Download - Salam Hangat Senja

Transcript
Page 1: Salam Hangat Senja

1

SALAM HANGAT, SENJA

Jogjkarta, Februari 2014Laki-laki itu masih bimbang, menimbang sebuah ajakan yang sudah lewatbeberapa hari. Bukan ajakan sebenarnya, hanya tawaran basa-basi karenatemannya yakin ia tak mungkin menerima ajakan itu.

Tapi, sekali lagi, sebagai teman apa salahnya bertanya, menawarkan dirimengajak temannya ke tanah kelahiran yang sudah nyaris lima belas tahun takpernah diinjaknya lagi. Hidupnya sudah lama ikut terseret dunia urban pulauJawa, mengikuti langkah kemana orang tuanya pergi, sebab ia masih belum bisamandiri, atau justru orang tuanya yang menghambatnya pergi sendiri. Apalagilaki-laki itu sahabat karibnya.

Sayang ia masih meragu, pun begitu orang yang mengajaknya. Keduanyamasih menyimpan sebersit enggan, meski letupan ketertarikan tak dapat dipungkiri, membayangkan perjalanan mereka nanti, membuat mereka tanpa sadardilanda perasaan senang setengah ragu.

“jadi kamu ikut nggak?, biar aku punya temen disana, gak planga-plongo”, tanyanya.

Yang ditanya, masih menunjukkan raut tak yakin tanpa bisa ia tutupi,“sebentar deh aku mikir-mikir dulu”.

“yaa…..yaaa.”.Tempat itu memang jauh, belum pernah terpikir olehnya untuk melarikan

diri kesana, menikmati waktunya yang memang terlalu senggang tanpa bebanuntuk memanjakan matanya dengan pemandangan yang katanya indah. Justrusebelumnya, laki-laki peragu itu sudah menyusun rencana sedemikian detil sejaklama untuk melakukan penjelajahannya sendiri, menyibak tempat-tempat dengansejuta pesona di Jawa Timur, provinsi terluas di pulau jawa.

Rencananya lengkap sudah, mengunjungi taman nasional Baluran hanyauntuk membanyangkan bagaimana jelmaan padang tandus dengan semak-semakkering di area yang luas mirip padang Afrika. Hingga sepanjang mata memandanghanya ada hamparan tanah, dengan rumput-rumput tinggi menguning. Jugapepohonan yang berjarak jarang, tempat bernaung meski batangnya mulaimeranggas, nyaris mati kekeringan. Lalu harapannya melihat sekawanan hewanpadang savana dari jauh, syukur-syukur bisa melihat kawanan banteng itumendekat, mendokumentasikannya dalam bidikan lensa yang mesra.Menyimpannya dalam folder-folder di komputer usangnya yang makin lamamakin tak terjamah.

Atau rencana keduanya, pergi ke Tanjung Papuma, pantai terkenal diJember. Kota yang populer dengan event Fasihon carnavalnya, meski tak pernahsekalipun ia melihatnya secara langsung. Hanya lewat berita yang menampilkanreportase pada khalayak, menyentuh masyarakat di belahan pulau bahkankebangsaan manapun untuk ikut menikmati rumbah-rumbai indah kostum dengantema beragam, berwarna-warni menarik mata, meski jenis sandang seperti itumemang tak pernah pantas untuk dipakai di kehidupan sehari-hari. Jika ada yangnekat memakainya, paling segera dicap sebagai orang yang sedikit kurang waras.

Mereka mungkin tak pernah tahu tepatnya Jember itu ada di sebelah mana,selain nama yang tertera kecil di peta Indonesia. Itu pun bagi mereka yang jelimengamati, sisanya bisa jadi memang tak pernah tahu dan tak mau tahu. Persis

Page 2: Salam Hangat Senja

2

seperti orang-orang asing yang begitu hafal dengan nama Bali, tapi asing dengankata Indonesia, ironi yang menyedihkan juga menggelikan.

Atau opsi lainnya, pergi ke jalur kereta paling ujung timur pulau jawa,terdampar di Banyuwangi, menikmati pesona kawah Ijen, atau sekedar transitmemuaskan diri menikmati durian dan manggis sebelum menyebrang melaluipelabuhan Ketapang. Menuju pulau kecil di seberang timurnya, pulau dewata, dimana semua paket wisata ditawarkan. Paket hiburan dari kelas backpacker miskindana hingga sosialita yang rela menghamburkan uangnya hanya untuk dudukbersantai dengan bikini dan sunglassesnya menikmati sunset. Apalagi namanyakalau bukan Bali.

Ia masih menimbang opsi mana yang ingin di ambilnya, atau justru pilihanitu tampak sulit karena ketiganya memang ingin ia jelajahi, nikmati seorang diri,tanpa harus bersama dengan orang-orang yang dikenalnya. Biarlah ia hanya salingberbagi dengan mereka yang asing, yang sama-sama datang untuk menikmati apayang alam suguhkan, tanpa harus saling bicara untuk bertukar kekaguman yangvisualisasinya mereka terima lewat mata. Tidak, laki-laki peragu itu bukanpenyendiri, ia hanya sedang menginginkan waktunya untuk ia nikmati sendiri.

Lalu, kini muncul tawaran baru yang tak pernah terbersit dalampikirannya, antara ketertarikan yang membayang di otaknya, tapi juga keengganankarena aturan utamanya akan ia langgar sendiri. Semakin ia menimbang semakinia ragu. Tapi ini Ambon!, sebuah tempat di seberang lautan yang begitumengadiksi pikirannya akhir-akhir ini, betapa ia begitu ingin menginjakkankakinya di pulau yang terkenal kaya rempah oleh para penjajah dulu, The SpiceIsland.

Ambon, nama itu memikatnya kali ini, memanggil-manggil namanyauntuk mengajaknya pergi ke sana. Bukannya ia tak pernah pergi jauh kemanapun,sebab justru kawasan Asia Tenggara pernah beberapa ia singgahi, Singapura,Malaysia, Thailand. Destinasi wisata yang cukup murah, hampir setara denganbiaya perjalanan ke pulau-pulau bagian timur Indonesia. Toh bukan juga karena iarencanakan, tapi karena memang itu urusan kampus yang menyeretnya ikut serta,membuatnya mengenal gedung-gedung kampus lain yang tak ada bedanya dengangedung yang nyaris setiap hari ia datangi. Apa yang mau dinikmati?, Interaksidengan mahasiswa asing?, kepuasan menyombong? Mungkin.

Sayangnya sesuatu itu kerap kali mengganjal pikirannya ketika ia mulaiberpikir untuk berkata Ya. Bukankah tujuannya pergi adalah untuk menyendiri?,sengaja menceburkan diri di tempat asing untuk beberapa waktu, tanpa teman,tanpa orang yang dikenalnya dekat. Bagaimana mungkin ia bisa menyepi, jika iajustru mengikuti langkah kaki orang lain. Sebenarnya apa tujuannya pergi kaliini?. Ia berpikir makin keras, mencerna konflik antara otak dan hatinya.

“Nggak ah, lanjut ke rencana semula”, gumamnya pelan, namun sedetikkemudian ia menggeleng.

“tapi ini Ambon, kapan lagi aku bisa kesana”.“bisa kapan aja kok?, kenapa harus buru-buru?”“kesempatan kedua gak terlalu menjanjikan”.“ah, sama aja, Baluran juga bisa kapan aja kok?, lebih deket pula, Jawa

Timur doang kan?”Laki-laki peragu itu tertawa sendiri, membayangkan dirinya seperti dua

orang berbeda yang saling berdebat antara keputusan ya dan tidak. Lalu seperti

Page 3: Salam Hangat Senja

3

orang bodoh, memanggut-manggutkan kepalanya sendiri seraya tersenyum.Membaca lagi pesan baru yang dikirim sobatnya itu, masih dengan pertanyaanyang sama.

Ah bodohnya aku.[ Kamu jadi ikut gak?, kalo iya buruan jangan ragu-ragu gak jelas

deh, biar cepet hunting tiket pesawatnya!]Ya, pergi memang tak asal pergi, masih ada yang perlu disiapkan meski

sebenarnya ia bisa dengan santai menyerahkan semua urusannya pada sahabatnya.Yang diperlukan olehnya hanya mental, untuk berkata jadi atau tidak. Tapi adabanyak hal yang bersarang dikepalanya, membuatnya semakin sulit memilih.Sayangnya kali ini dia harus segera memutuskan, keputusan sepele yang akanmemutuskan jenis penyembuhan apa yang akan dilakukannya.

Bagaimanapun destinasinya, tujuan perjalanannya ini adalah soal obat,mencari penyembuh hatinya yang ia rasa makin terkoyak persis jaring ikan usangpara nelayan yang sudah sobek sana sini. Ia menghela nafas, meyakinkan dirinyauntuk memilih rencananya yang semula. Mengabaikan godaan yangmemusingkan dirinya beberapa waktu kebelakang.

[kayaknya aku gak jadi ikut, haha sory ya]Jawabnya pasti, me-reply pesannya sebelum ia berubah pikiran lagi.[yakin?][ia, aku yakin][oke deh kalo gitu]Ia menghela nafas, kali ini ia yakin untuk kembali membuka rencana

detilnya yang sudah ia simpan sejak bulan lalu. Kesibukannya akhir-akhir initerpaksa membuatnya menunda rencananya itu nyaris dua bulan. Tapi kini, iapunya waktu luang, sangat luang hingga tak perlu pusing untuk membagiwaktunya yang terbatas. Skripsinya selesai, prosesi sidang yang semi sakral,hingga Acc revisi yang sudah didapatkannya dengan usaha nyaris kolaps akhirnyaselesai juga.

Bukan karena ia begitu menggebu ingin lulus, tapi karena ia ingin segerakeluar dari kungkungan yang mengganjal kebebasannya. Segera, setelah ini iaakan menjadi manusia bebas sesuai keinginannya.

Membanggakan orang tua?, itu motif semu yang ada di otak orang-orangyang mengenalnya. Baginya, kebanggaan untuk orang tua tak lebih dari wujudpenghambaannya pada ia yang meminta tanpa mau terbantah.

Ia menyimpan ponsel genggamnya begitu saja, lebih tepatnya melemparke kasur tempatnya biasa merebahkan diri. Pikirannya menerawang meskimatanya memandang langit-langit kamarnya yang bercat putih dengan lunturanwarna kuning di beberapa bagian, hasil karya rembesan hujan atau mungkin jugabercampur dengan pipis tikus yang bersembunyi dalam gelap, di para-para yangtertutup asbes, berjalan dengan kakinya yang kecil gesit, dengan ekor yangbergerak kanan kiri menjaga keseimbangan langkahnya.

Kosnya bukan kos mewah yang biasa ditawarkan pada mahasiswa berduittebal untuk kenyamanan belajar, meski sebenarnya slogan itu jadi kurang tepatkarena kenyamanan tidur jadi prioritas utama mereka pada akhirnya. Bagaimanabisa belajar dengan nyaman jika mereka terlelap tidur hingga lupa waktu. Tapiberbeda dengan jenis-jenis kamar berharga lumayan, kos ini, juga kamarnya,

Page 4: Salam Hangat Senja

4

seolah menjalin ikatan erat dengannya saat pertama kali ia mendatanginya tanpasengaja. Membuatnya jatuh hati.

Rumah kecil itu terletak di belakang jalan raya dengan deretan pertokoansegala jenis barang dari counter-counter ponsel hingga etalase yang penuh dengansepatu ber-heels luar biasa tinggi. Letaknya masuk ke gang kecil sekitar lima ratusmeter lebih yang hanya muat dijejali dua motor. Di sana rumah kecil satu lantai,khas rumah jaman dulu dengan pohon mangga besar dipekarangannya berada.Pemiliknya seorang nenek dengan jumlah usia yang mampu menjadikannya saksihidup berbagai masa yang ada di Indonesia, juga seorang wanita paruh baya,kerabat jauhnya yang dibayar untuk setia menemaninya. Anak-anaknya?, janganditanya, sibuk dengan kehidupan keluarganya masing-masing hinggamengunjungi rumah ini ibarat ritual lebaran, setahun sekali cukup adanya.Beberapa kerabatnya bahkan anaknya membujuk untuk tinggal bersama mereka,tapi eyang, begitu biasa kusebut memilih kukuh menikmati hari-harimengenangnya disini, sampai Tuhan menakdirkan dia kembali pada kodratnyasebagai makhluk ciptaan Tuhan, kembali pulang ketika waktunya usai.

Hanya ada lima kamar yang berderet rapi yang disewakan untuk anak kos,dan tinggal satu kamar paling ujung yang kosong belum berpenghuni. Begitulahpertemuan terjadi, jodoh tak terduga, laki-laki yang biasanya peragu itu tak pernahsebelumnya dengan cepat merasa seyakin ini untuk berkata ya. Ia, menautkanhatinya pada kamar kecil yang disukainya sampai saat ini, hingga nyaris limatahun ia kuliah, tak pernah sekalipun terbersit keinginannya pindah dari sana.Bahkan ketika Papa dan Mamanya menyarankan ia mencari kos yang lebih luas,ia menolak. Baginya tempat ini sudah menarik hatinya, dan sulit untuk berpindah.Ia jatuh cinta pada rumah ini, kamar ini, sebuah tempat yang lebih “rumah” dibanding rumahnya sendiri.

Ia memejamkan matanya, meskipun pikirannya masih berkeliaran denganliar mengulik setiap kotak-kotak memori yang berusaha ia simpan rapat.

“eh Willy, arep melu ngeburjo ora?”1, suara itu terdengar disela ketukantangan yang mengetuk pintu kamarnya. Perlahan ia membuka pintu kamarnya,menjawab sapaan teman satu kosnya, penghuni samping kamarnya.

“enggak lah mas, aku udah makan”, jawabnya.“yaudah, tak duluan”, lanjutnya lagi, berlalu meninggalkannya. Laki-laki

peragu itu kembali menutup pintu kamarnya, menggeletakkan dirinya tanpa bebandi atas kasur tanpa ranjang, bukan karena tak ada, ia hanya sengaja memintaranjang di kamarnya dipindah agar space di kamarnya lebih luas.

Tanpa terasa lamunannya ternyata sudah memakan waktu, dua jam lewatbegitu saja tanpa satupun kegiatan dilakukannya, kepalanya justru makinberdenyut keras, membuatnya sulit memejam mata. Ada apa dengan isi kepalanyaini, bukankah tadi ia sudah begitu meyakinkan dirinya?. Tapi mengapa justrukeraguan makin membesar mengisi kepalanya, persis seperti balon yang diisi gas,makin lama makin mengembang. Sebelum akhirnya meledak, mengeluarkanbunyi Bam!, memecah karet elastis itu jadi perca.

Diluar dugaan ia mengambil ponselnya, mengirimkan pesan pendek.[Aku jadi ikut, hunting tiketnya jadi dua ya].

1 Mau ikut ke burjo, gak?. (Burjo : nama populer warung nasi dan mie instan yang buka 24 jam)

Page 5: Salam Hangat Senja

5

Pesan yang bertolak belakang dengan pernyataannya tadi siang. Sulitmemang berurusan dengan orang yang pemikir atau peragu?, Entahlah, yang pastiorang yang menerima pesannya ini akan marah-marah seperti biasanya. Kebiasaanyang berubah jadi pemakluman bagaimanapun mengesalkannya.

Kini ia lega, menarik nafas kemudian tersenyum simpul, keputusan yanganeh. Benar kata orang, jika kamu meragukan satu keputusan yang kamu buat,maka bisa jadi itu memang bukan keputusan yang tepat. Meski bukan pilihanyang salah, hanya saja bukan pilihan terbaik. Sebab yang terbaik katanya takpernah menimbulkan keraguan.

Buang sisi subyektif atau obyektif yang dijadikan acuan dalam memilih.Karena bagaimanapun, pilihan subyektif akan selalu menang tanpa di sadari. Sisiobyektif hanya sudut pandang yang bisa atau tidak bisa, mampu atau kalahargumen yang menggiring si manusia untuk menetapkan pilihan akhir secarasubyektif. Entah teori ini valid atau tidak.

Baru saja ia akan terlelap, dering ponsel sontak membuka matanya yangterpejam tenang. Ia melihat layarnya, tertera nama yang sudah terbayang tampilanwajahnya, Ale. Dia temannya, nama lengkapya, Aledrian Miru.

“Eh ikan lohan kampret!, kamu kalo jadi orang jangan plin-plan, tadibilang enggak sekarang mau. Mau ikut apa enggak sebenernya?, jangan bikinpusing deh”.

Suara dari seberang sana merambat, menggelombang, tertangkap sinyallalu merangsek ke telinga si penerima hingga suara yang nyaring terdengar lebihmirip toa masjid di blok sebelah itu membuatnya sontak tertawa. Menahantawanya sesaat, ia kemudian menjawab “ia, aku ikut, kurang jelas ya smsnya?”,jawabnya tenang, membuat si lawan bicara makin gusar.

“fixed ya jadi?, awas kalo plin-plan lagi, untung aku belum hunting tikettadi. Dasar kebiasaan!”, runtuk pemilik suara itu, gumaman yang masih ia dengarmeski samar.

“ia Ale-ale, gak usah ngomel kayak emak-emak gitu deh”, komentarnyadengan menekankan nama Ale yang berulang, mirip merk minuman berperisa.

“Eh Willy, ini juga demi elu tauuuk!, deuh aingmah sok harareneg bogabatur jiga maneh teh, nyaho teu ieu jam sabaraha?, jam hiji peuting, tunduh!”2 ,jawab Ale kesal.

“hahaa..Sory……..”,Tut tut tut tut..pembicaraan terputus sepihak. Suara gelak tawa masih

terdengar di kamar berdinding sunyi itu.

Bab 1. Eksekusi Rencana

Empat hari kemudian Willy dan Ale akhirnya jadi berangkat sesuairencana, setelah berburu tiket murah yang nyaris mustahil, juga dalam waktu yangterbatas, didapatnya tiket dengan rute penerbangan Jakarta-Makassar-Ambonuntuk Rabu lusa. Sebenarnya mungkin akan lebih cepat jika keduanya memilihrute Surabaya, sayangnya Ale harus mampir dulu ke rumahnya di Bandung,

2 Duh, aku kesal punya teman kayak kamu, tahu gak ini jam berapa?, jam satu malam, ngantuk!

Page 6: Salam Hangat Senja

6

mengambil beberapa barang yang belum sempat di bawa orang tuanya. Sebelummelanjutkan perjalanannya ke Jakarta, dan terbang ke Ambon.

“kenapa mesti mampir Bandung dulu sih?”, tanya Willy setengah bosan.“kemarin Mamah sama Bapak berangkatnya buru-buru, dan kayaknya

mereka disana bakal lama. Jadi, Mamah minta aku balik ke Bandung dulu, beres-beres rumah sama nitip pesen ke tetangga, kalau ada apa-apa minta dikabarin”,jawab Ale.

“oh..”, komentar Willy pendek.Menegak air mineralnya yang tinggal setengah isi, menyimpannya, lalu

kembali pada dunianya yang teriring suara musik, menghantar melalui headsetyang terpasang di telinganya, mengabaikan percakapan ramai yang salingbersahutan satu sama lain, dengan tema acak yang kadang tak dimengertinya. Tohia juga tak peduli tentang apa yang masing-masing penumpang gerbong inibicarakan, bahkan teman duduknya sendiri sejak awal keberangkatan tak luput iadiamkan.

“hei..hei, kamu ngapain ngedadak jadi ikut?, gak jadi ke Baluran, atau keIjen?”, tanya Ale.

Willy mencopot headsetnya, “hah?”, isyarat yang meminta Ale untukmengulangi pertanyaannya barusan.

“katanya mau ke Baluran?, kok malah gak jadi?”, ujar Ale, mengulangpertanyaannya dengan volume lebih keras.

“oh, itu bisa kapan-kapan”, jawab Willy santai.“terus kenapa kemarin bilang gak bisa?”“karena kemarin belum niat pergi”, jawab Willy santai. Giliran Ale yang

memicingkan matanya, keheranan dengan isi pikiran sahabatnya yang sulit sekaliuntuk ia tebak. Bukannya Ale tak suka Willy ikut dengannya ke Ambon,menemani perjalanannya ke tempat asing yang sebenarnya tak asing ditelinganya.Karena ia sendiri pun masih gugup luar biasa.

Terakhir kali dia menginjakkan telapak kakinya di tempat itu saat usianyamasih emapt tahun. Saat ini usianya dua puluh tiga tahun, nyaris sembilan belastahun ia hanya mendengar sebaris dua baris kabar tentang keluarganya di sana.Kini, ia kembali ke sana. Ale masih tak bisa membayangkan perubahan sepertiapa yang terjadi pada tempat itu sekarang, tempat dimana Ale menghabiskan masabalitanya. Ia tak bisa mengingat banyak, mengorek-ngorek masa kecilnya disanahanya membuatnya menemui jalan buntu. Sebab masa kecil yang diingatnyahanya soal Jakarta dan Bandung, dua tempat yang selama ini menemaninyamenghabiskan tiupan lilin tahun demi tahun, sebelum akhirnya memutuskan untukkuliah di Jogja, merantau ke tempat baru yang katanya ramah bagi pendatang.

“Tapi udah izin sama ortu kan?, ntar dikira aku nyulik anak orang lagi”,tanya Ale memastikan. Willy melirik ke arah teman seperjalanannya itu sekilas,

“udah jangan bawel deh, udah izin, emangnya dapet duit dari mana?”,jawab Willy malas. Kayak mereka mau peduli aja gue ngabur kemana.

“ya kali nanti kalau kamu gak izin, terus ortu kamu panik ngira kamuhilang, kan aku yang repot nantinya”, sanggah Ale.

“woooh, sama temen sendiri perhitungan, tenang aja mukaku gak bakalada di daftar pencarian orang hilang kok”, jawab Willy menengahi.

Suasana kembali hening diantara keduanya, kembali terpekur dengan isipikirannya masing-masing. Hanya suara deru kereta api, yang melaju cepat

Page 7: Salam Hangat Senja

7

merajai jalanan yang disediakan khusus tanpa terhambat kendaraan lain selainsesama kereta yang kastanya lebih tinggi hingga sejenis kereta api ekonomi yangditumpanginya ini terpaksa melambatkan laju, malu-malu berhenti,mempersilakan mereka yang kursi duduknya lebih mewah melaju lebih dulu.Bahkan hukum rimba berlaku juga bagi operasi ular besi semacam ini.

Willy menautkan perhatiannya pada kaca jendela yang kedap udara, meskisebenarnya ia ingin merasakan hembusan angin kencang yang terbelah karena lajukecepatan kereta ini, menyapa wajahnya, meninggalkan kebas dingin yangmenyegarkan. Sayangnya hal itu mustahil terjadi, Kereta ini dipasangi AC, sesuaidengan tipe keretanya yang tertera di karcis yang baru saja diinspeksi olehpetugasnya, berjalan memeriksa tiket penumpangnya satu persatu, melubangikertasnya dengan pembolong yang dibawanya. Petugas itu kembalii menyerahkankarcis yang Willy dan Ale serahkan tadi, seraya mengucapkan terima kasih danberpindah pada penumpang lain yang ada didepannya.

Willy membuka karcisnya, membaca lagi keterangan yang ada di sana,Ekonomi AC, gerbong tiga 17D. Ia bersyukur kebagian jatah tempat duduk yangjauh dari toilet, meskipun saat ini transportasi kereta tak semenyebalkan dulu,begitu yang orang-orang bilang, tetap saja menurutnya tempat duduk di sampingtoilet adalah hal yang paling terakhir diinginkannya, bukan karena bau, tapikarena orang berlalu-lalang melewatinya saat akan pergi ke toilet, membuka danmenutup pintu gerbong seenak hati, mengganggu kenyamananya dan jugamemupuskan harapannya untuk tidur nyenyak selama perjalanan.

Willy kemudian melipat tiket itu dan memasukkannya kedalam sakujaketnya, memakai masker yang dibawanya tadi. Ale melihatnya dengan cermatkelakuan sobatnya yang satu ini,

“kamu ngapain pake masker, Wil?”, tanya Ale penasaran.“mau tidur, kenapa?”“takut ngiler ya, pake ditutupin segala?”, seloroh Ale menggoda Willy,

hingga ibu-ibu yang duduk didepannya bersama anak kecil, yang Ale tebak sekitarkelas dua atau tiga SD itu ikut tersenyum simpul.

“nah sih tau”, jawab Willy santai yang membuat Ale akhirnya tertawa.Bagi Ale, Willy memang punya kepribadian yang cukup “unik”, entah itu dalamkonotasi positif atau negatif.

Willy menyandarkan kepalanya pada tembok besi itu, mencobamemejamkan matanya meski Ale tahu sebenarnya Willy sama sekali takmengantuk, anak itu hanya sedang tak ingin diganggu. Terlalu banyak yangberkecamuk dalam kepalanya saat ini, tak jauh berbeda dengan isi kepala Ale. Alemengerti, tabiat Willy yang satu ini, memangnya persahabatan mereka baruseumur jagung?, Ale sudah mengenal Willy nyaris enam tahun, waktu yang cukupuntuk paling tidak paham kapan temannya itu ingin bicara dan ingin di diamkansaja.

Keduanya larut dalam kolam pikirannya masing-masing, hening. Hanyaderu kereta yang menghantarkan mereka menuju pemberhentian terakhir mereka,Stasiun Bandung.

-----------Ale.

Page 8: Salam Hangat Senja

8

Namanya Aledrian Miru, Blasteran Ambon-Sunda-Jawa. Papanya Ambon,Mamanya campuran Sunda-Jawa. Kombinasi unik yang melahirkan figur wajahAle yang manis mirip mamanya, tapi dengan fisik dan kulit seeksotis papanya,juga sedikit polesan Portugis, entah mungkin ia dapat dari kakek buyutnya.Eksotis adalah bahasa halusnya cokelat atau mengarah ke hitam manis, meski Alesebenarnya tidak terlalu cokelat. Teman-teman SMAnya dulu memanggilnyadengan sapaan akrab deung, kependekan dari hideung yang berarti hitam. Bukanbermaksud rasis, tapi begitulah mereka, sebutan sayang dari orang-orang terdekatAle di sekolah.

Ale tak pernah membenci itu, baginya, fitur wajahnya yang unikmembuatnya tak perlu bersusah payah mengenalkan diri pada setiap lingkunganbaru yang di datanginya. Mereka semua mengenalnya, baik yang akrab atau hanyasekedarnya saja. Selain kepribadian Ale yang memang easy going, membuatnyajadi tipe cowok yang paling dicari untuk dijadikan “gebetan”.

Lantas kehidupan Ale jadi mudah?, tidak juga. Tak ada hal yang benar-benar mudah seperti tak mungkin ada hal sulit yang tanpa solusi. Kadang Aledibingungkan oleh hal-hal sepele, seperti pertanyaan “kamu sebenernya orangmana sih?”. Apa yang harus Ale jawab, Ambon?, bahasa daerahnya saja dia tidaktahu. Sunda?, Abdimah sanes urang sunda asli.3, Jawa?, Hmmmm….. Padaakhirnya Ale memilih jawaban diplomatis, “Aku adalah orang Indonesia,mewakili suku gado-gado, lotek atau karedok yang sehat dan bergizi” ujarnyasambil tertawa. Selesai sudah perkara remeh-temeh yang menggangu ini, persisseperti duri ikan yang tersangkut di gusinya, terlihat kecil tapi tetap sajamenyebalkan.

Perjalanannya ke Ambon kali ini bukan rencananya. Semuanya terjadisecara mendadak. Papanya mendapat kabar bahwa Omanya sakit, segera mencaritiket penerbangan untuk ke kampung halamannya. Meninggalkan Gemail, adiknyayang masih kelas Sepuluh SMA di rumah, terpaksa ditemani sementara waktuoleh kak Ulfah, kakak sepupunya yang untungnya tinggal masih satu kompleksdengan rumah Ale.

Toh sebenarnya Ale tak harus pergi kesana, keluarga besarnya di sanatentu memaklumi kondisi papa mamanya yang tak bisa membawa serta cucu yangdi rindukan Omanya itu. Awalnya Ale berpikir hal yang sama, tapi ada hal yangmembuatnya berubah haluan, Willy.

Saking seringnya ia bermarkas di kosan Willy, lama-kelamaan Ale mulaiakrab dengan keberadaan eyang uti Laksmi. Sapaan ramahnya yang kadang hanyadibalas anggukan senyum Ale ketika mereka tanpa sengaja bertemu. Cerita-ceritaWilly tentang bagaimana eyang membicarakan masa lalunya sebagai relawanjaman perang yang membantu di dapur-dapur umum untuk para gerilyawan,tentang bagaimana ia begitu senang membanggakan anak-anaknya yang sukses,juga bagaimana ia merindukan cucu-cucunya yang mulai dewasa, membuat Alemembetulkan lagi persepsinya yang terlalu sederhana. Lamunannya pergi keseberang pulau, terlihat dalam bayangannya bagaimana Omanya mungkin sajamerindukannya dan Gemail dalam hati, tak hanya via suara tapi juga wajah yangnyata.

3 Saya bukan orang sunda asli

Page 9: Salam Hangat Senja

9

Bagaimanapun asingnya ia membayangkan tempat yang akan ditujunyakali ini, Ale merasa ini bukan sesuatu yang asing. Hanya sesuatu yang sudah lamahilang dari memorinya dan kini saatnya ia membuka lagi kubikel kenangan masakecilnya yang masih sangat kosong. Ia memang perlu pergi ke sana, tempatdimana kali pertamanya ia mengenal oksigen bumi, bernafas dengan paru-parunyasendiri, berteriak kencang mendeklarasikan keberadaannya di dunia sebagaibagian dari peradaban, meski ia belum tahu apakah ia akan dikenal atau hanyadikenang. Walau bagaimanapun dalam darahnya masih mengalir nama Miru, iamasih bagian dari Fam4 Miru.

Ale menghela nafas, melihat ke sebelahnya, temannya yang mulai tertidurpulas. Ia meraih ponselnya, menghubungi papanya, memberi kabar.

“halo, Bapa, ia Ale masih di kereta mau ke Bandung, kabar Omagimana?”, tanya Ale saat mendengar suara ayahnya di ujung telepon.

“Oma masih dirawat di rumah sakit, tapi sudah mendingan, sudah bisa iko-iko5 mendengarkan bapa bacarita6, Oma senang dengar kamu mau datang. Oh yabagaimana Gemail?”

“Gem sama teh Ulfah, kebetulan sedang senggang katanya, mamah samabapa gak usah khawatir kata uwak Layla”.

“syukurlah, oh ya, ini Mamahmu mau bicara”, Ale tersenyum, suara dariujung telponnya berganti menjadi suara perempuan yang logatnya begitu ia kenalibaik, nada suaranya selalu sama, tak pernah berubah.

“Ale sehat?”, Pertanyaan pertama yang selalu ditanyakan Mamanya kapanpun Ale menelpon.

“Sehat Mah, ini Ale masih di kereta sama Willy, nanti malam sampaiKiaracondong, paling besok pagi berangkat ke Jakartanya, dapet tiketnya baruRabu lusa mah”, jawab Ale, menerangkan panjang lebar.

“oh ya syukur kalau begitu, nanti siapa yang jemput di stasiun?”“ada mang Dadang, tadi teh Ulfah udah bilang”“ya sudah, kamu istirahat sana biar gak capek, salam dari Mamah buat

Willy”“iya mah, nanti Ale sampaikan. Udah dulu ya mah, nanti kalo udah

nyampe Ale kabarin lagi”, kata Ale sambil menutup teleponnya, mengakhiripercakapan singkatnya barusan.

Ale menepuk-nepuk lengan Willy, mengganggunya sampai anak itumerasa tak nyaman dan bereaksi. Usaha persistennya ternyata membuahkan hasil,Willy terbangun dari tidur ayamnya, sebab pasti sulit rasa untuk bisa tertidur pulasdi kereta dengan sesekali goncangan yang lumayan keras, hasil perpaduan antararel dan roda kereta yang melaju diatasnya.

“Apaan sih Le?”, tanya Willy sambil melepas maskernya, Anak ituternyata memang tertidur lelap. Ale menunjukkan cengirannya tanpa rasabersalah.

“Ada salam dari mamah sama bapak buat kamu”, jawab Ale denganmenahan tawa. Raut muka Willy menahan kesal, matanya mendelik menunjukkantingkat sebal yang dialaminya telah naik dua kali lipat.

4 Nama keluarga5 Ikut-ikut6 bercerita

Page 10: Salam Hangat Senja

10

“Kamu bangunin aku cuma buat bilang gitu doang??, kampret alay sialan”,gerutu Willy tanpa bisa ditahannya.

Yang di maki justru tertawa terbahak-bahak saking senangnya.----

Willy.Willyandra Nugraha, begitu biasanya ia di sapa masih mencoba

memejamkan matanya meski sulit. Kepalanya terantuk-antuk pada badan gerbongkereta yang membawanya dan Ale menuju Bandung, sebelum akhirnya pergi keJakarta. Ingatannya mengawang mengingat kapan terakhir kalinya ia naik kereta,Lebaran empat tahun lalu, saat ia masih mahasiswa baru dan terjangkit viruspenasaran bagaimana rasanya mudik dengan menggunakan transportasi publikpaling diminati masyarakat sebagai angkutan yang membawa mereka melalui arusmudik juga arus balik ke perantauan.

Jogja-Jakarta bukan jarak yang jauh jika ditempuh lewat pesawat, tapiWilly ingin merasakan apa yang orang lain rasakan. Paling tidak ia juga bisapamer kalau ia pulang naik kereta pada teman-temannya. Dan memangpengalaman yang mengesankan baginya, meskipun pada akhirnya ia kena omelhabis-habisan Mamanya yang khawatir berlebihan setelah melihat wajah kucelnyatiba di depan rumah. Willy tanpa sadar tersenyum mengingat hal itu.

Willy sudah kehilangan kakek neneknya sejak lama, itu sebabnya ketika iamendengar Omanya Ale sakit, ada sebersit perasaan iri sekaligus sedih yangmelingkupi hatinya, mengingat masa lalunya, saat ia masih kelas sebelas SMA,nenek kesayangannya yang tinggal di Lampung meninggal. Kabar mengejutkanyang membuatnya terpaku sesaat, Willy tak bisa berbuat apapun selainmenyimpan rasa sedihnya dalam hati. Bahkan ketika Mama dan Papanya pergi keLampung, ia terpaksa menahan dirinya untuk tidak ikut karena saat itu bertepatandengan hari pertama ujian semester di sekolahnya. Di satu sisi Willy begitu inginikut pergi ke Lampung, di sisi lain rasionalitasnya memaksanya untuk tetapberpikir jernih. Menyelesaikan tugasnya sebagai pelajar, mengikuti ujian sebaikmungkin sebagai penebus rasa bersalahnya.

Kenangan itu pula yang akhirnya membuat Willy mengubahkeputusannya, dan akhirnya memilih ikut menemani perjalanan Ale ke Ambonyang bahkan alamatnya persisnya sendiri Ale tidak tahu. Bermodal nekat danmenyerahkan kepercayaan penuh pada keluarga Ale yang akan menjemputmereka. Willy merasa setidaknya, dengan ini bisa jadi penebus rasa bersalahnyayang tak bisa melihat neneknya untuk yang terakhir kali. Willy merindukannya,sangat.

“kamu sudah izin sama ortu kamu?”, pertanyaan Ale yang terngiang ditelinga Willy, masih berbekas. Andai saja Ale peka, mungkin Ale akan tahu kalausetelah mendengar pertanyaan itu, Willy menatapnya dengan semburat nanar. Adarasa tak bahagia disana yang tak bisa ia pendam.

Ngapain mesti izin orang tua, aku ngilang juga mereka mana tahu.Willy menelan ludahnya, berdehem melancarkan tenggorokannya yang

tecekat. Tidak, itu hanya perasaannya saja, tenggorokannya baik-baik saja, dirinyatak bermasalah. Isi pikirannya lah yang kacau.

Willy akhirnya hanya menjawab iya, daripada mendengar omelan Alesepanjang jalan, dan bisa-bisa malah perjalanannya kali ini terancam gagal total.

Page 11: Salam Hangat Senja

11

Willy tidak berbohong, nyatanya dia memang minta izin pada mamanya,bahkan papanya. Izin untuk main bareng Ale, tanpa menceritakan detil kemanatujuannya. Papanya hanya bertanya, “butuh berapa?, uangnya nanti papa transfer”.Mamanya tak jauh berbeda, “papa udah transfer?, kurang gak?, kalau kurang nantimama transfer”, kata Mamanya. Willy hanya bisa tersenyum kecut.

Normalnya orang tua, mereka akan bertanya, pergi kemana?, dengan siapasaja?, sampai kapan?, ia mama izinin, tapi hati-hati disana?, kabarin kalau sudahsampai. Sayangnya keluarga Willy bukan keluarga normal, mimpi saja jika inginmendengar kata-kata normal semacam itu di telinganya. Yah, pengalamankecilnya dulu, ketika semuanya masih normal. Sekarang?, bermimpi semacam itusaja adalah hal yang nyaris mustahil bagi Willy. Dunia berubah, kehidupannyaberubah, hanya Willy yang masih diam ditempat, tak maju tak mundur, diamterpekur. Situasi yang membuatnya muak.

Kadang Willy begitu irinya pada keluarga Ale, pada keluarga mereka yangmenjaga satu sama lain. Kedekatan mama dan papanya, kegilaan Ale dan Gemailyang hampir mirip tom and jerry. Kehangatan yang Willy bisa rasakan meskihanya mendengar dari cerita Ale saja. Kata hatinya kadang memohon, supayakembali ke kehidupannya yang normal dulu. Sebuah peluang yang nyaris noluntuk bisa diwujudkan saat ini.

Willy bukan tukang omong yang baik, itu sebabnya ia lebih banyakmemendam isi kepalanya daripada memuntahkan unek-uneknya di depan oranglain, lalu mereka seakan punya hak untuk memandangnya dengan wajah simpati,seolah rasa prihatin bisa membantunya menyelesaikan keruwetan yang ia sendiritak bisa selesaikan. Atau memang label sebagai cowok cool yang tampak takpunya masalah dengan kehidupan berkecukupan, tempat kuliah yang bagus, jugalingkungan pergaulan yang membuat orang lain iri. Jadi, tak ada hak baginyauntuk iri pada orang lain.

Ah sudahlah, anggap ini hanya angin lalu.Berpikir membuat Willy mengantuk, mencoba memejamkan matanya,

berusaha tak terganggu dengan apa yang dikerjakan oleh orang-orang disekelilingnya atau yang mereka yang asik saling mengobrol. Ia terlelap dengantenang, persis seperti anak bayi dengan masker hijau yang menutupi sebagianbesar wajahnya. Willy suka berpergian, dan ini salah satu perjalanan pentingbaginya, perjalanan yang punya makna tersendiri, hanya ia yang tahu, hanyadirinya sendiri.

Ia tertidur pulas, meringkukkan badannya, bersandar pada dindinggerbong. Terpaksa terbangun karena Ale membangunkannya, melihat dengantawa usil tanda kemenangan karena sukses membuatnya kesal.

