Download - Review Buku Gender Dalam Suku Baduy
![Page 1: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/1.jpg)
Review Buku
Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Masyarakat Baduy
Kesetaraan gender dapat diartikan sebagai perwujudan jaminan sehari-hari
yang ditandai oleh sikap pria dan wanita dalam hubungan mereka satu sama lain,
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, yang saling peduli, saling
menghargai, saling membantu, saling mendukung, saling memberdayakan, dan
saling memberi kesempatan untuk tumbuh berkembang dan mengembangkan diri
secara optimal terus-menerus secara bebas dan bertanggung jawab. Di Indonesia,
di pedalaman Jawa Barat pada masyarakat penghuni “inti jagat”, yakni
masyarakat Baduy, telah mengenal dan menerapkan konsep kesetaraan antara pria
dan wanita. Kesetaraan tersebut dapat dilihan dengan fakta berikut:
1. Dalam kegiatan perladangan, pria dan wanita sama-sama bekerja menurut
tugas dan tanggung jawab masing-masing pada ruang waktu yang sama.
2. Dalam kegiatan religi, khususnya yang berkaitan dengan upaya cara
panen, wanita memegang andil besar, bahkan diantaranya menjadi
pemimpin upacara.
3. Pengasuhan anak tidak hanya dilakukan oleh wanita (istri), tetapi
dilakukan secara bersama-sama baik oleh suami maupun oleh istri.
4. Tempat tinggal setelah menikah dapat berada di lingkungan kerabat pria
(suami) dan dapat pula dilingkungan kerabat wanita (istri).
5. Kematian istri akan menyebabkan lepas atau copotnya jabatan yang
sedang dipangku oleh suami.
Dalam prespektiif gender, menurut Freeman (1970), kondisi biologis sepanjang
masa sebenarnya tetap sama; terdiri atas pria dan wanita. Perbedaan biologis itu
menjadi bermakna politis, ekonomis, dan sosial manakala tetenan kultural dalam
masyarakat mengenal pembagian kerja secara hierarkis antara pria dan wanita.
A. Gambaran Umum Masyarakat Baduy
![Page 2: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/2.jpg)
1. Lokasi dan keadaan geografis
Masyarakat Baduy berdiam di wilayah bagian barat Jawa Barat, di daerah
yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng. Secara geografis lokasi
masyarakat baduy terletak pada 6º27’27”-6º30’ Lintang Utara dan 108º3’9”-
106º4’55” Bujur Timur. Topografi daerah baduy terdiri atas bukit-bukit dengan
kemiringan lereng hingga mencapai rata-rata 45%, sedangkan ketinggian daerah
sekitar 300m hingga 600m dari permukana laut. Di selatan wilayah Baduy
terdapat mata air Sungai Ciujung, yang merupakan hulu sungai yang cukup besar.
Secara administratif, wilayah Baduy meliputi luas sekitar 5.101,85 hektar,
sekarang termasuk ke dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten. Wilayah Baduy berbatasan dengan daerah-daerah lain: di
sebelah utara berbatasan dengan Desa Cibungur dan Desa Cisemeut, di sebelah
timur berbatasan dengan Desa Sobang, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Cigemblong dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Karangnunggal. Daerah
Baduy dapat dicapai melelui ibukota Kabupaten Rangkasbitung, kemudian
menuju ke Kecamatan Leuwidamar. Wilayah Baduy terletak sekitar 13 km di
sebelah selatan kota Kecamatan Leuwidamar, sekitar 38 km sebelah selatan kota
Kabupaten Rangkasbitung km sebelah baratdaya kota metropolitan Jakarta.
2. Nama dan bahasa
Istilah Urang Baduy atau Baduy diberikan oleh orang-orang di luar wilayah
Baduy dan kemudian digunakan dalam laporan-laporan etnografi pertama oleh
orang-orang Belanda. Dalam laporan tersebut disebut istilah “badoer”, “badoei”,
dan “badoewi”. Istilah Baduy juga muncul dari nama sebuah bukit bernama
Gunung Baduy, yang di dekatnya mengalir sungai kecil bernama Cibaduy. Ada
pendapat yang menghubungkan istilah Baduy dengan nama badwi yang berasal
dari kata badu atau badaw yang berarti lautan pasir-yakni salah satu suku Arab
yang hidup mengembara di daerah padang pasir. Pada dasarnya orang Baduy
menggunakan bahasa Sunda. Bahasa mereka termasuk dalam kategori dialek
![Page 3: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/3.jpg)
Sunda-Banten. Berbeda dengan subdialek Banten, bahasa Baduy tidak
dipengaruhi bahasa Jawa.
