Download - Referat Batu Empedu
I PENDAHULUAN
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Empedu
2.1.2 Traktus biliaris
2.1.3 Vaskularisasi
2.2 Fisiologi
2.2.1 Fungsi dari sistem empedu
2.2.2 Saluran empedu
2.2.3 Kandung empedu
2.2.4 Sfingter Oddi
2.3 Gejala yang Berhubungan dengan Kondisi Patologis pada Traktus
Biliaris
2.3.1 Nyeri abdomen
2.3.2 Ikterus
2.3.3 Demam
2.4 Pemeriksaan Diagnostik untuk Traktus Biliaris
2.4.1 Foto polos abdomen
2.4.2 Cholecystografi oral
2.4.3 Percutaneous transhepatic cholangiography
2.4.5 Endoscopic retrograde cholangiopancreatography
2.4.6 USG
2.4.5 Radionuclide scan
2.4.6 CT scan abdomen
2.4.7 Scintigraphy
2.4.8 Laparoskopi
2.4.8 FDG-PET scanning
2.4.9 Bakteriologi
2.5 Patogenesis dari Batu Empedu
2.5.1 Batu kolesterol
2.5.2 Batu pigmen
2.5.3 Batu campuran
2.6 Batu Empedu (kolelitiasis)
2.6.1 Pendahuluan
2.6.2 Insidensi
2.6.3 Faktor resiko
2.6.3 Patogenesis
2.6.4 Gambaran klinis
2.6.5 Pemeriksaan penunjang
2.6.6 Komplikasi
2.6.7 Prognosis
2.7 Batu Empedu Asimptomatis
2.8 Batu Empedu dan Kolesistitis Kronis
2.8.1 Pendahuluan
2.8.2 Gambaran klinis
2.8.3 Pemeriksaan laboratorium
2.8.4 Diagnosis banding
2.8.5 Komplikasi
2.8.6 Treatment
2.8.6.1 non bedah
2.8.6.2 bedah
2.8.7 Prognosis
2.9 Kolesistitis Akut
2.9.1 Pendahuluan
2.9.2 Gambaran klinis
2.9.3 Pemeriksaan laboratorium
2.9.4 Pemeriksaan radiologis
2.9.5 Diagnosis banding
2.9.6 Komplikasi
2.9.7 Treatment
2.9.8 Prognosis
2.10 Ileus akibat Batu Empedu
2.10.1 Pendahuluan
2.10.2 Gambaran klinis
2.10.3 Treatment
2.10.10 Prognosis
2.11 Koledokolithiasis
2.11.1 Pendahuluan
2.11.2 Gambaran klinis
2.11.3 Pemeriksaan laboratorium
2.11.4 Diagnosa banding
2.11.5 Komplikasi
2.11.6 Treatment
2.12 Pankreatitis akibat Batu Empedu
2.13 Pembedahan untuk Batu Empedu
2.13.1 Kolesistektomi laparoskopi
2.13.2 Intraoperatif kolangiogram atau ultrasound
2.13.3 Kolesistektomi terbuka
2.14 Sindrom Postkolesistektomi
III KESIMPULAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Kandung empedu
Kandung empedu merupakan kantong yang berbentuk seperti buah pir
yang terletak pada permukaan visceral pada lobus kanan hati di suatu fossa
diantara lobus kanan dan quadratus. Kandung empedu memiliki :
- Akhiran yang bulat (fundus dari empedu), yang tampak pada batas inferior
dari hepar.
- Bagian utama di fossa (corpus dari empedu), yang berada melawan colon
transversum dan pada bagian superior dari duodenum.
- Bagian yang sempit (leher dari empedu) dengan lipatan mukosa
berbentuk spiral.
Kandung empedu menerima, mengkonsentrasikan, dan menyimpan cairan
empedu dari hati.(4) Kandung empedu memiliki panjang 7-10 sentimeter,
diameter 3-5 sentimeter, dan kapasitas 30-60 mililiter.(2)
Gambar 2.1 Anatomi Kandung Empedu
Diambil dari Gray’s Anatomy for Students
2.1.2 Traktus biliaris
Sistem duktus yang mengalirkan cairan empedu dimulai dari hati,
menyambung dengan kandung empedu, dan berakhir pada duodenum pars
desenden. Perpaduan dari duktus dimulai dari parenkim hepar dan berlanjut
hingga duktus hepatik kanan dan kiri terbentuk. Duktus ini mendrainase masing-
masing lobus dari hepar.
Duktus hepatik kanan dan kiri bergabung membentuk duktus hepatik
komunis yang terletak dekat dengan hati, bersama dengan arteri hepatika dan
vena porta pada margin bebas dari omentum minus. Duktus hepatik komunis
terus berjalan ke bawah dan kemudian duktus sistikus yang berasal dari
kandung empedu akan turut bergabung. Setelah itu terbentuklah duktus empedu
secara lengkap. Duktus empedu ini berada di sisi kanan dari arteri hepatik dan di
sisi anterior kanan dari vena porta pada margin bebas dari omentum minus.
Foramen omentum terletak di sisi posterior. Duktus empedu terus berjalan ke
bawah, memasuki duodenum bagian superior dari sisi posterior sebelum
bergabung dengan duktus pankreatikus untuk memasuki duodenum pars
desenden pada papilla duodenum mayor. (4)
Gambar 2.2 Traktus Biliaris
Diambil dari Gray’s Anatomy for Students
2.1.3 Vaskularisasi
Vaskularisasi dari system empedu ekstrahepatik berasal dari : bagian
distal dari arteri gastroduodenal, retroduodenal, dan posterosuperior
pancreatoduodenal dan pada bagian proksimal dari arteri hepatik kanan dan
arteri sistikus.
Kandung empedu disuplai oleh arteri sistikus. Arteri sistikus mungkin
berasal dari arteri hepatic kiri, hepatic komunis, gastroduodenal, atau
mesenterika superior. Arteri sistikus ini dibagi menjadi cabang superficial dan
profunda sebelum memasuki kandung empedu. Duktus hepatik komunis, hati,
dan duktus sistikus menentukan batas dari segitiga Calot. Dalam segitiga Calot
ini terdapat struktur penting yaitu : arteri sistikus, arteri hepatic kanan, dan
kelenjar getah bening dari duktus sistikus. Simpul Calot adalah rute utama dari
drainase limfatik kandung empedu dan sering terlibat dalam penyakit inflamasi
atau neoplastik dari kandung empedu. (2)
Gambar 2.3 Segitiga Calot
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
2.2 Fisiologi
2.2.1 Fungsi dari sistem empedu
Empedu melakukan dua fungsi penting :
Pertama, empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan
absorpsi lemak, bukan karena enzim dalam empedu yang menyebabkan
pencernaan lemak, tetapi karena asam empedu dalam empedu melakukan dua
hal yaitu : 1. Asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak
yang besar dalam makanan menjadi banyak partikel kecil, permukaan partikel
tersebut dapat diserang oleh enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pancreas, dan 2. Asam empedu membantu absorpsi produk akhir lemak yang
telah dicerna melalui membrane mukosa intestinal.
Kedua, empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa
produk buangan yang penting dari darah. Hal ini terutama meliputi bilirubin,
suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol. (5)
2.2.2 Saluran empedu
Saluran empedu, kandung empedu, dan sfingter Oddi memodifikasi,
menyimpan, dan mengatur aliran empedu. Hati memproduksi 500 sampai 1000
mL empedu per hari dan mengeluarkannya ke dalam kanalikuli empedu. Selama
perjalanan melalui duktus empedu dan duktus hepatic, empedu kanalikular
dimodifikasi dengan proses penyerapan dan sekresi elektrolit dan air.
Sekresi empedu peka terhadap rangsangan neurogenik, humoral, dan
kimia. Stimulasi vagal akan meningkatkan sekresi empedu, sedangkan stimulasi
saraf splanikus akan menurunkan aliran empedu. Hormon gastrointestinal,
sekretin, merangsang aliran empedu terutama dengan meningkatkan sekresi
aktif dari cairan kaya akan klorida oleh saluran empedu dan ductules.
Pngeluaran sekretin dirangsang oleh asam HCl, protein, dan asam lemak dari
duodenum. Sekresi duktular empedu juga dirangsang oleh cholecystokinin
(CCK), gastrin, dan hormone lainnya. Epitel dari duktus empedu juga
mengabsorbsi air dan elektrolit, yang penting untuk penyimpanan empedu
selama pasien puasa setelah dilakukan kolesistektomi.
Empedu terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan
pigmen empedu. Natrium, kalium, kalsium, dan klor memiliki konsentrasi yang
sama dalam empedu seperti dalam plasma atau cairan ekstraseluler. Garam
empedu primer , cholate dan chenodeoxycholate, disintesis di hati oleh
kolesterol. Garam empedu ini dikonjugasi di hati dengan taurine dan glisin, dan
berperan sebagai anion (asam empedu) yang diseimbangkan oleh sodium.
Garam empedu diekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan membantu
dalam mencerna dan menyerap lemak di usus. Sekitar 95% dari asam empedu
diserap kembali dan dikembalikan melalui system vena porta ke hati, yang
disebut juga sebgai sirkulasi enterohepatik (gambar 54-5). Sementara 5%
sisanya diekskresikan dalam tinja.
Kolesterol dan fosfolipid yang disintesis di hati adalah lemak utama yang
ditemukan dalam empedu. Sintesis kolesterol dan fosfolipid oleh hati diatur
sebagian oleh asam empedu. Warna dari empedu diakibatkan adanya pigmen
bilirubin diglucoronide, yang merupakan produk metabolism dari pemecahan
hemoglobin, dan ada dalam empedu dengan konsentrasi 100 kali lebih besar
dibandingkan di plasma. Setelah masuk ke usus halus, bakteri akan
mengubahnya menjadi urobilinogen, fraksi kecil yang kemudian diserap dan
disekresikan ke empedu. (2)
Gambar 2.4 Sirkulasi Enterohepatik
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
2.2.3 Kandung empedu
Kandung empedu mengkonsentrasikan dan menyimpan empedu selama
puasa dan mengalirkan empedu ke duodenum sebagai respon saat seseorang
tersebut makan. Karena kapasitas dari kandung empedu umumnya hanya
sekitar 30 sampai 60 mL, kapasitas serap yang luar biasa dari kandung empedu
dapat menyimpan hingga 600 mL empedu yang diproduksi setiap harinya.
Mukosa dari kandung empedu memiliki daya serap terbesar per unit areanya
dibandingkan dengan struktur lain di tubuh. Empedu biasanya terkonsentrasi 5
hingga 10 kali lipat oleh karena penyerapan dari air dan elektrolit yang
menyebabkan perubahan pada komposisi empedu.
