ku. Akhiran –mo pada kata akoonimo menjelaskan sebuah seruan
yang beralasan. Nabiita artinya Nabi kita. Kata molabina
menegaskan kemuliaan Muhammad saw. Kata Jibriilu adalah
ucapan seruan Nabi kepada Jibril. Akhiran –mo pada kata
sumakomo menggambarkan keyakinan terhadap sesuatu
(sintaksisnya menjelaskan jarak yang tidak dekat). Kata umati
adalah umatku (umat Nabi Muhammad Saw). Metaforis dari
89 Anceaux, 1987: 156.
222
kalimat ini menunjukkan betapa bahagianya Rasulullah melihat
para umatnya di hari kebangkitan.
Pernyataan pada baris 300-301 dibangun dari kata akooni,
-mo, Jibriilu, siitu, manga, sumako, mincuana, uamti, dan -mu.
Pada kata akoonimo seperti dijelaskan di atas, membayangkan
adanya dialog. Kata Jibriilu (Malaikat Jibril) menjawab
pernyataan Nabi. Kata siitu menunjuk pada Jibril AS. Manga
bermakna jamak, berhubungan dengan umat, entah laki-laki
maupun perempuan. Kata sumako menunjuk yang jauh; di sana.
Mincuana artinya bukanlah, terhubung dengan kata manga.
Akiran –mu pada kata umatimu tujuannya kembali kepada Nabi
dari ucapan Jibril. Kalimat tersebut menegaskan bahwa yang
ditunjuk oleh Nabi saat semua bangkit, dinyatakan salah oleh
Jibril. Hal tersebut membayangkan ada dua kemungkinan.
Pertama, bisa jadi benar, namun mereka (yang ditunjuk) mungkin
banyak dosa. Kedua, Nabi juga menunjuk orang-orang kafir dan
mengira mereka sebagai pengikutnya.90
Kalimat di baris 302-303 tersusun dari kata indaa,
mangenge, padana, tua, siitu, umbalaka, -mo, manusia, mo-, dan
bari. Pada kata indaa artinya tidak, bukan sebuah jawaban dari
pertanyaan (melainkan pernyataan). Mangenge terhubung dengan
kata inda artinya tidak lama; menggambarkan kisah yang
90 Metaforis dari kalimat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw
menganggap bahwa semua yang bangkit dari kuburan adalah pengikutnya. Relevan dengan misi Nabi di utus di muka bumi dengan Mukijzat al-Qur’an sebagai ahmatan lil’alamin.
223
berlanjut. Kata padana dan tua siitu satu kesatuan kalimat yang
mengekspresikan kejadian sebelumnya (pada kalimat
sebelumnya). Kata umbalaka artinya bermunculan, ini
membayangkan sosok umat. Akhiran –mo menegaskan makna
telah pada umat yang berdatangan tersebut. Kata manusia
membayangkan adanya manusia lain selain umat Nabi. Awalan
mo- pada kata mobari menegaskan jumlah manusia yang begitu
banyak saat peristiwa tersebut.
Retoris kalimat pada baris 304-305 dibentuk dari kata
abuke, mea, i, apai, anguna, tombu, tee, malingu, tarafu, -na, dan
mbooresa. Akhiran –mea pada kata abukemea mengekspresikan
sebuah kata kerja yang bermakna meluapi; manusia meluapi. Kata
i dan apai menunjukkan sebuah tempat. Anguna artinya bilangan
dan tombu (tumpukan) menjelaskan tumupukan manusia. Kata tee
berarti dan. Malingu artinya segalanya, menunjukkan adanya
jumlah yang banyak. Tarafu secara sintaksis artinya tempat; bisa
diartikan taraf, atau tingkatan.91 Akhiran –na menegaskan sebuah
tempat. Mbooresa berhubungan dengan tarafuna artinya yang
ditempati manusia.
91 Tarafu adalah sebuah tempat yang didiami oleh orang-orang yang
memiliki tingkatan di dalam Kerajaan. Sehingga, bisa dipahami bahwa tarafuna mbooresa adalah tempat yang bertingkat yang dibuat entah dari besi atau dari bahan lainnya. Tarafu di sini seakan membayangkan bahwa di dalam Padang Masyhar ada tumpukan manusia sehingga dibuat tempat lain untuk menampung luapan manusia tersebut, misalnya dengan membuat tempat secara bertingkat. Selain itu, ada yang mengartikan bahwa tarafu mboresa di sini menggambarkan posisi manusia berdasarkan amal perbuatannya.
224
Pada kalimat pernyataan baris 306-307 dibangun dari kata
akooni, -mo, Jibriilu, Muhammadi, sumako, -mo, umati, dan –mu.
Akhiran –mo pada kata kerja akoonimo mmbayangkan sebuah
pernyataan yang keluar dari mulut. Kata Jibriilu adalah sosok yang
menyatakan tersebut. Muhammadi merupakan seruan yang keluar
dari mulut Jibril As. Akhiran –mo pada kata sumakomo
membayangkan sosok Jibril sedang memberitahu Nabi
(menunjukkan sesuatu pada arah yang jauh). Kata ganti –mu yang
menunjuk pada Muhammad Saw.
Kalimat pada baris 308-309 tersusun dari kata alipa, -mo,
nabii, ta, mo-, labi, -na, pakawaaka, paimia, umati, -na. Akhiran
–mo pada kata kerja alipamo (sudah berjalan melalui); MIK
memilih kata yang sopan.92 Kata nabi merupakan objek yang
dimuliakan tersebut. Ta merupakan kata ganti untuk kita yang
menggambarkan adanya pembaca (termasuk MIK). Awalan mo-
dan akhiran –na pada kata molabina menegaskan kemuliaan pada
diri Nabi. Kata pakawaaka mereupakan kata kerja yang bermakna
menemui; menemukan: membayangkan pertemuan setelah
penantian panjang. Paimia artinya di mana yang berhubungan
dengan mia (manusia). Akhiran –na pada kata umatina
menggambarkan adanya pengkhususan.
Narasi pada baris 310-311 terbentuk dari kata akooni, -mo,
nabii, taa, mo-, labi, -na, abaki, manga, umati, -na, dan yitu.
92 Kata lain dari alipamo adalah alingkamo (dia telah pergi).
Masyarakat pengguna bahasa Wolio lebih sering memakai kata alipamo jika berhubungan dengan orang yang dihargai atau dimuliakan.
225
Akhiran –mo pada kata akoonimo membayangkan sebuah suara
seruan yang berasal dari mulut (-mo mengandung makna sudah
dan tegas). Kata nabi merupakan subjek atau yang berseru kata
akoonimo. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata molabina
menegaskan sebuah pernyataan mengenai kelebihan atau
kemuliaan Nabi. Kata kerja abaki menejelaskan sebuah aktifitas
bertanya (menanyai) yang dilakukan oleh Nabi Manga maksudnya
adalah objek yang ditanya (mereka). Kata umati menegaskan
bahwa yang ditanya adalah umat Nabi. Akhiran –na kata ganti
daripada Muhammad. Kata yitu merupakan penegasan daripada
umati.
Pada kalimat pernyataan baris 312-313 dibangun dari kata
tuapa, -mo, komiu, namisi, -miu, umboo-mboore, i, nuncana,
koburu, dan miu. Akhiran –mo pada kata tuapamo (bagaimana)
mengekspresikan sebuah pertanyaan yang tegas serta
membayangkan adanya komunikator kepada komunikan. Kata
komiu artinya kalian, membayangkan adanya sejumlah manusia
yang tepat berada di depan. Namisi artinya perasaan (yang
dirasakan oleh hati). Miu kata pendek dari komiu yang menegaskan
makna perasaan (perasaa kalian). Kata umboo-mboore
merupakan kata kerja yang artinya adalah berhuni, tinggal, dan
menempati.93 Kata i dan nuncana membayangkan adanya sebuah
ruangan. Koburu berarti kuburan. Kata miu adalah kependekan
93 Umboo-mboore berasal dari kata umboore menempati, tinggal, dan
menghuni. Pengulangan pada kata kerja tersebut menjelaskan sebuah makna dalam waktu yang lama.
226
dari komiu artinya kalian. Kalian di sini maksudnya adalah para
umat.
Kalimat pada baris 314-315 disusun dari kata sa- rango,
na, manga, incia, sittu, po-, tangisi, -mo, bari-baria, dan siitu.
Awalan sa- dan akhiran –na pada kata sarangona (setelah ia
mendengar) menejelaskan makna sudah. Kata tersebut
mengekspresikan seorang yang mendengar (adanya subjek). Kata
manga artinya mereka, pengganti dari umat. Incia masih
berhubungan dengan manga; dia.94 Kata siitu menunjuk dan
menegaskan kembali kata manga. Awalan po- dan akhiran –mo
pada kata potangisimo membayangkan adanya makna saling
(saling menangisi). Kata bari-baria menggambarkan jumlah yang
menangis lebih dari satu (banyak). Siitu artinya itu, menegaskan
kembali kata bari-baria.
Retoris kalimat pada baris 316-17 dibentuk dari kata
onabii, ta, safiili, umati, atangi, mo, duka, aoge-oge, inca, dan -na.
Kata onabii merupakan pernyataan: seorang Nabi. Akhiran -ta
menggambarkan adanya kita para pembaca (termasuk penulis).
Kata safiili dan umati merupakan kesatuan kata yang maknya
adalah penegasan dari pada kemulian yang disandang oleh Nabi
(pengayom umat). Kata atangi artinya menangis, membayangkan
94 Pengguna bahasa Wolio seringkali memakai kata incia pada kalimat
manga incia siitu yang artinya mereka itu. Makna harfah manga (mereka), incia (dia), dan yitu (itu). Memang, dalam bahas Indonesia, hanya dengan mamakai dua kata (manga siitu) sudah cukup menunjukkan kesempurnaan kalimat. Namun, dalam bahasa Wolio, jika hanya digunakan dua kata, justru tidak relevan.
227
adanya seorang yang menangis. Akhiran –mo menegaskan bahwa
yang menangis adalah Nabi. Kata duka artinya juga
mengekspresikan adanya orang lain yang melakukan hal yang
sama (atangi). Kata kerja aoge-oge secara artinya adalah sejadi-
jadinya. Incana berarti hati yang berhubungan dengan perasaan.
Kalimat ini menegaskan bahwa Nabipun menangis sejadi-jadinya
setelah mendengar cerita nasib umatnya selama di alam kubur.
Pada kalimat pernyataan baris 318-319 dibangun dari kata
akama-kamata, manga, umati, -na, yitu, Osiitu, -mo, rou, -na,
kaasi, dan –na. Kata akama-kamata (perhatikan) merupakan kata
kerja berulang yang membayangkan adanya sebuah rasa
perhatian. Manga artinya mereka, jamak. Kata umati adalah
ekspresi dari makna manga. Akhiran –na kata ganti untuk
Muhammad saw. Yitu (itu) menegaskan kembali sosok
Muhammad. Akhiran –mo pada kata osiitumo berarti itulah;
penegasan yang menggambarkan perasaan (yang dirasakan) Nabi.
Kata rou secara stilistika bukanlah wajah melainkan tanda.
Akhiran –na mengekspresikan sosok Nabilah yang menyandang
sebuah tanda (rou). Kata kaasi merupakan sifat Nabi yang sangat
mengasihi umatnya; membayangkan ada golongan umat yang sulit
ditolong oleh Nabi.
16. Baris 320-331: Mengikuti Ajaran Nabi
Pada tema ini, MIK mengajak para pembaca kabanti bula
malino untuk menyadari kasih sayang Baginda Rasulullah Saw
terhadap umatnya. Kemudian diceritakan hal-hal yang membuat
228
manusia tidak menuruti ajaran dan nasihat-nasihat Nabi yang
penuh dengan kemuliaan (kelebihan). Di satu sisi, MIK
mengintrospeksi dirinya dan pembaca agar senantiasa taat dan
takut kepada Allah Tuhan Semesta Alam. Di sisi lain, juga agar
umat senantiasa sabar atas segala bala dan bencana yang melanda
serta menyadari semua itu akibat dari kelalaian kita (manusia)
sendiri.
Cerita di tema ini juga merupakan anjuran untuk senantiasa
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Pada diri-Nyalah
sumber nikmat yang banyak dan berlimpah. Kemudian dijelaskan
bahwa nikmat yang paling besar adalah nikmat Islam. Di mana
nikamt tersebut tidak ada tandingnya dibanding nikmat duniawi.
Pada kalimat baris 320-321 dibangun dari kata ee karoku,
fikiri, -a, mpuu-mpuu, okaasi, -na, tee, manga, umatina. Pada kata
ee karoku mengekspresikan seruan untuk diri MIK sendiri.
Akhiran –a pada kata kerja perintah fikiria membayangkan sosok
MIK mengingatkan dirinya. Mpuu-mpuu menunjukkan makna
ketelitian dan sungguh-sungguh. Kata okaasi menyebutkan sebuah
sifat kasih sayang. Jika dihubungkan dengan bait sebelumnya, sifat
okaasina tersebut sejalan dengan kisah Nabi Muhammad pada hari
kiamat seperti dikisahkan pada tema sebelumnya. Kata tee
membayangkan adanya hubungan; dengan. Kata manga artinya
mereka; jamak. Umati adalah umat manusia pengikut ajaran Nabi
Muhammad saw. Akhiran –na kata ganti untuk dia, maksudnya
adalah Nabi itu sendiri.
229
Kalimat pada baris 322-323 dibentuk dari kata opea, baraa,
iinda, ituruaka, -mu, bee, uosea, i, apai, dan kasamea. Kata opea
merupakan bentuk pertanyaan yang membayangkan adanya
seseorang komunikator (orang ketiga; pengarang syair). Baraa
artinya adalah kiranya. Jika disatukan menjadi apakah kiranya.95
Kata indaa artinya tidak. Ituruaka berarti menuruti dan menaati,
menyatu dengan negatif iinda yang artinya tidak menuruti. Kata
pendek kamu (mu) membayangkan adanya seseorang atau manusia
yang tidak menuruti. Kata uosea adalah kata kerja yang berarti
mengikuti. Iapai memabayangkan adanya sesuatu yang diikuti
artinya apa saja (sebuah pernyataan). Kata kasamea artinya pesan:
secara sintaksis maksudnya adalah hadits Nabi. Kata tersebut
mengekspresikan apa yang diucapkan Nabi Muhammad Saw
hendak ditaati dan dituruti.
Metaforis kalimat pada baris 324-325 tersusun dari kata
kasamea, -na, nabii, -ta, mo-, labi, -na, ta-, patotapu, kaeka, -ta, i,
Opu, dan ta. Akhiran –na pada kata kasameana (pesan)
membayangkan adanya seorang sender (pengirim pesan). Kata
nabii menggambarkan sosok sender tersebut. Ta kependekan dari
kita, maksdunya adalah pembaca syair. Awalan mo- dan akhiran –
na pada kata molabina mengekspresikan sebuah keunggulan
artinya kelebihan (Nabi). Ta adalah kita manusia entah laki-laki
atau perempuan, entah pembaca maupun pendengar. Kata
patotapu artinya adalah menetapkan atau berpegang teguh. Kaeka
95 Dalam Wolio Dictionary ditulis, bara memiliki dua makna yaitu,
barat, musim barat dan barangkali, boleh jadi, kiranya, seandainya (Anceaux, 1987: 13).
230
artinya rasa takut, rasa takut pada Allah SWT berkaitan dengan
takwa. Ta seperti dijelaskan di muka. I pada kalimat ini bermakna
pada (terhadap). Kata Oputa jika dihubungkan dengan kata
sebelumnya, mengekspresikan makna bahwa hanya kepada
Tuhanlah kita takut (bertakwa).
Pada baris 326-327 dibangun dari kata tee, ta-, sabara, i,
apaiaka, bala, tee, ta, rela, tee, malingu, kadalaa, dan –na. Kata
tee artinya juga; penghubung. Awalan ta- pada kata tasabara
membayangkan orang (orang-orang) yang berupaya untuk
menyabarkan dirinya. Kata i bermakna pada, menyatu dengan kata
apaika menggambarkan adanya beberapa hal (iyapaiaka) artinya
pada apa saja yang belum jelas wujudnya. Kata bala artinya
bencana yang merupakan objek yang dihindari dengan cara
bersabar. Tee menunjukkan makna selanjutnya. Kata ta-rela
membayangkan adanya orang (orang-orang) yang berupaya
merelakan sesuatu. Kata malingu artinya segalanya berjumlah
banyak. Awalan ka- dan akhiran –na pada kata kadalaana
bermkana cara Tuhan.96
Kalimat pada baris 328-329 dibentuk dari kata tee, ta-,
sikuru, i, Opu, -ta, mo-, malanga, -na, adawu, kita, ni’mati, dan
bari-bari. Kata tee menjelaskan adanya hubungan dengan kalimat
sebelumnya. Kata pendek ta- pada kata kerja tasikuru
96 Laniampe dalam Nasiha Muhammad Idrus Kaimuddin memaknai
kata kadalaana sebagai kelalaian (Laniampe: 51). Sementara menurut Anceaux dalam Wolio Dictionary, ka-dalaa-na berasal dari kata dala artinya jalan, bekas kaki, bekas roda, dan jejak (Anceaux, 1987: 28).
231
membayangkan adanya beberapa orang sedang bersyukur. I Oputa
artinya pada Tuhan kita. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata
momalangana (Maha Tinggi) sifat atau nama lain dari Allah Swt.
Kata kerja adawu membayangkan adanya seorang (yaitu Tuhan);
memberi. Kita merupaka manusia yang berhubungan dengan kata
adawu. Kata ni’mati merupakan pemberian berupa nikmat yang
dimaksud dari Tuhan kepada kita (manusia). Bari-bari artinya
yang banyak, menggambarkan jumlah nikmat yang diberi. Kalimat
tersebut menjelaskan betapa banyaknya nikmat Allah Swt yang
diberikan untuk hamba-Nya.
Retoris kalimat pada baris 330-331 tersusun dari kata mo-,
maoge, -na, ni’mati, Isilamu, ni’mati, -na, atopene, kabari, dan na.
Awalan mo- dan akhiran –na pada kata momaogena menegaskan
bentuk (ukuran besar) sesuatu. Kata ni’mati (nikmat) adalah yang
dimaksud dengan momaogena (yang besar). Isilamu berkorelasi
dengan ni’mati, maksudnya adalah nikmat Islam. Akhiran –na
pada kata ni’matina menyebutkan nimkmat Islam tersebut. Kata
atopene artinya besar atau luar biasa yang mengekspresikan
ukuran nikmat Islam. Akhiran –na pada kata kabarina
menjelaskan bahwa nikmat yang paling mulia adalah nikmat
Islam.
17. Baris 332-382: Perjalanan Kehidupan
Pada bait tersebut, MIK menasihati dirinya mengenai
kematian. Penulis kabanti menganaoligakan kehidupan dunia
menuju kematian ibarat melakukan perjalanan berlayar di tengah
232
samudera. Kata MIK, dalam pelayaran aka ada angin kencang yang
menerpa kapal. Oleh itu, sebaiknya kita menyiapkan segalanya
untuk menghadapi segala problematika yang muncul pada saat
berlayar dengan sekali perjalanan. Diceritakan bagaimana
keberanian dalam berlayar menggambarkan keberanian seorang
hamba menghadapi kematian.
