Salam hangat para pembaca Geospasial Edisi April 2015,
Pada edisi ini majalah geopasial akan membahas beberapa hal mengenai bencana, transportasi, dan tata ruang.
Edisi April 2015 juga membahas mengenai aplikasi SIG dalam bidang Site Management System yang bisa
membuka wawasan dan memberikan informasi terkini terkait dengan aplikasi SIG.
Peran serta dosen geogra yang melakukan pemberdayaan masyarakat juga menjadi bahasan pada edisi April.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil riset harus bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat, dengan penelitian
dan pemberdayaan masyarakat Desa Cibanteng agar tanggap dan menjadi contoh desa tangguh bencana.
Akhir kata selamat membaca, dan sukses selalu dalam pekerjaan dan berkarya membangun bangsa dan
negara.
Salam Redaksi
DARI REDAKSI
Volume 13 / No. 1 / April 2015
TIM REDAKSI Penasehat - Dr. Rokhmatuloh, M.Eng Readksi - Adi Wibowo, Iqbal Putut Ash Shidiq, Laju Gandharum, Ratri Candra, Weling Suseno, Rendy P, Ardiansyah Staf Ahli - Astrid Damayanti, Sugeng Wicahyadi, Supriatna, Triarko Nurlambang Alamat Redaksi - Departemen Geogra FMIPA UI, Kampus UI Depok Diterbitkan oleh: Forum Kounikasi Geogra Universitas Indonesia Redaksi menerima artikel/opini/pendapat dan saran dari pembaca, utamanya berkaitan dengan masalah keruangan.
DAFTAR ISI
Dari Redaksi Daftar Isi - 01
Strategi Mitigasi Bencana: Ulasan Transportasi Perkotaan Berkelanjutan - 02 Guratan Keruangan Dalam Dua Versi: Geografi dan Ekonomi - 08
Permasalah Kemacetan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta - 17 Kaitan Simbol Budaya dan Identitas Geografi - 24
Aplikasi Sistem Informasi Geografi Sebagai Salah Satu Tools Pada Aplikasi Site Management System - 26
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengurangan Risiko Bencana Alam Melalui Pembentukan Desa Tangguh Bencana - 30 RS/GIS/EARTH SCIENCE CONFERENCES 2015 - 33
Volume 13 / No. 1 / April 2015
OPINI
Judul Asli:
Integrating Disaster Mitigation Strategies in Land Use and Transport Plan Interaction
Oleh Fahmi Fahmi, Paul Timms, dan Simon Shepherd
Procedia - Social and Behavioral Science 111 (2014) 488-497 Elsevier Ltd.
Pendahuluan
Tulisan Integrating Disaster Mitigation Strategies in Land
Use and Transport Plan Interaction dipromosikan oleh
Fahmi, Paul Timms, Simon Sheperd (2014) pada jurnal
Procedia Social Bejavioral Science. Lihat Lampiran 1.
Konsep pembangunan yang tidak mempertimbangkan
potensi ancaman bencana di wilayah perkotaan dengan
potensi risiko bencana yang tinggi cenderung
meningkatkan kerentanan masyarakat kota. Hal ini
berkaitan erat dengan penggunaan lahan untuk
transportasi, karena tata guna tanah sangat berperan
dalam menentukan kegiatan dan pergerakan yang
terjadi. Perbaikan tata guna lahan untuk sistem
transportasi tidak hanya untuk sekedar mengurangi
emisi karbon, tetapi juga untuk menghindarkan
kerusakan sistem transportasi akibat kejadian bencana.
Studi yang dilakukan dalam jurnal ini adalah kajian untuk
mengintegrasikan upaya mitigasi bencana dalam
interaksi tata guna tanah dan transportasi di Indonesia,
dengan studi kasus kota Banda Aceh pra dan pasca
tsunami. Sebagaimana diketahui, Banda Aceh adalah
merupakan ibukota Provinsi yang terkena langsung
dampak Tsunami. Jurnal ini disusun dalam 6 bagian;
bagian 1 adalah tujuan penelitian yang harus dipenuhi,
bagian 2 adalah pembahasan mengenai masalah global
terkait bencana dan transportasi. Pendekatan
metodologis untuk mencari strategi yang generik
disajikan dalam bagian 3. Bagian 4 menyajikan
pembahasan area studi kasus dan masalah yang
dihadapi, lalu pembahasan strategi yang dipilih untuk
diterapkan disajikan pada bagian 5. Studi ini ditutup
dengan bagian 6 mengenai langkah kerja berikutnya.
Ulasan ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan dan
kelemahan studi strategi rencana tata guna lahan dan
transportasi yang mempertimbangkan risiko bencana
dengan studi kasus di kota Banda Aceh. Hasil
pembahasan diharapkan dapat memberi gambaran
mengenai kondisi pemanfaatan lahan untuk transportasi
di Indonesia, sekaligus memberikan gambaran risiko
bencana yang mungkin dihadapi oleh sistem transportasi
di wilayah perkotaan di Indonesia. Hasil pembahasan
jurnal ini juga diharapkan memberikan rekomendasi
apakah strategi yang diusulkan untuk kasus kota Banda
Aceh apakah bisa diterapkan di pada wilayah perkotaan
lain di Indonesia.
Jabaran Strategi Tata Guna Lahan dan Rencana
Transportasi
Makalah pada jurnal tersebut bertujuan untuk
enganalisis strategi tata guna tanah untuk perencanaan
transportasi di wilayah perkotaan dan
menghubungkannya dengan risiko bencana yang ada.
Hasil analisis digunakan untuk mengembangkan strategi
mitigasi bencana sesuai dengan tujuan kota yang
teridentikasi berisiko tinggi untuk mengurangi dampak
bencana melalui sektor transportasi.
Dalam jurnal ini dinyatakan ada 3 langkah yang perlu
dilakukan dalam mengidentikasi strategi generik dalam
penyusunan strategi tata guna lahan dan rencana
transportasi di wilayah perkotaan. Pada kota Banda Aceh ,
tiga langkah ini adalah:
1. Menetapkan tujuan pada kota berisiko tinggi
Untuk Banda Aceh, ada dua tujuan: a) pengurangan
risiko bencana yang merupakan rencana aksi lokal dan
merujuk pada rencana tata ruang dan wilayah kota
Banda Aceh (RTRW, 2009) melalui program pengurangan
risiko bencana dan, b) pengurangan emisi karbon dari
sektor transportasi yang merupakan rencana aksi
nasional merujuk pada kebijakan pemerintah Indonesia
dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (PP No. 61,
2011).
STRATEGI MITIGASI BENCANA: ULASAN TRANSPORTASI PERKOTAAN BERKELANJUTAN
Oleh: Dame Manalu dan Raldi Hendro Koestoer
Volume 13 / No. 1 / April 2015
2. Menentukan strategi rencana
mitigasi bencana dan tata guna
lahan
Strategi pemanfaatan lahan untuk
transportasi disusun berdasarkan
tujuan kota berisiko tinggi. Dalam
jurnal ini diarahkan pada tujuan
kota yang dikaji, yaitu kota Banda
Aceh. Strategi yang dipilih adalah
strategi mitigasi bencana dan
strategi tata guna lahan untuk
transportasi.
Strategi Mitigasi Bencana
Ini adalah kombinasi strategi
mitigasi bencana dan
pemanfaatan lahan untuk
transportasi. Strategi mitigasi
bencana dikelompokkan kedalam
rancangan planned retreat,
akomodasi dan perlindungan,
serta kombinasi keduanya. Oleh
peneliti, hal ini ditunjukkan pada
Tabel 1.
Strategi tata guna lahan untuk
transportasi
Strategi ini diarahkan untuk
meraih tujuan keberlanjutan
transportasi di kota. Pada konteks
kota Banda Aceh tujuannya
adalah mencapai target rencana
aksi nasional untuk pengurangan
emisi karbon dan rencana aksi
daerah untuk pengurangan risiko
bencana.
Pada tabel di bawah dijelaskan
oleh peneliti ada dua skenario tata
guna tanah dengan masing-
masing dua rencana transportasi:
1. Desentralisasi: (1) menarik
masyarakat untuk
menggunakan transportasi
publik untuk mengurangi
jumlah kendaraan pribadi di
sistem jaringan transportasi
publik. (3) Mendorong
masyarakat untuk bermukim
di daerah berisiko rendah dan
menggunakan transportasi
publik.
2. Sentralisasi: (2) menarik
perhatian masyarakat untuk
menggunakan transportasi
publik untuk mengurangi
jumlah kendaraan pribadi
pada model kota padat. (4)
mendorong warga untuk
bermukim di wilayah utama
kota dan mendorong warga
menggunakan sistem
transportasi publik.
Tabel 1. Gambaran strategi mitigasi bencana dalam penelitian ini
A. Planned retreat (Rencana tata Tidak mengijinkan rumah baru
guna lahan A) (klasikasi IPCC, dibangun di wilayah berisiko tinggi
1990)
B. Akomodasi dan Perlindungan Mengijinkan pembangunan rumah
(Rencana tata guna lahan B) baru di wilayah berisiko tinggi
(klasikasi IPCC, 1990)
C. Kombinasi strategi A dan B - Menarik warga dari wilayah
(Tata guna lahan C) berisiko tinggi ke wilayah berisiko
(ditambahkan oleh peneliti) rendah
- Mengijinkan pembangunan area
pemukiman pada kelompok
warga tertentu
Sumber: Fahmi et al., 2014
Tabel 2. Strategi tata guna lahan dan transportasi
Sumber: Fahmi et al., 2014
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Kombinasi Strategi Mitigasi Bencana dan Tata Guna
Lahan dan Transportasi
Kombinasi strategi ini diusulkan sebagai solusi
alternatif untuk mencapai tujuan pada kerangka
pengurangan bencana perkotaan dan keberlanjutan
sistem transportasi perkotaan pada kota-kota berisiko
tinggi. Caranya adalah menggabungkan semua usulan
strategi untuk mencapai kedua tujuan secara simultan.
Penjelasan tabel:
Alternatif A, skenario tidak melakukan apapun,
digunakan sebagai benchmark dalam mengukur
strategi lainnya. Strategi ini mengasumsikan tidak
ada intervensi yang dilakukan.
Alternatif B, planned-retreat pada tata guna lahan,
pembangunan hunian baru di lokasi berisiko tinggi
dilarang. Wilayah ini direncanakan dengan untuk
sabuk hijau, maka wialayah pembangunan baru
direncanakan pada zona berisiko rendah.
Alternatif C, strategi akomodasi dan perlindungan,
semua zona diijinkan untuk pengembangan
hunian baru. Namun, regulasi kode bangunan
harus diaplikasikan.
Pada tata guna strategi D, wilayah berisiko tinggi
tidak direkomendasikan untuk hunian. Namun
strategi ini mengijinkan pembangunan di daerah
berisiko tinggi bagi kelompok masyarakat tertentu
untuk mengurangi jarak transportasi. Misalnya,
pada kelompok nelayan.
Pembahasan
Menurut peneliti, dari data World Bank tahun 2010
dinyatakan bahwa masalah umum yang ada sekarang
adalah 65% kota-kota besar yang ada di dunia terletak
di wilayah pesisir, dan tercatat 30% populasi dunia
berada dalam radius 100 mil dari garis pantai.
Bertambahnya warga kota secara signikan
dikarenakan arus urbanisasi dan pertumbuhan
penduduk yang tinggi membuat kota semakin padat,
mobilitas semakin tinggi, penggunaan kendaraan
pribadi semakin banyak dan menambah polusi.
Masalah kedua yang diajukan peneliti adalah kota-kota
di wilayah pesisir ini berisiko tinggi terhadap ancaman
bencana seperti tsunami, dan juga
berkontribusi pada perubahan iklim lewat sektor
tranportasi yang tidak direncanakan dengan baik. Oleh
karenanya diperlukan strategi mitigasi bencana terkait
transportasi melalui perencanaan tata guna lahan
yang baik.
Namun, peneliti kurang membedah pernyataan
masalah ini pada konteks Indonesia. Di Indonesia,
terhitung sejak 2008, sedikitnya 50% penduduknya
tinggal di kawasan perkotaan (PU, 2009). Jika tujuan
penelitian adalah menganalisis risiko bencana pada
sistem transportasi di perkotaan, peneliti semestinya
juga menyatakan bahwa ada sebagian kota di
Indonesia yang berisiko tinggi terhadap bencana,
namun tidak berada di wilayah pesisir. Kota-kota ini
ada di wilayah gunung api aktif, seperti Yogyakarta,
Berastagi, Malang, atau ada di wilayah tengah daerah
aliran sungai dengan ancaman banjir seperti Jakarta,
Medan, dll.
Menurut peneliti, tujuan dan prioritas utama kota
terkait dengan karakteristik kota, karena setiap kota
memiliki masalah yang berbeda-beda. Tujuan yang
dinyatakan oleh peneliti dengan mengambil contoh
studi kasus kota Banda Aceh berlaku umum di
Indonesia. Karena berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007,
adalah kewajiban penyelenggara pemerintahan
daerah dan pusat untuk memasukkan isu
pengurangan risiko bencana dalam perencanaan
pembangunannya. Demikian juga dengan strategi
pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang di
nyatakan lewat PP No. 61 tahun 2011, berlaku wajib
bagi pemerintah provinsi di seluruh Indonesia.
Pemerintah provinsi harus menuangkannya dalam
RAD GRK provinsi untuk mendukung RAN GRK. Setelah
tragedi tsunami pada akhir Desember tahun 2004 lalu,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) telah memformulasikan rencana masa
depan kota Banda Aceh dalam kerangka mitigasi
bencana yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Pada Gambar 1, zonasi sik kota Banda Aceh terdiri atas,
wilayah konservasi, wilayah pembangunan terbatas dan
wilayah promosi pembangunan. Ini disesuaikan dengan
karakter wilayah bencana dan dibuat sebagai berikut:
a) Zona pesisir (1,7), b) Zona pemukiman terbatas (1, 7,
6), c) wilayah baru untuk promosi pembangunan (3, 5,
9), d) pusat bisnis dan pemerintahan (6), dan e) Zona
untuk pendidikan tinggi (8) (BRR, 2005).
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Rencana zonasi pada Gambar 1
tertuang dalam Master Plan kota
Banda Aceh yang pertama setelah
tsunami, dimana ijin bermukim di
area berisiko tinggi tidak diberikan
dan pembangunan pemukiman
baru dilarang. Namun,
dikarenakan banyak masalah
menyangkut ijin dan kepemilikan
lahan publik, kebijakan ini ditarik.
Karenanya, wilayah berisiko tinggi
kembali dihuni, dan
pembangunan di wilayah tersebut
juga tidak dilarang. Perubahan
master plan ini seharusnya dapat
dijadikan data untuk pernyataan
masalah dan kebutuhan tata guna
lahan yang lebih
mempertimbangkan risiko
bencana di kota Banda Aceh.
Peneliti belum mengeksplorasi
kebijakan-kebijakan dan
perubahan kebijakan menyangkut
tata guna lahan dan sistem
transportasi di kota Banda Aceh.
Fakta yang dituangkan adalah
sebaran pertambahan dan
penurunan jumlah penduduk
pada daerah berisiko tinggi dan
rendah sebelum dan sesudah
tsunami yang dilatar belakangi
adanya konik bersenjata (GAM)
dan bencana tsunami.
