Download - Referat Edit
I. PENDAHULUAN
Nyeri merupakan gejala paling sering yang membawa pasien berobat ke
dokter-hampir selalu merupakan manifestasi dari proses patologis. Segala rencana
pengobatan harus ditujukan berdasarkan proses yang mendasari serta mengontrol
nyeri. Pasien umumnya dirujuk untuk manajemen nyeri oleh dokter umum atau
spesialis setelah diagnosis ditegakkan dan pengobatan awal dari proses patologis
yang mendasari.
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, aktual maupun
potensial. Dapat terjadi akut (misalnya nyeri pembedahan, trauma dan luka
bakar), kronik (nyeri perut, nyeri kepala dan nyeri dada) dan nyeri kronik yang
berhubungan dengan penyakit kronik (misalnya nyeri kanker).
Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan atau penyakit di dalam tubuh. Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut,
dapat pula dirasakan secara kronik oleh penderita. Nyeri akut akan disertai
heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju
proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya nyeri
sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang
dideritaoleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak
dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.
Bila tidak teratasi dengan baik nye r i dapa t mempenga ruh i a spek
p s iko log i s dan a spek f i s i k da r i pende r i t a . Aspek psikologis
meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan
tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri
mempengaruhi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Nyeri sering
dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak
berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan,
kehangatan, tekanan ringan.
1
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri
bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan
jaringan saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi
dalam proses penghantaran impuls saraf. Di lain pihak, nyeri juga sangat
mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2
A. Nyeri
1. Definisi Nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Teori Specificity “suggest”
menyatakan bahwa nyeri adalah sensori spesifik yang muncul karena
adanya injury dan informasi ini didapat melalui sistem saraf perifer dan
sentral melalui reseptor nyeri di saraf, nyeri perifer dan spesifik di spinal
cord.1
Nyeri merupakan mekanisme protektif tubuh yang menandakan
adanya suatu gangguan/kerusakan jaringan pada tubuh. Rasa nyeri hanya
berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi tubuh akan terjadinya
infeksi yang mungkin terjadi. Dalam keadaan terinfeksi maka gejala nyeri
dimanifestasikan dalam bentuk rasa sakit dalam organ atau jaringan tubuh
sehingga diagnosis terhadap penyakit menjadi lebih mudah karena organ
yang terinfeksi sudah dapat diperkirakan. Walaupun rasa nyeri sering
berfungsi untuk mengingatkan, melindungi, dan memudahkan diagnosis
namun penderita sering merasa tersiksa dan berusaha untuk terbebas
darinya. Pada beberapa penyakit ganas seperti tumor ganas pada fase
terakhir dan kanker, meringankan rasa nyeri kadang merupakan satu-
satunya tindakan yang berharga.1,2
Nyeri dihasilkan sebagai jawaban dari respon otak terhadap
stimulus elektrik dan perubahan kimia (hormonal) dalam tubuh akibat
adanya bahaya, penyakit ataupun cedera. Pada saat terjadi gangguan/luka
pada jaringan akan memicu sel untuk mengeluarkan senyawa-senyawa
kimia (misalnya, bradikinin, histamine, prostaglandin dll) yang
menginduksi penyampaian impuls ke saraf pusat yang kemudian
diinterpretasikan sebagai nyeri.3
2. Etiologi Nyeri
3
Nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan sehingga tubuh
menghasilkan suatu mediator kimia untuk menginduksi stimulus nyeri
pada serabut saraf sehingga otak dapat mengetahui adanya kerusakan
jaringan tersebut. Oleh karena itu, nyeri dikatakan sebagai mekanisme
protektif tubuh. Dalam beberapa hal, nyeri bersifat subyektif dan sangat
individual. Pada masing-masing orang nyeri akan timbul pada tingkat
kerusakan jaringan yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya:1
a. Faktor Genetik
Penelitian terkini menunjukkan bahwa sensitivitas dan toleransi
terhadap nyeri memiliki kaitan dengan faktor keturunan
b. Faktor Fisiologik
Usia mempengaruhi cara orang merespon nyeri karena usia
mempengaruhi perkembangan maupun penurunan sistem saraf. Pada
bayi kepekaan sarafnya lebih kuat dibanding anak-anak sehingga lebih
mudah merasa nyeri. Pada lansia sensitivitas sarafnya justru melemah
sehingga semakin lambat untuk merespon nyeri.
c. Faktor Kelelahan
Kelelahan dapat menurunkan kemampuan untuk menahan respon nyeri
dan memperkuat persepsi nyeri. Pada aktivitas fisik yang berlebihan,
kurang tidur, dan stress, persepsi terhadap nyeri meningkat. Sebaliknya
orang-orang yang banyak istirahat, emosi dan kehidupan sosialnya
baik sangat membantu menurunkan rasa nyeri.
d. Faktor Trauma
Ingatan akan pengalaman nyeri khususnya pengalaman yang terjadi
saat anak-anak atau di usia yang sangat muda, dapat meningkatkan
sensitivitas dan menurunkan toleransi terhadap nyeri.
e. Fungsi Neurologik
Beberapa faktor yang mengganggu transmisi saraf normal
mempengaruhi kewaspadaan dan respon penderita terhadap nyeri
sehingga lebih beresiko cedera parah. Analgesik, sedatif, dan alkohol
menurunkan fungsi dari sistem saraf pusat dan beberapa penyakit yang
4
membahayakan saraf perifer untuk menurunkan sensitivitas sentuhan
dan rasa nyeri.
f. Faktor Psikologis
Kecemasan dan rasa takut memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi dengan nyeri. Ketakutan dan kecemasan dapat
meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan sebaliknya rasa nyeri juga
meningkatkan kecemasan dan ketakutan.
g. Respon Stress
Penelitian menunjukkan bahwa kondisi nyeri yang parah dapat
menyebabkan respon stress yang berlebihan pada bayi yang baru lahir
sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri dan dapat
menyebabkan komplikasi bahkan kematian.
