KEPEMILIKAN RUMAH TEMPAT TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING
YANG BERKEDUDUKAN DI INDONESIA
Cholid Ibrahim
Sarjana Hukum,Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya
e-mail : [email protected]
ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dimana letak aturan
hukum mengenai status hak kepemilikan rumah susun bagi orang asing yang berkedudukan
di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan,
adalah:1.Aturan hukummengenai status hak kepemilikan rumah susun bagi orang asing
adalah dengan status Hak Pakai. Undang-undang No.103Tahun 2015 menetapkan Hak Pakai
atas tanah, jangka waktunya adalah selama 80 Tahun (sudah termasuk perpanjangan) 2.Aturan
pembelian properti bagi orang asing, dengan cara membuat permohonan hak pakai
bagi WNA
Keywords : Kepemilikan, Rumah Susun
PENDAHULUAN
Pembangunan nasional bertujuan
untuk mewujudkan suatu masyarakat adil
dan makmur yang merata secara materiil dan
spirituil berdasarkan Pancasila di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat, bersatu dan
berkedaulatan rakyat dalam suasana peri
kehidupan bangsa yang aman, tenteram,
tertib dan dinamis, serta dalam lingkungan
pergaulan dunia yang merdeka bersahabat,
tertib dan damai.1
Berbagai pihak yang terlibat dalam
bisnis properti kerap menyuarakan perlunya
orang asing diberi kesempatan memiliki
properti di Indonesia. Salah satu latar
belakang yang melandasi pemikiran tersebut
adalah agar industri properti di Indonesia
lebih maju karena pemasarannya akan
diminati warga negara asing.
Di era globalisasi dewasa ini,
kesempatan bagi orang asing untuk memiliki
hak atas tanah, sekalipun bukan hak milik,
merupakan salah satu perwujudan dari asas-
1 Ketetapan-Ketetapan MPR Republik Indonesia 1983, Ketetapan MPR-RI no. 11/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Bina Pustaka Tama, Surabaya, 1988, Hal. 1
asas hukum baru yang berkembang dalam
hukum perdagangan internasional
global.Globalisasi perdagangan membuat
kehadiran orang asing di Indonesia
merupakan keniscayaan yang tidak dapat
dihindari.
Penanaman modal yang dilakukan
oleh WNA di Indonesia, misalnya dalam
bidang Industri, jelas akan memerlukan
ketersediaan lahan berupa tanah untuk
keperluan industrinya tersebut. Selain itu
WNA tersebut juga membutuhkan sarana
dan prasarana untuk menjalankan
aktivitasnya di Indonesia, seperti sarana
perkantoran dan tempat tinggal
(hunian).Sebagai konsekuensinya, WNA
tersebut dapat mengelola hak atas tanahnya
secara pribadi maupun melalui badan hukum
yang didirikan di Indonesia. Selain itu WNA
tersebut juga berpeluang mendapatkan hak
hak atas tanah yang lain.
Ketentuan mengenai Hak Pakai
dalam PP 41/1996 merupakan dasar bagi
kepemilikan rumah bagi orang asing di
Indonesia.PP 41/1996 memberikan jaminan
terhadap kepemilikan rumah bagi orang
asing yang berkedudukan di
Indonesia.Secara tegas dijumpai dalam Pasal
1 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana telah
diuraikan di atas.
Pada penghujung tahun 2015
Pemerintah Indonesia secara resmi
mengeluarkan dan memberlakukan
Peraturan Pemerintah (PP) No 103 Tahun
2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
Yang Berkedudukan di Indonesia. PP No
103 Tahun 2015 tersebut sekaligus
mencabut pemberlakuan PP No 41 Tahun
1996 yang sebelumnya juga mengatur
terkait tempat tinggal dan hunian orang
asing yang berkedudukan di Indonesia. PP
No 103 Tahun 2015 menyebutkan bahwa
orang asing yang bertempat tinggal di
indonesia dapat memliliki properti dengan
hak pakai selama 80 tahun (termasuk
pembaharuan selama 30 tahun). Yang pada
PP sebelumnya yakni PP No 41 Tahun 1996
jangka waktu hak pakai hanya 50 tahun
(termasuk pembaharuan hak pakai selama
25 tahun).