Fakta lain adalah ada peningkatan
jumlah kendaraan umum dan
pribadi dikaitkan dengan jumlah
pendapatan sebelum dan sesudah
tsunami. Serta fakta bahwa dua
tahun setelah tsunami, warga
yang direlokasi ke wilayah berisiko
rendah banyak yang tidak puas
dengan layanan transportasi
publik, karena tidak diintegrasikan
dalam pembangunan relokasi.
Banyak dari mereka akhirnya
memilih bermukim di wilayah
berisiko tinggi yang merupakan
pusat kota.
Tidak ada data mengenai
perubahan infrastruktur jalan;
lokasi, kualitas, panjang dan lebar
jalan, baik sebelum dan sesudah
tsunami. Berdasarkan data yang
dimiliki, kajian ini hanya
membahas sistem transportasi
publik di Banda Aceh yang tidak
digunakan dengan maksimal oleh
warga kota Banda Aceh sehingga
menyebabkan penggunaan
kendaraan pribadi lebih banyak
dan menambah polusi. Selain itu,
tidak diperhitungkan misalnya,
bahwa kualitas jalan dan kualitas
transportasi publik dapat menjadi
penyebab ketidaknyamanan
tersebut.
Gambar 1. Zonasi wilayah yang berisiko bencana di kota Banda Aceh setelah tsunami (Fahmi et al., 2014)
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Tabel 3. Kombinasi strategi tata guna lahan dan transportasi
Sumber: Fahmi et al., 2014
Tidak hanya keterbatasan transportasi publik, waktu
yang lebih lama ke pusat kota dan ongkos yang lebih
mahal yang jadi alasan utama. Bahkan tidak ada
pembahasan mengenai kemacetan lalu lintas dan
seberapa buruk dampak polusi yang ada, yang dapat
membantu pembaca memahami sejauh mana
komitmen pengurangan emisi GRK yang harus
dilakukan oleh kota Banda Aceh lewat sektor
transportasi.
Konsep strategi mitigasi bencana yang digunakan oleh
peneliti dalam penelitian ini diambil dari IPCC,
Intergovernmental Panel for Climate Change, dimana
strategi ini memang digunakan untuk mengurangi
dampak risiko akibat perubahan iklim (IPCC, 2007).
Artinya, strategi ini memang lebih bertujuan
mengurangi emisi GRK, padahal potensi bencana di
Indonesia ada juga yang tidak terkait iklim, seperti
letusan gunung api dan gempa bumi.
Pada praktik yang terjadi saat ini, setelah bencana
tsunami, pemerintah memilih menggunakan dua
metode, yaitu metode A (planned retreat) yang
melarang penduduk bermukim di wilayah berisiko
tinggi, seperti ditunjukkan pada Master Plan 1 (Fahmi,
2014). Namun, saat ini, pemerintah Banda Aceh
memilih menggunakan metode B dengan
menyediakan rute penyelamatan (evakuasi) sebagai
alternatif mitigasi bencana.
Belajar dari praktik-praktik yang ada di seluruh dunia,
kedua kebijakan yang dinyatakan diatas memiliki
kelemahan, seperti permasalahan hak kepemilikan
lahan dan dana kompensasi, kekurangan sumberdaya
keuangan pada metode A, dan menarik perhatian pada
pembangunan di wilayah berisiko tinggi pada metode
B. Untuk itu strategi kombinasi diusulkan untuk
mencapai tujuan pada kerangka mitigasi bencana dan
keberlanjutan transportasi perkotaan di Banda Aceh.
Pendekatan dengan kombinasi yang diusulkan ini
disebut Banda Aceh integrated land use and transport
plan (BILT), atau Rencana tata guna lahan dan
transportasi terpadu Banda aceh. BILT terdiri atas
strategi generik dan terdiri atas 4 rencana tata guna
tanah dan transportasi, ditunjukkan pada Tabel 3.
Semua strategi yang disebutkan diatas dikatakan
adalah usulan untuk digunakan di kota Banda Aceh.
Namun kondisi usulan tersebut tidak banyak
membantu, karena strategi A sama saja dengan tidak
ada strategi, tanpa intervensi. Sementara strategi B
dan C sudah pernah dilakukan masing-masing pada
pra dan pasca tsunami. Strategi D, yang merupakan
gabungan strategi B dan C, tampak menarik, tetapi
masih terbatas dalam kerincian. Mereka yang bekerja
di wilayah pesisir, tidak hanya nelayan, tetapi dapat
juga buruh pelabuhan dan pegawai pemerintahan.
Dimana semuanya membutuhkan hunian dan sarana
transportasi. Strategi D baru hanya mengatakan
pengurangan jarak transportasi dapat berakibat pada
pengurangan emisi. Namun belum membahas, tata
guna tanah untuk transportasi yang mengurangi risiko
bencana yang dimaksud seperti apa. Usulan ini baru
terbatas pada bencana tsunami saja.
Kesimpulan
Dilihat dari tujuan penelitian, jurnal ini sangat menarik
karena sudah mencoba menganalisis sistem
transportasi di wilayah perkotaan yang berisiko
terhadap bencana di Indonesia. Meskipun masih
terbatas pada kota-kota di wilayah pesisir.
Keterbatasan kainnya adalah tulisan tersebut tidak
mengupas lebih jauh karakteristik kota-kota lain di
Indonesia yang juga rentan bencana (APDR, 2010).
Terkait dengan studi kasus perkotaan yang dipilih
yaitu Banda Aceh, tidak dinyatakan secara gamblang
apa sebenarnya konsep pengurangan risiko bencana
terkait transportasi yang dirancang dalam RTRW Banda
Aceh; apakah untuk bencana tunggal, seperti tsunami
saja, atau multibencana.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Judul yang digunakan pada jurnal ini tidak secara spesik menunjukkan bahwa topik yang dibahas adalah terbatas
pada transportasi publik di darat. Padahal, tata guna tanah untuk transportasi dapat juga meliputi, transportasi udara
(bandara, sistem pengangkutan keluar masuk bandara), transportasi laut, (keberadaan pelabuhan, dan sistem
pengangkutan keluar masuk pelabuhan). Pembahasan kota juga yang mengambil studi kasus kota Banda Aceh tidak
menyertakan perbedaan gambaran topogra wilayah kota Banda Aceh yang berisiko tinggi dengan wilayah lingkar
luar kota, yang merupakan wilayah berisiko rendah.
Hasil kajian ini belum dapat digunakan pada kota-kota berisiko tinggi dengan potensi bencana selain tsunami.
Sehingga belum dapat menjadi dasar pembelajaran bagi Indonesia dalam membangun strategi tataguna tanah
untuk transportasi yang dapat menurunkan emisi karbon dan mengurangi risiko akibat bencana. Oleh sebab itu,
perlu ada telaah lanjutan untuk dapat membangun strategi mitigasi bencana dan strategi tata guna tanah untuk
transportasi yang berkelanjutan. Terlepas dari keterbatasan yang ada pada tulisan jurnal tersebut. riset ini dapat
menjadi referensi yang cukup baik untuk penelitian selanjutnya.
Referensi
Fahmi, Timms, P., dan Sheperd, S. (2014). Integrating Disaster Mitigation Strategies in Land Use and Transport
Plan Interaction. Procedia-Social and Behavioural Sciences 111, p. 488-497.
Nazid, MT., Tamin, O.Z., Salim, H.T., dan Sjafruddin, A. (2001). Analisis kebutuhan model interaksi tata guna
lahan dan transportasi, Studi kasus Kotamadya Bandung, Simposium IV FSTPT, Udayana Bali.
Terminologi pengurangan risiko bencana. (2010). Terj. dari Terminology on Disaster Risk Reduction. (2009). Jakarta:
Humanitarian Forum Indonesia.
Twigg, J. (2007). Characteristics of a disaster-resilient community;A guidance note. UK: DFID.
UNDP. (2004). Laporan perkembangan pencapaian. Tujuan pembangunan millennium (Millenium Development
Goals). Indonesia.
UN ESCAP dan UNISDR. The Asia Pacic Disaster Report. (2010). Protecting development gains; Reducing disaster
vulnerability and building resilience in Asia and the Pacic,
UNEP. (2007). Impact, adaptation and vulnerability. The Fourth Assessment of IPCC.
Wibawa, B.A. (1996). Tata guna lahan dan transportasi dalam pembangunan berkelanjutan. UNDIP, Semarang.
http://pu.go.id/isustrategis/view/26
Volume 13 / No. 1 / April 2015
OPINI
Pendahuluan
Ruang (space) merupakan hal yang sangat penting
dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang
mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak; (2) lokasi;
(3) bentuk; dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat
berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan
bumi dan segala kekayaan membutuhkan organisasi/
pengaturan ruang dan waktu.Unsur-unsur tersebut di
atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang
yang disebut wilayah. Wilayah (region) didenisikan
sebagai suatu unit geogra yang di batasi oleh kriteria
tertentu dan bagian-bagiannya tergantung secara
internal. Wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis
yaitu; (1) wilayah homogen, (2) wilayah nodal, (3)
wilayah perencanaan, (4) wilayah administratif.
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku
manusia dalam memilih dan menciptakan
kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya
ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang
tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang
jumlahnya terbatas. Permasalahan tersebut kemudian
menyebabkan timbulnya kelangkaan (scarcity). Dalam
perkembangannya ilmu ekonomi banyak mendapat
kritik. Kritik terhadap ilmu ekonomi timbul karena teori
ekonomi dianggap terlalu menyederhanakan
permasalahan karena hanya melihat dari sisi
penawaran (supply) dan permintaan (demand) secara
agregat (Supriyadi, 2010).
Banyak ahli ekonomi mainstream merasa bahwa
kombinasi antara teori dengan data yang ada sudah
cukup untuk membuat kita mengerti fenomena yang
ada di dunia. Namun pada kenyataannya tidak
sesederhana itu, diperlukan juga pemahaman akan
ruang dalam menelaah kegiatan perekonomian.
Karena kesadaran akan pemahaman terhadap ruang
dan juga wilayah dalam ilmu ekonomi ini, maka
lahirlah disiplin-disiplin ilmu seperti economic
geography (geogra ekonomi), neweconomic
geography (geogra ekonomi baru) dan regional
economics (ekonomi regional) atau lebih dikenal
dengan sebutan regional science, yakni disiplin ilmu
yang memadukan unsur ruang, wilayah, dan ekonomi.
Kajian terhadap ekonomi dan perkembangan wilayah
(region) memang sudah dilakukan sejak lama,
terutama di Eropa yang ditandai oleh pemikiran Von
Thunen (1826), Alfred Weber (1929), dan August Loch
(1939). Akan tetapi secara keilmuan Walter Isard (1956),
telah meletakkan kerangka dasar tentang prinsip-
prinsip yang termasuk dalam lingkup regional science.
Perkembangan ilmu ini di Indonesia mulai dirasakan
pada awal tahun 1970-an.
Kedua disiplin ilmu yang akan dibahas pada paper ini
(ekonomi regional dan geogra ekonomi) sebenarnya
berangkat dari pemikiran yang sama, yaitu bagaimana
untuk menganalisis mengenai kegiatan ekonomi dari
aspek spatial (keruangan), baik ilmu ekonomi regional
maupun geogra ekonomi dalam kajiannya mengenal
dan mempergunakan istilah yang sama, misalnya
wilayah nodal, wilayah homogen, kota, dan wilayah
belakangnya, tetapi dengan pendekatan yang berbeda
(Tarigan, 2009). Namun tentunya terdapat perbedaan
diantara keduanya. Perbedaan yang dikaji pada paper
ini yakni dilihat dari sudut pandang tujuan, manfaat
serta pendekatan yang biasa digunakan. Sehingga
nantinya dapat diketahui kekurangan dan kelebihan
dari masing-masing ilmu tersebut dan keterbatasan
dari masing-masing disiplin ilmu dapat diisi dengan
ilmu yang lain, maka menarik sekali untuk dikaji lebih
mendalam.Metodologi penyusunan tulisan ini adalah
studi literature dengan teknik analisis deskriptif yang
me-review teori dan pendapat ahli kemudian disarikan.
GURATAN KERUANGAN DALAM DUA VERSI:
GEOGRAFI DAN EKONOMI
Oleh: Vicca Karolinoerita ([email protected])
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Tujuan dari tulisan ini adalah
untuk mengajak pembaca agar
dapat membandingkan regional
economics (ekonomi regional)
dan economic geography
(geogra ekonomi) dalam
‘memperlakukan’ ruang.
PENGERTIAN DASAR
Ekonomi Regional
Ilmu ekonomi regional lahir dari
perkembangan ilmu regional
science.Sebelum munculnya
regional science, John Heinrich
Von Thunen (1826) pada abad 19
telah mengemukakan konsep
teori lokasinya, yang dikenal
dengan Bid Rent Teory, yakni
sebuah teori yang mendasarkan
analisa pemilihan lokasi kegiatan
ekonomi pada kemampuan
membayar harga tanah (bid-rent)
yang berbeda dengan harga pasar
tanah (land-rent). Berdasarkan hal
ini, lokasi kegiatan ekonomi
ditentukan oleh nilai bid-rent
yang tertinggi. Teori ini kemudian
dijadikan banyak acuan dalam
analisis pengembangan wilayah
dan geogra ekonomi.
Setelah Von Thunen kemudian
muncul Alfred Weber (1909)
dalam bukunya Uber den Standort
der Industrien. Weber memiliki
teori yang berkaitan dengan Least
Cost Location. Teori tersebut
menyebutkan bahwa lokasi
industri sebaiknya diletakkan di
tempatyang memiliki biayayang
memiliki sewa lahan paling
minimal. Tempat yang memiliki
total biaya transportasi dantenaga
kerja yang minimal akan
cenderung identik dengan tingkat
keuntungan yang maksimal.
Walter Christaller (1933) dari
Jerman kemudian
memperkenalkan model wilayah
perdagangan yang esien yang
berbentuk segi enam (heksagonal)
dimana tiap wilayah perdagangan
heksagonal memiliki pusat, atau
teori tersebut biasa dikenal
dengan Central Place Thory. Teori
ini didasarkan pada konsep range
(jangkauan) dan threshold
(ambang). Range (jangkauan)
adalah jarak tempuh yang
diperlukan untuk mendapatkan
barang yang dibutuhkan
masyarakat,sedangkan threshold
(ambang) adalah jumlah
minimal anggota masyarakat yang
diperlukan untukmenjaga
keseimbangan suplai barang.
Uraian tentang range dan treshold
dapat menjelaskan mengapa
terjadi konsentrasi dari berbagai
jenis usaha pada satu lokasi, tetapi
konsep itu tidak dapat
menjelaskan mengapa dipasar
juga ada kecenderungan bahwa
pedagang dari komoditas sejenis
juga memilih untuk berlokasi
secara terkonsentrasi/berdekatan.
Selain itu menurut Christaller,
seluruh wilayah perdagangan
dapat dilayani, sedangkan ken-
yataannya sebagian dari wilayah-
wilayah yang dimaksud tidak
seluruhnya dapat terlayani karena
terbatasnya fasilitas transportasi
dan hambatan geogras. Teori
tempat sentral dapat dikatakan
kaku dan terlalu sederhana
(oversimplication).
