Download - Referat Appendicitis
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Penulisan
Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di
mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular (1)
Apendisitis infiltrate sering terjadi pada usia tertentu dengan range 22-30
tahun. Pada wanita dan laki-laki insidensinya sama kecuali pada usia pubertas dan
usia 25 tahun wanita lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3:2. Angka
kematian berkisar 2-6%, 19 % kematian jika terjadi pada wanita hamil, dan pada
anak usia kurang dari 2 tahun meningkat hingga 20%.(2,3)
Morbiditas meningkat dengan bertambahnya usia, keterlambatan
diagnosis, bila apendiks tidak diangkat yang dapat menimbulkan serangan
berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah dan
5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga berpengaruh pada angka
mortalitas jika terjadi komplikasi. (4)
Komplikasi utamanya menurut Junaidi;1982 adalah perforasi apendiks,
yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah
10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu
37,70 C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinu.
Apendektomi direncanakan pada apendisitis infiltrate tanpa pus yang sudah
ditenangkan. Dimana sekitar 6-8 minggu sebelumnya diberikan antibiotik kombinasi
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Pada anak kecil, wanita hamil , dan usia
lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses dianjurkan
drainase saja dan apendektomi setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laborayorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan pembatalan tindakan
bedah.(1) Menurut sumber lain mengatakan bila massa apendiks dengan proses radang
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 1
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien
dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi
luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.(2)
Pencegahan pada apendisitis infiltrat dapat dilakukan dengan cara
menurunkan resiko obstruksi atau peradangan pada lumen apendik atau dengan
penanganan secara tuntas pada penderita apendisitis akut. Pola eliminasi klien
harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya diit
serat, diit tinggi serat. Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga
meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda
apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan resiko terjadinya gangren,
perforasi, dan peritonitis.(1)
I.2 Ruang lingkup pembahasan
Pada kesempatan ini penulis berusaha membahas mengenai apendisitis
infiltrat dan penanganannya. Hal-hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi
anatomi apendiks, definisi, insidensi, patofisiologi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penanganannya.
I.3 Tujuan penulisan
Referat ini disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik ilmu bedah
dan diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis juga sebagai bahan
informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis agar dapat membuat
diagnosa, membuat perencanaan perioperatif appendektomi, mampu
mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan pada pasien post operatif
appendektomi.
BAB II
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
PEMBAHASAN
II.1 Anatomi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung. Pada orang dewasa
panjang dari apendiks sekitar 10 cm, diameter terluar bervariasi antara 3 sampai 8
mm dan diameter dalam lumennya berukuran antara 1 sampai 3 mm, dan
berpangkal pada sekum. Lumen appendiks sempit dibagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk kerucut dengan
pangkal yang lebar dan menyempit ke bagian ujungnya. Bagian ujung dari
appendiks dapat berlokasi dimana saja pada kuadran kanan bawah dari abdomen
atau pelvis. Basis dari appendisitis dapat ditemukan dengan menelusuri taenia coli
yang berjalan longitudinal dan berkonfluensi pada caecum.
Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri
ileocolica. Arteri ini terletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke
mesoapendiks dekat dari basis appendiks. Percabangan arteri kecil terbentuk pada
titik tersebut dan meneruskan diri sebagai arteri caecal. Perdarahan appendiks
berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri
ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren.
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Suplai darah ileum terminalis, caecum, dan appendiks
Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang
terletak sepanjang perjalanan arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal dari
elemen simpatis pleksus mesenteric superior (T10-L1), oleh karena itu nyeri
visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabut afferentnya
berasal dari elemen parasimpatis nervus vagus.