MIK menggambarkan tiang perahu dikuatkan dengan rasa
takut (khauf). Layarnya bentangkan dengan kepribadian yang
selalu mengharapkan keridhoaan Allah (rajaa). Kemudian pada
layarnya yang depan pasangkan tawadhu (sifat rendah hati).
Pendayungnya adalah para Musyahid. Kelengkapan temalinya
adalah riyadat. Pengikatnya adalah kinaat. Hati yang ikhlas
sebagai penentu arah tujuannya. Al-Qur’an dan al-Hadtis sebagai
kompasnya. Bendera kapal dipasangkan zuhud dan umbul-
umbulnya (fandel) zikir beserta tasbih. Juru batunya syar’i yang
zahir. Juru mudinya adalah ilmu kebatinan. Penimbah air dari
perahu bagai diperintah oleh seorang guru. Nahkodanya adalah
hidayah dari Tuhan.
Apabila semua persiapan berlayar tersebut telah terpenuhi
dengan baik, bertawakallah kepada Allah SWT. Kapan angin laut
sudah memungkinkan untuk memulai pelayaran maka siapkanlah
haluan kapal. Lupakanlah (putuskan hubungan dengan) negeri
tempat tinggalmu teramasuk semua kerabat serta keluarga beserta
isi rumahmu. Mulailah dengan keputusan yang lebih mulia.
Berzikirlah mengucap Laa Ilaaha Illallah. Jika selama berlayar
setan datang mengganggu, janganlah pesimis, optimislah dan
233
teruslah pada haluan. Itulah angin topan yang bakal membuat kapal
terombang-ambing hingga pecah. Itu akan menjadi kerugian di
hari kiamat nanti, yaitu su’ul khatimah. Jika akhir hayat buruk,
maka terlepaslah seorang hamba dari golongan umat Muhammad
Saw yang sudah menyalahi hakikatnya seorang Muslim.
Kemudian, MIK menegaskan kembali agar menetapkan
hatinya serta membiarkan jiwanya berkiblat pada zat-Nya seraya
berharap pada akhir hayatnya tergolong sebagai orang yang husnul
khatimah.
Kalimat pada baris 332-333 dibentuk dari kata ee, karoku,
mate, pada, aumba, -mo, ngalu, hela, padaaka, atumpu, dan –mo.
Pada kata karoku membayangkan adanya dua zat yaitu karo dan
aku (jiwa dan jasad). Kata mate artinya kematian yang merupakan
peristiwa terpisahnya ruh dari jasad. Pada mengandung makna
masa mendatang. Akhiran –mo pada kata aumbamo (akan tiba)
mengaskan tibanya waktu kematian. Kata ngalu artinya angin,
bermakna tanda-tanda berlayar, menyatu dengan kata hela;
menarik (ngalu hela) yang secara sintaksis artinya berlayar. Kata
padaaka satu arti dengan padaa di atas. Kata tersebut
menganalogikan kematian dengan ngalu hela (berlayar). Akhiran
–mo pada kata atumpumo menggambarkan tentang waktu (tiba
masa).97
97 Pada baris 333 merupakan analogi dari kalimat pada baris 333 yaitu
mate; ngalu hela pada; padaaka, aumbamo; atumpumo.
234
Kalimat pada baris 334-335 dibentuk dari kata pamondo,
wakutu, -na, hela, kasangka, -na, sawika, -mu, pentaa, -ka,
wakutu, -na, hela, dan –mu. Pada kata pamondo (selesaikan)
menggambarkan seorang sedang bergegas melakukan sesuatu.
Akhiran –na pada kata wakutuna (waktunya) yang menyatu
dengan kata hela mengekspresikan makna waktu berlayar.
Akhiran –na pada kata kasangkaana menegaskan sebuah
perlengkapan. Sawika berarti tumpangan; kapal. Mu adalah kata
ganti dari kamu (pembaca kabanti). Akhiran –ka pada kata
pentaaka bermkana menantikan sesuatu. Kata wakutu dan akhiran
–na menjelaskan sebuah waktu yang dinantikan tersebut. Hela
seperti dijelaskan di muka, makna stilistikanya berlayar. Mu
adalah kata pendek dari kamu.
Metaforis kalimat pada baris 336-337 tersusun dari kata
mate, -mo, yitu, hela, iinda, mo-, bancule, osiitu, -mo, bose, mo-,
satotu, dan –na. Akhiran –mo pada kata matemo menegaskan
tentang kematian. Kata yitu artinya itu, maksudnya adalah
kematian. Kata hela (berlayar; tarik) analogi dari mate (kematian).
Iinda artinya tidak, terhubung dengan kata hela. Awalan mo-
dalam kata mobancule mengambarkan sebuah pelayaran yang
tidak pernah kembali lagi. Akhiran mo- pada kata osiitumo
menunjukkan secara tegas makna hela (berlayar). Kata bose
artinya mendayung, membayangkan adanya seorang yang sedang
mendayung. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata mosatotuna
(yang hakiki) menjelaskan bahwa berlayar yang hakiki itu adalah
kematian.
235
Pada baris 338-339 dibangun dari kata iinda, -mo, ambuli,
paimia, mo-, lingka, -na, mo-, porope, -na, i, dala, incia, dan siitu.
Akhiran –mo pada kata iindamo (tidal bakal) menegaskan tentang
hela (mate). Kata ambuli artinya pulang atau kembali. Paimia
berarti siapa yang, maknanya menunjuk pada seluruh manusia.
Awalan mo- dan akhiran –na pada kata molingkana (yang telah
pergi) mengekspresikan manusia pergi ke sebuah tempat yaitu hela
(mate). Awalan mo- dan akhiran –na pada kata moporopena
artinya menuju, maksudnya adalah pelayaran yang telah bertolak
dan mengarah pada tujuannya. Kata i berarti di dan dala berarti
dala menggambarkan sebuah tujuan yang makna sintaksisnya
kembali kepada jalur mate (kematian). Siitu berarti itu, menunjuk
pada dala atau mate.98
Kalimat pada baris 340-341 dibentuk dari kata mate, -mo,
yitu, intaa, -na, aalimu, itoku-toku, -na, paimia, dan salihi.
Akhiran –mo pada kata matemo mengandung makna penegasan
kematian. Kata yitu (itu) kata ganti dari kematian. Akhiran –na
pada kata intaana mengekspresikan upaya menunggu. Kata aalimu
berarti orang-orang alim yang berupaya menunggu sesuatu yaitu
mate (matemo). Akhiran –na pada kata kerja itoku-tokuna berarti
diharap-harapkan. Secara stilistika, makna toku adalah
menunggu.99 Kata paimia membayangkan adanya sejumlah
98 Penulis memaknai kata dala sebagai mate (kematian). Sebab, sebuah
jalan yang di mana manusia tidak akan bisa kembali ke belakang, sangat lekat dengan makna kematian. Sehingga, diksi pada kalimat ini menurut penulis, dala artinya adalah kematian.
99 Anceaux, 1987: 182.
236
manusia dan kata salihi artinya orang saleh. Retoris kalimat
tersebut menjelaskan bahwa kematian bagi orang-orang salih
bukan hal yang menakutkan.
Narasi kalimat pada baris 342-343 tersusun dari kata
kasawika, mo-, topene, -na, kalape, oimani, tasdiiki, mo-, dan
matangka. Pada kata kasawika berarti tumpangan,
menggambarkan sebuah kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada
kata motopenena mengekspresikan keunggulan yang sangat pada
kasawika. Kata kalape artinya baik, menjelaskan bahwa
keunggulan sawika sangat luar biasa bagusnya. Kata oimani
artinya adalah sebuah iman, yang mengekspresikan status sawika,
sementara tasdiiki maknanya kejujuran; keduanya merupakan
maksud dari motpenena kalape. Kata matangka menegaskan
tasdiiki (kepercayaan) harus kuat. Kalimat tersebut
menginterpretasikan bahwa kapal yang paling baik adalah dengan
keimanan serta keyakinan yang kuat.
Pernyataan pada baris 344-345 dibangun dari kata
kokombu, -na, alakea, haufu, pangaawa, -na, bakea, -kea, rijaa.
Kata kokombu artinya tiang pada kapal. Akhiran -na kata ganti dari
kapal. Alakea adalah kata kerja perintah artinya ambilkan sesuatu.
Haufu (khauf) adalah yang dimaksud dari ambilkan, artinya rasa
takut dijadikan sebagai tiang kapal. Pada kata pangaawana
(layarnya) membayangkan jenis kapal tradisional. Akhiran -kea
pada kata bakea mengekspresikan bahwa yang dibentangkan
adalah layar. Kata rijaa artinya raja yaitu hanya berharap
keridhaan Allah Swt. Metaforis dari kalimat ini adalah penegasan
237
kepada umat manusia agar menyiapkan diri sebelum datangnya
kematian.
Kalimat pada baris 346-347 dibentuk dari kata tawadhu’,
betao, kapabelo, -na, mosaahida, betao, parabose, dan -na. Kata
tawadhu’ diadopsi dari bahasa Arab yang berarti rendah hati.
Betao artinya untuk, dan pada kata kapabelo merupakan sebuah
alat yang digunakan untuk membelokkan kendaraan. Akhiran -na
menegaskan bahwa yang dibelokkan adalah kapal. Kata
mosaahida artinya para musyahid, membayangkan seorang yang
syahid. Betao artinya telah dijelaskan di muka (untuk). Kata
parabosena artinya para pendayung kapal, membayangkan
sejumlah orang yang bertugas sebagai pendayung. Maksud dari
kalimat tersebut bahwa layar kapal diibaratkan tawadhu dan para
pendayung kapal diiabartkan mereka sedang berjihad di jalan
Allah Swt.
Retoris kalimat pada baris 348-349 tersusun dari kata
riyadhati, kamondo, -na, rabuta, -na, kina’ati, kasangka, -na,
kaboke, -na. Pada kata riyaadhati diadopsi dari bahasa Arab yaitu
riyaadhotu, artinya menempa diri; menginstropeksi diri
(muhasabah). Kata kamondona aritinya kelengkapan pada kapal.
Rabuta artinya temali atau tali; berhubungan dengan kata
kamondo. Pada kata kina’ati juga diadopsi dari bahasa Arab yaitu
qonaa’ah yang artinya adalah mersa cukup dari apa yang telah
dikaruniakan Allah Swt. Kata kasangka adalah sebuatan lain dari
kamondona artinya pelengkap atau kelengkapan. Akhiran -na
maksudnya adalah kapal. Kata kaboke berarti pengikat yang
238
membayangkan adanya tali. Makna metafora dari kalimat ini
menyebutkan analogi beberapa bagian kapal dengan amal saleh
yang harus dimiliki seorang hamba.
Pada baris 350-351 dibangun dari kata uli, -na, yitu, mo-,
patoto, -na, porope, oihilasi, toto, -na, yinca, dan mangkilo. Kata
uli-na menegaskan seorang kemudi kapal. Kata yitu (itu)
menunjuka pada kemudi kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada
kata mopatotona (yang menentukan) mengekspresikan tugas dari
seorang uli (kemudi) sebagai penentu jalannya kapal. Kata porope
artinya arah tujuan yang mana ditentukan oleh sang kemudi kapal.
Awalan o- pada kata oihilasi (sebuah ikhlas) menegaskan bahwa
sang kemudi harus menyandang sifat keikhlasan. Toto-na artinya
status atau kedudukan dari kata ihilasi. Kata inca berarti hati;
perasaan manusia. Kata mangkilo menyatu dengan kata yinca
yaitu hati yang bersih. Interpretasi dari kalimat tersebut adalah,
sang pengemudi (kemudi) kapal hati yang bersih dan ikhlas sebab
dia yang menentukan ke mana arah tujuan berlayar.
Kalimat pada baris 352-353 dibentuk dari kata opadoma, -
na, mosusaka, -na, dala, okuru’ani, tee, hadisi, -na, dan Nabii.
Kata opadoma dimaknai sebuah kompas. Akhiran –na adalah kata
ganti dari kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata
mosusuakana (penunjuk); fungsi dari kompas. Kata dala berarti
jalan, maksudnya adalah arah. Kata okuru’ani (al-Qur’an)
analaogi dari padoma (kompas). Tee menunjukkan makna dengan
atau dan. Kata hadisi artinya hadis atau sunah Rasul, dan kata
Nabii (Nabi) menegaskhadis Hadits Nabi. Metaforis kalimat ini
239
menjelaskan bahwa dalam kehidupan hendaknya manusia
berpegang teguh pada keduanya (Qur’an dan Hadis) sebagai
penunjuk arah.
Narasi pada baris 354-355 tersusun dari kata obenderai, -
na, sulaake-a, zuhudu, tombi-tombi, -na, zikiri, tee, dan tasubehe.
Pada kata obendera (bendera) terdapat awalan o- yang
menegaskan makna sebuah. Akhiran –na maksudnya adalah kapal
(bendera kapal). Sulaakea adalah kata kerja perintah yang berarti
topangkan; menopangkan bendera. Kata zuhudu diadopsi dari
bahasa Arab yaitu zuhud yang artinya adalah sifat berpaling dan
meninggalkan sesuatu yang bersifat material atau kemewahan
duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang
lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirat. Kata
tombi-tombi artinya bendera; umbul-umbul; fandel.100 Akhiran –
na mengekspresikan makna kapal. Kesatuan kata zikiri tee
tasubehe maknanya adalah zikir dan tasbih. Interpretasi dari
kalimat tersebut bahwa kibarkan zuhud sebagai bendera kapal
beserta zikir dan tasbih sebagai sebagai bendera umbul-umbulnya.
Kalimat pada baris 356-357 dibangun dari kata juru,
batuna, syara’i, zaahiri, juru, mudina, ilimu, dan baatini. Pada
kata juru dan batu merupakan kesatuan kata yaitu jurubatu. Dalam
kapal tradisional istilah jurubatu (juru batu) bertugas di depan
100 Kata tombi-tombi berasal dari kata tombi artinya bendera umbul-
umbul. Karena diksi yang digunakan MIK adalah kata yang berulang maka ia membayangkan jumlah umbul-umbul lebih dari satu.
240
kapal untuk memantau arah jalannya kapal.101 Kata syara’i
diadopsi dari bahasa Arab yaitu syaraa’i jamak dari syariat. Zahiri
adalah zahir, kata yang menyatu dengan syaraa’i (syaraa’i zahiri)
yang familiar dengan sebutan zahir syari’at.102 Kemampuan ilmu
zahir pada seorang juru batu akan membantu dalam melaksanakan
tugasnya dengan sempurna. Zahir syariat Juru dan mudi
merupakan kesatuan kata (jurumudi) yang mengekspresikan
pemegang kendali (kemudi) di bagian belakang kapal.103 Maksud
dari ilmu baatini adalah ilmu batin yang juga disebut sebagai ilmu
makrifat. Batin lebih peka terhadap isyarat alama seperti jika akan
terjadi bencana atau kejadian masa depan di sekitarnya.104 Ilmu
batin mampu menjadikan juru mudi selalu berfirasat baik. Kalimat
tersebut menginterpretasikan bahwa, seorang juru batu harus
memiliki zahir syariat. Begitu juga pada seorang juru mudi, harus
menyandang ilmu batin.
101 Masyarakat Buton memaknai jurubatu sebgai mojaganina rope;
yang menjaga kapal di bagian depan; petugas bagian luar depan kapal. Tugasnya adalah untuk memastikan keselamatan kapal dari benturan batu karang dan kemungkinan menabrak kapal lain. Selain itu, jurubatu juga bertugas untuk memantau rute agar tidak salah arah.
102 Zahir syariat merupakan ilmu zahir yaitu tentang perintah dan larangan serta hukum-hukum. Zahir secara terminologi berhubungan dengan yang nyata atau terlihat. Sehingga, zahir lebih fokus terhadap pandangan mata (bukan mata batin), sebab manusia memiliki keduanya zahir dan batin.
103 Jurumudi bertugas untuk mengemudikan kapal. Di mana dia selalu berkonfirmasi dengan jurubatu jika ingin membelokkan layar kapal. Bahkan, sesekali jurumudi diperintah oleh jurubatu untuk memutar balik arah.
104 Chy Rohmanah menulis, bahwa ilmu tersebut mempelajari bagaimana mengubah batin agar lebih dekat dengan Allah SWT hingga mendapatkan ketenangan serta membangkitkan hal positif dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menguatkan iman agar lebih yakin terhadap kehadiran Tuhan serta menjadikan-Nya tuntunan kehidupan (blogging.co.id/ilmu-kebatinan. diakses pada 25-08-2014).
241
Kalimat pada baris 358-359 dibentuk dari kata mo-,
polume, -na, madadi, mina, i, guru, anakoda, -na, hidayati, -na,
dan Opu. Mopolumena dari kata lume artinya menimbah;
mengeluarkan air dari dalam kapal. Kata madadi dari kata dadi
artinya orang mengkuti perintah. Mina artinya dari berkaitan
dengan kata guru artinya dari guru. Akhiran –na pada kata
anakodana mengekspresikan seorang nakhoda atau kapten kapal.
Kata hidayati diadopsi dari bahasa Arab artinya hidayah, dan
akhiran –na merupakan pernyataan untuk kata Opu (Tuhan).
Interpretasi dari kalimat tersebut adalah, seorang yang
mengeluarkan air dari dalam kapal harus patuh dan taat
menjalankan pekerjaannya dengan baik.
Narasi pada baris 360-361 tersusun dari kata asangkaa, -
ka, ka-mondo, -na, hela, yitu, tawakala, -mo, poaro, -mu, i, Opu,
dan –mu. Pada kata asangkaa artinya sempurna. Akhiran –ka kata
pendek dari jika yang bermakna sudah. Awalan ka- pada kata
kamondo menggambarkan sebuah kelengkapan (kesiapan).
Akhiran –na mengekspresikan kata hela yaitu kapal (berlayar).
Kata yitu artinya itu, menegaskan kata hela atau berlayar. Kata
tawakala diadopsi dari bahasa Arab artinya tawakal atau berserah
diri. Akhiran –mo bermakna penegasan pada kata tawakala. Kata
poaro berasasl dari kata aro artinya hadap, awalan po- berfungsi
pada awalan kata kerja sehingga, poaro menjelaskan sebuah arah
tujuan yang lurus (menghadap) ke depan. Akhiran –mu kata
pendek dari kamu. Kata i bermakna kepada, Opu-mu (Opumu)
menegaskan sosok Tuhan kepada seseorang. Metaforis dari
242
kalimat tersebut adalah, manusia harus menyiapkan bekal diri
menuju kematian.
Pernyataan pada baris 362-363 dibangun dari kata adikaa,
-ka, ngalu, ihelaaka, -mu, patoto, mea, porope, -na, bangka, dan
yitu. Kata adikaa di sini maknanya bukan menyimpan, tetapi
diartikan telah siap. Akhiran –ka seperti dijelaskan di atas artinya
jika. Kata ngalu artinya angin, karena terdapat pada pembahasan
kapal, maka angina dimaknai sebagai dimulainya pelayaran.105
Awalan i- dan akhiran –ka pada kata ihelaakamu menegaskan
makna berlayarmu. Kata patoto dan mea mengekspresikan makna
perintah artinya luruskanlah. Porope berarti haluan, menegaskan
bahwa kapal siap berlayar. Akhiran –na adalah kata ganti untuk
persona (tunggal). Kata Bangka artinya perahu (kapal). Yitu berarti
itu (yang di sana). Interpretasi dari kalimat tersebut menegaskan
bahwa jika telah sesuai angin laut dengan arah tujuan berlayarmu,
maka luruskanlah haluan kapal pertanda siap untuk berlayar.