3. Demografi
Data demografi tentang orang Baduy pertama kali tercatat pada tahun 1888,
berjumlah 291 orang, menempati 10 kampung. Jumlah penduduk Baduy pada
tahun berikutnya meningkat 1.407 orang dan tinggal di 26 kampung. Pada awal
abad ke 20, tepatnya tahun 1908, penduduk Baduy dilaporkan berjumlah 1.547
orang dan 20 tahun kemudian sedikit berkurang menjadi 1.521 orang. Pada tahun
1966 penduduk Baduy diketahui berjumlah 3.935 orang dan menjadi 4.063 pada
tahun 1969. Pada tahun 1970 jumlah penduduk Baduy menurun menjadi 4.057.
orang, namun tiga tahun kemudian naik lagi menjadi 4.574 orang. Pada tahun
1984 penduduk Baduy berjumlah 4.587 orang dan tahun 1986 berjumlah 4.850
orang. Menurut catatan terakhir pada tahun 1990 orang Baduy berjumlah 5.582
jiwa, tiga tahun kemudian berjumlah 5.649 orang, dan pada tahun 1994 berjumlah
6.483 orang.
4. Asal usul
Blume menyebutkan bahwa komunitas Baduy berasal dari Kerajaan Sunda
Kuna Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke-
17 menyusul bergeloranya ajaran Islam dan Kerajaan Banten. Van Tricht, seorang
dokter yang pernah melakukan riset kesehatan tahun 1928, menyangkal teori
komunikasi Baduy berasal dari Kerajaan Pajajaran. Ia mengatakan bahwa mereka
adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap
pengaruh luar. Orang Baduy sendiri pun menolak bila dikatakan berasal dari
orang-orang pelarian Kerajaan Pajajaran.
5. Organisasi sosial Pelapisan masyarakat
Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni
tangtu, panamping, dan dangka. Tangku dan Panamping berada di wilayah Desa
![Page 4: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/4.jpg)
Kenekes, sedangkan dangka terdapat di luar desa Kenekes. Istilah tangu mungkin
diserap dari bahasa Sansekerta tantu yang berarti kata benda: benang, silsilah, atau
cikal bakal (progator of the race.) Menurut pengertian masyarakat Baduy arti
tangu dapat diartikan sebagai tempat dan sekaligus pendahulu atau cikal bakal
(pokok), baik dalam arti pangkal keturunan maupun pendiri permukiman.
Penamping, menurut orang Baduy, berasal dari kata tamping, kata kerja, yang
berarti “buang”. Dengan demikian penamping berarti pembuangan atau dengan
kata lain panamping merupakan tempat bagi orang tangu yang dibuang atau
dikeluarkan karena melanggar adat. Dangka, menurut beberapa pendapat, berarti
“rangka” atau “kotor” dan oleh karenanya sebagai tempat pembuangan warga
Baduy yang melanggar adat. Wilayah dangka merupakan daerah yang berada di
luar wilayah Kanekes, namun masih merupakan pendukung budaya dan keturunan
Baduy.
Dalam keadaan tertentu, perubahan status masyarakat di antara langtu,
panamping, dan dangka mungkin saja terjadi. Perubahan status dapat terjadi
karena permintaan sendiri, yang disebut undur rahayu atau mengunurkan diri
secara baik-baik. Seorang tangu yang ingin pindah menjadi orang panamping atau
orang panamping ingin menjadi orang dangka, haus minta izin kepada puun atau
jaro yang bersangkutan. Bila diizinkan, dilakukan suatu upacara yang disebut
panyapuan pembersihan. Setelah upacara selesai, barulah pemohon tersebut
dipersilahkan meninggalkan tempat asalnya. Disamping itu, perubahan status
dapat pula terjadi sebaliknya, yakni dikeluarkan karena pelanggaran adat.
Kekerabatan
Hubungan kekerabatan orang Baduy tidak dipengaruhi oleh status
kewargaan. Baik orang tangtu, orang panumping, maupun orang dangka yang
mempunyai hubungan darah tetap menjadi kerabat. Perkawinan dalam masyarakat
Baduy bersifat endogami, yaitu perkawinan hanya dilakukan di antara orang-
orang Baduy saja. Dalam perkawinan orang tangu, orang tua mempunyai hak
untuk memutuskan dan memilik jodoh bagi anaknya. Bila orang tua kedua belah
![Page 5: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/5.jpg)
pihak telah sepakat, perkawinan bagi orang panamping atau dangka dilakukan di
depan penghulu di kampung Cikakal Girang yang beragama Islam. Peresmian
tersebut hanya dihadiri oleh mempelai laki-laki dan perempuan beserta wali
masing-masing.
