REKONSTRUKSI MODEL 3D MENGGUNAKAN FOTO UDARA
UNTUK MENDUGA TINGGI OBJEK
HAFZAL HANIEF
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rekonstruksi Model 3D
Menggunakan Foto Udara untuk Menduga Tinggi Objek adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Hafzal Hanief
NIM G651100374
i
RINGKASAN
HAFZAL HANIEF. Rekonstruksi Model 3D Menggunakan Foto Udara untuk
Menduga Tinggi Objek. Dibimbing oleh SRI NURDIATI dan DENI
SUWARDHI.
Perkembangan teknologi kamera digital non-metrik dan Unmanned
Aerial Vehicle (UAV) membuka peluang bagi dunia fotogrametri untuk
menghasilkan peta digital 3-Dimensi (3D) dengan biaya yang efektif dan
operasional yang lebih mudah. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan faktor
apa saja yang mempengaruhi dan menentukan ketelitian tinggi objek dari
ekstraksi model 3D hasil rekonstruksi. Kamera yang ditempatkan pada UAV
dapat menghasilkan citra atau foto udara suatu area di permukaan bumi. Pada
pemotretan udara UAV ditempatkan pada posisi tertentu menggunakan sistem
autopilot dengan menerapkan teknologi Global Postioning System. UAV
diterbangkan pada ketinggian sekitar 50 m, 60 m dan 70 m dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh tinggi terbang terhadap akurasi hasil rekonstruksi 3D. Dua
atau lebih foto udara yang saling overlap (bertampalan) dapat diolah menjadi
model 3D dengan menerapkan prinsip collinearity dan epipolar geometry yang
diproses menggunakan algoritme rekonstruksi 3D. Akurasi tinggi objek dari
rekonstruksi 3D menggunakan 2 foto dibandingkan dengan rekonstruksi 3D
menggunakan 3 foto.
Karena kamera digital non-metrik memiliki ketidakstabilan, maka
kalibrasi kamera sebaiknya dilakukan sebelum, pada saat dan setelah pemotretan
udara dilakukan agar kualitas ekstraksi spasial yang dihasilkan memiliki akurasi
yang baik dan terukur. Penelitian dilakukan menggunakan kamera digital Sony
NEX7 yang memiliki resolusi 24 megapiksel. UAV yang dipilih adalah
Hexacopter dan rekonstruksi 3D dilakukan menggunakan Camera Calibration
Toolbox ditambah program khusus yang dikembangkan dalam MATLAB.
Validasi tinggi objek dari model 3D dilakukan dengan membandingkan tinggi
objek hasil ekstraksi spasial dengan tinggi objek hasil pengukuran langsung
menggunakan Electronic Total Station yang memiliki akurasi dalam fraksi mm.
Akurasi tinggi objek yang dapat diperoleh pada penelitian ini mencapai fraksi
mm, kesalahan prediksi tinggi terbesar mencapai 15.2 cm pada ketinggian
terbang 70 m di atas permukaan tanah dan rata-rata persentase kesalahan relatif
sebesar 4.07.
Kata kunci: collinearity, ekstraksi spasial, epipolar geometry, rekonstruksi 3D,
UAV
ii
SUMMARY
HAFZAL HANIEF. 3D Model Reconstruction using Aerial Photo to Measure
Object Height. Supervised by SRI NURDIATI and DENI SUWARDHI.
3D reconstruction, especially for height extraction, using digital aerial
photos taken from a non-metric camera and Unmanned Aerial Vehicle (UAV) is
a challenging study. The purposes of the study are to determine the factors affect
the accuracy of an object’s height reveal from a 3D model and establish
procedures to deliver the optimal result. Two or more overlapping aerial photos
can be constructed into the 3D model by applying the principles of collinearity
and epipolar geometry using 3D reconstruction algorithm.
Due to the instability of non-metric digital camera, the camera must be
calibrated before 3D reconstruction is processed, in that way the quality of spatial
extraction can be then measured. The study is conducted using 24 megapixels
resolution Sony NEX7 digital camera and Hexacopter UAV. UAV was flown to a
height of 50 m, 60 m and 70 m and placed at a certain position in order to get
some height variations of camera. Camera Calibration Toolbox is utilized to
calculate intrinsik parameters of the camera and a specific program is developed
using MATLAB in order to build the 3D model and to obtain the object’s height.
The result validation is done by comparing the height from 3D model with that
one measured using Electronic Total Station. The accuracy of the object’s height
up to 1 mm successfully achieved, with the largest height prediction error reaches
15.2 cm at 70 m flying height above ground level and average percentage error
4.07 for 20 objects.
Key words: 3D reconstruction, collinearity, epipolar geometry, UAV
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer
REKONSTRUKSI MODEL 3D MENGGUNAKAN FOTO UDARA
UNTUK MENDUGA TINGGI OBJEK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
HAFZAL HANIEF
Penguji dari luar Komisi Pembimbing : Dr Ir Agus Buono, MSi MKom
Judul Tesis : Rekonstruksi Model 3D Menggunakan Foto Udara untuk Menduga Tinggi Objek
Nama : Hafzal Hanief NIM : G65 11 00374
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Ketua
~ Dr Den! Suwardhi, ST MT
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Komputer
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
Dr a i Nurhadryani, SSi MT
Tanggal Ujian: 18 Juli 2013
Judul Tesis : Rekonstruksi Model 3D Menggunakan Foto Udara untuk Menduga
Tinggi Objek
Nama : Hafzal Hanief
NIM : G651100374
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Sri Nurdiati, MSc
Ketua
Dr Deni Suwardhi, ST MT
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Komputer
Dr Yani Nurhadryani, SSi MT
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 18 Juli 2013
Tanggal Lulus:
iii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah
ekstraksi spasial, dengan judul Rekonstruksi Model 3D Menggunakan Foto Udara
untuk Menduga Tinggi Objek.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sri Nurdiati, MSc dan
Bapak Dr Deni Suwardhi, ST, MT selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Agus
Buono MSi, MKom dan Ibu Dr Yani Nurhadryani, SSi, MT sebagai penguji dan
telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
istri, anak-anak, bapak, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya, serta seluruh Dosen dan staf Departemen Ilmu Komputer IPB
serta teman-teman di Data dan Geomatika UTC PERTAMINA HULU atas kerja
sama dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Hafzal Hanief
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR v 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian 2 1.4 Manfaat Penelitian 2
1.5 Ruang Lingkup Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Close-Range Photogrammetry 4 2.2 Geometri dan Pengambilan Citra Foto Digital 4 2.3 Epipolar Geometry 8 2.4 Resolusi Kedalaman dalam Pengaturan Stereo 9 2.5 Kalibrasi Kamera 11
3 METODE 13 3.1 Studi pustaka 14 3.2 Pengambilan Data 15 3.3 Alat 20
3.3.1 Kamera Digital 20 3.3.2 Multirotor 21 3.3.3 Electronic Total Station 21
3.4 Prosedur Pengolahan dan Analisis Data 23 3.4.1 Kalibrasi Kamera 23 3.4.2 Rekonstruksi 3D 25
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 28 4.1 Hasil Kalibrasi Kamera 28 4.2 Hasil Rekonstruksi 3D 34
5 SIMPULAN DAN SARAN 51 DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 53
v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Ukuran Tinggi Target 18 Tabel 3.2 Data hasil uji coba program 26 Tabel 4.1 Parameter intrinsik hasil tiga kalibrasi 29 Tabel 4.2 Parameter intrinsik kamera hasil kalibrasi dengan mengubah
konfigurasi posisi papan kalibrasi dan menggunakan foto
udara 33 Tabel 4.3 Hasil kalibrasi kamera : 6 set parameter intrinsik 34 Tabel 4.4 Kesalahan titik sekawan 35
Tabel 4.5 Perbedaan tinggi titik sekawan 36 Tabel 4.6 Contoh perbedaan tinggi target T5 hasil rekonstruksi 39 Tabel 4.7 RMS perbedaan tinggi 20 target hasil rekonstruksi 41 Tabel 4.8 Perbedaan tinggi target hasil rekonstruksi 3D dengan
kombinasi jumlah foto dan tinggi terbang 43 Tabel 4.9 Perbedaan tinggi terkecil salah satu target dari 20 target
dengan beberapa kombinasi parameter intrinsik, jumlah foto
dan tinggi terbang 44 Tabel 4.10 Perbedaan tinggi terbesar salah satu target dari 20 target
dengan beberapa kombinasi parameter intrinsik, jumlah foto
dan tinggi terbang 45
Tabel 4.11 Nilai resolusi kedalaman Rh dari 3 pasang foto dari 3 tinggi
terbang menggunakan 6 parameter intrinsik 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pin-hole Model dari sudut pandang kamera dengan dua
sistem koordinat W (eksternal) dan C (kamera) (Cyganek
dan Siebert,2009) 5 Gambar 2.2 Perpotongan berkas sinar dari banyak foto (Atkinson,
1996) 7 Gambar 2.3 Epipolar Geometry (Cyganek dan Siebert,2009) 8 Gambar 2.4 Fenomena keterbatasan ketelitian dari pengukuran
kedalaman karena bertambahnya jarak objek dari kamera
(Cyganek dan Siebert, 2009) 9 Gambar 2.5 Keterkaitan akurasi pengukuran kedalaman dengan
resolusi kamera (Cyganek dan Siebert, 2009) 10 Gambar 2.6 Gambaran akibat adanya distorsi lensa dan sumbu yang
tidak orthogonal atau affine deformation (Pullivelli, 2005) 12
Gambar 3.1 Rekonstruksi koordinat sistem bumi 3D dari sebuah objek
titik dalam sebuah stereo model (Aber et.al., 2010) 13 Gambar 3.2 Diagram alir penelitian 14
Gambar 3.3 Papan kalibrasi 15 Gambar 3.4 Mosaik foto-foto papan kalibrasi dari berbagai posisi
kamera 16
Gambar 3.5 Penempatan kamera dan papan kalibrasi pada bidang foto 16
vi
Gambar 3.6 Target 17 Gambar 3.7 Penempatan target 18 Gambar 3.8 Konfigurasi posisi kamera dan pengukuran target 19 Gambar 3.9 Pertampalan beberapa foto udara dengan berbagai variasi
posisi dan tinggi terbang 20 Gambar 3.10 Kamera Sony NEX7 21 Gambar 3.11 Hexacopter DJI Wookong S-800 21 Gambar 3.12 Electronic Total Station Leica TCR 1203 23 Gambar 3.13 Digitasi 4 titik sudut 24 Gambar 3.14 Hasil ekstraksi titik silang kotak hitam-putih di papan
kalibrasi 24 Gambar 3.15 Posisi 2 kamera dan titik-titik merah mewakili titik kotak
hitam-putih pada papan kalibrasi 25 Gambar 3.16 Digitasi setiap target 26 Gambar 4.1 Proses iterasi penentuan titik pojok untuk mendapatkan
kesalahan terkecil 28 Gambar 4.2 Konfigurasi dan posisi kamera pada ketiga kalibrasi 30 Gambar 4.3 Model distorsi hasil kalibrasi pertama 30 Gambar 4.4 Model distorsi hasil kalibrasi ketiga 31 Gambar 4.5 Model distorsi hasil kalibrasi kedua 31 Gambar 4.6 Konfigurasi posisi kamera hasil pemilihan posisi papan
kalibrasi di bidang foto 32 Gambar 4.7 Kenampakan target hasil pemotretan dari UAV 36 Gambar 4.8 Grafik perbedaan tinggi 20 target menggunakan 2 foto 37 Gambar 4.9 Grafik perbedaan tinggi 20 target menggunakan 3 foto 37 Gambar 4.10 Rekonstruksi menggunakan 2 dan 3 Foto 41 Gambar 4.11 Grafik perbedaan tinggi pada beberapa target 43 Gambar 4.12 Hasil ANOVA Dua Arah 48 Gambar 4.13 Boxplot persentase kesalahan relatif tinggi target terhadap
parameter intrinsik 49 Gambar 4.14 Boxplot persentase kesalahan relatif tinggi target terhadap
pasangan foto udara 50
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada Close-Range Photogrammetry (CRP), ekstraksi spasial dari hasil
pengolahan foto udara digital 2D menjadi model 3D dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan informasi spasial, khususnya pada komponen
vertikal/tinggi/kedalaman suatu objek yang terdapat pada foto tersebut. Kajian
tentang berapa ketelitian tinggi suatu objek atau beda tinggi antara dua objek
tertentu yang dapat dihasilkan dari model 3D merupakan topik yang menarik.
Oleh karena itu penelitian tersebut perlu dilakukan karena akan memberikan
manfaat pada aspek teori dan aplikasi tertentu.
Penelitian yang pernah dilakukan terkait pemanfaatan foto digital sudah
banyak dilakukan dengan berbagai tujuan dan aplikasi. Pemodelan tanaman,
identifikasi kematangan buah, pengenalan pola daun, dan klasifikasi tanaman,
merupakan beberapa contoh pengembangan teknologi dalam pemrosesan foto
digital dalam aplikasi pertanian, namun penelitian-penelitian tersebut belum
menyinggung aspek spasial. Hanifa (2007) lebih spesifik meneliti tentang aplikasi
CRP menggunakan kamera digital auto-focus dan low-cost untuk mendeteksi
deformasi suatu objek, suatu kajian spasial tetapi tidak pada komponen tinggi.
Khalil (2011) meneliti tentang pengukuran pergeseran horizontal 2D (dx,dy)
dengan statik CRP dan kamera tunggal, tetapi tidak pada komponen tinggi. Zhou
et.al. (2008) melakukan penelitian untuk merekonstruksi pohon jagung
menggunakan teknik fotogrametri, tetapi lebih fokus pada ekstraksi karakteristik
pohon jagung. Kirscht dan Rinke (1998) melakukan penelitian dengan
merekonstruksi bangunan dan vegetasi menggunakan citra Synthetic Aperture
Radar (SAR), penelitian ini sudah masuk pada aspek spasial tetapi tidak
menggunakan foto udara.
Fotogrametri dikenal lebih dulu dibanding CRP. Fotogrametri konvensional
memanfaatkan foto yang diperoleh melalui pemotretan udara menggunakan
kamera metrik dan diambil menggunakan wahana pesawat terbang. Pada
fotogrametri konvensional posisi kamera terhadap objek dikondisikan sedemikian
rupa sehingga pada posisi relatif orthogonal, sedangkan pada CRP foto diperoleh
dari kamera digital low-cost, non-metric, dan posisi kamera terhadap objek lebih
bebas dan bervariasi. Salah satu faktor lain yang membedakan fotogrametri dan
CRP adalah jarak kamera ke objek. Jarak kamera ke objek pada CRP lebih dekat
dibanding pada fotogrametri. Jarak kamera ke objek pada CRP tidak lebih dari
300 m. Fotogrametri lebih banyak diterapkan pada pemetaan permukaan bumi,
sedangkan CRP lebih banyak bidang penerapan, seperti pemodelan
bangunan/arsitektur, kecelakaan kendaraan, rekonstruksi wajah, pemetaan skala
besar dan masih banyak aplikasi di bidang lainnya. Karena dengan metode CRP
objek dapat didekati sampai jarak beberapa meter, maka foto digital pada CRP
akan memiliki skala yang besar, detil, dan cakupan yang sangat terbatas,
sedangkan objek pada fotogrametri memiliki skala lebih kecil, kurang detil, tetapi
memiliki cakupan yang luas.
Sesuai teknik fotogrametri, maka foto digital yang berurutan pemotretannya
dikondisikan mempunyai overlap atau pertampalan tertentu, misalnya 60%.
Dengan menggunakan algoritme collinearity, epipolar geometry, dan triangulasi
dua foto digital yang bertampalan (overlap) dan berdimensi 2 (2D) tersebut dapat
2
direkonstruksi menjadi model 3 dimensi (3D). Rekonstruksi model 3D dari foto
digital dapat dilakukan jika terdapat dua foto digital atau lebih yang mempunyai
beberapa objek yang sama tetapi diambil dari posisi kamera yang berbeda. Dari
model 3D tersebut dapat diperoleh satu informasi penting berupa kedalaman atau
ketinggian suatu objek yang ada pada kedua foto. Ekstraksi ketinggian inilah yang
akan menjadi fokus penelitian yang akan dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah
Rekonstruksi model 3D dari dua atau lebih foto digital melibatkan
algoritme yang kompleks dan computational intensive. Ada tiga tahap utama
yang harus dilakukan, yaitu : kalibrasi kamera, rekonstruksi model 3D dan
pengujian hasil. Pada dua tahap utama tersebut akan diterapkan algoritme
collinearity , epipolar geometry dan triangulasi. Pengujian hasil dilakukan dengan
membandingkan tinggi objek hasil rekonstruksi dengan tinggi objek hasil
pengukuran lapangan sehingga dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut :
Apa saja syarat foto digital 2D yang dapat dibuat menjadi model 3D sehingga
objek pada foto dapat diduga tingginya? Faktor apa saja yang mempengaruhi
ketelitian? Berapa ketelitian yang di dapat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang
dicoba untuk dijawab dalam penelitian ini.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Merumuskan faktor apa saja yang mempengaruhi hasil ekstraksi spasial pada
tahapan rekonstruksi model 3D dari foto udara menggunakan kamera non-
metrik.
2. Menentukan tinggi objek dari ekstraksi model 3D dan menilai tingkat akurasi
yang dapat diperoleh, yaitu dengan cara membandingkan tinggi objek hasil
ukuran langsung dengan tinggi hasil rekonstruksi 3D.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh manfaat antara lain :
1. Dapat disusun suatu prosedur/urutan langkah-langkah yang dapat
direkomendasikan terkait pemanfaatan dan pengolahan lanjut dari foto udara
digi-tal hasil kamera low-cost. Prosedur mulai dari perencanaan,
pengambilan data, pemrosesan menggunakan algoritme tertentu, hingga
mendapatkan ekstraksi tinggi dengan akurasi yang terukur.
