Download - Responsi MH
RESPONSI
MORBUS HANSEN TIPE MULTI BASILER DENGAN
REAKSI ERITEMA NODUSUM LEPROMATOUS
Disusun oleh:
Dwi Budi Narityastui
G99141166
Pembimbing:
dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc
KEPANITERAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
Morbus Hansen
A. Definisi
Kusta merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini mempunyai afinitas utama yaitu saraf
tepi, kemudian kulit, dan jaringan lain seperti sistem retikulo-endotelial,
tulang, persendian, membran mukosa, mata, testis, otot, dan kelenjar adrenal.1
B. Sinonim
Lepra, Morbus Hansen2.
C. Epidemiologi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya
terutama di negara berkembang, merupakan penyakit bersifat endemik di
seluruh dunia kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan Chili yang
tidak pernah ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya
ditemukan sedikit kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta
terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua
yang memiliki angka tertinggi dari kusta.2
Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama
kurun waktu 20 tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO
menyatakan ada 220.000 kasus pada tahun 2006. WHO memiliki target untuk
menghilangkan Mycobacterium leprae di dekade berikutnya, meskipun saat
ini masih ada banyak penderita penyakit kusta.3
Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal
bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau
perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering
terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan memperbesar resiko transmisi
dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh penderita yang
fase lepromatus leprosi.1,2,3
Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya
berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab Mycobacterium
leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa tunas kusta
sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun.4
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan
di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat
dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi
tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat
menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia
penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi
anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita
dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk mencari kemungkinan ada
tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang
dengan usia 25-35 tahun.4
D. Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae ditemukan oleh G.A
Hansen pada tahun 1873 yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam
media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk batang dengan ukuran
1-8, lebar 0,2-0,5 biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu.2
Mycobacterium leprae merupakan suatu bakteri tahan asam yang bersifat
intraseluler obligat. Bakteri ini berkembang dengan baik pada bagian tubuh
yang suhunya lebih rendah (dingin) dan tidak dapat dikultur dalam media
buatan. Laki-laki lebih sering terkena daripada wanita. Penularan bakteri ini
bisa melalui infeksi droplet melalui hidung.5
E. Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih
belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan
bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin dan melalui mucosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit
bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae
pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman
yang avirulen dan nontoksis.6
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat
pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwan di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk dalam tubuh dan
bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel
mononuclear, histiosit).7
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di
samping itu sel schwan berfungsi sebagai dieliminasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh
dalam sel schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya
aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan yang progresif.
Infeksi M. Lepra tergantung pada Status Imunitas Sistem Imun Seluler (SIS)
yang dapat diketahui melalui kadar CMI, kemampuan hidup M. Lepra pada
suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama bersifat avirulen dan
nontoksik.7
F. KLASIFIKASI
Jenis Klasifikasi yang umum
A.Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate ( I )
Tuberkuloid ( T )
Borderline – Dimorphous ( B )
Lepromatosa ( L )
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley – Jopling
(1962)
Tuberkuloid ( TT )
Borderline Tuberkuloid ( BT )
Mid- borderline ( BB )
Borderline Lepromatous ( BL )
Lepromatosa ( LL )
C. Klasifikasi untuk kepentingan Program Kusta : Klasifikasi WHO
(1981) dan modifikasi WHO (1988)
Paubasilar ( PB )
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut Kriteri Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid.
Multibasiler ( MB )
Termasuk Kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut criteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe
kusta dengan BTA positif.7
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetap diobati sebagai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA nya saat ini.
2. Bila awalnya di diagnosis tipe MB harus dibuat klasifikasi baru
berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Selain Klasifikasi diatas juga didapatkan :
o Kusta tipe neural
Yaitu penyakit kusta yang ditandai oleh hilangnya fungsi
sensoris pada daeerah sepanjang distribusi sensoris batang saraf
yang menebal (dapat disertai paralysis motoris maupun tidak),
tanpa ditemukannya bercak pada kulit.
o Kusta Histoid
Pada kusta Histoid didapatkan lesi kulit berupa nodula-nodula
dengan kulit sekitarnya normal,secara klinis didapatkan nodula-
nodula licin berkilat, padat, eritematosa, bentuk bulat atau oval
dengan ukuran penampang bervariasi 1 – 20 mm.8
G. MANIFESTASI KLINIS
Pada kebanyakan pasien, pada awal dia menderita, akan muncul makula
dan lesi hipopigmentasi. Presentasi klinis awal ini dikenal sebagai I-Leprosy
dan terjadi pada individu yang tidak memiliki sel mediasi seluler untuk
melawan M.leprae. Satu atau beberapa makula berukuran tidak lebih dari 3-
4cm, muncul dengan permukaan yang halus dan tidak gatal. Lesi dapat
juga berwarna merah pada pasien berkulit terang atau tembaga pada pasien
berkulit gelap. Karakteristik yang sangat penting dari lesi kusta adalah
gangguan Sensasi (anestesi). Pasien biasanya datang dengan hilangnya
sensasi termal, tidak mampu membedakan antara air dingin dan air panas.
