Download - sastra populer mayang
PENDAHULUAN
Analisis wacana maupun analisis isi (kualitas) sebuah karya yang muncul di media-media
massa, muncul dengan berbagai pola pandang. Analisis ini merujuk pada usaha pencarian makna
dalam tanda-tanda dan simbol yang terkandung di dalam suatu produk kebudayaan semisal karya
sastra. Analisis tersebut akan melahirkan persepsi terhadap sebuah karya yang didalamnya
terkandung berbagai nilai yang menarik bagi penikmat sastra.
Pendekatan macam ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya makna, nilai, simbol
dan ideologi dalam artefak kebudayaan melalui pengamatan terhadap instrumen formal dalam
teks sastra, misalnya, gaya bahasa, struktur naratif, sudut pandang, dan lain-lain. Akan tetapi ada
juga konsumen sastra yang menyukai sebuah sastra karena nilai fantastis atau daya tarik karya
tersebut. Nilai ini biasanya tergantung pada selera masing-masing.
analisis teks sastra kebanyakan menghubungkan tema karya sastra dengan wacana-
wacana sebagai konteks yang ada dalam kehidupan dan juga estetika yang didasarkan pada
kesenangan-kesenangan pembaca ketika mereka berhadapan dengan teks. Sehingga pembaca
tertarik dengan karya tersebut.
Dalam kasus karya sastra, studi resepsi memungkinkan kita untuk dapat mengetahui
bagaimana sebuah teks sastra diberi makna oleh pembacanya. Sastra, selama ini masuk dalam
wilayah seni tinggi, yang sering dihadapkan secara berkebalikan dengan novel-novel populer.
Dalam kebanyakan studi kebudayaan, keterkaitan antara teks dalam novel pop dengan pembaca
memang menjadi tema yang menarik, mengingat novel-novel pop tersebut selama ini lekat
dengan stigma hiburan, ringan dan memanipulasi emosi pembaca. Novel pop, sama halnya
dengan film-film drama yang romantis. Dianggap menjadi salah satu hal yang membentuk
impian perempuan terhadap kisah cinta yang romantis dan dramatis.
Dalam studi resepsi terhadap karya-karya sastra (kanon), tampaknya semangat
“perlawanan” dan negosiasi ini atas makna-makna kultural tidak muncul sebagai sesuatu yang
ditonjolkan betul. Karena dianggap hasil kebudayaan yang lebih bermutu dan serius, sastra jenis
ini dinilai lebih bisa mewakili realitas kehidupan masyarakat sekaligus menjadi refleksi sosial.
nilai-nilai dominan yang direpresentasikan produsen, seperti pada studi atas budaya
(termasuk di dalamnya sastra) pop, melainkan, menurut hemat saya, adalah bagaimana para
pembaca memaknai peristiwa-peristiwa dan gagasan-gagasan yang dihadirkan dalam sebuah
karya sastra, dan apakah pada akhirnya terbuka ruang-ruang dialog antar para pembaca itu
sendiri. Sehingga kritisme pembaca terhadap realitas sosial bisa mendapatkan ruang yang cukup
memadai? Sehingga konsumen pengunyah sastra menyukai sastra tersebut.
Perkembangan industrialisasi (produksi, komunikasi dan konsumsi massa) berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra massa’ atau `sastra populer’, yaitu bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika dan selera orang-orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola industrial. Ada semacam proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja atau tak disengaja—menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah `komodifikasi budaya’ (commodification of culture).
Konstruksi sastra sebagai bagian `industri budaya’, telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra—atau produk-produk kebudayaan lainnya—tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.
ANALISIS NOVEL LASKAR PELANGI
Laskar Pelangi adalah novel pertama karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang penuh dengan keterbatasan. Mereka adalah:
1. Ikal 2. Lintang; Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara
3. Sahara; N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah
4. Mahar; Mahar Ahlan bin Jumadi ahlan bin Zubair bin Awam
5. A Kiong;Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman
6. Syahdan; Syahdan Noor Aziz bin Syahari Noor Aziz
7. Kucai; Mukharam Kucai Khairani
8. Borek aka Samson
9. Trapani; Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari
10. Harun; Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan
Mereka bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP, dan menyebut diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Pada bagian-bagian akhir cerita, anggota Laskar Pelangi bertambah satu anak perempuan yang bernama Flo, seorang murid pindahan. Keterbatasan yang ada bukan membuat mereka putus asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.
Laskar Pelangi adalah karya pertama dari Andrea Hirata. Buku ini segera menjadi Best Seller yang kini kita ketahui sebagai buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah.
Cerita terjadi di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur. Dimulai ketika sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel jikalau tidak mencapai siswa baru sejumlah 10 anak. Ketika itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan, akan tetapi tepat ketika Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.
Mulai dari sanalah dimulai cerita mereka. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa di mana A Kiong yang malah cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah!
Mereka, Laskar Pelangi – nama yang diberikan Bu Muslimah akan kesenangan mereka terhadap pelangi – pun sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara. Misalnya pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus, dan kejeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat. Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan, tertawa dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan, dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian di mana Ikal yang berjuang di luar pulau Belitong kembali ke kampungnya. Kisah indah ini diringkas dengan kocak dan mengharukan oleh Andrea Hirata, kita bahkan bisa merasakan semangat masa kecil anggota sepuluh Laskar Pelangi ini!
Suatu hal yang menarik dalam novel ini adalah Dalam novel yang berjudul Laskar Pelangi ini penulis mengisahkan sebuah cerita tentang arti persahabatan, tidak hanya persahabatan saja yang diceritakan oleh penulis, tetapi juga berbagai pengalaman dan imajinasi yang menarik serta berbagai pengorbanan dan semangat seseorang yang selalu dihadang kesulitan untuk mencapai cita-citanya. Dan masih banyak lagi hal lain yang dialami sang tokoh. Dalam konteks ini kemiskinan merupakan masalah utamanya. Pada umumnya anak-anak yang tinggal di Belitong yang bersekolah di Muhammadiyah adalah anak-anak melayu yang miskin, namun walaupun demikian semangat dan kemauan mereka untuk bersekolah sangat tinggi. Mereka sangat bersyukur karena masih bisa diterima di sekolah Muhammadiyah, salah satu sekolah yang ada di pulau itu.
Rekaman sastra seperti noverl memberikan berbagai macam gambaran kehidupan masing-masing tokoh. Gambaran kehidupan berbeda-beda walaupun sebuah novel itu dikarang oleh pengarang yang sama. Hal itu tergantung pada alur cerita yang dibuat, karena dari alur cerita kita bisa mengambil kesimpulan yang akhirnya bisa menimbulkan berbagai persepsi dari pembaca.
Novel ini dimulai dengan menceritakan sekolah kampong yang paling miskin di Belitong. Sekolah tersebut merupakan sebuah sekolah yang sangat berarti bagi 11 anggota kelompok Laskar Pelangi dalam novel ini. Sekolah yang sederhana dan serba kekurangan ini memberikan kekuatan bagi kelompok Laskar Pelangi. Para guru di sekolah ini membawa kesan yang mendalam yang secara lansung tidak bisa dilupakan oleh kelompok siswa ini. Guru-guru yang mengajar mereka seperti Bu Mus dan Pak Harfan Efendi membuat mereka akan selalu mengingat jasa beliau, dengan pengorbanan dan semangat yang menggebu-gebu diberikan membuat mereka merasa lebih berani dan tertantang melakukan sesuatu hal yang baru. Sekolah dan jasa guru di sekolah ini membawa kenangan mais bagi mereka, yang pada akhirnya membawa AKU pernah menginjakkan kaki di Almamater Sarbone, sampai berjaya.
PENUTUP
Perkembangan bentuk-bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa dan konsumsi massa telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian (judgement), penerimaan (reception) dan otoritas dalam pengelolaan, penilaian dan penyaringan karya sastra. Muncul berbagai kontradiksi antara bakuan-bakuan penilaian sastra sebagaimana dikembangkan olehlembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, dewan kesenian) dan model konsumsi, pembacaan (reading) dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yangN ‘baik’ dan yang ‘buruk’ atau ‘populer’ tidak ‘popeler’.
Istilah budaya massa juga sering disamakan dengan istilah `budaya populer’ (popular culture), disebabkan kata `populer’ juga menunjuk pada pengertian `rakyat kebanyakan’ dan standard estetik rendah. Misalnya, novel populer atau majalah populer, yang dianggap bermutu rendah, untuk membedakannya dengan novel atau majalah bermutu tinggi dan dalam. Budaya populer menunjuk pada budaya dengan standard rata-rata dan selera orang biasa (ordinary people) yang diproduksisecara massal, untuk membedakannya dengan budaya elit atau kelas atas, yang diproduksi secara khusus. Dalam hal ini, kata `populer’ biasanya dikaitkan dengan kelompok mayoritas yang dikendalikan oleh kelompok elit tertentu di dalam sebuah pola industri budaya.
Sastra dan budaya populer dibangun setidak-tidaknya oleh tiga prinsip. Pertama, imajinasi populer (popular imagination), yaitu imajinasi dan fantasi-fantasi bersifat murahan, picisan, banal, vulgar tentang cinta, nasib, gaya hidup, sebagai cara menarik perhatian `massa populer’. Kedua, komunikasi populer (popular discourse), yaitu berbagai bentuk komunikasi bersifat dangkal, permukaan, menghibur ketimbang mencerahkan dan memberi wawasan pengetahuan. Ketiga symbol populer (popular symbol), yaitu simbol-simbol tentang kecantikan,
kegagahan, kesuksesan, kebahagiaan bahkan kesalehan, yang ditampilkan pada tingkat permukaan.
Sinopsis
SOLD, Mengapa Aku Dijual?
