Download - Ringkasan uu 25 tahun 2004
RINGKASAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL
Dosen Pembimbing: Tashadi Tarmizi, SE, M.Si, Ak.
Disusun oleh Kelompok 1
Kelas 2B ASP
Arya Suteja (4201314029)
Asana (4201314052)
Azmala Putri Harditiara (4201314017)
Bayu Rifqy Yarangga (4201314033)
Dini Audi (4201314051)
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIKPOLITEKNIK NEGERI PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2013/2014 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional adalah salah satu dari sejumlah undang-undang yang ditandatangani Presiden
Megawati Soekarnoputri pada awal Oktober 2004, menjelang masa jabatannya berakhir.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi
“Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional didefinisikan sebagai satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencna pembangunan dalam jangka
panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.”
UNDANG – UNDANG TENTANG SISTEM PERANCANGAN PEMBANGUNAN
NASIONAL
Pasal 1
1. Membahas Definisi Perancangan
2. Membahas definisi pembangunan Nasional
3. Definisi Sistem Perancangan Nasional
4. Rencana pembangunan jangka panjang untuk periode 20 tahun.
5. Rencana pembangunan jangka menengah untuk periode 5 tahun
6. rencana pembangunan menengah lembaga untuk periode 5 tahun
7. Rencana pembangunan jangka menengah satuan kerja untuk periode 5 tahun
8. Rencana kerja pemerintah untuk periode 1 tahun
9. Rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) untuk periode 1 tahun
10. Rencana Kerja Kementrian untuk periode 1 tahun
11. (Renja-SKPD) untuk peride kerja 1 tahun
12. Definisi Visi
13. Definisi Misi
14. Definisi Strategi
15. Definisi kebijakan
16. Definisi Program
17. Definisi Lembaga
18. Definisi Program kementrian
19. Definisi Program lintas kementrian
20. Program kewilayahan dan lintas wilayah
21. Musyawarah Perencanaan pembangunan (Musrenbang)
22. Definisi mentri
23. Tanggung jawad Kepala satuan kerja perangkat daerah terhadap perencanaan
pembangunan
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
1. Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip
kebersamaan, berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.
2. Perencanaan Pembangunan Nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu,
menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.
3. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan Asas Umum
Penyelenggaraan Negara.
4. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah, antarruang,
antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
dan pengawasan;
d. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan
berkelanjutan.
RUANG LINGKUP PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pasal 3
1. Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan makro
semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
2. Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun
secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
3. Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dalam dimensi waktu 20 tahun
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun, serta Rencana
Pembangunan Tahunan (RKP), baik pada tingkat nasional, daerah, maupun
Kementerian/Lembaga (Pasal 3 sampai dengan 7).
Pasal 4
1. RPJP Nasional merupakan penjabaran tujuan pemerintah
2. RPJM Nasional merupakan Visi ,Misi dan program presiden
3. RKP merupakan penjabaran dari RPJM
Pasal 5
1. RPJP daerah merupakan visi,misi dan arah pembangunan daerah
2. Tujuan Dari RPJM daerah
3. Membahas rencana kerja dan pendanaan dari RKPD maupun RPJM
Pasal 6
1. Visi , misi ,tujuan , strategi , kebijakan program dan kegiatan Renstra-KL
2. Susunan Renstra-KL
Pasal 7
1. Visi , misi ,tujuan , strategi , kebijakan program dan kegiatan Renstra-SKPD
2. Susunan Renstra-SKPD
TAHAPAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pasal 8
Tahap Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi : Penyusunan rencana , Penetapan
rencana , Pengendalian pelaksanaan rencana dan evalasi pelaksanaan rencana.