Teori tempat sentral menjelaskan
pola geogras dan struktur hirarki
pusat-pusat kota dan wilayah-
wilayah nodal, akan tetapi tidak
menjelaskan bagaiman pola
geogras tersebut terjadi secara
gradual dan bagaimana
mengalami pola perubahan-
perubahan pada masa depan,
atau tidak menjelaskan gejala-
gejala (fenomena) pembangunan.
Teori ini bersifat statis karenanya
pada tahun 1954 August Losch
dalam bukunya yang berjudulThe
Spatial Organization of the
Economymemodikasi Central
Place Theory. Losch merupakan
orang pertama yang
mengembangkan teorilokasi
dengan segi permintaan sebagai
variabel utama dengan
memperhitungkan harga produk
dan berapa banyak biaya untuk
memproduksinya, kontribusi
utama Losch adalah
memperkenalkan potensi
permintaan (demand) sebagai
faktor penting dalam lokasi
industri. Losch juga mengkritik
pendahulunya yang selalu
berorientasi pada biaya terkecil;
padahal yang biasanya dilakukan
oleh industri adalah
memaksimalkan keuntungan
(prot–revenue maximation)
dengan berbagai asumsi, Losch
mengemukakan bagaimana
economic landscape terjadi, yang
merupakan keseimbangan
(equillibrium) antara supply dan
demand.
Dari uraian diatas dapat ditarik
sebuah garis bahwasanya aspek
lokasi dan wilayah sangat
berperan dan memiliki pengaruh
besar dalam kegiatan
perekonomian.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Kajian terhadap ekonomi dan perkembangan wilayah
(region) memang sudah dilakukan sejak lama oleh Von
Thunnen, Webber, Christaller, dan Losch, yang
memasukan aspek ruang dalam analisis mikro, namun
belum menyadari adanya distribusi geogras dari
input dan output serta distribusi geogras dari harga
dan biaya pada setiap wilayah yang berbeda, maka
munculah Walter Isard (1956), yang meletakkan
kerangka dasar tentang prinsip-prinsip spatial
economics dan memasukan dimensi ruang ke dalam
analisis ekonomi secara komprehensif,yang kemudian
muncul dalam lingkup regional science.
Walter Isard mengemukakan bahwa
“. . . regional science as a discipline concerns the careful
and patient study of social problems with regional or
spatial dimensions, employing diverse combinations of
analytical and empirical research.”(p. 2)
“The study of a meaningful region (or systems of
regions) as a dynamic organism.”(p. 5)
(Walter Isard, Introduction to Regional Science, 1975)
Regional science menganalisa masalah sosial dengan
dimensi regional atau spasial, menggunakan
kombinasi beragam penelitian analitis dan empiris.
Studi tentang daerah yang bermakna (atau sistem
daerah) sebagai organisme yang dinamis.
Ekonomi regional sering dikaitkan dengan regional
science dan Walter Isard (Glasmeier, 2004). Hal ini
dikarenakan ekonomi merupakan salah satu bentuk
kajian yang digunakan sebagai analisis untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan wilayah
(regional), namun dalam bentuk yang lebih kuantitatif,
yaitu lebih menekankan kepada sudut pandang
positivisme (Southcott, 1994). Regional science
menggabung berbagai disiplin ilmu termasuk
diantaranya adalah ilmu sosiologi, ilmu politik,
demogra, dan ilmu kelingkungan untuk menganalisis
kondisi suatu wilayah dan berusaha memberikan
jawaban yang komprehensif.
Pada tahun 1956, Walter Isard memberikan landasan
yang cukup kuat bagi ekonomi regional melalui
penerbitan disertasinya yang berjudul “Location and
Space Economics”. Melalui penulisan tersebut Isard
memberikan “wujud” yang menjadi kajian ekonomi
regional serta dapat dijadikan pedoman. Isard
memberikan kerangka landasan mengenai apa saja
yang dapat dimasukan ke dalam kategori regional
science, yang pada dasarnya adalah penerapan prinsip
-prinsip ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi antara wilayah-wilayah yang memiliki potensi
berbeda (Tarigan, 2009). Isard memadukan ilmu
wilayah dan ekonomi secara terpadu, karenanya Isard
dapat dikatakan sebagai pembaharu dari kajian ilmu
ekonomi sebelumnya yang hanya terfokus pada supply
dan demand tanpa memperhatikan aspek spasial. Ilmu
ekonomi regional (regional economics) muncul se-
bagai suatu perkembangan baru dalam ilmu ekonomi
dan berkembang menjadi suatu bidang spesialisasi
yang baru, yang berdiri sama halnya dengan cabang
ilmu ekonomi lainnya seperti ekonometrik, ekonomi
kependudukan, dan lain-lainnya.
Perbedaan pokok antara ilmu ekonomi konvensional
dan ilmu ekonomi regional terletak dalam perlakuan
terhadap aspek spasial (keruangan). Dalam ilmu
ekonomi regional aspek spasial, jarak (biaya
transportasi) menjadi bagian yang sangat penting
dalam analisis dan perhitungan ekonomi. Sedangkan
dalam ilmu ekonomi konvensional, aspek tingkat
bungalah yang memegang peranan penting dalam
perekonomian (Iwan Jaya Azis, 1994). Maka Ilmu
ekonomi regional muncul sebagai suatu kritik. Ilmu
ekonomi regional hadir untuk menjawab pertanyaan
penting yang belum dijawab oleh para ahli ekonomi.
Pada umumnya para ekonom secara implisit
beranggapan bahwa prinsip-prinsip ekonomi yang
telah digariskan, akan berlaku umum diseluruh tempat
baik di kota ataupun di desa, di daerah yang telah maju
ataupun di daerah belakang. Akan tetapi, kenyataan
menunjukan bahwa kondisi tiap-tiap daerah tersebut
tidak sama, antara lain potensi ekonominya tidak sama,
tingkat kemajuan industrialnya tidak sama,
ketersediaan prasarananya tidak sama, keterampilan
tenaga kerjanya tidak sama, kepadatan penduduk
berbeda, atau harga tanah jauh berbeda. Dengan
demikian, berbagai kebijakan ekonomi yang cocok di
suatu daerah belum tentu cocok di daerah lain.
Misalnya, penentuan produksi yang optimum akan
berbeda di berbagai tempat, tergantung pada kondisi
ekonomi di sekitarnya.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Hukum ekonomi yang telah lazim
apabila diterapkan dengan
memasukkan unsur tempat atau
region, akan memunculkan
beberapa masalah yang harus
dijawab dengan teori khusus yang
tidak tercakup di dalam ilmu
ekonomi biasa, secara ringkas,
persoalan utama yang dibahas
dalam ekonomi regional adalah
menjawab pertanyaan where do
all those activities should be
carried out (dalam ekonomi
konvensional hanya: what, how,
for whom?)(Tarigan, 2009).
Kemunculan ilmu ekonomi
regional memberi dimensi baru
pada analisis ekonomi dalam
rangka melengkapi dan
mengembangkan pemikiran
ekonomi tradisional, sehinga
dapat memecahkan masalah-
masalah sosial ekonomi yang
terus berubah sepanjang zaman
(Emilia Imelia, 2006).
Dalam regional science juga
dikenal sebuah teori yang
diterapkan oleh Walter Isard dan
Leontief, yakni teori analisis input-
output. Analisis input-output
(analisis masukan-keluaran)
adalah suatu analisis atas
perekonomian wilayah secara
komprehensif karena melihat
keterkaitan antarsektor ekonomi
di wilayah tersebut secara
keseluruhan. Apabila terjadi
perubahan tingkat produksi atas
sektor tertentu, dampaknya
terhadap sektor lain dapat dilihat.
Perubahan input akan
menyebabkan perubahan output,
yang berarti perubahan masukan
bagi sektor lain, dan dengan
demikian secara berantai
pengaruh ini akan dirasakan oleh
sektor yang saling berkaitan tadi.
Dari hubungan seperti ini jelas
terlihat adanya pengaruh timbal
balik. Hubungan inilah yang
disebut sebagai hubunganInput-
Output.Dalam analisa input-
output juga berkaitan dengan
direct dan indirect demand.
Analisis ini kemudian dapat
digunakan untuk menganalisis
dan mengkaji dua wilayah atau
lebih secara multisektoral yang
dikenal dengan inter regional
input output analysis dan juga
dapat digunakan untuk
menganalisis dan mengkaji
banyak wilayah secara multi-
sektoral, yang dikenal dengan
konsep multi regional input-
output analysis.
Analisis lain yang juga digunakan
dalam ekonomi regional adalah
backward dan forward linkages
analysis. Analisis Linkage
merupakan analisis penting bagi
perekonomian untuk
menunjukkan pentingnya sektor
produksi barang dan jasa. Analisis
Linkage, digunakan untuk
menguji interdependensi struktur
produksi, analisis ini
diperkenalkan dalam karya-karya
Rasmussen (1957), Chenery &
Watanabe (1958) dan Hirschman
(1958). Sejak itu banyak metode
yang berbeda diperbaiki dan
dikeluarkan untuk pengukuran
koesien linkage. Backward
Linkage didenisikan sebagai
jumlah kolom Leontief inverse dari
model input-output demand-
driven. Forward linkage
didenisikan sebagai jumlah baris
dari Ghosh-inverse dari model
input-output supply-driven
(Oosterhaven, 2008).
Backward linkage melihat
perubahan sektor hilir yang
menarik sector hulu untuk ikut
bekembang. Sedangkan forward
linkage melihat peningkatan
sector hulu/input yang
mendorong peningkatan di sektor
hilir (output).
Geogra Ekonomi
Geogra ekonomi adalah sub-
disiplin dari ilmu geogra yang
memanfaatkan pendekatan
geogra dalam mempelajari
ekonomi. Geogra ekonomi
adalah cabang ilmu dari geogra
yang dinamis dan menarik.
“Economic geography is a sub-
discipline that uses a geographical
approach to study the economy. It
is a vibrant and exciting branch of
geography.” (Sokol, Economic
Geography, 2011, p.12)
Sejarah geogra ekonomi
dipengaruhi oleh banyak teori
yang timbul terutama dari
ekonomi dan geogra. Jejak
pertama kajian terhadap aspek
spasial kegiatan ekonomi dapat
ditemukan dalam tujuh peta Cina
dari Negara Qin pada abad ke-4
sebelum Masehi. Tulisan-tulisan
kuno tersebut dapat dikaitkan
dengan tulisan seorang geograf
yang berasal dari Yunani yakni
Strabo dalam bukunya berjudul
Geographika yang disusun hampir
2000 tahun yang lalu. Kemunculan
geogra ekonomi juga didasari
oleh tulisan-tulisan perjalanan dan
perkembangan ilmu kartogra
yang memetakan sumber daya-
sumber daya yang ditemukan di
daerah Amerika, Afrika, dan Asia
oleh orang Eropa.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Dimana di dalam jurnal/tulisan tersebut juga dituliskan
mengenai kondisi penduduk, kondisi iklim, bentang
alam, dan produktivitas berbagai sumber daya dari
berbagai macam lokasi.
Selain itu Perang Dunia II juga ikut mempengaruhi
kemunculan geogra ekonomi. Perang dunia II
memberikan kontribusi untuk mempopulerkan
pengetahuan ilmu geogras pada umumnya, dan
pengembangan serta pemulihan ekonomi pasca
perang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi geogra sebagai suatu disiplin. Kemunculan
geogra ekonomi juga dipengaruhi oleh Ellsworth
Huntington dan teorinya tentang determinisme iklim,
teori lokasi yang dikemukakan oleh Johann Heinrich
von Thünen dan Alfred Weber, dan juga Walter
Christaller dengan Central Place Theory-nya.
Fred K. Schaefer dalam artikelnya yang berjudul
Exceptionalism in geography: A Methodological
Examination, yang dipublikasikan dalam the American
journal Annals of the Association of American
Geographers, membuat dampak besar di lapangan.
Artikel tersebut menjadi titik kumpul bagi generasi
muda geogra ekonomi yang berniat menciptakan
kembali disiplin tersebut sebagai ilmu, dan metode
kuantitatif mulai berlaku dalam penelitian. Geogra
ekonomi terkenal pada periode ini diantaranya adalah
William Garrison, Brian Berry, Waldo Tobler, Peter
Haggett dan William Bunge.
Dalam menelaah mengenai pemahaman akan Geogra
ekonomi, beberapa pakar telah memberikan
konsepnya, antara lain Jones dan Dakenwald (1954)
dalam bukunya Economic Geography, Miller dan
Renner (1958) dalam bukunya Global Geography,
Alexander (1963) dalam bukunya Economic
Geography, Robinson H (1972) dalam bukunya
Geography for Bussines Studies dan Thomas Richards
(1974) dalam bukunya The Geography of Economic
Activity. Dari beberapa konsep yang telah diberikan,
dapat disimpulkan, bahwa geogra ekonomi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara struktur
aktivitas ekonomi manusia dalam memanfaatkan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan berbagai ragam keruangan di permukaan
bumi, yang mempunyai kondisi geogras yang
berbeda.
Geogra ekonomi menunjukan bahwa ilmu ini terletak
diantara displin ilmu geogra dan ekonomi. Kedua
ilmuwan ilmu tersebut sama-sama menggunakan
istilah “geogra ekonomi.” Namun meskipun begitu
terdapat perbedaan yang sangat mendasar apabila
dilihat dari segi pendekatan yang digunakan oleh
seorang geograf maupun ekonom.
Gambar 1. Ekonomi Geogra, M. Sokol, 2011
Perbedaan utamanya adalah bahwa para ekonom
mainstream biasanya memberikan sedikit perhatian
pada dimensi geogras dari proses ekonomi,
sementara seorang geograf menganggap geogra
sebagai bagian yang penting untuk memahami cara
ekonomi bekerja. Seorang ekonom tertarik untuk
mempelajari efek ruang pada kegiatan perekonomian,
sedangkan disisi lain seorang geograf tertarik pada
dampak proses ekonomi pada struktur spasial
(keruangan). Seorang ekonom dan ahli geogra
ekonomi memiliki beberapa cara/metode pendekatan
yang berbeda dalam memahami masalah ekonomi dan
keruangan. Seorang geograf akan mengambil
pendekatan yang lebih holistik dalam menganalisis
fenomena ekonomi, yaitu dalam hal konsep ruang,
tempat dan skala, tergantung dari permasalahan
ekonomi yang sedang diteliti. Sedangkan sebagian
besar ekonom mainstream melihat ekonomi sebagai
mesin yang bekerja menurut prinsip-prinsip tertentu
dan yang perilakunya dapat diprediksi dengan
menggunakan teknik pemodelan. Oleh karena itu
dalam konsep ini, matematika adalah bahasa utama
para ekonom. Tubuh pemikiran yang mendukung
konseptualisasi tersebut adalah 'ekonomi ortodoks'.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Dalam geogra ekonomi
digunakan metodologi yang ber-
beda dalam menelaah setiap fe-
nomena yang ada dan secara
umum ada dua pendekatan yang
digunakan, yakni:
a. Pendekatan topik (topical
approach)
b. Pendekatan regional atau
kewilayahan (regional
approach)
Secara teoritis masing-masing
pendekatan dapat dipisahkan satu
sama lain tetapi dalam
pelaksanaannya, masing-masing
pendekatan berhubungan satu
sama lain atau saling melengkapi
satu sama lain. Pendekatan yang
satu membantu pendekatan yang
lain atau menjelaskan pendekatan
lain.