2. Penelitian ini dapat menunjukkan bahwa aplikasi CRP yang fokus pada
ekstraksi tinggi suatu objek tertentu dapat diterapkan untuk beberapa tujuan,
misalnya untuk menduga tinggi tanaman, tinggi bangunan, dan beda tinggi
permukaan tanah yang selanjutnya dapat dikembangkan untuk menentukan
kontur permukaan tanah, kemiringan lereng dan sebagainya.
3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian ini ditetapkan ruang lingkup pembahasan antara lain :
1. Foto digital yang akan digunakan adalah foto digital dari kamera non-metrik
yang diperoleh dengan memposisikan kamera sedemikian rupa sehingga
posisinya relatif orthogonal terhadap objek. Foto digital yang diproses
merupakan foto digital dari hasil pemotretan udara menggunakan pesawat
tanpa awak yang terbang dengan ketinggian tidak lebih dari 100 m dari
permukaan tanah.
2. Pengukuran tinggi/beda tinggi objek dilakukan menggunakan alat Electronic
Total Station (ETS) yang akan memberikan akurasi tinggi hingga 1 mm.
3. Pembahasan pokok penelitian dititikberatkan pada penerapan proses kalibrasi
kamera dan rekonstruksi model 3D. Kemudian hasilnya dianalisis akurasi
spasial yang dihasilkan dan faktor apa saja yang mempengaruhinya. Pada
penelitian ini digunakan algoritme kalibrasi kamera yang sudah ada dan
faktor apa saja yang mempengaruhi hasil dan memberikan ketelitian terbaik
pada ekstraksi tinggi suatu objek.
4. Objek yang dimaksud pada penelitian ini adalah objek berupa target yang
dibuat khusus dan dapat dikenali secara visual pada foto digital. Target-target
tersebut ditempatkan, diamati dan diukur sedemikian rupa sehingga hasil
ekstraksi tingginya dapat dianalisis dan ditentukan akurasinya.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Close-Range Photogrammetry
Photogrammetry (Fotogrametri), tersirat dari makna katanya, adalah teknik
mengukur koordinat 3-dimensi yang menggunakan foto sebagai media pokok
untuk metrologi (atau pengukuran). Lebih ilmiah pengertian fotogrametri
didefinisikan sebagai seni, ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi
tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran, dan
penafsiran foto udara (Thomson dan Gruner, 1980).
Istilah Close Range (Rentang Dekat) Photogrammetry (Fotogrametri)
berawal karena teknik ini digunakan untuk objek-objek yang jaraknya kurang dari
300 meter dari posisi kamera. Kamera dan prosedur analisis fotogrametri terestris
dimulai pada akhir abad ke 19 oleh seorang Kolonel Perancis, Aime Laussedat.
Prinsip dasar fotogrametri sampai saat ini tetap sama. Perkembangan teknologi
fotografi, kamera digital dan komputer meningkatkan efektifitas waktu dan
tingkat akurasi (Leitch, 2002).
Prinsip dasar CRP menggunakan prinsip dasar triangulasi. Foto diambil dari
dua posisi yang berbeda, sehingga kondisi line of sight dapat dikembangkan dari
masing-masing kamera ke titik-titik pada objek tertentu. Kondisi line of sight
(penjalaran berkas sinar) secara matematis dijelaskan dengan konsep collinearity
condition (kondisi kolinearitas ) atau kondisi kesegarisan berkas sinar yang akan
diuraikan pada pembahasan berikutnya.
2.2 Geometri dan Pengambilan Citra Foto Digital
Cyganek dan Siebert (2009) menguraikan sebuah Pin-hole Model untuk
menjelaskan kondisi kolinearitas dari sebuah sistem kamera dan suatu objek pada
Gambar 2.1. Pada Gambar 2.1 diperlihatkan sebuah ilustrasi dari sebuah model
dan hubungan geometrik yang memperlihatkan bagaimana berkas sinar yang
menghubungkan titik P dalam ruang (3D) atau dunia nyata (bumi) dengan titik p
pada citra foto digital yang merupakan bidang 2D, serta sebuah sistem koordinat
kamera (3D) yang berpusat pada titik tengah lensa kamera Untuk memahami
bagaimana titik-titik di dunia nyata terhubungkan dengan titik-titik pada foto
digital, maka perlu diperhatikan dua sistem koordinat berikut (Gambar 2.1) :
1. Sistem koordinat bumi (ditulis dengan notasi ‘W’ mewakili dunia nyata) yang
tidak terkait dengan posisi dan parameter kamera.
2. Sistem koordinat kamera (ditulis dengan notasi ‘C’ mewakili kamera).
Dua sistem koordinat tersebut dihubungkan dengan sebuah translasi, yang
dinyatakan dengan matriks T, dan rotasi, yang dinyatakan dengan matriks R.
5
Jika koordinat titik P = [X,Y,Z]T pada sistem koordinat W(ekternal) dan p =
[x,y,z]T pada sistem koordinat C(kamera) dan karena sumbu optik tegak lurus
dengan bidang foto, maka dengan mempertimbangkan Ocpo dan OcPO’c adalah sebangun sehingga z = f pada sistem koordinat kamera (Xc,Yc,Zc),
selanjutnya akan diperoleh persamaan berikut :
Gambar 2.1 Pin-hole Model dari sudut pandang kamera dengan
dua sistem koordinat W (eksternal) dan C (kamera)
(Cyganek dan Siebert,2009)
Beberapa bagian penting dari Gambar 2.1 adalah :
a) Titik Oc, disebut titik pusat dari titik fokus (focal point), bersamaan
dengan sumbu Xc,Yc,Zc menentukan suatu sistem koordinat kamera.
b) Bidang citra foto dinotasikan dengan
c) Principal Point dari koordinat lokal bidang foto ditulis dengan o(ox,oy).
d) Jarak antara bidang foto dan titik Oc disebut panjang fokus (focal
length ).
e) Nilai hx dan hy menentukan ukuran sebuah piksel
(2.1)
Keterangan :
: koordinat titik dalam sistem koordinat kamera
X,Y,Z : koordinat titik dalam sistem koordinat bumi
: panjang fokus lensa kamera
6
Persamaan (2.1) merupakan dasar dari sebuah Pin-hole Camera Model yang
dapat didefinisikan jika diketahui dua set parameter, yaitu :
1. Parameter ekstrinsik, adalah semua parameter geometris yang diperlukan
untuk menghubungkan sistem koordinat luar dengan sistem koordinat kamera
yang terdiri atas matriks rotasi R dan translasi T.
2. Parameter intrinsik, adalah parameter yang terkait dengan sistem kamera
yang terdiri atas panjang fokus (f), parameter yang memetakan sistem
koordinat kamera ke dalam sistem koordinat foto yang terdiri atas o(ox,oy), hx
dan hy, serta parameter terkait distorsi geometrik yang disebabkan oleh
komponen optik dari kamera.
Pada saat foto diambil oleh kamera, maka berkas sinar dari objek akan
menjalar berupa garis lurus menuju pusat lensa kamera hingga mencapai sensor
digital. Kondisi yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1 yaitu titik objek pada dunia
nyata (Ground Point P), titik objek pada foto (titik p) dan titik pusat proyeksi (O)
terletak pada satu garis dalam ruang dinamakan kondisi kesegarisan.
Pada fotogrametri, posisi dari sebuah objek pada ruang didefinisikan pada
sistem koordinat kartesian 3D. Sedangkan objek pada foto didefinisikan pada
sistem koordinat berkas (foto). Oleh karena itu perlu dilakukan transformasi
koordinat dari sistem berkas ke sistem 3D atau sistem tanah. Pusat dari sistem
koordinat berkas merupakan pusat dari lensa kamera.
Menurut Atkinson (1996) persamaan kesegarisan sesuai Gambar 2.1
adalah :
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
(2.2)
Keterangan :
f : principal distance (panjang fokus)
, : koordinat titik p pada sistem koordinat foto
: posisi titik pusat kamera dalam sistem koordinat bumi
: posisi titik p dalam sistem koordinat bumi
r ii : elemen matriks rotasi yang merupakan fungsi rotasi terhadap
sumbu X,Y,Z
7
Untuk melakukan rekonstruksi model 3D maka kondisi kesegarisan harus
dibangun menggunakan minimal dua foto yang bertampalan, oleh karena itu
persamaan kesegarisan (2.2) di atas dikembangkan menjadi (Atkinson, 1996) :
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
(2.3)
Jika terdapat sejumlah j foto dan terdapat i titik pada setiap foto maka
berlaku persamaan kesegarisan di atas. Gambar 2.2 menunjukkan konsep space
intersection atau interseksi pada ruang, yaitu perpotongan beberapa berkas sinar
pada objek yang sama di dunia nyata. Oleh karena itu, jika ada sebuah titik P di
lapangan yang dapat diamati pada 2(dua) atau lebih foto yang berbeda, maka
setiap foto akan mendapatkan bayangan titik tersebut. Apabila posisi kamera dan
arah sumbu optiknya diketahui, maka perpotongan sinar garis dari foto 1, foto 2
dan foto ke n akan dapat menentukan posisi koordinat titik P tersebut (Wolf,
1993).
Gambar 2.2 Perpotongan berkas sinar dari banyak foto (Atkinson, 1996)
8
2.3 Epipolar Geometry
Epipolar Geometry adalah suatu kondisi model matematik yang harus
dipenuhi oleh sepasang foto yang bertampalan untuk dapat membangun hubungan
suatu titik objek di dunia nyata dengan titik foto, sehingga visualisasi model yang
berkoordinat 3D dapat ditentukan dengan perhitungan matematik.
Gambar 2.3 merupakan ilustrasi yang memperlihatkan hubungan geometrik
dari sebuah sistem pengambilan foto untuk menghasilkan model stereo. Gambar
tersebut terdiri atas dua pin-hole camera, kiri (l) dan kanan(r).
Gambar 2.3 menunjukkan adanya suatu epipolar constraint, yaitu : setiap
titik pi pada foto yang merupakan objek dari titik P pada ruang nyata akan
terletak pada bidang foto hanya pada sebuah garis epipolar tertentu yang
bersesuaian.
Vektor Pl = [Xl,Yl,Zl]T dan Pr = [Xr,Yr,Zr]
T merupakan vektor yang menunjuk
pada titik yang sama pada ruang 3D, yaitu titik P. Selain itu pada masing-masing
bidang foto terdapat vektor pl = [xl,yl,zl]T dan pr = [xr,yr,zr]
T yang merupakan letak
titik P. Tambahannya dapat dicatat bahwa zl = fl, zr = fr dan fl adalah panjang
fokus kamera kiri dan fr adalah panjang fokus kamera kanan.
Telah diuraikan di atas bahwa setiap kamera akan mempunyai nilai-nilai
parameter masing-masing. Parameter tersebut menentukan posisi dari masing-
masing kamera pada sistem koordinat luar. Selanjutnya hubungan antara dua
sistem koordinat kamera dapat dilakukan dengan melakukan translasi T = Or - Ol
dan rotasi yang ditentukan oleh sebuah matriks orthogonal R, oleh karena itu,
menurut Cyganek dan Siebert (2009) berlaku persamaan-persamaan berikut :
(2.4)
Gambar 2.3 Epipolar Geometry (Cyganek dan Siebert,2009)
Keterangan gambar :
OlOr : baseline
e : epipolar plane (bidang epipolar)
l,r : bidang proyeksi dari foto
9
Bidang epipolar e dalam sistem koordinat foto kiri berkaitan dengan dua vektor
T dan Pl, dengan demikian Pl – T juga termasuk pada bidang tersebut. Hal ini
berarti berlaku :
(2.5)
2.4 Resolusi Kedalaman dalam Pengaturan Stereo
Gambar 2.4 menjelaskan suatu fenomena dari berkurangnya akurasi
pengukuran kedalaman dengan semakin bertambahnya jarak objek dari kamera.
Hal ini adalah suatu kondisi yang terjadi akibat keterbatasan geometris karena
secara khusus tergantung pada parameter geometris dari sistem stereo.
Akurasi kedalaman juga tergantung pada resolusi kamera dan jarak ke
objek yang digambarkan dengan melakukan analisis terhadap Gambar 2.5. ABC
sebangun dengan ADF, begitu juga dengan AEF sebangun dengan AHG,
dengan demikian diperoleh hubungan :
Gambar 2.4 Fenomena keterbatasan ketelitian dari pengukuran
kedalaman karena bertambahnya jarak objek dari
kamera (Cyganek dan Siebert, 2009)
10
Untuk memudahkan perlu dibuat simbol lain, yaitu :
Diperoleh
Kemudian dengan penyederhanaan
Akhirnya akan diperoleh rumus :
(2.26)
Dengan mengasumsikan bahwa fb/Z jauh lebih besar daripada resolusi piksel r,
akan diperoleh nilai pendekatan
(2.27)
Analisis terhadap (2.26) dan (2.27), kesimpulan yang dapat diperoleh
adalah persamaan (2.26) benar jika memenuhi kondisi :
Gambar 2.5 Keterkaitan akurasi pengukuran kedalaman dengan
resolusi kamera (Cyganek dan Siebert, 2009)
11
fb ≠ rH.
Secara gradual Z akan mendekati nilai
resolusi pengukuran kedalaman nilai Rh mendekati tak terhingga. Pada
kebanyakan sistem pengambilan foto, nilai r, b dan f adalah konstan, setidaknya
pada pengambilan tunggal. Hal ini berarti bahwa ada suatu kondisi sebuah nilai Z
yang tidak memungkinkan untuk mengukur kedalaman terkait keterbatasan
geometri dari pengaturan kamera stereo.
2.5 Kalibrasi Kamera
Foto yang dihasilkan dari kamera non-metrik memiliki beberapa kesalahan
yang diakibatkan oleh lensa yang tidak sempurna. Remondino dan Frasser (2006)
menyatakan bahwa kalibrasi kamera perlu dilakukan untuk menentukan parameter
internal kamera atau biasa juga disebut parameter intrinsik yang terdiri atas :
principal distance (f ), titik pusat fidusial foto (o(ox,oy)), distorsi lensa (K1, K2, K3,
P1, P2 ) serta distorsi akibat perbedaan penyekalaan dan ketidakorthogonalan
antara sumbu X dan Y pada sistem koordinat foto.
Distorsi lensa dapat menyebabkan bergesernya titik pada foto dari posisi
sebenarnya, sehingga memberikan ketelitian pengukuran yang tidak baik, tetapi
tidak mempengaruhi kualitas ketajaman citra yang dihasilkan. Distorsi lensa
dibagi menjadi distorsi radial dan distorsi tangensial.
Koreksi akibat distorsi radial dan tangensial menggunakan persamaan
berikut (Brown, 1971) :
[
] [
]
[
][
]
dengan
(X,Y,Z) : koordinat titik pada sistem koordinat kamera
(u,v) : koordinat titik proyeksi pada sistem koordinat berkas/foto
(fx,fy) : panjang fokus
K1, K2, K3 : koefisien distorsi radial
12
P1, P2 : koefisien distorsi tangensial
β : koefisien sudut antara sumbu x dan y
Gambar 2.6 memvisualisasikan distorsi objek karena ketidaksempurnaan
lensa kamera.
Gambar 2.6 Gambaran akibat adanya distorsi lensa dan sumbu
yang tidak orthogonal atau affine deformation
(Pullivelli, 2005)
13
3 METODE
Fokus penelitian ini adalah melakukan rekonstruksi model 3D dengan
memproses foto udara digital. Foto yang dapat direkonstruksi menjadi model 3D
adalah dua atau lebih foto yang diambil dari posisi berbeda tetapi memiliki objek
yang sama (overlap). Gambar 3.1 mengilustrasikan foto udara yang dapat
direkonstruksi menjadi model 3D.
Prinsip rekonstruksi adalah melakukan perhitungan matematik
menggunakan algoritme rekonstruksi 3D. Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa dari
koordinat titik a1 dan a2 pada sistem koordinat foto , berkas sinar ditelusuri
ulang melalui pusat proyeksi L ke objek titik A. Rekonstruksi dapat dilakukan
dengan syarat parameter intrinsik pada bidang foto, dan parameter ekstrinsik
(koordinat dan rotasi ) dari L (kamera) harus
diketahui.
Gambar 3.1 Rekonstruksi koordinat sistem bumi 3D dari sebuah
objek titik dalam sebuah stereo model (Aber et.al., 2010)
14
Metode penelitian yang dilakukan dapat dilihat dalam diagram alir pada
Gambar 3.2.
3.1 Studi pustaka
Tahap ini merupakan tahap awal penelitian berupa studi terhadap berbagai
literatur dari buku referensi, disertasi, tesis, jurnal, laporan penelitian, artikel, dan
termasuk situs internet. Seluruh informasi yang diperoleh dari studi pustaka
memberikan bekal pengetahuan, teori dasar, penelitian sebelumnya yang pernah
dilakukan yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, tahapan kerja,
algoritme yang sudah tersedia, sampai dengan hasil, analisis, dan sintesis yang
ada. Semua itu sangat bermanfaat dan beberapa menjadi acuan bagi penelitian ini.
Gambar 3.2 Diagram alir penelitian
15
3.2 Pengambilan Data
Ada dua pekerjaan utama yang dilakukan pada penelitian ini yaitu kalibrasi
kamera dan rekonstruksi 3D. Pada setiap pekerjaan tersebut perlu dilakukan
pengambilan data yang berbeda yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing.
Keperluan untuk kalibrasi kamera
Pada tahap kalibrasi kamera tujuan utama adalah untuk mendapatkan
parameter intrinsik kamera. Pada penelitian ini kalibrasi kamera dilakukan dengan
metode kalibrasi di lapangan, yaitu dengan menggunakan papan kalibrasi yang
dibuat khusus yang disesuaikan dengan syarat ditentukan oleh Camera
Calibration Toolbox.