Pasal 9
1. Penyusunan urutan RPJP
2. Urutan kegiatan RPJM
PENYUSUNAN DNA PENETAPAN RENCANA
Bagian Pertama
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Pasal 10
1. Persiapan mentri terhadap Rancangan RPJP Nasional
2. Persiapan Kepala Bappeda terhadap rancangan RPJP daerah
3. Rencana RPJP yang berkaitan dengan ayat 1 dan 2
Pasal 11
1. Penyelenggaraan Musrenbang terkait RPJP
2. Musrenbang yang diselenggarakan mentri jangka panjang nasional
3. Musrenbang yang diselenggarakan kepala Bappeda jangka panjang daerah
4. Maksud dari Musrenbang terkait ayat 2 dan 3
Pasal 12
1. Rencana akhir RPJP yang disusun mentri
2. Rencana RPJP yang disusun Kepala Bappeda dari hasil Musrenbang
Pasal 13
1. Penetapan RPJP Nasional dengan undang-undang
2. Penetapan RPJP Daerah dengan Peraturan daerah
Bagian Kedua
Rencana Pembangunan Jangka menengah
Pasal 14
1. Rencana awal RPJM Nasional yang disiapkan mentri
2. Rencana awal RPJM daerah yang disiapkan krtua Bappeda
Pasal 15
1. Renstra –KL yang disiapkan mentri yang berpedoman pada rencana awal RPJM nasional
sesuai pasal 14 ayat 1
2. RPJM yang dirancang mentri menggunakan rancangan Rensta-KL dan berpedoman pada
RJPM nasional
3. Renstra-SKPD direncanakan Kepala satuan kerja perangkat daerah berpedoman pada
rancangan awal RPJM daerah
Pasal 16
1. Rencana RPJM yang terkait Pasal 15 ayat 2 dan Pasan 15 ayat 4
2. Penyelenggaraan Musrenbang terkait RPJM
3. Musrenbang jangka menengah Nasional yang diselenggarakan mentri
4. Musrenbang jangka menengah daerah yang diselenggarakan kepala Bappeda
Pasal 17
1. Maksud dari Musranbang jangka menengah Nasional yang terkait Pasal 16 ayat 3 paling
lambat 2 bulan setelah presiden dilantik
2. Maksud dari Musranbang jangka menengah Daerah yang terkait Pasal 16 ayat 3 paling
lambat 2 bulan setelah Kepala daerah dilantik
Pasal 18
1. Rancangan akhir RPJM Nasional disusun mentri berdasarkan hasil Musrenbang jangka
menengah nasional
2. Rancangan akhir RPJM Daerah disusun Kepala Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang
jangka menengah daerah
Pasal 19
1. Penetapan RPJM nasional oleh presiden
2. Penetapan Renstra-KL sesuai RPJM
3. Penetapan RPJM paling lambat 3 bulan setelah kepala daerah dilantik
4. Penetapan Rensra-SKPD sesuai dengan RPJM daerah
Bagian Ketiga
Rencana Pembanguan Tahunan
Pasal 20
1. Rencana awal RKP dan RKJM disiapkan oleh mentri
2. Rencana awal RKPD disiapkan Oleh kepala Bappeda
Pasal 21
1. Pimpinan KL yang mengacu pada awal RPK sesuai pasal 20 ayat 1 dan berpedoman pada
Rensta-KL pasal 19 ayat 1
2. Mentri Mengkoordinasikan rencana RKP
3. Kepala SKPD menyiapkan Renja-SKPD
4. Kepala Bappeda menyiapkan Rencaran RKPD
Pasal 22
1. Maksud rencana RKPD dalam pasal 21 ayat 2 dan pasal 21 ayat 4
2. Penyusunan RKP dan RKPD oleh Musrenbang
3. Musrenbang RKP yg diselenggarakan mentri
4. Musrenbang penyusunan RKPD yang diselenggarakan kepala Bappeda
Pasal 23
1. Penyususan RKP oleh Musrenbang sesuai pasal 22 ayat 3
2. Penyusunan RKPD olh musrenbang sesuai pasa 22 ayat 4
Pasal 24
1. Rancangan akhir RKP yang disususn mentri
2. RKPD yang disusun Kepala bappeda
Pasal 25
1. RKP sebagai pedoman menyusun RAPBN
2. RKPD sebagai pedoman menyusun RAPBD
Pasal 26
1. RKP yang ditetapkan oleh peraturan presiden
2. Penetapan RKPD dengan peraturan pemerintah daerah