Gambaran histologis dari appendiks termasuk diantaranya: pertama,
lapisan muskularis yang tidak tersebar secara merata dan mungkin terdapat
defisiensi pada beberapa lokasi. Kedua, submukosa, dimana terdapat agregasi
jaringan limfoid dengan atau tanpa disertai struktur tipikal dari centrum
germinativum. Pembuluh limfe lebih prominen pada regio dibawah agregasi
limfoid. Ketiga, mukosa yang menyerupai dari usus besar kecuali terdapat
perbedaan densitas dari folikel limfoid. Kripta pada appendiks memiliki
iregularitas baik dari ukuran dan bentuk, berbeda dengan kripta pada colon yang
memiliki gambaran uniform.
Kompleks neuroendokrin dari appendiks yang terdiri dari sel ganglion,
sel Schwann, serat neural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari
kripta-kripta pada appendiks. Serotonin merupakan produk sekretorik utama dan
dihubungkan dengan nyeri yang muncul pada appendiks non-inflamasi.
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Kompleks ini diduga sebagai sumber dari tumor-tumor karsinoid, dan oleh
karenanya appendiks dikenal sebagai tempat asal utama tumor-tumor karsinoid.
II.2 Fisiologi
Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk
anatomisnya sebagai organ berongga, dimana fungsi dari appendiks ini tidak
diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk
appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terdapat
infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system
imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam
memproduksi cairan, musin, dan enzim-enzim proteolitik, Appendiks dapat
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
II.3 Insidensi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan
kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas. 1
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki
lebih tinggi6.
II.4 Etiologi dan faktor resiko
Obstruksi lumen merupakan penyebab paling sering terjadinya
appendisitis akut. Fekalit adalah penyebab paling sering terjadinya obstruksi
appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayuran dan
biji buah, serta parasit usus yang menyebabkan erosi mukosa seperti E.
histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan adanya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% kasus appendisitis akut sederhana, 65% kasus
adalah appendisitis gangrenosa tanpa disertai ruptur, dan hampir 90% kasus
adalah appendisitis gangrenosa dengan ruptur.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Sedangkan
serat diperkirakan menurunkan viskositas dari feses, menurunkan waktu transit di
usus, dan melunakkan formasi dari fekalit. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intracaecal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora colon.
II.5 Patogenesis
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop
obstruction, dan produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa
appendiks menyebabkan distensi. Normalnya kapasitas lumen appendiks hanya
0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL meningkatkan tekanan intraluminal menjadi 60
cm H2O. Distensi appendiks menstimulasi saraf visceral afferen sehingga
menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang tumpul dan merata pada mid-
abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga distimulasi sehingga rasa
seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresi
mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari bakteri appendiks yang cepat.
Distensi yang besar ini biasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan
meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks, tekanan vena menjadi besar.
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran masuk arteriola tetap sehingga
menghasilkan pembesaran dan kongesti. Proses inflamasi ini akan mengenai
lapisan serosa appendiks sampai peritoneum parietalis. Hal ini dikarakteristikan
dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran kanan bawah, dan terjadi dalam
24 – 48 jam pertama.
Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah terpengaruh
akibat kerusakan aliran darah. Hal ini mengakibatkan mudah terjadinya invasi
bakteri. Karena pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan reaksi inflamsi (edem),
dapat menyebabkan appendiks menjadi semakin edem dan iskemi. Nekrosis dari
dinding appendiks dapat menyebabkan translokasi dari bakteri. Hal ini yang
disebut sebagai appendisitis gangrenosa. Bila tidak ditangani, appendiks yang
mengalami gangren tersebut akan pecah (appendisitis perforasi) dan
mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal.
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periappendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendiks. Di
dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses (appendiceal abses) yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh
dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya mengurai diri
secara lambat.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah. Pada suatu ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi akut (appendicitis kronik eksaserbasi akut).
