7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pembelajaran Matematika dalam Pandangan Konstruktivistik
Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir
(Hudojo, 2015). Matematika merupakan suatu kumpulan dari sistem simbolik
abstrak yang saling berkaitan mempunyai kekuatan yang menakjubkan. Dengan
kita sekedar memanipulasi simbul-simbul kita dapat menyimpulkan sesuatu yang
sahih. tidak dapat disangkal bahwa matematika pada dasarnya adalah mata
pelajaran yang abstrak. Karena matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi
simbul-simbul, maka konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dulu
sebelum memanipulasi simbul-simbul itu.Belajar matematika memerlukan murid
memahami konsep-konsep, dan kesulitan adalah konsep yang tidak dapat
dipelajari tanpa upaya intelektual, sering selama periode waktu yang cukup.
Brooks & Slavin (dalam Mustaji & Sugiarso, 2005) menyatakan bahwa
ciri khas teori belajar konstruktivisme adalah siswa harus menemukan dan
mengubah informasi yang kompleks menjadi lebih sederhana, bermakna, agar
menjadi miliknya sendiri. Dalam teori ini dikemukakan bahwa siswa selalu
membandingkan informasi yang satu dengan yang lain. Jika tidak cocok, siswa
berupaya mengubahnya agar sesuai dengan skematanya. Jadi belajar bersifat
konstruktif, artinya membangun makna, pemahaman dari bermacam-macam
informasi. Pandangan ini mempunyai dampak yang besar untuk pembelajaran,
karena mendorong siswa berperan lebih aktif dalam belajarnya.
8
Menurut Steffe dan Kieren (dalam Suherman, 2003) prinsip pembelajaran
dengan paham konstruktivisme diantaranya bahwa observasi, aktivitas
mendengar, pembicaraan matematika siswa merupakan sumber belajar mengajar
yang kuat, untuk kurikulum,dan untuk cara mengevaluasi pengetahuan siswa.
Dalam konstruktivisme proses pembelajaran senantiasa ‘problem centered
approach’ dimanja siswa dan guru terikat dalam pembicaraan yang memiliki
makna matematika.
Belajar matematika menurut konstruktivisme didefinisikan oleh Cobb
(dalam Suherman , 2003) sebagai proses di mana siswa secara aktif
mengonstruksi pengetahuan mereka. Ciri utama dari pembelajaran yang
berpedoman pada paham konstruktivisme adalah siswa mampu membangun
pengetahuan untuk dirinya sendiri. Membangun pengetahuan adalah suatu usaha
yang sangat aktif oleh siswa untuk memahami ide baru. Pengetahuan akan
terbangun jika siswa mampu mengaitkan pengetahuan awal yang telah dimiliki
siswa dengan pengetahuan baru serta adanya interaksi siswa dengan
lingkungannya. Pengetahuan awal didefinisikan sebagai fakta, ide/konsep, prinsip
yang telah dimiliki siswa sebelum mempelajari ide/konsep baru. Lovitt dan Clarke
(dalam Suherman, 2003) juga menambahkan bahwa kualitas pembelajaran
ditandai dengan seberapa luas dalam lingkungan belajar: (1) mulai dari
kemampuan mana siswa berada, (2) mengenali bahwa siswa belajar dengan
kecepatan berbeda dan cara yang berbeda, (3) melibatkan siswa secara fisik dalam
proses belajar, (4) meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner. Dengan
demikian pembelajaran matematika menurut paham konstruktivisme menuntut
9
siswa berperan aktif dan meminta siswa untuk berpikir lebih lanjut yang
mendorong penguasaan konsep yang semakin kuat oleh siswa.
2.2 Belajar dan Kesulitan Belajar Matematika.
Dalam proses belajar mengajar disekolah, baik di Sekolah dasar, Sekolah
Menengah, maupun Perguruan Tinggi seringkali dijumpai beberapa siswa atau
mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Aktifitas belajar bagi setiap
individu tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar,
kadang- kadang tidak. Kadang-kadang dapat dengan cepat menangkap apa yang
dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat, terkadang
semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit mengadakan konsentrasi. Karena
setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan individual inilah yang
menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan anak didik. Dalam
keadaan dimana anak didik/ siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya,
itulah yang disebut kesulitan belajar (Ahmadi dan Widodo Supriyono, 2004).
Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah
(kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non-inteligensi.
Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan
belajar. Dengan demikian masalah kesulitan dalam belajar itu sudah merupakan
problema umum yang khas dalam proses pembelajaran.
Di setiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki anak
didik yang berkesulitan belajar. Setiap kali kesulitan belajar anak didik yang satu
dapat diatasi, tetapi pada waktu yang lain muncul lagi kesulitan belajar anak didik
yang lain. Kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada siswa yang
dtandai adanya hasil belajar rendah dibanding dengan prestasi yang dicapai
10
sebelumnya. Kesulitan belajar itu merupakan suatu kondisi dalam proses belajar
yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil
belajar.
Berhubungan dengan pelajaran matematika, siswa yang mengalami
kesulitan belajar antara lain disebabkan oleh hal- hal sebagai berikut.
1. Siswa tidak bisa menangkap konsep dengan benar. Siswa belum sampai
keproses abstraksi dan masih dalam dunia konkret. Dia belum sampai
kepemahaman yang hanya tahu contoh- contoh, tetapi tidak dapat
mendeskripsikannya.
2. Siswa tidak mengerti arti lambang-lambang. Siswa hanya menuliskan/
mengucapkan tanpa dapat menggunakannya. Akibatnya, semua kalimat
matematika menjadi tidak berarti baginya.
3. Siswa tidak dapat memahami asal- usul suatu prinsip. Siswa tahu apa
rumusnya dan menggunakannya, tetapi tidak mengetahui dimana atau
dalam konteks apa prinsip itu digunakan.
4. Siswa tidak lancar menggunakan operasi dan prosedur. Ketidaksamaan
menggunakan operasi dan prosedur terdahuluberpengaruh kepada
pemahaman prosedur lainnya.
5. Ketidaklengkapan pengetahuan. Ketidaklengkapan pengetahuan akan
menghambat kemampuan siswa untuk memecahkan masalah matematika,
sementara itu pelajaran terus berlanjut secara berjenjang.
Kesulitan siswa dalam penelitian ini adalah suatu kondisi di mana siswa
tidak mampu menyelesaikan masalah soal cerita dengan benar. Adapun indikator
kesulitan siswa pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
11
Tabel 2.1 Indikator Kesulitan Siswa
Jenis Kesulitan
Menentukan Kondisi Awal
Menentukan Sistem Persamaan
Menyelesaikan Sistem Persamaan
Mengecek Jawaban
Indikator Kesulitan
Siswa tidak menentukan variabel, apa yangdiketahui dan apa yang ditanyakan.
Siswa tidak dapat mengganti soal cerita kedalam bentuk model matematika.
Siswa tidak dapat menyelesaikan sistempersamaan,
Siswa salah dalam menghitung.
Siswa tidak mengecek jawaban dan tidakmenarik kesimpulan.
2.3 Soal Cerita Matematika
Soal cerita bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
pemecahan masalah matematika. Adapun yang dimaksud dengan soal cerita
matematika adalah soal-soal matematika yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat
bentuk cerita yang perlu diterjemahkan menjadi kalimat matematika atau
persamaan matematika. Adanya soal cerita dalam matematika secara tidak
langsung dapat membantu siswa dalam menunjukkan bahwa belajar matematika
tidak hanya sekedar main angka dan hitungan saja, tetapi dapat berguna dalam
kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat menyelesaikan soal cerita dengan benar diperlukan
kemampuan awal, yaitu (1) kemampuan membaca soal, (2) kemampuan
menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal, (3)
kemampuan membuat model matematika, (4) kemampuan melakukan
perhitungan, (5) kemampuan menulis jawaban akhir dengan tepat. Kemampun-
kemampuan awal tersebut dapat menunjang dalam menyelesaikan soal cerita. Hal
tersebut diperinci dengan langkah-langkah penyelesaian sebagai berikut:
12
1. Membaca soal dengan teliti untuk dapat menentukan makna kata dari kata
kunci di dalam soal.
2. Memisahkan dan menentukan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan.
3. Menentukan metode yang akan digunakan untuk meyelesaikan soal cerita.
4. Menyelesaikan soal cerita menurut aturan-aturan matematika, sehingga
mendapatkan jawaban dari masalah yang dipecahkan.