Pendekatan Topik (Topical
Approach)
Dalam melakukan pendekatan
topik terhadap gejala dan masalah
geogra di suatu wilayah, dapat
didekati mulai dari topik pertama
yang menjadi perhatian misalnya,
topik kelaparan, maka yang
menjadi sorotan utama adalah
kelaparan.Dengan demikian yang
menjadi pegangan dalam
melakukan pendekatan topik
tidak boleh dilepaskan
hubungannya dengan ruang yang
menjadi wadah gejala atau topik
yang didekati. Faktor-faktor
geogra seperti manusia dan
lingkungan siknya jelas tidak
boleh diabaikan.Berdasarkan
landasan keruangan akan dapat
diungkap karakteristik gejala di
daerah yang bersangkutan, dan
kemudian dapat dibandingkan
dengan gejala atau masalah di
wilayah lain. Dalam
mengungkapkan topik kelaparan
tersebut beberapa hal yang dikaji
berkaitan dengan persebarannya,
intensitas dan interelasinya
dengan gejala yang lain, deskripsi
dan sebab-sebabnya. Hal yang
sama dapat pula dilakukan
terhadap topik-topik lainnya.
Pendekatan Regional (Regional
Approach)
Pada pendekatan regional atau
kewilayahan, yaitu mempelajari
suatu gejala atau masalah dari
wilayah tempat gejala atau
masalah tersebut terjadi. Tekanan
utama pendekatannya bukan
kepada komoditas atau aktivitas
manusianya, melainkan kepada
wilayah yang merupakan ruang
atau wadahnya. Misalnya dalam
mengungkap masalah kelaparan
atau kemiskinan di suatu wilayah.
Dalam hal ini meninjau kelaparan
atau kemiskinan berdasarkan
wilayahnya. Pertanyaan utama
yang mucul adalah di
wilayah-wilayah mana kelaparan
atau kemiskinan itu terjadi.
Dengan pertanyaan utama akan
dapat diungkapkan persebaran
gejala atau masalah kelaparan
atau kemiskinan di permukaan
bumi. Apa sebab kelaparan atau
kemiskinan terjadi di wilayah yang
bersangkutan. Selanjutnya dapat
diungkap interelasi dan interaksi
gejala kelaparan atau kemiskinan
itu dengan gejala-gejala lain pada
ruang atau region yang sama.
Selanjutnya akan dapat
diidentikasi karakteristik gejala
kelaparan atau kemiskinan
berdasarkan ruang atau wilayah.
Dalam analisis geogra ekonomi
faktor lingkungan ditinjau sebagai
faktor pendukung (sebagai
sumberdaya) dan sebagai faktor
penghambat struktur aktivitas
ekonomi penduduk. Dalam
meninjau dan menganalisis
struktur ekonomi suatu wilayah,
lingkungan geogra dijadikan
dasar yang mempengaruhi
perkembangan aktivitas ekonomi
penduduk di wilayah yang
bersangkutan. Fungsi geogra
ekonomi dalam mengkaji
hubungan antara aktivitas
ekonomi manusia dengan ragam
keruangan permukaan bumi
dapat memberikan jawaban
pertanyaan-pertanyaan pokok
seperti:
Where can economic activities
be carried on?
Where are economic activities
carried on?
Why are economic activities
carried on?
When are economic activities
carried on?
How are economic activities
carried on?
(Samuelson, 1955)
Bentuk-bentuk pertanyaan ini
akan membantu dalam studi
geogra ekonomi apabila selalu
mengingat dan mengulangi
pertanyaan pokok: Where?, Why?,
When?, dan How?, sebagai
pertimbangan aspek geogra
ekonomi.
“Economic geography is concerned
with concrete questions about the
location and distribution of
economic activity, the role of
uneven geographical development
and processes of local and regional
economic development. It asks the
key questions of ‘what?’ (the type of
economic activity),
where?’ (location), ‘why?’ (requiring
explanation) and ‘so
what?’….” (p.12)
(Danny and Andrew, 2007)
Volume 13 / No. 1 / April 2015
According to one recent denition:
“Economic geography is concerned with the
economics of geography and the geography of
economics. What is the spatial distribution of
economic activity? How is it explained? Is it efcient
and/or equitable? How has it evolved, and how can it
be expected to evolve in the future? And what is the
appropriate role of government in inuencing this
evolution?” (Arnott and Wrigley, 2001)
Dijelaskan bahwa geogra ekonomi bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan yang konkret tentang
lokasi dan distribusi kegiatan ekonomi, pembangunan
geogras yang tidak merata dan proses pembangunan
ekonomi lokal dan regional, dan memiliki pertanyaan
kunci tentang apa (berkaitan dengan aktivitas
ekonominya), di mana (lokasinya), mengapa
(membutuhkan penjelasan), dan jadi apa (mengacu
pada implikasi dan konsekuensi dari proses dan
pengaturan tertentu). Hal tersebut merunut pada
sebuah pemahaman baru tentang geogra ekonomi.
Geogra ekonomi memberikan perhatian kepada
pemahaman ekonomi dalam geogra dan geogra di
dalam ilmu ekonomi. Seperti apakah distribusi
spasialnya dalam kegiatan ekonomi? Bagaimana itu
dijelaskan? Apakah esien dan/atau adil? Bagaimana
itu berevolusi, dan bagaimana hal itu dapat diharapkan
untuk berkembang di masa depan? Dan apa peran
yang tepat dari pemerintah dalam mempengaruhi
evolusi tersebut?
Dalam geogra ekonomi dipelajari mengenai dampak
satu atau sekelompok kegiatan di satu lokasi terhadap
kegiatan lain di lokasi lain, atau bagaimana kinerja
kegiatan di lokasi itu sebagai akibat dekat atau jauhnya
lokasi tersebut dari lokasi kegiatan lain, tetapi kedua
lokasi tersebut saling berhubungan atau saling
berinteraksi. (Krugman, 1991) dalam karyanya Trade
and Geography memperkenalkan sebuah pemikiran
baru mengenai Geogra ekonomi, yang kemudian
dikenal sebagai New Economic Geography (NEG).
Ketika membaca tulisannya yang berjudul Trade and
Geography: Economies of Scale, Differentiated
Products and Transport Costs, kita akan mengetahui
bahwa Paul Krugman memang berhasil membuat
sebuah terobosan teori yang sangat relevan dengan
kondisi ekonomi internasional kontemporer.
Krugman dipandang mampu menggabungkan
perdagangan internasional dan geogra ekonomi yang
sering dianggap sebagai sub-disiplin ilmu yang
terpisah. Jika perdagangan internasional berbicara
mengenai transaksi perdagangan antar negara,
geogra ekonomi lebih berfokus pada arus migrasi
individu atau perusahaan yang melampaui batas-batas
geogras. Geogra ekonomi juga mencermati
bagaimana konsentrasi aktivitas ekonomi di perkotaan
semakin meningkat dan bagaimana kota-kota tersebut
mengorganisasi dirinya sendiri (ekonomi perkotaan).
Dari analisis ini lahirlah konsep skala ekonomi di mana
Krugman kemudian berhasil memformulasikan teori
baru mengenai dampak perdagangan bebas dan
faktor-faktor penentu terjadinya migrasi global. Kreasi
cemerlang dari Krugman ini akhirnya tidak hanya
menjadi sebuah teori baru dalam perdagangan tetapi
juga menjadi teori baru dalam ekonomi geogra di
mana lokasi faktor-faktor produksi dan aktivitas
ekonomi dapat dianalisis secara terpadu dalam sebuah
kerangka model equilibrium yang lazim digunakan
untuk analisis ekonomi.
Analisis Krugman berfokus pada dampak skala
ekonomi terhadap sektor perdagangan dan lokasi
bisnis. Konsep skala ekonomi diperoleh dari analisis
yang berakhir pada kesimpulan bahwa makin banyak
barang dan jasa diproduksi di satu pabrik yang sama,
makin rendah pula biaya produksi yang harus
dikeluarkan. Menurut Krugman, pasar tidak akan
berkompetisi secara sempurna seperti yang dinyatakan
oleh para pencipta teori perdagangan internasional
terdahulu.
Bagi Krugman, teori comparative advantage yang
diciptakan oleh David Ricardo pada abad ke-19, tidak
lagi dapat menjawab fenomena perdagangan
internasional pada saat ini. Ricardo yang
menyempurnakan teori absolute advantage Adam
Smith, menyatakan bahwa tiap negara perlu mencari
spesialisasi produksinya agar proses ‘barter’ terjadi dan
pendapatan negara meningkat. Krugman
mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pekerja
bermigrasi ke wilayah pusat pekerja terbesar yang
akhirnya akan menciptakan variasi produk yang sangat
beragam. Dengan kata lain, konsentrasi terjadi dalam
hal barang dan jasa yang diproduksi maupun lokasi
barang tersebut dibuat.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Krugman mengungkap bahwa
perkotaan cenderung akan
terspesialisasi dengan
perindustrian. Berdasarkan skala
ekonomi, industri-industri akan
cenderung terkonsentrasi di kota-
kota besar. Konsentrasi produksi
pada satu wilayah tertentu (dalam
hal ini wilayah perkotaan),
memungkinkan skala ekonomi
dapat terealisasi karena kedekatan
lokasi dengan pasar akan
meminimalisasi biaya transportasi
(home-market effect).
Akibat konsentrasi ini, wilayah-
wilayah akhirnya terbagi menjadi
dua yakni wilayah core (inti) di
perkotaan sebagai konsentrasi
perkembangan IPTEK, serta
periphery (pinggiran) yang lebih
terbelakang. Model ini
dikembangkan dari pilihan lokasi
dari pabrik dan individu. Pabrik
memilih perkotaan untuk
meningkatkan skala produksinya
sekaligus menghemat biaya
transportasi. Individu juga tertarik
untuk bermigrasi ke perkotaan
yang menawarkan upah buruh
yang lebih tinggi dan produk yang
lebih beragam. Kecenderungan ini
meningkatkan kapasitas pasar
sekaligus makin memacu pabrik
dan individu untuk bermigrasi ke
kota. Lingkaran sebab akibat dan
equilibrium baru pun akan
terbentuk.
Secara keseluruhan, teori
Krugman mampu menjelaskan
hubungan positif antara ukuran
pasar dengan tingkat upah,
hubungan antara ukuran pasar
dengan migrasi, dan kaitan antara
satu sama lain. Teori Krugman
juga mampu membuktikan
kalkulasi produktivitas pada suatu
wilayah. Dalam perdagangan,
teori ini mampu membuat sebuah
strategi kebijakan perdagangan.
INTISARI
Ekonomi regional adalah konsep
dan landasan yang dimulai oleh
Walter Isard (ekonom Universitas
Harvard) yang membuat karya
tulis dengan judul locational and
space economics. Dimana
kemunculan ilmu tersebut
didasarkan pada ketidakmampuan
geograf untuk mengangkat
wilayah dalam perspektif
ekonomi. Dengan dasar tersebut,
maka selanjutnya berkembang
ilmu ekonomi regional yang
sampai sekarang banyak di bahas.
Selanjutnya minat terhadap studi
geogra ekonomi mendapatkan
jawaban pada perkembangannya
dengan hadirnya seorang ekonom
handal dalam menjelaskan
tentang konsep ekonomi geogra,
Paul Krugman dari MIT
(Massachusetts Institute of
Technology). Beliau adalah
pemegang hadiah Nobel tahun
2008 dan merupakan ekonom
yang menaruh perhatian pada
studi geogra dengan
memasukan dimensi ruang dalam
kajiannya.
Ekonomi regional menekankan
pada aspek spasial dengan
mengkaji karakteristik spasial dari
perkembangan ekonomi wilayah.
Analisis pertumbuhan ekonomi
regional dapat menunjukkan
karakter wilayah dalam
menyediakan segala macam
aktivitas-aktivitas yang melingkupi
berbagai macam sektor. Faktor
lokasi menjadi faktor yang
penting dalam analisis kajian
ekonomi regional, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Paul
Krugman, dan hal itu merupakan
bagian yang penting dari faktor-
faktor geogras yang
mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi regional, dengan
membaginya kedalam berbagai
zona perkembangan ataupun
pertumbuhan wilayah. Ilmu
Ekonomi Regional
menitikberatkan pada bahasan
dimensi tata ruang / space/ spatial
dan memiliki tujuan untuk
menentukan di wilayah mana
suatu kegiatan ekonomi sebaiknya
dipilih dan mengapa wilayah
tersebut menjadi pilihan. Ilmu
ekonomi regional juga memiliki
peran sebagai penentu
kebijaksanaan awal dalam
memilih sektor mana yang
dianggap strategis, memiliki daya
saing dan hasilnya yang besar
(comparative advantage), peran
lainnya yakni untuk menentukan
kegiatan yang perlu dijadikan
unggulan dan di-sub wilayah
mana komoditi itu dapat
dikembangkan.
Dalam geogra ekonomi juga
mempelajari tentang keberadaan
suatu kegiatan di suatu lokasi dan
bagaimana wilayah sekitarnya
bereaksi atas kegiatan tersebut.
Dalam geogra ekonomi
membahas mengenai gejala-
gejala dari suatu kegiatan yang
bersangkut paut dengan tempat
atau lokasi sehingga ditemukan
prinsip-prinsip penggunaan ruang
yang berlaku umum. Prinsip-
prinsip tersebut kemudian dapat
digunakan dalam membuat suatu
kebijakan pengaturan
penggunaan ruang wilayah yang
efektif dan esien berdasarkan
tujuan umum yang hendak
dicapai.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Kedua ilmu tersebut, baik ekonomi regional maupun
geogra ekonomi sama-sama membahas aspek
wilayah dalam kajiannya, namun dalam prakteknya
ilmu ekonomi regional lebih membahas secara sektoral
atau biasa disebut sebagai sector wise yakni melihat
keunggulan satu sektor dengan satu sektor lainnya
pada satu region tanpa membandingkannya dengan
region lain, sedangkan geogra ekonomi membahas
pendistribusian dari sektor-sektor yang dibahas dalam
ekonomi regional namun tanpa melihat batas-batas
geograsnya.
Kedua bidang ilmu ini dapat saling melengkapi untuk
dapat mendapatkan suatu analisa yang menyeluruh
baik dari segi sektoral maupun pendistribusian
kegiatan ekonomi yang dilakukan dan pengaruh-
pengaruhnya antar wilayah dan antar sektor. Sehingga
bentukan komprehensif analisis sector dan tuangan
dalam fakta perpaduan keruangan antara keduanya
menjadikan paparan temuan ‘ruang’ yang sangat
berarti.
REFERENSI
Arnold, R and Wrigley, N. 2001. Editorial: Journal of
Economic Geography.
Azis, J.A dan Djojodipoero, M. 1994. Ilmu Ekonomi
Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Lembaga Penerbit: Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia.
Chenery, H.B and Watanabe, T. 1958. International
Comparisons of the Structure of Production.
Econometrica XXVI – October.
