REVIEW JURNAL PENGARUH EKONOMI DAN POLITIK TERHADAP KETAHANAN PANGAN DAN GIZI
“ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT”
Latar belakang
Dilakukannya studi ini dikarenakan adanya peningkatan tingkat
pengeluaran pangan dan rumah tangga yang defisit energi dan protein hal ini
terjadi merata di seluruh lapisan masyarakat pasca terjadinya krisis ekonomi
tahun 1997. Oleh karenanya, melalui studi ini akan diketahui bagaimana konsumsi
pangan masyarakat pasca krisis ekonomi..
Sampel
Pada dasarnya studi menggunakan sumber data yang diperoleh dari data
Jumlah rumah tangga yang berasal dari SUSENAS tahun 1996, 1999 dan 2002
untuk Propinsi Jawa Baratberturut-turut sebesar 7.928, 7.928 dan 6.943 rumah
tangga. Sementara total rumah tangga yang dianalisis untuk agregat nasional
berturut-turut sebesar 50.893, 61.473 dan 62.555 rumah tangga.
Metode
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel
berdasarkan wilayah (kota dan desa) dan kelompok pangan
Hasil
Jurnal ini membahas mengenai bagaimana pola konsumsi pangan di Jawa
Barat pasca krisis ekonomi pada periode tahun 1996- 1999- 2002. Dalam analisis
jurnal ini peneliti membandingkan bagaimana pola konsumsi pangan pada
masyarakat di perkotaan dan masyarakat di pedesaan dengan menggunakan 3
aspek penilaian yakni :
1. Struktur pengeluaran pangan rumah tangga
Tingkat kesejahteraan masyarakat di perkotaan bisa dikatakan lebih
tinggi dibandingka dengan masyarakat pedesaan hal ini ditunjukkan
dengan besaran proporsi pengeluaran pangan rumah tangga.
Saat terjadi krisis ekonomi (1997) proporsi pengeluaran pangan rumah
tangga mengalami penurunan baik di desa maupun di kota namun
penurunan yang paling besar dirasakan oleh perkotaan.
Setelah krisis ekonomi proporsi pengeluaran pangan rumah tangga di
kota dan di desa mengalami peningkatan kembali dimana proporsi
pengeluaran terbesar cenderung pada jenis padi-padian.
2. Konsumsi energi dan protein
Terdapat kecenderungan bahwa tingkat konsumsi energi di desa lebih
tinggi dari pada di kota dan untuk konsumsi protein yang terjadi adalah
sebaliknya
Pada saat krisis ekonomi terjadi penurunan konsumsi energi dan
protein baik di kota maupun di desa, namun penurunan konsumsi
energi dan protein di kota lebih tinggi dibandingkan penurunan yang
terjadi di desa. Hal ini berarti bahwa dampak krisis ekonomi
berpengaruh secara signifikan di kota yang mayoritas penduduknya
bekerja di sektor non pertanian.
Pasca krisis ekonomi terjadi peningkatan konsumsi energi dan protein
baik di desa maupun di kota namun, masih lebih rendah dibandingkan
dengan angka tingkat konsumsi energi dan protein pada saat sebelum
krisis ekonomi.
3. Pola dan tingkat konsumsi pangan
Pada saat sebelum krisis ekonomi (1996), pola konsumsi pangan
pokok didominasi oleh beras namun pasca krisis ekonomi (2002)
kombinasi beras dan mie instan menjadi pola konsumsi pangan pokok
baru. Di kota, hampir seluruh lapisan masyarakat, dari yang
berpendapatan rendah hingga berpendapatan tinggi mengkonsumsi
padu padan beras+mie instant. Namun, di desa, mie instan baru
dikonsumsi oleh yang berpendapatan tinggi.
Saran
1. Kebijakan pengembangan program diversifikasi pangan di masa
mendatang perlu dilakukan dengan lebih seksama, didukung oleh
pengkajian-pengkajian yang lebih mendalam tentang perilaku konsumen.
2. Perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan daya beli serta peningkatan
ketersediaan untuk beberapa komoditas seperti pangan hewani, sayuran
dan buah, serta kacangkacangan (kedele) untuk meningkatkan kualitas
konsumsi pangan masyarakat Indonesia.
3. Penyadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta kesehatan perlu
ditingkatkan, sehingga jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi sesuai
dengan kebutuhannya. Political will dan political power dari pemerintah
menjadi ujung tombak keberhasilan hal tersebut.
Lesson learn
Aspek ekonomi suatu negara nampaknya memang memberikan pengaruh
tersendiri terhadap ketahanan pangan negara tersebut. Terbukti dengan apa yang
menjadi bahasan di jurnal ini, krisis ekonomi yang melanda Indonesia di
pertengahan 1997 nyatanya memberikan sejumlah perubahan terhadap pola
konsumsi masyarakat Jawa Barat khususnya dan Indonesia secara luas yang
mengindikasikan rentannya ketahanan pangan daerah tersebut. Ketidakberdayaan
the economic power ketika krisis berakibat penurunan proporsi pangan, artinya
masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran untuk membeli pangan karena
pendapatan menurun dan harga pangan yang cenderung meningkat. Makin tinggi
pendapatan, kesempatan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan juga akan
lebih baik, dan memang bisa dikatakan bahwa ekonomi merupakan faktor penentu
bagaimana pemenuhan akan pangan dan akhirnya hal ini terkait dengan status gizi
dan status kesehatan masyarakat.
Untuk itu peran pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan karena
masalah ketahanan pangan merupakan masalah yang penting yang pemerintah
harus mengambil tindakan dalam penyelesaiannya. Melalui sejumlah kebijakan
yang tentu dengan campur tangan pemerintah dan segenap warga negara yang pro
terhadap ketahanan pangan merupakan salah satu cara yang bisa dijadikan solusi.
Ketersediaan pangan dengan jumlah yang cukup dan harga yang dapat dijangkau
masyarakat merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah saat
ini mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya akan SDA yang beragam,
sebenarnya masalah kerentanan terhadap ketahanan pangan merupakan hal yang
harusnya tidak terjadi. SDA beragam memungkinkan Indonesia lebih mudah
untuk melakukan diversifikasi pangan yang tujuannya memberikan alternatif-
alternatif jenis pangan lain yang dapat dijadikan panganan pokok sehingga ketika
terjadi siklus ekonomi yang tidak diinginkan masyarakat punya berbagai alternatif
untuk tetap stabil dalam pemenuhan pangan dan gizi.