Pasal 27
1. Tata cara menyusun RPJP
2. Ketentuan mengenai tata cara penyusunan RPJP
Passal 28
1. Yang bertugas dalam pengendalian rencana pembangunan
2. Yang mengatasai hasil pemantauan pelaksaan rencana pembangunan
Pasal 29
1. Evaluasi kinerja yg dilakukan pimpinan KL
2. Evaluasi kinerja yang dilakukan Pimpinan SKPD
3. Evaluasi rencana pembangunan daerah disusun oleh Mentri/Kepala Bappeda
4. Hasil evaluasi menjadi bahasan bagi penyusun rencana
Pasal 30
Kketentuan lanjutan mengenai perecanaan pembangunan
Pasal 31
Perencanan pembangunan yang berdasarkan data dan informasi
Pasal 32
1. Penelenggaraan dan tanggung jawab presiden terhadap perencanaan pembangunan
nasional
2. Penyelenggaraan pemabangunan nasional ,presiden dibant mentri
3. Pimpinan KL menyelenggarakan perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas
4. Gubernur mengkoordinasi perencanaan pembangunan serta menentukan tugas pembantu
Pasal 33
1. Tanggung jawap kepala daerah terhadap rencana pembangunan daerah
2. Dalam melaksanakan tugas,pemerintah daerah dibantu kepala bappeda
3. Pimpinan SKPD menyelenggarankan perencanaan pembangunan sesuai aturan
4. Peranan gubernur
Pasal 34
1. RPJM mnasional mengikuti RPJP nasional sebelum ditentukan sesuai pasal 4 ayat 2
2. RPJP yang berkaitan dengan pasal 2 ayat 1
3. RPJM daerah mengikuti RPJMp daerah sebelum ketentuan sesuai pasal 5 ayat 2
Pasal 35
Penetapan RPJP nasional RPJM nasional setelah 6 bulan undang – undang ditetapkan
Peraturan undang-undang dibuat dan ditetapkan paling lambat setelah 1 tahunsetelah
peraturan diundangkan
Tidak dapat dimungkiri bahwa produk merupakan hal yang sangat penting, namun hal yang
tidak dapat diabaikan adalah kualitas proses dalam mencapai dokumen tersebut. Hal terakhir
inilah yang hampir-hampir tidak disentuh dalam UU No 25/2004, hanya ditegaskan tentang
keharusan adanya kelembagaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan)
dalam penyusunan rencana.
Memang hal tersebut sejatinya akan diturunkan dalam suatu Peraturan Pemerintah, namun
perlu dicatat bahwa Undang-Undang 25/2004 hanya menyebut permukaannya saja (Pasal 10
ayat 3; Pasal 11 ayat 1; dan Pasal 12 ayat 1), tidak seperti pada Pasal-pasal tentang Produk
(Dokumen) yang dijelaskan dengan sangat rinci.
10/3 : Rancangan RPJP Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “Menteri
menyiapkan rancangan RPJP Nasional.” dan rancangan RPJP Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) “Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah.”
menjadi bahan utama bagi Musrenbang.
11/1 : Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP dan diikuti oleh unsur-
unsur penyelenggara Negara dengan mengikutsertakan masyarakat.
12/1 : Menteri menyusun rancangan akhir RPJP Nasional berdasarkan hasil Musrenbang
Jangka Panjang Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4)
“Musrenbang Jangka Panjang Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) “Menteri
menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Nasional.” dan Musrenbang Jangka
Panjang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) “Kepala Bappeda
menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Daerah.” dilaksanakan paling lambat
1 (satu) tahun sebelum berakhirnya periode RPJP yang sedang berjalan.