Christaller, W. 1933. Die Zentralen Orte in
Suddeutschland. Gustav Fischer, Jena.
Danny and Andrew. 2007. An Introduction to Economic
Geography Globalization, Uneven Development
and Place. Person Prentice Hall. England.
Glasmeier, A. 2004. Geographic Intersection of
Regional Science: reections on Walter Isard’s
Contributions to Geography. Journal of
Geographical Systems, Vol.6.
Hirschman, A.O. 1958. Interdependence and
Industrialization, in the Strategy of Economic
Development. New Heaven, Yale University Press.
http://sylvietanaga.wordpress.com/. 2008. Geogra
Ekonomi, Perdagangan Internasional, dan Paul
Krugman.
Imelia, E. 2006. Modul Ekonomi Regional. Jurusan Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Jambi.
Isard, W. 1957. An Introduction to Regional Science,
Englewood Cliff, N.J Prencitce Hall.
John, W. A. 1963. Economic Geography. New York,
Prentice Hall Inc. New Jersey.
Krugman, P. 1991. Geography and Trade. Leuven
University Press Leuven, Belgium and the MIT Press
Cambridge, Massachusetts London. England.
Oosterhaven, J. 2008. A New Approach to the Selection
of Key Sectors: Net Forward and Net Backward
Linkages, paper of the International Input – Output
Meeting on Managing the Environment.
Polenske, K.R. 2008. History of Regional Science
(Revised from presentation in São Paulo, Brazil
March 14, 2008). Department of Urban Studies and
Planning Massachusetts Institute of Technology
Cambridge.
Rasmussen, P.N. 1957. Studies in Intersectoral
Relations. Amsterdam, North – Holland.
Robinson, H. 1972. Geography for Business Studies.
Mac Donald and Evans Ltd. London.
Samuelson, Paul A. The Review of Economics and
Statistics. Vol. 37, No. 4 (Nov, 1955), pp 350-356.
The MIT Press.
Schaefer, F.K. 1953. Exceptionalism in Geography: A
Methodological Examination. Annals of the
Association of American Geographers, Vol. 43, No.
3.
Sirojuzilam. 2010. Disparitas Ekonomi Regional Dan
Perencanaan Wilayah (Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi
Regional pada Fakultas Ekonomi, diucapkan di
hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera
Utara).
Sokol, M. 2011. Economic Geography. Undergraduate
Study in Economics, Management, Finance and the
Social Sciences. International Program University
of London.
Southcott, C. 1994. Sociology and Regional Science in
Canada. Canadian Journal of Regional Science,
Vol.13.
Supriyadi, B. 2010. Modul Kuliah Ilmu Kewilayahan.
Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Kementerian
Dalam Negeri Jln. Raya jatinangor km. 20
Sumedang.
Tarigan, R. 2009. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi.
Penerbit Bumi Aksara.
Thomas, R.S. 1974. The Geography Economic Activity.
Mac Graw Hill Book Company. New York.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
OPINI
PENDAHULUAN
Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, Kota
Jakarta sudah barang tentu memiliki “magnet” yang
sangat besar bagi sebagian besar penduduk Indonesia
untuk dapat tinggal dan mencari nafkah di sini. Hal ini
terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah
penduduk Kota Jakarta. Menurut hasil Sensus
Penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk Kota Jakarta
adalah sebesar 9.607.787 jiwa dan kepadatan
penduduk sebesar 12.770 jiwa/km2, dengan angka
pertumbuhan penduduk sebesar 1,4 % (BPS, 2010).
Pada siang hari, Jakarta mendapat “tambahan”
penduduk dari yang tinggal di wilayah Bodetabek
(Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) dan bekerja di
Jakarta, yang jumlahnya sekitar 2,5 juta jiwa. Dengan
demikian, pada siang hari jumlah penduduk Jakarta
adalah sekiar 12,1 juta jiwa.
Sebagian besar penduduk yang melakukan aktitas
pada siang hari tersebut menggunakan prasarana jalan
untuk melakukan mobilitasnya. Dampak negatif yang
ditimbulkan sudah dapat terbayangkan, yaitu macet.
Hal ini disebabkan karena mereka melakukan
mobilisasi dengan kendaraan bermotor, baik roda dua
maupun roda empat.
Sebagai megapolitan nomor dua di dunia, Jakarta tak
pernah lepas dari persoalan kemacetan lalu lintas.
Seperti halnya Tokyo, Bangkok, dan New York City,
trafc jam di Jakarta tergolong sangat akut. Perlu suatu
terobosan luar biasa, untuk mengatasi persoalan ini.
Sebenarnya, permasalahan kemacetan di Jakarta
bukanlah hal yang baru. Namun sudah lima kali
Gubernur Jakarta silih berganti, permasalahan ini tak
kunjung berakhir. Yang terjadi justru sebaliknya. Jalan-
jalan di Ibu Kota, dari waktu ke waktu malah semakin
padat. Berdasarkan data statistik, pertumbuhan
kendaraan bermotor di Jakarta setiap tahunnya
mencapai 9,5%. Angka ini tak sebanding dengan
pertumbuhan panjang jalan raya, yang hanya berkisar
0,01% per tahunnya. Selain itu, faktor yang turut
berperan dalam kemacetan adalah banyak
pengendara yang tidak disiplin dan tidak mematuhi
peraturan berlalu lintas.
Beberapa cara telah ditempuh oleh pemerintah DKI
Jakarta guna mengatasi kemacetan, seperti
memberlakukan three in one pada jalan-jalan tertentu
dan membangun transportasi Bus Transjakarta.
Disamping itu, peningkatan manajemen KRL
diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Jakarta.
Akan tetapi, nampaknya usaha tersebut tetap saja
tidak dapat mengatasi kemacetan. Jenis transportasi
massal seperti Bus Transjakarta memang sangat
dibutuhkan, akan tetapi hal ini belum dapat
memberikan hasil yang sesuai dengan harapan, justru
sebaliknya, karena jalan yang digunakan oleh Bus
Transjakarta tidak dibarengi dengan pelebaran jalan,
sehingga jalan semakin sempit akibatnya makin
menimbulkan kemacetan. Di samping itu masyarakat
pengguna Bus Transjakarta sebagian besar adalah
masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi,
sehingga target sasarannya belum tercapai.
Dalam usaha untuk memecahkan permasalahan
kemacetan lalu lintas tersebut, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta telah membuat serangkaian rencana yang
terdapat dalam Rencata Tata Ruang Wilayah 2030.
Akan tetapi, apakah rencana-rencana tersebut dapat
mengatasi kemacetan lalu lintas yang semakin parah
ini? Tanpa harus menunggu sampai tahun 2030,
selanjutnya tulisan ini akan mengulas kemacetan yang
terjadi di Jakarta dan mencoba memberikan solusi-
solusi konkrit yang menurut penulis dapat
memberikan pencerahan bagi para pengambil
keputusan di sektor transportasi di DKI Jakarta.
Tentunya solusi-solusi yang dianggap handal dapat
dimasukan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Jakarta Tahun 2030.
PERMASALAHAN KEMACETAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH JAKARTA
Oleh: B. Realino S
Volume 13 / No. 1 / April 2015
KONDISI SAAT INI
Jakarta sebagai Ibukota Republik
Indonesia disokong oleh beberapa
daerah seperti Bogor, Bekasi,
Tangerang, dan Depok, dimana
banyak penduduk yang
bertempat tinggal di daerah-
daerah tersebut bekerja di Jakarta.
Jikalau sebagian besar dari
mereka menggunakan kendaraan
pribadi untuk bekerja di Jakarta,
ditambah dengan penduduk
Jakarta yang juga menggunakan
kendaraan pribadi, maka jumlah
kendaraan di Jakarta jadi
membludak dan akibatnya
kemacetan terjadi di mana-mana.
Hal yang juga memicu kemacetan
adalah jumlah penduduk. Orang
berlomba-lomba hijrah ke Jakarta
untuk mencari pekerjaan atau
kehidupan yang lebih layak.
Umumnya, putra-putri terbaik
daerah yang telah menyelesaikan
pendidikan tinggi hijrah ke
Jakarta. Bahkan yang tidak
berpendidikan pun semuanya
hijrah ke Jakarta. Jakarta bagaikan
gula yang selalu dicari oleh semut.
Hal tersebut tentunya
menimbulkan banyak masalah,
seperti pengangguran,
kemiskinan, kriminalitas,
kesenjangan sosial dan juga
kemacetan lalu lintas.
Sudah bermacam-macam cara
yang telah ditempuh oleh
pemerintah DKI Jakarta untuk
mengatasi kemacetan. Pada masa
Gubernur Wiyogo Atmodarminto,
pemerintah menerapkan sistem 3
in 1 di kawasan “segi tiga emas”.
Setiap mobil yang melintasi Jalan
Sudirman, Thamrin, dan Gatot
Subroto, wajib berisi minimal tiga
orang. Kebijakan tersebut sampai
saat ini masih diterapkan.
Kemudian pada periode
kepemimpinan Gubernur
Sutiyoso, pemerintah DKI Jakarta
kembali melakukan terobosan,
yakni dengan membangun
jaringan bus rapid transit. Bus
yang dikenal dengan nama
Transjakarta ini, memiliki lajur dan
halte tersendiri. Sampai saat ini,
sudah 11 koridor yang selesai
dibangun. Selain kebijakan
tersebut, Dinas Pekerjaan Umum
DKI Jakarta juga telah banyak
membangun jalan layang (y
over) serta terowongan (under
pass). Namun semua itu tak bisa
menyelesaikan permasalahan
kemacetan secara menyeluruh.
Kini ditangan Gubernur baru Joko
Widodo, banyak masyarakat
berharap kemacetan dapat segera
teratasi. Mass rapid transit (MRT),
yang telah digadang-gadang sejak
15 tahun lalu, diharapkan bisa
terealisasi dalam waktu dekat.
Sebenarnya saat ini Jakarta sudah
memiliki MRT, yakni berupa KRL
Comutter Jabodetabek. Namun
beberapa jalur KRL, masih
berhimpitan dengan lintasan
kereta api TransJawa. Kereta
komuter kini merupakan satu-
satunya angkutan masal yang
paling efektif. Dibanding bus
Transjakarta, kereta komuter
dinilai lebih cepat dan tepat
waktu. Meskipun begitu, ada pula
beberapa kendala seperti jalur
dan rutenya yang terbatas. Di jam-
jam sibuk, sering laju kereta
komuter harus tertahan. Berganti
jalan dengan kereta antar kota.
Akibatnya banyak jadwal kereta
yang molor, dan terjadi
penumpukan penumpang di
stasiun. Untuk mengatasi masalah
ini, sudah saatnya pemerintah
melalui PT KAI, menambah jalur
kereta komuter secara massif.
Terdapat banyak faktor yang
menyebabkan kemacetan di
Jakarta. Faktor yang paling trivial
adalah keadaan dimana jumlah
kendaraan lebih tinggi dari
kapasitas jalan. Hal tersebut
merupakan faktor yang paling
terlihat sehingga solusi untuk
membangun jalan baru adalah
solusi yang paling mudah, dan
trivial.
Gambar 1. Kemacetan di salah sudut jalan di Jakarta
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Jika kita bertanya kenapa jumlah kendaraan pribadi
tinggi, terdapat beberapa penyebab yaitu: (1)
Masyarakat Jakarta lebih memilih menggunakan
kendaraan pribadi karena lebih nyaman daripada
transportasi umum, (2) Penjualan kendaraan yang
terus meningkat, karena “mudah” syarat-syarat untuk
memperolehnya atau faktor prestise, (3) Rendahnya
keamanan dan tingginya tingkat kecelakaan
transportasi umum.
Sebagai penduduk Kota Jakarta, penulis juga merasa
sangat tidak nyaman jika setiap hari harus mengarungi
jalan-jalan di Jakarta dengan terjebak kemacetan lalu
lintas dimana-mana. Kemacetan tidak terjadi jika kita
melewati daerah permukiman, akan tetapi terdapat
permasalahan lain, yaitu “polisi tidur”. Guna mencegah
pengguna jalan mengemudikan kendaraan dengan
kecepatan tinggi, masyarakat yang tinggal di sekitar
daerah permukiman membuat tanggul jalan yang
dikenal dengan istilah “polisi tidur”. Akan tetapi, jarak
antar “polisi tidur” dibuat sangat rapat, sehingga
membuat laju kendaraan tidak bisa cepat. Alhasil,
maksud hati ingin mempercepat waktu tempuh
dengan menghindari kemacetan di jalan raya dan
memilih lewat “jalan kampung”, waktu tempuh jadi
tidak jauh berbeda.
ALTERNATIF SOLUSI
Penduduk Jakarta dan sekitarnya akan sangat senang
jika melintas di jalan-jalan di Jakarta pada saat libur
Lebaran, karena kondisi sebagian besar jalan-jalan di
Jakarta terlihat sangat lengang. Mereka dapat menuju
suatu tempat dalam waktu yang jauh lebih singkat, jika
dibandingkan dengan pada saat hari kerja. Pada saat
libur Lebaran, sebagian besar warga Jakarta dan
sekitarnya melakukan kegiatan “pulang kampung" ke
kampung halaman masing-masing. Berdasarkan
kondisi tersebut, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
salah satu penyebab utama kemacetan di Jakarta
adalah jumlah kendaraan pribadi yang tidak sebanding
dengan kapasitas jalan. Akan tetapi, tetap diperlukan
solusi yang paling konkrit dan terintegrasi agar lalu
lintas Kota Jakarta yang lancar tidak hanya terjadi pada
saat libur Lebaran.
Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) mengusulkan
9 poin untuk menjadi solusi kemacetan di kota Jakarta,
yaitu:
a. Penegakan hukum. Minimnya penegakan hukum
saat ini membuat pengemudi terlihat biasa dan
bebas melakukan pelanggaran hukum atau aturan
lalu lintas.
b. Mengadakan Standar Pelayanan Minimum (SPM)
bagi angkutan umum di Jakarta. Hal ini guna
melindungi hak konsumen atau pengguna
angkutan umum untuk mendapatkan jaminan
pelayanan yang baik, nyaman, serta aman.
c. Melakukan evaluasi trayek angkutan umum
eksisting (reguler). Hal ini didasari oleh banyaknya
trayek angkutan umum yang tumpang tindih.
