Download - Sejarah Singkat Tokoh NU
SEJARAH SINGKAT TOKOH-TOKOH NU
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Semester II Mata Kuliah Ke-NU-an
Dosen Pengampu: H. Ahmad Yani, S.Ag., M.Pd.I
Disusun Oleh :
Partini
NIRM. 12.1532
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
2013
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur hanya milik Allah SWT, atas segala limpahan nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dalam makalah ini, penulis menyajikan materi berupa biografi dari tokoh-
tokoh intelektual muslim dari berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama maupun
gagasan-gagasan pemikirannya yang beliau tuangkan dalam sebuah buku yang
berupa karya sastra atau yang lain yang dapat dimanfaatkan demi kemajuan
bangsa ini.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritik demi perbaikan
makalah ini selanjutnya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, 31 Mei 2013
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 2
C. Rumusan Masalah ................................................................... 2
D. Tujuan Penulisan ..................................................................... 2
E. Manfaat Penulisan ................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 3
A. KH. Bisri Musthofa ................................................................. 3
B. KH. Abdurrahman Wahid ........................................................ 6
C. KH. Abdul Wahid Hasyim ....................................................... 8
D. Nur Kholis Madjid ................................................................... 10
E. KH. Ali Yafie .......................................................................... 13
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 16
A. Kesimpulan ............................................................................. 16
B. Saran ....................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 17
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awal abad ke-20 sering dikatakan sebagai masa kebangkitan
pendidikan Islam di Indonesia, ditandai dengan munculnya ide-ide dan usaha
pembaruan pendidikan Islam, baik oleh pribadi-pribadi maupun organisasi-
organisasi keagamaan yang concern di bidang ini. Tujuannya untuk
memperbaiki kondisi pendidikan kaum muslimin yang semakin terpuruk di
wilayah ini, sejak diperkenalkannya sistem kelembagaan pendidikan baru oleh
pemerintah kolonial, dalam rangka menghadapi berbagai tuntutan dan
kebutuhan hidup masyarakat di masa modern. Ide dasarnya adalah bahwa
memperbarui sistem-kelembagaan pendidikan Islam merupakan keniscayaan
yang tak bisa ditunda-tunda, jika kaum muslimin tidak ingin mengalami
ketertinggalan dengan Barat.
Nahdlatul Ulama sebagai sebagai salah satu ormas terbesar di
Indonesia banyak melahirkan cendikiawan muslim yang handal. Beberapa
diantaranya seperti KH. Bisri Musthofa, KH. Abdurrahman Wahid, KH.
Abdul Wahid Hasyim, dan lain-lain.
Banyak karya-karya mereka yang bermanfaat dalam rangka mengatasi
problematika umat. Beberapa karya mereka dapat berbentuk karya sastra,
bibliografi, biografi maupun gagasan mereka yang dapat dipelajari demi
kemajuan bangsa dan negara ini.
Dalam penyusunan makalah ini menggunakan metode deskriptif
analitis, yakni penulis berusaha melengkapi kajian-kajian yang difokuskan
pada pemikiran dan usaha-usaha dari para tokoh yang dibahas dalam
pembahasan, yakni KH. Bisri Musthofa, KH. Abdurrahman Wahid, KH.
Abdul Wahid Hasyim, Nur Kholis Majid, maupun Ki Hajar Dewantara. Kedua
aspek ini penting diperhatikan secara serempak untuk mendapatkan gambaran
yang utuh mengenai biografi maupun corak pembaruan seperti diusahakan.
2
B. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dalam makalah ini, antara lain :
1. Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas terbesar yang banyak
melahirkan cendikiawan muslim yang handal.
2. Banyak gagasan-gagasan dari para tokoh yang dapat dipelajari guna
menambah wawasan, yang dituangkan dalam bentuk karya sastra,
bibliografi, maupun yang lainnya.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, maka penulis dapat membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah atau biografi dari masing-masing tokoh di atas?
2. Apa yang menjadi gagasan-gagasan dan pemikiran dari para tokoh guna
memajukan bangsa ini, terutama dalam bidang pendidikan?
D. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui biografi dari masing-masing tokoh yang dibahas.
2. Mengetahui gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dalam rangka
pembaharuan terutama dalam bidang pendidikan.
E. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Menambah wawasan keilmuan baik berupa biografi tokoh maupun garis
pemikirannya dalam memajukan bangsa ini.
