Download - RINAWANG JADI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI
PADA KELOMPOK LANJUT USIA DI KELURAHAN SAWAH BARU
KECAMATAN CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN
TAHUN 2011
SKRIPSI
OLEH :
RINAWANG FRILYAN SARASATY
NIM : 106101003354
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H/ 2011 M
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 19 Oktober 2011 Rinawang Frilyan Sarasaty, NIM 106101003354 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Kelompok Lanjut Usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 xvi + 143 halaman, 24 tabel, 3 bagan, 5 lampiran
ABSTRAK
Meningkatnya umur harapan hidup (UHH), menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk lansia yang berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif seperti hipertensi. Hipertensi perlu diwaspadai karena sudah menjadi masalah global bagi kesehatan masyarakat. Survey riskesdas tahun 2007 menyebutkan bahwa penyakit ini pada usia 55 sampai diatas 75 tahun mencapai 62,8%. Hasil studi pendahuluan terhadap lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2009 didapatkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 32,4%. Angka ini jauh lebih besar dari prevalensi hipertensi yang ditetapkan Depkes RI (20-30%) untuk lansia di tahun 2000.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain studi cross-sectional. Sampel penelitian ini berjumlah 105 orang lansia usia 55 tahun keatas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah lansia masih tinggi yaitu TDS sebesar 148,67 mmHg dan TDD sebesar 91,28 mmHg. Terdapat 65,7% lansia menderita hipertensi. Berdasarkan analisis bivariat diketahui bahwa konsumsi natrium serta konsumsi buah dan sayur memiliki hubungan yang bermakna dengan hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011.
Dari hasil penelitian saran yang dapat diberikan bagi puskesmas kampung sawah yaitu mengaktifkan posbindu, membuat program dengan pendekatan kepada tokoh masyarakat sebagai wadah penyampaian informasi kepada warga melalui media informasi untuk demo melakukan diet rendah garam, peningkatan konsumsi buah dan sayur. Bagi masyarakat, melalui perubahan gaya hidup sehat untuk mengurangi konsumsi natrium seperti mengurangi penggunaanya dalam pengolahan makanan, tidak meletakkan garam di meja, patuh terhadap saran tenaga kesehatan, mengecek kadarnya dalam makanan kemasan, menggantinya dengan bumbu dapur alami. Selain itu, peningkatan konsumsi buah dan sayur dengan menanam bibit sayur dan buah, menyediakan dan mengkonsumsinya setiap hari sejak dini, serta memperhatikan proses pengolahannya. Bagi peneliti lain, menambah variabel penelitian serta penggunaan rancangan sampel yang lebih baik.
Daftar bacaan: 73 (1980-2011)
iii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND SCIENCE OF HEALTH PUBLIC HEALTH PROGRAM Skripsi, 19 Oktober 2011 Rinawang Frilyan Sarasaty, NIM 106101003354 Factors Associated with Hypertension in the Elderly Group in Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, South Tangerang City Year 2011 xvi + 143 pages, 24 tables, 3 schemes, 5attachments
ABSTRAC
Increasing of life expectation, causing will add elderly population total that will affect the changes of disease from infection to degenerative disease, such as hypertension. Hypertension needs to be bewared since have become global problem for public health. Riskesdas survey is year 2007 mentions that the disease on age 55 until above 75 year up to 62,8%. The results of a preliminary study to the elderly people in Kelurahan Sawah Baru 2009 is gotten that hypertension prevalence as big as 32,4%. This number much greater than prevalence of hypertension defined of Depkes RI (20 - 30%) for the elderly people in year 2000.
This research is aimed to know factors associated with hypertension on the elderly people in Kelurahan Sawah Baru in year 2011. This research is a quantitative research using of cross sectional design studi. The research sample total 105 elderly people age 55 years or older.
The result of this research showed that elderly people blood pressure average stills hight which is TDS as big as 148,67 mmHg and TDD as big as 91,28 mmHg. There are 65,7% the elderly people suffers hypertension. Based on bivariate analysis is known that sodium consumption and fruit and vegetable consumption had significant associate with hypertension on the elderly people in Kelurahan Sawah Baru year 2011.
From the research result that can be given suggestion for puskesmas kampung sawah isactivating posbindu, making program with approaching to society figure as a forum deliver information to society via media information for demo low salt diet, increased consumption fruit and vegetable. For the society, through healthy life style changes to reduce sodium consumption as reducing it’s using in food processing, do not put salt on the table, obedient to the advice of health personel, check the levels in food packaging, replacing it with natural herbs. In addition, the increased consumption of fruits and vegetables by planting the seeds of vegetables and fruits, provide and consume them every day early, and pay attention to the processing process. For other researchers, adding research variable, and use a better design of the sample.
Reading list: 73 (1980-2011)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PERSONAL DATA
Nama : Rinawang Frilyan Sarasaty
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 11 April 1988
Agama : Islam
Alamat : Komp. Depag Blok 12/E.8 Rt 02/07 Bambu Apus-
Pamulang 15415, Tangsel
Nomor Telepon/HP : (021) 91503777
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1994-2000 : MI Pembangunan IAIN Jakarta
2000-2003 : SLTP Negeri 87 Jakarta
2003-2006 : SMU Negeri 29 Jakarta
2006-2010 : Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI
2008-2010 : Anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN KERJA
PBL I di Puskesmas Serpong Kota Tangerang Selatan
PBL II di Puskesmas Serpong Kota Tangerang Selatan
Magang di RSIA Citra Insani, Parung-Bogor, Februari 2010
Enumerator Survey Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten
Tangerang Tahun 2009
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobil’alamin adalah untaian kata terindah sebagai ungkapan
puji syukur kehadirat Allah SWT yang patut penulis ucapkan atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan
judul ”faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia
di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2011.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak
terdapat kekurangan dan kesalahan baik dari segi isi, bahasa, maupun pengetikannya.
Namun berkat bimbingan Ibu Catur Rosidati, MKM dan Ibu Raihana Nadra Al Kaff,
MMA yang telah sabar dalam membimbing dan memberikan banyak masukan.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis telah mendapat banyak dukungan dan
arahan dari berbagai pihak, untuk itu perkenankan saya menyampaikan penghargaan
dan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah membantu
dan segenap dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat
berguna bagi peneliti.
3. Catur Rosidati, SKM, MKM selaku Dosen Pembimbing 1
4. Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku Dosen Pembimbing 2
viii
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan kasih sayang, dorongan
moril maupun materil yang tak terhingga sehingga penulis mampu dalam
menyelesaikan skripsi ini..
6. Adikku M. Zachfier. Mezhar yang telah memberikan bantuan dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
7. Segenap staff Kelurahan Sawah Baru yang telah memberikan kesempatan dan
membantu saya dalam penelitiaan ini.
8. Kepala Puskesmas Kampung Sawah yang telah mengizinkan peneliti untuk
proses pengumpulan data-data yang diperlukan.
9. Teman-teman 3G angkatan 2006 atas ikatan persahabatan, persaudaraan,
perhatian, dukungan, masukan, arahan serta bantuan yang telah diberikan.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan
bantuannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi
penulis pada khususnya. Sehingga, saran dan kritik yang membangun sangatlah
penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Jakarta, 19 Oktober 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI ..........................................................v
RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN .................................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 11
1.3 Pertanyaan Penelitian .............................................................................. 10
1.4 Tujuan ..................................................................................................... 13
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................... 13
1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 13
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 15
1.5.1 Bagi Peneliti .................................................................................. 15
1.5.2 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan .............................. 15
1.5.3 Bagi Masyarakat ............................................................................ 15
1.5.4 Bagi Instasi yang Terkait ............................................................... 15
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 17
2.1 Hipertensi ............................................................................................... 17
2.1.1 Definisi hipertensi ......................................................................... 17
2.1.2 Klasifikasi Hipertensi .................................................................... 18
2.1.3 Cara Pengukuran Tekanan Darah ................................................... 19
x
2.1.4 Diagnosis Hipertensi ..................................................................... 20
2.1.5 Gejala Klinis Hipertensi ................................................................ 22
2.1.6 Patofisiologis Hipertensi ................................................................ 22
2.1.7 Komplikasi Hipertensi ................................................................... 24
2.1.8 Penatalaksanaan Hipertensi ........................................................... 26
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Hipertensi ................ 27
2.2.1 Umur ............................................................................................. 28
2.2.2 Jenis Kelamin ............................................................................... 29
2.2.3 Riwayat Keluarga .......................................................................... 31
2.2.4 Etnis .............................................................................................. 32
2.2.5 Obesitas ........................................................................................ 32
2.2.6 Konsumsi Natrium ........................................................................ 35
2.2.7 Konsumsi Lemak .......................................................................... 40
2.2.8 Konsumsi Alkohol ........................................................................ 42
2.2.9 Konsumsi Buah dan Sayur ............................................................. 43
2.2.10 Konsumsi Air .............................................................................. 48
2.2.11 Merokok ...................................................................................... 50
2.2.12 Olahraga atau Aktifitas Fisik ....................................................... 54
2.2.13 Stres ............................................................................................ 57
2.3 Metode Food Frequency Questioner ....................................................... 61
2.4 Lansia .................................................................................................... 62
2.4.1 Hipertensi Pada Usia Lanjut .......................................................... 63
2.5 Kerangka teori ........................................................................................ 65
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL,
DAN HIPOTESIS ..................................................................................... 66
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 66
3.2 Definisi Operasional ............................................................................... 68
3.3 Hipotesis ................................................................................................ 71
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 73
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 73
xi
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 73
4.2.1 Lokasi Penelitian ........................................................................... 73
4.2.2 Waktu Penelitian ........................................................................... 73
4.3 Populasi dan Sampel .............................................................................. 74
4.3.1 Populasi ........................................................................................ 74
4.3.2 Sampel .......................................................................................... 74
4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 76
4.5 Pengumpulan Data ................................................................................. 77
4.5.1 Data Primer ................................................................................... 77
4.5.2 Data Sekunder ............................................................................... 80
4.6 Pengolahan Data ..................................................................................... 80
4.7 Analisis Data .......................................................................................... 83
4.7.1 Analisis Univariat........................................................................... 83
4.7.2 Analisis Bivariat ............................................................................ 83
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................... 85
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 85
5.1.1 Keadaan Geografi .......................................................................... 85
5.1.2 Keadaan Demografi ....................................................................... 85
5.2 Gambaran Hasil Analisis Univariat ......................................................... 87
5.2.1 Gambaran Kejadian Hipertensi pada Lansia .................................. 87
5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin pada Lansia ........................................... 88
5.2.3 Gambaran Konsumsi Natrium pada Lansia ..................................... 89
5.2.4 Gambaran Konsumsi Lemak pada Lansia ...................................... 90
5.2.5 Gambaran Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia ........................ 91
5.2.6 Gambaran Konsumsi Air pada Lansia ............................................ 92
5.2.7 Gambaran Kegiatan Olah Raga pada Lansia .................................. 93
5.2.8 Gambaran Merokok pada Lansia ................................................... 93
5.2.9 Gambaran Kejadian Stres pada Lansia ........................................... 94
5.2.10 Gambaran Obesitas pada Lansia .................................................. 94
5.3 Gambaran Hasil Analisis Bivariat ........................................................... 95
xii
5.3.1 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi ....................... 96
5.3.2 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi ................ 96
5.3.3 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi .................. 97
5.3.4 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi .... 98
5.3.5 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi ........................ 99
5.3.6 Hubungan antara Olah Raga dengan Hipertensi ............................100
5.3.7 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi ..............................101
5.3.8 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi .....................................102
5.3.9 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi ...............................103
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................................105
6.1 Keterbatas Penelitian ..............................................................................105
6.2 Gambaran Kejadian Hipertensi pada lansia ............................................106
6.3 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi ...............................109
6.4 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi ........................111
6.5 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi ..........................114
6.6 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi ............117
6.7 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi ................................119
6.8 Hubungan antara Olah Raga dengan Hipertensi .....................................121
6.9 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi .......................................124
6.10 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi ............................................126
6.11 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi ......................................129
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................131
7.1 Kesimpulan ...........................................................................................131
7.2 Saran .....................................................................................................133
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................138
LAMPIRAN ..........................................................................................................144
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC-7 ................................... 19
2.2 Rekomendasi Tindak Lanjut Tekanan Darah
Pengukuran Pertama .......................................................................
19
2.3 Klasifikasi IMT (Indeks Masa Tubuh) Orang
Indonesia.........................................................................................
34
2.4 Kandungan Natrium Beberapa Bahan Makanan (mg/100gr) ........ 39
3.1 Definisi Operasional Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Hipertensi .......................................................................................
68
5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................
88
5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................
88
5.3 Distribusi Frekuensi Konsumsi Natrium pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................
89
5.4 Distribusi Frekuensi Konsumsi Lemak pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................
90
5.5 Distribusi Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................
91
5.6 Distribusi Frekuensi Konsumsi Air pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................
92
5.7 Distribusi Frekuensi Kegiatan Olah Raga pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................
93
5.8 Distribusi Frekuensi Merokok pada Lansia di Kelurahan Sawah
Baru Tahun 2011 ...........................................................................
93
5.9 Distribusi Frekuensi Kejadian Stres pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................
94
xiv
5.10 Distribusi Frekuensi Kejadian Obesitas pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 .............................................. 95
5.11 Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
96
5.12 Hubungan Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
97
5.13 Hubungan Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
98
5.14 Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada
Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................
99
5.15 Hubungan Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
100
5.16 Hubungan Olah Raga dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
101
5.17 Hubungan Merokok dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
102
5.18 Hubungan Stres dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
103
5.19 Hubungan Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................
104
xv
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Halaman
2.1 Patofisiologis Hipertensi ........................................................... 25
2.2 Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Hipertensi ..................................................................................
65
3.1 Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Hipertensi ..................................................................................
67
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian Kepada Dinas Kesehatan Tangerang Selatan
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian Kepada Kepala Kelurahan Sawah Baru
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian
Lampiran 4. Form Food Frequency Questioner (FFQ)
Lampiran 5. Hasil Output SPSS
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar BeLakang
Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 3,
pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, ditetapkan
bahwa sasaran pembangunan kesehatan adalah meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Pencapaian tersebut tercermin dari indikator dampak
pembangunan kesehatan, yaitu: menurunnya angka kematian bayi dari 34
menjadi 24/1000 kelahiran hidup, menurunnya angka kematian ibu melahirkan
dari 228 menjadi 118/100.000 kelahiran hidup, menurunnya prevalensi gizi
kurang pada anak balita dari 18,4 % menjadi kurang dari 15,0% dan
meningkatnya umur harapan hidup (UHH) dari 70,6 tahun menjadi 72,0 tahun
(Sarjuni, 2009).
Semakin meningkatnya UHH penduduk, menyebabkan jumlah penduduk
lanjut usia terus meningkat. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Lansia), lansia adalah penduduk yang telah
2
mencapai usia 60 tahun ke atas. Namun, hal ini disesuaikan dengan kondisi
Indonesia, dimana masa pensiun yang tergolong pada tahap dewasa akhir adalah
55 tahun, kecuali untuk orang dengan fungsi tertentu seperti professor, ahli
hukum, dokter atau profesi lain (Depkes RI, 1998). Proses penuaan penduduk
tentunya berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan
terutama kesehatan, karena dengan semakin bertambahnya usia, fungsi organ
tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun karena
penyakit (Badan Pusat Statistik, 2006).
Menurut U.S. Census Bureau, International Data Base (2009), tahun 2007
jumlah penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi
20.547.541 jiwa pada tahun 2009. Badan Pusat Statistik (1992), memprediksi
bahwa penduduk lansia di Indonesia tahun 2020 mencapai angka 11,34% atau
28,8 juta jiwa. Di wilayah Kota Tangerang Selatan menurut Dinas Kesehatan
Tangerang Selatan (2009), jumlah lansia mencapai 222.093 jiwa, sedangkan di
wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah mencapai 1.562 jiwa.
Perubahan struktur umur penduduk menjadi struktur penduduk umur tua
(UHH) meningkat akan mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit
serta tingkat kesehatan di masyarakat. Terjadinya pergeseran pola penyakit
menunjukan terjadinya perubahan status kesehatan masyarakat. Keadaan tersebut
dikatakan sebagai transisi epidemiologi yakni lebih memfokuskan aspek
pergeseran pola penyakit yang diawali wabah dan berbagai penyakit infeksi
(Penyakit Menular/PM) bergeser ke penyakit degeneratif (Penyakit Tidak
Menular/PTM) (Khomsan, 2001).
3
Hasil SKRT 1995 dan SKRT 2001, menurut penyebab kematian tampak
bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi yang
diikuti transisi demografi. Proses ini diprediksi akan berjalan terus seiring dengan
perubahan status sosial ekonomi dan gaya hidup. Proporsi penyebab kematian
oleh PM di Indonesia telah menurun sepertiganya dari 44% menjadi 28%,
sedangkan akibat PTM mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari 42%
menjadi 60% (Depkes, 2008). Berdasarkan data WHO, tahun 2000 PTM
diperkirakan mencapai 60% kematian di dunia dan diprediksikan pada tahun
2020 PTM mencapai 73% kematian di dunia (Soemantri, dkk, 2005).
Penyakit PTM atau degeneratif telah banyak muncul di Indonesia, yang
penyebabnya tidak terlepas dengan pola makan, diantara penyakit degeneratif
yakni hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, kanker dan obesitas.
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang sulit untuk diperbaiki yang ditandai
dengan degenerasi organ tubuh yang dipengaruhi gaya hidup (Walqvist (1997)
dalam Modul Gizi Kesmas (2008)). Gaya hidup sehat menggambarkan pola
perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo, 2003).
Salah satu penyakit degeneratif yang perlu diwaspadai adalah hipertensi.
Hipertensi adalah penyebab kematian utama ketiga di Indonesia untuk semua
umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%) (Depkes, 2008).
Menurut JNC 7 (2003), hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada seseorang yang tidak sedang makan
obat antihipertensi (Yogiontoro, 2006). Hipertensi sering disebut the silent killer
4
karena penderita hipertensi mengalami kejadian tanpa gejala (Asymtomatic)
selama beberapa tahun dan kemudian mengalami stroke, gagal jantung yang fatal
atau penyakit degeneratif lainnya (Krummel, 2004).
Hipertensi kini menjadi masalah global karena prevalensinya yang terus
meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup, terutama dalam pola makan.
Pola makan tradisional yang tadinya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar, dan
rendah lemak bergeser ke pola makan baru yang rendah karbohidrat, rendah serat
kasar, dan tinggi lemak sehingga menggeser mutu makanan ke arah tidak
seimbang. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh makin kuatnya arus budaya
makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan
globalisasi ekonomi. Disamping itu, perbaikan ekonomi menyebabkan
berkurangnya aktifitas fisik masyarakat tertentu. Perubahan pola makan dan
aktifitas fisik ini berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu
mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas yang berdampak
pada timbulnya penyakit degeneratif (Almatsier, 2001).
Berikut ini merupakan beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap
kenaikan tekanan darah pada seseorang antara lain: faktor yang tidak dapat
diubah (umur, riwayat keluarga) dan faktor yang dapat diubah (obesitas, perokok,
konsumsi alkohol, dan konsumsi makanan yang banyak mengandung lemak atau
garam) (Cahyono, 2008).
Menurut Depkes (2006), pada golongan umur 55-64 tahun, penderita
hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. Dari beberapa penelitian, tingginya
prevalensi hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur. Berdasarkan Penelitian
5
yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta,
Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi
hipertensi sebesar 52,5%. Dalam Cahyono (2008), seseorang yang beresiko
terkena hipertensi adalah orang yang berusia diatas 55 tahun. Bila ditinjau
perbandingan prevalensi hipertensi antara perempuan dan laki-laki, ternyata
menunjukkan angka yang bervariasi. Hasil penelitian Irza (2009) di Sumatera
Barat, hipertensi lebih banyak dialami oleh wanita (66,67%) dibandingkan pria
(33,33%). Sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan
14,6% pria dan 13,7% perempuan (Sugihartono, 2007)
Hasil penelitian Hasirungun (2002) terhadap lansia di Kota Depok
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan
hipertensi. Lansia yang hipertensi lebih banyak didapatkan dengan riwayat
keluarga hipertensi yaitu sebesar 69,2% dibandingkan dengan yang tidak
memiliki riwayat keluarga sebesar 52,3%. Dalam Cahyono (2008), faktor genetik
berperan besar dan diperburuk dengan asupan garam yang banyak atau suka
makan-makanan yang asin. Penelitian DASH-Natrium yang dilakukan National
Heart, Lung and Blood Institute menunjukkan hasil yang bermakna. Dengan
membatasi asupan natrium, yaitu melalui pengurangan konsumsi garam hanya
sebanyak 1.500 mg per hari (2/3 sendok teh sehari), maka terjadi penurunan
tekanan darah.
Sumber utama natrium atau sodium di Negara Barat adalah garam dapur.
Tetapi di Indonesia, disamping garam dapur dan ikan asin, sumber lain yang
lebih potensial adalah monosodium glutamate (MSG/Vetcin). Menurut
6
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Ina SH) mencatat, konsumsi garam rata-rata
orang Indonesia tiga kali lebih besar dari anjuran badan kesehatan dunia (WHO)
yang maksimal 6 gram atau satu sendok teh sehari. Menurut Prof Dr Jose
Roesma, Konsumsi garam rata-rata masyarakat Indonesia sebesar 15 gram/hari.
Hal ini akan menyebabkan prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %.
Itulah salah satu sebab angka penderita hipertensi di Indonesia terus meningkat
setiap tahun. Selain itu, Budaya penggunaan MSG (bumbu masak) sudah sampai
pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Hampir semua ibu rumah tangga,
penjual makanan, dan jasa katering selalu menggunakannya (Suara karya, 2009).
Faktor berikutnya adalah kegemukan, yang terjadi karena masukan kalori
yang melebihi pemakaiannya untuk memelihara dan pemulihan kesehatan yang
berlangsung cukup lama. Akibat kelebihan kalori tersebut akan disimpan dalam
jaringan lemak, yang lama kelamaan akan mengakibatkan kegemukan (Waspadji,
2003). Kegemukan atau obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dan
penyakit jantung, karena dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan
meningkatnya tekanan darah (Cahyono, 2008). Hasil penelitian Widiastuti (2006)
pada usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas Ngemplak II Kabupaten Sleman,
terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian hipertensi. Selain
itu, menurut Depkes (2006), risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang
gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berat badannya
normal.
Melakukan olahraga merupakan salah satu penanggulangan masalah gizi
lebih. Efektivitas pemompaan jantung pada setiap denyut 40-50% lebih besar
7
pada atlet terlatih dibandingkan dengan orang yang tidak terlatih. Melalui
olahraga, frekuensi denyut nadi berkurang dan tekanan darah menurun. Dalam
penelitian di Amerika Serikat hanya 20% penduduknya yang mempunyai
kebiasaan berolahraga aktif. Sebagian besar, yaitu sebanyak 60% tidak memiliki
kebiasaan berolahraga (Cahyono, 2008). Hasil penelitian Sanusi (2002) di
poliklinik geriatri menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan
olahraga dengan hipertensi dengan P value sebesar 0,004 dan odds ratio sebesar
3,98.
Dalam Cahyono (2008), merokok dapat merusak dinding pembuluh darah
dan mempercepat proses pengerasan pembuluh darah arteri. Penelitian oleh
Sanusi (2002) terhadap lansia di poliklinik geriatri RSCM menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara merokok dengan hipertensi yang P valuenya
sebesar 0,03 dan odds rasio sebesar 3,47. Lansia yang hipertensi lebih banyak
didapatkan dengan kebiasaan merokok yakni sebesar 84,4% dibandingkan
dengan yang tidak merokok yakni sebesar 60,9%. Sedangkan minuman
berakohol dapat meningkatkan tekanan darah. Alkohol mengandung kalori
sehingga dapat mengganggu program diet yang telah diatur jumlah kalorinya
perhari.
Selain itu, faktor stres juga berpengaruh pada kenaikan tekanan darah
secara bertahap karena dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatis (Depkes,
2006). Hasil penelitian Hasirungun (2002) terhadap lansia di Kota Depok
didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara stres dan hipertensi. Lansia
yang mengalami stres tinggi sebesar 70,9%, stres sedang sebesar 65,2% dan stres
8
rendah sebesar 38,5% terhadap hipertensi. Stres tinggi berpeluang 3,89 kali dan
stres sedang berpeluang 2,99 kali terhadap hipertensi dibandingkan dengan stres
rendah.
Menurut Dr. Siti Fadilah, di negara maju, pengendalian hipertensi belum
memuaskan, bahkan di banyak negara pengendalian tekanan darah hanya 8%
karena menyangkut banyak faktor baik dari penderita, tenaga kesehatan, obat-
obatan maupun pelayanan kesehatan. Hipertensi sebenarnya merupakan penyakit
yang dapat dicegah bila faktor risiko dapat dikendalikan. Upaya tersebut meliputi
monitoring tekanan darah secara teratur, program hidup sehat tanpa asap rokok,
peningkatan aktivitas fisik atau gerak badan, diet yang sehat dengan kalori
seimbang melalui konsumsi tinggi serat, rendah lemak dan rendah garam. Hal
tersebut merupakan kombinasi upaya mandiri oleh individu atau masyarakat dan
didukung oleh program pelayanan kesehatan yang ada serta harus dilakukan
sedini mungkin (Madina, 2010).
Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta
orang atau 26,4% penghuni bumi menderita hipertensi, dan angka ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025 (Farmacia, 2007).
Prevalensi hipertensi di seluruh dunia diperkirakan antara 15-20% (Depkes,
2006). Sedangkan angka Proporsional Mortality Rate di dunia akibat hipertensi
adalah 13% atau sekitar 7,1 juta kematian (Yahya, 2005). Hasil Riskesdas (2007),
prevalensi hipertensi di Indonesia pada penduduk berumur ≥18 tahun sebesar
7,2% yang didiagnosa oleh tenaga kesehatan, 7,6% pada kasus minum obat atau
didiagnosis oleh tenaga kesehatan, dan 31,7 berdasarkan hasil pengukuran
9
tekanan darah dan di DKI Jakarta, kasus hipertensi mencapai 9,5%. Didapatkan
juga kasus pada wanita lebih tinggi (8,6%) dibandingkan pada laki-laki (5,8%).
Sedangkan, prevalensi hipertensi yang tergolong lansia (55 sampai 75+ tahun) di
Indonesia mencapai 62,8%.