5. Menulis jawaban dengan tepat.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan soal cerita adalah soal
matematika yang disajikan dengan kalimat yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari serta memuat masalah yang menuntut penyelesaian masalah. Tujuan
dalam penelitian ini diberikan soal cerita karena untuk mengetahui cara siswa
menyelesaikan masalah serta mengetahui kesalahan-kesalahan yang dialami oleh
siswa sehingga peneliti dapat memberikan scaffolding. Dengan pemberian
scaffolding terhadap kesalahan yang dialami siswa maka siswa akan dapat
menyelesaikan soal cerita dengan baik.
Dengan penyelesaian soal cerita, siswa diharapkan mampu mengambil
keputusan. Hal ini disebabkan siswa tersebut menjadi terampil tentang bagaimana
mengumpulkan informasi yang relefan, menganalisis informasi dan menyadari
betapa perlunya meneliti kembali hasil yang diperoleh. Apabila latihan tersebut
dapat dilakukan sedini mungkin berarti siswa akan terbiasa untuk memecahkan
masalah dan menyelesaikan soal yang berbentuk cerita dengan cepat dan benar.
Soal cerita dalam pengajaran matematika sangat penting bagi
perkembangan proses berpikir siswa, sehingga keberadaannya mutlak diperlukan.
13
Menyelesaikan soal cerita diperlukan keterampilan dan kemampuan berpikir,
sehingga bagi siswa perlu ada bimbingan dari guru baik secara lisan maupun
tertulis dalam menyelesaikan soal cerita. Apabila tanpa bimbingan atau siswa
harus menyelesaikan sendiri maka akan menjadi masalah bagi siswa.
2.4 Scaffolding
Scaffolding merupakan bantuan-bantuan yang diberikan kepada siswa
untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa
pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan
siswa belajar mandiri. Dalam kamus Bahasa Inggris, Scaffolding artinya perancah;
membangun perancah. Dalam kamus Bahasa Indonesia perancah adalah bambu
(papan, dsb) mirip dengan perancah yang digunakan oleh para pekerja bangunan
yang tengah membangun sebuah gedung.
Wood, dkk, Slavin (2012) menyatakan bahwa “Typically, scaffolding
means providing a child with a great deal of support during the early stages of
learning and then diminishing support and having the child take on increasing
responsibility as soon as she or he is able”. Scaffolding berarti menyediakan
banyak bantuan atau dukungan kepada seorang siswa selama tahap awal
pembelajaran dan kemudian mengurangi dan menghilangkan dukungan dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Bentuk dukungan/ bantuan
dapat berupa intervensi yakni bimbingan, pengarahan, petunjuk, pertanyaan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberi
contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa dapat belajar
secara mandiri.
14
Wood, dkk (dalam Anghileri, 2006) mengidentifikasikan karakteristik dari
Scaffolding yang digunakan untuk membantu menyelidiki ciri-ciri interaksi orang
tua dan anak dalam pembelajaran. Karakteristik yang dimaksud yaitu: (1)
Recruitment, yaitu mendaftar keinginan siswa dan kesetiaan syarat dari tugas
(enlisting te learner’s interest and adherence to the requiremets of the task); (2)
Reduction in degrees of freedom, yaitu menyediakan tugas sehingga umpan balik
dapat diatur pada suatu taraf dapat digunakan untuk koreksi (simplifying the task
so that feed-back is regulated to a level that could be used for correction ); (3)
Direction maintenance (memelihara arah) yaitu menjaga siswa dalam mengejar
tujuan tertentu; (4) Marking critical features (memahami fitur penting) yaitu
mengonfirmasi/mengecek beberapa pertentangan taksiran; (5) Frustration control,
yaitu merespons kondisi emosi siswa; dan (6) Demonstration, yaitu memodelkan
penyelesaian tugas.
Anghileri (2006) mengusulkan tiga hierarki dari penggunaan Scaffolding
yang merupakan dukungan dalam pembelajaran matematika yaitu:
Level 1: Environmental provisions (Classroom organization, artefacts).
Pada level ini, siswa didukung untuk belajar mandiri. Bantuan guru adalah
menyiapkan lingkungan belajar di kelas sebelum bertatap muka dengan siswa
seperti pengaturan kelompok, tugas terstruktur seperti lembar kerja siswa.
Pengaturan kelompok dapat menciptakan pembelajaran yang berkolaborasi antara
teman sebaya (peer collaboration ). Kegiatan ini dapat dilakukan dengan siswa-
siswa beraksi bersama untuk menyelesaikan permasalahan. Memodifikasi tugas
untuk memasukkan unsur mengoreksi diri sendiri (self-correcting) dapat
menyediakan umpan balik lebih lanjut yang mendorong belajar otonomi siswa.