Kalimat pada baris 364-365 dibentuk dari kata botu-ki,
mea, lipu, mbooresa, musiraha, -mu, tee, anto, -na, banua, dan –
mu. Akhiran –i-mea pada kata botukimea merupakan kata perintah
yang artinya adalah putuskanlah. Kata lipu berarti negeri atau
kampung. Pada konteks ini, lipu berarti dunia. Kata mbooresa
membayangkan adanya tempat tinggal, yang dihuni, tempat
manusia berpopulasi. Musiraha artinya kenalan, teman, dan orang
105 Kapal yang diceritakan dalam syair adalah kapal layar. Kata angin
sangat relevan dengan fungsi kapal layar. Jika arah angin laut sudah bagus dan sesuai dengan arah tujuan berlayar, maka bersipalah untuk berlayar.
243
lain entah laki-laki atau perempuan. Akhiran –mu kata pendek dari
ingko (kamu) entah laki-laki atau perempuan. Kata tee artinya
juga; dan. Anto artinya isi dan akhiran –na artinya nya,
mengekspresikan isi sesuatu. Akhiran –mu pada kata banuamu
menegaskan pada pembaca (isi) rumahmu. Kalimat tersebut
menjelaskan bahwa kematian segera memutuskan atau
memisahkan diri dengan kampung (kehidupan dunia), termasuk
para kolega serta isi dalam rumah.106
Retoris kalimat pada baris 366-367 tersusun dari kata
pepuu, mea, kambotu, mo-, topene, -na, zikrillahu, laa, ilaaha, illa,
Allah. Pada kata pepu artinya mulai dihubungkan dengan kata mea
sebagai akhiran kata kerja perintah yaitu mulailah. Kata kambotu
berarti keputusan. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata
motopenena mengekspresikan bahwa kambotu (keputusan)
tersebut harus topene (konsisten; tidak mudah berubah). Kata
zikirillahu menegaskan makna berzikir atas Nama Allah Swt. Kata
laa, ilaaha, Illa, dan Allah merupakan kesatuan kalimat tentang
ucapan zikir yang artinya tiada Tuhan Selain Allah. Interpretasi
pada kalimat tersebut menegaskan untuk mengambil keputusan
yang tetap saat hendak melakukan pelayaran dengan didasari lafaz
Laa Ilaaha.
Kalimat pada baris 368-369 dibangun dari kata nee, akawa,
-ko, garura, -na, seetani, tangaasana, dangia, -po, dan uhela.
106 Begitupun saat berlayar, kematian membayangkan sebuah kejadian
terpisahnya manusia dengan pulau tempat tinggal, rekan-rekan, dan keluarga serta semua isi di dalam rumah.
244
Awalan nee- dan akhirna –ko pada kata neakawako menegaskan
peringatan adanya sesuatu yang menghampiri. Akhiran –ko adalah
kata ganti ingko sebagai objek. Kata garura artinya gangguan;
bisikan. Akhiran –na mengekspresikan adanya sesuatu yang
membawa gangguan tersebut. Kata seetani artinya setan, subjek.
Kata tangaasana artinya di tengah atau sementara yang
membayangkan adanya aktifitas. Akhiran –po pada kata dangiapo
lekat artinya dengan tangaasana yaitu sedang melakukan sesuatu.
Uhela adalah kata kerja aktif artinya adalah sedang berlayar.
Kalimat tersebut menceritakan bahwa setan akan mengganggu dan
membisikan sesuatu yang menjerumuskan umat manusia.
Kalimat pada baris 370-371 dibentuk dari kata patoto, -
mea, porope, -na, bangka, yitu, pangaawa, -na, boli, utaurake, dan
-a. Akhiran –mea pada kata patotomea merupakan kata perintah
berkaitan dengan pernyataan pada baris sebelumnya. Kata porope
artinya haluan dan –na makasudnya kapal (haluan kapal). Kata
bangka artinya perahu dari kayu, berhubungan dengan kata
poropena. Yitu menegaskan kembali kata poropena bangka. Pada
kata pangaawa artinya layar, menggambarkan kapal layar.
Akhiran –na menunjuk pada kapal. Kata boli merupakan larangan,
artinya jangan. Kata taurakea artinya adalah menurunkan.107
Akhiran –a mengekspresikan sebuah pangaawa (layar).
Interpretasi dari kalimat tersebut bahwa, jika setan mulai
107 Taurakea berasal dari kata tauraka lekat dengan tauaka artinya
menurunkan untuk. Dalam Wolio Dictionary, arti kata dari tauraka adalah; menurunkan, menaruh, menempatkan, meninggalkan (juga warisan), dan mas kawin atau mahar (Anceaux, 1987: 179).
245
menghasud di waktu berlayar, jangan sekali-kali kita menyerah
atau kalah dari muslihat setan apalgi sampai memutuskan untuk
menurunkan layar sebagai tanda menyerah.
Metaforis kalimat pada baris 372-373 tersusun dari kata
osiitu, -mo, uso, i, mapasaa, -ka, nee, atosala, porope, -na, bangka,
dan yitu. Akhiran –mo pada kata osiitumo menggambarkan makna
penegasan yang artinya itulah. Kata uso artinya badai (angina
rebut). Awalan i dan akhiran –a pada kata imapasaaka
mengekspresikan efek dari badai artinya mampu memecahkan
sesuatu. Maksud dari badai pada kalimat tersebut adalah gangguan
dan bisikan setan. Pada kata neatosala artinya jika salah haluan,
melekat dengan kata poropena yang berarti haluan kapal. Kedua
kata tersbut membayangkan adanya kemungkinan menurunkan
layar (tergoda oleh bisikan setan) sehingga haluan berubah. Kata
bangka dan yitu artinya kapal tersebut. Sehingga, maksud dari
kalimat tersebut bahwa, godaan setan diibaratkan badai yang
menerpa kapal.
Pada kalimat pernyataan baris 374-375 dibangun dari kata
amapasaa, -ka, bangka, incia, siitu, too, karugi, -mu, naile, muri-
muri, dan na. Akhiran –ka pada kata amapasaaka mengandung
makna jika telah yang artinya jika telah pecah. Bangka adalah
yang dimaksud telah pecah artinya kapal. Kata incia menyatu
dengan siitu, artinya yang itu (menunjuk sebuah kapal). Awalan
to- dan akhiran –mu pada kata tokarugimu mengekspresikan
makna kerugian jika kapal mulai pecah (oleh godaan setan). Kata
naile artinya besok, berkorelasi dengan kata muri-murina yang
246
menggambarkan makna hari kiamat. Kalimat tersebut
menginterpretasikan bahwa, kapal pecah oleh godaan setan
tersebut dianalogikan sebagai keberhasilan setan mengelabui
manusia. Sehingga, di hari akhir nanti hanya ada rasa penyesalan
yang tidak ada lagi artinya.
Kalimat pada baris 376-377 dibentuk dari kata osiitu, -mo,
kampadaa, mo, madaki, isarongi, -mo, suu’ul, dan haatimah.
Akhiran –mo pada kata osiitumo menggambarkan makna
penegasan yang artinya itulah. Kata kampadaa adalah gabungan
dari dua kata yaitu kaa dan padaa. Kata ka- di sini merupakan
awalan kata kerja yang dihubungkan dengan kata padaa (habis)
menjadi penghabisan. Penghabisan yang dimaksud adalah
kematian. Awalan mo- merupakan kata kerja untuk membuat
parsitip aktif terhubung dengan kata madaki sehingga menegaskan
sebuah penghabisan yang buruk. Pada kata isaro-ngi artinya yang
dinamakan.108 Kata suu’ul haatimah diadopsi dari bahasa Arab.
Kalimat pada baris ini menegaskan bahwa bagi siapa yang tidak
istikamah pada tujuan hidup maka dia akan berakhir dengan su’ul
khatimah.
Retoris kalimat pada baris 378-379 tersusun dari kata
alapa, -mo, be-, umati, -na, Nabii, asala, mea, millati, dan isilamu.
Akihran –mo pada kata alapamo mengesakan adanya sesuatu yang
terlepas. Kata umatina maksudnya adalah umat manusia. Kata
Nabii menegaskan bahwa umatina adalah umat Nabi Muhammad
108 Akhiran –i dan akhiran ngi memiliki makna yang sama, berfungsi
sebagai akhiran kata kerja transitif (Anceaux, 1987: 44).
247
Saw. Kata asala berarti menyalahi, terhubung dengan kata mea
yang mengisyaratkan sesuatu (menyalahi sesuatu). Isilamu adalah
agama Islam. Makna kalimat tersebut adalah, jika kematian
seseorang su’ul maka ia dikategorikan telah lepas dari golongan
umat Nabi Muhammad Saw, sebab telah menyalahi aturan Islam.
Pernyataan pada baris 380-381 dibangun dari kata ee,
waopu, pa-, tumpu, -a, inca, -ku, opoaro, -ku, kutonto, maka, zatu,
dan –Mu. Kata ee merupaka seruan artinya wahai. Waopu atau Opu
artinya adalah Tuhan; Sang Pencipta. Kata wa disebabkan adanya
kata ee di depan Opu.109 Awalan pa- dan akhiran –a pada kata
patumpua membayangkan adanya permintaan seorang hamba pada
Tuhannya artinya tetakanlah. Kata inca-ku artinya hatiku
bermakna iman. Kata opoaro (arah hadap) maksdunya adalah
kiblat yang terhubung dengan kata ganti dari yaku (aku) yaitu -ku.
Kutonto (kusaksikan) membayangkan adanya seseorang sedang
menyaksikan sesuatu. Kata maka, seperti kata –aka, kutontomaka;
kutontoaka. Akhiran –a dan –ka dua akhiran yang sering
didapatkan pada akhiran kata kerja, ia menjelaskan makna agar
dan supaya. Akhiran –Mu pada kata zatMu mengekspresikan zat
Allah SWT. Kalimat tersebut menggambarkan permohonan
seorang hamba pada Tuhannya agar ditetapkan imannya dan kelak
memberinya kesempatan berhadapan langsung dengan-Nya untuk
menyaksikan zat-Nya.
109 Pemakaian kata wa pada Opu dalam bahasa Wolio seperti kata Allah
yang menggunakan kata yaa dalam bahasa Arab (یا ربي).
248
Narasi baris 382-383 tersusun dari kata tee, iimani, mo-,
topene, -na, karosa, ka-, pupu, -a, -ku, tee, husnul, dan hatima.
Kata tee (juga) menunjukkan sebuah hubungan dengan kalimat
sebelumnya. Iimani berarti iman yang meyakini ketauhidan Allah
SWT serta memahami Rukun Iman. Awalan mo- dan akhiran –na
pada kata motopenena (yang kuat/tingkat atas) menegaskan makna
iman yang kuat. Kata karosa berasal dari kata karo dan sii (diri dan
ini). Awalan ka- dan akhiran –a-ku pada kata kapupuaku
mengekspresikan sebuah akhir dari kehidupan (kematian) artinya
penghabisan. Kata tee artinya juga, terhubung dengan husnul
hatima, kata yang diadopsi dari bahasa Arab. Kalimat tersebut
adalah permohonan seorang hamba (lanjutan dari kalimat
sebelumnya) pada Tuhan agar dikaruniai keimanan yang dan di
akhir hayatnya menjadi hamba yang husnul khatimah.
D. Kabanti Sebagai Tradisi Lisan
Pada bagian ini akan diuraikan sekilas tentang penciptaan
kabanti secara teks, konteks, dan fungsi.
1. Teks Kabanti
Dua hal yang ditemukan dalam penciptaan teks kabanti
Bula Malino. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah larik
dalam kabanti jenis agama seperti Bula Malino tidak terbagi
menjadi dua atau empat larik selayaknya teks kabanti yang diiringi
alat musik.110 Larik pertama sampai akhir merupakan satu
110 Asrif, Tradisi Lisan Kabanti: Teks, Konteks, dan Fungsi, Disertasi
(FIB UI: 2015), h. 243.
249
kesatuan yang padu. Pada penyampainnya hanya dipisahkan oleh
nada langgam yang berhenti pada baris ke empat lalu diulang
kembali di baris berikutnya dengan nada yang sama. Karena itu,
riset di lapangan mengatakan bahwa kabanti jenis agama ini terdiri
dari empat baris dalam satu bait. Berikut bait kabanti Bula Malino
baris satu sampai baris empat) berdasarkan sekali nada bacaan
langgam.
Bismillahi kasi karoku si Alhamdu padaka kumatemo Kajanjinamo yoputa momakana Yapekamate Bari-baria batua
Dengan nama Tuhan Kasihan diriku Segala puji kelak aku akan mati Sudah takdir Tuhan yang Makah Kuasa Mematikan semua hamba
Bait yang terdiri empat larik tersebut terdiri dari tiga belas
(13) suku kata. Berturut-turut pada bait berikutnya tidak lebih dari
tiga belas (13) suku kata dan tidak kurang dari dua belas (suku
kata).
Bula Malino saling memiliki hubungan tiap larik dengan
larik lainnya begitu pula bait satu dengan bait lainnya. Hubungan
itu dapat diidentifikasi dari kaitan makna tiap larik dan bait.
Pengkajian hubungan larik dan bait ini bertujuan untuk
mengungkap makna apa yang ingin disampaikan si pengarang
kepada pembaca. Adapun mengenai rentang waktu kabanti
dipertunjukkan membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh (30)
menit. Sementara mengenai berapa waktu yang dibutuhkan si
250
pengarang menulis kabanti tidak dapat diperkirakan layaknya
waktu pembacaan.
Formula kabanti berkenaan dengan aksara Arab pada
tulisan kabanti, sebenarnya secara keseluruhan, aksara yang
ditemukan dalam manuskrip mempunyai dua sumber, yaitu India
dan Arab, meliputi kurun waktu abad ke-9 sampai abad ke-20.
Kedua sumber tersebut tersebar ke Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Madura, Bali, Sulawesi, dan Maluku. Hadirnya teknologi
percetakan yang disebarluaskan dengan cara pendidikan formal
bersama kedatangan bangsa Eropa dan terutama kekuasaan
pemerintah kolonial memberi pukulan telak kepada kehidupan seni
tulis tangan.111
Menurut Almujazi dan Suhura, pertunjukan kabanti
jenis agama ini berbededa dengan kabanti jenis syair
percintaan muda mudi. Mula-mula pertunjukkan kabanti
adalah di ruang-ruang tertutup dan menjadi bacaan pribadi
seseorang yang hendak melakukan muhasabah di malam
hari. Berdasarkan tradisi lisan masyarakat Buton, beberapa
tahun sesudah pencipta-pencipta kabanti wafat, barulah
111 Tidak semua komunitas manusia memerlukan aksara atau tulisan,
kata Ong, bahasa hakikatnya adalah lisani (oral). Itu terbukti dalam penelitian bahwa di antara puluhan ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia hanya sekitar 106 yang memiliki sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan. Artinya, sebagian besar tidak mengenal tulisan (Ong, 1980:7). Kemduian, di antara kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup hanya kira-kira 78 yang mempunyai kesusastraan tertulis. Sehingga, dari tempat-tempat rekayasa sistem tulisan yang disebut di atas itulah, dan terutama dari Asia Minor kemudian pengenalan aksara menyebar sehingga banyak bangsa dapat mengambil alihnya dan mentransformasikannya tanpa perlu menciptakannya sendiri. Lihat PaEni (2009: 270 dan 279-280).
251
pertunjukan syair nasihat agama ini mengalami
perkembangan.112
MIK memilih tema Bula Malino dapat
digambarkan berhubungan dengan penciptaannya. Arti
dari bula malino adalah purnama yang terang. Tema ini
dapat dimaknai sebagai inti dari keseluruhan kabanti, atau
bisa membayangkan bahwa si pengarang menulis kabanti
ini di malam hari dan mengharapkan suasana terang oleh
rembulan. Akan tetapi di dalam bula malino, ditemukan
beberapa tema yang seakan sengaja dibangun oleh
pengarang. Tema-tema tersebut disusun sebagai berikut.
No Tema Manuskrip Keterangan 1 Baris 1-28
Mukadimah Latar belakang syair diawali dengan mengingat kematian
2 Baris 29-42 Dunia
Realitas kefanaan dunia sebagai sarang kebinasaan hamba
3 Baris 43-50 Rukun Islam
Penjelasan rukun Islam sebagai ibadah yang utama
4 Baris 51-58 Gibah dan Fitnah
Penjelasan tentang bahaya gibah, bual, dan fitnah terhadap sesama
5 Baris 59-66 Makrifat Insaniah
Mengenali diri sendiri dan menjaga perilaku terhadap sesame
6 Baris 67-82 Realitas Kenikmatan Dunia
Gambaran semua kenikmatan dunia yang
112 Wawancara pribadi dengan Almujazi, 2014; Wawancara dengan
Suhura, 2018 (melalui telepon).
252
tidak kekal sampai ke akhirat
7 Baris 83-112 Istikamah pada Amal Saleh
Ajaran kebaikan bisa berasal dari mana saja dan menjaganya akan mebuat kita mampu menghindar dari keburukan dan muslihat dunia
8 Baris 112-123 Keutamaan Fardhu
Mengutamakan hal yang wajib sehingga jauh dari perkataan dan perbuatan dosa
9 Baris 124-139 Hubungan Silaturahmi
Menjaga perkatan dan perbuatan yang menyakiti perasaan sesame
10 Baris 140-147 Beriman dan Bertawakal
Beriman kepada Allah Swt, Nabi, dan segala pencapaian dipasrahkan kepada Allah Swt
11 Baris 148-155 Makna Ikhlas
Bagaimana ikhlas mampu hadirkan Tuhan dalam diri seorang hamba
12 Baris 156-163 Kejadian Kiamat
Cerita tentang peristiwa hari kiamat
13 Baris 164-183 Tanda-tanda Kiamat
Gambaran tentang tanda-tanda kiamat akan datang
14 Baris 184-199 Kebesaran Allah Swt Melalui Tanda Kiamat
Kemahabesaran Tuhan muncul lewat tanda-tanda kiamat
15 Baris 200-319 Kejadian di Hari Akhir
Kisah bagaimana hamba dibangkitkan dari kuburan
16 Baris 320-331 Anjuran Mengikuti Ajaran Nabi Muhammad Saw
Penjelasan nasib seorang hamba yang tidak mengikuti ajaran Nabinya
253
dan enggan muhasabah atas dosa-dosanya
17 Baris 332-382 Intisari Tujuan Perjalanan Hidup Menggapai predikat Husnul Khatimah
Analogi perjalanan kehidupan ibarat kita berlayar meninggalkan negeri menuju ke pulau lain dengan selamat
Tabel 4.2 Tema-tema dalam Bula Malino
Gaya bahasa adalah bagian penting dalam penciptaan karya
sastra. Gaya bahasa berhubungan dengan diksi dan majas yang
digunakan oleh si pengarang. Diksi yang dipakai dalam Bula
Malino berhubungan dengan bahasa keislaman yang
memunculkan makna di bawah permukaan. Bagaimana diksi itu
digunakan, peneliti telah menjelaskannya di atas. Begitu pula
kabanti Bula Malino secara majas metafora dan hiperbola, telah
diuraikan di atas.