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 7
Sembelit Katup ileocaecal kompeten
Tekanan ↑ dalam caecum
Flora kuman colon ↑
Appendicitis mukosa
Erosi selaput lendir
(E. histolytica)
Appendicitis komplit
Pengosongan isi appendiks terhambat :StenosisGangguan motilitasMesoappendiks pendek
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Patofisiologi Terjadinya Appendicitis
Sumber :
Sjamsuhidajat, 1997
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 8
Obstruksi
Distensi
↑ tekanan intraluminal
Obstruksi limfatik Kongesti vena
Edem
Diapedesis bakteri
Ulserasi mukosa
Invasi bakteri
Inflamasi lapisan serosa yang berhubungan dengan peritoneum parietal
Trombosis vena
Gangren
Perforasi
Bakteri keluar
Peritonitis
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Perjalanan Penyakit Akibat Close Loop Obstruction dari Lumen
Sumber : Stead, 2004
Perjalanan Alami Appendicitis Akut
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 9
Perforasi
Sembuh
Appendicitis mukosa
Appendicitis flegmonosa
Appendicitis dengan Nekrosis setempat
Appendicitis supurativa
Appendicitis gangrenosa
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Sumber : Sjamsuhidajat, 1997
II.6 Gambaran klinis
Nyeri abdomen adalah gejala utama pada appendisitis akut. Secara klasik,
nyeri tersebut tersebar merata pada epigastrium bawah atau daerah umbilical,
nyerinya berat dan menetap, kadang-kadang disertai dengan rasa seperti kram
perut. Setelah 1 – 12 jam (rata-rata 4 – 6 jam) rasa nyeri tersebut dirasakan di
perut kanan bawah. Tetapi pada beberapa pasien, rasa sakit appendisitis mulai di
perut kanan bawah dan menetap. Variasi lokasi anatomi menentukan pula variasi
dari lokasi rasa nyeri, contohnya, appendiks yang panjang dengan inflamasi pada
ujung tepi di perut kiri bawah menyebabkan rasa nyeri di daerah tersebut;
appendiks retrocaecal dapat menyebabkan rasa seperti sakit pinggang; appendiks
pelvis menyebabkan nyeri dearah suprapubik; dan appendiks retroileal dapat
menyebabkan nyeri testikular, yang sering dikira sebagai iritasi dari a. Spermatica
dan ureter.
Anoreksia biasanya sering dialami pada penderita appendisitis. Walaupun
muntah ada pada 75% pasien, tetapi biasanya tidak menetap dan sebagian besar
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 10
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
pasien hanya muntah 1 atau 2 kali. Muntah disebabkan karena stimulasi neural
dan adanya ileus.
Kebanyakan pasien ada riwayat obstipasi sebelum timbulnya nyeri. Tetapi
pada sebagian pasien, terutama anak-anak terjadi diare. Urutan kemunculan
gejala mempunyai perbedaan yang signifikan dalam mendiagnosis banding.
Lebih dari 95% pasien appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala yang
pertama muncul, diikuti dengan nyeri perut, serta muntah (bila ada). Bila muntah
merupakan gejala yang pertama kali dirasakan, diagnosa appendicitis masih harus
dipertanyakan.
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering
appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80 – 90% appendisitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada orang berusia lanjut, gejalanya juga sering samar-samar saja. Tidak
jarang terlambat didiagnosis. Akibatnya lebih dari ½ penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi.
Pada pasien-pasien khusus, seperti pasien yang dalam penggunaan
imunosupresan, pasien yang menerima transplantasi organ, pasien dengan HIV,
pasien dengan diabetes melitus, pasien yang mengidap kanker atau yang sedang
menerima kemoterapi, dan pada pasien-pasien yang obesitas, gejala yang
dirasakan hanyalah rasa tidak enak secara umum.
II.7 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah
appendiks sudah mengalami ruptur ketika pasien pertama kali di periksa. Tanda-
tanda vital hanya mengalami sedikit perubahan pada appendicitis tanpa
komplikasi. Kenaikan suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 – 38,5oC) dan nadi
normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna
biasanya mengindikasikan adanya komplikasi atau adanya penyakit lain.