Oleh Satria Setiawan,dkk
Dalam Novel ini diceritakan kisah perbudakan wanita yang dijual oleh ayah kandungnya
sendiri. Berawal dari rencana liburan yang ditawarkan oleh Dad (ayahnya) kepada Zana (tokoh
“aku”) dan Nadia, adiknya, ke Yaman, tempat kakek dan neneknya tinggal. Namun mereka pergi
pada waktu yang berbeda, Zana (15) berangkat bersama Abdul Khada (Pria Yaman, teman Dad)
seminggu lebih dulu dari Nadia. Sedangkan Nadia Berangkat bersama dengan Gowad, yang juga
teman akrab Dad.
Sejak saat itu penderitaan mereka dimulai. Mereka yang mengira akan berlibur dan
bersenang-senang di tempat yang indah sebagaimana yang diceritakan oleh Dad, terkejut dengan
keadaan yang justru berbalik 1800, lebih-lebih mereka diberitahukan telah dinikahkan secara
resmi oleh ayahnya, yang kemudian diketahui bahwa mereka telah dijual seharga 1300
poundsterling kepada Abdul Khada dan Gowad, untuk dinikahkan dengan Abdullah (14) dan
Mohammed (13).
Zana dan Nadia, keduanya terperangkap dalam lembah penderitaan dan perbudakan di
negeri orang, yang merupakan salah satu negeri termiskin di dunia. Dimana perempuan harus
patuh kepada kaum laki-laki. Wanita harus bekerja dari sejak fajar menyingsing hingga larut
malam, mengangkut air dengan bejana di kepala yang bermil-mil jaraknya, bercocok tanam di
tanah yang gersang dengan hanya menggunakan sebuah sendok semen dan belati, sedangkan
kaum laki-lakinya biasanya bekerja ke luar negeri selama berbulan-bulan. Jika tidak menurut
mereka akan dipukuli oleh kaum laki-laki, begitu juga dengan anak laki-laki yang segala nasib
dan ketentuannya berada di tangan ayah mereka.
Akhirnya, karena semangat yang tak pernah pudar selama 8 tahun, dengan hadirnya
seorang dokter yang mau menyampaikan surat mereka pada Mum (ibunya) sehingga Zana (tokoh
“aku”) dapat keluar dari Yaman dengan bantuan pemerintah dan pers Inggris. Meskipun begitu
hingga kini Nadia masih menjadi tahanan di Mokbana, Yaman menunggu Zana dan Mum
menyelamatkannya.
Pengertian Feminisme
Novel “SOLD, Mengapa Aku Dijual?” karya Zana Muhsen dan Andrew Croft ini
merupakan novel yang mengangkat masalah tentang perbudakan. Novel ini diambil dari kisah
nyata wanita yang mengalami perbudakan di Zaman Modern. Novel ini akan dianalisis dengan
telaah feminisme. Sebab Feminisme merupakan ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis
karya sastra dengan kesadaran khusus, bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan
dengan budaya, sastra dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan
diantara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan
dan faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005:5).
Djayanegara (2000: 27-39) menguraikan ragam kritik sastra feminis sebagai berikut.
1. Kritik Sastra Feminis Ideologis, memandang kaum wanita khususnya kaum feminis
sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta
streotipe wanita dalam karya sastra.
2. Kritik Sastra Feminis Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (penulis wanita).
Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti
apakah penulis-penulis wanitamerupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara
tulisan wanita dan laki-laki.
3. Kritik Sastra Feminis Sosialis (Marxis), meneliti tokoh wanita dari sudut pandang
sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat yang tertindas.
4. Kritik Sastra Feminis Psiko analitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para
feminis mencoba mengungkapkan bahwa biasanya mengidentifikasikan dirinya atau
menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada
umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
5. Kritik Sastra Feminis Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini
masih terbatas karena beberapa factor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak
menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis
radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-
an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum
lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme.
Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarkat, penulis lesbian terpaksa
dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambing-lambang, disamping
menyensor sendiri.
6. Kritik Sastra Feminis Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi
rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
(Djajanegara, 2000: 27-39)
Dengan demikian, feminisme menaruh perhatian besar pada kedudukan dan peran
perempuan, seperti yang tercermin pada karya sastra yang mengangkat kisah-kisah tentang
derajat perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat, serta usaha feminisme untuk
memperoleh kesetaraan hak dan pegakuan dengan kaum laki-laki.
Adapun, analisis novel “SOLD, Mengapa aku dijual?” ini menggunakan pendekatan teori
feminisme sosialis (Marxis) yang meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosial/ kelas
masyarakat dimana wanita dianggap sebagai kelas masyrakat yang tertindas.
Konteks Feminis Sosialis
Novel ini mungkin akan mengingatkan kita pada banyak sekali kisah wanita Indonesia
yang menderita karena dipaksa menikah, seperti kisah Siti Nurbaya, Nyai Dasima pada masa
jaman pemerintahan kolonial, dsb.
Berikut adalah kedudukan wanita sebelum dan sesudah Islam:
a. Wanita di mata Orang-orang Yunani
Di mata mereka wanita sangat dilecehkan dan diejek. Sampai-sampai mereka mengklaim kaum
wanita sebagai najis. Wanita boleh dirampas haknya dan boleh diperjualbelikan di pasar-pasar.
b. Wanita di mata orang-orang Rumawi
Mereka terkenal dengan semboyang “Wanita Tidak Punya Ruh”. Kaum wanita mengalami
berbagai macam siksaan yang kejam.
c. Wanita di mata orang-orang Cina
Orang-orang Cina menyamakan wanita dengan air penyakit yang membasuh kebahagiaan dan
harta. Seorang berkebangsaan Cina berhak menjual istrinya sebagaimana budak perempuan.
d. Wanita di mata orang-orang Hindu
Di dalam syariat Hindu dijelaskan: “Sesungguhnya kesabaran tertentu, angin, kematian, neraka,
racun dan ular itu tidaklah lebih jahat ketimbang wanita.
e. Wanita di mata orang-orang Yahudi
Ada sama orang Yahudi yang menganggap wanita itu derajatnya sama seperti pelayan. Jadi
ayahnya berhak menjualnya dengan harga murah sekalipun.
f. Wanita di mata orang-orang Nasrani
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya wanita adalah sumber kejahatan, malapetaka yang disukai,
sangat penting bagi keluarga dan rumah tangga, pembunuh yang dicintai, dan musibah yang
dicari.
Pada tahun 586 Masehi, orang-orang Ferancis pernah menyelenggarakan sebuah konferensi
untuk membahas masalah: Apakah manusia dianggap sebagi manusia atau tidak? Kalau ia punya
ruh, maka apakah ruhnya itu ruh hewan atau ruh manusia, apakah ia sama dengan ruh hewan
atau ruh laki-laki atau lebih rendah?
Akhirnya konferensi itu menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa wanita adalah seorang manusia.
Akan tetapi ia diciptakan untuk melayani kaum laki-laki saja.
(Haya binti Mubarok Al Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah)
Kenyataan di atas tentunya bertentangan dengan paham yang dianut oleh kaum feminis,
yang jelas-jelas menuntut adanya kesetaraan gender dengan kaum laki-laki. Berdasarkan literatur
tersebut, kita kaitkan teori-teori tersebut dengan kajian novel yang berjudul SOLD, Kenapa Aku
Dijual?”
ANALISIS FEMINISME CERPEN “CATATAN SEORANG PELACUR” KARYA PUTU ARYA TIRTHAWIRYA
Sinopsis
cerpen “catatan seorang pelacur “ bercerita tentang refleksi panjang
seorang wanita penghibur bernama Neng Sum tentang kehidupan yang ia
jalani saat itu. Refleksi panjang tersebut ia curahkan dalam buku hariannya
yang menjadi teman setianya menjalani hari-hari yang penuh
tantangan.menurutnya buku harian adalah tempat mencurahkan segala hal
yang bersifat pribadi, suatu rahasia yang dapat meringankan beban jiwa.
Persoalan cinta adalah persoalan yang pertama terlintas di benaknya.
Di dalam kamar kosong, di depan buku hariannya, bagi dirinya yang telah
terlanjur bergelimang lumpur, maka cinta ( dalam arti suami-istri) adalah
omong kosong. Ia pernah menikah namun kembali ditengah masyarakat
yang begitu membenci dan mengutuki pelacuran, para lelaki merasa
janggal, aneh, melihat kehadirannya di tengah kehidupan mereka yang
sopan.
Malam itu, lelaki terakhir yang ia layani adalah mantan tetangganya. Seorang lelaki yang tidak
menjaga kesetiaannya, ia mencari kenikmatan di luar lantaran istrinya belum mau punya anak lagi. Ia tak
dapat membayangkan seandainya saat itu istrinya memergokinya.
picture by googleTerlintas di benaknya lagi penghidupan yang hitam dihadapanya,
tanpa batas waktu kapan akan berakhir. Ia hidup sebatang kara, meskipun ia
masih punya keluarga, tetapi mereka malu dan menganggap kehadirannya
ditengah mereka adalah sebuah angka nol. Saat ini ia berpikir bahwa hidup
selanjutnya betul-betul berada di tangan sendiri. Apakah mau dihancurkan
atau membinanya.
Dalam keterpurukannya itu ia juga sadar, ia tidak mau seperti Aisah
yang menghamburkan uang demi cinta palsu setiap lelaki. Setelah beberapa
hari kembali lagi menjadi seorang pelacur. Ia juga tak mau seperti Emi yang
menghamburkan uang dengan makan makanan mewah, minum minuman
keras, mabok. Setelah itu ia kembali menjadi pelacur dan merati hidupnya.
Neng Sum berusaha menghindari kehidupan seperti Aisah dan Emi
tersebut. Ia berencana setelah mengumpulkan uang secukupnya ia akan
mengucapkan slamat tinggal pada penghidupan yang memalukan ini.
Dengan uang tersebut ia akan berusaha berdagang dan dalam pada itu
untuk sementara menutup pintu bagi cinta yang bersifat spekulasi.