2. Konteks Budaya dan Sosial Kabanti
Budaya maritim tersebut diposisikan sebagai konteks yang
mewarnai karya budaya, pandangan hidup, peristiwa sosial,
termasuk ke dalam berbagai kesenian yang ada. Teks-teks kabanti
juga berhubungan dengan budaya maritim yang disebut sebagai
budaya paling dominan dalam masyarakat Buton.
Kabanti Bula Malino juga dinyanyikan sebagai rasa syukur
masyarakat yang tidak bermukim di pesisir. Pendengar kabanti ini
termasuk dari kalangan petani beserta pemimpin warga yang
hendak mensyukuri nikmat Allah Swt yang dilimpahkan melalui
hasi kebun dan tani. Dalam konteks sosial, hubungan pembaca
254
dengan pendengar kabanti akan semakin terkoneksi dengan
kemampuan pelantun menguasai langgam bacaan dan bersuara
merdu. Saat kabanti disampaikan dalam sebuah pertunjukkan yang
lebih besar, ekspresi wajah pelantun bukan penentu terbangunnya
hubungan emosional antara pelantun dan pendengar.
Pertunjukan kabanti Bula Malino membutuhkan waktu
kurang lebih sekitar 32 menit sesuai langgam bacaannya.
Berdasarkan video yang diproduksi oleh ‘Hailai’, jumah waktu
pembacaan adalah 31 menit 20 detik.113 Pada saat peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw di Taman Mini Indonesia Indah
Jakarta, Bula Malino menjadi pengantar sebelum dimulainya
prosesi Maulid berdasarkan tradisi dan kebudayaan masyarakat
Buton. Pelantun/pembaca kabanti bisa dari kalangan wanita atau
laki-laki. Setiap pertunjukan yang terselenggara di kegiatan-
kegiatan budaya, selain harus menguasai motif langgam, kabanti
lebih sering dibacakan oleh kaum wanita dan cenderung dipilih
yang lebih tua. Posisi pembaca biasanya di depan, layaknya
membawakan bacaan ayat suci al-Qur’an, tepat berada di samping
pejabat-pejabat kesultanan dan para hadirin yang hendak
mendengarkan kabanti. Untuk mendatangkan seorang pembaca
kabanti jenis agama ini penyelenggara pertunjukkan melakukan
kesepakatan tarif untuk membayar jasa mereka sesuai kesepakatan
kedua belah pihak.
113 Lihat bacaan Ibu Asma, seorang pelantun Kabanti selain Suhura,
pada video tersebu, https://www.youtube.com/watch?v=gXxpgmmWlAM.
255
3. Fungsi Kabanti Tradisi Lisan
Ada empat fungsi utama kabanti di Buton, seperti juga
yang diungkapkan Asrif. Keempat fungsi itu yakni 1) fungsi
hiburan, 2) fungsi edukasi, moralitas, adat, dan agama, 3) fungsi
silaturahmi; dan 4) fungsi ekonomi.114
Kabanti masih masih bertahan sampai saat ini karena
tradisi lisan itu difungsikan masyarakat sebagai sarana ekspresi
yang menghibur. Selain itu, kabanti juga berfungsi mengakrabkan
masyarakat, mengungkap realitas sosial budaya, dan meneguhkan
nilai-nilai moralitas yang berlaku dan dipatuhi bersama oleh
masyarakat setempat. Pertunjukkan kabanti menjadi ajang
silaturahmi masyarakat untuk mempertemukan keluarga besar atau
selulruh warga. Medium silaturahmi melalui tradisi lisan kabanti
ini juga menghadirkan totalitas fungsi positif pada masyarakat
pemiliknya.
Kabanti dapat berfungsi sebagai eduka, moralitas, adat, dan
agama, yakni di dalamnya terdapat banyak edukasi yang bisa
diterima masyarakat. Konsep pertunjukkan kabanti juga
melibatkan banyak aktor, termasuk si pelantun kabanti, termasuk
membahas mengenai tarif dan anggaran pertunjukan. Pada
perkembangannya, kabanti juga difungsikan ekonomi. Kajian tesis
ini melihat fungsi ekonomi kabanti pada penyediaan jasa. Imbalan
jasa yang diberikan kepada pembaca kabanti akan digunakan untuk
kebutuhan perlengkapan kabanti, seperti pakaian dan sebagainya.
114 Asrif, Tradisi Lisan Kabanti: Teks, Konteks, dan Fungsi, Disertasi
(FIB UI: 2015), h. 243.
256
Jika ada sisah dari imbalan yang diberikan masyarakat, maka akan
dipakai untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari para pelantun
kabanti.
257
BAB V
PEMAKNAAN KABANTI BULA MALINO
A. Hubungan Penciptaan Kabanti dengan Pembaca
Proses penciptaan Kabanti Bula Malino memberikan
makna tertentu bagi agama dan adat istiadat masyarakat Buton.
Pada awal penciptaan, kala itu MIK sedang merenungkan kondisi
lingkungan kekuasaannya sedang berada dalam dekadensi moral
dan akhlak. Sebagai Sultan Buton ke-29, sekaligus seorang ulama
tasawuf ternama di Buton, MIK gelisah dengan keadaan
masyarakat yang sudah tidak takut lagi kepada Allah Swt. Perasaan
seorang MIK semakin takut dan memikirkan bagaimana
mempersembahkan amanah besar sebagai pemimpin di hadapan
Sang Pencipta. Di sinilah, yakni pada abad ke-18, awal mula
kabanti jenis agama disemarakkan. Salah satu kabanti yang
diciptakan dan fenomenal hingga saati ini adalah Bula Malino.
MIK menulis Kabanti Bula Malino menggunakan buri
Wolio atau yang dikenal dengan aksara Arab Melayu atau aksara
Arab-Jawi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Buton (Wolio)
dan beberapa kata yang diadopsi dari bahasa Arab. Kabanti dibaca
berdasarkan temanya, jika Bula Malino maka kondisi si pembaca
saat itu sedang mengingat singkatnya hidup yang akan dijalaninya.
Kabanti dibuat tidak hanya dalam bentuk tertulis, namun ada aspek
nyanyian dengan pilihan langgam khas bernada mistik. Waktu
pembacaan kurang lebih 30 menit tersebut diproduksi oleh MIK
dengan menggunakan nada sehingga pendengar akan bertahan
258
menyimak. Aspek budaya dan bahasa yang masuk ke dalam tubuh
kabanti tersebut menjelma sebagai alat persuasif kepada
pendengar pengguna bahasa Buton semakin khidmat menyimak
dan makna utama yang ingin disampaikan si pengarang akan
sampai.
Bahasa Wolio (Buton) adalah bahasa yang digunakan di
pemerintahan (bahasa pemerintahan). Terdapat 16 bahasa di luar
lingkungan kesultanan selain dari bahasa Buton. Pilihan bahasa
dari Kabanti Bula Malino dengan alat komunikasi di kesultanan
menggambarkan bahwa kabanti hanya dapat diakses oleh
masyarakat lingkungan kesultanan saja, maksudnya adalah
lingkungan bangasawaan yang di sana bahasa Buton berlaku. Di
luar lingkungan kesultanan, masyarakat menggunakan bahasa lain
untuk berkomunikasi, meskipun ada beberapa pejabat utusan dari
Sultan yang mendiami titik tertentu di pulau lain, juga memahami
bahasa yang berlaku di pemerintahan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, pembaca maupun pendengar
kabanti saat ini, di mana pergeseran bahasa semakin jauh, tentu
dapat mengalami distorsi pemakaan. Aapalagi dengan rekonstruksi
kabanti secara tertulis maupun nyanyian dengan karakter
pertunjukkan saat ini akan terjadi pemaknaan berbeda dari
pembaca maupun pendengar, bahkan bisa terjadi pergesaran
makna baik secara historis maupun isi. Sehingga, tanda-tanda dan
pemaknaan dalam narasi manuskrip Kabanti Bula Malino perlu
dipahami oleh masyarakat saat ini dengan arus budaya dan
perkembangan teknologi media massa yang memengaruhinya.
259
B. Tanda-tanda dalam Kabanti Bula Malino
Kabanti Bula Malino adalah manuskrip kesultanan Buton
karangan MIK, Sultan Buton ke-29 yang kemudian disalin ulang
oleh Abdul Mulku Zahari. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
manuskrip ini adalah salah satu dari sekian banyak produk
(koleksi) Mulku Zahari. Posisi Bula Malino tidak hanya menjadi
produk syair kesultanan di masa lalu, akan tetapi dapat juga dikatan
sebagai gerakan dan pemikiran ulama Buton pada abad akhir ke-
18 hingga abad ke-19 Masehi. Manuskrip Kabanti Bula Malino
merupakan syair nyanyian tradisional masyarakat Buton yang
diciptakan sebagai muhasaban bagi si pengarang dan pembaca.
Teks manuskrip tersebut dibentuk atas beberapa tema
untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain berdasarkan ide
dan gagasan yang sesuai ciri khas dan kebudayaan masyarakat
lingkungannya. Isi kabanti tersebut merupakan gambaran
mengingat kematian yang ditandai oleh kata hamba, MIK
(pengarang), merupakan ikon dari sultan sebagai seorang mad’u.
Realitas dapat berbeda sebab hamba dalam hal ini seorang
pengarang yang disebut di dalam manuskrip tersebut termasuk
pembaca, yakni pria dan wanita, tua dan muda. Akan tetapi,
pemilihan kata “hamba” hanya untuk seorang pengarang yaitu
MIK telah mengesankan bahwa syair ini memang berlaku hanya di
ranah kesultanan saja. Ikon juga merepresentasikan produsen atau
menejemen (koleksi Abdul Mulku Zahari), sebagai manuskrip
kesultanan. Berikut tema-tema yang muncul dari manuskrip
Kabanti Bula Malino.
260
Indeks dari manuskrip ini dinarasikan melalui tiga tanda,
yaitu melalui pernyataan-pernyataan dakwah dalam bentuk aksara
Arab-Melayu, melalui anjuran memperbanyak amal saleh, dan
melalui larangan mengerjakan perbuatan mungkar. Jika melihat
tema-tema yang dibangun dalam manuskrip tersebut, peringatan
kematian terhadap diri seorang pengarang memunculkan jenis
indeks ruang (isotop spasial) melalu kata karoku (diriku) dan
penggalan syair: Yang satu ini syair berbahasa wolio - Dikarang
oleh Idrus yang hina - Kukarang untuk cerminku - Semoga aku
akan mengikuti ajaran, yakni kata “ini” dan “dikarang” dari bait
syair, sementara indeks temporal diwakili bait: Semoga tuhan
mempertemukanku - Di Padang Mahsyar terkumpulnya hamba -
Hindarkanlah aku dari azab neraka - Dan keributan pada hari
kemudian, yakni pada kata “Padang Mahsyar”, dan “hari
kemudian”.
Adapun simbol yang muncul adalah dakwah (untuk umat
Islam Buton) kepada diri MIK, Sultan Buton ke-29 yang
memosisikan dirinya sebagai hamba yang hina dina sehingga
harus menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar sebelum kematian
datang. Penjelasan di atas menyebutkan bahwa kata wahai diriku,
yakni sultan sebagai pengarang, merupakan simbol dari hamba.
Setiap tema dalam manuskrip yang diawali dengan kata wahai
diriku memang menunjukkan diri seorang Sultan Buton ke-29.
Dikarenakan tulisan manuskrip tersebut menggunakan aksara
Arab-Melayu dan terdapat kata dan penggunaan bahasa yang
menagarah ke agama sehingga Kabanti Bula Malino ini tujuannya
261
adalah berdakwah dengan metode akulturasi budaya. Artinya, ada
makna umum yang disepakati dalam konsep dakwah, syair seperti
manuskrip kabanti tersebut merupakan cara muda untuk
menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat Buton.
Jenis Tanda Contoh Tanda
Ikon Pengarang Syair, Abdul
Mulku Zahari, Nyanyian
Buton, dan Pesan Dakwah
Indeks Aksara, Kata-kata, dan
Penggunaan Bahasa
Simbol Dakwah
Tabel 5.1 Tanda-tanda dalam Manuskrip
C. Aktansial Greimas dalam Kabanti Bula Malino
Dalam karakteristik aktan Greimasian, jika melihat
keseluruhan cerita, simbol pengarang (MIK) dalam Kabanti Bula
Malino ini merupakan sender. Pengarang dan Manuskrip Koleksi
Abdul Mulku Zahari maupun merupakan actant yang berperan
dalam menarasikan Kabanti Bula Malino. MIK mengambil sumber
dari al-Qur’an dan Hadits untuk membangun narasi kabanti
tersebut. Dengan kata lain, MIK sebagai sender (pengirim) secara
struktural membawa pesan-pesan dalam bentuk Kabanti Bula
Malino.
262
Semua ikon, indeks, bahkan simbol dalam manuskrip
tersebut merujuk pada pengarang; meskipun simbol hari akhir
(padang mahsyar) berada di luar dan merupakan isotop waktu
(temporal), tetapi penegasan melalui indeks “hamba”
menunjukkan ada peran subjek dalam mengarahkan pemaknaan.
Receiver dalam manuskrip tersebut diperankan oleh pembaca
(hamba, termasuk MIK) yang berpotensi melakukan keburukan
dan kebaikan disertai dengan teks dari informasi pengarang syair
(Aksara, Pesan Dakwah, Kata-kata, dan Penggunaan Bahasa)
maupun objek (hamba) yang ditegaskan melalui teks-teks dakwah
dengan Syair Bula Malino yang menjelaskan adanya spesifikasi
yang diinginkan sender. Untuk menyampaikan ajaran agama
dalam situasi budaya masyarakat Buton di masa lalu adalah dengan
Kabanti.
Uraian mengenai ikon, indeks, dan simbol di atas
menegaskan bahwa adanya pesan khusus yang lahir dari Kabanti
Bula Malino. Tanda pada Pengarang dan Pesan dakwah dalam
syair berbahasa Wolio tersebut mengandung makna bahwa
Kabanti Bula Malino ditujukan untuk setiap hamba yang ada di
lingkungan kesultanan. Makan Kabanti Bula Malino bergeser
menjadi media yang digunakan masyarakat Buton untuk
berdakwah, yakni tidak sekedar menonjolkan tradisi bernyanyi
dengan langgam khas daerah. Amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan
gambaran kehidupan dunia dan kehidupan akhirat yang ditegaskan
langsung oleh seorang Sultan Buton menjelaskan situasi
kehidupan kalangan pejabat dan bangasawan di lingkungan
263
kesultanan yang segera kembali ke ajaran agama. Demikian
pemaknaan baru berlaku dan dipengaruhi sesuatu dalam
terminology Greimas, isotop temporal maupun spasial.
Bagaimana manuskrip dimaknai sebagai media yaitu
Kabanti Bula Malino sebagai isotop ruang (spasial) serta waktu
ditulisnya syair tersebut ketika MIK saat suasana hatinya sedang
ingin bermuhasabah. Waktu dinyanyikannya syair tersebut
berkenaan dengan masyarakat hendak berkumpul dan
diperdengarkan nasihat-nasihat MIK tersebut sebagai materi untuk
bekal mendapatkan tempat terbaik di akhirat (husnul khatimah). Di
masa sekarang, manuskrip kabanti kesultanan Buton dinyanyikan
dan didengarkan secara khidmat hanya pada saat kegiatan
kebudayaan dilaksanakan.
Ada enam karakter dalam narasi yang oleh Greimas
menyebutnya sebagai aktan (actant) di mana aktan tersebut
fungsinya adalah mengarahkan jalannya cerita. Karena itu, analisis
Greimas kerap disebut sebagai model aktan.1 Enam aktan tersebut
adalah: 1) destinator (pengirim), 2) receiver (penerima), 3) subjek,
4) objek, 5) adjuvant (pendukung), dan 6) traitor (penghalang).
Agar lebih mudah memahami narasi dakwah manuskrip Kabanti
dapat dibuat gambar sebagai berikut.
1 Algirdas J. Greimas, Structural Semantics: An Attempt at a Methods,
Lincoln: Universitas of Nebraska Press, 1983) h. 202 dalam Eriyantio, (2013: 95-96)
264
a. Sender (pengirim): MIK sebagai pengarang Bula
Malino mengirimkan syair tersebut kepada setiap
hamba yang membaca. MIK adalah seorang Sultan
Buton ke-29 juga dikenal sebagai ulama tasawuf Buton
di abad ke-18.
b. Receiver (penerima): pembaca syair, termasuk MIK
sendiri merupakan penerima dari apa yang dikirimkan
oleh seorang sender (pengirim).
c. Subjek: Allah Swt, sebagai peran utama dalam narasi.
Pesan-pesan syair Bula Malino meliputi anjuran
mempelajari ajaran agama dan amar ma;ruf nahi
mungkar agar siap menjelang ajal kematian. MIK
menulis syair tersebut untuk menasihati dirinya dan
semua hamba yang membaca syair tersebut (receiver).
d. Objek: apa yang diinginkan subjek dalam narasi syair
MIK adalah Rahmat Allah Swt. Rahmat yang dimaksud
adalah harapan seorang hamba (MIK dan pembaca
syair) sebagai receiver kepada Tuhannya agar mati
dalam keadaan husnul khatimah.
e. Adjuvant (pendukung): dalam syair dijelaskan bahwa
untuk mendukung seorang hamba mendapatkan
Rahmat dari Allah Swt, maka harus memerhatikan
kualitas amal salehnya. Sebab, amal saleh akan menjadi
pendukung untuk mencapai objek.
f. Traitor (penghalang): dalam upaya mencapai objek
(Rahmat Allah Swt) selalu hadir sosok penghambat. Di
dalam syair Bula Malino, penghambat digambarkan
265
dalam bentuk perbuatan buruk. Perbuatan buruk di sini
dimaknai sebagai perilaku maksiat yang datang dari
bisikan setan serta perkara-perkara keduniaan yang
gampang membuat manusia lalai.
Untuk memahami lebih jauh, kita perhatikan penegasan
indeks kata diriku menunjukkan ada peran subjek yaitu kandungan
syair tersebut. Narasi syair menegaskan seorang MIK menasihati
dirinya dan pembaca agar menjadi pribadi yang saleh dan
menjauhi hal-hal yang buruk. Masih ada beberapa kalimat dalam
syair yang menjelaskan lebih mendalam mengenai kiat-kiat
seorang hamba menjadi pribadi paripurna. Dalam Bula Malino,
hati juga diterjemahkan sebagai keimanan seorang hamba.
Sehingga, receiver dalam syair tersebut adalah seorang hamba.
Setiap hamba memiliki hati, atau iman, yang sifatnya fluktuatif
sehingga membutuhkan ketakwaan untuk meningkatkannya dan
bisa sajar drastis menurun karena maksiat. Receiver (penerima) di
sini lebih spesifik adalah hati dan keimanan seorang hamba
(pembaca syair) yang menerima subjek (Bula Malino) untuk
memenuhi kebutuhan yang menjadi tujuan dari pengirim (sender).
Penegasan berulang tentang kematian selain merupakan hal
penting dalam isi subjek (Bula Malino), juga dipahami sebagai
metode efisien yang digunakan sender agar berhasil membawa
pesannya ke objek. Dalam syair MIK, objek adalah rahmat Allah
SWT dalam wujud husnul khatimah. Maksudnya, rahmat adalah
sesuatu yang diinginkan seorang hamba kepada Tuhannya. Ketika
objek telah dicapai, itu artinya seorang hamba sudah berada di alam
266
akhirat. Akan tetapi, untuk mencapai objek tersebut tidaklah muda
bagi seorang hamba yang hatinya terus membusuk. Sebab, dunia
penuh dengan tipu muslihat dan sangat rentan kalah bagi setiap
hamba yang suka mengutamakan urusan dunia.