Evaluasi ini untuk mengetahui kebutuhan armada
trayek, membatasi pemberian izin trayek baru
secara selektif, mengalihkan kendaraan dari rute
“kurus” ke rute “gemuk”, serta memulai sistem
pemberian izin trayek berdasarkan quality
licencing atau lelang.
d. Memperbaiki layanan kereta api komuter
Jabodetabek. Alasannya, kereta api dianggap
tulang punggung sarana angkutan umum massal
di Jakarta dan sekitarnya.
e. Meningkatkan biaya penggunaan kendaraan
bermotor pribadi di Jakarta. Hal ini dapat dilakukan
dengan menerapkan kebijakan parkir mahal
berdasarkan zonasi, penerapan jalan berbayar, dan
mencabut subsidi BBM.
f. Mensubsidi angkutan umum. Hal ini guna
meningkatkan minat masyarakat memanfaatkan
angkutan umum karena berdasarkan politik
manajemen transportasi, hanya angkutan umum
yang berhak atas subsidi.
g. Melakukan perbaikan kelembagaan bisnis atau
operator angkutan yang ada sekarang. Pengelola
angkutan umum harus berupa badan hukum
bukan individu-individu.
h. Pembatasan usia kendaraan bermotor yang
beroperasi di Jakarta. Hal ini untuk menjamin
secara sistematis bahwa angkutan umum akan
berkembang pelayanannya dan teknologi
armadanya.
i. Melakukan restrukturisasi Dinas Perhubungan
menjadi Dinas Transportasi dan Infrastruktur
Jakarta. Hal ini untuk meningkatkan kinerja
pengelolaan transportasi yang dilakukan melalui
penggabungan beberapa satuan kerja atau unit
kerja di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Sedangkan pihak Jasa Marga
memberikan solusi mengatasi
kemacetan di Jalan Tol, yaitu:
a. Memberlakukan contra ow
di ruas jalan tol dalam kota
Cawang-Rawamangun.
b. Menambahkan waktu
pemberlakuan contra ow di
Cawang-Semanggi. Saat ini,
contra ow Semanggi
diberlakukan pada pukul
06.00-09.30. Nantinya akan
contra ow itu akan
dimajukan dari pukul 05.00-
09.00.
c. Menutup pintu keluar tol
Bukopin dan Tegal Parang
yang berada di ruas jalan tol
Cawang-Semanggi.
Penutupan dua pintu tol itu
disebabkan jarak kedua pintu
tol itu yang berdekatan dan
padatnya kendaraan yang
keluar melalui kedua pintu itu
menyebabkan kemacetan
hingga di jalan tol.
d. Menerapkan contra ow di
ruas Grogol-Slipi
e. Melebarkan ruas tol Pluit ke
Kapuk.
f. Mempercepat pembangunan
akses tol Tanjung Priok yang
menghubungkan Priok dan
jalan tol Harbour Road.
Nizami (2007) memberikan
alternatif solusi lain yang sempat
diusulkan guna mengatasi
kemacetan di Jakarta, yaitu:
a. Waktu lampu merah
sebaiknya 90-120 menit.
b. Mendenda angkutan umum
yang “ngetem”
c. Mengatur pedagang kaki lima
agar tidak menggunakan jalan
d. Antrian pembayaran jalan tol
sebaiknya di pintu keluar
e. Bangun rel Kereta Api di Jalur
Terkanan (Cepat) Jalan Tol
f. Adakan kembali bis-bis besar
yang dihapus saat pengadaan
bus Transjakarta
g. Adakan rumah susun sewa
murah di pusat-pusat
perkantoran
h. Di Titik-titik kemacetan jalan
diperlebar dan dibangun
Jalan Layang/Terowongan
i. Tambah rangkaian kereta api
j. Adakan transportasi air
k. Berdayakan Mass Rapid
Transportation (MRT)
Sedangkan Adya (2013)
memberikan beberapa solusi
kemacetan di Jakarta sebagai
berikut:
a. Untuk prioritas pertama,
diusulkan agar segera
dibangun double-double
track di lintasan Jakarta Kota-
Bekasi dan Jakarta Kota-
Bogor. Selanjutnya
pemerintah harus
menyediakan jalur-jalur baru,
terutama menuju kota-kota
penyangga. Beberapa
kawasan penyangga yang
membutuhkan MRT antara
lain Cikarang, Cibubur,
Cibinong, Ciledug, serta
Cikupa.
b. Mengatur arus perjalanan truk
dan bus-bus AKAP, yang
selama ini menjadi biang
keladi kemacetan di ibu kota.
Salah satunya adalah dengan
melarang truk-truk besar
melewati jalan tol Lingkar
Dalam Kota, pada pukul 06.00
- 21.00.
c. Penertiban angkutan umum,
juga merupakan solusi yang
cukup jitu. Dengan
memangkas separuh
angkutan umum yang kini
beroperasi, maka pemerintah
telah mengurangi setengah
kemacetan ibu kota.
d. Penataan pedagang kaki lima
(PKL) dan perparkiran, harus
pula menjadi perhatian
pemerintah.
e. Untuk solusi jangka panjang,
sudah seharusnya pemerintah
memperbanyak angkutan
berbasiskan rel, seperti kereta
komuter, MRT, railbus, dan
monorel. Selain berbiaya
murah, moda transportasi
kereta juga dapat
mengangkut jutaan orang
manusia dan ratusan juta ton
barang. Lupakanlah untuk
membangun enam ruas jalan
tol dalam kota, puluhan jalan
layang, dan underpass.
Semuanya itu hanya akan
menguntungkan industri
otomotif, dan menambah
konsumsi BBM masyarakat.
Berdasarkan kondisi yang ada
serta beberapa solusi yang
diusulkan di atas, penulis
mencoba mengkaji untuk
selanjutnya memilih beberapa
solusi yang paling realistis guna
mengatasi kemacetan di Jakarta.
Solusi ini teriri dari dua tahap,
yaitu solusi jangka pendek dan
jangka panjang. Untuk solusi
jangka pendek, diperlukan
langkah-langkah yang dapat
dilakukan dalam waktu paling
lama satu tahun. Sedangkan solusi
jangka panjang dapat ditempuh
dalam waktu sekitar 5 tahun.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Untuk jangka pendek, beberapa solusi yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Melakukan evaluasi trayek angkutan umum
eksisting (reguler). Hal ini didasari oleh banyaknya
trayek angkutan umum yang tumpang tindih.
Evaluasi ini untuk mengetahui kebutuhan armada
trayek, membatasi pemberian izin trayek baru
secara selektif, mengalihkan kendaraan dari rute
“kurus” ke rute “gemuk”, serta memulai sistem
pemberian izin trayek berdasarkan quality licencing
atau lelang.
b. Memberlakukan contra ow di ruas jalan tol dalam
kota Cawang-Rawamangun.
c. Menambahkan waktu pemberlakuan contra ow di
Cawang-Semanggi. Saat ini, contra ow Semanggi
diberlakukan pada pukul 06.00-09.30. Nantinya
akan contra ow itu akan dimajukan dari pukul
05.00-09.00.
d. Menerapkan contra ow di ruas Grogol-Slipi
e. Mempercepat pembangunan akses tol Tanjung
Priok yang menghubungkan Priok dan jalan tol
Harbour Road.
f. Mendenda angkutan umum yang “ngetem”.
Banyaknya kendaraan angkutan umum (terutama
mikrolet dan metromini) yang berhenti menunggu
penumpang di tepi jalan sering menimbulkan
kemacetan.
Sedangkan untuk solusi yang bersifat jangka panjang,
penulis mengusulkan sebagai berikut:
a. Penegakan hukum. Minimnya penegakan hukum
saat ini membuat pengemudi terlihat biasa dan
bebas melakukan pelanggaran hukum atau aturan
lalu lintas.
b. Memperbaiki layanan kereta api komuter
Jabodetabek. Alasannya, kereta api dianggap
tulang punggung sarana angkutan umum massal di
Jakarta dan sekitarnya. Hal ini dapat dilakukan
dengan tindakan berikut ini:
Rangkaian kereta api perlu ditambah. KRL
Jakarta-Bogor, bisa ditambah 5 rangkaian.
Dengan 8 gerbong, maka sekali jalan bisa
menampung 800 penumpang. Sehari total bisa
40 ribu penumpang. Apalagi jika 1 rangkaian
bisa ditingkatkan jadi 10 gerbong. Tentu
panjang peron juga harus ditambah.
Perlu dibangun double-double track di lintasan
Jakarta Kota-Bekasi dan Jakarta Kota-Bogor.
Selanjutnya pemerintah harus menyediakan
jalur-jalur baru, terutama menuju kota-kota
penyangga. Beberapa kawasan penyangga yang
membutuhkan MRT antara lain Cikarang,
Cibubur, Cibinong, Ciledug, serta Cikupa. Jika
saja pemerintah mampu menyediakan
transportasi massal menuju wilayah urban, maka
kemacetan di Jakarta akan banyak terpangkas.
Menurut kalkulasi penulis, untuk mewujudkan
hal tersebut pemerintah tak perlu merogoh
kocek dalam-dalam. Hanya menyambung jalur
yang sudah ada, dan kemudian dibuatkan
lintasan tambahan menuju ke kawasan tersebut.
Untuk rute menuju Cibubur misalnya, PT KAI
cukup membangun rel antara Cibubur sampai
dengan Lenteng Agung, untuk selanjutnya
disambungkan dengan jalur kereta Jakarta Kota-
Bogor. Atau untuk tujuan Cikarang, PT KAI hanya
menyediakan rel listrik tambahan antara Stasiun
Bekasi dan Cikarang. Sehingga kereta komuter
jurusan Bekasi, bisa diperpanjang hingga
mencapai Stasiun Cikarang.
c. Mensubsidi angkutan umum. Hal ini guna
meningkatkan minat masyarakat memanfaatkan
angkutan umum karena berdasarkan politik
manajemen transportasi, hanya angkutan umum
yang berhak atas subsidi.
d. Melakukan perbaikan kelembagaan bisnis atau
operator angkutan yang ada sekarang. Pengelola
angkutan umum harus berupa badan hukum bukan
individu-individu.
e. Pembatasan usia kendaraan bermotor yang
beroperasi di Jakarta. Hal ini untuk menjamin secara
sistematis bahwa angkutan umum akan
berkembang pelayanannya dan teknologi
armadanya.
f. Menutup pintu keluar tol Bukopin dan Tegal Parang
yang berada di ruas jalan tol Cawang-Semanggi.
Penutupan dua pintu tol itu disebabkan jarak kedua
pintu tol itu yang berdekatan dan padatnya
kendaraan yang keluar melalui kedua pintu itu
menyebabkan kemacetan hingga di jalan tol.
g. Melebarkan ruas tol Pluit ke Kapuk.
h. Menjaga agar kondisi jalan tetap baik, tidak
bergelombang dan berlubang, karena hal ini
mengakibatkan kendaraan harus berjalan lambat
sehingga mengakibatkan macet.
i. Antrian pembayaran jalan tol sebaiknya di pintu
keluar.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
j. Diperlukan rumah susun sewa
murah di pusat-pusat
perkantoran. Rumah susun
ataupun apartemen murah sewa
perlu dibangun di dekat pusat-
pusat perkantoran seperti di
kawasan Jalan Sudirman, Jalan
Thamrin, dan Kuningan. Dengan
keberadaan hunian murah
tersebut, karyawan bisa berjalan
kaki atau naik bus ke tempat
kerja di dekatnya jika jaraknya
cuma 300 meter atau kurang.
k. Di Titik-titik kemacetan jalan
diperlebar dan dibangun Jalan
Layang/Terowongan. Pada titik-
titik kemacetan seperti di
perempatan Pancoran dan
Kuningan, jalan harus diperlebar
1 jalur sepanjang 500 meter,
kemudian dibuat jalan layang
minimal 2 jalur sehingga untuk
yang lurus terhindar dari
kemacetan lampu merah.
l. Kanal yang ada dapat
dimanfaatkan sebagai sarana
angkutan air (water way).
Jerman berhasil membuat
angkutan umum dengan kanal-
kanalnya (Elbe–Havel Canal 56
km dan Mittelland Canal 325
km) dengan panjang total 381
km dan lebar 60 meter yang
menghubungkan bukan cuma
Jerman, tapi Perancis, Swis,
Benelux, dan laut Baltik. Banjir
Kanal Barat dan Banjir Kanal
Timur bisa didayagunakan
untuk angkutan air. Jembatan-
jembatan harus dipertinggi agar
perahu bisa lewat.
m. Berdayakan Mass Rapid
Transportation (MRT). Mass Raid
Transportation (MRT) harus
direncanakan dari sekarang dan
mungkin baru dapat operasional
paling cepat 5 tahun kemudian.
Perlu dibuat jalur kereta yang
benar-benar bebas hambatan.
MRT tidak harus di bawah tanah
atau di jalan layang. Di jalan
biasa pun bisa seperti di rel KA
yang ada atau pun di tengah
jalan tol. Contohnya Trem di atas
yang ada di kota Rotterdam.
Yang penting jalurnya harus
benar-benar bebas hambatan
atau steril. Caranya dengan
membuat jalan layang atau
underpass di persimpangan.
n. Mengatur arus perjalanan truk
dan bus-bus AKAP, yang selama
ini menjadi biang keladi
kemacetan di ibu kota. Salah
satunya adalah dengan
melarang truk-truk besar
melewati jalan tol Lingkar Dalam
Kota, pada pukul 06.00 - 21.00.
Adanya penegakan hukum
terkait pengaturan beban truk,
juga menjadi salah satu hal yang
harus diperhatikan. DLLAJ harus
berani bertindak tegas — dan
tidak berkolusi, terhadap truk-
truk yang melebihi kapasitas.
Karena selain dapat merusak
jalan, tonase yang berlebihan
juga akan mengurangi laju
kendaraan. Agar perekonomian
tak terhambat, pemerintah
harus menyediakan kereta
kontainer, yang membawa hasil-
hasil industri dari Cikarang/
Tangerang ke Pelabuhan
Tanjung Priok.
o. Penertiban angkutan umum,
juga merupakan solusi yang
cukup jitu. Dengan memangkas
separuh angkutan umum yang
kini beroperasi, maka
pemerintah telah mengurangi
setengah kemacetan ibu kota.
Seperti yang diketahui, di jalur-
jalur tertentu angkutan umum
kerap kali menyusahkan para
pengguna jalan. Mereka sering
menjadi “raja jalanan”, yang
dengan seenaknya berhenti dan
menerobos lampu lalu lintas.
Banyaknya angkutan umum di
jalan raya, sering menjadi
keluhan para pengendara. Di
beberapa rute, seperti jurusan
Kemanggisan-Tanah Abang atau
Kampung Melayu-Senen, jumlah
mereka terlampau rapat.
Agaknya pemerintah tidak
mempertimbangkan jumlah
penumpang dan beban jalan,
sebelum mengeluarkan izin
trayek tersebut. Sehingga sering
didapati, banyak angkutan
umum pada rute tersebut yang
kosong.
p. Penataan pedagang kaki lima
(PKL) dan perparkiran, harus
pula menjadi perhatian
pemerintah. Kini banyak jalan-
jalan protokol di ibu kota, yang
sebagian badannya digunakan
oleh para PKL. Jalan Basuki
Rahmat di Jakarta Timur
misalnya, menjadi contoh
bagaimana lemahnya
pemerintah dalam menertibkan
para PKL. Di muka Pasar
Gembrong yang menjadi sentra
mainan anak-anak, separuh
badan jalan digunakan oleh para
pedagang. Padahal tak jauh dari
situ, pemerintah telah
menyediakan pasar yang cukup
representatif. Mahalnya harga
sewa kios di pasar baru tersebut,
menjadi penyebab enggannya
para pedagang untuk berjualan
di dalam pasar. Akibatnya
mereka tetap saja menggalas di
pinggir jalan, yang
menimbulkan kemacetan
berpuluh-puluh meter.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
MENGATASI KEMACETAN MELALUI RENCANA TATA RUANG
WILAYAH
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah 2030, perencanaan terkait dengan sistem dan jaringan
transportasi darat bertujuan untuk mengurangi kemacetan
melalui pengembangan (Pasal 22 Ayat 1):
a. sistem jaringan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(LLAJ) untuk angkutan massal;
b. sistem prasarana jalan;
c. sistem perparkiran;
d. sistem prasarana pedestrian dan sepeda;
e. sistem prasarana angkutan barang; dan
f. sistem jaringan transportasi sungai dan penyeberangan.