PENDAHULUAN
Sejak gerakan feminisme dimulai beberapa abad yang lalu persoalan
akan kesetaraan gender tiada habis-habisnya. Di sisi lain orang ramai-ramai
memperjuangkan persamaan hak dan perlakuan diskriminasi terhadap
perempuan, namun di sisi lain pula penindasan dan diskriminasi masih terus
terjadi.
Feminisme itu sendiri berasal dari kata Feminism (Inggris) yang berarti
gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
wanita dan pria (Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ketiga) Pengertian
feminisme juga dikemukakan oleh Kutha Ratna dalam buku yang , berjudul
“Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra” mendefinisikan feminisme
secara etimologis berasal dari kata femme (woman), yang berarti
perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan (jamak), sebagai kelas social.
Perjuangan feminisme tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah
satunya lewat karya sastra. Dalam karya sastra membicarakan feminisme
berarti membicarakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
perspektif gender. Dalam makalah ini penulis hendak menganalisa cerpen
berjudul “ catatan seorang pelacur” dengan kajian feminisme sastra.
PEMBAHASAN
Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap
aspek ketertindasan wanita atas diri pria (Kutha Ratna: 2007). Teori sastra
feminis juga melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu
mayarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada
kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut
mempengaruhi hubungan antara perempuan dalam tingkat psikologis dan
budaya.
Dalam cerpen “ catatan seorang pelacur” tergambar dengan jelas
bagaimana kehidupan seorang pelacur benama Ning Sum yang terasing dari
kehidupan yang baik-baik. Dalam cerpen tersebut Ning Sum
menggambarkan bahwa wanita sebenarnya hanya obyek seks semata laki-
laki.
“ Mereka telah kehilangan tubuhku yang sebetulnya dapat mereka jadikan mangsa yang nikmat waktu napsunya mengubah mereka menjadi drakula atau seekor kucing kelaparan yang dimatanya aku adalah seekor tikus betina”Suatu kenyataan pula bahwa laki-laki tidak pernah bisa menjaga
kesetiaannya baik-baik. Mereka hanya berpura-pura setia.
“ pak, kan sudah punya istri yang masih muda lagi cantik” gurauku menyambutnya.“ tapi dia belum ingin punya anak lagi” jawabannya dengan senyuman yang membungkus kehausan dan mata seekor vampir sewaktu aku melepaskan pakaian dan dia mencegahku setengah mati ketika aku pura-pura memadamkan lampu.Kehidupan yang ia jalani sebelumnya memang sungguh menyakitkan
baginya. Ketika ia sudah melepaskan diri dari pekerjaan yang hina itu,
menikah dan mencoba hidup baik-baik, ia mendapati kehidupan yang jauh
dari bayangannya, setelah ia hidup di tengah masyarakat yang sangat
membenci dan mengutuki pelacuran. Bahkan keluarganya pun menganggap
kehadirannya adalah angka nol bahkan keluarganya bersyukur jika ia tidak
muncul lagi di mata mereka.
Hal ini menggabarkan bahwa nilai-nilai budaya yang dianut suatu
masyarakat menempatkan wanita pada posisi tertindas dan terasing dari
kehidupan. Hal ini berlaku umum di masyarakat kita, profesi semacam
pelacur dianggap sebagai profesi yang kotor dan penuh dosa, tanpa disadari
bahwa terkadang banyak wanita yang menjadi pelacur lantaran penghidupan
yang susah dan berat.
Dari cerpen tersebut, suatu hal positif dapat diambil dari sikap tokoh
Neng Sum yang begitu tegar menghadapi kehidupannya saat itu. Ia tidak
mau seperti Aisah dan Emi yang hancur hidupnya karena cinta buta para
lelaki. Sebagai wanita yang tegar ia memiliki rencana hidup, yaitu keluar dari
kehidupan yang dicap kotor ini dan memulai hidup baik-baik. Dan satu hal
lagi, ia akan menutup diri dari cinta bersifat spekulatif.
Lewat cerpen ini, Putu Arya Tirthawirya ingin menyampaikan bahwa
perempuan seperti Neng Sum yang dicap kotor di tengah masyarakat perlu
dihormati dan dihargai. Mereka juga menjalani kehidupan semacam itu
bukan karena apa-apa tetapi karena persoalan hidup yang menghimpit.
Sebenarnya juga, wanita-wanita malam yang berseliweran dan menjadi
mangsa laki-laki juga memiliki impian hidup baik-baik dan normal seperti
yang lainnya.
PENUTUP
Persoalan feminisme memang tiada habisnya. Bahkan mungkin akan
terus berlanjut. Namun perjuangan feminisme juga tidak pernah berhenti.
Termasuk juga lewat karya sastra. Lewat karya sastra banyak pesan yang
disampaikan terkait persoalan feminisme, seperti dalam cerpen catatan
seorang pelacur. Perempuan hendaknya bebas dari diskriminasi hak dalam
kehidupan tak peduli apapun profesi yang dijalaninya. Jangan karena ia
seorang pelacur lalu kita mengucilkannya dari kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Cetakan Kedua, Jakarta: Balai Pustaka
Hardjana, Andre.1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Gramedia. Jakarta
Hoerip, Satyagraha, Editor. 1986. Cerita Pendek Indonesia IV. Gramedia.
Jakarta
Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,
Yogyakarta : Pustaka
analisis cerpen "pemburu" dengan teori hegemoni
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangTeori hegemoni adalah suatu teori yang menunjukkan dominansi dari satu atau beberapa
pihak terhadap pihak lain yang dilakukan dengan cara terus-menerus. Hegemoni merupakan suatu hal yang dengan mudah dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hegemoni sebagai konsep untuk mendominasi, mengarahkan dan mengendalikan orang lain melalui ide dan gagasan mampu mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Pada hakekatnya hegemoni akan selalu punya taktik untuk terus-menerus memperoleh dukungan dan sebaliknya yang tertindas tidak selalu berani melakukan perlawanan. Cerpen Pemburu karya Agus Noor di analisis dengan menggunakan teori hegemoni. Dalam cerpen ini tampak beberapa dominasi kelas sosial yang cocok di analisis menggunakan teori hegemoni.
B. Rumusan Masalah1. Bagaimanakah konsep teori hegemoni marx pada cerpen “pemburu” karya agus noor yang
menunjukkan Negara sebagai alat represif bagi kelompok penguasa?2. Bagaimanakah konsep teori hegemoni marx pada cerpen “pemburu” karya agus noor yang
menunjukkan bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan dominasi kekuatan?
3. Bagaimanakah konsep teori hegemoni marx pada cerpen “pemburu” karya agus noor yang menunjukkan kekuatan?
4. Apa sajakah bentuk hegemoni dalam cerpen “pemburu” karya agus noor?
C. TujuanAdapun tujuan kami membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dalam materi
TEORI SASTRA, sekaligus agar mengetahui bagaimana analisis karya sastra menggunakan teori hegemoni. Khususnya yang.
D. ManfaatManfaat yang di peroleh dari pembuatan makalah ini adalah dapat menambah khazanah
pengetahuan masing-masing individu yang ikut serta membuat ataupun yang membaca makalah ini.
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
Pengertian HegemoniKonsep hegemoni terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi, Negara, dan rakyat
(Bocock,1986). Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Haris Supratno menjelaskan konsep hegemoni merupakan konsep yang lebih luas. Hegemoni dapat dilihat secara makro dan mikro. Hegemoni makro terjadi dalam Negara, sedangkan hegemoni mikro bisa terjadi dalam keluarga. Hegemoni merupakan dominasi kelas soaial atas kelas sosial lain, negara dengan rakyatnya, suami dengan istrinya, ayah dengan anaknya dan lain sebagainya. Dan menyatakan hegemoni Sebagai suatu dominasi kekuasaan satu kelas sosial atas kelas sosial lain, melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan dominasi atau penindasan.
Selanjutnya Prof. Dr. H. Haris Supratno juga menjelaskan bahwa hegemoni dapat dilakukan dengan cara kekerasan, kepemimpinan intelektual, konsesus/persetujuan. Contoh hegemoni dengan kekerasan adalah penyerbuan polisi pada masyarakat yang melanggar.
Teori Hegemoni Karl MaxTeori kekuasaan ala Karl Marx itu identik dengan ideologi yang melegitimasi kelas
penguasa di tengah masyarakat. Dalam batasan-batasan lain, hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme. (http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/teori-hegemoni.html).
Negara diperlakukan Marx sebagai institusi sosial yang mengabdi pada kepentingan sistem ekonomi kapitalistik. Sebagai produk kapitalistik, Negara merupakan alat kelas atas untuk menjamin kedudukannya dan untuk itu dilakukanlah seperlunya penindasan kepada kelas bawah (Sukron Kamil, 2002:125).
Senada dengan hal di atas, Subono (2003) mengemukakan bahwa teori kekuasaan Karl Marx melihat konsep kekuasaan dalam kerangka hubungan yang mutlak antara kelas-kelas yang mendominasi dan yang didominasi dalam masyarakat—antara yang menekan (oppressor) dan yang tertekan (oppressed), antara yang menyisihkan (alienating) dan yang tersisihkan (alienated). Kekuasaan, menurut versi Marxisme adalah kekuasaan yang dibutuhkan oleh kelas sosial (kelas penguasa) untuk mereproduksi model produksinya yang dominan kekuasaan untuk mengeksploitasi kelas yang dikuasai.
Batasan di atas memilah hubungan dua kelas di tengah masyarakat, yakni kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan. Dalam teks lain, kekuasaan itu disebut juga sebagai ideologi Karl Marx (1818-1883).
Sedangkan menurut Prof Dr. H. Haris Supratno menjelaskan konsep Karl Marx sebagai berikut:
a) Memandang negara sebagai alat represif bagi kelompok penguasa,b) Kekerasan satu-satunya cara mempertahankan dominasi kekuatan.c) Ekonomi adalah alat pembelaan dan konflik dalam masyarakat.d) Kekuatan.