Strukutral narasi yang dibangun oleh pengarang cerita
selalu dihadirkan aktor traitor (penghambat) untuk menganggu
subjek mencapai objek. Di samping itu, pengarang cerita juga
menghadirkan aktor lain sebagai pendukung untuk membantu
subjek dari gangguan penghambat (traitor). Dalam Kabanti Bula
Malino, aktor pendukung untuk mendampingi subjek mencapai
objek (husnul khatimah/rahmat Allah Swt) adalah amal saleh.
Artinya, seorang hamba yang menjaga amal kebaikannya selama
di dunia maka semakin memudahkan dia untuk mencapai rahmat
di sisi Allah SWT dan mati dalam keadaan husul khatimah. Aktor-
aktor negatif tersebut berhasil membuat narasi memukau.
Aktor adjuvant (pendukung) dalam narasi syair Bula
Malino adalah amal saleh; meliputi shalat, puasa, zakat dan ibadah
di malam hari serta perbuatan baik lainnya yang telah disunnahkan
oleh Nabi Muhammad Saw. Untuk menjadi hamba yang di rahmati
oleh Allah SWT (husnul khatimah), hamba tersebut harus
mempeprbaiki kualitas amal perbuatannya di dunia. Berkenaan
dengan hal tersebut, sejalan dengan ungkapan amar ma’ruf dan
nahi mungkar. Syair MIK menjelaskan bahwa orang yang banyak
amal salehnya tidak lebih siap dan berani jika ajal menjemput.
Namun, bagi hamba yang banyak amal buruknya pasti merasa
resah dan gelisah mengingat ajal, bahkan bibirnya menjadi kaku
267
melafadzkan laa ilaaha illallah ketika ruh hendak berpisah dengan
jasad. Kemudian, di hari akhir nanti, seorang yang berat timbangan
amal buruknya akan dihantui ketakutan dan merasakan penyesalan
yang tidak berarti apa-apa lagi di akhirat.
Amal fasik berperan sebagai traitor (penghalang), di mana
di dalam syair dimaknai dalam bentuk muslihat dunia dan bisikan-
bisikan setan yang menganggu manusia. Penulis menemukan
setidaknya ada tiga peristiwa yang dihambat oleh amal fasik
(traitor) di dalam syair tersebut. Pertama, amal fasik akan terlihat
sebagai penghambat mulusnya skaratul maut. Kedua, berkatian
reaksi Nabi Muhammad Saw di akhirat, beliau menangis ketika
mengetahui kondisi (siksaan kubur) yang dirasakan umatnya
selama di alam kubur. Sementara hambatan yang ketiga yaitu di
saat amal perbuatan manusia ditimbang oleh Mizan di Padang
Masyhar. Amal buruk yang terlalu berat akan mangantarkan
dirinya ke dalam golongan hamba yang su’ul khatimah. Adapaun
subjek yang mengarahkan kepada objek adalah Kabanti Bula
Malino yang ditulis oleh MIK. Subjek sebagai media dakwah yang
disusun pengarang dengan ajaran-ajaran kegamaan. Nasihat-
nasihat dan permisalan kehidupan di dunia secara struktural
dinarasikan dan tujuannya untuk menuntun hamba menjadi
makhluk yang husnul khatimah sehingga mendapat predikat
rahmat dari Allah Swt.
Aktor-aktor yang disebut Greimas sebagai aktan yang
menjalankan alur Kabanti Bula Malino dapat dirumuskan seperti
pada gambar berikut.
268
Gambar 5.1 Aktansial Greimas dalam Kabanti Bula Malino
Pada level permukaan, manuskrip Kabanti Bula Malino
karangan MIK yang ditampilkan oleh Mulku Zahari merupakan
ekspresi nyanyian sebagai ciri khas kesenian masyarakat Buton.
Namun, pada level yang tersembunyi, teks-teks seputar dakwah
mengarahkan pemaknaan terhadap manuskrip. Ditambah lagi syair
dibuat sebagai bahan muhasabah seorang Sultan. Manuskrip ini
dibuat untuk nasihat seorang MIK sebagai sultan; dengan
menuaikan anjuran-anjuran beramal saleh. Hal tersebutlah yang
mendrong adjuvant yang mengarahkan pemaknaan bahwa untuk
terhindar dari ancaman akhirat adalah dengan kata-kata anjuran;
bisa 1) bermakna menganjurkan untuk melakukan kebaikan atau
2) anjuran untuk menginggalkan keburukan. Dalam skema
semiotika Greimas dia berada dalam posisi S2.
Teks yang bersifat larangan dalam manuskrip tersebut
sebagai daya hambat (sebagai traitor). Dalam kata-kata larangan
Adjuvant Aamal Saleh
Subjek Allah Swt
Traitor Perbuatan buruk
Sender Pengarang
Objek Husnul Khatimah
Receiver Pembaca
269
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Bukan Amar Ma’ruf
Bukan Nahi Mungkar
yang bermakna dakwah; 1) bermakna melarang untuk melakukan
perbuatan buruk, dan 2) melarang untuk meninggalkan kebaikan.
Pemaknaan ini dalam skema semiotika Greimas berada di posisi
S1.
Gambar 5.2 Skema Greimasian dalam Kabanti Bula Malino
Skema Greimasian di atas menunjukkan bahwa pada
dasarnya hamba (siapapun yang membaca manuskrip tersebut)
merupakan objek atau actant (S) yang berada dalam dua elemen
skema yang secara mandiri menunjukkan pertentangan sebagai
pendukung atau penghambat yaitu amar ma’ruf (S1) dan nahi
mungkar (S2). Ada narasi dakwah yang berjalan dan muncul
sepanjang isi manuskrip ini. Dalam narasi dakwah manuskrip
tersebut ada perintah yang langsung menunjukkan untuk
mengerjakan kebaikan, ada juga perintah bersifat larangan
mengerjakan keburukan (artinya adalah nahi mungkar).
270
Kabanti Bula Malino oleh MIK di tulis sebagai bahan
muhasabah untuk dirinya. Akan tetapi, isotop temporal
menggambarkan manuskrip ditulis sebgai peringatan mengenai
kematian dan kehidupan di akhirat. Bersamaan dengan isotop
spasial (saat pengarang menulis manuskrip) berimplikasi pada
presepsi terhadap manuskrip Kabanti Bula Malino untuk menjadi
hamba yang siap mati dalam keadaan husnul khatimah.
Terkait dengan pergeseran makna perintah dan larangan
dalam manuskrip ini pada dasarnya menciptakan metode
berdakwah yang berkaitan dengan seringnya manusia mengerjakan
keburukan dan menjauhi kebaikan. Perintah dan larangan yang
bergeser maknanya ini muncul sebagai sebuah realitas bahwa tidak
semua hamba bisa segera menerima objek yang dicapai dari
manuskrip jika tidak memasukkan “perintah” yang bersifat nahi
mungkar: misalnya “Wahai diriku, betahlah betul-betul - Dari
(godaan) kejelekan fitnah dunia”, dan “larangan” yang bersifat
amar ma’ruf: misalnya, “Jangan bosan mendengarkan ajaran”.
D. Kabanti Bula Malino sebagai Artefak Budaya
Kabanti Bula Malino merupakan salah satu karangan MIK
yang ditulis menggunakan aksara Wolio. Syair ini ditulis sebagai
nasihat untuk diri seorang pengarang. Untuk memahami
keseluruhan narasi teks, pembaca tidak cukup hanya memahami
terjemahannya saja. Ada banyak kata dalam bahasa Buton yang
digunakan MIK dalam syair namun sudah jarang didengar dalam
percakapan masyarakat sekarang. Pada bait-bait dalam syair ada
271
banyak kata yang diadopsi dari bahasa Arab. Oleh karena itu,
untuk mengetahui alur cerita dari syair tersebut, seorang pembaca
perlu memahami bahasa Buton serta memahami bahasa Arab dan
memiliki wawasan agama yang baik.
Sebagai artefak kebudayaan, manfaat mempelajari
manuskrip kuno, termasuk syair MIK, adalah memetik kearifan
dari perbandingan antara apa yang telah terjadi di masa lampau dan
kenyataan yang hidup dan berkembang di masa kini. Tidak hanya
untuk masyarakt Buton, isi manuskrip itu dapat dilihat sebagai
suatu yang memiliki kebermaknaan bagi dunia (Memory of the
Word), yang dapat dilihat dari sudut nilai kesejarahan, nilai
perkembangan ilmu, serta nilai kemanusiaan pada umumnya.2
Sehngga, warisan budaya nonbenda ini menjadi sangat berharga
jika bersamaan memahami nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Media baru telah banyak berkontribusi terhadap eksistensi
manuskrip kesultanan Buton. Karya MIK, Bula Malino, kini sudah
hampir di genggaman tangan seluruh masyarakat, yakni sudah
dapat disimpan dan diakses dalam bentuk media. Fenomena
budaya tersebut dapat dipahami sebagai bentuk kesepakatan
masyarakat bahwa manuskrip tersebut akan segera dikenal oleh
dunia. Akan tetapi, problem dari transformasi dan penggandaan
mansukrip Bula Malino yang begitu cepat ini bisa saja kehilangan
2 Edi Sedyawati, Kedwiakasaraan Dalam Pernaskahan Nusantara,
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008 dalam Azwar, Alih Media Manuskrip Kuno sebagai Pengembangan Ekonomi Kreatif, (Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Volume 5 No. 1 April 2015), hal. 2-3.
272
makna. Apalagi dengan pergeseran budaya bahasa di Buton, bisa
saja narasi dakwah MIK lewat kabanti tersebut dianggap bukan
lagi hal prioritas yang dimunculkan melalui media. Menurut
penulis, pemahaman yang terlalu jauh dari narasi dakwah
manuskrip tersebut dapat mereduksi nilai kearifan lokal di
kesultanan Buton.
MIK berhasil membangun narasi Bula Malino dengan
pendekatan budaya masyarakat Buton yang dia pimpin. Kekuatan
akulturasi yang dibangun MIK lewat pesan-pesan agama dalam
manuskrip tersebut menjadi narasi syair agama yang sampai saat
ini masih dilestarikan. Meskipun diakui sulit bagi masyarakat
untuk tertarik memahami narasi dakwah di dalamnya. Seperti
ungkapan Branston dan Stafford, narasi adalah istilah khusus
dalam menyusun sebuah peristiwa yang terorganisir sehingga
menjadi sebuah cerita. Peristiwa dibentuk secara khusus yang
terdiri dari pengaturan waktu, karakter, dan sebagainya sehingga
pembaca ikut ke dalam alur cerita.3 Sehingga, sulit dipercaya jika
MIK menyusun kabanti Bula Malino dengan alur yang tidak
terorganisir.
E. Bula Malino sebagai Media Dakwah
1. Prespektif Ayat Al-Qur’an
Dalam QS Al-Nahl [16]: 125 disebutkan ada tiga macam
metode dakwah yaitu Bil-himah, Al-Mau’idza Al-Hasanah, dan
3 Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (New
York: Routledge, 2010), h. 69.
273
Mujadalah. Motode yang dilakukan MIK melalui syair tersebut
berhubungan dengan Al-Mau’idza Al-Hasanah, yaitu dakwah
dengan nasihat-nasihat dan bimbingan yang lembut dalam bentuk
syair (kabanti). Media yang digunakan oleh MIK yaitu tulisan dan
nyanyian, di mana dengannya masyarakat Buton dengan cepat
mendapat informasi terbaru. Banyak media dakwah saat ini
diekspresikan secara cetak seperti yang disebutkan oleh Taufik Al-
Wa’iy (2010:352), yaitu sarana dakwah di antaranya bisa melalui
majalah, koran, buku, kertas, selebaran, dan lain-lain yang disebut
sebagai sarana maqru’ah.4
Berdasarkan hasil analisis semiotika naratif dari Kitab Bula
Malino di atas, ditemukan beberapa tema yang relevan dengan
definisi dakwah. Pesan-pesan dakwah dapat dilihat dari bait-bati
yang mengandung nasihat dan ajaran untuk menjauhi perbuatan
keji dan melakukan amal saleh. MIK juga menarasikan gambaran
kehidupan dunia dan cerita peristiwa kehidupan akhirat. Struktural
narasi dakwah yang menekankan kematian sebagai perstiwa yang
pasti terjadi pada setiap umat manusia ini menjadi representasi
posisi tasawuf di kesultanan Buton.
Dalam perspektif komunikasi naratif, 17 tema Bula Malino
karangan MIK sangat relevan dengan teori Greimas bahwa narasi
dalam syair merupakan suatu struktur makna serta karakter dalam
narasi menempati posisi dan fungsi masing-masing.5 Ungkapan
Greimas tersebut banyak menunjukkan bagaimana narasi secara
4 Taufik Al-Wa’iy, 2010: 352. 5 Eriyanto, Analisis Naratif, 2013: 95-96.
274
sistematis dibangun oleh narrator di dalam syair Bula Malino.
Aktan-aktan yang menggerakkan cerita juga sangat menunjukkan
keutamaan pesan dakwah.
2. Kabanti dalam Dakwah Kontemporer
Dakwah kontemporer saat ini selalu dilekatkan dengan
media baru. Semua inovasi tersebut dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi komunikasi. Sehingga, saat ini dakwah
mulai dikembangkan dan disebut sebagai dakwah kontemporer
seiring dengan kondisi sosial dan keinginan mitra dakwahnya
(mad’u). Seperti kita ketahui bahwa setiap orang telah menjadikan
media sebagai kebutuhan primer untuk mengakses informasi
agama, hiburan, pendidikan, dan pengetahuan tentang apa yang
sedang terjadi. Konsumsi masyarakat terhadap media kini tidak
lagi dipisahkan ruang dan waktu, sehingga media telah menjadi
alat utama untuk berkomunikasi lintas ruang dan waktu.6
Seperti yang dilakukan Suhurah, seorang pelantun kabanti
Wolio wanita, cara dia menyampaikan syair tersebut dengan
kemerduan suaranya sehingga pendengar semakin khidmat
menyimaknya. Pengaruh media baru terhadap kabanti dapat dilihat
pada rekaman Bula Malino dalam bentuk audio (MP3), audio
visual, dan yang sudah tersebar di media digital seperti youtube
dan sebagainya. Eksistensi kabanti tersebut menjelaskan bahwa
6 Johan Fornäs, Karin Becker, Erling Bjurström, and Hillevi Ganetz,
Consuming Media: Communication, Shopping, and Everyday Life, (New York: Berg, 2007), h. 130.
275
masyarakat memaknainya sebagai warisan budaya yang agung
bersamaan dengan tradisi dakwah Islam yang dikandungnya.7
Sebagai narator, MIK menulis tentang penegasan amar
ma’ruf nahi munkar dalam syairnya. Beberapa tema dalam syair
seperi kematian, larangan memfitnah, kewaspadaan akan muslihat
dunia, serta cerita hari kiamat menjadi topik-topik dominan dalam
kabanti tersebut. Seperti yang dilakukan para da’i hari ini, dakwah
yang disampaikan tidak jauh berbeda dengan apa yagn telah
dilakukan MIK, yakni amar ma’ruf nahi mungkar. Namun,
kearifan budaya tersebut perlu dikembangkan sejalan dengan
gerakan dakwah masa kini yang menurut penulis harus
memerhatikan manfaat dang fungsi media baru. Maksudnya, agar
dakwah dengan kabanti dapat bertransformasi menjadi materi yang
gampang diakses oleh masyarakat bahkan Bula Malino bisa berada
di genggaman tangan.
Keunikan langgam dari nyanyian Kabanti Bula Malino
sesungguhnya memberi ruangan besar untuk melihat dakwah MIK
secara akulturasi Islam. Akulturasi Islam dalam bentuk kabanti
menjadi keunggulan utama dengan adanya media baru. Berkaitan
dengan hal tersebut, pemerintah harus atensif dan terbuka dengan
hasil penelitian yang berhubungan dengan warisan Islam di
kesultanan Buton. Dengan demikian, akan muncul pelantun-
pelantun kabanti dan praktisi kabanti pria dan wanita yang betul-
7 Lihat Supriyanto dalam Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi
Tenggara, (Kendari: 2009), hal. 86.
276
betul memahami kandungan kabanti jenis agama dengan segenap
inovasi untuk melestarikannya.
277
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Insturmen penelitian tentang manuskrip Kabanti Bula
Malino karangan MIK ini menjelaskan bagaimana narasi dakwah
itu terjadi. Pengarang, aksara Arab-Melayu, kata-kata, dan
penggunaan bahasa digunakan untuk memahami pesan dakwah
dari manuskrip kesultanan Buton. Ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh ruang (isotop spasial) maupun waktu (isotop temporal)
untuk membaca makna manuskrip.
Semiotika Greimasian memaknai bahwa manuskrip
Kabanti Bula Malino tidak hanya merepsentasikan warisan seni
kebudayaan (nyanyian khas) sebagaimana adanya. Tanda-tanda
dalam manuskrip saling memengaruhi satu sama lain, dan pada
akhirnya ada narasi yang dibangun berdasarkan makna yang
mendekatai keinginan si pembuat tanda.
Pemaknaan, termasuk manuskrip Kabanti Bula Malino,
merupakan hasil transformasi dari cara-cara menyatakan bentuk-
bentuk pengetahuan, dan tindakan yang terkait dengan topik yang
ditentukan, aktivitas sosial, atau tindakan institusi dalam
masyarakat. Artinya, pilihan kata yang berhubungan dengan amar
ma’ruf nahi mungkar dibangun dengan pilihan bahasa yang akan
dimaknai secara baru bagi pembaca kabanti saat ini.
278
Setiap individu yang membaca tanda dalam manuskrip
tentunya memiliki pemaknaan yang berbeda. Terdapat aktor-aktor
tanda (actant) yang bisa mendukung pemaknaan kabanti dan
sebaliknya dapat menjadi traitor untuk mengerti tujuannya.
Dengan demikian, makna manuskrip tidak cukup dimaknai dari
terjemahan harfiyah saja. Pembaca harus mempertimbangkan
makna-makna lain dari isi teks manuskrip tersebut dan memahami
narasi apa yang ingin disampaikan.
Manuskrip kabanti, dalam menyampaikan pemaknaannya,
tidak hanya bekerja dalam ranah medium dan teks itu sendiri.
Manuskrip kabanti bekerja bersama citra-citra yang menjadi ciri
khas kebudayaan masyarakat. Kepercayaan yang dibangun
berdasarkan teks-teks dakwah Islam, juga dari pengaruh interaksi
sosial dan budaya masyarakat terhadap kabanti. Kepercayaan
tersebut didukung adanya tradisi adat, yaitu menyanyikan
manuskrip Bula Malino dengan langgam Buton, sehingga
melahirkan tradisi budaya kabanti sebagai media dalam
pertunjukan yang disimak baik secara pertunjukan maupun
pembacaan di rumah-rumah warga.
Bula Malino berbicara bagaimana seorang hamba
memaknai amar ma’ruf nahi mungkar oleh pengarangnya
ditampilkan perintah dan larangan itu dengan gaya bahasa tertentu.