Menurut data Dinas Kesehatan Tangerang Selatan (2009), di Wilayah
Kota Tangerang Selatan prevalensi hipertensi pada lansia (45 sampai >60 tahun)
mencapai 3,9%. Namun, angka kasus di Wilayah Kota Tangerang selatan ini
masih jauh dari yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan usia diatas 50 tahun
yakni sebesar 20-30%. Dari 10 Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas
kesehatan Tangerang selatan prevalensi terendah berada di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang (0,6%) dan tertinggi berada di wilayah kerja Puskesmas
Kampung Sawah (33,94%).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan oktober 2010, dari
dua wilayah kerja Puskesmas Kampung sawah lansia yang mempunyai tekanan
darah ≥140/90 mmHg yakni sebagai berikut: pada Kelurahan Sawah terhadap 55
lansia prevalensi hipertensi sebesar 29%, sedangkan pada Kelurahan Sawah Baru
terhadap 37 lansia prevalensi hipertensi sebesar 32,4%. Data ini didapat
berdasarkan hasil rekam medis para lansia yang datang dan diperiksa tekanan
darahnya di puskesmas dan posbindu tahun 2009. Sebelum dibuat diagnosa
hipertensi, diperlukan pengukuran secara berulang pada tiga kesempatan disertai
dengan konsultasi tentang perubahan gaya hidup kepada dokter. Jika hasil
pengukuran tekanan darah pada tiga kesempatan masih tinggi atau ≥140/90
mmHg, maka pasien didiagnosa menderita hipertensi oleh dokter. Terlihat bahwa
10
angka kasus di Kelurahan Sawah Baru lebih tingi jika dibandingkan dengan batas
yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yakni sebesar 20-30%. Keadaan
tersebut jika tidak segera dilakukan upaya-upaya preventif dan promotif secara
dini akan mengganggu penderitanya, yang menyebabkan penderitanya tidak bisa
menjalankan peran normalnya secara wajar dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan data-data tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi
pada kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang selatan tahun 2011.
1.2 Rumusan Masalah
Penuaan tidak dapat dicegah dan sering disertai dengan adanya
peningkatan gangguan organ dan fungsi tubuh serta perubahan komposisi, namun
masalah kesehatan yang berhubungan dengan penuaan dapat dicegah. Deteksi
awal dan manajemen kesehatan yang efektif dapat menurunkan konsekuensi
timbulnya penyakit degeneratif seperti hipertensi. Lansia sangat mudah terkena
penyakit degeneratif seperti hipertensi, apabila kualitas dan kuantitas dari pola
makan sehari-hari tidak terpantau dengan baik. Maka dari itu, diperlukan
perubahan gaya hidup sehat sedini mungkin. Hal ini akan fatal jika penanganan
kurang cepat dan tepat, karena berdampak pada status gizi/kesehatannya,
menurunnya aktivitas atau kegiatan para lansia, serta dapat meningkatkan risiko
kematian bagi lansia.
11
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan oktober 2010, dari
dua wilayah kerja Puskesmas Kampung sawah lansia yang mempunyai tekanan
darah ≥140/90 mmHg yakni sebagai berikut: pada Kelurahan Sawah terhadap 55
lansia prevalensi hipertensi sebesar 29%, sedangkan pada Kelurahan Sawah Baru
terhadap 37 lansia prevalensi hipertensi sebesar 32,4%. Data ini didapat
berdasarkan hasil rekam medis para lansia yang datang dan diperiksa tekanan
darahnya di Puskesmas dan Posbindu Kampung Sawah tahun 2009. Sebelum
dibuat diagnosa hipertensi diperlukan pengukuran secara berulang pada tiga
kesempatan disertai dengan konsultasi tentang perubahan gaya hidup kepada
dokter. Jika hasil pengukuran tekanan darah pada tiga kesempatan masih tinggi
atau ≥140/90 mmHg, maka pasien didiagnosa menderita hipertensi oleh dokter.
Terlihat bahwa angka kasus di Kelurahan Sawah Baru lebih tingi jika
dibandingkan dengan batas yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yakni
sebesar 20-30%.
Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada kelompok lanjut
usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan
tahun 2011.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian hipertensi, jenis kelamin, konsumsi natrium,
konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air, kegiatan olahraga,
12
merokok, kejadian stres, dan obesitas pada kelompok lanjut usia di Kelurahan
Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan tahun 2011?
2. Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
selatan tahun 2011?
3. Apakah ada hubungan antara konsumsi natrium dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang selatan tahun 2011?
4. Apakah ada hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang selatan tahun 2011?
5. Apakah ada hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan hipertensi
pada kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011?
6. Apakah ada hubungan antara konsumsi air dengan hipertensi pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
selatan tahun 2011?
7. Apakah ada hubungan antara olahraga dengan hipertensi pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
selatan tahun 2011?
8. Apakah ada hubungan antara merokok dengan hipertensi pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
selatan tahun 2011?
13
9. Apakah ada hubungan antara stres dengan hipertensi pada kelompok lanjut
usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan
tahun 2011?
10. Apakah ada hubungan antara obesitas dengan hipertensi pada kelompok lanjut
usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan
tahun 2011?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang selatan tahun 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran kejadian hipertensi, jenis kelamin, konsumsi
natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air,
kegiatan olah raga, merokok, kejadian stres, dan obesitas pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang selatan tahun 2011.
2. Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011.
14
3. Diketahuinya hubungan antara konsumsi natrium dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011.
4. Diketahuinya hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011.
5. Diketahuinya hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan
hipertensi pada kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru,
Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan tahun 2011.
6. Diketahuinya hubungan antara konsumsi air dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011.
7. Diketahuinya hubungan antara olahraga dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011.
8. Diketahuinya hubungan antara merokok dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011.
9. Diketahuinya hubungan antara stres dengan hipertensi pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang selatan tahun 2011.
15
10. Diketahuinya hubungan antara obesitas dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang selatan tahun 2011.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Sebagai pembelajaran dan pengalaman dalam melakukan penelitian
yang terkait dengan gizi masyarakat serta media pengembangan kompetensi
diri sesuai dengan keilmuan yang diperoleh selama perkuliahan dalam
meneliti masalah yang berkaitan dengan gizi masyarakat.
1.5.2 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Salah satu wujud Tridharma Perguruan Tinggi (akademik, penelitian,
dan pengabdian masyarakat) dalam bidang gizi masyarakat dan menjadi
bahan masukan untuk penelitian selanjutnya.
1.5.3 Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat
dalam menjaga kesehatannya dan dapat meningkatkan kesadaran terhadap
penyakit hipertensi sehingga dapat dilakukan pencegahan dini.
1.5.4 Bagi Puskesmas Kampung Sawah
Sebagai bahan informasi untuk mengambil langkah-langkah kebijakan
dimasa depan, seperti memberikan penyuluhan/informasi yang terkait
dengan hipertensi dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat, dan
16
perhatian dalam upaya pencegahan penyakit degeneratif, sehingga dapat
menurunkan prevalensi hipertensi dikawasan tersebut.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan hipertensi pada kelompok lansia. Penelitian ini dilakukan
oleh mahasiswa peminatan gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN pada
bulan Februari 2011 di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang Selatan dan yang diteliti adalah para lansia di wilayah tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan disain cross-
sectional. Alasan penelitian ini dilakukan karena berdasarkan studi pendahuluan
diketahui proporsi lansia yang menderita hipertensi dari hasil rekam medis di
Puskesmas dan Posbindu Kampung Sawah sebesar 32,4 %. Angka ini lebih tinggi
jika dibandingkan dengan angka yang ditetapkan oleh Departemen kesehatan RI
untuk usia diatas 50 tahun yakni 20-30%.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari sesuai dengan situasi.
Tekanan darah akan meningkat dalam keadaan gembira, cemas atau
sewaktu melakukan aktivitas fisik dan turun selama tidur. Setelah itu
berlalu, tekanan darah akan kembali menjadi normal. Apabila tekanan
darah tetap tinggi maka disebut sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi
(Hull, 1996).
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang
memberikan gejala yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti
stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah), dan
left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan target di otak yang
berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa
kematian yang tinggi (Bustan, 2000).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik
yang menetap. Pada waktu anda membaca tekanan darah bagian atas
adalah tekanan darah sistolik, sedangkan bagian bawah adalah tekanan
diastolik. Tekanan sistolik (bagian atas) adalah tekanan puncak yang
tercapai pada waktu jantung berkontraksi dan memompakan darah melalui
arteri. Sedangkan tekanan diastolik (angka bawah) adalah tekanan pada
18
waktu jatuh ke titik terendah dalam arteri. Secara sederhana seseorang
disebut hipertensi apabila tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih besar dari 90 mmHg. Tekanan darah yang ideal
adalah 120/80 mmHg (Sunardi, 2000).
2.1.2 Klasifikasi Hipertensi
1. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
a. Hipertensi esensial/primer.
Tidak jelas penyebabnya dan merupakan sebagian besar ±
90% dari seluruh kejadian hipertensi. Hipertensi esensial adalah
penyakit multifaktoral yang timbul terutama karena interaksi antara
faktor-faktor risiko tertentu (Yogiantoro, 2006). Hipertensi primer
ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Menurut Gunawan (2004), penyebab utama hipertensi yaitu
gaya hidup modern, sebab dalam gaya hidup modern situasi penuh
tekanan dan stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin dan kortisol
dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Gaya hidup yang penuh kesibukan juga membuat
orang kurang berolah raga dan berusaha mengatasi stresnya dengan
merokok, minum alkohol atau kopi sehingga risiko terkena
hipertensi. Kedua yaitu pola makan yang salah dan yang ketiga
adalah berat badan berlebih.
b. Hipertensi sekunder
19
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering
berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung
koroner, diabetes, kelainan sistem syaraf pusat. Jumlah kejadiannya
mencapai ± 10% (Sunardi, 2000).
2. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hiptertensi
Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
berdasarkan JNC-VII (The Joint National Committee On Prevention,
Detection Evaluation, and Treatment Of High Blood Pressure (JNC 7).
Table 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg) Normal < 120 < 80 Prahipertensi 120-139 80-89 Hipertensi derajat 1 140-159 90-99 Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥100
Sumber : Yogiantoro, 2006
2.1.3 Cara Pengukuran Tekanan Darah
Tabel 2.2 Rekomendasi untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah Pengukuran Pertama
Tekanan Sistolik (mmHg)
Tekanan Diastolik (mmHg)
Pemeriksaan Lanjutan
< 130 < 85 Periksa ulang dalam 2 tahun 130-139 85-89 Periksa ulang dalam 1 tahun 140-159 90-99 Pastikan dalam 2 bulan 160-179 100-109 Pastikan dan obati dalam 1 bulan 180-209 110-119 Pastikan dan obati dalam 1 bulan
Sumber : JNC VI (1998) dan WHO-ISH (1999)
Pasien dibiarkan istirahat dengan tenang, ≤ lima sampai 10 menit.
Pasien tidak boleh merokok dan minum zat perangsang (stimulant) seperti
teh, kopi, dan minuman ringan yang mengandung kafein 30 menit sebelum
pengukuran. Ukuran manset harus sesuai dengan lengan penderita yaitu
20
paling sedikit 80% lebar manset harus dapat menutupi lingkar lengan.
Pasien di ukur dalam posisi duduk atau berbaring dengan lengan sejajar
jantung. Rabalah denyut nadi radialis pada sisi ipsilateral dan kembangkan
karet sfigmomanometer secara bertahap sampai tekanan sistolik 20 mmHg
diatas titik dimana denyut nadi radialis menghilang. Auskultasi pada arteri
brakialis dan kempiskan karet kurang lebih dua mmHg per detik, catat titik
pertama pulsasi yang terdengar (korotkoff 1) yang merupakan tekanan
darah sistolik dan titik di mana bunyi pulsasi menghilang (korotkoff 5)
yaitu tekanan diastolik. Ukurlah tekanan darah minimal dua kali dengan
jarak dua menit dan pastikan tidak ada perbedaan antara kedua lengan. Jika
terdapat perbedaan, lengan yang mempunyai angka yang lebih tinggi
digunakan sebagai patokan. Semua orang dewasa harus mengukur tekanan
darahnya secara teratur setidaknya setiap lima tahun sampai umur 80
tahun. Jika hasilnya berada pada nilai batas, pengukuran perlu dilakukan
setiap tiga sampai12 bulan (Gray, 2005).
2.1.4 Diagnosis Hipertensi
Sebelum dibuat diagnosis hipertensi diperlukan pengukuran berulang
paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda selama empat sampai
enam minggu. Pengukuran dirumah dapat menggunakan sfigmomanometer
yang tepat sehingga menambah jumlah pengukuran untuk analisis (Gray,
2005).
Sebuah komite yang dibentuk oleh Experimental Medical Care
Review Organisation (EMCRO) di Amerika menambahkan bahwa untuk
21
menentukan kriteria hipertensi yang menetap adalah apabila tekanan darah
tetap tinggi setelah diperiksa tiga kali berturut-turut dengan interval tidak
kurang dari satu minggu (Soelaeman, 1980).
Sedangkan menurut Depkes (2006), upaya deteksi faktor risiko
penyakit hipertensi dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang meliputi identitas
diri, riwayat penyakit, riwayat anggota keluarga, perubahan aktifitas
atau kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan
faktor psikososial lingkungan keluarga, dan lain-lain)
2. Pengukuran tekanan darah.
3. Pengukuran indeks antropometri, seperti pengukuran berat badan dan
tinggi badan.
4. Pemeriksaan penunjang. Menurut Mansjoer, dkk (2001) dalam
Sugihartono (2007), pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan
laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan
menentukan adanya kerusakan organ dan faktor risiko lain atau
mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urinalisa, darah
perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah
puasa, kolesterol total, kolesterol HDL). Sebagai tambahan dapat
dilakukan pemeriksaan lain, seperti klirens kreatinin, protein urin 24
jam, asam urat, kolesterol LDL, TSH, dan ekokardiografi.
22
2.1.5 Gejala Klinis Hipertensi
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita
hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal
hipertensi yaitu sakit kepala, pusing, gelisah, jantung berdebar, perdarahan
hidung, sukar tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk
terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat
komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan;
penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang
mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang
mengakibatkan kelumpuhan, ganguan kesadaran hingga koma (Cahyono,
2008).
2.1.6 Patofisiologis Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi karena adanya gangguan
dalam sistem peredaran darah. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan
sirkulasi darah, gangguan keseimbangan cairan dalam pembuluh darah
atau komponen dalam darah yang tidak normal. Gangguan tersebut
menyebabkan darah tidak dapat disalurkan ke seluruh tubuh dengan lancar.
Untuk itu, diperlukan pemompaan yang lebih keras dari jantung. Hal ini
akan berdampak pada meningkatnya tekanan dalam pembuluh darah atau
disebut hipertensi (Price dan Wilson, 2002).
Tekanan darah adalah fungsi berulang-ulang dari cardiac output
karena adanya resistensi periferal (resistensi dalam pembuluh darah untuk
mengalirkan darah). Diameter pembuluh darah ini sangat mempengaruhi
23
aliran darah. Jika diameter menurun misalnya pada aterosklerosis,
resistensi dan tekanan darah meningkat. Jika diameter meningkat misalnya
dengan adanya terapi obat vasodilator, resistensi dan tekanan darah
menurun. Ada dua mekanisme yang mengontrol homeostatik dari tekanan
darah, yaitu:
1. Short term control (sistem saraf simpatik). Mekanisme ini sebagai
respon terhadap penurunan tekanan, system saraf simpatetik
mensekresikan norepinephrine yang merupakan suatu vasoconstrictor
yang akan bekerja pada arteri kecil dan arteriola untuk meningkatkan
resistensi peripheral sehingga tekanan darah meningkat.
2. Long term control (ginjal). Ginjal mengatur tekanan darah dengan cara
mengontrol volume cairan ekstraseluler dan mensekresikan renin yang
akan mengaktivasi system renin dan angiotensin (Price dan Wilson,
2002). Bagan dibawah ini adalah patologi dari hipertensi, yakni:
Bagan 2.1 Patofisiologis Hipertensi
Sumber: Price dan Wilson ( 2002)
24
Berdasarkan bagan di atas, proses terjadinya hipertensi melalui tiga
mekanisme, yaitu: gangguan keseimbangan natrium, kelenturan atau
elastisitas pembuluh darah berkurang (menjadi kaku), dan penyempitan
pembuluh darah.
2.1.7 Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak
endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Bila penderita memiliki
faktor-faktor risiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut.
Menurut Studi Farmingham, pasien dengan hipertensi mempunyai
peningkatan risiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke,
penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, 2006).
Dalam Gray (2005) dan Suhardjono (2006), hipertensi yang tidak
diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya akan
memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Selain itu penurunan
tekanan darah dapat mencegah demensia dan penurunan kognitif pada usia
lanjut. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal-hal yang baru,
akan tetapi masih dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Kerusakan organ
yang terjadi berkaitan dengan derajat keparahan hipertensi. Perubahan-
perubahan utama organ yang terjadi akibat hipertensi dapat dilihat dibawah
ini:
25
1. Jantung. Komplikasi berupa infark miokard, angina pectoris, gagal
jantung.
2. Ginjal. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerolus. Dengan
rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional
ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik
dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerous, protein akan
keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma
berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi
kronik.
3. Otak. Komplikasinya berupa stroke dan serangan iskemik. Stroke
dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat
embulus yang terlepas dari pembuluh non-otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri
yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga
aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri
otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma.
4. Mata. Komplikasi berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan
sampai dengan kebutaan.
5. Pembuluh perifer
Penelitian meta-analisis yang melibatkan lebih dari 420.000 pasien
telah menunjukkan hubungan yang kontinyu dan independen antara
26
tekanan darah dengan stroke dan penyakit jantung koroner. Peningkatan
tekanan diatolik >10 mmHg dalam jangka panjang akan meningkatkan
risiko stroke sebesar 56% dan penyakit jantung koroner sebesar 37%
(Gray, 2005).
2.1.8 Penatalaksanaan Hipertensi
Diketahui bahwa tingginya pendidikan dan pendapat pada masyarakat
memiliki kemampuan yang lebih dalam memanfaatkan pelayanan
kesehatan untuk melakukan pengobatan sedangkan dengan pendapatan
yang rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada,
mungkin oleh karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli
obat atau keperluan yang lain, hal itu dapat mengakibatkan penyakit yang
diderita bertambah parah (Baliwati, 2004).
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis atau Perubahan Gaya Hidup
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien
hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan
mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit lain. Terapi
nonfarmakologis meliputi : menghentikan merokok, menurunkan berat
badan berlebih, menurunkan konsumsi alkohol berlebih, latihan fisik
serta menurunkan asupan garam (Yogiantoro, 2006). Meningkatkan
konsumsi asupan buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting
27
dalam penanganan hipertensi (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2006).
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi farmakologis adalah dengan menggunakan obat-obatan
antihipertensi. Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas
dan keamanan dalam pengobatan hipertensi. Berdasarkan uji klinis,
hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan bahwa :
a. Keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan
darah.
b. Pengelompokan pasien berdasarkan keperluan pertimbangan
khusus yaitu kelompok indikasi yang memaksa dan keadaan
khusus lain.
c. Terapi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah dicapai
secara progresif dalam beberapa minggu. Dengan dosis rendah lalu
perlahan ditingkatkan dosisnya.
d. Menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau
yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari.
e. Pilihan memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau
dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada
tidaknya komplikasi (Yogiantoro, 2006).
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Hipertensi
Dari beberapa sumber kepustakaan yang diperoleh penulis, maka faktor-
faktor yang berhubungan dengan penyakit hipertensi adalah sebagai berikut :
28
2.2.1 Umur
Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih
besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi,
yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar diatas usia 65 tahun (Depkes,
2006). Hipertensi berdasarkan gender ini dapat dipengaruhi oleh faktor
psikologis. Wanita seringkali mengadopsi perilaku tidak sehat seperti
merokok dan pola makan yang tidak seimbang sehingga menyebabkan
kelebihan berat badan, depresi dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan
kaum pria lebih berkaitan erat dengan pekerjaan seperti perasaan kurang
nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran (Sutanto, 2010).
Sedangkan Yogiantoro (2006) menyebutkan bahwa individu berumur
55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi. Menurut
Krummel (2004) memaparkan bahwa tekanan sistolik terus meningkat
sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia
55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun
drastis.
Penyakit hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang
mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia
lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas. Setelah
usia 45 tahun terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik.
Dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan
zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-
angsur menyempit dan menjadi kaku. Disamping itu, pada usia lanjut
29
sensitivitas pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai
berkurang, demikian juga halnya dengan peran ginjal, dimana aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Kumar, et all, 2005 ).
Dalam penelitian Dian, dkk (2008) diketahui tidak terdapatnya
hubungan yang bermakna antara usia dengan penderita hipertensi. Namun,
penelitian Aisyiyah (2009) diketahui bahwa ada hubungan nyata positif
antara umur dan hipertensi. Dan penelitian Irza (2009) menyatakan bahwa
resiko hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subjek >40 tahun dibandingkan
dengan yang berusia ≤ 40 tahun. Berarti diketahui bahwa meningkatnya
umur seseorang akan diikuti dengan meningkatnya kejadian hipertensi.
2.2.2 Jenis Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria
lebih banyak dibandingkan wanita. Pria diduga memiliki gaya hidup yang
cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibanding wanita. Namun
setelah memasuki menepouse, prevalensi hipertensi pada wanita
meningkat (Depkes, 2006). Hal tersebut dikarenakan adanya pengaruh
hormon estrogen yang dapat melindungi wanita dari penyakit
kardiovaskuler. Kadar hormon ini akan menurun setelah menepouse (Gray,
2005).
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor
pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
30
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut
dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan
umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur
45-55 tahun (Kumar, et all, 2005)
Data Riskesdas menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi
di Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki
(5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
(2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi
dibanding perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak
perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi.
Hasil penelitian Sulistiani (2005) diketahui bahwa faktor jenis
kelamin tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
kejadian hipertensi. Demikian juga Herke (1995) tidak dapat membuktikan
bahwa perempuan mempunyai risiko hipertensi yang lebih besar daripada
laki-laki, walaupun secara presentase diperoleh hipertensi lebih tinggi pada
perempuan.
Namun penelitian Yuliarti (2007), diketahui bahwa ada hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kejadian hipertensi pada perempuan
dipengaruhi oleh kadara hormon estrogen. Hormon estrogen tersebut akan
31
menurun kadarnya ketika perempuan memasuki usia tua (menepouse)
sehingga perempuan menjadi lebih rentan terhadap hipertensi.
2.2.3 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga mempertinggi risiko terkena penyakit hipertensi,
terutama pada hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini
juga diperngaruhi faktor-faktor lingkungan lain. Faktor genetik juga
berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel
(Depkes, 2006). Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika
seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup
kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua
orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan
penyakit tersebut 60% (Sheps, 2005).
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang
penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial)
apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama
lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam
waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Sutanto, 2010).
Pada kenyataannya, 70-80 % kasus hipertensi, ternyata pada keluarga
yang mempunyai riwayat hipertensi (Sunardi, 2000). Hasil penelitian
Hasirungan (2002) pada lansia dikota Depok usia 55 sampai ≥70 tahun
32
diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat keluarga sakit
dengan hipertensi.
2.2.4 Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada
yang berkulit putih, serta lebih besar tingkat morbiditas maupun
mortalitasnya. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat kelainan pada gen
angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifak poligenik (Gray,
2005).
Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan,
susunan genetika, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka
kesakitan dan kematian. Salah satu contoh dari pengaruh pola makan yaitu
angka tertinggi hipertensi di Indonesia tahun 2000 adalah suku Minang.
Hal ini dikarenakan suku Minang atau orang yang tinggal di pantai,
biasanya mengkonsumsi garam lebih banyak dan menyukai makanan asin
(Cahyono, 2008).
2.2.5 Obesitas
Menurut Hull (1996), penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara berat badan dan hipertensi. Bila berat badan meningkat diatas berat
badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat. Penurunan berat badan
dan pengobatan berat badan merupakan pengobatan yang efektif untuk
hipertensi.
33
Obesitas juga erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi
makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh,
makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan
makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui
pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar
pada dinding arteri, yang akan meimbulkan terjadinya kenaikan tekanan
darah Selain itu, kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi
denyut jantung (Sheps, 2005).
Sedangkan hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal bisa
juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin
(Suhardjono, 2006). Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi
saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung,
menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam
(Syaifudin, 2006). Dan pada sistem renin-angiotensin, renin memicu
produksi aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan air
dan natrium sedangkan angiotensin akan mengecilkan diameter pembuluh
darah sehingga tekanan darah akan naik (Gray (2005) dan Almatsier
(2001)).
Kegemukan atau obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang
dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) (Depkes, 2006).
IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur
tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa.
34
(Sidartawan, 2006). Menurut Supariasa (2002), penggunaan IMT hanya
berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. Pengukuran
berdasarkan IMT dianjurkan oleh FAO/WHO/UNU tahun 1985. Nilai IMT
dihitung menurut rumus :
Sumber : Depkes (2006)
Berikut ini adalah klasifikasi status gizi menggunakan IMT dapat
dilihat dalam tabel 2.3, yakni:
Tabel 2.3 Kalsifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Orang Indonesia
Klasifikasi IMT (kg/m2) Keadaan Berat badan kurang tingkat berat < 17,0 Kurus Berat badan kurang tingkat ringan 17,0 – 18,5 Normal 18,5 – 25,0 Normal Berat badan lebih tingkat ringan >25,0 – 27,0 Obesitas Berat badan lebih tingkat berat >27
Sumber : Depkes RI, 2006
Hasil pengukuran tinggi badan (TB) lansia sebagian besar tidak
akurat karena komponen penelitian TB lansia sebenarnya telah berubah.
Dengan demikian, hasil pengukuran TB pada lansia tidak akan sama
dengan pengukuran ketika yang bersangkutan masih balita. Pada keadaan
ini, TB selain diukur langsung dengan mikrotoa, dapat pula dihitung
dengan menggunakan ukuran rentang tangan (PRT). Pengukuran PRT
dilakukan dengan posisi responden sama seperti ketika ditimbang dan
diukur tinggi, kecuali kedua lengan direntangkan ke samping badan
Berat badan (kg) Indeks Massa Tubuh =
Tinggi badan (m) 2
35
sehingga terbentuk sudut (lengan/ketiak) 900. kemudian diukur jarak antara
2 ujung jari tangan kiri dan kanan terpanjang melalui tulang dada.
Penentuan TB menggunakan data PRT dihitung dengan rumus (Reeves SL
et all, 1996), dibawah ini:
a. TB laki-laki = 53,4 + (0,67 x PRT)
b. TB perempuan = 81,0 + (0,48 x PRT) (Arisman, 2010)
Kelebihan berat badan dapat juga menggunakan ukuran komposisi
lemak tubuh. Lemak tubuh dapat diukur dengan menggunakan skin fold
atau body fat analyzer. Wanita dikatakan obesitas bila komposisi lemak
tubuhnya >25% berat badan, sedangkan laki-laki dikatakan obesitas bila
komposisi lemak tubuhnya >20% berat badan (Cahyono, 2008). Dengan
demikian, hasil pengukuran Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan
tetapi risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk lima kali
lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang badannya normal.