BAB IIIPEMBAHASAN
Cerpen “pemburu” karya agus noor ini cocok di analisis menggunakan teori hegemoni Karl Marx yang mempunyai beberapa konsep yakni:
A. Memandang Negara sebagai Alat Represif bagi Kelompok Penguasa.Dalam cerpen ini terdapat beberapa poin yang menunjukkan dominasi kelompok
penguasa yang menggunakan Negara sebagai alat represif untuk orang-orang di bawahnya. Seperti dalam kutipan berikut:“Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang diluar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak diantara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar”.
B. Kekerasan Satu-Satunya Cara Mempertahankan Dominasi Kekuatan.Menunjukkan kekerasan para pemburu terhadap buruannya, sehingga sang buruanpun tak
berani berlaku apa-apa, kecuali hanya tunduk, yang membuat para pemburu merasa berkuasa. Dan membuat dominasi kekuatan para pemburu semakin kuat. Seperti dalam kutipan: “Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, hingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala para korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan,,,”.
Bentuk hegemoni lain juga tercermin ketika pemburu sebagai bangsa yang besar atau sebuah negara yang berkuasa melakukan kekerasan bahkan memburu budak-budak untuk mempertahankan kekuasaan dan kekuatan. Tercermin dalam kuitpan berikut. “Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri.
Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia”.
C. Kekuatan.Hegemoni tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemburu sebagai bangsa yang besar tetapi
juga banyak orang diluar suku, dan dari banyak negara yang mengikuti cara kekerasaan, seperti yang dilakukan para jendral, orang-orang besar dinegara lain, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar yang mengandalkan kekuatan untuk melakukan penindasan.“Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang diluar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak diantara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar”.
Dalam cerpen ini, dapat dilihat letak beberapa bentuk hegemoni yang ada, yaitu:
a) Hegemoni Pemburu Terhadap Binatang-Binatang.Dalam cerpen ini tampak hegemoni pemburu sebagai bangsa yang besar selama berabad-
abad tak pernah gagal memburu binatang-binatang hingga menjelajah keseluruh hutan, hal ini tercermin dalam kutipan: “Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung”
Selain kutipan diatas, bentuk hegemoni juga tercermin ketika pemburu merasa bahwa kekuasaan merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan kebanggaan dan kehormatan. Seperti dalam kutipan: “Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan”.
Bentuk hegemoni semakin tercermin dengan jelas ketika pemburu perlahan-lahan telah menghabiskan dan membunuh seluruh binatang-binatang di dunia untuk mepertahankan kehormatan, seperti tercermin dalam kutipan: “Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh”.
b) Hegemoni Pemburu Terhadap Manusia.
Pemburu merampas, menguasai, dan menjarah para buruannya yakni rakyat, para penjahat yang telah divonis mati, para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran, dan kaum intelektual. Tak hanya itu, kaum perempuan, anak-anak Palestina, ribuan orang yahudi, hingga ke banyak negara melalukan tidakan kekerasaan untuk mempertahankan kemenangan.
“Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan” (Halaman 4). c) Hegemoni pemburu terhadap para kiai Tidak hanya memburu binatang, manusia yang telah habis dan dikuasai dibumi, pemburu juga memburu kiai. Mereka memanfaatkan jutaan kiai untuk mendatangkan jibril. Perburuan terhadap jibril merupakan pengalaman abadi sesungguhnya yang membangkitkan jiwa perburuan yang sejati dengan melakukan dominasi terhadap kiai. Mereka menggiring kiai ke sebuah masjid kecil di pinggir hutan dan membakar masjid masjid tersebut untuk mempertahankan kekuasaan. Seperti dalam kutipan berikut;“Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada masjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung”.
BAB IVKESIMPULAN
Dari analisis di atas dapat di simpulkan bahwa dalam cerpen “pemburu” karya Agus Noor terdapat beberapa hegemoni yang di lakukan dengan cara kekerasan, mengarahkan pemikiran, menanamkan ideology serta intelektual. Yang di lakukan oleh pemburu yang memburu para binatang hingga habis, serta mereka juga memburu manusia-manusia yang bisa di jadikan buruan mereka. Dan hegemoni para penguasa, para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar yang menjadikan Negara serta materi sebagai alat hegemoni mereka untuk alat represif serta alat untuk mempertahankan dominasi kekuatan serta kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/teori-hegemoni.htmlhttp://www.jendelasastra.com/wawasan/essay/kuliah-teori-sastra-dengan-prof-dr-haris-supratnohttp://www.rasmianmenulis.com/2012/03/analisis-cerpen-ripin.html
PEMBURUCerpen Agus Noor
PURNAMA mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan binatang buruan. Kami tak pernah tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan.SAMPAI kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun-ketahun, jumlah kami memang makin membesar.
Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak diantara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar entelope, kemudian menghantam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.“Perburuan tak mungkin berhenti!”“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”“Takdir tak bisa dihentikan.”“Lantas bagaimana?”“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”“Memburu apa?”Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan dari pada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang kehidupan. Meski pun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, dari pada mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama kalian…”Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan. Adakah yang lebih menyenangkan, selalin melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga diantara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sararan perburuan yang menggairahkan.Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang diluar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak diantara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebiasaan berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kembangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menyenangkan. Bahkan mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jendral menyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak
lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara itu memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demosntrans untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih…” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis sayir puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!KAMI pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang tak kami sukai, mengangkangi segala yang kami maui, meski itu bukan hak kami. Kami melibas, menguasai, merampas dan menjarah diantara kemeriahan pesta sembari terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepadan? Tak ada lagi yang sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, hingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala para korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepadan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikan.“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan lasi. Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”Lalu seseorang yang paling tua diantara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling menggairahkan.”“Apa hubunganya dengan para kiai itu?”“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk kita buru!”Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami menggelembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”
Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang. Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera mengeluarkan seluruh senjatakami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasaan.“Kami ingin Jibril,” kata kami kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan sholat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama itu kalian tak bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri…”Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit dimana ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”“Baiklah…”Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, bekelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka. Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang melayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus pun lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berjaga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.SATU bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memperingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi
sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada masjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semesta.“Jibril!!”“Jibril!!”Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?“Buru!”Teriakkan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begini? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak menebah cakrawala.“Kejar!”Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus berterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Kemanapun Jibril melesat, kami pun melesat memburunya.Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.“Kesana!” seseorang dari kami berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami dan segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami…
Yogyakarta, 1995-1998
Analisis menggunakan teori Hegemoni Gramsci
Sosiologi Sastra : Teori Hegemoni
oleh Arga Fajar Yunansyah ( BSI G UNY )
ANALISIS HEGEMONI PADA CERPEN GERIMIS LOGAM KARYA INDRO TRANGGONO
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah Sastra adalah seni kreatif yang bermediakan tulisan. Sedangkan Sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat/bermasyarakat. Hubungan antara keduanya adalah bahwa sastra dianggap sebagai wujud manifestasi dari kehidupan masyarakat. Sastra “tidak hanya” berbicara tentang masyarakat secara umum saja, kadang sastra mengandung muatan-muatan ideologis yang bermaksud mendukung ataupun menentang kekuasaan yang ada. Eksistensi sastra juga tidak hanya dipandang sebagai lembaga sosial yang relatif otonom, namun mempunyai kemungkinan relatif formatif terhadap masyarakat (Faruk, 2010:130) Gramsci menyebutnya dengan Hegemoni, Hegemoni menurut Gramsci adalah kepemimpinan moral dan intelektual (Faruk, 2010:141). Termasuk didalam hegemoni adalah kemampuan mengatur dan menguasai kelompok – kelompok lawannya. Dalam teori hegemoni yang diungkapkan Gramsci, hegemoni diciptakan dari kekuatan material yang disini adalah Ideologi. Dalam makalah ini akan disampaikan penerapan teori hegemoni Gramsci dalam sebuah cerpen karya Indra Tranggono berjudul Gerimis Logam, dalam cerpen ini terdapat plot yang menggambarkan tentang perjuangan menentang hegemoni. Hegemoni yang terjadi secara tersirat menggambarkan keadaan “persekongkolan” aparat-aparat negara dengan pihak-pihak pemilik modal yang berkuasa seperti yang sering terjadi di indonesia dewasa ini. Teori hegemoni dipilih karena teori inilah yang paling relevan untuk dijadikan “pisau bedah” untuk menganalisis plot demi plot yang terdapat di cerpen Gerimis Logam.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan cerpen Gerimis Logam dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Bagaimana bentuk Hegemoni yang terdapat dalam cerpen Gerimis Logam?2. Bagaimana formasi ideologis dalam cerpen Gerimis Logam?3. Siapa yang berkonflik di cerpen Gerimis Logam?4. Adakah upaya melawan kekuasaan yang mendominasi dalam cerpen Gerimis Logam?
C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan bentuk hegemoni yang terdapat didalam cerpen Gerimis Logam.2. Menjelaskan formasi ideologis yang terdapat dalam cerpen Gerimis Logam.3. Menjelaskan konflik yan terdapat dalam cerpen Gerimis Logam.4. Mendeskripsikan upaya perlawanan terhadap kekuasaan yang ada.
Bab 2 Kajian Teori
1. Hegemoni Persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena didalamnya pun berlangsung proses yang rumit. Gagasan dan opini tidak lahir begitu saja melainkan punya pusat informasi, iridasi, penyebaran, dan persuasi. Puncak inilah yang disebut Hegemoni. Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”. Lebih sering kata itu digunakan oleh para komentator politik untuk menunjuk pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk politik, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinnanya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa. (Faruk, 2010 : 132) Yang menciptakan hegemoni adalah suprastruktur/ kekuatan material/ ideologi. Hegemoni disini adalah untuk memperkuat infrastruktur. Suprastruktur berkaitan dengan masalah kultural, sedangkan infrastruktur berkaitan dengan struktur material. Subjek-subjek yang mengisi struktur senantiasa diciptakan dan direproduksi sehingga subjek-subjek yang terhegemoni semakin terjaga dan terpelihara.