3. Klasifikasi Nyeri
Berbagai macam jenis nyeri dapat dikategorikan sebagai berikut:1,4
a. Nyeri menurut Jenis
1) Nyeri Nosiseptif
a) Nyeri Somatis: nyeri yang berasal dari kulit atau dekat dengan
permukaan tubuh yang dibawa oleh saraf sensoris.
b) Nyeri Visceral: Nyeri dalam organ internal, perut atau tulang,
berlokasi sangat buruk terkait dengan mual dan muntah. Nyeri
visceral dibawa oleh serabut saraf simpatis.
2) Nyeri Neuropatik
a) Nyeri Pusat: Disebabkan oleh luka atau disfungsi pada otak
b) Nyeri Periferal: Hasil dari trauma atau penyakit pada saraf
peripheral.
c) Nyeri Psikogenik: Terjadi karena sebab yang kurang
jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan
biasanya tidak disadari (contohnya,orang yang marah-marah,
tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya).
3) Nyeri psikogenik: Nyeri ini berhubungan dengan adanya
gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang
apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
5
b. Nyeri temporal
1) Nyeri Akut
Merupakan sensasi normal akibat impuls pada sistem saraf kita
sebagai tanda adanya kerusakan dalam tubuh yang sifatnya
protektif. Penyebab nyeri akut dapat diidentifikasi dan muncul
segera setelah terjadinya kerusakan jaringan tubuh seperti tulang,
kulit, atau otot. Mula rasa nyeri bisa segera ataupun lambat
tergantung sifatnya. Intensitasnya bervariasi dari ringan hingga
parah. Nyeri akut biasanya bersifat sementara atau menetap kurang
dari 6 bulan. Pada kondisi parah, nyeri akut mengaktivasi system
saraf simpatik, menyebabkan diaphoresis meningkatkan respirasi
dan denyut nadi serta meningkatkan tekanan darah.
Bentuk nyeri akutdapat berupa:
a) Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
b) Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan
jaringan ikat
c) Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
2) Nyeri kronik
Adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri ini bisa berlangsung
terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, penderita yang
mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala
hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat). Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi
membuat penderita menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada
depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan
timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa
yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Jika kondisinya parah,
nyeri kronis dapat mengaktivasi sistem saraf parasimpatik dan
menghasilkan ketegangan otot, menurunkan tekanan darah dan
denyut nadi serta kegagalan sistem pertahanan tubuh. Nyeri kronis
6
biasa terjadi pada pasien dengan gangguan penyakit parah,
penderita nyeri kronik perlu mendapatkan bantuan medis untuk
menghindari rasa nyeri yang makin parah akibat munculnya
berbagai manifestasi yang muncul dari nyeri kronik itu sendiri.
Nyeri ini disebabkan oleh :
a) Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
b) Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
c. Nyeri Regional
Nyeri ini biasanya terjadi pada organ bagian dalam tubuh, antara lain
nyeri perut, nyeri dada, nyeri kepala, nyeri punggung bawah dan nyeri
pelviks. Nyeri disebabkan karena adanya suatu penyakit yang terjadi di
dalam tubuh misalnya, nyeri kanker, nyeri gigi, nyeri inflamasi dan
nyeri iskemik.
d. Nyeri berdasarkan derajat
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
1) Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat
beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.
2) Nye r i s ed ang ada l ah nye r i t e r u s men e ru s , ak t i v i t a s
t e r ganggu yang han ya h i l ang b i l a penderita tidur
3) Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari,
penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri
4. Mekanisme Nyeri
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai
dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro
fisiologik yang secara kolektif disebut nosisepsi (nociception).1,3
Istilah nosisepsi diturunkan dari kata noci (bahasa latin yang
artinya bahaya atau cedera). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada
suatu nosisepsi, yakni:1,3,5
a. Proses Transduksi (transduction),
Merupakan proses di mana suatu rangsang nyeri (noxious
stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh
7
ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa
rangsang fisik, suhu, ataupun kimia;
b. Proses Transmisi (transmission),
Dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melalui saraf
sensoris menyusul proses transduksi; Rangsang nyeri ini akan
ditransmisikan melalui dua macam serabut saraf yang berdiameter
kecil, serabut C yang tidak bermielin dan serabut A-delta yang
bermielin. Melalui neuron pertama, transmisi keduanya masuk ke
medula spinalis, ke substansia gelatinosa pada permukaan kornu
posterior.
Neuron kedua, kemudian menyilang ke arah kontra lateral yang
kemudian berjalan sebagai traktus spinotalamikus yang terdiri dari 2
traktus yaitu : traktus spinotalamikus lateral dan ventralis. Transmisi
ini juga disampaikan ke traktus spinoretikularis terutama bila
membawa rangsang nyeri dari organ yang lebih dalam dan viseral serta
berhubungan dengan nyeri yang melibatkan respons otonomik sistem
seperti dilatasi pupil, keringat, reaksi vasomotor, hal ini biasanya
terjadi pada nyeri yang lebih difuse dan berat/hebat.
