Download - Republika Mangrove

Transcript

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Hutan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, terancam punah karena kini tersisa sekitar 35 persen dari luas 24 ribu hektare, kata Ketua Litbang DPD Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia Kabupaten Aceh Tamiang Sayed Mahdi.

"Berkurangnya luas hutan bakau tersebut akibat pembukaan tambak, pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan penebangan secara serampangan untuk bahan baku arang," kata Ketua Litbang DPD Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia (IPKINDO) Kabupaten Aceh Tamiang Sayed Mahdi di Banda Aceh, Jumat.

Luas kawasan bakau di Aceh Tamiang tersebar di tiga kecamatan, yakni Seruway, Bendahara dan Kecamatan Manyak Payed. Berbagai species hidup direrimbuan hutan tersebut, bahkan paling dominan species Aviceania (api-api), Rhizophora apiculatta, Rhizophora mucronata.

Sayed menambahkan, sesuai hasil survei para ahli, hutan bakau mempunyai fungsi penting bagi penyelamatan darat dari keganasan ombak.

Mangrove seluas 200 meter persegi dengan kerapatan yang memadai dapat meredam kekuatan gelombang pasang, termasuk tsunami setinggi 30 hingga 50 persen.

Namun ungkap Sayed, menurut beberapa pemikir lainnya akan lebih menguntungkan lagi jika hutan mangrove dikonversi menjadi tambak.

Tetapi, lanjutnya, berdasarkan hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, pengurangan hutan mangrove menjadi tambak akan menghasilkan ikan sebanyak 247 Kg/tahun. Namun akan menyebabkan pengurangan produksi ikan tangkapan 840 Kg/tahun.

"Gambaran tersebut menunjukkan proporsi tertinggi ekonomis dari mangrove apabila tetap terus dipertahankan sebagai kawasan lindung, karena akan menurunkan produktivitas tangkapan secara keseluruhan," ujarnya.

Hutan lindung Mangrove yang terletak di Kecamatan Seruway Desa Lubuk Damar kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh terancam hilang. Alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi industri arang kayu menjadi penyebabnya.

Ketua Divisi Advokasi Walhi Aceh, Basyuni mengatakan sejauh ini belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat. "Beberapa perusahaan sawit mengekploitasi kawasan tersebut," ujarnya di Banda Aceh, Rabu (4/8).

Menurutnya, hutan Mangrove yang terancam punah tersebut seluas 3.000 hektar. Dari jumlah tersebut, sebanyak 600 hektar merupakan hutan lindung mangrove dan 2.400 hektar lainnya adalah kawasan hutan produksi bakau.

Akibatnya, kata Basyuni, mata pencaharian penduduk yang bergantung pada laut semakin terancam dan punah, karena rusaknya ekosistem dan populasi habitat yang ada seperti Kerang, Seteng (yang mengandung mutiara) dan burung Rangkok. Menurut Basyuni kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dimulai dari tahun 1990.

Dampak lainnya yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan mangrove adalah memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit. "Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menyebabkan sebuah desa di kawasan tersebut yaitu Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway berpindah sebanyak tiga kali akibat abrasi pantai," ujarnya.