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 11
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Pasien dengan appendisitis biasanya lebih enak dengan posisi supine
(telentang) dengan tungkai atas ditarik, karena adanya gerakan meningkatkan rasa
nyeri. Apabila diperintahkan untuk bergerak, mereka akan melakukannya dengan
perlahan-lahan dan dengan hati-hati.
Tanda ”klasik” kuadran kanan bawah muncul bila appendiks terdapat pada
posisi anterior. Rasa nyeri terutama pada titik Mc Burney atau sekitar Mc Burney.
Hal ini mengindikasikan adanya iritasi lokal peritoneum.
Rovsing’s sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran kiri
bawah (daerah kontralateralnya). Hal ini mengindikasikan
adanya iritasi peritoneum.
Blumberg sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan pada kuadran kiri
bawah (daerah kontralateralnya) dilepaskan. Hal ini
mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.
Psoas sign : Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot
tersebut. Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan
mengekstensikan paha kanan yang mengakibatkan peregangan
dari m. Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi menimbulkan rasa
sakit karena appendiks yang meradang menempel di m. Psoas.
Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan
meregangkan m. Obturator internus, dan melihat apakah
appendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut.
Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksi
lalu dilakukan rotasi interna secara pasif.
Dunphy’s sign : Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bila
sengaja dibatukkan (cough sign).
Cutaneus hiperestesi sering menyertai. Dipersarafi oleh n. Spinalis bagian
kanan dari Th 10, 11, dan 12. Tahanan muskuler dinding abdomen berjalan sesuai
dengan proses inflamasinya. Adanya defans muskular ini menunjukkan
rangsangan peritoneum parietale. Variasi posisi anatomik dari appendiks
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 12
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
menyebabkan gejala yang berbeda pula. Pada appendiks retrocaecal, rasa nyeri
pada abdomen anterior jarang, dan pasien lebih banyak mengeluhkan rasa nyeri
pada pinggang kanan sampai ke belakang. Pada appendiks letak pelvik, tanda-
tanda pada abdomen bisa tidak ada sama sekali dan bisa tidak terdiagnosis bila
Rectal Touche (RT) tidak dilakukan. Rectal touche juga untuk membedakan ada
atau tidaknya suatu massa.
Hubungan Patofisiologi dengan Manifestasi Klinik
Kelainan patologi Gejala dan tanda
Peradangan awal Kurang enak ulu hati, mungkin kolik
Appendicitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan
otonomik)
Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual, dan muntah
Appendicitis komplit / radang peritoneum
parietal appendiks
Rangsangan peritoneum lokal (somatik),
nyeri pada gerak aktif dan pasif, defans
muskular lokal
Radang jaringan yang menempel pada
appendiks
Genitalia interna, ureter, m. Psoas, vesica
urinaria, rectum
Appendicitis gangrenosa Demam, takikardi, leukositosis
Perforasi Nyeri dan defans muskular seluruh perut
Pendindingan :
Tidak berhasil
Berhasil
Abses
Sda + demam tinggi, dehidrasi, syok,
toksik
Massa perut kanan bawah, keadaan umum
berangsur membaik
Demam remiten, KU toksik, keluhan dan
tanda setempat
Sumber : Sjamsuhidajat, 1997
II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 13
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan (10.000 – 18.000 /
mm3) yang didominasi > 75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to
the left) pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan akut
appendicitis dan appendicitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit > 18.000 /
mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan / tanpa
abses. Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendicitis
adalah C-reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi
bakteri yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6 – 12 jam
setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang
digunakan karena tidak spesifik. Spesifisitasnya hanya mencapai 50 – 87% dan
hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.
Pemeriksaan urinalisa sering dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan
keluhan nyeri perut. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan
adanya infeksi saluran kemih (ISK).
RADIOLOGI
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosa banding. Pada appendicitis
akut dapat terlihat abnormal ”gas pattern” dari usus, tapi
hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat
mendukung diagnosa. Dapat ditemukan pula adanya
local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak
pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas
line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi.