Pembuatan Papan Kalibrasi
Papan kalibrasi dibuat seperti Gambar 3.3.
Pada Gambar 3.3(a) objek kotak hitam-putih seperti papan catur dicetak
pada kertas berukuran 112 cm X 112 cm. Setiap kotak dibuat dengan ukuran 3 cm
X 3 cm. Koordinat 4(empat) pojok kotak terluar adalah O(0.0), 1(108,0),
2(108,108), 3(0.108) dalam satuan centimeter (cm). Ukuran tersebut bukan ukuran
mutlak. Kemudian kertas ditempelkan pada multipleks dengan tujuan untuk
mendapatkan permukaan yang datar. Pada Gambar 3.3(b) ukuran kotak dibuat 5
cm dengan ukuran kertas 150 cm x 100 cm. Dua buah papan kalibrasi dengan
ukuran berbeda tersebut dibuat dengan tujuan untuk melakukan perbandingan
hasil kalibrasi dan pengaruh yang mungkin ditimbulkan karena ukuran yang
berbeda.
Pemotretan papan kalibrasi
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan ketika pemotretan papan kalibrasi
untuk mendapatkan parameter intrinsik kamera antara lain :
1) Papan kalibrasi ditempatkan pada posisi yang memungkinkan untuk dapat
dipotret dari berbagai sudut/posisi kamera
2) Pemotretan dilakukan dengan berbagai posisi kamera terhadap papan kalibrasi
seperti Gambar 3.4. Selain posisi, variasi jarak kamera ke papan kalibrasi saat
memotret juga dilakukan.
(a) (b)
Gambar 3.3 Papan kalibrasi
16
3) Foto seperti Gambar 3.3 yang memuat utuh sebuah papan kalibrasi dalam satu
foto sulit diperoleh karena panjang fokus lensa 16 mm yang digunakan pada
kamera termasuk jenis lensa bersudut lebar dan ukuran papan kalibrasi yang
relatif kecil. Foto-foto tersebut penting untuk menentukan parameter intrinsik.
Agar foto-foto yang akan digunakan sebagai data masukan dalam perhitungan
parameter intrinsik kamera melingkupi semua sudut lensa, maka dilakukan
pemotretan dengan menempatkan objek papan kalibrasi di berbagai bidang
foto (Gambar 3.5.
4) Untuk mendapatkan hasil terbaik dilakukan pemotretan yang memenuhi
kriteria butir 2) dan 3) diatas sehingga dalam 1(satu) sesi pemotretan diperoleh
banyak foto hingga mencapai lebih dari 40 foto. Jumlah tersebut diperoleh dari
kombinasi posisi kamera, jarak kamera dan penempatan papan kalibrasi pada
bidang foto.
5) Pemotretan untuk kalibrasi dilakukan dalam 3(tiga) sesi pemotretan pada
waktu yang berbeda. Pemotretan dilakukan sebelum dan sesudah pemotretan
udara dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
kamera pada UAV terhadap parameter intrinsik.
Gambar 3.5 Penempatan kamera dan papan kalibrasi pada
bidang foto
Gambar 3.4 Mosaik foto-foto papan kalibrasi dari berbagai
posisi kamera
17
Keperluan untuk rekonstruksi 3D
Setelah tahap kalibrasi kamera dilakukan, maka untuk dapat melakukan
rekonstruksi 3D diperlukan data lainnya, yaitu : dua atau lebih foto udara yang
mempunyai pertampalan pada objek yang akan diukur dan koordinat 3D objek
tersebut dalam sistem bumi dan foto. Koordinat objek dalam sistem bumi
diperoleh dari pengukuran lapangan. Koordinat objek dalam sistem foto diperoleh
dengan melakukan digitasi. Foto udara diperoleh dari pemotretan udara
menggunakan Multirotor.
Target
Untuk menentukan kualitas spasial, khususnya tinggi, suatu objek maka objek
tersebut harus mudah dikenali pada foto. Oleh karena itu objek-objek tersebut
dibuat dalam bentuk beberapa target yang didesain seperti tampak pada
(c) (d)
Gambar 3.6.
Target yang dibuat berupa kertas berukuran 30 cm dengan bujur sangkar hitam-
putih yang masing-masing berukuran 15 cm ( (c)
(d)
Gambar 3.6(a)). Ukuran tersebut bukan keharusan tetapi merupakan pilihan dan
ditentukan dengan pertimbangan target akan cukup teridentifikasi pada foto
dengan tinggi terbang sampai dengan 100 m di atas permukaan tanah. Target
ditempelkan pada papan multipleks dan diberi kaki ( (c)
(d)
Gambar 3.6(b))dengan ketinggian bervariasi seperti Gambar 3.6(c) dan
Tabel 3.1. Bentuk target kotak hitam-putih seperti papan catur dengan harapan
(c) (d)
Gambar 3.6 Target
18
dapat dikenali difoto dengan baik dan dapat ditentukan koordinat titik silang di
tengah dengan mudah dan dapat diidentifikasi menggunakan algoritme corner
finder. Tinggi target dibuat bervariasi dengan tujuan untuk dapat dianalisis apakah
ada pengaruh tinggi objek terhadap akurasi nilai ketinggian hasil rekonstruksinya
dengan hasil ukuran menggunakan ETS dalam fraksi ukuran tertentu.
Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data di lapangan direncanakan dengan mempertimbangkan
beberapa hal terkait proses rekonstruksi 3D foto udara sehingga dapat dilakukan
rekonstruksi berkas sinar, pembuatan model 3D dan ekstraksi spasial, khususnya
tinggi objek yang dapat diukur tingkat akurasinya. Oleh karena itu dibuat
konfigurasi posisi dan tinggi terbang seperti pada Error! Reference source not
ound. yang mempertimbangkan konfigurasi penempatan target berbentuk grid,
target di berbagai posisi di lapangan. Gambar 3.7 memperlihatkan salah satu
contoh foto udara hasil pemotretan dengan sebaran target dan posisi horizontal
Gambar 3.7 Penempatan target
Tabel 3.1 Ukuran Tinggi Target
No Target Tinggi (cm) Jumlah
1 To1-To9 ± 1 9
2 T10 ± 1 1
3 T11-T13 ± 10 3
4 T14-T17 ± 20 4
5 T18-T21 ± 30 4
6 T22-T25 ± 50 4
7 T26-T29 ± 100 4
19
kamera saat pemotretan. Salah satu tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh
parameter intrinsik pada titik tertentu terhadap nilai tinggi objek hasil
rekonstruksi.
Pekerjaan pengambilan data di lapangan terdiri atas dua kegiatan utama,
yaitu :
a. Pemotretan udara
Foto udara diperoleh dengan menempatkan kamera pada Unmanned Aerial
Vehicle (UAV)/pesawat tanpa awak. UAV digunakan berupa multirotor yang
dapat terbang pada posisi dan ketinggian tertentu dan dikendalikan dari darat
menggunakan Romote Control (RC), oleh karena itu konfigurasi posisi kamera
dengan variasi tinggi terbang seperti pada Error! Reference source not found.
an variasi horisontal sepert Gambar 3.7 (kamera warna kuning) dapat
dilakukan. Pada saat pemotretan, lensa kamera diatur pada auto-focus mode
dengan tujuan agar diperoleh hubungan dengan pengaturan fokus saat kalibrasi
kamera. Beberapa foto hasil pemotretan menggunakan UAV yang saling
bertampalan dan berisi target lengkap serta diperoleh dari variasi tiga tinggi
terbang diperlihatkan pada Gambar 3.9.
b. Pengukuran dan perhitungan koordinat dan tinggi target.
Foto udara yang dapat diproses dan direkonstruksi menjadi model 3D adalah
foto udara yang memiliki minimal 6 titik sekawan pada foto ke 1 dan foto ke 2
(atau ke n). Keenam titik sekawan tersebut memiliki koordinat pada sistem foto
dan sistem bumi. Penentuan koordinat 3D setiap target pada sistem bumi
dilakukan menggunakan alat Electronic Total Station (ETS) dengan metode
radial. Koordinat titik referensi BM 1 (Error! Reference source not found.) dan
Gambar 3.8 Konfigurasi posisi kamera dan pengukuran target
20
rientasi arah Utara ditentukan menggunakan Receiver GPS tipe navigasi
Garmin Map 60csx.
Hasil pengukuran ETS dan GPS tersebut adalah koordinat (X,Y,Z) setiap target
dalam sistem bumi. Nilai X dan Y yang dipakai koordinat pada sistem
Universal Transvers Mercator (UTM) zone 48 South dalam Datum WGS84.
Nilai Z adalah nilai tinggi target yang mengacu pada elevasi altimeter pada
receiver GPS tersebut di atas. Koordinat dan tinggi target hasil pengukuran
ETS dianggap bebas dari kesalahan, sehingga digunakan sebagai acuan
perhitungan atau pembanding dengan hasil rekonstruksi 3D dan kemudian
dilakukan analisis.
3.3 Alat
Peralatan yang digunakan dapat dikelompokan menjadi 3 unit utama, yaitu
kamera digital, multirotor, dan Electronic Total Station (ETS).
3.3.1 Kamera Digital
Kamera digital low-cost yang digunakan memiliki spesifikasi teknis sebagai
berikut :
a) Kamera : Sony NEX7
b) Ukuran CCD : 23.5 x 15.6 mm
c) Efektif CCD : 24.0 MP
d) Resolusi Foto : 6000 x 4000 piksel
e) Format file : JPG
f) Lensa : Sony 16 mm dan terpasang filter UV
Gambar 3.9 Pertampalan beberapa foto udara dengan berbagai
variasi posisi dan tinggi terbang
21
Jenis kamera ini dipilih karena memiliki dimensi yang cukup kecil dan berat
yang relatif ringan. Hal tersebut penting terkait dengan kemampuan daya angkat
UAV. Selain itu, kamera tersebut memiliki resolusi sensor CCD yang besar yaitu
24 Megapixel, termasuk yang terbesar dibandingkan dengan kamera lain yang
sekelas. Pemotretan menggunakan kamera ini dapat dilakukan menggunakan
remote control dengan menambahkan peralatan tambahan berupa Infra Red (IR)
shutter.
3.3.2 Multirotor
Wahana terbang tanpa awak atau UAV yang digunakan memiliki
spesifikasi sebagai berikut :
a) Jenis UAV : Hexacopter DJI S-800
b) Controller : DJI Wookong M
c) Radio Control : JR PROPO DSX11
d) Perangkat lunak : DJI WookongM Assistant 1.32 & Ground Station 4.0.6
3.3.3 Electronic Total Station
Electronic Total Station (ETS) adalah sebuah alat ukur jarak dan sudut.
ETS mengukur jarak suatu target dari tempat ETS didirikan menggunakan
gelombang Infra Red (IR). Dari ukuran jarak dan sudut akan diperoleh perbedaan
koordinat dua titik pada arah horizontal (dx,dy) dan perbedaan tinggi dua titik
tersebut. Untuk mendapatkan koordinat suatu titik pada sistem UTM maka perlu
diketahui dulu koordinat minimal 1 titik referensi. Titik referensi itulah yang
Gambar 3.10 Kamera Sony NEX7
Gambar 3.11 Hexacopter DJI Wookong S-800
22
ditentukan koordinatnya dalam sistem UTM menggunakan GPS Garmin 60csx.
Spesifikasi ETS yang digunakan adalah :
a) Merek, tipe : Leica TCR 1203
23
c) Sudut
Akurasi Hz,V : 3”
Resolusi Tampilan : 1”
d) Jarak
Akurasi : 1 mm + 1.5 ppm
Resolusi tampilan : 0.1 mm
e) Prisma : GPR1
f) Perlengkapan lain : Tripod, Tribrach, Target, Pita ukur
g) Perangkat lunak : Leica Geo Office 4.0
3.4 Prosedur Pengolahan dan Analisis Data
Pada dasarnya tahap pengolahan data yang diakukan pada penelitian dapat
dibagi menjadi 2 tahap, yaitu : pengolahan data untuk menentukan parameter
intrinsik kamera dengan melakukan kalibrasi kamera dan rekonstruksi untuk
membangun suatu model 3D dengan menentukan parameter ekstrinsik kamera dan
perhitungan triangulasi untuk menentukan koordinat 3D objek.
Analisis data terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi tinggi
objek hasil rekonstruksi dilakukan dengan metode statistik ANOVA Dua Arah.
Metode statistik tersebut dipakai untuk melihat pengaruh masing-masing faktor
dan apakah ada interaksi antar faktor.
3.4.1 Kalibrasi Kamera
Program komputer utama yang digunakan untuk menentukan parameter
intrinsik adalah Camera Calibration Toolbox yang ditulis dalam MATLAB yang
dibuat oleh Jean-Yves Bouguet (2010). Beberapa algoritme harus dimodifikasi
terkait dengan pengelolaan memory komputer, besarnya ukuran, format file foto
dan alur program.
Tahapan pengolahan data untuk mendapatkan parameter intrinsik kamera
yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Membaca satu per satu semua file foto berformat JPG yang berisi papan
kalibrasi dan menampilkannya dengan sistem koordinat masing-masing foto.
2) Menentukan 4 titik pojok di papan kalibrasi dengan melakukan digitasi pada
area tertentu (area titik 1-4 pada Gambar 3.13).
Gambar 3.12 Electronic Total Station Leica TCR 1203
24
3) Menentukan koordinat titik pojok kotak hitam-putih pada sistem koordinat
foto.
Program akan melakukan penentuan koordinat titik-titik silang/sudut kotak
hitam-putih menggunakan algoritme Harris corner finder.
Keterangan :
adalah titik hasil Harris corner finder yang pendekatannya dari
digitasi secara manual.
: tanda + adalah titik hasil ekstraksi setiap pojok kotak hitam-putih
dan kotak biru adalah ukuran jendela sebagai batas pencarian yang menjadi
masukan ke program Harris corner finder.
Dengan demikian pada setiap foto yang menggunakan papan kalibrasi dengan
ukuran kotak 3 cm akan diperoleh 1369 koordinat titik-titik pojok kotak
kalibrasi dalam sistem koordinat foto/berkas Selain itu koordinat 1369 titik
Gambar 3.13 Digitasi 4 titik sudut
(a) (b)
Gambar 3.14 Hasil ekstraksi titik silang kotak hitam-putih di
papan kalibrasi
25
tersebut juga pada papan kalibrasi telah diketahui koordinatnya dalam sistem
bumi, yaitu titik 1(0.0)cm, 2(3,0)cm, 3(6,0)cm, dan seterusnya sampai dengan
titik 1368(105,108)cm, dan 1369(108,108)cm. Untuk papan kalibrasi yang
kotaknya berukuran 5 cm akan terdapat 551 titik yang koordinatnya dalam
sistem bumi adalah 1(0.0)cm, 2(5,0)cm, 3(10.0)cm, dan seterusnya sampai
dengan titik 550(140.85)cm, dan 551(140.90)cm.
Dua set koordinat titik-titik sudut kotak hitam-putih pada papan kalibrasi
dalam sistem foto dan koordinat bumi merupakan data masukan untuk
menghitung parameter intrinsik. Jadi jika terdapat 40 foto papan kalibrasi
maka akan terdapat 40 x 1369/551 koordinat titik yang menjadi data masukan
yang akan diolah bersama-sama dengan 1369/551 koordinat titik pada sistem
bumi.
3.4.2 Rekonstruksi 3D
Setelah parameter intrinsik kamera dapat ditentukan melalui kalibrasi
kamera, maka tahap selanjutnya adalah rekonstruksi 3D. Rekonstruksi 3D pada
dasarnya adalah proses :
1) merekonstruksi posisi dan orientasi kamera saat pemotretan setiap foto,
2) menghitung parameter ekstrinsik relatif antara dua atau lebih kamera dan
3) menghitung koordinat 3D objek.
Algoritme rekonstruksi 3D dibuat dalam MATLAB dengan menerapkan
prinsip kesegarisan dan Epipolar Geometry sehingga diperoleh posisi relatif satu
kamera terhadap kamera lainnya, selanjutnya koordinat 3D target dalam sistem
bumi dapat dihitung dengan menerapkan triangulasi stereo setiap objek pada foto
yang saling bertampalan.
Untuk menilai program dalam menghitung nilai tinggi target apak sudah
valid atau belum, maka program tersebut diuji coba dengan menggunakan data 2
buah foto tertentu yang dipilih dan yang telah digunakan pada perhitungan
kalibrasi kamera untuk menentukan parameter intrinsik. Hasilnya diperlihatkan
pada Tabel 3.2.
Visualisasi rekonstruksi posisi kamera saat pemotretan dan sebaran titik-
titik target papan kalibrasi diperlihatkan pada Gambar 3.15.
Gambar 3.15 Posisi 2 kamera dan titik-titik merah mewakili titik
kotak hitam-putih pada papan kalibrasi
26
Pada uji coba program data masukan yang digunakan adalah koordinat 551
titik pada sistem foto dan sistem bumi. Koordinat 551 titik pojok kotak hitam-
putih ditentukan menggunakan algoritme corner finder dan koordinat titik-titik
tersebut dalam sistem bumi diketahui dari ukuran sebenarnya pada papan kalibrasi
dengan kotak yang berukuran 5 cm. Data pada Data hasil uji coba program,
khususnya nilai RMS kesalahan tinggi sebesar 0.06 mm (Tabel 3.2), meyakinkan
bahwa program yang dibuat sudah valid dan dapat dipakai dengan menggunakan
data hasil dari pengukuran lapangan.
Proses rekonstruksi 3D menggunakan data lapangan adalah sebagai berikut :
a. Digitasi titik-titik target pada setiap foto.