Jika di lihat dalam ketentuan PP No
40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah, jangka waktu hak pakai maksimal
25 Tahun. Hal ini berpotensi memunculkan
masalah dalam praktek jika terdapat
beberapa aturan pelaksana yang tidak
sinkron satu dengan lainnya, seperti yang di
jelaskan diatas. Dari sisi lain semangat PP
No 103 Tahun 2015 diragukan dari segi
perlindungan warga negara Indonesia yang
semakin hari sangat kesulitan mendapatkan
akses properti yang layak dengan harga
terjangkau. Dengan kata lain
diberlakukannya PP No 103 Tahun 2015
akan menjadikan warga negara asing yang
mempunyai kemampuan modal serta akses
kapital yang tinggi yang tentu meninggalkan
rakyat Indonesia dari segi kepemilian tanah
untuk hajat hidup.
METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang dilakukan
dalam penelitian hukum berupa skripsi ini
adalah yuridis normatif .2Metode penelitian
hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai
penelitian hukum doktriner atau penelitian
perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum
doktriner dikarenakan penelitian ini hanya
ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis
sehingga penelitian ini sangat erat
hubungannya pada pada perpustakaan
karena akan membutuhkan data-data yang
bersifat sekunder pada
perpustakaan.Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan
peraturan perundang-undangan(statue
approach) dan pendekatan konsep
(conseptual approach).3
AKIBAT HUKUM KEPEMILIKAN
SATUAN RUMAH SUSUN OLEH WNA
Kepemilikan adalah kekuasaan yang
didukung secara sosial untuk memegang
kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki
secara ekslusif dan menggunakannya untuk
tujuan pribadi4. Adapun yang dimaksudkan
dengan hak milik menurut KUHPerdata
dirumuskan dalam Pasal 570.
Pasal 570 KUH Perdata menyatakan ;
“ Hak milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa,
dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan
itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal
tidak bersalahan dengan undang-undang
atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
suatu kekuasaan yang berhak
menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-
hak orang lain, kesemuanya itu dengan
tidak mengurangi kemungkinan akan
pencabutan hak itu demi kepentingan umum
2 Soerjono Soekanto dan Sri Marmudji,Penelitian Hukum Normatif,Suatu Pegantar, Citra Aditya Bakti, 1987, h 15, menyatakan bahwa “penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
3 Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam Penelitian Hukum terdapat pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approace), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h 93
4 www.wikipedia.org/wiki/kepemilikan
berdasar atas ketentuan undang-undang dan
dengan pembayaran ganti rugi”.
Menurut UU No.16 tahun 1985 tentang
rumah susun. Rumah Susun diartikan
sebagai berikut :
Rumah Susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-
bagian yang distrukturkan secara fungsional
dalam arah horisontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama
Jadi bisa dikatakan bahwa rumah
susun merupakan suatu pengertian yuridis
arti bangunan gedung bertingkat yang
senantiasa mengandung sistem kepemilikan
perseorangan dan hak bersama, yang
penggunaannya bersifat hunian atau bukan
hunian. Secara mandiri ataupun terpadu
sebagai satu kesatuan sistem pembangunan
Pengertian warga negara asing
didefinisikan sebagai orang yang tinggal
dalam suatu negara dan bukan warga negara
dari negara tersebut5.
Berdasarkan pemahaman yang
objektif tentang hukum yang mengatur
warga Negara asing tinggal di Indonesia
yang terdapat berapa dasar yang mengatur
itu.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 1 ayat (3).
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 27 ayat (1).
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 26 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1996
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 103 Tahun 2015
Dalam Peraturan Pemerintah ini
yang dimaksud dengan Orang Asing adalah
Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia yang selanjutnya disebut Orang
Asing adalah orang yang bukan Warga
Negara Indonesia yang keberadaanya
memberikan manfaat, melakukan usaha,
bekerja, atau berinvestasi di Indonesia.