Hiperalgesia sering mendahului deteksi dari lesi kusta. Jumlah lesi tergantung
pada genetik dan imunitas seluler pasien.9
1. Tuberkuloid Leprosi (TT)
TT ditandai dengan kehadiran lesi berukuran kecil yang unik atau
sedikit menunjukkan adanya peninggian (papula dan plak) Peninggian ini
menunjukkan kemungkinan adanya central healing. Lesi TT mempunyai
ciri khas yaitu menurunnya jumlah keringat, rambut tubuh yang
menghilang, dan anestesi: perta matermal, taktil, kemudian sensitivitas
nyeri menghilang. Ada pasien dengan kusta tuberkuloid mempunyai
manifestasi klinis daerah anestesi tanpa perubahan warna kulit atau
pembesaran saraf perifer. Penting untuk diingat bahwa lesi pada wajah
dapat menjadikan tanda sensitivitas normal.
Lesi pada kusta tipe TT dapat meniru penyakit berikut:
a. Tinea. Seperti diTT, ada kecenderungan untuk terlihat central
healing; pruritus, ekskoriasi lokal dan bekas luka superficial
penting digunakan untuk membedakan lesi tersebut dari lesi pada
kusta TT.
b. Lupus eritematosa cutaneous.
Lesiter lokalisasi terutama pada wajah dan daerah yang terkena
tubuh lainnya; ada kecenderungan untuk penyembuhan spontan,
atrofi dan jaringan parut.
c. Granuloma annular.
Lesi ditandai dengan kehadiran plakat anular sangat mirip dengan
TT tetapi tes sensitivitasnya normal.
2. Borderline leprosy (BL)
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling, sebagian besar pasien masuk
dalam grup ini biasanya ditemukan adanya keterlibatan beberapa saraf
perifer dan berat. Ketidakstabilan adalah karakteristik utama dari
kelompok ini. Tanpa pengobatan pasien BL dapat menurun ke arah
lepromatosa leprosy (LL) dan kadang-kadang dapat menyajikanaspekklinis
yang khasdariLL. Pada pasien borderline sering sekali terjadi reaksi
reversal. Reaksi reversal terjadi bisa karena obat maupun tidak. Reaksi
reversal ditandai dengan memburuknya lesi kulit dan saraf. Tanpa adanya
perawatan yang adekuat, kelumpuhan sering terlihat selama reaksi.
3. Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi kulit (10 atau 20 atau lebih) yang mirip dengan yang diamati pada
kusta tuberkuloid. Biasanya lesi lebih besar daripada yang diamati dalam
TT. Hal ini sering untuk mengamati lesi satelit dekat lesi yang lebih besar
atau "finger-like " yang memanjang dari tepi plakat atau macula (Gambar
12) ke dalam kulit normal, dan warna bervariasi dari hipokromik sampai
kemerahan. Lesi dapat bervariasi dalam ukuran, bentuk dan warna pada
pasien yang sama. Reaksi tipe 1 sering terjadi dan muncul bengkak/
ulserasi lesi kulit. Saraf sering terlibat dalam reaksi di kusta BT. Fungsi
saraf dapat memburuk dengan cepat, dan diperlukan perawatan segera
untuk mencegah deformitas permanen dan cacat. Pada tes BTA hasilnya
dapat bervariasi,dari negatif ke positif (+ 2).
4. Kusta borderline (BB) atau kustamid-borderline
BBkustaditandai denganadanya plak infiltrat yangukurannya
berbeda-beda, tidak berbatas tegas, dan menyerang beberapa
daerahkulit normal. Kombinasilesi ini memberikan
"Swiss chesee like". Makula, plak, papula, nodu ldan biasanya
ditemukan dalam kombinasi dengan Lesiyang khas. Di kusta BB
terdapat kumpulan lesi tembaga kemerahan, biasanya terdistribusi
simetris. BB kusta ini langka dandianggap terdapat di bagian yang
palingtidak stabil. Pada tes BTA hasilnya dapat bervariasi,dari negatif
ke positif(+ 2 sampai +4).
5. BorderlineLepromatosa(BL)
Seperti dalamjeniskusta lainnya, BLdimulaisebagai
makulahipopigmentas. Pada pasien ini, lesimeluas, dan terdistribusi
simetris. Dengan seiring waktu terdapat makulameluas,
menjadieritematosadan menginfiltrasi. Tepi lesi tidak
teraturdanmenginvasikulit normal. Reaksi Tipe
1dan2kustaseringterjadi pada pasien ini. Pada tes BTA hasilnya sangat
positif
6. Kusta Llepromatosa (LL)
Karena ketidakmampuan untuk mengeluarkan respon mediasi seluler yang
efektif untuk M. Leprae dan akibat penyebaran secara hematogen dari
bakteri basil, pada beberapa pasien muncul banyak lesi hiprokomik dan
terdistribusi simetris. Tanpa pengobatanpasien iniakanmenjadi kusta yang
nonresisten – polar lepromatous (LL).LLinidisebutjuga"lepra bonita"
(kusta cantik). Fenomena Luciodanulserasi luas diamatisebagai progres
dari penyakit pada pasien ini.
Pada pasien LL, keterlibatan mukosa saluran pernapasan atas sering
terjadidan dapat menyebabkanbersin, sekretmukopurulen,
danepistaksis.Pada kasus yang parah, langit-langitdanlaringyang terlibat.
Keterlibatanoftalmologijuga dapat terjadidiLL.
Lagophthalmosmenyebabkan adanya risiko mengeringnya kornea, trauma,
infeksi sekunder, ulserasidan perforasi. Korneaanestesi, iritis, uveitis,
glaukoma, dan kebutaandapat terjadi sebagaiakibat dariketerlambatan
diagnosisdan penanganan yang kurang memadai.