Seperti diperlihatkan pada Gambar 3.16, pada tahap ini diperoleh koordinat
setiap target dalam sistem koordinat masing-masing foto. Pada tahap ini data
koordinat target dibagi menjadi 2(dua) kelompok, yaitu :
1) Data 9 target yang dipilih sebagai titik sekawan adalah To1, To2, To3,
To4, To5, To6,To7, To8 dan To9. Data ini dipakai sebagai data titik
referensi untuk membangun model 3D. Jumlah 9 titik terkait dengan
Gambar 3.16 Digitasi setiap target
Tabel 3.2 Data hasil uji coba program
Jumlah titik 551
RMS kesalahan tinggi 0.06 mm
Parameter ekstrinsik (translasi) foto 1/kiri
Tx = -0.219 m
Ty = -0.413 m
Tz = 2.068 m
Parameter ekstrinsik (translasi) foto 2/kanan
Tx = -1.155 m
Ty = -0.424 m
Tz = 1.738 m
Parameter ekstrinsik (posisi relatif kamera 1/kiri terhadap kamera 2/kanan) :
Vektor translasi Tx = 0.495 m
Ty = 0.021 m
Tz = 0.476 m
Vektor rotasi Rx = 0.02254 rad
Ry = -0.78970 rad
Rz = -0.00775 rad
27
ukuran lebih dari kebutuhan minimal secara matematis, yaitu 6 buah titik.
Di lapangan 9 target tersebut ditempatkan dalam bentuk mendekati grid 3
x 3.
2) Data 20 target lainnya : T1 sampai T29; merupakan titik yang akan
ditentukan tingginya dari model 3D dan dianalisis hasilnya.
b. Menghitung parameter ekstrinsik kamera pada setiap foto.
Data masukan yang diperlukan untuk menghitung parameter ekstrinsik setiap
foto adalah parameter intrinsik kamera hasil kalibrasi dan koordinat titik
sekawan pada sistem foto dan sistem bumi. Pada tahap ini diperoleh
parameter ekstrinsik setiap foto dalam sistem koordinat bumi yang terdiri atas
vektor translasi dan rotasi dari sumbu koordinat sistem kamera. Dengan
diperolehnya parameter ekstrinsik tersebut maka rekonstruksi posisi kamera
saat pemotretan setiap foto telah berhasil dilakukan. Kondisi tersebut
memungkinkan dilakukannya rekonstruksi semua berkas sinar pada setiap
piksel foto.
c. Memilih 3 foto yang bertampalan dan menghitung parameter ekstrinsik
relatif antar foto-foto tersebut. Pada tahap ini perhitungan posisi relatif antar
kamera pada saat pemotretan dilakukan. Hasilnya adalah vektor translasi dan
rotasi relatif antar 2 sistem koordinat kamera. Vektor tersebut diperlukan saat
rekonstruksi koordinat 3D setiap objek di foto yang ingin ditentukan
koordinat 3Dnya dalam sistem bumi.
Pada penelitian ini dipilih 3 kelompok foto. Kelompok tersebut dibuat
berdasarkan posisi tinggi terbang, yaitu sekitar 50 m, 60 m, dan 70 m. Pada
setiap kelompok dipilih 3 foto yang saling bertampalan dan semua target ada
pada setiap foto. Jadi parameter ekstrinsik relatif yang ditentukan pada tahap
ini adalah parameter ekstrinsik relatif dalam kelompok foto masing-masing.
d. Merekonstruksi koordinat 3D titik-titik target dengan triangulasi stereo.
Pada tahap ini dilakukan perhitungan koordinat 3D titik target dengan data
masukan berupa :
1) Koordinat titik pada masing-masing sistem foto 1 dan 2.
2) Parameter intrinsik kamera.
3) Parameter ekstrinsik relatif antar kamera/foto 1 dan 2.
Algoritme triangulasi stereo digunakan dengan menerapkan kondisi
kesegarisan dan triangulasi antara vektor-vektor yang menghubungkan titik
P,Ol,Or (Gambar 2.3). Hasilnya adalah koordinat X,Y,Z sebuah titik/target
pada sebuah model 3D. Pada tahap ini koordinat X,Y,Z setiap target dihitung.
Sampai tahap ini ekstraksi spasial (X,Y,Z ) setiap target telah dapat dilakukan.
e. Membandingkan ketinggian hasil pengukuran ETS dengan hasil rekonstruksi
3D.
Hasil rekonstruksi 3D pada langkah d di atas adalah koordinat X,Y,Z dalam
sistem bumi. Dari sepasang foto akan diperoleh satu set koordinat X,Y,Z,
tetapi dari tiga foto dapat diperoleh tiga set koordinat X,Y,Z dan satu set
koordinat X,Y,Z hasil rata-ratanya. Z adalah nilai ketinggian target.
Selanjutnya nilai-nilai Z setiap target tersebut dibandingkan dengan nilai H,
tinggi target, hasil pengukuran ETS.
28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan terhadap hasil penelitian dititikberatkan pada hasil kalibrasi kamera
dan rekonstruksi 3D, khususnya ekstraksi spasial dari model berupa koordinat 3D
objek pada komponen tingginya saja. Parameter intrinsik hasil kalibrasi kamera
merupakan data masukkan pada perhitungan tinggi objek hasil rekonstruksi 3D,
oleh karena itu analisis hubungan atau pengaruh parameter intrinsik terhadap
tinggi objek dilakukan lebih detil.
4.1 Hasil Kalibrasi Kamera
Keluaran yang diperoleh dari Camera Calibration Toolbox adalah : Calibration results (with uncertainties):
Focal Length: fc = [4096.14584 4097.64434] ± [0.40609 0.40092]
Principal point: cc = [2975.87782 1981.72154] ± [0.27895 0.22077]
Skew: alpha_c = [0.00096] ± [0.00001]
=> angle of pixel axes = 89.94497 ± 0.00047 degrees
Distortion: kc = [-0.06233 0.11848 -0.00236 -0.00252 -0.03805] ±
[0.00019 0.00072 0.00001 0.00002 0.00085]
Pixel error: err = [0.16018 0.18896]
Keterangan :,
1) Panjang fokus : fc(1) = fx dan fc(2) = fy
2) Titik fidusial : cc(1) = xp dan cc(2) = yp
3) Sudut antara sumbu xy : alpha_c = β
4) Koefisien radial : kc(1)= K1, kc(2)= K2, kc(5)= K3
5) Koefisien tangensial : kc(3)= P1, kc(4)= P2
Untuk mendapatkan hasil hingga diperoleh kesalahan piksel (pixel
error) < 1 piksel dilakukan dengan beberapa kali proses yang diulang beberapa
kali. Salah satu cara dengan menghitung ulang koordinat titik-titik pojok kotak
hitam-putih pada foto yang memberikan kesalahan besar. Jika tidak ada
penurunan besarnya kesalahan maka langkah berikutnya adalah dengan tidak
mengikutsertakan foto yang memberikan kesalahan besar pada titik koordinat
pojok tersebut dalam perhitungan parameter intrinsik.
Gambar 4.1 mengilustrasikan proses iterasi yang dilakukan berdasarkan
hasil plot kesalahan titik-titik di setiap foto terhadap nilai yang sebenarnya. Pada
prinsipnya proses iterasi yang dilakukan adalah menentukan koordinat titik-titik
pojok kotak hitam-putih pada setiap foto yang masih memiliki kesalahan cukup
besar. Grafik sebelah kiri menunjukkan masih ada titik pojok yang mempunyai
kesalahan terbesar pada sumbu y dan x sampai x = +15 piksel dan y = +10 piksel.
Gambar 4.1 Proses iterasi penentuan titik pojok untuk
mendapatkan kesalahan terkecil
29
Pada grafik tengah kesalahan dapat diperkecil dan grafik kanan memperlihatkan
kesalahan terbesar yang mengecil hingga x < + 0.5 piksel dan y < + 0.3 piksel.
Proses iterasi dihentikan saat diperoleh nilai pixel error terkecil yang dapat
dicapai, dengan demikian nilai-nilai komponen parameter intrinsik terakhir yang
dianggap nilai terbaik/definitif. Proses ini dilakukan tidak secara otomatis tetapi
dengan melibatkan pengolah data. Pemilihan foto yang perlu dilakukan penentuan
ulang koordinat titik-titik pojok kotak hitam-putih dan besarnya ukuran jendela
pada proses corner finder ditentukan oleh pengolah data. Dengan demikian nilai
definitif parameter intrinsik sebuah kamera kemungkinan besar akan tidak
tunggal, walau pun menggunakan sejumlah foto yang sama. Hal ini disebabkan
karena adanya faktor subjektif dari pengolah data.
Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi parameter intrinsik
kamera pada penelitian ini dilakukan 3(tiga) kali pemotretan papan kalibrasi yang
hasilnya diperlihatkan pada Tabel 4.1.
Tiga pemotretan untuk kalibrasi kamera dilakukan sebagai berikut :
Pemotretan kalibrasi pertama pemotretan udara pertama pemotretan
kalibrasi kedua pemotretan kedua pemotretan kalibrasi ketiga.
Pada pemotretan kalibrasi pertama, posisi kamera tidak ditentukan pola
posisinya terhadap papan kalibrasi. Penempatan posisi papan kalibrasi pada
bidang foto yang menjadi faktor utama.
Pada pemotretan kalibrasi kedua, posisi kamera dilakukan di 9 posisi seperti
matriks 3 x 3. Jarak antara kamera dan papan kalibrasi dipertahankan hampir sama
serta variasi penempatannya pada bidang foto dipertahankan seperti pada
pemotretan pertama.
Pada pemotretan ketiga dicoba papan kalibrasi dengan ukuran kotak 5 cm
dan lensa kamera diatur pada posisi manual focus dan dikunci. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk memudahkan penentuan titik pojok kotak hitam-putih dan
posisi fokus kamera sedekat mungkin dengan posisi fokus saat pemotretan di
udara dilakukan, sedangkan pada kalibrasi pertama dan kedua dilakukan dengan
Tabel 4.1 Parameter intrinsik hasil tiga kalibrasi
No Jenis Parameter Parameter
Intrinsik
Kalibrasi Pertama(I) Kalibrasi Kedua(II) Kalibrasi Ketiga(III)
Nilai Std.Dev. Nilai Std.Dev. Nilai Std.Dev.
1 Panjang Fokus
fx (piksel) 4014.65931 ± 0.06099 4015.44010 ± 0.05235 4096.14584 ± 0.40609
2 fy (piksel) 4013.57641 ± 0.05991 4014.91913 ± 0.05131 4097.64434 ± 0.40092
3 Titik Tengah Foto
xp(piksel) 2966.35209 ± 0.05161 2951.91268 ± 0.05003 2975.87782 ± 0.27895
4 yp(piksel) 1986.66182 ± 0.05346 1968.19834 ± 0.05154 1981.72154 ± 0.22077
5 Kemiringan Sumbu x-y
β 0.00003 ± 0.00011 0.00020 ± 0.00000 0.00096 ± 0.00001
6
Distorsi Radial
K1 -0.06652 ± 0.00003 -0.07117 ± 0.00003 -0.06233 ± 0.00019
7 K2 0.08026 ± 0.00011 0.09651 ± 0.00011 0.11848 ± 0.00072
8 K5 0.00188 ± 0.00012 -0.01997 ± 0.00012 -0.00236 ± 0.00001
9 Distorsi Tangensial
P1 -0.00139 ± 0.00000 -0.00199 ± 0.00000 -0.00252 ± 0.00002
10 P2 -0.00282 ± 0.00000 -0.00252 ± 0.00000 -0.03805 ± 0.00085
11 Kesalahan
x (piksel) 0.03585 0.05183 0.16018
12 y (piksel) 0.03082 0.04727 0.18896
30
auto-focus. Selain itu, pada pemotretan kalibrasi ketiga jarak antara kamera dan
papan kalibrasi diatur dalam berbagai jarak, dekat dan cukup jauh hingga 2-3 x
jarak pada kalibrasi pertama dan kedua.
Pada Gambar 4.2 ditampilkan visualisasi posisi dan konfigurasi kamera saat
pemotretan terhadap papan kalibrasi pada ketiga pemotretan kalibrasi. Limas
berwarna hijau bergaris merah mewakili posisi kamera dan foto, sedangkan angka
menunjukkan posisi kamera dan banyaknya foto yang digunakan pada
pengolahan data untuk menghitung parameter intrinsik.
Gambar 4.2 memperlihatkan adanya perbedaan konfigurasi posisi kamera
dan jarak kamera ke papan kalibrasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui
apakah nilai parameter intrinsik akan dipengaruhi oleh hal tersebut.
Tabel 4.1 memperlihatkan adanya perbedaan nilai yang berarti, antara lain :
1) Panjang fokus lensa hasil kalibrasi ketiga berbeda sangat berarti hingga 80
piksel dibandingkan dengan nilai pertama dan kedua. Dari hasil tersebut
tampak bahwa panjang fokus merupakan komponen parameter intrinsik yang
sangat dipengaruhi dari tahap kalibrasi.
2) Koordinat piksel titik utama juga mempunyai perbedaan yang berarti tetapi
perbedaannya tidak lebih dari 30 piksel.
3) Nilai koefisien radial dan tangensial (K1, K2, K3, P1, P2) juga menunjukkan
perbedaan yang tidak terlalu berarti. Hal ini tampak dari model distorsi yang
diperlihatkan pada Gambar 4.3, 4.4 dan 4.5.
Secara grafik perbedaan tersebut dapat divisualisasikan dengan baik berupa
3(tiga) model distorsi (Lengkap, Radial dan Tangensial) seperti tampak pada
Gambar 4.3.
(a) (b) (c)
Gambar 4.2 Konfigurasi dan posisi kamera pada ketiga kalibrasi
Gambar 4.3 Model distorsi hasil kalibrasi pertama
31
Pada Gambar 4.3, 4.4 dan 4.5 diperlihatkan grafik yang memodelkan
adanya distorsi radial dan tangensial serta model gabungannya. Panah-panah biru
menunjukkan bahwa titik objek pada foto mengalami distorsi dari posisi
sebenarnya ke arah tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh faktor internal kamera
terutama pada bagian lensa.
Pada model distorsi gabungan tampak adanya perbedaan kontur yang
berkaitan dengan besaran nilai parameter intrinsik yang ditampilkan pada Tabel
4.1. Analisis yang dapat dikemukakan terhadap data tersebut antara lain :
1) Konfigurasi posisi kamera saat pemotretan papan kalibrasi memberikan
pengaruh yang tidak banyak berarti. Hal ini terlihat dari hasil kalibrasi
pertama dan kedua. Panjang fokus lensa yang dihasilkan relatif sama dan nilai
koefisien radial dan tangensial juga tidak banyak perbedaannya. Gambar
4.2(b) memperlihatkan bahwa posisi kamera pada kalibrasi kedua sangat
bervariasi, jarak dekat, sedang dan jauh. Ternyata nilai parameter intrinsiknya
tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil kalibrasi pertama. Pada kalibrasi
ketiga juga terdapat posisi kamera yang cukup dekat dan jauh dengan papan
kalibrasi tetapi tidak mempengaruhi nilai parameter intrinsik secara berarti.
2) Pengaturan panjang fokus lensa, auto-focus atau manual, merupakan faktor
yang sangat berarti pada nilai parameter intrinsik. Kalibrasi pertama dan
kedua fokus lensa diatur pada posisi auto-focus dan nilai parameter intrinsik
panjang fokus relatif sama (4014.66 dan 4015.44) yang berbeda hanya
dalam 1 piksel. Tetapi panjang fokus hasil kalibrasi ketiga memiliki perbedaan
sampai dengan 80 piksel (4096.15) , hal ini disebabkan karena fokus diatur
secara manual pada posisi terjauh.
3) Perubahan atau perbedaan nilai parameter intrinsik mungkin disebabkan oleh
karena kamera low cost memiliki tingkat kestabilan yang rendah. Kamera
tersebut memang bukan untuk fotogrametri, oleh karena itu penentuan
Gambar 4.5 Model distorsi hasil kalibrasi kedua
Gambar 4.4 Model distorsi hasil kalibrasi ketiga
32
parameter intrinsik perlu dilakukan sesering mungkin. Tetapi pada kasus
kamera yang digunakan pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa kamera ini
mempunyai kestabilan yang cukup bagus. Hal ini dapat dilihat dari nilai
parameter intrinsik kalibrasi pertama dan kedua yang tidak banyak berbeda,
sehingga faktor fisik kamera tidak menjadi faktor yang berpengaruh.
Selain tiga analisis di atas terhadap beberapa faktor yang sudah diuraikan,
yaitu faktor penempatan papan kalibrasi pada bidang foto, seperti Gambar 3.5,
merupakan salah satu faktor yang penting dibahas khusus. Untuk itu, pada
penelitian ini juga dilakukan perhitungan parameter intrinsik menggunakan
kelompok foto hasil pemotretan kalibrasi pertama, tetapi dengan memilih foto
tertentu saja. Pemilihan foto tertentu tersebut diatur sedemikian rupa sehingga foto
yang diproses berisi posisi papan kalibrasi yang tidak melingkupi semua sisi
lensa. Hasilnya diperlihatkan pada Tabe; 4.2.
Pada Tabel 4.2 terdapat 2 set parameter intrinsik, IV dan V, yang diperoleh
dari 2 set foto papan kalibrasi. Parameter intrinsik kelompok IV dan V merupakan
parameter intrinsik hasil pemilihan foto yang posisi papan kalibrasi hanya pada
sisi tertentu (Gambar 4.6(b) dan 4.6(c)). Terlihat parameter intrinsik yang hasilnya
berbeda secara berarti, khususnya pada komponen panjang fokus. Hal ini
menunjukkan faktor penempatan papan kalibrasi pada bidang foto merupakan
salah satu kriteria penting yang harus diperhatikan pada kalibrasi kamera.