Neuron ke dua traktus spinotalamikus ini berakhir di talamus.
Di talamus nyeri akan diproses hingga melibatkan emosi atau bahkan
mungkin diinhibisi melaluiendorfin sistem. Setelah diproses di
talamus, neuron ketiga akan berjalan ke daerah somatis sensoris di
korteks serebri, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
c. Proses Modulasi (modulation),
Adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem analgesilk
endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior medula
spinalis. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol oleh otak
seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin, dan
noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada
kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu
gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan
8
nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut
diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut. Proses modulasi
inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan
subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar
belakang budaya, pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu
rangsang.
d. Persepsi (perception),
Adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan
unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang
pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif dan
pengalaman emosional yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
Dapat disimpulkan bahwa manifestasi dan persepsi nyeri dari
masing-masing orang ditentukan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1) Komponen kognitif
Adanya persepsi yang menyebabkan orang tersebut menyadari
lokasi, lama dan intensitas nyerinya
2) Komponen afektif
Pengaruh situasi emosional yang mempengaruhi persepsi nyeri
3) Komponen motorik
Menimbulkan suatu mimik, gerakan yang berhuungan dengan
adanya persepsi nyeri
4) Komponen autonomik
Pada nyeri akut komponen ini akan menimbulkan penambahan
frekuensi denyut jantung, pernafasan yang dalam, dilatasi pupil,
menambah sekresi keringat dan perubahan tonus otot.
9
Gambar 1. Mekanisme Nyeri
Pada saat terjadi kerusakan jaringan maka sel-sel tubuh akan
melepaskan mediator-mediator kimia, seperti, histamin, bradikinin,
prostaglandin, leukotrien dan substrat P. Senyawa-senyawa ini yang
nantinya berperan pada radang dan nyeri. Histamin dan bradikinin
merupakan vasodilator kuat yang menyebabkan daerah yang terluka
mengalami kalor, rubor dan dolor.1
Bradikinin merupakan senyawa non peptida yang terbentuk dari
kininogen oleh katalisis enzim proteolitik kallikerin. Efek farmakologik
dari bradikinin antara lain, penyebab nyeri, menyebabkan produksi PGI2
dan nitrit oksida (NO) sehingga terjadi efek vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler. Efek bradikinin terjadi dengan melalui
interaksinya dengan reseptor-β1 dan reseptor-β2. Reseptor-β1 akan
teraktivasi oleh metabolit bradikinin dan sangat berperan pada proses
inflamasi serta hiperalgesia. Pada kondisi normal reseptor ini tidak
terdapat pada sel tetapi akan terinduksi oleh sitokin IL-1 dengan kuat pada
kondisi inflamasi atau kerusakan jaringan.2
10
Mediator histamin terdiri dari reseptor histamin H-1, H-2, H-3, H-
4. Reseptor H-1 terdapat pada otot polos, antara lain, otot polos bronkhus,
uterus, ileum. Reseptor H-2 berkaitan dengan reseptor gastrik. Reseptor
keempat terdapat di jaringan intestin, limpa, timus dan sel-sel inflamasi
atau sel imun seperti sel T, neutrofil dan eosinofil. Dengan demikian efek
histamin terutama paling dominan pada otot polos, sekresi gastrik, sistem
kardiovaskular, dan juga efek pada sistem saraf sentral termasuk gatal-
gatal pada kulit. Interaksi antara histamin dengan reseptor H-1
menghasilkan efek dilatasi kapiler dan vena yang menyebabkan hipotensi,
efek vasodilatasi pada kulit menyebabkan gejala bengkak dan kemerahan,
peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan edema, terjadi kontraksi
otot polos khususnya pada bronkhus dan ileum sehingga terjadi sesak
napas dan terjadi stimulasi nosiseptor sehingga timbul gejala nyeri.1,2,3
Prostaglandin memiliki peran yang sangat penting dalam
mekanisme nyeri dan inflamasi, namun prostaglandin tidak bekerja secara
langsung. Pada inflamasi, prostaglandin bersifat potensiasi terhadap efek
histamin dan bradikinin sehingga respon inflamasi semakin kuat. Pada
mekanisme nyeri, prostaglandinmeningkatkan sensitivitas serabut saraf C
sehingga efek bradikinin menjadi lebih poten. Efek obat golongan NSAID
pada dasarnya adalah menghambat mekanisme kerja prostaglandin.2,4
Leukotrien (LT) merupakan enzym solubel produk dari
lipooksigenase yang terdapat di paru-paru, platelet, sel mastosit dan sel
leukosit. Leukotrien memiliki efek farmakologis yang sama dengan
histamin, yaitu dapat menimbulkan kemerahan pada kulit dan
meningkatkan aliran darah perifer serta permeabilitas vaskuler.4
Mediator substansi P juga berperan dalam proses mekanisme nyeri
dan inflamasi. Substansi P termasuk dalam golongan peptida takikinin,
substansi P terdapat di dalam sistem saraf pusat yang berfungsi sebagai
neurotransmitter. Substansi P merupakan vasodilator yang kuat,
vasodilatasi terjadi karena efek langsung pada otot polos arteriolar
sehingga substansi P dilepaskan dan hal inilah yang dapat menyebabkan
nyeri dan efek inflamasi.2,4
11
Sel-sel khusus yang merespon terjadinya nyeri disebut nosiseptor,
ada 2 macam nosiseptor yaitu, reseptor mechanoheat dan polymodal.