Disamping itu, pengembangan sistem prasarana jalan
diarahkan untuk meningkatkan luas jalan agar menambah
aksesibilitas dan mengurangi kemacetan. Akan dilakukan pula
penghilangan tempat parkir di badan jalan secara bertahap,
serta pemberian insentif kepada masyarakat dalam upaya
untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas.
Akan tetapi, mengatasi permasalahan kemacetan lalu lintas
belum menjadi tujuan utama aparatur Pemprov DKI Jakarta.
Hal ini tercermin dari tujuan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Jakarta, yaitu:
a. terciptanya ruang wilayah yang menyediakan kualitas
kehidupan kota yang produktif dan inovatif;
b. terwujudnya pemanfaatan kawasan budi daya secara
optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan 12.500.000
(dua belas juta lima ratus ribu) jiwa;
c. terwujudnya pelayanan prasarana dan sarana kota yang
berkualitas, dalam jumlah yang layak, berkesinambungan,
dan dapat diakses oleh seluruh warga Jakarta;
d. terciptanya fungsi kawasan khusus yang mendukung
peran Jakarta sebagai ibukota negara secara optimal;
e. terwujudnya keterpaduan pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di bawah permukaan tanah
dan di bawah permukaan air dengan mempertimbangkan
kondisi kota Jakarta sebagai kota delta (delta city) dan
daya dukung sumber daya alam serta daya tampung
lingkungan hidup secara berkelanjutan;
f. terwujudnya keterpaduan penataan ruang dengan
wilayah berbatasan;
g. terwujudnya penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil yang berkelanjutan;
h. tercapainya penurunan resiko bencana;
i. terciptanya budaya kota Jakarta yang setara dengan kota-
kota besar di negara maju; dan
j. terselenggaranya pertahanan negara untuk menjaga dan
melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan
segenap bangsa dari segala bentuk ancaman dan
gangguan.
Seharusnya, permasalahan kemacetan di Jakarta menjadi pusat
perhatian dan prioritas utama dalam RTRW Kota Jakarta dan
secara eksplisit terdapat dalam tujuannya. Dengan tidak
terdapatnya permasalahan kemacetan sebagai prioritas utama
RTRW Kota Jakarta, hal ini mencerminkan bahwa masyarakat
Jakarta bersama aparaturnya “sangat menikmati” kemacetan
dan telah menjadi “menu tambahan” setiap hari. Tentunya
penulis sangat tidak setuju dengan pendapat tersebut, untuk
itu penulis berharap agar RTRW Kota Jakarta Tahun 2030
direvisi dengan memasukan “mengatasi permasalahan
kemacetan” sebagai salah satu tujuan penataan ruang Kota
Jakarta.
Beberapa solusi yang telah disampaikan di atas dapat dijadikan
sebagai alternatif pemecahan masalah kemacetan lalu lintas,
dengan memasukannya ke dalam pasal khusus. Dari solusi-
solusi yang telah disampaikan tersebut, penulis telah memilih
solusi jitu yang dapat memecahkan kemacetan lalu lintas di
Kota Jakarta, dan dapat dimasukan dalam revisi RTRW Kota
Jakarta Tahun 2030, yaitu:
a. Penertiban sarana angkutan umum
b. Penataan pedagang kaki lima dan perparkiran
c. Pengembangan dan perbaikan pelayanan Mass Rapid
Transportation (MRT)
d. Pembangunan rumah susun sewa murah di pusat-pusat
perkantoran
e. Pemanfaatan Kanal Banjir Barat dan Timur sebagai sarana
angkutan air (water way).
PENUTUP
Mengatasi kemacetan di Jakarta merupakan suatu usaha yang
sulit dilakukan, akan tetapi usaha menuju Jakarta yang lancar
tetap harus dicari pemecahannya dan diterapkan dengan baik
dan konkrit. Usaha ini harus dilakukan secara terintegrasi,
dimana membutuhkan usaha yang gigih dan serius dari
segenap aparat Pemerintah Daerah serta didukung oleh
masyarakat Jakarta. Masih diperlukan usaha yang gigih guna
meningkatkan kesadaran masyarakat pengguna jalan agar
ketentuan yang diterapkan dapat dipatuhi dengan baik. Agar
tujuan memecahkan kemacetan di Jakarta dapat dilakukan
secara berkesinambungan, walaupun terjadi pergantian
Gubernur, maka hal ini harus dimasukan ke dalam pasal yang
khusus membahas pemecahan masalah kemacetan.
Disamping itu, hal ini juga harus menjadi salah tujuan dalam
RTRW Kota Jakarta Tahun 2030.
DAFTAR PUSTAKA Adya, Afandri, http://jakarta.kompasiana.com/transportasi/2013/03/06/solusi-kemacetan-
jakarta-534578.html
http://proud2rideblog.com/2011/12/24/9-solusi-kemacetan-ala-dewan-transportasi-kota-
jakarta/
http://www.kabar24.com/index.php/jasa-marga-paparkan-7-solusi-kemacetan-tol-di-jakarta/
Nizami, A. http://infoindonesia.wordpress.com/2007/11/08/sumber-kemacetan-di-jakarta/
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
OPINI
S ebuah perjalanan panjang hanya untuk menge-
tahui dan membuktikan sebuah simbol budaya
yang sangat sederhana, terkait dengan Identitas Geo-
gra (IG). Awalnya Saya menaikkan pertanyaan bahwa
“apa kaitan antara geogra dan simbol budaya?” Untuk
memperoleh kaitan itu, Yuk kita sama-sama melakukan
tour pengetahuan ke beberapa tempat di muka bumi
ini.
Huruf atau angka adalah sebuah lambang bunyi.
Mungkin itu juga bisa dikatakan simbol. Tetapi dalam
pembicaraan ini kita fokus pada simbol budaya. Simbol
budaya daerah mana yang ingin diketahui? Jawaban
itu perlu identitas geogra, bukan? Mengapa simbul
budaya bisa eksis di suatu tempat? Mungkin karakter
tempat itu sangat sesuai dengan masyarakat yang
hidup di sana. Jawaban ini juga sangat terkait dengan
kajian geogra manusia dan geogra sik. Kajian
geogra manusia terkait pada karakteristik masyarakat
untuk dapat hidup dan kajian geogra sik terkait
dengan karakteristik alam yang dapat membantu
manusia hidup.
Sekarang, mari kita kembali ke fokus cerita, yakni
perjalanan panjang untuk mengetahui simbol budaya.
Secara pribadi, Saya tidak berencana untuk melalui
perjalanan ini, namun Saya hanya mengikuti
perjalanan hidup dan mengaitkannya dengan topik
kajian itu.
Cerita simbol budaya dimulai dari bangku sekolah
dimana awal 2013 Saya mengikuti pendidikan program
doktor kajian Ilmu Budaya di Universitas Padjadjaran
Bandung (Saya memperoleh beasiswa dari kantor
Kementeria Pariwiata dan Ekonomi Kreatif, yakni
program sandwich antara Universitas Padjadjaran,
Bandung - Universitas La Rochelle, Perancis).
Ketika di Perancis, para mahasiswa program doktor
memperoleh pelajaran dari sebuah Universitas La
Rochelle yang berada di dekat pelabuhan laut kota La
Rochelle. Dimana kota itu bersih dan penduduknya
ramah tamah serta mereka pengendara lalu lintas
yang baik. Suatu pagi seorang Professor Sejarah, me-
mandu para mahasiswa untuk memperoleh ilmu
praktik dari lapang. Pertama, Ia menjelaskan mengenai
mercusuar (Light House) di sebuah pulau di kota itu.
Saya berpikir, “untuk apa Professor itu membawa kami
untuk menceritakan mercusuar? Kemudian Ia
menunjuk sebuah pintu air (Water Gate). Saya berpikir
lagi. Kalau belajar tentang pintu air, bukankah di
Manggarai (Jakarta) juga ada pintu air. selanjutnya, Ia
menjelaskan kepada kami tentang sebuah rambu lalu
lintas. Saya menjadi sangat terheran, bukan karena
cerita sebuah rambu lalu lintas, tetapi mengapa
pelajaran di lapang berbeda dengan pelajaran di kelas?
Selama di sana (Perancis), saya belum menemukan
kaitan antara pelajaran di kelas dan pelajaran di
lapang.
Selesai belajar, para mahasiswa bersiap untuk kembali
ke tanah air (Indonesia). Setelah sampai di tanah air
dan sampai di rumah, Saya beruntung mendapat
berita bagus dengan memperoleh visa dan tiket untuk
melanjutkan perjalanan ke Chicago, Amerika Serikat
dua minggu berikutnya (sekitar Januari 2014). Hal ini
disebabkan oleh istri Saya memperoleh beasiswa
internasional di AS. Sejauh ini, saya berpikir bah-
wa,’bagaimana nanti Saya dapat melanjutkan pelajaran
tentang “simbol budaya” sebagaimana telah
disampaikan di atas? Saya menjawab pikiran saya
sendiri dengan sederhana. Yang penting, Saya pergi
dahulu untuk melihat Chicago (Hometown Barrack
Obama, dan Headquarter McDonald), Saya pikir.
KAITAN SIMBOL BUDAYA
DAN IDENTITAS GEOGRAFI
Oleh: Al Syahrin
Al Syahrin adalah Mahasiswa Program Doktor, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Bandung – Universitas La Rochelle, France (2013-15)
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Kemudian Saya berangkat sendiri
ke Chicago dan mendarat di
pelabuhan udara internasional
O’Hare untuk pertama sekali.
Sampai di Chicago, pertama sekali
Saya diajak untuk melihat-lihat
Universitas Illinois (universitas
dimana salah satu dari alumni
sekolah Geogra UI lulusan
universitas itu) di kota Chicago
dan Universitas Chicago (dimana
pernah Saya baca di sebuah buku
bahwa pengarang buku berjudul
“Regional Planning &
Development” adalah John
Friedmann, yaitu seorang
pengarang asal universitas
tersebut. Keesokan harinya Saya
pergi ke perpustakaan Universitas
Illinois dan mendapat akses boleh
membaca dan meminjam buku di
sana. Saya merasa senang bisa
membaca dan memperoleh ilmu
di perpustakaan. Sangat berbeda
dari yang pernah Saya baca,
suasana dan kandungan bacaan
dari buku-buku perpustakaan.
Peluang ini Saya manfaatkan
untuk mencari sesuatu terkait
simbol budaya yang sudah
diceritakan di atas. Setelah melihat
-lihat beberapa referensi, ada
sebuh buku berjudul “Semiotik”
sebagaimana seorang professor
bahasa pernah menyebut kata itu
yang bercerita tentang simbol
budaya. Dengan senang hati
keesokan harinya Saya kembali
lagi ke perpustakaan dan
membaca buku itu bercerita
khususnya “simbol budaya”.
Selanjutnya, Saya ingat untuk
mencari kaitan antara simbol
budaya dan Identitas Geogra,
sebagaimana pada awal cerita
sudah Saya sebutkan.
Menurut buku itu, simbol budaya
adalah sebuah simbol yang dapat
digunakan untuk komunikasi
budaya. Alat komunikasi yang
digunakan adalah simbol itu.
Bahasa yang digunakan
dianalogikan dengan bahasa
visual. Simbol berupa tanda yang
digunakan adalah sebuah kode.
Selanjutnya, melalui sebuah artikel
Saya menemukan bahwa simbol
budaya adalah IG yangmana IG
sangat terkait dengan sejarah
keberadaan masyarakat di suatu
tempat. Apakah pembaca masih
ingat mengenai cerita geogra
manusia dan geogra sik di atas?
Tentu saja ingat, dan tidak
bosankan? Sekarang mari kita
mulai lagi. Sebuah pertanyaan
muncul dari IG itu. Seorang
geografer asal Kanada bernama
Edward Relph (sekitar tahun 1972)
sudah lebih dahulu membahas hal
itu. Ia hanya menjelaskan identitas
masyarakat dibagi ke dalam dua
kategori, yakni identitas tempat
dan identitas dengan tempat. Nah,
apasih identitas tempat itu?
Identitas tempat adalah berupa
karakteristik sik tempat itu,
seperti tingkah laku manusia iklim,
cuaca, topogra, kandungan
mineral dan lainnya. Sedangkan
Identitas dengan tempat
sebagaimana yang Ia ceritakan
bahwa seseorang akan terkait
dengan suatu tempat disebabkan
mungkin oleh tempat lahir,
kesenangan, kenyamanan, tempat
kerja dan lainnya. Mungkin itu
sejarah panjang yang ditulis
singkat. Sampai di sini cerita itu,
dan penulis berharap kepada
pembaca, khususnya mahasiswa
baru yang ingin belajar geogra
bisa membantu dalam mengerti
sedikit mengenai kajian dalam
geogra.
Salam dari Chicago, 13 April 2015.
Al Syahrinm
Alumni PPS Geogra 2001
Volume 13 / No. 1 / April 2015
GEOTEKNO
PT Hunchison TRI Indonesia (H3I/www.tri.co.id) adalah
salah satu operator Seluler di Indonesia H3I adalah
perusahaan penyedia jasa telekomunikasi yang
berkembang pesat dan beroperasi dengan lisensi
nasional 2G/GSM 1800 MHz dan 3G/WCDMA di
Indonesia. H3I menyediakan layanan internet bergerak
yang berkualitas dan inovatif, serta layanan komunikasi
telepon dan SMS yang terjangkau dengan merek
“3” (baca: Tri), dan terus melakukan ekspansi cakupan
layanan HSDPA hingga ke seluruh wilayah negeri
untuk menghadirkan pengalaman berinternet kelas
dunia bagi Indonesia.
H3I merupakan anggota dari grup Hutchison Whampoa yang menyediakan layanan telekomunikasi bergerak di Indonesia, Vietnam, Sri Lanka, Australia, Austria, Denmark, Hong Kong, Irlandia, Italia, Macau, Swedia dan Inggris.
Saat ini PT H3I menggunakan aplikasi pemetaan Sistem
informasi Geogras sebagai penunjang (support tools)
pada aplikasi manajemen Sitac (Site BTS) yang
bernama Site Management System
SiteMS merupakan singkatan dari Site Management
System, yaitu sebuah system informasi bisnis yang
mengelola data site mulai dari pembangunan site,
perizinan, operasional & maintenance, hingga
mengelola data asset.
Pada pemakaian SiteMS, yang digunakan oleh H3I,
direncanakan untuk mengelola data – data excel yang
dimiliki oleh H3I yang berasal dari laporan vendor
hingga menjadi informasi yang bermanfaat seperti :
Mengelola data – data site mulai dari Site Number,
Site Name, Address hingga koordinat latitude &
longitude
Mempermudah dalam pencarian data Site
Mempermudah dalam pengelolaan dokumen
terkait Site
Mempermudah dalam pembuatan Laporan status
Site
Mengelola pembiayaan Site
Mengelola data maintenance Site
Pembuatan laporan yang memudahkan
pengambilan keputusan
Untuk mendukung fungsi – fungsi aplikasi SiteMS
diperlukan data – data excel yang valid yang sesuai
dengan format yang telah ditentukan dari awal agar
menjaga konsistensi data dan mempermudah dalam
input data.