Ditemukan 20-33% penderita hipertensi memiliki berat badan lebih
(overweight) (Depkes, 2006).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian hasirungan (2002)
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT atau obesitas
pada lansia. Namun, dalam penelitian Yuliarti (2007) bahwa terdapat
hubungan pada usia lanjut di Posbindu Kota Bogor.
2.2.6 Konsumsi Natrium (Na)
Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah kation utama dalam
cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur
36
oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain
itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder,
natrium benzoat, dan vetsin (monosodium glutamat). Kelebihan natrium
akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan
edema dan hipertensi. WHO menganjurkan bahwa konsumsi garam yang
dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium
atau 2400 mg/hari. Berikut ini merupakan fungsi dari natrium, yaitu
sebagai berikut:
1. Sebagai kation utama dalam cairan ekstraseluler, natrium menjaga
keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut.
2. Mengatur osmolaritas cairan, pH, dan volume darah
3. Membantu transmisi rangsangan saraf dan kontraksi otot.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsumsi natrium
didalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya kembali,
cairan intraseluler harus ditarik keluar sehingga volume cairan
ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler
tersebut menyebabkan meningkatanya volume darah, sehingga berdampak
pada timbulnya hipertensi (Sutanto, 2010).
Disamping itu, diet tinggi garam dapat mengecilkan diameter dari
arteri. Sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong
volume darah yang meningkat melalui ruang yang makin sempit. Maka
terjadilah penyakit hipertensi. Diet yang mengandung 500 mg Na dapat
mempertahankan kadar Na yang normal dalam badan. Asupan yang
37
melebihi jumlah ini didasarkan atas rasa bukan kebutuhan. Makanan yang
sudah diproses biasanya mengandung Na yang tinggi. Pada umumnya,
makin diproses suatu makanan maka makin tinggi kandungan garamnya
(Hull, 1996).
Williams (1991) dalam Aisyiyah (2009), menjelaskan bahwa
mekanisme yang mendasari sensitivitas garam pada beberapa pasien
mungkin disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: ketidakmampuan ginjal
mengeskresikan natrium, pengaturan sirkulasi ginjal yang tidak normal dan
sekresi aldosteron. Reaksi atau sensitivitas seseorang terhadap jumlah
natrium didalam tubuh berbeda-beda.
Cahyono (2008) memaparkan bahwa Dash-eating Plan (Dietary
Approaches to stop Hypertension Eating Plan) atau pengaturan pola
makan yang bertujuan untuk mengendalikan hipertensi. Diet ini pada
intinya mengatur pola makan dengan mengurangi asupan natrium dan
banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, serelia, biji-bijian,
makanan rendah lemak, dan produk susu rendah lemak. DASH-
NATRIUM yang dilakukan National Heart, Lung and Blood Institute
menunjukkan hasil yang bermakna. Dengan membatasi asupan natrium,
yaitu melalui pengurangan konsumsi garam hanya sebanyak 1.500 mg/hr
(2/3 sendok teh sehari), maka terjadi penurunan tekanan darah.
Contoh bahan-bahan makanan yang tidak dianjurkan karena
mengandung natrium yang kadarnya cukup tinggi antara lain sebagai
berikut:
38
1. Sumber karbohidrat, yakni roti, biskuit dan kue yang dimasak dengan
garam dapur dan atau baking powder dan soda.
2. Sumber protein hewani, yakni otak, ginjal, lidah, sardin, daging, ikan,
susu, dan telur yang diawetkan dengan garam dapur seperti daging
asap, ham, bacon, dendeng, abon, keju, ikan asin, ikan kaleng, kornet,
ebi, udang kering, dan telur asin. Dianjurkan daging dan ikan
maksimal 100 gram sehari; telur maksimal 1 butir sehari.
3. Sumber protein nabati, yakni keju, kacang tanah dan semua kacang-
kacangan dan hasilnya yang dimasak dengan garam dapur atau ikatan
natrium lain.
4. Sayuran dan buah-buahan yang diawetkan dengan menggunakan
natrium benzoat ataupun garam dapur. Seperti yang dikemas dalam
kaleng.
5. Lemak, yakni margarin dan mentega biasa.
6. Minuman bersoda (soft drink).
7. Bumbu, yakni garam dapur, kecap, tomato ketchup, vetsin (Almatsier,
2006).
Nilai zat gizi Na dalam bahan makanan disajikan dalam tabel
dibawah ini:
39
Tabel 2. 4 Kandungan Natrium Beberapa Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan Mg Bahan Makanan Mg Roti putih 530 Telur bebek 191 Biskuit 500 Telur ayam 158 Kue-kue 250 Sosis 1000 Daging bebek 200 Keju 1250 Daging sapi 93 Margarin 950 Ikan sardin 131 Mentega 987 Udang segar 185 Tomato ketchup 2100 Teri kering 885 Garam 38758 Corned Beef 1250 Kecap 4000 Ham 1250 Roti coklat 500 Sumber: Almatsier (2006)
Makanan asin dan awetan biasanya memiliki rasa gurih (umami),
sehingga dapat meningkatkan nafsu makan (Cahyono, 2008). Pada sekitar
60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respon penurunan tekanan
darah dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang
mengkonsumsi tiga gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata
rendah, sedangkan mengkonsumsi sekitar tujuh sampai delapan gram
tekanan darah rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006).
Hasil penelitian Hasirungan (2002), diketahui tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian
hipertensi. Suhardjo (2006) menyatakan bahwa kesukaan terhadap
makanan mempunyai pengaruh terhadap pemilihan makanan. Sehingga
jika seseorang tidak suka terhadap makanan sumber natrium maka akan
cenderung tidak memilih makanan tersebut untuk dikonsumsi oleh dirinya.
Namun, hasil penelitian Widiastuti (2006) di wilayah kerja
Puskesmas Ngemplak II diketahui ada hubungan yang bermakna antara
40
asupan natrium dengan hipertensi. Dari penelitian Sugihartono (2007)
didapatkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi asin berisiko menderita
hipertensi sebesar 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi asin.
2.2.7 Konsumsi Lemak
Diet tinggi lemak berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.
Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang
bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh
polivalen secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian, dan
makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah (Hull, 1996).
Komponen lemak polivalen tidak jenuh, yang disebut asam lemak
esensial, merupakan rintangan untuk zat-zat yang mirip hormon didalam
darah yang disebut prostaglandin. Beberapa jenis prostaglandin membantu
mengatur tekanan darah dengan melebarkan pembuluh darah dan
meningkatkan diameter dari arteri dan mengurangi jumlah darah yang
harus dipompa oleh jantung. Tekanan darah berkurang bila asupan asam
lemak esensisal dalam diet ditingkatkan. Lemak merupakan 42% dari
kalori total yang dikonsumsi dalam diet rata-rata orang Amerika. Tekanan
darah menurun bila lemak dikurangi sampai 25% dari total kalori (Hull,
1996).
Bila mengkonsumsi makanan berlemak, maka didalam usus makanan
tersebut akan diubah menjadi kolesterol. Kolesterol yang tinggi dapat
41
menyebabkan terjadinya ateroklerosis yaitu suatu kondisi dimana
kolesterol menumpuk di dinding pembuluh darah arteri. Pembentukan
ateroklerosis diawali dengan rusaknya pembuluh darah. Setelah pembuluh
darah rusak, maka kolesterol yang dibawa LDL terperangkap pada dinding
pembuluh darah tersebut dalam waktu bertahun-tahun Maka terjadilah
pembentukan plak sehingga pembuluh darah makin sempit dan
elastisitasnya berkurang (Cahyono, 2008). Kandungan lemak yang dapat
mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah: kolesterol,
trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier 2001).
Secara umum, asam lemak jenuh cenderung meningkatkan kolesterol
darah, 25-60% lemak yang berasal dari hewani dan produknya merupakan
asam lemak jenuh. Setiap peningkatan 1% energi dari asam lemak jenuh,
diperkirakan akan meningkatkan 2.7 mg/dL kolesterol darah, akan tetapi
hal ini tidak terjadi pada semua orang. Lemak jenuh terutama berasal dari
minyak kelapa, santan dan semua minyak lain seperti minyak jagung,
minyak kedelai yang mendapat pemanasan tinggi atau dipanaskan
berulang-ulang. Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan peningkatan
kadar LDL kolesterol. Sedangkan lemak tidak jenuh, meskipun
mengkonsumsinya kadar kolesterol tidak meningkat dan tetap stabil
(Almatsier, 2001).
Berikut ini merupakan contoh bahan-bahan makanan yang
mengandung lemak sedang sampai lemak yang cukup tinggi antara lain
meliputi: ayam dengan kulit, bebek, corned beef, daging babi, kuning telur
42
ayam, sosis, bakso, daging kambing, daging sapi, hati ayam, hati sapi,
otak, telur ayam, telur bebek, usus sapi, susu kerbau, susu kental manis,
sarden dalam kaleng, kelapa, lemak babi/sapi, mentega, minyak kelapa,
santan dan lain-lain (Almatsier, 2006).
Penelitian Hasirungan (2001) didapatkan hubungan yang tidak
bermakna antara konsumsi lemak dengan hipertensi. Namun, hasil
penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkonsumsi lemak jenuh
mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebasar 7,72 kali
dibandingkan orang yang tidak biasa mengkonsumsi lemak jenuh. Preuss
(1996) juga menyatakan pada penelitian ditujuh negara, rata-rata tekanan
darah populasi berkorelasi signifikan dengan rata-rata konsumsi lemak
jenuh, tetapi tidak dengan diet lemak total.
2.2.8 Konsumsi Alkohol
Alkohol dapat menaikkan tekanan darah, memperlemah jantung,
mengentalkan darah dan menyebabkan kejang arteri (Sutanto, 2010).
Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan
asupan alkohol, diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan
darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar dua sampai tiga
gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika,
konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya
hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan
alkohol yang berlebihan dikalangan pria usia 40 tahun keatas (Depkes,
2006).
43
Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-
laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan
orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih
dari 1 kali minum per hari (Krummel, 2004).
2.2.9 Konsumsi Buah dan Sayur
Mengkonsumsi buah dan sayur satiap hari sangat penting, karena
mengandung vitamin dan mineral, yang mengatur pertumbuhan dan
pemeliharaan tubuh serta mengandung serat yang tinggi (Depkes, 2008).
Asupan serat yang cukup dapat menetralisir kenaikan kadar lemak darah
(kolesterol, trigliserid, LDL, HDL), dapat mengangkut asam empedu,
selain itu, serat juga dapat mengatur kadar gula darah dan menurunkan
tekanan darah (Sutanto (2010) dan Iqbal (2008)).
Menurut Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad
Dimyati, tingkat konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia saat ini
masih rendah. Bahkan masih jauh dari standar konsumsi yang
direkomendasikan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) (Pikiran
Rakyat, 2010). Selain faktor budaya, rendahnya konsumsi sayuran
dikarenakan belum munculnya kesadaran yang masif di masyarakat untuk
mengkonsumsi sayuran agar menyehatkan tubuh. Menu utama masih
didominasi nasi (Kompas, 2011). Sesuai dengan Suhardjo (2006) bahwa
sistem sosial, ekonomi, potitik dalam suatu negara merupakan salah satu
penyebab mendasar yang mempengaruhi perilaku konsumsi di masyarakat.
44
Individu yang menjalani diet vegetarian, mengkonsumsi diet rendah
lemak yang mengandung terutama lemak polivalen tidak jenuh. Vegetarian
juga memiliki insiden hipertensi yang rendah. Bila individu yang
mengkonsumsi daging beralih ke diet vegetarian maka tekanan darahnya
akan menurun. Efek penurunan tekanan darah dari diet vegetarian juga
mungkin disebabkan oleh asupan tinggi serat dan tinggi kalium, atau
asupan garam yang berkurang. Diet tinggi kalium yang berasal dari buah-
buahan dan sayur-sayuran mungkin dapat melindungi individu dari
hipertensi. Asupan kalium yang meningkat akan menurunkan tekanan
sistolik dan diastolik pada beberapa kasus (Hull, 1996).
Bersama natrium, kalium juga memiliki peranan penting dalam
pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam
basa. Bersama kalsium, kalium berperan dalam transmisi saraf dan
relaksasi otot. Di dalam sel kalium berfungsi sebagai katalisator dalam
banyak reaksi biologik, terutama dalam metabolisme energi dan sintesis
glikogen dan protein. Kalium berperan dalam pertumbuhan sel. Taraf
kalium dalam otot berhubungan dengan masa otot dan simpanan glikogen,
oleh karena itu bila otot berada dalam pembentukan, dibutuhkan kalium
dalam jumlah cukup. Tekanan darah normal memerlukan perbandingan
antara natrium dan kalium yang sesuai didalam tubuh (Almatsier, 2001).
Kalium merupakan bagian esensial semua sel hidup dan banyak
terdapat dalam bahan makanan. Kekurangan kalium menyebabkan lemah,
lesu, kehilangan nafsu makan, kelumpuhan, mengigau, dan konstipasi.
45
Jantung akan berdebar detaknya, dan menurunkan kemampuannya untuk
memompa darah. Sumber utama kalium adalah makanan mentah atau
segar, terutama buah, sayuran dan kacang-kacangan, seperti pepaya,
bayam, wortel tomat, dan lain-lain (Almatsier, 2001).
Selain itu, penderita hipertensi mengkonsumsi lebih sedikit kalsium
dan makanan yang kaya kalsium seperti susu tanpa lemak dan rendah
lemak serta yogurt daripada individu yang bebas hipertensi. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pengaruh hipertensi dari asupan garam
yang berlebihan mungkin merupakan akibat dari pengaruh natrium
terhadap metabolisme kalsium (Hull, 1996).
Di usia 40 tahun keatas, seseorang perlu memperhatikan kebutuhan
kalsium tambahan. Kalsium dan mineral dapat membantu menurunkan
tekanan darah, mengurangi risiko diabetes atau kencing manis. Dalam hal
ini, penderita hipertensi mempunyai ambang kemampuan manyalurkan
natrium dari dalam tubuh, lalu kalsium itulah yang akan mendorong
pengeluaran sodium lewat air seni (Candraningrum, 2010). Bahan
makanan yang mengandung kalsium nabati bisa diperoleh dari sayuran
daun hijau seperti sawi, bayam, brokoli, daun pepaya, daun singkong, dan
lain-lain (Almatsier, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Dauchet et al. (2007) dalam Aisyiyah
(2009), menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah,
penurunan konsumsi lemak pangan, disertai dengan penurunan konsumsi
lemak total dan lemak jenuh, dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi
46
buah dan sayur >400 gr/hari dapat menurunkan risiko hipertensi dengan
bertambahnya umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas
antioksidan dalam buah dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen
lain seperti serat, mineral kalium, dan magnesium.
Magnesium merupakan mineral makro yang diperlukan tubuh untuk
menormalkan tekanan darah dan mempengaruhi kinerja hormon insulin,
sehingga penyakit hipertensi dan diabetes dapat dikendalikan. Magnesium
di alam merupakan bagian dari klorofil daun. Contoh buah-buahan yang
mengandung sumber magnesium seperti alpukat dan pisang. Sedangkan
contoh sayurannya seperti labu, buncis dan bayam (Astawan, 2010).
Defisiensi magnesium dapat menyebabkan kekejangan arteri koronaria
sehingga menimbulkan serangan jantung (Hull, 1996).
Dengan bertambahnya magnesium dapat secara cepat terlihat adanya
perbaikan yang nyata dalam hipertensi, arrhytmias dan jantung berdebar.
Hal ini dikarenakan magnesium dapat melebarkan dan merilekskan
pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi lancar. Mineral
ini juga membantu mengencerkan darah, serta mencegah pembentukan
platelet (Subecha, 2011).
Diet yang memberikan banyak buah-buahan dan sayuran, merupakan
sumber yang baik dari kalium dan magnesium, secara konsisten dikaitkan
dengan tekanan darah rendah (Appel LJ, et al,1997). Penelitian DASH
(Dietary Approaches to Stop Hipertensi), percobaan klinis pada manusia,
menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi dapat secara signifikan
47
diturunkan dengan diet yang menekankan buah-buahan, sayuran, dan
makanan susu rendah lemak. Seperti diet akan tinggi magnesium, kalium,
dan kalsium, dan rendah sodium dan lemak (Sacks FM, et al. 1999)
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan pembuluh darah
bisa dicegah dengan mengkonsumsi antioksidan sejak dini. Radikal bebas
adalah suatu molekul oksigen dengan atom pada orbit terluarnya memiliki
elektron yang tidak berpasangan. Karena kehilangan pasangannya itu,
molekul lalu menjadi tidak stabil, liar, dan radikal. Dalam hal ini,
antioksidan mampu menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi
kekurangan elektronnya dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stress oksidatif
(Almatsier, 2003).
Antioksidan yang memiliki peran khusus adalah golongan flavonoid.
Flavonoid yang terdapat dalam buah anggur dan apel dapat mengurangi
bahaya kolesterol dan mencegah penggumpalan darah. Beberapa penelitian
yang menunjang pendapat ini antara lain, pada 36 manusia tidak merokok
yang sehat terlihat bahwa peningkatan konsumsi buah dan sayur dari lima
porsi/hari menjadi 10 porsi/hari menghasilkan peningkatan kapasitas
antioksidan plasma secara nyata (Sutanto, 2010). Penelitian yang
dilakukan oleh Ledikwe et al. (2007) pada 810 orang penderita
prehipertensi dan hipertensi ringan, menemukan hubungan nyata antara
konsumsi pangan yang memiliki densitas energi rendah dengan penurunan
berat badan.
48
Menurut Krisnatuti (2005), serat pangan dapat membantu
meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan
meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Konsumsi
serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini dapat
mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan
menurunkan risiko hipertensi.
2.2.10 Konsumsi Air
Dalam Almatsier (2001) diketahui bahwa air atau cairan tubuh
merupakan bagian utama tubuh, yaitu 55-60 % dari berat badan orang
dewasa atau 70 % dari bagian tubuh tanpa lemak (lean body mass). Pada
proses menua manusia kehilangan air. Kandungan air bayi pada waktu
lahir adalah 75 % berat badan, sedangkan pada usia tua menjadi 50 %.
Kandungan air tubuh relatif berbeda antarmanusia, tergantung pada
proporsi jaringan otot dan jaringan lemak. Tubuh yang mengandung relatif
lebih banyak otot mengandung lebih banyak air. Air mempunyai beberapa
fungsi dalam proses vital tubuh , yaitu:
1. Pelarut dan alat angkut zat-zat gizi dan hormon-hormon, kemudian
dibawa ke seluruh sel yang membutuhkan. Disamping itu, air sebagai
pelarut mengangkut sisa metabolisme, termasuk karbon dioksida dan
ureum untuk dikeluarkan dari tubuh melalui paru-paru, kulit dan ginjal.
Selain itu juga untuk menjaga agar darah dan getah bening dalam tubuh
mempunyai volume dan kekentalan yang cukup. Bila tubuh kurang
cairan, darah dan getah bening akan menjadi kental karena cairan
49
dalam darah dan getah bening disedot untuk kebutuhan dalam tubuh.
Hal ini berakibat pada aliran darah yang tidak lancar karena sudah
mengental
2. Katalisator dalam berbagai reaksi biologik dalam sel, termasuk di
dalam saluran cerna.
3. Pelumas dalam cairan sendi-sendi tubuh.
4. Fasilisator pertumbuhan. Disini, air berperan sebagai zat pembangun.
5. Pengatur suhu. Karena kemampuan air untuk menyalurkan panas, air
memegang peranan dalam mendistribusikan panas didalam tubuh..
6. Peredam benturan.
Menurut Yahya (2003), ketersediaan jumlah air harus dipertahankan
untuk mendapatkan metabolisme tubuh yang stabil. Kehilangan air karena
berkeringat, buang air, dan lain-lain, harus segera digantikan. Untuk itu
disarankan agar mengkonsumsi air minimal setara dengan delapan gelas
atau dua liter sehari. Pada saat seseorang beraktivitas dengan banyak
mengeluarkan keringat, misalnya berolahraga, berendam air panas atau
masuk sauna, biasanya akan mengalami keadaan kepala yang terasa
berkunang-kunang. Hal ini dikarenakan kandungan air dalam darah
berkurang yang menyebabkan darah menjadi kental dan kurang lancar
mengalir terutama dalam pembuluh-pembuluh kapiler yang sangat kecil.
Keadaan ini sangat membahayakan karena dapat mengakibatkan kerusakan
pada saraf- saraf otak sebab kekurangan oksigen. Hal diatas menyebabkan
jantung bekerja lebih keras untuk memasok darah keseluruh tubuh.
50
Hasil penelitian Suryanto (2002) menunjukkan total konsumsi air
putih lansia per hari rata-rata minum enam sampai tujuh gelas 51,43% dan
kurang dari lima gelas 21,43%. Lansia dianjurkan minum lebih dari
delapan gelas per hari. Lansia dianjurkan Banyak minum dan kurangi
garam, dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan menghindari
makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah
kemungkinan terjadinya darah tinggi (Depkes RI, 2003)
Dalam memenuhi kebutuhan cairan lansia, ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya, yaitu: pertama, Berat badan (lemak tubuh) cenderung
meningkat dengan bertambahnya usia, sedangkan sel-sel lemak
mengandung sedikit air, sehingga komposisi air dalam tubuh lansia kurang
dari manusia dewasa yang lebih muda atau anak-anak dan bayi. Kedua,
Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia. Terjadi penurunan
kemampuan untuk memekatkan urin, mengakibatkan kehilangan air yang
lebih tinggi (Depkes, 2003).
2.2.11 Merokok
Winniford (1990) memaparkan bahwa rokok mengandung nikotin
yang dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah sistolik dan
diastolik. Peningkatan denyut jantung pada perokok terjadi pada menit
pertama merokok dan sesudah 10 menit peningkatan mencapai 30%.
Sedangkan tekanan sistolik meningkat mancapai 10%. Diketahui pula
bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung
melalui mekanisme sebagai berikut: pertama, merangsang saraf simpatis
51
untuk melepaskan nonepinefrin melalui saraf adrenergi dan meningkatkan
catecolamin yang dikeluarkan melalui medula adrenal. Kedua, merangsang
chemoreseptor di arteri karotis dan aorta bodies dalam meningkatkan
denyut jantung dan tekanan darah. Ketiga, secara langsung terhadap otot
jantung.
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam
penelitian bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia
berbahaya termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat,
yaitu 1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat
merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan
pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah
dan pengumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-
paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO), merupakan
gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah
membawa oksigen.
Gas CO yang dihisap menurunkan kapasitas sel darah merah untuk
mengangkut oksigen, sehingga sel-sel tubuh akan mati. Di tubuh perokok,
tempat untuk O2 ditempati oleh CO, karena kemampuan darah 200 kali
lebih besar untuk mengikat CO ketimbang O2. Akibatnya otak, jantung
dan organ vital tubuh lainnya akan kekurangan oksigen. Jika jaringan yang
kekurangan oksigen adalah otak, maka akan terjadi stroke (kelumpuhan).
Bila yang kekurangan oksigen adalah jantung, maka akan terjadi serangan
52
jantung. Zat kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan dalam dinding
arteri sehingga arteri rentan terhadap penumpukan plak (Depkes, 2008).
2.2.11.1 Jumlah rokok yang dihisap
Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang,
bungkus, pak per hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu :
1. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10
batang rokok per hari.
2. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang
rokok per hari.
3. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20
batang rokok per hari (Bustan, 1997).
2.2.11.2 Lama menghisap rokok
Menurut Bustan (2000), merokok dimulai sejak umur < 10
tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok
makin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-
response effect, artinya semakin muda usia merokok, akan
semakin besar pengaruhnya. Selain itu, menurut Smet (1994),
apabila perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok
sigaret dapat berhubungan dengan tingkat arterosclerosis. Risiko
kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan
umur awal merokok yang lebih dini.
Mangku Sitepoe (1997) dalam Suheni (2007), merokok
sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10–25
53
mmHg dan menambah detak jantung lima sampai 20 kali per
menit. Berdasarkan hasil penelitian eksperimen yang dilakukan
oleh petugas U.S Army Medical Corp terhadap enam pria yang
merokok (perokok berat) menunjukkan bahwa penyempitan
sementara pada arteri setelah merokok. Kecepatan denyut nadi
kembali normal lima sampai 15 menit setelah merokok, tetapi
pembatasan arteri vaskular bertahan selama setengah sampai satu
jam, dalam sejumlah kasus lebih lama lagi (Marvyn, 1987).
Asap rokok bukan saja memberikan dampak buruk bagi perokok,
melainkan juga bagi orang lain yang menghisap asap rokok tersebut tanpa
dirinya sendriri merokok (disebut perokok pasif). Para ilmuwan
membuktikan bahwa zat-zat kimia yang dikandung asap rokok dapat
mempengaruhi kesehatan orang-orang disekitar perokok yang tidak
merokok. Dampak bahaya merokok tidak langsung bisa dirasakan dalam
jangka pendek tetapi terakumulasi beberapa tahun kemudian, terasa setelah
10-20 tahun pasca digunakan. Dengan demikian secara nyata dampak
rokok berupa kejadian hipertensi akan muncul kurang lebih setelah berusia
lebih dari 40 tahun, sebab dipastikan setiap perokok yang menginjak usia
40 tahun ke atas telah menghisap rokok lebih dari 20 tahun. Jika merokok
dimulai usia muda, berisiko mendapat serangan jantung menjadi dua kali
lebih sering dibanding tidak merokok. Serangan sering terjadi sebelum usia
50 tahun (Depkes, 2008).
54
Setiap tahun tidak kurang dari tiga koma lima sampai lima juta jiwa
melayang akibat merokok (sekitar 10.000 orang/hari). Di Negara Cina
dilaporkan dari 300 juta populasi laki-laki berusia 0-29 tahun, 200 juta di
antaranya memiliki kebiasaan merokok (Cahyono, 2008).
Dalam penelitian Sanusi (2002) diketahui terdapat hubungan yang
bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi. Namun, dalam
penelitian Hasirungan (2002) didapatkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara merokok dengan kejadian hipertensi.
2.2.12 Olahraga atau Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan
sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot
membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan
jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan
zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa
dari tubuh (Supariasa, 2001).
Menurut Lee, et all (2002), olahraga dapat menurunkan risiko
penyakit jantung koroner melalui mekanisme; penurunan denyut jantung
dan tekanan darah, penurunan tonus simpatik, meningkatkan diameter
arteri koroner, dan sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan
HDL dan menurunkan LDL darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung
dapat bekerja secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun
kekuatan memompa jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen
55
jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan
serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga secara teratur
merupakan intervensi pertama untuk mengendalikan berbagai penyakit
degeneratif (tidak menular). Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat
untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko stroke, serangan
jantung, dan lain-lain. Pengaruh olahraga dalam jangka panjang sekitar
empat sampai enam bulan dapat menurunkan tekanan darah sebesar 7,4/5,8
mmHg tanpa bantuan obat hipertensi. Pengaruh penurunan tekanan darah
ini dapat berlangsung sampai sekitar 20 jam setelah berolahraga (Sutanto,
2010).