Transport aktif NaCl oleh epitel kandung empedu merupakan pendorong
untuk konsentrasi dari empedu. Air diserap secara pasif sebagai respon dari
dorongan osmosis yang dihasilkan oleh penyerapan zat terlarut. Konsentrasi dari
empedu dapat mempengaruhi kelarutan dari dua komponen penting
terbentuknya batu empedu yaitu : kalsium dan kolesterol. Meskipun mukosa dari
kandung empedu menyerap kalsium, proses ini tidak seefektif penyerapan air
atau sodium, hal ini menyebabkan peningkatan secara relative dari konsentrasi
kalsium. Pada saat empedu menjadi terkonsentrasi, terjadi beberapa perubahan
pada kemampuan empedu untuk melarutkan kolesterol. Kelarutan untuk fraksi
miselar meningkat, tetapi stabilitas dari fofolipid-kolesterol vesicle menurun
tajam. Dikarenakan presipitasi dari kristal kolesterol terjadi lebih karena
mekanisme vesicular dibandingkan miselar, efek dari konsentrasi empedu
adalah peningkatan daripada nukleasi kolesterol.
Sel epitel kandung empedu mengeluarkan setidaknya dua produk penting
ke lumen dari kandung empedu yaitu, ion glikoprotein dan ion hydrogen. Sekresi
dari mucus glikoprotein terjadi terutama dari kelenjar di leher kandung empedu
dan duktus sistikus. Gel glikoprotein musin diyakini merupakan bagian penting
dari unstirred layer (diffusion-resistant barrier) yang memisahkan membran sel
kandung empedu dari lumen empedu. Barier mucus ini sangat penting untuk
melindungi epitel kandung empedu dari efek detergen yang kuat dari garam
empedu yang berkonsentrasi tinggi yang ada di kandung empedu. Namun, ada
bukti-bukti yang cukup juga menunjukkan bahwa glikoprotein musin ini berperan
sebagai agen pronucleating untuk kristalisasi kolesterol. Pengangkutan ion
hydrogen oleh epitel kandung empedu mengakibatkan penurunan pH dari cairan
empedu dalam kandung empedu melalui mekanisme pertukaran sodium.
Pengasaman dari empedu akan meningkatkan kelarutan kalsium, sehingga
mencegah pengendapan sebagai garam kalsium. Proses pengasaman normal
dari kandung empedu akan menurunkan pH epedu hepatik dari 7,5 hingga 7,8
turun menjadi 7,1 hingga 7,3.
Pengisisan kandung empedu berasal dari produksi terus menerus
empedu oleh hati melawan kekuatan kontraksi dari sfingter Oddi yang
berkontraksi. Jika tekanan di dalam duktus empedu melebihi tekanan dalam
lumen kandung empedu, empedu hati akan memasuki kandung empedu melalui
aliran retrograde dari duktus sistikus, dan akan cepat terkonsentrasi.
Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi sebagai respon dari
fase cephalic yang dimediasi oleh vagal dan oleh pengeluaran CCK, regulator
utama dari fungsi kandung empedu. Pada 60 hingga 120 menit selanjutnya,
sekitar 50 hingga 70% dari empedu kandung empedu akan dialirkan ke dalam
saluran usus. CCK akan terlokalisir ke usus halus bagian proksimal, terutama sel
epitel duodenum, dimana pengeluaran CCK ini dirangsang oleh lemak
intraluminal, asam amino,dan asam lambung dan diinhibisi oleh empedu. Selain
menstimulasi kandung empedu, CCK juga berfungsi untuk menginhibisi aktivitas
phasic motorik normal dari sfingter Oddi. Pengisian ulang kandung empedu
kemudian terjadi secara bertahap selama 60 hingga 90 menit berikutnya. (2)
2.2.4 Sfingter Oddi
Sfingter Oddi merupakan suatu struktur kompleks yang berfungsi secara
independen dari lapisan otot duodenum. Sfingter ini menciptakan zona
bertekanan tinggi diantara duktus empedu dan duodenum. Sfingter ini
meregulasi aliran empedu dan cairan pancreas yang menuju ke duodenum,
mencegah regurgitasi dari isi duodenum ke traktus empedu, dan mengalihkan
cairan empedu menuju ke kandung empedu.
Baik faktor neural dan hormonal mempengaruhi sfingter Oddi. Sebagai
respon terhadap CCK, baik tekanan maupun aktifitas phasic dari sfingter Oddi
menghilang. Setelah makan, tekanan sfingter akan berelaksasi sehubungan
dengan kontraksi dari kandung empedu, yang mengakibatkan aliran pasif dari
cairan empedu menuju ke duodenum. Saat puasa, kontraksi bertekanan tinggi
dari sfingter Oddi akan menetap. Aktivitas dari sfingter Oddi tampak
berkoordinasi dengan pengosongan kandung empedu dan peningkatan aliran
empedu. Aktivitas ini mungkin sebagai mekanisme preventif terhadap akumulasi
dari kristal empedu selama puasa. (2)
2.3 Gejala yang Berhubungan dengan Kondisi Patologis pada Traktus
Biliaris
2.3.1 Nyeri abdomen
Batu empedu dan inflamasi dari kandung empedu merupakan penyebab
yang paling banyak dari nyeri abdomen yang disebabkan adanya penyakit pada
traktus biliaris. Obstruksi akut dari kandung empedu oleh batu akan
menyebabkan timbulnya biliary colic, yang merupakan nyeri yang tidak kolik
pada epigastrium atau kuadran kanan atas. Biliary colic merupakan nyeri yang
konstan yang intensitasnya makin meningkat, dan dapat terasa hingga ke
punggung, region interscapula, atau bahu kanan. Rasa nyerinya dideskripsikan
sebagai bandlike tightness pada abdomen atas dan dapat menimbulkan mual
dan muntah. Hal ini disebabkan karena kandung empedu yang normal
berkontraksi melawan obstruksi luminal, seperti adanya batu yang terletak pada
leher dari kandung empedu, duktus sistikus, atau duktus koledukus. Rasa nyeri
ini biasanya dipicu oleh makanan yang berlemak, tetapi dpaat juga oleh tipe
makanan lain ataupun terjadi secara spontan. Hubungan dengan makanan
muncul pada 50% pasien, dan pada tipe pasien ini, rasa nyerinya biasa muncul
lebih dari 1 jam setelah makan.
Rasa nyeri pada biliary colic berbeda dengan rasa nyeri pada kolesistitis
akut. Meskipun biliary colic juga terlokalisir pada kuadran kanan atas, rasa nyeri
pada kolesistitis akut memberat dengan sentuhan, dan biasanya ditemukan juga
adanya demam dan leukositosis. Iritasi dari peritoneum visceral dan parietal
yang disebabkan karena inflamasi transmural dari kolesistitis menyebabkan
Murphy’s sign yang positif. Dari pemeriksaan fisik (pada pasien yang tidak dapat
bernapas karena nyeri pada saat pemeriksa mempalpasi dibawah costa kanan)
dapat merupakan indikasi dari kolesistitis akut. (2)
2.3.2 Jaundice
Apabila konsentrasi bilirubin dalam serum mencapai lebih dari 2,5 mg/dl,
akan terjadi perubahan warna sclera menjadi kekuningan (scleral icterus).
Jaundice merupakan perubahan warna menjadi kekuningan yang terjadi di kulit
apabila kadar bilirubin serum melebihi 5 mg/dl. Perubahan warna ini disebabkan
adanya deposisi dari pigmen empedu pada jaringan tersebut. Adanya bilirubin
terkonjugasi pada urin merupakan salah satu tanda yang dapat diketahui oleh
penderita.
Penanganan dan diagnose dari pasien yang mengalami jaundice
membutuhkan suatu algoritma (gambar 2.5). penyakit yang menyebabkan
jaundice dapat dibedakan menjadi “medical” jaundice, seperti adanya
peningkatan produksi, penurunan transport oleh hepatosit atau konjugasi, atau
ekskresi yang terganggu dari bilirubin, dan ada juga yang menyebabkan
“surgical” jaundice melalui pengiriman bilirubin menuju ke usus halus yang
terganggu. Penyebab yang umum dari peningkatan produksi bilirubin adalah
anemia hemolitik dan keadaan hemolisis yang didapat, termasuk sepsis, luka
bakar, reaksi transfuse, dan obat-obatan. Ekskresi bilirubin yang terganggu
mengakibatkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi dan
dapat disebabkan karena hepatitis akibat virus atau alcohol, sirosis, dan
kolestasis yang disebabkan obat. (2)
Gambar 2.5 Algoritma Diagnostik pada Pasien dengan Jaundice
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
2.3.3 Demam
Peningkatan suhu tubuh yang signifikan (> 38˚C) menunjukkan adanya
suatu proses inflamasi yang terlokalisir. Kontaminasi bakteri pada sistem
empedu merupakan hal yang umum pada kolesistitis akut atau koledokolitiasis
dengan obstruksi, dan dapat diperiksa dengan kolangiografi perkutan atau
endoskopi. Kombinasi dari rasa nyeri pada kuadran kanan atas abdomen,
jaundice, dan demam, disebut juga triad Charcot, menunjukkan adanya infeksi
aktif dari system empedu yang disebut kolangitis akut. (2)
2.4 Pemeriksaan Diagnostik untuk Traktus Biliaris
2.4.1 Foto polos abdomen
Foto polos abdomen dalam posisi posteroanterior supine akan
menunjukkan adanya batu empedu pada 10-15% kasus apabila batu tersebut
radioopak. Terkadang empedu itu sendiri mengandung kalsium (kandungan susu
dari kalsium empedu) yang juga dapat terlihat. Kandung empedu yang
membesar juga terkadang dapat diidentifikasi sebagai soft tissue mass pada
kuadaran kanan atas indenting an air-filled hepatic flexure.
Pada beberapa tipe penyakit bilier, diagnosis juga dapat ditegakkan
dengan adanya gambaran udara yang terlihat pada duktus koledukus pada foto
polos. Gambaran udara ini biasanya menunjukkan adanya fistula biliary-intestinal
(dari penyakit ataupun pembedahan) tetapi juga terkadang tampak pada
kolangitis yang berat, emfisematus kolesistitis, dan ascariasis bilier. (3)
2.4.2 Cholecystografi oral
Sodium tyropanoate atau asam lopanoic diminum secara oral pada malam
sebelum pemeriksaan, bersama dengan makanan yang ringan. Obat ini akan
diserap, berikatan dengan albumin pada darah porta, diekstraksi oleh hepatosit,
dan disekresikan di empedu. Opasifikasi terjadi hanya dengan konsentrasi pada
kandung empedu dan rata-rata dicapai dalam waktu 10 jam setelah pemberian
obat. Dilakukan pemeriksaan dalam posisi posteroanterior dan oblique supine
dan dekubitus lateral atau upright.
Kolesistogram oral tidak memuaskan apabila agen kontras tidak diserap
baik dari usus halus atau tidak diekskresi baik oleh hati. Penyerapan biasnya
terganggu pada penyakit abdomen akut dengan ileus, muntah, atau diare.
Apabila kadar bilirubin melebihi 3 mg/dl, ekskresi hepatik biasanya tidak adekuat.