Pemeriksaan ini mungkin berguna pada pasien dengan gejala dan tanda-tanda
yang tidak khas. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang
rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen
yang akut.
Ultrasonografi
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 14
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis appendicitis.
Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, tidak
membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil karena
tidak menggunakan paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasi
sebagai ”blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis
appendicitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 7 mm atau
lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada
kontinuitas jaringan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal.
Sensitivitas sonografi dalam mendiagnosis appendicitis sebesar 55 – 96%
dan spesifisitas 85 – 98%. False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba
falopii dan pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat. Sedangkan false (-)
didapat pada appendiks letak retrocaecal dan appendiks yang membesar. Hal ini
tergantung kemahiran operator.
Gambaran sagital graded compression yang
menunjukkan inlamasi akut dari appendiks.
Struktur tubular noncompressible, kurangnya
gerakan peristaltik, diameter >6 mm, dan adanya
cairan periappendiceal.
Gambaran transverse graded compression yang
menunjukkan inflamasi akut dari appendiks.
Adanya gambaran target like appearance karena
penebalan dari dinding appendiks dan cairan pada sekelilingnya.
Computed Tomography
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 15
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
CT-scan sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses
inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendicitis.
Appendiks normal akan terlihat sebagai struktur tubular tipis pada kuadran kanan
bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai
kalsifikasi homogenus berbentuk cincin, dan terlihat pada 25% populasi.
Appendicitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-scan apabila
didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal.
Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar >
5 – 7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah
abses, kumpulan cairan, edem, dan phlegmon. Inflamsi periappendiceal atau
edem terlihat sebagai perkaburan dari lemak mesenterium (”dirty fat”), penebalan
fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan
bawah. CT-scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan
gejala klinis yang telat (48 – 72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi
phlegmon atau abses.
Fekalit dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalit bukan
patognomonik adanya appendicitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang
disebabkan penebalan dari caecum. Tingkat sensitivitas 92 – 97%, spesifisitas 85
– 94%, keakuratan 90 – 98%, positive predictive value 75 – 95%, negative
predictive value 95 – 99%. Kerugiannya mahal, menggunakan radiasi, dan tidak
dapat digunakan saat hamil.
Gambaran pelebaran appendiks dengan
penebalan pada dindingnya, tidak terisi
dengan kontras.
Barium Enema
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 16
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Pemeriksaan tambahan lain yang berguna adalah barium enema.
Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling
dengan indentasi dari caecum. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal.
False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini
sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai
menderita appendicitis akut.
Dalam rangka meningkatkan tingkat akurasi dari diagnosis apendisitis,
maka telah disusun sebuah system penilaian yang dibuat berdasarkan penelitian
secara retrospektif oleh Alvarado. Sistem penilaian ini meliputi gejala-gejala
(nyeri yang berpindah dari periumbilikal ke perut kanan bawah, mual dan
penurunan nafsu makan), tanda-tanda (nyeri tekan pada perut kanan bawah, nyeri
lepas, dan demam), dan pemeriksaan laboratorium (leukositosis dan pergeseran ke
kiri).
Alvarado Score
Symptoms
Migratory right iliac fossa pain 1 point
Anorexia 1 point
Nausea and vomiting 1 point
Signs
Right iliac fossa tenderness 2 points
Rebound tenderness 1 point
Fever 1 point
Laboratory
Leucocytosis 2 points
Shift to left (segmented neutrophils) 1 point
Total score 10 points
A score of 7 or more is strongly predictive of acute appendicitis.
In patients with an equivocal score of 5-6, CT scan further reduces the rate of
negative appendicectomy
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 17
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
II.9 DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding. Inflamasi dari diverticulum Meckel’s jarang ditemukan,
namun penyakit ini memiliki pathogenesis dan perjalanan penyakit yang
menyerupai appendicitis.
Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih
dominan, perlu dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding,
terutama apabila gejala-gejala gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri
perut, namun nyeri perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik
lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.
Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan).
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis
sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri costovertebral di sebelah
kanan dan piuria.
Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan.
Karsinoma dengan perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan
memberikan gejala nyeri yang akut disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum.
Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi apendisitis sekunder akibat
obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga
dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara umum
pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat ditemukan tinja dengan test guaiac
yang positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronis dari pola
defekasi.
Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah
termasuk yang telah disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan
seperti: rupture dari kista maupun folikel ovarii, torsio ovarii, kehamilan ektopik,
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 18
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
juga salpingitis akut. Pada wanita usia premenopause, endometriosis merupakan
salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik, yang pada keadaan akut sering
menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai kelainan ginekologis
yang dapat menyerupai apendisitis maka perlu ditanyakan riwayat ginekologis
pasien dan pola siklus menstruasinya.
Sumber : Soybel DI, 2003
II.10 PENATALAKSANAAN
Indikasi Operasi
Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai
pemeriksaan yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi
operasi (apendektomi), kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada
keadaan dimana masa akut telah dilewati namun muncul komplikasi dengan
terbentuknya abses. Pada beberapa kasus dapat digunakan antibiotik sebagai
terapi tunggal untuk mengurangi massa abses tersebut. Bila massa abses telah
terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan sulit untuk ditemukan,
selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk dikerjakan.
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 19
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis
sudah dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan
harus dipantau dengan ketat menggunakan indikator klinis seperti nadi, tekanan
darah, dan jumlah pengeluaran urine.
Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan cephalosporine
generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotik spectrum luas
yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob (bacteroides
spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotik bukan untuk
memberantas apendisitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan
komplikasi, antibiotik umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari
luka dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap
kemungkinan terjadinya bakteremia.
Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa pembentukan
abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotik ditujukan untuk mengobati
komplikasi tersebut. Terdapat beragam pendapat tentang pemberian antibiotik
profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa:
1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi
komplikasi yang dapat timbul oleh karena luka pada kasus non-komplikata
2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotik adalah sesaat sebelum
pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang
optimal pada saat akan dilakukan incise
3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotik cukup dengan dosis
tunggal. Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan
resiko infeksi lebih lanjut.
Pertimbangan Operatif
Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui
pendekatan secara tradisional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi.
Terdapat berbagai penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara
terbuka maupun dengan laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat
disimpulkan bahwa pada kasus apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 20
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
secara laparoskopik dapat mengurangi nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga
menurunkan insidens infeksi pada luka setelah operasi. Pasien juga dapat kembali
bekerja lebih awal.
Perbandingan Antara Laparotomy dan Laparoskopi
Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan
gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan
disseksi apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum.
Kegagalan dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat
mengingkatkan resiko terjadinya apendisitis rekuren. Mengingat bahwa terdapat
beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren, maka penting untuk tetap
berwaspada terhadap kemungkinan munculnya apendisitis rekuren meski terdapat
riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila diseksi
secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun
pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum
peritoneum. Tindakan ini bermanfaat untuk mengalirkan materi fekal maupun pus
keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum
peritoneum.
Pasca Operasi
Kasus-kasus apendisitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan
makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-
48 jam. Pemberian antibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 21
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien apendisitis tanpa komplikasi. Pada
kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotik diberikan
hingga 5-7 hari setelah operasi.
II.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off
sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan lekuk
usus halus.
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi
penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi
progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam
pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding
perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi
dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien
pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah
operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai
penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk),
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,
pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang
sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan
syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah
yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat
diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau
klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendektomi
dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 22
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum
atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi
merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan
demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi
apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan
drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal
sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan.