2. Manfaat Praktis
Memenuhi tugas semester II mata kuliah Ke-NU-an .
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. KH. Bisri Musthofa
1. Profil KH. Bisri Musthofa
KH. Bisri Mustofa, adalah figur kiai yang alim dan kharismatik.
Beliau adalah pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang
Jawa Tengah. Beliau dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen
Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 oleh kedua orang tuanya, yakni
H. Zaenal Mustofa dan Chotijah dan diberi nama Mashadi. Beliau
memiliki tiga saudara yaitu Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum.
Setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923, Ia mengganti nama
dengan Bisri. Selanjutnya. Ia dikenal dengan nama Bisri Mustofa.
KH. Bisri Musthofa menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren
Kasingan Rembang, yang diasuh oleh Kiai Cholil. Selain di pesantren
Kasingan, KH. Bisri Musthofa juga mengaji pasanan (pengajian pada
bulan puasa) di pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asy’ari
dan kemudian beliau belajar agama suci Makah tahun 1936 kepada Kiai
Bakir, Syaikh Umar, Syaikh Umar Khamdan al-Maghribi, Syaikh Maliki,
Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, dan Kiai Muhaimin.
Kiai Cholil Kasingan, selain sebagai guru, beliau juga sebagai
mertua KH. Bisri, ia dinikahkan dengan putri Kiai Cholil yang bernama
Ma’rufah. Dalam pernikahannya ini, beliau dikaruniai delapan orang anak,
yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950),
Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah
(lahir 1975) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Mbah Bisri
kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa
Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an.
Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut, dikaruniai satu orang
putera laki-laki bernama Maemun.
4
2. Gagasan dan Pemikiran KH. Bisri Musthofa
a. Penulis yang produktif
Ditengah kesibukannya mengajar di pesantren, menjadi
penceramah, bahkan politisi. beliau tetap menyempatkan diri untuk
menulis, dan waktu luangnya, tidak dilewatkannya begitu saja, bahkan
di kereta, di bus, di mana saja, ia sempatkan untuk menulis. Banyak
kitab, baik bertema berat, maupun ringan lahir sebagai karya tulisnya.
Di antara karyanya yang paling terkenal adalah, tafsir Al-Ibriz, yang
disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang
santri, yaitu : 1) Munshorif, 2) Maghfur, dan 3). Ahmad Shofwan
(sekarang tinggal di Benowo Surabaya) kemudian kitab Al-Usyuthy,
terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab
Alfiyah Ibnu Malik.
Tidak hanya tema-tema yang berat saja yang ditulis oleh beliau,
tema-tema yang ringan pun ternyata juga Beliau tulis, seperti buku
kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar
lan Sholihah; naskah drama Nabi yusuf lan Siti Zulaikha; Syi’iran
Ngudi Susilo; dan sebagainya. Di luar kitab-kitab dan buku-buku
tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya.
Dalam menulis, beliau memiliki falsafah ‘falsafah’ yang
menarik. Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putra
Mbah Bisri, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang
dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak,
tentang tulis-menulis ini. “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak
kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali
Maksum ketika itu, dengan nada kelakar, seperti biasanya, “tapi
mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya
selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet
tak bisa melanjutkan.”. Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus,
Mbah Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala
sih!” Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali. “Lho Kiai menulis
5
kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?” Mbah Bisri menjawab:
“Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam
menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada
tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya
sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit , periuknya
bisa ngguling,saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah
niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan
pekerjaan sampeyan tak akan selesai..”katan Mbah Bisri..”… Lha nanti
kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru
kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita
tipu.” Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa.
b. Agamawan Moderat
Pemikiran keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai
sangat moderat. Sifat moderat Mbah Bisri merupakan sikap yang
diambil dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh yang
mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya.
Pemikiran Mbah Bisri sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa adalah
seorang ulama Sunni, yang gigih memperjuangkan konsep Ahlus
Sunnah Wal Jamaah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus
Sunnah Wal Jamaah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, yang sampai tiga kali revisi, untuk disesuaikan
dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya
konsep amar ma’ruf nahi munkar yang dimaknai dan didasari oleh
solidaritas dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar ini ditunjukkan dengan disejajarkannya konsep
tersebut dengan rukun-rukun Islam yang ada lima.