Willy mendecak kesal, melotot ke arahnya, tapi bagaimanapun kesalnyaWilly ia, tak pernah bisa ia marah pada Ale. Willy tak habis pikir, seberapa hebatsihir yang dipunya Ale hingga ia selalu berakhir dengan memaafkan semua sikaptengilnya, dan hanya bisa mengumpat,

“kampret sialan!”.Kau tahu, Bandung perlu masih beberapa jam lagi untuk sampai.

---------

Page 12: Salam Hangat Senja

12

Bab 2. Matahari Cantik Bandung

Malam itu akhirnya mereka menginjakkan kakinya di Bandung, menunggujemputan Mang Dadang yang akan membawa mereka ke rumah Ale.

“tunggu disini dulu aja deh, apa mau nyari makan dulu, aku lapar?”, tanyaAle. Willy, meregangkan tangannya, sedikit melenturkan badannya yang rasanyakaku saking lamanya ia duduk. Belum lagi pinggangnya yang pegal luar biasamirip serangan encoknya bapak-bapak paruh baya. Padahal ia tidak melakukanapapun, hanya duduk sepanjang waktu, tapi nyatanya karena duduk terlalu lamaitulah yang membuatnya pegal bukan main.

“gak nanti aja di rumah?”, Willy balik bertanya.Bukannya apa-apa, Willy hanya ingin segera merebahkan badannya,

terlentang atau tengkurap dengan nyaman. Atau justru ia ingin segera mandi untukmelenturkan otot-ototnya yang kaku, syukur-syukur mandi air hangat, badannyasudah bau apek.

“percaya deh, kamu lebih milih tinggal lebih lama di stasiun daripadalangsung ke rumahku”, jawab Ale.

“Aku gak ngerti?, sejak kapan ruang tunggu stasiun lebih nyaman daripadarumah?, mau ngecengin cewek-cewek di sini?, Ayolah..”

“kamu itu lupa apa pura-pura lupa, tuh fans berat kamu udah ribut gakjelas nungguin kamu?”, kata Ale sambil terbahak-bahak.

“hah?, Gem?”, kata Willy, akhirnya mengerti arah pembicaraan Ale yangdari tadi ngalor-ngidul tak jelas.

“Siapa lagi, aku sampai bosan baca smsnya nanyain kamu terus sepanjangperjalanan. Emangnya aku ini apaan, kurir pesan?”, komentar Ale,menggelengkan kepala melihat ulah anak perempuan paling norak yang dia kenal.

Ale mengangguk dengan takzim, membenarkan tebakan Willy. Anak itumemang setengah gila, mengaku fans berat Willy sejak pertama kali melihat fotoAle dan Willy juga teman-temannya yang lain menjadi wallpaper laptop Ale, darisekian banyak anak cowok yang ada di layar laptopnya, Ia memicingkan matanya,mengamati wajah mereka satu persatu, lalu berhenti pada satu wajah yangberselang dua orang dari posisi Ale berdiri. Menunjukkan telunjuknya tepat kewajah orang itu. Lalu tersenym sendirian persis orang kurang waras.

“yang ini siapa a?”, tanyanya.Ale mengerutkan dahinya sesaat mendengar pertanyaan itu, menjawabnya

dengan malas, “Willy, kenapa?”, tanya Ale.“Willy doang?, nama lengkap?”“Willyan Nugroho”“Jurusan?”“Teknik Industri, apa sih nanya-nanya?”, kata Ale gusar, yang nanya

malah menunjukkan senyum paling manis yang dia punya.“Keren banget, fixed lah ini jadi cowok keren versi Gem…gem..gem

gem..Gemaila Andini Miru”, katanya sambil bersenandung dengan seringai lebaryang membuat Ale geli.

“kenalin aku dooong, kenaliiin”, katanya dengan setengah merajuk.“Jangan malu-maluin deh jadi anak cewek, gak boleh..gak boleeh”, kata

Ale menolak rengekannya.“Dasaaar pelit…peliit”

Page 13: Salam Hangat Senja

13

“wooooh,,,Ijem Ijem..bodo amat deh”“punya aa satu pelitnya minta ampun”, katanya sambil mengolok.Ale menepuk jidatnya, tak habis pikir kenapa ia harus punya adik

perempuan yang sama sekali tidak perempuan, paling gila sedunia. NamanyaGemaila, Papanya memanggilnya Gemail, menghilangkan huruf terakhirnya tanpatahu apa alasannya, mungkin terinspirasi dari Gmail?. Mamanya memanggilnyaMaila, nama panggilan yang paling tidak disukainya. Dia sendiri mendeklarasikandiri sebagai Gem, nama panggilan yang menurutnya keren, dengan catatanmelafalkannya dengan pelafalan bahasa Inggris, lebih mirip terdengar Jhem. Alepunya nama yang lebih bagus, memanggilnya dengan panggilan yang palingmudah di ucapkan, Ijem.

Adik perempuan Ale satu-satunya, anak ABG labil yang naksir beratsahabat baiknya sendiri sampai sering bertingkah konyol di luar kewajaran. Ah,Willy memang sumber bencana baru buat gue.----

“Yakin langsung balik, makan dulu aja deh, nanti kalau mang Dadangudah dateng kita nyari makan dulu pokoknya, belum tentu juga di rumah adamakanan”, pinta Ale.

Akhirnya Willy mengangguk, mengiakan permintaan Ale. Lagipula Alesendiri tuan rumahnya, sejak kapan tamu punya hak mengatur-atur kehendakpemilik rumah,. Mengingat cerita Ale soal Gem, mau tak mau Willy ikutmenyunggingkan senyum simpulnya.

“oke, kita nyari makan dulu, yang enak tapi, penghuni perutku rada-radarewel”, jawab Willy.

“yuk keluar, mang Dadang udah udah nunggu di parkiran katanya”, kataAle mengajak Willy pergi.

Keduanya berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan stasiun yang masihmenunjukkan hiruk pikuknya meskipun matahari sudah tegantikan fungsinya olehlampu penerang, bohlam-bohlam dengan ukuran watt yang bervarasi,menggantung di sepanjang jalan, di kios-kios sepanjang stasiun, atau bahkan disetiap pelataran rumah. Membuat mata masih bisa melihat sekeliling, meskipunlangit sudah menggelap sejak berjam-jam yang lalu.

“euleuh, si a Ale beuki kasep wae, kumaha kabarna?, tos lami nya teupapendak7”, sapa mang Dadang ketika melihat Ale dan Willy mendekat ke arahmobilnya.

Ale tersenyum menanggapi pertanyaan mang Dadang, “Si Mamanggimana sih, saya kan baru Natal kemarin balik ke Bandung”, jawab Ale.

“Oh pantesan, enggak ketemu. Mang Dadang kan waktu itu izin pamitsama bapak, ke Pengalengan, ada keponakan yang mau nikah”, kata mangDadang. “yah, sok masuk, pasti udah pada capek di jalan, pengen segeraistirahat”.

“Oh iya Mang, ini temen Ale, Willy, mau ikut juga ke Ambon katanya”Ale memperkenalkan diri.

“Willy, mang”, kata Willy memperkenalkan diri.“ Mamang sudah kenal kok kalau sama a Willy mah”, kata mang Dadang

sambil tersenyum. Ale mengerutkan dahi, mengingat-ingat memangnya kapan Ale

7 Aduh, si a Ale makin tampan saja, bagaimana kabarnya?, sudah lama ya tidak bertemu?

Page 14: Salam Hangat Senja

14

mengenalkan Willy pada mang Dadang. Seingat otaknya, ini kali pertama Willyberkunjung ke rumahnya di Bandung, mana mungkin Willy bisa kenalan samamang Dadang.

“kok bisa, kapan kenalannya?”, tanya Ale.“memang belum kenalan a, tapi itu seharian neng Maila ngomongin terus a

Willy, katanya a Ale mau datang sama tamu spesial, namanya a Willy, mamangaja lihat fotonya”, kata mang Dadang bicara panjang lebar.

Giliran Willy yang tertawa keras, tidak bisa menutupi kenyataan bahwacerita mang Dadang memang sangat lucu. Harusnya mang Dadang ikutan standup comedy, mungkin akan jadi ladang pahalanya karena sukses menghibur banyakorang hingga melupakan keruwetan hidupnya sesaat.

“wah, Alhamdulillah atuh kalau mang Dadang sudah kenal sama Willymah”, jawab Willy, mengikuti guyonan mang Dadang.

“iya, Alhamdulillah sekali”.Ale mendelik ke arah Willy, menoyor lengan Willy saking kesalnya,

menghela nafas berat dengan wajah frustasi.“heeeuuh, ini nasib buruk banget sih, punya adik cewek yang urat malunya

putus, sopir ndagel, temen sarap juga. Gimana aku bisa waras kalau begini”, kataAle sambil mengerutu.

“udah mang jalan aja, nanti nyari tempat makan dulu, Ale kalau kelaperanbisa makan orang, apalagi yang di sebelah ini nih”.

“siap aa”.Hingga mobil melaju, membelah keheningan Bandung di malam hari yang

tak pernah sepenuhnya hening, tawa Willy di sela gerutuan Ale masih terdengar.-----------Ale mendengus, melihat pemandangan pagi anatara Willy dan Gem

membuatnya merasa mau muntah. Kemana hilangnya Gem alias Ijem yangnyablak, tak tahu malu dan agresif gila-gilaan. Sejak kapan ia menyapa orangdengan suara semanis itu.

“Pagi a Willy, gimana perjalanannya kemarin, maaf ya baru sempetnyapa, tadi malem udah tidur soalnya pas a Ale datang”, kata Gem denganekspresi malu-malu.

“gak papa kok, sekarang kan bisa sarapan bareng”, jawab Willy santai.“iya a,”, balas Gem, masih dengan wajah malu-malu mau yang tidak bisa

ditutupinya.“Eh Ijem, buruan sarapannya, ntar telat lho, Aku sama Willy juga gak

bakal mau nganterin kamu ke sekolah, sama mang Dadang aja sana. Lagian udahgede juga, naik angkot sendiri ke sekolah, jangan minta di anter mulu”, cerocosAle.

Gem mendelik, “ye, Gem naik angkot kok ke sekolah sekarang, jangansalah ya”, katanya memprotes tuduhan Ale.

“kak Willy, berangkat duluan ya”, kata Gem, sambil berlalu meninggalkanmeja makan.

“Ia, Gemaila hati-hati di jalan”, jawab Willy. Gem menganggukkankepalanya, tersenyum lebar.

“dah kakak-kakaaak”“wooh, dasar Ijem, Mamah aja manggil Maila, dia ngamuk-ngamuk,

Giliran kamu nyapa dia pake nama lengkapnya, Gemaila. Itu anak malah

Page 15: Salam Hangat Senja

15

jingkrak-jingkrak kesenengan. Otaknya si Ijem, bener-bener kortsluiting8”, teriakAle, membuat Willy mau tak mau ikut terkekeh.

“duh, Gem bisa malu-malu juga ternyata ya sama cowok”, goda kak Ulfayang disambut anggukan tanda setuju dari Ale.

“emang teh, cuma si Willy kupret ini yang bikin Gem malu-malu maukayak kucing garong”, omel Ale.

“hush, adek sendiri diejek-ejek, ya wajar aja, kan Willy juga orangnyacakep, iya kan”, komentar kak Ulfa yang membuat Willy tersenyum malu.

“tapi Gem emang manis kok, lucu lagi anaknya”, kata Willy malah makinmengompori.

“udah deh Willy, jangan bikin kakaknya ini makin pusing, mati semaputdeh dia kalo dia mikir kamu itu juga suka sama dia. Masih kelas sebelas,pikirannya udah ngawang kemana-mana”, kata Ale.

“haha…kalo setiap anak cewek yang punya kakak cowok super overprotektif kayak kamu Le, kayaknya dunia bakal damai, pacaran bukan lagitrennya anak Abg”, seloroh Willy.

“kamu malah ngejek-ngejek”.“udah-udah, Gem nya udah berangkat sekolah juga, teteh berangkat kuliah

dulu”, kata teh Ulfah menengahi.“hati-hati di jalan teh, salam buat cewek-cewek cantiknya”, kelakar Ale.“Le, Ulfah masih kuliah?, kenapa kamu manggilnya teteh?”“iya, dia malah baru semsester enam, tapi ya namanya juga kakak sepupu,

dia anaknya Uwak, kakaknya Mama, ya tetep harus manggil kakak. Rumahnyajuga gak terlalu jauh kok, cukup naik angkot sekali, makanya dia mau nemeninGem dulu selama Mamah sama Bapa di Ambon”, cerita Ale panjang lebar.

Willy memang tidak tahu bagaimana rasanya punya adik, Ia anak bungsu,puya kakak laki-laki satu yang jarak usianya lima tahun lebih tua darinya.Sekarang kakaknya sedang ada dimana, Willy sendiri tidak tahu. Terakhir kalikakaknya mengirim pesan, Willy hanya tahu satu kabar, kakaknya itu sedang diNTT, di Labuhan Bajo, menetap beberapa hari mengamati Manta mungkin,sebelum menajutkan perjalanannya ke perbatasan NTT-Timor Leste, entah apayang sedang dikerjakannya saat ini. Petualangan sialan kakaknya yang membuatWilly iri.

Jadi, ketika melihat bagaimana Ale begitu perhatiannya pada Gem, kadangmembuat Willy geli sekaligus iri. Geli membayangkan Ale yang begitu easygoing dan supel, bisa begitu kaku jika berhadapan dengan orang-orang yangmendekati Gem, menaruh curiga, mengamati siapa saja yang sedang dekat denganadik satu-satunya yang paling Ale sayangi itu. Kadang Ale mirip stalker gilakalau sudah berhubungan dengan pacar-pacar Gem. Kelakuan Ale yang terang-terangan membuat Gem ngamuk bukan kepalang. Satu-satunya hal yang membuatAle tidak berkutik adalah saat Gem bilang kalau ia adalah fans berat sahabatnyasendiri, Willy. Otak Ale berkunang-kunang seketika, diam pasrah.

Willy iri, tentu saja. Iri pada Gem yang punya kakak sangat perhatian,kadang Willy berfikir andai saja kakaknya punya perhatian sebanyak Ale padaadiknya, mungkin Willy tidak akan merasa kesepian di rumah. Sayangnya orangitu dan Willy seolah ada di dua dunia yang berbeda, tak mungkin bersentuhan.

8 Bahasa Belanda untuk Arus hubung pendek/korsleting

Page 16: Salam Hangat Senja

16

“Hoi, malah ngelamun, kenapa?, teh Ulfah cantik kan?, mau akucomblangin gak?”, tanya Ale menggoda Willy.

“aku harus jawab apa?, mau Gem ngamuk tujuh hari tujuh malem, ataumau Vita ribut sama aku?”, kata Willy, balik bertanya.

Ale tergelak, membayangkan omongan Willy tadi jadi kenyataan.Pahitnya, kalau sampai nantinya Willy deket sama teh Ulfah, reaksi Gem akanmembuat kepala Ale lebih pusing dari saat ini, dan Ale tidak mau membayangkanitu terjadi.

“bener juga, tahu gak, aku gak ngerti harus bersyukur atau bersedih kalaunantinya kamu kawin sama siapa gitu. Dan aku harus ngusap-ngusap kepala anakbau kencur yang patah hati gara-gara kebanyakan ngarep”, timpal Ale.

“santai aja, nanti juga kalau Gem udah kuliah pikirannya terbuka, sadarkalau banyak banget cowok di dunia ini yang keren, berserakan malah. Adekkamu kan cantik”, kata Willy, membuat Ale terkekeh geli.

“tapi beneran kan kalo kamu gak suka sama si Ijem ini?”“ya enggak lah, aku juga males kali kalau harus punya kakak ipar kampret

kayak kamu”, jawab Willy seenaknya.Willy harus mengakui, sebagai seorang anak cowok normal, bahwa Gem

memang cantik, sangat cantik. Anak umur tujuh belas tahun itu seperti versiperempuannya Ale, bedanya, porsi kemiripan Mamanya lebih banyak ada diwajah Gem, ayahnya hanya menyumbangkan hidung bangirnya juga alisnya yanghitam tebal, juga rambut ikalnya yang membuat Gem jadi terlihat istimewa. Gentinggi juga sepertinya memang sudah turunan di keluarga Ale. Bahkan orang yangtidak mengenal Ale dan Gem, akan berpikir bahwa dua orang kakak beradik inimirip pasangan kekasih ideal yang membuat mereka mencelos iri. See, tidak jauhberbeda dengan Ale, Gem itu idola.

Bedanya, Gem adalah anak tomboy paling keren yang pernah Willy kenal.Itu semua karena pengaruh kakaknya, Ale yang jadi kiblat imitasi Gem untukselera hidupnya. Ale suka ini, Gem akan mengikutinya. Ale belajar gitar, Gemmenggebu-gebu ingin ikut belajar juga. Ale suka pakai baju ini, Gem merengek-rengek minta di belikan yang sama pula. Alhasil, bagaimanapun berusahanyaMama memaksa Gem memakai gaun cantik, Gem akan selalu melontarkan alasan,“A Ale juga gak pake itu kok”.

“tapi a Ale kan anak laki-laki, Maila kan perempuan”, kata Mama padaGem kecil.

“Nah, Gegem yang perempuan juga bisa pakai bajunya a Ale, a Ale jugaboleh deh pakai bajunya Gegem”, jawab Gem kecil seenaknya. Kalau sudahbegini, Mama hanya bisa menggelengkan kepala, bingung mau menjelaskan apa.

Hingga akhirnya Gem mulai besar, dan mengerti perbedaan perempuandan laki-laki. Gaya Gem tetap tidak banyak berubah, “enakan kayak gini”,katanya santai.

Willy hanya tertawa mendengar cerita Ale tentang masa kecil adikkesayangannya itu.

---------“Oh ya, aku jadi kepikiran, udah bilang sama Vita?”, tanya Ale

menyelidik. Willy terdiam sesaat, lalu menggelengkan kepalanya.“aku gak bilang sama Vita”, jawab Willy singkat.“Loh, terus gimana kalau itu anak ngomel-ngomel?”,

Page 17: Salam Hangat Senja

17

“justru itu alasannya aku gak bilang, kalau Vita tahu aku bakal kena amukdia. Lagipula, bisa-bisa aku gagal pergi ke sana kalau dia tahu”.

Ale terdiam sesaat, “terus gimana?”“Nanti aja aku kabarinnya kalau udah sampai ke sana, dia mau ngamuk

juga gak bakal bisa ngapa-ngapain”, jawab Willy santai. “udah deh, gak usahmikirin hal kayak gini”.

“hahaha..iya juga sih, tapi besok ke Jakarta mampir rumah kamu dulugak?”, tanya Ale.

Willy menggeleng cepat, “gak usah, ngapain, udah izin ini, nanti malahketahuan Vita jadi panjang urusannya”, jawab Willy.

“yakin?”“yakin banget”Ale menyesap kopi encer tanpa ampas, yang tampilannya lebih mirip teh

manis pekat, tapi memiliki aroma kopi yang lumayan membuat mata terbuka. Alesuka kopi tubruk, tapi membenci ampas kopi. Aneh memang, jadi satu-satunyacara adalah menyaring kopi tubruknya hingga beberapa kali, sampai ampasnya takbersisa. Kebiasaan yang sulit Ale hilangkan sejak ia kuliah, sejak ia lebih banyakmenghabiskan malam-malamnya untuk begadang daripada membiarkan matanyaterpejam. Sejak itu pula lah, aroma kopi jadi teman setianya nyaris setiap pagi.

Ya, setiap pagi, disaat yang lain minum kopi malam hari, Ale lebihmemilih menikmati kopi paginya, sebagai doping energi untuk kegiatannyasampai sore hari. Entahlah, itu memang efektif, atau hanya sekedar sugesti.

“Lumayan nih ada seharian nganggur, kamu mau kemana?, main?nongkrong?”, tawar Ale.

“tidur aja deh di rumah, besok pagi kan udah jalan lagi ke Jakarta”, tolakWilly halus.

“oke”, kata Ale tanda mengerti. Willy memandang heran ke arah Ale yangberusaha menahan senyumnya.

“kamu kenapa, senyam-senyum gak jelas?”“Wil… Willy…”“iya, kenapa?”“sore aku tinggal pergi bentar ya?”, tanya Ale.“sana aja kalau mau pergi, ngapain sih?”“mau meet up sama matahari kesayangan”, jawab Ale, bersiul-siul

kegirangan.Giliran Willy yang berdecak kagum, ternyata Ale dan Gem sama saja, dua

saudara yang sama-sama kurang waras.----------Bandung, 2004.

Ale, dengan seragam SMP yang sedikit kekecilan, menampungpertumbuhannya yang semakin pesat. Tersenyum percaya diri di depan ruanganyang riuh oleh anak-anak seumurannya.

Ruang kelas bercat krem dengan plat biru muda di tengahnya itu memberikesan bersih dan terang. Meskipun kenyataannya, dari jauh pun tampak bahwatembok-tembok itu tak luput dari tangan jahil penghuninya. Coretan-coretan kecilala anak-anak itu sebagai bukti kreativitas mereka, atau pembangkangan?. Entahmana sebutan yang lebih tepat untuk ini.

Page 18: Salam Hangat Senja

18

“Ini teman baru kalian dari Jakarta, ayo perkenalkan diri”, kata Bu guruyang menemani Ale berdiri di depan kelas.

Ale tersenyum sembari mengangguk, “halo, nama saya Ale, salam kenal”,kata Ale menyapa seisi kelas.

“Nama lengkapnya siapa Ale?”, tanya Bu guru.“Aledrian Miru, bu. Saya biasa dipanggil Ale”.“wooo, suganteh Ale Surale”, celetuk salah satu anak yang diiringi tawa

anak-anak lainnya. Ale menelan ludah, menahan olok-olok calon teman barunyasatu-dua tahun ke depan, sampai lulus nanti.

“Ale Surale juga boleh kok”, jawab Ale, membuat mereka yang awalnyakemudian diam, saling berbisik-bisik. Ah, gue harus ngapain ini?, gumam Aledalam hati.

“sudah-sudah nanti lagi becandanya, Ale bisa duduk di bangku yangkosong di sebelah Apip ya”, kata bu Guru, akhirnya menghentikan awkwardmoment Ale di depan kelas yang membuatnya mirip boneka chucky lama-lama.

Ale dengan langkah pasti, menunjukkan egonya sebagai klaim anakJakarta penuh percaya diri yang pindah ke sekolah baru. Membuktikan bahwaanak pindahan tidak melulu anak pemalu yang kikuk kaku. Ale berbeda, Aleadalah anak dengan tingkat kepercayaan diri nyaris meluap, hingga tak pernahtakut berhadapan dengan lingkungan baru.

Kelihatannya mungkin memang seperti itu, nyatannya sepanjang waktutadi, Ale tak berhenti berkomat-kamit, berdo’a dalam hati saking gugupnya,“Tuhaaan, jangan sampai aku melakukan hal konyol di hari pertamaku di sekolahyang baru”. Gumam Ale. Ale kan anak normal, anak normal yang hanya tampakkeren di luar.

“Hai, Ale”, sapa Ale pada teman sebangkunya yang baru, menyodorkantangannya mengajak bersalaman.

“Apip”, jawabnya setengah ragu, Ale tersenyum mempererat jabatannyasebelum mereka saling melepas tangan.

“udah lama sebangku sendirian?”, tanya Ale.“hmm…dari awal naik kelas ini, baru dua bulan kok, kelas emang

jumlahnya ganjil, jadi ya mau gak mau ada yang ngalah duduk sendiri”, ceritaApip.

“Oh,, yang betah aja ya jadi teman sebangkuku”, kata Ale kemudian. Apipmembalasnya dengan anggukan.

Seperti biasanya, Ale selalu melakukan hal ini pada lingkungan baru yangmasih asing dalam pandangannya. Berkeliling menjelajah sendiri tanpa perlupemandu tour. Seperti sekarang ini, Ale lebih memilih menghabiskan waktuistirahatnya untuk berkeliling sekolah sendirian. Padahal Apip sudah berbaik hatimenawarkan diri mengntar Ale berkeliling sekolah, tapi Ale menolak tawaranApip dengan halus. Bukannya Ale tak suka dengan idenya, hanya saja Ale butuhwaktu sendiri untuk mengobservasi, memuaskan keingintahuannya tanpa perludiinterupsi siapapun.

Ale berjalan lurus melewati lorong-lorong kelas yang dipenuhigerombolan orang-orang berwajah asing yang belum ia kenali identitas mereka. Iaberbelok ke salah satu sudut, menemukan ruangan yang lebih besar dari kelasnya,Ruang Perpustakaan. Sejak kapan Ale menginjak perpus?.

Page 19: Salam Hangat Senja

19

Toh keraguan itu tak menyurutkan niat tiba-tiba Ale yang mendorongnyauntuk masuk ke ruang asing itu. Ale melangkahkan kakinya, melewati deretan rakbuku setinggi dua meter yang berjajar rapi, menyisakan lorong-lorong tempat parasiswa berjalan, sambil mencari buku yang mereka perlukan. Sebenarnya Alesedang, apa?. Ale sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Ia hanyamengikuti kakinya, dan berakhirlah ia di sana.

Ale kemudian tersenyum menertawakan tingkahnya sendiri, duduk disalah satu lorong, bersandar pada salah satu rak buku, mengambil buku yang iabahkan tidak tahu isinya apa. Ensiklopedia Laut?, “Ini sih buku kesukaannyaWilly”, gumam Ale dalam hati. Ale tiba-tiba merasa kangen pada teman SMPnyaitu, rival abadinya di kelas. Sayangnya Ale harus pindah sekolah, keputusanMama dan Bapa yang tidak di sukainya.

Ale melihat ke sekelilingnya, beberapa meter dari posisinya ada seoranganak perempuan yang sama-sama duduk di lantai perpus, membaca bukukemudian cemberut, lalu tersenyum sendiri. Anak itu menoleh, sadardiperhatikan, Ia balik melihat Ale. Membuat Ale tiba-tiba menoleh, berpura-puratidak peduli meski tertangkap basah tengah memperhatikannya.

Sayangnya, Anak itu justru mendekati Ale, yang makin membuat Alegelagapan karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

“Eh, suka duduk di lantai juga ya?”, tanyanya tanpa basa-basi.“oh..eehh..”, Ale bahkan tidak tahu harus menjawab pertanyaan aneh anak

itu.“kita samaan, biasanya bu Tari, penjaga perpus kita paling sering ngomel

kalo ada anak yang sembarangan duduk di lantai. Kalau mau baca buku, duduk dikursi baca katanya”, tuturnya tanpa di minta.

Entah apa yang membuat Ale begitu saja menyodorkan tangannya, tanpaia sadari sama sekali. “Ale”, kata itu keluar dari mulut Ale, memperkenalkandirinya sendiri.

Anak itu tersenyum, menyambut salam Ale dengan ramah, “Tsania”“San?, san-san?”, kata Ale menggoda namanya.“Sani, atau Nia, terserah sih. Oh ya, aku anak kelas tujuh A, kamu?”,

tanyanya. Sani atau Nia?, sayangnya nama San-san justru yang terngiang ditelinga Ale.

“delapan B, baru pindah ke sini hari ini”, jawab Ale.Sesaat San-san, Sani, atau Sunny atau siapapun panggilannya terdiam,

menutupi rasa malunya yang tersirat dalam semburat wajahnya yang memerah,“maaf, aku kira kamu anak baru juga”, katanya kikuk.

“kenapa harus minta maaf, aku kan emang anak baru, makasih malah gara-gara kamu kasih tahu, aku kan jadi tahu info kebiasaan ibu perpus di sini”, kataAle santai, tersenyum simpul.

“iya juga sih”“jadi, sesama anak baru, ayo temenan”, kata Ale, diiringi anggukan malu-

malu San-san.--------Di sinilah Ale, berhadapan dengan orang yang sama, orang yang

ditemuinya pertama kali, bertahun-tahun lalu. Saat ia masih anak baru, dengancelana biru yang mulai kekecilan.

Page 20: Salam Hangat Senja

20

“Hai San-san apa kabar”, tanya Ale. Matahariku masih tetap samaberkilau.

“Baik, akhirnya bisa meet up juga ya kak. Kak Ale sih sibuk, tapi Sanibawa temen ya, gak enak kalau cuma berdua doang”, kata Sani.

Tahu begini, mestinya tadi Ale memaksa Willy ikut meet upnya denganSan-san, biar double date sekalian. “gak papa kok, kan yang penting ketemu,gimana kuliah?, lancar?”, tanya Ale, sambil mengangguk menyapa teman San-sanyang tidak banyak bicara.

“Alhamdulillah lancar sih kak, baru mau ngurus KKN, abis itu bisa dehfokus sama tugas akhir. Kak Ale gimana?, kapan wisuda?”, tanya San-san.

Ale tertawa mendengar pertanyaan San-san, “yang penting wisudanya gakkeduluan sama kamu deh”, jawab Ale diplomatis.

“wuuu, kebiasaan”, cibir San-san.Ini yang ia rindukan dari San-san, Mataharinya. Sok melankolis memang

jika Ale melihat metafora yang ia sematkan untuk Sani. Tapi ia pikir itu bukanberlebihan. Bagi Ale, San-san memang selama ini menjadi teman yangmencerahkan hari-hari Ale, sejak pertemuan pertama mereka di perpustakaanSMP dulu, lalu mereka sekolah di SMA yang berbeda. Hingga Ale memutuskankuliah di Jogja dan San-san setahun kemudian kuliah di Bandung.

Mereka masih saling berkomunikasi, saling bicara, membahas apa sajayang bisa di bahas. Hubungan mereka tetap sama, bagaimanapun berubahnyanama yang mengisi status sebagai pacar Ale, atau siapa saja yang dekat San-san.Ale dan San-san tetap ada di posisi mereka, tak tergantikan dan tak salingmenggantikan. Saling mengisi tanpa harus merasa berkurang isinya sendiri.Sahabat?, muungkin saja.

“pokoknya kalau kak Ale wisuda, harus ngabarin ya”, kata San-san lagi.“Pasti dong”, jawab Ale, tanpa sadar mengayunkan lengan San-san, seperti

yang biasa ia lakukan, kebiasaan lamanya.Ale sedikit terkejut saat San-san refleks berusaha menarik tangannya yang

Ale ayunkan, membuat situasi keduanya mendadak canggung. Raut wajah San-san menunjukkan perasaan tidak enak, yang membuat Ale terdiam sesaat.

“oh, maaf kebiasaan dulu kebawa-bawa”, kata Ale mencoba mencairkansuasana yang kaku.

“iya, gak papa kok kak, akunya yang kaget tadi”, jawab San-san tertawahambar. Temannya San-san yang sedari tadi diam, lebih banyak mendengarkanpembicaraan nostalgia Ale dan San-san, melihat ke arah jamnya, kemudianmenyenggol pelan San-san, meski Ale tetap saja melihat kejadian itu. San-sansadar, kemudian memberi isyarat pada temannya, meminta waktu sedikit lebihlama.

“kak Ale, maaf ya gak bisa ngobrol lama-lama, aku abis maghrib udah adajanji sama temen-temen soalnya, gak papa ya. Kapan-kapan deh, kalau sempetkita ketemu lagi”, kata San-san mencoba memberi alasan pada Ale.

“gak papa, gih sana duluan, nanti telat lagi datangnya”, kata Ale. Merekasaling berpamitan, melambaikan tangan tanda perpisahan. Ale mendesah dalamhati, “memangnya kapan lagi kita sempet ketemu?”.

Willy melihat sahabatnya itu pulang dengan langkah gontai. Raut wajahyang tidak seceria sore tadi, saat ia pergi menemui mataharinya. Bukankah

Page 21: Salam Hangat Senja

21

seharusnya ia kembali dengan hati yang panas, membara bahkan gosong sakingpanasnya radiasi yang diterima Ale dari orang yang di pujanya sejak dulu?.

“kenapa?, datang-datang malah kusut banget kayak orang dehidrasi?”,tanya Willy dengan nada heran.

Ale melengos, tak menjawab pertanyaan Willy, duduk di kursi,menyalakan televisi yang ia sendiri tak berniat menontonnya.

“woii, kenapa sama si Mataharimu itu?”,“dia sih gak kenapa-kenapa, akunya yang gak jelas”, jawab Ale. “udah ah

mau tidur, kamu juga, besok pagi kita berangkat, biar gak telat”, lanjutnya.Willy kadang lucu melihat Ale yang menggalau tanpa pernah ia tahu

sebabnya. Meski Willy seringkali menebak bahwa Tsania dan Ale itu lebih darisahabat yang selama ini mereka gembor-gemborkan, Ale selalu kukuh menolakide itu, baginya San-san adalah sahabatnya, bestfriendnya yang tak tergantikan.Toh, apapun isi pikiran Ale yang sebenarnya, Willy tak akan bisa membantuapapun. Itu urusan personal Ale, dan akan selalu jadi urusannya sendiri.

Ale selalu bilang Tsania itu San-san, mataharinya. Diambil dari namaSunny, matahari, yang sinarnya menghangatkan, meski kadang panas menyengat.Berkali-kali, Willy menjelaskan pada Ale, kalau nama Tsania itu diambil daribahasa arab, asal kata Itsnaini, Itsna, Tsani, Tsania, artinya dua. Mungkin San-sananak kedua, itu sebabnya namanya Tsania.

Tapi Ale tidak peduli, baginya sejak awal Tsania yang ia kenal adalah,Sunny, Sun, San-san, Matahari.

--------Tengah malam itu Willy terbangun, duduk di kasurnya yang beralas

lantai. Ia mendongak ke ranjang, melihat Ale yang tengah tertidur pulas,meringkuk di balik selimutnya.

Suara ponsel membangunkan Willy yang juga baru memejamkan mata.Sebuah pesan masuk, nomer baru, tapi dari seseorang yang ia kenal pasti, yang iarindukan dan juga ia benci.

[Lo dimana krucil?, gue lagi di Jogja. Meet up yuk?]“Hahaha….”Tawa itu terdengar begitu pahit.

----------

Bab 3. Penolakan KrucilPagi itu mereka bersiap dengan perasaan yang carut marut, tanpa tahu satu

sama lain apa yang ada di masing-masing kepala keduanya. Ale tak tahu apa yangmerusak tatanan otak Willy semalam, menyergap Willy dengan satu pesan pendekyang isinya begitu menohok. Membuatnya sakit hanya dengan memikirkan isinya,ketemu di Jogja?, ketika ia tengah pergi menuju tempat lain yang jauh, perjalananyang sudah dimantapkan oleh hatinya. Kebimbangan itu datang menggerogoti isikepalanya, perlahan, sedikit demi sedikit hingga ia tak tahu lagi apa yang ia haruslakukan saat ini.

Willy menghela nafas, berdiam diri di kamar mandi melamun, mencobatertawa meski pahit itu masih terasa, bahkan makin menyakitkan. “Apa yangharus aku lakukan”, ia bergumam pelan.

Ia kembali tertawa seperti orang bodoh, tanpa ia sadar pelupuk matanyamulai menggenang. Satu titik di hati kecilnya mengalahkan akal pikirannya, terus

Page 22: Salam Hangat Senja

22

membisik keras, menjalari setiap garis urat-urat halusnya, memaksanya berlarisaat ini juga, kabur kembali ke Jogja saai itu juga. Tapi, akal sehatnya berkata,“Lo jangan gila!”.

Willy memang gila, kepalanya mungkin tengah tak waras saat ini.Kerinduannya membuncah, meluap tak tertampung seperti aliran air terjun yangmeluncur deras, menghancurkan batu-batu dasar sungai, membuat dasarnyasemakin mendalam, persis seperti apa yang ia rasakan. Ia merindukannya, inginmenemuinya, melontarkan semua hal yang selama ini ia simpan rapat-rapat,memuntahkan bongkahan-bongkahan luka yang tak pernah ada yang tahu. Merekayang mengenalnya menganggap ia baik-baik saja, tanpa tahu dalam kata “baik”itu, tersembunyi kata sebaliknya.

Tahu rasanya bagaimana ingin membenci seseorang tapi tak bisa karenakita terlalu mencintainya?. Cinta dan benci, dua sisi saling bertolak belakang yangakhirnya saling menghancurkan, menimbulkan luka tempat ia menyimpankeduanya, hati. Hatinya tak lagi sama, sejak saat itu.

Bagaimanapun ia mencoba bangkit, mencoba mengubur bagian kelam darikehidupannya yang mengubah banyak hal. Peristiwa yang membuat takdirhidupnya berubah drastis, di satu titik yang tak pernah ia duga sebelumnya. Tapitakdir adalah takdir, dan jika ia harus memikul akibat haluan yang telah berubahini, maka itu juga yang harus ia jalani.

Ah, orang itu, orang yang dikagumi, dicintai, idolanya, juga yangdibencinya habis-habisan.

“Kenapa?, kenapa dia harus datang lagi?”, gumamnya pelan. Willymemandang kaca, menatap sosoknya sendiri yang terpantul, tapi bayangan lainyang tampak disana. Membawanya melintasi tahun-tahun yang terlewati, kembalipada satu titik dimana ingatannya masih tergambar jelas, gambaran sempurnasosok yang dilihatnya saat ini dalam pantulan kaca.

“Bisakah kamu enyah?, hanya enyah seperti maumu dulu?”.-------------

Jakarta, 2008“Aku gak suka tinggal di rumah”“emangnya sejak kapan kamu tinggal di rumah?, aku yang tinggal di

rumah. Kamu kan kuliah di Jogja”, Ia terkekeh, membenarkan perkataan Willy.“Aku mau pergi”“ Lah biasanya juga emang pergi?, aneh banget”“Pergi yang bener-bener pergi, pergi dari sini, gak balik lagi”, jawabnya.“Ah, jangan ngomong ngaco deh, ia besok kamu pergi ke Jogja, balik lagi

ke dunia kampusmu yang udah mau kelar itu. Udah ah, aku ngantuk mau tidur,balik sana ke kamarmu sendiri yang berantakan gak jelas”, gerutu Willy, menarikselimutnya, menenggelamkan badannya dalam sampai tak terlihat.

Dia yang diusir itu malah tertawa, melemparkan badannya ke kasur,bergulat dengan Willy, berbagi wilayah di ranjang Willy yang sempit, “aku mautidur di sini aja sama bocah paling sok dewasa sedunia”, katanya, ikutmembenamkan dirinya ke selimut Willy.

“Dasar kakak kampret, kerjaannya ganggu melulu”, desis Willy.Keduanya kemudian tertawa kencang, menertawakan hal yang mereka sendiri takmengerti dimana letak lucunya.

Page 23: Salam Hangat Senja

23

Namanya Ferdy, Ferdy Arsjad Nugroho. Willy’s big brother. The one, andthe only one. Idolanya.