KUSTA MULTIBASILER
Sifat Lepromatosa
( LL)
Borderline
Lepromatosa (BL)
Mid Borderline
( BB )
Lesi
Bentuk
Makula, Infiltrat
difus,papul,nodul
Macula, Plakat,
papul
Plakat,Dome-
shaped
(kubah),Punched-
out
Jumlah Tak
terhitung,praktis
tidak ada kulit
yang sehat
Sukar
dihitung,masih
ada kulit sehat
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,agak
berkilat
Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Tak ada sampai
tak jelas
Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Banyak (ada
globus)
Banyak (ada
globus)
Banyak
Biasanya negative
Agak banyak
Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
KUSTA PAUBASILER
Sifat Borderline
Tuberkuloid (BT)
Tuberkuloid ( TT ) Indeterminate ( I )
Lesi
Bentuk
Makula dibatasi
infiltrat,infiltrat
saja
Makula
saja,makula
dibatasi infiltrat
Hanya makula
Jumlah Beberapa atau satu
dengan satelit
Satu dapat
beberapa
Satu atau beberapa
Distribusi Masih asimetris Asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Anesthesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tak jelas
BTA Negatif atau + 1 Negatif Negative
Tes lepromin Positif lemah Positif kuat ( 3+) Dapat positif
lemah atau negatif
Perbedaan tipe PB dan MB
No PB MB
1. Bercak :
1. Jumlah
2. Ukuran
3. Batas
4. Permukaan
5. Mati rasa
6. Kehilangan
kemampuan
berkeringat, bulu
rontok
7. Distribusi
1-6
kecil dan besar
tegas
kering dan kasar
selalu ada dan jelas
biasanya ada
unilateral/bilateral,
asimetris
Banyak
Kecil
Tidak tegas
Halus dan berkilat
Biasanya tidak jelas
Biasanya tidak ada
Bilateral dan simetris
2. Infiltrat
1. Kulit
2. Mukosa (hidung
tersumbat, perdarahan
hidung)
Tidak ada, kadang ada
Tidak pernah ada
Ada, kadang tidak ada
Ada, kadang tidak ada
3. Nodulus Tidak ada Ada
4. Ciri-ciri khusus Penyembuhan di bag.
Tengah bercak (central
healing)
Ginekomastia,
madarosis, suara parau
5. Penebalan saraf Jumlah sedikit, unilateral,
lebih sering terjadi dini
Jumlah banyak, bilateral,
pada fase lanjut
6. Deformitas (cacat) Biasanya terjadi dini,
asimetris
Pada fase lanjut, simetris
7. Hapusan kulit BTA (-) BTA (+)
Ridley-Jopling
Gambaran Klinis organ tubuh lain yang dapat diserang :
1. Mata : Iritis,Iridosiklitis, gangguan visus sampai
kebutaan
2. Hidung : Epistaksis, hidung pelana.
3. Tulang dan sendi : Absorbsi,mutilasi, arthritis
4. Lidah : ulkus, nodus
5. Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi
6. Kelenjar Limfe : Limfadenitis
7. Rambut : Alopesia, Madarosis
8. Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal,
piolonefritis,nefritisinterstisial
Predileksi Lesi Kulit
Bagian tubuh yang relatif lebih dingin,misalnya pada muka, hidung,
(mukosa), telinga, anggota tubuh dan bagian tubuh yang terbuka.6
Predileksi kerusakan Saraf tepi
Kuman ini lebih sering mengenai saraf tepi yang lebih superfisial dengan
suhu yang relatif lebih dingin.Saraf tepi yang terkena akan menunjukan
berbagai kelainan yaitu :
N.Fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. aurikularis magnus : anestesi daun telinga
N. Radialis
Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. Ulnaris
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Ckelingking dan jari manis
Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
N. Medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan
jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. Peroneus komunis
Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaku gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
N. Tibialis posterior
Anestesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang
dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya
dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering
dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloa pada tubulus
seminiferus testis.1
Manifestasi penyakit yang menunjukan bahwa penyakit kusta masih aktif
adalah :
Kulit : Lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi, eritematosa,
infiltrat atau nodus.
Saraf : Nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah saraf yang
terkena bertambah.
Tanda sisa penyakit kusta :
Kulit : Atrofi, keriput, non-repigmentasi dan bulu hilang
Saraf : Mati rasa persisten, paralysis, kontarktur dan atrofi otot.9
H. DIAGNOSIS
Diagnosis Penyakit kusta di dasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda
utama), yaitu
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopgmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, rasa suhu, rasa nyeri.