Hasil false negative dapat terjadi pada 5% tes.
Nonopasifikasi terjadi pada 20% pasien setelah pemberian dosis tunggal.
Saat dosis kedua diberikan dan x-ray diulang keesokan harinya, ditemukan
opasifikasi pada 25% pasien. Nonopasifikasi yang persisten merupakan indikasi
adanya penyakit pada kandung empedu. (3)
2.4.3 Percutaneous transhepatic cholangiography (THC,PTC)
Percutaneous transhepatic cholangiography dilakukan dengan
memasukkan jarum memasuki iga kanan bawah dan parenkim hati hingga ke
lumen dari duktus empedu. Kemudian diinjeksikan material kontras yang larut
air, dan dilakukan foto x-ray.
Kesuksesan teknik ini berhubungan dengan derajat dilatasi dari duktus
empedu intrahepatik. THC terutama baik untuk memperlihatkan anatomi empedu
pada pasien dengan striktur empedu, lesi maligna dari duktus empedu proksimal,
atau apabila ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography) tidak
berhasil. Kegagalan masuknya kontras ke duktus tidak membuktikan tidak
adanya obstruksi. THC tidak boleh dilakukan pada pasien dengan kolangitis
hinga infeksinya terkontrol dengan antibiotik. (3)
2.4.5 Endoscopic retrograde cholangiopancreatography
ERCP involves cannulating sfingter Oddi melalui penglihatan langsung
lewat duodenoskopi yang dilihat dari sisi lateral. ERCP membutuhkan latihan
khusus dalam penggunaan endoskopi dengan fiber optic. Biasanya,
dimungkinkan untuk mengopasifikasi pancreas dan juga duktus empedu. Metode
ini biasa dipilih untuk memeriksa traktus biliaris pada pasien yang dicurigai
menderita koledokolitiasis atau lesi obstruktif pada region periampular. (3)
2.4.6 USG
Ultrasonografi sensitive dan spesifik untuk mendeteksi batu pada kandung
empedu dan dilatasi pada duktus empedu. Pada pemeriksaan dari penyakit yang
menyerang kandung empedu, diagnosis false positif untuk batu itu jarang, dan
false negative terhadap batu kecil atau kandung empedu yang berkontraksi
terjadi hanya pada 5% pasien yang diperiksa. Ultrasonografi biasanya
melewatkan batu yang terletak di duktus komunis.
Pemeriksa terkadang melaporkan bahwa terdapat “sludge” (endapan).
Material ini tampak opaq pada ultrasonografi, tidak tampak bayangan akustik,
dan membentuk lapisan dependen pada kandung empedu. Endapan ini dapat
disertai panyakit batu empedu ataupun tidak. Endapan ini biasa ditemukan pada
stasis empedu (karena puasa berkepanjangan) dan bukan merupakan indikasi
kolesistektomi. (3)
2.4.5 Radionuclide scan (HIDA scan)
Technetium 99m-labeled derivate dari asam iminodiacetic (IDA) diekskresi
dalam konsentrasi tinggi di empedu dan menghasilkan gamma camera images
yang baik. Setelah injeksi radionuklida secara intravena, gambaran dari duktus
empedu dan kandung empedu akan tampak setelah 15-30 menit. Pada pasien
dengan rasa nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, gambaran yang baik dari
duktus empedu diikuti dengan tidak adanya gambaran dari kandung empedu
mengindikasikan adanya obstruksi pada duktus sistikus dan menunjukkan
diagnosa kolesistitis akut. (3)
2.4.6 CT scan abdomen
Meskipun CT scan abdomen merupakan alat radiografi yang paling
informatif untuk memeriksa patologi dalam abdomen, diagnosis untuk penyakit
pada traktus bilier lebih baik menggunakan ultrasonografi. Tidak gunanya CT
scan diakibatkan karena batu empedu dan cairan empedu tampak isodense
pada CT scan, sehingga sulit untuk membedakan batu empedu dari cairan
empedu itu sendiri, kecuali batu empedu sangat terkalsifikasi. CT scan
mengidentifikasi batu empedu di traktus bilier dan kandung empedu dengan
sensitifitas hanya 55-65%. CT scan lebih akurat untuk mengidentifikasi lokasi
dan penyebab dari obstruksi ekstrahepatik. CT scan abdomen merupakan alat
yang baik untuk menevaluasi penyakit pada traktus biliaris dengan diagnosa
banding neoplasma hepatobilier atau pancreas, abses hati, atau penyakit
parenkim hati. (2)
2.4.7 Scintigraphy
Scintigraphy bilier berguna untuk memvisualisasi traktus bilier, memeriksa
fungsi hati dan kandung empedu, dan mendiagnosa beberapa penyakit termasuk
kolesistitis. Meskipun ini merupakan tes yang baik untuk melihat apakah duktus
sistikus dan duktus empedu dalam kondisi baik, scintigraphy tidak
memperlihatkan adanya batu empedu. Tidak adanya gambaran dari kandung
empedu setelah 2 jam setelah injeksi menunjukkan adanya obstruksi dari duktus
sistikus. Scintiraphy bilier yang diikuti oleh pemberian CCK berguna untuk
memperlihatkan adanya diskinesia bilier saat kontraksi dari kandung empedu
diikuti dengan nyeri pada traktus bilier pada pasien tanpa kecurigaan adanya
batu. (2)
2.4.8 Laparoskopi
Laparoskopi paling efektif saat digunakan dengan ultrasonografi
laparoskopi untuk menentukan stadium dan manajemen operatif dari malignansi
bilier. (2)
2.4.8 FDG-PET scanning
Fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET)
merupakan teknik yang digunakan untuk mendeteksi metastasis yang dapat
mengakibatkan perubahan manajemen pembedahan pada pasien. (2)
2.4.9 Bakteriologi
Cairan empedu pada kandung empedu tanpa adanya batu atau penyakit
lain steril. Adanya batu empedu atau obstruksi bilier menyebabkan peningkatan
pada bakteri. Persentase kultur cairan empedu dari kandung empedu pada
pasien dengan batu empedu simptomatis dan kolesistitis kronis bervariasi antara
11-30%. Prevalensi dari kultur empedu yang positif lebih tinggi pada pasien
dengan kolesistitis akut dibandingkan kolesistitis kronis (46% dibandingkan 22%)
dan meningkat apabila disertai adanya batu pada duktus empedu. Bakteri aerob
gram negative merupakan organism yang paling banyak ditemukan pada cairan
empedu pada pasien dengan batu empedu simptomatis, kolesistitis akut, atau
kolangitis. Escherichia coli dan Klebsiella merupakan bakteri gram negative yang
paling banyak ditemukan (Gambar 2.6). (2)
Gambar 2.6 Bakteri pada Infeksi Traktus Biliaris
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
2.5 Patogenesis dari Batu Empedu
2.5.1 Batu kolesterol
Batu kolesterol berasal dari sekresi empedu dari hati yang
tersupersaturasi dengan kolesterol. Dipengaruhi oleh bermacam-macam factor
yang muncul di empedu, kolesterol berpresipitasi dari larutan dan kristal baru
yang terbentuk bertumbuh menjadi batu makroskopis. Perkecualian apabila
duktus empedu komunis mengalami dilatasi atau mengalami obstruksi parsial,
batu akan terbentuk secara khusus pada kandung empedu. Batu yang
ditemukan di duktus biasanya mencapai duktus setelah melewati duktus sistikus.
Seperti dituliskan sebelumnya, kolesterol bersifat tidak larut dan pada
empedu harus ditranspor melalui misel garam empedu dan vesikel fosfolipid.
Saat kadar kolesterol pada empedu melebihi kapasitas, Kristal kolesterol akan
mengalami presipitasi dari vesikel fosfolipid.
Sekresi dari garam empedu dan kolesterol menuju ke empedu saling
berkaitan. Garam empedu elutes kolesterol dari membrane hepatosit saat
berjalan menuju kanalikuli empedu. Pada saat kadar garam empedu tinggi, kadar
dari kolesterol yang memasuki empedu menurun. Yang berarti bahwa pada saat
aliran empedu rendah (saat puasa), kemampuan empedu untuk mengikat
kolesterol lebih tersaturasi dibandingkan pada saat aliran empedu tinggi. Kadar
garam empedu pada pasien dengan batu kolesterol setengah lebih sedikit
dibandingkan normal, tetapi hal ini merupakan akibat dari penyakitnya (batu
menggantikan cairan empedu dalam kandung empedu) bukan penyebab. (CDT)
Tiga tipe abnormalitas dipertimbangkan berhubungan dengan
pembentukan batu empedu yang berasal dari kolesterol. Yang terutama adalah
supersaturasi empedu dengan kolesterol. Persentase saturasi dari kolesterol di
empedu ditentukan oleh rasio molar dari 3 lemak mayor yang ada dalam empedu
yaitu : kolesterol, asam empedu, dan fosfolipid. Supersaturasi kolesterol, hal
utama yang menyebabkan pembentukan batu, dapat terjadi akibat biosintesis
kolesterol yang berlebihan ( peningkatan aktivitas 3-hydroxy-3-methylglutaryl
(HMG) coenzyme A (CoA) reduktase), yang merupakan mekanisme litogenik
utama (seperti pada pasien obesitas). Penurunan aktifitas acyl-CoA cholesterol
acyltransferase (ACAT), inhibisi esterifikasi kolesterol, mengakibatkan
peningkatan ekskresi dari kolesterol bebas ke empedu. Pada pasien yang tidak
obesitas, sekresi kolesterol yang berlebihan dapat diakibatkan konversi dari
kolesterol ke asam empedu yang kurang baik, yang disebabkan rendahnya
aktivitas dari cholesterol 7α hydroxylase, enzim yang diperlukan untuk biosintesis
dari asam empedu (dan eliminasi kolesterol). Akhirnya, gangguan pada sirkulasi
enterohepatik dari asam empedu dapat meningkatkan saturasi empedu.
Gangguan sementara pada sirkulasi enterohepatik seperti saat puasa
semalaman mengakibatkan peningkatan rasio kolesterol di vesikel yang
disekresi oleh hati.
Abnormalitas yang kedua merupakan peningkatan nukleasi dari Kristal
kolesterol. Musin dan congeners, protein utama, bertindak sebagai matriks
molekul yang mengakibatkan kristal kolesterol menyatu dan membentuk batu.
Agar terjadi nukleasi ini juga diperlukan waktu yang cukup, dari terbentuknya
Kristal hingga bertumbuh menjadi mikrolit, dan mikrolit untuk bergabung menjadi
satu dan membentuk batu, sehingga stasis dari kandung empedu juga
berkontribusi terhadap terbentuknya batu. Saat puasa semalam, kandung
empedu tidak kosong sehingga waktu untuk penyimpanan dapat terjadi pada
semua orang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 3 faktor ini yang berperan
dalam pembentukan batu yaitu : apabila empedu tersaturasi, hipernukleasi, dan
adanya stasis.