Reseptor mechanoheat mempunyai ambang stimulus yang tinggi dimana
diperlukan stimulus nyeri yang kuat untuk menimbulkan efek pada
reseptor ini. Reseptor ini berhubungan dengan reseptor Aδ (delta), serabut
Aδ (delta) merupakan serabut saraf afferent bermielin, berdiameter 2-5μm,
mempunyai kecepatan antara 12-30m/s sehingga serabut Aδ tersebut
berfungsi untuk menghantarkan nyeri yang tajam dan menusuk atau nyeri
cepat dengan mengaktifkan reflex menghindar dan menarik diri dari
rangsangan. Nosiseptor polymodal merupakan terminal perifer dari serabut
saraf C yang memiliki respon sebagian besar terhadap suhu dan kimia.
Serabut saraf C merupakan serabut afferent yang tak bermielin, berukuran
0,5-1μm, serabut saraf C menghantarkan nyeri lambat (kecepatan sensasi
nyeri baru terasa setelah 1 detik atau lebih) yang sering digambarkan
seperti gatal dan juga nyeri visceral/mendalam. Nyeri lambat dapat
mengarah menjadi nyeri kronik dan pada kelumpuhan fungsi yang hebat.3
Rangsangan nyeri ini dideteksi dalam perifer oleh nosiseptor dan
akan masuk ke medulla spinalis melalui radiks dorsalis, lalu berakhir pada
neuron di dalam kornu dorsalis substansia grisea medulla spinalis, serabut
Aδ di dalam lamina I dan V serta serabut saraf C di dalam lamina II dan
III, suatu area yang juga dinamakan substansi gelatinosa. Kemudian
terbesar isyarat ini melintasi satu atau lebih neuron tambahan berserat
pendek, akhirnya memasuki serat panjang yang segera menyeberang ke
sisi medulla spinalis berlawanan dan naik ke otak melalui traktus
spinotalamikus anterolateralis.1,3
Saat stimulus mencapai serebral korteks, otak akan
menginterpretasikan isyaratnya dan memproses informasi yang dibawa,
akhirnya sebagai jawaban dari stimulus tersebut, otak akan mengirimkan
sinyal rasa nyeri berupa stimulus nyeri ke jaringan yang rusak sehingga
timbul rasa nyeri pada jaringan yang rusak.1,4
Pada saat otak mengkonduksi rasa nyeri ke jaringan, tubuh
melepaskan neuromodulator, seperti endogenous opioid (endorphin dan
12
enkephalin), serotonin, norepinepherine dan gamma aminobutyric acid.
Senyawa-senyawa inimenghambat transmisi nyeri dan membantu
memproduksi analgesik. Proses ini disebut dengan modulasi.1,3
Gambar 2. Ilustrasi Mekanisme Nyeri
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni
serabut saraf A yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang
tidak bermielin (konduksi lambat). Serat A delta mempunyai diameter
lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls
lebih cepat (12-30 m/detik) dibandingkan dengan serat C (0.5-5m/detik).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya
memiliki perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang
dilepaskan pada presinaps di kornuposterior. Reseptor (nosiseptor) serabut
A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C
peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan
kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai
polymodal nociceptors.3, 4
13
Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di
presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan
asam glutamat jugasubstansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.4
Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator
inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi
impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang
berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma. Interaksi ini akan
menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ionkalium,
hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-
produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam
arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat
dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan
nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi
perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi
termal/suhu pada daerahjaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi
perifer diinduksi oleh adanya perubahanneu rohumora l pada dae rah
j a r i ngan yang ru sak maupun s ek i t a rnya . J i ka k i t a
i ng in menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya
menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar
penggunaan obat-obat anti inflamasinon-steroid (AINS) yang merupakan
anti enzim siklooksigenase.4,5
Sensitisasi Sentral
14
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis
medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama
dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat
penting dalam proses transmisi dan modulasi suatustimulus noksius.
Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir
dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron
penerima darinuron pertama. Second-order neuronl ah yang
mema inkan pe ran modu la s i yang dapa t memfasilitasi atau
menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron dikornu
dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS)
yangsecara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan
serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang
responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius
yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta
meningkatnyareseptive field, s eh ingga t e r j ad i pen ingka t an
s i gna l t r ansmi s i ke o t ak menyebabkan meningkatnya persepsi
nyeri.3,4,5
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya
perubahan pada kornudo r sa l i s menyusu l sua tu ke rusakan
j a r i ngan / i n f l amas i . Pe rubahan i n i d i s ebu t s ebaga i sensitisasi
sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron
tersebutmenjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian
dari sensitisasi sentral. Inimenunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak
bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku t e t ap i s epe r t i
p l a s t i k , a r t i nya dapa t be rubah s i f a t nya ak iba t adanya
ke rusakan jaringan atau inflamasi.4
5. Sistem Inhibisi terhadap Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal
ini dapat terjadi karenaada suatu proses modulasi di kornua dorsalis
medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi
terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti :4,5
15
a. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar. Stimulasi
serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi
interneuroninhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A
betha atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi
nyeri.
b. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis,
yaitu:
1) Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
2) Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus
3) Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal
Ke t i ga l i n t a san i n i t u run menu ju dan men imbu lkan
hamba t an fungs i r e spon nye r i neuron nosisepsi di kornu
dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan
melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga
lintasan ini. PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini
diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor
opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara
endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan
endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
c. Betha endorphin
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh
liquor zat inidibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi
konduksi nyeri di substansiagelatinosa.
d. O p i o i d PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa
kornua dorsalis medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid.
Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau
mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa
16
6. Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyer i me rupakan masa l ah yang s anga t sub j ek t i f
yang d ipenga ruh i o l eh p s iko log i s , kebudayaan dan hal lainnya,
sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri, antara lain :4
a. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri
yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nye r i yang d i r a sakan da r i word
list yang ada . Me toda i n i dapa t d igunakan
un tuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul
sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori
nyeri yaitu: tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild), nyeri sedang
(moderate ), nyeri berat (severe ), nyeri sangat berat (very severe)
b. Numerical Rating Scale (NRSs)
Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range
dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas
nyeri yang dirasakan dariangka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada
nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.
c. Visual Analogue Scale (VASs)
Met oda i n i pa l i ng s e r i ng d ig unakan un tuk mengukur
i n t ens i t a s nye r i . Me to da i n i menggunakan garis sepanjang 10
cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang
sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang
menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan
menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui
perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan,
dan dap a t d igunakan da l am be r bag a i kon d i s i k l i n i s .
17
Ker ug i annya ada l ah t i dak dap a t digunakan pada anak-anak
dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang
berada dalam nyeri hebat.
d. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan
gejala-gejala nyeri yangdirasakan. Metoda ini menggambarkan
nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif.
Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”
e. The Faces Pain Scale
Metoda i n i dengan ca r a me l i ha t m imik wa j ah pa s i en
dan b i a sanya un tuk men i l a i intensitas nyeri pada anak-anak.
Gambar 3. Penilaian intensitas nyeri
B. Penatalaksanaan
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi
farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder , yaitu :4
1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat
seperti NSAID atauCOX2 spesific inhibitors.
18
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka
diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara
intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah
opiat yang lebih kuat.
Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses
transduksi dapat diberikanan estesik lokal dan atau obat anti radang
non steroid, pada transmisi impuls saraf dapatdiberikan obat-obatan
anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal,
narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum,
narkotik,atau parasetamol.6
1. Analgesik Non-Opioid
Banyak obat memiliki sifat analgetik yang tidak berkaitan dengan
reseptor opioid, misalnya acetaminophen dan AINS (antiinflamasi
nonsteroid). Golongan obat analgetik non opioid dianggap kurang
meyakinkan untuk mengurangi nyeri pasca bedah, kecuali bila nyeri pasca
bedah tersebut nyeri ringan atau sedang. Golongan obat analgetik non
opioid ini digunakan sebagai tambahan penggunaan opioid tambahan dosis
rendah untuk menghindari efek samping opioid berupa depresi nafas.
Golongan analgetik nonopioid ini selain bersifat antiinflamasi juga bersifat
analgetik, antipiretik, dan anti pembekuan darah.6,7
Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu grup
obat yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas antipiretik,
analgetik dan antiinfalamasinya. 6
Obat-obat ini terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim
sikloeksigenase tetapi tidak enzim lipooksigenase. Dengan penghambatan
enzim siklooksigenase terjadi penghambatan sintesis prostaglandin
perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang
rusak akibat trauma bedah. prostaglandin menghasilkan sedikit nyeri,
tetapi mempotensiasi nyeri yang disebabkan oleh mediator inflamasi lain.
Jadi, prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian
19
mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamine merangsangnya dan
menimbulkan nyeri yang nyata.6,8
Terdapat dua jenis siklooksigenase (COX), yakni COX-1 dan
COX-2. PGH synthase-1 (COX-1) ekspresinya konstitutif, yakni selalu
ada. Sebaliknya, PGH synthase-2 (COX-2) dapat diinduksi dan
keberadaannya sangat bervariasi tergantung stimulus. Dua isoenzim ini
juga berbeda dalam fungsi : COX-1 terdistribusi secara luas dengan fungsi
sebagai pemeliharaan, misalnya sitoproteksi lambung. Sebaliknya, COX-2
adalah produk gen yang cepat terjadi sebagai respon awal dalam inflamasi
dan sel imun, serta dapat distimulasi 10 sampai 18 kali oleh factor
pertumbuhan, promoter tumor, dan cytokine.7,9
Indometasin dan sulindac terutama bekerja pada COX-1.
Meclofenamat dan ibuprofen sama pengaruhnya pada COX-1 dan 2,
sedangkan celecoxib dan rofecoxib secara istimewa menghambat COX-2.9
Trauma / luka sel
Gangguan pada membrane sel
Fosfolipid
Dihambat kortikosteroid enzim fosfolipase
Asam arakhidonat dihambat obat AINS
Enzim lipooksigenase enzim siklooksigenase
Hidroperoksidase endoperoksidase
Leukotrin PGE2, PGF2,PGD2 tromboxan A2 prostasiklin
Gambar 4. Mekanisme kerja OAINS
20
Gambar 5. Jenis obat OAINS
Gambar 6. Derivat OAINS
a. Asam asetilsalisilat (aspirin)
Mekanisme kerja : efek antipiretik dan antiinflamasi silisilat terjadi karena
penghambatan sintesis prostaglandin di pusat pengatur panas dalam
hipotalamus dan perifer di daerah target. Lebih lanjut, efek analgetik dengan
menurunkan sintesis prostaglandin, mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit
terhadap rangsangan mekanik dan kimiawi. Disamping itu juga menekan
rangsang nyeri pada daerah subkortikal, yakni thalamus dan hipotalamus.21
Indikasi : Asam asetilsalisilat (aspirin) digunakan untuk mengurangi nyeri
ringan atau sedang, dan biasanya dikombinasikan dengan analgetik lainnya
untuk 3-4 hari. Aspirin lebih bersifat antipiretik.