Kementerian Agraria dan Tata
Ruang / Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) mengeluarkan aturan
kepemilikan hunian bagi orang asing.
5R. Subekti, Tjitrosoedibio. 2012. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita (Persero). h. 45
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan
Menteri ATR / Kepala BPN Nomor 13
tahun 2016 tentang tata cara pemberian,
pelepasan atau pengalihan hak atas
pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian
oleh orang asing yang berkedudukan di
Indonesia. Hal ini menjadi tindak lanjut dari
Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun
2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
Yang Berkedudukan Di Indonesia.
Penghitungan harga minimal
mengacu pada harga zona tanah dan harga
pasaran properti di wilayah tersebut,
karenanya harga minimal di Jakarta akan
berbeda dengan Jogjakarta dan Sumatera
Utara. Pemerintah juga mengatur harga
minimal hunian yang dapat dimiliki orang
asing yang tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri. Harga minimal mengacu
pada harga tertinggi dari wilayah tersebut,
untuk wilayah DKI Jakarta, harga rumah
tinggal yang dapat dimiliki orang asing
harus lebih dari 10 miliar rupiah untuk
rumah tunggal dan 5 miliar rupiah untuk
rumah susun. Penghitungan harga minimal
mengacu pada harga zona tanah dan harga
pasaran properti di wilayah tersebut,
karenanya harga minimal di Jakarta akan
berbeda dengan Jogjakarta dan Sumatera
Utara
Jika dalam jangka waktu 1 tahun hak
atas rumah dan tanahnya belum dilepaskan
atau dialihkan maka akan dilelang oleh
Negara atau menjadi milik pemegang Hak
Milik atau Hak pengelolaan. Hasil lelang
diberikan kepada orang asing / ahli waris
setelah dikurangi dengan biaya lelang
ataupun biaya lain yang telah dikeluarkan
Pengaturan kepemilikan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”)
memiliki keterkaitan dengan adanya
sertifikat hak milik satuan rumah susun
(“SHM sarusun”). Oleh karena itu, untuk
menjawab pertanyaan pada rumusan
masalah pertama, penulis perlu mengetahui
terlebih dahulu yang dimaksud dengan SHM
sarusun. Mengenai definisi SHM sarusun
dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka
11Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun (“UU Rumah Susun”)
yang berbunyi:
“Sertifikat hak milik sarusun yang
selanjutnya disebut SHM sarusun adalah
tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas
tanah hak milik, hak guna bangunan atau
hak pakai di atas tanah negara, serta hak
guna bangunan atau hak pakai di atas tanah
hak pengelolaan.”
Kepemilikan WNA terhadap hak milik atas
satuan rumah susun itu merujuk pada
ketentuan hak-hak atas tanah yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (“UUPA”). Berdasarkan undang-
undang tersebut, WNA hanya diperbolehkan
memiliki hak pakai.
Adapun definisi hak pakai terdapat dalam
Pasal 41 ayat (1) UUPAyang berbunyi:
“Hak pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsungoleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan
dalamkeputusan pemberiannya oleh pejabat
yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian denganpemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segalasesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
Oleh karena itu, WNA yang mau
memiliki HMSRS harus cermat sebelum
membeli unit rumah susun. Ia harus
mengetahui apakah bangunan rumah susun
yang hendak ia miliki itu berdiri di atas
tanah yang berstatus hak pakai atau tidak.
Menurut Pasal 17 UU Rumah Susun,
rumah susun dapat dibangun di atas tanah
dengan status Hak Milik, Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah
Negara, dan Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai di atas Hak Pengelolaan.