6
B. KH. Abdurrahman Wahid
1. Profil Abdurrahman Wahid
Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara
leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil
Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang
telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata
"Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman
Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang
dilahirkan di Denanyar Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus
1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya,
K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah
Nahdlatul Ulama (NU) dan Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri
pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari
pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam
PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur
merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa
Indonesia.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca
dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga
aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan
tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel
dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur
tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi
wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen mancanegara tidak luput
dari perhatiannya.
Disamping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola,
catur dan musik. Dengan demikian tidak heran jika Gus Dur pernah
diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran
lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia
7
film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat
sebagai ketua juri Festival Film Indonesia. Dan beliau juga pernah
menjabat sebagai Presiden RI yang keempat.
2. Gagasan dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
Kehadiran Gus Dur—panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid,
Presiden RI Keempat dan Ketua Umum PBNU 1984-1999 yang wafat
pada 30 Desember 2009—tidak bisa dipisahkan dari sejarah kontroversi
dan kenylenehan di negeri ini, utamanya sepanjang era Orde Baru.
Semenjak kepulangan dari studinya di Mesir dan Irak sekitar awal 1970-
an, ia mulai membuat kejutan-kejutan baru. Baik lewat tulisan-tulisannya
di pelbagai media massa terkemuka saat itu, maupun lompatan-lompatan
tindakannya dari bandara tradisi habitatnya, pondok pesantren, Gus Dur
selalu menggulirkan wacana kritis ke hadapan publik—jika ia sendiri tidak
menjadi konsumsi untuk wacana publik. Pertanyaannya kemudian:
mengapa terjadi kontroversi dan mengapa dianggap nyleneh? Apakah
karena faktor Gus Dur yang memicu kontroversi ataukah karena kondisi
masyarakat atau negara yang belum siap menerima ajakan Gus Dur,
sehingga menimbulkan kontroversi dan menganggapnya nyleneh?
Pertanyaan ini penting dimajukan setidaknya karena dua hal.
Pertama, untuk menguji sejauhmana kualitas pemikiran Gus Dur di
hadapan publik sehingga mampu membuat kontroversi dan dianggap
nyleneh. Kedua, sebaliknya, untuk menilai sejauhmana kedewasaan
masyarakat atau negara dalam menghadapi dan menerima pemikiran-
pemikiran cerdas dan tindakan-tindakan kritis yang mengagetkan di luar
mainstream. Kedua hal ini memang harus dilihat dan diketahui agar kita
bisa membaca secara jernih pemikiran atau tindakan Gus Dur, baik dari
aspek substantif maupun dari segi pengaruh sosialnya ketika hal itu
dilontarkan.
8
Tema-Tema Pokok Pemikiran Gus Dur
Dari studi bibliografis yang dilakukan, ternyata ditemukan ada 493
buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000. Kini
hingga akhir hayatnya (2009) bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan
Gus Dur.
secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke
dalam tujuh tema pokok. Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan
besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya
maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:
a. Pandangan-dunia pesantren,
b. Pribumisasi Islam,
c. Keharusan demokrasi,
d. Finalitas negara-bangsa Pancasila,
e. Pluralisme agama,
f. Humanitarianisme universal, dan
g. Antropologi kiai.
C. KH. Abdul Wahid Hasyim
1. Profil KH. Abdul Wahid Hasyim
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH.
Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki
pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal
1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang
ramai dengan pengajian.
Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan
langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung
hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan
Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu,
silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi
salah satu raja Kerajaan Mataram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal
dengan sebutan Lembu Peteng.
9
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-
kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-
Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan
langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah
Salafiyah di Pesantren Tebuireng.
Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam
pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak
belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak
mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid
mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain
menguasai maknanya dengan baik.
Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah
pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari
Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di
pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa
hari saja. Setelah itu, pulang ke rumah kembali.
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama
Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15
tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-
Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU,
1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB/Pengasuh PP.
Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan
UI), Khadijah dan Hasyim.
2. Gagasan dan Pemikirannya
a. Menerapkan Sistem Madrasah ke dalam Sistem Pesantren
Pada tahun 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari,
dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke
dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi
menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir
awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa
10
lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani
diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah
khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum
madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa
Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu Bumi. Pada 1926, KH.
Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah
ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.
b. Pokok Pemikirannya
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran
Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam.
Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim,
dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat
dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh
tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani
dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas.
Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia
muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah
sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil
dan sesuai dengan ajaran Islam.
D. Nur Cholis Madjid
1. Profil Nur Kholis Madjid Prof. Dr. Nurcholish Madjid (lahir di Mojoanyar, Jawa Timur, 17 Maret
1939 – meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun) atau populer
dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan,dan budayawan
Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam, ide
dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan
kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat.
Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan
11
Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina,
sampai dengan wafatnya pada tahun 2005.
Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di
Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal
sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai
pesantren diantaranya Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang,
termasuk Pesantren Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN
Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di
Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi
tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
2. Gagasan dan Pemikirannya
a. Dalam Dunia Pendidikan
Nurcholish Madjid adalah salah satu tokoh pembaharu yang
banyak mengemukakan gagasan pembaruan Islam. Beliau beranggapan
perlu adanya peningkatan kualitas intelektual di kalangan muslim
termasuk kaum remaja, pelajar atau santri. Tidak hanya menguasai
ilmu agama saja, melainkan ikut bersaing dalam dunia modern,
sebagaimana yang pernah dicapai kaum muslimin abad pertengahan
yang menguasai banyak ilmu pengetahuan dan unggul dalam banyak
bidang.
Gagasan tentang pembaruan pesantren adalah bagian dari cita-
cita modernisasinya. Perspektif historis menempatkan pesantren pada
posisi yang cukup istimewa dalam khazanah perkembangan sosial-
budaya dan agama masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan apabila
pesantren diposisikan sebagai satu elemen determinan dalam struktur
piramida sosial masyarakat Indonesia.
Adanya posisi penting yang disandang pesantren menuntutnya
untuk meaminkan peran penting dalam setiap roses pembangunan
sosial baik melalui potensi pendidikan muupun pengembangan
masyarakat. Hal ini kiranya yang membuat Nurcholish Madjid begitu
12
bersemangat mengembangkan gagasanya tentang pembaruan
pesantren. Gagasanya dan pemikiranya tentang pesatren dapat dilihat
dari karyanya yang berjudul “Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret
Perjalanan ”. Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berpendapat
bahwa pesanten berhak, lebih baik dan lebih berguna mempertahankan
fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan
pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan suatu tinjuan kembali,
sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi
menjadi jawaban yang komprehensif atas persoalan hidup.
b. Pluralisme
Dilihat dari karya dan pemikiran Nurcholish Madjid
menunjukkan beliau begitu peka terhadap perkembangan Islam di
Indonesia. Melalui pemikiranya beliau berusaha membesarkan Islam
agar tidak hanya unggul dalam kuantitas namun juga kualitas, melihat
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sudah tentu banyak SDM
yang mampu dikembangkan. Beliau memberikan banyak kontribusi
dalam Islam, diantaranya budaya, pendidikan dan yang paling
menonjol adalah pluralisme. Jika dekade terakhir ini kita mengenal
K.H. Abdurrahman Wachid sebagai tokoh pluralisme, maka pada era
80-an Nurcholish Madjid adalah aktornya. Beliau hadir dengan paham-
paham barunya tidak terkecuali pluralisme. Dr. lulusan Chicago ini
dikenal sebagai tokoh yang concern atau commited terhadap berbagai
masalah kebangsaan.
Berangkat dari premis bahwa sekalipun semua agama intinya
sama, tapi manifestasi sosio-kulturalnya secara historia berbeda-beda.
Cak Nur (sapaan Nurcholish Madjid) menghendaki sejalan dengan
semangat Al quran agar fenomena lahiriah ini tidak menghalangi usaha
untuk menuju titk temu (common platform) antara semuanya. Menurut
Cak Nur umat Islam sebagai golongan mayoritas di Indonesia harus
menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil percaya diri dan
bersikap sebagai pamong yang bisa ngemong golongan-golongan
13
lainya. Teori inklusif cak nur sangat memberi tempat pada pluralisme
dan kebinekaan, dan mengharapkan umat Islam memberi perhatian
yang tinggi terhadap maslah tersebut. Cak Nur sering mengingatkan
bahwa pluralisme atau kemajemukan adalah kenyataan yang menjadi
kehendak Tuhan
E. KH. Ali Yafie
1. Figur KH. Ali Yafie
K.H. Ali Yafie lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah 1
September 1924, putra dari KH. Muhammad Yafie dan Hj. Aisyah. Ia lahir
dari keluarga terdidik dan sangat beruntung karena merupakan turunan
dari seorang ulama besar. Kakeknya Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah
seorang ulama terkemuka Indonesia yang pernah menjadi Guru Besar di
Masjid al-Haram. Dua ulama lainnya adalah Syaikh Nawawi al-Bantani
dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga pernah menjadi
Imam di Masjid al-Haram. Warisan kitab dari kakeknya sangat besar
peranannya dalam membentuk khazanah intelektual Ali Yafie. Ayah Ali
juga adalah seorang ulama yang pernah memimpin sebuah sekolah dengan
ratusan murid, selain itu juga mendirikan pesantren Nasrul Haq di
Amparita sekaligus menjadi pengasuhnya.