2. Penebalan Saraf Tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gannguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom :kulitkering,retak,edema,tempat
pertumbuhan rambut terganggu
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang diperoleh dari biopsi di kulit atau
saraf.11
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan
maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.9
Gejala prodormal penyakit kusta biasanya tidak terlihat dan
penyakit ini tidak dikenali sampai didapatkan erupsi pada kulit. Pada 90%
pasien menunjukan gejala kehilangan sensasi rasa beberapa tahun lebih
dulu sebelum lesi pada kulit tampak. Rangsang suhu adalah sensasi yang
pertama hilang, pasien sulit memebedakan rasa panas dan dingin,
selanjutnya pasien baru kehilangan sensasi raba dan nyeri.Kehilangan
sensasi ini terutama pada tangan dan kaki.2
I. PEMERIKSAAN
1. Anamnesis
a. Keluhan pasien
b. Riwayat kontak dengan pasien
c. Latar belakang keluarga,misalnya keadaan sosial ekonomi (lahir dan
tinggal dimana?)
d. Riwayat pengobatan sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga
kerusakan kulit.
b. Pemeriksaan kulit/dermatologi
i. Persiapan pemeriksaan
a) Tempat
Tempat pemeriksaan harus cukup cahaya, sebaliknya diluar
rumah tetapi tidak boleh langsung di bawah sinar matahari/di
dalam ruangan dengan sinar yang cukup, dengan arah sinar
oblik/miring.
b) Waktu dan pemeriksaan
Pemeriksaan diadakan pada siang hari agar mendapat cukup
cahaya matahari.
c) Orang yang diperiksa
Diberikan penjelasan bagian yang akan diperiksa
ii. Pelaksanaan Pemeriksaan
a) Pemeriksaan pandang
b) Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
Tes Sensoris, dengan menggunakan kapas, jarum serta tabung
reaksi berisi air hangat dan dingin.
Pasien menutup mata saat melakukan pemeriksaan.
c. Pemeriksaan saraf tepi
Dilakukan pada saraf-saraf tepi yang paling sering terlibat
3. Palpasi
a. Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada
tangan dan kaki
b. Kelainan saraf : Pemeriksaan saraf dengan teliti, N. Aurikularis
magnus, N.Ulnaris dan N.Peroneus. Harus dicatat adanya nyeri tekan
dan penebalan saraf, pemeriksaan harus simetris .
Pemeriksaan saraf tepi :
Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
Membesar atau tidak
Pembesaran regular (smooth) atau irreguler,bergumpal
Perabaan keras atau kenyal
Nyeri atau tidak
4. Tes fungsi saraf
a. Tes otonom, berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula
anestesi.
Tes dengan pensil tinta (tes Gunawan)
Pensil tinta digoriskan mulai dari bagian tengah lesi yang
dicurigai terus sampai kedaerah kulit normal.
Tes Pilocarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntikan
pilokarpin subkutan setelah beberapa menit tampak daerah kulit
normal berkeringat,sedangkan daerah lesi tetap kering.
c. Tes motoris
Voluntary Muscle Test
( VMT )
5. Mencari komplikasi9
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada penyakit kusta pemeriksaan yang bisa dilakukan umumny adalah
inspeksi, selain itu pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan anestesi dengan menggunakan jarum atau kapas seperti yang
sudah dijelaskan di atas. Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan
pemeriksaan dengan menggunakan tinta. Selain pemeriksaan terserbut ada
beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menunjang diagnosa kusta.
Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopin digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai degan pewarnaan
terhadap basil tahan asam (BTA), yaitu Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif
pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung
kuman M. leprae.
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat
oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya yaitu untuk
riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
minimmal 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritamtosa dan
paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan
ada tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena atas dasar pengalaman tempat
tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa
setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan ditempat yang
sama pada pegamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengadung sedikit mungkin
darah yang akan menganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus
sampai di dermis melampaui subepidermal clear zone agar mencapai
jaringan yang diharapkan banyak mengadung sel Virchow (sel lepra) yang
didalamnya mengandung kuman M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di
gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yang
klasik, yaitu Ziehl-Neelsen dan cara-cara lain.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik
dilakukan pagi hari yang ditampung dengan sehelai plastik. Perhatikan sifat
cairang hidung tersebut apakah cair, serosa, bening, mukoid, mukopurulen,
purulen, ada darah atau tidak. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa
hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan
kapas lidi. Sebaiknya diambil di daerah septum nasi, selanjutnya dikerjakan
seperti biasa.
Sediaan mukosa hidung sudah jarang dilakukan karena kemungkinan
adanya M. atipik, M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif, bila
diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif terlebih dahulu, rasa nyeri
saat pengambilan.
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan, dibedakan
bentuk utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granuler).
Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan fragmented dan granuler
merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan bentuk solid
dan nonsolid, berarti membdekan antara M. leprae yang hidup dan yang mati.
Dalam praktik susah untuk membedakan bentuk yang solid dan yang tidak
solid karena dipengaruhi banyak faktor.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+
menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak
emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalag IB rata-
rata semua lesi yang dibuat sediaan.
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
denan jumlah solid dan nonsolid.
Rumus :
Syarat perhitungan:
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100
BTA harus mencapai dalam 1000 sampai 10.000 lapangan pandang
- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+
maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
Ada pendapat bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula
dihitung IM-nya tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang
tidak boleh diperkecil atau diperbesat.
Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi anti phenolic glycolipid
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:
- Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)
- Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)
- ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
- ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)
Tes Lepromin
Lepromin adalah suspensi yang berisi M.Lepra yang dimatikan diambil
dari manusia yang terinfeksi dan jaringan Armadillo. Setelah terjadi
inokulasi intradermal,akan timbul reaksi cepat (48 jam, reaksi Fernandez)
juga reaksi lambat (3-4 minggu,reaksi mitsuda).Reaksi Mitsuda
merupakan respon granulomatosis terhadap antigen adalah lebih
tepat.Pasien-pasien dengan kusta tipe TT atau BT mempunyai respon
positif kuat (> 5 mm) akan tetapi pasien dengan tipe LL tidak ada
respon.Tes ini merupakan petunjuk untuk mengetahui fungsi sistem
imunitas seluler seseorang. Respon imunitas seluler terhadap M.Leprae
juga dapat dilihat dengan menggunakan Lymphocite Transformation Test
(LTT) dan Lymphocyte Migration Inhibition Test (LMIT). Dasar test ini
adalah untuk mendeteksi antibodi atau antigen M.Leprae.4
Analisa Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR bisa untuk mendeteksi dan mengidentifikasi M.Leprae.