Pengaturan mengenai WNA hanya
boleh memiliki HMSRS yang bangunan
rumah susun itu dibangun di atas tanah
dengan hak pakai atas tanah negara juga
dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah
No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di
Indonesia(“PP 41/1996”). Rumah susun
untuk orang asing dapat memiliki HMSRS
dengan mengacu pada ketentuan Pasal 2 PP
No. 41/1996 yang berbunyi : “Rumah
tempat tinggal atau hunian yang dapat
dimiliki oleh orang asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 adalah :
1.Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun
di atas bidang tanah:
a. Hak Pakai atas tanah Negara
b. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah.
2. Satuan rumah susun yang dibangun di
atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah
Negara.”
Selain persyaratan tersebut, terdapat
satu persyaratan lagi yang diatur oleh
peraturan turunan PP No. 41/1996, yaitu
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun
1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang
Asing(“Peraturan MNA/BPN 7/1996”).
Pasal 2 ayat (2) Peraturan MNA/BPN
7/1996 berbunyi:
“Rumah yang dapat dibangun atau dibeli
dan satuan rumah susun yang dapat dibeli
oleh orang asing dengan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah rumah atau satuan rumah susun
yang tidak termasuk klasifikasi rumah
sederhana atau rumah sangat sederhana.”
Kriteria rumah sederhana (RS) atau rumah
sangat sederhana (RSS) menurut Pasal 1
huruf d Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 15 Tahun 1997 antara lain:
a. harga perolehan tanah dan rumah tidak
lebih dari pada Rp 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah),
b. luas tanah tidak lebih dari pada 200 M2,
di daerah perkotaan dan tidak lebih daripada
400 M2, untuk di luar daerah perkotaan.
Dari penjelasan penulis di atas dapat
disimpulkan bahwa WNA dapat memiliki
hak atas satuan rumah susun (HMSRS)
hanya apabila tanah tempat bangunan rumah
susun itu berdiri berstatus sebagai hak pakai
atas tanah negara sebagaimana yang diatur
dalam PP 41/1996. Syarat lain yang juga
perlu diperhatikan oleh WNA sebelum
memiliki HMSRS adalah bahwa kriteria
satuan rumah susun yang dapat dibeli WNA
adalah tidak termasuk klasifikasi yang
terdapat dalam Peraturan MNA/BPN 7/1996
seperti yang telah penulis uraikan di atas.
UPAYA HUKUM WNA TERKAIT
PERMASALAHAN SENGKETA
RUMAH SUSUN DI INDONESIA
Perlindungan hukum kepada orang
asing yang bertempat tinggal di Indonesia
dan membeli tempat hunian ( rumah susun )
ada perlindungan hukum yang diberikan
oleh pemerintah terhadap warga negara
asing dalam berivestasi tidak hanya terfokus
pada peraturan yang telah disebutkan diatas
tetapi menggunakan upaya lain yang lebih
efisien yaitu membuat perjanjian bilateral
dengan berbagai negara asal investor untuk
lebih meningkatkan kepercayaan dan
penanganan apabila terjadi sengketa atau
permasalahan dalam berinvestasi.
Upaya perlindungan konsumen di
tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan
tujuan yang telah diyakini bisa memberikan
arahan dalam implementasinya di tingkatan
praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang
jelas, hukum perlindungan konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar
kuat.
a. Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UUPK pasal 2, perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang
relevan dengan pembangunan nasional.
1.Asas Manfaat
Maksud asas ini adalah untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi
seluruh rakyat bisa diwujudkan secara
maksimal dan memberi kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah
dalam arti material dan spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5.Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku
usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
b.Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam UUPK pasal 3, disebutkan bahwa
tujuan perlindungan konsumen adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan,
dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang/jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan, dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi
serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur
dan bertanggungjawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
(untuk selanjutnya disebut UUPK) mengatur
tentang masalah kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen merupakan hal
yang paling pokok dan utama dalam
perlindungan konsumen.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
(untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan
Konsumen) mengatur tentang masalah
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen merupakan hal yang paling pokok
dan utama dalam perlindungan konsumen.