Ali Yafie terbilang cerdas, sebab dalam usia yang masih sangat
muda, 12 tahun ia sudah dapat membaca kitab kuning. Dengan modal ini,
maka ia pun dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada beberapa ulama
atau kiai terkenal ketika itu di Sulawesi Selatan antara lain, Syaikh Ali
Mathar (Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidrap), Syaikh Mahmud Abdul
Jawad (Bone), Syaikh As'ad (Sengkang), Syaikh Ahmad Bone
(Ujungpandang), Syaikh Abdurrahman Firdaus (Jampue-Pinrang). Selain
itu Ali Yafie juga mendalami ilmu pengetahuan umum dan beberapa
bahasa asing, jurnalistik, dan ilmu-ilmu bantu lainnya.
Ali Yafie dalam perjalanan karirnya pun beragam posisi dan
jabatan telah dilaluinya. Ia pernah aktif mengajar mulai dari madrasah
14
hingga perguruan tinggi bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas
Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar. Menjadi Hakim
Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Kepala Inspektorat Peradilan Agama
Wilayah Indonesia Bagian Timur, menjadi anggota staf harian merangkap
anggota dewan pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV
Hasanuddin. Ali Yafie juga aktif dalam dunia politik hingga
mengantarkannya menduduki posisi sebagai Rais Majelis Syura Partai
Persatuan Pembangunan dan mengantarkannya menjadi anggota
DPR/MPR RI. Ia menjadi wakil ketua Dewan Penasehat ICMI Pusat,
anggota Dewan Pengawas Syari'ah Bank Muamalat, wakil ketua Dewan
Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN (kini UIN) Syarif
Hidayatullah, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dan Guru Besar
Universitas Islam Asy Syafi'iyah. Pernah menjadi Rais 'Am Nahdlatul
Ulama, salah seorang unsur ketua MUI, bahkan pernah pula menjabat
sebagai ketua umumnya dan beberapa jabatan lainnya.
2. Gagasan dan Pemikirannya dalam Fiqih Sosial
Ali Yafie dalam kata pengantar bukunya Menggagas Fikih Sosial
mengakui bahwa uraiannya dalam buku tersebut bukanlah merupakan
fatwa, tetapi pemikiran yang berorientasi pada fikih dalam berbagai
macam persoalan menurut pandangan seorang santri. Ia menyadari betul
bahwa dirinya hanyalah seorang santri, meskipun oleh banyak kalangan
pemikirannya dipandang cukup menggambarkan seorang pemikir modern.
Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran Ali Yafie dalam
bidang fikih terkait dengan kehidupan sosial antara lain:
a. Fardhu Kifayah
Dalam pembagian hukum taklifi para ulama membuat lima
katagori hukum: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (Abdul
Wahab Khallaf, 1972: 159). Pembagian tersebut menghendaki adanya
perbuatan dari si mukallaf. Dari kelima pembagian tersebut satu di
15
antaranya akan dibahas adalah hukum wajib. Ulama fikih membagi
wajib ke dalam dua macam yaitu: wajib 'ain dan wajib kifayah.
Ali Yafie dalam memahami term ini mencoba untuk mencari
formulasi dengan memahami secara kontekstual. Dalam usaha
pembangunan nasional, norma fikih mesti dipahami secara lebih
aktual. Menurutnya, fardhu 'ain merupakan kewajiban individual atau
perorangan bagi pengembangan potensi dan pembinaan kondisi setiap
individu dalam mencapai kemaslahatan hidupnya, dan yang kedua
fardhu kifayah adalah kewajiban sosial kemasyarakatan dan
merupakan tugas kolektif untuk pengembangan potensi dan pembinaan
kondisi masyarakat dalam mencapai kemaslahatan umum (Ali Yafie,
2000: 161).