Olahraga memerlukan suatu ukuran tertentu agar dapat memberikan
kebugaran jasmani. Olahraga yang tidak sesuai dengan patokan, maka
yang didapatkan hanya kegembiraan saja, sementara kebugarannya tidak
diperoleh. Akibatnya, walaupun seseorang sudah merasa olahraga,
tubuhnya tidak sesehat yang diharapkan (Cahyono, 2008).
Olahraga secara teratur idealnya dilakukan tiga hingga lima kali
dalam seminggu dan minimal 30 menit setiap sesi (Sutanto, 2010).
Semakin lama berada dalam zona tersebut akan memberikan efek yang
lebih baik. Sebagai contoh, apabila melakukan olahraga yang lamanya
mencapai 40 sampai 90 menit bahan bakar yang digunakan sebagai sumber
tenaga berasal dari asam lemak. Dengan demikian kadar glukosa darah dan
lemak darah (kolesterol) akan digunakan tubuh sehingga kedua kadar zat
56
tersebut akan menuju normal. Namun, olahraga yang berlebihan bisa
berdampak tidak baik bagi kesehatan karena tubuh dapat menjadi lelah
(Cahyono, 2008).
Pemilihan jenis olahraga juga perlu diperhatikan, karena tidak semua
jenis olahraga memberikan efek baik bagi tubuh. Terdapat dua jenis olah
raga, yaitu:
1. Olahraga isotonik (sering disebut olah raga aerobik), contohnya jenis
olahraganya adalah joging, berenang, naik sepeda, dansa dan maraton.
Olahraga ini lebih memanfaatkan gerakan kaki daripada lengan. Olah
raga aerobik memiliki efek terbesar pada kesegaran fisik dan
kesehatan, karena meningkatkan ketahanan kardio-respirasi.
2. Olah aga yang bersifat isometrik (gerak badan statik), lebih banyak
melibatkan lengan daripada kaki, misalnya angkat beban. Olahraga ini
kurang menguntungkan pada sistem kardio-respirasi. Olahraga
isometrik, lebih mengutamakan ketahanan dan kakuatan otot
(Cahyono, 2008).
Melalui olahraga yang isotonik dan teratur (aktifitas fisik aerobik ±
30 menit/hari) dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan
tekanan darah. Kurang olahraga dapat memperbesar risiko obesitas dan
apabila asupan garam bertambah maka akan menambah risiko timbulnya
hipertensi (Sutanto, 2010).
Hasil penelitian Sanusi (2002) di poli klinik geriatri RSUPN Cipto
Mangunkusumo diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara
57
aktifitas fisik dengan hipertensi. Sedangkan penelitian Sugihartono (2007),
menyatakan bahwa tidak biasa melakukan olah0raga mempunyai risiko
menderita hipertensi sebesar 4,73 kali dan olah raga tidak ideal mempunyai
risiko sebesar 3,46 kali dibandingkan orang yang mempunyai kebiasaan
olah raga ideal.
2.2.13 Stress
Dalam Cahyono (2008), stres adalah respon fisiologik, psikologik,
dan perilaku seseorang individu dalam menghadapi penyesuaian diri
terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal. Sedangkan
menurut Hawari (2001), stress adalah respons tubuh yang sifatnya non
spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (stresor psikososial) yang
berdampak pada sistem kardiovaskuler. Stresor Psikososial itu sendiri
terdiri dari: perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan,
keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan
trauma.
Menurut Depkes RI (2006) dan Sutanto (2010), stres atau ketegangan
jiwa (rasa murung, tertekan, marah, dendam, takut dan bersalah). Ketika
otak menerima sinyal bahwa seseorang sedang stres, perintah untuk
meningkatkan sistem simpatetik berjalan dan mengakibatkan hormon stres
dan adrenalin meningkat. Lever melepaskan gula dan lemak dalam darah
untuk menambah bahan bakar. Nafas menjadi lebih cepat sehingga jumlah
oksigen bertambah. Sehingga menyebabkan kerja jantung menjadi semakin
cepat.
58
Sutanto (2010) menjelaskan bahwa pelepasan hormon adrenalin oleh
anak ginjal sebagai akibat stres berat akan menyebabkan naikknya tekanan
darah dan meningkatkan kekentalan darah yang membuat darah mudah
membeku atau menggumpal. Adrenalin juga dapat mempercepat denyut
jantung, menyebabkan gangguan irama jantung dan mempersempit
pembuluh darah koroner. Dengan demikian aliran darah ke otot jantung
akan berkurang atau terhambat sehingga dapat menyebabkan kematian.
Seseorang dalam kondisi stres akan mengalami hal-hal seperti mudah
jenuh, mudah marah, bertindak secara agresif dan defensif, sulit
konsentrasi, pelupa serta selalu merasa tidak sehat. Syaifudin (2006)
menambahkan bahwa hubungan stres dengan hipertensi juga dapat
meningkatkan retensi air dan garam.
Menurut Sarafindo (1990) dalam Smet (1994), stres adalah suatu
kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang
menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari
situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari
seseorang. Selain itu, stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk
sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal
kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan
tekanan darah.
Baliwati (2004) mengungkapkan bahwa pekerjaan juga berhubungan
dengan tingkat penghasilan. Sementara itu, penghasilan berhubungan
dengan gaya hidup seseorang. Berbagai jenis pekerjaan akan menimbulkan
59
respon stress atau tekanan psikis yang berbeda akibat pengahasilan yang
dimiliki. Pegawai tetap cenderung lebih stabil daripada pegawai tidak
tetap. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Penelitian Caval Cante (1995)
dalam Hasirungan (2002), melihat dari 1766 responden, 76 diantaranya
hipertensi. Dari observasi diketahui bahwa sebagian besar individu dengan
hipertensi memiliki pendapatan keluarga yang rendah dan tingkat
pendidikan yang rendah.
Sutanto (2010), stres dianggap sebagai suatu yang buruk ketika
seseorang tidak mampu menanggulangi stressor dengan baik. Stressor
dapat menggangu kesehatan emosi maupun fisik. Berikut ini adalah
beberapa cara untuk melepaskan diri dari stres, yaitu : Pertama,
memperbaiki kondisi emosi, merelaksasikan tubuh dan otak serta pikirkan
hal-hal yang menyenangkan. Berbagai penelitian mengenai bio-feedback
telah menunjukkan bahwa manusia sebenarnya memiliki kamampuan
untuk mengendalikan respons relaksasinya dan sejumlah orang yang
melakukan bio-feedback, kunci untuk memicu munculnya respons
relaksasi ternyata sederhana, yaitu memikirkan hal-hal yang
menyenangkan dan bernapas dengan tenang secara teratur. Hal ini
bermanfaat mengatasi stres dengan cepat dan mengurangi jumlah kejadian
yang dipersepsikan sebagai stresor. Kedua, aromaterapi. Ketiga, keluar
dari stresor atau pemicu stress serta putuskan lingkaran stres. Keempat,
seimbangkan pola makan. Untk melakukan diet sehat konsumsilah
makanan bergizi tinggi, rendah lemak dan kolesterol, banyak serat, tidak
60
mengandung pengawet, kurangi junkfood serta banyak minum air putih.
Kelima, tidur yang berkualitas. Dan Keenam, hindari alkohol dan
merokok..
Hasil penelitian Sigarlaki (2006) di Desa Bocor, Kecamatan Bulus
Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah didapatkan bahwa
responden yang mengalami stres terhadap jenis hipertensi, didapatkan
bahwa responden prehipertensi yang mengaku tidak mengalami stres
(6,86%), sementara yang menderita hipertensi grade I (37,25%), dan yang
menderita hipertensi grade II (22,57%). Dari hasil pengolahan penyebab
stres terhadap hipertensi, didapatkan bahwa sebagian besar responden
mengaku penyebab stres terbanyak yang dialami adalah karena ekonomi
(47,05%).
Hal ini disebabkan karena mereka berpenghasilan rendah. Tingkat
pendidikan, status ekonomi dan lingkungan sosial kultural dari seseorang
merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan
program kesehatan masyarakat (Baliwati, 2004).
Penelitian Yuliarti (2007) menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi. Namun,
penelitian Hasirungan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
stres dengan kejadian hipertensi.
61
2.3 Metode Food Frequency Questioner (FFQ)
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu
seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi
makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara
kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan
individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling
sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi. Kuesioner frekuensi
makanan memuat tentang daftar bahan makanan dan frekuensi penggunaan
makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar
kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering
oleh responden. Metode frekuensi makanan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah Relative murah dan sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh
responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat membantu untuk
menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan. Sedangkan kekurangannya
adalah tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan
kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, diperlukan
studi pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk
dalam daftar kuesioner, dan responden harus jujur dan mempunyai motivasi
tinggi (Supariasa, 2001).
62
2.4 Lansia
Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari
60 tahun. Sedangkan jika disesuaikan dengan masa pensiun di Indonesia, disebut
lansia apabila telah mencapai usia 55 tahun keatas.
Menjadi lansia secara alami akan dialami oleh setiap orang. Prosesnya tidak
dapat dihindari. Kekuatan fisik dan daya tahan tubuh pada lansia telah menurun,
serta mekanisme kerja organ tubuh mulai terganggu. Berikut ini merupakan
kadaan fisiologis lansia, yaitu:
1. Proses menjadi tua merupakan proses alami secara fisiologis dan biologis
yang terjadi pada seluruh organ dan sel tubuh.
2. Berkurangnya kemampuan sensitifitas indera penciuman dan perasa pada
lansia mengakibatkan selera makan menurun. Hal itu sering menyebabkan
kurangnya asupan atau penggunaan bumbu, seperti kecap atau garam.
Sehingga lansia cenderung berlebih dalam penggunaannya dan hal ini akan
berdampak pada menurunnya kesehatan lansia.
3. Kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang, mengakibatkan
kepala dan leher terfleksi ke depan, ruas tulang belakang mengalami kifosis,
panggul dan lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan
postur tubuh terganggu (Arisman (2004) dan Sari (2006))
Selain itu, lansia juga mengalami perubahan dalam lingkungan sosialnya.
Menurut Darmojo (2006) dipaparkan bahwa kinerja (fungsi dalam masyarakat)
seorang lanjut usia ditentukan oleh 3 faktor, yaitu: faktor fisis, faktor psikologis
63
atau mental, dan faktor sosio-ekonomi. Pensiunan, sebagai sistem pada
industrialisasi, dapat merupakan kendala untuk orang-orang usia lanjut terhadap
keadaan sosio ekonominya, finansial dan sebagainya. Maka dari itu harus
dipersiapkan dengan persiapan pensiun (MPP) yang baik dan terencana. Selain
faktor fisis harus juga diperhatikan faktor psikologis atau mental pada usia lanjut
tadi, karena pada waktu pensiun akan terjadi kehilangan pada bidang finansial,
statuts dan fasilitas, kenalan dan komunikasi. Pada perempuan, faktor psikologis
akan banyak terjadi apalagi dengan datangnya klimakterium dan menepouse.
2.4.1 Hipertensi Pada Usia Lanjut
Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit
kardiovaskular, infeksi dan gagal jantung. TDS (tekanan darah siastolik)
meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah
diastolik) meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun,
yang kemudian menurun oleh karena kekakuan arteri akibat ateroklerosis
(Suhardjono, 2006). Di Negara maju saat ini tekanan darah yang terkontrol
(TDS <140, TDD <90 mmHg) hanya terdapat 20% pasien hipertensi.
Keberhasilan pengobatan yang rendah pada usia lanjut diakibatkan juga
oleh karena banyak dokter tidak mengobati hipertensi usia lanjut sampai
optimal (kurang dari 140/90). Pada usia lanjut, prevalensi gagal jantung dan
stroke tinggi, yang keduanya merupakan akibat dari hipertensi. Oleh karena
itu pengobatan hipertensi penting sekali dalam mengurangi morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular (Suhardjono, 2006).
64
Telah diperhitungkan bahwa seorang pria berusia 55 tahun dengan
tekanan darah sistolik 160 mmHg, mempunyai risiko masalah vascular
dalam 10 tahun mendatang sekitar 14%. Baik pria maupun wanita hidup
lebih lama dan 50% dari mereka yang berusia di atas 60 tahun akan
menderita hipertensi sistolik terisolasi (TDS 160 mmHg dan diatolik 90
mmHg). Dengan menurunkan tekanan darah telah terbukti mengurangi
insiden gagal jantung, mengurangi demensia, dan dapat membantu
mempertahankan fungsi kognitif (Gray, 2005).
Hasil penelitian riskesdas (2007), menyebutkan bahwa prevalensi
penyakit hipertensi di Indonesia berdasarkan kasus minum obat atau
terdiagnosis oleh tenaga kesehatan yakni sebesar 65,2% pada lansia (usia
55 tahun keatas) lebih besar dibandingkan pada usia orang dewasa (usia <
55 tahun) sebesar 22,7%. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan (2009), angka prevalensi hipertensi pada lansia sebesar 33,94%.
Sedangkan penelitian hasirungan (2002), didapatkan prevalensi pada lansia
usia 55 tahun keatas di Kota Depok mencapai 57,5%.
Menurut Depkes RI (2000), batas prevalensi kasus hipertensi usia 50
tahun keatas yang ditetapkan mencapai 20-30%. Jika angka prevalensi
kasus disebuah wilatah melebihi angka tersebut, maka dapat dikatakan
sebagai sebuah kasus yang cukup tinggi.
65
HIPERTENSI
Umur
Jenis kelamin
Stres
Pola konsumsi
- Konsumsi natrium - Konsumsi lemak - Konsumsi buah dan sayur - Konsumsi air
Riwayat keluarga
Etnis
Konsumsi Alkohol
Merokok
Olahraga
Obesitas
2.5 Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini disusun berdasarkan kesimpulan dari
beberapa tinjauan pustaka yang ada, bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian hipertensi yaitu meliputi umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,
etnis, pola konsumsi (konsumsi natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan
sayur, konsumsi air), konsumsi alkohol, merokok, olah raga, stres, serta obesitas.
Kerangka teori secara sistematik dapat dilihat sebagai berikut dalam bagan 2.2:
Bagan 2.2 Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi
Sumber : Modifikasi Almatsier (2001), Gray (2005) dan Sutanto (2010)
66
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan penyederhanaan dari kerangka teori. Dalam
pelaksanaan penelitian berdasarkan kerangka teori yang ada, peneliti memilih
beberapa faktor risiko yang fisibel (dapat diukur) untuk diteliti sebagai variabel
penelitian. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah hipertensi, sedangkan
variabel independennya adalah jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi
natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air, olah raga,
merokok, stres, dan obesitas.
Dalam penelitian ini terdapat variabel independen yang tidak akan diteliti
berdasarkan suatu alasan, berikut ini adalah variabel yang tidak diteliti meliputi:
1. Variabel umur, tidak diikutsertakan karena semua sampel adalah usia 55
tahun keatas yang termasuk dalam kategori lanjut usia dan responden dengan
usia tersebut memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi.
2. Variabel etnis, merupakan faktor risiko yang kurang tepat diteliti karena
lokasi penelitian mayoritas penduduknya mempunyai etnis atau ras yang
sama atau homogen.
3. Variabel riwayat keluarga, tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena
akan menimbulkan bias tinggi. Hal ini disebabkan lansia hampir seluruhnya
tidak mengetahui penyakit apa yang pernah diderita oleh orang tuanya.
67
4. Variabel konsumsi alkohol, tidak diikutsertakan karena berdasarkan
informasi dari petugas kesehatan di Puskesmas Kampung Sawah, para lansia
tidak mengkonsumsi alkohol.
Berikut ini merupakan bagan dari kerangka konsep penelitian, yakni:
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi
Variabel Independen Variabel Dependen
Pola konsumsi
- Konsumsi natrium - Konsumsi lemak - Konsumsi buah
dan sayur - Konsumsi air Kejadian
Hipertensi
Jenis kelamin
Stress
Olahraga
Merokok
Obesitas
68
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Hipertensi Kondisi seseorang yang memiliki tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan diastolik ≥ 90mmHg atau keduanya. Dikatakan hipertensi apabila pernah melakukan pengukuran tekanan darah dan hasilnya tetap tinggi setelah diperiksa 3 kali dalam waktu yang berbeda.
Spyghmomanometer
Air Rakasa dan
Stetoskop
- Tekanan darah diukur dalam posisi beridiri/duduk, penurunan lengan dari posisi hampir mendatar/setinggi jantung ke posisi hampir vertikal,
- Dilakukan setelah responden istirahat selama 5 menit, dilakukan 2 kali dengan jarak 5-10 menit.
- Auskultasi dengan stetoskop
(Gray, 2005)
0. Hipertensi, jika TDS ≥140 & atau TDD ≥90
1. Tidak hipertensi, jika TDS <140 & atau TDD <90 mmHg
(Kategori JNC-7, 2003)
Ordinal
2 Jenis kelamin Tanda-tanda seks sekunder yang diperlihatkan seseorang
Kuesioner Pengamatan 0. Perempuan 1. Laki-laki (Darmodjo, 1993 dalam Hasirungan, 2002)
Ordinal
3 Konsumsi natrium
Jumlah konsumsi bahan makanan yang mengandung
FFQ semi kuantitatif
Wawancara mendalam
0. Lebih, jika konsumsi natrium ≥ 876gram/tahun
Ordinal
69
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
sumber natrium (makanan asin) oleh responden dan diakumulasikan dalam jangka waktu maksimal satu tahun
1. Cukup, jika konsumsi natrium < 876gram/tahun
(Almatsier, 2006)
4 Konsumsi lemak
Jumlah konsumsi bahan makanan yang mengandung sumber lemak oleh responden dan diakumulasikan dalam jangka waktu maksimal satu tahun
FFQ semi kuantitatif
Wawancara mendalam
0. Lebih, jika konsumsi lemak pada laki-laki =>16.608 gram/tahun, perempuan = > 12.956 gram/tahun
1. Cukup, jika konsumsi lemak pada laki-laki = ≤16.608 gram/tahun, perempuan = ≤ 12.956 gram/tahun
(Depkes (2003) & AKG (2004)
Ordinal
5 Konsumsi Buah dan Sayur
Jumlah konsumsi buah dan sayur oleh responden yang diakumulasikan dalam jangka waktu satu hari
FFQ semi kuantitatif
Wawancara mendalam
0. Kurang, jika konsumsi buah dan sayur < 400 gram/hari
1. Cukup, jika konsumsi buah dan sayur ≥ 400 gram/hari
(Dauchet et al., 2007)
Ordinal
6 Konsumsi air Jumlah konsumsi air putih oleh responden dalam yang diakumulasikan dalam jangka waktu satu hari
Kuesioner Wawancara 0. Kurang, jika konsumsi air putih < 8 Gelas/hari
1. Cukup, jika konsumsi air putih ≥ 8 gelas/hari
(Depkes, 2003)
Ordinal
7 Olah raga Kegiatan latihan fisik sehari-hari yang dilakukan
Kuesioner Wawancara 0. Tidak, jika tidak olahraga/olahraga tapi
tidak rutin
Ordinal
70
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
seseorang secara teratur agar dapat memberikan kebugaran jasmani dalam seminggu minimal 30 menit/3-4 kali seminggu
1. Ya, jika Olahraga 30-45 menit, 3-4 kali/minggu
(Depkes, 2006)
8 Merokok Kebiasaan/perilaku menghisap rokok dan pernah merokok dalam kehidupan responden
Kuesioner Wawancara 0. Merokok/Pernah merokok 1. Tidak merokok (Depkes, 2008)
Ordinal
9 Stres Suatu keadaan non spesifik yang dialami individu akibat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan yang melebihi daya dan kemampuan responden untuk mengatasinya dengan efektif
Kuesioner Wawancara Terdiri dari 20 butir pertanyaan 0. Stres, jika menjawab ≥ 6
pertanyaan jawaban “ya” 1. Tidak stres, jika menjawab <
6 pertanyaan jawaban “ya” (Depkes, 2008)
Ordinal
10 Obesitas Kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan yang dikategorikan dengan IMT (Waspadji, 2003)
Timbangan digital dan Meteran
IMT = BB/TB2
Lansia yang membungkuk ukuran TB diganti dg rentang lengan, rumus: Lk =53,4+(0,67xPRT) PR=81,0+(0,48xPRT)
0. Obesitas, jika IMT > 25 kg/m2
1. Tidak obesitas, jika IMT ≤ 25 kg/m2 s
(Depkes, 2006)
Ordinal
71
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada kelompok lanjut
usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan
tahun 2011.
2. Ada hubungan antara konsumsi natrium dengan hipertensi pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan tahun 2011.
3. Ada hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada kelompok
lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan tahun 2011.
4. Ada hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan hipertensi pada
kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang Selatan tahun 2011.
5. Ada hubungan antara konsumsi air dengan hipertensi pada kelompok lanjut
usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan
tahun 2011.
6. Ada hubungan antara olah raga dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia
di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun
2011.
7. Ada hubungan antara merokok dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia
di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun
2011.
72
8. Ada hubungan antara stres dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia di
Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun
2011.
9. Ada hubungan antara obesitas dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia di
Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun
2011.
73
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain
studi cross sectional, yaitu mempelajari hubungan antara variabel dependen
(hipertensi) dan variabel independen (jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi
natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, olahraga, merokok, stres,
dan status gizi/IMT melalui pengukuran sesaat atau hanya satu kali saja serta
dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Desain cross sectional digunakan
berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian hipertensi pada kelompok lanjut usia di
Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun
2011.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Sawah Baru,
Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan
4.2.2 Waktu Penelitian
Dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai dengan Maret
2011.
74
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari unit didalam pengamatan yang
akan dilakukan (Sabri, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
lanjut usia ≥ 55 tahun (lansia) yang ada di Kelurahan Sawah Baru,
Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai/karakteristiknya
diukur dan yang nantinya dipakai untuk menduga karakteristik dari
populasi (Sabri, 2008). Sampel dalam penelitian ini diperoleh dari
perhitungan dengan rumus uji hipotesis beda dua proporsi (Ariawan,
1998), yaitu sebagai berikut:
[Z1-α/2√2P(1-P)+Z1- β√P1(1-P1)+P2(1-P2)]2 n =
(P1-P2)2 Keterangan :
n = Besar sampel
Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kepercayaan α
pada uji dua sisi (two tail), yaitu sebesar 5% = 1,96
Z 1- β = Nilai Z pada kekuatan uji 1- β, yaitu sebesar 80% = 0,84
P = Proporsi rata-rata = (P1-P2)/2
P1 = Proporsi lansia dengan status gizi (IMT) lebih (86,4%) yang
menderita hipertensi (Yuliarti, 2007)
P2 = Proporsi lansia dengan statuts gizi (IMT) tidak lebih (61,0%)
75
yang menderita hipertensi (Yuliarti, 2007)
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut,
diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 48 orang yang kemudian
dikalikan dua menjadi 96. Untuk mengantisipasi ketidaklengkapan data,
maka besar sampel ditambahkan oleh peneliti sehingga total sampel dalam
penelitian ini berjumlah 105 orang lansia.
Pengambilan sampel penelitian menggunakan metode simple
random sampling, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Melakukan pendataan para lansia yang sedang berada dirumah dari
para pengurus wilayah setempat seperti kader posbindu, kader
posyandu, Ibu atau Bapak RT maupun RW.
2. Melakukan pengambilan secara acak terhadap beberapa lansia yang
terdaftar dalam kerangka sampel sampai terambil 105 orang lansia.
Sampel yang diikut sertakan pada penelitian ini memiliki kriteria
tertentu yaitu sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi, terdiri dari:
a. Seluruh lansia berusia ≥ 55 tahun yang ada di Kelurahan Sawah
Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan dan bersedia
menjadi responden
b. Dapat berkomunikasi dengan baik.
2. Kriteria eksklusi, terdiri dari:
76
a. Lansia yang memiliki penyakit demensia (pikun atau pelupa),
perubahan tingkah laku, atau penyakit lain (seperti stroke atau
lumpuh)
b. Lansia yang sedang menjalani terapi pengobatan anti hipertensi
baik kimia atau tradisional dan diet penyakit hipertensi dengan
teratur. Diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan responden
maupun anggota keluarganya.
c. Subyek meninggal dunia atau tidak ditemukan.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2005). Instrumen penelitian yang digunakan
pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Alat Spyghmomanometer air raksa dan stetoskop, digunakan untuk
pengukuran penyakit hipertensi atau penentuan nilai tekanan darah (sistole
dan diastole).
2. Kuesioner, yang berisi sejumlah pertanyaan mengenai jenis kelamin,
konsumsi air, olahraga, merokok, dan stres.
3. Formulir FFQ semi kuantitatif, yang digunakan untuk mengetahui tingkat
konsumsi: natrium, lemak, serta buah dan sayur ukuran.
4. Timbangan digital dan meteran (mikrotoa). Timbangan digunakan untuk
mengetahui berat badan (BB) responden, sedangkan meteran untuk
mengetahui panjang rentang tangan (PRT) atau tinggi badan (TB).
77
Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui status gizi (obesitas) pada
responden dengan metode IMT yang berasal dari data berat badan dan tinggi
badan.
4.5 Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian
kuesioner dan pengukuran variabel penelitian yang dilakukan langsung oleh
peneliti. Sebelum dilakukan pengukuran data primer, peneliti melakukan uji
coba kuesioner terlebih dahulu dan dilakukan terhadap lansia di wilayah lain
yang bukan sampel. Uji coba ini dilakukan untuk mendapat kejelasan dari setiap
pertanyaan yang dibuat.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan data primer
dan data sekunder.
4.5.1 Data Primer
Data primer diperoleh diperoleh secara langsung dari responden.
Yang terdiri dari :
1. Data tekanan darah atau hipertensi, diperoleh dengan menggunakan
alat Spyghmomanometer air raksa dan stetoskop sesuai prosedur
pengukuran tekanan darah yang benar. Dilakukan sebanyak 2 kali
dengan posisi pengukuran yang sama dan hasilnya diambil dari rata-
rata 2 pengukuran terakhir. Selain itu, peneliti juga melakukan
pengecekan terhadap data hasil diagnosis dan pemeriksaan
laboratorium yang ada sebagai data pendukung jika responden
78
memilikinya. Bagi responden yang telah terdianosis memiliki
hipertensi oleh dokter atau tenaga kesehatan dan sering memeriksakan
tekanan darahnya secara teratur, pengukuran tekanan darah hanya
dilakukan 1 kali pengukuran. Tetapi, jika tidak atau belum pernah
terdiagnosis hipertensi maka peneliti melakukan pengukuran tekanan
darah sebanyak 3 kali dalam kurun waktu tidak lebih dari 1 minggu.