Sistem pemerintahan
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem
nasional dan sistem tradisional (adat). Sistem nasional, masyarakat Baduy
termasuk ke dalam wilayah Desa Kenekes, Kecamatan Leuidamar, Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten. Desa Kenekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut
jaro pamarentah. Seperti kepala desa atau lurah di desa lain, jaro pamarentah
berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala
pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Ada tiga orang puun di
wilayah Baduy, masing-masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun
Cikartawana. Dalam lembaga kepuuan terdapat beberapa jabatan yang masing-
masing jabatan memegang dan bertanggung jawab pada urusan khas, yaitu:
o Puun
Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. Menurut
pikukuh “peraturan, adat”, jabatan puun berlangsung turun-temurun, kecuali
bila ada hal lain yang tidak memungkinkannya. Sementara itu, lama jabatan
puun tidak ditentukan. Jangka waktu jabatan pada dasarnya dinilai
berdasarkan mampu tidaknya seseorang memegang jabatan puun. Ada yang
menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan akan mengundurkan diri
karena usia tua.
o Girang seurat
Girang seurat, atau kadang disebut seurat saja, merupakan jabatan
tertinggi kedua setelah puun yang melaksanakan tugas sebagai “sekretaris”
![Page 6: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/6.jpg)
puun atau pemangku adat, juga bertugas mengurus ladang bersama dan
menjadi penghubung serta pembantu utama puun.
o Baresan
Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan
bertanggung jawab dalam bidang keamanan dan ketertiban. Mereka termasuk
anggota sidang kepuunan atau semacam majelis yang beranggotakan sebelas
orang di Cikeusik, sembilan orang di Cibeo, dan lima orang di Cikartawana.
o Jaro
Jaro merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kepuunan. Tugas
jaro sangat berat karena meliputi segala macam urusan. Di daerah Baduy
dikenal ada empat jabatan jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertugas sebagai pengawas
pada pelaksanaan hukum adat warga tangtu. Jaro dangka bertugas menjaga,
mengurus, dan memelihara tanah titipan mempunyai leluhur yang berada di
dalam dan diluar Desa Kanekes. Jaro pamarentah bertugas sebagai
penghubung pemerintah adat dari masyarakat Baduy dengan pemerintah, dan
bertindak sebagai Kepala Desa Kanekes yang berkedudukan di Katuketug.
o Palawari
Palawari merupakan kelompok khusus semacam panitia tetap yang
bertugas sebagai pembantu, pesuruh, dan perantara dalam berbagai kegiatan
upacara adat.
o Tangkesan
Tangkesan merupakan “menteri kesehatan” atau dukun kepala dan
sebagai atasan dari semua dukun yang ada di Baduy. Ia juga merupakan juru
ramal bagi segala aspek kehidupan orang Baduy.
![Page 7: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/7.jpg)
6. KepercayaanDasar kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan kepada roh nenek
moyang. Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka
Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Keyakina mereka sering disebut dengan Sunda
Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Agama ini mengajarkan bahwa kekuasaan
tertinggi berada pada NU Ngersauken (Yang Menghendaki), Sang Hiyang Keresa
(Yang Maha Kuasa), atau Batara Tunggal (Yang Maha Esa).
7. MatapencaharianMata pencaharian orang Baduy bertumpu pada berladang dengan menanam
padi. Awal bulan pertama tiap permulaan tahun dalam istilah orang Baduy sering
dikatakan manggalkeun kidang (awal kemunculan bentang kidang atau bintang
waluku). Menurut pengetahuan orang Baduy, awal tahun harus jatuh pada saat
matahari sedang berada di belahan utara bumi, yang dalam istilah mereka disebut
metapoe geus dengkek ngaler “matahari sudah condong ke utara”. Pemilikan
lahan ladang (huma) bergantung pada lokasinya, orang-orang tangtu di tiga
kampung tangtu merupakan pemilik tanah huma di kawasan taneuh larangan,
yakni bagian tengah sampai ke arah selatan wilayah Baduy sebagai tanah
larangan, sedangkan tanah-tanah huma di luar daerah itu diperuntukkan buat
warga panamping.
B. Aktivitas Pria dan Wanita Baduy
1. Perladangan
Orang Baduy merupakan peladang murni. Berladang merupakan maupun
pokok mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang mereka kenal
berupa perladangan berpindah. Tradisi orang Baduy mengenal lima macam
huma berdasarkan fungsinya, yakni huma serang, huma puun, huma tangtu,
huma tuladan, dan huma hum panamping. Waktu mulai kegiatan perladangan
ditentukan berdasarkan kemunculan bintang tertentu, yang menurut ungkapan
orang Baduy.
![Page 8: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/8.jpg)
2. Nyacar
Kata nyacar berasal dari kata kerja cacar yang berarti tebas yakni
menebas rumput atau semak belukar, menabang pohon-pohon kecil, dan
memangkas dahan-dahan pohon yang besar agar lahan memperoleh banyak
sinar matahari.