Selain itu, kabanti MIK bermain dan membentuk kepercayaan
budaya untuk menciptakan makna dari narasi manuskrip tersebut.
279
1. Kabanti Bula Malino sebagai Media Dakwah
Syair agama ini ditulis pada abad ke-18 di mana saat itu MIK
menjabat sebagai Sultan Buton ke-29. Masyarakat Buton harus
menerima kenyataan bahwa pesan dakwah dari syair ini lebih
penting ditonjolkan daripada segi kesenian tradisionalnya.
Menurut penulis, masyarakat Buton harus memahami bahwa
kabanti jenis agama ini diekpresikan secara akulturasi budaya,
sebagai upaya seorang ulama agar dengannya pesan-pesan dakwah
mudah diterima dalam lingkungan budaya masyarakat saat itu.
Metode dakwah menggunakan syair agama MIK ini tergolong
dalam jenis al-mau’idzah al-hasanah.
Sekian banyak salinan kabanti yang berwujud audio dan
audio visual, juga reaksi beberapa lembaga pendidikan dan
sanggar seni dalam upaya melestarikan kabanti, sangat
menunjukkan kakunya perspektif masyarakat terhadap tujuan
kabanti jenis agama ini. Di masa sekarang, media telah menjadi
alat ampuh untuk mengirim pesan keagamaan kepada khalayak.
Apalagi dengan hadirnya media baru seperti yang disebut
Creeber dan Martin, akan mendukung bagaimana kabanti
ditampilkan dan dinarasikan dengan perkembangan teknologi.1
1 Creeber dan Martin menyebut Internet, World Wide Web, Televisi
Digital, Sinema Digital, Komputer Pribadi (PC), DVD (Digital Versatile Disc atau Digital Video Disc), CD (Compact Disc), Komputer Pribadi (PC), Pemutar Media Portabel (seperti MP3 Player), Ponsel Seluler (atau Seluler), Video (atau Komputer) Game Virtual Reality (VR), Artificial Intelligence (AI), dan sebagainya. Lihat Glen Creeber and Royston Martin, Digital Cultures, (New York: Open University Press, 2009), h. 2.
280
Realitas yang terjadi di masyarakat saat ini, media baru belum
dipahami secara beriringan dengan apa yang menjadi tujuan
utama dari komunikasi naratif Kabanti Bula Malino sebagai
media dakwah.
2. Situasi Budaya dan Munculnya Kabanti
Situasi budaya masyarakat Buton di saat syair agama mulai
diperkenalkan adalah karena sultan menyadari pentingnya
pendidikan agama Islam saat itu. Hal itu menjadi penting karena
beberapa hal, yaitu kurangnya lembaga pendidikan agama di
Buton dan menyimpangnya sikap masyarakat Buton dari
kebaikan saat itu. Syair ini sengaja MIK buat untuk
menyadarkan bahwa manusia di hadapan Tuhan adalah sama.
Banyaknya penegasan tentang mengingat kematian di dalam
syair cukup membuktikan pernyataan tersebut. Bait-bait yang
menegaskan kematian dan eksistensi seorang hamba yang hina
seakan menggambarkan sifat keangkuhan dan kesombongan di
lingkungan kesultanan yang harus segera diredahkan.
Manuskrip merupakan hasil dari karya budaya (artefak
budaya) sebagai bentuk atau cara di mana seseorang
berkomunikasi, mengabadikan, dan mengembangkan
pengetahuan mereka tentang sikap terhadap kehidupan.2 Sebagai
seorang narator, MIK menulis syair yang kini sangat diminati
masyarakat Buton tersebut, merupakan ide atau gagasan dari
aktifitas masyarakat yang berkembang. Sebagai artefak
2 Lihat (Martin and Nakayama, 2010:87).
281
semiotika, narasi yang dibangun MIK dalam Bula Malino
berasal dari dalam pikiran sebagai pola informasi murni,
terinspirasi oleh pengalaman hidup atau diciptakan oleh
imajinasi.
B. Saran
Dalam upaya mengembangkan penelitian tentang
manuskrip kabanti jenis agama ini, tentu ada faktor pendukung dan
penghambat yang akan muncul. Faktor-faktor yang mendukung
dang menghambat dalam pelestarian manuskrip kabanti adalah
sebagai berikut.
1. Faktor Pendukung
Makna yang ingin disampaikan seorang penulis manuskrip
akan dipahami pembaca ketika aspek budaya, bukan hanya
perkara budaya bahasa daerah Buton yang mulai pudar, kita bisa
lihat bagaimana perkembangan teknologi dan gaya hidup
masyarakat yang konsumtif tidak dapat dienalisa agar menjadi
inovasi yang dibangun untuk kabanti.
Sebagai seorang ahli bahasa, Malim menginterpretasikan
Kabanti Bula Malino dengan istilah Membara di Api Tuhan.
Reaksi tersebut berkenaan dengan makna pergerakan dakwah
kontemporer dalam bentuk sastra (al-mau’idza al-hasanah). Buku
Membara di Api Tuhan bisa saja bertransformasi dalam wujud e-
book sehingga dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja.
Begitupun yang dilakukan oleh La Niampe, penulis juga
282
memberikan kontribusi ilmiah untuk mendukung terbukanya
pemikiran dan gerakan baru agar kabanti tidak stagnan hanya
dinyanyikan pada festival budaya tahunan saja.
Ungakapan Amin perlu dipertimbangkan, bahwa media
elektronik merupakan media efektif dalam menyampaikan pesan-
pesan keagamaan kepada khalayak atau mitra dakwah. Apalagi
pada gerakan dakwah masa kini. Sebab, ciri utama media massa
elektronik ialah keserempakan (simultanitas). Sehingga, khalayak
bisa kapan saja mengakses manuskrip tersebut.3 Meskipun begitu,
tetap diperhatikan bahwa prioritas utama adalah narasi dakwah
yang ingin ditunjukkan seorang pengarang kabanti kepada
khalayak. Sebab, penggunaan bahasa, aksara, dan kata-kata yang
digunakan MIK dalam Bula Malino dapat dimaknai berbeda oleh
pembaca yanga tidak memahami bahasa Wilio.
2. Faktor Penghambat
Tradisi manuskrip (tradisi tulisan tangan) untuk berdakwah
akan segera ditinggalkan dengan hadirnya suatu teknologi yang
lebih mudah. Jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pelestarian
warisan budaya, maka kabanti jenis bangsawan yang menarasikan
agama seperti Bula Malino akan segera ditelan zaman. Kita harus
sadar bahwa untuk memahami posisi dan fungsi Kabanti Bula
Malino dan judul kabanti lainnya tentu memerlukan pendekatan-
pendekat lain misalnya komuikasi dakwah. Kabanti jenis agama
3 Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Ilmu Dakwah, (Sinar Grafika Offset,
Jakarta:Amzah, 2009), hal. 267-268.
283
ini akan sulit dikembangkan jika seorang praktisi atau ahli kabanti
golongan bangsawan ini tidak memahami bahasa Wolio dan
menghindar dari peradaban keilmuan. Menurut penulis, para
budayawan kabanti seperti Lambalangi, Almujazi, Syafiuddin
serta pemerhati lainnya yang tidak disebutkan, pasti akan
memerlukan generasi untuk menjaga kelestarian kabanti.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti menilai bahwa yang akan
menghambat syair-syair tersebut bisa diformulasikan dengan
gerakan dakwah saat ini adalah jika masyarakat tidak memahami
bahwa perkembangan teknologi bukan hal yang harus dihindari.
Kemudian, sikap terbuka yang ditunjukan Al Mujazi perlu
didukung oleh pemerintah agar manuskrip yang tersimpan bisa
terjaga serta bertahan lama. Sebab, sikap mengabaikan karifan
lokal yang sudah dinobatkan sebagai peninggalan budaya
nonbenda tersebut akan menjadikan jejak perjalanan berdakwah
ulama dahulu kita akan tinggal cerita.
Penghambat paling utama adalah adanya gap atau celah
antara pemegang manuskrip aslil dari kabanti-kabanti Buton
dengan masyarakat. Jurang pemisah tersebut disebabkan adanya
semacam kepercayaan turunan dari penulis manuskrip agar tidak
diberikan kepada orang asing kecuali orang terdekat. Sehingga,
perlu komunikasi yang baik antara pewaris naskah kabanti dengan
pemerintah demi kepentingan pemaknaan penciptaan manuskrip
sebagai identitas budaya dan agama di kesultanan Buton. Penulis
mendatangi beberapa pewaris naskah kabanti salah satunya Al-
Mujazi sebagai penjaga museum keratnn Buton, dan keluhan
284
mereka adalah belum adanya perhatian lebih terukur dari
pemerintah untuk melestarikan manuskrip secara fisik maupun non
fisik (makna dari manuskrip).
3. Kabanti Bula Malino dan Posisi Manuskrip Lain
Kita perlu menelusuri bagaimana posisi manuskrip lain
selain Kabanti Bula Malina untuk. Misalnya Kabanti Ajonga Indaa
Malusa (Pakaian yang Tak Pernah Kusut) karangan Abdul Ganiu.
Kepopuleran kabanti tersebut juga hampr menyamai posisi Bula
Malino. Memang belum ditemukan adanya manuskrip lain dari
Abdul Ganiu selain Ajonga Indaa Malusa, sehingga Kabanti Bula
Malino karangan MIK lebih dominan diminati oleh masyarakat
Buton. Meski demikian, perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai
manuskrip-manuskrip lain di kesultanan Buton dengan perspektif
komunikasi dan dakwah.
Dakwah tidak memandang mana yang bagus dan mana
yang tidak, jika semua manuskrip kabanti yang ada di kesultanan
Buton menarasikan ajaran keislaman. Ulama dahulu telah
mencurahkan segenap pemikiran dan gerakan sehingga
menghasilkan karya tulis sastra agama seperti Bula Malino.
Keseriusan ulama dalam berdakwah ini dapat kita simak pada
bagaimana struktur narasi Kabanti Bula Malino dibangun. Karena
itu, penulis berharap agar ada peneletian berikutnya dapat
mengkaji lebih luas tentang manuskrip-manuskrip lain selain
karangan MIK. Sebab, berdasarkan tinjauan pustaka, dari seluruh
285
manuskrip kabanti agama di Buton, Bula Malino merupakan satu-
satunya syair yang dominan dikaji secara ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Alifuddin, M. (2007). Islam Buton: Interaksi Islam dengan
Budaya Lokal. Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama.
Amahzun, M. (2004). Manhaj Dakwah Rasulullah. Jakarta:
Qisthi Press.
ANCEAUX, J. C. (1987). Wolio Dictionary-Wolio-English-
Indonesia. Holland: Foris Publication Holland.
Arifin, A. (2011). Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi
Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Aripuddin, A. (2012). Dakwah Antarbudaya. Bandung:
Rosdakarya.
Arnold, H. W. (1981). Sejarah Da'wah Islam. Jakarta: Widjaya.
Bal, M. (2017). A Theoretical Analysis of Narrative Fiction.
Toronto: University of Toronto Press.
Biagi, S. (2010). Media/Impact: Pengantar Media Massa.
Jakarta: Salemba Humanika.
Christian, W. W. (2003). A Comparison of Missions and Islamic
Da'wah. Missiology: An International Review, 339.
Eriyanto. (2013). Analisis Naratif: Dasar-dasar dan
Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta:
Kencana.
Fang, L. Y. (2011). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Greimas, Algirdas J. (1983). Structural Semantics: An Attempt at
a Methods. Lincoln: Universitas of Nebraska Press.
Hansen, M. B. (2004). New Philosophy for New Media. London:
The MIT Press.
Hefni, H. (2007). Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana.
Hefni, M. S. (2006). Metode Dakwah. Jakarta: Kencana.
Herman, D. (2007). The Cambridge Companion to Narrative.
New York: Cimbridge University Press.
Ida, R. (2014). Metode Penelitian Studi Media dan Kajian
Budaya. Jakarta: Kencana.
Ikram, A. (2002). Katalok Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku
Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ismail, N. (2004). Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan
Penerapannya. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Johan Fornäs, K. B. (2007). Consuming Media : Communication,
Shopping, and Everyday Life. New York: Berg.
Karnanta, K. Y. (2015). Struktural (dan) Semantik: Teropong
Strukturalisme dan Aplikasi Teori Naratif A. J. Greimas.
Atavisme, 171-181.
Lamra. (1994). Bula Malino: Syair Wolio, Tulisan Tangan. Tarafu.
Laniampe. (2014). Nasihat Leluhur Untuk Masyarakat Buton-
Muna. Mujahid Press, ISBN, 978-979-762-251-0.
Laniampe. (2009). Nasihat Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu
Badaruddin Al-Buthuni. Kendari: FKIP Unhalu.
Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A. (2016). Ensiklopodeia
Teori Komunikasi Jilid 1. Jakarta: Kencana.
Malim, La Ode. (1981). Kesenian Daerah Wolio. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah.
Martin, G. C. (2009). Digital Cultures. New York: Open
University Press.
Miller, J. H. (2002). On Literature: Thinking in Action. London
and New York: Routledge.
Moores, S. (2005). Media Theory: Thinking about Media and
Communication (Comedia). Canada: Routledge.
Morgan, D. (2008). Key Words in Religion, Media, and Culture.
Canada: Routledge.
Nakayama, J. N. (2010). Intercultural Communication in
Contexts, Fifth Edition. New York: McGraw-Hill.
Nasrullah, R. (2014). Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya
Siber. Jakarta: Kencana.
Nasrullah, R. (2015). Media Sosial: Perspektif Komunikasi,
Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Nasrullah, R. (2017). Etnografi Virtual: Riset Komunikasi,
Budaya, dan Sosioteknelogi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
PaEni, M. (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa,
Sastra, dan Aksara. Jakarta: Rajawali Pers.
Pedani, M. P. (2010). Inventory of The Lettere e Scritture
Turchesche in The Venetian State Archives. Leiden:
Boston.
Ricklefs, M. (2011). Sejarah Indonesia Modern, Cetakan Ke-10.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Saputra, W. (2011). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Shires, S. C. (1988). Telling Stories: A Theoretical Analysis of
Narrative Fiction. London: Sage Publication.
Shires, S. C. (1988). Telling Strories: A Theoretical Analysis of
Narrative Fiction. London: Sage Publication.
Sobur, A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sobur, A. (2014). Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan
Aplikatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Stafford, G. B. (2010). The Media Student's Book. New York:
Routledge.
Stefan Titscher, M. M. (2000). Methods of Text and Discourse
Analysis. London: Sage Publication.
Supriyanto, L. N. (2009). Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi
Tenggara. Kendari: CV. Shadra.
Syukur, La Ode Muh. (2009) Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi
Tenggara. Kendari: CV. Shadra.
Syukur, A. (1983). Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam.
Surabaya: Al-Ikhlas.
Tjandrasasmita, U. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
KPG.
Vervaeck, L. H. (2005). Handbook of Narrative Analysis.
London: University of Nebraska Press.
W. Richard Whitaker, J. E. (2004). Media Writing: Print,
Broadcast and Public Relation , Second Eition. London:
W. Richard Whitaker, Janet E. Ramsey, and Ronald D.
Smith, Media Writing: Lawrence Erlbaum Associates
Publisher.
Yunus. (2011). Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton.
Zuhdi, Susanto. (2018). Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu
Rope Labu Wana. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, Edisi
Revisi.
Zuhdi, Susanto (2010). Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu
Rope Labu Wana, Edisi Pertama. Jakarta: Rajawali Pers.
B. Sumber Jurnal/Artikel
Alifuddin, Muhammad. 2007. Islam Buton (interaksi Islam dengan
Budaya Lokal), Disertasi Bidang Ilmu Agama Islam. UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Azwar. (2015). Alih Media Manuskrip Kuno sebagai
Pengembangan Ekonomi Kreatif. Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora Volume 5 No. 1, 2-3.
Huluk, La Ode Chusnul. (2014) Komunikasi Naratif Kitab Bula
Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 332-383. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.
Nasrullah, R. (2013). Semiotika Naratif Greimasian dalam Iklan
Busana Muslim. Kawistara: Volume 3 No.3, 227-334.
Oman Fathurahman dalam Makalah Seminar Pada 20 Mei 2010,
The Wahid Institute menggelar Gus Dur Memorial Lecture
(GDML) Seri ke-3, dengan tema “Islam dan Nasionalisme
Abad ke-21 di Asia.
Rafik, 2013, Peran Parabela Dalam Menjaga Kelestarian Hutan
Adat (Studi di Desa Kaongkeongkea Kecamatan Pasarwajo
Kabupaten Buton), Skripsi S1 Jurusan Antropologi, FISIP
Univ. Halu Oleo, Kendari
Rajab, Muh. (2015) Dakwah Islam pada Masa Pemerintahan
Sultan Buton Ke Xxix, Jurnal Diskursus Islam 57 Volume 3
Nomor 1.
Wahyuni, Imelda. Burhan. (2014). Rutinitas Adat Orang Buton:
Membangun Peradaban dan Karakter yang Sejahtera dan
Berkeadilan Sosial di Tengah Arus Globalisasi. STAIN
Sultan Qaimuddin Kendari, Al-Izzah, Vol. 9 No. 2.
Yunus, Abd. Rahim. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kesultanan
Buton pada Abad Ke-19
C. Sumber Internet
https://sultra.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/86
http://www.antarasultra.com/berita/274263/kabanti-diusulkan-
jadi-warisan-dunia-bukan-benda
http://news.metrotvnews.com/daerah/0kpr3J6N-festival-budaya-
tua-buton-2016-upaya-lestarikan-budaya-dan-promosi-
wisata
http://travel.kompas.com/read/2016/10/11/101500927/kota.bauba
u.gelar.festival.kota.tua.keraton.kesultanan.buton
https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/1338
http://oman.uinjkt.ac.id/2010/05/manuskrip-islam-dan-
nasionalisme-di.html.
https://www.youtube.com/watch?v=el3pINFsTbA&t=49s di akun
youtube Radi Laega
https://www.youtube.com/channel/UCnwh1rwQ0JRnRne
RuMaoiSg
http://jurnal.upi.edu/artikulasi/view/2382/kesusastraan-buton-
abad-xix:-kontestasi-sastra-lisan-dan-tulis,-budaya,-serta-
agama.html
Reference: EAP212/2. Extent: 34 files consisting of 1,701 TIFF
images. Content type: Collection. Level: Fonds.
Languages: Arabic, Malay, Wolof. Scripts: Arabic.
Creation date: 19th century-20th century. Lihat
https://eap.bl.uk/collection/EAP212-2.
D. Sumber Wawancara
Wawancara dengan Al Mujazi, Penjaga Museum Kebudayaan
Wolio sekaligus pemegang beberapa naskah kabanti (syair)
yang ditulis oleh MIK, Kamis, 13 Maret 2014 di Jalan
Labuke, Buton-Sulawesi Tenggara (kawasan benteng
Keraton Buton).
Wawancara La Ambalangi, di kediamannya, Kelurahan Tarafu
tahun 2014.
Yusri, La Ode. Wawancara via telepon, 2018, pukul 16.42 WIB.
Siti Surah, wawancara di kediamannya, Kaobula (Maret, 2013)
Syafiuddin, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya
Bataraguru, Baubau, Sulawesi Tenggara).