Hipomotilitas dari usus halus baru-baru ini dikenali sebagai factor keempat
yang menyebabkan pembentukan batu kolesterol. Paparan yang lebih lama
terhadap mikroorganisme di usus halus menyebabkan garam empedu primer
terkonjugasi dan terhidroksilasi lebih besar menjadi garam empedu sekunder
yang lebih hidrofobik. Peningkatan kadar garam empedu sekunder ini,
merupakan penghambat yang kuat dari enzim yang diperlukan untuk biosintesis
dari asam empedu, sehingga akan meningkatkan sekresi kolesterol ke empedu.
(1)
2.5.2 Batu pigmen,kalsium, dan bilirubin
Bilirubin, pigmen berwarna kuning yang berasal dari metabolisme heme,
secara aktif disekresikan ke empedu oleh sel hati. Sebagian besar dari bilirubin
yang ada di empedu berada dalam bentuk terkonjugasi, yang cukup larut air dan
stabil, tetapi ada sebagian kecil yang mengandung bilirubin yang tidak
terkonjugasi. Bilirubin yang tidak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat,dan anion lain, memiliki kecenderungan untuk membentuk presipitat
yang tidak larut bersama dengan kalsium. Kalsium sendiri memasuki empedu
secara pasif bersamaan dengan elektrolit lain.
Pada situasi dimana terjadi turnover heme yang tinggi, seperti pada
hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin yang tidak terkonjugasi dapat muncul di
empedu dalam konsentrasi lebih tinggi dari normal. Kalsium bilirubinate
kemudian akan mengkristal dari larutan dan terkadang membentuk batu. Lama
kelamaan, bermacam-macam oksidasi akan menyebabkan presipitat bilirubin
berubah warna menjadi hitam, dan batu akan terbentuk dan disebut batu pigmen
empedu hitam (black pigment gallstones). Batu pigmen empedu hitam ini muncul
dalam persentase 10-20% di Amerika Serikat.
Dalam kondisi normal, empedu itu steril, tetapi pada kondisi yang tidak
umum (seperti adanya striktur), empedu akan terkolonisasi dengan bakteri.
Bakteri akan menghidrolisir bilirubin terkonjugasi, sehingga birlirubin yang tidak
terkonjugasi meningkat dan dapat menyebabkan terbentuknya kristal kalsium
bilirubinate.
Bakteri juga menghidrolisir lesitin untuk melepaskan asam lemak, yang
dapat mengikat kalsium dan presipitat dari larutan. Hal ini menyebabkan
dihasilkannya batu yang memiliki konsistensi seperti tanah liat dan disebut batu
pigmen empedu coklat (brown pigment stones). Tidak seperti batu kolesterol
ataupun batu pigmen hitam, yang terbentuk secara khusus dalam kandung
empedu, batu pigmen coklat seringkali terbentuk di duktus empedu. (6)
2.5.3 Batu campuran
Batu kolesterol dapat terkolonisasi dengan bakteri dan menyebabkan
inflamasi pada mukosa kandung empedu. Enzim litik dari bakteri dan leukosit
akan menghidrolisir bilirubin terkonjugasi dan asam lemak. Hal ini lama
kelamaan menyebabkan batu kolesterol terakumulasi dengan kalsium
bilirubinate dan garam kalsium lain, yang menyebabkan terbentuknya batu
campuran. (6)
2.6 Batu Empedu (Kolelitiasis)
2.6.1 Pendahuluan
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledukus, atau pada
kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol,
terbentuk di dalam kandung empedu. Kalau batu kandung empedu ini berpindah
ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder
atau koledokolitiasis sekunder.
Kebanyakan batu duktus koledukus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik
maupun intrahepatik. Batu primer saluran empedu harus memenuhi kriteria
sebagai berikut : ada massa asimptomatik setelah kolesistektomi, morfologi
cocok dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus koledukus
atau tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang. Khusus untuk orang Asia,
dapat ditemukan sisa cacing askariasis atau cacing jenis lain di dalam batu
tersebut. Morfologi batu primer saluran empedu antara lain bentuknya ovoid,
lunak, rapuh, seperti lumpur atau tanah, dan warna coklat muda sampai coklat
gelap. (8)
2.6.2 Insidensi
Insidensi kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau
bertanda.
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara
diagnosis dengan ultrasonografi.
Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau
batu bilirubin, yang terdiri atas kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di Negara
Barat, 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu
pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu
pigmen dibanding batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu kolesterol sejak
1965 makin meningkat. Tidak jelas apakah perubahan angka ini betul-betul oleh
karena prevalensi yang berubah. Namun, perubahan gaya hidup, termasuk
perubahan pola hidup, termasuk perubahan pola makanan, berkurangnya infeksi
parasit, dan menurunnya frekuensi infeksi empedu, mungkin menimbulkan
perubahan insiden hepatolitiasis.
Perbedaan lain dengan negara Barat ialah batu empedu banyak
ditemukan mulai pada usia muda di bawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata
tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia di atas 60 tahun, insidens batu saluran
empedu meningkat. Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah
penderita lelaki. (8)
2.6.3 Faktor resiko
Batu Kolesterol :
Faktor genetik/demografi : prevalensi tertinggi di Indian Amerika
Utara, Indian Chile, dan Hispanik Chile, lebih besar di Eropa Utara
dan Amerika Utara dibandingkan di Asia, terendah di Jepang,
disposisi genetik.
Obesitas : sekresi dan penyimpanan asam empedu normal tetapi
ada peningkatan sekresi empedu yang mengandung kolesterol.
Penurunan berat badan : mobilisasi dari kolesterol jaringan
mengakibatkan peningkatan sekresi kolesterol oleh empedu
dimana terjadi penurunan sirkulasi enterohepatik dari asam
empedu.
Hormon seks wanita :
a. Estrogen menstimulasi reseptor lipoprotein hati,
peningkatan uptake dari kolesterol harian, dan
peningkatan sekresi kolesterol dari empedu.
b. Estrogen alami, estrogen lain, dan kontrasepsi oral
menyebabkan penurunan garam empedu dan
penurunan konversi kolesterol menjadi cholesteryl
esters.
Peningkatan usia : peningkatan sekresi kolesterol dari empedu,
penurunan simpanan asam empedu, penurunan sekresi garam
empedu.
Hipomotilitas kandung empedu karena stasis dan formasi endapan
(sludge)
a. Nutrisi parenteral berkepanjangan
b. Puasa
c. Kehamilan
d. Obat seperti octreotide
Terapi clofibrat : meningkatkan sekresi kolesterol dari empedu.
Penurunan sekresi asam empedu
a. Sirosis empedu primer
b. Defek genetik dari gen CYP7A1
Penurunan sekresi fosfolipid : defek genetik dari gen MDR3
Lain-lain
a. Diet tinggi lemak dan kalori
b. Cedera tulang belakang
Batu pigmen
Faktor demografi/genetik : Asia, area pedesaan
Hemolisis kronis
Sirosis alkoholik
Anemia pernisiosa
Fibrosis kistik
Infeksi traktus biliaris kronis, infeksi parasit
Peningkatan usia
Penyakit ileum, reseksi atau bypass ileum (7)
2.6.3 Patogenesis
Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat dalam saluran empedu
dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun percabangan
tersebut mungkin terdapat di luar parenkim hati. Batu tersebut umumnya berupa
batu pigmen yang berwarna cokelat, lunak, bentuknya seperti lumpur dan rapuh.
Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau
kolangitis oriental yang sering sulit penanganannya.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledukus
melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu
berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan
perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus dan
striktur. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu
besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu
duktus sistikus. (8)
2.6.4 Gambaran klinis
Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu
adalah asimptomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dyspepsia
yang kadang disertai intoleransi terhadap makanan berlemak.
Pada yang simptomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau prekordium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, scapula, atau
ke puncak bahu, disertai mual dan muntah.
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
menghilang setelah makan antasida. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam dan
sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien
berhenti menarik napas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum
setempat (tanda Murphy).
Pada batu duktus koledukus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium
dan perut kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan
mengigil bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin
berwarna gelap yang hilang timbul. Ikterus yang hilang timbulnya berbeda
dengan ikterus karena hepatitis.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan
dan lenih banyak ditemukan di daerah tungkai daripada di badan.
Pada kolangitis dengan sepsis yang berat, dapat terjadi kegawatan
disertai syok dan gangguan kesadaran.
Pemeriksaan Fisik pada Batu Kandung Empedu
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,
hidrops kandung empedu, atau pancreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.
Pemeriksaan Fisik pada Batu Saluran Empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam
fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sclera ikterik. Patut
diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala
ikterus tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat,
baru akan timbul ikterus klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai
obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya
kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya
kolangitis bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan trias Charcot, yaitu
demam dan mengigil, nyeri di daerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul
lima gejala pentade *Reynold*, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus
dicurigai kemungkinan hepatolitiasis. (8)
2.6.5 Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila ada sindroma Mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu, dinding yang edem ke daerah kantong Hartmann, dan penjalaran
radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar bilirubin serum yang
tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat setiap kali ada serangan akut.
Pencitraan
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga
dapat dilihat dinding kandung empedu yan g menebal karena fibrosis atau
edem karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat dalam
duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang udara di
dalam usus. Dengan ultrasonografi, lumpur empedu dpat diketahui karena
bergerak sesuai dengan gaya gravitasi. Dengan ultrasonografi, punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangrene lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa.
Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat pada foto polos. Pada peradangan
akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan
atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatika.
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras yang
diberikan per os cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup
akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,
muntah, kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, obstruksi pylorus, dan
hepatitis karena pada keadaaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu.
CT-scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk
mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk membantu
diagnosis keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu,
dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.
Foto rontgen dengan kolangiopankreatografi endoskop retrogad
(ERCP) di papilla Vater atau melalui kolangiografi transhepatik perkutan
(PTC) berguna untuk pemeriksaan batu di duktus koledukus. Indikasinya
ialah batu kandung empedu dengan gangguan fungsi hati yang tidak
dapat dideteksi dengan ultrasonografi dan kolesistografi oral, misalnya
karena batu kecil. Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan
ultrasonografi endoluminal dengan endoskopi fleksibel untuk mendeteksi
batu empedu di saluran empedu. Cara ini dianggap jauh lebih aman
daripada ERCP. Kelemahan ERCP untuk diagnosis adalah bahaya
timbulnya komplikasi pancreatitis. (8)
2.6.6 Komplikasi
Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut yang dapat
menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu,
pancreatitis, dan perubahan keganasan.
Batu empedu dari duktus koledukus dapat masuk ke dalam
duodenum melalui papilla Vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan
mukosa, peradangan, edem, dan striktur papilla Vater. (8)
2.6.7 Prognosis
Kurang dari 50% pasien dengan batu empedu tidak mengalami gejala.