15
Dengan kegiatan tersebut, siswa tidak hanya menemukan suatu penyelesaian,
tetapi juga dapat merefleksi proses yang dilibatkan dalam suatu penyelesaian.
Environmental provisions juga termasuk artefacts seperti pajangan dinding, alat
peraga, teka teki, dan peralatan lain yang dapat mendukung pembelajaran.Tabel
Gambar 2.1 Environmental Provisions
Level 2: Explaining, reviewing, and restructuring
Pada level ini, terdapat interaksi langsung antara guru dan siswa. Interaksi
tersebut meliputi menjelaskan, mengulas, dan restrukturisasi. Menjelaskan
merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan ide/konsep yang dipelajari.
Pada tahap ini, interaksi guru dan siswa mendorong pengalaman untuk
memfokuskan perhatian siswa pada aspek-aspek yang berhubungan dengan
matematika. Mengulas, meninjau, dan restrukturisasi merupakan cara yang
digunakan untuk mengidentifikasi pola-pola interaksi yang lebih responsif antara
siswa dengan guru. Pada tahap ini, guru dilibatkan untuk membuat adaptasi
modifikasi pengalaman dan membawa matematika terlibat lebih dekat dengan
pemahaman yang ada pada siswa.
16
Gambar 2.2 Explaining, Reviewing dan Restructuring
Level 3 : Developing conceptual thinking
Pada level ketiga, strategi menjadi keharusan. Level ini menuntut
pembelajaran matematika lebih banyak melibatkan kemampuan untuk mengulang
prosedur yang telah dipelajari dan untuk menyelesaikan masalah yang dibatasi.
Tingkat tertinggi dari scaffolding ini terdiri dari interaksi pengajaran yang secara
eksplisit merupakan mengembangkan pemikiran konseptual dengan menciptakan
kesempatan untuk mengungkapkan pemahaman pada siswa dan guru bersama-
sama. Pada tahap ini, siswa didukung untuk membuat koneksi dan
mengembangkan alat-alat representasi. Siswa juga dilibatkan dalam wacana
konseptual yang dapat meningkatkan daya pikir.
Gambar 2.3 Developing Conceptual Thinking
Berikut ini akan diurakan secara lengkap pedoman yang digunakan dalam
pelaksanaan scaffolding dalam menyelesaikan soal cerita :
17
Tabel 2.2 Pedoman dalam Pelaksanaan Scaffolding dalam Menyelesaikan Soal
Cerita
Jenis Kesulitan Siswa Interaksi Scaffolding Scaffolding yang diberikan
Memahami Masalaha. Menentukanapa yang diketahui
Explaining
Reviewing
Restructuring
1.Memfokuskan perhatiansiswa pada soal denganmembacakan ulang soal danmemberi penekanan padakalimat yang memberikaninformasi penting.2.Meminta siswa untukmembaca soal kembali danmemintanya untukmengungkapkan informasiapa saja yang ia dapatkan.3.Melakukan tanya jawabuntuk mengarahkan siswa kejawaban yang benar.
b. Menentukanapa yang ditanyakan
Explaining
Reviewing
Restructuring
1.Memfokuskan perhatiansiswa pada soal denganmembacakan ulang soal danmemberi penekanan padakalimat yang memberikaninformasi penting.2.Meminta siswa untukmembaca soal kembali danmemintanya untukmengungkapkan informasiapa saja yang ia dapatkan.3.Melakukan tanya jawabuntuk mengarahkan siswa kejawaban yang benar.
Membuat model matematikaa. Menentukanvariable Explaining
Reviewing
Restructuring
1.Memfokuskan perhatiansiswa pada soal denganmembacakan ulang soal danmemberi penekanan padakalimat yang memberikaninformasi penting.2.Meminta siswa untukmembaca soal kembali danmemintanya untukmengungkapkan informasiapa saja yang ia dapatkan.3.Melakukan tanya jawabuntuk mengarahkan siswa kejawaban yang benar.4.Menyederhanakan sesuatuyang abstrak pada soalmenjadi yang lebih dapatditerima oleh siswa.5.Membawa siswa ke situasiterkait yang telah siswa kenal.
b. Membuat Reviewing 1.Meminta siswa membaca
18
model matematikaReviewing
Restructuring
apa yang diketahui soal.2.Meminta siswa untukmencermati variabel yangsudah ditentukan.3.Melakukan tanya jawabuntuk mengarahkan siswa kejawaban yang benar.