Dalam penelitian dikatakan hipertensi jika tekanan sistolik ≥ 140
mmHg secara terus menerus, tekanan diastolik ≥ 90 mmHg secara
terus menerus atau keduanya dan tidak hipertensi jika tekanan sistolik
< 140 mmHg dan atau tekanan diatolik < 90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam kondisi sebagai
berikut:
a. Dalam keadaan tenang, santai, tidak stress atau sedang mengalami
suatu masalah berat.
b. Beristirahat 5-10 menit terlebih dahulu, setelah responden sedang
melakukan suatu pekerjaan yang berat.
c. Tidak diperbolehkan merokok atau minum kopi ± 30 menit
sebelum pengukuran tekanan darah.
2. Data konsumsi natrium, konsumsi lemak serta konsumsi buah dan
sayur didapatkan dari pengukuran menggunakan form FFQ semi
kuantitatif. Bahan makanan sudah terlebih dahulu disurvey. Form
FFQ berisi: 1) daftar bahan makanan (sumber natrium, lemak dan
buah dan sayur) dengan kadar zat gizi pada masing-masing makanan
79
dan kadar ukuran rumah tangga, 2) frekuensi konsumsi bahan
makanan tersebut, 3) jumlah bahan makanan yang dikonsumsi (URT
dan berat/gr) dalam sekali makan. Setelah form terkumpul dan diisi
akan diolah. Pertama, mengkalikan antara frekuensi konsumsi dengan
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi per sekali makan dalam
ukuran gram. Lalu hasil yang didapat akan dikalikan dengan nilai zat
gizi dari natrium dan lemak. Sedangkan konsumsi buah dan sayur
tidak perlu dikalikan dengan nilai gizinya, cukup dengan mengkalikan
gram yang dikonsumsi setiap harinya dengan frekuensi sekali makan.
Nilai gizi dari setiap sumber bahan makanan dianalisis menggunakan
software nutri survey dan DKBM (daftar konsumsi bahan makanan).
3. Data jenis kelamin, konsumsi air, olah raga, merokok, dan stres
didapat dari wawancara terstruktur dengan bantuan kuesioner.
Pengisian kuesioner dalam penelitian ini diisi langsung oleh peneliti.
4. Data obesitas, diperoleh dari pengukuran berat badan (BB) dengan
menggunakan timbangan dan tinggi badan (TB) dengan menggunakan
mikrotoa/meteran. Jika responden masih bisa berdiri tegak maka yang
diukur adalah TB dengan melepas alas kaki, tetapi jika responden
sudah membungkuk atau tidak dapat berdiri tegak maka yang diukur
adalah PRT. Pengukuran PRT digunakan untuk mengganti data TB
bagi lansia yang sudah membungku/tidak dapat berdiri tegak. Rumus
dari ukuran rentang lengan (PRT), yaitu: TB laki-laki= 53,4 + (0,67 x
PRT) dan TB perempuan= 81,0 + (0,48 x PRT) (Arisman, 2010).
80
Sedangkan pengukuran BB responden juga diminta untuk melepas
alas kaki dan berdiri dengan tegak diatas timbangan. Kemudian untuk
mendapatkan hasil status gizi (obesitas), maka digunakan rumus : BB
(kg)/TB (m)2.
4.5.2 Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari :
1. Laporan LB-3 Dinas Kesehatan Tangerang Selatan tahun 2009 berupa
data tingginya prevalensi lansia yang menderita hipertensi sewilayah
Tangsel, yakni sebesar 33,94 %.
2. Arsip Puskesmas Kampung Sawah berupa data rekam medis
mengenai tingginya prevalensi lansia yang menderita hipertensi di
wilayah Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan, yakni sebesar 32,4 %.
3. Arsip Kelurahan Sawah Baru berupa data profil Kelurahan Sawah
baru dan data yang berhubungan dengan lansia di wilayah Kelurahan
Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
4.6 Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan
penelitian setelah kegiatan pengumpulan data. Data mentah (raw data) yang telah
dikumpulkan selanjutnya diolah sehingga menjadi sumber yang dapat digunakan
untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan program komputer.
81
Tahapan pengolahan data melalui beberapa proses yakni sebagai berikut :
1. Editing data
Tahap ini merupakan kegiatan penyutingan data yang telah
terkumpul dengan cara memeriksa kelengkapan data dan kesalahan
pengisian kuesioner untuk memastikan data yang diperoleh telah lengkap
dapat dibaca dengan baik, relevan, dan konsisten.
2. Coding data
Setelah melakukan proses editing kemudian dilakukan pengkodean
pada jawaban dari setiap pertanyaan terhadap setiap variabel sebelum
diolah dengan komputer, dengan tujuan untuk memudahkan dalam
melakukan analisa data. Adapun pengkodean untuk setiap variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Hipertensi, diberi kode 0 = Hipertensi, jika TDS ≥140 & atau TDD
≥90, atau TDS ≥140 dan TDD <90/mengkonsumsi obat antihipertensi,
dan kode 1 = Tidak hipertensi, jika TDS <140 & atau TDD <90
mmHg.
b. Jenis kelamin, diberi kode 0 = Perempuan, dan kode 1 = Laki-laki
c. Konsumsi natrium, diberi kode 0 = Lebih, jika konsumsi natrium ≥876
gram/tahun, dan kode 1 = Cukup, jika konsumsi natrium <876
gram/tahun.
d. Konsumsi lemak, diberi kode 0 = Lebih, jika konsumsi lemak pada
laki-laki: >16.608 gram/tahun, perempuan: >12.956 gram/tahun, dan
82
kode 1 = Cukup, jika konsumsi lemak pada laki-laki: ≤16.608
gram/tahun, perempuan: ≤12.956 gram/tahun.
e. Konsumsi buah dan sayur, diberi kode 0 = Kurang, jika konsumsi buah
dan sayur <400 gram/hari, dan kode 1 = Cukup, jika konsumsi buah
dan sayur ≥400 gram/hari.
f. Konsumsi air, diberi kode 0 = Kurang, jika konsumsi air putih <8
Gelas/hari, dan kode 1 = Cukup, jika konsumsi air putih ≥ 8 gelas/hari.
g. Olahraga, diberi kode 0 = Tidak, jika Tidak Olahraga/Olahraga Tapi
Tidak Rutin, dan kode 1 = Ya, jika Olahraga 30-45 menit, 3-4
kali/minggu.
h. Merokok, diberi kode 0 = Merokok atau Pernah merokok, dan kode 1 =
Tidak merokok.
i. Stres, diberi kode 0 = Stres, jika menjawab ≥6 pertanyaan jawaban
“ya”, dan kode 1 = Tidak stres, jika menjawab <6 pertanyaan jawaban
“ya”.
j. Obesitas, diberi kode 0 = Obesitas, jika IMT > 25 kg/m2, dan kode 1 =
Tidak Obesitas, jika IMT ≤ 25 kg/m2.
3. Data structure dan Data file
Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu
membuat tamplate sesuai dengan format kuisioner yang digunakan
4. Entry data
83
Tahap ini merupakan proses memasukkan data dari kuesioner ke
dalam komputer untuk kemudian diolah dengan bantuan perangkat lunak
komputer.
5. Cleaning
Pada tahap ini dilakukan proses pengecekan kembali dan
pemeriksaan kesalahan pada data yang sudah dientry untuk diperbaiki dan
disesuaikan dengan data yang telah dikumpulkan.
4.7 Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
univariat dan analisis bivariat.
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk melihat menyajikan dan
mendeskripsikan karakteristik data variabel dependen yaitu hipertensi
maupun independen yaitu yaitu jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi
natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air,
olahraga, merokok, stres, dan obesitas yang diteliti. Penyajian data yang
diolah berupa tabel distribusi frekuensi.
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat kemungkinan adanya
hubungan yang bermakna antara variabel dependen, yaitu hipertensi
dengan variabel independen yaitu jenis kelamin, riwayat keluarga,
konsumsi natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi
84
air, olahraga, merokok, stres, dan obesitas. Analisa bivariat ini
menggunakan uji chi square dengan rumus :
(O-E)2
X2 = ∑ E
DF = (k-1)(b-1)
Keterangan :
X2 = Chi square
O = Nilai observasi
E = Nilai Ekspektasi
k = jumlah kolom
b = jumlah baris
Melalui uji statistik chi square akan diperoleh nilai p, dimana dalam
penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0,05. Penelitian antar
dua variabel dikatakan bermakna jika mempunyai nilai P ≤ 0,05 artinya
terdapat hubungan yang bermakna antara variabel dependen dan variabel
independen. Namun sebaliknya, bila nilai P > 0,05 berarti tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara variabel dependen dan variabel
independen.
85
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1 Keadaan Geografi
Kelurahan Sawah Baru merupakan salah satu bagian dari wilayah
kerja Puskesmas Kampung Sawah dengan luas wilayah 298,153 Ha/Km2,
yang terletak di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Adapun
batas-batas wilayah Kelurahan Sawah Baru adalah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pondok Pucung dan
Kelurahan Pondok Aren.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Serua Indah.
Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Jombang.
Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Sawah.
5.1.2 Keadaan Demografi
Kelurahan Sawah Baru terdiri dari 9 RW, 51 RT dan 4.601 KK
(kepala keluarga). Jumlah penduduk Kelurahan Sawah Baru berdasarkan
data survei Kelurahan Sawah Baru tahun 2009 sebanyak 19.409 jiwa,
terdiri dari 9.787 jiwa penduduk laki-laki dan 9.622 jiwa penduduk
perempuan. Komposisi penduduk usia lanjut (55 tahun keatas) menurut
kelompok umur sebesar 3,09% dari total penduduk. Laki-laki umur 55
tahun keatas sebesar 303 jiwa dan perempuan sebesar 298 jiwa.
86
Jumlah penduduk Kelurahan Sawah baru berdasarkan jenis
pekerjaan, sebagian besar sebagai: pelajar atau mahasiswa sebesar 5103
jiwa (26%), belum atau tidak bekerja sebesar 4010 jiwa (20,6%), IRT (ibu
rumah tangga) sebesar 3115 jiwa (16,3%), dan buruh 2470 jiwa (12,7%).
Selebihnya berprofesi sebagai karyawan BUMN/BUMD/Swasta, pedagang,
guru, PNS/TNI/POLRI, pensiunan, dan lain-lain.
Penduduk Kelurahan Sawah Baru menurut tingkat pendidikan terdiri
dari tidak atau belum sekolah 2.704 jiwa, belum tamat SD 2.8.47 jiwa,
tamat SD 3.230 jiwa, SLTP 3.760 jiwa, SLTA 4.643 jiwa, Akademik atau
Diploma III 876 jiwa dan Strata I, II, III 1.349 jiwa.
Berdasarkan data profil Kota Tangerang Selatan pada tahun 2009
jumlah fasilitas kesehatan di Kelurahan Sawah Baru terdiri dari 1
Puskesmas Pembantu, 2 Klinik Umum/Gigi/Bersalin, 2 Rumah Bersalin, 5
Dokter Praktek, 8 Bidan Praktek, dan 20 Posyandu. Tenaga kesehatan
terdiri dari dokter umum 5 orang, dokter anak 2 orang, dokter kandungan 2
orang, dokter gigi 2 orang, dokter spesialis lainnya 3 orang, bidan 7 orang,
perawat 18 orang dan dukun bayi atau beranak 7 orang.
Kelurahan Sawah Baru memiliki beberapa sarana pendukung lain,
meliputi: 1) Sarana peribadatan (mesjid dan mushola), 2) Sarana
pendidikan (kelompok bermain, TK, SD, SLTP, SLTA, dan PONPES), 3)
Sarana olah raga (lapangan sepak bola, futsal, volley, badminton, basket,
dan kolam renang umum), 4) Sarana perdagangan (pertokoan/ruko, pasar
swalayan/toserba, restoran/rumah makan, dan warung), 5) Sarana Hiburan
87
(Bilyar), 6) Sarana perbankan dan koperasi (Bank Perkreditan Rakyat,
koperasi non KUD dan koperasi jasa keuangan syariah), 7) Sarana jalan
dan jembatan.
5.2 Gambaran Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat adalah distribusi frekuensi untuk mendapatkan
gambaran dari variabel dependen dan variabel independen.
5.2.1 Gambaran Kejadian Hipertensi pada Lansia di Kelurahan Sawah
Baru Tahun 2011
Keadaan hipertensi didapatkan dengan cara pengukuran tekanan
darah menggunakan alat sphygmomanometer air raksa dan stetoskop. Hasil
didapatkan dari rata-rata pengukuran yang dilakukan pada lengan kanan
dan lengan kiri. Hasil pengukuran hipertensi yang didapat dalam penelitian
ini akan dibandingkan berdasarkan The Joint National Committe on
Prevention, Detection Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC-7) tahun 2003. Nilai batas dikatakan terdiagnosis hipertensi yaitu
memiliki tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik (TDD) ≥90 mmHg.
Rata-rata tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik
(TDD) lansia masih tergolong tinggi sesuai standar JNC, yaitu TDS sebesar
148,67 mmHg dan TDD sebesar 91,28 mmHg, dengan standar deviasi TDS
22,631 mmHg dan TDD 10,261 mmHg. Selain itu diketahui pula nilai
tekanan darah terendah yaitu 110 mmHg untuk TDS serta 70 mmHg untuk
88
TDD dan pula nilai tekanan darah tertinggi yaitu 230 mmHg untuk TDS
serta 125 mmHg untuk TDD.
Adapun gambaran kejadian hipertensi pada kelompok lanjut usia di
Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.1 Distibusi Frekuensi Kejadian Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kejadian Hipertensi Jumlah Persentase
Hipertensi 69 65,7 Tidak hipertensi 36 34,9
Total 105 100 Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebanyak 69 lansia (65,7%)
menderita hipertensi. Hasil tersebut menunjukkan proporsi lansia yang
menderita hipertensi lebih banyak daripada proporsi lansia yang tidak
menderita hipertensi.
5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru
Tahun 2011
Gambaran distribusi frekuensi jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
5.2 dibawah ini:
Tabel 5.2 Distibusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Perempuan 70 66,7 Laki-laki 35 33,3
Total 105 100
89
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa sebanyak 70 lansia (66,7%)
berjenis kelamin perempuan. Hasil tersebut menunjukkan proporsi lansia
yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada proporsi lansia
yang berjenis kelamin laki-laki.
5.2.3 Gambaran Konsumsi Natrium pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru
Tahun 2011
Konsumsi natrium didapatkan dengan cara wawancara
menggunakan metode Food Frequency Questionare Semi Quantitative.
Hasil wawancara tersebut dibandingkan dengan angka kebutuhan konsumsi
natrium menurut WHO (1990), yaitu 2400 mg/hari atau setara akumulasi
dalam waktu 1 tahun yaitu 876 gr. Rata-rata konsumsi natrium lansia masih
lebih dari angka kebutuhan konsumsi yang dianjurkan, yaitu sebesar 920,04
gram/tahun, dengan standar deviasi 117,177 gram. Selain itu diketahui pula
konsumsi natrium terendah yaitu 605 gram/tahun dan konsumsi natrium
tertinggi yaitu 1.378 gram/tahun.
Adapun gambaran distribusi frekuensi konsumsi natrium dapat
dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini:
Tabel 5.3 Distibusi Frekuensi Konsumsi Natrium pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Natrium Jumlah Persentase
Lebih 66 62,9 Cukup 39 37,1 Total 105 100
90
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa sebanyak 66 lansia (62,9%)
mengkonsumsi natrium dalam jumlah berlebih. Hal tersebut menunjukkan
bahwa proporsi lansia yang konsumsi natriumnya berlebih jumlahnya lebih
banyak daripada proporsi lansia yang konsumsi natriumnya cukup.
5.2.4 Gambaran Konsumsi Lemak pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru
Tahun 2011
Konsumsi lemak didapatkan dengan cara wawancara menggunakan
metode Food Frequency Questionare Semi Quantitative. Hasil wawancara
tersebut dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2004
yang diakumulasikan dalam setahun. Nilai konsumsi lemak dikatakan
cukup, yaitu sebesar ≤ 16.608 gr/tahun bagi lansia laki-laki dan ≤ 12 956
gr/tahun bagi lansia perempuan. Nilai Rata-rata konsumsi lemak lansia
masih dalam batas cukup dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan, yaitu
sebesar 8.708,61 gram/tahun, dengan standar deviasi 2.111,36 gram/tahun.
Selain itu diketahui pula konsumsi lemak terendah yaitu 1.844 gram/tahun
dan konsumsi lemak tertinggi yaitu 15.284 gram/tahun.
Adapun gambaran distribusi frekuensi konsumsi lemak dapat dilihat
pada tabel 5.4 dibawah ini:
Tabel 5.4 Distibusi Frekuensi Konsumsi Lemak pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Lemak Jumlah Persentase
Lebih 5 4,8 Cukup 100 95,2 Total 105 100
91
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa sebanyak 100 lansia (95,2%)
mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup. Hal tersebut menunjukkan
bahwa proporsi lansia yang konsumsi lemaknya cukup lebih banyak
daripada proporsi lansia yang konsumsi lemaknya lebih.
5.2.5 Gambaran Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011
Konsumsi buah dan sayur didapatkan dengan cara wawancara
menggunakan metode Food Frequency Questionare Semi Quantitative.
Hasil wawancara tersebut dibandingkan dengan angka kebutuhan konsumsi
buah dan sayur dalam sehari menurut depkes, yaitu dikatakan cukup bila ≥
400 gr/hari. Rata-rata konsumsi buah dan sayur lansia masih kurang dari
angka kecukupan konsumsi yang dianjurkan, yaitu sebesar 205,75
gram/hari, dengan standar deviasi 101,26 gram/hari. Selain itu diketahui
pula konsumsi buah dan sayur terendah yaitu 59 gram/hari dan konsumsi
buah dan sayur tertinggi yaitu 561 gram/hari.
Adapun gambaran distribusi frekuensi konsumsi buah dan sayur
dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini:
Tabel 5.5 Distibusi Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Buah dan Sayur Jumlah Persentase
Kurang 97 92,4 Cukup 8 7,6 Total 105 100
92
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa sebanyak 97 lansia (92,4%)
mengkonsumsi buah dan sayur dalam jumlah kurang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa proporsi lansia yang konsumsi buah dan sayurnya
kurang lebih banyak daripada proporsi lansia yang konsumsi buah dan
sayurnya cukup.
5.2.6 Gambaran Konsumsi Air pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru
Tahun 2011
Gambaran distribusi frekuensi konsumsi air dapat dilihat pada tabel
5.6 dibawah ini:
Tabel 5.6 Distibusi Frekuensi Konsumsi Air pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Air Jumlah Persentase
Kurang 53 50,5 Cukup 52 49,5 Total 105 100
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa sebanyak 53 lansia (50,5%)
konsumsi airnya kurang. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang
konsumsi airnya kurang lebih banyak daripada proporsi lansia yang
konsumsi airnya cukup.
Selain itu diketahui pula informasi tentang banyaknya konsumsi air
dalam gelas yang dikatakan kurang. Lansia yang mengkonsumsi air ≤ lima
gelas/hari sebanyak lima lansia (4,8%) dan enam sampai tujuh gelas/hari
sebanyak 48 lansia (45,7%).
93
5.2.7 Gambaran Kegiatan Olah Raga pada Lansia di Kelurahan Sawah
Baru Tahun 2011
Gambaran distribusi frekuensi kegiatan olah raga dapat dilihat pada
tabel 5.7 dibawah ini:
Tabel 5.7 Distibusi Frekuensi Kegiatan Olah Raga pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kegiatan Olah Raga Jumlah Persentase
Tidak Olah Raga 52 49,5 Olah Raga 53 50,5
Total 105 100 Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa sebanyak 53 lansia (50,5%)
melakukan kegiatan olah raga. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi lansia
yang melakukan kegiatan olah raga lebih banyak daripada proporsi lansia
yang tidak melakukan kegiatan olah raga.
5.2.8 Gambaran Merokok pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun
2011
Gambaran distribusi frekuensi merokok dapat dilihat pada tabel 5.8
dibawah ini:
Tabel 5.8 Distibusi Frekuensi Merokok pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Merokok Jumlah Persentase
Merokok/Pernah merokok 41 39 Tidak merokok 64 61
Total 105 100
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa sebanyak 64 lansia (61%)
tidak merokok. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang tidak
94
merokok lebih banyak daripada proporsi lansia yang merokok/pernah
merokok. Selain itu diketahui pula bahwa dari 41 lansia yang merokok 20
lansia diantaranya sudah berhenti merokok.
5.2.9 Gambaran Kejadian Stres pada Lansia Di Kelurahan Sawah Baru
Tahun 2011
Gambaran distribusi frekuensi kejadian stres dapat dilihat pada
tabel 5.9 dibawah ini:
Tabel 5.9 Distibusi Frekuensi Kejadian Stress pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kejadian Stres Jumlah Persentase
Stres 65 61,9 Tidak stres 40 38,1
Total 105 100
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa sebanyak 65 lansia (61,9%)
mengalami kejadian stress. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang
mengalami stress lebih banyak daripada proporsi lansia yang tidak
mengalami stress.
5.2.10 Gambaran Kejadian Obesitas pada Lasia di Kelurahan Sawah Baru
Tahun 2011
Kejadian obesitas didapatkan dari hasil pengukuran tinggi badan
(TB) dan berat badan (BB) dengan menggunakan rumus IMT (kg/m2). Hasi
pengukuran tersebut dibandingkan dengan klasifikasi IMT berdasarkan
Depkes (2006). Nilai seseorang dikategorikan mengalami obesitas, yakni
nilai IMT > 25 kg/m2. Rata-rata IMT lansia dalam masih dalam kategori
95
tidak obesitas atau normal (IMT ≤ 25 kg/m2), yaitu sebesar 23,41 kg/m2,
dengan standar deviasi 3,86 kg/m2. Selain itu, diketahui pula nilai IMT
terendah yaitu 14,8 kg/m2 dan nilai IMT tertinggi yaitu 33,7 kg/m2.
Gambaran distribusi frekuensi kejadian obesitas dapat dilihat pada
tabel 5.10 dibawah ini:
Tabel 5.10 Distibusi Frekuensi Kejadian Obesitas pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kejadian Obesitas Jumlah Persentase
Obesitas 28 26,7 Tidak obesitas 77 73,3
Total 105 100 Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa sebanyak 77 lansia (73,3%)
tidak mengalami obesitas. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang
tidak mengalami obesitas lebih besar daripada proporsi lansia yang
obesitas.
5.3 Gambaran Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan mengetahui hubungan dan besar risiko dari
masing-masing faktor risiko (variabel independen) dan kejadian hipertensi
(variabel dependen) dengan menggunakan uji Chi Square. Dikatakan bermakna
jika nilai p ≤ 0,05 dan tidak bermakna jika mempunyai nilai p > 0,05.
Gambaran dari analisis bivariat akan disajikan dalam sub bab dibawah ini.
96
5.3.1 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat jenis kelamin dengan hipertensi disajikan
pada tabel 5.11 dibawah ini:
Tabel 5.11 Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Jenis Kelamin
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
1,000 Perempuan 46 65,7 24 34,3 70 100 Laki-laki 23 65,7 12 34,3 35 100
Total 69 65,7 36 34,3 105 100 Berdasarkan table 5.11, hasil analisis hubungan antara jenis kelamin
dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 70 responden yang jenis
kelaminnya perempuan, terdapat 46 responden (65,7%) yang menderita
hipertensi. Sedangkan diantara 35 responden yang jenis kelaminnya laki-
laki, terdapat 23 responden (65,75%) yang menderita hipertensi. Dari hasil
uji statistic diperoleh nilai Pvalue sebesar 1,000. Hal ini menunjukkan
bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan hipertensi kelompok lansia.
5.3.2 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara konsumsi natrium dengan hipertensi
disajikan pada tabel 5.12 dibawah ini:
97
Tabel 5.12 Hubungan Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Konsumsi Natrium
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
0.000 Lebih 65 98,5 1 1,5 66 100 Cukup 4 10,3 35 89,7 39 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100
Berdasarkan table 5.12, hasil analisis hubungan antara konsumsi
natrium dalam satu tahun terakhir dengan hipertensi diperoleh bahwa
diantara 66 responden yang konsumsi natriumnya lebih, terdapat 65
responden (98,5%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara 39
responden yang konsumsi natriumnya cukup, terdapat empat responden
(10,3%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistic diperoleh nilai
Pvalue sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan
5 %, artinya ada hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan
hipertensi kelompok lansia.
5.3.3 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara konsumsi lemak dengan hipertensi
disajikan pada tabel 5.13 dibawah ini:
98
Tabel 5.13 Hubungan Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Konsumsi Lemak
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
0,658 Lebih 4 80 1 20 5 100 Cukup 65 65 35 35 100 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100
Berdasarkan table 5.13, hasil analisis hubungan antara konsumsi
lemak dalam 1 tahun terakhir dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara
lima responden yang konsumsi lemaknya lebih, terdapat empat responden
(80%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara 100 responden
yang konsumsi lemaknya cukup, terdapat 65 responden (65%) yang
terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistic diperoleh nilai Pvalue sebesar
0,658. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya
tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan
hipertensi kelompok lansia.
5.3.4 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada
Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara konsumsi buah dan sayur dengan
hipertensi disajikan pada tabel 5.14 dibawah ini:
99
Tabel 5.14 Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Konsumsi Buah
dan Sayur
Hipertensi Total
P- Valu
e Hipertensi Tidak
Hipertensi N % N % N %
0,019 Kurang 67 69,1 30 30,9 97 100 Cukup 2 25 6 75 8 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100
Berdasarkan table 5.14, hasil analisis hubungan antara konsumsi
buah dan sayur dalam satu hari dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara
97 responden yang konsumsi buah dan sayurnya kurang, terdapat 67
responden (69,1%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara
delapan responden yang konsumsi buah dan sayurnya cukup, terdapat dua
responden (25%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik
diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,019. Hal ini menunjukkan bahwa pada
tingkat kemaknaan 5 %, artinya ada hubungan yang bermakna antara
konsumsi buah dan sayur dengan hipertensi kelompok lansia.
5.3.5 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara konsumsi air dengan hipertensi
disajikan pada tabel 5.15 dibawah ini:
100
Tabel 5.15 Gambaran Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Konsumsi Air
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
0,131 Kurang 39 73,6 14 26,4 53 100 Cukup 30 57,7 22 42,3 52 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100
Berdasarkan table 5.15, hasil analisis hubungan antara konsumsi air
dalam satu hari dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 53 responden
yang konsumsi airnya kurang, terdapat 39 responden (73,6%) yang
terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara 52 responden yang konsumsi
airnya cukup, terdapat 30 responden (57,7%) yang terdiagnosis hipertensi.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,131. Hal ini
menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada
hubungan yang bermakna antara konsumsi air dengan hipertensi kelompok
lansia.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui pula dari 53 responden yang
mengkonsumsi air kurang terdapat 4,8% lansia dengan konsumsi air ≤ lima
gelas/hr dan 45,7% dengan konsumsi air enam sampai tujuh gelas/hr.