Selain menggunakan papan kalibrasi, pada penelitian ini dilakukan juga
perhitungan parameter intrinsik menggunakan data foto udara. Metode ini dikenal
dengan istilah Field-Calibration. Prinsip perhitungannya tetap menggunakan
Camera Calibration Toolbox dari Jean-Yves Bouguet (2010) yang dimodifikasi
dan disesuaikan sesuai dengan kondisi data masukan yang ada. Besaran yang
menjadi masukan adalah koordinat 29 target pada 9 foto udara yang dipilih untuk
rekonstruksi 3D serta koordinat target tersebut pada sistem koordinat bumi.
Parameter intrinsik yang diperoleh dari data foto udara tersebut disimpan pada
Tabel 4.2 kolom VI.
Standard deviasi parameter intrinsik hasil kalibrasi kamera tersebut,
khususnya pada komponen panjang fokus lensa sebesar 12 piksel dan koordinat
titik fidusial sebesar 3 piksel, jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil papan
kalibrasi yang lebih kecil dari 1 piksel. Hal tersebut diseperkirakan karena jumlah
dara masukan yang sedikit, yaitu data berupa koordinat 29 titik/target setiap foto
dan hanya menggunakan sembilan foto udara. Sedangkan jika menggunakan
(a) (b) (c)
Gambar 4.6 Konfigurasi posisi kamera hasil pemilihan posisi papan
kalibrasi di bidang foto
33
papan kalibrasi ukuran kotak 3 cm terdapat 1369 titik setiap foto serta jumlah
fotonya lebih dari 40 foto.
Gambar 4.6 mengilustrasikan konfigurasi posisi kamera saat pengambilan
foto yang berkorelasi dengan parameter intrinsik pada Tabel 4.2. Pada Gambar
4.6(a) diperlihatkan konfigurasi posisi kamera jika semua foto yang berisi papan
kalibrasi melingkupi bidang foto, sedangkan pada Gambar 4.6(b) dan 4.6(c)
diperlihatkan bahwa jika pemotretan papan kalibrasi dilakukan seperti itu maka
akan mempengaruhi nilai parameter intrinsik yang diperoleh (Tabel 4.2 kolom IV
dan V)
Dengan demikian sebuah kamera dengan satu lensa tertentu dapat memiliki
beberapa parameter intrinsik. Parameter intrinsik bervariasi tergantung optimasi
dan pemilihan faktor-faktor yang mempengaruhi dan telah dijelaskan sebelumnya.
Pada penelitian ini dipilih beberapa kelompok parameter intrinsik yang akan
digunakan pada rekonstruksi 3D. Pengelompokan dibuat berdasarkan dominasi
faktor penting yang telah diuraikan sebelumnya serta kombinasinya. Parameter
intrinsik dari Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 akan digunakan sebagai salah satu faktor
yang akan dianalisis pengaruhnya terhadap akurasi tinggi objek hasil rekonstruksi.
Jadi ada 6 kelompok parameter intrinsik yang dipakai sebagai data masukkan pada
rekonstruksi 3D (Tabel 4.3).
Tabel 4.2 Parameter intrinsik kamera hasil kalibrasi dengan mengubah
konfigurasi posisi papan kalibrasi dan menggunakan foto
udara
No Jenis Parameter Parameter
Intrinsik
IV V VI
Nilai Std.Dev. Nilai Std.Dev. Nilai Std.Dev.
1 Panjang Fokus
fx (piksel) 4021.74845 ± 0.09095 4004.15502 ± 0.10934 4053.86652 ± 12.51514
2 fy (piksel) 4021.00587 ± 0.08871 4004.6336 ± 0.10910 4054.95274 ± 12.47136
3 Titik Tengah Foto
xp(piksel) 2982.02057 ± 0.07782 2944.30200 ± 0.10509 2983.59159 ± 3.02136
4 yp(piksel) 1965.77150 ± 0.07500 2009.43512 ± 0.10539 1978.08748 ± 3.61002
5 Kemiringan sumbu x-y
β -0.00025 ± 0.00000 0.00017 ± 0.00001 0.00069 ± 0.00006
6
Distorsi Radial
K1 -0.06781 ± 0.00004 -0.07442 ± 0.00005 -0.06292 ± 0.00179
7 K2 0.08833 ± 0.00015 0.11380 ± 0.00018 0.10701 ± 0.00836
8 K3 -0.00722 + 0.00017 -0.04555 + 0.00021 -0.00240 ± 0.00011
9 Distorsi
Tangensial
P1 -0.00238 ± 0.00000 -0.00040 ± 0.00001 -0.00275 ± 0.00013
10 P2 -0.00192 ± 0.00000 -0.00460 ± 0.00001 -0.02360 ± 0.01141
11 Kesalahan
x (piksel) 0.03084 0.04745 0.37017
12 y (piksel) 0.03047 0.04045 0.41364
34
4.2 Hasil Rekonstruksi 3D
Data masukan pada proses rekonstruksi 3D adalah parameter intrinsik
kamera, koordinat target titik sekawan pada sistem koordinat masing-masing foto
dan koordinat target pada sistem bumi. koordinat target pada sistem bumi
dijadikan sebagai acuan dan dianggap tidak memiliki kesalahan karena tingkat
akurasinya yang paling baik. Koordinat 9 target yang dipilih sebagai titik sekawan
memiliki kesalahan karena proses digitasi manual dan faktor identifikasi titik
silang kotak hitam-putih yang bisa memiliki nilai berbeda setiap melakukan
digitasi. Ada 6 set/kelompok parameter intrinsik yang memiliki nilai yang
berbeda. Oleh karena itu pembahasan lebih detil ditujukan pada dua faktor
terakhir.
Setelah perhitungan parameter ekstrinsik setiap foto (butir 3.3.2 b) dapat
dihitung penyimpangan atau selisih koordinat target hasil dari proyeksi ulang
dengan koordinat hasil digitasi. Caranya dengan melakukan proyeksi ulang
koordinat titik sekawan dengan masukan koordinat hasil digitasi dan parameter
ekstrinsik hasil hitungan, kemudian koordinat hasil proyeksi tersebut
dibandingkan dengan hasil digitasi. Tujuannya adalah untuk mengetahui validitas
data dan parameter ekstrinsik final terbaik yang dapat ditentukan, yaitu dengan
mencari nilai minimal perbedaannya antara hasil digitasi dengan hasil hitungan.
Penyimpangan posisi target 9 titik sekawan diperlihatkan pada Tabel 4.4. Data
yang ada pada tersebut diperoleh dari 9 foto (FA1, FA2, FA3, FB1, FB2, FB3,
FC1, FC2, FC3) digunakan untuk analisis dengan menggunakan satu set
Tabel 4.3 Hasil kalibrasi kamera : 6 set parameter intrinsik
No
Komponen
Parameter
Intrinsik
Kelompok/Set
I II III IV V VI
1 fx (piksel) 4014.66 4015.44 4096.15 4021.75 4004.16 4053.87
2 fy (piksel) 4013.58 4014.92 4097.64 4021.01 4004.63 4054.95
3 xp(piksel) 2966.35 2951.91 2975.88 2982.02 2944.30 2983.59
4 yp(piksel) 1986.66 1968.20 1981.72 1965.77 2009.44 1978.09
5 β 0.0000 0.0002 0.0010 -0.0003 0.0002 0.00069
6 K1 -0.0665 -0.0712 -0.0623 -0.0678 -0.0744 -0.06292
7 K2 0.0803 0.0965 0.1185 0.0883 0.1138 0.10701
8 K3 -0.0014 -0.0020 -0.0024 -0.0024 -0.0004 -0.00240
9 P1 -0.0028 -0.0025 -0.0025 -0.0019 -0.0046 -0.00275
10 P2 0.0019 -0.0200 -0.0381 -0.0072 -0.0456 -0.02360
Keterangan :
a) Parameter intrinsik I,II dan III dari Tabel 4.1
b) Parameter intrinsik IV,V dan VI dari Tabel 4.2
c) Parameter intrinsik I,II,IV,V dan VI adalah hasil kalibrasi dengan pengaturan lensa pada
kondisi auto-focus menggunakan papan kalibrasi
d) Parameter intrinsik III adalah hasil kalibrasi dengan pengaturan lensa pada kondisi fix-
focus menggunakan papan kalibrasi
e) Parameter intrinsik VI adalah hasil kalibrasi menggunakan foto udara (Field-Calibration)
35
parameter intrinsik (kelompok ketiga). Besarnya Root Mean Square (RMS) dari
selisih koordinat titik sekawan tidak ada yang lebih besar dari 0.5 piksel. Dengan
demikian ketelitian parameter ekstrinsik yang diperoleh sudah menghasilkan
ketelitian titik sekawan hasil proyeksi ulang lebih kecil dari 1 piksel. Hasil ini
menunjukkan bahwa koordinat titik sekawan hasil digitasi cukup baik.
Besarnya kesalahan koordinat hasil proyeksi ulang dapat diperbaiki hingga
diperoleh RMS minimal dengan mengubah nilai koordinat hasil digitasi. Caranya
dengan mengurangi atau menambahkan 1 piksel atau lebih pada koordinat x dan
atau y pada koordinat hasil digitasi pada titik To1 sampai To9. Koordinat hasil
digitasi titik To1 sampai To9 yang dianggap final adalah koordinat yang
memberikaan nilai RMS terkecil pada setiap foto. Besarnya RMS pada Tabel 4.4
adalah hasil optimal yang dapat diperoleh dari digitasi manual. Proses digitasi
secara manual menimbulkan adanya faktor subyektifitas pendigit akan
mempengaruhi ketelitian hasil.
Pada penelitian ini diperoleh data bahwa bentuk target yang dipakai
mempengaruhi ketelitian koordinat hasil digitasi. Titik pojok atau persilangan
kotak hitam-putih pada foto udara digital hasil pemotretan dari UAV ternyata
tidak tampak dengan jelas sehingga tidak mudah diidentifikasi. Kondisi ini
Tabel 4.4 Kesalahan titik sekawan
Foto Selisih Koordinat
Foto
Target
RMS
To1 To2 To3 To4 To5 To6 To7 To8 To9
FA1 dx(piksel) 0.3 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 0.1 0.2 0.3
dy(piksel) 0.7 -0.5 0.4 -0.2 -0.4 -0.4 0.8 0.2 -0.7 0.5
FA2 dx(piksel) 0.6 0.3 -0.3 0.1 -0.2 -0.5 0.2 -0.2 0.2 0.3
dy(piksel) 0.5 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6 0.6 0.4 0.7 -0.4 0.5
FA3 dx(piksel) 0.6 0.2 -0.1 0.2 -0.4 -0.5 0.2 -0.3 -0.2 0.3
dy(piksel) 0.5 -0.4 -0.3 0.1 -0.6 0.0 0.4 0.4 -0.1 0.4
FB1 dx(piksel) 0.1 -0.7 0.1 0.4 0.1 -0.3 0.5 -0.2 0.0 0.3
dy(piksel) -0.2 -0.4 0.6 -0.2 -0.6 0.3 0.1 0.2 0.3 0.4
FB2 dx(piksel) -0.3 -0.6 0.5 0.1 0.1 0.1 -0.6 0.4 0.3 0.4
dy(piksel) 0.1 0.6 0.1 -0.7 0.0 0.3 0.1 -0.3 -0.1 0.3
FB3 dx(piksel) 0.1 0.2 0.0 0.3 -0.1 -0.2 0.4 -0.1 -0.6 0.3
dy(piksel) -0.1 -0.5 -0.4 0.6 -0.4 0.8 0.5 -0.2 -0.4 0.5
FC1 dx(piksel) -0.7 0.3 0.2 -0.3 0.2 0.4 -0.1 0.0 0.0 0.3
dy(piksel) 0.3 -0.4 0.3 0.1 0.0 0.3 -0.1 -0.5 -0.1 0.3
FC2 dx(piksel) 0.2 0.2 0.1 0.2 -0.1 -0.6 0.0 -0.4 0.5 0.3
dy(piksel) 0.0 -0.1 -0.2 0.3 0.2 -0.3 -0.3 0.6 -0.2 0.3
FC3 dx(piksel) 0.6 0.0 -0.4 0.2 0.5 -0.1 -0.4 -0.3 -0.3 0.4
dy(piksel) 0.3 -0.3 -0.2 0.5 0.0 -0.5 0.5 0.4 -0.5 0.4
Keterangan :
a) FA adalah kelompok foto udara yang dipotret dari ketinggian sekitar 50 m (Lampiran)
b) FB adalah kelompok foto udara yang dipotret dari ketinggian sekitar 60 m (Lampiran)
c) FC adalah kelompok foto udara yang dipotret dari ketinggian sekitar 70 m (Lampiran)
36
berbeda dengan foto untuk kalibrasi kamera dengan target yang sama. Kondisi
objek pada bagian belakang dari target juga mempengaruhi penampakan target.
Gambar 4.7 memperlihatkan beberapa kenampakan target setelah diperbesar saat
akan didigit untuk mendapatkan koordinat titik silangnya.
Gambar 4.7 Kenampakan target hasil pemotretan dari UAV
Kondisi target seperti tampak pada Gambar 4.7 menyebabkan koordinat titik
pojok hitam-putih tampak tidak jelas pada satu titik tertentu, sehingga hasil
digitasinya bisa berbeda sampai dengan 2 piksel jika dilakukan secara manual.
Awalnya, pemilihan bentuk target seperti (c)
(d)
Gambar 3.6 didasarkan pada pertimbangan untuk menerapkan algoritme
corner finder sehingga penentuan titik silang tersebut dapat dilakukan secara
otomatis dan kesalahan akibat faktor orang yang mendigit dapat dihilangkan.
Hasil yang diperoleh ternyata hal tersebut tidak efektif, karena koordinat hasil
corner finder tidak lebih baik, berbeda dengan hasil saat proses kalibrasi kamera.
Hasil ini memperlihatkan bahwa perlu dipertimbangkan dan diteliti bentuk target
yang lain yang lebih efektif untuk dapat diindetifikasi dan ditentukan koordinat
titik tengahnya. Pada tahap ini dapat diindentifikasi salah satu sumber kesalahan
yang akan mempengaruhi hasil akhir penelitian ini.
Rekonstruksi 3D yang dilakukan dengan data masukan koordinat sistem
foto dan bumi 9 target yang dipakai sebagai titik sekawan (butir 3.3.2 d dan e))
dengan menggunakan 6 set parameter intrinsik (Tabel 4.3) diperoleh salah satu
hasil seperti pada Tabel 4.5.
Pada Tabel 4.5 diperlihatkan bahwa perbedaan tinggi target hasil ukuran
ETS dengan hasil rekonstruksi berkisar antara 1.6 cm – 2.6 cm. Setiap sepasang
foto yang bertampalan akan memberikan data seperti Tabel 4.5 tentunya dengan
nilai yang berbeda. Dari pasangan foto yang dipilih kesalahan terbesar adalah
11.7 cm pada foto hasil pemotretan di ketinggian 70 m.
Pada Tabel 4.5 terdapat data yang menunjukan bahwa parameter intrinsik III
dan VI memberikan nilai kesalahan terkecil, yaitu dilihat dari nilai RMS terkecil
Tabel 4.5 Perbedaan tinggi titik sekawan
Parameter
Intrinsik
Perbedaan Tinggi Target Ukuran – Rekonstruksi (cm) RMS.
(cm) To1 To2 To3 To4 To5 To6 To7 To8 To9
I 1,9 0,5 1,7 -3,3 -1,4 1,8 -1,6 -0,1 0,4 1,7
II -0,5 0,9 4,7 -4,0 -1,1 3,2 -0,6 -1,1 -2,1 2,5
III 1,3 0,2 -2,1 -1,4 1,6 2,6 -1,1 0,3 -1,8 1,6
IV -1,1 -0,5 2,5 -4,0 0,0 5,0 -3,2 -0,2 1,2 2,6
V 4,5 2,2 1,7 -3,3 -2,5 -0,4 -0,1 -0,8 -1,3 2,4
VI 1.1 0.1 -1.4 -2.0 1.4 3.1 -2.0 0.2 -0.7 1.6
37
sebesar 1.6 cm. Pada tahap ini belum cukup data untuk menentukan bahwa dua set
parameter intrinsik tersebut adalah yang terbaik, karena penentuan tinggi 20 target
lainnya belum dihitung.
Tahap selanjutnya adalah menghitung tinggi 20 target lainnya (butir 3.3.2 a
2)). Karena pada setiap tinggi terbang dipilih 3 foto maka dapat dibangun 3 model
yang merupakan kombinasi pasangan yang dapat dibuat dari 3 foto tersebut, yaitu
pasangan foto 1-2, 2-3 dan 1-3 untuk foto udara dengan ketinggian sekita 50 m,
misalnya. Kombinasi yang sama akan dapat juga dilakukan pada 3 foto udara
yang dipotret pada ketinggian sekitar 60 m dan 70 m. Dengan demikian akan
diperoleh 9 pasang kombinasi foto udara. Pada setiap pasang akan dapat dihitung
tinggi 20 target dari rekonstruksi 3D, sehingga akan diperoleh data tinggi target 20
x 9 untuk setiap set parameter intrinsik. Jadi tinggi target hasil rekonstruksi 3D
yang dihasilkan pada pelitian ini adalah sebanyak 20 x 9 x 6 = 1080.
Error! Reference source not found. merupakan grafik dari selisih tinggi
0 target hasil rekonstruksi dikurang ukuran ETS dari salah satu kombinasi
Gambar 4.8 Grafik perbedaan tinggi 20 target menggunakan 2 foto
Gambar 4.9 Grafik perbedaan tinggi 20 target menggunakan 3 foto
38
sepasang foto udara dengan ketinggian terbang 70 m (FC(1-2) pada Tabel 4.6).
Dengan demikian grafik seperti Error! Reference source not found. dapat dibuat
lagi dari 2 kombinasi foto udara lainnya. Error! Reference source not found.
merupakan grafik dari selisih tinggi 20 target hasil rekonstruksi dikurang ukuran
ETS dari rata-rata 3 tinggi taget yang diperoleh dari hasil rekonstruksi 3
kombinasi pasangan foto udara tersebut.
