Download - referat trauma laring
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma laring eksterna adalah termasuk trauma yang tidak lazim,
diperkirakan kurang lebih 1 dari 30.000 kunjungan UGD. Hal ini menguntungkan
sebab trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius
dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya.
Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi
jalan nafas. Fungsi vokal selain merupakan prioritas kedua karena harus
mendahulukan keselamatan yang biasanya ditentukan oleh efektifitas dari
penanganan awal. Karena itu penting sekali bagi seorang otolaringologist untuk dapat
mengenali dan mendiagnosis serta mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis
trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini (Quinn, 2003 ; Akhmadu, 2007).
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka
sayat, luka tusuk dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat
menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti
otot, saraf, pembuluh darah dan struktur lainnya. Hal ini sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher
membentur dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba, tertendang
atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik atau usaha bunuh diri dengan
menggantung diri (Quinn, 2003).
1
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,
mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan
menyembuhkan. Seperti kita ketahui dalam penanganan trauma dikenal primary
survey yang cepat dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya
terapi definitif. Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey dikenal
sistem ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/Environmental
control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama
penanganan adalah menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu trauma
jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan penanganan yang cepat dan efektif
untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan (Quinn, 2003 ; Akhmadu, 2007).
Penulis lain melaporkan insidensi trauma laring < 1% dari semua kasus
trauma. Mortalitas trauma laringotrakea cukup tinggi yaitu 20-40%. Penulis lain
melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas meninggal pada 2
jam pertama setelah kedatangannya di UGD. Dari data tersebut dapat disimpulkan
bahwa trauma laringotrakea merupakan keadaan yang jarang ditemukan namun
mengancam jiwa sehingga dipandang perlu untuk dibuat tinjauan pustakanya
(Akhmadu, 2007).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun
cenderung meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan 80%
kasus terjadi pada 2,5 cm diatas carina (Akhmadu, 2007)
Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk insiden trauma
laringotrakea adalah 1:137.000. Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea
(TLT) adalah 1 dari 30.000 kasus trauma tumpul yang datang ke UGD. Bent dkk
melaporkan 1 kasus trauma laringotrakea dari 5000 kasus trauma tumpul dan tajam
yang datang ke UGD. Gussack dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua kasus
trauma (Akhmadu, 2007).
Sabina dkk melaporkan 23 kasus trauma laringotrakea selama 1992-1998, 12
kasus cedera laring, 8 kasus cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilan
belas dari 23 kasus akibat trauma tajam (82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul. Hal
ini sesuai dengan penemuan dari Lee bahwa insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4
kasus/tahun. Shelly dkk mendapatkan 65 kasus trauma laringotrakea dari 700 kasus
trauma leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari 65 kasus tersebut
(1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%) mengalami trauma tembus
(Akkhmadu, 2007).
Trauma laringotrakea lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
wanita.1,3 Symbas melaporkan perbandingannya adalah 5:1 dan lebih sering
3
ditemukan pada usia produktif (19-40 tahun). Kemungkinan hal tersebut disebabkan
karena laki-laki lebih tinggi mobilitasnya dibandingkan dengan wanita (Akhmadu,
2007).
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu
masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di atas ia membuka ke
dalam laringofaring dan di bawah ia bersambung dengan trakea. Kerangka laring
dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglotis, tiroid, aritenoid dan
krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot (Cohen, 1997).
Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus laringeus
internus cabang dari nervus laringeus superior sedangkan di bawah plika vokalis
disarafi oleh nervus laringeus rekurens. Persarafan motorik ke otot intrinsik laring
melalui nervus laringeus rekurens kecuali untuk m.cricotiroideus yang dipersarafi
oleh nervus laringeus eksternus. Pendarahan laring bagian atas dipasok oleh ramus
laringeus superior dari a.tiroidea superior sedangkan bagian bawah oleh ramus
laringeus inferior dari a.tiroidea inferior (Akhmadu, 2007).