Tehnik ini sering digunakan ketika basil tahan asam telah ditemukan
tetapi gambaran klinis atau gambaran histopatologinya atipikal.Test
ini tidak berguna saat basil tahan asam tidak ditemukan dengan
mikrosakop cahaya.4
Pemeriksaan Histopatologi
Pada tipe TT didapatkan bangunan epiteloid granuloma dalam
papiladermis,disekitarnya di dapatkan struktur
neovaskuler.Granuloma tertangkap oleh Limfosit yang meluas ke
epidermis dan kadang terbentuk sel datia langhans. Nervus pada
dermal dihancurkan atau mengalami pembengkakan karena adanya
granuloma,tidak didapatkan basil tahan asam.
Pada tipe LL epidermis normal,daerah yang tidak patologik
memisahkan epidermis dari reaksi granulomatous difus dengan
makrofag,sel busa histiosit yang besar (Virchow atau sel lepra)dan
didapatkan banyak basil tahan asam yang bergabung membentuk
globi.Sel epiteloid dan sel datia tidak ditemukan.Granuloma banyak
terdapat di sekitar pembuluh darah,saraf dan kulit kadang ditemukan
banyak sel plasma.Saraf kulit dapat terlihat dengan mudah.
Tipe BT, Granuloma terdiri dari epiteloid dan limfosit,saraf pada kulit
kebanyakan sudah rusak,basil mungkin ditemukan atau tidak ada.
Tipe BB,granuloma terdiri dari epiteloid, saraf kulit mungkin masih
ada dan basil terlihat lebih banyak dari tipe BT.
Tipe BL, granuloma dibangun oleh histiosit,saraf kulit masih ada dan
basil ditemukan lebih banyak dari tipe lainya.3
K. KOMPLIKASI
Reaksi Kusta
Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan
mengenai berbagai gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta,yang
dapat dianggap sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit atau bagian
komplikasi penyakit kusta.Seluruh komplikasi penyakit kusta yang
dimaksud meliputi :
Komplikasi jaringan akibat invasi massif M.leprae
Komplikasi akibat reaksi
Komplikasi akbat imunitas yang menurun
Komplikasi akibat kerusakan saraf
Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta
Penyebab pasti dari reaksi kusta belum diketahui dengan
pasti,kemungkinan reaksi ini menggambarkan reaksi hipersensitifitas
akut terhadap antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan
imunitas yang telah ada.
Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi
kusta antara lain :
Setelah pengobatan antikusta yang intensif
Infeksi rekuren
Pembedahan
Stress fisik
Imunisasi
Kehamilan
Saat-saat setelah melahirkan
Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya,yaitu:
1. Reaksi lepra tipe 1, yang disebabkan oleh hipersensitivitas seluler
2. Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral
3. Fenomene Lucio atau reaksi kusta tipe 3,yang merupakan lanjutan
dari reaksi tipe 2.
Raksi Kusta tipe I
Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 adalah delayed hypersensitivity
reaction. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat.
Jadi pada dasarnya reaksi kusta tipe 1 ini terjadi akibat perubahan
keseimbangan antar imunitas seluler dan basil maka hasil akhir reaksi
tersebut dapat terjadi upgrading/reversal apabila menuju ke arah
tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading apabila menuju
kebentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).
Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat
digolongkan sebagai berikut :
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang telah ada
menjadi lepromatosa
Lesi yang telah ada
menjadi eritematosa.
Timbul lesi baru kadang-
kadang disertai panas dan
malaise.
Saraf Membesar tidak nyeri
fungsi tidak terganggu.
lesi kurang dari 6 minggu
Mrmbesar,nyeri,fungsi
terganggu berlangsung
lebih dari 6 minggu
Kulit dan saraf bersama-
sama
Lesi yang telah ada
menjadi lebih
eritematosa,nyeri saraf
berlangsung kurang dari
6 minggu
Lesi kulilt yang
eritematosa disertai
ulserasi atau edema pada
tangan/kaki dan
fungsinya
terganggu,berlangsung >
6 mg
Reaksi Kusta tipe II
Reaksi kusta tipe 2 ini dikenal dengan nama Eritema Nodusum
Leprosum (ENL). Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut comb dan Gell, antigen berasal dari produk kuman yang telah
mati dan bereaksi dengan antibody membentuk kompleks Ag-Ab yang
mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL.Jadi ENL merupakan
reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom komplek
imun.Terutama terjadi pada bentuk LL dan kadang-kadang pada bentuk
BL,biasanya terjadi gejala sistemik.
Baik Reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungannya dengan
pemberian pengobatan antikusta hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim
terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir
pengobatan karena basil telah menjadi granular.Selain itu pada reaksi ini
tidak terlihat gambaran perubahan lesi kusta.
Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut :
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksiberat
Kulit Timbul sedikit nodus
yang beberapa
diantaranya terjadi
ulserasi.Disertai demam
ringan dan malaise
banyak nodus yang nyeri
dan mengalami ulserasi
disertai demam tinggi dan
malaise
Saraf Saraf membesar tetapi
nyeri dan fungsinya tidak
terganggu
Saraf membesar ,nyeri
dan fungsinya terganggu.
Mata Tidak ada gangguan Nyeri,penurunan visus
dan merah disekitar
limbus
Testis Lunak,tidak nyeri Lunak,nyeri dan
membesar
Kulit,saraf,mata dan
testis bersama-sama
Gejalanya seperti tersebut
diatas
Gejalanya seperti tersebut
diatas disertai keadaan
sakit yang keras dan
nyeri yang sangat.
Fenomena Lucio
Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy ) yang
ditetapkan pertama kali oleh Lucio dan Alvarado pada tahun 1852 di
mexico adalah salah satu tipe dari kusta dengan gambaran klinik kusta
tipe muiltibasiler.Gambaran klinis lcio leprosy umumnya status generalis
tidak ditemukan kelainan, kulit terlihat eritem yang menebal dan
mengkilat, kerontokan rambut, penebalan kelopak mata sehingga
penderita terlihat mengantuk dan melankolik.Penurunan sensoris terjadi
biasanya setelah kelainan kulit menghilang. Sama seperti pada kusta tipe
lepromatosa dapat terjadi edema dan ulkus pada kedua tungkai.
Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa hidung menyebabkan
gejala-gejala hidung dan epistaksis, mengenai laring sehingga suara
menjadi serak dan iktiosis pada fase lanjut. Namun demikian tidak
terdapat nodul, kelemahan motorik, kontraksi jari-jari dan kerusakan
mata.
Pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan anemia normokrom
normositer ringan dan pada pemeriksaan bubur jaringan kulit dengan
pewarnaan Zeihl Neelsen ditemukan banyak basil tahan asam. Kerusakan
akibat kusta dapat menyebabkan ulserasi, selulitis, skar da destruksi
tulang.Kerusakan pada mata dapat terjadi lagoftalmus, ectropion dan
entropion.
Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0:
Tidak ada gangguan sensibilitas,tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 1:
Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2:
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 :
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta;tidak ada gannguan penglihatan
Tingkat 1 :
Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan
Tingkat 2 :
Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60;tidak dapat menghitung jari pada jarak
6 meter
L. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding :
Ada macula hipopigmentasi
Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
Ada daerah anestesi
Ada pembengkaan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
Tipe I ( Makula hipopigmentasi ) :
o Tinea versikolor
o Vitiligo
o Ptiriasis Rosea
o Dermatitis seboroika
o Liken simplek kronik
Tipe TT ( Makula eritematosa dengan pinggir meninggi )
o Tinea Corporis
o Psoriasis
o Lupus eritematosus tipe discoid
o Ptiriasis rosea
Tipe BT,BB,BL (Infiltrat merah tak berbatas tegas)
o Selulitis
o Erisipelas
o Psoriasis
Tipe LL ( Bentuk nodula )
o Lupus eritematosissistemik
o Dermatomiositis
o Erupsi obat
M. PENATALAKSANAAN
Tujuan farmako terapi pada penderita Morbus hansen adalah untuk
mengurangi morbiditas, mencegah komplikasi dan menghilangkan
penyakit ini nantinya.
Manajemen paenatalaksanaan penderita mencakup terapi
medikamentosa diantaranya kemoterapi untuk menghentikan proses
infeksi, penatalaksanaan untuk meminimalkan deformitas berupa
rehabilitasi fisik,sosial dan psikologi. Deformitas potensial dapat dicegah
dengan memberi edukasi pada pasien tentang adanya kerusakan saraf
dengan perawatan diri untuk mengurangi kerusakan yang lain.
Mengetahui perjalanan penyakit pasien sangat penting untuk
mengetahui kepatuhan pasien dalam berobat, memonitor resistensi
terhadap obat dan reaksi yang timbul akibat obat.
A. MEDIKAMENTOSA
Progaram Multi Drug Terapi (MDT) dimulai pada tahun 1981 yaitu
ketika kelompokstudi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan
rekomendasi pengobatan kusta dengan kombinasi yang selanjutnya dikenal
sebagai rejimen MDT-WHO.Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan
Dapson, Rifampisin dan klofasimin. Kombinasi obat-obatan ini dapat
membunuh bakteri patogen dan menyembuhkan pasien.
MDT adalah suatu terapi yang aman, efektif dan mudah didapatkan
oleh penderita yang kurang mampu.
Obat-obat pada rejimen MDT-WHO
1.Dapson (DDS, 4,4 diamino difenil sulfon). Obat ini bersifat
bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Jadi
tidak sperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai anti metabolit
PABA.Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan
enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson
biasanya diberikan dalam dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk
dewasa atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Indeks morfologi kuman
pada penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi 0
setelah 5 sampai 6 bulan. Obat sangat murah, efektif dan relatif
aman.Efek samping yang mungkin timbul antara lain : erupsi obat,
Anemia hemolitik, leukopenia, insomnia neuropati, nekrosis
epidermal toksik,hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek
samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2.Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan
bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim.Rifampisin bekerja dengan
menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara
irreversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg bb) mampu
membunuh kuman kira-kira 99,9 % dalam waktu beberapa
hari.Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi ( 900-1200 mg)
dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrom.Pemberian
600 mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah :
hepatotoksik,nefrotoksik,gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. Obat
ini harganya mahal dan saat ini telah dilaporkan adanya resistensi.
