Download - Referat Uro
I. PENDAHULUAN
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan
parut dan kontraksi. Striktur uretra kemungkinan kongenital dan didapat. Striktur
uretra yang didapat dapat disebabkan trauma (kecelakaan, instrumentasi), infeksi
(terutama gonore), dan tekanan tumor. Striktur uretra lebih banyak terjadi pada
pria dari pada wanita. Hal ini disebabkan perbedaan anatomis, uretra pria lebih
panjang dibandingkan dengan uretra wanita (Purnomo, 2011).
Kejadian striktur uretra telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum
masehi. Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasa
pernah mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000
pria dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000
memerlukan operasi. Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000
pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan pada
umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk pasien tua
sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat (Mundy
et al., 2010).
Striktur uretra memiliki komplikasi berupa trabekulasi, sakulasi dan
divertikel, residu urin, refluks vesiko ureteral, infeksi saluran kemih dan gagal
ginjal, infiltrat urin, abses dan fistulasi. Tingkat kekambuhan striktur uretra
meningkat sebanding dengan panjang striktur. Tingkat kekambuhan pada 12 bulan
adalah 40%, 50%, dan 80%, untuk masing-masing panjang striktur < 2 cm, 2-4
cm dan > 4 cm. Tingkat kekambuhan striktur dengan panjang 2-4 cm meningkat
menjadi 75% pada 48 bulan masa tindak lanjut (Broghammer, 2013; Dogra et al.,
2011).
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut
dan kontraksi. Striktur urethra merupakan berkurangnya diameter dan atau
elastisitas uretra yang disebabkan oleh jaringan uretra diganti jaringan ikat
yang kemudian mengkerut menyebabkan lumen uretra mengecil. Penyempitan
lumen uretra disebabkan oleh dinding urethra mengalami fibrosis dan pada
tingkat yang parah terjadi fibrosis korpus spongiosium (Purnomo, 2011).
B. Epidemiologi
Kejadian striktur uretra telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum
masehi. Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria
dewasa pernah mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris
16.000 pria dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000
memerlukan operasi. Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000
pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan
pada umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk
pasien tua sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika
Serikat (Mundy et al., 2010).
Sebuah studi di Nigeria melaporkan pola striktur uretra. Dalam studi ini
menyebutkan delapan puluh empat pasien (83 laki-laki dan 1 perempuan)
dengan striktur uretra dilihat dalam sebuah periode dengan usia rata-rata 43,1
tahun. Trauma bertanggung jawab untuk 60 (72,3%) kasus, dengan kecelakaan
lalu lintas sebanyak 29 orang (34,9%), dengan trauma iatrogenik sebesar 17
(20,5%) dari semua kasus striktur uretra. Pemasangan kateter uretra
bertanggung jawab pada 13 pasien (76,5%) dari kasus iatrogenik. Uretritis
purulen bertanggung jawab untuk 22 (26,5%) kasus. Lima puluh (60,2%) kasus
terletak di uretra anterior sedangkan dua puluh tiga (39,8%) berada di
posterior. Lima puluh tujuh pasien dilakukan urethroplasty dengan
kekambuhan 14% dan 8 pasien mengalami dilatasi uretra dengan kekambuhan
50% pada 1 tahun (Tijani et al., 2009).
2
C. Klasifikasi
Striktur dapat terjadi pada semua bagian uretra, namun kejadian yang
paling sering pada orang dewasa adalah di bagian pars bulbosa-membranasea,
sementara pada pars prostatika lebih sering mengenai anak-anak (Kotb, 2010).
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3
tingkatan, yaitu (Purnomo, 2011):
1. Ringan, jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.
2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra.
3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Pada
penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
Gambar 2.1. Derajat penyempitan lumen (Purnomo, 2011)
3
Gambar 2.2. Anatomi striktur uretra anterior meliputi, A. Sebuah lipat mukosa.
B. Penyempitan iris C. Ketebalan penuh, keterlibatan dengan
fibrosis minimal dalam jaringan spons. D. Ketebalan penuh
spongiofibrosis. E. Peradangan dan fibrosis yang melibatkan
jaringan luar korpus spongiosum. F. Striktur kompleks rumit
dengan fistula (Wein, 2007).
D. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena
adanya perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25 cm,
sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm. Karena itulah uretra pria lebih rentan
terserang infeksi atau terkena trauma dibanding wanita. Beberapa faktor resiko
lain yang diketahui berperan dalam insiden penyakit ini, diantaranya (Selius,
2008):
1. Pernah terpapar penyakit menular seksual
2. Ras orang Afrika
3. Berusia diatas 55 tahun
4. Tinggal di daerah perkotaan.
Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah infeksi
oleh kuman gonokokus, yang sempat menginfeksi uretra sebelumnya. Trauma
yang dapat menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada
4
selangkangannya (straddle injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca
bedah akibat insersi peralatan bedah selama operasi transurethral, pemasangan
kateter, dan prosedur sitoskopi. Striktur kongenital sangat jarang terjadi.
Striktur ini disebabkan karena penyambungan yang tidak adekuat antara ureta
anterior dan posterior, tanpa adanya faktor trauma maupun peradangan
(Purnomo, 2011).
E. Patofisiologi
Karakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh jaringan
fibrosa padat karena tromboflebitis lokal di korpus spongiosum dalam. Epitel
itu sendiri biasanya utuh, meskipun yang abnormal. Patogenesis striktur belum
dipelajari secara luas dan studi yang ada menyebutkan infeksi sebagai
penyebab, meskipun telah ada studi pada model binatang yang mempelajari
trauma elektro-koagulasi pada uretra kelinci sebagai model cedera iatrogenik.
Lokasi dari kelenjar uretra berhubungan dengan tempat kejadian infeksi yang
berhubungan dengan striktur yang mengimplikasikannya sebagai penyebab.
Namun, satu-satunya studi tentang patogenesis penyakit striktur menunjukkan
bahwa perubahan yang utama adalah metaplasia epitel uretra dari normal
jenisnya pseudo-kolumnar bertingkat pada epitel skuamosa berlapis. Epitel ini
adalah epitel yang rapuh dan cenderung untuk robek saat terjadi distensi
selama berkemih. Robekan tersebut akan membuat lubang di epitel
menyebabkan ekstravasasi urine saat berkemih yang memicu untuk
terbentuknya fibrosis subepitel (Mundy et al., 2010).
Pada penampakan mikroskopis, tempat terjadinya robekan terbentuk
fibrosis dan menyatu selama periode tahun untuk membentuk plak
makroskopik, yang kemudian dapat menyempitkan uretra jika mereka menyatu
di sekitar lingkar uretra untuk membentuk sebuah cincin yang lengkap. Dalam
model pembentukan striktur, infeksi bakteri dapat menginduksi metaplasia
skuamosa, dan faktor lainnya dapat berupa bahan kimia, fisik atau biologis.
Plak makroskopik atau jaringan parut ini berisi kolagen dan fibroblast, dan
ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh ruang pada
lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga menimbulkan
hambatan aliran urin (Mundy et al., 2010; Purnomo, 2011).
5
Hambatan aliran urin menyebabkan aliran urin mencari jalan keluar di
tempat lain dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Karena ekstravasasi
urine, daerah tersebut akan rentan terjadi infeksi akan menimbulkan abses
periuretra yang kemudian bisa membentuk fistula uretrokutan (timbul
hubungan uretra dan kulit). Selain itu resiko terbentuknya batu buli-buli juga
meningkat, timbul gejala sulit ejakulasi dan gagal ginjal (Purnomo, 2011).
F. Diagnosa Klinis
Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala penyakit ini mirip
seperti gejala penyebab retensi urin tipe obstruktif lainnya. Diawali dengan
sulit kencing atau pasien harus mengejan untuk memulai kencing namun urin
hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala tersebut harus dibedakan dengan
inkontinensia overflow, yaitu keluarnya urin secara menetes, tanpa disadari,
atau tidak mampu ditahan pasien (Purnomo, 2011).
Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria,
frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing
yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan
adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar nanah (Purnomo, 2011;
Kotb, 2010).
Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi
kita perhatikan meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel di
sekitar penis, skrotum, perineum, dan suprapubik. Kemudian kita palpasi
apakah teraba jaringan parut sepanjang uretra anterior pada ventral penis, jika
ada fistel dipijat muaranya untuk mengeluarkan nanah di dalamnya.
Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir diagnosis lain seperti
pembesaran prostat (Purnomo, 2011).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui
pancaran urin secara obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi
volume urin saat kencing dibagi dengan lama proses kencing. Kecepatan
6
pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10
ml/detik menandakan adanya obstruksi (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan dengan
Voiding Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk
menegakan diagnosis. Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari
striktur. Penggunaan ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi
striktur pada pars bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang
striktur dan derajat luas jaringan parut, contohnya spongiofibrosis. Hal ini
membantu kita memilih jenis tindakan operasi yang akan dilakukan kepada
pasien. Kita dapat mengetahui jumlah residual urine dan panjang striktur secara
nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan yang lebih maju adalah dengan memakai uretroskopi dan
sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai
ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan karakter
striktur secara langsung. Pencitraan menggunakan magneting resonance
imaging bagus dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti
panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat ini
belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang
digunakan. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah lengkap
rutin dikerjakan untuk melihat perkembangan pasien dan menyingkirkan
diagnosis lain anak (Purnomo, 2011; Kotb, 2010).
Gambar 2.3. Retrograde urethrogram menunjukkan striktur uretra bulbar (Song
et al., 2013).
7
Gambar 2.4. Retrograde urethrogram menunjukkan obliterasi komplit bulbus
uretra bulbar (Song et al., 2013).
Gambar 2.5. Urethrogram retrograde menunjukkan penyakit pan-striktur uretra
bulbar (Song et al., 2013)
H. Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen,
tidak hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung
pada lokasi striktur, panjang atau pendek striktur, dan kedaruratannya.
Contohnya, jika pasien datang dengan retensi urine akut, secepatnya lakukan
sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli. Sistostomi
adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan dinding
perut anterior (Purnomo, 2011).
Jika dijumpai abses periuretra, kita lakukan insisi untuk mengeluarkan
nanah dan berikan antibiotika. Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa dimana
terdapat korpus spongiosum yang lebih tebal daripada di uretra pars pedularis,
maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika dikerjakan di
8
daerah tersebut. Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi
masih tetap dilakukan, walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan
kekambuhan. Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur yang ditangani
dengan internal uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya
(Purnomo, 2011).
Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien yang sering mengalami
rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi
komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan obstruksi
sekunder. Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:
1. Dilatasi uretra
Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam
penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat
keparahan striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi dengan
pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau
busi logam dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk membuka daerah
yang menyempit. Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena
itu mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya
menimbulkan striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat angka
kesuksesan terapi menjadi rendah dan sering terjadi kekambuhan (Purnomo,
2011; Shet, 2011).
2. Uretrotomi interna
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan
tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi
menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi
striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan dikerjakan
secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau sasche
(Purnomo, 2011).
Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang
tumbuh kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika
tejadi proses epitelisasi sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen,
uretrotomi interna dikatakan berhasil. Namun jika kontraksi luka lebih dulu
terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan muncul kembali. Angka
9
kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun
angka kekambuhannya mencapai 80%. Selain timbulnya striktur baru,
komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan
ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan
disfungsi ereksi (Shet, 2011; Santucci, 2011).
3. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent
biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis
stent yang tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok
untuk striktur uretra pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya
digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun
stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien yang
sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury
dengan spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur bervariasi dari
40%-80% dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak
nyaman di daerah perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan
striktur (Shet, 2011).
4. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra,
namun masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang
menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa
uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif
minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi bertahan (Mundy et al.,
2010).
Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan
jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis
dan substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian
striktur kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap
dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars
bulbosa dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah
mencangkok jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir,
mukosa kelamin, atau preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu
10
pemindahan organ atau jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat
bergantung dari suplai darah pasien untuk dapat bertahan (Mundy et al.,
2010).
Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi.
Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien dalam 48
jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi
vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa
digunakan adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder
epithelial graft, dan rectal mucosal graft. Dari semua graft diatas yang
paling disukai adalah buccal mucosal graft atau jaringan mukosa bibir,
karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten terhadp
infeksi, dan banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal
dari graft ini juga cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi (Mundy
et al., 2010).
Angka kesuksesan sangat tinggi mencapai 87%. Namun infeksi
saluran kemih, fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi sebagai
komplikasi pasca operasi. Prosedur rekonstruksi multiple Adalah suatu
tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum. Indikasi
prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra, bisa karena
fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik substitusi tidak bisa
dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif sehingga teknik
graft tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan operasi (Shet,
2011; Kotb, 2010).
Rekonstruksi multiple memang memerlukan anestesi yang lebih
banyak dan menambah lama rawat inap pasien, namun berguna bila pasien
kontra indikasi terhadap teknik lain. Karena rentannya kekambuhan dan
komplikasi pasca operasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan para
ahli medis agar operasi berjalan baik (Shet, 2011).
