Download - Resume Skripsi Metode Penelitian Sosial
Yeshinta P. (Halaman 125-134)
7.4.2 Perbandingan Pendapatan Nelayan Rajungan dengan Nilai Upah Minimum Regional (UMR)
Hasil analisis menggambarkan bahwa :1. Ketika musim sedang
Nelayan Rajungan pengguna jaring memiliki pendapatan di bawah nilai UMR dan dianggap tidak dapat hidup layak di Jakarta
Nelayan pengguna Bubu berstatus juragan bependapatan diatas UMR, dianggap dapat hidup layak di Jakarta. Sedangkan nelayan ABK berpendapatan di bawah UMR, dianggap tidak dapat hidup layak di Jakarta.
b. Ketika musim panen Terdapat nelayan ABK berpendapatan di bawah UMR, merupakan nelayan
yang terikat pada pengumpul. Terjadi karena adanya praktik pemasaran yang merugikan nelayan yaitu penentuan harga jual Rajungan yang rendah & diperparah oleh sistem bagi hasil yang merugikan ABK.
Umumnya nelayan pemilik berpenghasilan di atas UMR. Hal ini disebabkan terdapat penerapan sistem bagi hasil yang cenderung menguntungkan.
c. Ketika musim sepi Tidak satupun nelayan Rajungan baik berstatus juragan maupun ABK
memperoleh pendapatan di atas nilai UMR. Berdasar nilai UMR, nelayan Rajungan dianggap tidak layak tinggal di Jakarta. Sehingga keputusan tepat adalah tinggal di rumah dan tidak melaut.
Bila pendapatan selama musim tangkapan dirata-rata diperoleh hasil :
Berdasar perbandingan nilai UMR hanya juragan pengguna Bubu berpendapatan di atas nilai UMR, sedangkan ABK Bubu dan nelayan pengguna Jaring berpendapatan di bawah nilai UMR
7.4.3 Perbandingan Pendapatan Nelayan Jaring Udang dengan Nilai Upah Minimum RegionalBerdasarkan hasil analisis diperoleh hasil antara lain:
a. Ketika musim sedang Nelayan jaring Udang berstatus juragan berpendapatan di atas UMR, dianggap
dapat hidup layak di Jakarta Nelayan ABK berpendapatan di bawah UMR, dianggap tidak dapat hidup
layak di Jakartab. Ketika musim panen
Nelayan jaring Udang berstatus juragan berpendapatan di atas UMR Nelayan ABK bependapatan di bawah UMR. Terjadi karena adanya praktik
pemasaran yang merugikan nelayan yaitu penentuan harga jual Udang yang rendah & diperparah oleh sistem bagi hasil yang merugikan ABK.
Nelayan pemilik berpenghasilan di atas UMR. Hal ini disebabkan terdapat penerapan sistem bagi hasil yang cenderung menguntungkan.
c. Ketika musim sepi Tidak satupun nelayan jaring Udang berstatus juragan maupun ABK
berpendapatan di atas nilai UMR. Berdasar nilai UMR, nelayan jaring Udang dianggap tidak layak tinggal di Jakarta. Sehingga keputusan tepat adalah tinggal di rumah dan tidak melaut.
Bila pendapatan selama musim tangkapan dirata-rata diperoleh hasil :
Berdasar perbandingan nilai UMR juragan penangkap Udang berpendapatan di atas nilai UMR, sedangkan ABK berpendapatan di bawah nilai UMR
Berdasar indikator WB dan BPS menunjukkan mayoritas nelayan andun berada dalam
kategori miskin. Berdasar hasil perbandingan pendapatan nelayan terhadap nilai UMR,
mayoritas nelayan ABK dianggap dianggap tidak dapat hidup layak selama melaut,
sedangkan mayoritas juragan/pemilik kapan dianggap dapat hidup layak selama melaut.
Fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan sebagai nelayan tradisional
tidak dapat memberikan penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup antara
lain sebagai berikut :
1. Banyak nelayan memiliki anak/istri sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar
negeri
2. Terdapat nelayan yang dibantu istrinya dengan cara bekerja sebagai bakul/penjual ikan
di pasar
3. Rendahnya pendapatan nelayan ABK, terutama yang berstatus terikat-price taker
dibandingkan juragan atau ABK berstatus tawar menawar. Hal ini terjadi akibat adanya
gejala eksploitasi dalam praktik pemasaran
Menurut Bahrul Ulum (2003), peranan bakul/pengumpul bersifat ambiguitas, dimana
meskipun menyebabkan kemiskinan nelayan, tetapi tidak dapat dipungkiri juga memberikan
peranan yang signifikan dalam pemebuhan kebutuhan sosial ekonomi nelayan. Contohnya
tidak hanya dalam pemasaran tapi juga sebagai penyedia bantuan permodalan usaha dan
perlindungan terhadap keadaan yang tidak diinginkan.
Hubungan kerja antara nelayan ABK dengan juragan cenderung bersifat eksploitatif
yaitu dengan adanya presentase bagi hasil yang tidak seimbang cenderung menguntungkan
juragan.
7.5 Peran Pemerintah terhadap Peningkatan Kesejahteraan Nelayan
Pemerintah sebagai regulator memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan yang memihak nelayan tradisional. Berikut ini merupakan upaya pemerintah (UPT Muara Angke) dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan diantaranya :
1. Adanya Koperasi Perikanan Mina Jaya (KPMJ) DKI Jakarta (Dibentuk 30 Desember 1974 melalui Rapat Anggota Khusus Gabungan Koperasi Perolanan DKI Jakarta)
2. Adanya unit simpan-pinjam Swamitra Mina I 3. Adanya unit penyelenggaraan pelelangan ikan (Atas dasar Surat Keputusan (SK
Gubernur DKI Jakarta No.1.075 Tahun 2005) tentang penunjukkan Koperasi Mina Jaya sebagai Penyelenggara Pelelangan Ikan di TPI Muara Angke Jakarta Utara.
4. Adanya program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) oleh Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) DKI Jakarta
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari isis Jurnal antara lain sebagai berikut :
1. Sistem pemasaran di Muara Angke cenderung bersifat terikat antara nelayan dengan lembaga bakul/pengumpul.
2. Berdasarkan analisis kemiskinan menggunakan indikator WB dan BPS diketahui bahwa mayoritas nelayan andun tradisional Muara Angke berada dalam kategori miskin karena memiliki pendapatan di bawah nilai indikator WB dan BPS.
3. Rendahnya penghasilan nelayan terjadi akibat adanya gejala eksploitasi dalam praktik pemasaran, dilakukan pedagang perantara yaitu bakul/pengumpul, sedangkan gejala eksploitasi dalam bagi hasil dilakukan oleh juragan terhadap ABK.
4. Upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah memberikan bantuan berupa program PEMP dan berbagai pelayanan pada masyarakat melalui Koperasi Perikanan Mina Jaya (KPMJ) DKI Jakarta.