Mortalitas dari kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan morbiditas kurang dari
10%. Mortalitas dari kolesistektomi darurat adalah 3-5% dengan morbiditas 30-
50%.
Setelah kolesistektomi, batu dapat muncul kembali di duktus empedu.
Sekitar 10-15% pasien juga mengalami koledokolitiasis. Prognosis pada
pasien dengan koledokoloitiasis bergantung pada adanya dan keparahan dari
komplikasi. Dari seluruh pasien yang menolak operasi ataupun tidak
memungkinkan untuk dioperasi, 45%nya tetap asimptomatis, sedangkan
55%nya mengalami banyak kompilkasi. (6)
2.7 Batu Empedu Asimptomatis
Berdasarkan data dari prevalensi kandung empedu di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa hanya 30% pasien dengan kolelitiasis yang datang untuk
operasi. Alasan untuk dilakukannya profilaksis kolesistektomi adalah : 1. Batu
empedu yang besar (diameter lebih dari 2 cm), dikarenakan dapat menyebabkan
kolesistitis akut yang lebih sering dibandingkan batu kecil; dan 2. Kandung
empedu yang mengalami kalsifikasi, karena sangat sering berhubungan dengan
karsinoma. (3)
2.8 Batu Empedu dan Kolesistitis Kronis
2.8.1 Pendahuluan
Inflamasi yang terus berjalan dengan episode kolik bilier atau nyeri akibat
obstruksi pada duktus sistikus yang berulang disebut dengan kolesistitis kronis.
Sekitar dua pertiga pasien dengan penyakit batu empedu mengalami serangan
yang berulang. Meskipun perubahan patologis pada kandung empedu dapat
bervariasi, serangan yang berulang, jaringan parut, dan kandung empedu yang
tidak berfungsi memegang peranan. Secara histologis, kolesistitis kronis
dikarakteristikkan dengan peningkatan fibrosis subepitelial dan subserosa dan
adanya infiltrate sel mononuklear. (2)
2.8.2 Gambaran klinis
Gejala utama dari kolesistitis kronis adalah nyeri, yang biasa disebut
sebagai kolik bilier. Rasa nyerinya konstan dan biasanya berlangsung selama 1
hingga 5 jam. Serangannya biasa berlangsung selama lebih dari 1 jam tetapi
menghilang setelah 24 jam, apabila nyeri berlangsung selama lebih dari 1 hari,
penyebabnya lebih kea rah kolesistitis akut. Serangannya berbeda dari yang lain
dan berat sehingga pasien dapat mengingatnya dan menghitung jumlah
serangan. Gejala lain seperti mual dan muntah juga sering mengikuti tiap
episode serangan, dan rasa kembung dan bersendawa juga muncul pada 50%
penderita. Demam dan jaundice jarang ditemukan pada kolik bilier yang ringan.
Pasien tanpa gejala, sekitar dua pertiga pasien dengan batu empedu,
merasakan gejala yang jarang dan komplikasi pada taraf yang rendah. Pada
banyak kasus tidak diperlukan terapi pada pasien tanpa gejala. Pasien dengan
batu empedu tetapi tanpa gejala yang khas mungkin memiliki penyebab lain
yang menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas seperti ulkus peptikum,
pneumonia, batu ginjal, penyakit hati, hernia, refluks, atau angina. Pemeriksaan
fisik dan tes fungsi hati umumnya normal pada pasien dengan kolesistitis kronis,
terutama apabila yang tidak menimbulkan gejala. Selama episode kolik bilier,
mungkin dapat teraba tenderness pada kuadran kanan atas. (2)
2.8.3 Pemeriksaan laboratorium
Tes yang seharusnya dilakukan pertama kali adalah USG. Batu empedu
ditemukan pada 95% kasus, dan gambaran positif dari batu tidak pernah salah.
Kolesistogram oral seharusnya dilakukan apabila hasil USG kurang tegas,
pasien merupakan kandidat litotripsi atau terapi ursodiol, atau apabila gejala
yang ditunjukkan mendukung tetapi hasil USG normal.
Sekitar 2% pasien dengan batu empedu memiliki hasil USG dan
kolesistogram oral yang normal. Sehingga apabila pasien dicurigai memiliki batu
empedu, harus dilakukan ERCP (untuk mengopasifikasi kandung empedu untuk
mencari batu) atau intubasi duodenum dan pemeriksaan empedu duodenum
untuk Kristal kolesterol atau granul bilirubin. (3)
2.8.4 Diagnosis banding
Kolik bilier dapat dicurigai melalui riwayat penyakit penderita, tetapi untuk
diagnosa klinis harus dilakukan USG. Kolik bilier juga dapat menunjukkan rasa
nyeri dari ulkus duodenum, hernia hiatal, pancreatitis, dan infark miokard.
Elektrokardiogram dan foto thorax juga harus dilakukan untuk memeriksa
penyakit kardiopulmoner. Kolik bilier dapat memperberat penyakit jantung, tetapi
angina pectoris atau elektrokardiogram yang abnormal dapat menjadi salah satu
indikasi dilakukannya kolesistektomi.
Rasa nyeri radikular di sisi kanan pada dermatom T6-T10 dapat disalah
artikan dengan kolik bilier. Spur osteoarthritis, lesi vertebra, atau tumor dapat
terlihat dengan foto tulang belakang atau dapat ditunjukkan dengan adanya
hiperestesia dari kulit abdomen.
Pemeriksaan saluran cerna bagian atas diindikasikan untuk memeriksa
adanya spasme esophagus, hernia hiatal, ulkus peptic, atau tumor gaster. Pada
beberapa pasien, sindrom iritasi kolon dapat disalah artikan dengan ketidak
nyamanan pada kandung empedu. (3)
2.8.5 Komplikasi
Kolesistitis kronis dapat menjadi kolesistitis akut, batu duktus koledukus,
dan adenocarcinoma dari kandung empedu. Semakin lama batu ada, semakin
tinggi kemungkinan komplikasi terjadi. (3)
2.8.6 Treatment
2.8.6.1 non bedah
Menghindari makanan pencetus dapat membantu.
Disolusi
Batu kolesterol pada kandung empedu dapat dilarutkan pada beberapa
kasus tertentu dengan terapi menggunakan ursodiol, yang menurunkan
saturasi kolesterol di empedu dengan menghambat sekresi kolesterol.
Empedu yang tidak tersaturasi lama kelamaan akan melarutkan kolesterol
padat di batu empedu. Disolusi dicapai dalam waktu 2 tahun pada 50%
pasien yang telah dipilih secara ketat. Relapsnya batu terjadi dalam waktu
5 tahun pada 50% kasus. Secara umum, terapi disolusi baik monoterapi
atau dikombinasi dengan litotripsi sudah sangat jarang digunakan.
Litotripsi dan disolusi
Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) yang fokus pada
gelombang kejut, melewati jaringan dan cairan, diatas batu empedu. Batu
akan dipecah melalui ledakan dari gelembung air kecil dalam celah dari
material padat. Litotripsi memiliki kadar terapeutik yang kecil karena
pecahan dari batu tetap berada dalam kandung empedu kecuali dapat
disolusi. Sehingga pasien yang melakukan litotripsi harus menggunakan
ursodiol. Eliminasi total dari batu dicapai dalam waktu 9 bulan pada 25%
pasien yang sudah terpilih.
2.8.6.2 bedah
Kolesistektomi diindikasikan pada hamper semua pasien dengan gejala.
Prosedur ini dapat dijadwalkan untuk kenyamanan pasien, dalam jangka waktu
mingguan atau bulanan setelah diagnosis. Adanya penyakit penyerta yang dapat
meningkatkan resiko bedah harus diterapi sebelum pembedahan dilaksanakan.
Kolesistektomi seringkali dilakukan secara laparoskopi, tetapi apabila
laparoskopi merupakan kontra indikasi (seperti apabila terlalu banyak perlekatan)
atau gagal, akan dilakukan melalui laparotomi. (3)
2.8.7 Prognosis
Komplilkasi berat dan kematian akibat pembedahan jarang terjadi. Rate
kematian akibat pembedahan sebesar 0,1% pada pasien berusia dibawah 50
tahun dan sekitar 0,5% pada pasien berusia diatas 50 tahun. Kematian
kebanyakan terjadi pada pasien yang mengalami peningkatan resiko sebelum
operasi. Operasi sendiri menghilangkan gejala pada 95% kasus. (3)
2.9 Kolesistitis Akut
2.9.1 Pendahuluan
Pada 80% kasus, kolesistitis akut disebabkan karena adanya obstruksi
dari duktus sistikus oleh karena batu yang terletak pada kantong Hartmann.
Kandung empedu akan mengalami peradangan dan peregangan, menyebabkan
nyeri pada abdomen dan nyeri tekan. Penyebab awal dari kolesistitis akut
bermacam-macam, bergantung pada penyembuhan dari obstruksi yang telah
terjadi, ada tidaknya invasi bakteri sekunder, usia pasien, dan ada tidaknya
penyakit penyerta seperti diabetes melitus. Kebanyakan serangan membaik
secara spontan tanpa pembedahan ataupun terapi spesifik, tetapi beberapa
menjadi abses atau perforasi bebas dengan peritonitis general.
Perubahan patologis pada kandung empedu tampak sebagai suatu pola
yang atipik. Perubahan pertama yang terjadi adalah edema subserosa,
perdarahan dan patchy mucosal nekrosis. Kemudian leukosit polimorfonuklear
(PMN) akan muncul. Puncak dari perubahan ini adalah terbentuknya fibrosis.
Gangren dan perforasi dapat terjadi paling cepat 3 hari setelah onset, tetapi
kebanyakan perforasi terjadi pada minggu kedua. Pada kasus yang membaik
secara spontan, inflamasi akut dapat hilang setelah 4 minggu, tetapi residu dari
inflamasi dapat menetap hingga beberapa bulan. Sekitar 90% dari kandung
empedu yang diambil pada saat serangan akut menunjukkan adanya scar yang
kronis, meskipun banyak dari pasien ini yang menyangkal adanya gejala
sebelumnya.
Penyebab dari kolesistitis akut tidak sepenuhnya dipahami. Obstruksi dari
duktus sistikus tampak pada kebanyakan kasus, tetapi pada hewan eksperimen,
obstruksi dari duktus sistikus tidak tampak pada kolesistitis akut kecuali kandung
empedunya terisi dengan empedu yang terkonsentrasi atau tersaturasi dengan
kolesterol. Ada juga kejadian yang menunjukkan bahwa adanya trauma pada
kandung empedu akan melepaskan fosfolipase dari sel mukosa kandung
empedu. Hal ini kemudian diikuti dengan konversi dari lecithin di empedu
menjadi lysolecithin, yang merupakan komponen toksik yang menyebabkan
peradangan menjadi lebih berat. Munculnya bakteri hanya memiliki peranan kecil
pada stadium awal kolesistitis, meskipun kebanyakan komplikasi dari penyakit ini
melibatkan suatu proses supurasi. (3)
2.9.2 Gambaran klinis
Gejala pertama yang muncul adalah nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen, terkadang dapat terjadi nyeri alih pada skapula kanan. Pada 75%
kasus, pasien akan memiliki riwayat kolik bilier sebelumnya, dimana awalnya
tidak dapat dibedakan dengan myeri yang sekarang. Tetapi, pada kolesistitis
akut, rasa nyerinya menetap dan berhubungan dengan nyeri tekan abdomen.