SiteMS menggunakan arsitektur three-tier client-server.
Pada arsitektur ini presentasi, pemerosesan aplikasi
dan manajemen data merupakan proses yang terpisah
secara logika.Pada arsitektur three-tier client-server
terdapat system komputer yang terhubung ke
jaringan. Satu server dapat menjalankan pemrosesan
aplikasi dan satu komputer server yang lainnya
digunakan untuk manajemen data atau basis data
SiteMS. Pada Server Aplikasi terdapat Web Server yang
berfungsi untuk memproses Aplikasi Web yang di
request oleh klien (komputer klien) kemudian Aplikasi
Web akan berinteraksi dengan Server Database untuk
memproses data – data yang direquest oleh Server
Aplikasi kemudian mengembalikan kembali respond
tersebut ke Aplikasi Server dan Aplikasi Server
menampilkan data yang direquest oleh klien.
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS sebagai salah satu Tools pada Aplikasi Site Management System
Oleh: Mohammad Priadharma
GIS Conguration Manager Australian AID
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Client
[Browser]
Web Server
[SiteMS]
Database Server
[Oracle]
Request
Request
Respond
Respond
Aplikasi SiteMS dibangun dengan model web based
dimana user hanya perlu browser untuk mengakses.
User tidak perlu menginstall aplikasi baru untuk
mengakses nya terkecuali menginstall browser baru.
SiteMS dibuat dengan teknologi open source dalam
hal ini menggunakan PHP dimana PHP merupakan
bahasa pemrograman yang sangat popular dan
banyak dukungan dari banyak pihak. Selain
menggunakan PHP dalam proses data di server. SiteMS
pun menggunakan Java Script dalam pembuatannya.
Sehingga memudahkan interaksi dengan user.
Basis Data atau Database yang digunakan pada SiteMS
adalah Oracle 11gR2 dimana oracle merupakan Basis
Data yang sangat terkenal dalam menangani data yang
sangat besar atau enterprise.
Aplikasi Geographcal Information System (GIS) atau
Sistem Informasi Geogras (SIG) terintegrasi pada
Aplikasi SiteMS menunjang fungsi yang berkaitan
dengan LOKASI dari BTS (Base Tranceiver Station)
Pada aplikasi SiteMS terdapat fungsi Management Site
bernama “co – Location” yang bertujuan sebagai
pemberi informasi lokasi dari masing-masing BTS
Site List ialah menu khusus yang diperuntukan untuk
user non operator. Dimana user dapat mengakses
informasi site saja.
Ketika pertama kali klik Site pada Main Menu maka
akan muncul report summary grak Site On-Air yaitu
laporan Site yang sudah online berdasarkan tahun
berjalan.
Seperti yang telah disebutkan pada awal tulisan
mengenai manfaat informasi yang diperoleh dari
aplikasi SIteMS, maka Aplikasi GIS sebagai pendukung,
membantu memberikan informasi mengenai
pengelolaan (maintain) data – data site mulai dari Site
Number, Site Name, Address hingga koordinat latitude
dan longitude.
Aplikasi yang dirancang masih sangat sederhana ini
menggunakan peta digital yang diterbitkan oleh
Badan Informasi Geospasial skala 1 :25.000 dengan
layer yang digunakan adalah Batas Administrasi dan
layer Tower. Fitur GIS – Co location ini terdapat di
konten Site List.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Site List ialah menu khusus yang diperuntukan untuk user non operator. Dimana user dapat mengakses informasi
site saja.
Bila kita Klik icon Detail, maka akan muncul informasi lokasi BTS secara Peta.
Selanjutnya, untuk beberapa wilayah di jabodetabek, sudah dilakukan link dari peta Google Map 2D dengan peta
Google Earth Pro 3D dimana, tampilan layer Gedung secara 3 Dimensi dapat ditampilkan. Layer Gedung 3D
diaktifkan, untuk menggambarkan pada gedung mana saja terdapat Tower BTS milik H3I
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Saat ini Aplikasi GIS pada PT Huchison 3
Telecomunication hanya terbatas pada pengelolaan
(maintenance) data-data yang berkaitan dengan BTS
dan ditampilkan pada sebuah peta.
Untuk masa yang akan datang analisis 3D dari
teknologi Sistem Informasi Geogras diharapkan
mampu menjawab beberapa kebutuhan di bidang
telekomunikasi seperti simulasi jangkauan sinyal GSM –
CDMA dan HSDPA bila Tower BTS berada pada posisi
yang memiliki ketinggian tertentu.
Selain untuk maintenance Site Management System,
PT Huchison 3 Indonesia juga sudah menggunakan
aplikasi GIS yang bebasis WEBGIS unutk kalangan
internal, di mana aplikasi WEBGIS ini digunakan pihak
Manajemen PT H3I untuk memantau penjualan (sales)
dari tiap-tiap produk PT H3I seperti, sales revenue
untuk pra bayar, pasca bayar, top up dan paket data
internet unlimited untuk smartphone / android di
Sumatera, Jawa, Kalimantan, bali , dan Sulawesi. Untuk
Nusa Tenggara, Papua serta Papua Barat belum
dimasukkan ke dalam coverage service area PT H3I.
Aplikasi ini juga untuk memantau kinerja (KPI = Key
Performance Indicator) seorang sales canvasser GSM
Selular TRI di lapangan, yang melakukan direct sales ke
counter-counter penjualan pulsa GSM – CDMA.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
GEOGRAFIANA
K abupaten Cianjur merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang sangat
rentan terhadap bencana alam, seperti
gempa, longsor, tsunami, maupun banjir. Pada tahun
2013 saja dari bulan Januari sampai September, telah
terjadi 18 kejadian tanah longsor dan 4 kejadian
banjir bandang, dengan kerugian materi lebih dari Rp.
3 miliyar (BPBD Kab. Cianjur, 2013). Keberhasilan
pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan dan
berdaya guna harus menempatkan warga masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana (masyarakat
lokal) sebagai subjek yang berpartisipasi (Gaillard &
Maceda, 2009; Perka BNPB no. 1 Tahun 2012).
Masyarakat lokal adalah mereka, baik yang menjadi
korban utama, maupun mereka yang pertama kali
merespons jika bencana terjadi. Mereka adalah
masyarakat yang kelangsungan hidupnya dan
kesejahteraannya dipertaruhkan. Pengurangan risiko
bencana berbasis masyarakat (PRBBM) mendorong
partisipasi masyarakat yang terancam dalam evaluasi
risiko (mencakup bahaya, kerentanan dan kapasitas)
maupun cara untuk menguranginya. PRBBM
seharusnya mampu memberdayakan masyarakat
dengan pengembangan diri sesuai dengan
budayanya untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan
akibat bencana alam (Gaillard & Maceda, 2009. Cadag
& Gaillard, 2012).
Pembentukan Desa Tangguh Bencana merupakan
salah upaya strategi dari BNPB untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam rangka pengurangan
risiko bencana (PerKa BNPB no. 1 tahun 2012).
Sebagai wilayah yang masuk dalam kategori rawan
bencana alam, Kabupaten Cianjur belum memiliki
Desa Tangguh Bencana. Desa Cibanteng, Kabupaten
Cianjur, merupakan salah satu wilayah yang masuk
kategori sangat rentan terhadap bencana alam.
Faktor sik wilayah (curah hujan tinggi, topogra,
geologi dan penggunaan lahan) dan dibarengi
dengan kondisi faktor demogra, sosial dan ekonomi
menjadikan wilayah ini sangat rentan terhadap
bencana alam, terutama longsor dan banjir (Arin,
2010). Selama periode 2004 -2012 desa ini tercatat
sebagai desa yang sering mengalami kejadian
Bencana longsor/gerakan tanah (BPBD Kab. Cianjur,
2012). Kejadian longsor terakhir yang terjadi di Desa
Cibanteng terjadi pada pada tanggal 15 Mei 2013 dan
menimbulkan kerusakan 57 rumah dan lahan
pertanian (Kusratmoko, et al. 2013). Jumlah kepala
keluarga di Desa Cibanteng tercatat 1516 KK dan
lebih dari 30% termasuk dalam rumah tangga miskin
(Laporan Potensi Desa Tahun 2012).
Mitra utama dalam kegiatan pengabdian masyarakat
ini adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Cianjur. BPBD adalah instansi
pemerintah lokal terdepan di Kabupaten yang
berfungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan
penanggulangan bencana di daerah, serta sebagai
kordinator pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana. Kerjasama yang telah dilaksanakan dalam
kegiatan CEGs tahun 2013 menunjukkan komitmen
yang tinggi dan dukungan fasilitas yang tersedia.
BPBD Kabupaten Cianjur telah berkomitmen untuk
menjadikan desa Cibanteng menjadi pilot project
Desa Tangguh Bencana di kabupaten Cianjur dengan
kriteria utama (sesuai dengan Perka BNPB no.1 tahun
2012). Sebagai mitra yang akan diberdayakan adalah
masyarakat Desa Cibanteng. Dalam program CEGs UI
tahun 2013, Desa Cibanteng (Gambar 1) dijadikan
sebagai model pemberdayaan masyarakat berbasis
pemetaan partisipatif.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA MELALUI
PEMBENTUKAN DESA TANGGUH BENCANA
Oleh: Eko Kusratmoko, Adi Wibowo, dan Sofyan Cholid
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Gambar 1. Peta Desa Cibanteng,
Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten
Cianjur.
Ada 2 program utama yang akan
dilaksanakan kegiatan CEGs tahun
2014 ini yaitu (1) Penyusunan
program pengurangan risiko
bencana; (2) Program
pemberdayaan masyarakat desa
Cibanteng untuk menjadi Desa
Tangguh Bencana. Program ke 1
juga merupakan kelanjutan dari
program CEG’s tahun 2013.
Masyarakat Desa Cibanteng
bersama dengan staf/relawan BPBD
Kabupaten Cianjur dan disupervisi
oleh TIM UI telah melaksanakan
pemetaan partisipatif daerah
longsor dan rawan longsor dan
dihasilkan peta 2 dimensi rawan
longsor. Peta 2 dimensi tersebut
telah digunakan dalam
penyusunan organisas
kebencanaan di desa Cibanteng.
Namun hasilnya masih terbatas,
karena tingkat pendidikan yang
relatif rendah masyarakat Desa
Cibanteng. Program risiko
pengurangan bencana belum
maksimal dapat disusun oleh
peserta pelatihan. Dalam program
ke 1, ada 2 aktivitas yang akan
dilakukan yaitu: (a) Kegiatan
pengenalan wilayah bencana
melalui pembuatan peta 3 dimensi
Melalui proses transfer ilmu
pengetahuan secara sederhana,
diharapkan masyarakat Desa
Cibanteng dengan supervisi tim UI
dapat menyusun peta 3 dimensi
daerahnya sendiri (b) Kegiatan
penyusunan program
pengurangan risiko bencana.
Gambaran kenampakan muka
bumi (topogra) desa Cibanteng
dalam 3 dimensi diharapkan dapat
memudahkan masyarakat Desa
Cibanteng untuk mengetahui
ruang dimana mereka hidup,
sehingga memudahkan dalam
penyusunan program
pengurangan risiko bencan.
Metode pemetaan partisipatif 3
dimensi (participatory three
dimensional mapping or P_3DM)
diharapkan dapat mengatasi
kendala rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat Desa
Cibanteng. Metode P_3DM telah
banyak diaplikasikan dalam
pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam dan
konik pertanahan di banyak
negara (lihat Rambaldi et al. 2002,
2006 dan 2007 untuk kasus di
Filipina, Kepulauan Fiji dan Kenya),
dan dalam beberapa tahun ini
aplikasinya dalam pengurangan
risiko bencana dan adaptasi
perubahan iklim (lihat Capelao,
2007; Dwamena, Banaynal, &
Kemausuor, 2011; Rambaldi, 2012;
Ririmae & Hardcastle, 2011). Sukses
atau tidaknya metode P_3D dalam
penyusunan program PRB sangat
tergantung pada tingkat partisipasi
dari seluruh pemangku
kepentingan yang terlibat.
Sedangkan pengetahuan yang
akan ditransfer mencakup: (a)
Supervisi penyusunan program
penanggulangan risiko bencana (b)
Supervisi penguatan kapasitas
organisasi yang ada dalam
masyarakat untuk menuju desa
tangguh bencana. Melalui program
pengabdian masyarakat ini,
diharapkan masyarakat desa tidak
hanya ditempatkan dalam
perspektif sebagai kelompok
penerima bantuan saja, tetapi
sebagai garda terdepan dalam
menghadapi bencana alam yang
mampu menjadi subjek pengelola
penanganan bahaya bencana alam
secara integrasi dengan kekuatan
lainnya. Luaran yang dihasilkan dari
program ini pada masyarakat
adalah: (a) Masyarakat memahami
secara praktis lingkungannya
sendiri secara mendetil, khususnya
di daerah rawan bencana (b)
Masyarakat dengan mudah dapat
menggambarkan lingkungan
desanya sendiri, sesuai dengan
kemampuan nalar peserta sekitar.
(c) Masyarakat dapat menggali
masalah, potensi dan kebutuhan-
kebutuhan yang diperlukan sekitar
daerah rawan bencana dan dapat
dituangkan dalam dokumen
tertulis (d) Masyarakat dapat
mengorganisir secara mandiri
dalam menghadapi bencana yang
akan terjadi.
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Volume 13 / No. 1 / April 2015
Persiapan pembuatan peta 3 dimensi di kampus UI
Depok. Mulai dari pemotongan kertas, penyusunan,
hingga pengecatan warna.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat di Desa Cibanteng
dengan menggunakan peta 3 Dimensi. Masyarakat
melakukan analisis dareahnya dengan menggunakan
peta 3 Dimensi, kemudian mendata lokasi kejadian
longsor yang telah terjadi di Desa Cibanteng.
Hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat ini yang uta-
ma adalah telah berhasil membentuk Kelompo Kerja
Desa Tangguh Bencana di Desa Cibanteng, Kecamatan
Sukaresmi Kab. Cianjur secara mandiri berdasarkan
kesadaran akan pentingnya Desa Tangguh Bancana.
NEWS FLASH
5th International Conference on Energy and Environmental Science Penang, Malaysia 3-4 September 2015 http://www.icees.org/
9th Symposium of the International Society for Digital Earth (ISDE) Halifax, Nova Scotia, Canada 5-9 Oktober 2015 Towards a One-World Vision for the Blue Planet http://digitalearth2015.ca/
The 36th ASIAN CONFERENCE ON REMOTE SENSING Quezon City, Metro Manila Philippines 19-23 Oktober 2015 Special topics: Fostering Resiliency with Remote Sensing; Remote Sensing for Growth and Development; Development in Satellite Programs for Asia https://www.acrs2015.org/
International Symposyum on Geoinformatics Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur 3-5 Desember 2015 Advancing Geoinformatics Technology and Science for Humanity http://isyg2015.ub.ac.id/
RS/GIS/EARTH SCIENCE CONFERENCES 2015
Volume 13 / No. 1 / April 2015