Peralihan hak atas satuan unit rumah
susun tentunya harus dipahami oleh para
pembeli unit rumah susun . Hal ini akan
sangat berkaitan dengan status kepemilikan
atas unit rumah susun yang telah WNA
transaksikan dengan developer, terutama
apabila developer mengalami kepailitan dan
terjadinya wanprestasi. Apabila sebelum
developer mengalami kepailitan ,telah
dilakukan penandatangan AJB antara
developer dan pembeli atas satuan rumah
susun dan telah didaftarkan ke Kantor Badan
Pertanahan hingga terbitnya SHM sarusun
atas nama unit rumah susun tersebut ,maka
pembeli unit rumah susun tentunya tidak
akan mengalami masalah. Hal ini kareana
dengan adanya SHM sarusun yang
dimilikinya tersebut,maka hak kepemilikan
atas satuan rumah susun telah beralih dari
developer ke pembeli. Dengan demikian,
pembeli dapat dikatakan sebagai pemilik
unit rumah susun tersebut. Namun apabila
yang terjadi sebaliknya ,yaitu antar pembeli
dan developer ternyata belum dilakukan
penandatanganan AJB sehingga perjanjian
diantara mereka hanyalah dalam bentuk
PPJB,tentunya akan menimbulkan adanya
masalah terkait dengan pailitnya developer
tersebut .apabila masih dalam bentuk
PPJB ,maka status kepemilikan para pembeli
atas satuan unit rumah susun yang telah
mereka tansaksikan tersebut baik telah
melunasi maupun hanya pembayaran
sebagian ,menjadi tidak jelas .Hal ini karena
dengan adanya PPJB ,maka belum terjadi
peralihan hak. Para pembeli tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai pemilik,karena
mereka belum memiliki SHM sarusun atas
nama mereka. Dengan kata lain terhadap
unit rumah susun masih menjadi aset
developer .Apabila unit rumah susun masih
atas nama developer maka terhadap rumah
susun tersebut dapat dimasukan sebagai
harta pailit dan dapat dilakukan penyitaan.
Selain itu apabila proses pailit berlanjut dan
ternyata kurator ditunjuk dalam kepailitan
tersebut memutuskan untuk tidak
melanjutkan pelaksanaan perjanjian antara
developer pailit dan para pembeli seperti
yang terdapat dalam ketentuan pasal 36 ayat
(3).Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU ,maka status para pembeli unit rumah
susun hanya sebagai kreditur konkuren.
Dengan demikian ,para pembeli
mendapatkan pembagian pailit paling
terakhir setelah kreditur-kreditur lainnya.
Kondisi ini semakin menimbulkan
kekhawatiran bagi para pembeli terkait
dengan uang pengembalian akan mereka
terima dari pembagian harta pailit
nantinya,yang jumlahnya tidak utuh lagi.
Hal ini tentunya akan sangat merugikan para
pembeli karena dapat dikatakan selain
kehilangan uang ,para pembeli juga
kehilangan unit rumah susun.
Sengketa yang terjadi antara pembeli
dengan developer dari tahun ke tahun terus
meningkat. Berbagai faktor menjadi
penyebabnya, antara lain developer
melakukan wanprestasi, keterlambatan serah
terima, hingga ketidaktransparan dalam
proses jual beli. Adapun salah satu
contohnya ialah kasus yang terjadi pada para
pembeli unit rumah susun ,dari kasus
tersebut dapat dilihat bahwa terhadap
developer pun dapat diajukan pernyataan
pailit .Dalam kasus developer yang
dinyatakan pailit ,menunjukan bahwa
kepailitan tidak hanya dapat dialami oleh
orang,perseroan,namun juga badan hukum.
Tindakan wanprestasi developer terhadap
salah satu pihak menyebabkanpihak yang
dirugikan tersebut mengajukan permohonan
pernyataan pailit ke pengadilan
Niaga .Adapun salah satu syarat untuk dapat
dipailitkan ialah adanya utang. Tindakan
wanprestasi yang dilakukan developer
tersebut dapat dijadikan dasar untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Hal ini karena pengertian utang yang dianut
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ialah
pengertian utang dalam arti luas, berarti
termasuk kewajiban prestasi.Dengan adanya
putusan pailit terhadap developer selaku
pengelola dan pemilik rumah susun ,tidak
hanya membawa akibat hukum bagu
developer sendiri ,melainkan juga
berdampak pada para pembeli unit rumah
susun yang telah melakukan transaksi
dengan rumah susun tersebut.