Mual dan muntah muncul pada setengah pasien, tetapi muntahnya tidak berat.
Ikterus ringan terjadi pada 10% kasus.temperatur tubuh berkisar antara 38
hingga 38,5° C. Demam tinggi dan mengigil jarang ditemukan dan apabila
ditemukan harus diperkirakan adanya komplikasi atau kesalahan diagnosa.
Didapatkan nyeri tekan pada kuadran kanan atas, dan pada 1/3 pasien
kandung empedu dapat teraba (seringkali dalam posisi lebih lateral dibandingkan
normal). Pada pasien lain, kandung empedu tidak membesar dikarenakan
adanya jaringan parut pada dindingnya yang mencegah distensi. Apabila pasien
diinstruksikan untuk bernafas dalam pada saat palpasi pada regio subkosta
kanan, pasien akan merasakan nyeri tekan yang semakin memberat dan
kegagalan bernafas mendadak (tanda Murphy). (3)
2.9.3 Pemeriksaan laboratorium
Jumlah leukosit biasanya meningkat hingga 12.000-15.000/μL. Jumlah
leukosit yang normal juga umum terjadi, tetapi apabila jumlah leukosit meningkat
lebih dari 15.000, harus dipertimbangkan adanya komplikasi. Peningkatan ringan
pada serum bilirubin (sekitar 2-4 mg/dL) juga umum ditemukan, mungkin
diakibatkan karena peradangan sekunder dari duktus koledukus yang ditularkan
dari kandung empedu. Kadar bilirubin yang melebihi kisaran ini dapat menjadi
indikasi adanya batu pada duktus koledukus. Peningkatan ringan dari alkali
fosfatase mungkin menyertai serangan. Terkadang, konsentrasi dari serum
amilase dapat mencapai 1000 unit/dL atau lebih. (3)
2.9.4 Pemeriksaan radiologis
Foto polos abdomen terkadang dapat menunjukkan bayangan dari
kandung empedu yang membesar. Pada 15% pasien, batu empedunya
mengandung cukup banyak kalsium sehingga dapat terlihat pada foto polos.
Pemeriksaan USG dapat menunjukkan adanya batu empedu, endapan,
dan penebalan dari dinding kandung empedu, dan pemeriksa dapat
memperkirakan dengan lebih jelas dibandingkan dokter apabila titik maksimum
dari nyeri tekan pada kandung empedu dapat ditemukan (tanda Murphy
ultrasonografi). Tanda yang terakhir ini jarang ditemukan, terutama apabila
kandung empedu mengalami gangren. Biasanya, ultrasonografi merupakan satu-
satunya pemeriksaan yang diperlukan untuk mendiagnosa kolesistitis akut. (3)
2.9.5 Diagnosis banding
Diagnosis banding termasuk penyebab umum yang lain dari nyeri pada
abdomen bagian atas dan nyeri tekan. Ulkus peptikum yang akut dengan
ataupun tanpa perforasi dapat diperkirakan dari adanya riwayat nyeri pada
daerah epigastrium yang membaik dengan pemberian makanan atau antasida.
Kebanyakan kasus dari ulkus yang mengalami perforasi memperlihatkan adanya
gambaran udara bebas dibawah diafragma pada pemeriksaan x ray.
Pankreatitis akut dapat dibingungkan dengan kolesistitis akut, terutama
apabila kolesistitis diikuti dengan peningkatan kadar amilase.
Appendisitis akut pada pasien dengan caecum yang tinggi dapat tampak
sebagai kolesistitis akut.
Nyeri pada kuadran kanan atas yang berat disertai dengan demam tinggi
dan nyeri tekan lokal dapat menunjukkan adanya perihepatitis gonokokal akut.
(3)
2.9.6 Komplikasi
Komplikasi utama dari kolesistitis akut adalah empiema, gangren, dan
perforasi.
Empiema
Pada empiema (kolesistitis supuratif), kandung empedu berisi nanah, dan
pasien akan menjadi lebih toksik, dengan demam yang tinggi (39-40°C),
mengigil, dan leukositosis lebih tinggi dari 15.000/μL. Harus diberikan
antibiotik parenteral dan kolesistotomi perkutan atau kolesistektomi harus
dilakukan.
Perforasi
Perforasi dapat terjadi dalam 3 bentuk : 1. Perforasi terlokalisir dengan
abses perikolesistik, 2. Perforasi bebas dengan peritonitis general, dan 3.
Perforasi yang masuk ke dalam viscus yang berlubang, disertai dengan
pembentukan fistula. Perforasi dapat terjadi dalam 3 hari setelah gejala
akut kolesistitis muncul atau tidak lebih lama dari minggu kedua. Angka
kejadian total dari perforasi sekitar 10%.
1. Abses perikolesistik
Abses perikolesistik merupakan bentuk perforasi yang paling
umum, harus diperkirakan sesuai dengan peningkatan keparahan
dari tanda dan gejala, terutama apabila diikuti dengan adanya
massa yang terpalpasi. Pasien seringkali tampak toksik, dengan
demam hingga 39°C dan hitung leukosit diatas 15.000/μL, tetapi
terkadang tidak ada hubungannyaantara tanda klinis dan
perkembangan dari abses secara lokal. Kolesistektomi dan
drainase dari abses dapat dilakukan secara aman pada banyak
pasien, tetapi apabila kondisi pasien tidak stabil, lebih dipilih untuk
dilakukan kolesistotomi perkutan.
2. Perforasi bebas
Perforasi bebas terjadi hanya pada 1-2% pasien, lebih sering pada
awal penyakit dimana gangren terbentuk sebelum terjadi
perlekatan dari dinding kandung empedu. Diagnosis dibuat secara
preoperatif pada lebih dari setengah kasus. Pada beberapa pasien
dengan nyeri yang terlokalisir, penyebaran mendadak dari nyeri
dan nyeri tekan ke bagian abdomen yang lain dpaat mendukung
diagnosis. Apabila sudah didiagnosa, perforasi harus ditangani
dengan laparotomi darurat.
3. Fistula kolesistenterik
Apabila kandung empedu yang mengalami peradangan akut
menempel dengan gaster, duodenum, atau colon dan terjadi
nekrosis pada salah satu titik dari perlekatan, perforasi dapat terjadi
hingga ke lumen usus. Apabila batu keluar melalui fistula dan
apabila ia cukup besar, batu ini dapat mengobstruksi intestinal dan
menyebabkan ileus batu empedu. Fistula kolesistenterik tidak
selalu menyebabkan gejala kecuali kandung empedu dalam
keadaan terobstruksi parsial oleh batu atau jaringan parut. Fistula
kolesistenterik diterapi dengan kolesistektomi dan penutupan
fistula. (3)
2.9.7 Treatment
Setelah diagnosis kolesistitis akut ditegakkan, pemberian cairan intravena,
antibiotik, dan analgesia harus segera dilakukan. Antibiotik yang digunakan
sebaiknya berguna untuk bakteri gram negatif aerob maupun anaerob. Lebih dari
setengah pasien dengan kolesistitis akut memiliki hasil kultur positif dari empedu
yang berasal dari kandung empedu. Dikarenakan sulit untuk mengetahui mana
yang terinfeksi secara sekunder, antibiotik secara intra vena merupakan bagian
yang penting untuk manajemen kolesistitis akut.
Kolesistektomi merupakan terapi definitif untuk pasien dengan kolesistitis
akut. Kolesistektomi awal yang dilakukan dalam 2 hingga 3 hari setelah gejala
muncul lebih dipilih dibandingkan kolesistektomi yang dilakukan 6 hingga 10
minggu setelah dilakukan terapi medis inisial.
Kolesistektomi laparoskopi merupakan metode yang dipilih untuk pasien
dengan kolesistitis akut. Konversi ke prosedur kolesistektomi terbuka hanya
dilakukan apabila peradangan yang ada menghalangi visualisasi dari struktur-
struktur penting. Tingginya konversi ke pembedahan terbuka lebih tinggi (4%-
35%) pada kolesistektomi akut dibandingkan pada kolesistektomi kronis. Dari
banyak studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tingkat morbiditas, lama di
rumah sakit, dan waktu untuk kembali bekerja lebih cepat pada pasien yang
mengalami kolesistektomi laparoskopi dibandingkan dengan yang menjalani
kolesistektomi terbuka. Faktor tambahan yang menyebabkan dilakukannya
kolesistektomi terbuka termasuk usia pasien yang lebih tua, pasien pria,
peningkatan ASA, obesitas, dan penebalan dinding kandung empedu (>4mm).
Kolesistitis akut dapat menjadi empiema dari kandung empedu, kolesistitis
emfisematus, atau perforasi dari kandung empedu tanpa memandang
penggunaan antibiotik. Pada kebanyakan pasien, kolesistektomi dapat dilakukan
dan merupakan terapi terbaik untuk kolesistektomi akut yang mengalami
komplikasi. Terkadang, proses peradangan akan menghalangi struktur yang ada
si segitiga Calot, menghalangi diseksi yang aman dan ligasi dari duktus sistikus.
Pada pasien ini, kolesistektomi partial, kauterisasi dari mukosa kandung
empedu, dan drainage mencegah adanya kerusakan pada duktus koledukus. (2)
2.9.8 Prognosis
Angka kematian total dari kolesistitis akut sebesar 5%. Hampir semua
kematian berasal dari pasien berusia lebih dari 60 tahun atau yang disertai
dengan diabetes melitus. Pada kelompok yang berusia lebih tua, adanya
komplikasi kardiovaskular atau paru berkontribusi terhadap angka kematian.
Sepsis yang tidak terkontrol dengan peritonitis dan abses intrahepatik
merupakan kondisi lokal yang banyak berkontribusi terhadap angka kematian.
Batu duktus koledukus tampak pada 15% pasien dengan kolesistitis akut,
dan pada beberapa pasien yang sakitnya berat mengalami kolangitis akibat
obstruksi bilier.