Dari Error! Reference source not found. dan Error! Reference source not
und. dapat dianalisis bahwa setiap set parameter intrinsik memberikan hasil
perbedaan tinggi yang berbeda pada setiap target dan tidak ada parameter
intrinsik yang memberikan hasil perbedaan tinggi terkecil pada semua target.
Masing-masing parameter intrinsik dapat memberikan koreksi yang baik pada titik
tertentu tetapi dapat juga memberikan koreksi yang buruk pada titik lainnya. Oleh
karena itu perlu dipilih metode analisis atau besaran statistik yang dapat
menentukan parameter intrinsik yang mana yang dapat menunjukkan parameter
intrinsik terbaik atau optimal pada semua target. Hal ini menunjukkan bahwa
parameter intrinsik menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi akurasi
hasil rekonstruksi.
Pengaruh parameter intrinsik terhadap akurasi tinggi target dapat dilihat
dengan menyusun data hasil ekstraksi tinggi seperti Tabel 4.6.
39
Tabel 4.6 merupakan sebuah contoh kompilasi data perbedaan tinggi pada
target T5 hasil rekonstruksi dibanding dengan pengukuran ETS terhadap faktor
parameter intrinsik, kombinasi foto dan tinggi terbang. Analisis terhadap nilai
pada setiap kolom pada table tersebut akan menghasilkan suatu sintesis yang
menarik terkait pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap akurasi nilai tinggi target
hasil rekonstruksi 3D.
Remondino dan Frasser (2006) menyatakan bahwa semua komponen
parameter intrinsik kamera harus dipakai jika akan melakukan ekstraksi spasial
dari rekonstruksi 3D suatu objek dari foto. Semakin baik parameter intrinsik dapat
ditentukaan semakin baik hasil rekonstruksi yang diperoleh. Error! Reference
ource not found. menunjukan bahwa pada penelitian ini pernyataan tersebut
terbukti.
Pada Error! Reference source not found. diperlihatkan data perbedaan
inggi target T5 hasil rekonstruksi dengan hasil pengukuran lapangan
menggunakan ETS. Terlihat pengaruh faktor 6 set parameter intrinsik hasil
kalibrasi sangat signifikan terhadap tinggi hasil rekonstruksi.
Data hasil penelitian yang diperlihatkan pada Error! Reference source not
ound. membuktikan bahwa parameter intrinsik kamera yang digunakan untuk
rekonstruksi 3D sangat mempengaruhi ketelitian tinggi objek. Perbedaan nilai
Tabel 4.6 Contoh perbedaan tinggi target T5 hasil rekonstruksi
Parameter
Intrinsik
Perbedaan Tinggi Pada Target T5 (cm)
2 Foto 3 Foto
FA FB FC FA FB FC
1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2-3 1-2-3 1-2-3
I 5.3 -1.6 3.9 3.0 -1.2 3.1 1.8 3.1 2.8 2.5 1.6 2.6
II 3.3 -1.4 3.0 2.6 0.1 2.1 0.4 2.2 1.1 1.6 1.6 1.2
III 1.7 -11.7 -2.8 6.7 -1.2 -5.9 3.8 0.3 -1.5 -4.2 -0.1 0.9
IV 1.7 -0.3 2.1 2.6 0.2 2.0 -7.4 1.5 3.9 1.1 1.6 -0.7
V 9.8 -1.1 7.2 3.7 -0.9 4.8 10.2 6.1 2.8 5.3 2.5 6.4
VI 2.6 -9.3 -1.4 6.4 -0.7 -3.9 -0.1 1.0 0.7 -2.7 0.6 0.6
Keterangan :
a) Kolom FA adalah foto udara dengan tinggi terbang sekitar 50 m; FA(1-2) adalah
kombinasi pasangan foto FA1 dan FA2, demikian seterusnya dengan kombinasi FA(1-3)
dan FA(2-3)
b) Kolom FB adalah foto udara dengan tinggi terbang sekitar 60 m; FB(1-2) adalah:
kombinasi pasangan foto FB1 dan FB2, demikian seterusnya dengan kombinasi FB(1-3
dan FB(2-3)
c) Kolom FC adalah foto udara dengan tinggi terbang sekitar 70 m; FC(1-2) adalah:
kombinasi pasangan foto FC1 dan FC2, demikian seterusnya dengan kombinasi FC(1-3
dan FC(2-3)
d) Kolom FA(1-2-3) adalah perbedaan tinggi hasil rata-rata dari rekonstruksi 3 foto udara
FA1,FA2 dan FA3
e) Kolom FB(1-2-3) adalah perbedaan tinggi hasil rata-rata dari rekonstruksi 3 foto udara
FB1,FB2 dan FB3
f) Kolom FC(1-2-3) adalah perbedaan tinggi hasil rata-rata dari rekonstruksi 3 foto udara
FC1,FC2 dan FC3
g) Baris I-VI merupakan pengaruh faktor 6 parameter intrinsik terhadap tinggi hasil
rekonstruksi
40
setiap kolom terhadap baris menunjukkan bagaimana kontribusi langsung
parameter intrinsik terhadap tinggi target, sementara komponen masukan lainnya,
koordinat foto dan bumi, menggunakan nilai yang sama. Pada table tersebut juga
diperlihatkan bahwa tidak ada satu set parameter intrinsik yang memberikan nilai
tekecil pada semua posisi dan konfigurasi terbang atau pemotretan. Nilai yang
berlatar belakang abu-abu merupakan nilai dengan perbedaan terkecil dibanding
nilai lain pada kolom tersebut, artinya terkait dengan pengaruh satu set parameter
intrinsik terhadap satu kombinasi foto udara. Parameter intrinsik II, III, IV dan VI
memberikan nilai perbedaan terkecil pada konfigurasi tertentu, sedangkan
parameter intrinsik I dan V tidak. Khusus data pada tersebut yang hanya berlaku
pada target T5, parameter instinsik IV memberikan nilai perbedaan tinggi terkecil
pada 6 konfigurasi rekonstruksi 3D, sedangkan parameter intrinsik II, III dan VI
memberikan nilai perbedaan tinggi terkecil pada masing-masing 3 konfigurasi.
Kompilasi lain dari data hasil rekonstruksi model 3D menggunakan foto
udara memberikan hasil yang berbeda (Tabel 4.7). Kalau Error! Reference
ource not found. hanya berlaku pada satu target saja, T5, maka untuk
menentukan parameter intrinsik mana yang memberikan hasil ekstraksi tinggi
terbaik perlu dihitung besaran lain yang menunjukkan akurasi 20 target. Besarnya
RMS dari perbedaan tinggi 20 target hasil rekonstruksi dibanding dengan
pengukuran ETS terhadap faktor parameter intrinsik, kombinasi foto dan tinggi
terbang dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan parameter intrinsik terbaik.
Pada Tabel 4.7 diperlihatkan bahwa dari nilai RMS perbedaan tinggi 20
target tampak bahwa parameter intrinsik VI memberikan nilai terbaik pada 6
kombinasi, parameter intrinsik III memberikan nilai terbaik pada 5 kombinasi,
parameter intrinsik ke I dan II memberikan nilai terbaik pada masing-masing 1
kombinasi, sedangkan parameter intrinsik IV dan V tidak memberikan nilai
terbaik pada 12 kombinasi yang dilakukan.
Sampai tahap ini dapat disimpulkan bahwa parameter intrinsik III dan VI
merupakan kandidat parameter intrinsik terbaik. Perbedaan pengaturan kamera
saat kalibrasi untuk mendapatkan parameter intrinsik III dibading dengan yang
lainnya adalah pengaturan fokus kamera pada posisi tetap, bukan auto-focus.
Pengaturan fokus tersebut lebih mendekati posisi fokus saat pemotretan
menggunakan UAV dilakukan, yaitu jarak kamera ke objek sekitar 50 m, 60 m,
dan 70 m. Dengan demikian komponen panjang fokus lensa kamera merupakan
faktor yang paling dominan mempengaruhi akurasi hasil ekstraksi tinggi target.
41
Hal ini lebih diperkuat dengan fakta bahwa parameter intrinsik VI merupakan
parameter intrinsik yang memberikan nilai terbaik pada 6 kombinasi, lebih baik
dari parameter intrinsik III. Parameter intrinsik ke 6 diperoleh dari data foto udara
dan saat pemotretan kamera memang diatur pada posisi auto-focus dan pada
pemotretan dengan jarak 50 m, 60 m atau 70 m dapat diperkirakan posisi fokus
lensa akan mendekati pengaturan pada jarak tak terhingga. Fakta ini menunjukkan
bahwa panjang fokus merupakan faktor yang penting pada parameter intrinsik
sebuah kamera.
Analisis berikutnya dapat dilakukan terkait penggunaan 2 foto dibandingkan
dengan 3 foto pada rekonstruksi 3D. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa ekstraksi
tinggi dari model 3D yang dibangun dari 3 buah foto udara cenderung
memberikan akurasi yang lebih baik dibanding dengan yang menggunakan hanya
2 foto udara. Hal ini dapat dimengerti karena penggunaan 3 foto berarti
merekonstruksi 3 berkas sinar sedangkan yang menggunakan 2 foto hanya
merekonstruksi 2 berkas sinar, sehingga akurasi menjadi lebih baik (Gambar
4.10).
Tabel 4.7 RMS perbedaan tinggi 20 target hasil rekonstruksi
Parameter
Intrinsik
RMS Perbedaan Tinggi 20 Target (cm)
2 Foto 3 Foto
FA FB FC FA FB FC
1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2-3 1-2-3 1-2-3
I 6.8 7.6 5.2 8.4 4.7 7.2 8.8 4.2 4.0 5.1 4.5 4.3
II 6.7 8.8 5.8 7.1 4.6 7.0 14.9 4.6 4.0 6.3 4.6 5.8
III 3.5 5.8 3.2 4.6 3.9 5.3 8.2 3.1 4.6 3.3 3.1 2.6
IV 5.9 7.7 5.0 8.9 5.3 6.5 10.1 4.0 5.8 4.6 4.7 4.3
V 9.1 6.7 6.1 9.8 5.4 8.1 11.4 5.3 4.9 6.5 5.1 5.4
VI 4.3 5.0 3.4 5.3 3.4 4.3 6.7 3.3 4.3 3.0 2.5 2.7
Keterangan tabel sama dengan Tabel 4.6
(a) (b)
Gambar 4.10 Rekonstruksi menggunakan 2 dan 3 Foto
42
Analisis lebih lanjut perlu dilakukan untuk melihat hubungan atau pengaruh
tinggi objek/target dengan akurasi tingginya hasil dari rerkonstruksi 3D. Error!
eference source not found. dan Error! Reference source not found. merupakan
data hasil penelitian yang dipilih untuk melihat apakah ada hubungan tersebut.
Enam target dipilih dari 20 target berdasarkan perwakilan dari kelompok tinggi
target (1 cm,10 cm, 20 cm, 30 cm, 50 cm, 100 cm) dan posisi relatifnya pada foto
udara dan terhadap sebaran 9 titik sekawan, yaitu :
1) Target T1 dan T3 berada relatif di bagian tengah foto dan di dalam 9 titik
sekawan
2) Target T62 pada bagian tengah-kanan foto dan di luar 9 titik sekawan
3) Target T10 pada bagian kiri-atas foto dan di luar 9 titik sekawan
4) Target T13 pada bagian tengah-atas foto dan di luar 9 titik sekawan
5) Target T29 pada bagian kiri-bawah foto dan di luar 9 titik sekawan
Penempatan posisi target di dalam atau di luar titik sekawan dimaksudkan
untuk melihat apakah konfigurasi posisi target seperti itu mempengaruhi akurasi
tinggi hasil rekonstruksi 3D pada objek-objek tertentu. Hal ini perlu
dipertimbangkan karena pengaruh distorsi lensa pada komponen radial
diperkirakan akan memberikan kontribusi kesalahan dengan semakin jauhnya
target dari pusat lensa dan titik-titik sekawan.
(a) (b)
(c) (d)
43
Tabel 4.8 menguatkan kesimpulan bahwa rekonstruksi 3D yang
menggunakan 3 foto memberikan akurasi yang lebih baik dibanding 2 foto. Hal
ini dapat dipahami karena penggunaan 3 foto berarti rekonstruksi menggunakan 3
berkas sinar, sedangkan penggunaan 2 foto berarti rekonstruksi dilakukan hanya
(e) (f)
Gambar 4.11 Grafik perbedaan tinggi pada beberapa target
Tabel 4.8 Perbedaan tinggi target hasil rekonstruksi 3D dengan kombinasi
jumlah foto dan tinggi terbang
Tinggi
terbang
Target T1(1 cm) Target T3(10 cm)
2 Foto 3 Foto 2 Foto 3 Foto
(1-2) (1-3) (2-3) (1-2-3) (1-2) (1-3) (2-3) (1-2-3)
50 m -1.4 0.0 2.0 0.2 -0.8 5.0 2.6 2.3
60 m -3.0 -4.5 -2.3 -3.2 1.7 -3.0 -1.6 -1.0
70 m -2.2 -0.2 -0.4 -1.0 -10.6 -1.3 3.4 -2.8
(a) (b)
Tinggi
terbang
Target T6(20 cm) Target T10(30 cm)
2 Foto 3 Foto 2 Foto 3 Foto
(1-2) (1-3) (2-3) (1-2-3) (1-2) (1-3) (2-3) (1-2-3)
50 m -1.3 -0.1 -1.4 -0.9 0.3 -6.8 -1.9 -2.8
60 m 3.8 1.0 -5.4 -0.2 0.0 -3.6 -0.2 -1.3
70 m -5.5 -2.5 1.3 2.3 0.0 0.6 0.4 0.3
(c) (d)
Tinggi
terbang
Target T13(50 cm) Target T29(100 cm)
2 Foto 3 Foto 2 Foto 3 Foto
(1-2) (1-3) (2-3) (1-2-3) (1-2) (1-3) (2-3) (1-2-3)
50 m -8.3 -2.3 -5.6 -5.4 -0.2 10.4 0.3 3.5
60 m -5.8 -3.7 -12.6 -7.4 -4.3 4.8 -3.8 -1.1
70 m 0.6 -0.8 -0.6 -0.3 22.2 -9.0 -13.1 0.0
(e) (f)
44
menggunakan hanya 2 berkas sinar pada setiap target. Rekonstruksi menggunakan
2 foto tidak memiliki data tambahan yang biasa disebut sebagai ukuran lebih.
Berdasarkan pada Error! Reference source not found. dan Error! Reference
urce not found. dapat dilakukan analisis bahwa belum terlalu tampak adanya
korelasi pengaruh perbedaan tinggi target dengan akurasi tinggi hasil
rekonstruksi. Khusus pada target F4 yang memiliki tinggi 100 cm tampak adanya
peningkatan kesalahan yang berarti pada penggunaan 2 foto, tetapi faktor
pengaruh parameter ekstrinsik dan posisi target yang diperkirakan lebih banyak
mempengaruhi kesalahan tersebut. Hal ini ditunjukan oleh hasil rekonstruksi
menggunakan 3 foto. Penambahan 1 foto memperbaiki akurasi hasil yang hanya
menggunakan 2 foto. Pada kasus ini juga dapat diperkirakan parameter intrinsik
pada posisi target F4 cukup bagus. Hal ini diperkuat dengan data pada Error!
eference source not found.dan Error! Reference source not found. lainnya.
Keterkaitan antara akurasi tinggi target dengan perbedaan tinggi terbang
terlihat pada beberapa target : A10, B3, C2, dan F4, khususnya rekonstruksi yang
menggunakan 2 foto. Hal ini sesuai dengan teori yang ada. Keterkaitan tersebut
tidak terlihat pada target D2 dan E1 diperkirakan karena ada faktor lain yang lebih
dominan. Khusus pada target E, besarnya kesalahan cenderung pada nilai negatif.
Hal terjadi kemungkinan lebih didominasi oleh faktor parameter intrinsik kamera
pada titik tersebut.
Pada penelitian ini tampak bahwa tinggi terbang UAV pada 50 m, 60 m, dan
70 m belum cukup untuk memperlihatkan pengaruh tinggi terbang terhadap
akurasi hasil rekonstruksi (Cyganek dan Siebert, 2009). Akurasi yang diperoleh
dari hasil rekonstruksi foto dengan tinggi terbang 70 m memiliki selisih tinggi
yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil tinggi terbang 50 m dan 60 m.
Untuk menganalisis berapa akurasi yang bisa dicapai dari rekonstruksi 3D
pada penelitian ini, diperlihatkan beberapa data yang merupakan hasil
rekonstruksi. Error! Reference source not found. dan Tabel 4.10 berisi data
angkuman dari selisih tinggi hasil rekonstruksi dengan hasil ukuran ETS pada
salah satu dari 20 target yang memberikan selisih terkecil dan terbesar dari
kombinasi parameter intrinsik dan pasangan foto udara.
Tabel 4.9 Perbedaan tinggi terkecil salah satu target dari 20 target dengan
beberapa kombinasi parameter intrinsik, jumlah foto dan tinggi
terbang
Parameter
Intrinsik
Perbedaan Tinggi Terkecil (cm)
2 Foto 3 Foto
FA FB FC FA FB FC
1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2-3 1-2-3 1-2-3
I 0.1 0.0 0.0 0.2 0.0 0.2 0.5 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
II 0.2 0.1 0.1 0.9 0.0 0.3 0.4 0.1 0.2 0.1 0.4 0.3
III 0.1 0.0 0.3 0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.0 0.0
IV 0.1 0.2 0.1 0.0 0.2 0.2 0.5 0.1 0.1 0.0 0.1 0.0
V 0.2 0.3 0.4 0.1 0.3 0.3 0.5 0.6 0.1 0.1 0.2 0.1
VI 0.0 0.0 0.1 0.2 0.6 0.4 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.1
Keterangan tabel sama dengan keterangan pada Tabel 4.6 tetapi nilainya merupakan nilai
absolut atau tanda negatif dihilangkan
45
Pada Error! Reference source not found. diperlihatkan bahwa akurasi
enentuan tinggi 20 target hasil rekonstruksi dapat dicapai sampai dengan fraksi
milimeter, bahkan beberapa target sama dengan hasil ukuran ETS, yaitu dengan
kesalahan 0.0 cm. Kecuali parameter intrinsik V, semua parameter intrinsik dapat
memberikan hasil tinggi target yang sama dengan hasil pengukuran ETS pada
salah satu pasangan foto udara, paling tidak pada salah satu target di antara 20
target.