Pertama saat pre-operasi kita perkirakan panjang striktur dan derajat
fibrosis yang terjadi. Gunakan pemeriksaan radiologi seperti yang
disebutkan di atas. Analisis urine dan kultur harus dikerjakan sebelum
operasi, karena urine harus steril saat kita melakukan intervensi, untuk
11
mencegah infeksi. Riwayat seksual pasien juga harus ditanyakan. Saat
operasi, menjaga sfingter dan inervasinya dengan cara memotong jaringan
konektif antara sfingter dan uretra berguna dalam mencegah kontinesia dan
gangguan ereksi pasca operasi. Eksisi seluruh jaringan parut, mencegah
mobilisasi uretra yang berlebih, dan drainase urine sebelum operasi adalah
hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk meningkatkan angka
kesuksesan terapi (Kotb, 2010).
Antibiotik diberikan pada pasien yang dicurigai mengalami infeksi
saluran kemih dan jenisnya diberikan sesuai dengan hasil tes kepekaan. Jika
hasil kepekaan steril, maka dapat diberikan antibiotik profilaksis seperti
ampicillin atau cephalosporin. Algoritme penanganan pre-operatif dan intra-
operatif pasien striktur uretra dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Tabel 1. Obat-obat yang Menyebabkan Retensi Urine (Selius et al., 2008).
12
Gambar 2.5. Algoritme penanganan pre-operatif dan intra-operatif (Kotb, 2010)
I. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada striktur uretra antara lain (Broghammer, 2013):
1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka
otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat
kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula
akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase
dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan
divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot
buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli
adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.
2. Residu urin
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu
adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urin dalam kandung
kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.
13
3. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urin dikeluarkan buli-
buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika
yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urin dari
buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara
tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan
setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan
dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah
terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan
timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang
akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urin keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urin
yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya
infiltrat urin, kalau tidak diobati infiltrat urin akan timbul abses, abses pecah
timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.
J. Prognosis
Tingkat kekambuhan striktur uretra meningkat sebanding dengan panjang
striktur. Tingkat kekambuhan pada 12 bulan adalah 40%, 50%, dan 80%, untuk
masing-masing panjang striktur < 2 cm, 2-4 cm dan > 4 cm. Tingkat
kekambuhan striktur dengan panjang 2-4 cm meningkat menjadi 75% pada 48
bulan masa tindak lanjut (Dogra et al., 2011).
Stent uretra permanen memberikan tingkat keberhasilan jangka panjang
84%. Data Study Group di Amerika Utara selama 11 tahun menunjukkan
tingkat keberhasilan < 30%. Pemasangan graft memiliki tingkat keberhasilan >
84,3% sedangkan Skin Flaps Pedicled memiliki tingkat keberhasilan > 85,5%.
Sebuah meta-analisis menunjukkan hasil yang sama antara graft dan Skin Flaps
Pedicled (Dogra et al., 2011).
14
III. KESIMPULAN
1. Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut
dan kontraksi.
2. Striktur uretra dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu ringan, sedang dan berat.
3. Penyebab striktur uretra antara lain infeksi, kongenital, trauma (straddle
injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah akibat insersi peralatan
bedah selama operasi transurethral, pemasangan kateter, dan prosedur
sitoskopi.
4. Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
5. Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak
hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada
lokasi striktur, panjang atau pendek striktur, dan kedaruratannya.
6. Tingkat kekambuhan striktur uretra meningkat sebanding dengan panjang
striktur.
15
DAFTAR PUSTAKA
Broghammer, oshua A. 2013. Urethral Strictures in Males . Diunduh pada 9 Juli 2015 pukul 20.00 WIB tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/450903-treatment#d16
Dogra PN, Saini AK, Seth A. 2011. Erectile Dysfunction After Anterior Urethroplasty: A Prospective Analysis of Incidence and Probability of Recovery-Single-center Experience. Urology. 78(1):78-81
Mundy, Anthony R., Andrich, Daniela E. 2010. Urethral strictures. BJU International, 107,6-26.
Purnomo, Basuki. 2011. Dasar – dasar urologi. Jakarta : Sagung Seto.
Song L., Xie M, Zhang Y., Xu Y. 2013. Imaging techniques for the diagnosis of male traumatic urethral strictures. J Xray Sci Technol, 21(1):111-23.
Tijani KH., Adesanya AA., Ogo CN. 2009. The new pattern of urethral stricture disease in Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J, 16(2):162-5.
Wein. 2007. Urethral Stricture Disease. In. Campbell-Walsh Urology, 9th ed. Saunders Elsevier.
16