LAMPIRAN
Manuskrip Koleksi Abdul Mulku Zahari: Kabanti
Bula Malino karangan MIK
Makam Muhammad Idrus Kaimuddin
Lokasi: Samping Masjid Quba
Dokumentasi: Abdul Hanafi (09/10/2018)
Masji Quba Badhia Buton
Lokasi: Lingkungan Kesultanan Buton-Keraton Buton
Dokumetnasi: Abdul Hanafi (09/10/2018)
Masjid Keraton Buton
Dokumentasi: Abdul Hanafi (09/10/2018)
Transliterasi dan Terjemahan
Transliterasi Terjemahan
Bismillahi kasi karoku si Alhamdu padaka kumatemo
Kajanjinamo yoputa momakana
Yapekamate Bari-baria batua
Yinda samia batua bomolagina Sakabumbua pada posamatemo
Somo Opu alagi samange-ngeya
Sakiyayiya yinda kokapada
Ee Waopu dawuaku iymani Wakutuna kuboli badaku siy
Tee sahada iqiraru momatangka
Tee tasdiqi iymani mototapu
Ee Waopu rangania rahamati Muhammadi caheya babana
Oyinciamo kainawa motopene
Mosuluwina ummati mokodhosana
Siyo-siyomo Waopu bei kupokawa Yi muhusura toromuyana batua
Agoyaku yi’azabu naraka
Te huru-hara nayile muri-murina
Siy sangu nazamu oni wolio Yikarangina Ayedurusu Matambe
Kukarangia betopayasaku
Bara salana bekuyose kadari
Siyo-siyomo Opu atarimaku Bekuwewangi yincaku momadakina
Kusarongia kabanti yincasiy
Bula Malino Kapekarunana Yinca
Ee karoku bega-bega umalango Yinda ufikiri kampodona umurumu
Matemo yitu tomo yipogaka
Tee malingu sabara manganamu
Temoduka sabara musirahamu Witinayi tawa mosaganana
Ee karoku yada-dari karomu
Nafusumu bega-bega uwoseya
Tabeyanamo nafusu radhiya Nafusu sarongi marudhiya
Mo saerwu guru mowadariko
Yinda molawana yada-dari karomu
Motuwapa kasina miya yitu Yinda beyakawa kasina yi karomu
Ee, karoku, menturu sambahea
Te puwasa yi nuncana Ramadani
Fitaramu boli yumalingayeya Palimbayiya ahirina poyasa
Zikirillahi menturuyakeya mpu
Dengan nama Tuhan kasihan diriku ini Segala puji, kelak aku akan mati
Sudah takdir Tuhan Maha Kuasa
Mematikan semua hamba
Tak satupun hamba yang kekal abadi Semuanya akan mati
Hanya Tuhan yang kekal abadi
Selama-lamanya tidak berkesudahan
Wahai Tuhan, berikanlah aku iman Pada waktu meninggalkan jasad ini
Dengan syahadat ikrar yang tega
Dan dengan tasdiq iman yang tetap
Wahai Tuhan, tambahkanlah rahmat Muhammad cahaya permulaan
Dialah cahaya paling mulia
Yang menyinari hamba yang berdosa
Semoga tuhan mempertemukanku Di Padang Mahsyar terkumpulnya hamba
Hindarkanlah aku dari azab neraka
Dan keributan pada hari kemudian
Yang satu ini syair berbahasa wolio Dikarang oleh Idrus yang hina
Kukarang untuk cerminku
Semoga aku akan mengikuti ajaran
Mudah-mudahan Tuhan menerimaku Untuk memerangi hatiku yang jelek
Kuberi nama syair ini
Purnama Cerah Penyegar Hati
Wahai diriku, jangan kau mabuk Tidakkah kau pikir umurmu yang singkat
Kematian itu akan memisahkanmu
Dengan semua anakmu
Dan juga dengan semua karibmu Family atau manusia lainnya
Wahai diriku ajar-ajarilah dirimu
Jangan terlalu mengikuti nafsumu
Kecuali nafsu Radhiyah Nafsu yang dinamakan mardhiyah
Walau seribu guru yang mengajarimu
Tiada bandingnya mengajari diri sendiri
Walau bagaimana kasih orang itu Tiada bandingnya mengasihi diri sendiri
Wahai diriku, seringlah sembahyang
Dan berpuasa pada bulan Ramadhan
Fitrahmu jangan lupa Keluarkan pada akhir puasa
Berzikirlah sesering mungkin
Te salawa salamu yi Nabimu
Pontanga malo bangu emani amponi
Yincafuyaka kadakina amalamu
Ee karoku, boli yumangabuya-buya Temo duka boli yumangahumbu-
humbu
Kadakina tabuya-buya rangata
Hari kiyama nayile beyu marimba Kadakina tahumbu miya rangamu
Yokadakina yuala meya yingko
Yokalapena posaleya yinciya
Hari kiyama dela beya totumpu
Ee karoku yincamu pekangkiloa
Ngangarandamu boli yumanga pipisi
Temo duka boli yumanga pisaki
Fikiriya katambena karomu Yuwe satiri banamo minamu
Simbayu duka kadidiyanamko yitu
Yi yuncana tana nayile yuhancurumo
Yuposalomo te tana koburumu Ee karoku, fikiriya mpu-mpu
Kakawasa tangkanamo yi duniya
Yokalaki tangkanamo yi weyi
Te malingu kabelokana duniya Yukawaka nayile muri-murina
Yamapupumo bari-bariya situ
Tangkanamo totona yinca mangkilo
Bemolagina nayile muri-murina Ee karoku togasaka mpu-mpu
Yokadakina fitanana duniya
Pamana bose padaka yuhelamo
Yinda beyulagi yi lipu podagamu Duniya si mboresa momarungga
Totula-tula yi hadisina Nabi
Yincema-yincema miya moperawasiya
Satotuna miya yitu kafiri Ee karoku tawakala mpu-mpu
Pengkenisi ajanji mina yi Nabi
Dunia si mboresana karimbi
Abari mpu racu ibinasaka Ominana racu ibinasaka
Oporango, opokamata opebou
Situmo mokawana yi manisi
Morimbitina yincamu momalapena Mboresana nafusu momadaki
Polotana rua mbali lupe-lupe
Situmo ewalina molagina
Motopene incana karota si Kaewangina ewali incia yitu
Zikirillahi menturu yakea mpu
Yincamu yitu pekaekayiya mpu
Yiparintana Oputa Momakana Te yumenturu rango oni malape
Dan bershalawat salam pada Nabimu
Tengah malam bangun mohon ampun
Insyafkan ketidakbaikkan amalanmu
Wahai diriku, jangan suka membual Dan juga jangan mengumpat
Keburukan menghasud sesama itu
Pada hari kiamat kau akan ditntut
Kejelekan mengumpat sesamamu Keburukannya engkau yang ambil
Kebaikannya dia yang ambil
Pada hari kiamat lidahmu akan dibakar
Wahai diriku, sucikanlah dirimu
Niatmu jangan merendahkan orang
Juga jangan memandang remeh
Pikirkanlah betapa hinanya dirimu
Air setetes awal kejadianmu Seperti juga hewan yang lain
Di dalam tanah kelak engkau akan hancur
Bercampur dengan tanah kuburmu
Wahai diriku, pikirkan betul-betul Kekuasaan hanya ada di dunia
Kebangsawanan hanya ada di sini
Dan segala perhiasan dunia
Sampai pada hari kemudian Habislah semua itu
Hanya hati nurani yang suci
Yang kekal abadi
Wahai diriku, betahlah betul-betul Dari (godaan) kejelekan fitnah dunia
Bagaikan berlayar tidak lama lagi bertolak
Tidak akan kekal di negeri perdaganganmu
Dunia ini tempat yang bersifat hancur Diceritakan di dalam hadits Nabi
Siapa saja yang tidak percaya itu
Sesungguhnya orang itu kafir
Wahai diriku betawakkallah dengan sungguh
Berpeganglah pada janji Tuhanmu
Dunia ini tempatnya kesalahan
Banyak sekali racun yang membinasakan Asalnya racun yang membinasakan
Pendengaran, penglihatan, penciuman
Itulah yang sampai pada perasaan
Yang menghukum hati yang baik Tempat nafsu yang tidak baik
Di antara kedua tulang rusuk
Di situlah musuh yang kekal
Yang baik pada diri kita Untuk melawan musuh seperti itu
Berzikirlah sesering mungkin
Buatlah hatimu menjadi takut
Pada perintah Tuhan Yang Maha Kuasa Dan seringlah dengar ucapan baik
Kadarina paimia salihi
Boli panganta beu rango kadari
Bara salana betao bahagiamu
Osea mpu saor yi malakpeaka Malinguaka oni yi rangomu yitu
Kawanamo mina yi momagilana
Neo yitumo saro yimalapeaka
Akonimo hatimi rusuli Muhammadi sayidina anbiya
Aleya komiyu katau yitu
Hengga katau yi mulutina binate
Neo yitumo giu yimalapeaka
Ee karoku bega-bega mengkooni
Neukooni sabutuna hajati
Upekalape yincana mia rangamu
Teupakawa maksuduna yincamu Kamengkooni dala yimarimbiaka
Tabeanamo oni yimalapeaka
Simbounamo tatula-tula kitabi
Te lelena kalabiana Nabi Te lolitana karamatina wali
Te lacuna paimia salihi
Somana boli yubotuki wajibu
Te malingu faralu yi karomu Ee karoku boli yupake pewuli
Aboasaka saro yinda motindana
Barangkala yupakemo yinciya yitu
Amadakimo yi lipu rua anguna Neu kabonga boli upolalo sara
Tontoma kea laengana morangoa
Neu kabonga podo sabu-sabutuna
Yupekalape yincana mia rangamu Tabeyanamo te yantona banuamu
Yinda pokia nea tolabe saide
Upatotapu rouna pomananea
Upekatangka sarona pomusiraha Ijtihadi umbore yi duniya
Nunua mpu saro yimalapeaka
Sio-siomo Opu apaliharaku
Yi hura-hura nayile muri-murina Ee karoku paihilasai yincamu
Patotapua poaromu yi Opumu
Pengkenisi agamana babimu
Te yuosea kadarina gurumu Mira rangamu masiyakea mpu
Simbou duka masiyaka karomu
Tuamo yitu tuturana mu’mini
Ambo-mbore yi nuncana dunia si Ee karoku yihilasi atopene
Rahasiana Oputa mopewauko
Adikaka yinda yimasiyaka
Nganga randana batua yimimiyaka Oihilasi rahasia motowuni
Ajaran dari orang-orang saleh
Jangan bosan mendengarkan ajaran
Barangkali untuk kebahagiaanmu
Ikutilah betul yang namanya kebaikan Segala kata yang engkau dengar itu
Walaupun asalanya dari orang gila
Kalau sudah itu yang membuatmu baik
Bersabda Rasul yang terakhir Muhmmad penghulu segala Nabi
Ambillah kalian ilmu tersebut
Meskipun ia dari mulut hewan
Demi menuju pada kebaikan
Wahai diriku, jangan terlalu banyak bicara
Bicaralah seperlunya
Selaraskan perasaannya sesamamu
Hubungkan dengan maksud hatimu Banyak bicara itu merusakan
Kecuali ucapan yang membawa kebaikan
Seperti yang dikisahkan dalam Kitab
Dan kisah keunggulan Nabi Dan pokok-pokok karoma para wali
Serta perilaku orang-orang saleh
Asal jangan meninggalkan yang wajib
Serta melupakan kebutuhan pribadi Wahai diriku, jangan gunakan kedustaan
Saat menyatakan sesuatu yang tidak jelas
Jika kelakuanmu seperti itu
Hancurlah di kedua negeri itu Saat bergurau janganlah melampaui batas
Perhatikan, pantas tidak bagi yang dengar
Saat bergurau seperlunya saja
Senangkanlah perasaan sesamamu Kecuali sesama orang dalam rumah
Tidak apa bila kelewat sedikit
Pereratlah sebuah kasih sayang
Kukuhkanlah hubungan kekeluargaan Berijtihadlah menelusuri dunia
Kejarlah kebaikan dengan seirus
Semoga Tuhan memeliharaku
Pada keributan di hari kemudian Wahai diriku, ikhlaskan hatimu
Kuatkan pendirianmu pada Tuhanmu
Berpegang teguhlah pada agama Nabimu
Serta ikutilah yang ajaran gurumu Sayangi betul orang sesamamu
Layaknya menyayangi diri sendiri
Itulah aturan sesama orang beriman
Yang bersemayam di dunia ini Wahai diriku, rasa ikhlas itu sangat baik
Sebagai rahasia Tuhan yang menciptamu
Menaruh pada hati yang dikasihi
Lubuk hati hamba yang disayangi Ikhlas rahsia yang tersembunyi
Ikalibina batua mosalihi
Ositumo jauharana amala
Mosuluwina bari-baria fe’eli
Ee karoku pekatangka pengkenimu Itikadimu boli akadoli-doli
Matomo yitu pada aumbatikomo
Hari kiyama pada alahirimo
Yi weyitumo huru-hara momaoge Kasukarana bari-baria batua
Atotimbangi bari-baria amala
Yi mizani kaloesa mobanara
Ee karoku ombu pada aumbamo
Bea buke nayile duniya si
Amalalanda, agalapu, apoposa
Mo saide yindamo te kainawa
Yitumo duka kaheruana batua Pokeni lima paimia Isilamu
Te akoni manga yinciya yitu
Yinciyamo si zamani be tamatemo
Potangisimo paiaka Isilamu Atangi mpu aoge-oge yincana
Audanimo janji mina yi Nabi
Hari kiyama pada aka aumbamo
Salana manga poma-mafuaka Nedangia te salana mangengena
Apentamo hukumu mina yi Opu
Opeamo bara bemokorouna si
Atangi mpu bari-baria situ Audanimo karunggana alamu
Te afikiri bangu yi hari kiyama
Betuapa nayile yingkita si
Ee karoku keniyaka mea mpu Duniya si padaaka amarunggamo
Ngalu maka padaaka tumpumo
Bemorunggana bari-baria kabumbu
Te amatu bari-baria yandalaa Te akolendu soma-somana kaka
Ositumo akrunggana alam
Kapupuna bari-baria batua
Afanamo malingu kadangia Somo Opu molagina mobaka
Alamu si ambulimo anainda
Simbou duka kadangia yi azali
Pata pulu taona tua situ Beafana bari-baria batua
Simpomini ambuli adangia
Ositumo kadangiya molagi
Ee karoku rangoa tula-tulana Kadangia nayile muri-murina
Babana akowau rahamati
Asapo mai minaka yi arasi
Apepatai bari-bariya koburu Amemeiki paikaro mobinasa
Pada kalbu hamba yang saleh
Di situlah permata amal
Yang menyinari semua perilaku
Wahai diriku, kuatkanlah teguhanmu I’tikadmu jangan sampe goyah
Kematian akan menghampirimu
Hari kiamat akan hadir
Di situlah peristiwa yang menggemparkan Yang menjadi duka semua hamba
Semua amal perbuatan akan dihisab
Dengan mizan timbangan yang benar
Wahai diriku, asap akan muncul
Yang memenuhi duni ini nantinya
Membuatnya gelap, gulita, dan membutakan
Walau sedikit tidak ada cahaya
Itulah pula yang dicemaskan hamba Menjabat tangan orang-orang saleh
Seraya berkata para hamba itu
Inikah masa setelah kematian?