Pada Tabel 4.10 diperlihatkan bahwa :
1. Parameter intrinsik ke I, III, dan VI masing berturut turut memberikan
perbedaan tinggi maksimal 25.9 cm, 47.6 cm, 22.2 cm, 25.6 cm, 29.5 cm dan
15.2 cm terhadap kombinasi jumlah foto udara dan tinggi terbang.
2. Parameter intrinsik VI memberikan perbedaan tinggi maksimal yang relatif
lebih kecil pada 9 kolom, parameter intrinsik III memberikan perbedaan tinggi
maksimal yang relatif lebih kecil pada 4 kolom, parameter intrinsik I hanya 1
kolom pada satu kombinasi foto dan tinggi terbang,, sedangkan parameter
intrinsik II, IV dan V tidak memilikinya.
3. Perbedaan tinggi pada kolom FC(1-2) lebih besar dari kolom lain disebabkan
oleh parameter ekstrinsik relatif pada kombinasi foto tersebut, yaitu terlalu
dekatnya posisi kamera satu dengan yang lainnya saat pemotretan
dibandingkan dengan tinggi terbang, sehingga perpotongan berkas sinar
membentuk sudut yang lebih lancip.
4. Tinggi target yang diperoleh dari 3 foto selalu lebih baik dari hasil 2 foto.
Tinggi target hasil dari 3 foto dapat mereduksi besarnya perbedaan hingga
diperoleh akurasi sampai fraksi satuan sentimeter.
5. Data pada kolom FA(1-2-3), FB(1-2-3), dan FC(1-2-3) terkait dengan tinggi
terbang 50 m, 60 m, dan 70 m, yang menunjukan bahwa antara teori
berkurangnya akurasi sebanding dengan bertambahnya tinggi terbang belum
terlihat dengan jelas. Kemungkinan faktor distorsi lensa dan digitasi koordinat
target masih lebih dominan daripada faktor resolusi kamera dan tinggi terbang.
Parameter intrinsik VI merupakan parameter intrinsik terbaik karena
memberikan perbedaan tinggi maksimal yang terkecil dibanding dengan
parameter intrinsik lainnya. Hal ini berkaitan dengan penggunakan foto udara
Tabel 4.10 Perbedaan tinggi terbesar salah satu target dari 20 target dengan
beberapa kombinasi parameter intrinsik, jumlah foto dan tinggi
terbang
Parameter
Intrinsik
Perbedaan Tinggi Terbesar (cm)
2 Foto 3 Foto
FA FB FC FA FB FC
1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2 1-3 2-3 1-2-3 1-2-3 1-2-3
I 13.5 21.9 15.4 16.0 10.5 16.5 25.9 11.9 7.8 14.4 8.6 10.7
II 13.0 26.6 16.9 14.2 9.7 15.0 47.6 12.3 11.6 16.2 8.0 14.4
III 8.3 11.7 7.3 10.0 10.9 10.6 22.2 9.0 13.1 7.3 8.3 7.2
IV 10.2 19.0 15.9 18.0 11.0 15.0 25.6 10.1 16.3 14.3 9.6 10.1
V 18.7 20.2 14.9 21.2 10.9 17.8 29.5 15.9 14.2 15.0 11.0 10.7
VI 8.7 9.7 6.5 11.2 9.0 9.5 15.2 10.2 13.1 6.0 7.1 6.1
Keterangan kolom sama dengan Tabel 4.9
46
sebagai data kalibrasi, sehingga parameter intrinsik yang diperoleh merupakan
nilai yang hampir sama dengan parameter intrinsik saat pemotretan Pengaturan
kamera dan cara pengambilan foto saat kalibrasi memberikan pengaruh pada
besarnya parameter intrinsik. Pengaturan fokus lensa kamera yang tetap, bukan
auto-focus, merupakan pengaturan yang diterapkan pada parameter intrinsik III
dan parameter intrinsik ini merupakan parameter intrinsik terbaik kedua. Walau
pun saat pemotretan udara digunakan pengaturan lensa pada mode auto-focus,
tetapi pada tinggi terbang 50 m, 60, dan 70 m pengaturan fokus mendekati pada
posisi terjauh atau tak terhingga. Oleh karena itu dapat dimengerti mengapa
parameter intrinsik III memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan
parameter intrinsik lain yang menggunakan data foto dari papan kalibrasi
Dari berbagai pembahasan di atas dapat diperlihatkan bahwa penentuan
tinggi objek melalui rekonstruksi model 3D dari foto udara dapat dicapai dengan
tingkat kesalahan maksimal tidak lebih dari 15.2 cm pada tinggi terbang 70 m
jika parameter intrinsik kamera dapat ditentukan dengan baik. Semakin baik
parameter intrinsik kamera dapat ditentukan semakin baik tinggi objek yang
didapat dari rekonstruksi 3D. Untuk mendapatkan hasil yang optimal sebaiknya
digunakan minimal 3 foto pada saat rekonstruksi dilakukan karena akurasi yang
diperoleh pada penelitian ini menunjukkan perbaikan akurasi yaitu dengan
kesalahan terbesar menjadi 7.1 cm pada tinggi terbang 70 m dibandingkan dengan
yang menggunakan 2 foto (15.2 cm).
Pengaruh tinggi terbang perlu dianalisis lebih lanjut. Dengan menggunakan
persamaan 2.26 dapat dibuat tabel resolusi akurasi tinggi secara teori dengan
memasukkan data hasil penelitian yang diperlihatkan pada Error! Reference
ource not found.. Dengan membandingkan hasil penelitian dan hitungan secara
teori dapat disimpulkan bahwa penggunaan kamera Sony NEX7 dan UAV berupa
Multirotor dapat memenuhi akurasi sesuai teori yang ada.
Analisis lebih lanjut untuk melihat pengaruh dua faktor utama terhadap
akurasi tinggi objek perlu dilakukan. Faktor pertama adalah parameter intrinsik
yang terkait dengan 6 set nilai hasil kalibrasi kamera. Faktor kedua adalah terkait
posisi kamera di udara saat pemotretan yang terkait dengan jarak relatif antar
kamera (nilai b pada Gambar 2.4 atau Tabel 4.11) dan tinggi terbang (nilai H pada
Gambar 2.4 atau Tabel 4.11). Kombinasi nilai b dan H digabung menjadi satu
faktor yang akan dianalisis. Metode statistic ANOVA Dua Arah dipilih untuk
melihat signifikan atau tidaknya dua faktor tersebut terhadap tinggi objek hasil
rekonstruksi serta untuk mengetahui apakah ada interaksi antara keduanya.
Parameter intrinsik ditetapkan sebagai faktor pertama dengan 6 tingkat
(level) dan kombinasi pasangan foto udara ditetapkan sebagai faktor kedua yang
memiliki 9 tingkat/level (terkait dengan jumlah kolom pada Tabel 4.6, 4.7, 4.9 dan
4.10). Target sebanyak 20 ditentukan sebagai ulangan data pada masing-masing
kombinasi dua faktor tersebut. Data yang dipakai adalah data persentase kesalahan
relatif tinggi setiap target hasil rekonstruksi, yaitu menggunakan persamaan
berikut:
dengan :
p_err : persen kesalahan relatif tinggi target
Z : tinggi target hasil rekonstruksi
47
h : tinggi target pada sistem koordinat bumi
Nilai persentase kesalahan tinggi relatif dipakai karena 20 target memiliki tinggi
yang berbeda terhadap referensi sistem koordinat bumi.
ANOVA Dua Arah dihitung menggunakan perangkat lunak Minitab 16.2.1
dan diperoleh hasil seperti pada Gambar 4.12. Pada Gambar 4.12 tampak bahwa
faktor pertama dan kedua mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tinggi target
hasil rekonstruksi, yaitu ditunjukan dengan masing nilai P1 =0.000 dan P2=0.000.
Interaksi antar kedua faktor tersebut tidak nyata (P12=0.883). Pengaruh yang nyata
faktor pertama (parameter intrinsik) diperlihatkan pada Gambar 3.13, sedangkan
pengaruh faktor kedua (pasangan foto) diperlihatkan pada Gambar 3.14. Kedua
faktor menunjukan pengaruh yang nyata yang terlihat dari keragaman sebaran
data tinggi 20 target hasil rekonstruksi 3D (Gambar 4.13 dan 4.14). Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kedua faktor tersebut merupakan faktor utama
Tabel 4.11 Nilai resolusi kedalaman Rh dari 3 pasang foto dari 3 tinggi
terbang menggunakan 6 parameter intrinsik
Pasangan
foto r (mm) H(m)
Parameter
intrinsik f(mm) b(m) Rh(cm)
1 0.00392 49
I 15.7 7.344 8.1
II 15.7 7.276 8.2
III 16.0 7.635 7.7
IV 15.8 7.325 8.1
V 15.7 7.367 8.1
VI 15.9 7.609 7.8
2 0.00392 66
I 15.7 13.821 7.8
II 15.7 14.127 7.7
III 16.0 14.044 7.6
IV 15.8 13.86 7.8
V 15.7 13.606 8
VI 15.9 13.757 7.8
3 0.00392 70
I 15.7 8.509 14.3
II 15.7 7.987 15.2
III 16.0 9.048 13.2
IV 15.8 8.534 14.2
V 15.7 8.698 14
VI 15.9 9.182 13.1
Keterangan :
a) r : ukuran piksel/resolusi sensor kamera dalam mm
b) H : tinggi terbang sebenarnya saat pemotretan
c) f : panjang focus lensa kamera hasil
d) b : jarak/vektor antar 2 sistem koordinat kamera saat pemotretan
e) Rh : resolusi kedalaman secara teoritis
48
yang langsung mempengaruhi akurasi penentuan tinggi suatu objek melalui
rekonstruksi model 3D menggunakan foto udara.
Pada Gambar 4.12 juga diperlihatkan nilai rata-rata persentase kesalahan
relatif tinggi terhadap faktor pertama. Gambar tersebut menunjukkan bahwa
parameter intrinsik ke 6 (VI) memberikan nilai rata-rata persentase kesalahan
relatif terkecil, yaitu sebesar 4.067. Hal ini menunjukkan bahwa parameter
intrinsik yang dihitung menggunakan foto udara atau menggunakan metode field-
calibration menghasilkan parameter intrinsik terbaik. Sedangkan pada faktor
kedua, pasangan foto ke 8 (tinggi terbang 70 m) memberikan nilai rata-rata
persentase kesalahan relatif tinggi yang terkecil, yaitu sebesar 3.702. Hal ini
menunjukkan bahwa pasangan foto tersebut memiliki nilai b dan H yang paling
optimal dibanding pasangan foto lainnya, sehingga perhitungan triangulasi berkas
sinar pada 20 target memberikan hasil yang paling baik dibanding dengan data
lainnya. Nilai H(tinggi terbang) tidak dominan atau tidak berdiri sendiri terkait
pengaruhnya kepada akurasi tinggi target. Secara teori seharusnya pada tinggi
terbang sekitar 50 m memberikan nilai rata-rata persentase kesalahan relatif tinggi
yang terkecil, tetapi data penelitian tidak menunjukan hal tersebut. Kombinasi
Gambar 4.12 Hasil ANOVA Dua Arah
49
foto dengan tinggi terbang 70 m relatif lebih baik dibanding dengan tinggi terbang
50 m dan 60 m, hal ini dapat diperkirakan cukup berartinya nilai b pada suatu
sistem stereo. Hanya saja nilai b memiliki keterbatasan pada jarak tertentu karena
terkait dengan besarnya persentase pertampalan (overlap) dua atau lebih foto yang
akan direkonstruksi menjadi model 3D. Jika b terlalu besar maka makin kecil
persentasi pertampalannya atau bahkan pada kondisi terntentu sistem stereo tidak
dapat dibentuk.
Nilai H terkait dengan jarak kamera ke objek. Semakin tinggi terbangnya
semakin kecil resolusi akurasi koordinat objek yang dapat ditentukan dari foto.
Jadi dapat dimengerti mengapa faktor kedua (nilai b dan H) menjadi faktor yang
berpengaruh nyata pada rekonstruksi 3D selain faktor pertama (parameter intrinsik
kamera).
Pengaruh faktor pertama dan kedua pada akurasi tinggi target hasil
rekonstruksi 3D yang begitu tampak nyata diperlihatkan pada grafik boxplot pada
Gambar 4.13 dan 4.14. Setiap faktor parameter intrinsik berpengaruh nyata pada
rata-rata persentase kesalahan relatif yang berubah secara signifikan. Demikian
juga dengan faktor kedua yang terkait dengan pasangan foto yang dipakai untuk
membangun sistem stereo. Setiap kombinasi pasangan foto (sistem stereo) sangat
signifikan mempengaruhi besarnya rata-rata persentase kesalahan relatif tinggi
yang dihasilkan dari rekonstruksi 3D. Hal ini berarti kedua faktor tersebut sangat
mempengaruhi akurasi tinggi suatu objek yang diperoleh dari ekstraksi spasial
dari model 3D hasil rekonstruksi.
Gambar 4.13 Boxplot persentase kesalahan relatif tinggi
target terhadap parameter intrinsik
50
Gambar 4.14 Boxplot persentase kesalahan relatif tinggi
target terhadap pasangan foto udara
51
5 SIMPULAN DAN SARAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Tinggi suatu objek dapat diduga dengan cara membuat model 3D dari
rekonstruksi, minimal, sepasang foto udara digital yang saling bertampalan.
Perlu diketahui minimal 6 titik sekawan yang dapat dikenali di foto dan
koordinat diketahui dalam sistem koordinat foto dan sistem koordinat bumi.
Ekstraksi tinggi objek dari rekonstruksi 3D bisa mencapai fraksi satuan
milimeter pada kondisi tertentu dan penyimpangan terbesar mencapai 15.2
cm dari model yang dibangun dari 2 foto, sedangkan model yang dibangun
dari 3 foto penyimpangan terbesar mencapai 7.1 cm.
2. Faktor utama yang mempengaruhi akurasi tinggi objek adalah parameter
intrinsik kamera dan kombinasi pasangan foto udara yang terkait dengan
parameter ekstrinsik relatif dan tinggi terbang saat pemotretan. Kedua faktor
tersebut tampak sangat nyata pengaruhnya terhadap akurasi tinggi objek hasil
rekonstruksi, tetapi interaksi antara dua faktor tersebut tidak tampak nyata.
3. Penentuan parameter intrinsik kamera harus dilakukan dengan melaksanakan
kalibrasi kamera. Kalibrasi kamera dengan metode field-calibration
menghasilkan parameter intrinsik yang lebih baik dibandingkan dengan
metode yang menggunakan papan kalibrasi. Penggunaan papan kalibrasi
dapat dilakukan untuk mengetahui kestabilan kamera, yaitu dengan
melakukan kalibrasi kamera sebelum, pada saat dan sesudah pemotretan
udara. Kalibrasi kamera sebaiknya dilakukan dengan pengaturan fokus lensa
kamera pada posisi tetap (fix-focus) atau diperkirakan sama dengan posisi
fokus saat pemotretan, bukan auto-focus.
4. Penentuan koordinat titik sekawan dan titik objek pada sistem koordinat foto
sangat mempengaruhi ketelitian model 3D hasil rekonstruksi, semakin baik
koordinat target ditentukan semakin akurat tinggi yang diduga.
Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan ruang lingkup dan
metode, untuk itu beberapa hal yang dapat disarankan adalah :
1. Penggunakan bentuk dan jenis target dapat diganti dengan target yang dapat
dikenali pada foto dan dapat ditentukan koordinat titiknya tidak dengan
melakukan digitasi manual tetapi secara otomatis menggunakan algoritme
tertentu.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menerapkan kalibrasi kamera
dengan metode lainnya antara lain metode yang diusulkan oleh Heikkila
(2000) atau Zhang (2000). Perlu juga dilakukan penelitian yang
menggunakan papan kalibrasi yang lebih besar dan dapat dipotret dan masuk
dalam sebuah muka foto sehingga koefisien distorsi lensa yang melingkupi
pengaruh seluruh sisi lensa dapat ditentukan .
3. Perlu dilakukan pemotretan dengan tinggi terbang yang mencapai 100 m atau
lebih untuk mendapatkan data tambahan untuk mengetahui hubungan
berkurangnya akurasi karena semakin jauhnya jarak kamera dengan objek
dan menentukan berapa ketelitian yang dapat diperoleh pada ketinggian
tersebut serta menerapkan metode field-calibration yang diusulkan oleh
Ebner (1976).
52
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson KB. 1996. Close Range Photogrammetry and Machine Vision.
Scotland(UK): Whittles Publishing.
Bouquet J-Y. 2010. Camera Calibration Toolbox for Mathlab [Internet]. [diunduh
2012 September 5, status 2010 Juli 9]; Tersedia pada :
http://www.vision.caltech.edu/ bouquetj/calib_doc/
Brown DC 1971. Close-Range Camera Calibration. Melbourne(AU):
Photogrammetric Engineering, (pp. 855-866), Vol.37, No.8.
Cyganek Boguslaw, Siebert JP. 2009. An Introduction to 3D Computer Vision
Techniques and Algorithms. Chippenham, Wiltshire(UK): John Wiley &
Sons, Ltd. ISBN: 978-0-470-01704-3.