Menyelesaikan persamaan Reviewing
Restructuring
1.Meminta siswa untuk telitidalam mengoperasikanbentuk-bentuk aljabar.2.Menyederhanakan sesuatuyang abstrak pada soalmenjadi yang lebih dapatditerima oleh siswa.3.Membawa siswa ke situasiterkait yang telah siswa kenal.
Menerjemahkan variabel yangdidapatkan
Reviewing
Developing conceptualthinking
1.Meminta siswamenunjukkan hasilpekerjaannya.2.Mengarahkan siswa untukmenghubungkan variabelyang ditentukan denganjawaban yang diperoleh siswa.
Memberi kesimpulan Reviewing
Developing conceptualthinking
1.Meminta siswamenunjukkan hasilpekerjaannya.2.Mengarahkan siswa untukmenghubungkan variabelyang ditentukan denganjawaban yang diperoleh siswa.
Secara umum langkah-langkah pembelajaran scaffolding adalah sebagai
berikut :
1. Menjelaskan materi pembelajaran.
2. Menentukan level perkembangan siswa berdasarkan tingkat kognitifnya
dengan melihat nilai hasil belajar sebelumnya.
3. Mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya.
4. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjengjang yang berkaitan
dengan materi pembelajaran.
5. Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan soal-soal
secara mandiri dengan kelompok.
19
6. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata
kunci atau hal lain yang dapaat memancing siswa ke arah kemandirian
belajar.
7. Mengarahkan siswa yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk
membantu siswa yang memiliki kemampuan rendah.
8. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.
Dalam penelitian ini, scaffolding yang diberikan berupa dukungan untuk
belajar dan mengatasi masalah yang berupa petunjuk, pengingat, dorongan,
menyederhanakan permasalahan, memberikan contoh dalam menyelesaikan soal
cerita pada materi sistem persamaan linier datu variabel. Pemberian scaffolding
pada siswa dilakukan secara tatap muka dan dilakukan secara satu persatu. Hal ini
disebabkan bahwa setiap siswa memerlukan bantuan yang berbeda karena
kesulitan yang dihadapi juga berbeda. Dengan cara ini diharapkan pemberian
scaffolding dapat dengan tepat membantu mengatasi kesulitan siswa dalam
menyelesaikan permasalahan soal cerita pada materi sistem persamaan linier satu
variabel.
2.5 Sistem Persamaan Linier Dua Variabel
Persamaan linier dua variabel adalah persamaan yang mengandung dua
variabel dimana pangkat atau derajat tiap-tiap variabel sama dengan satu. Bentuk
umum persamaan linier dua variabel adalah + = , dimana dan adalah
variabel.
Sedangkan sistem persamaan dua variabel adalah dua persamaan linier dua
variabel yang mempunyai hubungan diantara keduanya dan mempunyai satu
penyelesaian. Bentuk umum sistem persamaan dua variabel adalah : + =
20
, px + qy = r, dimana dan disebut variabel, , , dan disebut koefisien,
dan disebut konstanta.
Metode-metode yang digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan
linier dua variabel adalah sebagai berikut :
1. Metode Eliminasi
Dalam metode eliminasi, salah satu variabel dieliminasikan atau
dihilangkan untuk mendapatkan nilai variabel yang lain dalam sistem
persamaan linier dua variabel tersebut. Untuk mengeliminasi suatu
variabel, samakan yang akan dieliminasi, kemudian kedua persamaan
dijumlahkan atau dikurangkan.
2. Metode Substitusi
Dalam metode substitusi, suatu variabel dinyatakan dalam variabel yang
lain dari sistem persamaan linier dua variabel tersebut. Selanjutnya
variabel ini digunakan untuk mengganti variabel lain yang sama dalam
persamaan lainnya sehingga diperoleh persamaan satu variabel.
3. Metode Campuran (Eliminasi dan Substitusi)
Dalam metode ini, nilai salah satu variabel terlebih dahulu dicari dengan
metode eliminasi. Selanjutnya nilai variabel ini disubstitusikan ke salah
satu persamaan sehingga diperoleh nilai variabel sama.
4. Metode Grafik
Penyelesaian sistem persamaan linier dua variabel dengan metode grafik
adalah titik potong kedua garis dari persamaan linier penyusunan.