Dosis : oral tablet 250-500 mg/8-12 jam.
b. Indometasin
Sebagai antiinflamasi, obat ini lebih poten dari aspirin, tetapi lebih inferior
terhadap salisilat pada dosis penderita arthritis rematoid. Pada keadaan tertentu,
misalnya arthritis gout akut, spondilitis ankilosa, dan osteoarthritis pinggang,
indometasin lebih efektif menanggulangi perdangan disbanding AINS lainnya.
Dosis : 25 mg/8-12 jam.
c. Diklofenak
Digunakan untuk pengobatan jangka lama arthritis rematoid, osteoarthritis, dan
spodilosis ankilosa. Lebih poten dari indometasin. Urin merupakan jalan utama
ekskresi obat ini dan metabolitnya.
Dosis oral dewasa : 50-100 mg/8-12 jam, suntikan : 75 mg, suppositoria : 50-
100 mg/12jam.
d. Ketorolak (toradol)
Cara kerja ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat. Seperti NSAID lainnya,
tidak dianjurkan untuk digunakan bagi wanita hamil, menghilangkan nyeri
persalinan, wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia kurang dari 4 tahun,
gangguan perdarahan dan bedah tonsilektomi.
Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30mg ketorolak sebanding
dengan 12 mg morfin dan sebnding dengan 100 mg petidin, sedangkan sifat
antipiretik dan antiinfalamasinya lemah. Ketorolak dapat digunakan bersamaan
dengan opioid.
Ketorolak dapat diberikan secara oral, intramuscular, atau intravena. Tidak
dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuscular atau
intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam
dengan lama kerja sekitar 4-6 jam, dan penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.
22
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6jam sesuai kebutuhan. Untuk
pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal sampai 90 mg dan untuk berat <
50 kg, manula atau gangguan fungsi ginjal dibatasi maksimal 60 mg.
e. Ketoprofen (profenid)
Semua obat-obat ini memiliki aktivitas antiinflamasi, analgetik dan antipiretik
dan mendapat prioritas yang luas pada pengobatan rheumatoid dan
osteoarthritis kronis. Mengalami metabolism hepatic dan ekskresi melalui
ginjal.
Dosis : per oral kapsul atau tablet 100-200 mg tiap hari, per rectal 1-2
suppositoria setiap hari, suntikan intramuscular 100-300 mg per hari atau
intravena perinfus dihabiskan dalam 20 menit.
f. Piroksikam
Mekanisme kerjanya belum jelas tetapi piroksikam digunakan untuk
pengobatan arthritis rematoid, sspondilitis ankilosa, dan osteoarthritis. Waktu
paruh rata-rata 50 jam sehingga pemberiannya satu kali sehari. Obat dan
metabolitnya diekskresikan lewat urin.
Piroksikam dapat diberikan secara oral kapsul, tablet, suppositoria atau ampul
10-20 mg.
g. Meloksikam
Meloksikam adalah inhibitor selektif COX-2 dengan efektifitas sebanding
dengan diklofenac atau piroksikam dalam mengurangi nyeri, tetapi dengan efek
samping minimal.
Dosis : tablet 7,5 mg atau 15 mg per hari.
h. Asetaminofen
Asetaminofen (paracetamol) bekerja menghambat sintesis prostaglandin pada
SSP. Ini menerangkan efek antipiretik dan analgesiknya. Efeknya kurang
terhadap siklooksigenase jaringan perifer, yang mengakibatkan aktivitas anti-
infalamsinya lemah. Biasanya untuk nyeri ringan dan dikombinasikan dengan
analgetik lainnya.
Dosis toksisitasnya menyebabkan nekrosis hati, karena ia dirusak oleh enzim
mikrosomal hati. Asetaminofen lebih disukai disbanding aspirin karena efek
samping terhadap lambung dan gangguan pembekuan darah minimal.
23
Dosis : oral 500-1000 mg / 4-6 jam, dosis maksimal 4000 mg / hari.
Efek samping golongan NSAID :
Acetominophen mempunyai efek samping yang paling sedikit tetapi hepatoxin
pada dosis yang sangat besar. Isoniazid, zidovudine dan barbiturat dapat
menimbulkan toksisitas acetominophen. Aspirin dan NSAIDs lebih banyak
menghasilkan gangguan lambung, heartburn, nausea dan dyspepsia; pada
beberapa pasien berkembang menjadi ulserasi pada mukosa gastrika, dimana
terjadi akibat penghambatan prostaglandin-diperantarai mukus dan sekresi
bicarbonat. Efek samping yang lain meliputi kelemahan, sakit kepala dan
mengantuk. Dengan pengecualian dari acetominophen dan COX-2 inhibitor,
semua COX inhibitor lainnya menyebabkan disfungsi platelet. Aspirin tidak
reversibel dengan acetyl platelet, menghambat daya adhesif selama 1-2 minggu,
dimana efek antiplatelet dari NSAID adalah reversibel dan bertahan selama 5
elimanasi waktu paru (24-96 jam). Efek antiplatelet tidak muncul untuk
peningkatan yang besar dari hemoragi post operasi setelah pasien keluar. NSAID
dapat menyebabkan insufisiensi renal akut dan nekrosis papillary renal terutama
pada pasien yang menderita disfungsi renal.
Beberapa efek samping dari NSAID :
1. Gangguan sistem saluran cerna
Lambung merasa nyeri, kembung, mual, muntah, konstipasi, diare,
dyspepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung dan
perforasi.