Sayangnya obrolan malam itu ternyata bukan hanya guyonannya belaka.Obrolan itu adalah kata-kata Ferdy yang datang dari keyakinan akan ide gila yangbersarang di kepalanya. Pertengkaran besar pagi itu memecah keheningan yangbiasanya hadir mengisi rumah keluarga Nugroho. Papanya marah besar, terlalubesar untuk diredam Mamanya. Hingga menyeret Willy menjadi korban palingparah dari semua kejadian pagi itu, memaksanya membelokkan hatinya untukmenghilangkan kata “tidak”, dari kosakata hidupnya. Semua itu gara-gara Ferdy,dengan kebebasan idealnya yang tak pernah sejalan dengan Papa, tak pernahseimbang dengan pikiran Mama, dan tak pernah di mengerti Willy, kenapa iayang harus bertanggung jawab untuk semua kekacauan ini. Hanya karena satukalimat yang terucap dari mulut Ferdy.

“Pa, saya gak bisa kerja di perusahaan Papa. Saya sudah mutusin abislulus, saya mau fokus sama kegiatan di organisasi volunteer yang saya ikutin.Saya harus terus menjelajah tempat terpencil, nomaden. Dunia urban kayakJakarta bukan passion saya”, kata Ferdy.

“Apa, kamu jangan gila!, Papa nyekolahin kamu bukan buat jadi gembeldi dunia antah berantah, sudah cukup papa toleransi kegiatan-kegiatan gak pentingkamu, Papa toleransi semuanya, tapi kamu jangan hidup di dunia mimpi, inirealitas!, kamu mau makan apa?. Jangan mentang-mentang selama kuliah kamuudah punya duit sedikit sudah sombongnya minta ampun!”, teriak Papa,meggebrak meja.

“saya memang mau pergi dari sini kok!”,“jangan pernah kembali, bahkan kalau kamu putus asa, kamu kelaparan,

kamu sadar bahwa pikiran konyolmu itu salah, jangan pernah kembali ke sini.Papa gak sudi nerima anak durhaka!”

“saya juga gak niat balik lagi ke sini kok Pa!”,Willy bersembunyi di kamarnya, di balik pintu, memasang headset di

telinganya, mencoba mengabaikan teriakan-teriakan yan seolah tanpa akhir. Ia takingin mendengar semuanya, matanya terpejam, berharap itu hanya sebatas ilusimimpi, mungkin ia sebenarnya masih tertidur, dan mereka semua yang tengahsaling berteriak sebenarnya hanya sekelompok burung yang berkicau merdu.Semuanya baik-baik saja. Tidak!, semua ini tidak baik, itu kenyataannya.

Matanya terbuka, ia mengepalkan tangannya, erat, terlalu erat hinggakuku-kukunya yang tumpul membekas di telapaknya. Tapi bukan tangannya yangsakit, hatinya yang tercabik. Suaranya tercekat, lirih memanggil nama, “kakFerdy, udahlah..berhenti ribut sama Papa”, tapi tak ada suara disana, senyap.Hatinya yang berbisik, hatinya yang sakit yang berbisik lirih tanpa jawaban.

Adu mulut itu, kekacauan itu, pertengkaran tak henti itu, selamanyaWilly akan mengingat itu sebagai hari libur terburuk dalam kamus hidup Willy.

------Senja itu hening, begitu hening. Hanya suara sapuan angin yang membuat

pori-pori ikut membuka dirinya lebar, membiarkan hempasannya masuk melaluicelah-celah dan menggigilkan manusia-manusia yang tengah menikmati sorenyadalam damai. Kedamaian yang semu.

Tidak pernah benar-benar ada kedamaian di dunia selama manusia masihmenjadi raja semesta makhluk hidup lainnya. Menguasai dengan akal pikiran

Page 24: Salam Hangat Senja

24

yang diberikan Tuhan cuma-cuma, namun terseleweng dalam bisikan cinta dunia.Mengorbankan hakikat kehidupan yang sebenarnya hakiki. Entah, mungkin tanpasadar manusia memang lebih menyukai kerumitan dibandingkan kesederhanaanyang di gariskan oleh Tuhan.

Willy duduk di atap rumahnya, di barisan genteng yang ia panjat melaluibalkon kamarnya di lantai dua, sedikit merangkak, lalu menjangkau bagian ataprumahnya yang berbentuk papak, berlapis beton, tidak terlalu luas, tapi cukupuntuknya menikmati suasana senja seperti ini. Sepi, senyap, damai tanpa suaralain yang ia dengar, hanya suaranya sendiri.

“hei… tempat ngabur favoritku ternyata ada penunggunya”, suara ituterdengar, bersamaan dengan sebuah lengan yang merangkul erat di leher Willy.Willy menoleh ke sampingnya, berpura-pura tersenyum sinis.

“selama kamu di Jogja, tempat ini udah aku ambil alih tahu”, jawab Willytak mau kalah.

Ferdy tertawa, menepuk punggung adiknya, melihatnya dengan tatapansayang. Keduanya sama-sama terdiam sesaat, mengerti bahwa isi kepala merekaterlalu banyak yang harus dikeluarkan, terlalu banyak tanya yang harus terjawab,dan terlalu banyak pengertian yang harus dimengerti. Keduanya sama-sama tahu,memulai pembicaraan ini adalah hal terberat yang harus mereka lakukan. Tapi,salah satu dari mereka harus memulainya, harus sebelum semuanya berakhirbegitu saja tanpa penjelasan.

“Fer, kamu beneran mau pergi?”, tanya Willy.Ferdy tersenyum simpul, melihat adiknya termangu, risau karena ulahnya,

“kan aku udah bilang, kamunya aja yang gak percaya”, jawabnya, setengahberkelakar. Kelakar yang siapapun tahu itu hanya jenis candaan untuk menutupikebohongannya. Ferdy tidak sedang bercanda, ia serius.

“beneran?, terus aku gimana?“ya masa bohongan, kamu gak gimana-gimana, kamu kan masih SMA,

masa mau balik lagi jadi anak TK”, jawabnya.“tapi balik lagi kan, ketemu aku kan?”“gak tahu, tapi mungkin aku bakal ketemu kamu, gak mungkin dong aku

gak kangen sama adek satu-satunya yang sok cool ini”“Hahaha…jangan ngaco deh”, jawab Willy, menghentikan guyonan

renyah pahit itu, mirip gorengan gosong yang berubah jadi arang.Keduanya terdiam sesaat, memandang langit senja yang menjingga,

menembus gerombolan awan putih di barat sana, menghalangi pancaran mataharisenja yang menghangat. Langit biru sore itu cerah, bergeser warna, mengabuperlahan, memudarkan biru lautnya yang menentramkan. Paduan warna langityang seperti mahakarya. Membuat para pemegang kuas berlomba memotretkeindahan warna dan bentuknya dalam sapuan kuas, menembus kanvas, lalumngering keras, tergantung di tembok-tembok cadas, memuatkan hasrat mereka-mereka yang mengaku berkelas, pecinta seni papan atas.

Atau mungkin, para seniman foto. Berlomba-lomba membidik lanskapnyadalam kidung lensa, menangkap objek-objek langit senja itu sedetil mungkin,tanpa cacat. Mengabadikan keindahan senja yang hanya bertahan beberapa waktu,lalu tergantikan oleh senja-senja lainnya, yang sama indahnya. Tapi, meskipunsama, senja hari ini dan kemarin berbeda, bahkan senja esok hari, lusa, mingguberikutnya, tak akan pernah sama. Keindahan yang hanya bisa dinikmati detik itu

Page 25: Salam Hangat Senja

25

juga, sebab detik berikutnya keindahan lainnya meminta unruk dipuja. Lalu, file-file foto itu, lembar-lembar yang tercetak itu, seolah menjadi manifestasi bentuksembah syukur pada Tuhan, bahwa mereka bisa melihat keindahan dalamkenangan itu lebih nyata, gambar itu mengingatkan mereka lagi akan masa yangterlupa.

Willy tak perlu semua itu, ia hanya cukup mendayagunakan lensamatanya, yang gratis Tuhan berikan tanpa cacat dan cela, membuatnya bisamemotret senja indah sore itu, dan memasukkannya dalam kenangan. Kenanganyang tak pernah ia lupakan hingga saat ini, Langitnya yang mengabu, sinarjingganya yang memancar, lalu pendar mataharinya yang tenggelam di baliktembok-tembok rumah yang menghalanginya, melihat matahari itu hingga ke titikbatas, sebelum tertelan malam, lalu memunculkan bulan.

“heiii…. Jangan ngelamun sore-sore”, kata Ferdy. Ia mengambil kamerayang terkalung di lehernya, mengarahkan lensanya, membidik senja yangkeduanya tengah nikmati. Mengambil satu kali foto, tanpa mengulangnya, tanpamelihat hasilnya. Hanya sekali.

“somboong, yang punya kamera keren”, Willy mencibir, Ferdy terkekehmendengar cemooh adiknya.

“terus aku gimana?”, tanya Willy lagi, kepalanya masih terganggu olehsemua pertanyaan yang tak bisa ia mengerti. Sekalipun ia terus-menerus berusahamencari pembenaran atas semua yang dilakukan kakaknya, pikiran Willy tetapada di tempatnya.

“kamu masih anak SMA yang punya jalan panjang banget”,“kenapa kamu ngabur?”“bukan ngabur Wil, justru ini pertama kalinya aku ngerti soal jalan hidup.

Aku punya jalan dengan tujuan yang jelas, kebahagiaan hidup, kepuasan,eksistensi diri”, jawab Ferdi mencoba memberi pemahaman pada Willy.

Willy terdiam, badannya kaku, kepalanya membatu, dan lidahnya kelu,mata nanarnya masih tak bisa mengerti jalan pikiran rumit yang ada di kepalakakaknya. Apakah dengan ada di dekat Willy, Ferdy sama sekali tak bahagia?.Apakah ia tidak cukup baik untuk berperan sebagai adik?.

“sory ya, aku bukan kakak yang baik”, Ferdy tersenyum kecut.“kenapa harus minta maaf sama aku, aku gak ngerti?”“suatu saat, kalau kamu udah ngerti jalanmu sendiri, kamu bakal ngerti.

Butuh waktu untuk sampai di titik di mana kamu bisa ngaku kalau kamu adalahmanusia yang merdeka, bebas menentukan arah hidup kamu sendiri.”

“aku masih gak ngerti!”“jaga Mama sama Papa ya kalau aku pergi”, kata Ferdy.Ferdy mengusap kepala adiknya itu dengan lembut, sebuah pesan yang

juga menyakiti dirinya sendiri, menyakiti hati kecil Ferdy sangat dalam, menyakitiWilly, Mama, Papa. Menyakiti mereka yang terlibat dalam ketidaksepahamancara pandang tujuan hidup, meski semuanya mengaku pada satu titik tujuan, yangmereka sebut bahagia.

Kau tahu, ada banyak jalan menuju Roma!, bahkan jika jalan itu artinyaadalah persimpangan yang membawa pada perpisahan.

Itu senja terakhir yang ia nikmati bersama Ferdy, sebelum sosokkesayangannya itu pergi tanpa kabar, menghilangkan jejak komunikasi semua

Page 26: Salam Hangat Senja

26

jenis media, tertelan sudut bumi yang tak bertepi. Menyisakan Willy, sesuatu yangtak bisa ia pungkiri, setumpuk benci.

“Aku masih gak ngerti”, hatinya berteriak.Willy tak mengingat senja sore itu, ia mengingat kepahitannya dalam

senja. Tapi tetap saja, gambaran lanskap indah itu membayang di kepalanya.---------

Bandung, 2014“Woiiii.. Will, kamu itu mandi apa semedi?, lama banget di kamar

mandi?”, suara Ale mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi, menyadarkan Willy darilamunannya, kembali ke ruang kecil ini, kamar mandi, tubuhnya masihmemandang cermin, mematutkan diri, melihat sosok yang terpantul di sana,wajahnya sendiri. Wajah Willyan Nugroho yang mereka bilang, keren, kualitassuper diatas rata-rata. Memangnya tampang ini barang dagangan?, Bayanganmaya di cermin datar itu adalah dirinya sendiri, bukan sosok lain, apalagi Ferdy.

“Haaha… sory..sory, gak sabaran banget sih, bentar lagi kelar Sulee!”,jawab Willy.

“monyong, malah ngata-ngatain orang. Hayooo, ngaku deh kamu lagingapain di dalem?, kudu ngecek tissue stok nih kayaknya, siapa tahu ilang”, kataAle sambil tertawa terbahak.

Willy keluar dari kamar mandi segera, dengan pakaian rapi yangmenempel di badannya, mendelik ke arah Ale yang melihatnya dengan tatapancuriga.

“Ngaco ya kalo ngomong, kamu kali yang abis olah raga pagi”, kata Willybalik menyerang.

“Siapa yang olahraga pagi, kak?”, tanya Gem, tiba-tiba muncul di selaobrolan pagi Ale dan Willy yang aneh. Giliran Ale yang gelagapan mendengarpertanyaan Gem yang tiba-tiba, Wil tersenyum puas melihat gelagat kikuk Ale.

“Ini nih si Gem, udah tahu mau pergi, eh malah bilang pengen olah ragapagi dulu”, jawab Willy sambil tertawa.

Gem mengerutkan keningnya, lalu kembali pada ekspresinya yang biasa.“Ah a Ale ini emang suka ngaco deh, kak Willy gak usah dengerin orang gila satuini, tuh sarapan udah siap kata bi Imah”, lanjut Gem. Ale terlihat menghela nafaslega, sementara Willy masih terus berusaha menahan tawanya.

“yuk makan”, kata Ale, sesegera mungkin menghentikan kecanggunganbodoh ini.

Semuanya sarapan pagi, mirip ritual harian Gem sebelum berangkat kesekolah. Bukan karena mereka semua harus berangkat sekolah, tapi karena Gemyang merengek minta sarapan bersama, sebagai ganti absennya dia pergi keAmbon.

“Salahnya sih a Ale bilangnya kalau mau berangkat sendiri, kalau tahu kakWilly mau ikut mah, Gem rela deh bolos sekolah seminggu”, kata Gem denganwajah polosnya.

Ale mendelik kesal, ingin rasanya ia menyemprot Gem saat itu juga,mengembalikan kesadarannya bahwa dia itu perempuan yang harusnya punya uratmalu kalau bicara di depan cowok yang di sukainya, bukan malah blak-blakanpersis sales kompor yang ngomong panjang lebar ini itu, tapi ujungnya di tolakjuga.

“yee..orang dia mau ikutnya dadakan kok”, kata Ale membela diri.

Page 27: Salam Hangat Senja

27

Gem mengabaikan Ale, malah fokus melihat Willy yang menyendokkannasi goreng dengan telur ceplok ke mulutnya, membuat Willy mau tak mauberhenti sesaat. “Gemaila kenapa ngeliatin kak Willy segitunya, ada yang aneh?”,tanya Willy.

Gem tersenyum manis, menggelengkan kepalanya perlahan, “enggak kokkak, cuma seneng aja lihat kak Willy, abis kak Willy cakep”, jawab Gem, yangmembuat Ale refleks tersedak.

“Minum..minum Le”, kata Willy. Ale minum air putih yang ada didepannya, setengah bersungut ia mengomeli Gem,

“eh elu jadi anak cewek jangan ganjen deh, temen kakaknya sendiriterang-terangan di godain”.

“yee biarin, Gem kan cuma jujur, lagian a Ale kok bisa ya temenan samakak Willy, lihat deh gayanya aa sama kak Wil, udah kayak bumi sama langit”,cibirnya.

“berisik ah”, balas Ale sengit. Willy menikmati pertengkaran dua anakbeda umur, tapi sama-sama berkelakuan bocah. Mengingatkan Willy padakenangan yang juga pernah di alaminya.

“eh, Ulfah mana?, kok gak keliatan?”, tanya Willy tiba-tiba, melihat adaanggota yang kurang di meja makan kali ini.

“oh, dia gak nginep kemarin, soalnya kita lagi di sini, besok juga nemeninbocah ini lagi kok”, kata Ale. “kenapa, kehilangan ya?”, lanjut Ale menggodaWill, sekaligus mengerjai adiknya yang raut wajahnya berubah keruh.

“tuh dengerin, si Willy nyarinya Ulfah, bukan bocah pecicilan9 kayakkamu”, Ale menjulurkan lidahnya, mengolok-olok Gem.

“Wuuuu..kak Willy jahat ih, Gem yang di sini gak ditanyain, kak Ulfahyang gak ada malah di tanya-tanyain”, katanya sambil cemberut.

Giliran Willy yang tersenyum geli, “yah kalau Gem kan udah didepanmata, jadi gak perlu ditanyain, “, jawab Willy diplomatis.

“hehehhe..ia sih”“waduuh, dasar sarap, udah sana berangkat, nanti telat lho”, suruh Ale,

yang dibalas dengan sikap ogah-ogahan Gem.“kak Willy, Gem berangkat dulu ya, hati-hati di jalan, pokoknya jangan

jelalatan sama cewek cantik, kalo a Ale sih boleh-boleh aja, biar dia cepet waras,gak ngoceh mulu soal teori matahari gak jelasnya itu”, kata Gem, pergimeninggalkan Ale dan Willy dengan langkah riang.

“iya, kamu juga hati-hati di jalan,”“hooi si Willy ini udah punya pacar dudul! “, teriakan Ale yang tak

digubris Gem sama sekali.Willy terkekeh, melihat ke arah Ale yang masih bersungut-sungut kesal,

“bisa stress deh aku kalau tinggal lama sama itu anak”, gumamnya.“Le, ““Apaan?, kamu lagi, malah ikut-ikutan ngegoda, tahu tuh anak

kesenengannya kayak apa”, katanya menyindir Willy.“Sory deh.sory.. Tapi, emangnya Gem tahu soal San-san?, kok ngomongin

matahari?”, tanya Willy penasaran.

9 Kekanakan

Page 28: Salam Hangat Senja

28

“enggak, dia gak tahu soal si San-san, tapi emang aku sering keceplosanbilang matahari-matahari gitu sih. Dia pikir aku sinting”, jawab Ale sambiltertawa. “Udah yuk, siap-siap, mang Dadang udah siap, kata Bapa, biar keJakartanya di sopirin mang Dadang aja, jadi gak usah ribet-ribet nyarter mobilatau travel.

“aku ngikut gimana baiknya aja”, jawab Willy.---------------Bandung-Jakarta kali ini adalah salah satu perjalanan paling sunyi yang

dilakukan dua tipe manusia berbeda kepala yang masih sibuk dengan lamunannyamasing-masing. Mang Dadang menyalakan musik kesukaannya, meski bukanfavorit kedua orang yang diantarnya dalam perjalanan kali ini menuju bandaraSoetta, keduanya sama sekali tak menyatakan protes, memintanya mengganti laguyang lebih up to date, lebih muda, selera anak gaul jaman sekarang. Mang Dadangtahu pasti karena anak-anaknya yang masih sekolah, yang terpaksa dititipkan dirumah nini mereka di Pengalengan sering memutarkan musik-musik pop, lagubarat, korea, jepang atau lagu-lagu aneh lainnya yang mang Dadang tak mengertisama sekali artinya. Baginya sebagus apapunlagu-lagu anak muda jamansekarang, lagu-lagu Doel Sumbang tetap jadi lagu favoritnya sepanjang masa.

Bulan nu ngagantung di langit batu hiuTinggal sapasi sesa purnama kamaridi dieu duaansuka bungahsegala rasa dibedahbulan nu ngagantung dilangit batu hiutinggal sapasi sesa purnama lamarisa niat sa jangjisahidup samatimoal khianatinsya Allah moal pegatdina ruang hatenu aya ukur saliradina ruang hatepasti ngan aya ukur salirabulan dilangit batu hiusesa purnama kamaribulan sepeuting nyaksinyepeng rusiah moal betuspasti10

“Aa, mau rikues11 lagu apa?, nanti mang Dadang puterin biar enggakngantuk”, tanya mang Dadang memecah keheningan.

“gak usah mang, lagu ini juga bagus”, kata Willy, menjawab pertanyaanmang Dadang, karena dilihatnya Ale masih terpekur sendiri, dengan pikirannyayang membelit.

10 Lirik lagu Bulan Batu Hiu, Doel Sumbang.11 request

Page 29: Salam Hangat Senja

29

“Atuh jelas Aa, lagu Doel Sumbang mah lagu sepanjang masa, tidakmungkin bosan”

“iya deh ngerti yang Sumbang lovers mah gak usah ditanya”, tukas Ale,yang membuat mang Dadang terkekeh.

“Batu Hiu itu dimana sih mang?”, tanya Willy,“wah kalau itu mamang juga enggak tahu, nanti ini mah harus tanya dulu

sama Mamang Doel nya”, jawab mang Dadang.“yee..katanya fansnya, malah gak tahu lagian bulan mulu, bintang kek apa

kek”, gerutu Ale, Willy tertawa geli melihat kelakuan temannya yang masihbelum mood untuk menanggapi bahan becandaan mang Dadang.

“Ada lagunya Doel sumbang yang soal Matahari gak nih mang, lagi adayang kangen sama Matahari”, tanya Willy, sambil menggoda Ale. Ale melihatnyakesal.

“Panon poe?12, apa atuh ya, gak ada setahu Mamang mah, tahu juga, laguyang judulnya Kalau Bulan Bisa Ngomong, ituh yang nyanyinya sama neng geulisNini Carlina, lagunya sip pokoknya”, kata mang Dadang menjelaskan panjanglebar.

“Kalau bulan bisa ngomong, itu para ilmuwan NASA gak usah capek-capek bikin roket, ngirim astronotnya ke bulan buat ngelihat bekas meteor”,gerutu Ale. Membuat Willy terpingkal-pingkal.

“udah mang, si Ale gak usah didengerin, lanjut aja jalan. Ini anak kurangtidur”, kata Willy menengahi.

“Tidur sana, nanti kalo udah nyampe aku bangunin”, kata Willy. Alemengambil jaket, menutup kepalanya.

Kalau bulan bisa ngomongDia jujur takkan bohongSeperti anjing melolongTiap hari ku teriakkannamamu, ya namamu

Kalau bulan bisa ngomongAda cinta yang terlaluAda rindu yang terlaluSemua serba terlalupadamu, ya padamu

Aku kehabisan katadan hampir tak dapat bicaraDalam hati hanya ada rasayang tak dapat kuwakilkanpada sajak lagu atau bunga

Demi kamu aku pamitSebentar aku ke langitAkan kugendong rembulanKukantongi bintang-bintang

12 Matahari

Page 30: Salam Hangat Senja

30

Segera kubawa pulang untukmu, ya untukmuKalau bulan bisa ngomongSayang bulan tak bisa ngomongCoba kalau bisa ngomongDia pasti tak akan bohongtentang cinta, cinta kita13

Ale mendesah, Kalau bulan bisa ngomong, aku akan suruh dia mendekatke matahari dan menyampaikan pesanya, please, jangan pernah berubah, janganpernah menjauh, aku mau kamu yang dulu, seperti dulu.

Willy menghela nafas, Kalau bulan bisa ngomong, aku akan titip pesankepadanya. Pergi sana!, jangan memunculkan wajahmu di depanku, janganmeminta janji untuk bertemu, jangan tiba-tiba datang setelah lama menghilangseolah peduli. Aku baik-baik saja, dan akan tetap baik meskipun kamu,melupakan janjimu. Melihatmu hanya akan membuatku semakin membencimu,Kak.

Mang Dadang bersenandung kecil, Kalau bulan bisa ngomong, Ohyeaaah, Dia jujur takkan bohong Oh yeaaah…

Lagu itu mengalun, masih dengan pengisi suara yang sama, menemaniperjalanan mereka, tapi tidak hati mereka.----

Ruang tunggu bandara Soetta sore itu masih ramai seperti biasanya, suarapengumuman dari pusat informasi memberitahukan pesawat rute penerbanganJakarta-Ambon, penerbangan Ale dan Willy sore itu segera berangkat. Merekamengantri di baris pemeriksaan, pengecekan tiket, menuju tempat pesawat berada,Willy menghela nafas, beban kepala yang sedari tadi disembunyikannya akhirnyameluap.

Willy menghentikan langkahnya sesaat, mengambil ponselnya, mengetikpesan singkat.

[Sory, aku gak bisa meet up. Mau ngabur ke Ambon].Ia kirim ke nomer yang bahkan tak ada di daftar kontaknya, tapi ia tahu

kemana pesan itu akan sampai, Ferdy.“kenapa Wil?”, tanya Ale keheranan.“gak ada apa-apa kok, yuk”, jawab Willy tenang. Menonaktifkan

ponselnya, memasukkan ke saku jaket yang dipakainya.Pesawat itu akhirnya mengudara, meninggalkan tanah, mengawang

menuju kestabilan posisi di ketinggian entah berapa ribu kaki, Willy terpejammencoba mengamankan diri. Ale mengamatinya, jelas ia tahu ada yang anehdengan sahabatnya ini, instingnya mengatakan ada yang Willy sembunyikan sejakpagi tadi, dan frame-frame keanehan itu satu per satu membayang di depanmatanya.

“Wil, kamu harus jujur deh, kamu kenapa?”“Aku gak kenapa-kenapa?, Ada yang aneh?”, Willy balik bertanya.“Ada apa?”, sekali lagi Ale bertanya, memberi penekanan yang jelas. Ada

nada menuntut dari pertanyaannya.

13 Lirik Lagu Kalau Bulan Bisa Ngomong – Doel Sumbang

Page 31: Salam Hangat Senja

31

Willy tersenyum masan, percuma juga ia membohongi Ale, toh ia tak akanberhenti sebelum rasa penasarannya terjawab. “Ferdy sms, dia bilang dia lagi diJogja”

Ale kaget, terdiam sesaat mencerna situasi ini, “terus?”“dia ngajak meet up”,“dan kenapa kamu malah di sini, bukannyaa…”“aku bilang aku gak bisa meet up, lagi ngabur ke Ambon”Keduanya terdiam, Ale bingung menghadapi situasi semacam ini, hening

beberapa saat, sebab ini jenis pembicaraan yang sulit. Sulit bagi Ale, bahkan lebihsulit lagi bagi Willy.

“Wil, are you okay?”“I’m fine Le, aku baik-baik aja”“Serius?”“Seriously, I’m definitely okay, ayolah aku bukan anak kecil, Le.”.Seriously, I’m not okay, but why I must saying I’m not okay?. Hati kecil

Willy berteriak kencang.-------

Bab 4. Rencana diatas RencanaJogjakarta, 2012.

Gadis itu masih sabar menunggu di tengah kerumunan orang, yangmenyesaki area parkir juga halaman auditorium kampus. Berjejal di bawah ataphalaman muka gedung, bersama wajah-wajah asing dengan baju dan dandananluar biasa heboh. Sama sepertinya, mereka menunggu orang-orang yang sedaritadi duduk tenang di dalam gedung, bertolak belakang dengannya yang berjibakudengan peluh karena matahari menunjukkan taring perkasanya siang itu. Merekayang ada di dalam justru mulai kedinginan karena hembusan angin buatan daricelah-celah AC yang terpasang di dinding-dinding gedung.

Wisuda memang melelahkan, bukan hanya yang mengalaminya, tapi jugayang terlibat dalam euforia di dalamnya. Wisudawan, orang tua, pendukung acara,bahkan teman-teman yang memberi ucapan selamat dengan bunga dan boneka-boneka kecil tanda cinta. Mereka rela menunggu berjam-jam hanya untukmengucapkan selamat pada orang yang dikenalnya. Ucapan selamat yang bahkantak sampai lima menit, masih untung jika pertemuan itu bisa terjadi. Beberapahanya bisa saling mencari, tanpa bisa menemukan yang mereka cari ditengahribuan orang yang sama-sama saling mencoba menemukan. Lucu memang.

Lalu, apa yang sedang di lakukannya?. Duduk sembarangan di sisi selokanyang agak teduh karena menahan pegal, tak mempedulikan orang-orang yang disekelilingnya. Ia mengelap keringat di dahinya dengan tangan, lengan lainnyamenggenggam bunga. Bunga?, sama sekali tak cocok dengan imejnya, tapibegitulah cara ia menepati janji.

Ia berjanji akan datang ke wisudanya, ke prosesi paling membosankanlebih dari apapun. Plus membawa bunga?. Ah lengkap sudah penderitaannya.

[Belum kelar juga?. Lama bangeeet]. Ia mengirimkan pesan.[Sabaar, ini lagi ngantri keluar]Ia memutuskan mengurungkan niatnya untuk kabur dari hiruk pikuk ini,

menahan kesabarannya lebih lama. Kesabaran yang berbuah manis.“Cieee, cantik banget mbak Sari, selamat wisuda ya kakak kesayangan”,

katanya sambil tersenyum.

Page 32: Salam Hangat Senja

32

“uh, akhirnya bisa ketemu juga sama si krucil satu ini, makasih ya udahmau dateng”, jawab Sari tersenyum senang.

“nih bunganya, cantik kan?”“haha..Edith ternyata bisa so sweet juga. Makasih ya krucil” jawab Sari

sambil tertawa.“ikut ngumpul gak sama keluargaku?”, tanya Sari kemudian.“gak usah mbak, aku langsung balik. Panas banget di sini, yang penting

udah ketemu kan?, daaah”, ujarnya, seraya pergi.Lalu semuanya berlalu begitu cepat, setahun kemudian mbak Sari

menikah, lalu setahun berikutnya ia pindah ke Ambon, mengikuti suaminya yangpindah tugas, menetap di sana.

Waktu berjalan sangat cepat, dan Edith masih jalan di tempat. Bedanyaadalah status mahasiswanya sudah berakhir, ijazahnya sudah bisa di legalisir, tapimasalah peliknya seolah tak pernah berhenti mengalir.------

“Edith, kamu di kamar berjam-jam sebenarnya lagi ngapain?”, kataMamanya berteriak kencang dari arah dapur.

Edith mendongakkan kepalanya sebentar, lalu kembali tenggelamdihadapan lapotopnya yang menyala terlalu lama, hingga nyaris overhearing.Berdiam diri di kamar ketika hari libur adalah kegiatan rutinnya. Helaan nafasnyaterdengar berkali-kali menandakan kepalanya memang sedang tak bisa berpikirsejernih air pancuran kamar mandi rumahnya.

Kursornya masih di sana, belum bergerak sama sekali. Kebuntuannyamenulis kali ini benar-benar parah. Ia sudah di kamarnya dengan berbagai posisisejak pagi tadi, tengkurap, duduk di kasurnya, pindah ke meja belajar, melamun didekat jendela dan masih belum menemukan progress yang menjanjikan. Badannyasama letihnya dengan otaknya, tapi hatinya terus memaksanya untuk berpikir,melanjutkan kata-kata untuk mengisi blank page di MS wordnya dengan judul fileProject4_Untittle. Mengisi baris-demi baris, halaman demi halaman alur ceritanovel fiksi yang tergambar di alam khayalnya.

Tapi buntu tetap saja buntu. Itu sebabnya ada kosa kata buntu dalambahasa Indonesia, persis menggambarkan apa yang tengah dirasakan Edith saatini. Semakin ia berpikir, semakin sulit kata-kata itu keluar untuk ia ketikkan lewatkeyboard portable laptopnya sebab keyboard laptopnya yang asli sudah mulaikehilangan dayanya untuk mengirim rangkaian huruf-huruf itu menjadi kata.Edith dikejar waktu, dikejar deadline. Bukan deadline yang di targetkan oranglain, tapi targetnya sendiri. Sayangnya, tak memenuhi targetnya sendiri justrumembuatnya jadi lebih sakit hati.

“Ediith!”, teriakan kedua, masih tak di gubrisnya.Edith kembali menghadapi laptopnya, ia siap berperang dengan otaknya,

memaksa otak kecilnya itu untuk takluk dan memenuhi permintaan pemiliknya.Edith membuka jendela kamarnya, menarik nafas lega, Aroma petrichor14 ditengah rintik hujan pagi ini memang membantunya menjernihkan syaraf-syarafotaknya yang tegang. Lalu ide baru mengalir beberapa saat, membuatnyatersenyum sendiri. Ia mulai mengetik, dengan lancar, mentransfer kata acak yangada di kepalanya menjadi barisan kata di baris-baris kosong proyek Untittlenya.

14 Bau pada hujan

Page 33: Salam Hangat Senja

33

Edith memang belum punya judul yang cocok untuk proyek pribadinya kali ini.Proyek yang akan membawanya kembali pada kegagalan, atau menghadiahinyakesuksesan. Kali ini ia memang harus berterima kasih kepada Actinobacteria15

yang mampu mengeluarkan bau-bau penenang kepala seperti ini.“Ediiiiiiiiiith!”, teriakan ketiga, teriakan tanda batas kesabaran Mamanya.Edith beranjak, keluar kamar. Ia tahu setelah ini Mamanya yang akan

segera datang ke kamarnya dengan rentetan omelan yang harus tahan iadengarkan. Oh ya, jelas Edith bukan orang yang tahan dengan keributan macamitu, ia menyukai keheningan, sunyi senyap. Suara Mama yang mengomel adalahantonym dari semua kondisi ideal yang disukainya.

“Apa Ma?”, tanya Edith setengah malas. Mamanya melihat Edith denganpandangan seperti itu, selalu seperti itu.

“kamu itu kalau udah ngurung diri di kamar kok ya lupa waktu”, kataMamanya.

“hehe ia, Ma lagi sibuk kerjaan. Ada apa?”, tanya Edith kemudian.“itu ada undangan nikahan dari temen SMP kamu, mau kondangan?”,

tanya Mama.Lagi?“Ah terserah deh, gak kondangan juga gak papa, ntar juga Edith kawin

belum tentu mereka datang”, jawab Edith.Mamanya menjewer pipi Edith pelan, “duh ini anak Mama, umur udah

berapa tapi kelakuan masih kayak anak kecil”.“seperempat abad Ma, nyaris seperempat abad”, kata Edith kesal, menepis

tangan Mama yang bersarang di pipinya. “Udah ah, Edith masuk kamar dulu”.Kenapa juga isu kawin ini malah lebih horror daripada film horornya

Thailand yang kebanyakan orang bilang seram.---------

Edith Amanda. Usia dua puluh empat tahun. Pekerjaan sementara guru,lebih tepatnya guru fisika. Cita-cita penulis novel, syukur-syukur kalau bestseller.Sayangnya cita-citanya masih pada tahap trial error. Tumpukan tiga draftnovelnya masih mengalami penolakan, berjamur di folder busuk laptopnya yangmulai lapuk. Tapi hobi adalah hobi, susah untuk ia hentikan, bagi Edith menulisadalah obat sakit kepala. Bagaimanapun buruk atau hasil tulisannya, menulisadalah sejenis pelepasan stressnya. Semakin ia stress dengan pekerjaannya,semakin ia lancar menulis.

Teman-temannya mengatakan Edith sedikit kacau. Orang normal akanmelepaskan stressnya dengan bersenang-senang liburan, jalan-jalan, shopping.Edith malah melepaskan stress dengan menambah stress, yang secara tidaklangsung mereka mengatakan Edith sebagai orang yang tak normal. Memang adaya di dunia ini manusia yang hidup normal?. Kenormalan kan tergantung padanorma sosial yang dianut masing-masing komunitas, bukan nilai universal yangdipercaya seluruh warga dunia. Oh ya, melantur seperti ini hanya akan membuatEdith benar tampak abnormal.

Seolah belum cukup kebiasaannya dianggap abnormal, makakehidupannya saat ini mulai diulik juga. Usianya mulai dianggap jenis usiaabnormal karena belum mengganti status lajangnya. Apa yang salah dengan

15 Bakteri yang menyebabkan petrichor

Page 34: Salam Hangat Senja

34

lajang?. Apa yang salah dengan anak umur dua puluh lima tahun yang masihlajang. Ayolah, Edith bukan bertransformasi menjadi alien gara-gara terlalu seringmenerima invitasi undangan mereka yang berganti status, plus pertanyaantambahan, kamu kapan Dith?. Edith tertawa masam.

Bahkan kali ini, Mamanya mulai tergoda untuk menyindirnya halusdengan goyonan ringan. Saudara-saudara Mama penyebabnya, mungkintetangganya juga yang ikut memberikan kontribusi, atau justru undangan-undangan invitasi yang berterbangan ini biang keroknya. Tapi, Edith tetap padapendiriannya, “siapa juga yang mau kawin cepet?”, gumamnya pelan.

Alasannya?, tak ada alasan.Sejak dulu semasa kuliah, Edith selalu punya rencana. Rencana yang ia

hidupkan dalam gulungan peta harta karunnya, dalam bentuk Edith Treasure.Edith membuat tiga rencana besar dalam hidupnya, sayangnya rencana hanyarencana. Kehidupannya membelok seiring realitas yang ada di depan matanya.

Setidaknya, kehidupannya cukup damai, hingga detik ini. Mungkinmelupakan mimpi-mimpi bodohnya yang sering membuatnya meninggalkan jejakkakinya di bumi, mengkhayalkan semua mimpinya terwujud, meski beberapaorang mengatakannya absurd. Sayangnya, kedamaian yang coba dibangun Edithruntuh dalam sekejap, gara-gara chat facebook, dari orang yang telah lama putuskontak dengannya. Sari.

- Sari : haloooo krucil, gak nyangka udah jadi guru sekarang, apa kabar?- Edith : Baik, nyonya gendut apa kabar?,- Sari : Haha, baik dong, kangen Jogja nih?- Edith : Sama, aku juga- Sari : Kamu enak masih di Jawa, lha aku?.- Edith : Hahaha…betah kan di sana?, jalan-jalan mulu sih- Sari : Betah sih, kamu harus kesini, pokokknya, selama kamu di sini, aku

yang traktir.- Edith : Kayak aku tajir aja bisa seenaknya booking pesawat.- Sari : beneran dith, kakakmu ini kangen banget, kita mesti cerita-cerita.

Anggap aja ini bagian dari Edith Treasure yang kamu bangga-banggain itudulu.

- Edith :.. hahahhaha, masih inget?- Sari : jelas laah, siapa yang suka ngerecokin aku sama mimpi aneh-

anehmu itu., Dith, ayolah, mumpung kamu masih lajang, kalau udah kayakaku gini susah.

- Hmmmmmmm….Deheman Edith di akhir percakapan chat mereka menjadi awal dari

tersambungnya komunikasi Edith dan Sari yang nyaris dua tahun kebelakangterputus. Sekaligus memanaskan lagi mimpi-mimpi Edith tentang hal-hal anehdalam gulungan peta rahasianya yang sudah lama ia simpan, Ditindih barang-barang tak berguna lainnya, berdebu dan lusuh.-------

“Eh Dith, tengkyu ya udah mau datang, kapan nih nyusul?, buruan lhonanti keburu gak laku”.

Edith memaksakan stok senyum termanis yang ia punya untukmenghadapi orang paling berbahagia di dunia yang ada di depannya saat ini.Cipika-cipiki basa-basi, memberikan selamat kepadanya.