2. Tahapan hegemoni yang bersifat Ekonomik-Politis :a. Kesadaran kolektif yang bersifat dalam ruang lingkup satuan sosial tertentu, baru
sebatas perkumpulan.b. Kesadaran solidaritas dicapai di antara seluruh anggota dari satuan kelas, tetapi dalam
lapangan yang murni ekonomik.c. Kesadaran yang melampaui kelas : mulai terbentuk hegemoni karena sudah ada
solidaritas, dengan demikian ideologi menjadi penting. Dalam momen ini, mulai terbentuk kesatuan moral dan intelektual.
3. Raymod Williams membuat garis perbedaan antara Kebudayaan residual, Kebudayaan Dominan, Kebudayaan Bangkit. Kebudayaan Resisual mengacu pada pengalaman, makna-makna, dan nilai-nilai yang dibentuk di masa lalu, yang meskipun bukan bagian dari kebudayaan dominan, namun terus hidup dan dipraktikan di masa kini. Kebudayaan dominan bersifat selektif cenderung memarginalisasikan dan menekan seluruh praktik kehidupan manusia yang lain, Akan tetapi proses itu selalu merupakan proses peperangan dan konflik. Kebudayaan Bangkit adalah praktik-praktik, makna-makna dan nilai-nilai baru, hubungan dan jenis-jenis hubungan yang lain tidak bersangkutan dengan ciri-ciri semata baru dari kebudayaan dominan, melainkan secara substansial merupakan alternatif bagi dan bertentangan baginya.
4. Ideologi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat (kejadian) yg memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Ideologi dalam hegemoni ini adalah konsepsi mengenai dunia yang secara implisit memanifestasikan dirinya dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi, dalam kehidupan individu maupun kolektif (aspek formatif sastra: teori hegemoni).
Bab 3 Pembahasan
Hegemoni di cerpen ini terlihat pada bagaimana pemilik pabrik berusaha mempertahankan kekuasaannya di desa itu, menggunakan perangkat desa sebagai tameng kekuasaannya, mengatasnamakan nasib ribuan pekerja sebagai ideologi untuk melawan kelompok kontra-hegemoni yang mencoba menentang hegmoni.
Dalam cerpen Gerimis Logam terdapat formasi ideologi yang membentuk terjadinya sebuah tatanan masyarakat yang hegemonik, dalam cerpen Gerimis Logam ini terdapat ideologi-ideologi seperti kapitalisme, humanisme, sosialisme, vandalisme, anarkisme, militerisme, dan otoritarianisme. Ideologi-ideologi itu direpresentasikan oleh Indro Trenggono melalui dialog tokoh-tokoh. Formasi Ideologi dapat dilihat di tabel berikut :
Tokoh kelompok kategoriFormasi
ideologi
Ideologi
dominan
Laki-laki
botak hegemoni pemimpinKapitalisme
otoritarianismeKapitalisme
Pak Lurah Pro-
hegemoni
Pemimpin
(perangkat
kapitalisme Kapitalisme
desa)
lelaki
bertubuh
gempal
Pro-
hegemoni
Intelektual
organik
dominan
realisme
militerismeMiliterisme
SatpamPro-
hegemoniAparat militerisme Militerisme
PolisiPro-
hegemoni
Aparat
negaramiliterisme Militerisme
JajakKontra-
hegemoni
Intelektual
organik
bangkit
Humanisme
Sosialisme
Demokrasi
Humanisme
MutiaKontra-
hegemoni
Intelektual
organik
bangkit
Humanisme
sosialismeHumanisme
Warga
desa
Kontra-
hegemoniRakyat
Vandalisme
Anarkisme
Humanisme
sosialisme
Sosialisme
Dalam tabel tersebut terdapat kelompok hegemoni, pro-hegemoni dan kelompok kontra-hegemoni. Kelompok hegemoni adalah aktor utama terjadinya hegemoni (kelompok dominan), sedangkan Kelompok pro-hegemoni adalah tokoh yang mendukung terjadinya hegemoni, kelompok kontra-hegemoni terdiri dari orang yang menentang atau melawan terjadinya hegemoni (kebudayaan bangkit).
Ideologi kapitalisme dalam cerpen ini direpresentasikan melalui tokoh laki-laki botak yang merupakan pemilik dari pabrik jeans dan juga bos lelaki bertubuh gempal, ideologi kapitalisme ini terlihat pada bagaimana dia tetap kukuh mempertahankan eksistensi pabrik jeansnya walaupun sudah dikecam masyarakat desa karena limbahnya yang mematikan, hal tersebut menggambarkan bagaimana bos pabrik jeans tidak mau rugi, karena dengan menutup pabrik sama saja modal yang digunakan untuk pembangunan dan alat-alat produksi akan sia-sia. Sedangkan Tokoh Pak Lurah sendiri sepertinya terkesan melindungi kehegemonian yang dilakukan pemilik pabrik, terlihat pada saat pidato sebelum pemakaman kang marno yang meninggal :
“Selaku daripada lurah, saya harapken daripada sodara-sodara sekalian jangan salah paham.
Meninggalnya daripada Bapak Engkos ini bukan karena daripada limbah pabrik itu. Bukan. Tapi, karena
e..e… daripada penyakit perut… Ya…ya disentri….”
Disitu terlihat bagaimana seorang lurah yang aparat desa, yang seharusnya bisa
menjadi figur pemimpin yang tegas, malah terkesan menutup-nutupi atau bahkan melindungi
pabrik jeans tersebut, hal ini nampaknya menyindir perilaku pejabat-pejabat di tanah air kita
dewasa ini yang lebih mementingkan kaum-kaum kapitalis. Memang Tidak bisa dipungkiri,
kita boleh pura-pura tidak melihat atau mendengar namun kenyataannya seperti sudah menjadi
rahasia umum jika “sedikit banyak” kapitalis-kapitalis yang mempunyai “pelindung” pejabat-
pejabat.
Laki-laki bertubuh gempal memiliki elemen ideologi militerisme, ideologi militerisme lebih
biasa disebut mematuhi perintah atasan, Tokoh Lelaki gempal ini merupakan tangan kanan dari
pemilik pabrik jeans, dia mempunyai peran melawan segala sesuatu yang menghalangi
kepentingan pemilik pabrik jeans apapun caranya, terlihat pada saat penculikan terhadap Jajak
yang diaanggap sebagai provokator yang ingin menutup pabrik jeans. Lelaki gempal ini juga
memperlihatkan ideologi realisme, terlihat pada kutipan dialog berikut:
“Aku hanya mengajak Bung untuk berpikir realistis!”
“Tapi begini Bung. Sekarang suasana sudah berubah. Konstelasi sudah berubah. Apa yang dulu kita
anggap musuh, sekarang sudah tidak jelas. Jadi lucu kan, kalau kita masih berpikir hitam-putih… Bung
lihat sendiri. Banyak orang yang dulu jadi legenda kini telah mencair jadi orang biasa. Kepala mereka
yang semula berisi kalimat-kalimat gagah kini berganti kartu kredit. Bung lihat sendiri, berapa puluh
pejuang kini hanya jadi kelangenan kekuasaan dan uang….”
Disitu lelaki bertubuh gempal bercerita tentang keadaan zaman sekarang, yang “lagi-
lagi” menjadi ironi bagi kehidupan masyarakat sekarang ini, yang memang telah tercipta
konsepsi umum yaitu uang adalah raja. Uang seperti telah menjadi tuhan, setiap orang
mungkin akan melakukan apapun demi uang, kadang yang buruk dianggap baik demi
mendapatkan uang.
Satpam dan polisi termasuk dalam kelompok aparat negara, dalam cerpen ini
digambarkan polisi dan satpam bertugas melindungi pabrik dari amuk massa, seyogyanya
aparat negara haruslah netral, namun sepertinya kenetralan polisi telah hilang, terlihat pada
polisi menembaki demonstran hingga roboh
“Beberapa orang pengunjuk rasa roboh terkena timah panas”.
Sepertinya polisi lebih berpihak pada pemilik pabrik, polisi cenderung melakukan apapun untuk
melindungi kapitalis, hingga melupakan humanisme dengan menembaki para demonstran.
Kelompok aparat negara cenderung berpihak pada kapitalisme.
Jajak, tokoh ini adalah aktor intelektual dari kelompok bangkit yang menentang
hegemoni pemilik pabrik, Jajak mempunyai ideologi sosialisme dan humanisme, yang dimana
dia memperjuangkan hak warga desa dan menghentikan adanya korban-korban lain dari limbah
dari pabrik jeans itu. Jajak digambarkan memiliki ideologi yang kuat, terlihat pada reaksi Jajak
saat ditawari cek oleh pemilik pabrik agar supaya menghentikan demonstrasi :
“Anda pikir kepalaku ini hanya berisi lumpur? Maaf, aku masih bisa hidup dengan jalan yang tidak
menjijikkan ini,” Jajak membuang cek.
Disitu Jajak menolak mentah-mentah tawaran yang diberikan pemilik pabrik, Jajak tetap
memegang teguh konsep humanismenya, jikalau Jajak menerima tawaran itu maka sama saja
Jajak menghianati warga desa yang berujung pada semakin banyaknya korban-korban yang
akan mati lagi. Tokoh mutia sendiri tidak jauh berbeda dengan ideologi Jajak, mengingat Mutia
adalah istri dari Jajak.
Warga desa jelas pihak yang paling dirugikan dalam hegemoni yang dilakukan pemilik
pabrik, telah banyak korban yang berjatuhan dikarenakan pemilik pabrik tidak mengelola
limabah pabrik dengan baik. Amarah warga desa akhirnya pecah saat warga datang beramai-
ramai ke pabrik jeans pasca kematian kang Marno. Disitu terlihat vandalisme dan anarkisme
dari warga desa. Hal itu bisa dimaklumi karena memang warga kecewa dengan pemilik pabrik
dan juga disitu disebutkan bahwa warga heran kenapa pabrik seperti itu bisa mendapatkan izin
produksi dari pemerintah, seperti terlihat pada kutipan berikut :
“Siapa yang akan menyusul Kang Marno. Cepat atau lambat limbah pabrik itu kan menggulung riwayat
kita. Kita telah dibunuh surat keputusan yang dikeluarkan pemerintah… ”
Disini untuk kesekian kalinya menyindir kebiasaan pemerintah yang dengan mudahnya
mengeluarkan surat izin produksi untuk kapitalis-kapitalis yang punya banyak uang.