Ali Yafie tidak menyalahkan contoh fardhu kifayah yang
selama ini hanya ditujukan pada kewajiban shalat jenazah, tetapi ia
memahami bahwa makna fardhu kifayah di sini sangat pasif bahkan
cenderung negatif. Dengan argumentasi ini, Ali Yafie mencoba
memperkenalkan definisi Imam Rafi'i yang memberi makna aktif
terhadap fardhu kifayah. Definisi yang dimaksud sebagai yang dikutip
Ali Yafie adalah kewajiban yang menyangkut hal-hal umum berkaitan
dengan kemaslahatan baik bersifat keagamaan pun keduniaan yang
pelaksanaannya menjamin tegaknya kehidupan bersama (Ali Yafie,
2000: 162). Dicontohkan antara lain: upaya mengatasi kemelaratan
masyarakat, memenuhi kebutuhan sandang melalui zakat dan bayt al-
mal. Penyediaan lapangan kerja dengan berbagai profesi, pengajaran,
pendidikan, penyuluhan dan bimbingan masyarakat, kontrol sosial, dan
semua usaha untuk memakmurkan masyarakat.
Dengan demikian, untuk meneguhkan makna fardhu kifayah
secara aktif, dibutuhkan pemahaman yang lebih kontekstual, tanpa
bermaksud menyalahkan definisi dan contoh yang telah dianut umat
Islam selama ini. Jadi makna fardhu kifayah yang lebih aktif adalah
16
kewajiban kolektif untuk memajukan umat Islam yang selama ini
menderita dalam segala aspek kehidupan.
b. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah persoalan yang juga tidak
luput dari perhatian Ali Yafie. HAM pertama kali dideklarasikan di
Perancis tahun 1789 yang lebih popular dengan istilah Declaration des
Droits de l'Homme at du citoyen dengan slogannya yang terkenal sejak
saat itu, liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fratenite
(persaudaraan). HAM pada dasarnya lebih bersifat moral ketimbang
politik. HAM saat ini bahkan didengung-dengungkan dan hampir
menjadi tuntutan setiap orang karena merupakan milik asasi. Hak
hidup, mencari kerja, menuntut ilmu, mendapat perlakuan yang baik,
dihormati harga dirinya dan lain-lain, merupakan hak yang tidak boleh
diganggu oleh siapa pun. Ali Yafie dalam memahami HAM
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang muhtaram, yaitu
makhluk yang dimuliakan eksistensinya, ia dilarang dibunuh jika ia
makhluk hidup dan dilarang merusaknya jika ia makhluk tidak
bernyawa. Manusia menurutnya berstatus ma'shum, yaitu manusia
yang terlindungi oleh hukum.
c. Pengelolaan Zakat
Menurut Ali Yafie zakat memiliki dua aspek penting yaitu:
pengeluaran atau pembayaran dan penerimaan atau pembagian, dan
yang disebutkan pertama merupakan hal mutlak. Dari kalimat di atas
dapat dipahami bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk
membayar zakat sekaligus memiliki harta. Islam tidak menghendaki
umatnya sebagai penerima zakat belaka sebab hal tersebut
menunjukkan ketidakberdayaan sosial-ekonomi umat.
Yang disoroti oleh Ali Yafie adalah pemanfaatan dana zakat
yang selama ini dilaksanakan sesuai petunjuk fikih. Ali Yafie
mengatakan bahwa sistem pemerataan perlu ditinjau kembali.
Misalnya setiap penerima zakat diberi masing-masing 10 kg atau lebih
17
setiap tahunnya. Sistem ini oleh Ali Yafie dinilai tidak terlalu efektif.
Menurutnya, sistem lama ini perlu diubah dengan jalan memberikan
modal kepada penerima zakat hingga tidak lagi menjadi penerima
zakat tahun berikutnya, melainkan berubah menjadi pembayar zakat.
Dengan cara seperti ini diharapkan jumlah penerima zakat setiap
tahunnya semakin berkurang, di sisi lain pembayar zakat semakin
bertambah.
d. Lingkungan Hidup
Isu tentang lingkungan hidup juga tak lepas dari perhatian Ali
Yafie. Dalam membahas masalah lingkungan hidup, ia mengacu pada
QS. Al-A'raf: 156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang
meliputi segala sesuatu dan QS. Al-Anbiya': 107 yang menegaskan
tujuan pengutusan nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh
alam. Ia merujuk pada batang tubuh ajaran fikih yang meliputi empat
garis besar yaitu:
1. Rub'ul ibadat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan
khaliknya.