Page 35: Salam Hangat Senja

35

“ya doain aja”, jawab Edith singkat.“pasti dong..pasti aku doain”, lanjutnya lagi. Acara kondangan memang

menyebalkan!.Untung saja, untung saja barisan orang yang mau mengucapkan selamat

itu masih mengular panjang, hingga orang di belakangnya memberikan sinyalpada Edith untuk maju, memberi kesempatan pada mereka yang berdiri dibelakangnya untuk menyalami pasangan itu. Edith bersyukur, membuatnya takperlu lama-lama berdiri di sana, mendengarkan ocehan yang membuat telinganyageli, atau harus berpura-pura tersenyum manis tanda bahagia.

Ah, orang itu merusak hari bahagianya sendiri dengan doa yang takseharusnya terucap. Bukannya Edith merasa tersinggung, hanya saja ia begitumenyayangkan bagaimana orang berpikir cara hidupnya serupa aib. Setidaknya iamasih jauh lebih beruntung daripada mereka yang kawin gara-gara married byaccident.

“Dith kapan kawin?”“Dith calonmu anak mana?”“Dith kok aku belum dapat invitasi sih”“Dith, kalo lo mau cetak undangan sama gue aja, nanti gue kasih diskon

spesial deh”.Semuanya bertanya, dari yang hanya sekadar basa-basi, bahkan yang

promosi. Memandangnya dengan wajah prihatin, seolah Edith punya kutukanyang harus segera dicari penyembuhnya. Memangnya ini dunia dongeng?, Justrusaat ini Edith merasa dirinyalah manusia yang masih punya rasionalitas dalampikirannya.

What’s wrong with being single?,Pertanyaan Edith yang lebih sering mendapat jawaban “karena kamu itu

perempuan Dith, waktunya terbatas”. Membuat Edith kadang terkena sensi jikaperan gender disuguhkan ke hadapannya. Bukan karena Edith mengagungkanfeminisme, ia tahu kodratnya sebagai perempuan, ia hanya sedang memilih yangtepat, dan proses pencariannya masih berjalan. Jangan tanyakan kapan itu akanberakhir, Edith bukan peramal nasib, apalagi nasib untuknya sendiri.

“jangan ketinggian kalo nentuin standar Dith”, kata temannya suatu waktu.Edith tertawa renyah, ia sama sekali tak pernah berpikir ke arah sana, standarseperti apa memangnya yang ia terapkan?.

“Aku cuma nyari orang yang tepat”, jawab Edith berkilah.“gak ada orang yang bener-bener tepat Dith. yang ada hanya dua orang

yang saling menyesuaikan. Lalu saling menerima kelebihan dan kekurangan,punya niat yang sama dan mereka secara natural akan berjalan bersama”.

Edith tertawa, “iya deh, nanti aku coba”, jawabnya. Meski dalam hati, iamenolak mentah-mentah ide itu.

“gak ada orang yang bener-bener tepat?. Terus gunanya aku punya imanapaan?, kalau sama hal sepele seperti ini aja aku gak yakin sama Allah?”, Edithbergumam dalam hati. Sinisme Edith memang kadang melewati batas.

Sejak awal, sejak otaknya mulai dewasa untuk mengerti soal hubungandua orang dewasa yang mereka bilang cinta. Edith percaya, meyakini dalamhatinya bahwa setiap orang diciptakan dengan satu pasangannya, dengan tepat.Hanya saja manusia kemudian dengan percaya diri memilih, tanpa mereka sadariketepatan manusia dalam memilih memiliki persentasi error yang besar. Ego

Page 36: Salam Hangat Senja

36

mereka mengabaikan sinyal-sinyal yang Tuhan berikan, melalui pertanda, melaluisetiap sel-sel yang terus membelah membangun tubuh-tubuh mereka yangkebanyakan melemahkan jiwanya, mereduksi kepekaan hatinya karena terlalujarang bersenandung bersama Tuhan, dan lebih memilih mendengarkan bisikancinta manusia. Edith percaya, Tuhannya masih mengajaknya berjalan, melewatiwaktu-watunya sendiri, sebelum ia diperkenalkan dengan seseorang yangmemujinya tanpa banyak kata.

Sebut Edith delusional, hidup di dunia dongeng yang jelas fiktifnya. Tapinyatanya ia sampai saat ini masih meyakini bahwa cinta antara perempuan danlaki-laki adalah hubungan dua orang manusia yang hanya Tuhan yang tahubagaimana rumus formula yang tepat, dengan pertemuan yang tepat. Edith hanyatengah mencari, hanya dengan jalan yang sedikit berbeda. Perbedaan konsep yangsulit di mengerti orang-orang di sekitarnya. Atau bahkan dirinya sendiri.

Cukup!. Seperti orang lain yang melakukan banyak hal seenaknya, kali iniia pun akan melakukan hal yang ia pendam selama ini. Ia bisa seenaknyamenikmati hidup, sama seperti mereka hanya dengan cara yang berbeda.

Dan Edith sudah membuat keputusan, pilihan sebelum ia akhirnya pasrah,kehilangan dunia imajinasinya karena ditarik paksa menginjakkan kakinya denganaturan tak tertulis yang tak bisa lagi ia tolak. Edith membulatkan niatnya, mimpi-mimpinya yang membeku harus ia lelehkan satu persatu.

---------Edith Big Plan!

Edith membuka buku tabungannya, mengecek berapa jumlah hartakarunnya yang sudah lama ia kumpulkan sejak kuliah. Harta karunnya yang takpernah ia sentuh sebelumnya. Kumpulan uang siswa uang sakunya, beasiswa,hasil part time, hasil tulisannya, sumbangan kakaknya, sisa gajinya, hasil lesprivatnya semua terkumpul menjadi satu. Ia tersenyum, bergumam dalam pelan,“mari pecahkan celengannya”. Seolah belum cukup, ia memilih melepaskanponselnya, menggantinya dengan ponsel dengan fitur telepon dan sms, plustambahan kelebihan sudah berwarna seharga dua ratus ribu rupiah.

Pertengahan Januari, liburan semester nanti, tujuh hari, cukup baginyauntuk memulai lagi kegilaan yang selama ini ia pendam rapat, terlibas rutinitaspayah yang kadang menjemukan. Rencana dadakannya itu harus berhasil, takpeduli apapun alasannya.

Edith mendial, nomer telepon yang akhir-akhir ini sering ia gunakan untuksaling berkirim pesan, atau menelpon dalam durasi yang membuat telingamemanas, meski ada selisih waktu satu jam yang hilang entah kemana antaratempatnya dan tempat Edith tinggal saat ini.

“haloo krucil, tumben pagi-pagi nelpon?, ada apa?”, tanyanya.“mbak Sari, jangan kaget, minggu depan liburan semesterannya anak

sekolah, aku fixed ngebolang ke tempatmu”, jawab Edith to the point.Terdengar suara gelak tawa yang tak berhenti di telinga Edith,

membuatnya sedikit menelan ludah, “kamu emang dari dulu kelakuannya gakberubah, welcome tho the most beautiful place in the world Cil, aku siap jaditempat pengungsianmu”.

Setelah panjang lebar menjelaskan rencana mbak Sari, Edith menutupteleponnya. Untuk kali pertama, setelah bertahun-tahun, Edith akhirnya

Page 37: Salam Hangat Senja

37

merasakan kembali dadanya penuh sesak, dengan otak nyaris kolaps sakingbahagianya. “Selamat datang Dith!”, ujarnya pada dirinya sendiri.

---------Rencana Edith berjalan mulus?, Absolutely not!. Edith tahu dari awal, ada

satu orang yang akan menyulitkan niatnya. Sayangnya orang itu adalah orangyang tak mungkin ia bisa bantah, Mama.

Kalau sampai Mamanya tahu Edith akan pergi sendirian, melakukanperjalanan jauh apalagi kalau tujuannya ke Ambon, pulau yang hanya Mamanyatahu dari siaran berita, Mama mungkin akan mengurungnya di rumah.Memaksanya menghabiskan jatah liburnya untuk hibernasi di rumah. Satu-satunya yang mau ia ajak kompromi hanya kakak perempuan kesayangannya,Elma. Edith hanya bisa membicarakan soal ini pada kak Elma, bukan Papanya,Erdi adiknya, apalagi Mamanya.

“Halooo…ka, “, kata Edith setengah merajuk.“Pengen apa?, kayak gak tahu aja kamu bakal kayak gini kalau ada

maunya”, jawab Elma, menggelengkan kepala mendengar rajukan adiknya,sebuah pertanda yang sudah sangat ia pahami maksudnya.

“aku mau liburan”, kata Edith kemudian.“ya tinggal liburan, apa susahnya?”, Elma balik bertanya.“tapi gak diizinin Mama”,“Hah, masa Mama gak ngizinin?, emang kamu mau kemana?”, tanya Elma

nyaris tak percaya, setahunya Mama tak pernah melarang apapun kegiatan yangdilakukan anak-anaknya, apalagi hanya sebatas liburan.

“Ambon”, jawab Edith singkat.“Gila, lagi nggak ngajak becanda nih nanyanya?”, teriak Elma.“makanya aku bilang Mama gak mungkin ngizinin”, balas Edith.Elma menggelengkan kepalanya, mendengar penjelasan ide gila adik

perempuan kesayangannya itu. Elma dan Edith memang berbeda lima tahun, tapikeduanya sama-sama punya satu kesamaan, Keras kepala. Mereka yakin ituturunan dari Mama. The boys member, Erdi dan Papa sedikit lebih santaimengelola emosinya. Awalnya Elma pikir diantara Mama, ia dan Edith adiknya.Edith lah yang paling sedikit kadar kepala batunya, ia yang paling diam jugapaling mengalah diantara Elma dan Mama.

Semakin lama. Semakin Edith tumbuh, Elma akhirnya sadar justruadiknya lah yang paling keras kepala. Edith anak yang paling kukuh pendiriannyapada apa yang ia yakini, dan saat ia menetapkan atau mengganti pilihannya, itubukan karena ia ragu, atau karena dipengaruhi orang lain. Itu karena memang iayakin memilih keputusannya sendiri. Kadang Elma tak mengerti apa yang ada dipikiran adiknya itu.

“terus, ngapain nelpon aku?”, tanya Elma.“ya makanya aku minta tolong”, balas Edith“apa?, jangan yang aneh-aneh pokoknya, aku gak mungkin nemenin kamu

ke Ambon”, kata Elma mencoba menebak keinginan adiknya.Edith tertawa, “siapa yang minta ditemenin, gini deh, aku bakal bilang

sama Mama kalau aku liburan di Surabaya. Nah nanti aku terbang dari Juanda kesana. Mama mikir aku stay di tempatmu”, jawab Edith bicara panjang lebar soalrencananya.

Page 38: Salam Hangat Senja

38

“sebentar deh, kamu serius?, gak lagi ngejokes doang kan? emangnyakamu punya duit?”. Elma masih tak percaya rencana adiknya itu sungguhan, plusrencananya membohongi Mama. Elma tahu, kendala hanya ada di Mamanya,sebab kalau Mama setuju, Papa hanya tinggal menganggukkan kepalanya, danErdi tinggal menyebutkan oleh-oleh yang harus di bawanya.

“pertama aku serius, kedua, jangan salah ya seorang Edith itu punya hartakarun rahasia. Lagian gak usah khawatir, hidup di sana udah di jamin sama mbakSari kok, tapi kalau kamu sama mas Reza mau nyumbang uang saku, aku sihikhlas-ikhlas aja”, jawab Edith.

Elma menghela nafas, percuma berdebat dengan adiknya, sepanjang danselama apapun mereka beradu argument, pada akhirnya Elma sendiri yang taktega untuk berkata tidak. Menolak Edith begitu sulit, selain karena adiknya itumemang jarang meminta tolong, bahkan selama ini seolah Elma dan Edithbertukar peran. Biasanya kakak adalah tempat curhat adiknya, atas apapun yangterjadi, dari mulai percintaan, pekerjaan, atau urusan kuliahnya dulu. Nyatanya,Edith tak pernah bercerita, tak pernah sekalipun anak itu membiarkan orang lainmelihat isi kepalanya dengan jelas, apalagi isi hatinya. Elma tak mengerti, karenajustru selama ini Edith selalu jadi teman bicaranya, teman mendengarkan terbaikyang ia punya, tanpa taku rahasianya dan semua cerita personalnya menyebar ketelinga yang lain. Edith nya, lebih mirip kotak brangkas yang bisa menyimpanapapun serahasia mungkin.

Bagaimana bisa ia menolak permintaan Edith?.“Ia, nanti kak Elma nelpon Mama, tapi kamu juga harus bilang sendiri

sama Mama kalau mau ke Surabaya”, ujar Elma kemudian.“tenang aja, nanti aku bilang kok sama Mama, thanks ya kakak

kesayangan gue satu-satunya”, kata Edith kemudian.“yeeeee…kakak kamu kan emang cuma satu!”.Edith menutup teleponnya, terseyum dalam. Rencananya berjalan baik,

Elma mau jadi partner konspirasinya menghadapi ganjalan utamanya, Mama.Edith bukan pembangkang, ia hanya tak ingin membuat Mamanya khawatirberlebihan.

“Maaaaaaa”, teriak Edith.----------[nyampe Mana?][Madiun]. Balas Edith singkat.Edith tertawa kecil tanpa sadar, kegundahan mengetuk-ngetuk otaknya

sehari yang lalu. Ketika semuanya berjalan lancar, sesuai rencananya. Tiket dansegala sesuatu hingga rencana travelingnya, mbak Sari tiba-tiba menelponnya,mengatakan ada acara dadakan yang mengharuskan ia pergi ke tempat lain selamabeberapa hari. Kabar yang membuat Edith terdiam. Apa yang harus ia lakukan?,membatalkan rencananya?, setelah semua tabungannya ia ubah dalam bentuk tiketpulang pergi?. Yang benar saja.

Untungnya mbak Sari akhirnya sibuk wara-wiri, mencari teman, kerabatatau sahabatnya yang bisa dititipi. Menitipkan Edith untuk beberapa hari sebelumia kembali, seolah Edith ini anak balita yang harus ditempatkan di daycare karenaditinggal ibunya kerja.

Edith tak mungkin menceritakan ini pada Elma, apalagi Mamanya. Entahkenapa, ia pasrah saja, menyerahkan pada nasib yang akan membawanya kemana.

Page 39: Salam Hangat Senja

39

Yang jelas, ia akan tetap terbang ke Ambon sesuai rencana, dengan atau tanpambak Sari sebagai tour guidenya.

Pagi itu, ia tak mengubah rencananya, tetap ada di kursinya, gerbong keempat kereta yang akan menurunkannya di stasiun Gubeng, Surabaya.

[sip, kamu tenang aja, udah dapat kamp penampungan buat kamu.Keluarganya Tante Ivo. Mereka juga siap jemput kamu juga krucil. Janganngamuk sama aku ya].

Edith masih menahan tawanya, mengingat isi pesan itu yang datang sejamlalu. “Kamp pengungsian?, yang benar saja, memangnya aku pengungsi darimana?, kenyataan?”, gumam Edith. Mbak Sari memang kadang terlalu berlebihanmenganggap Edith unik. Orang itu bahkan jelas-jelas menganggap Edith sebagaiadik. “resiko anak tunggal emang begini”, kata mbak Sari.

Setidaknya Edith sedikit bernafas lega, imajinasinya tentang hidupmenggelandang di sana bisa ia hapuskan. Keputusannya untuk mempercayaiinsting sepertinya akan berbuah manis.

[oke tengkyu, sudah mau repot-repot. Tapi mereka bukan penculikaan?]

[Kruciil, ngomongnya asal nih. Siapa emang yang mau beli anak anehkayak kamu?].

[hahaha… banyak dong].“Nasi goreng, Nasi Rames…..”“Teh panas, Kopi panas,….”Suara petugas kereta api yang menawarkan makanan menyadarkan Edith

pada sesuatu yang nyaris ia lupakan. Pikirannya terlalu fokus membuat rencana diatas rencana kalau sampai rencana utamanya itu gagal. Setelah semuanyaterselesaikan, ia baru sadar jika perutnya semakin lama semakin berbunyi keras.Aroma nasi goreng yang berjalan melewati gerbong demi gerbong itu seolahmengetuk dinding lambung Edith yang mulai asam.

Mereka mengatakan kurang tidur dan lapar adalah dua hal utama yangmembuat mood seseorang menjadi jelek. Edith tak ingin itu terjadi padanyaselama misi perjalanan masih berlanjut.

“Pak, Nasi gorengnya satu”.

---------Bab 5. Akumulasi Kemarahan

Ale masih berada di ketinggian beberapa ribu kaki, duduk bersandar padakursi empuk dengan seatbelt yang terpasang sesuai prosedur keselamatan. Meskipendengarannya masih sedikit tak nyaman, tapi lebih baik jika dibandingkan saatia pesawat itu baru terbang meninggalkan landasannya.

Seharusnya, ketika melakukan perjalanan, orang akan berpikir ke depan,membayangkan bagaimana keseruan yang akan mereka nikmati di tempat barunanti. Mengimajinasikan destinasi-destinasi yang akan mengisi memori mereka,hingga akhirnya bisa pulang dengan memori baru, merefresh tenaga yang yarishabis karena rutinitas payah yang menjemukan. Nyatanya Ale justrukebalikannya.

Ruang-ruang di memorinya penuh, lamunannya bukan membawa Ale akansuatu tempat yang namanya tertera di akte kelahirannya, tapi justru membuatnyamemflash back ingatannya tentang Bandung, dan matahari di kota itu.

Page 40: Salam Hangat Senja

40

Tidak ada yang tahu seberapa besar perasaan itu mengganggu Ale,merusak tatanan normal hidup Ale. Tidak, hidupnya memang masih berjalandengan baik, tapi ia tak bisa membohongi hatinya yang selama bertahun-tahunmemendam perasaan yang berat. Perasaan yang terlambat ia antisipasi, hinggaseperti kanker yang menggerogoti tubuhnya, Ale baru sadar ketika semuanyasudah terlambat. Pikirannya tak bisa lagi mengobati hatinya yang sudah sekarat.

Seberapa kuat pun akal sehatnya menolak, hatinya meronta mintadilepaskan. Pelepasan perasaan yang selama ini ia sembunyikan di sudut terdalamalam bawah sadarnya. Perasaan yang sulit ia akui kebenarannya meski bukti-buktiitu jelas menunjukkan fakta, kenyataan bahwa Ale memang jatuh cinta, padanya,sahabatnya, mataharinya. Tsania.

Tapi Ale dan ia berbeda, ada jurang besar yang membuat mereka hanyabisa saling menatap, melambaikan tangan dari satu sisi ke sisi yang lainnya. Aletak mungkin menyebrang, pun begitu ia tak mau San-san berlari ke arahnya.

“hei, kenapa bengong?, gak mau makan?”, tanya Willy menyodorkansnack ringan di atas meja kecil mereka yang menemani penerbangan mereka.

Ale menggelengkan kepalanya, ia sama sekali tak berselera. Katanyaindera pencium dan perasa seseorang yang sedang berada di pesawatkemampuannya akan berkurang sekitar dua puluh hingga lima puluh persen,membuat makanan yang di suguhkan di pesawat rasanya menjadi tidak enak. Ataumungkin bukan karena hidung atau lidah Ale yang bermasalah, suasana hatinyayang memang sedang kacau.

“gak selera”, jawab Ale singkat.“kenapa?, masih kepikiran soal San-san?”, tanya Willy lagi. Membuat Ale

akhirnya tersenyum masam.“kelihatan ya?”“temenku yang satu ini emang kelihatan banget kalau lagi galau”, kelakar

Willy mengejek Ale.“dasar cenayang abal-abal”, gumam Ale, yang disambut anggukan takzim

dari Willy.“Le, kamu beneran suka sama dia?”, tanya Willy kemudian, yang entah

kenapa pembicaraan keduanya jadi terdengar lebih serius.“hahaa, aku juga gak tahu deh”, jawab Ale, terang-terangan mengalihkan

pembicaraan.--------------

Surabaya, 2014.Elma melambaikan tangan pada gadis kucel yang keluar dari pintu kelar

stasiun paling sibuk di Surabaya dengan carrier yang membuat badannya miripkura-kura ninja itu. Kaos abu-abu, dengan kemeja yang tak ia kancingkan. Wajahlusuhnya tetap saja tak bisa mengaburkan binar matanya yang menyala-nyala,sama persis dengan otaknya yang penuh letupan mimpi-mimpi tak realistisnya itu.Adiknya, siapa lagi kalau bukan Edith.

“Masya Allah, perasan kereta api udah ada ACnya, kenapa kamu masihbau kecut gini?”, tanya Elma, membuat Edith tertawa kecil.

“Sengaja gak pake parfum, tahu kan reaksi aneh kalau parfum samakeringet nyampur jadi satu, aku ogah deh jadi sarang bakteri”, kilah Edith, Elmamengacak-acak kepala adiknya itu saking gemasnya,

Page 41: Salam Hangat Senja

41

“udah kangen-kangenannya nanti lagi, balik dulu aja, kasihan Edith capekkan di jalan”, kata mas Reza, suami kakaknya Edith menengahi.

“halo mas, si kecil mana?, kok gak kelihatan?”, tanya Edith kemudian.“lagi di culik sama Omnya, main ke Malang, yuk balik dulu, biar kamu

bisa mandi terus istirahat”, kata Elma, dibalas dengan anggukan kecil Edith.Edith duduk di jok belakang mobil itu, lalu menidurkan badannya,

meringkuk persis posisi janin, menghabiskan space baris kedua kursi mobil ituoleh bandannya sendiri.

“mampir tempat makan ya, tapi nyari yang view matahari sorenya bagus”,kata Edith, masih dengan posisi yang sama. Elma menoleh ke belakang,tersenyum melihat ke arah belakang tempat adiknya yang “ajaib” itu meringkuk.Elma tahu kesukaan adiknya, juga soal matahari sore yang katanya misterius.Kata-kata Edith masih bersarang di kepalanya hingga saat ini, “cowok idmana akuitu cowok yang kayak sore hari, hangat, tapi dingin, dan misterius”. MembuatElma dulu sering menjitak kepala adiknya itu karena imajinasi bodohnya itu.Elma kadang bertanya-tanya, jangan-jangan imajinasi absurd ini pula yangmembuat Edith belum juga menemukan partner hidupnya, memangnya dimanadia bisa bertemu dengan pria yang katanya ibarat cowok sore hari?.

“tuh dengerin requestnya adekmu”, kata Elma pada suaminya yang masihfokus mengendarai mobilnya.

“siap puteri kesorean”, balas Mas Reza menanggapi.---------Edith masih berkemas, setelah membongkar isi carriernya karena harus

mengambil titipan Mama untuk kakaknya Elma. Karena acara bongkar muatan ituakhirnya mau tak mau Edith harus merapikan lagi barang-barangnya seapikmungkin agar tidak terlalu banyak memakan tempat. Elma menemani Edith,dengan obrolan kecil antara dua anak perempuan bersaudara.

“gak pake koper aja?”, tanya Ela, Edith bergidik geli.“emangnya mau ikutan miss universe apa, bawaannya pake koper segala”,

jawab Edith, menolak saran kakaknya.“seriusan mau ke sana sendiri?”, tanya Elma, meyakinkan Edith akan

keputusannya kali ini, meski ia sudah tahu jawabannya apa.“ya serius lah, sejak kapan aku bercanda”, jawab Edith, “eh tapi, Mama

beneran gak tahu kan?”, tanya Edith memastikan ulang.Elma menggeleng, menanggapi pertanyaan Edith. “Ya enggak lah, aku

juga gak mau bikin khawatir gara-gara kelakuan aneh mu itu. Lagian kalau akubilang, dan kamu tetep nekat, yang ada malah makin runyam nanti. Biar deh akuyang nanggung dosanya”, kata Elma dengan tampang memelas, membuat Edithnyaris tersedak karena menahan tawanya.

“gak usah berlebihan deh, cuma liburan doang juga. Lagipula nih ya, akuudah gede, bukan anak kecil yang kemana-mana harus diantar”.

“kamu sih udah tua, bukan gede lagi. Umur udah seperempat abad juga”,celoteh kakaknya yang membuat Edith tertawa. Menyadarkan kembali usianyayang sudah dua puluh lima, usia dimana ia dipaksa oleh realitas untuk segeramengakhiri kehidupan lajangnya, suka atau tidak suka. Ingin rasanya iaberemigrasi ke Eropa, atau ke tempat di mana pertanyaan dan hal-hal seperti inibukan bagian pembicaraan umum, tapi urusan personal yang tak pernahseorangpun bisa ikut campur.

Page 42: Salam Hangat Senja

42

“dan kamu udah mau kepala tiga”, tukas Edith kemudian. Keduanyatertawa, saling melempar bantal, seperti kebiasaan masa kecil mereka dulu.

“dasar adik durhaka, aku gak ngasih uang saku banyak, cek aja saldo atm,buat jaga-jaga kalau disana ada perlu atau kebutuhan mendesak. Tetep hati-hati”,kata-kata kakaknya membuat Edith tertawa senang. Edith merangkul Elm erat,seringai anak kecilnya tersungging di sudut bibirnya, “makasih ya kakakku, kakakyang paling baik sedunia”, timpal Edith.

“muji kalau lagi seneng aja, payah”, jawabnya, melepas paksa pelukanEdith yang makin erat.

“Dith tapi bener deh, kakak mau tanya, kenapa kamu kabur sampai sejauhini?”, tanya Elma.

Edith mengatupkan bibirnya rapat, menghilangkan senyum yangtersungging di bibirnya tadi. Berdehem pelan sebelum ia mulai membuka mulutmenjawab pertanyaan kakaknya.

“stress yang terakumulasi”, jawab Edith.“soal?”“pemaksaan gak berperikemanusiaan pada manusia aneh gara-gara masih

lajang”, jawaban Edith yang membuat kakaknya tersenyum geli.“kamu marah?”“tentu aja”“gak pengen cerita sama kakak?”“ngapain harus cerita?, apa yang perlu di ceritain?”, Edith balik bertanya,

tepat seperti dugaannya.“aku cuma butuh refreshing, me time, terasing tanpa ada yang ganggu

liburanku”, lanjut Edith.“yaudah, kamu istirahat dulu, tidur besok pagi kakak anter ke Juanda, mas

Reza gak bisa nemenin”, kata Elma, meninggalkan adiknya di kamar itu.“oke kak”, jawab Edith. Bayangan Elma menghilang di balik pintu yang

kembali tertutup rapat.Elma menghela nafas, masih tak pernah mengerti kenapa Edith begitu

tertutup untuk urusan seperti ini. Tak seperti dirinya, Edith tahu jelas semua ceritahidup Elma, curhatannya sepanjang malam, kegalauannya, kesedihannya bahkankesenangannya. Edith memahami Elma lebih dari siapapun, bahkan mungkinMama. Tapi Elma sebaliknya, Elma tak pernah tahu isi hati Edith, tak pernahsekalipun mengendus emosi-emosi Edith dalam ceritanya. Edith tak pernahmembarkan siapapun tahu apa yang ada di hatinya, Edith mungkin sering berbagipikiran dengannya, berdiskusi, tanya ini itu. Tapi soal perasaannya, Elma samaasingnya dengan orang lain. Status kakak kandungnya ternyata tak terlalu banyakmembantu.

Edith merebahkan badannya ke kasur empuk itu, menatap langi-langitdengan gantungan lampu sepuluh watt tepat di tengahnya. “Marah”, tak mungkinia bisa marah pada mereka yang tak pernah tahu isi kepala Edith yang sebenarnya.Edith hanya perlu memaklumi mereka lebih baik.

Ia bangkit, mematikan lampu kamar itu yang terlalu terang, menggantinyadengan lampu tidur dengan pendar warna yang ada di samping ranjang. Iamenutup matanya, membayangkan perjalanannya esok hari, pelariannyasementara yang berbatas waktu, tempat jauh yang akan memberi sekat baru bagimemori di otaknya. Ia terlelap.

Page 43: Salam Hangat Senja

43

Suara deru kendaraan masih sayup terdengar dari kejauhan, kota itu belumsepenuhnya terlelap.

--------[Sory, aku gak bisa meet up. Mau ngabur ke Ambon].Ferdy menahan tawanya, tersenyum simpul meski dalam hatinya entah

kenapa rasanya ia begitu bahagia. Anak kecil berseragam itu ternyata memangsudah beranjak dewasa, atau justru ia yang sudah tua. Hingga teman-temannyamengatainya bujang lapuk. Terang saja itu hanya olok-olok sesama bujang lapuk,sebab nyatanya ia saat ini masih berusia dua puluh sembilan tahun. Anggotatermuda dan tertampan diantara kumpulannya, menjadikannya maskot kelompoktanpa pernah ia minta. Ferdy bahkan tak pernah tahu fungsi maskot itu untuk apa.

Ferdy lalu menghubungi si pengirim pesan, meski anak itu tak menjawabteleponnya. Ia memang ternyata tak mau bertemu.

“Lo bilang katanya mau ketemu sama orang begitu sampai Jogja, kenapamalah ikut nongkrong sama kita di angkringan?”, tanya salah satu temannya,Bimo. Salah satu partner terkaribnya yang sampai saat ini masih percaya bahwadia adalah anak paling gaul dan paling melek berita diantara rekansekelompoknya.

“Loh iya, ya..kamu sendiri tho yang bilang kemarin, makanya ngebet ikutke Jogja sampai ngancel jadwalmu yang udah padet”, tanya pak Daud, ketuatimnya, sekaligus orang yang dianggapnya sebagai ayahnya selama ini.

“gak jadi pak, anaknya lagi ngambek, gak mau ketemu”, jawab Ferdysingkat, sambil tersenyum sendiri.

“Hahaha… ada ya yang bisa ngambek sama lo?, gak nyangka gue. Ajaibbanget tuh anak, biasanya orang-orang nempel kayak perangko kalo sama lo?”,seloroh Bimo, entah itu cemoohan atau pujian, Bimo memang seperti itu, selalu.

“itu anak emang ajaib kok”, jawab Ferdy pelan.Willy mungkin memang marah padanya. Penolakan ini sebagai

jawabannya, atau sebagai bentuk protesnya. Ferdy maklum, sangat memaklumikemarahan Willy yang terakumulasi menjadi satu ukuran tak hingga dan meskiFerdy mencoba untuk menghapusnya perlahan, usaha itu hanya akan berakhirpada satu titik kebuntuan. Ferdy tak akan mencoba menyalahkan siapapun, iatahu konsekuensi dari keputusan yang diambilnya, lambat laun akan memisahkanmereka berdua dalam kesalahpahaman besar. Ia memilih kabur, mengejarmimpinya, tanpa pernah berpikir bahwa ia melimpahkan semua dampaknya padaadik kesayangannya, satu-satunya orang yang ingin ia bagi rasa sakitnya. Tapi takbisa, dan mungkin takkan pernah bisa.

“Siapa sih, jadi penasaran gue?, cewek bukan?”, tanya Bimo lagi.“wes tho, cah galau ki ora usah diguyoni, mesakke16”, timpal yang lain.

Ferdy hanya bisa tertawa, .“Sudah istirahat, sudah malam. Kalian besok kan mau jalan-jalan,

nostalgia masa muda katanya”, lanjut pak Daud memberi perintah. Suasanamalam itu sunyi senyap.

Ferdy keluar dari rumah itu, duduk di bangku bambu yang ada di depanrumah pak Daud, matanya menerawang ke langit yang hitam pekat. Beberapatitik-titik terang hanya bisa menjentikkan cahayanya saking jauhnya jarak mereka

16 Sudahlah, orang yang lagi risau itu tidak usah dibecandai, kasihan.

Page 44: Salam Hangat Senja

44

dari bumi, berjuta-juta cahaya hingga tak pernah bisa ia bayangkan sendiri dalamingatannya.

Langit, apapun warnanya, entah ia hitam, biru, kelabu, tampak tipisdengann terawang awan putih seperti kapas, atau terasa berat ketika titik-titikhujan mulai jatuh dari celah-celah awan yang mengabu gelap. Apapun kondisinya,Ferdy tetap menyukai langit, langit yang seperti itu, luas tanpa batas apapun.Dimanapun ia berada ia masih bisa melihatnya terhampar tanpa sekat. Langit yangseperti itu, yang membawa Ferdy pula pada keputusan terbesar, terbaik, dan jugaterberat yang pernah ia ambil dalam hidupnya. Keputusan untuk pergi, menjejaklangit yang mengatapi daerah-daerah asing yang setiap kali ia jajaki dengantelapak sepatunya, atau saat ia berjalan dengan kulit telapaknya salingbersentuhan, hatinya merasa damai. Semakin ia pergi, semakin ia merasa damai.Seolah menjadi adiksi, bagaimanapun ia berusaha keras mencoba, ia tak pernahbisa berhenti. Banyak dari mereka yang mengenalnya berpikir bahwa ia lari darirealita, baginya inilah realita hidup yang sangat nyata. Derealization?17, mungkin,tapi ia rasa itu terlalu berlebihan. Meski ia tak pernah peduli, ia masih sadar diriorang-orang di sekelilingnya adalah nyata.

Detak jam sudah menunjukkan pergantian hari, lewat satu jam malah.Kalau saja neneknya masih ada, dan tahu apa yang dilakukannya saat ini, tentu iasudah kena omel. Melamun itu pamali, nanti lama-lama kamu kehilangankewarasanmu, begitu kata-kata yang ia masih ingat. Apalagi saat ini, nyaris satujam ia melamun, memandang langit lamat-lamat, dini hari pula. Omelannyaterdengar di telinga Ferdy, tapi disana tak ada siapa-siapa, hanya dirinya, malamgelap, lampu bohlam, bangku bambu, dengan sesekali suara semacam jangkrik,tonggeret atau sejenis serangga lainnya.

“Pagi-pagi buta, sudah melamun. Ndak kasihan sama leher, mendongakterus ke atas?”, pertanyaan itu memecah kesunyian yang sedari tadi Ferdynikmati. Pak Daud duduk di sebelahnya, menyodorkan secangkir kopi tubrukuntuk disesap, ia sendiri sudah lebih dulu menikmati ekstrak kafein dalamcangkirnya.

Ferdy tersenyum, menerima cangkir hangat yang uapnya masih mengepul,aromanya menyebar mengetuk-ngetuk kelopak matanya untuk lebihmelebar.”makasih pak”. Ia lalu mulai menyesap isi cangkir kopinya.

“saya itu aneh pak, suka banget sama yang namanya langit. Gak pernahbosen, tapi lucunya, lihat gugusan bintang sebanyak itu, saya hanya bisa lihat rasibintang laying-layang. Sisanya blaur18”, tutur Ferdy, menunjuk rasi layang-layang yang tengah dibicarakannya.

Pak Daud terkekeh, “kamu mau terbang kemana lagi tho sama layang-layang”, tanyanya.

Giliran Ferdy yang tertawa mendengar guyonan pak Daud, jemarinyamengetuk-ngetuk bilah-bilah bambu yang terpaku satu sama lain, membentukkesatuan yang mampu menopang beban-beban yang menindihnya.

“layang-layang gak kuat pak bawa saya terbang, gelasannya bisa jadiputus, malah saya nanti yang terjun bebas”, jawab Ferdy, “bapak belum tidur?”,tanyanya kemudian.

17 Fenomena disosiatif yang menyebabkan dunia luar terasa seperti mimpi18 Kabur, tidak jelas

Page 45: Salam Hangat Senja

45

“belum, takut ada yang kesambet gara-gara keasyikan ngelamun”,Keduanya tertawa, lalu kembali terdiam dalam renungan kepalanya masing-masing, cangkir kopi itu mulai kehilangan kemampuannya menghangatkan jemarimereka yang mulai merasakan dingin. Obrolan ayah dan anak yang selama ini ianikmati dalam perjalanannya, meski pak Daud tak pernah benar-benar menjadiayahnya.

“kangen rumah?”, tanyanya. Pertanyaan menohok yang membuat Ferdyterpaku sesaat Ada celekit perasaan yang mampir di hatinya ketika mendengarkata rumah. Kebohongan besar jika ia tak merindukannya, tanpa di tanya pun iarindu pulang ke rumah, tapi yang ia rindukan bukan hanya sekedar rumah, tapirumah yang sebenar-benarnya rumah.

“jelas kangen lah pak”, jawab Ferdy tersenyum pahit. Kegiatan ini pulayang ia lakukan untuk mengobati kerinduannya, satu tempat terbaik yang ada dirumahnya, atap rumah, yang biasa ia panjat, tempatnya merenung, melamun,menatap langit dengan leluasa sambil bersenandung, mengikuti suasana hatinya.Tempatnya berbagi rahasia dengan adiknya yang begitu menyukai senja. Menurutadiknya, senja punya kombinasi warna dan bentuk yang indah, juga aura dingindan hangat yang membuat setiap orang selalu merasa penasaran.

Lalu ia dan adiknya akan bicara banyak hal, tentang siapa yangditaksirnya, guru mana yang paling sering mendapatkan umpatannya, atau bahkanketika Papa dan Mamanya bertengkar karena tak sepaham. Atap itu, atap yangbiasa ia panjat, atap yang tetap ia rindukan saat melewati hari-harinya selamakuliah, bahkan hingga kini, atap yang bertahun-tahun tak pernah lagi ia singgahi.Ia merindukan atap itu, tapi ia lebih merindukan orang yang berbagi ceritadengannya di atap itu

“ndak mau pulang?”, pertanyaan menohok lainnya yang membuatnyamenelan ludah. Pertanyaan yang selama ini menggangu kepalanya, denganjawaban seperti buah simalakama. Jika ia menjawab Ya, Ferdy tahu betul iabelum menyiapkan dirinya untuk pulang, kembali menapaki jejak langkah kelabuyang mati-matian ia tinggalkan. Tapi ketika ia menjawab tidak, relung hatinyaberteriak memberontak, meronta bahwa pernyataan itu adalah sebuah kesalahan.Disadari atau tidak, bisikan aku ingin pulang, tetap merambat menjalari setiapsudut dalam hati kecilnya.

“mau pak, nunggu waktu yang tepat”, jawab Ferdy.“ngukur ketepatan pake logika manusia itu ndak akan pernah tepat, selama

hati sama otak masih satu badan, selama itu pula kata tepat, absolut itu hanyamilik Tuhan”, tutur pak Daud. “yang bener, nunggu kamu siap”.

“haha..iya pak, sepertinya begitu”.“masih inget kata-kata bapak yang akhirnya bikin kamu maksa ingin ikut

kelompok ini, jadi relawan yang mblusuk masuk hutan keluar hutan, masuk keperkampungan paling kering juga paling berair?”, tanya pak Daud.

“Uang tidak bisa membeli kehidupan?”, jawab Ferdy, “yang padahalsebenernya bapak cuma ngutip kata-katanya Bob Marley?”.

Pak Daud mengangguk, “ pesan terakhir yang dia ucapkan kepadaanaknya. Padahal kalau bapak, bapak akan ngasih pesan carilah uang sebanyak-banyaknya, supaya semakin banyak kehidupan yang bisa kamu jaga dengan baik”,lanjutnya.

Page 46: Salam Hangat Senja

46

Ia tertawa, meski Ferdy tahu ada nada getir di sana, kenangan pahit yangtak pernah ia hapuskan. Kenangan yang membayangi langkah-langkahnya untukterus berjalan, hingga saat ini.