Konflik dalam cerpen ini terjadi dikarenakan pihak dominan tetap kukuh
mempertahankan hegemoninyanya, disisi lain dominasi yang dilakukan pihak dominan
merugikan masyarakat, sehingga terjadi ideologi kebudayaan bangkit yang mencoba
meruntuhkan hegemoni pihak dominan. Ideologi kebudayaan bangkit mencoba melawan
dikarenakan eksistensinya terancam kebudayaan dominan. Konflik tersebut memicu sebuah
perlawanan dari masyarakat. Awalnya masyarakat mencoba melakukan konsolidasi dengan
perundingan pihak dominan namun menemui jalan buntu, sehingga masyarakat bergerak
dengan melakukan demonstrasi besar-besaran dan ingin mengrusak paksa pabrik jeans itu.
Kesimpulan
Cerpen Gerimis Logam memanglah sebuah cerpen yang mengangkat persoalan ekonomi-politik. Dalam cerpen ini terdapat formasi ideologis yang membentuk sebuah hegemoni yang diantaranya adalah kapitalisme. Hegemoni yang terjadi dikarenakan pemilik modal ingin mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan menghalangi setiap pengganggu yang berusaha menghalangi tujuannya. Sedangkan kelompok kontra-hegemoni dalam cerpen ini kebanyakan berpaham humanisme dan sosialisme.
Kajian menggunakan teori hegemoni dirasa memberikan gambaran lain tentang dunia sastra, sastra tidak lagi dipandang sebagai sebuah tulisan biasa saja, sastra menjadi semacam cerminan paling relevan untuk menggambarkan kehidupan nyata.
Daftar Pustaka
Faruk. 2010 . Pengantar Sosiologi Ssatra (edisi revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damono, Sapardi D. ,1978 . Sosiologi Ssatra : Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
http://cerpenkompas.wordpress.com/2005/03/27/Gerimis-Logam/
MAKALAH DEKONSTRUKSI
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Pemikiran
Sebagaimana kita ketahui sastra tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Semenjak kita
masih balita, kita telah mengenal yang namanya sastra yaitu berupa dongeng-dongeng yang
diceritakan oleh orang tua ataupun kakak-kakak kita. Seiring berjalannya waktu sastra pun
semakin kita kenal dan tidak hanya berupa dongeng, melainkan bentuk sastra lainnya seperti
puisi, cerpen, novel ataupun film yang bisa digolongkan pada jenis karya sastra puisi, prosa, dan
drama.
Kita sebagai mahasiswa apalagi jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah banyak
karya sastra yang telah kita baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam membaca teks karya
sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah
dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan
mentelaah teks secara umum saja.
Kita pada saat ini telah berada pada masa postmodernisasi, pandangan-pandangan seperti
diatas tidak diinginkan dalam sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk lebih kritis dalam
membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode pembacaan teks seperti dekonstruksi.
Dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan
konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungakapn atau bentuk-
bentuk kebahasaan yang bermkana tertentu dan pasti. Hal ini yang menjadikan paham
dekonstruksi sebagai poststrukturalisme.
Dengan menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks diharapkan kita bisa
melihat fakta-fakta lain dalam teks karya sastra. Sehingga tidak ada kemutlakan dalam
memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang absolut serta menemukan
hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan.
1.2 Permasalahan
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.2.1 Bagaimana pengertian dekonstruksi?
1.2.2 Bagaimana sejarah dekonstruksi?
1.2.3 Siapa tokoh-tokoh dalam dekonstruksi?
1.2.4 Apa saja prinsip-prinsip dalam dekonstruksi?
1.2.5 Bagaimana dekonstruksi aliran Amerika?
1.2.6 Bagaimana metode penelitian dekonstruksi?
1.2.7 Contoh tulisan dengan metode dekonstruksi.
1.2.8 Apa tujuan dari teori dekonstruksi?
1.2.9 Bagaimana penerapan dan sistematika dekonstruksi?
1.2.10 Apa pengaruh dekonstruksi terhadapa kajian budaya?
1.2.11 Apa kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi?
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.3.1 Mendeskripsikan pengertian dekonstruksi.
1.3.2 Mendeskripsikan sejarah dekonstruksi.
1.3.3 Mendeskripsikan tokoh-tokoh dalam dekonstruksi.
1.3.4 Mendeskripsikan prinsip-prinsip dalam dekonstruksi.
1.3.5 Mendeskripsikan dekonstruksi aliran Amerika.
1.3.6 Mendeskripsikan metode penelitian dekonstruksi.
1.3.7 Mendeskripsikan contoh tulisan dengan metode dekonstruksi.
1.3.8 Mendeskripsikan tujuan dari teori dekonstruksi.
1.3.9 Mendeskripsikan penerapan dan sistematika dekonstruksi.
1.3.10 Mendeskripsikan dekonstruksi terhadapa kajian budaya.
1.3.11 Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi.
BAB II Dekonstruksi
2.1 Pengertian dekonstruksi
Dari sumber (http://yesalover.wordpress.com/2007/03/16/dekonstruksi-derrida-upaya-untuk-
memecah-mecah-konsep/) terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yaitu
sebagai berikut, secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penokohan,
penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi,
yaitu gagasan.
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara
hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural
sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi
dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun
tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat
wacana.
Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang
kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah
dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Dari sumber lain, dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks. Dengan
dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai
konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu
kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut
pembentukannya dalam sejarah. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi).
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam
penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu
yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan
intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku
universal.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang
bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke
hadapan kita.
Inilah beberapa pengertian dari dekonstruksi. Salah satu tokoh dekonstruksi yaitu Jacques
Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu
term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah
yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu
metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida
ingin membuat kita kritis terhadap teks.
2.2 Sejarah Dekonstruksi
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara
definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida
(1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan
melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis.
Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya
yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences “,di universitas
Johns Hopkins tahun 1966.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika
dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika,
sebagai aliran yale.
2.3 Tokoh-tokoh dalam Dekonstruksi
Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan
hadir melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah
Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di
Perancis.
Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris,
Perancis tanggal 8 Oktober 2004 –Karena itu Derrida lebih dikenal sebgai filosof Perancis
daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama
kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep. Dekonstruksi
merupakan alat yang digunakannya untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi
kita selama ini. tokoh selanjutnya adalah Nietzsche. Selain itu di Amerika terdapat juga tokoh
dekonstruksi yaitu Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.
2.4 Prinsip-prinsip dalam Dekonstruksi
Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:
1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2. Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)
dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-
akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya
sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan
cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang
menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus
menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru.
Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah differEnce dan
differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan
melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus berarti
to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi
temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan tanda
dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang
tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to
defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata
difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun
selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dan
kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjdai terkenal karena konsep
dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce, trace, dan dencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968
dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-
Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dan differance, bahasa kamus baik bahasa
Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui
ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan
ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam
suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu
yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-
tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non
pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan
mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan
tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran
pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah
tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa
lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang
dengan sendirinya sudah tertulis.
2.5 Dekonstruksi Aliran Amerika
Aliran dekonstruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika
dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika,
sebagai aliran yale.
Tokoh-tokoh deonstruksi Amerika diantaranya: Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery
Hartman, dan Harold Bloom. Paul de Man (Eagleton,1983:145;Selden,1986:96) lahir di Belgia,
merupakan seorang Filolog dan kritikus sastra. Paul de Man memandang bahwa semua bahasa
bersifat metafora, bahasa sastra mendekonstruksi hakikatnya sendiri. Hillis Miller memusatkan
perhatian pada dekonstruksi rekaan Goeffery Hartman memusatkan perhatian pada sastra
kontemporer, teks-teks injil, dan kritik kebudayaan. Harold Bloom menggabungkan teori trope
atau bahasa kias, psikologi Freut dan teks injil.
2.6 Metode Penelitian Dekonstruksi
Karya sastra adalah cipta seni yang bermediumkan bahasa yang dominan Unsur estetiknya.
Bahasa yang dipakai sebagai medium di dalam karya sastra menggunakan bahasa tingkat kedua
(significance) atau konvensi tambahan (Preminger via Pradopo, 1995: 121). Penggunaan bahasa
tingkat kedua dalam karya sastra memungkinkan lahirnya penafsiran yang banyak terhadap
karya sastra tersebut. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan makna tunggal dari sebuah karya
sastra adalah sesuatu yang mustahil. Sebab setiap penemuan jejak makna dalam sebuah teks,
akan melahirkan jejak baru dibalik makna tersebut (Derrida dalam Norris, 2003: 12).
Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif. Ia mengingkari makna
monosemi (Selden, 1985:88). Jadi untuk pemaknaan ini sangat longgar. Oleh karena itulah
banyak tafsir terhadap objek. Menurut Norris (2003:24) dekonstruksi merupakan strategi untuk
membuktikan bahwa sastra bukanlah bahasa yang sederhana.
Hakekat dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh peneliti
dan menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi proses
membedakan dan menangguhkan (difference). Istilah difference ini diungkapkan pertama oleh
Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana yang mampu
menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan untuk
dijabarkan. Bagian ini disebut titik aphoria (Norris, 1982:49). Titik aphoria selanjutnya akan
menimbulkan alusi. Ketika ditemukan sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan maka
akan timbul asosiasi dengan teks lain atau peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini
bisa dilakukan dengan cara mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana yang
dihadapi. Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di dalam
teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya di luar obyek (prospektif). Jadi cara
ini seperti bermain bebas (free play).