Makna Musrenbang tidak ditegaskan dengan jelas, padahal di sinilah sebenarnya letak kunci
bagi paradigma baru perencanaan. Hal tersebut mencerminkan masih adanya 'jurang' (gap)
antara tujuan UU 25/2004 dengan kandungannya, dimana isi kurang mencerminkan jiwa serta
semangatnya.
Interaksi Kontinu
Pada hakikatnya perencanaan publik adalah suatu proses interaksi timbal balik antara
lembaga perencanaan (dan perencana) dengan publik yang sangat pluralistik, baik sebagai
subjek ataupun objek perencanaan.
Di dalam proses tersebut hampir dapat dipastikan terkandung unsur-unsur kepentingan
(interest) yang mungkin bertentangan (conflicting) satu dengan lainnya, baik politik, ekonomi
maupun lainnya. Dalam kondisi yang sangat sarat dengan perubahan interaksi inipun harus
bersifat dinamik dan kontinu.
Makna wacana top-down dan bottom-up adalah sesuatu yang berpasangan, karena satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Memang di masa yang lalu unsur top-down sangat
kental, sehingga tidak ada ruang bagi masyarakat selaku subjek maupun objek pembangunan
untuk beraspirasi atau berimajinasi, karena birokrasi sangat menentukan.
Sebaliknya, dewasa ini dalam suasana yang masih euforia, banyak perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan sendiri-sendiri bahkan ditunjang oleh
berbagai donor baik luar maupun dalam negeri, tidak terkait satu dengan lainnya, bahkan
saling bertentangan, yang pada gilirannya bisa menuju situasi yang kacau (chaotic).
Ini memang suatu keadaan transisional dan perlu dipandang sebagai suatu dinamika atau
konteks di mana perencanaan publik berada. Dalam kaitan ini tuntutan utama adalah
lembaga-lembaga formal (birokrasi) peren-canan seperti Bappenas maupun Bappeda harus
cukup tanggap, mampu menyesuaikan diri dan mengakui bahwa dinamika tersebut harus
diitegrasikan dalam proses perencanaan.
Tentu saja hal ini akan berdampak pada perubahan yang mendasar dalam pola pikir (mindset)
dan pola tindak lembaga-lembaga perencanaan tersebut, yang dalam istilah popular dikenal
sebagai perencanaan partisipatif.
Hal inilah yang seharusnya menjadi makna 'Musrenbang' (Musyawarah Perencanaan
Pembangunan) seperti yag dimaksud dengan UU 25/2004 tersebut. Perlu dicatat bahwa pada
masa orde baru pun telah dikenal istilah tersebut melalui Pedoman Penyusunan Perencanaan
dan Pengendalian Daerah (P5D) yang dikelola oleh Departemen Dalam Negeri (Permendagri
No 9 Tahun 1982), dengan ketentuan teknis yang sangat rinci.
Falsafahnya adalah menjaring aspirasi masyarakat, mulai dari tingkat desa, kecamatan, untuk
dibawa ke tingkat pusat melalui serangkaian forum-forum pertemuan dan konsultasi. Namun
dalam kenyataannya sangat sedikit, bila tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali, usulan-
usulan pembangunan dari tingkat desa yang dimasukkan dalam agenda pembangunan
Provinsi dan Nasional, karena 'dimanipulasi' untuk kepentingan tertentu.
Dengan kata lain P5D waktu itu hanyalah suatu bagian dari perangkat birokrasi untuk
legitimasi perencanaan. Seyogyanya 'Musrenbang' menurut UU 25/2004 tidak seperti itu lagi,
namun benar-benar menjadi arena komunikasi timbal balik antara lembaga perencanaan
dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menetapkan keputusan kolektif.