Ebner H. 1976. Self Calibrating Block Adjustment. Congress of the International
Society for Photogrammetry (pp. 1-17). Helsinki(FI): Invited Paper of
Commision III from Institute for Photogrammetry, Stuttgart University.
Hanifa NR. 2007. Studi Penggunaan Kamera Digital Low-Cost Non-Metric Auto-
Focus [tesis]. Bandung(ID): Institut Teknologi Bandung.
Heikkila J. 2000. Geometric Camera Calibration Using Circular Control Points.
IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, Vol. 22,
No. 10., (pp. 1066-1077).
Khalil AM. 2011. Two-dimensional displacement measurement using static close
range photogrammetry and single fixed camera. Alexandria
Engineering(EG), (pp. 219-227).
Leitch K. 2002. Close Range Photogrammetric Measurement of Bridge
Deformation. Mexico(MX): New Mexico State University.
Kirscht M, Rinke C. 1998. 3D Reconstruction of Buildings and Vegetation from
Synthetic Aperture Radar (SAR) images. MVA.
Pullivelli A. 2005. Low-Cost Digital Cameras: Callibration, Stability Analysis,
and Applications [thesis]. Calgary(CA), Alberta: Department of
Geomatics Engineering University of Calgary.
Remondino F, Fraser C. 2006. Digital Camera Calibration Methods :
Considerations and Comparisons. ISPRS Volume XXXVI, Part 5 (pp. 266-
271). Dresden(DE): ISPRS Commision.
Thompson M, Gruner H. 1980. Foundations of Photogrammetry. In Manual of
Photogrammetry (pp. 1-36). Falls Church, Virginia(US): American
Society of Photogrammetry.
Wolf P R. 1993. Element of Photogrammetry , Dengan Interpretasi Foto Udara
dan Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Zhou G, Yan G, Zhang W, Wang H. 2008. Corn 3D Reconstruction with
Photogrammetry. The International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXXVII Part B8 (pp.
967-970).
Zhang Z. 2000. A flexible new technique for camera calibration. IEEE
Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, Vol.22,
No.11, (pp. 1330-1334).
53
LAMPIRAN
Daftar Persentase Kesalahan Relatif Tinggi Target Hasil Rekonstruksi 3D Keterangan :
a) Kolom FA adalah foto udara dengan tinggi terbang sekitar 50 m; contoh : FA(1-2)
adalah kombinasi foto FA1- dan FA2 dan seterusnya
b) Kolom FB adalah foto udara dengan tinggi terbang sekitar 60 m; contoh FB(1-3)
adalah kombinasi foto FB1- dan FB3 dan seterusnya
c) Kolom FC adalah foto udara dengan tinggi terbang sekitar 70 m; contoh FC(2-3)
adalah kombinasi foto FC2- dan FC3 dan seterusnya
Parameter
Intrinsik Target
Kombinasi Foto Udara Rata-
rata
Rata-
rata FA
(1-2)
FA
(1-3)
FA
(2-3)
FB
(1-2)
FB
(1-3)
FB
(2-3)
FC
(1-2)
FC
(1-3)
FC
(2-3)
I
1 4.3 4.7 0.7 2.4 2.4 9.4 4.8 2.8 1.7 3.7
5.8
2 14.8 11.6 10.1 2.7 1.6 19.9 8.8 1.1 1.8 8.0
3 5.9 1.8 0.8 3.1 3.6 7.1 16.5 6.2 0.2 5.0
4 13.5 17.0 16.9 3.6 8.1 11.2 15.8 14.4 8.7 12.1
5 5.8 1.8 4.3 3.6 1.4 3.7 2.2 3.7 3.4 3.3
6 0.1 2.3 0.4 14.2 8.4 10.5 2.8 0.2 3.7 4.8
7 10.1 1.0 5.9 2.3 7.1 14.4 2.8 6.8 5.6 6.2
8 7.4 5.3 7.4 14.1 0.4 1.2 7.7 6.0 2.5 5.8
9 4.2 3.1 3.7 5.8 5.8 1.6 1.4 4.8 3.9 3.8
10 8.0 4.2 2.3 7.7 6.2 8.3 0.6 2.3 6.0 5.1
11 4.8 4.3 3.4 15.3 3.3 7.6 2.9 1.2 6.6 5.5
12 5.0 6.4 6.3 11.1 1.3 4.8 7.0 0.1 5.3 5.3
13 8.8 7.5 1.3 8.9 3.1 8.9 4.2 2.9 1.4 5.2
14 8.0 11.1 0.5 19.3 10.7 9.4 10.9 4.6 0.1 8.3
15 6.7 0.4 1.1 4.3 0.5 11.0 4.3 0.5 5.6 3.8
16 7.5 0.2 2.0 13.0 1.1 1.7 9.1 3.3 3.4 4.6
17 4.6 6.1 0.1 16.7 12.7 1.9 8.7 9.3 9.4 7.7
18 5.2 1.1 3.5 0.2 1.3 3.5 8.9 1.8 0.7 2.9
19 6.7 3.7 7.1 7.8 7.5 1.9 11.7 3.6 1.4 5.7
20 2.9 24.0 0.8 12.9 2.4 6.8 31.3 1.8 8.1 10.1
II
1 2.2 4.3 1.2 2.2 3.0 8.2 5.1 2.8 1.0 3.3
6.3
2 9.8 14.9 9.8 4.1 2.7 18.1 19.2 4.8 1.1 9.4
3 4.8 0.2 1.4 1.7 5.1 7.5 17.1 5.9 1.8 5.1
4 14.3 20.5 18.5 4.3 11.7 12.8 12.8 11.7 3.0 12.2
5 3.6 1.5 3.3 3.1 0.1 2.5 0.5 2.7 1.3 2.1
6 4.5 0.9 2.0 12.7 6.5 9.3 14.0 2.4 2.8 6.1
7 9.3 3.5 3.6 3.0 7.2 14.6 5.9 6.5 4.8 6.5
8 6.6 7.7 7.7 12.7 2.3 0.4 5.6 4.7 1.1 5.4
9 2.6 3.8 3.6 3.5 4.8 1.7 9.7 7.1 2.4 4.4
10 4.8 2.0 2.4 5.8 4.7 7.2 4.2 0.1 5.4 4.1
11 8.3 2.1 5.3 14.4 2.7 5.4 1.4 1.3 5.7 5.2
12 6.8 8.7 7.8 5.9 3.3 6.2 15.1 1.1 9.2 7.1
13 8.7 6.9 1.9 10.5 3.1 9.2 9.8 4.1 0.2 6.0
14 12.2 9.1 1.8 17.1 9.1 7.6 2.2 3.0 0.7 7.0
15 5.4 1.6 0.2 3.6 0.1 10.5 4.7 1.3 4.8 3.6
16 7.1 2.3 2.3 9.1 3.0 0.4 12.3 3.5 0.2 4.5
17 0.5 4.1 0.4 11.6 7.8 1.8 31.4 14.8 6.2 8.7
18 4.2 0.1 3.9 4.6 1.1 3.1 20.4 3.5 1.0 4.7
19 5.7 5.2 7.6 11.5 10.5 3.4 6.8 2.5 2.4 6.2
20 10.2 29.2 8.9 4.3 0.5 10.4 57.4 1.7 14.0 15.2
54
Parameter Intrinsik
Target
Kombinasi Foto Udara Rata-rata
Rata-rata FA
(1-2)
FA
(1-3)
FA
(2-3)
FB
(1-2)
FB
(1-3)
FB
(2-3)
FC
(1-2)
FC
(1-3)
FC
(2-3)
III
1 1.5 0.0 2.2 3.6 5.4 2.8 2.7 0.2 0.5 2.1
4.3
2 3.0 2.0 1.5 5.6 1.9 0.4 2.7 5.9 10.6 3.7
3 0.9 5.5 2.9 2.1 3.6 1.9 12.8 1.6 4.1 3.9
4 0.4 8.3 3.7 12.1 3.3 1.4 11.8 2.5 2.8 5.2
5 1.9 12.8 3.1 8.1 1.4 7.1 4.6 0.4 1.8 4.6
6 1.4 0.1 1.5 4.6 1.2 6.5 6.6 3.0 1.6 3.0
7 6.1 5.6 1.2 4.1 13.2 12.8 2.9 5.1 6.2 6.3
8 0.5 1.2 0.4 5.7 3.5 6.5 5.6 0.5 2.3 2.9
9 3.6 12.4 7.6 4.9 2.7 6.9 5.7 0.0 2.2 5.1
10 0.3 7.5 2.1 0.0 4.3 0.2 0.0 0.7 0.5 1.7
11 2.5 1.5 1.0 4.5 4.5 2.9 7.0 1.0 3.6 3.2
12 0.4 1.1 2.9 1.9 5.7 2.1 5.7 5.1 8.6 3.7
13 9.1 2.5 6.1 7.0 4.5 15.2 0.7 1.0 0.7 5.2
14 5.7 7.6 2.2 8.9 3.3 4.2 17.0 6.5 2.5 6.4
15 2.2 3.3 1.4 1.6 4.1 8.9 2.1 0.5 6.9 3.4
16 0.9 3.8 3.3 5.7 1.6 7.4 6.5 2.1 0.0 3.5
17 7.8 8.1 8.0 4.5 0.1 6.3 13.9 1.2 3.9 6.0
18 5.4 1.3 3.4 1.8 1.6 1.2 3.0 2.4 2.1 2.5
19 4.2 0.4 2.9 4.5 5.3 0.0 12.7 0.1 5.2 3.9
20 0.2 11.4 0.3 5.2 5.8 4.6 26.8 10.9 15.8 9.0
IV
1 0.8 4.5 2.6 4.8 2.4 7.8 3.1 0.5 0.1 3.0
6.0
2 8.6 15.0 7.6 1.8 0.7 18.1 23.7 4.2 3.7 9.3
3 2.3 0.9 0.8 4.3 4.9 6.2 12.3 4.3 2.4 4.3
4 10.6 19.0 17.4 10.1 13.3 11.3 13.0 12.2 11.5 13.2
5 1.9 0.3 2.3 3.1 0.2 2.4 8.9 1.8 4.7 2.9
6 2.1 2.7 0.7 15.8 7.8 10.3 15.6 1.8 2.2 6.5
7 10.9 0.5 5.8 1.0 3.9 12.9 3.9 8.1 9.4 6.3
8 4.9 7.0 7.2 16.9 3.4 0.2 3.1 5.2 3.4 5.7
9 5.8 2.9 4.6 5.6 6.9 2.2 0.6 4.3 2.5 3.9
10 4.5 2.9 0.8 9.4 7.2 6.5 8.1 0.6 7.0 5.2
11 8.3 3.9 5.6 18.6 3.5 6.3 8.4 3.5 8.1 7.4
12 2.2 6.1 3.9 7.0 2.5 5.4 2.8 1.2 10.0 4.6
13 11.2 7.9 2.6 9.4 1.9 9.5 1.7 1.9 1.3 5.3
14 11.1 11.3 1.3 21.7 10.0 8.4 2.3 2.2 0.2 7.6
15 6.5 0.5 1.1 6.8 2.9 9.3 2.7 2.5 6.8 4.3
16 4.9 1.2 1.0 13.0 3.5 0.4 3.6 2.5 2.3 3.6
17 4.6 4.6 1.0 16.2 12.1 0.5 18.6 9.9 3.6 7.9
18 3.8 0.3 3.2 0.2 0.8 2.7 11.3 2.5 1.6 2.9
19 3.5 5.3 6.3 8.3 11.1 2.2 11.0 3.0 3.0 6.0
20 3.4 20.8 4.3 1.6 4.1 6.3 30.9 4.2 19.7 10.6
55
Parameter Intrinsik
Target Kombinasi Foto Udara Rata-
rata Rata-rata FA
(1-2)
FA
(1-3)
FA
(2-3)
FB
(1-2)
FB
(1-3)
FB
(2-3)
FC
(1-2)
FC
(1-3)
FC
(2-3)
V
1 5.8 5.2 1.1 0.1 2.3 9.9 11.0 3.1 3.3 4.6
6.8
2 20.5 10.6 14.9 0.2 0.4 21.5 2.7 5.3 4.2 8.9
3 7.2 1.0 2.2 0.4 3.4 10.0 18.0 6.8 2.7 5.7
4 19.0 12.4 16.3 3.9 0.6 12.2 12.6 19.2 7.1 11.5
5 10.8 1.2 7.9 4.5 1.1 5.8 12.3 7.4 3.4 6.0
6 1.3 2.1 1.0 18.5 10.7 9.3 9.3 0.8 6.5 6.6
7 7.8 4.3 5.0 3.5 12.2 17.3 0.6 5.3 2.1 6.4
8 9.9 2.2 6.8 9.4 7.5 2.5 8.1 6.2 0.2 5.9
9 0.2 4.1 1.4 10.5 5.2 0.4 6.5 5.6 5.4 4.4
10 10.8 2.0 5.3 6.4 2.1 11.6 1.3 6.9 10.4 6.3
11 3.4 4.7 1.8 16.3 4.2 6.0 17.1 1.2 8.0 7.0
12 8.8 4.5 7.5 10.3 3.9 3.4 12.8 2.3 3.4 6.3
13 4.3 7.5 1.4 5.6 3.3 7.2 12.2 4.6 1.8 5.3
14 5.8 10.5 1.9 22.0 13.2 8.1 24.4 4.9 1.7 10.3
15 6.1 3.6 0.8 2.9 5.6 14.2 1.3 1.8 0.1 4.1
16 9.8 2.0 2.1 9.9 5.1 3.9 12.3 2.2 1.9 5.5
17 0.9 0.3 0.5 25.6 11.5 2.9 1.6 8.9 17.1 7.7
18 8.7 2.2 4.5 1.7 5.3 4.6 6.4 0.8 3.9 4.2
19 8.1 2.2 6.8 9.7 5.2 5.2 14.0 3.7 0.1 6.1
20 17.3 22.2 9.8 20.4 3.7 9.3 35.6 4.3 3.5 14.0
VI
1 2.1 0.7 2.2 2.1 4.5 3.9 0.1 0.1 0.6 1.8
4.1
2 5.6 0.5 0.7 4.7 1.1 3.7 9.5 3.7 4.6 3.8
3 1.6 4.5 2.3 2.3 3.9 3.3 11.3 2.3 2.9 3.8
4 0.0 10.6 6.1 7.0 0.7 4.0 7.2 4.3 2.9 4.8
5 2.9 10.2 1.5 7.7 0.8 4.7 0.1 1.2 0.8 3.3
6 2.0 0.0 1.2 8.6 3.9 6.9 3.9 2.5 2.2 3.5
7 6.9 2.7 3.0 3.4 10.9 11.5 0.8 6.3 6.4 5.8
8 0.5 2.1 1.4 8.2 2.4 5.2 2.5 0.6 0.2 2.6
9 3.6 9.9 6.4 6.6 4.2 5.2 6.4 0.4 2.5 5.0
10 1.5 7.7 1.9 1.7 4.7 0.5 4.8 0.8 3.6 3.0
11 2.2 1.8 1.5 8.8 1.7 3.6 5.2 0.1 5.6 3.4
12 2.1 0.3 1.2 4.1 3.9 1.6 1.2 5.6 8.8 3.2
13 9.0 0.1 5.0 2.2 1.0 4.9 1.9 0.6 0.4 2.8
14 5.0 8.0 1.9 13.5 6.0 5.1 14.8 5.9 1.3 6.8
15 2.7 1.0 0.1 0.4 2.8 7.7 0.5 0.7 6.2 2.5
16 0.0 3.8 3.4 8.1 1.3 6.6 2.3 1.9 0.8 3.2
17 7.5 5.3 5.9 10.7 3.7 4.9 12.4 0.5 4.8 6.2
18 6.7 0.2 4.3 3.1 1.8 0.6 1.0 1.0 1.6 2.2
19 5.2 2.5 4.3 4.2 6.3 1.9 14.6 1.8 4.1 5.0
20 9.5 8.3 7.1 0.2 2.2 4.6 18.3 12.3 15.8 8.7
Rata-rata 5.7 5.4 3.9 7.3 4.4 6.4 9.1 3.7 4.1
56
Foto Udara Yang Digunakan Untuk Rekonstruksi 3D
Foto udara dengan tinggi terbang 50 m
Foto FA1 Foto FA2 Foto FA3
Foto udara dengan tinggi terbang 60 m
Foto FB1 Foto FB2 Foto FB3
Foto udara dengan tinggi terbang 70 m
Foto FC1 Foto FC2 Foto FC3
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat pada tanggal 2 Desember 1968
sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Havizuddin Chair dan
Sutihat. Pada tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Cimahi dan pada tahun
yang sama diterima di Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Jurusan Teknik Geodesi melalui jalur PMDK. Penulis lulus S1 dari
ITB pada Bulan April 1992. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan studi ke
jenjang pascasarjana (S2) Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja sebagai Senior Geomatics Specialist Fungsi Data and
Geomatics Upstream Technology Centre PERTAMINA. Penulis bekerja di
PERTAMINA sejak tahun 1993 sampai dengan sekarang. Selama di
PERTAMINA penulis banyak berkiprah di bidang survei dan pemetaan untuk
kegiatan eksplorasi minyak, gas dan panas bumi. Sejak tahun 2006 penulis lebih
banyak melakukan kajian terkait aplikasi teknologi dan pengembangan metode
Geodesi dan Geomatika pada kegiatan PERTAMINA UPSTREAM sampai
sekarang.
Penulis juga aktif mengikuti forum ilmiah bidang Geodesi dan Geomatika,
Geofisika dan beberapa teknologi terkait kegiatan eksplorasi minyak, gas dan
panas bumi. Beberapa makalah telah penulis presentasikan pada forum ilmiah
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) terutama terkait peran Geomatika
pada survei Geologi dan Geofisika.