2. Rub'ul muamalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia
dalam lalu lintas pergaulan dengan sesamanya untuk memenuhi
hajat hidup sehari-hari.
3. Rub'ul munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia
dengan lingkungan keluarga, dan
4. Rub'ul jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanan dalam suatu
tertib pergaulan, yang menjamin keselamatan dan ketentraman
dalam kehidupan (Ibid, h. 132).
Menurut Ali Yafie, gambaran di atas adalah wajah
sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut meliputi bidang pokok
dari kehidupan umat manusia. Masalah lingkungan hidup tidak hanya
terbatas pada sampah, pencemaran, penghijauan kembali atau sekadar
pelestarian alam tetapi—lebih dari semua itu—masalah lingkungan
hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab ia
18
merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh
pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses
dari pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.
e. Pakaian
Pakaian merupakan salah satu yang membedakan antara
manusia dengan binatang, karena manusia mengenakan pakaian
sebagai pelindung dan penutup aurat, sedang binatang tidak. Dalam
Al-Qur'an, pakaian disebut dalam beberapa terma antara lain: libas,
siyab, zinah, dan riyas. Dua yang disebutkan pertama lebih mengacu
pada penutup aurat ("aurat" diartikan dengan rus'an sebagai
kehormatan, manusia lebih terhormat dari pada binatang karena
menutup aurat), sedangkan dua yang terakhir lebih pada perhiasan
(estetika).
Ali Yafie dalam membahas mengenai aurat sebagai bagian
tubuh yang harus tertutupi, membaginya menjadi dua macam.
Pertama, aurat mughallazah, yaitu kemaluan depan dan belakang,
dimana keduanya diprioritaskan untuk ditutup dan tidak boleh
membukanya kecuali darurat. Kedua, aurat biasa, yaitu bagian tubuh
antara pusat dan lutut. Bagi laki-laki terhadap sesamanya atau terhadap
perempuan mahramnya kecuali istrinya. Ketentuan ini juga berlaku
bagi perempuan terhadap laki-laki bukan mahramnya kecuali
suaminya. Ali Yafie menambahkan khusus bagi perempuan, seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, adalah aurat
terhadap laki-laki bukan mahramnya.
Ali Yafie mengakui bahwa budaya berpakaian adalah ciri
peradaban manusia sebagai makhluk terhormat. Ia menambahkan
bahwa standar berpakaian adalah takwa (pemenuhan ketentuan-
ketentuan agama Islam mengakui adanya kecenderungan manusia
untuk memilih makanan dan pakaian yang baik serta indah karena itu
adalah fitri bagi manusia.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan,
diantaranya:
1. Masing-masing tokoh notabenenya berasal dari keluarga pesantren. Selain
itu mereka berbeda dalam latar belakangnya. Ada yang berasal dari
budayawan, tokoh pendidikan, cendikiawan muslim maupun kalangan
pesantren.
2. Banyak buku-buku maupun kitab yang telah mereka tulis baik berupa
gagasan maupun pemikiran mereka, baik dalam bidang fiqih, pendidikan
maupun bidang sosial lainnya dalam rangka memajukan bangsa ini.
B. Saran
Makalah ini semoga dapat dilengkapi lagi dan dikaji semakin
mendalam mengenai biografi tokoh maupun garis pemikirannya sehingga
kelemahan maupun kekurangan dalam penyusunan makalah ini dapat
dilengkapi dan disempurnakan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abduddin Nata. (2004). Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
A. Aziz Masyhuri. (tt). 99 Kiai Kharismatik Indonesia. Yogyakarta: Kutub.
A. Qodri A. Azizy. (2003). Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern. Jakarta: Teraju.
Ali Yafie. (2000). Menggagas Fiqih Sosial. Bandung: Mizan
http://id.wikipedia.org/wiki/Mustofa_Bisri
http://www.sarjanaku.com/2012/12/biografi-gus-dur-profil-abdurrahman.html
Jamal D. Rahman. (1997). Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan.
Musthofa Bisri. (2005). Gus Mus dalam Taqdim Buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Musthofa. Yogjakarta: LKiS.