Walhi Aceh mengharapkan Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri terkait segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan mangrove di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan melakukan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan.HUTAN MANGROVE ACEH TAMIANG TERANCAM PUNAHKetua Litbang DPD Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia (IPKINDO) Kabupaten Aceh Tamiang Sayed Mahdi mengatakan hutan Bakau di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh terancam punah karena kini yang tersisa hanya sekitar 35 persen dari luas 24.000 hektare. Berkurangnya luas hutan bakau tersebut akibat pembukaan tambak, pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan penebangan secara serampangan untuk bahan baku arang tanpa memikirkan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.Sayed menambahkan, kondisi tersebut menjadi salah satu titik kritis kerusakan lingkungan di kawasan pesisir pantai. Sesuai hasil survei para ahli, hutan bakau mempunyai fungsi penting bagi penyelamatan darat dari keganasan ombak. Padahal hutan mangrove dengan luas 200 meter persegi dengan kerapatan yang memadai dapat meredam kekuatan gelombang laut saat pasang termasuk menahan ketinggian hempasan tsunami. Jika tidak ada upaya pelestarian hutan mangrove maka ini merupakan ancaman bagi masyarakat dan juga spesies hewan yang berada pesisir serta disekitar hutan mangrove. [FHI/Antara]ndosiar.com,Aceh- Sedikitnya enam belas ribu hektar, dari dua puluh tiga ribu hektar kawasan hutan lindung bakau di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, rusak berat, dan sekarang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit dan lahan tambak. Rusaknya lingkungan bakau ini akibat aksi perambahan hutan yang dilakukan baik oleh kelompok maupun perorangan. Anehnya pemerintah setempat tidak mengambil pusing dengan makin rusaknya ekosistem ini.Hamparan lahan perkebunan sawit yang berusia dini ini, sebelumnya merupakan kawasan hutan bakau yang di lindungi. Terletak di bibir pantai Kecamatan Seruway, Kebupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.Di Kabupaten Aceh Tamiang, paling tidak tujuh puluh persen atau sekitar enam belas ribu hektar kawasan hutan bakau dalam kondisi kritis karena rusak parah. Keprihatinan atas kelangsungan hutan bakau dan kawasan yang dilindungi ini, menarik perhatian para pegiat lingkungan.Mereka mulai melakukan aksi penyelamatan hutan lindung bakau di sepanjang pantai dan sungai di Kecamatan Seruway. Mereka juga kecewa pemerintah setempat yang selama ini tidak berupaya mencegah aksi perusakan hutan lindung bakau ini. Sikap yang tidak ambil pusing oleh pemerintah setempat ini, diduga karena pejabat di kabupaten juga ikut merusak sekitar dua ratus delapan belas hektar hutan bakau yang mereka jadikan kebun sawit, yang berada di Desa Lubuk Damar, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang.Sayed Zainal, Direktur Eksekutif LSM Lembaga Advokasi Hutan Lestari, sangat mengkhawatirkan kelangsungan hutan lindung bakau di Kecamatan Seruway. Kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, Sayed Zainal juga mengharapkan untuk tidak mengeluarkan izin perusahaan yang ingin mengalihkan fungsikan hutan bakau menjadi lahan sawit. Hutan lindung Mangrove yang terletak di Kecamatan Seruway Desa Lubuk Damar kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh terancam hilang akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi industri arang kayu. Sayangnya, belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat. Demikian disampaikan oleh Divisi Advokasi & Kampanye Walhi Aceh, Basyuni, melalui rilisnya yang dierima The Globe Journal, Rabu (4/8). Investigasi oleh Tim WALHI Aceh yang terdiri dari Basyuni, Udien dan Taharuddin Tajomendapati bahwa hutan Mangrove yang terancam punah tersebut seluas 3000 H. Dari jumlah tersebut, 600 ha merupakan hutan lindung Mangrove dan 2400 hektar kawasan hutan produksi bakau. Pelaku alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah anak perusahaan PT Mopoli Raya yaitu PT Sumber Asih dengan memakai tangan tokoh masyarakat dan pengusaha perkebunan setempat yang bertempat tinggal di Kualasimpang - Aceh Tamiang dan Medan - Sumatera Utara, juga turut serta Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mengatasnamakan masyarakat.Perkebunan kelapa sawit milik PT Sumber Asih dengan luas 3000 Ha yang digunakan, hanya 1500 Ha saja yang ada surat keterangan penggunaan lahan sedangkan selebihnya tidak ada surat keterangan. Sementara dokumen Amdal tidak dimiliki oleh perusahaan tersebut.Pada kawasan pantai, terjadi kerusakan Garis Sempadan Pantai (GSP) dan Sungai di kecamatan Seruway kawasan hutan bakau Aceh Tamiang, mengakibatkan kondisi tutupan lahan menjadi kritis. Lahan Sawit PT Sumber Asih yang masuk ke dalam hutan lindung Mangrove seluas 600 Ha.Alur-alur kecil dalam kawasan lindung dan hutan produksi ditutup (dibedeng) dengan menggunakan alat berat (Backhoe ) untuk dikeringkan sehingga ekosistem pantai rusak. Pengeringan tersebut mengakibatkan abrasi sempadan Sungai Tamiang, khususnya diwilayah Desa Sungai Kuruk, dampak dari tutupnya alur-alur kecil yang berada di dalam kawasan hutan bakau.Mata pencaharian penduduk yang bergantung pada laut semakin terancam dan punah, dikarenakan rusaknya ekosistem dan populasi habitat yang ada seperti Kerang, Seteng (yang mengandung mutiara) dan burung Rangkok. WALHI Aceh menyatakan kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dimulai dari tahun 1990. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Pemerintah Aceh (SK) Nomor 19/1999 tentang Penyesuaian Arahan Fungsi Hutan (PAFH) kedalam rencana tata ruang wilayah Pemerintah Aceh (PA) dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/KPT-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Pemerintah Aceh seluas lebih kurang 3.549.813 hektar. Bahwa luas wilayah Hutan Bakau (Mangrove) wilayah pesisir Aceh Tamiang lebih kurang 22.135 hektar, terdiri atas kawasan lindung seluas 5.000 hektar dan kawasan hutan produksi lebih kurang 16.635 hektar. Kendati demikian dapat disimpulkan bahwa kerusakan kawasan hutan bakau di Seruway, sudah masuk kategori rusak berat (kritis) apabila dihubungkan dengan kriteria baku kerusakan hutan Mangrove berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, tentang "Kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan Mangrove", maka status kondisi Hutan Mangrove Aceh Tamiang diklasifikasikan dalam tingkat C atau rusak (penutupan


Top Related