Dibanding Ferdy, pak Daud punya kehidupan jauh lebih menyakitkan. Iasendirian, dan memang lebih memilih menyendiri. Istri dan anak laki-lakinyameninggal dalam kecelakaan, menyisakan ia sendiri yang masih bernyawa.Berjuang dalam koma hingga berbulan-bulan, lalu seolah Tuhan masihmenyuruhnya terus berjalan, ia tersadar, melewati proses penyembuhan yangmembuatnya tertatih letih hingga fisiknya kembali normal.

Meski ia sadar jiwanya tak akan pernah sepenuhnya tersadar. Kenanganitu, kesedihan, pedih, perasaan bersalah, serta perasaan ditinggalkan membuatnyasesak, hingga ia berkali-kali mencoba menenggelamkan dirinya dalam luapan airyang dingin, dan dalam. Hingga di batas antara hidup dan mati yang setipisgelembung balon, ia tersadarkan, menamparnya keras pada kenyataan bahwa matisia-sia seperti itu tak akan pernah mendamaikan lukanya. Kenangan itu tak akanpernah hilang, raganya menyatu dengan tanah, tapi lukanya tetap ia bawakemanapun.

Lalu ia terlahir kembali, dari kondisi nyaris mati menjadi manusia yangbenar-benar hidup. Menghidupkan jiwanya dengan rencana baru, menanggalkankeputusasaannya, sikap yang paling di benci orang yang di cintainya itu. Ia, akanmewujudkan setiap kenangannya, mendedikasikan dirinya untuk orang-orangasing yang tak pernah dikenalnya. Ia membuat sebuah organisasi non profit, yangpeduli pada kehidupan-kehidupan keluarga di daerah terpencil, khususnya paraibu dan anak-anak mereka. Menjelajah, mengelilingi Indonesia, memberikanedukasi juga pada penduduk setempat, membaur berbulan-bulan, memberikanpemahaman tentang pendidikan sanitasi yang baik. Bahu-membahu membangunsaluran air yang lebih layak. Sebab air lah yang mematikan dan menghidupkanjiwanya kembali. Air adalah sarananya, untuk tetap menjadi manusia yangmemaknai cinta.

First Step Voluntary, embrio kecil dari semua harta yang di milik pakDaud yang berkembang, lalu lahir, tumbuh, semakin besar, semakin dicintai.Sebab mereka yang datang dan pergi kesana, selalu membagi cinta,mengorbankan cintanya yang lain untuk menghidupkan harapan-harapan yangmereka pupuk akan kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang. Cara hidupyang berbeda, meski sebagian orang yang mengaku normal menyebutnya gila.Siapa yang mau menginvestasikan uangnya tanpa hasil uang yang berlipat?.

Pak Daud, laki-laki tua yang rambutnya mulai menguban itu mengakubahwa ia menemukan cinta lewat perjalanan panjangnya, menemukan senyumistrinya lewat tawa bahagia ibu-ibu yang baru di kenalnya, dan luapankegembiraan jagoan kecilnya dari sorot mata tanpa dosa dari anak-anak yangberterima kasih tulus kepadanya. Kelompok bapak-bapak yang tak pernah putusasa berpeluh keringat terus menampar kesadarannya ketika ia mulai menyerahpada asa. Itu semua, perasaan yang membuatnya semakin jatuh cinta lagi dan lagitanpa henti.

Salah satu anak yang jatuh hati pada filantropis penyendiri itu adalahFerdy. Pilihannya untuk menjadi relawan saat gempa Jogja bertahun-tahun silam,daripada pulang mengungsi ke Jakarta menakdirkan Ia bertemu dengan sosok itu,sosok yang sampai sekarang tetap dikaguminya. Dalam dirinya, ia menemukan

Page 47: Salam Hangat Senja

47

sosok ayah yang tak pernah ia punya. Obrolan-obrolan mereka pula lah yangmembuat Ferdy mengubah haluan, pertama kalinya melawan, mempertahankanapa yang menjadi bisikan lirih hati kecilnya. Keputusan dilematis yangmematikan kehidupannya, tapi juga menghidupkan dirinya yang baru. Ferdy,dengan perjalanannya memaknai konsep bahagia yang tak pernah ia mengerti.Membuat kepalanya berpikir lalu memutuskan untuk membebaskan dirinya daribelenggu yang mengganjal hatinya, keputusan yang di tolak mentah-mentah olehmereka yang berbagi gen dengannya.

“jadi, adekmu ini gak mau ketemu kamu?”Giliran Ferdy yang tertawa, memaksakan tawanya meski pak Daud tahu

itu hanya hiasan lidahnya yang kelu. “si krucil itu sudah besar sekarang”, jawabFerdy dengan matanya yang menerawang, memandang layang-layang yang takbergerak disana.

“istirahat dulu, besok kalian kan mau jalan-jalan, kembali ke peradabankota, syukur-syukur dapat gebetan”, Ferdy tertawa. Sosok itu, berbalik,meninggalkan bangku bambu yang menopang tubuhnya sedari tadi, kembalimasuk ke rumah, membiarkan pintunya tetap terbuka. “jangan lupa tutup pintunyananti”.

“iya, pak”.Ferdy mengangguk, meletakkan cangkirnya yang sudah kosong,

meninggalkan seberkas ampas di dasarnya. Ia belum merasakan kantuk, tapimungkin pak Daud benar, setidaknya ia tak boleh kejam pada tubuhnya sendiri, iatetap harus merebahkan dirinya, melemaskan sendi-sendi tulangnya yang kaku,atau otot matanya yang ia paksa terjaga sepanjang malam.

Ia mengambil ponselnya, mengirimkan pesan pada adik kesayangannyayang masih memendam marah, menghukumnya untuk menolak bersua.

[have a nice day, aku kangen Cil ].Sedetik kemudian ia meragu, menghapus beberapa huruf dalam pesan

singkat yang akan di kirimnya.[have a nice day]. Pesan itu terkirim.Ferdy beranjak dari bangkunya, menutup pintu rumah itu, menghalangi

hawa dingin yang mulai menggerogoti tulang-tulangnya. Malam masih sunyisenyap, dari kejauhan suara ayam berkokok nyaring.--------Makassar, Ruang Tunggu Bandara.

“Kita tidur dulu di ruang transit, apa mau jalan-jalan dulu?, besok barulanjut flight ke Ambon besok pagi”, kata Ale, setelah menutup percakapan denganPapanya.

“hmmm di sini aja dulu, nanti kalo bosen baru keluar..”, jawab Willysingkat. Ia baru menyalakan ponselnya, ketika ia melihat sederet pesan daripengirim yang sama, juga beberapa pesan lain dari orang yang di kenalnya. Ia lalumenghubungi nomer itu, nomer yang terang-terangan akan mengirimkanomelannya segera setelah suaranya terdengar.

“halo.”“haloo, Willy, kamu itu kenapa dihubungi dari kemarin gak aktif, kamu

gak tahu kalau aku khawatir banget sama kamu, sampai akhirnya aku nelponMama sama Papa kamu?”

“ngapain kamu nelpon mereka?”

Page 48: Salam Hangat Senja

48

“karena aku khawatir sama kamu, terus mereka bilang kamu liburan samaAle, dia juga gak ngangkat telponku, kok gak ngabarin aku?”. Terang saja Ale takmengangkat telponnya, Willy yang melarangnya, sebab ia tahu insiden semacamini akan terjadi.

“Vit, please deh. Bisa gak kamu gak berlebihan, aku baru turun daripesawat, masih di bandara, transit sebelum lanjut flight”, balas Willy.

“kamu dimana sekarang?”“kenapa mau nyusul?, gak usah. Aku di Makassar lanjut ke Ambon, dan

aku gak liburan, aku nemenin Ale jenguk Omanya yang sakit”“Apa!, kamu?, oke aku tanya kamu berangkat dari mana?, Jogja?”, tanya

Vita.“Jogja ke Bandung, Bandung ke Jakarta sampai sini”,“dan kamu gak mampir buat nemuin aku??.. kamu kenapa sih Wil?”“waktunya gak sempet. Oke, up to you, kamu mau marah, mau ngapain

terserah deh, saya capek”. Willy memutus obrolan itu, mengabaikan suara Vitayang masih belum bosan beradu mulut dengannya untuk hal seperti ini.

“Vita?”, tanya Ale kemudian. Willy mengangguk, merasa seranganmigraine membombardir kepalanya.

“Sabar”, lanjut Ale menepuk bahu sahabatnya itu.“kadang aku mikir darimana aku dapat semua kesabaran itu, buat

menghadapi seorang Vita”, gerutu Willy, Ale tersenyum mendengar komentarsahabatnya itu.

“Sabar Wil, cinta pertama emang selalu sulit”“kampret, kamu gak curhat soal kamu sendiri kan?”, tanya Willy.Ale tertawa pahit, menepuk punggung sahabatnya itu seolah nasib mereka

berdua tak ada bedanya satu sama lain. Meski dengan masalah berbeda, iamengakui bahwa sumber masalah mereka kurang lebih sama saja.

“enggak lah, lagian kenapa juga sih kamu rela menjebakkan diri sama Vitadalam waktu yang lama. Maksud aku, itu semua udah berlalu lama, kamu gakmau melepaskan diri?. Kalian kelihatannya baik-baik aja, tapi hanya sebataskelihatannya kan?”

Willy tampak termangu, mencoba mencari kebenaran dari semuapembenaran yang selama ini ia terima mentah-mentah. Satu sikap yang masihdianggap tak masuk akal oleh sahabatnya hingga saat ini, setipa obrolan itumengemuka Ale selalu jadi orang yang paling keras yang menganggap pilihanWilly untuk masalah ini benar-benar salah.

“gak segampang itu, udahlah, kalau dia ngehubungi kamu abaikan aja,kalau bosen, jawab aja seperlunya. Aku gak mau liburanku terganggu gara-garaponsel bodoh ini”, jawab Willy.

Willy lalu melihat notifikasi inbox, pesan yang belum sempat dibacanyaselain deretan pesan Vita. Matanya memicing, menatap lekat satu nomer baruyang mengusik pikirannya dua hari ini.

[Have a nice day]Ia tersenyum masam, kemarahannya mencuat. Ingin rasanya ia melempar

pesan itu langsung ke mukanya. Muka orang yang dibenci juga dikaguminya,bahkan hingga saat ini. Ferdy.

Sial!.

Page 49: Salam Hangat Senja

49

Kemarahan Willy menguat, ia men-switch off ponselnya. Tak ada yangbisa mengganggunya mengobati setiap titik-titik hatinya yang teriris perih. Di sini,di tempat terasing, jauh dari orang-orang yang merusak tatanan hatinya.

-----------6. Cerita di Balik Kata Hai

Ambon, 2014“Akhirnyaaa !”,Ale meregangkan tangannya ketika ia menginjakkan kakinya di Pattimura

airpot, Ambon. Ale mnghubungi Bapanya, menunggu mobil yang akanmenjemput ia dan Willy ke rumah Oma.

“tunggu katanya, paling satu jam lagi nyampe sini”, kata Ale kemudian.Willy mengangguk, “oke”.

Siang itu panas, terik matahari membuat Willy mengibas-ngibaskantangannya karena kegerahan. Udara di sini jauh lebih panas dari Jogja, bahkanjika dibandingkan dengan Jakarta. Tapi, angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahmereka ternyata memberikan mereka kesenangan tersendiri. Langit siang itusangat cerah, dengan sedikit semburat awan tipis yang biru menerawang.

Langit sebagus ini?, tentu ada orang yang rela berjam-jam memandangnyahingga lehernya pegal. Sesekali memfoto mereka mencari potret lanskap yangbagus untuk ia nikmati sendiri. Siapa lagi yang suka langit segila itu selain Ferdy.Ah, ya kenapa aku harus ingat Ferdy!. Willy sedikit menyesal, ia tak habis pikirkenapa akhir-akhir ini ia justru banyak mengingat kakaknya.

--------“Hai krucil”, kata sapaan itu seperti password Ferdy untuknya.“Hai kamper!”, itu balasan Willy untuk Ferdy.Dulu, dulu sekali ketika mereka berdua masih jadi role model brotherhood

yang membuat teman-teman Willy iri. Di mata mereka punya kakak sekeren danseasyik Ferdy adalah impian mereka, mereka sering membandingkan kakakmereka yang lebih sibuk dengan urusannya masing-masing. Pujian yang membuathidung Willy kembang kempis saking bangganya. Sejak kecil sejak ia masihmemakai seragam putih merah dengan potongan rambut persis mangkuk isikepalanya sudah terdoktrin parah bahwa kakaknya adalah idolanya, orang palingkeren yang dia punya.

Maka, selanjutnya Ferdy seperti candu untuk Willy. Setiap kata hai yangdiucapkan Ferdy seolah menjadi awalan cerita-cerita seru yang bisa Willyceritakan lagi pada orang lain, pada teman-temannya. “Hai krucil, kamu lagingapain, tahu gak hari ini aku…”, “hai krucil, hari ini aku..”, “hari krucil, gilatahu gak, aku gak percaya…”, dan hai..hai berikutnya yang selalu di tungguWilly, bahkan ketika kakaknya kuliah di Jogja, berjauhan dengannya, Hai krucilmenjadi kata yang sangat ia tungg-tunggu. Semakin banyak cerita, semakinbanyak ia menenggelamkan diri pada imajinasi yang ia buat tentang kakaknya.Hingga kata-kata itu tiba-tiba berhenti, tanpa notifikasi, membuat duniaimajinasinya oleng. Willy kesakitan, kehilangan candunya yang selama inimencerahkan hidupnya.

Lima tahun!.Cukup semua jenis perasaan bercampur dalam hati Willy selama itu,

selama kakaknya menghilang tanpa wujud yang belum pernah lagi ia lihat.Bagaimana ia sekarang, rapi kah?, lusuh kah?, bahagia kah?, atau justru menyesal

Page 50: Salam Hangat Senja

50

kah ia karena kepala batunya telah merusak banyak hal, menghancurkan hati-hatirapuh yang terseok-seok hanya untuk mencoba bangkit sendiri.

Lima tahun sudah hidup Willy seperti berada dalam dunia roller coster,bahkan tanpa wujudnya yang ada di depan mata, Ferdy masih menunjukkankuasanya yang tak bisa dielakkan Willy. Lima tahun seolah hidup Willydilambungkan hatinya, kemudian dihempaskan lagi tanpa ampun, melambunglagi, kemudian jatuh lagi hingga detak harapannya melemah. Semua itu hanyakarena surel-surel yang dikirimnya.

Sejak Ferdy memutuskan untuk pergi, semua jenis komunikasi yangmenghubungkan Willy dan kakaknya itu terputus sama sekali. Jejaring sosialnyadeactive, nomer teleponnya non aktif. Willy menyerah pasrah, hingga akhirnya iamemutuskan untuk mengubur kesedihannya dan bangkit menjalani kehidupannyayang baru, dengan hati yang tak pernah sama. Jadilah Willy yang sekarang, Willyyang hatinya semakin lama semakin dingin.

Lalu surel pertama itu datang, singkat, padat, jelas dan membuat hatinyaberdecit keras.

Hai krucil, apa kabar?. Aku akhirnya wisuda juga.Dengan sebuah attachment yang Willy download. Sebuah foto Ferdy

memakai jubah hitam mirip Harry Potter. Senyum tersungging di wajahnya,senyum lebar dengan deretan gigi rapinya di samping teman-temannya.

Di susul surel-surel lainnya, yang saling menyambung dalam kurun waktutak tentu hingga memakan waktu berbulan-bulan.

Hai krucil, selamat ya yang udah jadi mahasiswa!.Hai krucil, aku lagi di Aceh.Hai krucil, dulu kamu yang bilang pengen ke Belitong, gara-gara

baca buku Laskar Pelangi kan?. Aku lagi di sini, aku kirim lanskap senjapaling bagus buat kamu.

Dan Hai krucil lainnya yang menumbuhkan harapan Willy.Willy membalasnya, menanyakan kabarnya, menanyakan keberadaannya.

Tapi seolah komunikasi satu arah, surel-surelnya tak pernah di balas Ferdy.Lalu tiba-tiba, setelah sekian lama pesan pendek itu datang, bukan lewat

email. Hanya pesan pendek dari nomer telepon baru, mengaku sebagai Ferdy,mengajaknya bertemu, mengatakan have a nice day, meruntuhkan tembokpertahanannya tanpa ampun.

“heiii…kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanya Ale, mengagetkanWilly seketika.

“oh, enggak aku gak bengong, kenapa?” Willy mengalihkan pertanyaanAle.

“kayaknya yang jemput kita udah datang”, tunjuk Ale. Dari arahberlawanan, Willy melihat seorang perempuan mengacungkan kertas, bertuliskanAledrian-Jakarta.

“kayaknya sih gitu, tapi kok cewek?, bukannya kamu bilang Papa kamuyang jemput?”, tanya Willy, pandangannya masih menengok ke sekeliling,melihat ke arah lain, seketika ia terpaku. Tubuhnya refleks bergerak ke arah sana,ke arah seseorang yang tengah mengacungkan kertas. Tangan Ale menahannyaerat.

“Eh kamu mau kemana, tuh yang nungguin kita disana”, kata Ale, sambilmenyeret Willy yang berdiri kaku.

Page 51: Salam Hangat Senja

51

“Permisi, ini jemputannya Ale, Aledrian?”, tanya Ale dengan nada sangsi.Setengah ragu karena mungkin saja Ale yang lain yang sedang ia tunggu.

Gadis itu tersenyum manis, menunjukkan ponselnya pada Ale. “om, kasihfoto kak Ale, supaya tidak salah orang”, jawabnya ramah. Gadis itu melambaikantangan pada orang yang tengah duduk tak jauh dari tempatnya. Seseorangmendekat, laki-laki paruh baya usia sekitar empat puluhan kemudian tertawalebar.

“wah Ale, kau sudah besar rupanya, tampan sekali”, katanya memuji.“hai om, hai nona, kenalkan ini Willy teman kuliahnya Ale”, kata Ale

kikuk, sama kikuknya dengan Willy. Ia bahkan tak tahu nama dua orang asingyang baru di kenalnya siang itu. Mereka bersalaman dengan dua orang ramah tadi.

Laki-laki itu tertawa, entah apa yang lucu, “sudah nanti saja ngobrolnya dirumah, kalian perlu istirahat, tunggu sebentar di depan, om ambil mobil dulu diparkiran”, lanjutnya.

Mereka akhirnya pergi. Willy melihat orang itu, masih dengan kertasnyaberdiri menunggu kedatangan seseorang. Entah siapa.

Sepanjang perjalanan, akhirnya Ale tahu siapa nama mereka berdua. Nonamuda itu bernama Yena, dan laki-laki paruh baya yang berbaik hati menjadi sopirperjalanan mereka itu adalah Om Glenn. Mereka berdua tetangga Oma, pamandan keponakan yang rumahnya tepat berada di samping Oma. Mereka bilangOrang tua om Glenn dan Omanya sudah bersahabat sejak lama, sejak pertama kalimereka bertetangga. Selain itu Om Glenn sudah menganggap Papanya Ale sepertikakaknya sendiri.

Ale hanya tersenyum mendengarkan perkenalan singkat mereka. Suasanadi dalam mobil hening, sengaja memberikan waktu untuk Ale dan Willyberistirahat meskipun Ale tahu sebenarnya Om Glenn dan Yena banyak sekaliingin bertanya kepadanya. Ale bersyukur mereka mengerti bahwa Ale terlalu lelahuntuk diajak bicara, terlalu malas lebih tepatnya.

Tapi Yena, senyum manis gadis itu justru mengganggu pikiran Ale, sapaanhai kikuk Ale malah membuat Ale kembali melamun. Melamunkan matahariBandung nya yang membuat Ale kikuk tiap kali ia menyapa. San-san gadis ituselalu sukses membuat Ale menahan gugup. Sapaan hai itu adalah jenis sapaanpaling dirindukan juga dihindarinya. Ale kadang malas menahan gugupnya jikaSan-san mulai membuka mulutnya dan pita suaranya melontarkan kata hai, tepatdidepannya. Bertahun-tahun Ale mengenal San-san, bertahun-tahun pula iamerasakan itu, kupu-kupu berterbangan bebas di perutnya, membuatnya seringkalimulas tanpa sebab jang jelas.

Entah itu kabar baik atau kabar buruk, menyenangkan atau menyedihkan,kata Hai sepertinya sudah lebih dari cukup bagi Ale. Bahkan ketika pacar-pacarnya berkata Hai, sapaan San-san baginya tetap yang paling istimewa.Perasaan itu ia tutup rapat, baginya cerita cinta pertama dan sebagainya hanya adadalam dongeng fantasi. Kehidupan yang dijalaninya adalah kehidupan normal,begitu pula percintaannya. Kuliah, pacaran, putus, pacar baru, seperti lumrahnyaanak muda seumurannya. Biar hati kecilnya saja yang masih menjaga ceritafantasi itu, berharap suatu saat ia memang bisa bernafas dalam dunia fantasi yangdiciptakannya, meski Ale tahu bahwa itu mustahil terwujud. Biar saja, biar sisimelankolisnya tetap terpupuk dan hidup.

Page 52: Salam Hangat Senja

52

“Will, pinjam hape kamu, punyaku mati, aku mau nelpon Gem dulu”, kataAle kemudian. Willy menggelengkan kepalanya, menolak permintaan Ale. Jelas-jelas Ale tahu pasti apa alasannya.

“kan kamu tahu sendiri kalo hapeku sengaja aku matiin, gimana sih”,jawab Willy.

“kenapa ribet banget, nyalain bentar dong”, rajuk Ale.“lagian percuma aku nyalain, orang pulsanya juga belum aku isi”, jawab

Willy yang membuat Ale semakin kesal.“pakai telepon saya saja kak”, kata Yena sambil menyodorkan ponselnya“makasih”, Ale menerima ponsel Yena. Sesaat Ale mengerutkan dahinya,

melihat foto walpapernya adalah fotonya. Kenapa Yena harus memasang fotoorang lain, bukan fotonya sendiri.

“wew, kenapa foto aku ada di sini”, celetuk Ale tanpa pikir panjang.“itu..itu, sengaja Yena pasang supaya mudah lihat foto kak Ale waktu di

bandara tadi”, jawabnya, yang dibalas Ale dengan komentar “oh”, pendek.“orangnya udah ketemu, boleh deh di ganti biar gak jadi racun, kasihan

mata kamu nanti lihat foto orang jelek melulu”, kata Ale berseloroh.“hehe..ia kak”, jawab Yena kikuk. Giliran Willy yang menaikkan alisnya,

instingnya menangkap sinyal lain.Ale lalu mengetikkan kombinasi nomer teleponnya, dan menelpon Gem,

adik kesayangannya.“haloo ijeeem, aku udah mau nyampe lho”, kata Ale segera setelah

mendengar suara yang merambat melalui gendang telinganya itu, “halo, maaf inisiapa ya”.

“wuu, a Ale ini, Gem kira siapa, kok nomernya baru?”“pinjem hapenya Yena”“Yena itu siapa?, kak Willy gimana kabarnya?”, tanya Gem penasaran.“yeee…bukannya nanya kabar abangnya, ini malah nanya orang lain”,

cibir Ale tak terima, yang membuat Willy terkekeh. “Yena, tetangganya Oma,yang jemput a Ale di bandara”

“cantik?”, tanya Gem tiba-tiba.“kenapa emang?”, Ale balik bertanya.“kasihin teleponnya ke kak Willy aja, Gem mau ngomong”, Ale menghela

nafas, menjauhkan ponsel dari telinganya, “nih fans kamu minta ngomong”, lanjutAle sambil menyodorkan teleponnya.

“Halo Gemaila”, sapa Willy seperti biasanya.“halo kak Willy, baik-baik aja kan?, inget lho jangan lirik kanan kiri itu

sama yang namanya Yena”“ia, kakak baik kok, hahaa..tenang aja, nih kakak kasih lagi ke a Ale ya”,

Willy mengoper lagi ponsel itu pada Ale.“Halo Gem, udah dulu ya, pulsa orang ntar habis, nanti kalo udah nyampe

aku kabarin”“iyaa”,terdengar suara Gem menjawab dengan malas.“oh iya satu lagi, Willy titip pesan, Salam buat kak Ulfah katanya”,“kakaaaakkkk”, Ale menutup teleponnya sebelum suara stereo Gem

dikeluarkan dan memekakkan telinganya. Ada tawa puas di wajah Ale setelahberhasil mengerjai adiknya. Ale lalu mengembalikan ponsel milik Yena,

“makasih ya Yen”, ujarnya.

Page 53: Salam Hangat Senja

53

“sama-sama kak Ale”, jawab Yena.Willy menyikut tangan Ale kencang hingga mengaduh, “dasar kakak

sinting, seneng banget godain adiknya sendiri”.Ale tertawa kencang.--------------------Kalau ada dua orang yang paling rempong dan khawatir berlebihan saat

ini adalah mbak Sari dan kakaknya, Elma. Dua orang itu membuat kepala Edithmendadak berkunang-kunang sesaat setelah ia menyalakan ponselnya. Terlalubanyak pesan yang membuatnya ingin tertawa tapi juga ingin mengutuk dalamwaktu yang besamaan. Ayolah, aku kan bukan anak kecil lagi yang harusdikhawatirkan secara berlebihan, Edith bergumam.

Tapi bukan itu masalahnya, dengung di kepalanya masih belum hilang danparahnya lagi, ia mendadak mulas. Padahal setahunya, ia tak makan makanananeh sebelum berangkat, mungkin Edith hanya masuk angin. Ya, mungkin sajabegitu.

“krucil kamu dimana sih, yang nungguin kamu bilang kamu belumkelihatan nongol, padahal penumpang yang lain udah pada pergi satu-satu”, suarambak Sari terdengar di telinga Edith.

“bilangin tunggu sebentar, aku lagi di toilet, mules-mules”, jawab Edithsingkat. “udah ya, aku tutup dulu telponnya”. Lanjut Edith kemudian.

Edith lalu kembali menggendong ranselnya, keluar dari toilet menujutempat orang-orang menunggu jemputannya. Sontak ia tertawa melihat kertasnama yang dibawa orang itu, “Ini pasti kerjaannya mbak Sari”, gumam Edithpelan.

“hai saya Edith, temannya mbak Sari”, kata Edith kemudian. Itu pesanyang di suruh mbak Sari disampaikan agar lebih mudah di kenali. Laki-laki yangmenjulang tinggi itu tersenyum ramah.

“Oh ya, hmm nona Edith, beta19 Marco”, jawabnya.“just Edith, jangan ditambahi nona, saya geli dengernya”, kata Edith

membalas senyum Marco.“maaf ya lama nunggunya, saya dari toilet dulu tadi”, kata Edith

kemudian.“tidak apa-apa, istirahat saja selama di jalan, sekitar satu jam lagi nanti

sampai di rumah tante Ivo, pasti Edith capek sekali di perjalanan”, lanjut Marcokemudian.

Edith hanya menganggukkan kepala, tanpa berniat melanjutkan obrolanmereka. Ia mengambil ponselnya, lagi-lagi Elma menelponnya.

“Assalamualaikum, iya kak, aku udah mau nyampe, ini lagi di mobil, dijemput Marco”, jawab Edith.

“siapa Marco?”, tanya Elma lagi, seolah masih belum yakin kalau kondisiadiknya itu baik-baik saja.

“Anaknya tante Ivo, tempat Edith ngungsi, udah deh gak usah parnoberlebihan”, jawab Edith malas.

“Oke kalo gitu, tapi inget kalau ada apa-apa kabarin”, kata Elma.

19 Saya

Page 54: Salam Hangat Senja

54

“Iya”, jawab Edith enggan, lalu memutus sambungan teleponnya. Sulitmemang punya dua orang kakak yang sama-sama ribetnya, satu kakak kandung,satu kakak angkat. Tapi keduanya bertingkah sama, nyaris serupa malah.

Lalu, mereka pergi, meninggalkan bandara yang tak pernah sunyipenghuni.

Sepanjang jalan siang itu Edith tak banyak bicara, antara penat yangmenderanya selama perjalanan, tapi juga keinginan matanya yang masihmemandang lepas jalanan yang mereka lewati dari balik kaca mobil. Marcosesekli melirik ke arahnya, meski mulutnya masih tertutup rapat. Edith tahu anakyang duduk di sebelahnya, mengendarai mobil yang ia tumpangi dengan tenangitu seolah ingin melontarkan banyak sekali pertanyaan, tapi rasa sungkanmenahannya, membuatnya kelihatan gelisah karena butuh teman bicara. Edithterlalu malas untuk membuka percakapan dengan bocah ingusan itu. Meski Edithakui, anak itu luar biasa mempesona.

“kak Edith, saya panggil kakak saja boleh ya?”, kata Marco kemudianmemecah keheningan. Edith terseyum simpul, akhirnya kekakuan di mobil itusedikit mencair, meskipun Edith tak terlalu peduli sebenarnya jika tak ada suaraapapun yang mengganggunya, ia terbiasa menikmati sunyi, dan itu bukan halyang buruk seperti kebanyakan orang. Suasana seperti itu adalah bagian darisuasana yang justru paling ia nikmati.

“oh, boleh, tentu aja”, jawab Edith. “kamu, masih SMA?”“kelas dua belas, baru aja sweet eighteen dua bulan lalu”, jawabnya. “kak,

krucil itu nama apa?”, tanya Marco lagi.“hmm…nama panggilan. Aneh ya?, gara-gara mbak Sari tuh, jadi

keterusan”, jawab Edith.“kak Sari emang aneh, tapi dia kakak yang baik. Dia bilang saya seperti

adiknya sendiri”, timpal Marco kemudian.“tentu. Anak tunggal satu itu emang punya penyakit akut, hobi banget

ngangkat anak orang jadi adiknya”, gumam Edith.“kenapa kak?”, tanya Marco tiba-tiba.“Oh enggak, hmm..banyak pantai bagus kan di sini, kamu harus nemenin

saya nyari pantai yang sunsetnya bagus”, jawab Edith.“Bisa diatur”, jawab Marco.“Deal?”“Real deal, siapa yang gak mau nemenin nona cantik, kayak kak Edith”,

jawab Marco.Edith menelan ludah, kepalanya nyaris menabrak pintu mobil tempatnya

bersandar. Edith, anak itu baru saja di goda oleh anak SMA, usia delapan belastahun.-------

Mobil itu akhirnya menghentikan lajunya, menepi di salah satupekarangan rumah dengan pagar pendek bercat putih, sebuah rumah denganhalaman depan yang tidak terlalu luas tapi nyaman untuk dipakai bersantaimenikmati langit senja, satu pohon cengkih besar tumbuh pojok depan rumahnya,menaungi rumah itu dari terik matahari langsung. Edith yakin jika sore tiba, sinarmatahari senja akan menerobos masuk melalui celah-celah dahan cengkih yangbercabang, juga daun-daun kecilnya yang berwarna hijau kekuningan, jugabercorak cokelat yang mengeluarkan aroma harum, satu rasa dengan buahnya

Page 55: Salam Hangat Senja

55

yang mungil kecil tapi beraroma kuat. Rempah satu ini memang jenis yangistimewa, sangat berharga.

Seorang wanita paruh baya, usia sekitar setengah abad lebih yang masihmemancarkan kecantikannya, kaluar dari pintu rumah itu, tersenyum ramahmenyambut Edith yang masih berkutat dengan carriernya yang akan ia gendong.Marco tanpa peringatan menarik tas besar itu, sedikit membuat Edith terkejutmeski tak bersuara.

“saya saja yang bawa kak”, kata Marco singkat. Menggendong tas Edithseolah itu bukan hal sulit, dan yang lebih penting Marco sama sekali tak miripkura-kura. Pemandangan yang sangat jauh berbeda jika Edith yangmenggendongnya.

“hai tante”, sapa Edith ketika pertama kali bertemu dengan MamanyaMarco.

“halo nak Edith, yang kerasan ya di sini, biar gak tinggal di rumah Sarijangan merasa sungkan. Sari itu sudah seperti keluarga saya sendiri”, jelasMamanya Marco.

“tenang aja ada saya”, sela Marco. Edith tersenyum geli, ibu dan anak itusama saja, keduanya jago mencairkan suasana yang kaku beku.

“makasih tante”, jawab Edith singkat.Marco menunjukkan kamar untuk Edith menginap selama beberapa hari di

sana, sebuah kamar dengan nuansa anak laki-laki yang sangat kentara. Sederhana,tanpa banyak pernah-pernik, tapi dengan dekorasi ruangan yang cukup detil,semuanya tertata rapi. Meski begitu, Edith dari awal sudah tahu kamar ini lamasekali ditinggal penghuninya, tapi rasanya tidak mirip dengan kamar Elma, kamarini rasanya hangat seperti biasa di tinggali pemiliknya. Ruangan memang butuhhawa manusia untuk membuatnya terasa hangat.

“ini kamar Nico. Udah lama sih gak ditempati, sejak dia kuliah di Malang,terus sekarang kerja di Jakarta, jarang banget balik ke sini”, jelas Marco tanpadiminta. Edith ber”oh” pendek tanda mengerti. Meskipun ia sendiri tak terlalupeduli siapa itu Nico yang sedang dibicarakan Marco saat ini.

“sebenernya ini kamar favorit saya, saya biasa tidur di sini, tapi gakmungkin juga sih nyuruh kak Edith tidur di kamar saya”, lanjut Marco lagi. Edithmengerutkan dahi, anak ini rupanya lebih cerewet dari yang Edith kira.

“Marco, kamu cerewet juga ya ternyata”, komentar Edith yang disambuttawa singkat Marco.

“sorry, I’m getting too excited maybe”, Edith memaksakan senyumnya,yang lebih mirip orang sakit perut. Penyakitnya yang sulit berbasa-basi memangtak bisa di sembuhkan.

“nih, obat buat bikin badan gak pegel-pegel, bagus lho”, Marcomenyodorkan sebotol kecil minuman yang entah apa isi kandungannya. Seolahtahu bahwa orang di depannya itu ragu, Marco melanjutkan penjelasanngawurnya, “tenang aja, bukan racun kok. Saya masih pengen ngobrol banyaksama kak Edith”, goda Marco.

“sayangnya saya gak mau”, balas Edith spontan. Tanpa sadar keduanyatergelak.

Edith akhirnya meminum minuman yang di tawarkan Marco, iamengerutkan dahinya begitu cairan itu mengalir melewati tenggorokannya.

Page 56: Salam Hangat Senja

56

Rasanya asing, manis, pedas dengan aroma wangi yang menyengat. “Ini apaan?”,tanya Edith penasaran.

Marco tertawa melihat ekspresi wajah Edith, “Cuma jus Pala kok, sayatinggal dulu ya, selamat istirahat kak Edith”.

Marco meninggalkan Edith yang masih mencoba beradaptasi dengan rasaaneh yang masih menempel di indera pengecapnya.

Edith tak pernah berpikir akan berada di situasi semacam ini, anehbaginya menghadapi orang yang begitu blak-blakan dan kadang tanpa banyakberpikir mengutarakan apapun yang ada di otaknya. Baru setengah hari Edithmengenal bocah itu, ya Marco. Anak itu sudah merangsek masuk ke dalam setiapdetik waktu Edith yang berharga di sana, membuat Edith menggelengkan kepalalagi dan lagi. Marco mengakrabi dirinya seolah mereka adalah kawan lama yangbaru kembali bertemu.

Ah, anak itu. Semudah itukah ia bicara dengan orang asing?. Edith takmungkin bisa seperti dia, sepertinya tak akan pernah bisa.

Malam itu sunyi senyap, setidaknya itu yang Edith rasakan. Ia menikmatisecangkir kopi yang menghangatkan badannya, menghela nafas dan tersenyumpuas. Ini yang ia harapkan, jauh dari kebisingan akan pertanyaan remeh-temehyang mengganggu isi kepalanya. Ia tak menyesal pergi sejauh ini, baginya tempatdimana ia duduk dan menikmati langit gelap dengan kerlip bintang yang tenangtak ada gangguan.

Edith menyesap kopinya perlahan, membiarkan lidahnya mengecap rasayang aromanya menguat menelusuk ke indera penciumannya itu bertahan lama disana. Balok-balok potongan cokelat yang sengaja ia masukkan ke sana untukmenambah rasa membuat seduhannya terasa istimewa. Cokelat dan kopi, dua halyang bisa membuat pikiran seseorang merasa tenang itu tentu bukan kombinasiyang buruk jika keduanya di campur. Edith hanya ingin rasa yang lebih haya, rasayang menemaninya menikmati keheningannya sendiri.

Sebenarnya jika mungkin, Edith tentu sudah melakukan pelariannya jauhke suatu tempat yang ada di list Edith treasure miliknya, tempat-tempat yangmenarik minatnya dan tak pernah ia bagi pada siapapun. Tempat yang jauh darijangkauan matanya, dan tentu saja jangkauan uangnya. Tempat yang hanya iajangkau melalui kekagumannya. Jika bisa, Edith tentu akan memilih kabur kegurun Durango, Zone of Silence20. Tempat dimana mungkin ia bisa menghilangsekejap tanpa takut terlacak oleh siapapun, tanpa perlu mengkhawatirkanpertanyaan apapun.

“hhh…..”, Edith menghela nafas berat.“hei kak, jangan ngelamun terus lah, gak betah di sini?”, Bocah itu sudah

duduk manis di sampingnya, tanpa peduli apakah Edith nyaman atau tidak.“hh…dia lagi”, batin Edith. Meski ingin rasanya ia mengabaikan bocah

itu, nyatanya Edith masih waras posisinya saat ini, tamu yang menumpang dirumah Mamanya Marco.

“siapa yang melamun”, gumam Edith singkat.“kamu”

20 Gurun Durango, Meksiko. Zona kesunyian dimana tidak dapat menerima sinyal apapun

Page 57: Salam Hangat Senja

57

Edith menoleh ke arahnya, memperhatikan tatapannya yang bahkan masihlurus menatap langit, seperti yang tengah Edith lakukan sejak tadi, terhanyutdalam lamunannya sendiri.

“kamu gak suka di tinggal sendiri ya, harus punya temen ngobrol?”, tanyaEdith. Marco tersenyum simpul, menganggukkan kepalanya dengan pasti, “siapayang gak suka punya teman bicara?”, jawabnya, balik melontarkan pertanyaan.

“persis kecoa”“maksudnya?”, Marco menggeser posisi duduknya lebih dekat di samping

Edith, melihatnya dengan tatapan tanya.Edith tak bergeming, meski sebenarnya tak terlalu nyaman dengan sikap

bocah itu yang terlalu seenaknya.“jangan kalah..jangan kalah”, hatinya bergumam. “iya, kamu gak tahu,

kecoa kan paling gak suka di tinggal sendiri, hewan itu akan merasa depresi jikagak punya teman. Sama kayak kamu, gak bisa tenang ya kalau sendirian?”, jawabEdith.