Adapun hubungan hukum antara
developer dengan para pembeli diawali
dengan adanya perjanjian yang dituangkan
dalam bentuk Perjanjian Pengikatan Jual
Beli selanjutnya disingkat PPJB. PPJB yang
merupakan ujung tombak antara pembeli
dan developer seharusnya mampu
memeberikan perlindungan hukum bagi para
pihak yang bertransaksi .Dengan
dilangsungkannya PPJB oleh para pihak
maka calon penjual dan calon pembeli
menyatakan kehendaknya untuk
melangsungkan jual beli uang
sesunggungguhnya yaitu jual beli dengan
undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang-Undang Pokok Agraria
(selanjutnya disebut dengan UUPA).
Berdasarkan UUPA, jual beli merupakan
salah satu cara pemindahan hak kepemilikan
atas tanah dan bangunan . Jual beli tersebut
harus dilakukan di hadapan PPAT dan
dikenal dengan nama AJB. Dengan
dilakukannnya penandatangan AJB antara
developer dan para pembeli di hadapan
PPAT, maka kemudian dapat dilakukan
pendaftaran peralihan hak ke Kantor
Pertanahan setempat berupa pencatatan
dalam buku tanah dan terbitnya SHM
sarusun. Dengan adanya SHM sarusun atas
nama pembeli,maka dapat dikatakan sebagai
pemilik atas satuan unit rumah susun.
Namun nyatanya yang terjadi ,pada
saat pembeli telah melunasi harga jual beli
dan pajak-pajaknya ternnyat mereka sulit
mendapatkan sertifikat tersebut . Walaupun
para pembeli telah memenuhi prestasinya
berupa pelunasan terhadap jual beli kepada
developer ,nyatanya developer tidak
menindaklanjuti PPJB yang telah mereka
sepakati menjadi AJB .Sehingga ,sertifikat
terhadap unit rumah susunmasih atas nama
developer .Dengan demikian para pembeli
tidak memiliki tanda bukti kepemilikan
terhadap unit rumah susun mereka ,sehingga
status kepemilikan mereka pun menjadi
tidak jelas,Situasi para pembeli ini akan
semakin diperparah dengan adanya
kepailitan yang dialami oleh
developer.Dengan adanya putusan
pernyataan pailit ,maka developer tidak
berwenang lagi untuk mengurus harta
kekayaan miliknya.Hal ini sebagai satu
akibat hukum dari kepailitan,yang mana
berdasarkan ketentuan pasal 24 Undang-
Undang Kepailitan dan PKPU,sejak
putusdan pailit diucapkan debitor
kekayaannya yang termasuk dalam harta
pailit .Terhadap pengurusan dan atau
pemberesan atas harta pailit akan
dilaksanakan oleh curator .Adapun
kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan
debitor pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan ,kecuali apa
yang diatur dalam ketentuann pasal 22
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
Dengan adanya putusan pailit maka terhadap
harta milik debitor pailit (developer) dapat
dilakukan pencitraan untuk kemudian
dilakukan pemberesan terhadap piutang
debitor kepada kreditor-kreditornya. Dengan
demikian,apabila sertifikat atas satuan unit
rumah susun masih tercatat atas nama
developer ,maka unit rumah susun tersebut
dikategorikan sebagai aset milik developer
pailit. Oleh karena itulah,terhadap rumah
susun dan unit rumah susun tersebut dapat
dilakukan eksekusi berupa penyitaan karena
merupakan harta pailit debitor pailit.