Pasien dengan bentuk supuratif dari penyakit kandung empedu seperti
empiema atau perforasi lebih sulit mengalami kesembuhan. Penanganan yang
tepat dan kolesistektomi yang segera menurunkan resiko komplikasi. (3)
2.10 Ileus akibat Batu Empedu
2.10.1 Pendahuluan
Ileus akibat batu empedu merupakan obstruksi pada usus secara mekanis
yang disebabkan oleh batu empedu besar yang menyumbat di lumen. Paling
sering ditemukan pada wanita, dan usia rata-rata 70 tahun. (3)
2.10.2 Gambaran klinis
2.10.2.1 Gejala
Pasien biasanya datang dengan obstruksi pada usus halus, baik parsial
ataupun komplit. Batu empedu yang mengobstruksi masuk ke usus melalui
fistula kolesistenterik yang terletak di duodenum, colon, atau gaster atau
jejunum. Kandung empedu mungkin berisi satu atau lebih batu, tetapi batu yang
menyebabkan ileus selalu berdiameter 2,5 cm atau lebih. Lumen pada usus
bagian proksimal akan menyebabkan batu besar ini untuk masuk secara kaudal
hingga mencapai ileum. Obstruksi dari kolon dapat diakibatkan lewatnya batu
melalui fistula pada fleksura hepatika. (3)
2.10.2.2 Tanda
Pada kebanyakan pasien, dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
dari obstruksi pada usus halus bagian distal. Obstruksi dari duodenum dan
jejunum dapat memberikan tanda yang membingungkan karena rendahnya
distensi. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen dan adanya massa
dapat ditemukan pada beberapa kasus, tetapi abdomen yang terdistensi dapat
menyulitkan pemeriksaan. (3)
2.10.2.3 Pemeriksaan radiologis
Dari pemeriksaan radiologis, selain tampak adanya usus halus yang
mengalami distensi, foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya batu
empedu radioopak. Pada 40% kasus, pemeriksaan dari foto akan menunjukkan
adanya udara pada traktus empedu, yang merupakan manifestasi dari fistula
kolesistenterik. Apabila gambaran klinis tidak jelas , pemeriksaan dari saluran
cerna bagian atas harus dilakukan, yang akan menunjukkan adanya fistula
kolesistoduodenal dan menunjukkan obstruksi usus halus. (3)
2.10.3 Treatment
Treatment yang paling tepat adalah laparotomi darurat dan pengleuaran
batu yang mengobstruksi melalui enterotomi kecil. Usus bagian proksimal harus
diperiksa secara teliti untuk memeriksa adanya batu kedua yang dapat
mengakibatkan rekurensi post operatif.
Setelah pasien mengalami proses pemulihan, kolesistektomi elektif harus
direncanakan apabila pasien mengeluhkan gejala kandung empedu kronis.
Untuk fistulanya sendiri dapat menutup secara spontan pada kebanyakan
pasien. (3)
2.10.10 Prognosis
Angka kematian dari ileus akibat batu empedu sekitar 20%, biasanya
disebabkan karena kondisi umum yang buruk pada pasien tua pada saat
laparotomi. (3)
2.11 Koledokolithiasis
2.11.1 Pendahuluan
Batu pada duktus koledukus diklasifikasikan berdasarkan asalnya dan
ditemukan pada 6% hingga 12% pasien dengan batu pada kandung empedu. Di
daerah barat kebanyakan batu pada duktus koledukus berasal dari kandung
empedu dan bermigrasi melalui duktus sistikus ke duktus koledukus. Batu ini
diidentifikasi sebagai batu sekunder untuk membedakannya dengan batu primer
yang memang berasal dari duktus koledukus. Batu duktus koledukus juga
disebut tersimpan apabila ditemukan dalam kurun waktu 2 tahun setelah
kolesistektomi, atau rekuren apabila dideteksi dalam kurun waktu lebih dari 2
tahun setelah kolesistektomi. Batu sekunder biasanya merupakan batu pigmen
coklat. Identifikasi adanya batu coklat pada duktus koledukus mengingatkan
adanya kemungkinan tinggi rekurensi dan prosedur biliary-enteric drainage. Batu
primer berhubungan dengan stasis bilier dan infeksi dan lebih sering ditemukan
pada populasi Asia. Penyebab dari stasis bilier yang menyebabkan
pembentukan batu primer termasuk striktur bilier, stenosis papila, tumor, dan
adanya batu lain.(2)
2.11.2 Gambaran klinis
2.11.2.1 Gejala
Koledokolitiasis dapat asimptomatis atau mengakibatkan kolangitis toksik
yang mendadak, yang menyebabkan kematian cepat. Keparahan dari penyakit
dilihat dari derajat obstruksi, lamanya penyakit, dan ada tidaknya infeksi bakteri
sekunder. Kolik bilier, jaundice, atau pankreatitis dapat ditemukan bersaan
dengan tanda-tanda infeksi (kolangitis).
Kolik bilier dari obstruksi duktus koledukus tidak dapat dibedakan dengan
yang disebabkan oleh batu pada kandung empedu. Rasa nyeri dirasakan pada
regio subkosta kanan, epigastrium, atau area substernal. Nyeri alih pada regio
skapula kanan juga biasanya ditemukan.
Koledokolitiasis harus diperkirakan apabila ditemukan mengigil yang
kumat-kumatan, demam, atau jaundice yang diikuti adanya kolik bilier. Beberapa
pasien juga mengatakan warna urin yang bertambah gelap pada saat serangan
meski tidak ditemukan jaundice.
Pruritus biasanya merupakan akibat dari obstruksi yang lama dan
persisten. Rasa gatalnya lebih berat dirasakan saat udara panas saat pasien
berkeringat dan lebih berat pada ekstrimitas dibandingkan yag ada di tubuh. (3)
2.11.2.2 Tanda
Pasien tampak ikterik dan toksik, dengan demam tinggi dan mengigil, atau
juga dapat tampak sehat. Kandung empedu yang dapat terpalpasi tidak umum
pada pasien dengan jaundice obstruksi dari batu duktus koledukus dikarenakan
obstruksinya tidak menetap dan parsial, dan pembentukan jaringan parut
menyebabkan kandung empedu menjadi tidak elastis dan tidak mudah
terdistensi. Nyeri tekan dapat muncul pada kuadran kanan atas tetapi tidak
sesering seperti pada kolesistitis akut, ulkus peptik yang mengalami perforasi,
atau pankreatitis akut. Pembesaran hati dapat terjadi. (3)
2.11.3 Pemeriksaan laboratorium
Pada kolangitis, leukositosis 15.000/μL merupakan hal biasa, dan kadar
leukosit lebih dari 20.000/μL sering ditemukan. Peningkatan kadar bilirubin sering
muncul dalam 24 jam setelah gejala muncul. Kadar absolut nya biasa dibawah
10 mg/dL, dan kebanyakan berada pada kisaran 2-4 mg/dL. Bilirubin direk lebih
tinggi dibandingkan indirek, tetapi akan ikut meningkat pada banyak kasus.
Peningkatan kadar serum alkaline fosfatase biasa terjai dan mungkin
menjadi satu-satunya abnormalitas kimia pada pasien tanpa jaundice. Saat
obstruksi hilang, kadar alkaline fosfatase dan bilirubin akan kembali normal
dalam waktu 1-2 minggu. (3)
2.11.4 Pemeriksaan radiologis
Dapat ditemukan adanya batu empedu radioopak pada foto polos
abdomen atau CT scan. Ultrasound biasanya menunjukkan batu kandung
empedu dan tergantung derajat obstruksinya, dilatasi dari kandung empedu.
Ultrasound dan CT scan tidak sensitif untuk mencari batu pada duktus
koledukus. ERCP diindikasikan apabila pasien pernah menjalankan
kolesistektomi. Apabila kolesistektomi tidak dilakukan, kolangiografi haruslah
menjadi bagian dari manajemen operatif. Preoperatif ERCP juga sering dipilih
untuk pasien yang telah direncanakan melakukan kolesistektomi untuk
membersihkan duktus koledukus. Apabila ERCP tidak sukses, harus dilakukan
eksplorasi terbuka dari duktus koledukus untuk membersihkan duktus dari batu.
(2)
2.11.4 Diagnosa banding
Kadar serum amilase diatas 500 units/dL dapat disebabkan juga oleh
pankreatitis akut, kolesistitis akut, atau koledokolitiasis. Sirosis alkoholik atau
hepatitis alkoholik akut juga menyebabkan jaundice. Myeri tekan pada kuadran
kanan atas, dan leukositosis. Kolestasis intrahepatik akibat obat, kehamilan,
hepatitis kronik aktif, atau sirosis bilier primer akan sulit dibedakan dengan
obstruksi ekstrahepatik. ERCP akan dibutuhkan untuk membedakannya,
terutama apabila studi lain gagal memperlihatkan adanya penyakit batu empedu.
Apabila jaundice menetap hingga 4-6 minggu, mungkin disebabkan karena
masalah mekanis. Jaundice intermiten dan kolangitis setelah kolesistektomi
dapat disebabkan adanya striktur bilier, dan untuk pemeriksaan dibutuhkan
ERCP. Tumor bilier akan mengakibatkan jaundice yang berat tanpa kolik bilier
atau demam. (3)
2.11.5 Komplikasi
Infeksi pada duktus yang berkepanjangan dapat menyebabkan abses
intrahepatik. Kegagalan hati atau sirosis bilier sekunder dapat muncul apabila
obstruksi dibiarkan dalam jangka panjang. Pankreatitis akut merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi dari penyakit batu bilier. Batu pada duktus
koledukus dapat menuju ke ampulla, dan menyebabkan ileus akibat batu
empedu. (3)
2.11.6 Treatment
Pasien dengan kolangitis akut harus diterapi dengan antibiotik sistemik
dan terapi lain seperti pengobatan pada penyakit akibat batu empedu yang lain
dan terapi ini akan mengkontrol serangan dalam waktu 24-48 jam. Apabila
kondisi pasien memburuk atau tidak ada perbaikan selama 2-4 hari,
sphingterotomi endoskopi atau pembedahan dan eksplorasi duktus koledukus
harus dilaksanakan.
Pasien biasanya datang dengan kolangitis ringan dan adanya batu
kandung empedu yang dilihat dari pemeriksaan ultrasound. Diindikasikan
kolesistektomi laparoskopi, dan bergantung pada keahlian ahli bedah, eksplorasi
laparoskopik dari duktus koledukus harus dilakukan apabila kolangiogram
operatif atau laparoskopi ultrasound menunjukkan perkiraan adanya batu duktus
koledukus. Eksplorasi duktus koledukus dengan laparoskopi dilakukan melalui
duktus sistikus (yang mungkin terdilatasi), tetapi apabila duktus koledukus
membesar (> 1,5 cm), dapat dilakukan melalui insisi koledokotomi, seperti pada
pembedahan terbuka. Apabila batu pada duktus koledukus tidak dapat diambil
secara laparoskopi, akan dilakukan pengambilan kandung empedu secara
laparoskopi dan duktus koledukus dengan sphingterotomi endoskopi. Apabila
batu tidak dapat diambil dengan sphingterotomi, pembedahan terbuka mungkin
diperlukan.