Sumber : Soybel DI, 2003
II.11 PROGNOSIS
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 23
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
Sebagian besar pasien apendisitis sembuh dengan mudah melalui terapi
operatif, namun komplikasi dapat muncul apabila terjadi keterlambatan dalam
penatalaksanaan atau bila sudah terjadi peritonitis. Waktu yang diperlukan untuk
penyembuhan sangat bergantung pada usia, kondisi fisik, komplikasi, dan
keadaan-keadaan lainnya, termasuk konsumsi alcohol, namun biasanya untuk
penyembuhan memerlukan waktu sekitar 10 dan 28 hari. Pada anak-anak (usia
kurang lebih 10 tahun), penyembuhan memerlukan waktu sekitar tiga minggu.
Peritonitis yang mengancam nyawa merupakan alasan mengapa
apendisitis akut memerlukan evaluasi dan penatalaksanaan secara cepat.
Apendisitis tipikal memberikan respon yang sangat baik dengan apendektomi, dan
terkadang dapat sembuh dengan spontan. Apabila apendisitis sembuh dengan
spontan, masih merupakan kontroversi mengenai perlu tidaknya tindakan
apendektomi elektif untuk mencegah apendisitis rekuren.
Apendisitis atipikal (dihubungkan dengan apendisitis supuratif) lebih sulit
untuk didiagnosis dan lebih cenderung untuk terjadi komplikasi meskipun telah
dilakukan operasi secara dini. Pada kedua keadaan diatas diagnosis secara tepat
dan apendektomi memberikan hasil yang baik, dan penyembuhan penuh terjadi
antara dua sampai empat minggu. Mortalitas dan komplikasi berat umumnya
jarang ditemui, namun dapat terjadi apabila peritonitis berlanjut dan tidak
mendapat terapi. Terdapat pula topic pembahasan yang sering mendapat perhatian
mengenai massa apendikular, yaitu terbentuknya suatu massa yang terdiri dari
omentum dan usus yang saling melekat, hal ini terjadi apabila apendiks tidak
segera dipindahkan dengan segera selama terjadinya infeksi. Selama masa ini,
tindakan apendektomi akan sangat beresiko kecuali bila didapatkan pembentukan
pus yang dibuktikan dengan adanya demam dan toksisitas atau dengan USG.
Stump appendicitis, merupakan suatu komplikasi yang jarang ditemui,
yaitu terjadinya inflamasi pada sisa apendiks yang tertinggal setelah apendektomi
yang tidak komplit.
BAB III
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 24
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
KESIMPULAN
Appendicitis inflitrat sebenarnya adalah istilah yang salah, seharusnya
disebut dengan massa periappendikular. Massa appendiks ini terjadi bila
appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi oleh pendindingan oleh
omentum dan / atau lekuk usus. Umumnya massa appendiks terbentuk pada hari
ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
appendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur > 5 tahun karena daya tahan
tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal
untuk membungkus proses radang.
GEJALA DAN TANDA
Gejala klinisnya sama dengan gejala appendicitis ditambah dengan
terabanya massa pada kuadran kanan bawah.
TERAPI
Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti
peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, disarankan massa
periappendikular yang masih mobile di operasi segera untuk mencegah penyulit
tersebut. Disamping itu, operasi masih mudah.
Pada massa periappendikular yang terfiksir dan pendindingan sempurna,
dirawat dulu dan diberi antibiotik. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :
Suhu tubuh
Ukuran massa
Luasnya peritonitis
Leukosit
Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikular hilang, dan leukosit
normal, penderita boleh pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan 2 – 3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin (interval appendektomi).
REFERENSI
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 25
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012
REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH
1. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2
2. Addis DG, Shaffer N, Fowler BS,et al :The epidemiology of appendicitis and appendectomy in United States. Am J Epidemiol 132:910,1990
3. Flum DR, Morris A, Koepsell T,et al: Has misdiagnosis of appendicitis decreased over time? A population-based analysis. JAMA 286:1748,2001
4. Harken. H Alden, Moore. E,Ernest.,2009. Aberanathy’s Surgical Edisi 6;188
Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta
Hal. 26