21
2.6 Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita telah
banyak dilakukan. Beberapa diantaranya yaitu :
Penelitian Sulistiyorini (2016) yang berjudul Analisis Kesulitan Siswa
Dalam Pemecahan Masalah Soal Cerita Matematika Siswa SMP Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini menyatakan bahwa kesulitan siswa pada
aspek memahami masalah, yaitu (1) Siswa tidak terbiasa mengerjakan soal cerita
dengan langkah-langkah pemecahan masalah polya, (2) Siswa masih bingung
dalam penulisan simbol, (3) Siswa masih belum memahami konsep tentang materi
yang diajarkan, (4) Siswa tidak dapat mengatur proses pengerjaan dengan baik,
masih kurang teliti dan terkesan asal-asalan.
Kesulitan siswa pada aspek membuat rencana, yaitu (1) Siswa belum bisa
membuat model matematika berdasarkan apa yang diketahui dan ditanyakan dari
soal, (2) Kemampuan siswa yang rendah dalam memahami masalah sehingga
membuat siswa susah dalam membuat rencana penyelesaian, (3) Siswa kurang
latihan soal. Kesulitan siswa pada aspek melaksanakan rencana, yaitu (1)
Kebiasaan siswa yang kurang teliti dengan salah dalam perhitungan, (2) Langkah-
langkah yang terlalu panjang membuat siswa kebingungan, (3) Siswa salah dalam
membuat model matematika.Kesulitan siswa pada aspek melihat kembali, yaitu
(1) Siswa tidak tahu cara melihat kembali yang benar, (2) Siswa tidak dapat
mengatur waktu pengerjaan dengan baik, akhirnya terburu-buru dan kurang teliti
karena waktunya habis, (3) Kebiasaan siswa yang kurang baik dengan tidak mau
melakukan pengecekan ulang.
22
Berdasarkan analisis kesulitan siswa dalam pemecahan masalah soal cerita
matematika dilihat dari aspek memahami masalah, membuat rencana,
melaksanakan rencana, dan melihat kembali. Dapat disimpulkan kesulitan siswa
dalam pemecahan masalah soal cerita matematika adalah sebagai berikut: (1).
Siswa tidak terbiasa mengerjakan soal cerita dengan langkah-langkah pemecahan
Polya; (2). Siswa belum memahami konsep dari materi yang diberikan; (3). Siswa
tidak dapat membuat model matematika; (4) Siswa tidak dapat mengatur proses
dan waktu pengerjaan dengan baik, masih kurang teliti dan terkesan asal-asalan.
Penelitian Sinta Devi Nurohman (2014) yang berjudul Implementasi
Scaffolding Untuk Mengatasi Kesulitan Siswa Kelas X SMK Kartika 1 Surabaya
Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Materi Program Linear. Penelitian ini
menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita materi
Program Linear sebelum diberikan scaffolding yaitu: (1) membuat model
matematika, (2) menentukan daerah penyelesaian, (3) menentukan titik-titik
pojok, (4) menentukan nilai optimum, dan (5) membuat kesimpulan. Setelah
pemberian scaffolding, kesulitan yang dialami siswa yaitu: (1) membuat model
matematika, (2) menggambar grafik penyelesaian, (3) menentukan daerah
penyelesaian, (4) menentukan titik-titik pojok, dan (5) menentukan nilai optimum.
Bentuk scaffolding yang diberikan berupa Explaining, yaitu memberikan
penjelasan bahwa tidak diperbolehkan untuk memperkecil bilangan-bilangan pada
fungsi tujuan pada kesulitan (1) dan memberikan penjelasan tentang membuat
kesimpulan pada kesulitan (5). Reviewing, yaitu meminta siswa membaca dan
mencermati apa yang ditanyakan pada soal pada kesulitan (1), meminta siswa
melihat kembali fungsi kendala dan menceritakan cara mengarsir grafik pada
23
kesulitan (2), tanya jawab dan meminta siswa untuk teliti pada kesulitan (3) dan
(4), dan menanyakan apakah ada hubungan antara kesimpulan dengan pertanyaan
pada kesulitan (5). Restructuring, yaitu membacakan soal dengan memberikan
penekanan intonasi pada kesulitan (2). Developing conceptual thinking, yaitu
meminta siswa menghubungkan apa yang ditanyakan dengan pemisalan dan nilai
optimum pada kesulitan (5).