Pada saat duktus koledukus dieksplorasi melalui duktus sistikus dan batu
berhasil dibuang, duktus sistikus harus diligasi, tetapi kateter drainase tidak
selalu ditinggalkan dalam duktus koledukus. Saat duktus koledukus dieksplorasi
melalui koledokotomi (baik melalui laparoskopi atau pembedahan terbuka), T
tube akan ditinggalkan di dukutus, dan kolangiogram diambil setelah satu
minggu atau setelah operasi. Adanya batu residu yang ditemukan melalui x-ray
post operasi dapat diambil dalam waktu 4-6 minggu melalui T tube tract.
Pasien dengan batu pada duktus koledukus yang telah menjalani
kolesistektomi akan diterapi dengan sfingterotomi endoskopi. Dengan
menggunakan duodenoskop yang dilihat dari sisi samping, ampula akan
dikanulasi, dan dibuat insisi berukuran 1 cm di sfingter dengan kawat
elektrokauter. Insisi yang telah dibuat di sfingter akan membuat batu dapat
melewati duktus menuju ke duodenum. Sfingterotomi endoskopi tidak sukses
pada pasien dengan batu yang besar (> 2 cm), dan merupakan kontra indikasi
apabila ditemukan adanya stenosis dari kandung empedu pada bagian proksimal
dari sfingter. (3)
2.12 Pankreatitis akibat Batu Empedu
Penyumbatan duktus pankreatikus oleh batu atau obstruksi sementara
oleh karena batu yang melewati ampulla dapat mengakibatkan terjadinya
pankreatitis tanpa mekanisme yang jelas. Ultrasound pada pasien dengan
pankreatitis akut dengan sebab yang tidak jelas harus mencari ada tidaknya batu
empedu dan koledokolitiasis. ERCP dengan sfingterotomi dan ekstraksi batu
merupakan terapi utama dan dapat menyembuhkan pankreatitis. Setelah
pankreatitis teratasi, kandung empedu sebaiknya dibuang. Apabila
pankreatitisnya dapat sembuh sendiri, batu berarti telah melewati. Pada pasien
dengan kondisi ini, diindikasikan kolesistektomi dan kolangiogram intraoperatif.
(2)
2.13 Pembedahan untuk Batu Empedu
2.13.1 Kolesistektomi laparoskopi
Sejak adanya kolesistektomi laparoskopi, angka kolesistektomi yang
dilakukan di Amerika Serikat, meningkat dari 500.000-700.000 per tahunnya.
Kontra indikasi untuk dilakukannya kolesistektomi laparoskopi termasuk
koagulopati, penyakit obstruktif paru kronis yang berat, penyakit hati stadium
akhir, dan penyakit jantung kongestif. Saat ini, kontra indikasi utama untuk
dilakukannya kolesistektomi laparoskopi adalah ketidak mampuan untuk
mengidentifikasi semua struktur anatomi secara jelas. Tingkat konversi untuk
kolesistektomi laparoskopi elektif sekitar 5%, sedangkan tingkat konversi pada
kolesistitis akut setinggi 30%. Konversi ke prosedur pembedahan terbuka bukan
merupakan suatu kesalahan, dan kemungkinannya harus didiskusikan dengan
pasien sebelum operasi.
Pasien yang menjalani kolesistektomi laparoskopi akan disiapkan
menggunakan pakaian khusus untuk kolesistektomi terbuka. Pasien berada
dalam posisi supinasi dengan dokter berdiri di sisi kiri pasien. Diciptakan
pneumoperitoneum dengan gas karbon dioksida, baik untuk teknik terbuka atau
dengan teknik jarum-tertutup. Apabila menggunakan teknik terbuka, insisi kecil
dilakukan baik diatas dan dibawah umbilikus hingga ke rongga peritoneum.
Kanula khusus berujung tumpul (Hasson) dengan gas tight sleeve dimasukkan
ke rongga peritoneum dan dikaitkan ke fascia. Pada teknik tertutup, jarum
insufflation berlubang khusus (Veress) dengan a retractable cutting sheath
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui insisi periumbilikus dan
digunakan unntuk insufflation.
Laparoskopi dengan video kamera kemudian dimasukkan melalui insisi
dan dilakukan inspeksi abdomen. Bagian tambahan kemudian dimasukkan
melalui penglihatan langsung. Kanula medial 5-mm digunakan untuk
mencengkeram infundibulum kandung empedu dan menariknya ke arah lateral
dengan tarikan ke arah pelvis kanan, untuk memperlihatkan segitiga Calot; hal ini
penting dilakukan untuk mengekspose segitiga Calot secara luas dengan arah
tarikan seperti ini untuk memperlihatkan anatomi dari kandung empedu. Manuver
ini memerlukan pelepasan adhesi diantara omentum atau duodenum dan
kandung empedu. Kebanyakan diseksi dapat dilakukan menggunakan disektor,
pengait, atau gunting. Penghubung antara kandung empedu dan duktus sistikus
didiseksi hingga arteri dan duktus sistikus terlihat jelas memasuki kandung
empedu. Penunjuk anatomis yang berguna adalah pembuluh limfe sistik. Diseksi
dari basis kandung empedu secara hati-hati diatas liver bed diperlukan untuk
memperlihatkan duktus dan arteri. Teknik infundibular yang terdahulu untuk
identifikasi dan diseksi duktus sistikus tidak memperlihatkan segitiga Calot
secara jelas dan mengakibatkan terjadinya misidentifikasi yang dapat
menyebabkan kerusakan pada duktus empedu. Diseksi sebagian dari basis
kandung empedu diatas liver bed sebelum memisahkan arteri dan duktus
sistikus diperlukan untuk memperlihatkan gambaran anatomi secara keseluruhan
dan meminimalisir resiko kerusakan pada duktus empedu.
Tahap berikutnya adalah ligasi dari arteri sistikus. Arteri ini biasanya
berjalan beriringan dan bersebelahan dengan duktus sistikus. Klip diletakkan di
bagian proksimal dan distal dari arteri, sebelum nantinya akan dipisahkan.
Apabila ada indikasi, kolangiogram intraoperatif akan dilakukan dengan
meletakkan hemoklip di bagian proksimal dari duktus sistikus, kemudian
dilakukan insisi pada permukaan anterior dari duktus, dan kateter kolangiogram
dimasukkan ke dalam duktus sistikus. Setelah kolangiogram selesai, 2 klip
diletakkan di bagian distal dari duktus sistikus, baru kemudian dipisahkan.
Duktus sistikus yang besar mungkin akan membutuhkan pemasangan dari
pretied loop ligature atau standard suture tied secara laparoskopi untuk
pendekatan yang lebih aman. Akhirnya, kandung empedu akan didiseksi keluar
dari fossa kandung empedu dengan elektrokauter. Sebelum memisahkan
kandung empedu dari hepar, lapangan operasi harus diperiksa untuk melihat
kemungkinan hemostasis. Kandung empedu kemudian didiseksi dari hati dan
dikeluarkan melalui port dari umbilikus. Apabila kandung empedu mengalami
inflamasi akut, gangren, atau masuk pada saat diseksi dilakukan, dimasukkan
plastic specimen retrieval bag untuk membersihkan cavum abdomen. Adanya
darah atau cairan empedu yang terakumulasi harus diirigasi dan dihisap keluar.
Adanya kemungkinan akumulasi cairan empedu atau kebocoran harus diatasi
dengan menggunakan closed suction drain melalui 5-mm ports dan ditinggalkan
di bawah lobus kanan hepar dekat dengan fossa kandung empedu. (2)
Gambar 2.7 Penempatan trokar untuk kolesistektomi laparoskopi. Laparoskop
diletakkan melalui port 10 mm diatas umbilikus. Port lain diletakkan di
epigastrium dan subcosta pada garis midklavikula dan dekat garis axillary
anterior.
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
Gambar 2.8 Kandung empedu diretraksi dibagian cephal dengan menggunakan
pencapit pada fundus dari kandung empedu dan pada infundibulum, dengan
arah tarikan ke arah pelvis kanan. Peritoneum diatas kandung empedu,
infundibulum, dan leher dari duktus sistikus dipisahkan, agar duktus sistikus
terlihat jelas.
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
Gambar 2.9 Gambaran yang didapat stelah diseksi dalam segitiga Calot yang
menunjukkan duktus sistikus dan arteri sistikus yang memasuki kandung
empedu. Pada titik ini, merupakan hal yang aman untuk meligasi dan
memisahkan kandung empedu.
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
2.13.2 Intraoperatif kolangiogram atau ultrasound
Pengunaan kolangiogram atau ultrasound secara rutin untuk
mengidentifikasi batu pada duktus koledukus yang tidak menimbulkan gejala
merupakan suatu kontroversi. Kolangiografi intraoperatif secara rutin akan
mendeteksi batu pada 7% pasien, memperlihatkan gambaran anatominya, dan
mengidentifikasi potensi kerusakan pada duktus empedu, meskipun tidak
mencegahnya. Kolangiogram intraoperatif selektif sebaiknya dilakukan apabila
pasien memiliki riwayat tes fungsi hati yang abnormal, duktus yang besar dan
batu yang kecil, atau duktus koledukusnya mengalami dilatasi, atau apabila
kolangiografi endoskopi preoperative tidak dikerjakan pada pasien suspek
koledokolitiasis. Ultrasonografi laparoskopi memiliki keakuratan yang sama
seperti kolangiografi intraoperatif untuk mendeteksi batu duktus koledukus. (2)
Gambar 2.10 Indikasi untuk kolangiogram intraoperatif
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
Gambar 2.11 Kolangiogram intraoperatif menunjukkan adanya batu duktus
koledukus. (arah panah)
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
2.13.3 Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi terbuka menjadi suatu prosedur yang tidak umum
dilakukan. Saat ini kolesistektomi terbuka dilakukan sebagai konversi dari
kolesistektomi laparoskopi atau sebagai prosedur kedua pada pasien yang
membutuhkan laparotomi untuk alas an lain. Kolesistektomi terbuka dikerjakan
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi keadaan pneumoperitoneum
dikarenakan kondisi jantung dan paru yang kurang baik. Pertimbangan penting
untuk kolesistektomi terbuka adalah pada pasien yang diduga mengalami kanker
kandung empedu.
Gambar 2.12 Indikasi untuk kolesistektomi terbuka
Diambil dari Sabiston Textbook of Surgery 18th Edition
Dilihat dari segi teknik, kolesistektomi terbuka dapat dilaksanakan hampir
mirip dengan pendekatan laparoskopi. Setelah arteri sistikus dan duktus sistikus
terlihat, kandung empedu didiseksi dari hepar, dimulai dari bagian fundus.
Secara alternatif, teknik retrograde dapat digunakan dimana diseksi dimulai dari
bagian fundus kemudian dilakukan pengidentifikasian duktus dan arteri, diligasi,
dan dipisahkan pada akhirnya. Diseksi harus dilakukan sedekat ,mungkin
dengan kandung empedu, untuk mencegah diseksi mengenai hepar dan
menyebabkan perdarahan. Diseksi dilakukan pada bagian proksimal dari arteri
dan duktus sistikus baru kemudian diligasi dan dipisahkan.(2)