“hahha…kak Edith ngelucu nih, tahu dari mana? Pernah ngobrol samakecoa yang lagi depresi ya?”,

“nih samping saya contohnya”, Edith santai menjawab yang justrumembuat Marco makin tergelak. “makanya, kakak harus mau temenin kecoadepresi macam saya ini, biar penyakitnya tidak makin parah”, tuturnya sambilbecanda.

Edith tertawa juga pada akhirnya, bocah itu memang tipikal anak persistenyang tidak mungkin mau mengalah begitu saja. Mungkin memang Edith yangharus kalah, mengalah menghadapi orang yang butuh tujuh tahun lagi untuk bisamencapai umurnya saat ini.

“baiklah, kakak kalah”, jawab Edith kemudian.“emang kita lagi tanding apa kak?”, tanya Marco pura-pura bodoh,

membuat Edith mendelik kesal.“Belajar sana, besok pagi kan harus sekolah”, perintah Edith menutup

paksa pembicaraan mereka.“Lupa ya kalau ini lagi libur semesteran?”, ada jeda di sana, raut wajah

Marco tampak berpikir, mengingat apa yang ingin di sampaikannya, “oh ya, sayaketemu kak Yena, dia juga jemput saudaranya yang dari Jawa, harusnya sih satupesawat sama kak Edith. Ketemu tidak?, dua orang cowok, tampan, tinggi pula”,tanya Marco kemudian.

“saya gak nanya pramugarinya sih, ada dua cowok ganteng yang satupesawat sama saya apa enggak, mana saya tahu. Lagian Yena itu siapa juga?”,jawab Edith malas, toh ia sama sekali tak berminat untuk tahu orang-orang yangdibicarakan Marco. Tak ada untungnya sama sekali untuk Edith.

“saya sudah ngobrolin soal kak krucil sama kak Yena, kita bikin janji maungetrip ramai-ramai biar lebih seru. Mereka tinggal sekitar lima belas menit darisini”, tutur Marco kemudian.

Edith menyimpan cangkir kopinya sembarang, ada dua hal yangmembuatnya merasa sebal saat ini, pertama kenapa Marco harus ikut-ikutanmemanggilnya krucil. Kedua, trip bareng-bareng?. Mana bisa Edith menikmatiperjalanannya sendiri jika harus berbagi dengan orang asing?. “hhhhh…”, lagi danlagi, Edith hanya bisa menghela nafas berat.

Page 58: Salam Hangat Senja

58

“Terserah deh, saya masuk dulu, mau tidur”, kata Edith enggan,meninggalkan bocah yang bahkan tak bisa membaca suasana hatinya yang sedangburuk. Apa yang di harapkan dari tour guide bocah berumur delapan belas tahunseperti Marco?.

Mbak Sariiii…. Tanggung jawab, awas aja kalau ketemu nanti!.[jangan ngambek]Edith membaca isi pesan singkat yang datang ke ponselnya dengan heran.

Marco?, lagi?.[saya enggak marah, kenapa?]Kenapa pula Edith harus berbalas pesan seperti ini ketika pintu kamarnya

dan bocah itu saling berhadapan.[saya cuma gak mau kak Edith bosan][saya tahu][saya suka ngobrol sama kak Edith]Edith tersenyum, merebahkan badannya pada kasur empuk, yang

membantunya terlelap malam itu, bersiap untuk esok hari, menikmati liburannyayang ia harap menyenangkan. Meski sepertinya Edith harus berompromi untukgangguan yang satu ini. Marco, anak itu terlalu manis untuk dimarahi.

[saya juga]Semilir angin malam itu berhembus pelan.

-----------

Bab 7. Ketika Krucil Mendengar Namanya

“Pagi Ma, Pa, kak Edith”, Marco menyapa semuanya, termasuk Edith.Marco duduk di meja makan bergabung untuk sarapan pagi. “jadi, hari ini mintadianter ke mana kak?”, tanya Marco to the point. Tante Ivo tersenyum yangmembuat Edith justru tak enak hati.

“udah sarapan dulu, lagian Marco semangat banget. Nak Edith jangan diganggu melulu, kasihan lho”, kata tante Ivo, mewakili suara hati Edith yang takterdengar.

“Namanya juga kecoa”, timpal Marco, mengedipkan sebelah matanyapada Edith. Membuat Edith speechless, tak bisa berkata-kata. Edithmenggelengkan kepalanya, mengabaikan dugaan absurdnya yang mengatakananak ini masih tak berhenti menggoda Edith, apapun niatannya.

“kecoa apa?, Marco yang sopan, lagi sarapan kok malah ngomonginkecoa. Hari ini tante sama Om tinggal dulu ya, ada urusan”, tegur tante Ivo.Marco membalasnya dengan senyum cengengesan.

“iya tante gak apa-apa, nanti saya jalan-jalan sekitar aja kalau udahbosen”, jawab Edith, menyunggingkan senyum tanda terima kasih.

“gedor pintu kamar ya kalau perlu guide “, tukas Marco menyunggingkansenyum termanisnya. Sekali lagi, tak ada keheningan pagi ini, bahkan ketikasarapan pagi. Edith memandang telor mata sapi yang masih tersisa di piringnya,telur ceplok setengah matang favoritnya yang selalu ia makan di akhir, setelahsemua menu yang ada di piringnya habis.

“gak suka telur kak?, kok gak dimakan?”. Oh God, please!

---------

Page 59: Salam Hangat Senja

59

“Hai Oma”, hanya itu yang terucap dari mulutnya yang mendadak kelu.Ale akhirnya bertemu dengan Omanya. Ia terbaring di salah satu ranjang

rumah sakit, masih dengan selang infus di tangannya, menyunggingkansenyumnya yang melemah. Pertemuan canggung yang justru membuat Ale takbisa berkata banyak.

Ale mendekat ke tempat Omanya berbaring, memegang lembut tangannyayang renta mengriput, Ale berbisik pelan, “Ini cucu Oma. Ale datang, pengenketemu Oma, cepet sembuh ya Oma ”.

Omanya mengangguk pelan. Untuk beberapa saat Ale berkaca-kaca,menahan harunya karena pertemuan ini. Ingatannya mungkin tak merekamsedikitpun kenangan yang bisa ia ingat dengan wanita tua yang mereka bilangOmanya itu. Hubungannya selama ini hanya melalui pesan singkat, ataumendengar suara sapanya via telepon yang jarang Ale lakukan. Hubungannya taksedekat itu, bahkan jika ia dibodohi oleh orang lain jika itu bukan Omanya, bisajadi Ale mungkin akan terkecoh. Tapi perasaannya mengangguk pasti, ada ikatanyang tak bisa ia jelaskan, bagaimana perasaan itu menerpa hatinya saat ini. Aletahu, orang itu menyayanginya, sangat-sangat menyayanginya.

Mamanya menepuk punggung Ale, “sudah biar Oma istirahat dulu,kemarin Oma sempat drop, makanya Bapa gak bisa jemput Ale”, kata Mamanya.

Willy berdiri di belakang, kerumunan keluarga Ale yang menemani Oma,pemandangan yang membuatnya bernostalgia pada nenek kesayangannya yangsudah lama meninggalkannya. Perasaan itu, perasaan damai yang menyenangkanketika ia bercanda dengan neneknya begitu ia rindukan. Sejujurnya, saat ini,momen yang dialami Ale membuat Willy iri, iri pada kesempatan yang tak pernahlagi ia miliki.

Willy masih terhanyut pada lamunannya ketika Ale menepuk pundaknya,menyadarkan Willy bahwa ia sudah terlalu lama bengong, hingga melupakansekelilingnya.

“yuk balik”, ajak Ale.“nggak nunggu di sini?”“gak usah, Oma juga perlu istirahat. Lagian di sini udah banyak orang,

Mama nyuruh kita jalan-jalan aja, mumpung ada Yena yang jadi tour guide kita”,jelas Ale, Yena mengangguk mengamini penjelasan Ale.

“oke,aku ngikut aja”, jawab Willy singkat.Mobil yang di kendarai Ale melaju melewati jalananan kota Ambon yang

cukup ramai, Yena duduk di jok depan di samping Ale yang tak tahu jalan,menjadikan Ale mirip sopir bodoh yang nurut kemanapun telunjuk Yenamengarahkan jalannya. Willy duduk santai di belakang sibuk dengan lamunannyasendiri.

“kak Willy tahu tidak, Ale itu artinya apa kalau di sini?”, tanya Yena,memecah kebuntuan komunikasi yang ada di mobil itu.

“apa?”, Willy balik bertanya.“artinya kamu, makanya aku agak lucu pas kak Ale mengenalkan dirinya

dengan panggilan Ale, di sini Oma biasa manggil dia dengan sebutan Ian”, jawabYena.

“Aku tahu kok, tapi dasarnya dari jaman sekolah temen-temen biasamanggil Ale, lebih enak di lidah mereka mungkin, oh ya kita mau kemana?”,tukas Ale kemudian, memotong pembicaraan kami.

Page 60: Salam Hangat Senja

60

“mau kemana dulu?”, tanya Yena kemudian.“well, kita buta arah, buta tempat terserah kamu aja deh”, jawab Ale.“cari makan dulu ya, kalian harus coba makanan khas sini”, tawar Yena,

yang disambut dengan anggukan tanda setuju keduanya.Sepanjang perjalanan Willy melihat beberapa penjual buah-buahan yang

menggelar dagangannya, tanpa sadar ia menggumam, “musim duku ya?”.“Ambon melimpah buah-buahan kak, duku, langsat, salak, rambutan

banyak lah macamnya. Hampir semuanya berasal dari dusun21, lalu dijuallangsung seperti di sana itu. Oh ya, doriang22 gunung di sini enak sekali lho kak,kalau mau nanti kita mampir”, saran Yena.

“Willy mana doyan duren”, timpal Ale, yang hanya dibalas Willy dengansenyum simpulnya.

Bukan durian yang ada di benak Willy saat ini, tetapi duku. Buah itu,bulatan-bulatan kecil yang manis dengan getah yang kadang membuat ujungkukuya menjadi cokelat karena kebanyakan mengupas itu punya cerita yangmembuat Willy kembali mengingatnya. Cerita yang lucu tapi kini terasakehilangan esensi lucunya.

---------Jakarta, Willy tahun kedua SMP.

Ferdy masuk ke kamar Willy dengan tawa senang yan sengaja iapamerkan, membuang paksa komik yang sedang Willy baca. Ferdy memangsepertinya sengaja mengganggu adiknya yang sedang tak ingin di ganggu.

“udah deh sana jangan ganggu”, teriak Willy kesal. Bukannya mereda,Ferdy justru semakin asyik menjahili adiknya itu, Willy menghela nafas meladenikelakuan kekanakan kakak satu-satunya itu, “kenapa, kenapa mau pamer apa?”.

“punya adek kok galak bener sih, padahal kakakmu ini bawa kabar baiklho”, jawab Ferdy, masih dengan senyum tersungging di wajahnya yang belummemudar. Siapapun pasti luluh menghadapi orang dengan kepribadianmenyenangkan seperti Ferdy, termasuk Willy.

“kabar baik apaan?”“aku akhirnya berubah jadi anak rantau, welcome Jogja!”“selamat deh”, jawab Willy singkat.“kenapa?, kok kayaknya gak seneng gitu?, ada yang salah?”, tanya Ferdy

menyelidik.“artinya aku gak punya temen di rumah ini”. Ferdy tertawa mendengar

jawaban polos Willy. Ferdy tahu, adiknya hanya takut berjauhan dengannya, adikkesayangannya yang lebih mirip peniru dirinya untuk banyak hal itu.

“aah jadi itu alasannya, adik gue so sweet ternyata,. Tenang aja kalaukamu kangen kan tinggal main ke Jogja, kalau enggak aku juga bakal sering balikkok. Ayolah, masa harus sedih waktu kakaknya hepi sih?”

“kenapa gak kuliah di Jakarta?”“karena tinggal di satu tempat untuk waktu yang terlalu lama, its kinda

boring”, jawab Ferdy singkat, jawaban yang tak bisa dibantah Willy apapunalasannya. “heyy..jangan murung dong, mau ikutan selebrasi ala Ferdy gak?”,

21 Kebun masyarakat22 durian

Page 61: Salam Hangat Senja

61

lanjut Ferdy, mengacungkan tangannya yang menenteng sekeresek besar yangWilly tak tahu isinya apa.

“Apa?”, tanya Willy memastikan. Ferdy menyeringai lebar, menariktangan adiknya dengan semangat.

Malam itu, di depan televisi, menonton acara random hingga larut, merekamenghabiskan sekeresek duku hingga perut mereka meronta karena kekenyangan.

Selebrasi dengan duku?, hanya orang gila macam Ferdy yang punya idesemacam itu.---

Willy menatap ponselnya yang masih non aktif. Sengaja ia biarkan sepertiitu sejak keberangkatannya ke Ambon. Banyak alasan mengapa ia melakukan itu,tapi satu yang pasti, alasan terbesar yang ia pendam meskipun coba ia abaikan.Alasan itu adalah ketakutannya, ketakutan akan datangnya pesan-pesan lain yangmembuat pertahanan yang selama ini ia bangun susah payah tiba-tiba melemahdan runtuh sekejap. Willy tak mau, bergantung lagi pada Ferdy setelah semuausahanya menghapus bayangan Ferdy dalam kehidupannya.

Bakal sering balik?. Willy benar-benar berharap tak pernah mendengarkebohongan itu dari Ferdy.

“kak di depan berhenti. Kita makan siang di sana saja, kalian harus maunyoba papedanya, sekali-kali ganti menu karbo nya jangan nasi terus”, kata Yena.

“aku sih pas di Bandung masih sering makan, sama ikan kuah kuning,meskipun jelas ikannya gak sesegar di sini. Mama biasanya masak kalau Bapalagi kangen makan papeda, tuh si Willy harus nyobain gimana rasanya” ujar Ale.

“yang penting bukan duku”, gumam Willy pelan nyaris tak terdengar.“kenapa Wil, kamu mau duku?”, tanya Ale.--------Jogja, 2014“Please deh Fer, kita mampir Jogja itu buat balik sama peradaban modern

biar gak kuno-kuno banget meskipun kelamaan di hutan, lah lo malah ngasih idengajak susur pantai Gunung Kidul. Gak bosen apa kemarin kan kita baru ngulik-ngulik pantai di Sumba, sampai memori kamera lo udah kepenuhan. Gue gakmau”, tolak Bimo mentah-mentah atas usulan Ferdy.

“terus ngapain, dengerin Maiyahnya cak Nun?, main ke gembira loka?,apa foto-foto di Tamansari”, pertanyaan Ferdy yang membuat Bimo tergelak, “loemang rada-rada”

“nongkrong di Amplas? Apa numpang makan di Gale?”, tanya Tedi, rekanFerdy yang lain yang juga ikut dalam rombongan mereka kali ini.

“kayak muka kita masih pantes aja jadi anak tongkrong mall, yang ada dideketin sekuriti ntar”, sungut Bimo.

“Alah paling juga ujungnya mampir ke angkringan terus nongkrong di nolkilometer, ngopi dan ngerumpi sampai pagi”, ujar Ferdy, yang seolah bisamembaca isi pikiran Bimo.

“nah lo sih ngerti maunya gue apa, emang deh lo itu soulmate gue bangetFer, lo bahkan lebih ngertiin gue daripada pacar gue sendiri”, kata Bimo denganwajah terharu, yang justru membuat Tedi bergidig ngeri.

“Bim, ngomongnya jangan gitu, gue jadi kayak denger pasangan homolagi saling puji”, tukas Tedi yang praktis membuat Ferdy ikut tertawa.

Page 62: Salam Hangat Senja

62

“haha..gue masih cinta pacar gue kali, tapi bener juga sih, kalau aja Ferdyitu cewek, udah gue jadiin pacar dari dulu”

“udah aku tolak dari dulu juga”, jawab Ferdy kalem.“sudah-sudah, kalian saja yang pergi, bapak ndak ikut, ada perlu”, kata

Pak Daud menghentikan ocehan mereka.“Eh Yo, lo laper apa doyan, ngemil duku gak berhenti-berhenti.

Kebanyakan makan duku bikin sakit perut lho ntar, apalagi lo belum makankan?”, tegur Bimo pada Yoyo, rekan mereka yang dari tadi sibuk mengisimulutnya dengan buah duku hingga ia nyaris tak bersuara.

“abis enak”, jawabnya santai.Ferdy tersenyum memperhatikan tumpukan kulit duku yang teronggok di

piring hingga tercecer ke meja saking telah menggunungnya sampah kulit dukudisana.

Ingatan Ferdy pergi ke sana, ke sofa di depan televisi yang ada dirumahnya, dua anak yang kekenyangan menghabiskan duku sekeresek besarhingga perut mereka melilit, dan menertawakan kebodohan mereka sendiri.Betapa Ferdy merindukan anak itu, anak yang duduk di sebelahnya, yang ia paksamenikmati selebrasi bodoh karena kepindahannya ke Jogja, juga status barunyasebagai mahasiswa. Wil, kapan kita bisa makan bareng sampai kekenyangankayak dulu?.

Malam itu, empat orang dengan waktu yang sangat senggangmenghabiskan detik mereka menikmati suasana malam Jogja di nol kilometer,suasana yang tetap sama seperti tahun-tahun lalu, meski makin tahun Jogja makinpadat oleh orang-orang yang melakukan pencarian, hingga melabuhkan jejak-jejak kaki mereka di kota ini. Ada yang sekejap mata, ada yang tertahan lama,mereka semua selalu punya satu kesamaan, ikatan kenangan.

“Jogja makin rame ya”, sahut Bimo, dibarengi dengan anggukan Tedi danYoyo tanda sepakat.

“Fer, are you okay?”,Ferdy menoleh, mengalihkan perhatiannya yang sedari tadi terjutu ke

jalan, mengamati kendaraan yang berseliweran, atau orang-orang yang masihberlalu lalang menapaki trotoar, ‘’aku gak apa-apa, kenapa?”, Ferdy balikbertanya.

“well, elo kelihatan bengong dari tadi, ngelamunin apaan sih, adek lo?”,tanya Bimo kemudian.

“Willy lagi liburan, ngapain juga di pikirin. Aku cuma ngamatin orang-orang aja”.

“nah cuci mata gitu dong, jangan Menuhin lensa sama langit, laut, lanskap,sunset dan konco-konconya. Cewek itu juga objek yang paling keren kalau udahdibidik lensa”, timpal Tedi.

“Tuh bule-bule cantik juga banyak yang masih jalan-jalan sama ranselnya,hidup menggelandang kayak kita, nikmatin kesenangan hidup dengan cara yangbeda. Jadi gelandangan gaul ternyata emang gak mandang ras”, timpal Yoyo.

“hahaa..dasar gila”, timpal Ferdy.Malam itu, hingga larut terlarut dalam detik, obrolan mereka saling

menimpal tanpa henti. Membahas cerita apapun yang bisa menghangatkansuasana hati. Di pusat Jogja yang nyaris tak pernah mati, mereka berbagi hati.

Page 63: Salam Hangat Senja

63

Bukankah itu cara terbaik menikmati sepi? Bukan dengan menyepi sendiri, tapidengan saling mengumpat dengan skor seri.

Ferdy, sudut keramaian Jogja, dan kenangannya yang muncul sesaat. Iamengambil ponselnya, mengetik sebuah pesan pendek.

[aku kangen].Biar gelombang-gelombang tak tampak mata itu yang menyampaikan

pesannya.---------Ketika tante Ivo dan suaminya pergi pagi tadi, Edith harusnya tahu kalau

bukan ketenangan rumah ini yang akan dia dapatkan, tapi keributan yang makinmenjadi-jadi karena ulah bocah tengil yang satu itu. Merusak rencana meditasiEdith menikmati keheningan agar otaknya kembali waras, dan satu-satunya orangyang harus di salahkan adalah mbak Sari, kakak angkatnya yang sudahmenjerumuskan dia hingga Edith harus berhadapan dengan anak seperti Marco.

“halooo krucil, gimana pagi pertama liburannya, Asik?”, tanya mbak Sari,segera setelah mendengar suara Edith yang menggerutu.

“asik apanya, yang ada dari semalam aku digangguin mulu sama adekangkatmu itu”, jawab Edith, merujuk kepada satu nama yang jadi topikpembicaraannya. Siapa lagi kalau bukan Marco.

“haha… maklumin aja, itu anak sejak aku cerita soal kamu yang mau akutitipin di rumahnya udah girang banget. Seneng kali dia liburan gak kesepian,soalnya rencananya sih harusnya Marco ke Jakarta nemuin abangnya, tapiabangnya malah lagi tugas lapangan ke Riau, terpaksa deh rencananya gagaljalan”, jelas Mbak Sari.

“ia tapi kenapa aku yang jadi korban, ngomong mulu udah kayak aku inisohibnya aja. Tahu sendiri kan mbak aku orangnya gimana, rasanya annoyingbanget”, Edith protes keras, komplain soal ketidaknyamanannya menghadapibocah seperti Marco.

“anggap aja adik sendiri, don’t you know, he’ll be a good friend for you,kalian sebenernya klop kok, coba lebih have fun aja nikmatin liburannya”, saranmbak Sari yang jelas di tolak opininya oleh Edith. Marco sama sekali akan sulituntuk bisa diterima orang seperti Edith.

“adik?, ogah banget deh punya adik cowok cerewet macam dia, kapanbalik sih?”

“gak tahu deh, acara di Manado agak lama kayaknya, apa daya aku kancuma ikut suami, ntar kamu juga ngerasain sendiri deh kalau udah punya laki”,goda mbak Sari.

“yee ngaco, udah dulu, tuh si bocah bawel ngetuk-ngetuk pintu, daaah.”,kata Edith menutup teleponnya setelah mendengar balasan sapa dari mbak Sari.

Edith berjalan menuju pintu kamarnya, membuka pintu itu dengan malas.Tepat dihadapannya tampak Marco dengan kaos dan celana pendeknya, juga gayarapinya menyapa dengan smiley face, yang mengurungkan niat Edith untukmengomel.

“Apa lagi?”, tanya Edith.“siap-siap ya, lima menit lagi saya ketuk pintu harus sudah siap pergi”“hah?, ngapain?”“hangout lah, gak mau ngejamur di rumah kan kak?”, jawab Marco sambil

melengos pergi, meninggalkan Edith yang masih terbengong mencerna apa yang

Page 64: Salam Hangat Senja

64

barusan dikatakan Marco. Marco berbalik, tertawa melihat ekspresi wajah Edithyang mirip filsuf buntu inspirasi.

“hey..kak, malah bengong, saya tunggu di teras depan”.----

Edith keluar dengan kaos polos dan celana training parasut yang ia lipathingga tiga perempat betis, dengan sepatu olahraga putih berplat biru langitkesayangannya juga totebag putih bahan kanvas yang warnanya mulaimenguning. Rambutnya ia kuncir kuda, dengan poni yang menutupi sebagiankeningnya. Marco tersenyum melihat Edith.

“kenapa?”, tanya Edith sangsi, memikirkan tidak ada yang salah denganpakaian yang ia kenakan menjelang siang itu.

“balik kamar sana, saya gak mau wisatawan saya masuk angin gara-garagak pake jaket, kita pergi pakai motor kak”, jawabnya kemudian. Edithmenggeram kesal, meski akhirnya ia menuruti perintah bocah tengil itu.

“gak ada komplain apa-apa lagi kan?”, tanya Edith memastikan.“masih gak nyangka kalau nona manis ini seorang guru, Fisika pula”,

gumam Marco pelan.“apa?”“oh enggak kak, nih helmnya, jangan jadi penumpang yang rese ya”, kata

Marco sambil memberikan helm pada Edith. “kita sebenernya mau kemana?”,tanya Edith kemudian.

“baronda23”, jawab Marco singkat.“hei, saya gak lagi becanda bocah”, omel Edith.“pokoknya kita jalan saja, wisata kuliner sepuasnya”. Great planning!.Edith tak banyak bicara ketika Marco memboncengnya, membawanya

tanpa Edith tahu kemana tepatnya ia akan pergi. Edith pasrah saja, sepertinya iamemang harus mengikuti saran mbak Sari untuk mencoba berdamai denganMarco, dan melihat bagaimana kelanjutannya. Apakah mereka berdua bisa jadipartner wisatawan dan tour guide yang baik atau justru sebaliknya. Biar waktuyang membantunya mengambil konklusi.

“here we go, tempat pertama yang kita kunjungi buat isi perut”, kataMarco percaya diri.

Edith berdiri di depan sebuah café atau restoran, atau tempat makan yangpunya view lanskap lumayan memanjakan mata, berada di ketinggian yangmembuatnya bisa melihat laut dengan leluasa.

“itu laut apa?”, tanya Edith menunjuk ke area luas dengan hamparan airberwarna biru segar.

“teluk Ambon, nanti deh kalau kak Edith mau ke pantai lihat sunset sayatemani, real deal is real deal, saya masih ingat. Yuk masuk”, jawab Marco. Lalumengajak Edith masuk ke dalam warung makan itu.

“disini tempatnya sih biasa, tapi papedanya istimewa, saya pesan ikankakap kuah asam, kak Edith kuah kuning saja”, pesan Marco tanpa bertanya padaEdith.

“minum?”“es kelapa gak usah pake gula”, jawab Edith.“gak mau jus pala?”

23 Jalan-jalan tanpa tujuan

Page 65: Salam Hangat Senja

65

“gak sekalian jus cengkih?”, timpal Edith, membuat Marco tertawa.“es kelapa satu, lemon tea satu”, ujar Marco melengkapi pesanannya.Setelah menunggu beberapa lama, begitu pesanan mereka datang, Marco

dengan sigap mulai unjuk kebolehannya, mengajari Edith seperti ia mengajaribocah kecil yang baru belajar makan mie dengan sumpit.

Makanan dari tepung sagu yang bentuknya mirip lem kertas, meskipunEdith pernah melihatnya di televisi, tapi ia tak pernah memakannya secaralangsung. Edith mengambil sendok, menyendokkan papeda ke mulutnya, lidahnyamengecap rasa tawar, dengan sedikit hint asin di sana.

“Oh jadi begini rasanya”, gumam Edith.“ yah kak Edith, begini cara makan papeda yang asik” kata Marco

membuka penjelasannya.Marco lalu memilin papeda yang ada di piring itu, memilin papedanya

dengan dua buah sumpit kayu yang tersedia di sana, dan dengan segeramemindahkan papeda yang sudah ia pilin itu ke mangkuk kecil yang sudah diberikuah kuning atau kuah asam sebagai teman santapnya agar tidak lengket. Marcolalu menyeruput papedanya tanpa terputus.

“gitu cara makan yang asik, kak Edith harus coba”, pinta Marco. Karenapenasaran, Edith akhirnya mencoba saran Marco, menikmati papeda dengan kuahyang harus diakui rasanya sangat enak. Edith yang sangat menyukai ikan tak bisamenutupi betapa senangnya ia mencicipi sup ikan seenak ini.

“Enak ternyata”, komentar Edith, membuat Marco tersenyum senang.“saya tidak mungkin bohong kak”, jawab Marco menyombongkan diri. Ia

mengambil kertas, lalu menuliskan beberapa daftar, entah apa maksudnya. “ini dialist wisata kuliner kita hari ini, mau pilih mana dulu?”, tanya Marco kemudian.

Edith menggelengkan kepalanya, isi otaknya masih cukup waras untukmenghitung berapa banyak pengeluaran yang harus ia habiskan hanya untuk isiperut seharian ini, “bocah, saya ini bukan ATM berjalan yang menghabiskan hartakarun saya untuk makan seharian”, jawab Edith tegas.

Marco tersenyum, “sesuai dengan prediksi kak Sari, tenang saja, ini hadiahdari kak Sari karena gak bisa nemenin kak Edith. Masalah finansial sudah ada disini solusinya”, Marco mengacungkan kartu ATMnya dengan bangga dan seringaiyang membuat Edith ingin mengacak-acak kepalanya saat ini juga sakinggemasnya.

“waw”, Edith takjub dengan kejutan yang diberikan mbak Sari untuknya.“dan, jangan panggil saya bocah, memangnya saya ini anak kecil”, protes

Marco tidak terima.“Jadi?, berburu buah?, rujak?, ngopi?, atau apa?”“gimana kalau kita nongkrong sebentar di sekita monumen yang tadi kita

lewati, biar lambung bekerja dulu sebelum kita isi lagi, ngadem sambil sayanunggu dzuhur”, tawar Edith.

“monumen Martha Christina Tiahahu24?, hmm.. boleh, daerah KarangPanjang memang biasa jadi tempat menikmati kota Ambon, meskipun lebih baguskalau malam hari”, kata Marco.

“setidaknya siang hari saya bisa menghirup udara lepas, menikmati lautBanda kan”, tukas Edith, membuat Marco mengangguk setuju.

24 Pahlawan Kemerdekaan Nasional asal Maluku

Page 66: Salam Hangat Senja

66

“yuk”Edith meninggalkan tempat itu,tempat kali pertama ia menikmati papeda

dengan cara yang diajarkan Marco, rasa kuah ikan itu masih mengecap jelas dilidah Edith.

Paket wisata gratis Edith hari ini sepertinya tak terlalu buruk sepertidugaannya.

-----------Krucil?.Willy menaikkan sebelah alisnya tanda heran mendengar seseorang

menyebut kata krucil. Setahunya, panggilan itu adalah panggilan masa kecilnya,nickname pemberian Ferdy yang sampai sekarang masih melekat di otaknya,hanya ia dan Ferdy yang tahu. Seperti sandi rahasia yang hanya di ucapkan ketikamereka menikmati waktu duduk di atap, atau ketika mereka saling bertukar pesanlewat telepon. Ferdy akan memanggilnya krucil, dan Willy akan memanggil Ferdykamper. Entah siapa yang memulai, yang jelas kedua nama panggilan aneh itumelekat erat di lidahnya masing-masing.

Sekarang, di tempat asing ini ada seseorang yang menyebut nama krucildengan kencang. Mau tak mau Willy ikut menoleh, menyimak pembicaraan Yenadan Ale di tengah santap siang mereka.

“krucil?”, tanya Willy memastikan.Yena mengangguk, “ia, dia tinggal di rumahnya tante Ivo, katanya masih

kerabatnya temannya tante Ivo. Tidak ketemu kah di pesawat?, sepertinya kaliansatu penerbangan.”, Yena balik bertanya.

Baik Ale ataupun Willy sama-sama menggelengkan kepalanya, tanpa diberi tahu pun keduanya tak punya minat untuk mengenal orang yang baru saja dibicarakan oleh Yena itu.

Memangnya siapa dia?, Mereka hanya punya satu kesamaan, sama-samasedang berada di Ambon, menikmati liburan jauh dari rumah mereka. Tapiperasaan Willy berkata lain, ada sepercik rasa penasaran akan nama itu, dankenapa ia harus punya panggilan yang sama dengan Willy. Apakah itu hanyakebetulan atau memang sebuah kesengajaan.

“namanya krucil?”, Willy kembali menekankan pertanyaannya.“kamu kenapa Wil, penasaran banget?”, Ale tak bisa menutupi rasa

herannya, melihat Willy yang biasanya tak terlalu peduli, ternyata menunjukkanminatnya yang lebih dari biasanya.

“tidak, itu panggilan saja, namanya nona Edith. Kata teman saya, Marco,nona itu cantik, senang melihatnya kalau tersenyum, tapi dia tak banyak bicara”,tutur Yena bercerita.

“anak cewek?, jangan-jangan kembarannya Willy”, tanya Ale kemudian,membuat Yena seketika merengut tanda tak suka.

“masih lama anaknya di sini?”, tanya Willy lagi.“belum tahu. Hanya saja Marco kemarin itu tanya bagaimana kalau kita

wisata ramai-ramai, jadi lebih seru. Saya janji pada Marco nanti saya kenalkankak Willy biar banyak temannya. Kak Ale sih tidak usah ikut-ikutan”, jawab Yenayang disambut protes keras dari Ale.

“yeee, gak bisa begitu dong”, tukas Ale.“ah, kak Ale ini, dengar dia perempuan saja jadi tertarik. Kalian tidak

keberatan kan? ”, gerutu Yena.

Page 67: Salam Hangat Senja

67

Willy hanya menyunggingkan senyum melihat Yena dan Ale yang makinakrab. “krucil”, otaknya melafalkan nama itu lirih, “krucil kedua?, seperti apakamu?, berapa banyak krucil di dunia ini yang bisa kutemui?” gumam Willydalam hati.

We’ll meet soon.--------

8. Mendekat Lewat Kata“So?”“berhenti membuat pertanyaan menggantung seperti itu”, komentar Edith.

Matanya memandang pada patung yang berdiri menjulang menghadap laut Banda.Ia menutup matanya sebentar, hembusan angin melontarkan debu-debu halus yangmemaksa matanya memproduksi lelehan air yang mampu menghilangkanperihnya. “Ia hebat ya”, ujar Edith, menunjuk patung monumen yang sejak taditak lepas dari tangkapan matanya.

“usianya baru tujuh belas tahun ketika ia meninggal, tapi keberaniannyamengerikan. Ia terjun langsung di medan perang Pattimura, disaat remaja puteriyang lain masih ketakuta mendengar bunyi senapan. Saya yang umur delapanbelas tahun begini belum bisa apa-apa”, jawab Marco, ikut mengamati patung itudari kejauhan lekat-lekat.

“jangan becanda, saya yang nyaris dua puluh lima, bahkan belum punyakeberanian secuilpun untuk mengambil keputusan sesuai yang saya mau”.

Marco tertawa, “apanya yang lucu?”, tanya Edith seketika.“hmm…kadang saya rasa ngobrol sama kamu itu seolah kita ini

seumuran”, jawab Marco.“kita itu baru ketemu dua hari, bocah?. dan sejak kapan guru dan siswa

bisa sebaya?”, giliran Edith yang menebarkan tawanya.“by the way entah ini mitos atau nyata, katanya waktu proses

peletakkannya, patung itu susah untuk seimbang. Ia baru bisa seimbang ketikamenghadap laut Banda, tempat jenazahya dulu di luncurkan ke laut. Saya gaktahu, apakah itu ada benang merahnya atau tidak, tapi begitulah menurut orang-orang di sini”, tutur Marco.

“saya suka, daripada ia memadang kota, yang semakin hari semakin padatbangunan, biar ia bisa memandang laut. Laut selalu sama, hamparan air yangbertemu dengan hamparan air lainnya, tak bersekat, tak berbatas, bahkan ketikamereka menginjak pantai, gelombang itu kembali ke tengah, tak pernah menepilama”, timpal Edith, tanpa sadar Marco memperhatikannya sambil tersenyum.

“waw”“kenapa?”“nothing”, jawab Marco. Keduanya terdiam, sibuk dengan isi pikiran

masing-masing.“bisa tidak caca berhenti memanggil saya bocah?, saya bahkan lebih

besar dari kamu lho”, kata Marco.“baiklah, tapi berhenti juga manggil saya kamu-kamu seenaknya, I’m

pretty much older than you tahu nggak”, tukas Edith.“tua saja bangga”, cibir Marco yang membuat Edith akhirnya tertawa

mendengar gerutuannya. Sejak kapan menjadi tua adalah hal yang patut direspontawa bahagia.

Page 68: Salam Hangat Senja

68

“Eh, tahu tidak, seumur hidup saya tinggal di sini, baru pertama kalinyasaya memperhatikan patung monumen itu dalam waktu yang lama, lagian sejakkapan monumen dijadikan topik pembicaraan?”, komentar Marco.

“sejak kamu ketemu saya”, jawab Edith santai.“ kakak lebih ajaib dari yang saya duga”“makanya jangan berspekulasi tanpa informasi yang jelas, kebanyakan

mereka yang seperti itu akan jatuh tanpa persiapan. Yuk, kayaknya list tempatyang harus kita datangi masih banyak”.

Edith mengajak Marco meninggalkan tempat mereka menghabiskan waktumenghindari panas matahari yang teriknya menusuk, mengakhiri sebaris obrolansantai dengan pilihan tema acak.----

“mampir toko oleh-oleh dulu ya”, pinta Edith ketika sebenarnya Marcopunya niatan untuk mengajak Edith menikmati durian yang di jual di sepanjangjalan Batumeja.

“sekarang?”, tanya Marco tak yakin.Marco menggelengkan kepalanya tanda tidak percaya ketika akhirnya

Edith memutuskan menghabiskan waktunya hari ini untuk membeli oleh-oleh.Sedikit kontradiktif memang, untuk seorang yang simpel semacam Edith ternyatasama saja seperti perempuan kebanyakan, hobi belanja. Tapi tetap saja bukanseseuatu yang umum, bukankah biasanya membeli oleh-oleh adalah agendaterakhir yang menutup perjalanan wisata seseorang?.

“hmm…bisa kan?”“tentu”, jawab Marco. Motor itu melesat melarikan dirinya ke

persimpangan jalan lainnya, lalu berhenti di depan sebuah kios di pusat penjualansouvenir yang berderet sepanjang jalan itu hingga ke ujung.

“as you wish, silakan berbelanja”.Edith melangkah masuk ke salah satu toko souvenir itu diiringi Marco

yang mengekornya dari belakang. Matanya melihat ke sekeliling hingga, langkahkakinya berjalan menuju salah satu deretan rak yang dipenuhi botol-botol kacaberbagai ukuran. Edith lalu mengambil beberapa botol yang ia perlukan, beberapabotol ukuran sedang dan dua botol ukuran kecil.

“yuk udah”, kata Edith kemudian.“sudah?, minyak kayu putih dan minyak cengkeh?, hanya itu?, tidak beli

yang lain?”, tanya Marco beruntun, yang membuat Edith menaikkan alisnya.“oh, kamu belum tahu ya, saya ini kan ngabur, kalau Mamah sama Bapak

saya tahu saya liburan ke Ambon, bisa kena cincang say”, jawab Edith meresponpertanyaan Marco.

“dan gimana caranya kak Edith bisa ngabur gak ketahuan? ““Sebenarnya saya punya partner in crime, Elma, kakak saya. Saya bilang

saya mau liburan di rumahnya di Surabaya. So nanti, saya beli oleh-olehnya dariSurabaya saja”, jelas Edith.

“kak Sari tahu?”“nope, ini bagian dari Edith big plan”“waaa…”Edith mengatupkan paksa mulut Marco yang dari tadi menganga dengan

tangannya. “jangan pasang tampang imbisil begitu”.---------

Page 69: Salam Hangat Senja

69

Edith kalap!.Hari itu Marco akui ia melihat terlalu banyak kejutan yang tersembunyi

dari seorang Edith, nona manis yang menganggap bentang umur atara keduanyaitu sebagai sesuatu yang sangat penting. Tapi bagaimanapun Marco berusahamenganggapnya sebagai kakak, seperti ia melihat kak Sari, usahanya menemuikebuntuan, semakin banyak mereka mengobrol semakin Marco merasa nyaman.

Kak Edith, nona itu bahkan tak berusaha tampir muda, atau bertingkahseperti anak abg yang menarik perhatian. Dia bahkan jarang bicara, meski Marcoberusaha untuk memancing pembicaraan panjang yang menyenangkan. AwalnyaMarco hanya berusaha bersikap ramah, tapi setelah ini semua, setelah jam-jamyang ia habiskan untuk pembicaraan random mereka, ia yang malah jadiketagihan, seperti adiksi yang sulit ia tolak keinginannya untuk berbagipembicaraan menggelinding, membesar seperti efek bola salju.