3. Klofazimin (lamprene –CIBA GEIGY : B-663). Obat ini
merupakan turunan zat warna iminofenazine dan mempunyai efek
bakteriostatik sama dengan dapson. Bekerjanya mungkin melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen.Di samping itu obat ini juga
mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan
reaksi kusta khususnya : ENL.Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari
atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1mg/kg
BB/hari.Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan
untuk mengurangi reaksi tipe 1 dan 2. Kekurangan obat ini harganya
mahal di samping itu menyebabkan pigmentasi kulit yang sering
merupakan masalah pada ketaatan penderita.Efek sampingnya hanya
terjadi pada dosis tinggi,berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri
abdomen, diare, anoreksi dan vomitus).
4. Etionamid dan protionamid, Kedua obat ini merupakan obat
antituberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada kusta. Dahulu dipakai
sebagai pengganti klofazimin, pada kasus-kasus yang keberatan
karena pigmentasinya obat ini bekerja bakteriostatik tetapi karena
cepat tiombul resistensi, lebih toksik harganya mahal serta efek
hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen
pengobatan kusta.
Skema Rejimen MDT-WHO
Rejimemen MDT-WHO baku terdiri atas kombinasi obat-obatan dapson,
Rifampisin dan klofazimin dengan skema menurut WHO sebagai berikut :
1. Rejimen PB untuk kusta PB, terdiri atas Rifampisin 600 mg
sebulan sekali, di bawah pengawasan ditambah dapson 100
mg/hr (1-2 mg/kgBB) selama 6 bulan
2. Rejimen MB untuk kusta MB, terdiri atas kombinasi
Rifampisisn 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan,
dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg
sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama
pengobatan minimal 2 tahun dan juga mungkin sampai BTA
negatif. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa untuk anak-
anak disesuaikan dengan berat badan
Obat dan dosis Rejimen MDT-PBObat Dewasa Anak
BB< 35 kg BB > 35 kg 10-14 tahun
Rifampisin 450 mg/bln
(diawasi)
600 mg/bln
(diawasi)
450 mg/bln
(diawasi)
Dapson (swakelola) 50 mg/hr (1-2 mg/kg
BB/hr)
100mg/hr 50 mg/hr
1-2 mg/kgBB/hari)
Obat kusta dalam Rejimen MDT MB
Obat Dewasa Anak
BB<35 kg BB . 35 kg 10-14 tahun
Rifampisin 450mg/bln (diawasi) 600mg/bulan (diawasi) 450 mg/bln
(12-15 mg/kgBB/bl)
(diawsi
Klofazimin 300 mg/bln diawasi dan
diteruskan 50 mg/hr
swakelola
200 mg/bln diawasi
diteruskan 50 mg selang
sehari
Dapson swakelola 50 mg/hr
(1-2 mg/kg BB/hari)
100mg/hari 50 mg/hari
Obat Kusta baru
Dalam pelaksanaanya program MDT WHO masih ada beberapa
masalah yang timbul, yaitu adanya persisten, resistensi, rifampisin dan
lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB
rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah antara lain:
masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan late reversal
Reaction yang timbul setelah MDT. Oleh karena itu diperlukan obat-obat
baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat
rejimen MDT saat ini, obat-obat kusta baru yang ideal memiliki syarat
antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.Leprae, tidak antagonis
dengan obat yang sudah ada aman dan akseptabilitas penderita baik dapat di
berikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari.Obat-
obatan yang dipakai yaitu :
1. Ofloksasin 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600mg/hari
selama 1 bulan baik untuk penderita kusta MB atau PB
2. Minosiklin 100 mg/hari
3. Klaritromisin 500 mg/hari untuk penderita kusta tipe MB.3
B. NON MEDIKAMENTOSA
Edukasi :
- Pasien harus diberi penjelasan tentang diagnosis dan prognosis
penyakitnya.
- Pasien harus diberitahu bagaimana tentang hilangnya sensasi rasa
yang terjadi, pasien harus berhati-hati dan mencegah terjadinya
trauma dengan menggunakan alas kaki.
- Mengetahui kapan terjadinya anestesi pada anggota tubuh dan
kelemahanya serta kerusakan pada matanya.
- Pasien harus mempelajari bagaimana mengenal timbulnya reaksi
kusta dan ia harus mendapatkan pengobatan secepatnya jika hal ini
terjadi.
- Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika
penderita dapat mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan berlatih
untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut.
- Kemungkinan pasien membutuhkan konsultasi psikologi dalam
menghadapi penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di
masyarakat.
- Fisio terapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi.
- Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian,
jangan terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Clinical aspects of leprosy .Carolina Talhari, MD, PhDa,b, Sinésio
Talhari, MD, PhDc, Gerson Oliveira Penna, MD, PhDd
2. Djuanda A. Kusta. Dalam : Kosasih, I made Wisnu, Syamsoe- Daili,
Menaldi. Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi V. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 2007 ; 173-80.
3. Siregar, R.S. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi kedua.
Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2005.h.29-34.
4. Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. Leprosi. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S.,
Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S., editor. Buku ajar parasitologi
kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: FK UI; 2008.h.319-25.
5. Fitz patrick atlas
6. Djuanda A. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan.Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1997.