Selain itu ,apabila proses kepailitan
terus berlangsung dan ternyata kurator yang
ditunjuk dalam kepailitan tersebut menolak
untuk melanjutkan pelaksanaan perjanjinan
antara developer dan para pembeli , seperti
yang terdapat dalam ketentuan pasal 36 ayat
(3)Undang-Undang Kepailitan PKPU,maka
para pembeli unit rumah susun akan
berposisi sebagai kreditor konkuren ,yang
akan mendapatkan pelunasan dari
pembagian harta pailit paling akhir ,setelah
kreditor-kreditor lainnya. Seringkali dari
hasil penjualan terhadap harta pailit milik
developer,para pembeli hanya akan
mendapatkan sebagian kecil uang mereka.
Dengan demikian ,selainpara pembeli tidak
memperoleh haknya dan tidak berhak atas
unit rumah susun tersebut ,para pembeli juga
hanya mendapatkan ganti rugi yang
jumlahnya sangatlah kecil meskipun
pembeli tersebut telah melunasi unit rumah
susunnya kepada developer.
Hal ini tentunya sangat ironis
sekali .Para pembeli unit rumah susun dapat
dikatakan tidak mendapatkan perlindungan
hukum dari tindakan-tindakan developer
yang nakal . Dengan banyaknya developer
yang bertindak sewenang-wenang dapat
berakibat buruk bagi penegakan hukum di
Indonesia ,terutama terkait dengan hak-hak
para pembeli.Banyaknya kasus kepailitan
developer selalu merugikan pembeli. Hal ini
karena pembeli adalah pihak yang
lemah ,sehingga tak heran hak-haknya
seringkali dilanggar dan diabaikan .Berbagai
macam kasus yang merugikan para pembeli
diakibatkan oleh kondisi dan situasi yang
terjadi pada pihak developer , sehingga
kedudukan para pembeli seringkali berada
dalam keadaan yang tidak
menguntungkan,Oleh karena
itulah ,diperlukan penegakan hukum untuk
melindungi kepentingan para pembeli unit
rumah susun terhadap developer yang
mengalami kepailitan.Adanya putusan pailit
terhadap developer seharusnya juga
mempertimbangkan mempertimbangkan
dari para pembeli unit rumah susun.
Sehingga,adanya putusan pailit tersebut
tetap melindungi pihak-pihak ketiga yang
juga berkepentingan dengan harta pailit
developer secara maksimal. Selain
itu,pembeli juga harus lebih hati-hati dan
cermat sebelum melakukan transaksi dengan
developer.Apabila pembeli memutuskan
ingin membeli satuan unit rumah susun yang
ditawarkan oelh developer,maka pertama-
tama pembeli haruslah mencari informasi
sedetail mungkin tentang track record
developer tersebut. Selanjutnya,pembeli
dapat meminta waktu yang cukup kepada
developer untuk mempelajari draft PPJB
yang telah disiapkan developer
tersebut.Pembeli juga harus bersikap secara
hati-hati sabar dan jangan mudah terpancing
dengan promo harga,agar hak pembeli dapat
menjadi pasti dan terjamin dari developer
yang tidak bertanggung jawab.
Jadi secara garis besar telah
dijelaskan bahwa para pembeli atas satuan
rumah susun yang hanya melakukan PPJB
yang dibuat dihadapan notaris berdasarkan
ketentuan pasal 43 Undang-Undang Rumah
Susun agar unsur objektifitas hukumnya
dapat lebih diandalkan dan merupakan
kesepakatan para pihak yang dibuat
berdasarkan ketentuan pasal 1320 BW
jo.pasal 1338 BW. Adapun ketentuan pasal
1320 BW mengatur mengenai syarat sahnya
suatu perjanjian dan walaupun para pembeli
telah memenuhi prestasinya berupa
pelunasan terhadap jual beli kepada
developer, tetapi developer tidak
menindaklanjuti PPJB yang telah mereka
sepakati menjadi AJB maka pembeli masih
belum mempunyai hukum yang kuat
menggugat untuk mendapatkan kepemilikan
dan ganti rugi berupa uang sedikitpun dari
developer dikarenakan sertifikat hak milik
atas satuan rumah susun tersebut masih atas
nama developer.