Ya, benar Edith tengah kalap!, dan penyebabnya sangat-sangat sederhana,durian.

“gila, durennya enak banget”, kata Edith dengan tangan belepotan,memegang daging buah durian yang entah ke berapa.

“segitu sukanya sama durian?, saya biasa aja”, tanggap Marco. Edithmenghentikan upacara makannya sesaat, menelan duriannya yang masih tersisa dimulutnya, “karena di sini melimpah, dan harganya murah. Hanya orang bodohyang bilang gak suka durian”, timpal Edith.

“Tapi, kebanyakan orang asing, bahkan orang kita sendiri banyak gak sukakarena bau mereka yang menyengat. Suka sama gak suka itu preferensi masing-masing, masa mau dibilang bodoh semua. Lagian, please jangan makankebanyakan, nanti kamu pusing lho”, saran Marco setengah khawatir.

“hey, lupa sama yang barusan kita bicarain?, by the way, thanks udahngajak saya nikmatin hari ini dengan menyenangkan”

“my pleasure, anggap aja saya sebagai tour guide yang baik”, jawabMarco, menerima dengan senang hati pujian yang di lontarkan Edith.

“kayaknya saya sudah cukup kenyang”, kata Edith, menghentikan kegiatanmakannnya.

“kayaknya kepala kakak mulai pusing, saya gak nyangka kak Edith bisakalap juga”, komentar Marco, membuat Edith tersenyum setengah malu.

“kayaknya kita terlalu banyak makan waktu di sini”“masih mau nikmatin senja di pantai?”,“kita balik aja”, pinta Edith.“yakin?”“ada tempat yang lebih nyaman buat orang mabuk duren selain rumah?”,

jawab Edith sambil tersenyum.Marco menggelengkan kepalanya, dan nyaris tak bisa menahan tawanya

ketika Edith mengambil satu botol minyak kayu putih ukuran kecil yang siang tadiia beli. Mengusapkan minyak beraroma itu ke telapak tangan, pelipis jugalehernya.

“wah, ternyata memang lebih hangat dari yang biasa saya pakai”,komentar Edith yang akhirnya membuat Marco meledakkan tawanya.

“kayaknya kita memang harus pulang, sebelum saya sakit perut gara-garakebanyakan ketawa”, ujarnya singkat dengan derai tawa yang belum hilang.

Page 70: Salam Hangat Senja

70

Motor itu kembali melesat menyusuri jalan sore itu, menuju awalkeberangkatan mereka, sebuah rumah dengan satu pohon cengkeh besar yangmenjulang di pekarangannya.------

Lihat sunset di pantai?Willy tak pernah suka ide ini, dimanapun, bahkan dengan pantai sebagus

apapun. Ia tak menampik jika ia menyukai laut lebih dari apapun yang ada dibumi ini, tapi sunset?. Sunset banginya adalah jenis pemandangan paling kelamdan menyedihkan. Kali ini, ide Yena sama sekali bukan pilihannya.

“Aku tunggu di mobil aja, kalian berdua aja yang jalan-jalan di pantai”,kata Willy begitu mendengar saran Yena.

“kamu kenapa, gak sakit kan?”, tanya Ale heran.“enggak lah, aku cuma lagi males jalan, udah gih sana. Kepalang udah

nyampe ke sini”“benar tidak apa-apa kami tinggal?”, tanya Yena meyakinkan.“iya, gak papa”.Begitu keduanya berlalu meninggalkan Willy sendirian di mobil. Willy

segera menutup matanya, memalingkan badannya berlawanan dengan arahmatahari terbenam, menerawang deretan kendaraan yang berbaris rapi di parkiran.Ia tak berniat sedikitpun memandang senja sore itu, sama sekali.---

“kak Ale, kak Willy kenapa?”, tanya Yena.Ale menggeleng, ia bahkan tak tahu apa yang sedang dipikirkan anak itu.

Meskipun mereka dekat, ada batasan-batasan yang tak tampak yang seolahmemisahkan satu sisi dalam hidup Willy yang tak bisa tersentuh siapapun. Aletahu itu karena justru ia mengenal dekat siapa Willy.

“udah biarin aja, kalau moodnya lagi gak bagus emang gitu. Nanti jugabalik normal lagi”

“biasa seperti itu?”“ya, kadang-kadang”, jawab Ale singkat.Keduanya berjalan menyusuri sisi pantai tanpa alas kaki, begitu cara

paling tepat menikmati sunset. Pantai itu sama sekali tak sepi, cenderung ramaimalah, dipenuhi oleh orang-orang yang punya niatan sama, menikmati panorama.Klise memang alasannya, tapi begitulah manusia, adiksi mereka soal menikmatiwaktunya tak pernah bisa menemui ujungnya.

Tapi seperti sebuah anomali, orang yang menghabiskan waktunya dipantai, seperti punya ruangnya masing-masing tanpa terganggu yang lain. Takpeduli berapa banyak yang menjejakkan kakinya disepanjang garis pantai, atauorang asing yang duduk di sebelahnya, tak ada yang merasa terganggu. Pantai itu,seperti milik setiap orang yang ada di sana, tanpa terkecuali. Entah itu pengaruhhamparan pasir yang tak terhitung, atau kubangan air laut yang tak berujung,sejauh mata memandang selalu sama yang nampak. Pantai, tempat terbaik dimanalangit dan bumi bisa membuat satu garis, tempat muncul dan tenggelam, tempatmengawali dan mengakhiri hari. Sebuah garis lurus yang membatasi keterpaduanmeski hanya imajiner.

Di dunia ini, tak ada dua hal yang benar-benar terpadu, meski kelihatannyamereka menjadi satu. Selalu ada celah meski mata telanjang manusia tak bisa

Page 71: Salam Hangat Senja

71

menyadarinya. Matahari senja itu, mengingatkan Ale, pada matahari lainnya, yangjauh disana.

Ale mengambil ponselnya, membidik potret sore itu yang sayang ialewatkan, ada orang lain yang harus ia bagi keindahannya, meski Ale tak tahu, iamasih peduli atau tidak. Senang atau meresponnya dengan biasa saja, toh gambarseperti itu sangat banyak di dunia maya, terlalu banyak malah.

“mau aku fotoin?”, tanya Yena, menawarkan bantuannya.Ale menggeleng pelan, menolak tawaran Yena, “oh gak usah, hahaha…

aku cuma nyimpen buat kenang-kenangan kok, mumpung bisa kesini”, jawab Ale.Keduanya duduk di atas pasir, di area yang tak terlalu ramai, membiarkan

angin laut sore itu menerpa wajah, memberi tamparan kecil untuk tetap tersadarbahwa semakin mereka ingin pergi dari sana, semakin tertahan mereka di sana.Itulah magisnya pantai, pemandangannya yang tanpa batas, membuat luapan hatisiapapun yang melihatnya ikut tergerak, meski mulut-mulut itu mengatup diam.

“inget obrolan Om di rumah sakit?”, tanya Yena memecah hening yangtercipta sejak tadi.

“yang mereka bilang, dulu pas kecil kita sering berantem?, aku seringjahilin kamu?”, Ale balik bertanya. “iya, aku aja gak inget. Mereka malah ketawa-ketawa ngolok-ngolok kita”.

“apalagi aku”, jawab Yena, tersenyum simpul. “dan tiba-tiba kita ketemuudah segede ini, padahal masih sama-sama di Indonesia, tapi harus nunggubelasan tahun buat tatap muka”.

“hahaha…lucu ya, kamu harus ketemu sama Gem, adik aku. Kayaknyakalian bisa jadi teman yang akrab”, balas Ale.

“Oma sering cerita soal kalian berdua kok, ya lucu sih. Kadang aku pikir,Oma itu jadi beneran Oma aku, saking seringnya kita ngobrol”

“dan cucunya malah ada di bumi antah berantah”, timpal Ale denganwajah prihatin. “yuk ah, udah mau gelap, kasihan si Willy kelamaan nunggu”,ajak Ale, meninggalkan pantai yang langitnya mulai menggelap. Desau angin,meniupkan udara dinginnya ditengah remang bias cahaya matahari yangtergantikan lampu-lampu yang berjejer di depan gubuk-gubuk kecil penjualmakanan dan minuman.

“gak mati gara-gara kelamaan nunggu kan?”, tanya Ale. Willy, membukajaket yang menutup wajahnya, lalu tertawa.

“lumayan tidur pulas, padahal kalau Ferdy tahu, bisa kena omel. Yangkatanya bikin pikun lah apa lah kalau tidur mau maghrib”, jawab Willy.

“kak Ferdy jago ngomel ya, sesekali lupa ingatan gak papa kok, asaljangan lupa sama yang namanya Ale”, jawab Ale santai.

Mobil itu perlahan meninggalkan pelataran parkir yang berpasir,menembus keheningan senja kala itu, keheningan yang tiba-tiba melingkupi hatiWilly secara tiba-tiba. Kenapa nama itu harus ia lontarkan, kenapa tanpa sadar iamembicarakannya?, Bukankah sudah lama Willy, membuang nama itu dari setiapobrolannya, lalu kenapa kali ini lidahnya mengambil alih kesadarannya?. Willytak paham, dan semakin ia mencerna, semakin sulit ia menemukan pemahamanatas apa yang baru saja terjadi.

“Le, kita langsung balik kan?”, tanya Willy pada Ale.“mampir pom bensin dulu, sekalian kalau ada musholanya, kamu shalat

dulu”, jawab Ale.

Page 72: Salam Hangat Senja

72

Willy tak membalas jawaban Ale, pikirannya tertuju pada hal lain, padahal yang berusaha ia mengerti.

------Yena tak bisa menyembunyikan senyumnya sepanjang sore itu, meski ia

akhirnya bersyukur kegugupannya ternyata tak diperhatikan laki-laki itu. AndaiAle tahu betapa senangnya Yena, menghabiskan sore itu berdua dengannya.Mungkin wajah Yena sudah jauh lebih buruk dibanding warna kepiting rebus.Andai Ale tahu kalau Yena menyukainya, sangat-sangat menyukainya.

Mereka bertemu kemarin lusa, bicara panjang lebar pun belum, tapi itusudah lebih dari cukup untuk membuat detak jantung Yena melompat-lompat takberaturan mirip anak kanguru.

Cinta memang aneh, Yena sebelumnya tak pernah berpikir akan jatuhcinta lewat cara yang tidak biasa, ini semua karena Omanya, Oma tetanggarumahnya yang sudah ia sayangi seperti Omanya sendiri, bahkan lebih. Yena takpernah mengenal Omanya, kakek neneknya sudah meninggal sejak ia kecil.

Sekali lagi, cinta memang aneh, atau manusianya yang aneh dalammemainkan hatinya. Membuat hati mereka jatuh dengan cara yang tak biasa. Yenasudah jatuh cinta bertahun-tahun lalu lewat cerita. Cerita orang itu yangdidongengkan Oma, cerita saat Oma merindukannya, atau cerita bagaimanasenangnya Oma jika mendengar suaranya. Yena terhanyut dalam lingkaran aruskebahagiaan mereka, dan tanpa sadar, setiap potongan cerita-cerita itu justruperlahan menghangatkan hatinya. Tanpa sadar, ia menggumamkan doa kepadaTuhan, agar bisa bertatap mata langsung dengannya, dengan tokoh utama ceritayang memenuhi isi pikirannya.

Aledrian Miru, cucu Omanya, Oma yang dipinjam Yena sementara waktuitu sukses menjungkir balikan hati Yena ketika pertama kali mereka bertemu dibandara. Kegugupan itu kentara, meski sudah sering Yena melihat wajah itu. Tapiwajah yang nyata ternyata seribu kali lebih cepat membuatnya tak berkutik,seperti lesatan anak panah yang tepat sasaran, letupan itu bergejolak menusuk hatiYena, ia tertawan disana, melemahkan kesadarannya karena buncahan asmara.

Setelah dua hari yang terasa lama tapi juga berjalan begitu cepat denganAle yang nyata mengisi hari-harinya. Yena seperti hidup dalam trampolin yangmengayunnya tinggi ke langit, tapi terhempas lagi ke dasar, begitu terus-menerus,membuatnya sulit untuk merasa tenang. Adu mulutnya dengan Ale seperti halyang dibencinya tapi juga dirindukannya. Sebegitu menyiksanya kah jatuh cinta?.Pengalaman cinta monyetnya ternyata sama sekali tak membantu.

Sebut Yena kejam, tapi sore itu hatinya bersorak penuh ketika Willymemutuskan untuk tinggal di mobil, tak berniat menikmati indahnya sunset dipantai, memberikan waktu untuk Yena dan Ale berdua tanpa ia minta.Kesempatan yang membuat hatinya membuncah, tapi menghadapi kegugupanyang luar biasa. Berdua menyusuri pantai, tanpa banyak kata-kata. Ale, laki-lakiitu bahkan dalam diamnya pun mempesona. Ia tak sedang melamun, jelas iasedang berpikir, dan andai saja Yena punya kemampuan membaca pikirannya,Yena akan meloncat membaur kedalam sel-sel syaraf yang ada di otaknya. Yenaterlalu ingin membaca Ale, memahami ketelanjangan isi pikiran Ale tanpa iaharus bersusah payah menebak-nebak.

Berjalan di sepanjang pantai, ditengah keramaian menenteng sandal,obrolan-obrolan lucu mereka, saat Ale mengambil foto panorama sore itu, dan

Page 73: Salam Hangat Senja

73

saat mereka meninggalkan pantai begitu membekas di hati Yena. Yena sengajamelambatkan langkahnya, menuruti kata hatinya untuk bisa sepuasnyamemandang punggung itu, hatinya bergumam lirih, “Tuhan, terima kasihmengirimkan sore yang begitu indah untukku”.

Hingga laki-laki yang punggungnya sedang ia beri senyum itu menoleh,“ayo”, menunggu Yena menyejajarkan langkah kakinya. Keduanya beriringanberjalan menuju parkiran, bersiap meninggalkan senja terindah yang tertangkapkenangan Yena. Ia tak akan pernah lupa sore itu, sore tanpa banyak kata, yangmenghangatkan perasaannya.

--------------Marco duduk di samping Edith yang masih duduk manis di pelataran

rumahnya. Ia suka mengamati Edith yang sedang termenung, sorot matanya takpernah menerawang, dalam diamnya, Edith selalu memandang satu objek pastiyang memfokuskan pikirannya. Orang ajaib itu bahkan berpikir dalamlamunannya.

“hei kak, masih pusing?”, tanya Marco.Edith menggelengkan kepalanya, “saya gak sepayah itu kok”, jawabnya

singkat.“maaf ya, jadi gagal deh lihat sore di pantai?, padahal saya sudah janji

mau ngajak kakak lihat sunset yang bagus”, kata Marco dengan nada kecewa.“siapa bilang kita gagal?, saya lagi lihat sunset sekarang, bagus banget

malah. Kamu gak lihat matahari sore yang masuk lewat celah-celah pohoncengkeh besar ini?, Daunnya berubah jadi helaian yang berkilau, lalu cahaya yangberkelit melewati dahan-dahannya sampai di sini, di tempat saya duduk. Sayamasih bisa lihat langitnya yang kena semburat jingga, dan gumpalan awan yangseperti disorot cahaya. Sejak awal saya datang ke rumah ini, bayangan ini gaklepas dari imajinasi saya, dan ternyata mata saya menangkap gambaran yang lebihbagus dari apa yang saya bayangkan”.

“jadi, sengaja minta pulang buat ini?, percuma dong kak, saya sempatkhawatir”, tutur Marco.

“anggap saja bagian dari servis gratis tour guide teladan”, kilah Edith asal-asalan, yang hanya dibalas senyum oleh orang yang duduk di sampingya itu.

“kamu kayak filsuf kak. Masuk, dipanggil Mama tuh, gak baik katanyanongkrong petang begini”, balas Marco.

Malam itu sedikit lebih hening, obrolan Edith lebih banyak di dominasioleh pertanyaan tante Ivo yang menanyakan aktivitas hari ini yang dilakukanEdith dan anaknya. Edith tersenyum kaku, sulit baginya untuk bisa beramahtamah dengan orang tua, kecuali Mama dan Bapaknya tentu saja. Mengobroldalam waktu yang lama dengan tante Ivo ternyata lebih membuat kepala stressdibandingkan mendengar ocehan Marco. Hhh..kenapa waktu berjalan begitulambat.

“yas udah, tante istirahat duluan”, kata tante Ivo, seraya meninggalkanEdith yang menahan dirinya lebih lama untuk melepaskan nafas kelegaan.

“ia tante”, jawab Edit.Akhirnya, lepas sudah satu hal yang membuat tenggorokan Edith nyaris

tercekik. Kelemahannya yang susah ia perbaiki adalah payahnya kemampuannyauntuk memulai pembicaraan, apalagi dengan orang yang lebih tua darinya, Edith

Page 74: Salam Hangat Senja

74

selalu butuh trigger, yang memacunya dengan kuat hingga membuatnya angkatbicara.

Marco yang dari tadi jadi saksi kunci kekikukannya tanpa berinisiatifmembantu menyunggingkan senyumnya. Ia melepas headsetnya berpura-puramemasang tampang bodoh melihat Edith melayangkan tatapan kesal nyaris inginmembunuhnya.

“kenapa?”, tanya Marco dengan ekspresi wajah polosnya yangmenggemaskan. Edith tertawa kesal, membuat bagian belakang lehernya tiba-tibamenjadi kaku.

“hahaha…maaf-maaf deh, gimana ngobrol sama Mama, asik kandikuping?”, tanya Marco.

Edith menghela nafas, “asik banget, dan bukannya kamu bantuin saya,malah pura-pura pasang sumpal kuping kayak gitu. Saya kan bingung jelasinnya,orang kamu yang jadi tour guidenya”, sungut Edith.

“hahaha maaf… sebagai energy booster dan juga permintaan maaf sayakarena hari ini kita gagal nongkrong ngopi, saya buatin kopi spesial buat kakEdith, mau?”, kata Marco memberi penawaran mnarik untuk Edith. DasarnyaEdith masih snewen, dia malam melontarkan cibirannya tanda kesal.

“Tahu gak, pengaruh kopi paling efektif itu kalau di minum antara jamsetengah sepuluh sampai setengah dua belas, saat kadar hormon kortisol rendah.Sekarang jam berapa?, kamu mau bikin saya begadang gak bisa tidur?. Lagiansetahu saya, energy boosternya Napoleon itu cokelat, bukannya kopi”, runtukEdith.

Marco tergelak medengar Edith yang mengomel mirip Mamanya,“sekarang masih jam sembilan malam, dan saya memang masih ingin begadangngobrol panjang lebar sama kak Edith. Lagian cokelat sama kopi sama-samapunya dampak yang serupa kok”, jawab Marco, “saya mau buat kopi favoritnyaNico, juga saya. Mau ikut?”, tanya Marco sembari pergi ke dapur, meninggalkanEdith yang bahkan belum memberikan jawaban ya atau tidak.

Terdorong rasa penasaran, Edith akhirnya mengekori bocah itu menujudapur, melihat Marco meracik kopi dengan nama aneh yang terdengar asing ditelinganya. Setahunya kopi selalu seperti itu, kopi bubuk, hanya bedanya ada yangdiberi krimmer, susu, gula, atau kopi pahit tanpa pelengkap apapun. Namanya sajayang aneh-aneh, mungkin karena Edith bukan termasuk pecinta kopi. Ia hanyabutuh kopi saat pekerjaan atau tugas mengharuskannya membuka kelopak matalebih lama.

Marco memasak air, selagi tangannya yang terampil menyendokkan satusetengah sendok teh kopi ke dalam cangkir kecil itu. Membakar satu ruas jahekemudian menggepreknya sekali, tanpa membuatnya hancur. Serat-serat jahe itumasih nampak kuat meski bentuknya sudah nyaris pipih. Lalu memasukkannyakedalam cangkir kopi yang berisi serbuk kafein itu. Marco mengambil toples kacakecil di sebelahnya, aroma kayu manis semerbak begitu ia membuka tutupnya.Marco memasukkan setengah sendok teh bubuk kayu manis, kemudian dua butihcengkeh kering berwarna hitam, terakhir memasukkan satu sendok teh gula pasir.

“manis atau pahit?”“manis?”, jawab Edith setengah tak yakin. Baginya memperhatikan Marco

yang meracik kopinya, bukan seperti ia yang Edith kenal. Marco yang didepannya

Page 75: Salam Hangat Senja

75

saat ini, adalah Marco yang tenang, fokus dan tampak lebih dewasa dari usiabocahnya.

“tambah gula sendiri kalau kurang”, goda Marco, membuat Edithmendecakkan lidahnya. Ia harus meralat opininya, anak satu ini sama sekali takpunya kharisma.

“biasa bikin kopi kayak gini?”, tanya Edith, memecah konsentrasi Marco.“Nico sih yang suka, tapi lama-lama saya juga jadi ikut kebiasaannya dia.

Padahal kakak saya itu udah lama gak tinggal di rumah”, jawab Marco.“oh”Air yang dijerangnya sudah mendidih, Marco mematikan api,

membiarkannya selama beberapa menit, ia meletakkan sendok kecil dicangkrinya, lalu menyiramkan air panas yang uapnya masih mengepul. Sontakaroma kopi yang bercampur dengan wangi rempah lainnya memenuhi isi dapur,semakin pekat ketika Marco mengaduk kopinya perlahan hingga tercampur.Seolah belum puas dengan aroma yang ia buat, Marco mengambil sejumputcacahan biji kenari dan menaburkannya diatas kopi.

Jadilah, dua cangkir kopi dengan aroma yang tak biasa yang membuatEdith terkesima sesaat.

“nih kopinya”, Marco menyodorkan secangkir kopi pada Edith, sementaracangkir lainnya masih terongok didepannya.

“makasih”, terima Edith, masih terpesona oleh aroma kopi yangmengganggu keseimbangan indera penciumannya juga persepsinya soal kopi.

“sebentar, kayaknya Mama bilang tadi dia bawa kue”, gumam Marco,seolah memberi tahu dirinya sendiri. Marco lalu kembali ke dapur dengan duakotak kecil kue.

“Mama memang pelupa, kotaknya masih ada di ruang depan. Silakanpilih, poffertjes atau kue kenari”, lanjut Marco, menyodorkan kotak kue itu kehadapan Edith.

“Tante bilang harusnya kamu lagi liburan ke tempat Nico ya?, sory malahjadi pemandu wisata saya di sini”, kata Edith, dengan nada menyesal.

“ya, begitulah. Tapi bukan gara-gara kamu kok kak, emang Niconya ajayang malah ngabur ke mana. Tapi saya seneng, ternyata kak Edith bikin liburansaya di rumah jadi lebih asik malah”, tutur Marco.

“ini pujian?”, tanya Edith skeptis.“hahaha…bukan kak, ini komplain saya. Ya pujian lah, padahal

sebenarnya saya jarang muji lho kak”“terima kasih”, jawab Edith kalem, sambil mencomot satu kue kenarinya.

“tapi serius, kopi ini enak, hanya memang sedikit pahit buat saya”, Edith lalumenambahkan satu sendok teh gula pasir ke dalam cangkir kopinya, menyesapnyaperlahan. “nah, sepertinya sudah”.

“sudah ada rencana mau kuliah di mana?” tanya Edith kemudian.Marco menggelengkan kepalanya, pertanda belum pasti. “hmmm… saya

belum tahu mau di kampus mana, tapi yang jelas kampus negeri yang ada di Jawa,entah Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta atau mungkin Jogja, lihat saja nanti”,jawab Marco.

“Aamii, pasti salah satunya tercapai, dimanapun kamu ingin”“biar saya ada kesempatan buat ketemu kak Edith lagi hahaha..”, kelakar

Marco mencairkan suasana malam itu.

Page 76: Salam Hangat Senja

76

“tapi kayaknya saya deh yang gak mau ketemu kamu lagi”, jawab Edithsadis.

“dasar guru kejam, eh kak”“apa?”“tahu tidak, saya masih tidak bisa ngebayangin kalau kak Edith itu guru

fisika dan ngajar di kelas saya. Rasanya kayak gak mungkin”Seolah bukan sebuah masalah, Edith malah tersenyum senang, “gak usah

dibayangin, saya juga gak mungkin pindah ke sini dan ngajar di sekolah kamu”.Jawaban Edith yang membuat Marco menggaruk kepalanya yang sama sekali takgatal.

“kak, saya boleh tanya?”, tanya Marco memberanikan diri.“apa?”“kenapa kakak kabur, lari sampai sejauh ini?”“kalau kaburnya dekat, pasti ketahuan. Bukan kabur dong namanya”,

jawab Edith singkat.Malam itu, hingga cangkir-cangkir kopi mereka hanya menyisakan ampas

dan ruas jahe, obrolan hangat it uterus bergulir, merambat ke banyak hal, banyakcerita yang diselingi tawa. Keduanya seolah membaur, saling mengambil porsiyang bisa memperbaiki suasana hati masing-masing. Hingga salah satunyatersadar bahwa esok masih ada putaran jam yang harus dinikmati dengan mataterbuka.

“Saya duluan, besok kita masih punya list tempat yang harus didatangi”,kata Edith.

“sampai jumpa besok kak”, jawab Marco, senyum itu menghiasi bibirnyabahkan sampai sosok yang menemani pembicaraannya malam itu menghilang dibalik pintu kamar Nico. Marco menuju kamarnya sendiri, membenarkanperkataannya, besok masih banyak waktu untuk dihabiskan dengan banyak acara.

-----Dibawah atap langit, setiap orang punya ceritanya yang terpendam

dalam jaring gelombang.Ale merebahkan badannya, mengambil ponselnya. Ia membuka galeri

tempat di mana foto itu tersimpan. Ia mengirimkan foto itu pada seseorang,dengan sebaris pesan.

[hai San-san, see my pic?, special for you. Itu sunset di salah satupantai di Ambon lho, ngiri kan?. :D].

Ale menyimpan ponselnya, ia memejamkan matanya. Tugasnya hari ituselesai, mengirimkan matahari pada mataharinya yang tengah menjauh. Biarterang mataharinya itu mengganda, dan berharap agar hatinya tetap bisa terasahangat, walau sedikit saja.----

Yena menyunggingkan senyumnya, memandangi foto wallpaperponselnya yang belum ia ganti, masih foto yang sama, foto yang ia dapat dariPapa orang yang mengusik hatinya itu. Hatinya menggumam lirih, terbersitharapan agar suatu saat ia bisa mengganti foto itu dengan foto yang lainnya. Fotodirinya berada di samping Ale, hanya berdua.

“semoga”, ujarnya pelan.-----

Page 77: Salam Hangat Senja

77

Willy mencoba terpejam tenang, meski rasanya lebih sulit dari yang iabayangkan. Berkali-kali ia mengutuk dirinya sendiri, menyalahkannya yang mulaikehilangan naluri bertahannya, mulai memunculkan harapan yang meski ia tahuhanya akan berakhir dengan sesuatu yang lebih menyakitkan lagi.

“aku gak boleh kayak gini”, gumamnya.Ponsel dengan layar mati yang sedari tadi dipegangnya dalam genggaman

ragu, kini ia letakkan kembali. Willy menguatkan hatinya, ia tak maumenumbuhkan harapan rapuh, dan bergantung pada pesan-pesan semu itu.-------

Ferdy masih terjaga ketika malam semakin larut, ia masih memadanglangit. Ia mengambil ponselnya, mendial nomer yang sama, dengan hasil yangsama pula. Ia masih melihat gugusan bintang yang sama, yang selalu ia lihatsetiap kali ia mendongakkan kepalanya menatap langit. hatinya melafalkankerinduan yang membentuk kata.

Hai layang-layang langit, aku putuskan tali gelasanmu, terbanglah kesana, sampaikan pesanku untuk dia yang kusayang, untuk dia yang menyimpandendam. Pesan yang kau mengerti tanpa harus kuteriakkan kencang.-----

Edith menghela nafas lega, kopi racikan bocah itu memang ajaib. Seolahsecangkir kecil kopi itu mampu menghangatkan badannya yang kaku,membuatnya rileks dan mulai memejamkan mata. Ia mengingat pertanyaan bocahitu, menggumamkan jawaban yang ada di lubuk hatinya sendiri.

“saya hanya terlalu pengecut untuk mengatakan apa yang saya mau”.Ia mengatupkan kelopak matanya, membayangkan perjalanan besok

mungkin akan membuahkan lebih banyak cerita baru.--------

Marco masih duduk terjaga di atas kasurnya, ia belum mengantuk meskiberusaha untuk merebahkan badannya. Malam ini terlalu menyenangkan baginya,kejutan demi kejutan dalam setiap obrolan membuatnya tak bisa menutupiimajinasinya sendiri, bertanya-tanya apa yang akan mengejutkannya esok.

“selamat malam nona, mimpi indah”.--------

9. Pertemuan dalam PertemuanMarco mematutkan dirinya di cermin cukup lama, tersenyum sendiri mirip

orang kurang waras. Sebelumnya, berapa lama ia memandangi lemarinya dengantatapan curiga, mencurigai setiap helai bajunya yang tergantung rapi seolahmereka itu tersangka kebingungan Marco pagi itu.

“ah bodoh, mandi juga belum”, Marco mengomeli dirinya sendiri.“Marco, Edith, sarapan paginya di makan, Mama sama Papa berangkat

kerja duluan”, suara tante Ivo mengagetkan Edith, ia melihat jarum jam masihmenunjukkan angka enam tiga puluh. Edith bersikap sopan dengan keluar darikamarnya, memberi salam pagi pada tante Ivo.

“pagi tante, hati-hati di jalan”“dah Maaa….”, suara Marco menimpali sapaan Edith.Marco tanpa sadar tersenyum melihat orang yang ada di hadapannya itu,

dengan celana training dan kaos kebesaran persis anak yang mau jogging pagi.Rambutnya ia kuncir sembarang, dengan muka yang sudah segar. Setidaknya,

Page 78: Salam Hangat Senja

78

Edith memang rajin bangun pagi, kebiasaan yang membuat Marco jadi tak maukalah.

Terus ngapain tadi saya bengong ngelihatin isi lemari, orang yangdidepan saya saja tampilannya seperti ini.

Edith menaikkan alisnya melihat Marco yang melihatnya dengan senyummengembang yang aneh. “kenapa?”, tanya Edith.

“gak kenapa-kenapa”, jawab Marco singkat.Lalu, tiba-tiba ide itu melintas di kepala Marco, ide yang sama sekali tak

terpikirkan olehnya, ya kenapa tidak?. “hei kak, mau jogging pagi gak?, jalandepan rumah saja, muterin kompleks”, Marco melontarkan idenya.

Edith tampak memikirkan ide itu sejenak, sepertinya ia setuju, mengingatsudah cukup lama ia tak menggerakkan badannya untuk olahraga. “boleh”.

“ayok”“gak siap-siap dulu?”“siap-siap buat siapa memangnya”, Marco melebarkan tawanya.Semilir angin pagi itu ternyata tak bisa meredakan geliatnya matahari yang

mulai melancarkan serangan teriknya, menghujani pagi para makhluk penghunibumi dengan sinar yang makin siang makin memanas. Keduanya masihmelangkahkan kaki setengah berlari menapaki pinggir jalan aspal yangmembentang, sesekali berbelok melewati rute sebelum akhirnya kembali ketempat asal mereka memulai jogging mereka pagi itu. Peluh keringat yangperlahan menuruni lekukan wajah mereka menetes, tangan-tangan halus itumenyekanya dengan kasar, membuang sisa metabolism tubuh yang keluar melaluipori-pori kecil kulit yang nyaris tak tampak. Suara sengalan nafas masih terdengarsesekali.

“gila, padahal lari segitu doang rasanya udah capek”, kata Edith terengah-engah.

Marco yang lebih dulu sampai, duduk manis, menyelonjorkan kakinyamenyunggingkan seringainya melihat Edith yang akhirnya bisa menyusulnya.Keduanya memang berencana jogging, tapi entah kenapa di tengah perjalanan,scenario kemudian berubah, atas provokasi Marco, keduanya malah berakhirdengan lomba lari, menentukan siapa yang lebih dulu sampai di depan rumah.Jelas pertandingan yang timpang, baik fisik ataupun psikis, tapi ego Edith rasanyaterlalu besar untuk menolak ajakan itu. Hasilnya jelas tertebak sejak awal, siapayang kalah telak.

“hahaa…lama banget nyampenya, saya pegal lho nunggu”, kata Marco,terang-terangan mengejek Edith yang masih berusaha mengatur nafasnya,menormalkan kembali detak jantungnya yang meningkat cukup pesat.

“iya saya tahu, taruhan tetap taruhan, saya beliin hadiah spesial kok”,jawab Edith. Marco tersenyum senang.

“bukan kayu putih kan?”“mau?” Edith balik bertanya, yang jelas-jelas ditolak oleh Marco.

-----------Marco kembali mematutkan dirinya di depan cermin, jauh lebih lama

dari biasanya, ia tiba-tiba tersenyum sendiri. Bukan karena ada hal yang lucu, tapikarena untuk pertama kalinya ia merasa dirinya terlalu lucu untuk ditertawakan.Peluh di badannya sisa jogging barusan mungkin sudah menghilang, diguyur airdan terhapus wangi sabun dengan aroma yang citrus menyegarkan. Tapi

Page 79: Salam Hangat Senja

79

sepertinya otaknya justru masih berkabut, entah karena aliran oksigen yangmenyuplai kepalanya tersumbat atau karena ingatan-ingatan sebelumnyaberkelebat, dan tanpa tahu alasannya, Marco merasa rangkaian peristiwa yangmenempel di memorinya beberapa hari ini begitu manis. Memutar kembaliingatannya pada titik pertemuan pertama mereka.

Bandara Pattimura, beberapa hari sebelumnya.Marco hampir mati kebosanan ketika orang yang ditunggunya itu tak

muncu-muncul ke permukaan. Batas kesabarannya semakin menipis ketika iamelihat penumpang lain sudah mulai tampak berdatangan dan menemui orang-orang yang menanti kedatangan mereka sejak tadi. Sementara makhluk yangditunggunya, bahkan tak menunjukkan batang hidungnya. Kalau saja bukan kakSari yang memnita pertolongannya, yang sayangnya dipertegas lewat perintahMamanya, Marco lebih memilih untuk santai di rumah atau hangout denganteman-temannya di banding berdiri berjam-jam disana sendirian dengan kertasnama bodoh bertuliskan Edith /Krucil. Krucil?, nama aneh apa pula ini?.

“jangan-jangan yang lagi aku tunggu ini makhluk ekstraterestrial atausiput sawah yang jalannya lamba, atau kura-kura dengan tempurung superbesar?”, gerutu Marco.

Ia sudah kehilangan kesabarannya ketika, mulutnya mulai berkomat-kamitmengutuki orang yang bahkan belum pernah ia temui itu. Hampir saja ada niatanyang terbersit di otaknya untuk pergi saja dari sana dan meninggalkan orang yangsejak tadi ditunggunya tanpa kejelasan itu kebingungan sendiri. Tapi ia segeramengurungkan niatnya, wajah marah kakak angkatnya, kak Sari sepertinya akanlebih horror dibanding film thriller manapun yang tak pernah suka ia tonton.Baginya menonton film horror itu adalah kebiasaan aneh yang tak baik untukkesehatannya, ia tak mau menyia-nyiakan satu-satunya jantung kesayangan yangia punya hanya untuk dikagetkan oleh hal-hal seperti itu. Hidup tak perlu kejutanyang dibuat-buat, karena kadang kejutan alami seringkali sukses membuat detakjantung terpacu dengan cepat.

“hai, maaf lama ya nunggu, saya dari toilet dulu”, seseorang yang datangmendekat dari kejauhan, dengan tatapan mata tertuju ke arah kertas yang masihdiacungkan Marco.

Marco tak mendengar apa yang dikatakannya, matanya justru tak bisaberpaling dari sosok ajaib dihadapannya itu yang tak ia duga, tak sepertibayangannya yang ia imajinasikan dari obrolannya dengan kak Sari, makhlukdihadapannya itu seperti kura-kura berwajah lucu, jauh dari kesan guru fisikayang biasanya kaku. Kak Sari gak becanda kan?.

Nona itu, persis seperti kura-kura dengan ransel yang besarnya melebihibadannya sendiri, padahal ia tak terlalu pendek, hanya memang badannya kurusmembuat badannya tampak tenggelam. Wajah meringisnya yang justru kelihatanmanis memaksa Marco menyunggingkan senyum dan memaafkanketerlambatannya meskipun dengan alasan yang terlalu sepele.

Mana bisa ia meninggalkan nona ini sendirian di tempat asing yang belumpernah ia singgahi.

Ini semua gara-gara kak Sari memberikan informasi yang salah kaprah,“ini fotonya, namanya Edith, usianya mau dua puluh lima tahun, hmm..apa lagiya, jangan lupa tambahin nama Krucil, orang itu pasti ngerti kalau kamu yang

Page 80: Salam Hangat Senja

80

jemput dia. Saba raja, anaknya kadang asyik kadang enggak”, katanya, dan sepertiitulah persepsi Marco tentang Edith terbentuk.

Tapi seolah kejutan, orang yang dihadapannya itu berbeda, dengangayanya yang kelewat santai, Marco bahkan tak bisa percaya kalau pekerjaannyaadalah jenis pekerjaan paling membosankan yang bisa Marco bayangkan. Danlagi, satu hal yang disyukurinya, ternyata Edith bukan tipe orang yang fotogenik,sosoknya yang asli jauh, sangat jauh lebih manis. Kejutan terbaik yang takdisangkanya.

Itu awal pertemuannya. Seiring waktu berjalan, dengan obrolan-obrolanmereka yang tak terduga, dengan hal-hal yang tak pernah disangkanya, secaracepat Marco tertarik dalam pusaran energi Edith yang tak biasa. Pikirannya takbisa melepaskan diri untuk mengulik lebih jauh nona yang kukuh memaksanyamemanggil kakak, kenapa tidak boleh kamu?.

Tapi Marco?, usianya hampir seperempat abad!.Terus?.Tanda tanya itu benar-benar terasa sebagai tanda tanya.

-------Edith tengah menghabiskan sarapan paginya ketika teleponnya tiba-tiba

berdering, Mamanya!. Nama yang tertera di layar ponselnya yang membuatnyapanik mendadak. Masya Allah, Mamaa. Marco menaikkan alisnya ketika Edithtiba-tiba meletakkan telunjuknya pada bibirnya, memberi isyarat untuk diam, takmengeluarkan suara.

“Halo, Assalamualaikum maa, kenapa?”, tanya Edith setelahmenyampaikan salam.

“kumsalam, Edith kamu itu gimana nak, liburan kok gak pernah teleponMama, sibuk sih sibuk, tapi ya kabarin rumah”, Edith mendengar suara Mamanyadengan gelagapan. Kepalanya berpikir cepat mencari alasan yang tak membuatMamanya curiga.