2. Hipersensitivitas kulit
Ringan : gatal, pruritus, erupsi, urtikaria
Berat : sindrom steven johnson
3. Gangguan fungsi ginjal
Terjadi penurunan aliran darah ginjal, penurunan filtrasi glomerulus,
retensi Na, hiperkalemia, peningkatan ureum, kreatinin, nekrosis papil
ginjal, nefritis, sindroma nefrotik.
4. Gangguan fungsi hepar
Peningkatan kadar SGOT, SGPT, gama globulin, bilirubin, ikterus
hepatoseluler.
24
5. Gangguan sistem darah
Trombositopenia, leukemia, anemia aplastik
6. Gangguan kardiovaskular
Akibat retensi air menyebabkan edema, hipertensi, dan gagal jantung.
7. Gangguan respirasi
Tonus otot bronkus meningkat, asma.
8. Keamanannya belum terbukti pada wanita hamil, wanita menyusui, proses
persalinan, anak kecil dan manula.8
Gambar 7. Analgesik non-opioid
25
2. Analgesik Opioid
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat
berikatan dengan reseptor morfin. Opioid sering digunakan dalam
anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca
pembedahan.6
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem
saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem
limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular
dan di korda spinalis yaitu di substantia gelatinosa dan dijumpai pula di
pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin,
beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan
menghasilkan efek.
Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan:
a. Reseptor µ (mu) : µ-1, analgesia supraspinal, sedasi
µ-2, analgesia spinal, depresi nafas,
euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan
otot
b. Reseptor (delta) : analgesia spinal, epileptogen
c. Reseptor (kappa) : -1 analgesia spinal
K-2 tak diketahui
K-3 analgesia supraspinal
d. Reseptor (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung
e. Reseptor (epsilon) : respons hormonal 6, 10
Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid adalah di reseptor
substansia grisea, yaitu di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan
pada sistem spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis.
Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor µ dan sisanya di reseptor K.
Opioid digolongkan menjadi:
a. Agonis
Mengaktifkan reseptor
Contoh: morfin, papaveretum, petidin (meperidin, Demerol), fentanil,
alfantanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin
26
b. Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah
agonis merangsang reseptor
Contoh: nalokson, naltrekson
c. Agonis-Antagonis
Pentasosin, nalbufin, butafanol, buprenorfin
Beberapa jenis analgetik opioid 6, 10, 11
a. Morfin
Morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi lebih mudah dan
lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah Papaver sominiferum.
Morfin paling mudah larut dalam air dibanding golongan opioid lain
dan kerja analgesi cukup panjang.
Morfin memiliki sifat depresi dan stimulasi terhadap sistem
saraf pusat. Sifat depresi yaitu analgesic, sedasi, perubahan emosi,
hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis,
miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal, konvulsi dan sekresi
homon antidiuretik.
Terhadap sistem kardiovaskular, dosis besar merangsang vagus
dan berakibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium.
Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik.
Terhadap sistem respirasi harus hati-hati, karena morfin
melepaskan histamin, sehingga menyebabkan konstriksi bronkus.
Maka kontraindikasi morfin pada asma dan bronchitis kronis.
Terhadap gastrointestinal morfin menyebabkan kejang otot
usus, sehingga terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu
menyebabkan gangguan empedu.
Terhadap sistem ekskresi ginjal, morfin menyebabkan kejang
sfingter vesica urinaria yang berakibat retensio urin.
Toleransi morfin ditandai oleh peningkatan dosis pada
penggunaan obat secara berulang untuk mendapatkan efek klinis yang
sama seperti sebelumnya. Toleransi morfin hanya pada efek
27
depresinya dan tidak pada efek stimulasinya. Toleransi dapat kembali
pada normal setelah pasien puasa morfin selama 1-2 minggu.
Adiksi morfin adalah ketergantungan fisik dan psikis yang
ditandai withdrawal syndrome yang terdiri dari ketakutan, kegelisahan,
lakrimasi, rinore, berkeringat, muntah, diare, menguap terus-menerus,
midriasis, hipertensi, bradikardi, kejang perut dan nyeri otot.
Efek samping morfin yang sering dijumpai yaitu mual dan
muntah. Alergi morfin jarang terjadi.
Morfin dapat diberikan secara subkutan, intramuscular,
intravena, epidural atau intratekal. Absorbsi dosis paruh waktu kira-
kira 30 menit setelah suntikan subkutan dan 8 menit setelah
intramuscular. Sepertiga morfin yang diabsorbsi akan berikatan dengan
albumin plasma. Sebagian besar akan dikonjugasikan dengan asam
glukuronat di hepar dan metabolitnya dikeluarkan oleh urin 90% dan
feses 10%.
Pada premedikasi morfin sering dikombinasikan dengan
atropine dan fenotiasin (largaktil). Pada maintenance sering diberikan
sebagai tambahan analgesia dan diberikan secara intravena. Sebagai
obat utama analgesi, harus ditambahkan benzodiazepine atau
fenotiasin atau anastetik inhalasi volatile dosis rendah. Dosis anjuran
untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0.1-0.2
mg/kgBB, subkutan, intramuscular, dan dapat diulang tiap 4 jam,
untuk nyeri hebat dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau
nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0.05-0.2 mg
intratekal dan dapat diulang antara 6-12 jam.
28
b. Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) sangat berbeda dengan morfin, tapi efek
klinik dan efek samping hampir sama. Perbedaan dengan morfin:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat, dan asam normeperidinat.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut,
pandangan kabur dan takikardi.