5.3.6 Hubungan antara Olah Raga dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara olah raga dengan hipertensi disajikan
pada tabel 5.16 dibawah ini:
101
Tabel 5.16 Gambaran Olah Raga dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Olah Raga
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
0,075 Tidak 39 75 13 25 52 100 Ya 30 56,6 23 43,4 53 100
Total 69 65,7 36 34,3 105 100 Berdasarkan table 5.16, hasil analisis hubungan antara olah raga
dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 52 responden yang tidak
melakukan olah raga, terdapat 39 responden (75%) yang terdiagnosis
hipertensi. Sedangkan diantara 53 responden yang melakukan olah raga,
terdapat 30 responden (56,6%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji
statistik diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,075. Hal ini menunjukkan bahwa
pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada hubungan yang bermakna
antara olah raga dengan hipertensi kelompok lansia.
5.3.7 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara merokok dengan hipertensi disajikan
pada tabel 5.17 dibawah ini:
102
Tabel 5.17 Gambaran Merokok dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Merokok
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
0,656 Merokok/pernah 28 68,3 13 31,7 41 100 Tidak merokok 41 64,1 23 35,9 64 100
Total 69 65,7 36 34,3 105 100 Berdasarkan table 5.17, hasil analisis hubungan antara merokok
dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 41 responden yang merokok,
terdapat 28 responden (68,3%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan
diantara 64 responden yang tidak merokok, terdapat 41 responden (64,1%)
yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue
sebesar 0,656. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %,
artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan
hipertensi kelompok lansia.
5.3.8 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara stres dengan hipertensi disajikan pada
tabel 5.18 dibawah ini:
103
Tabel 5.18 Hubungan Stres dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Stres
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
0,109 Stres 47 72,3 18 27,7 65 100 Tidak stres 22 55 18 45 40 100
Total 69 65,7 36 34,3 105 100
Berdasarkan table 5.18, hasil analisis hubungan antara stres dengan
hipertensi diperoleh bahwa diantara 65 responden yang mengalami stres,
terdapat 47 responden (72,3%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan
diantara 40 responden yang tidak mengalami stres, terdapat 22 responden
(55%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai
Pvalue sebesar 0,109. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan
5 %, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara stres dengan
hipertensi kelompok lansia.
5.3.9 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hasil analisis bivariat antara obesitas dengan hipertensi disajikan
pada tabel 5.19 dibawah ini:
104
Tabel 5.19 Hubungan Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia
di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Obesitas
Hipertensi Total P-
value Hipertensi Tidak Hipertensi
N % N % N %
0,150 Obesitas 22 78,6 6 21,4 28 100 Tidak obesitas 47 61 30 39 77 100
Total 69 65,7 36 34,3 105 100
Berdasarkan table 5.19, hasil analisis hubungan antara obesitas
dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 28 responden yang mengalami
obesitas, terdapat 22 responden (78,6%) yang terdiagnosis hipertensi.
Sedangkan diantara 77 responden yang tidak mengalami obesitas, terdapat
47 responden (61%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik
diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,150. Hal ini menunjukkan bahwa pada
tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara
obesitas dengan hipertensi kelompok lansia.
105
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi
hasil penelitian, antara lain:
1. Responden pada penelitian ini adalah usia lanjut, beberapa orang mungkin
memiliki keterbatasan daya ingat atau cepat merasa jenuh dengan pertanyaan
yang terlalu banyak sehingga pada saat menjawab responden terburu-buru
atau semaunya. Maka dari itu, pewawancara harus memiliki kemampuan
yang baik dalam mengatur jalannya wawancara sehingga responden tidak
terlalu jenuh.
2. Pengumpulan data makanan untuk konsumsi natrium, lemak serta buah dan
sayur dengan menggunakan Food Frequency Questionare Semi
Quantitative, yang tentunya memiliki kelemahan dalam tingkat ketelitiannya
karena memerlukan daya ingat lansia ketika mengkonsumsinya dalam waktu
setahun. Hal ini dimungkinkan lansia bisa saja lupa dengan makanan yang
dikonsumsinya, sehingga hanya mengira-ngira ketika menjawab kuesioner
tersebut.
3. Ketepatan diagnosis penyakit. Hal ini dapat menyebabkan bias, karena
dalam penelitian ini untuk mendiagnosis seseorang terkena hipertensi hanya
menggunakan pengukuran tekanan darah dan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap tekanan darah tanpa adanya pemeriksaan laboratorium
106
atau pemeriksaan diagnosis lainnya. Untuk mengurangi terjadinya bias,
maka pengukuran tekanan darah dilakukan sebanyak tiga kali dalam waktu
yang berbeda selama satu minggu dan menanyakan kepada responden
”apakah pernah terdiagnosis hipertensi oleh dokter”.
6.2 Gambaran Kejadian Hipertensi pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru
Tahun 2011
Di negara maju saat ini hanya sedikit pasien hipertensi dengan tekanan
darah yang terkontrol (TDS <140, TDD <90 mmHg), hal ini disebabkan oleh
pengobatan yang tidak maksimal pada lansia yaitu <140/90 (Suhardjono, 2006).
Hasil penelitian riskesdas (2007) menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di
Indonesia berdasarkan kasus minum obat atau terdiagnosis oleh tenaga kesehatan
yakni sebesar 65,2% pada lansia (usia 55 tahun keatas) lebih besar dibandingkan
pada usia orang dewasa (usia <55 tahun) sebesar 22,7%.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang
menetap. Tekanan darah yang normal adalah 120/80 mmHg (Sunardi, 2000).
Saat ini Cut-off point yang biasa digunakan untuk menentukan seseorang
menderita hipertensi adalah berdasarkan The Seventh Report of Joint National
Committee (JNC-7) tahun 2003 adalah dikatakan hipertensi derajat 1, jika TDS
140-159 mmHg dan TDD 90-99, serta dikatakan hipertensi derajat 2, jika TDS
≥160 mmHg dan TDD ≥100 mmHg (Yogiantoro, 2006).
107
Pada penelitian ini, hipertensi dikelompokkan ke dalam dua kategori
yaitu dikatakan hipertensi, jika TDS ≥140 mmHg dan atau TDD ≥90 mmHg dan
tidak hipertensi, jika TDS <140 mmHg dan atau TDD <90 mmHg.
Hasil penelitian di Kelurahan Sawah Baru didapatkan nilai rata-rata
tekanan darah lansia masih dikatakan tinggi yaitu TDS sebesar 148,68 mmHg
dan TDD sebesar 91,28 mmHg. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa
proporsi lansia yang menderita hipertensi (65,7%) jumlahnya lebih banyak
daripada lansia yang tidak menderita hipertensi (34,9%). Angka prevalensi
hipertensi lansia tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi sewilayah
kerja Puskesmas Kampung Sawah pada tahun 2009 yaitu sebesar 33,94%.
Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kejadian hipertensi
pada kelompok lanjut usia (55 tahun keatas) di Kelurahan Sawah Baru lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Hasirungan (2002) pada lansia (55
tahun keatas) di Kota Depok, yaitu sebesar 57,4%. Selain itu, angka prevalensi
hipertensi di Kelurahan Sawah Baru tersebut sudah termasuk dalam kategori
tinggi menurut batas yang ditetapkan oleh Depkes RI (2000) untuk usia 50 tahun
keatas yaitu melebihi 20-30%. Hal ini sudah termasuk dalam masalah kesehatan
masyarakat yang tinggi maka itu diperlukan adanya penanggulangan yang baik
dalam mengurangi kejadian hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru.
Pengendalian yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kejadian
hipertensi adalah dengan melakukan program gaya hidup sehat seperti: tidak
merokok, olah raga teratur, mengurangi asupan garam natrium, lemak, banyak
konsumsi buah dan sayur, mengontrol berat badan, menciptakan suasana rileks
108
dan lain-lain. Selain itu, untuk mengendalikan agar seseorang yang terdiagnosis
hipertensi diperlukan pengobatan hipertensi dalam mengurangi morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular akibat dampak kelanjutan dari tekanan darah tinggi.
Perubahan gaya hidup juga diperlukan terutama diet rendah garam. Akibat yang
ditimbulkan dari seseorang yang menderita hipertensi baik pada lansia maupun
orang dewasa muda adalah sama. Namun, pada lansia risiko terjadinya
komplikasi lebih besar (Yogiantoro, 2006).
Dalam Gray (2005) dan Suhardjono (2006) diketahui bahwa hipertensi
yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan memperpendek
harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Selain itu, efek dari penurunan tekanan
darah dapat mencegah demensia dan penurunan kognitif serta terjadinya
kerusakan organ yang berkaitan dengan derajat keparahan dari penyakit
hipertensi tersebut, seperti penyakit jantung, gagal ginjal, stroke, penyakit mata
dan pembuluh darah
Dari hasil kuesioner juga diketahui bahwa proporsi lansia yang
memeriksakan tekanan darahnya dalam satu bulan terakhir sebelum
dilakukannya pemeriksaan tekanan darah oleh peneliti sebanyak 48 lansia
(45,7%) dan proporsi lansia yang tidak memeriksakan tekanan darahnya
sebanyak 57 lansia (54,3%). Diketahui pula dari 105 lansia sebanyak 50 lansia
(47,6%) pernah terdiagnosa hipertensi sebelumnya oleh tenaga kesehatan. Selain
itu, dari 50 lansia yang pernah terdiagnosis hipertensi 35 lansia (70%)
diantaranya telah melakukan pemeriksaan atau pengontrolan terhadap tekanan
darahnya dan dari 55 lansia yang belum pernah terdiagnosis hipertensi, 13 lansia
109
(23,6%) diantaranya telah melakukan telah melakukan pemeriksaan atau
pengontrolan terhadap tekanan darahnya.
Menurut teori-teori dan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi pada seseorang,
terutama lansia. Diantaranya yaitu jenis kelamin, konsumsi natrium, konsumsi
lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air, olah raga, merokok, stres serta
obesitas. Hasil analisis data pada penelitian ini menunjukkan terdapat faktor
diatas yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada lansia di Kelurahan
Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2010.
Hubungan antara faktor independen dengan faktor dependen tersebut akan
dijelaskan pada sub bab berikutnya.
6.3 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Dalam Depkes (2006), hipertensi lebih banyak didapatkan pada laki-laki
dibandingkan perempuan, karena laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung
meningkatkan tekanan darah dibanding wanita, seperti merokok. Namun setelah
memasuki masa menepouse, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat.
Menurut Kumar, et all, (2005), wanita yang belum mengalami menopause
dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL) sehingga mencegah terbentuknya aterosklerosis.
Sebelum memasuki masa menepouse, wanita mulai kehilangan hormon estrogen
110
sedikit demi sediki dan sampai masanya hormon estrogen harus mengalami
perubahan sesuai dengan umur wanita, yaitu dimulai sekitar umur 45-55 tahun.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lansia berjenis kelamin
laki-laki. Selain itu diketahui pula bahwa lansia yang jenis kelamin perempuan
lebih banyak menderita hipertensi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gray
(2005) bahwa di usia 45 tahun keatas wanita dipengaruhi oleh hormon estrogen
yang dapat melindungi tubuh dari penyakit kardiovaskuler.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh tidak terdapatnya hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Sulistiani (2005) diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian
hipertensi. Namun, hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Yuliarti
(2007). Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang
berlawanan dengan teori-teori yang disebutkan diatas. Demikian juga Herke
(1995) tidak dapat membuktikan bahwa perempuan mempunyai risiko hipertensi
yang lebih besar daripada laki-laki, walaupun diperoleh proporsi hipertensi lebih
tinggi pada perempuan.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh telah menebalnya dinding
arteri akibat dari akumulasi menumpuknya zat kolagen pada lapisan otot selama
bertahun-tahun, yang berdampak pada penyempitan dan pengerasan pembuluh
darah. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh penurunan refleks baroreseptor dan
111
fungsi ginjal. Sehingga hal-hal tersebut dapat memicu timbulnya hipertensi tanpa
memandang jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan (Kumar, et all, 2005).
Price dan Wilson (2002) menambahkan bahwa penyebab hipertensi dapat
disebabkan pula oleh penurunan elastisitas pembuluh darah sehingga pembuluh
darah menjadi kaku. Pembuluh darah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan
baik untuk mengembang pada saat jantung memompa darah melalui pembuluh
darah tersebut. Sehingga jantung harus meningkatkan denyutnya pada pembuluh
darah yang menyempit agar aliran darah dapat didistribusikan keseluruh tubuh.
Hal ini menyebabkan naiknya tekanan darah.
Selain itu, adanya faktor lain yang mendukung adalah adanya faktor
psikologis. Salah satu contohnya adalah baik perempuan maupun laki-laki pada
ketika memasuki usia lansia kecenderungan mengalami depresi atau stres.
Disebabkan oleh status pekerjaan ataupun sudah tidak bekerja lagi
(pengangguran). Selain itu, seseorang yang pendapatannya rendah kurang
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada sehingga kurang mendapatkan
pengobatan yang baik ketika seseorang menderita hipertensi (Sutanto, 2010 dan
Baliwati, 2004).
6.4 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Menurut Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah suatu komponen
dalam darah. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl. WHO
menganjurkan untuk mengkonsumsi garam kurang dari enam gram/hari setara
112
dengan 2400 mg/hari. Salah satu dari fungsi natium dalam tubuh, yaitu mengatur
osmolaritas volume darah yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan
masuk ke dalam sel-sel serta membantu transmisi kontraksi otot.
Dalam Hull (1996) diketahui bahwa meningkatnya asupan garam lama-
kelamaan dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik
cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, selain itu dapat mengecilkan diameter
arteri. Sehingga berdampak pada peningkatan volume dan tekanan darah
meningkatkan.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia yang
konsumsi natriumnya berlebih jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan
lansia yang konsumsi natriumnya cukup. Akibat proses menua, seseorang
mengalami penurunan sensitifitas indera pengecapan dan perasa yang
mengakibatkan berkurangnya nafsu makan. Hal tersebut mengakibatkan
penggunaan bumbu masak atau garam dalam jumlah yang lebih banyak
(Arisman, 2004 dan Sari, 2006). Diketahui pula bahwa lansia yang konsumsi
natriumnya berlebih cenderung menderita hipertensi. Almatsier (2006)
memaparkan bahwa kelebihan natrium yang berkepanjangan bisa mengakibatkan
keracunan, edema serta hipertensi.
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian
ini sejalan dengan hasil penelitian Widiastuti (2006) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara asupan natrium dengan hipertensi pada
usia lanjut. Namun, berlawanan dengan penelitian Hasirungan (2002) bahwa
113
tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan
kejadian hipertensi pada lansia.
Menurut Williams (1991) dalam Aisyiyah (2009) dan Cahyono (2008),
pada penderita hipertensi maupun non hipertensi, pengaturan, pencegahan
maupun perbaikan pola makan, salah satunya dapat dilakukan dengan
mengurangi konsumsi natrium sebanyak 1.500 mg/hr (2/3 sendok teh sehari).
Karena setiap individu memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap jumlah
natrium yang dikonsumsinya didalam tubuh.
Berikut ini merupakan mekanisme terjadinya hipertensi akibat kadar
natrium yang berlebih, yaitu pengaturan keseimbangan natrium dalam darah
diatur oleh ginjal. Asupan natrium yang terlalu tinggi secara terus menerus atau
adanya gangguan fungsi ginjal menyebabkan keseimbangan natrium terganggu.
Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu
membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan
natrium tidak dapat atau sedikit dikeluarkan sehingga kadar natrium dalam darah
tinggi. Penurunan pengeluaran natrium akan diikuti dengan penahanan air.
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi menyebabkan peningkatan volume
darah dalam tubuh, sehingga tekanan darahpun meningkat (Price dan Wilson,
2002).
Dari hasil food frekuency questioner diketahui bahwa rata-rata lansia baik
yang menderita hipertensi maupun yang tidak hipertensi masih tinggi dalam
mengkonsumsi garam, bumbu masak atau penyedap disetiap pengolahan bahan
makanan disertai mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar natrium
114
tinggi, seperti konsumsi mie instan, ikan asin dan ikan teri kering dalam jangka
waktu yang dekat.
Hal ini sependapat dengan Suhardjo (2006), Cahyono (2008) dan Hull
(1996) memaparkan bahwa kesukaan, rasa atau kenikmatan terhadap makanan
berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Makanan asin dan siap saji dapat
meningkatkan nafsu makan seseorang karena rasanya yang gurih. Sehingga jika
seseorang menyukai dan terbiasa mengkonsumsi makanan sumber natrium
seperti ikan asin, maka akan cenderung mengkonsumsinya terus-menerus.
6.5 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Hull (1996) menjelaskan bahwa asupan lemak tinggi berhubungan
dengan meningkatnya tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh dan
peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh dapat menurunkan tekanan darah.
Cahyono (2008) menambahkan bahwa didalam usus makanan yang berlemak
akan dirubah menjadi kolesterol. Kolesterol yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya ateroklerosis. Pembentukan ateroklerosis ini, lama-kelamaan
membentuk plak yang berdampak pada penyempitan dan berkurangnya
elastisitas pembuluh darah.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa sebagian besar lansia
mengkonsumsi lemak dalam jumlah yang cukup. Almatsier (2001) mamaparkan
bahwa konsumsi lemak berlebih yang berasal dari hewani cenderung
meningkatkan kolesterol yang berisiko terhadap hipertensi. Dalam penelitian
115
diketahui bahwa lansia cenderung kurang dalam mengkonsumsi lemak yang
berasal dari hewan. Diperoleh juga bahwa lansia yang menderita hipertensi lebih
besar pada lansia yang mengkonsumsi lemak cukup.
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian hipertensi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Hasirungan (2001) yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan
kejadian hipertensi. Namun, hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian
Abdullah (2005) yang menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
konsumsi lemak berlebih dengan kejadian hipertensi. Preuss (1996) juga
menyatakan pada penelitian ditujuh negara, rata-rata tekanan darah populasi
berkorelasi signifikan dengan rata-rata konsumsi lemak jenuh, tetapi tidak
dengan diet lemak total.
Tidak adanya hubungan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya perbedaan dalam analisis, dimana dalam penelitian ini yang dianalisis
adalah total lemak, sedangkan hasil penelitian lain yang menunjukkan adanya
hubungan adalah meneliti salah satu komponen dari lemak tersebut, seperti
lemak jenuh atau kolesterol, trigliserida, dan LDL (low density lipoprotein).
Menurut Cahyono (2008) diketahui bahwa arterioklerosis terjadi akibat
konsumsi lemak berlebih sehingga menyebabkan penumpukan kolesterol (plak)
pada dinding pembuluh darah dalam kurun waktu bertahun-tahun. Artinya dalam
penelitian ini analisis konsumsi lemak hanya dalam waktu yang relatif singkat
yaitu satu tahun. Sedangkan proses terjadinya arterioklerosis yang mencetuskan
116
penyakit hipertensi diperlukan dalam waktu bertahun-tahun bukan dengan waktu
singkat yang ditetapkan dalam penelitian ini. Diasumsikan bahwa pada masa
mudanya lansia kemungkinan mengkonsumsi lemak yang berlebih sehingga
memiliki risisko hipertensi, tetapi ketika memasuki masa tua mereka melakukan
pengurangan konsumsi makanan sumber lemak. Dalam penelitian ini tidak bisa
memperlihatkan besarnya konsumsi lemak pada masa muda lansia.
Diketahui pula dari hasil tabulasi silang antara konsumsi lemak dengan
konsumsi natrium bahwa lansia yang mengkonsumsi lemak cukup ternyata
memiliki kecenderung mengkonsumsi natrium lebih (93,9%). Artinya seseorang
berisiko menderita hipertensi akibat konsumsi natrium yang berlebih walaupun
konsumsi lemaknya dalam jumlah yang cukup. Lansia cenderung mengkonsumsi
bahan makanan tinggi natrium daripada bahan makanan tinggi lemak. Dari hasil
food frekuency questioner diketahui bahwa lansia cenderung sering
mengkonsumsi makanan ikan asin. Dalam ikan asin hanya mengandung lemak
sebesar 0,3 gram. Selain itu, makanan sumber lemak yang paling banyak
dikonsumsi lansia adalah daging ayam dan telur ayam sedangkan daging
kambing atau sejenisnya yang mengandung kadar lemak yang tinggi pula jarang
dikonsumsi lansia.
Suhardjo (2006) menyatakan bahwa kesukaan terhadap makanan
mempunyai pengaruh terhadap pemilihan makanan. Sehingga jika seseorang
tidak suka terhadap makanan sumber lemak, maka akan cenderung tidak
memilih makanan tersebut untuk dikonsumsi oleh dirinya. Tetapi jika seseorang
menyukai ikan asin maka akan sering pula mengkonsumsinya. Hal ini diperkuat
117
oleh Depkes (2006) bahwa efek dari penurunan tekanan darah pada penderita
hipertensi didapat dengan mengurangi asupan garam.
6.6 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada
Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Mengkonsumsi buah dan sayur sangatlah penting bagi kesehatan tubuh
karena mengandung berbagai mineral, vitamin serta serat (Depkes, 2008).
Asupan serat yang cukup dapat menetralisir kenaikan kadar lemak darah
(Sutanto, 2010). Seseorang yang melakukan diet vegetarian, mengkonsumsi
rendah lemak akan memiliki risiko hipertensi yang rendah. Selain itu, asupan
tinggi serat dan tinggi kalium, atau asupan garam yang berkurang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah (Hull, 1996).
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lansia yang kurang
mengkonsumsi buah dan sayur jumlahnya lebih banyak. Kompas (2011) dan
Suhardjo (2006) memaparkan kurangnya konsumsi buah dan sayur kemungkinan
disebabkan oleh faktor budaya atau sosial ekonomi yang merupakan penyebab
utama perilaku konsumsi masyarakat. Selain itu, masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi sayur-sayuran dikarenakan sayur bukan
merupakan menu utama, bagi penduduk Indonesia menu utama adalah nasi.
Maka hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam mengkonsumsi buah dan
sayur. Diperoleh pula hasil bahwa lansia yang kurang dalam mengkonsumsi
buah dan sayur memiliki kecenderungan untuk menderita hipertensi. Hal ini
sependapat dengan Appel LJ, et al (1997) bahwa konsumsi buah dan sayur
118
berhubungan dengan penurunan tekanan darah, karena mengandung kalium dan
magnesium.
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang
bermakna antara konsumsi buah dan sayur dengan kejadian hipertensi. Penelitian
ini sejalan dengan penelitian Dauchet et al. (2007) dalam Aisyiyah (2009),
menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah, penurunan
konsumsi lemak pangan, disertai dengan penurunan konsumsi lemak total dan
lemak jenuh, dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi buah dan sayur >400
gr/hari dapat menurunkan risiko hipertensi dengan bertambahnya umur. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu aktivitas antioksidan, pengaruh serat,
mineral kalium, dan magnesium.
Almatsier (2003) memaparkan bahwa mengkonsumsi antioksidan sejak
dini dapat mencegah kerusakan pembuluh darah dan menangkap radikal bebas.
Susanto (2010) mengungkapkan bahwa antioksidan yang berperan khusus adalah
golongan flavonoid, yang dapat mengurangi dampak dari kolesterol dan
mencegah terjadinya pengumpalan darah.
Krisnatuti (2005) juga memaparkan bahwa serat pangan berguna untuk
membantu pengeluaran kolesterol melalui feces. Selain itu konsumsi serat
sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang, sehingga dapat mengurangi
penambahan energi dan obesitas, yang berefek pada menurunnya risiko
hipertensi. Iqbal (2008) menambahkan bahwa serat berfungsi untuk menurunkan
kadar kolesterol, mengatur kadar gula darah dan menurunkan tekanan darah.
Penelitian Ledikwe et al. (2007) pada penderita prehipertensi dan hipertensi
119
ringan, menemukan hubungan nyata antara konsumsi pangan yang memiliki
densitas energi rendah dengan penurunan berat badan.
Selain itu efek penurunan tekanan darah disebabkan pula oleh adanya
mineral kalium, kalsium dan magnesium. Almatsier (2001), Candraningrum
(2010), Subecha (2011) dan Hull (1996) memaparkan bahwa kalium bersama
natrium berperan dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
keseimbangan asam basa. Kekurangan kalium dapat menyebabkan jantung
berdebar dan menurunnya kemampuan dalam memompa darah. Selain itu,
penambahan kalsium di masa tua penting dalam membantu menurunkan tekanan
darah, karena kalsium berperan untuk mendorong keluarnya natrium lewat air
seni akibat keterbatasan menyalurkan natrium dari tubuh. Ditambahkan dengan
mengkonsumsi magnesium dalam jumlah yang cukup, berfungsi untuk
melebarkan dan merilekskan pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi
lancar.
6.7 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia di
Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011
Menurut Almatsier (2001), air atau cairan tubuh merupakan bagian utama
tubuh. Pada proses menua manusia kehilangan air. Kandungan air tubuh setiap
orang berbeda, tergantung pada proporsi jaringan otot dan jaringan lemak.
Fungsinya sehubungan dengan pengaruh tekanan darah adalah sebagai Pelarut
dan alat angkut zat-zat gizi serta hormon-hormon lain, kemudian dibawa ke
seluruh sel yang membutuhkannya. Akibat tubuh kekurangan air, darah dan
120
getah bening akan menjadi kental karena cairan dalam darah dan getah bening
disedot untuk kebutuhan dalam tubuh. Hal ini berakibat pada aliran darah yang
tidak lancar karena sudah mengental.
Hasil penelitian didapatkan bahwa proporsi lansia yang mengkonsumsi
airnya kurang lebih banyak daripada lansia yang mengkonsumsi air cukup.
Lansia yang mengkonsumsi air kurang memiliki kecenderungan menderita
hipertensi. Hal ini sejalan dengan pendapat Yahya (2003) memaparkan bahwa
konsumsi cairan yang cukup akan membuat viskositas atau kekentalan darah
menjadi rendah sehingga tekanan darah tidak tinggi. Sebaliknya jika konsumsi
cairan kurang, maka akan terjadi kekentalan darah yang meningkat sehingga
memperberat kerja jantung untuk memompa darah lebih keras dan menyebabkan
tekanan darah menjadi meningkat.
Selain itu diketahui pula, banyaknya konsumsi air lansia yang tergolong
kurang adalah kurang dari sama dengan lima gelas/hari yaitu sebesar 4,8% dan
enam sampai tujuh gelas/hari sebesar 45,7%. Berdasarkan uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi
air dengan kejadian hipertensi. Dalam penelitian Suryanto (2002) menunjukkan
bahwa total konsumsi air putih lansia per hari rata-rata enam sampai tujuh gelas
yakni sebesar 51,43% dan kurang dari lima gelas yakni sebesar 21,43%.
Tidak terdapatnya hubungan kemungkinan disebabkan oleh adanya
penurunan fungsi ginjal seiring dengan bertambahnya usia, sehingga berdampak
pada kehilangan air yang lebih tinggi akibat proses pemekatan urin terganggu
(Depkes, 2003). Jadi meskipun tingkat konsumsi air lansia sudah cukup, tetapi
121
jika tubuh atau ginjal lansia mengalami penurunan fungsi maka akan tetap
berisiko untuk mengalami hipertensi.