3. Nukuh
Kata nukuh atau cukub berarti “mengeringkan” dan “menjadikan” sangat
kering. Rumput, dedaunan, potongan ranting, perdu, dan hasil tebasan lainnya
di jemur, kemudian dikumpulkan menjadi beberapa onggokan untuk dibakar.
Kegiatan nukuh dapat dilakukan baik pria maupun wanita.
4. Ngaduruk
Nagdruk berasal dari kata kerja yang berarti “bakar”. Dengan demikian,
ngaduruk atau kadang-kadang disebut juga dengan istilah ngahuru yang
diartikan sebagai kegiatan membakar sampah yang telah dikumpulkan pada
kegiatan nukub.
5. Ngaseuk
Istilah ngaseuk berasal dari kata benda aseuk “tugal”, dan oleh karenanya
ngaseuk berarti “kegiatan menugal” yaitu membuat lubang kecil dengan
menggunakan panugal untuk menanam benih padi.
6. Ngirab Sawan
Istilah ngirab sawan berasal dari kata kirab “buang, membersihkan” dan
kata sawan “sampah”. Dengan demikian ngirab sawan berarti membuang atau
membersihkan sampah bekas ranting dan daun atau tanaman lain yang
mengganggu tanaman padi yang sedang tumbuh. Kegiatan tersebut dilakukan
selama antara masa tanam dan masa panen.
![Page 9: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/9.jpg)
C. Kesetaraan Pria Wanita
Pria pada masyarakat Baduy seperti juga pada masyarakat lain umumnya
“menguasai” berbagai sendi kehidupan, mulai dari kegiatan sehari-hari hingga
kegiatan upacara yang sangat besar, atau mulai dari rumah tangga hingga
“negara”. Meskipun demikian “kekuasaan” tersebut tidak sampai menimbulkan
dominasi pria dan tersubordinasinya wanita. Hal ini disebabkan ada beberapa
konsep budaya dalam masyarakat Baduy yang mampu “menetralisir kekuasaan”
pria tersebut, yakni konsep Ambu, konsep Nyi Pohaci, dan konsep
keseimbangan.
Konsep ambu pada dasarnya merupakan konsep yang bersifat dan berlaku
secara umum, baik dalam kehidupan sebelum turun ke dunia, kehidupan di dunia,
kehidupan di alam kubur, maupun kehidupan di akhirat kelak. Ambu yang
mempersonifikasikan sosok wanita (ibu) digambarkan memiliki sifat melindungi,
memelihara dan mengayomi seseorang atau manusia, mulai dari sebelum turun ke
dunia, hidup di atas dunia, setelah mati, dan sampai di akhirat kelak. Konsep Nyi
Pohaci pada dasarnya lebih bersifat khusus, yakni berkaitan erat dengan kegiatan
perladangan (menanam padi). Kedua konsep diatas jika dicermati lebih jauh,
sesungguhnya menggambarkan streotip wanita. Ambu menggambarkan streotip
wanita yang memelihara, melindungi, dan melayani anak-anak dan keluarga.
Adaun Nyi Pohaci menggambarkan streotip wanita yang berkaitan dengan
kesuburan, terutama reproduksi. Dalam rangkaian proses penanaman padi untuk
bibit, menanam, memetik, dan menumbuk padi untuk membuat nasi, dilakukan
upacara khusus yang dilaksanakan oleh wanita. Sementara itu, konsep
keseimbangan tidak hanya berfokus pada wanita seperti kedua konsep lainnya,
tatapi juga pada pria. Konsep ini terutama dilandasi oleh pikukuh “aturan adat”
dan keadilan lingkungan sekitar. Dalam kaitan dengan konsep keseimbangan ini,
wanita tidak hanya menjadi “penetralisir kekuasaan” pria, tetapi juga menjadi
stabilisator dinamisator pria sebagai pemimpin. Oleh karena itu, aturan adat
Baduy mensyaratkan bahwa seorang pemimpin baik rumah tangga, kelompok
sosial kemasyarakatan, maupun kelompok “politik” harus memiliki seorang istri.
![Page 10: Review Buku Gender Dalam Suku Baduy](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082408/55cf9ae7550346d033a3f038/html5/thumbnails/10.jpg)
Seorang jaro, baresan, girang seurat, dan bahkan puun harus memiliki seorang
istri sebagai syarat menduduki jabatan tersebut. Inilah adat Masyarakat Baduy
yang telah tertata rapi sedemikian rupa yang merupakan kekayaan atas kearifan
budaya lokal di Indonesia yang patut kita lestarikan dan kita kabarkan kepada
dunia.
Sumber : Cecep Eka Purnama, 2005. Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti
Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.