Diantisipasi bahwa prosesnya akan sangat panjang dan melelahkan, namun itulah tantangan
untuk mewujudkan perencanaan yang lebih partisipatif.
Issues
Pada masyarakat di negara yang telah berkembang, pengertian perencanaan publik sudah
pasti partisipatif, karena kalau tidak hal tersebut bukanlah perencanaan publik.
Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya menyadari atau menggunakan hak, kewajiban
dan kepeduliannya dalam pembangunan, perencanaan partisipatif menghadapi berbagai hal
yang perlu diperhatikan.
Pertama, identifikasi siapa pemangku kepentingan perencanaan tersebut, yang tentunya
sangat berbeda pada tingkat (level) perencanaan yang berbeda. Pada tingkat nasional
misalnya, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk mengundang seluruh kelompok
masyarakat se-Indonesia untuk berbondong-bondong ke Jakarta.
Kedua, apa peran kewajiban dan haknya. Hal tersebut akan berujung pada pertanyaan tentang
keterwakilan masyarakat (representativeness). Tanpa ada sesuatu pedoman akan hal-hal
tersebut, kemungkinan 'perencanaan partisipatif' malah akan menjadi masalah baru
ketimbang menjadi mekanisme perencanaan yang lebih demokratis dan terdesentralisasi.
Ketiga, bagaimana usulan-usulan program pembanguman dari tingkat bawah (grass roots)
dapat secara konsisten diusung dan dikawal ke tingkat yang lebih atas. Diharapkan dalam
penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai tidak lanjut UU No 25/ 2004, hal-hal tersebut
menjadi bahan pertimbangan utama.
Dalam kondisi seperti itu, tampaknya kini lembaga perencanaan seperti Bappenas dan
Bappeda, di samping melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang menyiapkan rencana-
rencana pembangunan seperti yang diamanatkan oleh UU 25/ 2004, juga harus melakukan
upaya pengembangan kelembagaan agar mampu melaksanakan perencanaan yang
partisipatif, serta sekaligus menumbuhkan budaya perencanaan dengan pelibatan masyarakat
secara lebih intensif.
Tentu saja hal itu tidak mungkin dilaksanakan oleh Bappenas serta Bappeda secara sendiri.
Peran masyarakat (LSM), perguruan tinggi, asosiasi-asosiasi profesi dan lainnya sangat
diperlukan, namun inisiasi lembaga perencanaan dalam melakukan 'reformasi' perencana- an
sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik di masyarakat dan kondisi global sangat
penting ada-nya.
Merekalah yang memiliki legitimasi, kemampuan teknis dan sumberdaya yang mungkin
untuk memulai hal tersebut. Inilah salah satu ciri perbedaan utama fungsi lembaga
perencanaan publik di masa orde baru dan saat kini.
Bila tidak hati-hati apa yang diamanatkan dalam UU 25/2004 dapat mengulang kesalahan
lama, yaitu bahwa perencanaan dipandang sebagai dokumen dan Blueprint yang disusun
secara mekanistik, yang seringkali merupakan formalitas (keharusan memiliki), dan hanya
merupakan hiasan meja.
Sesuatu yang perlu disadari bahwa perencanaan publik merupakan suatu proses interaksi
antara birokrasi perencanaan dan publik yang bersifat majemuk. Proses ini harus terjadi
secara terus menerus sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik masyarakat.
Sesuai dengan UU 25/2004, adalah tugas badan perencanaan (baca: Bappenas dan Bappeda)
untuk menyiapkan dokumen rencana, namun kini mereka dituntut juga untuk
mengembangakan proses serta kelembagaan perencanaan.
Memberdayakan masyarakat untuk lebih menyadari hak dan kewajibannya dalam proses
pembangunan kini merupakan salah satu tantangan utama dan sekaligus program kerja bagi
Bappenas dan Bappeda di Indonesia, yang kini eksistensinya telah dilegitimasi oleh UU 25/
2004.