Selain itu, adanya faktor lain yang mendukung adalah konsumsi natrium.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui bahwa lansia yang mengkonsumsi air
kurang kecenderungan mengkonsumsi natrium lebih. Artinya bahwa dengan
konsumsi air yang kurang dan konsumsi natrium yang lebih merupakan faktor
risiko terjadinya hipertensi. Sacks FM, et al (1999) memaparkan Penelitian
DASH, menunjukkan tekanan darah tinggi dapat diturunkan dengan pengurangan
natrium dalam makanan.
6.8 Hubungan antara Olahraga dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011
Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama beraktifitas, otot membutuhkan energi diluar metabolisme
untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi
untuk menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk
mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001). Berolahraga teratur baik
untuk menambah kekuatan jantung dalam memompa darah yang berefek pada
pengontrolan tekanan darah, dan cukup dilakukan dengan olahraga ringan atau
sedang sehari tiga hinga lima kali dalam seminggu dan minimal 30 menit
(Sutanto, 2010).
Pada penelitian ini diketahui bahwa lansia cenderung melakukan aktifitas
atau kegiatan olahraga. Diperoleh pula hasil bahwa lansia yang melakukan
122
kegiatan olah raga cenderung menderita hipertensi dibandingkan dengan yang
tidak melakukan kegiatan olahraga. Tetapi, proporsi lansia yang tidak
berolahraga dengan hipertensi (75%) proporsinya lebih besar daripada lansia
yang berolahraga dengan hipertensi (56,6%). Artinya adalah risiko hipertensi
akan lebih tinggi pada seseorang yang tidak olahraga daripada yang melakukan
olahraga. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa jenis-jenis olahraga yang
biasa dilakukan lansia adalah 38 lansia (36,2%) berolah raga jalan kaki, dan 15
lansia (14,3%) berolahraga jenis lain meliputi bersepeda dan bertani atau
memacul. Hal ini sependapat dengan Cahyono (2008) bahwa berolahraga
memiliki beberapa keuntungan yaitu: dapat menurunkan frekuensi denyut nadi,
kelebihan lemak dan berat badan, serta menormalkan tekanan darah.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara olahraga dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hasil
penelitian ini sejalan dengan Wijayanti (2010) bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi lansia. Namun,
penelitian ini tidak sejalan dengan Sanusi (2002) diketahui bahwa ada hubungan
yang signifikan antara aktifitas fisik dengan hipertensi.
Tidak terdapatnya hubungan dapat dimungkinkan karena olahraga yang
dilakukan lansia masih belum sepenuhnya dengan mekanisme yang baik.
Maksudnya adalah pada saat mereka melakukan olahraga, jenis, waktu,
intensitas serta frekuensinya kurang tepat atau terlalu lama sehingga tidak sesuai
dengan standar kesehatan. Salah satu contoh aktifitas atau kegiatan olahraga
yang dikatakan kurang baik yaitu bertani atau memacul. Pertama, pada saat
123
seseorang menggemburkan tanah (bertani), biasanya hal pertama yang dilakukan
adalah memacul. Proses memacul ini membutuhkan waktu cukup lama yang
menyebabkan postur kerja dalam keadaan statis dan berulang sampai proses
selesai.
Kedua, proses menanam padi, ketika proses ini berlangsung akan sama
risikonya dengan proses pertama. Jadi dapat disimpulkan bahwa aktifitas atau
kegiatan bertani ini termasuk dalam jenis olahraga isometrik. Olahraga ini
merupakan olahraga yang kurang baik untuk sistem pernafasan jantung,
menyebabkan denyut jantung kurang stabil sehingga memicu meningkat tekanan
darah. Selain itu, bagi lansia akan berdampak pada risiko penyakit lain di seperti
osteoporosis. Ditambahkan pula bahwa waktu dan intensitas olahraga yang
dilakukan oleh lansia mungkin terlalu lama dan berat sehingga menimbulkan
risiko dalam membuat kerja jantung kurang baik. Maka hal-hal tersebut dapat
mempengaruhi hasil analisis.
Cahyono (2008) memaparkan bahwa olahraga yang tidak sesuai dengan
standar kesehatan tidak akan memberikan efek kesehatan. Selain itu, olahraga
isotonik yang memanfaatkan gerakan kaki seperti jalan lebih baik daripada
olahraga isometrik yang memanfaatkan tangan seperti angkat beban. Karena efek
dari olahraga isotonik adalah meningkatkan ketahanan pernafasan jantung atau
menekan menyempitnya pembuluh darah. Sedangkan olahraga isometrik kurang
menguntungkan pada sistem pernafasan jantung atau dapat meningkatkan
tekanan darah.
124
Asumsi lainnya diketahui dari food frekuency questioner yaitu hasil
tabulasi silang didapatkan bahwa lansia yang melakukan kegiatan olahraga
cenderung mengkonsumsi natrium lebih. Hal ini menyebabkan tubuh tidak bisa
mendapatkan kesehatan yang maksimal karena pengaruh konsumsi natrium
tersebut. Hal ini diperkuat olaeh Sutanto (2010), kurang melakukan olahraga
dapat berisiko terjadinya obesitas dan risiko untuk terjadinya hipertensi akan
bertambah dengan berlebihnya asupan garam. Gray (2005) memaparkan bahwa
dengan melakukan perubahan gaya hidup seperti diet garam akan menurunkan
risiko menderita tekanan darah tinggi.
6.9 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008) dan Winniford (1990), telah
dibuktikan dalam penelitian bahwa dalam 1 batang rokok mengandung berbagai
zat kimia. Bahan utama rokok terdiri dari tiga zat, yaitu 1) Nikotin, berdampak
pada jantung dan sirkulasi darah maupun pembuluh darah. 2) Tar,
mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon
Monoksida (CO), yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah
membawa oksigen. Zat-zat kimia tersebut dapat merusak lapisan dalam dinding
arteri sehingga menyebabkan penumpukan plak dan lama-kelamaan akan terjadi
peningkatan tekanan darah atau munculnya penyakit hipertensi
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia yang tidak
merokok (64 orang) lebih besar daripada lansia yang merokok atau pernah
125
merokok. Akan tetapi, didapatkan bahwa lansia yang tidak merokok memiliki
kecenderungan menderita hipertensi. Didapatkan pula informasi bahwa 19%
lansia mulai merokok pada usia ≥ 20 tahun, 14,3% usia 16-19 tahun, dan 5,7%
≤15 tahun. Selain itu, lansia rata-rata menghabiskan satu sampai lima batang
rokok setiap harinya. Bagi lansia yang dulunya pernah merokok, mulai berhenti
merokok sejak usia ≥40 tahun (15,2%), 18,1% mengkonsumsi rokok setiap hari,
dan 11,4% mengkonsumsi rokok 1-5 batang/hari. Mangku Sitepoe (1997) dalam
Suheni (2007) memaparkan bahwa merokok sebatang setiap hari akan
meningkatkan tekanan sistolik 10 - 25 mmHg dan menambah detak jantung lima
sampai 20 kali/menit
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Hasirungan (2002) didapatkan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara merokok dengan kejadian hipertensi. Namun, penelitian
ini tidak sejalan dengan penelitian Sanusi (2002) yaitu diketahui terdapat
hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi.
Tidak terdapatnya hubungan antara merokok dengan kejadian hipertensi
kemungkinan disebabkan oleh responden yang tidak pernah merokok dulunya
memiliki riwayat terpapar rokok ataupun asapnya. Dari hasil analisis diketahui
terdapat lansia yang merokok pada usia remaja. Smet (1994) menambahkan
bahwa arterosclerosis dan risiko kematian akan meningkat sejalan dengan usia
dini merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi. Winniford (1990) berpendapat
bahwa peningkatan denyut jantung pada perokok terjadi pada menit pertama
126
merokok dan sesudah 10 menit peningkatan mencapai 30%. Jadi dapat
disimpulkan bahwa dengan mengkonsumsi satu batang rokok saja seseorang
memiliki risiko meningkatnya tekanan darah.
Lansia yang dahulunya pernah merokok, tidak diketahui dalam penelitian
ini berapa banyak rokok yang dikonsumsinya dimasa lampau. Selain itu bagi
lansia perempuan yang tidak merokok kemungkinan besar terpapar oleh asap
rokok yang dikonsumsi oleh sanak keluarganya. Sehingga berdampak pada
kesehatannya dalam waktu beberapa tahun kemudian setelah memasuki usia tua.
Depkes (2008) menambahkan bahwa asap dari rokok juga berdampak
terhadap orang yang menghirupnya (disebut perokok pasif) untuk terjadinya
penyakit. Para ilmuwan membuktikan bahwa zat-zat kimia didalam rokok juga
mempengaruhi kesehatan seseorang yang tidak merokok disekitar perokok.
Dampak yang akan ditimbulkan oleh rokok tersebut untuk menderita hipertensi
akan terakumulasi dalam beberapa tahun kemudian yaitu sekitar usia 40 tahun ke
atas.
6.10 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011
Cahyono (2008) memaparkan bahwa stres adalah respon fisiologik,
psikologik, dan perilaku seseorang untuk penyesuaian diri terhadap tekanan.
Sedangkan menurut Hawari (2001), stress adalah respons tubuh yang sifatnya
non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (stresor psikososial) yang
berefek pada sistem kardiovaskuler. Sutanto (2010) dan Depkes RI (2006)
127
menambahkan bahwa stres dapat merangsang ginjal melepaskan hormon
adrenalin, yang menyebabkan tekanan darah naik dan meningkatkan kekentalan
darah. Selain itu, dapat mempercepat denyut jantung serta menyempitnya
pembuluh darah. Jantungpun berdenyut lebih kuat sehingga dapat meningkatkan
tekanan darah.
Hasi analisis univariat diketahui bahwa proporsi lansia yang mengalami
stress lebih banyak daripada lansia yang tidak mengalami stres. Didapatkan pula
lansia yang mengalami stres kecenderungan menderita hipertensi. Hasil
penelitian Sigalarki (2006) didapatkan bahwa responden yang mengalami stres
pada penderita hipertensi disebabkan oleh salah satu faktor yaitu sosial ekonomi.
Menurut Hawari (2001), salah satu dari stress psikososial disebabkan oleh
keuangan (faktor ekonomi). Salah satu dari faktor ekonomi adalah pekerjaan
atau penghasilan seseorang.
Penelitian Caval Cante (1995) dalam Hasirungan (2002), melihat dari
1766 responden, 76 diantaranya hipertensi. Dari observasi diketahui bahwa
sebagian besar individu dengan hipertensi memiliki pendapatan keluarga yang
rendah dan tingkat pendidikan yang rendah. Baliwati (2004) mengungkapkan
bahwa status ekonomi tingkat pendidikan dan lingkungan sossial budaya
seseorang adalah faktor yang berhubungan dengan program kesehatan
masyarakat, karena dapat menimbulkan tekanan psikis. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Syaifuddin (2006) dan Sutanto (2010) menambahkan hubungan
antara stres dengan hipertensi diakibatkan melalui aktivitas saraf simpatis,
128
sehingga terjadi kenaikan denyut jantung, penyempitkan pembuluh darah, dan
peningkatkan penahanan air dan garam.
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara kejadian stres dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Hasirungan (2002) bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi. Namun, penelitian ini
berlawanan dengan penelitian Yuliarti (2007) yaitu terdapat hubungan yang
bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi.
Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya bias informasi, seperti
responden merasa malu dan tidak jujur pada saat menjawab kuestioner, serta bias
waktu karena ketika dilakukan pengumpulan data responden sedang tidak
mengalami stres atau masalah tertentu yang dapat menimbulkan terjadimya stres
berkepanjangan. Dimaksudkan pula bahwa kemungkinan stres yang dialami oleh
lansia dapat segera diatasi sehingga tidak menimbulkan efek yang
berkepanjangan.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Sarafindo (1990) dalam Smet (1994)
bahwa stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu atau
mendadak dan bila stresnya sudah hilang maka tekanan darah menjadi normal.
Sutanto (2010) menambahkan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan
untuk mengendalikan respon relaksasinya dengan memikirkan hal-hal yang
menyenangkan dan bernapas secara teratur. Hal ini menyebabkan stres dapat
cepat teratasi.
129
6.11 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan
Sawah Baru Tahun 2011
Obesitas berkaitan dengan kegemaran mengkonsumsi makanan tinggi
lemak serta meningkatkan risiko terjadinya hipertensi akibat faktor lain. Makin
besar massa tubuh, makin meningkat volume darah yang dibutuhkan untuk
memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Lalu dinding arteri
mendapatkan tekanan yang lebih besar. Sehinggga jantung akan bekerja ekstra
keras pula. Kemudian tekanan darah terjadi peningkatan (Sheps, 2005).
Hasil analisis univariat diketahui bahwa proporsi lansia yang tidak
obesitas lebih banyak daripada lansia yang obesitas. Selain itu, lansia yang tidak
obesitas memiliki kecenderungan menderita hipertensi. Berdasarkan hasil uji
statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas
dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
hasirungan (2002) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT
atau obesitas. Namun, penelitian ini berlawanan dengan penelitian Yuliarti
(2007) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian
hipertensi.
Tidak terdapatnya hubungan tersebut kemungkinan disebabkan oleh
peningkatan sistem simpatis dan sistem renin-angiotensin. Pertama, peningkatan
sistem simpatif ini sejalan dengan hasil tabulasi silang antara obesitas dengan
kejadian stres, yaitu diketahui bahwa kejadian stres lebih banyak didapatkan
pada lansia yang tidak obesitas. Artinya aktifitas saraf simpatis yang mengatur
fungsi saraf dan hormon dapat menyebabkan peningkatkan denyut jantung,
130
penyempitan arteri serta peningkatan penahanan air dan natrium (Syaifudin,
2006 dan Sutanto, 2010).
Kedua, sistem renin-angiotensin, sistem ini sejalan dengan hasil tabulasi
silang didapatkan bahwa lansia yang tidak obesitas cenderung mengkonsumsi
natrium dalam jumlah lebih. Dalam darah renin mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin. Angiotensin ini dapat menyebabkan diameter pembuluh
darah mengecil. Renin memicu produksi aldosteron. Aldosteron berfungsi untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler. Jika natrium meningkat maka aldosteron
akan mengurangi pengeluaran natrium dengan cara meresbsorbsinya dari tubulus
ginjal. Hal ini menyebabkan natrium dalam darah meningkat, Natrium
mempunyai sifat menahan air sehingga menyebabkan volume darah menjadi
naik dan hal itu secara otomatis menyebabkan tekanan darah menjadi naik (Price
dan Wilson, 2002).
Menurut Depkes (2006) diketahui rata-rata kasus hipertensi mengalami
penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Jadi meskipun
seseorang itu memiliki IMT yang kurus atau normal tetapi jika konsumsi
natriumnya berlebih maka seseorang memiliki risiko hipertensi.
131
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada BAB sebelumnya
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang menderita hipertensi lebih banyak
dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami hipertensi. Rata-rata
tekanan darah lansia masih tinggi dari standar JNC 7 tahun 2003 yang
dianjurkan yaitu tekanan darah sistolik (TDS) sebesar 148 mmHg dan tekanan
darah diastolic (TDD) sebesar 91 mmHg. Angka prevalensi hipertensi di
Kelurahan ini (66,7%) lebih tinggi dari standar angka kesakitan hipertensi
pada usia diatas 50 tahun yaitu 20-30%.
2. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang berjenis kelamin perempuan
jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki.
3. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi natrium lebih
jumlahnya lebih banyak daripada yang mengkonsumsi natrium cukup.
4. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi lemak cukup
jumlahnya lebih banyak daripada yang mengkonsumsi lemak kurang.
5. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi buah dan sayur kurang
jumlahnya lebih banyak daripada yang mengkonsumsi buah dan sayur cukup.
6. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi air kurang jumlahnya
lebih banyak daripada yang mengkonsumsi air cukup.
132
7. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang melakukan kegiatan olah raga
jumlahnya lebih banyak daripada yang tidak melakukan kegiatan olah raga.
8. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang tidak merokok jumlahnya lebih banyak
daripada yang merokok.
9. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengalami stres jumlahnya lebih
banyak daripada yang tidak mengalami stres.
10. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang tidak obesitas jumlahnya lebih banyak
daripada yang obesitas.
11. Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang
menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada perempuan.
12. Terdapat hubungan yang bermakna antara natrium dengan kejadian hipertensi
pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang menderita
hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang konsumsi natriumnya
lebih.
13. Tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian
hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang
menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang mengkonsumsi
lemak cukup.
14. Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi buah dan sayur dengan
kejadian hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia
yang menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang
mengkonsumsi buah dan sayur kurang.
133
15. Tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi air dengan kejadian
hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang
menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang mngkonsumsi
air kurang.
16. Tidak ada hubungan yang bermakna antara olahraga dengan kejadian
hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang
menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang tidak
melakukan kegiatan olahraga.
17. Tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian
hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang
menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang tidak merokok.
18. Tidak ada hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi
pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang menderita
hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang mengalami stress.
19. Tidak ada hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian
hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang
menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang tidak obesitas.
7.2 Saran
1. Bagi Puskesmas Kampung Sawah
a. Mengaktifkan kembali posbindu setempat yang sudah tidak aktif.
134
b. Membuat langkah kebijakan yang terprogram dalam mengurangi kasus
hipertensi. Dengan berbagai cara yang dapat ditempuh setelah aktifnya
posbindu adalah sebagai berikut:
1) Melakukan pendataan jumlah lansia yang ada diwilayah Kelurahan
Sawah Baru.
2) Memantau jumlah kunjungan lansia yang datang untuk
memeriksakan kesehatannya di posbindu Kelurahan Sawah Baru.
3) Melakukan pendekatan terhadap kepala desa atau lurah dan tokoh-
tokoh masyarakat untuk memperoleh dukungan dalam pembinaan
pencegahan penyakit hipertensi pada lansia dalam rangka
penggalangan pengurangan konsumsi natrium serta peningkatan
konsumsi buah dan sayur.
4) Memanfaatkan setiap kesempatan di kelurahan untuk memberikan
penyuluhan kelompok di posbindu, arisan, pengajian, kunjungan ke
rumah maupun penyuluhan massa (pengeras suara, poster, spanduk
atau selebaran) tentang pentingnya mencegah hipertensi terutama
demo pembatasan penggunaan garam dapur, MSG, makanan yang
mengandung kadar natrium tinggi seperti ikan asin, makanan
kalengan dan lain-lain. Dapat menggantinya dengan konsumsi ikan
biasa atau ikan air tawar yang rendah garam (misalnya ikan lele),
kacang-kacangan seperti tempe, tahu serta peningkatan konsumsi
sayuran (contohnya, sayur bening, bayem, timun) dan buah
(contohnya, pepaya, pisang).
135
5) Menganjurkan kepada lansia untuk mengontrol tekanan darahnya di
posbindu minimal tiga sampai 12 bulan sekali bagi yang sudah
berada pada ambang pre-hipertensi. Sekaligus untuk
mengkonsultasikan agar tetap melakukan diet garam rendah secara
teratur serta konsumsi buah dan sayur setiap harinya.
6) Kader kesehatan melakukan kunjungan ke rumah terutama bagi
lansia penderita hipertensi yang tidak datang untuk mengontrol
tekanan darahnya di posbindu. Sekaligus untuk memantau diet
garam rendah masih dilakukan atau tidak.
7) Pemberian bibit sayur dan buah sederhana kepada masyarakat untuk
dibudidayakan dipekarangan rumahnya. Serta pengontrolan oleh
tokoh yang ditunjuk untuk mengawasi tumbuh dengan baik atau
tidak bibit tersebut.
2. Bagi masyarakat setempat
Melakukan pencegahan terhadap kebiasaan mengkonsumsi makanan
sumber natrium ataupun berbagai bumbu masak.
a. Saran untuk mengurangi konsumsi natrium atau garam
1) Kurangi kadar garam yang terdapat pada resep-resep masakan.
Misalnya resep menuliskan membubuhkan garam satu sendok teh,
maka bisa dikurangi menjadi setengahnya atau seperempatnya.
2) Tidak meletakkan garam di meja makan
3) Mengikuti informasi yang telah diberikan ketika konsultasi gizi
maupun penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang bahan makanan
136
yang dianjurkan ataupun dilarang, seperti mengurangi konsumsi
makanan yang diawetkan
4) Mengecek setiap makanan siap saji pada nilai zat gizi yang
dikandungnya sehingga dapat mempertimbangkan untuk membeli
produk makanan yang kadar natriumnya rendah.
5) Mengganti garam dengan bumbu alami seperti bawang, cabe, ataupun
rempah-remaphan lainnya.
6) Mengurangi pembelian makanan sumber natrium.
b. Saran untuk meningkatkan konsumsi buah dan sayur
1) Memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam sayur dan buah.
2) Menyediakan sayur dan buah setiap hari dirumah dengan harga
terjangkau.
3) Memperkenalkan dan membiasakan makan sayur dan buah setiap hari
sejak dini kepada anggota keluarga.
4) Memperhatikan proses pengolahan sayur dan buah agar tidak merusak
kandungan gizinya adalah dengan memakannya dalam keadaan
mentah atau dikukus.
5) Memanfaatkan setiap kesempatan berkumpul dengan anggota
keluarga untuk saling mengingatkan tentang pentingnya konsumsi
buah dan sayur.
3. Bagi peneliti lain
Peneliti lain diharapkan menambah variable-variabel lain yang
kemungkinan berhubungan dengan kejadian hipertensi yang tidak ada dalam
137
penelitian ini. Penggunaan rancangan penelitian yang lebih baik seperti studi
kohort, atau dengan jumlah sampel yang lebih besar, kejadian stres kejiwaan
diteliti dengan menggunakan cara yang lebih mendalam.
138
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Masqon. 2005. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipetensi pada Kelompok Usia Lanjut di Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Thesis, http://eprints.undip.ac.id. FKM UNDIP. Diakses tanggal 29 Oktober 2010, pukul 19.00 WIB.
Admin. 2009. Hipertensi, Konsumsi Garam Masyarakat Indonesia Berlebihan. Jakarta: Suara Karya
______. 2010. Menkes: Prevalensi Hipertensi di Indonesia 17-21%. Dalam http://www.madina-sk.com, diakses tanggal 27 Juni 2010, pukul 16.00 WIB.
______. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Diakses tanggal 29 mei 2010, pukul 09.30 WIB.
_____. 2010. Tingkat Konsumsi Sayur dan Buah Masyarakat Indonesia Rendah. Jakarta: Koran Pikiran Rakyat.
Aisyiyah, Farida Nur. 2009. Faktor Risiko Hipertensi pada Empat Kabupaten/Kota dengan Prevalensi hipertensi Tertinggi Di Jawa dan Sumatera. Bogor: Departemen gizi masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Almatsier, Sunita. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
______. 2001. PrinsipDasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Appel LJ, et al. 1997. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure. N Engl J Med 336:1117-24.
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM UI.
Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan Edisi II. Jakarta: EGC.
Astawan, Made. 2010. Dahsyatnya Tangkal Hipertensi dan Diabetes. Jakarta: Majalah Senior.
Badan Pusat Statistik. 2006. Penduduk Lanjut Usia. http://www.menegpp.go.id, diakses tanggal 21 oktober 2010, pukul 21.55
Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Rineka Cipta.
Cahyono, Suharjo. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Jakarta : Kanisius.
139
Candraningrum, Diah. 2010. Kalsium Bukan Susu. Jakarta: Majalah Tempo.
Chalmers, et al. 1999. World Health Organization-International Society of Hypertension Guidelines for The Management of Hypertension. J Hypertension, vol 17, hal 151-185.
Depkes RI 2003. Pedoman Tata Laksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI Direktorat gizi masyarakat DJBKM.
______. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Depkes RI.
______. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI
______. 2008. Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI.
______. 2008. Rumah Tangga Ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI.
______. 1998. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan Materi Pembinaan II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dian, Ade, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari sampai Juni 2008. Penelitian. http://yayanakhyar.wordpress.com. FK UNRI. Diakses tanggal 31 Mei 2010, pukul 22.20 WIB.
Dinkes Kota Tangerang Selatan. 2009. Laporan Bulanan SKDN di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2009. Banten: Tangsel
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2006. Pedoman Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Depkes RI
Farmacia. 2007. Konas InaSH (Indonesian Society of Hypertension) I, Panduan dalam Upaya Pengendalian Hipertensi. Simposia, Vol. 6 No. 7, Februari 2007. http://www.majalah-farmacia.com, diakses tanggal 26 Juni 2010, pukul 13.00 WIB.
Febrianti, dkk. 2008. Modul Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FKIK.
Gray, Huon. 2005. Kardiologi Edisi IV. Jakarta: Erlangga.
140
Gunawan, Sustari Lanny. 2005. Hipertensi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hartono, A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Ed-2. Jakarta: EGC.
Hasirungan, Jefri. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipetensi pada Lansia Di Kota Depok Tahun 2002. Depok: Program Pasca Sarjana FKM UI.
Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Depok: Balai Penerbit FK UI
Hull, Alison. 1996. Penyakit Jantung, Hipertensi, and Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Indriasari, Lusiana. 2008. Waspadai Darah kental pada Usia Muda. http://www.kompas.com, diakses tanggal 18 Maret 2011, pukul 23.30 WIB. Jakarta: Kompas.
Irza, Syukraini. 2009. Analisis Faktor-Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat. Skripsi. http://www.digilibusu.or.id. Fakultas Farmasi USU. Diakses tanggal 4 Juli 2010, pukul 15.00 WIB.
Iqbal, Ali. 2008. Gizi untuk Penderita Hipertensi. Dalam http://iqbalali.com, diakses tanggal 4 Juli 2010, pukul 15.30 WIB.
Khomsan, Ali. 2001. Transisi Demografis dan Epidemiologis. http://www.unisodem.org, diakses tanggal 30 Mei 2010, pukul 14.30 WIB.
Krummel DA. 2004. Food, Nutrition and Diet Therapy. Medical Nutrition Therapy in Hypertension. Di dalam: Mahan LK dan Escott-Stump S, editor. 2004. USA: Saunders co. hlm. 900-918.
Ledikwe et al. 2007. Reductions in dietary energy density are associated with weight loss in overweight and obesitas participants in the PREMIER trial. Am J Clin Nutr 85:1212–21
Liman, Yogi. 2011. Tingkat Konsumsi Sayuran Masih rendah. Jakarta: Koran Kompas.
Maryam, R. Siti, dkk. 2008 Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika
Muchtadi, Deddy. 1988. Kebutuhan Zat-Zat Gizi bagi Manula. http://web.ipb.ac.id, diakses pada tanggal 20 oktober 2009 pukul 21.00 WIB. Jakarta: Kompas.