7. Rea, L Modlin. Leprosy. In : Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 6th ed. Vol. I, Mc Graw Hill, New York, 2003 : 1962-1972
8. Pinheiro RO. Mycobacterium leprae–host-cell interactions and genetic
determinants in leprosy: an overview.Future Microbiol. Feb 2011;
6(2): 217–230.
9. Rocha AS. Drug and Multidrug Resistance among Mycobacterium
leprae Isolates from Brazilian Relapsed Leprosy Patients. J Clin
Microbiol. Jun 2012; 50(6): 1912–1917.
10.Duthi MS. Rapid Quantitative Serological Test for Detection of
Infection with Mycobacterium leprae, the Causative Agent of
Leprosy. J Clin Microbiol. Feb 2014; 52(2): 613–619.
STATUS RESPONSI
ILMUKESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp. KK, M.Sc
Nama : Dwi Budi Narityastuti
NIM : G 99141166
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Bp. S
No rekam medik : 01287154
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Polokarto, Sukoharjo
Tanggal periksa : 02 Februari 2015
B. Keluhan utama
Muncul benjolan kemerahan, mual, muntah, dan demam sejak 1 minggu
yang lalu
C. Riwayat penyakit sekarang
Sejak kurang lebih 1 minggu ini pasien merasakan mual dan
muntah.Pasien tidak bisa makan-makanan berat.Selain itu, pasien juga
merasakan demam sejak 3 hari yang lalu.Pasien dalam pengobatan MDT
MB sejak 10 hari yang lalu.Pada hari kedua setelah mengkonsumsi obat
tersebut, muncul bentol-bentol di tangan dan kaki.Keluhan dirasakan
semakin memberat.Pasien merasa nyeri diseluruh tubuh dan tebal-tebal di
kakinya.Pasien juga merasa mati rasa.
D. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat atopi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat kontak dengan penyakit sejenis : disangkal
E. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat atopi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
Pasien biasa mandi 2 kali sehari, dengan air sumur pompa. Ganti pakaian
dalam 2 kali sehari dan pakaian luar 2 kali sehari.
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita bekerja sebagai wiraswasta. Selama 5 tahun yang lalu pasien
bekerja sebagai pelayan bakso di Medan. Pasien berobat dengan
menggunakan BPJS.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign : TD : 120/80 mmHg
HR : 116 x/ menit
RR : 32 x/ menit
T : 38,6o C
Kepala : mesocephal, hidung pelana (-)
Mata : lagoftalmus (-), madarosis (+)
Mulut : dalam batas normal
Leher : lihat status dermatologi
Thorax Anterior : dalam batas normal
ThoraxPosterior : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas atas : lihat status dermatologi
Ekstremitas bawah : lihat status dermatologi
B. Status dermatologi
Regio facialis : tampak nodul eritem multipel diskret dan madarosis
Regio brachii-antebrachii dextra: tampak nodul eritem multiple diskret
Regio cruris dextra et sinistra : tampak nodul eritem multiple diskret
Regio Punggung: tampak makula eritem.
III. PEMERIKSAAN SARAF
A. Sensibilitas Lesi
Raba : hipoestesi
Tajam/tumpul : hipoestesi
Panas/dingin : hipoestesi
B. Pembesaran Saraf
N. Aurikularis magnus : -/-
N. Ulnaris : -/+
N. Peroneus Lateralis : -/-
N. Tibialis posterior : -/-
C. Pemeriksaan Sensorik
N. Ulnaris : normal/hipoestesi
N. Medianus : normal/hipoestesi
N. Tibialis Posterior : hipoestesi/hipoastesi
D. Pemeriksaan Motorik
N. Ulnaris : menurun/menurun
N. Medianus : normal/menurun
N. Radialis : menurun/menurun
N. Tibialis Posterior : menurun/menurun
IV. DIAGNOSIS BANDING
Morbus hansen tipe multi basiler dengan reaksi ENL
Tinea korporis
Psoriasis gutata
Ptiriasis rosea
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bakterioskopik:
Telinga kanan : Indeks Bakteri (+1)
Telinga kiri : Indeks Bakteri (+1)
Lesi di punggung: Indeks Bakteri (-)
2. Pemeriksaan KOH : (-)
Usul pemeriksaan histopatologi
Usul pemeriksaan laboratorium darah
VI. DIAGNOSIS KERJA
Morbus hansen tipe multi basiler
Cacat derajat 1
Reaksi kusta didapatkan Eritema Nodusum Lepromatous
VII. TERAPI
Non medikamentosa
1. Edukasi pasien tentang penyakitnya, cara meminum obat serta efek samping
pemakaian obat
2. Konsultasi ke bagian neurologi untuk menangani gangguan saraf
3. Bekerjasama ke Puskesmas tempat pasien mengambil obat MDT MB untuk
pemantauan terapi
4. Memakai sandal atau pelindung kaki untuk mencegah terjadinya luka
5. Memakai sarung tangan jika akan memegang benda panas
6. Merawat kulit kaki agar tidak kering dan pecah
7. Menggunakan masker untuk berjaga-jaga
Medikamentosa
1. MDT MB
Diminum di depan petugaskesehatan : hari ke 1
2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg)
3 tablet Lampren @ 100 mg (300 mg)
1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet Lampren 50 mg
1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
1 blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan: 12 blister diminum selama 12-18 bulan
2. Metil prednisolon 36 mg/ hari pagi hari (2 minggu pertama)
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad kosmetikam : dubia ad malam