4. Seperti morfin, menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah
yang tidak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25
mg IV pada dewasa.
6. Lama kerja petidin lebih pendek disanding morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg.kg BB (morfin 10x lebih kuat)
dapat diulang 3-4jam. Dosis IV 0.2-0.5 mg/kgBB. Petidin subkutan
tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai
lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesic spinal dengan
dosis 1-2 mg/kgBB.
c. Fentanil
Zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih
larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan
dengan mudah. Efek depresi nafas lebih lama dibanding efek
analgesic. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesi hanya berlangsung 30 menit.
Karenanya hanya digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak
untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 µg/kgBB digunakan untuk
induksi anestesi dan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi
benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah
jantung. Efek yang tidak disukai adalah kekakuan otot punggung,
pelumpuh otot. Dosis besar mencegah peningkatan kadar gula
katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron, dan kortisol.
29
d. Sufentanil
Sifat mirip dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari fentanil.
Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0.1-0.3
mg/kgBB.
e. Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual muntah sangat
besar. Mula kerja cepat. Dosis analgesi 10-20 µg/kgBB
f. Tramadol
Anagesik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelemahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat
diberikan oral, IM, IV dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang
setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.
g. Nalokson
Antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu, delta, kappa,
dan sigma. Pemberian nalokson setelah mendapat morfin akan terlihat
laju nafas meningkat, kantuk menghilang, dilatasi pupil, tekanan darah
yg rendah akan meningkat. Biasanya digunakan untuk melawan
depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosis 1-2 µg/kgBB IV
dan dapat diulang tiap 3-5 menit, hingga ventilasi dianggap baik. Dosis
IM 2x dosis IV. Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per
infus dosis 3-10 µg/kgBB.
h. Naltrekson
Antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan per oral pada
pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paruh plasma 8-12 jam.
Pemberian per oral dapat bertahan hingga 24 jam. Naltrekson per oral
5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual, muntah pada analgesia
epidural saat persalinan, tanpa menghilangkan efek analgesiknya.
30
Gambar 8. Analgetik Opioid
3. Pendekatan Bedah
Sebagian besar nyeri dapat diatasi dengan metode noninvasive yang
sederhana, namun metode invasive, termasuk pembedahan kadang
diperlukan. Pendekatan ortopedi dalam manajemen terapi mencakup
nonsurgical (konservatif) dan surgical (contoh total joint replacement,
laminektomi, spinal fusion, simpatektomi). Prosedur neurosurgical dalam
manajemen nyeri yaitu neurolysis (injeksi bahan kimia atau aplikasi dingin
atau panas untuk merusak jaringan saraf), neuroaugmentasi dan
neuroablasi (seperti disrupsi sinyal neural) dan atau removal struktur saraf
yang berkaitan dengan nyeri. Sebagai contoh, dekompresi mikrovaskular
nervus trigeminal. 4,5
31
III. RINGKASAN
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, aktual maupun
potensial. Dapat terjadi akut (misalnya nyeri pembedahan, trauma dan luka
bakar), kronik (nyeri perut, nyeri kepala dan nyeri dada) dan nyeri kronik yang
berhubungan dengan penyakit kronik (misalnya nyeri kanker).
Tiga tipe stimulus yang merangsang reseptor rasa nyeri yakni, mekanik,
suhu dan kimiawi. Pada umumnya rasa nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan
jenis mekanis atau suhu sedangkan rasa nyeri lambat dapat diperoleh melalui
ketiga jenis tersebut. Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi
meliputi bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asetilkolin dan enzim
proteolitik.
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang
logis untuk mengatasi nyeri.
Pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah obat inflamasi non
steroid, aspirin, atau paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di
perifer. Apabila dengan obat- obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan
obat-obatan golongan opioid lemah seperti kodein dan dextropropoxyphene
disertai dengan obat-obat lain untuk meminimalisasi efek samping yang timbul.
Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka
digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat, misalnya morfin.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Arifin, Hasanul. Pengelolaan Nyeri Akut . Medan: Bagian/SMF Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.
2. Bagian Farmakologi FKUI. Analgesik Anti-Infalamasi Nonsteroid.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Pustaka FKUI. 1995. Hal 208-217.
3. Benzon , e t a l . The Assesment of Pain. Essential of Pain Medicine and
Regional Anaesthesia. Philadelphia. 2005.
4. Morgan, G.E. Pain Management. Clinical Anesthesiology. Stamford: Appleton
and Lange. 1996. Hal 274-316.
5. Sutjahjo, Rita A. Pain Relief In Trauma. Surabaya: Bagian/SMF Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2003.
6. Latief, S.A, Kartini A.S dan M. R. Dachlan. Tatalaksana Nyeri. Anestesiologi.
Jakarta: FKUI. 2001. Hal: 77-83.
7. Bertram G. Katzung. Obat-Obat Antiinflamasi Nonsteroid. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika. 2002. Hal 451-459.
8. Mary J.Micek, Richard A.Harvey, dan Bruce D. Fisher. Obat-Obat
Antiiflamasi. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta : Widya medika. 2001.
Hal 405-415.
9. MJ Neal. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (AINS). At a Glance Farmakologi
Medis. Jakarta : Erlangga Medical Series. 2006. Hal 70-71.
10. Mangku, G. Diktat Kumpulan Kuliah. Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2002.
11. Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. Obat-obat Penting. Jakarta :
Gramedia. 2002. Hal 364-372.
33