“Maa, maaf, tapi aku lagi di luar sama temen. Nanti lagi ya nelponnya,kalau mau denegr liburanku nelpon kak Elma aja ya. Hapeku lowbatt”, jawabEdith asal beralasan, terdengar dari ujng telepon omelan Mamanya masihberlanjut.

“haduh kebiasaan, yaudah, Mama telepon kakakmu dulu”“hehehe…iya, dah Maa, Muuuach”, Edith menutup teleponnya. Menghela

nafas lega, segera mengetik pesan pendek pada Elma.[Mama nelpon aku, aku bilang lagi di luar sama temen, jadi nelpon

kamu aja].[sinting][jangan sampai ketahuan ya!!]“Hahahaha…..”, Marco tertawa kencang, menunduk menahan perutnya

yang menahan sakit saking lucunya pemandangan barusan yang ia lihat. Edithmenelan ludah, menunjukkan tampang paling jelek pada makhluk yangdihadapannya itu.

“apa ketawa-ketawa?”, bentak Edith, sok-sok menakuti.“dasar anak durhaka, Mama sendiri dibohomgi”, cibir Marco.Edith mendadak cemberut, meski beberapa detik kemudian kembali

memasang tampang tanpa ekspresinya, seolah kejadian memalukan itu tak pernahterjadi.

Page 81: Salam Hangat Senja

81

“udah anak kecil gak usah komentar, habisin aja makannya”, perintahEdith.

“baik nyonya tua”, balas Marco mengejeknya.Belum berapa lama Edith helaan nafas Edith lebih teratur, teleponnya

kembali bordering, berbeda dengan ekspresi sebelumnya, kali ini Edith malahtertawa sendiri, membuat Marco yang sedari tadi mengamati kelakuan aneh Edithmenambah minatnya untuk memperhatikan apa yang ia lakukan kali ini.

“hahhaha…. Mama ngomong apa aja?, sory deh, abis dadakan sihnelponnya, ya aku malah panik jadinya, tapi Mama gak curiga kan?”, tanya Edith.

Marco melebarkan pupilnya tanpa sadar, ia tak pernah menyangka melihatekspresi wajah Edith yang hangat seperti itu. Ekspresi yang baru kali ini ia lihat,dibanding sikap sok dingin, dan sok tuanya itu, wajah hangat Edith membuatMarco terkesima.

“Sialan emang, aku sempet bingung pas Mama tanya kamu pergi amasiapa, tiba-tiba aku kepikiran anak yang jemput kamu kemarin, yaudah aku bilangnamanya Marco. Terus Mama kayak seneng gitu, denger kamu jalan sama cowok,lega kali tahu anaknya normal”, goda Elma jahil.

“padahal dia bocah SMA, yang ada aku diomeli habis-habisan samaMama”. Marco mengerutkan dahinya, menunjuk dirinya sendiri dengan tandatanya.

“saya kenapa?”, tanya Marco penasaran. Edith lalu tertawa jahil, “sebentarkak, nih ada yang mau ngomong”. Edith tiba-tiba menyodorkan teleponnya padaMarco

“kakak saya mau ngomong”, kata Edith, kembali ke bahasa formalnya.Marco menerima ponsel itu dengan setengah enggan, meski akhirnya ia

tetap menerima telepon itu,“Haloo, Marco?, saya Elma kakaknya Edith”, suara di seberang telpon itu

memperkenalkan diri.“halo kak, saya Marco”, jawab Marco singkat.“titip adek saya ya, maklumin juga kalau dia rada-rada aneh, dia emang

kayak gitu orangnya, saya aja kakaknya kadang gak ngerti sama isi otaknya yangkelewat abstrak, apalagi kalau lagi galau kayak sekarang”, tutur Elma.

“dia emang aneh”, jawab Marco yang dibarengi dengan delikan tanda taksuka dari Edith.

“yaudah, have fun ya, selamat menikmati liburan.”“iya kakak juga”, Marco lalu memberikan lagi ponel itu pada Edith.“ah, monyong banget, ia gimana?, aku juga kangen banget sama Erdi”“iya, Mama bilang Erdi gak punya temen ribut katanya”, balas Elma.“yaudah byee, nanti aku kabarin deh kalau Mama nelpon lagi”, kata Edith

sambil terkekeh.Erdi?, Marco menangkan nama asing yang membuatnya menerka-nerka,

tapi ia terlalu gengsi untuk bertama. Ada sebersit ketakuan yang tak ingin iahadapi, spekulasinya soal nama Erdi. Pacarnya?, Marco lebih baik tak tahumenahu.

“kakak kamu lucu ya kak, ngomongnya kayak nitipin kamu ke pacarnya”“jangan geer, dia emang suka rempong kayak gitu”, jawab Edith kalem.Marco tertawa melihat respon dingin Edith, mode tubuhnya ternyata sudah

kembali seperti semula. “tapi kayaknya kak Elma orangnya lebih asik ya”.

Page 82: Salam Hangat Senja

82

“begitulah”.Ada nada aneh yang tak bisa Marco mengerti, kenapa?, atau hanya

perasaannya saja?. Entahlah.Ah, aku ini sebenarnya kenapa?.

-----------Ale membangunkan Willy yang tumben bangun kesiangan, padahal

biasanya ia tak pernah bangun telat. Hal yang sangat langka dilakukan oleh orangyang biasa on time hampir setiap harinya.

“hei bangun, gak subuhan?”, tanya Ale menyepak tubuh Willy yang masihmeringkuk dibawah selimutnya..

Willy membuka matanya, menguap, “oh ya, thanks”, setengah sadar pergike kamar mandi dengan pandangan yang masih belum jelas. Jalannyasempoyongan, tanda matanya masih belum terbuka lebar. Manusia kan memangkodratnya seperti itu, tak mungkin bisa berjalan lurus jika tak dibantu tanpabantuan visual. Indera penglihatan memang hal paling vital untuk manusia, salutuntuk mereka yang tuna netra, yang berhasil mengasah kepekaannya hingga bisaberjalan dalam gelap.

“kayaknya memang ada yang gak beres sama Willy, dari kemarin kokaneh”, gumam Ale.

Willy sudah kembali dengan wajah segar, setelah mengguyur badannyadengan air, meski membuatnya sedikit menggigil kedinginan, tapi segera setelahia keluar dari kamar mandi, suhu tubuhnya kembali normal, mungkin karenacuaca terik disini membuat produksi keringatnya bertambah dua kali lipat.

“kamu sebenernya kenapa?, ada masalah?”, tanya Ale, masih dengan rasapenasarannya yang belum hilang.

“enggak, emang tadi malem mendadak insom”.“hati-hati lho, kamu gak tahu, alasan kenapa rumah sakit jiwa itu

penghuninya kebanyakan kaum cowok, itu karena laki-laki lebih susahmengekspresikan stress mereka, apalagi dengan menangis. Aku gak mau tiba-tibadenger kabar kalo kamu tiba-tiba jadi pasien baru mereka kan?”,

Willy tergelak mendengar komentar absurd Ale yang sama sekali takmasuk akal, “dasar kampret”.

“haha..eh, omong-omong kayaknya kita hari ini gak bisa maen kemana-mana, Aku bakal stay di rumah sakit gantiin Mama sama Bapa nungguin Oma,kalau kamu mau ikut sih boleh, tapi diem dirumah juga gak apa-apa.”

“kita berdua doang?”“enggak sih, siang ada tante yang datang kok”“yah elu kesini kan emang niatnya mau jenguk Oma, bukan mau ngelayap

jalan-jalan”. Ale nyengir, menunjukkan geliginya dengan percaya diri.------

Suasana bangsal pagi itu tak terlalu ramai, hanya ada Willy dan Ale yangmenggantikan orang tua Ale menunggu Oma, Yena menyampaikan permintaanmaaf karena ada urusan di kampusnya, sehingga tak bisa ikut menemani. Tentusaja Ale sangat memaklumi, sangat-sangat mengerti. Meskipun kadang Ale heran,bagaimana tetangga Omanya itu bisa begitu akrab dengan Oma. Keakraban yangmungkin lebih erat dibanding hubungan Ale dengan Oma kandungnya itu.Mengingat itu kadang Ale merasa iri, seolah momen-momen penting dirinya danOmanya itu tercuri tanpa bisa ia berbuat apa-apa.

Page 83: Salam Hangat Senja

83

“Yena gak ikut?”, tanya Willy.Ale menggeleng pelan, bahkan sahabatnya itupun berpikir Yena adalah

bagian penting dari kehidupan keluarganya. “ngampus katanya, tapi nanti sore diajanji kesini, ngajak kita nyobain rujak”.

“eh Le, perasaanku aja atau emang bener ya, aku rasa sih ya Yena sukasama kamu”, komentar Willy tiba-tiba. Ale terdiam sebentar, kemudian tertawasetengah memaksakan diri, “ngaco”, jawab Ale singkat.

Ale tersenyum kecut. Ia akan dengan sukarela mendeklarasikan dirinyasebagai laki-laki gagal kalau ia tak bisa membaca sinyal yang ditunjukkan Yenasejak kali pertama mereka bertemu di bandara. Awalnya Ale berpikir, dia hanyakegeeran, tapi ia bukan orang buta yang tak bisa melihat kondisi semacam itu,situasi yang jelas ia tatap dengan pandangan lekat.

Ale tahu, Yena menyukainya hanya dengan melihat gestur yang mati-matian disembunyikannya. Yang membuat Ale tak mengerti adalah, bagaimanaYena menyukainya padahal mereka baru bertemu beberapa hari, Yena bahkan takmengenalnya baik, seperti Ale tahu orang seperti apa Yena. Tapi, bagaimanapunjuga, ia tak punya hak melarang seseorang menyukainya, ia juga tak bisamenampik bahwa seseorang bisa jatuh cinta dalam waktu yang cepat. Yena taklebih aneh dari dirinya, yang menyukai seseorang untuk waktu yang lama, meskistatus pacarnya berseliweran berganti peran satu orang ke orang lainnya, hatikecilnya tetap memberi ruang pada seseorang yang ia anggap mustahil untukdimiliki.

Cinta itu mirip sambal. Semua rasanya bercampur menjadi satu,terbungkus pedas. Setiap kali lidah mengecapnya, selalu ada rasa lain yang terasa,meski bentuknya asli bahannya sudah tak nampak. Jatuh cinta juga seperti orangmakan sambal, butuh keberanian untuk mengambil dalam porsi besar, semakinbanyak ia memakan sambal semakin nikmat pula ia menyantap makanannya, tapisemakin besar juga resiko yang akan diterimanya, sakit perut, maag, diare dansemua hal yang membuat lambungnya berkorban lebih banyak. Orang yang takberani menyentuh sambal, tak akan merasakan sengsaranya kepedasan, tapi jugatak akan pernah menikmati sensasi waktu makannya.

Begitu pula orang yang jatuh cinta, semakin besar ia berani mencintai,semakin besar ia menikmati kebahagiaannya, semakin besar pula resiko kesakitanhatinya yang mungkin tak bisa ia tahan. Orang yang tak berani menyentuh cinta,akan menjalani hidupnya dengan damai, tapi fluktuasi kebahagian karena jatuhcinta pun hanya bisa ia dengar dari mereka yang bercerita. Begitulah hidup,porsinya selalu seimbang, tak ada yang seluruhnya menyenangkan, tak ada pulayang selamanya menyedihkan. Bahkan mereka yang memilih jalan hidup datar,hanya akan menikmati detak jantung normal mereka sepanjang hidupnya.

Ale mengakui itu, sama seperti manusia lainnya yang berani menuangkancinta pada satu orang hingga tumpah tak tetampung, perasaan sakitnya karenahatinya terabaikan sudah kenyang ia rasakan. Bukan karena mataharinya, tapikarena besar rasa takutnya yang menghalangi dirinya sendiri. Seperti gerhanabulan yang tampak dari bumi, matahari terlalu kuasa menutupi bulan hingga iakehilangan kuasanya sesaat untuk memandang anggun ke bumi.

“Wil, aku serius nanya sama kamu. What’s wrong with you?”, tanya Ale,kembali dengan pertanyaan sama yang belum dijawab Willy.

Page 84: Salam Hangat Senja

84

“Haha.. kenapa sih seris banget mukanya”, Willy berkilah, mengalihkanpertanyaan Ale, yang enggan ia jawab.

“Kamu bisa pura-pura di depan yang lain, tapi Aku sobat kamu, dan akuudah cukup sabar untuk nahan nanya sama kamu sejak awal kita berangkat kesini, dan kapan kamu mau ngaktifin ponselmu, aku bosen diberondong pertanyaanVita terus”, cerocos Ale.

“Vita masih ribut?”, tanya Ale. Ale mengangguk membalas pertanyaanWilly.

“Ferdy”, jawab Willy singkat.Giliran Ale yang menghela nafas, topik bahasan ini selalu menemui titik

buntu tiap kali Ale mencoba bicara, bukan karena ia malas membalasnya.Masalah itu membuat Ale seolah ikut terjepit, ia tak pernah bisa memberi nasehatapapun untuk Willy. Ale tak punya kapasitas untuk menggurui Willy soal yangsatu ini, satu-satunya yang bisa hanya Willy dan Ferdy. Keduanya atau tidak samasekali.

“masih belum berdamai sama dia?.”, Willy menggelengkan kepalanya.“sampai kapan?”“entah”, jawab Willy singkat.Satu-satunya hal yang bisa membuat Willy frustasi adalah Ferdy, atau

justru Ferdy lah awal mula semua rasa frustasi Willy, mengubahnya dariseseorang yang sok cool tapi hangat menjadi manusia yang memang dinginsepenuhnya. Mencintai begitu besar memang selalu disertai luka yang jauh lebihbesar, tapi seperti juga Ale yang mengambil jalan yang tak biasa, Willymengambil langkah yang jauh lebih menyakitkan.

-----Obrolan siang itu begitu menarik perhatian, bertempat di salah satu

ruangan dengan suasana yang cukup hangat, pertemuan sekelompok orang yangmenyukai hobi yang sama, kecintaan mereka pata foto. Ferdy memang menerimaundangan dari sekelompok unit kegiatan mahasiswa yang memfokuskan diri padafotografi dan seni potret, kedatangannya ke Jogja kali ini ternyata sampai juga dikomunitas lamanya saat kuliah dulu. Orang-orang muda itu masih banyak yangmenantikan ceritanya. Ferdy, seorang penjelajah yang juga terkenal sebagaitukang foto lanskap pemandangan yang selalu membuat decak kagum penikmatgambarnya. Ferdy tersenyum menanggapi komentar berlebihan macam itu,baginya ia hanya beruntung, mengenal kamera sejak ia masih kecil, memfotosejak lama, hingga ia dewasa, barang itu adalah salah satuu caranya untukmengutarakan cinta bagi orang-orang yang tak mengerti. Ferdy mungkin bukanfotografer spesialis lanskap, hanya saja, terlanjur banyak orang yang mengakuibahwa foto-foto yang dihasilkannya terasa hidup.

“Landscape photography is the supreme test of the photographer – andoften the supreme disappointment”.

Ferdy memulai pembicaraannya kali ini dengan salah satu quote yangpaling disukainya. Melihat atensi orang-orang yang menyimak pembicaraannyamulai tak sabar, Ferdy melanjutkan ceritanya.

“itu Ansel Adam. Foto lanskap itu bisa memuaskan kamu, tapi juga bisajadi objek yang bikin kalian kecewa gak ketulungan. Saya cukup senang adadisini berbicara dengan siapapun yang ngaku jujur atau cuma ikutan tren kalaumereka cinta fotografi. Tapi saya sih percaya kalau semua yang ada di sini ngaku

Page 85: Salam Hangat Senja

85

jujur kalau cinta sama foto, kameranya aja lebih canggih dari saya”, kelakarFerdy..

Beberapa dari mereka bertepuk tangan, diselingi tawa, setuju denganucapannya.

“saya sebenarnya juga gak ngerti mau bahas apa disini, kenyataannya sayajuga bukan pakar foto. Makanya saya anggap kali ini kita sharing aja, syukur-syukur kalau obrolan kita jadi diskusi dua arah, dan saya jadi lebih banyakmenggali ilmu”. Ferdy terdiam sejenak, membuka slide persentasi yang ia buatseadanya, tanpa banyak tulisan, hanya berupa bagan dan tampilan beberapa foto.

“Kali ini kita akan bahas soal cinta pertama, buat saya, fotografi lanskapitu cinta pertama saya, dan mungkin hampir semua orang yang mengaku cintamotret. Lanskap, alam adalah objek paling tak terbatas untuk digali, dinikmati,dieksplorasi bahkan dieksploitasi oleh bidikan lensa. Hasilnya pun tak pernahterduga, saat kita bisa menangkap momen, sebuah gambar yang kita foto seolahbisa bicara panjang lebar tanpa perlu narasi apapun. Mau amatir, mau profesional,lanskap adalah sisi yang tak pernah bisa dipisahkan dari dunia seni foto”.

Ferdy mengambil jeda, “ada yang mau berkomentar, membantu sayadengan pengalaman kalian?”, tak ada yang mengangkat tangannya.

“kayaknya suhu di ruangan ini belum panas”, lanjut Ferdy.Ia menggeser sildenya, menunjukkan satu buah foto yang menarik minat

untuk dibahas.“satu contoh menarik, foto karya Jo Ann Fougere, satu hal yang lupa kita

sadari adalah kita terpaku memotret foto lanskap sebaga sebuah pemandanganyang bagus, langit, laut, pantai, pemandangan hijau atau objek lainnya yangtampak indah. Tapi foto ini memberi perspektif lain, cuaca buruk ternyata bisajadi obyek yang menarik untuk lanskap. Kita bisa ambil contoh ekstrim lainnya,badai, petir, meski banyak orang yang mengabadikan itu, masih sedikit jumlahnyajika dibandingkan mereka yang mengaku mencintai foto lanskap, karenamengambil foto saat cuaca buruk cukup beresiko”.

“gambarnya sederhana, sebuah gudang tua dengan cat yang mengelupas,bangunan mirip green housue, sedikit semak dan segumpal awan yang berat,pertanda hujan segera turun, meski langit atasnya terlihat biru. Yang menjadi poinmenarik adalah awan itu, momen yang tepat untuk membidik fenomena itu.Faktor x yang tidak semua orang punya kesempatan untuk mendapatkannya”.

Ferdy terdiam sejenak, “ada tanggapan?”.Seseorang mengacungkan tangannya, “bagaimana membuat foto lanskap

yang bagus seperti foto mas Ferdy, teknik apa yang paling tepat?”Ferdy berdehem, “wah kalau soal teknik, saya juga gak jago-jago banget.

Lensa wide-angle, agar perspektif foto menjadi lebih dalam. Kreatif menangkapangle Ada teman saya yang sangat hobi memakai Out of Focus ForegroundFraming untuk sudut pandang objek lanskap yang dibidiknya, BracketingEksposure dan banyak lainnya. Atau semuanya pasti juga tahu kalau golden hour,setelah matahari terbit, atau sebelum matahari terbenam adalah salah satu momenpaling bagus untuk mengambil foto. Saya yakin kalian sudah tentu lebih pahamuntuk teknik-teknik handal lainnya. Saya malah yang harusnya berguru samakalian”.

Ia mengambil jeda, melanjutkan pemaparannya, “tapi yang saya tekankankali ini adalah soal persiapan. Fotografi lanskap sulit menemukan momen tepat

Page 86: Salam Hangat Senja

86

secara instan. Selalu perlu perencanaan yang matang, kesabaran, observasi,mengabil tes foto berkali-kali sebelum akhirnya menentukan obyek foto yangdirasa tepat”.

Ferdy berdehem, “sebelum saya melanjutkan jawaban saya, saya inginbertanya. Menurut kalian hasil foto saya apakah memang bagus?”

“iyaaa”, jawab beberapa orang bersuara lantang, membuat Ferdy mau takmau akhirnya ikut tersenyum, mengucapkan terima kasihnya.

“Apa yang membuat kalian berpikir suatu gambar bagus?”,“indah”“apa definisi indah?”, Ferdy mencerca mereka dengan pertanyaan lainnya.“membuat senang yang melihat”.Ferdy mengambil botol air mineral yang ada didepan mejanya, meneguk

airnya, membasahi tenggorokannya yang mulai kering. Ia lalu membuka slidebaru.

Slide itu menunjukkan tiga potret wajah orang dengan perbedaan ekspresi,senang, sedih, dan marah.

“Apa yang kalian rasakan ketika melihat gambar-gambar ini?”Seeorang mengacungkan tangannya, menjawab dengan cepat “perasaan

sedih, gembira dan marah”. Ferdy mengangguk setuju.“saya memang tidak terlalu fokus pada potret, tapi karena tuntutan

pekerjaan, kadang justru membuat saya menggeluti potret. Bagi saya, indahartinya membangkitkan emosi. Foto yang indah, adalah foto yang bisa membukaemosi orang yang melihatnya dengan jujur. Emosi itu tak selalu berkutat dengankesenangan, bahagia. Emosi itu bisa berupa amarah, kesedihan, haru, kecewa,semua jenis ekspresi yang ditampilkan wajah untuk menunjukkan suasana hati.Jadi foto yang bagus, bukan sekedar foto yang membuat orang merasa senangmelihatnya, tapi foto yang bisa membuka emosi seseorang apa adanya”

“tidak hanya potret, bagi saya prinsip ini pun berlaku untuk lanskap.Beberapa orang bertanya mengapa foto saya bisa sebagus itu?. Saya hanyamenjawab bahwa, karena objeknya bagus. Saya diberi kesempatan oleh Tuhanuntuk menjelajah ke tanah-tanah yang belum terjamah kamera, ke alam-alam yangmasih perawan untuk dinikmati. Sesungguhnya alam tanpa kita sadari menyimpanemosi-emosi itu. Sama halnya seperti manusia, kesunyian, keheningan,meranggas, kesegaran, layu dan banyak ekspresi lainnya. Dan apakah itugampang?, saya rasa saya harus bilang bahwa itu hal tersulit yang pernah sayalakukan sepanjang karir saya”.

Suasana ruangan itu mulai menghangat mendengar cerita Ferdy, samaantusiasnya dengan keinginan mereka untuk ikut mendengarkan cerita-ceritasetiap perjalanannya bersama timnya.

“ketika berada di Sumba, melakukan perjalanan jauh sekali menyusurihutan, dari desa terdekat tempat saya dan tim saya bekerja saat itu. Rasa pensaransaya, akhirnya membawa saya pada tempat yang tidak akan pernah saya lupa. Saatitu saya menemukan sebuah air terjun kecil, dengan danau di bawahnya yangmemiliki air jernih luar biasa, pemandangan di sekelilingnya membuat sayaterpana, momen yang tak mungkin bisa saya abadikan dalam foto kalau saya tidaknekat jalan-jalan kesana. Sampai kemudian teman saya yang dari Kanada taksengaja melihat foto saya dan berkorespondensi, meminta izin saya untuk

Page 87: Salam Hangat Senja

87

menampilkan foto itu di salah satu ulasan majalah alam tempatnya bekerjasebagai editor”.

“atau teman saya di Kerinci. Ia dan temannya menjelajah, hinggamembuka jalan baru, dan menemukan sebuah danau indah. Tahu apa yang begituistimewa?, belum ada jejak manusia di sana, mereka yang pertama berhasilmengabadikan karya Tuhan yang luar biasa disana”.

“Mas, saya Gilang, satu hal yang bikin saya penasaran, apa tempat favoritmas Ferdy yang ingin dikunjungi?, atau empat yang menurut mas Ferdyistimewa?”.

Ferdy mengapresiasi pertanyaan itu, “ kalau tempat favorit, saya selaluberpikir saya ingin menjelajahi semua tempat yang ada di Indonesia, bagi saya ituseperti never ending journey. Perjalanan itu lebih dari sekedar wisata, tapi jugahati, dan punya kepuasan tersendiri. Bagi saya, selagi saya masih punyakesempatan, saya ingin terus menjelajah setiap pulau-pulai kecil yang bahkannyaris serupa titik di peta Indonesia.”

“Tapi kalau tempat yang menurut saya istimewa, dan masih dalam angan-angan saya. Saya ingin pergi ke Panama, menikmati matahari terbit dari samuderaPasifik dan melihatnya terbenam di samudera Atlantik. Satu-satunya tempat didunia, dan saya berencana akan pergi ke sana”, Jawab Ferdy.

Ferdy menghentikan ceritanya, melihat jam yang sudah menunjukkansesinya sudah habis, “wah, sepertinya saya terlalu asik ngobrol kanan kiri. Intinyaadalah fotografi bukan ajang gengsi, memamerkan hasilnya untuk dipuji.Fotografi lanskap memerlukan pembelajaran seumur hidup untuk mendapatkanhasil terbaik, ketekunan, perencanaan, dan pengalaman. Semakin kalianmemahami makna dari keindahan, justru semakin enggan kalianmengabadikannya dalam foto. Kadang pada satu titik, saking kagumnya saya padasatu obyek, saya bahkan tak berniat memfotonya, saya membiarkan lensa matasaya yang bekerja dan menyimpannya dalam memori saya. Saya terlalu egoisuntuk berbagi apa yang terlalu berharga dengan orang lain”.

Ferdy menutup pembicaraannya siang itu. Lalu setelah acara usai, merekayang mendengarkannya dengan seksama sejak tiga puluh menit lalu berkerumunmengelilinginya, melanjutkan obrolan mereka yang seolah tiada henti, hingga satuorang yang tak di kenalnya mengajukan tanya yang membuatnya tercenungsesaat.

“kak Ferdy, kakaknya Willy kan?”, tanya gadis itu setengah ragu. Ferdymengerutkan dahinya, meski dalam hati Ferdy agak terkejut.

“iya”, Ferdy membalas jabat tangannya.“Saya Nilam, teman SMPnya Willy, saya sama temen-temen pernah main

ke rumahnya Willy dulu, cuma saya beda SMA sama Willy. Awalnya saya ragumau menyapa, tapi saya perhatikan kakak memang kak Ferdy”, jelasnya lengkap,membuat Ferdy menyambut sapaannya dengan senyum.

“Oh, iya”“Willy apa kabar kak?, kuliah di Jogja ya katanya?, saya di Solo, tapi

kebetulan hangout di sini, di ajak sama temen ke acara ini. Gak nyangka saya bisaketemu kak Ferdy, boleh minta kontak kakak?”.

Ferdy mengetikkan nomer teleponnya, sebelum Ferdy sempat menjawabpertanyaan Nilam, Bimo merangkulnya dari belakang. “yuk Fer cabut, ditungguanak-anak di markas”.

Page 88: Salam Hangat Senja

88

“Maaf ya Nilam, saya tinggal duluan. Senang ketemu kamu”, kata Ferdy.“Sama-sama kak, makasih sharingnya tadi, salam buat Willy”, balas

Nilam.Ferdy tersenyum. Pahit. Seiris sembilu yang menyayat hatinya,

meninggalkan luka, mengurai perih .---------

“Haaa.. Wil, akhirnya San-san bales smsku”, ujar Ale girang,menunjukkan pesan itu pada Ale.

“Alah, balesannya gitu doang juga. See my pic, sunset dari tempatjemuran, lt 3 kosan”.

“bodo amat, yang penting aku seneng”.Yena tak sengaja mendengar percakapan itu, nada riang dari suara Ale

justru membuatnya termangu, siapa San-san?. Hati kecil Yena bertanya-tanya,mungkin benar kata orang bahwa rasa penasaran itu bisa membunuh. Yenamenghela nafas, memperbaiki ekspresi wajahnya yang sempat kusut, berpura-puraseolah ia tak mendengar apapun, meski hatinya sedikit sakit. Entah seberapabanyak makna dari kata sedikit itu.

“hai, maaf ak baru datang. Tante gimana?, jadi nemenin juga?”, tanyaYena. “Halo Oma, apa kabar, ini cucu Oma”, kata Yena memberikan salamnya,yang justru membuat Ale merasa tak enak hati.

“tante lagi ke luar sebentar, tapi nanti sore Papa kesini kok”, jawab Ale.“kita jadi ketemuan sama temenmu itu?”, tanya Ale kemudian“iya, Marco telepon tadi, kita ketemu sore ini di Natsepa, mau nyobain

rujak khas sini katanya”.Tak berapa lama kemudian ketiganya pergi meninggalkan lorong rumah

sakit dengan bau yang khas, bau obat dan semua pelengkapnya.----------------

Bab 10. A Gift

Making my way downtownWalking fastFaces passAnd I'm home bound

Staring blankly aheadJust making my wayMaking a wayThrough the crowd

And I need youAnd I miss youAnd now I wonder....

If I could fallInto the skyDo you think timeWould pass me by'Cause you know I'd walk

Page 89: Salam Hangat Senja

89

A thousand milesIf I couldJust see youTonight

It's always times like theseWhen I think of youAnd I wonderIf you everThink of me

'Cause everything's so wrongAnd I don't belongLiving in yourPrecious memory

'Cause I need youAnd I miss youAnd now I wonder....

If I could fallInto the skyDo you think timeWould pass me by'Cause you know I'd walkA thousand milesIf I couldJust see youTonight ……………………………..25

Marco bersenandung kecil menikmati harinya mengikuti suara manisVanessa Carlton. Entah apa yang membuatnya akhir-akhir ini menjadi lebih ceriatanpa ia sadari. Ia lebih banyak tersenyum, tertawa bahkan setengah sintingkarena kejahilannya tanpa ia sadari meningkat pesat. Orang itu ternyata memangmembawa dampak yang lumayan signifikan dalam kehidupannya, memuat Marcobertanya-tanya bagaimana nanti selepas jika ia pergi?.

And now I wonder….Marco menghentikan senandungnya, melihat ke arah kamar Nico yang

pintunya terbuka lebar. Edith duduk di bangku, di meja belajar tempat Nico biasamembiarkan bukunya berserakan di sana. Edith memicingkan matanya, tangannyalincah menggerakkan bolpoin, entah apa yang sedang ditulisnya.

“Hai lagi apa kak?”, tanya Marco. Edith sedikt terlonjak kaget mendengarsuara Marco, refleks ia menutup bukunya. Marco masuk, mendekati Edith melihatlebih jelas apa yang sedang dikerjakan Nonanya itu.

“nulis apa?”

25 Penggalan lirik lagu A Thousand Miles

Page 90: Salam Hangat Senja

90

“nulis yang bisa ditulis”, jawab Edith yang justru membuat Marcosemakin penasaran.

“tahu nggak, duduk berjam-jam di ruang kerja bisa bikin pemekuan darahdi kaki lho”, kata Marco. “Mau ikut keluar gak, kita makan ikan asar26?”, Marcomemancing minat Edith, sebab ia tahu, dua hal yang membuat Edith kalap adalahsemua jenis buah-buahan, khususnya si wangi Durio zibethinus, dan ikan, apapunnama ikannya.

“serius?”, mata Edith bersinar, meski Marco tahu ia sengaja meredam nadasuaranya agar tak terlalu kelihatan tertarik.

“serius lah, to go dutch?27, saya gak punya uang cukup buat bayarin perutkarung”

“saya gak jalan sama pacar kok”, jawab Edith kalem.“hahaha….”, hening.Sepanjang perjalanan itu, Marco tak mengerti kenapa dirinya begitu

gugup, suara Edith samar, yang kadang dijawabnya dengan seruan “hah?”, “apa”,membuatnya tampak seperti orang bodoh. Sepertinya produksi hormonnya saat inisedang surplus karena Edith duduk di jok belakang motornya, membuat rasagugupya meningkat berkali lipat, membuat otak cerdasnya menghilang sesaat.Aneh, kemarin-kemarin ia merasa tak seperti itu.

Jika dalam sehari ada sekitar seratus hingga seribu ton meteorit yangmenghantam bumi, terbakar karena gesekan atmosfir, mungkin hari itu salah satububuk serpihannya menghantam kepala Marco, membuatnya mati kutu dihadapanEdith.

“berhenti di depan ya”, Edith menunjuk salah satu toko bunga dantanaman hias yang ada di pinggir jalan.

Marco melambatkan laju motornya, kemudian berhenti tepat di toko yangEdith tunjuk meskipun ia tak tahu apa yang sebenarnya akan Edith lakukan,“ngapain kak, beli bunga buat apan?”, tanya Marco.

“udah, saya masuk dulu sebentar ya”, katanya pergi, meninggalkan Marco.Marco yang didera penasaran, mengikuti Edith tanpa di minta.

“mau saya belikan mawar gak?”, tanya Marco basa-basi.“jangan sok romantis, saya lebih suka orchid”, jawab Edith, membuat

marco menggaruk kepalanya kikuk.Kaktus?Marco kembali menatap, Edith dengan wajah heran, “bilangnya suka

anggrek tapi beli kaktus, apalagi kalau bukan orang aneh”, gumam Marco, tapi iajuga tak berniat untuk bertanya lebih jauh. Jawaban Edith selalu berujung padarasa penasaran lebih jauh, seperti lingkaran setan yang tidak aka nada habisnyauntuk dikuti.

Maka, pada akhirnya Marco memilih diam, hingga keduanya berlalu darisana, menuju tujuan utama sebelum meet up dengan kak Yena sesuai janjiawalnya. Cacing di perut Edith perlu ditenangkan sebagai antisipasi ia bertingkahmemalukan dihadapan orang-orang yang akan mereka temui nanti. Edith penuhkejutan kan?.--------

26 Ikan asap27 Jalan dengan pacar, tapi bayar sendiri-sendiri

Page 91: Salam Hangat Senja

91

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, mata Edith bersinar terang ketikamereka sampai di kawasan Galala, salah satu sentra ikan Asar yang terkenaldisini. Ikan segar hasil tangkapan laut warga sekitar yang kemudian diolahmelalui proses pengasapan. Ikan tongkol dan tuna yang pipih diapit batangbambu, kemudian di tali itu mengeluarkan aroma yang sangat wangi, danwarnanya yang cokelat mengkilat membuatnyan nyaris mirip dengan bola mataEdith saat ini.

“heei…”, tegur Mraco, membuat Edith yang terbengong sesaatmemperhatikan ikan-ikan yang digantung, atau ditumpuk di meja-meja itukembali pada kesadarannya.

“hai”, jawab Edith setengah malu.“ikan emangnya lebih menarik daripada cowok ya?”, tanya Marco

menggoda Edith, “yuk, pesan dulu, saya takut kak Edith mulai kena halusinasikelamaan ngeliatin mereka”, lanjut Marco, menarik Edith ke salah satu kiospedagang yang juga membuka warung makan”.

“saya terserah tour guide aja menunya”, kata Edith mempercayakanpemahaman Marco tentang menu makan khas tempatnya sendiri yang terbaikyang bisa mengobati rasa lapar Edith.-------

“Saya baru tahu tumis bunga papaya rasanya lumayan enak”, kata Edith,menikmati menu lainnya yang sengaja dipilih Marco sebagai pelengkap nasi danolahan ikan asar, plus sambal colo-colo yang membuat selera makannya naikpesat. Edith menyeka keringatnya, menikmati makan siang menjelang sorenyatanpa tahu orang yang didepannya justru kehilangan selera makan, melihat Edithsudah membuatnya merasa kenyang.

Pikirannya justru tertuju pada tas tempat kaktus yang tadi dibelinyatersimpan dalam kantung kertas. Ia masih menduga-duga sebenarnya apa yangdirencanakan Edith, Marco sangsi Edith jauh-jauh ke Ambon hanya untukmembeli kaktus.

“Ini jus apa?”“gandaria, sudah saya bilang kan, mumpung di sini, kak Edith saya paksa

makan dan minuman yang biasa ada di sini”, jawab Marco.“yang penting bukan jus pala, manisan pala aja saya gak doyan”, tukas

Edith, lalu dengan tenang kembali meneruskan makannya.Marco tersenyum lebar.Sial!, Marco memaki dalam hati, kenapa pula di saat-saat seperti ini

adrenalinnya berpacu lebih cepat, dan ia jadi nampak begitu excited hanya gara-gara melihat orang makan dengan santainya. Marco harus menjaga ritmejantungnya lebih cepat. Sebelum wajahnya makin tampak bodoh di depan Edith.

Ini semua salahnya sendiri. Semalam, setelah obrolan panjang merekaditemani cangkir kopi, Marco jelas tak bisa memejamkan matanya. Pikirannyatetap tertuju pada Edith meskipun ia berusaha mengenyahkannya. Seolahusahanya tak berbuah, Marco justru berakhir dengan kondisi yang lebih payah,dalam sekejap ia berubah menjadi seorang stalker yang mengamati jejaring sosialatas nama Edith Amanda. Marco harus mengakui bahwa itu hal paling sintingyang pernah ia lakukan.

Marco tersenyum sepanjang malam, sendirian seperti orang bodoh yangtak tahu sebenarnya menertawakan apa. Menertawakan dirinya yang tertawa

Page 92: Salam Hangat Senja

92

membaca postingan Edith, atau menertawakan kebodohannya melakukan halbodoh sepanjang malam?. Yang jelas, tanpa disadarinya, tanpa sempat iamengelak, nama Edith sudah memenuhi otaknya malam itu, dan mulai berdampaksistemik ketika Marco bangun keesokan harinya. Hingga beginilah ia saat ini,memandang Edith dengan tatapan yang berbeda.

Hal yang paling menyenangkan dari semuanya adalah, kenyataan bahwaMarco sukses memecah satu misteri yang membuatnya kalut kemarin, tentangsatu nama, Erdi.

Dia adiknya, bukan seperti yang sempat disangka Marco. And the mostimportant thing is, she’s definitely single. Entah apa sebabnya, Marco merasa itukabar yang sangat menyenangkan. Tingkat kewarasan di otaknya sepertinyaberukurang pesat kadarnya. Sejak kapan segala sesuatu yang berhubungan denganEdith jadi topik utama.

Saya suka dia!.”anyway, Yena itu siapa?”, Marco tergagap..“hmm..Papa teman dekat orang tuanya, jadi sejak kecil saya kenal kak

Yena. Hanya memang jarang bertemu, makanya saya sedikit kaget waktu kitaketemu, dan sama-sama ngomongin ada orang yang lagi liburan. Muncullah idebuat meet up”.

“ya, semoga mereka asik, saya gak gampang kenal sama orang asing”,jawab Edith.

“sama saya bisa akrab”, tukas Marco, menyombongkan dirinya sendiri.“karena kamu annoying banget”, balas Edith, membuat Marco

mengerucutkan bibirnya.“but sweet enough, like a little puppy”,“arrghh, ayo pergi duluan, gak enak kan kalau telat”.“udah kayak mau meeting sama presiden aja”.------

Sepiring rujak dengan porsi yang lumayan besar terhidang disana. Beberapajenis buah yang dicampur potongan buah pala, plus irisan gula merah dan kacangtanah goreng. Dengan bumbu pelarutnya yang dari

Bumbu rujak Ambon khas karena ada potongan buah pala yangdicampur dengan irisan gula merah dan kacang tanah goreng. Pelarutbumbu berasal dari buah yang mengandung air seperti belimbing.


Top Related