Marvyn, Leonard. 1987. Hipertensi : Pengendalian Lewat Vitamin, Gizi dan Diet. Jakarta : ARCAN.
141
Notoadmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC
Sabri, Luknis, dkk. 2005. Statistik Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sacks FM, et al. 1999. A Dietary Approach to Prevent Hypertension: A review of the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) Study. Clin Cardiol 22:6-10.
Sharma S, dkk. 2008. Hypertension. http//:www.emedicine.com., diakses tanggal 2 Agustus 2010, pukul 13.00 WIB.
Sanusi, Anita. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipetensi pada Pos Lansia Rawat Jalan Di Poli Klinik Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2002 (Analisis Data Rekam medik Tahun 2002). Skripsi. Depok: FKM UI.
Sari, Nina. 2006. Gangguan Nutrisi Pada Usia Lanjut dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Sarjunani, Nina. 2009. Rancangan RPJMN 2010-2014 Kesehatan, Proses Penyusunan & Materi Kebijakan. http://www.litbang.depkes.go.id, diakses tanggal 7 Januari 2011, pukul 00.00 WIB. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI.
Sheps, Sheldon G. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: PT Intisari Mediatama.
Sigarlaki, Herke J.O. 2006. Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi Di Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Tahun 2006. Makara, kesehatan, vol. 10, no. 2: 78-88. Jakarta: Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UKI.
Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia.
Soelaeman, Rachmat. 1980. Cermin Dunia Kedokteran, N: 19. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma.
Soemantri, S, dkk. 2005. Transisi Epidemiologi Di Indonesia. Bandung: Litbangkes
Subecha, Mochamad. 2011. Berbagai Mineral Penyelamat Jantung. http://azzam.mojokertocyber.com, diakses tanggal 25 Januari 2011, pukul 13.00 WIB. Jakarta: Tabloid Aura.
142
Sudijanto, Kamso. 2000. Nutritional Aspects of Hipertension In The Indonesia Elderly (A Community Study in 6 Big City). Disertasi. Depok: FKM UI
Suegondo, Sidartawan. 2006. Obesitas dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Sugihartono, Aris. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar). Tesis. http://eprints.undip.ac.id. Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana UNDIP, Semarang. Diakses tanggal 16 Agustus 2010, pukul 14.44 WIB.
Suhardjono. 2006. Hipertensi pada Usia Lanjut dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Suheni, Yuliana. 2007. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Hipertensi Pada Laki-Laki Usia 40 Tahun Ke Atas di Badan Rumah Sakit Daerah Cepu. Skripsi. http://digilib.unes.ac.id. Semarang: Universitas Negeri Semarang, Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Sulistiani, Widi. 2005. Analisis Faktor Risiko Yang Berkaitan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesms Kroya I Kabupaten Cilacap Tahun 2005. Tesis. http://eprints.undip.ac.id. FKM UNDIP. Diakses tanggal 8 Oktober 2010, pukul 13.00 WIB.
Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Suryanto, Ari. 2002. Perilaku Makan, Status Gizi dan Kesehatan Wanita Usia Lanjut Di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta dan Kelurahan Baranangsiang. Skripsi. Bogor: Jurusan GMSK, Faperta, IPB
Susanto. 2010. Cekal (Cegah dan Tangkal) Penyakit Modern. Yogyakarta : CV. Andi
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Ed-3. Monica Ester, editor. Jakarta: EGC
Waspadji, Sarwono. 2003. Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi. Jakarta: FKUI
Widiastuti, Devi. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak II Kabupaten Sleman. Tesis. http://eprints.undip.ac.id. FKM UNDIP. Diakses tanggal 26 juni 2010, pukul 13.00 WIB
143
Winniford, MD. 1990. Smoking and Cardiovaskuler Function. Jurnal of Hypertension, 9 (Suppl 5) : S17-S23.
Yahya. 2005. Sebelum Jantung Anda Berhenti Berdetak. Bandung: Kaifa
Yahya, Harun. 2003. Penciptaan Alam Raya. Bandung: Dzikra.
Yogiantoro, Muhammad. 2006. Hipertensi Essensial dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Yuliarti, Dwiretno. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipetensi Pada Usia Lanjut Di Posbindu Kota Bogor Tahun 2007. Tesis. Depok: Program Pasca Sarjana FKM UI.
144
KUESIONER PENELITIAN
Nomor Responden : ............................ Tanggal Wawancara : ....................2010 A. KARAKTERISTIK INDIVIDU
1. Nama : .................................. 2. Jenis Kelamin : a. Perempuan b. Laki-laki [ ] 3. Alamat : ..................................
B. KONSUMSI AIR 1 Berapa kali anda mengkonsumsi air setiap hari?
a. < 8 gelas/hari, berapa banyak.....? b. ≥ 8 gelas/hari
[ ]
C. OLAH RAGA 1 Apakah anda berolahraga?
a. Ya b. Tidak (lanjut ke pertanyaan D)
[ ]
2 Olah raga apa yang anda lakukan? a. Jalan pagi b. Senam c. Lainnya......
[ ]
3 Berapa menit/hari? a. < 30 menit b. ≥ 30 menit
[ ]
4 Berapa hari dalam seminggu?
a. 1 hari b. 2 hari c. 3 hari/lebih
[ ]
D. MEROKOK 1 Apakah anda merokok?
a. Ya (lanjut ke pertanyaan no.4) b. Tidak pernah (lanjut ke pertanyaan E) c. Dulu pernah
[ ]
2 Bila pernah merokok, sudah berapa lama berhenti? [ ]
Assalamu’alaikum wr. wb Saya “Rinawang F.S” mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akan melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada Kelompok Lanjut Usia Di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun 2010”. Oleh karena itu, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini. Adapun data individu dalam penelitian ini tidak dipublikasikan.
a. ≤ 1 tahun b. > 1 tahun
3 Sejak usia berapa anda berhenti merokok? a. < 40 tahun b. ≥ 40 tahun
[ ]
4 Bila ya merokok, sejak usia berapa anda mulai merokok? a. < 15 tahun b. 15-19 tahun c. > 19 tahun
[ ]
5 Seberapa sering anda merokok? a. Kadang-kadang b. Setiap hari (lanjut pertanyaan no 6)
[ ]
6 Berapa banyak anda merokok dalam sehari? a. 1-5 batang b. 6-12 batang (1/2 – 1 bungkus) c. Lebih dari 1 bungkus
[ ]
Kuesioner riwayat keluarga, olahraga dan merokok modifikasi dari Yuliarti (2007) E. STRES 1 Apakah anda sering menderita sakit kepala? 1. Ya 2. Tidak 2 Apakah anda tidak nafsu makan? 1. Ya 2. Tidak 3 Apakah anda sulit tidur? 1. Ya 2. Tidak 4 Apakah anda mudah takut? 1. Ya 2. Tidak 5 Apakah anda merasa tegang, cemas, atau kuatir? 1. Ya 2. Tidak 6 Apakah tangan anda gemetar? 1. Ya 2. Tidak 7 Apakah pencernaan anda terganggu/buruk? 1. Ya 2. Tidak 8 Apakah anda sulit untuk berfikir jernih? 1. Ya 2. Tidak 9 Apakah anda merasa tidak bahagia? 1. Ya 2. Tidak 10 Apakah anda sering menangis? 1. Ya 2. Tidak 11 Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari? 1. Ya 2. Tidak 12 Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan? 1. Ya 2. Tidak 13 Apakah pekerjaan sehari-hari terganggu? 1. Ya 2. Tidak 14 Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat
dalam hidup? 1. Ya 2. Tidak
15 Apakah anda kehilangan minat dalam berbagai hal? 1. Ya 2. Tidak 16 Apakah anda merasa tidak berharga? 1. Ya 2. Tidak 17 Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup? 1. Ya 2. Tidak 18 Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu? 1. Ya 2. Tidak 19 Apakah anda mengalami rasa tidak enak diperut? 1. Ya 2. Tidak 20 Apakah anda mudah lelah? 1. Ya 2. Tidak
Kuesioner stres dikutip dari Depkes (2008)
F. PEMERIKSAAN FISIK 1 IMT
Berat badan : kg Tinggi badan : cm
[ ]
2 Tekanan Darah Pengukuran 1 Sistolik : mmHg Diastolik : mmHg Pengukuran ke 2 Sistolik : mmHg Diastolik : mmHg Kesimpulan =
a. Hipertensi b. Tidak hipertensi
[ ]
Apakah anda sudah pernah terdiagnosis atau memiliki penyakit hipertensi? a. Pernah b. Tidak pernah
[ ]
Apakah dalam satu bulan terakhir anda memeriksakan tekanan darahnya? a. Tidak b. Pernah
G. KONSUMSI MAKANAN
FOOD FREQUENCY QUESTIONER
1. Konsumsi Sumber Natrium dan Lemak
No Bahan Makanan Yang Dikonsumsi
>1x/ hari
1x/ hari
4-6x/ Minggu
1-3x/ Minggu
<3x/ bulan
1 tahun sekali
Tidak Pernah
Jumlah yang dikonsumsi
URT Berat (g) 1 Daging Ayam (50 gr) 1 ptg sdg 2 Daging sapi (50 gr) 1 ptg sdg 3 Daging kambing (40 gr) 1 ptg sdg 4 Telur bebek (60 gr) 1 btr 5 Telur ayam (60 gr) 1 btr 6 Udang (50 gr) ¼ gls 7 Hati sapi (50 gr) 1 ptg sdg 8 Teri kering (15 gr) 1 sdm 9 Ikan asin (15 gr) 1 ptg kcl 10 Sosis (25 gr) 1 bh 11 Mentega (10 gr) 1 sdm 12 Tepung susu (20 gr) 4 sdm 13 Susu kental manis (75 gr) ¼ gls 14 Biskuit (30 gr) 3 bh 15 Keju (30 gr) 1 ptg sdg 16 Minyak goreng (10 gr) 1 sdm 17 Corned beef (45 gr) 2 sdm 18 Sardenes (30 gr) 19 Bakso (40 gr) 4 bj bsr 20 Roti putih (50 gr) 2 ptg sdg 21 Roti isi (50 gr) 1 bh sdg
No Bahan Makanan Yang Dikonsumsi
>1x/ hari
1x/ hari
4-6x/ Minggu
1-3x/ Minggu
<3x/ bulan
1 tahun sekali
Tidak Pernah
Jumlah yang dikonsumsi
URT Berat (g) 22 Kecap (10gr) 1 sdm 23 Saos sambel (10gr) 1 bks 23 Saos tomat (10gr) 1 bks 24 Garam (3gr) 1/2 sdt 25 MSG 26 Mie Instan (75gr) 1 bks 27 Sirup (15gr) 2 sdm 28 Minuman soda 29 Lain-lain........
2. Konsumsi Buah dan Sayur
No Bahan Makanan yang Dikonsumsi
>5x/ hari
4-2x/ hari
1x/ hari
4-6x/ minggu
1-3x/ minggu
1-3x/ bulan
Tidak Pernah
Jumlah yang dikonsumsi
URT Berat (g) 1 Bayam (100gr) 1 prg kcl 2 Brokoli (100gr) 1 gls 3 Buncis (100gr) 1 prg kcl 4 Daun katuk (100gr) 1 gls 5 Daun pepaya (100gr) 5 sdm 6 Daun poh-pohan
(100gr) 5 sdm
7 Daun singkong (100gr) 5 sdm 8 Jamur putih (100 gr) 5 sdm 9 Kacang Panjang
(100gr) 5 sdm
10 Kangkung (100gr) 5 sdm
No Bahan Makanan yang Dikonsumsi
>5x/ hari
4-2x/ hari
1x/ hari
4-6x/ minggu
1-3x/ minggu
1-3x/ bulan
Tidak Pernah
Jumlah yang dikonsumsi
URT Berat (g) 11 Kembang kol (100gr) 1 prg kcl 12 Labu siam (100gr) 5 sdm 13 Pare (100gr) 5 sdm 14 Sawi hijau(100 gr) 5 sdm 15 Terong (100gr) 5 sdm 16 Tauge (100gr) 5 sdm 17 Tomat (75gr) 1 bh sdg 18 Wortel (100gr) 5 sdm 19 Pisang ambon (75gr) 1 bh sdg 20 Mangga (50gr) ½ bh sdg 21 Jeruk (100gr) 1 bh sdg 22 Melon (100gr) 1 ptg sdg 23 Alpukat (50gr) ½ bh bsr 24 Semangka (150gr) 1 ptg sdg 25 Pepaya (100gr) 1 ptg bsr 26 Salak (75gr) 1 bh bsr 27 Belimbing (125gr) 1 bh bsr 28 Lain-lain................. 29 Lain-lain.................
>>>>>Terima Kasih Atas Partisipasinya<<<<
Lampiran 4 HASIL OUT PUT SPSS
1. Tekanan Darah
Statistics
tekanan darah diastole
tekanan darah sistole
N Valid 105 105
Missing 0 0 Mean 91.28 148.67 Median 90.00 145.00 Mode 90 135a Std. Deviation 10.261 22.631 Variance 105.279 512.147 Skewness .247 .732 Std. Error of Skewness .236 .236 Kurtosis .787 .840 Std. Error of Kurtosis .467 .467 Minimum 70 110 Maximum 125 230 Percentiles 25 85.00 135.00
50 90.00 145.00 75 100.00 160.00
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
tek darah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid hipertensi 69 65.7 65.7 65.7
tdk hipertensi 36 34.3 34.3 100.0
Total 105 100.0 100.0 Riwayat diagnosis hipertensi sebelumnya dengan tekanan darahnya dalam satu bln terakhir.
riwayat didiagnosis HT * telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir Crosstabulation
telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir
Total tidak ya
riwayat didiagnosis HT
prnh trdiagnosis HT Count 15 35 50
% within riwayat didiagnosis HT 30.0% 70.0% 100.0%
blm trdiagnosis HT Count 42 13 55
% within riwayat didiagnosis HT 76.4% 23.6% 100.0% Total Count 57 48 105
% within riwayat didiagnosis HT 54.3% 45.7% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
riwayat didiagnosis HT * telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir
105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
Memeriksakan tekanan darahnya dg HT
telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak 57 54.3 54.3 54.3
ya 48 45.7 45.7 100.0 Total 105 100.0 100.0
Crosstab
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi
telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir
tidak Count 32 25 57
% within telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir
56.1% 43.9% 100.0%
ya Count 37 11 48
% within telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir
77.1% 22.9% 100.0%
Total Count 69 36 105
% within telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir
65.7% 34.3% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
riwayat didiagnosis HT * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir * tek darah
105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
Pernah terdiagnosis HT sebelumnya dg HT riwayat didiagnosis HT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid prnh trdiagnosis HT 50 47.6 47.6 47.6
blm trdiagnosis HT 55 52.4 52.4 100.0
Total 105 100.0 100.0
Crosstab
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi
riwayat didiagnosis HT
prnh trdiagnosis HT
Count 50 0 50
% within riwayat didiagnosis HT 100.0% .0% 100.0%
blm trdiagnosis HT Count 19 36 55
% within riwayat didiagnosis HT 34.5% 65.5% 100.0% Total Count 69 36 105
% within riwayat didiagnosis HT 65.7% 34.3% 100.0%
2. Jenis Kelamin
jenis kelamin responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid perempuan 70 66.7 66.7 66.7
laki-laki 35 33.3 33.3 100.0
Total 105 100.0 100.0
Statistics
jenis kelamin responden N Valid 105
Missing 0 Mean .33 Median .00 Mode 0 Std. Deviation .474 Variance .224 Skewness .717 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis -1.515 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 0 Maximum 1 Percentiles 25 .00
50 .00 75 1.00
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis kelamin responden * tek darah
105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
jenis kelamin responden * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total
hipertensi tdk
hipertensi
jenis kelamin responden
perempuan Count 46 24 70
% within jenis kelamin responden 65.7% 34.3% 100.0%
laki-laki Count 23 12 35
% within jenis kelamin responden 65.7% 34.3% 100.0%
Total Count 69 36 105 % within jenis kelamin responden 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .000a 1 1.000 Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .000 1 1.000 Fisher's Exact Test 1.000 .589
Linear-by-Linear Association .000 1 1.000
N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.00.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jenis kelamin responden (perempuan / laki-laki) 1.000 .425 2.351
For cohort tek darah = hipertensi 1.000 .746 1.341
For cohort tek darah = tdk hipertensi 1.000 .570 1.754
N of Valid Cases 105
3. Konsumsi Natrium
klasifikasi natrium
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid lebih 66 62.9 62.9 62.9
cukup 39 37.1 37.1 100.0
Total 105 100.0 100.0
Statistics
jenis kelamin responden N Valid 105
Missing 0 Mean .33 Median .00 Mode 0 Std. Deviation .474 Variance .224 Skewness .717 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis -1.515 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 0 Maximum 1 Percentiles 25 .00
50 .00 75 1.00
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
klasifikasi natrium * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
klasifikasi natrium * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi klasifikasi natrium lebih Count 65 1 66
% within klasifikasi natrium 98.5% 1.5% 100.0%
cukup Count 4 35 39
% within klasifikasi natrium 10.3% 89.7% 100.0% Total Count 69 36 105
% within klasifikasi natrium 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 84.696a 1 .000 Continuity Correctionb 80.825 1 .000 Likelihood Ratio 98.854 1 .000 Fisher's Exact Test .000 .000 Linear-by-Linear Association 83.889 1 .000 N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.37. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for klasifikasi natrium (lebih / cukup) 568.750 61.187 5286.665
For cohort tek darah = hipertensi 9.602 3.793 24.309 For cohort tek darah = tdk hipertensi .017 .002 .118
N of Valid Cases 105 4. Konsumsi Lemak
Statistics
konsumsi lemak N Valid 105
Missing 0 Mean 8708.61 Median 8719.00 Mode 7831a Std. Deviation 2.111E3 Variance 4.458E6 Skewness .554 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis 1.970 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 1844 Maximum 15284 Percentiles 25 7461.50
50 8719.00 75 9337.50
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid lebih 5 4.8 4.8 4.8
cukup 100 95.2 95.2 100.0
Total 105 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) * tek darah
105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi
klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%)
lebih Count 4 1 5
% within klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) 80.0% 20.0% 100.0%
cukup Count 65 35 100
% within klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) 65.0% 35.0% 100.0%
Total Count 69 36 105 % within klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .476a 1 .490 Continuity Correctionb .043 1 .836 Likelihood Ratio .518 1 .472 Fisher's Exact Test .658 .439 Linear-by-Linear Association .471 1 .493
N of Valid Casesb 105 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.71. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) (lebih / cukup)
2.154 .232 20.021
For cohort tek darah = hipertensi 1.231 .776 1.952
For cohort tek darah = tdk hipertensi .571 .097 3.366
N of Valid Cases 105 5. Konsumsi Buah Dan Sayur
Statistics
konsumsi buah dan sayur N Valid 105
Missing 0 Mean 205.75 Median 192.00 Mode 110a Std. Deviation 101.264 Variance 1.025E4 Skewness 1.113 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis 1.393 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 59 Maximum 561 Percentiles 25 134.50
50 192.00 75 255.50
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
klasifikasi konsumsi buah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid kurang 97 92.4 92.4 92.4
cukup 8 7.6 7.6 100.0
Total 105 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
klasifikasi konsumsi buah * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
klasifikasi konsumsi buah * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi
klasifikasi konsumsi buah
kurang Count 67 30 97
% within klasifikasi konsumsi buah 69.1% 30.9% 100.0%
cukup Count 2 6 8
% within klasifikasi konsumsi buah 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 69 36 105 % within klasifikasi konsumsi buah 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.371a 1 .012 Continuity Correctionb 4.565 1 .033 Likelihood Ratio 6.021 1 .014 Fisher's Exact Test .019 .019 Linear-by-Linear Association 6.311 1 .012
N of Valid Casesb 105 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.74. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for klasifikasi konsumsi buah (kurang / cukup)
6.700 1.277 35.139
For cohort tek darah = hipertensi 2.763 .826 9.243
For cohort tek darah = tdk hipertensi .412 .250 .679
N of Valid Cases 105
6. Konsumsi Air
Statistics
konsumsi air putih N Valid 105
Missing 0
konsumsi air putih
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid kurang 53 50.5 50.5 50.5
cukup 52 49.5 49.5 100.0
Total 105 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
konsumsi air putih * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
konsumsi air putih * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi
konsumsi air putih kurang Count 39 14 53
% within konsumsi air putih 73.6% 26.4% 100.0%
cukup Count 30 22 52
% within konsumsi air putih 57.7% 42.3% 100.0% Total Count 69 36 105
% within konsumsi air putih 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.942a 1 .086 Continuity Correctionb 2.279 1 .131 Likelihood Ratio 2.960 1 .085 Fisher's Exact Test .102 .065 Linear-by-Linear Association 2.914 1 .088
N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.83. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for konsumsi air putih (kurang / cukup) 2.043 .898 4.647
For cohort tek darah = hipertensi 1.275 .961 1.693
For cohort tek darah = tdk hipertensi .624 .360 1.082
N of Valid Cases 105
banyaknya jumlah air puti yang dikonsumsi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid <= 5 gls 5 4.8 4.8 4.8
6-7 gls 48 45.7 45.7 50.5
>= 8 gelas 52 49.5 49.5 100.0
Total 105 100.0 100.0 7. Kegiatan Olah Raga
Statistics kegiatan olahraga
N Valid 105
Missing 0
kegiatan olahraga
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tdk olahraga 52 49.5 49.5 49.5
olahraga 53 50.5 50.5 100.0
Total 105 100.0 100.0
jenis-jenis olah raga yang dilakukan responden
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tdk OR 52 49.5 49.5 49.5
jalan kaki 38 36.2 36.2 85.7
lainnya 15 14.3 14.3 100.0 Total 105 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kegiatan olahraga * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
kegiatan olahraga * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total
hipertensi tdk
hipertensi
kegiatan olahraga
Tdk olahraga Count 39 13 52
% within kegiatan olahraga 75.0% 25.0% 100.0%
olahraga Count 30 23 53
% within kegiatan olahraga 56.6% 43.4% 100.0%
Total Count 69 36 105 % within kegiatan olahraga 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 3.943a 1 .047 Continuity Correctionb 3.168 1 .075
Likelihood Ratio 3.982 1 .046 Fisher's Exact Test .064 .037 Linear-by-Linear Association 3.905 1 .048
N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 17.83. b. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kegiatan olahraga (tdk olahraga / olahraga)
2.300 1.003 5.275
For cohort tek darah = hipertensi 1.325 .998 1.759
For cohort tek darah = tdk hipertensi .576 .328 1.011
N of Valid Cases 105
8. Perilaku Merokok
Statistics perilaku merokok
N Valid 105
Missing 0
perilaku merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid merokok/pernah 41 39.0 39.0 39.0
tdk 64 61.0 61.0 100.0
Total 105 100.0 100.0
usia berhenti merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tdk pernah merokok 64 61.0 61.0 61.0
msh merokok 21 20.0 20.0 81.0
<40 thn 4 3.8 3.8 84.8
>= 40 thn 16 15.2 15.2 100.0
Total 105 100.0 100.0
usia mulai merokok
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tdk pernah merokok 64 61.0 61.0 61.0
<= 15 thn 6 5.7 5.7 66.7
16-19 thn 15 14.3 14.3 81.0
> =20 thn 20 19.0 19.0 100.0
Total 105 100.0 100.0
keseringan merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tdk/pernah merokok 84 80.0 80.0 80.0
kdang 2 1.9 1.9 81.9
setiap hari 19 18.1 18.1 100.0
Total 105 100.0 100.0
jumlah rokok yang d konsumsi dalam sehari
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tdk merokok 84 80.0 80.0 80.0
kadang2 2 1.9 1.9 81.9
1-5 btg 12 11.4 11.4 93.3
6-12 btg (1/2-1 bgks) 4 3.8 3.8 97.1
> 1 bgks 3 2.9 2.9 100.0
Total 105 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
perilaku merokok * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
perilaku merokok * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total Hipertensi tdk hipertensi
perilaku merokok merokok/pernah Count 28 13 41
% within perilaku merokok 68.3% 31.7% 100.0%
tdk Count 41 23 64
% within perilaku merokok 64.1% 35.9% 100.0% Total Count 69 36 105
% within perilaku merokok 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .198a 1 .656
Continuity Correctionb .055 1 .814
Likelihood Ratio .199 1 .655
Fisher's Exact Test .680 .409
Linear-by-Linear Association .197 1 .657
N of Valid Casesb 105
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.06.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for perilaku merokok (merokok/pernah / tdk) 1.208 .525 2.778 For cohort tek darah = hipertensi 1.066 .807 1.407 For cohort tek darah = tdk hipertensi .882 .506 1.538 N of Valid Cases 105 9. Stres
Statistics
keadaan stres N Valid 105
Missing 0
keadaan stres
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid stress 65 61.9 61.9 61.9
tdk stress 40 38.1 38.1 100.0
Total 105 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
keadaan stres * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
keadaan stres * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi
keadaan stres stress Count 47 18 65
% within keadaan stres 72.3% 27.7% 100.0%
tdk stress Count 22 18 40
% within keadaan stres 55.0% 45.0% 100.0% Total Count 69 36 105
% within keadaan stres 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 3.292a 1 .070 Continuity Correctionb 2.569 1 .109 Likelihood Ratio 3.257 1 .071 Fisher's Exact Test .091 .055 Linear-by-Linear Association 3.261 1 .071
N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.71. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for keadaan stres (stress / tdk stress) 2.136 .935 4.882
For cohort tek darah = hipertensi 1.315 .956 1.807
For cohort tek darah = tdk hipertensi .615 .365 1.036
N of Valid Cases 105 10. Obesitas
Statistics
indeks masa tubuh N Valid 105
Missing 0 Mean 23.409 Median 22.900 Mode 21.7 Std. Deviation 3.8576 Variance 14.881 Skewness .653 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis .225 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 14.8 Maximum 33.7 Percentiles 25 20.800
50 22.900 75 25.400
klasifikasi IMT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid obesitas 28 26.7 26.7 26.7
tdk obesitas 77 73.3 73.3 100.0
Total 105 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
klasifikasi IMT * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%
klasifikasi IMT * tek darah Crosstabulation
tek darah
Total hipertensi tdk hipertensi
klasifikasi IMT obesitas Count 22 6 28
% within klasifikasi IMT 78.6% 21.4% 100.0%
tdk obesitas Count 47 30 77
% within klasifikasi IMT 61.0% 39.0% 100.0% Total Count 69 36 105
% within klasifikasi IMT 65.7% 34.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.801a 1 .094 Continuity Correctionb 2.077 1 .150 Likelihood Ratio 2.955 1 .086 Fisher's Exact Test .109 .072 Linear-by-Linear Association 2.775 1 .096
N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.60. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for klasifikasi IMT (obesitas / tdk obesitas) 2.340 .851 6.440
For cohort tek darah = hipertensi 1.287 .989 1.675 For cohort tek darah = tdk hipertensi .550 .257 1.179
N of Valid Cases 105