Dekonstruksi sangat percaya kepada teks. Teks mempunyai otonomi yang luar biasa,
segalanya hanya dimungkinkan oleh teks (Junus, 1985:98). Lebih lanjut Umar Junus mengatakan
bahwa sebuah teks punya banyak kemungkinan makna sehingga teks sangat berbeda. Seorang
pembaca tak akan mengkonkretkan satu makna saja, tetapi akan membiarkan segala
kemungkinan makna hidup, sehingga teks itu ambigu. Dekonstruksi lebih menumpukan kepada
unsur bahasa. Bahkan dapat dikatakan dekonstruksi bertolak dari unsur bahasa yang kecil untuk
kemudian bergerak maju kepada keseluruhan teks. (1985:99).
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi
metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi
sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup, 2003:77-79). Metafora mewakili
salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks
berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis.
Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah
teks.
Kata-kata yang dipakai dalam bahasa karya sastra bersifat denotatif sekaligus konotatif.
Pengalaman batin bisa muncul dari asosiasi pikiran dengan arti kata-kata, tetapi sering juga lewat
bunyi kata. Pertalian pikiran yang timbul dari kata bisa melayang, meledak, suci, murni, hitam,
legam dan seterusnya. Hal ini bukan hanya terjadi dari katanya tetapi bisa juga dari bunyi
katanya. Kesadaran akan adanya asosiasi itu melahirkan kecenderungan kepada simbolisme
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi Derrida pun kemudian
menggunakan istilah “trace” sebagai konsep dalam menelusuri makna. Trace (jejak) bersifat
misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan
memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak,
harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-
kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya
pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal pengetahuan
yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam upaya mencari jejak (trace)
sebagai metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca akan bisa mengisi tempat
kosong dalam teks, karena memang sifat karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185).
Inilah penggambaran dari metode penelitian dekonstruksi tersebut.
(http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2009/07/22/dekonstruksi-terhadap-figur-keturunan-darah-biru/)
2.7 Contoh Tulisan dengan Metode Dekonstruksi
Cara pembacaan dengan dekonstruksi dapat digunakan terhadap novel-novel pada
umumnya. Disini penulis mengambil contoh cara pembacaan dengan dekonstruksi pada novel
Siti Nurbaya.
Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis
yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang serba jahat,
tokoh hitam. Melalui cara dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan
berperasaan nasionalisme sempit. Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis
( yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu
menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha
bunuh dirinya gagal juga, ia memutuska masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah
Sumatra Barat, yang merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena masalah
blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat
ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih
yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia memerangi
bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak membela kepentingan penjajah.
Dilihat dari dekonstruksi Jaus, yaitu yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud
“sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri dewasa ini, sesuai
dengan konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapai sebagai perbuatan menghianat bangsa.
Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata didorong oleh
motivasi pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan bukan pahlawan cinta
sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain, walau dia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot
tua yang doyan perempuan namun hal ini pun yang menganggapnya baik, misalnya ia justru
dipandang sebagai pahlawan cinta seperti dalam nyanyian kelompok bimbo justru dapat
dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. Dialah yang menjadi salah seorang
tokoh yang menggerakkan pemberontakkan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu
dilakukan terutama juga karena motivasi pribadi: dia yang paling banyak kena pajak. Apapun
motivasinya, ia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang
seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia. Dengan
demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri.
Ahmad Maulana dan Halimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh
pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun, jika dipahami betul pesan-pesan
penting yang ingin disampaikan lewat novel itu, akan terlihat kedua tokoh itu sebenarnya amat
berperan. Dengan perbincangannya dengan Nurbaya, Ahmad Maulana inilah yang
mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih baik
menyengsarakan wanita dan anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya,
banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.
Inila contoh pembacaan sastra dengan dekonstruksi. Pemahaman dan keyakinan yang telah
dikonvensional selama ini diruntuhkan dengan teori ini, dimana posisi dan kondisi yang telah
dikonvensionalkan itu berubah menjadi bertolak belakang.
2.8 Tujuan Dekonstruksi
Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika
Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada
umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu pihak
mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung
banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.
2.9 Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi
dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks
tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habishabisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk
menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa
mengarahkan ke makna makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang
diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undacidabality), yang mengkhianati
setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang
ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan,
dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya.
Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teksm dan mengapa term-
term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk
didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus
dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung
dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan
pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk
membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya
perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-kaya awal dan karya-karya terakhir
Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan
bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu”.
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya
Derrida dilandaskan pada keyakinkannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tidak bisa
dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat
bermuatan filosofi, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar
bukanlah sekedar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang
terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan,
unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut
menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan
keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai
sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran rill yang ekstralinguistik, atau
dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,
mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah
istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional
lama.
Dengan langkah-langkah semacam ini, pembaca dekonstruksi berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan dekonstruksi berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari
makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan
pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup
diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
2.10 Dekonstruksi Terhadapa Kajian Budaya
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi
Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan
stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran tunggal, yang
biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak
lagi bisa diterima.
Secara sepintas, seoalah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi.
Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi
yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna
yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau epatnya, permainan antara
upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan sebagainya.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pemabacaan kritis
yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud
pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang
dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural,
tanpa klaim, absolut atau universal.
Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu
teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah dibaca. Teks itu
sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena
pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang
mempengaruhinya.
Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok
dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan
terhadap perbedaan, dsan membuka diri terhadap yang lain (the other).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan
pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan
kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada
gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing.
Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.
2.11 Kelebihan dan Kelemahan dari Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan
penafsiran. Itulah kelebihan dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan
menafsiri suatu objek tanpa batas. Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak.
Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru
melahirkan makna-makna lain.
Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekonstruktivisme dianggap
era matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi. Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan
lainnya adalah:
1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi
makna, retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai
obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat
menimbulkan apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses
perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna
sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan
demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan dapat dicegah.
4. Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena makna-
makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru
memberi nilai tambah abgi makna-makna baru.
Karena itu, diperlukan sebuah model semiotika baru untuk menjawab kekurangan-
kekurangan tersebut.
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari pembahsan diatas penulis menyimpulkan bahwa dekonstruksi merupakan metode
pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir
anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual:
anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-
anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir
sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Tokoh terpenting
dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli
filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller,
Geoffery Hartman, Harold Bloom.
Prinsip dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna
kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah
dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah
dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi
ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekonstruksi mentut
kita lebih teliti dan kritis terhadap teks sastra.
3.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca untuk menggunakan metode dekonstruksi ini juga
dalam membaca teks sastra agar kita bisa menemukan fakta lain dari pendapat atau anggapan
umum atau bahkan telah dikonvensionalkan. Dengan demikian kita bisa menjadi pembaca yang
kritis atau lebih kritis terhadap teks sastra.
Selain itu penulis juga menyarankan pembaca untuk tidak merasa puas terhadap makalah
dekonstruksi yang penulis sajikan ini dan tetap mencari sumber lain tentang dekonstruksi untuk
menambah wawasan pembaca, karna tidak semua tentang dekonstruksi yang bisa penulis
rangkum dalam makalah ini.
Analisis Dekonstruksi Novel Bumi Manusia
Analisis Dekonstruksi Terhadap Novel Pascakolonial Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Sebagai salah satu Alternatif Bahan Ajar Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA
Zaenal Arief Rakhman
Karya sastra adalah hasil kreativitas manusia yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Kreativitas sastrawan dalam menemukan dan memilih suatu peristiwa atau kejadian untuk dijadikan bahan dan tema karyanya dapat berupa pengalaman yang diolah secara estetis hingga menghasilkan karya baik berupa prosa atau puisi. Sastra merupakan refleksi dari pengalaman hidup pengarangnya. Pengalaman hidup tersebut bisa berwujud pengalaman pengarang sendiri dan pengalaman orang lain yang telah melalui perenungan, penghayatan, dan penjiwaan sehingga menjadi nilai-nilai yang bermakna bagi kehidupan manusia.Berdasarkan paparan di atas dapat pula dikatakan bahwa sastra merupakan cerminan budaya pada saat karya sastra itu dibuat. Oleh karena itu, perkembangan kebudayaan suatu bangsa dapat dipelajari dari karya sastra yang dihasilkan. Jadi, karya sastra jangan hanya dipandang sebagai hasil karya seni yang sempit, tetapi harus dipandang sebagai hasil budaya yang memiliki dimensi luas. Tynjanov dipertegas oleh Mukarovsky (Fokkema, 1977: 31-34) Karya sastra memiliki dua ciri yang selalu hadir bersama yaitu: ciri otonom dan komunikatif. Ciri pertama diperoleh melalui hubungan unsur-unsur dengan totalitas, ciri yang kedua diperoleh melalui hubungan karya sastra dengan sistem kultural. Di sinilah srukturalisme berubah menjadi semiotika, karya sastra sebagai petanda, yang sekaligus menandai lahirnya studi kultural dan pascastrukturalisme pada umumnya.