Sebaliknya apabila pembeli telah memiliki
AJB maka pembeli bisa melakukan gugatan
ganti rugi kepada pihak developer atas
satuan rumah susun tersebut namun
disayangkan tidak sepenuhnya ganti rugi
diterima oleh pembeli, seperti yang terdapat
dalam ketentuan pasal 36 ayat (3)Undang-
Undang Kepailitan PKPU,maka para
pembeli unit rumah susun akan berposisi
sebagai kreditor konkuren ,yang akan
mendapatkan pelunasan dari pembagian
harta pailit paling akhir ,setelah kreditor-
kreditor lainnya.
Ketentuan ganti rugi dalam KUHPer
pada dasarnya tidak jauh berbeda antara
ganti rugi yang disebabkan oleh karena
wanprestasi atau karena perbuatan
melanggar hukum, hanya saja dalam
perbuatan melanggar hukum dikenal adanya
gugatan immateriil. Ganti rugi immateriil ini
tidak dapat ternilai dan KUHPer juga tidak
menentukan mengenai besarnya ganti rugi
yang harus diberikan atas kerugian yang
timbul akibat dari perbuatan melanggar
hukum. Pemberian ganti rugi untuk
keduanya didasarkan pada komponen yang
sama yaitu biaya, rugi dan bunga.
PENUTUP
Berdasarkan penulisan yang telah
dijelaskan dalam skripsi ini menyangkut
soal kepemilikan rumah susun bagi Warga
Negara Asing maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Kesimpulan
1. Akibat hukum kepemilikan satuan
rumah susun oleh WNA dapat
disimpulkan bahwa WNA dapat
memiliki hak atas satuan rumah
susun (HMSRS) hanya apabila tanah
tempat bangunan rumah susun itu
berdiri berstatus sebagai hak pakai
atas tanah negara sebagaimana yang
diatur dalam PP 103/2015
2. Upaya hukum yang dapat dilakukan
dalam hal terjadinya sengketa
terhadap kepemilikan sarusun adalah
diselesaikan melalui jalur non litigasi
dan melalui jalur litigasi. Dalam
jalur non litigasi, upaya hukum yang
ditempuh adalah penyelesaian secara
musyawarah mufakat guna
tercapainya win-win solution
sehingga diantara para pihak yang
terlibat dalam perjanjian tersebut
tidak ada yang merasa dirugikan baik
secara materiil maupun secara
immateriil. Sebaliknya penyelesaian
melalui jalur litigasi dilakukan
dengan cara melakukan gugatan ke
Pengadilan Negeri.
Berdasarkan pada permasalahan yang
diangkat oleh penulis yaitu kepemilikan
rumah susun oleh WNA, maka dari itu
penulis memberikan saran sebagai berikut:
Saran
1. Sebaiknya pemerintah juga mengatur
secara jelas terhadap pengaturan
wilayah pemukiman rumah susun
bagi WNA dan pembatasan
kepemilikan properti oleh WNA agar
tidak terjadinya pergeseran
kepentingan WNI sendiri .
2. Hendaknya peraturan yang terkait
dengan satuan rumah susun yang
memberikan perlindungan terhadap
konsumen, hendaknya lebih baik
dalam hal memberikan kepastian
hukum untuk meminimalisir
kerugian yang akan diderita
konsumen dari para pengembang
yang melakukan pelanggaran hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ketetapan-Ketetapan MPR Republik
Indonesia 1983, Ketetapan MPR-RI no.
11/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara, Bina Pustaka Tama,
Surabaya, 1988
Marmudji Sri, Soerjono Soekanto, 1987,
Penelitian Hukum Normatif,Suatu Pegantar,
Citra Aditya Bakti
Marzuki, Peter, 2005, Penelitian Hukum,
Prenada Media, Jakarta
www.wikipedia.org/wiki/kepemilikan
R. Subekti, Tjitrosoedibio. 2012. Kamus
Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita
(Persero).