Bertangisanlah umat Islam Menangis keras dengan hati yang sungguh
Mengingat janji dari pada Nabi
Bahwa hari kiamat akan datang
Hendaklah saling memaafkan kesalahan Termaksud kesalahan yang telah lalu
Menantikan hukuman apakah dari Tuhan
Bagaimana wujud kita nanti
Akan menangis semua itu Membayangkan kehancuran alam
Juga memikirkan wujud di hari kiamat
Bagaimana kita di hari esok
Wahai diriku yakinilah dengan sungguh Dunia ini sebentar lagi akan hancur
Angin kencang benar akan tiba
Ia akan menghancurkan gunung-gunung
Semua lautan yang dalam mengering Juga terjadi guncangan yang dahsyat
Itulah tanda kehancuran alam
Penghabisan semua hamba bernyawa
Fanalah semua yang ada di bumi Hanya Tuhan yang kekal abadi
Alam ini akan kembali tiada
Seperti keadaan sebelum lahir
Demikian itu empat puluh tahun lamanya Semua hamba bernyawa akan fana
Kemudian akan kembali ada
Begitulah keadaan yang abadi
Wahai diriku, dengarkan cerita Keadaan di hari kemudian
Mula-mula hujan rahmat
Naik turun berasal dari arsy
Menyeluruh kepada semua kuburan Membasahi semua jasad yang binasa
Orahamati amina yi Opu rahimu
Bea pabangu bari-baria batua
Bana bangu nayile muri-murina
Malaikati pata miyana situ Akoni Oputa Momakana
Lipa komiu yi nuncana soroga
Beu ala mahkuta molabina
Te malingu pakea momuliana Te tombi liwaulhamdu
Te buraku mosakalina kaliga
Tao Nabi batua yilabiaka
Muhammadi rasulu yimimiyaka
Oyinciyamo mia yimasiyaka
Asafati paimiya mokodosa
Yi huru-hara nayile muri-murina
Te azabu sikisa naraka Te arangani mokurana fahalana
Yi apaika mu’mini umatina
Sambulina malaikati yitu
Aminaka yi nuncana soroga Apenunumo koburuna nabita
Yimuhusara maedani molalesa
Sakawana manga yi tanga-tangana
Agoramo ruhuli Amina Jibirilu mutunggunamo wahi
Oandeana bari-baria rasulu
Te banguna gorana Jibrilu
Yi yapaimo koburuna Muhammadi Salapasina goana Jibrilu
Amawetamo tana koburuna yitu
Abangumo Nabi mina yi tana
Kuncura yi bana koburuna Te asapui jangkuna momuliyana
Te bana motopenena kawondu
Te asapui ngawu tana koburuna
Apekangkilo badana moalusuna Te apoili yi kayi yi kana
Bari-baria dangia amampada
Lausakamo abaki Jibrilu
Onabita safili ummati Jibrilu maipo peumbaku
Opeamo bara eo yincia si
Akonimo Jibrilu situ
Ositumo eo safatimu Te akakaro makamu kapujiamu
Beuagoa umatimu mokodasana
Akonimo safili umati
Alaihi salawa tee salamu I apaimo manga umatiku sii
Ulana bara incanamo sikisaa
Akoonimo jibriilu siitu
Oumatimu indapo tee mobanguna Aharamu porikana bea bangu
Rahmat itu berasal dari tuhan Rahim
Untuk membangkitkan semua hamba-Nya
Pertama-tama yang bangun
Empat orang Malaikat Berfirman Tuhan Yang Maha Kuasa
Pergilah kalian ke dalam surga
Untuk mengambil mahkota yang mulia
Dan juga semua pakaian yang mulia Dan bendera kebesaran Tuhan
Dan buraq yang teramat cepatnya
Untuk Nabi hamba yang dimuliakan
Muhammad Rasul yang disayangi
Dialah orang yang dikasihi
Syafaat pada umat yang berdosa
Pada peristiwa di hari kemudian
Dan azab siksaan api neraka Dan menambah yang kurang pahalanya
Di mana saja umatnya yang mukmin
Sekembalilnya malaikat itu
Datang dari surge Menelusuri kuburan Nabi Muhammad
Di padang masyhar tempat yang luas
Setibanya mereka di tengah-tengah
Berserulah Ruhil Amin Jibril yang menjaga wahyu
Sahabat karibnya semua Rasul
Dengan bentuk panggilan Jibril
Di mana kuburan Muhammad Setelah Jibril berseru
Terbelahlah tanah kuburan Muhammad
Bangunlah Nabi dari dalam tanah
Lalu duduk di kepala kuburannya Dan menyapu janggutnya yang mulia
Dan kepalanya yang teramat harum
Dan menyapu abu tanah kuburannya
Membersihkan badannya yang halus Menoleh ke kiri dan ke kanannya
Semua masih tiada
Terus ia bertanya kepada Jibril
Nabi kita syafiil umat Jibril, cobalah beritahu daku
Apakah hari sekarang ini
Jibril pun berkata
Itulah hari syafaatmu Dan berdiri makam kelebihanmu
Engkau selamatkan umatmu yang berdosa
Bersabda Nabi Muhammad
Mengucapkan salawat dan salam Di mana umatku ini
Barangkali sudah di dalam siksaan
Berkata Jibril itu
Umatmu belum ada yang bangun Haram mereka bangun lebih dulu
Malinguaka I apai maanusia
Tabeana porikana ingko
Tee mobanguna minaaka I koburu
Kabea bangu mia mosagaanana Itumo duka rouna kamuliaamu
Kaa bangu Sidiki mobanara
Abubakara oamana Aisa
Kaa bangu Umara moadilina Rua miaana sahabatina molabi
Kaa pake manga talu miaia
Malinguaka pakea I sorgaa
Omakuta tee izari momulia
Tee kausu motopenena kalape
Osawikana podo buraku molabi
Apiliakea I nuncana sorgaa
Osiitumo kamuliangina Opu Akukumbai batua talu miana
Salapasina padana tua siitu
Alingkamo manga talumiaia
Aporikana Sidiki tee Umara I aroana safiili umati
Motutunia Nabiita molabina
Sakabumbua podo malaikati
Temoo dua I yapai moiringia I kaanana tee weta I kaaina
Kambeli-mbeli manga incia siitu
I muhusara maedani kalalesa
O Nabiita atoku-toku umatina Tee apentaa paimia mobanguna
Israfiili atowi sangkakala
Bea banguna sabara antona tana
Sarangona suarana sangkakala Posabangumo paimia koburu
O Isilamu tee malingu kaafiri
Posabangumo sumbe-sumbere kaomu
Kawanamo o kadadi o binate Posabangumo naile I muhusara
Sakamatana Nabiita molabina
I apaika mia mobanguna yitu
Akoonimo Nabiita molabina Jibriilu sumakomo umatiku
Akoonimo Jibriilu siitu
Manga sumako mincuana umatimu
Indaa mangenge padanaa tua siitu Umbalakamo manusia mobari
Abuke mea I apai anguna tombu
Tee malingu tarafuna mbooresa
Akoonimo Jibriilu siitu Muhammadi sumakomo umatimu
Alipamo Nabiita molabina
Pakawaaka paimia umatina
Akoniimo Nabiita molabina Abakai manga umatina yitu
Siapa saja mereka manusia itu
Kecuali engkau yang mendahului
Yang bangun dari kubur
Lalu bangun menyusul yang lain Itulah tanda kemuliaanmu
Lalau bangun Sidiq yang benar
Abubakar ayahnya Aisya
Disusul Umar yang adil Keduanya sahabat yang mulia
Lalu berpakaian mereka ketiganya
Semua pakaian di surga
Mahkota dan kain yang mulia
Serta sepatu yang sangat bagus
Menumpangi buraq yang sangat cepat
Dipilihkan dari dalam surga
Itulah kemuliaan Tuhan kepadanya Menyayangi hamba yang tiga
Setelah selesai mereka itu
Pergilah mereka bertiga
Lebih dahulu Sidiq dari pada Umar Di depannya syafiil umat
Mengukuti Nabi yang mulia
Sekumpulan barisan para malaikat
Dan juga beberapa yang mengiringnya Di sebalah kana dan sebelah kirinya
Berjalan-jalan mereka itu
Di padang mahsyar yang teramat luasnya
Nabi Muhammad memerhatikan umatnya Menantikan orang yang akan bangkit
Israfil meniup sangkakala
Membangunkan semua isi kubur
Setelah mendengar suara sangkakala Bangunlah semua isi kubur
Baik Islam maupun kafir
Juga binatang di dalam tanah
Semua ikut bangun Bangun di padang masyhar
Setelah melihat Nabi kita yang mulia
Orang-orang yang bangun itu
Bertanyalah Nabi yang mulia Jibril, sana umatku?
Jibril menjawab
Mereka sana bukanlah umatmu
Tidak lama setelah itu Bermunculanlah manusia banyak
Memenuhi semua tempat
Dan segala susunan tempat tinggal
Berkata Jibril itu Muhammad, sana umatmu
Pergilah Nabi yang mulia
Menemui para umatnya
Bertanyalah Nabi yang mulia Bertanya kepada umatnya
Tuapamo komiu namisimiu
Umboo-mboore I nuncana koburumiu
Sarangona manga incia siitu
Potangisimo bari-baria siitu
O Nabiita safiili umati
Atangimo duka aoge-oge incana
Kama-kamata manga ummatina yitu
Osiitumo rouna kaasina Ee karoku fikira mpuu-mpuu
Okaasina tee manga umatina
Opea bara inda ituruakamu
Beu osea I apai kasameana
Kasameana Nabiita molabina
Tapatotapu kaekata I Oputa
Tee tasabara I apaika bala
Tee tarela tee malingu kadalaana Tee tasikuru I Oputa momalangana
Adawu kita ni’mati bari-bari
Momaogena ni’mati Isilamu
Ni’matina atopene kabarina Ee karoku mate pada aumbamo
Ngalu hela padaaka atumpumo
Pamondomea kasangkana sawikamu
Pentaaka wakutuuna helamu Matemo yitu hela yindaa mobancule
Osiitumo bose mosatotuuna
Indamo ambuli paimia molingkana
Moporopena I dala incia siitu Matame itu intaana alimu
Itoku-tokuna paimia saalihi
Kasawika motopenena kalape
Oimani tasdiiki momatangka Kokombuna ala akea haufu
Kokombuna bakea-kea rijaa
Tawadu betao kapabelona
Mosaahida betao para bosena Ria dalati kamondona rabutana
Kinaati kasangkana kabokena
Ulina yitu mopatotona inca mangkilo
Opadomana mosusuakana dala Okuruaani tee hadisina Nabii
Obanderana sulaakea zuhudu
Tombi-tombina zikir tee tasubehe
Juru batuna sarai laahiri Juru mudina ilimu batiini
Mopolumena madadi mina I guru
Anakodana hidayatina Opu
Asangkaaka kamondona hela yitu Tawakalamo poaromu I Opumu
Adikaaka ngali ihelaakamu
Patotomea poropena Bangka yitu
Botukimea lipu mbooresa Masirahamu tee antona banuamu
Bagaimana persaan kalian
Tinggal di dalam kubur
Setelah mendengar itu
Bertangisanlah mereka semua Nabi kita syafiil umat
Menangis juga dengan sejadi-jadinya
Melihat-lihat umatnya tersebut
Itulah tanda sayangnya pada umatnya Wahai diriku, pikirkan betul-betul
Kasih sayang Nabi pada umatnya
Betapa engkau masih tak patuh
Untuk mengikuti segala petuahnya
Pesan Nabi kita yang mulia
Tetapkanlah takutmu pada Tuhanmu
Dan sabarlah bila bala menimpamu
Dan rela pada kelalaian kita Bersyukur pada Tuhan Yang Agung
Memberi kita nikmat yang berlimpah
Yang besar adalah nikmat Islam
Nikmat-Nya amatlah banyak Wahai diriku, kematian nanti akan datang
Angin berlayar sudah akan berhembus
Siapkan kelengkapan tumpanganmu
Menantikan waktu berlayarmu Mati itu pelayaran yang tidak kembali
Dan itulah pelayaran yang hakiki
Tidak kembali semua yang telah pergi
Yang menuju di jalan itu Mati itu yang dinantikan orang alim
Yang diharap-harapkan orang saleh
Dan tumpangan teramat baiknya
Iman dan tasdiq yang teguh Tiang perahu itu ambilkan khauf
Layarnya bentangkan rijaa
Tawadhu’ dijadikan layar depan
Mujahid untuk para pendayungnya Riyadhat kelengkapan tali-temalinya
Kina’at kelengkapan pengikatnya
Kemudinya meluruskan hati yang bersih
Sebagai kompas penunjuk arah Qur’an dan Hadits Nabi
Benderanya pasangkan zuhud
Fandelnya zikir dan tasbih
Juru batunya sara’i yang zahir Juru mudinya ilmu batin
Yang menimba air ilmu dari guru
Nahkodanya hidayah dari Tuhan
Kalau telah lengkap kesiapan berlayar itu Tawakallah menghadap Tuhanmu
Kapan angina berlayar sudah bertiup
Luruskan haluan perahu
Putuskan negeri tempat tinggalmu Sahabat, kenalan, dan seisi rumahmu
Pepuu mea kambotu motopenena
Zikiriillahu laa ilaaha illallahu
Neakawako garurana seetani
Tangasaana daangiiapo uhela Patotomea poropena Bangka yitu
Pangaawana boli ataurakea
Osiitumo uso imapasaaka
Neatosala poropena Bangka yitu Amapasaaka Bangka incia siitu
Tokarugimu naile muri-murina
Osiitumu kampadaa momadaki
Isarongimo suu’ul haatima
Alapamo beumatina Nabii
Asala mea millati Isilamu
Ee waOpu patotapua incaku
Poaroku kutonto maka zatumu Oiimani motopenena karosa
Kapupuaku tee husnul khatimah
Mulailah dengan keputusan yang tetap
Berzikirlah laa Ilaaha Illallah
Jika kamu didatangi godaan setan
Semetara engkau sedang berlayar Tetapkan haluan perahu itu
Jangan turunkan layarnya
Itulah angin topan yang bisa pecahkan kapal
Jika perahumu salah haluan Kalau akhirnya pecah perahumu
Kelak kau akan rugi pada hari kemudian
Itulah penghabisan yang buruk
Itu pula namanya su’ul kahtimah
Sudah lepas dari umat Nabi
Telah menyalahi garis-garis Islam
Wahai Tuhan, kuatkan hatiku
Hadapku menatap zat-Mu Keimanan yang kuat dalam diri
Akhirkanlah aku dengan husnul khatimah
Transkip Wawancara
Narasumber : La Ode Yusri
Jabatan : Peneliti Bahasa dan Sastra
Institusi : Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara
Hari, Tanggal : Rabu, 15 Agustus 2018
Waktu : 16.42-18.00 WIB
Wawancara ini dilakukan melalui telepon karena satu dan lain hal.
(T) Apa yang Anda ketahui dari fenomena Kabanti?
(J) Sebelumnya, kita harus mengetahu, ada dua jenis kabanti di
Buton, yaitu kabanti yang memakai alat musik dan memakai alat
musik.
Kelompok bangsawan tidak menggunakan alat musik, sementara
kelompok bukan bangsawan menggunakan alat music. Kabanti
Bangsawan lebih ke nasihat agama.
Non bangsawan (muda-mudi), isi kabantinya seputar syair-syair
percintaan di antara muda-mudi.
(T) Bagaimana posisi kabanti bangsawan dalam tradisi
budaya masyarakat kita saat ini, apakah terus dilestarikan,
misalnya dikembangkan dengan cara mengalihkan isi kabanti
ke budaya masyarakat saat ini seperti kesenian, pentas-pentas
teater, ataupun kajian agama?
(J) Ada semacam penurunan dan kabanti terancam punah.
Parahnya lagi, ancaman kepunahan itu tidak diikuti dengan upaya
pelestarian. Terutama oleh kelompok sanggar seni, limbo woilo.
Mereka lebih tertarik pada tarian, bukan hanya pada nyanyian.
Padahal, kabanti mengandung makna dan pesan nasihat yang
tinggi sekali, namun mereka belum melestarikan.
Kabanti yang tak bermusik ini kemurniannya dijaga, dan memang
tidak sembarang orang menyanyikannya. Dulu, begitu kuatnya
hegemoni Wolio, sampai seni pun diatur oleh Sultan. Ada seni
yang boleh didomine oleh bangsawan saja, dan ada seni yang
diatur oleh pemerintah yang bisa didomine oleh non-bangsawan.
(T) Jika masyarakat Buton hanya tertarik pada seni tarian
dan nyanyian (termasuk kabanti), lalu bagaimana posisi
kabanti jenis agama di dalam kesenian masyarakat Buton?
Terakhir setelah kegiatan, ada hasil baik yaitu kesadaran para guru
untuk melestarikan kabanti jenis bangsawan ini, sehingga
disarnkan untuk pemerintah agar ada lomba-lomba atau upaya
untuk menepis ancaman kepunahan kabanti. Sanggar fantastik,
diberi masukan agar memberi porsi untuk kabanti ini. Mereka
pernah melakukan rekaman kabanti bangsawan degan estetika
pakaian yang sesuai adat.
Transkip Wawancara
Narasumber : Al Mujazi
Institusi : Museum Kebudayaan Wolio
Hari, Tanggal : Kamis, 13 Maret 2014
Waktu : 16.00-17.00 WITA
Alamat : Jalan Labuke, Buton Sulawesi Tenggara
(tepatnya di benteng keraton buton)
(T) Kabanti merupakan sarana dakwah, apakah perlu
dibudayakan?
(J) “Seharusnya apa yang telah kita awali dari kabanti tetap kita
lanjutkan, jangan diputuskan.”
(J) Apa sajakah isi kandungan kabanti wolio?
Kabanti semua mengandung ajaran. Baik buruknya tingkah laku
kita dan mengetahui jati diri kita. Termasuk sejarah dan keadaan
benteng buton ini tersimpan dalam kabanti. Seperti kabanti-kabanti
lainnya juga merupakan ajaran untuk menuju pada kesalehan dan
beradab bagi manusia itu sendiri.
(T) Bagaimana fungsi kabanti sebenarnya?
(J) “Bagi orang tua ketika ingin membacakan kabanti, mereka
mengumpulkan keluarganya dan beberapa sanak saudaranya
dalam satu forum informal. Kemudian, pembaca kabanti akan
menjelaskan makna dari kandungan kabanti tertentu sesuai judul
yang akan dikaji. Semua akan diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari sejauh mana dia memahami.”
(T) Mengapa sebagian manuskrip enggan dikasih oleh sumber
atau pemegang naskah (manuskrip) tersebut?
(J) “Pernah ada seorang peneliti yang datang ke buton, kemudian
sebagian yang memegang sumber naskah memberikannya untuk
keperluan akademis. Namun, ternyata seorang peneliti tersebut
hanya mementingkan kebutuhan tertentunya.”
Mengetahui,
Al-Mujazi
Transkip Wawancara
Narasumber : Lambalangi
Institusi : Tokoh dan Praktisi Kabanti
Hari, Tanggal : Selasa, 25 Maret 2014
Waktu : 19.45- 20.30 WITA
Alamat : Kelurahan Tarafu, Babau Sulwesi Tenggara
(T) Bgaimana gerakan kabanti yang dilakukan oleh
masyarakat saat ini dan apa yang telah Anda lakukan?
(J) “Salah satu penyebab mengapa kabanti sudah tidak dilestarikan
lagi adalah berkurangnya orang wolio asli. “Orang Wolio sudah
berkurang tapi Orang di Wolio sudah semakin banyak”. Karena
memang masyarakat Buton sekarang sudah kurang mengerti
berbahasa wolio. Oleh karena itu, setelah beberapa lama pensiun,
pada tahun 1992 saya berpikir apa yang harus saya kerjakan? Pada
saat yang sama saya dibayang-bayangi akan makin punahnya
bahasa wolio. Sehingga, saya menyalin dan menyetak beberapa
kabanti. Semua kabanti yang saya cetak ini ada tujuh buku, ada
yang bertuliskan wolio da nada juga yang latin.”
(T) Ada berapa jumlah “judul” kabanti?
(T) “Kata para orang tua dulu ada 100 lebih judul kabanti yang
tertulis. Namun, hingga saat ini sudah 21 tahun yang ditemukan
baru 35 judul kabanti.
Apa latar belakang ditulisnya kabanti wolio?”
(T) Bagaimana fungsi kabanti pada masa kesultanan?
(J) “Pada 1824 di masa Diponegoro, karena pergaulan di Buton
sudah jauh dari norma-norma agama sehingga Muhammad Idrus
Kaimuddin membuat kabanti pada saat itu. Kabanti yang dibuat
kadang dinyanyikan pada waktu masyarakat lagi meminum
khomar dan berjudi serta aktivitas yang menyimpang lainnya.
Aktivis kabanti saat itu tidak menegur secara langsung orang-
orang yang telah menyimpang dari norma-norma agama. Akan
tetapi justru mereka menyanyikan kabanti agama di saat aktivitas
mereka.”
(T) Bagaimana masyarakat menggunakan kabanti saat ini?
(J) “Saati ini sudah longgar akidah, jadi cukup berhati-hati.
Akhirnya kabanti akan menjadi hal yang tidak penting lagi.
Masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan peninggalan budaya
islam ini. Seperti halnya, banyak manusia yang belajar ilmu
berenang tapi melupakan Ilmu menyelam. Saati ini sudah banyak
lagu dangdut dan itu sangat diminati daripada senandung kabanti.”
Mengetahui,
Lambalangi
TRANSKIP WAWANCARA
Narasumber : Syafiuddin
Institusi : Universitas Dayanu Ikhsanuddin
(Unidayan) Baubau Sulawesi Tenggara
Jabatan : Dosen aktif
Hari, Tanggal : Minggu, 23 Maret 2014
Alamat : Kelurahan Bataraguru, Baubau Sulawesi
Tenggara
(T) Bagaimana metode pengajaran atau pengamalan kabanti
di zaman dulu?
(J) “Narasi dari Kabanti Bula Malino adalah sistim pemahaman di
dalam pelaksanaan tasawuf. Salah satu tarekat yang digemari oleh
orang tua dahulu. Pemahaman narasi kabanti oleh guru, dalam arti
mengajarkan langsung kepada murid atau memberikan petunjuk
makna dari naskah oleh guru kepada murid. Begitulah sistim tata
cara pelaksanaan pemahaman daripada narasi kabanti itu. Kabanti
adalah sistim pengamalan tarekat. Kabanti Bula Malino ini adalah
tarekat.
(T) Selain pemahaman tasawuf, apa lagi yang direpsentasikan
kabanti?
(J) “Bula malino adalah etika islam, yang mana ajarannya ini
adalah ajaran tasawuf. Kabanti dipakai setiap kali oleh mereka di
samping pengkajian, mereka langsung mengamalkan isi dari pada
kabanti. Karena cerita dalam kabanti mengenai bagaimana
Pengarang berupaya tidak berpisah dengan Penciptanya.”
(T) Apa yang Anda pahami dari seluruh nasehat pengarang
kitab tersebut?
(J) “Objek atau kunci akhir daripada kabanti ini adalah untuk
betul-betul menjadi seorang insan kamil di hadapan Allah swt.
Pada waktu itu kabanti merupakan pendidikan informal yang
tertuju kepada ketinggian tauhid seseorang.”
Mengetahui,
Syafiuddin