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita
suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (yaitu glotis) bermuara ke dalam
trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah. Glotis
merupakan pemisah antara saluran pernafasan atas dan bawah. Meskipun laring
terutama dianggap berhubungan dengan fonasi tetapi fungsinya sebagai organ
4
pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, laring bergerak ke atas, terjadi
penutupan glotis dan fungsi seperti pintu dari epiglotis yang berbentuk daun pada
pintu masuk laring berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam
esofagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui glotis, fungsi batuk yang
dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari saluran
pernafasan bagian bawah (Price dan Wilson, 2005)
Laring dilindungi dengan baik oleh mandibula, sternum dan mekanisme fleksi
dari leher. Fungsi primer dari laring adalah sebagai jalan nafas, melindungi saluran
pernafasan di bawahnya dan memproduksi suara. Laring dapat dibagi menjadi 3 area :
supraglotis, glotis and subglotis. Sebagai penyangganya adalah os hyoid, kartilago
tiroid dan kartilago krikoid. Supraglotis adalah area yang paling tidak bergantung
pada penyangga eksternal dan mengandung sebagian besar jaringan lunak dan
mukosa. Glotis sangat bergantung pada penyangga eksternal dan dengan koordinasi
mobilitas krikoaritenoid dan aktifitas neuromuskular mengatur jalan nafas dan
memproduksi fonasi. Pada orang dewasa jalan nafas mengalami penyempitan di
daerah glotis. Oleh karena itu trauma yang terjadi di area ini dapat berimbas paling
buruk untuk usaha mempertahankan jalan nafas. Subglotis disangga hanya oleh
kartilago sirkuler pada laring yaitu krikoid yang merupakan area tersempit dalam
jalan nafas bayi dan anak-anak (Quinn, 2003).
5
Anatomi laring (Chen et al, 2001)
2.3. Etiologi
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas (Hadiwikarta et al, 2006):
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi
trakeostomi atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan
endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia (cairan
alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse)
misalnya akibat menjerit keras atau bernyanyi dengan suara keras.
6
2.4 Gejala Klinik
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam
pertama. Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau
timbul mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas.
Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara
akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi atau parese pita suara (Hadiwikarta
et al, 2006).
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea atau
fraktur tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan
masuk ke jaringan subkutis di leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah
muka, dada dan abdomen, serta pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit
(Hadiwikarta et al, 2006).
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya
banyak dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka
tusuk, luka sayat, luka tembak maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan)
juga dapat timbul akibat trauma laring (Hadiwikarta et al, 2006).
2.5 Patofisiologi
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika
dan plika ventrikularis oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah
membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek yang akan diikuti
7
dengan terbentuknya emfisema subkutis. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat
menyebabkan selulitis, abses atau fistel (Hadiwikarta et al, 2006).
Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan
dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis
tulang rawan dan perikondritis (hadiwikarta et al, 2006).
Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik yang diikuti oleh infeksi
sekunder dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis dan akhirnya
stenosis (Hadiwikarta et al, 2006).
Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya
kerusakan yang timbul dalam 3 golongan (Hadiwikarta et al, 2006):
1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema
submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan.
2. Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries).
3. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.
Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi
primer laring dan trakea yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat.
2.5.1 Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung
mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas
bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis lalu membentuk jaringan parut
yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena (Akhmadu, 2007).
8
2.5.2 Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat
pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga
menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon
yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah.
Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang
mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan
sikatrik kronik dengan stenosis juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal, erosi
trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata dan ruptur bronkial.
Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya masih
belum jelas namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kira-
kira 0.1 % pasien (Akhmadu, 2007).
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan
etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan
volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe
trauma ini namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk
reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang
mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi (tabel 1) (Akhmadu, 2007).
Tabel 1. Faktor resiko terjadinya trauma intubasi (Price dan Wilson, 2005)
Faktor resiko yang pasti Faktor resiko yang masih
mungkin
Dugaan, belum terbukti
sebagai faktor resiko
Wanita Penggunaan kortikosteroid Trakeostomi perkutan
9
Usia > 50 tahun
Tube dengan lumen ganda
Pengembangan balon /
cuff berlebihan
Trakeomalacia
Posisi yang salah dari tube
Kondisi medis yang buruk
Kesalahan penggunaan
mandrain
Batuk yang terlalu keras
dan berlebihan
Perawakan pendek
Obesitas.
2.5.3 Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering
disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat atau trauma
benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian
membentur kemudi, handle bars atau dashboard. Trauma tumpul lebih sering
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara
jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara kepingan
kendaraan yang mengalami kecelakaan (Akhmadu, 2007).
Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma
langsung pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea
maupun laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher
dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan
intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan menyobek
10
bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme lain yang cukup
berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea yang berbentuk U ke
tulang vertebrae. Hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang terjadi cenderung sesuai
level dari trumanya (Akhmadu, 2007).
Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai
biasanya jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago kecuali trauma yang
didapat cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-
anak masih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun kerusakan
jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak dengan trauma
tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa. Hal ini disebabkan
karena struktur fibrosa yang jarang dan lemahnya perlekatan jaringan submukosa
dengan perikondrium (Akhmadu, 2007).
Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi.
Pada trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan
mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan
robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal
yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin
trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak (Akhmadu,
2007).
Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti
dikatakan oleh Boyd dkk bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan yang
besar karena energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya
dengan trauma tumpul. Energi yang diterima permukaan tubuh akan dihantarkan ke
11
sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya. Berbeda dengan trauma tajam
dimana permukaan tubuh menerima energi yang lebih kecil. Selain itu energi yang
diterima hanya diteruskan ke satu arah saja (Akhmadu, 2007).
Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan
menjadi empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi
yang cepat, peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis
yang tertutup dan trauma benturan langsung (Akhmadu, 2007).
2.5.4 Trauma Tajam
Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%)
yang paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang
dipakai adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka
kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih
banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban menurut
beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada trauma
laringotrakea selain jalan bebas hambatan. Para penulis menyimpulkan bahwa trauma
tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin meningkat terutama
karena kejahatan (Akhmadu, 2007).
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas
tetapi trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka
tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian
atas dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien
dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular
dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri (Akhmadu, 2007).
12
2.5.5 Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien
dengan gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stres berat. Selain penyebab di
atas, pernah dilaporkan adanya trauma laringotrakea akibat : iatrogenik
injuries (mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation),
pisau cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar dan caustic injury (Akhmadu,
2007).
2.6 Patologi pada Saluran Nafas Atas
Cairan edema dapat cepat terkumpul di submukosa supraglotis dan subglotis.
Pembengkakan daerah endolaring subglotis cenderung melingkar sehingga akan
menimbulkan obstruksi saluran napas. Masuknya udara ke dalam ruang submukosa
akan lebih mengurangi diameter laring dan trakea. Udara di dalam jaringan lunak
(emfisema) akan menyebabkan emfisema epiglotis dan penyempitan saluran napas
supraglotis (Akhmadu, 2007).
Edema submukosa dan pembentukan hematom terjadi dalam beberapa jam
setelah trauma. Oleh karena itu tidak mungkin obstruksi jalan napas baru terjadi
setelah 6 jam pasca trauma. Banyak faktor yang mempengaruhi tipe / jenis cedera
yang terjadi pada saluran napas seperti arah dan kekuatan gaya, posisi leher, umur,
konsistensi kartilago laringotrakea dan jaringan lunaknya. Cedera yang terjadi dapat
berupa kontusio laringotrakea, edema, hematom, avulsi, fraktur dan dislokasi
kartilago tiroid, krikoid serta trakea (Akhmadu, 2007).
13
2.7 Diagnosis
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring,
misalnya oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka
pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan oleh karena terjadinya asfiksia.
Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-
gelembung udara pada daerah luka oleh karena udara yang keluar dari trakea
(Hadiwikarta et al, 2006).
Berbeda dengan luka terbuka diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.
Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya apakah perlu segera
dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.
Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada
sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak
sadar dan sesak nafas (Hadiwikarta et al, 2006).
Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan
gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk atau bicara. Di samping itu
mungkin terdapat suara parau tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma berat
dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring sehingga
menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia atau afonia,
hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang ditemukan di
daerah muka, dada, leher dan mediastinum (Hadiwikarta et al, 2006).
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.
14
2.8.1 Luka terbuka
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada
perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan
segera yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul
trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Setelah
trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat
pembuluh darah yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang
robek. Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan
serum anti-tetanus (Hadiwikarta et al, 2006).
2.8.2 Luka tertutup (closed injury)
Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa
memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di
kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa
eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma.
Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu akan memberikan hasil
yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari
(Hadiwikarta et al, 2006).
Keputusan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan eksplorasi
atau konservatif tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung
atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT scan. Pada
umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan
pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edem,
15
hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring
(Hadiwikarta et al, 2006).
Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah (Hadiwikarta et al, 2006):
1. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
2. Emfisema subkutis yang progresif.
3. Laserasi mukosa yang luas.
4. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
5. Paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit
horizontal. Tujuannya ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau
sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan
menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir (flap) atau tandur alih
(graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau
mold dari silastik, porteks atau silicon yang dipertahankan selama 4 atau 6
minggu (Hadiwikarta et al, 2006).
2.9 Komplikasi
Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang
tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain : terbentuknya jaringan
parut dan terjadinya stenosis laring, paralisis nervus rekuren, infeksi luka dengan
akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut dan stenosis laring dan trakea. Secara
garis besarnya, komplikasi yang mungkin terjadi (Quinn, 2003):
16
2.9.1 Akut
a. Obstruksi jalan nafas
b. Afonia
c. Disfonia
d. Odinofagia
e. Disfagia
f. Komplikasi post operasi ( hematoma, infeksi)
2.9.2 Kronik
a. Perubahan suara (21-25%)
b. Obstruksi kronik (15-17%)
c. Cedera kord vokalis (paralisis, terfiksasi)
d. Fistula (trakeoesofageal, esofageal, atau faringokutaneous)
e. Perubahan kosmetik
f. Aspirasi kronik
2.10 Morbiditas dan Mortalitas
Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami
gangguan menetap jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan memproteksi
aspirasi isi faring. Komplikasi ini terjadi karena kontraktur dari skar atau granulasi
yang hebat / berlebihan. Pasien dengan trauma tumpul leher cenderung mengalami
komplikasi lambat yang banyak seperti kesulitan fonasi dibanding pada trauma tajam.
Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila terapi definitif baru dilakukan setelah
>24 jam pasca trauma (Akhmadu, 2007).
17
Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian
atau pada saat menuju rumah sakit dan setelah tindakan operatif-pun angka
mortalitasnya masih mencapai 14-25% akibat cedera lain yang menyertai. Penulis
lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas meninggal
pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di UGD.4 Mortalitas pasien dengan trauma
jalan napas dilaporkan berkisar 15-30% dan biasanya disebabkan karena syok yang
irreversibel, aspirasi masif darah, cedera vaskuler di daerah servikotorakal dan cedera
organ ikutan.4 Namun Lee dan Chagnon menyatakan bahwa penyebab kematian
tersering pada trauma laringotrakea adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi
darah. Mortalitas pada trauma tumpul lebih besar dibanding pada trauma tajam,
dilaporkan pada trauma tumpul 40% sedangkan pada trauma tajam hanya 20%
(Akhmadu, 2007)
BAB III
KESIMPULAN
18
Insidensi trauma laring sudah jarang ditemukan, kejadiannya diperkirakan
kurang lebih 1 dari 30.000 kunjungan UGD. Jarangnya trauma ini ditemukan
kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di
sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang tergantung
di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari leher (Akhmadu,
2007).
Trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius
dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya.
Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi
jalan nafas (Hadiwikarta et al, 2006).
Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan tidak
memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat memicu
cedera ini telah dikurangi sehingga derajat dan insidens komplikasinya dapat pula
diminimalisir (Akhmadu, 2007).
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Quinn FB, Ryan MW. Laryngeal trauma. September 2003. Online available from
URL http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Laryng-Trauma-2003-0903/Laryng-trauma-
2003-0902.htm diakses pada tanggal 2 November 2015.
2. Hadiwikarta A, Munir M, Hutauruk SM. Trauma Laring dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
2006. pp. 243-6.
3. Akhmadu, Wuryantoro. Trauma laringotrakea. 2007. Online available from
URL http://www.bedahtkv.com/index.php?/Paper/Referat-dan-Tinjauan-Pustaka/
Trauma-Laringotrakea.html diakses pada tanggal 2 November 2015
4. Price SA, Wilson LM. Sistem respirasi. Patofisiologi:konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta:EGC volume II edisi keenam;2005. p.737.
5. Chen EH, Logman ZM, et al. A case of tracheal injury after emergent endotracheal
intubation: a review of the literature and causalities. Anesth Analg Case Report
2001;93:1270-1.
6. Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler PA.
BOIES, Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Alih Bahasa: Wijaya C. BOIES
Fundamental of Otolaryngology. Jakarta: Penerbit EGC; 1997. 370-371
20