Lahirnya hubungan antara sastra dengan masyarakat dan kebudayaan merupakan akibat langsung keterbatasan paradigma strukturalisme yang membatasi diri pada analisis dan pemahaman terhadap karya sastra semata-mata pada tataran instrinsiknya (Ratna: 2008: 74).Terdapat dua sudut pandang dalam memahami karya sastra, pertama karya sastra sebagai aktivitas kreatif yang penuh dengan makna. Kedua karya sastra merupakan entitas kosong, karya sastra sebagai manifestasi bahasa biasa bahkan disusun secara gramatikal. Perbedaan pendapat mengenai hakekat bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari sesungguhnya berasal dari kedua kecenderungan di atas. Pendapat pertama mengaggap karya sastra penuh dengan makna, ditunjukan melalui bentuk dan isi. Sebaliknya pendapat kedua beranggapan bahwa karya sastra pada dasarnya hanyalah wadah, instalasi, tempat yang kosong dan harus diakses oleh pembaca.Pendapat kedua di atas seolah-olah memandang karya sastra memiliki tempat kosong, pembaca bebas mencakokan ide-idenya. Cara pemahaman ini menurut Ratna (2008:70) adalah strategi, siasat yang melaluinya justru diharapkan akan menghasilkan makna yang lebih jauh lebih luas dan mendalam. Ruang kosong sebagaimana diintroduksi Iser (1987: 182-203), seolah-olah dengan sengaja disediakan penulis. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa makin banyak ruang kosong yang tersedia, maka makin banyaklah pembaca berdialog dengan penulis. Karya sastra menjadi terisi setelah diisi pembacanya. Pembaca itu banyak, maka makna karya tersebut akan berubah-ubah sebanyak pembaca yang mencoba memahaminya. Karya sastra bersifat terbuka tema, latar, penokohan, plot dan keseluruhan interpretasi terhadap karya sastra , berubah-ubah sesuai kondisi pembaca.Dengan meminjam pembagian yang dikemukakan oleh Lotmann dalam sastra, pemahaman terhadap kebudayaan merupakan pemahaman sistem model pertama, sedangkan studi kultural merupakan pemahaman sistem model kedua. Kebudayaan merupakan analisis bahasa, sedangkan studi kultural merupakan analisis sastra. Analisis bahasa menghasilkan arti, sedangkan analisis sastra menghasilkan makna, (Ratna, 2008:100)Postkolonialisme adalah suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan jejak-jejak kolonialisme dalam konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan kekuasaan yang tak setara” sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di “dunia ketiga”. Itulah yang diungkapkan oleh Manneke Budiman dalam Keith Foulcher (2008:ix). Selanjutnya Foulcher dan Day juga menegaskan bahwa Postkolonialisme adalah “strategi membaca” sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi atau suara pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut.Kajian postkolonial lahir dan berkembang serta memiliki daya tarik karena kesadarannya akan ketimpangan hubungan antara penguasa koloni sebagai subjek dan objek kolonial yang diperintahnya. Demikian pula, bagaimana pola hubungan tersebut masih memperlihatkan warisan yang jelas dan berkepanjangan bahkan setelah koloni memperoleh kemerdekaan. Sasaran kajian poskolonial adalah membongkar pola-pola hubungan kekuasaan tersebut untuk menguak ketimpangan yang melandasinya. Dengan demikian jelas bahwa teori postkolonial sejak semula berhadapan dengan masalah-masalah objektivitas dalam cara pandang maupun operasinalnya sebagi alat pembedah teks. Penulis memilih novel berjudul Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer sebagai bahan pengkajian postkolonialisme. Penulis ingin mengetahui pandangan-pandangan pengarang terhadap isu-isu postkolonial. Novel Bumi Manusia mengisahkan Minke seorang manusia yang berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka.
Disudut lain ia memiliki jiwa keeropaan yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.Dalam Pikirana Rakyat edisi tahun 2009, Manneke Budiman mengatakan bahwa novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer adalah contoh terbaik sekaligus klasik karya sastra yang berbicara tentang kebangsaan. Lebih jauh lagi “derajat” kebangsaan karya lain yang lahir pasca Pram pun diukur dengan tetralogi Pram untuk dinilai kekentalan minat kebangsaanya.Uji kelayakan terhadap karya sastra perlu dilakukan oleh masyarakat dalam pengembangan ilmu pengetahaun dan kebudayaan (Ratna, 2007: 239). Uji kelayakan karya sastra ini biasanya menggunakan Analisis Dekonstruksi. Analisis karya sastra dengan dekonstruksi pada penelitian ini adalah untuk menggali isu-isu postkolonial yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Penelitian karya sastra Model Analisis Dekonstruksi pernah dilakukan oleh Amalia (2009) dengan judul Pengkajian Nilai Feminisme Novel Ketika Cinta bertasbih Karya Habiburahman El Shirazy Melalaui Model Dekonstruksi dan Aplikasi Pembelajaran di SMPN 2 Cihaurbeuti. Penelitian tersebut, menghasilkan simpulan bahwa berdasarkan struktur alur tokoh perempuan menunjukan sekuen dominan yang mendeskripsikan nilai feminis.Pemilihan novel ini sejalan dengan Model Analisis Dekonstruksi pada postmodernisme, dengan alasan memutarbalikkan konstruksi yang telah ada, sebagai varian dari postmodernisme, postkolonial memandang perbedaan sebagai masalah pokok. Perbedaanlah yang justru dicari, bukan persamaan. Postmodernisme pada dasarnya adalah wacana yang dibangun oleh pluralitas ideologi yang berkaitan antara lain dengan agama, suku, ras, gaya hidup, cita-cita, citra, bahasa, dan ciri-ciri kebudayaan lain pada umumnya. Dengan adanya perbedaan tidak seharusnya bangsa lain merasa lebih unggul dan merendahkan bangsa lain, tetapi bagaimana seharusnya kita hidup berdampingan hidup rukun dan damai.Khusus penelitian postkolonial telah dilakukan oleh Trimurwani (2007:ix) yang meneliti novel Max Havelaar suatu karya sastra masa Hindia Belanda yang ditulis oleh Multatuli, nama samaran Douwes Dekker. Novel ini disebut-sebut sebagai novel dengan citra antikolonial. Pada sisi lain novel ini tidak pernah menyarankan penghentian kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Novel Max Havelaar menggunakan tokoh Multatuli dan Stern sebagi pihak yang menentang tanam paksa dan kerja rodi. Tokoh Droogstoppel yang mendukung tanam paksa dan dagang kopi. Sifat antikolonial ditunjukan dengan menolak penindasan, perampasan, penganiayaan, anti diskriminasi meskipun berimbas pada kerugian dagang kopi. Pada sisi lain Max Havelaar adalah novel prokolonial karena ikut mendukung kekuasaan pemerintah Belanda atas wilayah Indonesia.Penelitian Postkolonialisme pada dasarnya melihat ketimpangan yang dialami oleh bangsa terjajah. Berbagai ketidakadilan antara lain:1. Di bidang ekonomi, sejak didirikannya VOC bangsa Belanda berusaha untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Hegemoni politik dan sistem eksploitasi dengan berbagai perubahan menyebabkan tumbuhnya kesadaran nasionalisme. 2. Di bidang pendidikan, adanya diskriminasi bahwa penduduk bumi putra sedikit sekali yang mengenyam pendidikan, hanya putra-putra priyayi saja yang dapat bersekolah.3. Di bidang sosial, khususnya dalam pergaulan sehari-hari ada perbedaan antara kelompok kulit putih dan sawo matang.Dengan melihat ketimpangan di atas maka pengembangan Model Analisis Dekonstruksi sangat relevan
digunakan. Dengan kajian postkolonial bermaksud untuk membongkar narasi besar yaitu keunggulan penjajah terhadap bangsa terjajah (orientalisme) dengan pembalikan oposisi biner. Oposisi biner mengakui diantaranya superior >< imperior (sikap kuat berlaku bagi penjajah dan imperior bagi terjajah). Pada analisis dekontruksi tidak menutup kemungkinan bangsa terjajah memiliki kekuatan dan penjajah sebagai bangsa yang lemah. Penelitian ini berjudul Analisis Dekonstruksi Terhadap Novel Pascakolonial Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Sebagai salah satu Alternatif Bahan Ajar Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA.
B. Rumusan Masalah Penelitian Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian akan disampaikan di bawah ini.1.
Bagaimanakah Analisis fungsi utama cerita dalam novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer?2. Bagaimanakah analisis dekonstruksi karakter tokoh yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer?3. Apakah hasil analisis novel pascakolonial Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dapat dijadikan salahsatu alternatif bahan ajar pembelajaran apresiasi sastra di SMA.C. Tujuan PenelitianBerdasarkan rumusan penelitian di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:1. Mendeskripsikan analisis fungsi utama cerita dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.2. Mendeskripsikan analisis dekonstruksi karakter tokoh yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.3. Apakah hasil analisis dekonstruksi kajian novel pascakolonial Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dapat dijadikan salahsatu alternatif bahan ajar pembelajaran apresiasi sastra di SMA.D. Manfaat PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih, dan bermanfaat bagi :1. Pencinta sastra, analisis dekonstruksi dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra yang berbentuk novel.2. Bagi pendidik pada umumnya dan guru pada khususnya, diharapkan dapat memberikan informasi bahwa efektivitas analisis dekonstruksi dapat digunakan sebagai landasan pengembangan mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA.
E. Definisi OperasionalPenelitian ini berjudul Analisis Dekonstruksi dalam Analisis Dekonstruksi Terhadap Novel Pascakolonial Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Sebagai salah satu Alternatif Bahan Ajar pembelajaran apresiasi sastra di SMAAgar tidak menimbulkan keraguan makna, maka beberapa pengertian dioprasionalkan sebagai berikut:1) Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.
2) Dekonstruksi adalah pengurangan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku, sehingga unsur-unsur yang dominan tidak selalu mendominasi unsur lain.3) Kajian pada penelitian ini adalah menelaah isu-isu postkolonialisme dengan menggunakan Model Analisis Dekonstruksi.4) Novel adalah karya sastra fiksi yang lebih panjang dari cerpen. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Novel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer.5) Pascakolonial adalah suatu kajian mengenai bentuk penceritaan dalam kaitannya dengan peninggalan kolonial. Dengan kalimat lain wacana postkolonial di satu pihak menganalisis hubungan barat dan timur sesudah bekas koloni memperoleh kemerdekaanya masing-masing, di pihak lain juga wacana yang terbentuk dalam diri pribumi sebagai akibat kolonialisme.6) alternatif adalah pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan.7) Bahan ajar adalah sejumlah materi yang akan diajarkan kepada peserta didik dalam proses kegiatan belajar mengajar.8) Pembelajaran adalah proses, cara, dan perbuatan menjadikan seseorang belajar.9) Apresiasi sastra adalah penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis.10) SMA adalah suatu satuan tingkat pendidikan di atas SMP. F. Paradigma Penelitian